Anda di halaman 1dari 86

ISSN: 1412-033X

THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK


PENERBIT:
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta,
Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret Surakarta

ALAMAT PENERBIT/REDAKSI:
L A B O R A T O R I U M P U S A T M I PA
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 398, 339; Fax.: +62-271-646655.
E-mail: biology@mipa.uns.ac.id; uns_journals@yahoo.com. Online: www.biology.uns.ac.id; www.unsjournals.com

TERBIT PERTAMA TAHUN:


2000

ISSN:
1412-033X

TERAKREDITASI BERDASARKAN KEPUTUSAN


DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS RI No. 52/DIKTI/Kep/2002

PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB:
Sutarno

SEKRETARIS REDAKSI:
Ahmad Dwi Setyawan, Ari Pitoyo

PENYUNTING PELAKSANA:
Suranto (Biologi Molekuler), Marsusi, Solichatun (Botani),
Edwi Mahajoeno, Sugiyarto (Zoologi), Wiryanto, Kusumo Winarno (Ilmu Lingkungan)

PENYUNTING AHLI:
Prof. Ir. Djoko Marsono, Ph.D. (UGM Yogyakarta)
Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, M.Sc. (IPB Bogor)
Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si. (UNS Surakarta)
Prof. J.M. Cummins, M.Sc., Ph.D. (Murdoch University Australia)
Prof. Dr. Jusup Subagja, M.Sc. (UGM Yogyakarta)
Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja, M.Sc. (ITB Bandung)
Dr. Setijati Sastrapradja (Yayasan KEHATI Jakarta)
Dr. Dedi Darnaedi (Kebun Raya Bogor)
Dr. Elizabeth A. Wijaya (Herbarium Bogoriense Bogor)
Dr. Yayuk R. Suhardjono (Museum Zoologi Bogor)

BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah
pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap
naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara
khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya
dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai. Hingga nomor
ini, jurnal dikirimkan kepada institusi-institusi yang meminta tanpa biaya pengganti, sebagai bentuk pertukaran pustaka
demi mendorong penelitian, perlindungan dan pemanfaatan lestari keanekaragaman hayati. Jurnal ini terbit empat kali
setahun, setiap bulan Januari, April, Juli, dan Oktober.
PEDOMAN UNTUK PENULIS

Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi Penulis dianjurkan menyertakan foto atau gambar untuk sampul
para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya. depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah sendiri. Tidak ada
Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan lampiran, semua data atau analisis data dimasukkan dalam Hasil dan
bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan Pembahasan.
belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang
naskah dan satu disket ukuran 3½” atau compact disc (CD), kecuali penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis,
naskah yang dikirim melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka.
diminta satu disket untuk pencetakan. Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya
Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297 disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih,
mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk.,
Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Smith 1982a, b; Baker and
sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat Manwell, 1991; Suranto et al., 1998). Pada sitasi bertingkat digunakan
digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word. kata cit atau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau
Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999).
disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama
genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti
menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut:
penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L. Jurnal:
UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat
dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda. protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass
Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020.
Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan Buku:
IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure
nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan, and Applied Aspects. London: Chapman and Hall.
misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT) Bab dalam buku:
selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI, Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular
penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman,
pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml, C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier
dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m-2, l-1, h-1) disarankan Science Publishers B.V.
untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti “per-tanaman” atau Abstrak:
“per-plot”. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F.
dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah. Hammerschlag. 2000. Response of transgenic ‘Royal Gala’ apple
Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali (Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified
apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of
dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya 97th Annual International Conference of the American Society for
dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan “%” bukannya Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000.
“persen”. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan bertele- Prosiding:
tele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan dae-
efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25 rah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju
halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional
menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan
sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini. Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000.
Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20 Skripsi, Tesis, Disertasi:
kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae
dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe
dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas
berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul Indonesia.
pelari (running title) sekitar lima kata. Nama penulis atau para Informasi dari Internet:
penulis pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http://
disingkat. Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html
dan nomor jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor telepon
genggam, nomor faksimili, alamat e-mail, dan website. Pada naskah Naskah publikasi “in press” dapat disitasi dan dicantumkan dalam
kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk korespondensi beserta daftar pustaka. “Komunikasi pribadi” dapat disitasi, tetapi tidak dapat
alamat dengan urutan seperti di atas. Abstract sebaiknya tidak lebih dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasi-
dari 200 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk kan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi.
naskah dalam bahasa Indonesia (teks dalam bahasa Indonesia hanya Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-),
untuk kepentingan keredaksian) atau bahasa Inggris saja untuk kecuali kata ulang. Penggunaan huruf “l” (el) untuk “1” (satu) atau “O”
naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci (Keywords) sekitar lima (oh) untuk “0” (nol) perlu dihindari. Simbol D, E, F, dan lain-lain
kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila ada), topik penelitian dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf.
dan metode-metode khusus yang digunakan. Pendahuluan Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi.
(Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar belakang, tinjauan
Kemajuan Naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau
pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode (Materials and
ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman.
Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan cara analisis
Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai
data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) ditulis
dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya
sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang sebaiknya
bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan
dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan jawaban
korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada
pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat terjadi,
naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang
bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam bentuk
memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah
kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih disukai dari
diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal
pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah pustaka tanpa
nomor penerbitan berikutnya.
sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan Pembahasan.
Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan, meskipun PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju
biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan. Ucapan memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan
terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis secara BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan
singkat. Gambar dan Tabel maksimum tiga halaman, dapat dibuat Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan
dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di bawah menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau
gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto dicetak pada pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini
kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna dapat diterima selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis
apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang tanpa gambar disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam
tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya menyertakan file digital. jurnal ini.
Pengantar Terbitan

Tidak dalam setiap terbitan Dewan Redaksi memberikan Pengantar Terbitan, namun pada pergantian tahun ini ada
kejadian sangat luar biasa yang menguji ketahanan masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa, yang telah disatukan
oleh Soekarno-Hatta, dengan proklamasi 17 Agustus 1945. Kejadian tersebut adalah gempa bumi diikuti gelombang
tsunami yang memporak-porandakan kawasan Nangroe Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara. Bencana alam
dengan episentrum tidak jauh dari pulau Simeuleu itu telah merenggut lebih dari 100.000 jiwa warga negara Indonesia,
serta sejumlah hampir sama di negara-negara tetangga. Kejadian ini merupakan bencana paling dahsyat yang pernah
terjadi di nusantara, bahkan lebih dahsyat dari meletusnya gunung Krakatau pada abad ke-18, dengan korban 30.000 jiwa;
bencana alam yang selama ini dikenal paling mematikan. Bencana ini menggugah rasa kemanusiaan setiap jiwa manusia.
Ucapan bela sungkawa dan simpati tidak akan cukup untuk menghapuskan rasa sedih, bahkan andaikan seluruh kata-kata
di bumi ini ditumpahkan, tetap tidak akan cukup untuk menunjukkan betapa dalamnya duka ini. Bantuan material
berapapun jumlahnya tidak akan cukup untuk menghapuskan ingatan dari kegetiran dan kengerian ini. Namun rasa
berserah diri dengan tulus ikhlas kepada Allah SWT, serta tidak putus asa atas ujian yang diberikanNya, akan membantu
untuk tetap tegar, terus beribadah dan menjalankan hidup ini dengan sungguh-sungguh, sebagaimana surat yang dikirim
seorang sahabat, seorang penulis pada terbitan ini:
“Syukur alhamdulillah, saya selamat dari musibah tsunami di Aceh, namun keluarga saya (istri, dua anak, dan adik)
terbawa arus dan jenazahnya tidak ditemukan, dan kondisi rumah hancur total tanpa bekas, selain itu juga ada dua
keponakan saya yang hilang......... Saat ini saya berada di Medan untuk mencari sanak keluarga yang mungkin
(masih) ada yang selamat dan mengungsi di sana....... Salam.” SENIN, 17 JANUARI 2005

Semoga Allah SWT memberi al-jannah kepada yang dipanggilNya, dan memberikan ganti yang lebih baik kepada yang
ditinggalkan. Amin.
Dewan Redaksi perlu pula melaporkan adanya perubahan jadwal penerbitan. Apabila pada tahun-tahun sebelumnya
jurnal ini terbit dua kali setahun, maka mulai tahun ini – insya Allah – akan terbit empat kali setahun setiap bulan Januari,
April, Juli, dan Oktober. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya artikel yang masuk, sehingga banyak di antaranya yang
terpaksa dikembalikan, bukan karena tema yang tidak sesuai dengan misi jurnal, atau kualitas tulisan yang buruk, namun
semata-mata karena terbatasnya jumlah halaman.
Dalam terbitan ini materi keanekaragaman pada aras spesies dan ekosistem, masih jauh lebih banyak dari pada aras
genetik. Keanekaragaman genetik merupakan the ultimate dalam kajian keanekaragaman hayati; mengingat kesempatan
untuk menjelajahi dunia hayati terbuka luas hampir tanpa batas. Hal-hal baru dengan sumbangan kuat terhadap kemajuan
ilmu pengetahuan dan peradaban sering ditemukan, namun kajian ini membutuhkan sarana dan prasarana khusus,
sehingga pihak yang dapat terlibat cenderung terbatas. Di negara-negara maju yang umumnya terletak di belahan bumi
utara atau selatan dengan keanekaragaman hayati terbatas, kajian keanekaragaman genetik menjadi prioritas. Di negara
berkembang seperti Indonesia – tanpa menyebutnya latah – kajian ini diharapkan juga akan menjadi pandu dalam
pengembangan kajian hayati, meski pada kenyataannya terdapat keterbatasan yang sangat dalam teori dan metode, yang
harus diimport hampir-hampir completely built up. Akibatnya kajian keanekaragaman genetik, masih sering dikaitkan
dengan istilah-istilah etalase, mercu suar, lipstik atau bahkan kemayu; para ilmuwan menghambur-hamburkan dana yang
besar dengan hasil yang dipertanyakan.
Di sisi lain, terdapat ruang yang sangat luas untuk kajian keanekaragaman pada aras spesies dan ekosistem. Teori dan
metode kajian ini dengan mudah dapat diterapkan oleh siapapun dengan pelatihan sederhana. Namun karena sifatnya
yang lumrah, kajian ini cenderung dinomorduakan; meskipun diyakini masih terdapat ribuan spesies tumbuhan, hewan, dan
mikroba Indonesia yang belum teridentifikasi, baik di hutan dan terutama di lautan. Jurnal ini tidak bermaksud
menganakemaskan salah satu kajian keanekaragaman hayati, hatta keanekaragaman budaya manusia yang secara nyata
mempengaruhi keanekaragaman hayati. Banyaknya publikasi keanekaragaman spesies dan ekosistem dalam jurnal ini
merupakan pilihan sadar untuk memberi kesempatan kajian yang biasa-biasa itu terbaca masyarakat luas, di samping –
sejujurnya – karena terbatasnya naskah kajian genetik.
Terbitan ini secara khusus didedikasikan untuk para kolega dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh dan
sekitarnya, untuk terus mengeksplorasi ayat-ayat qouliyah dan kauniyahNya dalam segala keterbatasan yang ada.
Selamat membaca.

Wassalam,

Dewan Redaksi
THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 1-5

Storage and the Use of Peroxydase Enzyme to Detect


Germination Capability of Sandoricum koetjape Merr. Seeds-
A Neglected Tropical Fruit Species

USEP SOETISNAj, DODY PRIADI, SRI HARTATI, ENNY SUDARMONOWATI


Research Centre for Biotechnology, The Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Cibinong-Bogor 16911.

Received: 17 September 2004. Accepted: 14 October 2004.

ABSTRACT

Sandoricum koetjape which belongs to the group of mahogany, possesses seeds with sticky white aril, is a neglected local fruit species that
might extinct if conservation efforts are not made. Besides preserving the embryos and embryonic axis on different periods of storage (0, 3,
5, 7 days) on a vacuum glass container containing silica gel, the latter organs were also preserved in liquid nitrogen to study the possibility
of long-term storage. The water content of the preserved organs was measured in relation to the length of storage and the germination rate.
To determine the role of peroxidase in the germination rate of preserved zygotic embryos, the level of peroxidase was measured. Seeds of
control and of 3-day storage were mostly germinated at day-6. The average rate of germination was reduced to 23.33% when the seeds
were desiccated with silica gel for 7 days which resulted in 27.69% water content. This germination capability and the length of hypocotyls
seem to correlate with peroxidase activity in the seeds. In general, the higher the percentage of germination, the longer the length of
hypocotyls, the higher the peroxidase activity, except for seeds desiccated for 7 days. The range of peroxidase activity was 6.81-3856.20
'A/2min/mg. When the seeds were desiccated for 7 days, they still could germinate at day-18 which indicated by a very high peroxidase
activity. Peroxidase activity assay could detect the viability within 15 seconds while the TTZ requires 15 minutes. Although the highest
percentage of survived embryonic axis after storage in liquid nitrogen was only 23.42%, the results showed that soaking in 10-20% DMSO
for 20 minutes of prerequisite as without DMSO led to no survival. These results offer an alternative procedure to detect the germination
ability of seeds at early stage and longer period of preservation which could contribute to future ex situ conservation.
” 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: recalcitrant, seeds, embryos, desiccation, preservation, peroxidase, Sandoricum koetjape.

INTRODUCTION This species is a well-known fruit tree, the fruits being


eaten fresh or processed into jam and chutney. The fruits of
Sandoricum which belongs to the family of Meliaceae the other Sandoricum are also edible but less palatable. S.
comprises 5 species, four of which are restricted to western koetjape is also an excellent shade tree with ornamental
Malesia. The fifth, S. koetjape, is commonly cultivated value, is planted as an avenue tree, and is suitable for use
mainly for its fruit and frequently naturalized from India, in shelter-belts. It has medicinal use as its pounded
Burma (Myanmar) and Indo-China to Thailand, the whole of leaves are sudorific when applied to the skin and are used
Malesian region, and tropical Australia and even in the New to make a decoction against diarrhea and fever. The
World Tropics. Timber plantations of S. koetjape have been powdered bark is an effective treatment for ringworm,
established in Burma (Myanmar). The wood of this species shows anti-cancer activity, and has been used for tanning
is used for house construction, furniture, cabinet work, fishing nets. The roots are employed as an anti-diarrheic,
joinery, interior construction, shop fitting, paneling, planking anti-spasmodic, carminative, stomachic and are prescribed
and decking of boats, scantlings, carvings, butcher as a general tonic after childbirth. Limonoids isolated from
chopping blocks, packing cases, household implements, the seeds showed insecticidal activity (Sosef et al., 1998).
and sandals. The wood is also used for the production of It is semi-deciduous, small to large trees, up to 45-50 m
veneer and plywood, blackboard, and for pulp and paper. It tall and occurs scattered in primary or sometimes
yields a good-quality charcoal and is used as firewood in secondary rain forests, up to 1200 m altitude. S. koetjape
Indonesia. It yields a lightweight to medium-weight has been reported from lowland dipterocarps forest but also
3
hardwood with a density of 290-590 kg/m at 15% moisture from kerangas on podzolic soils in both perhumid and
content. The texture is moderately fine to slightly coarse seasonal climates. It can be propagated by seed, but also
and even. In Europe, the timber has been applied for by vegetative means like budding, grafting, inarching and
furniture and interior finishing. In Malaysia, the timber is marcotting. Seeds however, can not be stored for any
traded in mixed consignments of medium-weight hardwood. length of time. The seed with or without the adhering pulp
Thailand which partly exports to Great Britain, considers have 90-95% germination in 16-31 days. Various cultivars
this timber is potential (Sosef et al., 1998). of this fruit tree exist including the tetraploid ones. Important
tree collections are held in the Philippines, Malaysia and
Thailand (Sosef et al., 1998).
j Alamat korespondensi: There are three main categories of seed storage that
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911. have been recognized. Roberts (1973) defined orthodox
Tel.: +62-21-8754587 Fax.: +62-21-8754588 and recalcitrant seeds, as those that survive long term dry
e-mail: d_priadi2002@yahoo.com
storage and those that can not withstand dehydration,
2 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 1-5

respectively. More recently, a third category, intermediate, Growth of seeds after desiccation in growing media
was identified comprising seeds that can withstand Having been maintained in a germinator for one month
dehydration to a certain extent but have reduced longevity. during the germination test, the desiccated seeds were
The first one could be further dried to low moisture contents sown either in the soil or in the sand placed in a plastic tray.
(< 5%) without losing viability. The second one are They were watered every other day and maintained at room
characterized by the absence of maturation drying and are temperature.
shed at moisture contents > 50% (on a Fresh Weight basis).
The so-called intermediate seeds survive drying to Cryopreservation of embryonic axis
moderately low moisture contents (8-10%) but are often Embryonic axes of S. koetjape were soaked for 20
injured by low temperatures (Ellis, 1991). minutes in either 10% or 20% DMSO (dimethyl-sulfoxide) or
Zygotic embryos/embryonic axes have been quite 6% sucrose. Prior to freezing, they were placed in cryo
widely used in attempts at conserving germplasm of plants tubes and followed with 2 drops of each related
with recalcitrant seeds or those with seeds in the cryoprotectant solution. After thawing, the axes were
intermediate category. Cryopreservation system which is germinated in wetted tissue and watered every day.
based on the reduction and subsequent detention of the
metabolic function, including the cellular division of the Viability test using peroxidase
explants, is accomplished when materials are brought to the Enzyme extraction. Enzyme extraction was carried out
temperature of liquid nitrogen (-196°C). Successful by grinding approximately 0.02 g to 0.1 g embryonic axis
cryopreservation of plant material should be achievable by with 1 ml extraction buffer consisting of 25 mM Tris-HCl pH
the appropriate balance between tissue water content and 7.5 using a plastic grinder. The homogenate was
freezing rate making the use of cryoprotectants a secondary centrifuged at 10,000 rpm at 4oC for 15 minutes. The
consideration. Thus, flash-drying and very fast freezing rate supernatant was used as crude peroxidase.
could be a solution to achieving successful cryopreservation Protein determination. Protein content was determined
method as suggested by Berjak et al. (1989). with Bradford solution using the method developed by Grey
Peroxidase has been implicated in a various (1990) using Bovine Serum Albumin as a standard.
physiological processes in plants. Plant peroxidases have Enzyme assay. Total peroxidase activity was estimated
been related to several processes such as cell growth, colorimetrically according to Campbell and Ellis (1992). The
lignin biosynthesis (Gross, 1977), auxin metabolism activity was determined by adding 720 Pl of 50 mM
(Gaspar, 1986), disease resistance, and wound healing potassium phosphate pH 7.0 to 80 Pl enzyme extract and
(Espelie et al., 1986). Research concerning plant 2000 Pl of 0.5% guaiacol. The reaction was initiated by
peroxidase activity has been reported in several species adding 2000 Pl of 0.075% hydrogen peroxidase followed by
such as in mung bean (Chabanet et al., 1993), peanut rapid inversion. The absorbance of the mixture was
(Zheng and van Huystee, 1992) and in pedicel of grape monitored at 470 nm after 2 minutes. Peroxidase activity
(Perez and Gomez, 1998). was expressed as 'A/2min/mg protein.
The objectives of the study were to investigate possible
storage method for seeds and embryonic axes and to Qualitative viability test
determine alternative assay employing peroxidase to detect Tetrazolium test was conducted by applying 23.4 mM
the viability of seeds of S. koetjapi. TTC solution in 0.05 M phosphate buffer pH 7.5 to both
half-cut seeds and embryonic axis. Both germinated and
non germinated ones were soaked in the solution for 15 to
MATERIALS AND METHODS 60 minutes. Peroxidase solution used was the same as that
for quantitative assay. Both materials (half-cut seeds and
Source of plant materials embryonic axis of germinated and non-germinated) were
Seeds were collected from two mature trees grown in either soaked in 1 ml solution or given 20 Pl drop of
the Germplasm Garden of Research Centre for solution.
Biotechnology-Indonesian Institute of Sciences in Cibinong,
Bogor District, West Java, Indonesia. The trees were
originated from seeds which were collected from Serpong, RESULTS AND DISCUSSION
Banten Province. The size of the fruits from where the
seeds and embryonic axis were excised was ranging from Critical water content and germination pattern
5.5 cm (small fruits) to 8.0 cm (larger fruits) in diameter in Water content of seeds before desiccation was 44.63%
average. The aril was removed from the seeds by scrapping which led to 86.67% germination in average. Desiccating
with ash washed and then mixed with fungicide Dithane and the seeds for 3 days (35.20% moisture content) did not
followed with natural drying for 1 hour. seem to have an effect on the germination rate as 90% of
seeds still could germinate. Reducing the water content to
Water content determination and germination test 31.19% has caused the germinated rate declined 56.67%
Fifteen seeds were placed in a container in a desiccator which then dropped to 23.33% when the water content was
which also contains 200 g silica gel and kept for either 3, 5 reduced to 27.69% which was achieved by 7 days
or 7 days. The number of replicates was three. Water desiccation. The reduction of the water content not only
content was measured on day 0 and 3-7 days after storage caused the decline of the germination rate but also the
o
by weighing before and after drying in the oven at 100 C for delay in the germination. Without desiccation, seeds would
5 hours. Germination was conducted by placing the seeds germinate within 6 days while those subjected to
o
on a wetted tissue placed in a germinator at 37 C. desiccation germinated in 10-18 days depending on the
Maintenance was conducted by spraying the tissues water content (Table 1.). Figure 1. shows the effect of
containing samples with water every day. desiccation period on water content and germination rate of
S. koetjape seeds.
SOETISNA et al. – Germination of Sandoricum koetjape 3

Table 1. Effect of desiccation period and water content on (Table 2.). Although the germination percentage in the sand
germination rate of S. koetjape seeds. was lower than in the soil, the number of the roots was
higher and they were longer in size (Figure 3.). Sand also
Desiccation Moisture Average Peak of resulted shoots to emerge and elongate at 35 days after
period content germination germination
(days) (%) rate (%)* time (days)
planting (64-72 days after desiccation and viability test in a
0 44.63a 86.67a 6 germinator). Figure 4 shows the shoot growth of S. koetjape
3 35.20ab 90.00a 10 seeds which have been desiccated for 5 days at 2 months
5 31.19ab 56.67ab 14 after sewing in sand placed in a plastic container. Those
7 27.69b 23.33b 18 planted in the soil produced shoot slower as the shoots
Note: * Observation was conducted at day-20. Figures followed emerged not earlier than 55 days after planting. This
with different letters indicate significant different at 1% based on indicates that seeds of S. koetjape were still viable for more
Duncan Multiple Range Test. than 2 months as long as the growing media is appropriate.
The fact that the growth of roots was excessive which
Statistical analysis on the relation between water tends to repress the growth of shoots, suggest that during
content and the percentage of germinated seeds showed germination a growth regulator to stimulate the growth of
that 7 days desiccation has reduced the germination rate shoots such as GA3 is required.
significantly as the reduction of water content dropped from
44.6 to 27.7% (Table 1). Table 2. Effect of desiccation period and growing media on the
production of roots and shoots of planted seeds of S. koetjape.

100 Number Seeds Length


Desiccation Seeds
Growing of roots producing of
90 Period producing
Germination and Water Content (%)

media per shoots shoots


80 (days) roots (%)
seeds* (%) (cm)*
70 germination rate 0 Soil 100 5 0 -
60 3 100 16.5 16.7 3.0**
5 89.9 11.5 14.6 1.0**
50 7 100 15 0 0.5**
40 0 Sand 100 50 100 3.0
30 3 50 14 16.7 1.0
5 83.3 19 33.3 4.0
20 water content
7 0 - 0 -
10
Note: *Observation at day 61 after sewing. ** All leaves were not
0
yet opened.
0 3 5 7
Desiccation Period (days) Cryopreservation of embryonic axis
Embryonic axis which was not treated with DMSO or
Figure 1. Effect of desiccation period on water content and high sucrose (control) could not survive after storage in
germination rate of S. koetjape seeds. liquid nitrogen for 6 days. It seems that the effect of the
concentration of DMSO was different to different types of S.
The range of water content level which is considered koetjape. The survival rates were 19.67% and 23.42%
high in order to have high germination rate suggests that which seeds were treated with either 10 or 20% DMSO,
this species could be grouped either intermediate or respectively. DMSO seems to be more effective than 6%
recalcitrant which requires further confirmation through sucrose as the percentage of survival was slightly higher
series of research in the future. Critical water content of i.e. 23.42% and 10%, respectively (Table 3.).
seeds under this category is varied so preliminary The results which showed very low survival, suggest
information has to be searched supported with experiments that treatments applied were not yet optimum. DMSO alone
prior to drying or desiccation. In certain recalcitrant seeds, did not seem to be sufficient to protect embryonic axis to
the reduction rate of humidity affected further storage. withstand ultra low temperature especially when rapid/direct
Azadirachta indica of Thailand provenance could maintain freezing in liquid nitrogen is applied. Combination of DMSO
viability over 60% after 6 weeks storage if the seeds were with other cryoprotectants as has been applied to other
subjected to sun drying for 2-3 days (Chaisurisri et al., plant species might solve the problems. Vitrification or
1986). Seeds of one plant species could behave differently encapsulation dehydration might be one alternative method
as reported in neem. This plant seed has been designated for preserving embryonic axis of S. koetjape. Vitrification
as being recalcitrant (Ezumah, 1986) but also as orthodox solution which employs 30% glycerol, 15% ethylene glycol,
(Tompsett, 1994), while according to Sacande et al. (1997) and 15% DMSO in liquid medium with 0.4 M sucrose could
the seeds had intermediate storage behavior and were cold result in up to 80% survival of tropical tree species tried
sensitive. The viable seed showed red color after treated by after immersion in liquid nitrogen (Sudarmonowati, 2000).
TTC solution (Figure 2.). Other cryopreservation protocol has been developed mostly
for various plant species but mainly temperate species such
Effect of desiccation and water content on germination in as Allium cepa (Lakhanpaul et al., 1996). The highest
growing media percentage (62.5%) of surviving embryos of citrus “Garut”
The desiccated seeds could still grow and produce roots after storage in liquid nitrogen was obtained by dehydrating
and shoots after 64-72 days depending on the desiccation the naked embryos for 4 hours in laminar air flow and
treatments and growing media. Most seeds could germinate soaked in vitrification solution (a mixture between 0.8 M
in the soil regardless desiccation treatments given as the sucrose and 1.0 M glycerol) for 18 hours (Sudarmonowati et
percentage of seeds producing roots was ranging from 89.9 al., 1998). In other plant species such as Ribes nigrum
-100%. Unlike in the soil, those planted in the sand was (Benson et al., 1996), encapsulation-dehydration has given
ranging from 0-100% depending on desiccation periods a better result than vitrification as it gave a higher survival.
4 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 1-5

appropriate dehydration needs to be optimized. Storage of


o
the axis at -196 C has reduced the survival; further study is
required to optimize the desiccation and freezing
procedures. Embryonic axis will still be used as the use of
this intact organ has the advantage that if cryopreservation
procedures are successful, it should merely be a matter of
manipulating post-freezing conditions to produce vigorous
plantlets.

Peroxidase for detecting viability of stored seeds


The level of peroxidase declined in line with the
reduction of germination rate, although in certain cases it
was deviated. The highest level of peroxidase which was
approaching 4000 U was obtained from seeds that have
been desiccated for 7 days (Figure 5.).
Figure 2. The assay of viability using TTC (left to right:
germinated, not yet germinated but viable, dead).
4000

3500

3000
1a

A/2 min/mg protein


2500 1b
1c
2000 2a
2b
1500
2c
1000 3a
3b
500 3c

0
0 3 5 7
Desiccation Period (days)
Figure 3. The growth of roots and shoots from seeds of S.
koetjape which have been desiccated for 0, 3, 5 and 7 days (left to
right) Figure 5. Peroxidase activity of S. koetjape seeds after desiccation
up to 7 days.

100
Hyocotyl Length (mm) or Percentage of Seeds

90
Showing Peroxidase over 1000 U

80
70
60
50
40
30
20
10
0
Figure 4. The shoot growth of S. koetjape seeds which have been
0 3 5 7
desiccated for 5 days at 2 months after sewing in sand placed in a
plastic container. Desiccation Period (days)

1a Peroxidase over 1000 U


1b 1c
On the other hand, embryo axes of “Garut” citrus and 2a 2b
longan fruit were more suitable with vitrification technique 2c 3a
for preservation. This might be because the composition of 3b 3c
vitrification solution tried (0.8 M sucrose + 0.1 M glicerol +
200 ppm citric acid) might not be sufficient. Other causes Figure 6. Correlation between desiccation periods, hypocotyls
might be the high content of phenolic compounds in the length, and the percentage of germinated seeds of S. koetjape
showing over 1000 U peroxidase level.
zygotic embryos which triggered with the would due to the
formation of ice crystal which causes the phenolic
compounds accumulated. As different species seems to
This treatment also led to the highest percentage of
require different technique, optimum one for each species
seeds containing peroxidase at the level of over 1000 U
needs to be developed.
(Figure 6.). This enzyme also indicates the ability of rooting
Water content of seeds which embryonic axis was
as the highest content was obtained from organs
excised was still around 44.63% which considered still high.
possessing the longest roots. The higher the hypocotyls of
Reduction of water content to the optimum one is, therefore,
germinated seeds were indicated by higher peroxidase
needed which implies that a technique for a more
SOETISNA et al. – Germination of Sandoricum koetjape 5

level. Peroxidase is considered to be the main enzyme recalcitrant species. Various factors affecting the success of
responsible for the catabolism of the phytohormone IAA in this technique, are, therefore, need to be conducted.
higher plants, thereby, the suggestion of its participation in
the regulation of plant growth as quoted by Zheng and van
Huystee (1992). In terms of IAA catabolism, it can proceed ACKNOWLEDGEMENTS
in the absence (IAA oxidase) or presence (IAA peroxidase)
of H2O2. The IAA oxidase and peroxidase catalyzed IAA The authors would like to thank the technical assistance
catabolism was considered as part of auxin regulation in of Ms. Nurchaedar Rahman and Mr. Nanang Taryana. The
vivo, hence, a part of growth regulation. The correlation assistance of Mr. Jitno Rijadi in the documentation of the
between auxin, in this case, IAA with peroxidase content results was greatly acknowledged.
has been proven in peanut as peroxidase content was
twofold in hypocotyls cultured on medium containing high
IAA (4 mg/l) as compared to control (Zheng and van REFERENCES
Huystee, 1992). The fact that the growth of roots was
considered excessive in seeds of S. koetjape after Benson, E.E., B.M. Reed, R.M. Brennan, K.A. Clacher and D.A. Ross. 1996.
Use of thermal analysis in the evaluation of cryopreservation protocols
desiccation which resulted in the repression of shoot for Ribes nigrum L. germplasm. Cryo-Letters 17: 347-362.
emergence indicated that the concentration of IAA is high Berjak, P., J.M. Farrant, D.J. Mycock and N.W. Pammenter. 1989.
which related to a high peroxidase level. Recalcitrant (homoiohydrous) seeds: the enigma of their desiccation-
This result suggests that not only the viability, the length sensitivity. Seed Science Technology 18: 297-310.
Campbell, M.M. and B.E. Ellis. 1992. Fungal elicitor-mediated responses in
of hypocotyls of germinated seeds seems to correlate with pine cell culture. Planta 186: 409-412.
the level of peroxidase in the seeds. The length of Chabanet, A., A.M. Catesson, and R. Goldberg. 1993. Peroxidase and
hypocotyls of germinated seeds desiccated for 3 days phenoloxidase activities in mung bean hypocotyls cell walls.
Phytochemistry 33(4): 759-763.
(35.2% of water content) was almost uniform while the Chaisurisri, K., B. Ponoy, and P. Wasuwanich. 1986. Storage of Azadirachta
others varied. In general, the activity of peroxidase was indica A. Juss seeds. The Embryon 2(1): 19-27.
higher in non desiccated seeds and lower when the Ellis, R.H. 1991. The longevity of seeds. Horticulture Science 26: 1119-1125.
exposure was longer up to 5 days. In mung bean, the Espelie, K.E., V.R. Franceschi, and P.E. Kolattukudy. 1986.
Immunocytochemical localization and time course of appearance of an
decrease of growth rate of hypocotyls was in parallel with anionic peroxidase associated with tuberization in potato. Archives on
the loss of cell wall extensibility which suggests changes in Biochemistry and Biophysics 240: 539-545.
cell wall structure. The cessation of growth might result from Ezumah, B.S. 1986. Germination and storage of neem (Azadirachta indica
A. Juss) seeds. Seed Science Technology 14: 593-600.
cell wall stiffening processes related to the integration of Gaspar, T., C. Penel, T. Thorpe, and H. Greppin. 1986. Peroxidases 1970-
diphenyl phenolic cross-linked wall polymer subunits into 1980: A Survey of their Biochemical and Physiologic Roles in Higher
the polysaccharide network which is thought to be catalyzed Plants. Geneva, Switzerland: University of Geneva Press.
by specific cell wall peroxidases. It was noted that in mung Gillikin, J.W. and J.S. Graham. 1991. Purification and developmental
analysis of the major anionic peroxidase for the seed coat of Glycine
bean, the development of peroxidase activities in epidermal max. Plant Physiology 96: 214-220.
cell wall just at the onset of growth decrease (Cabhanet et Grey, D. 1990. Enzyme extraction and assessment of enzyme production. In
al., 1993). This might explain the increase of peroxidase level Pollard, J.W. and J.M. Walker (eds.). Methods in Molecular Biology. Vol.
6. New York: Humana Press.
when the seeds of S. koetjape were desiccated for 7 days. Gross, G.G. 1977. Biosynthesis of lignin and related monomers. Recent
Giving the peroxidase solution only 2 drops seems to be Advanced in Phytochemistry 11: 141-184.
sufficient for detecting the viability of seeds. The time Lakhanpaul, S., P.P. Babrekar, K.P.S. Chandel. 1996. Monitoring studies in
required using peroxidase for detecting the viability of seeds onion (Allium cepa L.) seeds retrieved from storage at -20oC and -
180oC. Cryo-Letters 17: 219-232.
was much shorter than using TTZ, i.e. 15 seconds versus Perez, F.J. and M. Gomez. 1998. Gibberelic acid stimulation of
15 minutes. The viable and germinated seeds had result isoperoxidase from pedicel of grape. Phytochemistry 48(3): 411-414.
much darker solution than the non germinated one (Figure Roberts, E.H. 1973. Predicting the storage life of seeds. Seed Science
Technology 1: 499-514.
6.). This technique offers an alternative protocol for Sacande, M., S.P.C. Groot, F.A. Hoekstra, R. De Castro, and R.J. Bino.
detecting the viability of stored tissues as well as other 1997. Cell cycle events in developing neem (Azadirachta indica)
growth function. The role of peroxidase in plant species has seeds: are they related to intermediate storage behaviour? Seed
been reported such as in Glycine max (Gillikin and Graham, Science Research 7: 161-168.
Sosef, M.S.M., L.T. Hong, and A. Prawirohatmodjo (eds.). 1998. Plant
1991) and in peanut (Zheng and van Huystee, 1992). Resources of South-East Asia No. 5(3). Timber trees: Lesser-known
Timbers. Leiden: Backhuys Publishers.
Sudarmonowati, E, Rosmithayani, and E.S. Mulyaningsih. 1998. In vitro
conservation of fruit tree species at -196oC. 2nd Congress of Indonesian
CONCLUSIONS Biotechnology Consortium and National Seminar on Biotechnology.
Malang, Indonesia, 20-21 September 1998.
Drying seeds up to 35.20% water content could still Sudarmonowati, E., Rosmithayani, E.S. Mulyaningsih, D. Priadi, and A.
maintain the germination rate of S. koetjape to 90%, Sakai. 2000. Cryopreservation of shoot tips of two leguminous trees
although they have been maintained for 2 months. With this (Acacia mangium and Paraserianthes falcataria) using encapsulation-
dehydration and vitrification. Proceedings of International Workshop on
condition, the longest storage period will be investigated in Cryopreservation of Tropical Plant Germplasm. Tsukuba, Japan, 20-23
the future to confirm whether this water content level is the October, 1998.
most optimum one for seed storage. It seems that there Tompsett, P.B. 1994. Capture of genetic resources by collection and storage
was a correlation between the viability of S. koetjape seeds of seed: a physiological approach. In Leakey, R.R.B. and A.C. Newton
(eds.). Tropical Trees: the Potential for Domestication and the
and the level of peroxidase in the seeds. In addition, Rebuilding of Forest Resources. ITE Symposium No. 29, ECTF
peroxidase activity might correlate with the growth of this Symposium No. 1 London, HMSO.
species seeds. Detection of viability with peroxidase assay Zheng, X. and R.B. van Huystee. 1992. Anionic peroxidase catalysed
ascorbic acid and IAA oxidation in the presence of hydrogen peroxide: a
offers an alternative method to others as it could give faster defense system against peroxidative stress in peanut plant.
result. Effort to cryopreserve the seeds or embryonic axis in Phytochemistry 31 (6): 1895-1898.
the future would provide a long-term storage of this
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 6-11

Biodiversity of Soil Microbes from Rhizosphere at Wamena


Biological Garden (WBiG), Jayawijaya, Papua

SRI WIDAWATIj, SULIASIH, H.J.D. LATUPAPUA, ARWAN SUGIHARTO


Microbiology Division, Research Center of Biology, Indonesian Institute of Sciences, Bogor 16002

Received: 30 November 2004. Accepted: 26 Desember 2004.

ABSTRACT

The isolation, identification and population of soil microbes from rizosphere at WBiG had been done in the Soil Laboratories Microbiology,
Microbiology Division, Research Center of Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Bogor. The soil was collected randomly from 16
sites in WBiG, and taken from 0-15 cm depth. Isolates of microbes were identified by Bergeys manual method for bacteria; Ellis method for
fungi, and the morphology of isolate method for Actinomycetes. The population of microbes was estimated by plate count method. The
result of isolation, identification and population soil microbes from 16 samples in WBiG showed that 20 isolates of bacteria (Azotobacter
sp., Accinetobacter sp. , Bacillus sp., Citrobacter sp., Flavobacterium sp., Klebsiella sp., Nitrosomonas sp., Pseudomonas sp., Rhizobium
sp., Thiobacillus sp., Azospirillum sp., Azotobacter chrococcum, Bacillus panthothenticus, Chromobacterium violaceum, C.lividum,
Escherrrichia coli, Flavobacterium breve, Klebsiella aerogenes, Spaerotillus natans, and Staphylococcus epidermidis); nine isolates of fungi
(Aspergillus niger, Bisporomyces, Monilia sp., Cephalospharium sp., Verticillum sp., Giocladium sp., Penicillium sp., Nelicocephalum sp.,
and Cuninghamella sp.), and seven isolates of Actinomycetes (Streptomyces, Streptosporangium, Nocardia, Thermomonospora,
8 9 6 7 6 7
Thermoactinomyces, Micromonospora, Mycobacterium). The population of Bacillus (10 -10 ), Rhizobium (10 -10 ), Azospirillum (10 -10 ),
4 9
and Thiobacillus (10 -10 ) were founded all of soil samples.
” 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Key words: soil microbes, Wamena Biological Garden (WbiG).

INTRODUCTION of microbes, because microbes community is one of the


important components of soil, therefore, the microbial
Biodiversity of soil microbes has been regarded as activity and species compositions are generally influenced
human and vegetation life resource, especially the one by the physical characteristic and soil chemical properties,
connected with biological and environment resources. This climate and vegetation (Jha et al., 1992).
can be achieved by developing a conservation system of Soil microbes are one of biota communities, which are
ex-situ, like the one being pioneered by Indonesian Institute very interesting to be studied in order to find out their
of Sciences (LIPI) in Kabupaten Jayawijaya called Wamena existence and uses. So, soil microbes have an important
Biological Garden (WBiG). This is the first conservation role to the subsistence on earth, because it has the role on
area of ex-situ mountain biota in the Eastern part of biological and chemical cycling among the flora, fauna, and
Indonesia. It is located on Susu mountain and its surround- life of microbes itself. Nevertheless, not every soil microbe
ings with the height of l595-1670 m above sea level. The is suitable and compatible with the habitat and its host, and
temperature is 15-26qC with a rainfall of 1500-1900 mm. It it is well known that they can perform symbiotic and com-
has a wet tropical climate with vague difference between mensalisms. Each type of microbes fills as a unique niche and
rainy and dry seasons (SW, 2004, personal observation). plays a different role in nutrients cycling and soil structure.
WBiG is hilly with steep and gradual slopes having Microorganism living in the soil can be grouped into
various typical soil colors which make it possible for the bacteria, fungi, actinomycetes, algae, and protozoa (Rao,
diversity of microbes, especially in rhizosphere area. WBiG 1994). Some groups of soil microbes are useful as biofer-
environment is still virgin and has not been touched by the tilizer and biocontrol. They were Klebsiella, Nitrosomonas,
cruelty of chemical fertilizers and pesticides, and is an Thiobacillus, Lactobacillus, Azotobacter, Azospirillum,
advantage and gives a positive impact to vegetation and Rhizobium, Bacillus, Pseudomonas, and Frankia (one of
indigenous microbes. Especially photosphere area, it is rich actinomycetes group). The other actinomycetes group is
in biological activities as microbes feed on the carbon Streptomyces. It is potential as a source of various bioactive
compounds exuded by root. Plants may exude compounds compounds used in pharmaceutical industry, agriculture
that attack certain species to the rhizosphere that protect and for other purpose. These Streptomyces were found to
the root from diseases (SW, 2004, personal observation). have high biodiversity and can be used as source of germ
Soil is a unity of subsistence that includes the varieties plasm. The work was also done to find candidate of bio-
pesticide from Streptomyces that can be applied together
with Rhizobium and phosphate solubilizing bacteria as bio-
fertilizer (Lestari et al., 2002). Thus the soil microbes
j Alamat korespondensi: perform a wide range of function in the ecosystem.
Jl.Ir. H.Juanda 18 Bogor 16002 The aim of the research is to know the biodiversity of
Tel. +62-251-324006. Fax.: +62-251-325854
e-mail: widadomon@yahoo.com soil microbes from rhizosphere at WBiG.
WIDAWATI et al. – Soil microbes at Wamena Biological Garden 7

MATERIALS AND METHODS colonies to be identified by Charmichael et al. (1980),


Domasch and Gans (1980), and Ellis (1993).
The soil was collected randomly (sampling square
method/stratification) from 16 sites from rhizosphere area at Isolation, identification, and population procedure of
WBiG such as Susu mountain, Dapuk hill, Dapuk valley and actinomycetes
near Dapuk river area. Soil sample number 1 to 11 was Soil samples were dried at room temperature for 3 to 5
o
collected from Susu mountain area. This area was days. Then they were heated at 90 to 110 C for 10 to 60
dominated by Imperata cylindrica. Whereas number 12 to minutes. The soil samples were spreaded onto isolation
o
16 were collected from Koliken valley, Koliken hill and agar medium. They were incubated at 28 C for 7 to 14
surround of Dapuk river. This area was dominated by I. days. Pick up the colonies to the same agar medium (8
cylindrica and seno (Castanopsis accuminattisima). The soil colonies/petridish). The isolates were selected and
sample was taken from rhizosphere (0-15 cm depth). There transferred colonies to humic acid containing medium and
are many different color types, physical element, and soil YS medium. The isolation of medium for actinomycetes was
chemistry. It founded 11 type soil samples from WBiG humic acid-Vitamin agar medium: Humic acid 0.3 g,
(Table 1. and 2.). Na2HPO4 0.5 g; KCl 1.7 g, MgSO4.7H2O 0.05 g, FeSO4
One kg soil sample from 16 sites at WBiG was kept in 7H2O 0.01 g, CaCO3 0.02g, B-Vitamins solution 2 ml, 4N-
black plastic bags (still in fresh condition) and in the Soil NaOH 0.6 ml, agar 18 g, pH 7.2. Humic acid-gellan gum
Microbiological Laboratory, Microbiology Division, Research medium: Humic acid 0.3 g, MOPS 1 g, CaCL2 0.44 g, 4 N-
Center of Biology, Indonesian Institute of Sciences, Bogor NaOH 0.6 ml, trace element solution 0.5 ml, gellan gum 7
these samples were air dried before the analysis of physic g/liter, pH 7.0. Identification of actinomycetes isolates were
element and soil chemistry. The identification of microbes used morphological characteristic i.e. observation of colony
population used fresh soil. The population of microbes was (growth, color of aerial and substrate mycelium, and
determined by serial dilution plate count method diffusible pigment), on ISP No. 2, ISP No. 3, ISP No. 4, and
(Thompson, 1989; Ravina et al., 1993). Isolation, YS agar media in petridish, microscopic morphology (spore,
identification, and the count of population of microbes used sporangium, aerial mycelium and substrate mycelium)
a selective medium, i.e. Pikovskaya, tauge agar, mannitol (Miyadoh, 2003).
ashby, okon, yema congo red, DPY, PY, Na, LB, TA, etc.
Identification of soil microbes was estimated by morpho-
logy, physiological test, microscopic and chemistry test. RESULT AND DISCUSSION

Isolation, identification and population procedure of bacteria The typical characteristics of soil and vegetation at
Ten grams fresh soil was suspended into 90 ml distilled WBiG influence soil microbes diversity, such as bacteria,
water solution. Mix on wrish action shaker for one hour to fungi and actinomycetes population (table 3, 4, and 5). In an
provide mechanical desegregation of bacterial cell. aerobe condition, bacteria dominated the area and carried
Subsequent dilutions were prepared by manually shaking out some microbiological activities in the soil because fungi
the suspension for 10 seconds to resuspend the soil. Then and actinomycetes could not grow well without oxygen
transfer 1 ml an aliquot with a sterile pipette to 9 ml sterile (Rao, 1994).
distilled water in a test tube. This suspension was shacked Physical and chemical analyses show that, in general,
manually for 10 seconds, and subsequent serial dilutions the soil condition at WBiG is acid with pH range of 4 to 6.
-1 -7
were prepared as method as noted above 10 to 10 . The soil texture is sand clay. According to Rao (1994) the
Spread 0.2 ml of soil suspension from each serial dilution soil texture depended on the percentage of sand, dust, and
onto isolation selective agar medium (Pikovskaya, okon, clay. In the case of sand clay or dust clay, its particles came
manitol ashby, yema congo red, DPY, and PY). The together to form an aggregate. The stability of an aggregate
number of bacteria colony was estimated after 3-7 days of depended on both the content of organic matter in each
incubation at 28oC by plate count method. Pick up the type of the soil (Table 1.) and the nature condition of
colonies to the same isolation medium, 8 strains per microbes which tied the soil particles to become one. Soil
petridish. Select and transfer the different colonies to texture, therefore, is important for microbes and vegetation
nutrient agar or LB (culture collection medium) or selective to survive in their habitat.
agar medium. The isolates of bacteria were identified by
using morphological characteristic as observation of cell
shape by monstaining (coccus, rod, short
rod/filamentous and spore formation), gram,
stain, observation of living cell (motility, spore
formation, and single, paired or chain) (Krieg and Table 1. Soil physic analysis from 11 sites in Wamena Biological Garden.
Holt, 1984).
Soil Soil Texture (%)
Soil color Vegetation
Isolation, identification, and population procedure samples Sand Clay Dust
of fungi 1 Black Imperata cylindrica 18.03 38.06 43.01
Ten grams soil sample was suspended onto 2 Brown Imperata cylindrica 15.65 35.74 48.61
3 Gray Imperata cylindrica 10.89 38.82 49.28
90 ml of distilled water (in erlenmeyer glass),
4 Red Imperata cylindrica 11.51 65.75 22.69
than mix on writh action shaker for one hour at 5 Brown reddish Imperata cylindrica 16.36 43.45 40.19
-1
120 rpm. The soil extract was diluted from 10 to 6 Yellow Imperata cylindrica 17.51 41.42 41.06
10-7 . Spread 0.2 ml soil sample suspension from 7 Lime particle Imperata cylindrica 35.30 16.06 45.61
each serial dilution onto isolation TA medium with 8 Black Pittosporum ramiflorum 5.79 51.37 42.84
o
antibiotic. It was inoculated at 28 C for 3 days. 9 Brown Vaccinium varingiaefolium 16.73 28.01 55.26
Pick up the colonies to the same isolation 10 Brown Castanopsis accuminattisima 20.17 18.56 61.25
medium. Select and transfer the different 11 Dark brown Grevillea papuana 7.38 52.08 40.54
8 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 6-11

Table 2. Soil chemistry analysis from 11 sites of Wamena limestone. There might have been no association
Biological Garden. connection between microbes and local vegetation that the
existence of microbes in the soil is not good. When, an
Soil N P K C Ca association occurs between vegetation and microbes, plant
C/N PH
samples (%) (ppm) (me/100g) (%) (Me/100g)
root exudates macro and micro element to release it into
1 0.25 2.1 0.06 2.76 11.04 32.90 5.26
(m) (l) (v.l) (m) (m) (v.h) (acid) the soil rhizosphere to create a new environment (niche) for
2 0.23 2.7 0.10 2.47 10.74 19.23 4.25 the growth of microorganism (Setiadi, 1989). Looking at the
(m) (l) (l) (m) (l) (h) (acid) number of population in the sample taking area Nos. 1, 4, 6,
3 0.04 1.6 0.13 0.36 9.00 9.73 4.60 11, 12, and 15 it was supposed that association connection
(v.l) (v.l) (l) (v.l) (l) (m) (acid) between vegetation and microbes had taken place.
4 0.06 0.3 0.07 0.62 10.33 9.55 6.05 Therefore, each type of microbe filled a special niche and
(v.l) (v.l) (v.l) (v.l) (l) (m) (acid) played a different role in the nutrient cycle.
5 0.06 0.2 0.07 0.69 11.50 8.88 5.00
Microbes which were potential as bio-fertilizers were
(v.l) (v.l) (v.l) (v.l) (m) (m) (acid)
6 0.05 0.4 0.05 0.51 10.20 9.34 5.25 often found in rhizosphere. This is seen from the
(v.l) (v.l) (v.l) (l) (l) (m) (acid) identification results. Several microbes like Azospirillum,
7 0.03 0.1 0.05 0.36 12.00 9.03 4.65 Azotobacter, Pseudomonas, Aspergillus, and Streptomyces
(v.l) (v.l) (v.l) (v.l) (m) (m) (acid) are potential to become bio-fertilizers or bio-controls. It is
8 0.21 4.8 0.53 2.54 12.10 26.00 5.30 possible, because rhizosphere is rich with biological activity
(m) (l) (m) (m) (m) (v.h) (acid) as microbes feed on the carbon compounds exuded by
9 0.23 3.3 0.26 3.85 16.74 8.82 4.90 root, while organic and inorganic materials released by the
(m) (l) (l) (m) (h) (m) (acid)
plants into the areas (in the form of exudates), will be useful
10 0.22 1.6 0.15 3.12 14.48 9.34 4.35
(m) (v.l) (l) (h) (m) (m) (acid) for life continuity of soil microbes (Setiadi, 1989)
11 0.30 3.9 0.36 3.05 10.17 19.23 4.80
(m) (l) (l) (h) (l) (h) (acid) Bacteria
Bacteria are the most dominant microorganisms in the
Annotation: v.l = very low; l = low; m = moderate; h = high; v.h = soil. They may, perhaps, cover half of the biomass in the
very high soil. Like Table 3., all samples, which were analyzed,
contained bacteria of different population number. In acid
soil type with low to moderate nutrient content, bacteria
The acidity level in soil sample No. 4 with I. cylindrica in population spread unevenly. The result of identification of
it approached normal pH (6.05) followed by element 11 soil types in 16 rhizosphere locations produced 20 genus
contents of N, P, K, C, C/N ratio with a low to moderate Ca (including 10 species). Azospirillum sp., Bacillus sp.,
content, and also did the other soil samples. This shows Pseudomonas sp., Rhizobium sp., Thiobacillus sp., and
that most WBiG area is not fertile. This condition occurs Spaerotillus natans dominated the area. These bacteria are
because the agriculture pattern of the people around WBiG generally found in the soil regardless of the soil condition
is still very simple and inherently dependent on natural soil (Rao, 1994). In the identification results of soil sample
fertility, because rotation system has been being practiced number four and fifteen, a bacterium rarely found in the soil
continuously for a long time, it decreases the soil fertility. was identified, i.e. Escherichia coli. Rao proposed (1994)
Another possibility is that the people of Wamena never use that E. coli was rarely found in the soil, except as a
chemical fertilizers. contaminant or a waste. This happens in the land of
It turned out that the physical and chemical conditions of Wamena owing to the fact that natives live a very simple
the soil did not prevent the existence of microbes in the life. It is probable that they empty the bowels anywhere.
rhizosphere (Table 3, 4, 5). Those tables illustrate the Bacteria can be found in any type of soil but their
results of microbes identification which go as follows: population is varied because of the influence of soil texture
Twenty isolates of bacteria (genus and species), nine and organic substrate in the soil. Bacteria’s ability to survive
isolates of fungi (genus and species) and seven isolates of in favorable ecosystem is due to their character to form
actinomycetes (genus). All these isolates were gotten from spores which have thick strong sheathes to make it easier
soil samples taken from the depth of 0-15 cm under for them to survive in a savage environment. Bacteria can
rhizosphere plants. Thus, soil acidity, soil fertility, soil also stand extreme climate condition although temperature,
texture, vegetation types and perhaps the elevation of area humidity, pH, agriculture practice, fertilizers, pesticide, and
and soil colors (Figure 1.) can influence the variety and the addition of organic matter can influence their population
population of microbes in a rhizosphere. Widawati and (Rao, 1994).
Suliasih (2001) noted, the number of microbes at Halimun
mountain was influenced by the different vegetation type, Fungi
soil pH, and the elevation of area. The composition of The number of fungi in the soil is fewer than those of
population and soil microbes activity were influenced by the bacteria. All fungi have mycelium thread, which are
different climate and vegetation (Jha et al., 1992). On the organized from individual hypha. So, a fungi colony can
other hand the activity of microorganisms is constantly dominate all soil types (RAO, 1994).
changing with temperature, moisture, pH, food supply and Fungi identification results of 11 soil types from 16 sites
other environmental conditions. So, different species prefer at WBiG produced nine genus, including one species
different condition. So, microbes are generally assumed (Aspergillus niger) which dominated several places at
that of the major microbial group’s soil, fungi are tolerant of WBiG. This species is a fungi colony which can be found in
acidity, whereas most bacteria and actinomycetes are many soil types because it has saprophytic character
relative in tolerant (Gunarto, 2000). whose spores can be so easily distributed by air that genus
The microbes population in the out area of rhizosphere can be present everywhere (in the fields, in the prairie, in
was not as numerous as that in the rhizosphere. This can the forest soil and in the degraded land, such as an ex-gold
be seen in soil sample No. 7 (Table3) which contained mine).
WIDAWATI et al. – Soil microbes at Wamena Biological Garden 9

Species domination is also determined


by agriculture activities including crop
plantation (practiced in Wamena) and the
use of chemical fertilizers or pesticides
(not practiced in Wamena). So, it can be
said that fungi is one of the most
important microbes in the soil ecosystem
dynamics, because they function in the
decomposition, mineralization and
organize the migration of soil elements to
plant root (Christensen, 1984 cit Suharna,
1999).
The results of fungi population count
have the same total average (no obvious
difference) (Table 4.). Thus, although a
fungi colony is microbes which is more
resistant to soil acidity, their live hood still
depends on the availability of organic
materials (Soepardi, 1978) and is much
Figure 1. Soil color from 11 sites at Wamena Biological Garden.
influenced by climate, especially soil
moisture content (Sutejo et al., 1991).

Figure 2. One of bacteria type (holozone of Figure 3. One of fungi type (holozone of Figure 4. The one of actinomycetes type
phosphate solubilizing bacteria). phosphate solubilizing fungi).

Table 3. Identification and Population of soil bacteria from 16 sites at Wamena Biological Garden.

The number of soil samples


Microbes identified from soil 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
The number of bacteria (cell/gram soil)
Azospirillum sp. 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+
Azotobacter chrococcum 2+ 2+ 1+ 1+ 1+ 1+
A. paspalii 2+ 2+ 3+ 2+ 1+ 1+ 3+ 1+
Acinetobacter sp. 1+
Bacillus sp. 3+ 3+ 2+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 2+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+
B.panthothenticus 3+ 2+ 3+
Citrobacter sp. 3+ 2+ 2+ 3+ 1+
Chromobacterium violaceum 3+ 2+ 1+ 2+ 1+
C.lividum 2+ 1+ 3+
Escherichia coli 1+ 1+
Flavobacterium sp. 1+ 1+ 1+
F. breve 2+
Klebsiella sp. 1+ 3+ 2+ 1+
K.aerogenes 1+ 2+
Nitrosomonas sp. 3+ 1+ 1+ 3+ 1+ 3+ 3+ 1+
Pseudomonas sp. 2+ 3+
Rhizospbium sp. 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+
Spaerotillus natans 2+ 3+ 2+ 2+ 2+ 1+ 3+ + 3+ 3+ 1+ 3+ 1+
Staphylococcus epidermidis 2+ 1+ 3+ `1+ 2+ 3+ 1+ 3+ 1+ 1+ 1+ 1+
Thiobacillus sp. 2+ 1+ 1+ 3+ 1+ 1+ 1+ 1+ 1+ 2+ 2+ 1+ 2+ 1+ 1+ 1+
™ all bacteria type 11 9 7 11 8 12 6 9 7 8 11 10 6 8 12 7
4 5 6 7 8
Annotation: 1+ = low (10 -10 ), 2+ = moderate (10 ), 3+ = high (10 -10 ). The vegetation of soil sample No.1 to No.11, same as Table 1.
The vegetation of soil sample No.12 to No 16: Imperata cylindrica, Imperata cylindrica, Ipomoea batatas, Castanopsis accuminattisima and
Castanopsis accuminattisima.
10 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 6-11

Table 4. Identification and population of fungi from 16 sites at fungi were resistant to soil acidity, they were not resistant to
Wamena Biological Garden. drought and poor nutrition in the soil. It was the same with
WBiG soil condition. The soil is so acid with low nutrients
Soil content that the number of fungi found was fewer than
Vegetation Species Pop.
samples
those of other microbes like bacteria Rao (1994) said that
1 Imperata cylindrica Aspergillus niger +
2 Imperata cylindrica Bisporomyces sp.. + all environment factors which influenced bacteria and
3 Imperata cylindrica Monilia sp. + actinomycetes migration also influenced the migration of
4 Imperata cylindrica Aspergillus niger + fungi in the soil.
5 Imperata cylindrica Aspergillus niger +
6 Imperata cylindrica Cephalospharium sp. + Actinomycetes
7 Imperata cylindrica Aspergillus niger + Actinomycetes (order Actinomycetales) are a group of
8 Pittosporum ramiflorum Aspergillus niger + prokaryotic organisms belonging to gram-positive bacteria.
9 Vaccinium varingiaefolium Aspergillus niger + Many of them show a branched filamentous growth, and
10 Castanopsis accuminattisima Verticillum sp. +
generally form spores and some actinomycetes even form
11 Grevillea papuana Gliocladium sp. +
12 Imperata cylindrica Penicillium sp. + sporangia and zoospores. It mainly inhibits the soil and
13 Imperata cylindrica Penicillium type A + plays an important ecological role in recycling substances in
14 Ipomoea batatas Penicillium type B + the natural world (Miyadoh, 2003). Identification produced
15 Castanopsis accuminattisima. Nelicocephalum sp. + 6 genus from 16 soil samples, i.e. Mycobacterium,
16 Castanopsis accuminattisima. Cuninghamelle sp. + Nocardia, Micromonospora, Thermoactinomyces
Streptosporangium, Actinomycetes, Thermonospora, and
Streptomyces (Table 5. and 6.). Considering actinomycetes
in the soil was quite plentiful, it was surprising that it was
Table 5. Identification and population of actinomycetes from 16 lack of the number of genus varieties. It is possible that the
sites at Wamena Biological Garden. WBiG’s soil ecosystem is not good enough for
actinomycetes resulting from acid pH and low soil nutrient.
Soil
samples
Vegetation Genus Pop. Most actinomycetes are not tolerant to soil acidity.
1 Imperata cylindrica Streptomyces + The population of actinomycetes will decrease at pH 5.0
2 Imperata cylindrica Streptomyces + (the suitable range is 6.5 to 8.0). Another factor is the
3 Imperata cylindrica Streptosporangium + method of taking the sample. It turned that the soil sample
4 Imperata cylindrica Streptomyces + for identification was different from the soil sample for
5 Imperata cylindrica Nocardia + bacteria and fungi identification (0-15 cm depth). According
6 Imperata cylindrica Nocardia + to RAO (1994), the deeper the soil, the higher was the
7 Imperata cylindrica Streptomyces + percentage of actinomycetes in the total microbes
8 Pittosporum ramiflorum Micromonospora +
population. The increase of the discomposed organic matter
9 Vaccinium varingiaefolium Streptomyces +
10 Castanopsis accuminattisima Streptomyces + would also increase the number of actinomycetes.
11 Grevillea papuana Micromonospora + The identified actinomycetes were common genus, for
12 Imperata cylindrica Thermoactinomyces + example Streptomyces (almost 70%), Nocardia and
13 Imperata cylindrica Streptomyces + Micromonospora (Table 5a), while Streptomyces genus was
14 Ipomoea batatas Streptomyces + often found in the heap of garbage with the temperatures of
15 Castanopsis accuminattisima. Thermomonospora + 55qC to 65qC. Streptomyces species are very common in
16 Castanopsis accuminattisima. Mycobacterium +
soil and responsible for the decomposition and degradation
of natural and synthetic organic. Anonymous (2000) cit
Sembiring (2003), note the genus of Streptomyces
In the acid soil area, dominated by Myristica cylindrica accommodates an unusually high degree of natural
plants, eight fungi isolates were found and were dominated diversity with more than 500 validly described species.
by A. niger. That species and other genus like Nevertheless, a steady flow of new Streptomyces species
Cuninghamella and Penicillium have a wide distribution, are being described to accommodate either organisms
especially in the tropic and subtropics areas (Domsch and isolated from diverse habitat.
Gams, 1980). Then Sutedja (1991) stated that even though

Table 6. Representative characteristics of actinomycetes.

Morphology
Genus Isolates No.
Vegetative cell Aerial mycelium Sporangium Spore Motility
Family Corybacteriaceae
Mycobacterium 16 rod - - - -
Nocardia 5 and 6 mycelia, fr + - long -
Family Micromonosporaceae
Micromonospora 8 and 11 mycelia - - -
Family Streptosporangiaceae
Streptosporangium 3 mycelia + + multi -
Family Thermomonosporaceae
Thermomonospora 15 mycelia + - 1 -
Family Streptomycetaceae
Streptomyces 1,2,4, 7,9,10, 13, 14 mycelia + - long -
Others
Thermoactinomyces 12 mycelia + - 1 -
WIDAWATI et al. – Soil microbes at Wamena Biological Garden 11

CONCLUSIONS Gunarto, I., 2000. Mikroba rhizosfer: potensi dan manfaatnya. Jurnal Litbang
Pertanian 19 (2): 1-20.
Jha, D.K., G.D. Sharma, and R.R Mishara. 1992. Ecology of soil microflora
The result of isolation, identification, and population soil and mycorrhizal symbionts. Biology Fertility Soils 12: 272-278.
microbes in rhizosphere from 16 samples at WBiG showed Krieg, N.R. and J.G. Holt.1984. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology.
that 20 isolates of bacteria (Acinetobacter sp., Azospirillum Vol.1. Baltimore: Williams and Wilkins.
Lestari, Y. 2003. The potential of tropical streptomyces as source of new
sp., Azotobacter paspalii, A. chrococcum, Bacillus sp., and antibacterial compounds. Workshop on Diversity of Actinomycetes for
Bacillus panthothenticus Chromobacterium lividum, C. Natural Conservation and Human Welfare, Bidang Mikrobiologi, Puslit
violaceum, Citrobacter sp., Escherichia coli, Flavobacteri- Biologi, LIPI, Bogor, Indonesia, 1 April 2003.
Miyadoh, S. 2003. Identification Procedure for Bacteria and Actinomycetes.
um sp., Flavobacterium breve, Klebsiella sp., K. aerogenes, Diktat Training. Bogor: JICA kerjasama dengan Bidang Mikrobiologi,
Nitrosomonas sp., Pseudomonas sp., Rhizobium sp., Spae- Puslit Biologi, LIPI.
rotillus natans, Stapilococcus epidermidis, and Thiobacillus Rao, N.S. 1994. Mikroorganism Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi
sp.); nine isolates of fungi (Aspergillus niger, Bisporomyces kedua. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Ravina, M.D., M.J. Acea, T. Carballas. 1992. Seasonal fluctuations in
sp., Cephalospharium sp., Cuninghamella sp., Giocladium micobial populations and available nutrients in forest soil. Biology
sp., Monilia sp., Nelicocephalum sp., Penicillium sp., and Fertility Soils 16: 198-204.
Verticillum sp.); and seven isolates of actinomycetes Sembiring, L. 2003. Streptomyces diversity associated with the rhizozphere
of tropical legume, Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. Workshop on
(Micromonospora, Mycobacterium, Nocardia, Diversity of Actinomycetes for Natural Conservation and Human
Streptomyces, Streptosporangium, Thermomonospora, and Welfare, Bidang Mikrobiologi, Puslit Biologi, LIPI, Bogor, Indonesia, 1
6-
Thermoactinomyces). The population of Azospirillum (10 April 2003.
7 8 9 6- 7 Setiadi. Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganism dalam Kehutanan. Bogor:
10 ), Bacillus (10 -10 ), Rhizobium (10 10 ), Thiobacillus
4 7 4 5 PAU Bioteknologi IPB.
(10 -10 ), Aspergillus niger (10 -10 ), and Streptomyces Soepardi, G.1978. Sifat dan Ciri Tanah 2. Bogor: Fakultas Pertanian IPB.
(104 -105) were founded all of soil samples. Suharna, N. 1999. Pengaruh perendaman di dalam air sebelum pemindahan
terhadap pemulihan biak-biak Monascus spp, yang mengering. Jurnal
Mikrobiologi Tropika 2 (2): 74-80.
Sutedja, M.M., A.G. Kartasapoetra, dan R.D.S. Sastroatmodjo. 1991.
REFERENCES Mikrobiologi Tanah. Bandung: Rineka Cipta.
Thompson, J.P. 1989. Counting viable Azotobacter chroococcum in
Charmichael, J.W., W.B. Kendrick, I.L. Conners, and L. Sigler. 1980. Genera vertisols. Plant and Soil 117: 9-16.
of Hyphomycetes. Edmonton, Alberta: The University of Alberta Press. Widawati, S. and Suliasih. 2001. The population of nitrogen fixing bacteria
Domsch, K.H. and W. Gams. 1980. Compedium of Soil Fungi. Vol. 1. and phosphate solubilizing bacteria in the rhizosphere from Gunung
London: Academic Press. Halimun National Park. Edisi khusus Biodiversitas Taman Nasional
Ellis, M.B. 1993. Dematiaceous hyphomycetes. Surrey-London: IMI, Gunung Halimun. Berita Biologi 5 (6): 691-695.
Bakeham Lane, Egham, Surrey TW20 9TY, UK.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 12-16

Hubungan Kekerabatan Antar Spesies Piper Berdasarkan Sifat


Morfologi dan Minyak Atsiri Daun di Yogyakarta
Relationship of species Piper based on morphological and leaf essential oils
characters in Yogyakarta

PURNOMOƆ, RANI ASMARAYANI


Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 55281.

Diterima: 4 Juli 2004. Disetujui: 31 September 2004.

ABSTRACT

Some of Piper species were used for traditional medicines and condiments. The leaf essential oil (terpenoid) of those Piper species usually
were used as a main component in traditional medicine. The taxonomycal study was aimed to determined Piper species relationships
based on morphological and leaf essential oils characters. The plants were obtained by exploring this province, and samples were collected
for identification and leaf essential oils isolation purposes. Species identification were carried out based on identification key (Backer and
Bakhuizen v.d. Brink, 1965; Heyne, 1987; Shaorong, 1982). The isolation of leaf essential oils was carried out using Stahl destillation
method, and their composition were interpreted with liquid gas chromatography, using caryophyllene and D-pinene as a standard of
essential oils component. Dendrogram, which showed phenetic relationships among those species, were obtained by hierarchical cluster
analysis method. Results of the research showed that there were 8 species found as cultivated plants in Yogyakarta, which were P.
miniatum Bl., P. betle L., P. recurvum Bl., P. aduncum L., P. nigrum L., P. cubeba L.f., P. retrofractum Vahl., and P. sarmentosum Roxb. Ex
Hunter. Relationship between species of Piper based on morphological character showed that P. aduncum and P. sarmentosum at the
same cluster on 69.2% similarity level, and 40.4% similarity level to the other clusters. Relationsips between species of Piper based on leaf
essential oils character resulted the difference cluster among the species, P. retrofractum separated from the other species at 45.5%
similarity level, P. aduncum and P. cubeba indicated the higest similarity level (81.5%).
” 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Key words: relationship, Piper, morphology, leaf essential oils, taxonomic characters.

PENDAHULUAN Spesies Piper dimanfaatkan oleh manusia untuk bahan


ramuan obat tradisional dan rempah-rempah dengan nama
Di daerah tropis dan subtropis terdapat hampir 3000 perdagangan yang beranekaragam. Dua puluh dua (22)
spesies anggota genus Piper (Piperaceae), yang tersebar spesies Piper yang terdaftar dalam bahan ramuan obat dan
mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Dari rempah dunia, antara lain P. aduncum L., P. attenuatum
jumlah tersebut, 108 spesies diantaranya diketahui berasal Miq., P. baccatum Bl., P. bantamense Bl., P. betle L., P.
dari anak benua India (Steenis, 1972; Rostiana et al., 1992; crassipes Korth., P. caducibrachteatum C.DC., P. caninum
Oyen dan Dung, 1999). Di Pulau Jawa, secara taksonomi Bl., P. cubeba L.f., P. decumanum L., P. elongatum Vahl.,
terdapat 23 spesies Piper, yaitu P. baccatum Bl., P. P. fragile Benth., P. guinense Schum.& Thon., P. lanatum
recurvum Bl., P. molissimum Bl., P. muricatum Bl., P. Roxb., P. lolot C.DC., P. longifolium Ruiz & Pavon, P.
polystachyum (Miq.) DC., P. cubeba L.f., P.nigrum L., P. longum L., P. methysticum Forst, P. nigrum L., P.
quinque-angulatum Miq., P. bantamense Bl., P. aduncum retrofractum Vahl., P. saigonense C.DC., dan P.
L., P. hispidum Swart., P. caninum Bl., P. miniatum Bl., P. sarmentosum Roxb. (Heyne, 1987; Perry dan Metzger,
majusculum Bl., P. retrofractum Vahl., P. sarmen-tosum 1980; Oyen dan Dung, 1999).
Roxb. Ex Hunter, P. abbreviatum Opiz., P. sulcatum Bl., P. Konsep spesies dalam klasifikasi dengan bukti
blumei (Miq.) Back., P. cilibrachteum Opiz., P. arcuatum Bl., morfologi, dapat didukung oleh bukti fitokimia, yaitu
P. acre Bl., dan P. betle L. (Backer dan Bakhuizen v.d. senyawa metabolit sekunder termasuk terpenoid.
Brink, 1965). Di wilayah konservasi lereng selatan Gunung Penggunaan sifat kimia untuk memecahkan masalah
Merapi ditemukan 8 spesies anggota Piperaceae yaitu P. taksonomi banyak terbukti, tetapi pada beberapa kasus
aduncum L., P. miniatum Bl., P. rindu C.DC, P. bukti kimia tidak sejalan dengan bukti morfologi sehingga
ungaramense (Miq.) C.DC., Piper sp., Peperomia laevifolia menghasilkan sistematika yang berbeda (Davis dan
(Bl.) Miq., P. tomentosa (Vahl.) A. Dietr., dan Potho-morphe Heywood, 1973; Singh, 1999). Faktor edafik dan klimatik
subpeltata (Willd.) Miq. (Purnomo, 2000). dapat berpengaruh terhadap kuantitas minyak atsiri setiap
atau suatu spesies (Sutarjadi, 1980; Whiffin, 1992),
demikian pula untuk spesies Piper di wilayah Yogyakarta.
j Alamat korespondensi: Karakter kimia spesies Piper yang cukup menonjol
Jl. Sekip Utara Yogyakarta 55281 adalah adanya senyawa minyak atsiri (terpenoid) di daun
Tel. +62-274-580839, 543631, 902272. Fax. +62-274-580839.
e-mail: pakkencur@yahoo.com dan buahnya, sehingga banyak dimanfaatkan sebagai
bahan obat, rempah-rempah, dan bumbu dapur (Oyen dan
PURNOMO dan ASMARAYANI –Kekerabatan Piper di Yogyakarta 13

Dung, 1999). Fakta menunjukan bahwa bau remasan dari HASIL DAN PEMBAHASAN
berbagai spesies Piper memiliki ciri khas masing-masing.
Jenis senyawa (kualitatif) minyak atsiri (metabolt sekunder) Spesies Piper
dapat digunakan sebagai bukti dalam klasifikasi (Jones dan Dari 17 sampel Piper yang didapatkan di Yogyakarta,
Luchsinger, 1986; Hsiao dan Lin, 1995; Wolff et al., 1997). dapat diidentifikasi dalam 8 spesies, yaitu: P. aduncum, P.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penelitian ini sarmentosum, P. cubeba, P. retrofractum, P. nigrum, P.
bertujuan untuk mempelajari spesies Piper dan hubungan recurvum, P. miniatum, dan P. betle. Untuk pengenalan
kekerabatannya, berdasarkan bukti morfologi dan minyak setiap spesies Piper disajikan kunci identifikasi buatan tipe
atsiri di wilayah Yogyakarta. paralel di bawah ini:

Kunci Identifikasi Spesies Piper dari Yogyakarta:


BAHAN DAN METODE 1. a. Batang tegak, memiliki geragih ……...........………………… 2.
b. Batang memanjat, memiliki akar pelekat ………..…………. 3.
Inventarisasi contoh tumbuhan dilakukan berdasarkan
pertimbangan kelengkapan spesimen untuk keperluan 2. a. Bunga majemuk bulir, bulir tegak, sepertiga sampai
identifikasi spesies, untuk kemudian diperlakukan sebagai setengah bagian atas membengkok ke bawah, warna
herbarium kering. Identifikasi spesies Piper dilakukan kuning pucat ......................................…..... P. aduncum L.
b. Bunga majemuk untai, untai tegak atau menjulur
dengan menggunakan kunci identifikasi dari pustaka-
berwarna putih ……….. P. sarmentosum Roxb. Ex Hunter
pustaka: Backer dan Bakhuizen v.d. Brink, 1965; Steenis,
1972; Heyne, 1987; Shaorong, 1982; Katzer,1998, 2001a, 3. a. Arah tumbuh bunga majemuk tegak-menjulur .......……… 4.
2001b; dan Anonim, 2001. Sebanyak 500 gram sampel b. Arah tumbuh bunga majemuk menggantung-bengkok ke
daun segar diambil dari setiap spesies dari habitat yang bawah ...........…………………………………………………. 5.
berbeda dengan tiga ulangan. Isolasi minyak atsiri daun
dilakukan dengan metoda destilasi Stahl dan dianalisis 4. a. Buah apokarp tunggal, bertangkai dengan ujung
dengan kromatografi gas cair, dengan senyawa minyak membulat, permukaan tangkai berbulu, warna jingga kotor
……………………………………………..… P. cubeba L.f.
atsiri standard yaitu caryophyllene dan Į-pinene (Guenter,
b. Buah apokarp majemuk, permukaan gundul, warna
1952; Harborne, 1987; Gardner et al., 2002). Skema merah-merah menyala ......………… P. retrofractum Vahl.
hubungan kekerabatan fenetik dibuat berdasarkan koefisien
asosiasi. Data morfologi meliputi 55 sifat yang 5. a. Bunga majemuk bulir ………………………..... P. nigrum L.
dibandingkan yaitu perawakan, akar, batang, daun, bunga, b. Bunga majemuk untai ......……………………………………. 6.
buah, dan biji, serta sifat fitokimia, yaitu waktu retensi setiap
puncak pada kromatogram. Data dianalisis secara 6. a. Penampang melintang batang pipih beralur … ........………
deskriptif. Selanjutnya dari data kuantitatif ditentukan .................................................................. P. recurvum Bl.
b. Penampang batang bulat ........………………………………. 7.
hubungan kekerabatan fenetik dengan metoda
pengelompokan bertingkat jarak antar spesies (pasangan 7. a. Seluruh tulang cabang muncul pada pangkal ibu tulang
OTUs ditentukan berdasarkan koefisien asosiasi) (Sokal daun .............…….............………………… P. miniatum Bl.
dan Sneath, 1963), dan analisis taksonomi numerik 1
b. Seluruh tulang cabang berpangkal pada /3-½ panjang
dilakukan dengan program SPSS versi 11.0. helaian daun .......………...........………….......... P. betle L.

30% 40% 50% 60% 70% 80%

P. betle

71,2%

P. retrofractum
65,4%
P. recurvum

71,2%

60,6% P. nigrum

P. miristum

63,5%
40,4%
P. cubeba

P. aduncum

69,2%

P. sarmentosum

Gambar 1. Hubungan kekerabatan antar spesies Piper di Yogyakarta berdasarkan sifat morfologi.
14 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 12-16

40% 50% 60% 70% 80% 90%

P. aduncum

81,5%

P. cubeba
77,7%
71,0% P. betle

P. recurvum

64,2% P. miristum

70,0%

45,5% P. nigrum
67,3%
P. sarmentosum

P. retrofractum

Gambar 2. Hubungan kekerabatan antar spesies Piper di Yogyakarta berdasarkan sifat minyak atsiri daun.

Hubungan kekerabatan berdasarkan sifat morfologi (2) beranggotakan dua spesies yaitu P. aduncum dan P.
Analisis kelompok berdasarkan sifat morfologi dari sarmentosum yang berkerabat pada nilai similaritas 69,2%.
spesies Piper di atas, menunjukkan skema hubungan Hubungan kekerabatan antar spesies Piper tersebut
kekerabatan fenetik dalam bentuk dendrogram (Gambar didukung oleh pendapat Singh (1999) yang menyatakan
1.). Dendrogram menunjukkan bahwa antar spesies Piper bahwa koefisien asosiasi pada nilai di atas 60% adalah
dapat dikelompokkan menjadi 2 grup pada nilai similaritas pada tingkatan spesies, sehingga kelompok 1 dan 2 dalam
40,4%, yaitu antara P. betle, P. retrofractum, P. recurvum, dendrogram (koefisien asosiasi 40,4%) besar kemungkinan
P. nigrum, P. miniatum, dan P. cubeba (kelompok 1) sebagai kategori di atas spesies Piper.
dengan P. aduncum, P. sarmentosum (kelompok 2).
Pemisahan ini ditandai terutama pada sifat cara arah Hubungan kekerabatan berdasarkan sifat minyak atsiri
tumbuh batang tegak dan memanjat. Pada kelompok satu Analisis kelompok berdasarkan sifat minyak atsiri,
(1) yaitu P. betle, P. retrofractum, P. recurvum, P. nigrum menunjukan pengelompokan OTUs pada dendrogram yang
berkelompok terhadap P. miniatum, P. cubeba pada nilai berbeda dibandingkan sifat morfologi (Gambar 2.). Dalam
similaritas 60,6%, hubungan kekerabatan terdekat dendrogram tersebut justru P. retrofractum yang secara
berdasarkan sifat morfologi tergambarkan antara P. betle morfologi berkerabat dekat dengan P. betle, berdasarkan
dan P. retrofractum serta P. recurvum dan P. nigrum sifat minyak atsiri menjadi kluster tunggal yang berbeda
dengan nilai similaritas 71,2%, sedangkan P. miniatum dan dengan 7 spesies Piper yang lain, dengan koefisien
P. cubeba pada nilai similaritas 63,5%. Pada kelompok dua asosiasi 45,5%.

P. betle P. retrofractum

Gambar 3. Kromatogram komponen minyak atsiri dari P. betle dan P. retrofractum.


PURNOMO dan ASMARAYANI –Kekerabatan Piper di Yogyakarta 15

P. aduncum P. cubeba

Gambar 4. Kromatogram minyak atsiri dari P. aduncum dan P. cubeba.

P. sarmentosum P. nigrum

Gambar 5. Kromatogram komponen minyak atsiri dari P. sarmentosum dan P. nigrum.

P. recurvum P. miniatum

Gambar 6. Kromatogram komponen minyak atsiri dari P. recurvum dan P. miniatum.


16 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 12-16

Bukti kromatogram minyak atsiri daun menunjukkan kekerabatan spesies Piper berdasarkan sifat morfologi dan
bahwa P. betle ditandai oleh jenis senyawa minyak atsiri minyak atsiri menghasilkan klasifikasi yang berbeda.
dengan waktu retensi 1.075-4.433 menit mendekati waktu Spesies Piper yang berkerabat dekat secara morfologi,
retensi Į-pinene yaitu 1.833 menit, sehingga berkerabat dapat berkerabat jauh berdasarkan minyak atsiri daun.
dekat dengan senyawa tersebut, sedangkan P. retrofractum
ditandai dengan jenis minyak atsiri dengan waktu retensi
13.905-16.558 menit, mendekati waktu retensi UCAPAN TERIMA KASIH
caryophyllene yaitu 14.918 (Gambar 3.) Ketujuh spesies
Piper yang lain menjadi satu kluster dengan koefisien Diucapkan terima kasih kepada Pusat Studi Obat
asosiasi 64,2%, berdasarkan nilai tersebut masih Tradisional (PSOT) UGM Yogyakarta, untuk penggunaan
berkerabat pada tingkat spesies (Singh, 1999). fasilitas laboratorium.
Berdasarkan sifat minyak atsiri, dapat dikatakan bahwa
P. aduncum dan P. cubeba berkerabat terdekat, karena
memiliki persamaan kandungan yang tinggi dengan nilai DAFTAR PUSTAKA
koefisien asosiasi 81,59%. Berkaitan dengan bahan alam,
maka jenis minyak atsiri P. aduncum dapat menjadi Anonim. 2001. Piper aduncum L. http://www.hear.org./pier.
Backer C.A. and R.C. Bakhuizen v.d. Brink. 1965. Flora of Java. Vol. 1.
alternatif pengganti dari salah satu jenis minyak atsiri pada Groningen: N.V.P. Noordhoff.
P. cubeba. Jenis minyak atsiri dengan waktu retensi 17.709 Davis P.H., and V.H. Heywood. 1973. Principle of Angiospermae Taxonomy.
dan 20.945 menit pada kromatogram P. cubeba merupakan Hutington. New York: Robert E. Kreiger Publishing Co. Inc.
pembeda antara kedua spesies Piper tersebut (Gambar 4.). Gardner D.R., M.H. Ralphs, D.L. Turner, and S.L. Welsh. 2002. Taxonomic
implication of diterpene alkaloids in three toxic tall larkspur species
Jenis minyak atsiri tersebut berkerabat dekat dengan (Delphinium spp.).Biochemical Systematic and Ecology 30(2): 77-90.
caryophyllene (waktu retensi 14.918 menit). Guenther, E., 1952. The Essential Oil. Vol. 5. New York: D. von Nostrad Co.
P. recurvum mengelompok dengan P. aduncum dan P. Inc.
Harborne, J.B., 1987. Metode Fitokimia; Penuntun Cara Modern
cubeba dengan nilai persamaan 71% tetapi masih dalam Menganalisis Tumbuhan. Edisi 2. Penerjemah: Padmawinata, K. dan I.
satu kluster, hal ini disebabkan karena perbedaan senyawa Soediro. Bandung: Penerbit ITB.
minyak atsiri dengan waktu retensi 8.65 dan 11.795 menit Heyne K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 1. (Terjemahan).
(P. recurvum), serta 21.067 menit (P. aduncum) mendekati Jakartra: Badan Libang Kehutanan.
Hsiao J.Y. and M.L. Lin. 1995. A Chemotaxonomic study of essential oils
senyawa caryophyllene. Antara P. miniatum, p. nigrum, from the leaves of genus Clerodendrum (Verbenaceae) native to
dan P. sarmentosum membentuk kluster pada nilai Taiwan. Botanical Bulletin of Academica Sinica 36: 247-251.
kesamaan (koefisien asosiasi) 67.3%, dan memisah pada Jones S.B. and A.E. Luchsinger. 1986. Plant Systematics. 2nd edition. New
York: McGraw Hill Publishing Co.
nilai koefisien asosiasi 70% antara P. sarmentosum dengan Katzer, G. 1998. Cubeb Pepper (Piper cubeba L.). http://www-
kluster P. miniatum dan P. nigrum (Gambar 2.), hal ang.kfunigraz.ac.at
tersebut disebabkan karena perbedaan senyawa minyak Katzer, G. 2001a. Pepper (Piper nigrum L.). http://www-ang.kfunigraz.ac.at
atsiri dengan waktu retensi 21.275, 23.367, 28.075 menit Katzer, G. 2001b. Long Pepper (Piper longum L. and P. retrofractum
Vahl.). http://www-ang.kfunigraz.ac.at
mendekati jenis senyawa caryophyllene (Gambar 5 dan 6). Oyen, L.P.A. and N.X. Dung (ed.). 1999. Essential Oil Plants. Bogor: Plant
Antara P. miniatum dan P. nigrum membentuk kluster resources of South-East Asia (Prosea).
dengan nilai koefisien asosiasi 70%, kedua spesies Perry, L.M. and J. Metzger (eds.). 1980. Medicinal Plants of East and
Southeast Asia: Atributed, Properties, and Uses. Mass.: The Mitt Press.
berbeda pada senyawa minyak atsiri dengan waktu retensi Purnomo, S. 2000. Species Anggota Suku Piperaceae di Lereng Selatan
6.838,14.678, dan 23.392 (P. miniatum) (Gambar 5 dan 6), Gunung Merapi. Yogyakarta: Fakultas Biolog UGM.
Pada setiap spesies Piper dengan adanya perbedaan Rostiana, O., S.M.Rosita, dan D. Sitepu. 1992. Keanekaragaman Genotipa
faktor luar di habitatnya, terbukti memiliki perbedaan Sirih (Piper betle L.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1(1):16-17.
Shaorong, H. 1982. Piperaceae: Piper sarmentosum.
terutama nilai kuantitas dari jenis minyak atsiri. Hal ini http://www.mobot.mobot.org.
sesuai dengan pendapat Whiffin (1992), bahwa perbedaan Singh G. 1999. Plant Systematics. New Hampshire: Science Publisher, Inc.
tersebut terjadi karena adanya variasi kimia yang Sokal, R.R. and P.H.A. Sneath. 1963. Principle of Numerical Taxonomy. San
Fransisco: W.H. Freeman and Co.
merespons terhadap perbedaan faktor luar di habitatnya. Steenis, C.G.G.J. van (ed.). 1972. Flora Malesiana. Series 1:
Spermatophyta. Vol.5. Groningen: Wolters-Noordhoff Pubvlishing.
Sutarjadi. 1980. Penelitian Taksonomi dan Fitokimia. Surabaya: Universitas
KESIMPULAN Airlangga.
Whiffin, T. 1992. Variation in chemical characters. Field Lecture and Practical
Work of Taxonomy of Tropical Tree Species: Chemotaxonomicl
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa di wilayah Approach for Genetic Diversity Inventory. Bogor: LIPI.
Yogyakarta ditemukan 8 spesies Piper yaitu: P. aduncum, Wolff, R.L., L.G. Deluc, and A.M. Marpeau. 1997. Chemotaxonomic
differentiation of conifer families and genera based on the seed oil fatty
P. sarmentosum, P. cubeba, P. retrofractum, P. nigrum, P. acid composition: mulvariate analysis. Trees 12 (2): 57-65.
recurvum, P. miniatum, dan P. betle. Hubungan
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 17-21

Keanekaragaman dan Penggunaan Jenis-jenis Bambu di


Desa Tigawasa, Bali
Diversity and utilization of bamboo species in Tigawasa Village, Bali

IDA BAGUS KETUT ARINASAj


UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI. Tabanan, Bali 82191.

Diterima: 11 Maret 2004. Disetujui: 7 Juni 2004.

ABSTRACT

Tigawasa is one of the famous traditional villages as a center of bamboo handicraft in Buleleng regency-Bali. As a center of bamboo
handicraft its have been wrestled since centuries. Their peoples have done traditionally bamboo conservation surrounding their house and
garden too. The marginal area, river flow area and stiff slope that are outskirts of village become to focus of bamboo conservation by their
peoples, too. This research conducted at Tigawasa village in June 2003 by stripe and interview methods. Two kilometers stripe length by
50 meters width; follow the direction north south of the river was investigated. To know the utilization of kind of bamboo and their product
conducted by interview to craftsman and community figure. The result of inventory knew about four genus consist of 19 species planted in
this village. To know those bamboo species will be presented their key of determination. The genus of Gigantochloa and Schizostachyum
to dominate of their species, and have many uses of it’s, also. Not less than 54 kind of bamboos handicraft product was produced in this
village. The diversity of bamboos handicraft product, develop according progress of the technology and demand of period. Many of new
products composed and use of color or paint develop to produce varieties of fixed product. Two-kind of product that is traditional boxes
(“sokasi”) handicraft and woven bamboo (“bedeg”) to become this village famous at Bali, even though in foreign countries Energetic
development of bamboos home industry to come to decrease stock of raw materials. About two trucks supply from east Java regularly to
anticipation of decrease local stock of raw materials every week.
” 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: inventory, utilization, bamboo species, Tigawasa village, Bali.

PENDAHULUAN Bali, pembuatan sokasi mempergunakan jenis-jenis bambu


buluh dan untuk pembuatan gedeg mempergunakan jenis
Desa Tigawasa adalah sebuah desa tradisional bambu tali dan bambu bali. Sekalipun pada umumnya
(“Baliaga”) yang sangat terkenal sebagai salah satu pusat hampir semua bambu dapat digunakan untuk anyaman,
kerajinan anyaman bambu di Kabupaten Buleleng-Bali. tetapi di desa Tigawasa setiap bambu mempunyai peran
Desa ini berjarak sekitar 19 km sebelah barat kota utama masing-masing pada jenis produk anyaman tertentu.
Singaraja dan 97 km sebelah utara Denpasar, terletak pada Sesuai dengan kemajuan teknologi dan tuntutan jaman,
ketinggian 500-700 m dpl. dan tofografi daerah berbukit. produk anyaman bambu semakin beraneka ragam. Muncul
Jumlah penduduknya 4.608 jiwa, sebagian besar mata motif-motif baru dan pemakaian warna sebagai penghias
pencahariannya sebagai perajin anyaman bambu (Anonim, produk. Selain menggunakan motif khas Bali, motif dari luar
1999). Sampai saat ini belum pernah ada laporan juga diadopsi. Demikian juga disamping mempergunakan
inventarisasi dan penggunaan jenis bambu yang sudah pewarna alami, beraneka warna cat meramaikan produk
dikonservasi atau tumbuh secara alami untuk menunjang yang dihasilkan (Suanda, 1995).
usahanya. Bambu ditanam di pekarangan, tegalan dan Pesatnya pemasaran industri rumah tangga berbahan
pada lahan marginal, sejak berabad-abad yang lalu. Tepian baku bambu menyebabkan berkurangnya persediaan
sungai yang bertopografi miring hingga curam juga bahan baku. Tegakan bambu lokal yang ada tidak mampu
merupakan tempat penanaman bambu. memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Sekitar dua
Hasil kerajinan anyaman bambu yang terkenal dari desa truk bambu buluh setiap minggu didatangkan secara rutin
ini adalah sokasi dan gedeg. Sokasi (sejenis bakul bertutup dari Jawa timur untuk mengatasi kekurangan bahan baku
khas ala Bali) dibuat dari bambu bali (Gigantochloa sp.) dan (Ardana, 1996).
bambu tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H.Schultes) Kurz.
Gedeg yang khas dan kaya variasi dibuat dari jenis-jenis
bambu buluh seperti: Schizostachyum lima (Blanco) Merr., BAHAN DAN METODE
Schizostachyum zollingeri Steud. dan Schizostachyum
castaneum Widjaja. Berbeda dengan desa-desa lainnya di Penelitian ini dilakukan di desa Tigawasa, Kecamatan
Banjar, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, tanggal 2-7 Juni
2003. Metode jalur digunakan untuk inventarisasi jenis-jenis
bambu, sedangkan untuk mengetahui penggunaan jenis-
j Alamat korespondensi:
Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191.
jenis bambu oleh masyarakat, menggunakan metode
Tel. & Fax.: +62-368-21273. wawancara. Wawancara dilakukan dengan perajin dan
e-mail: arinasa04@hotmail.com tokoh masyarakat setempat.
18 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 17-21

Jalur penelitian dibuat sepanjang dua kilometer antara jenis satu dengan jenis lainnya. Tabel 1 di atas
mengikuti sungai yang terletak disebelah timur desa yang menunjukkan bahwa beberapa jenis bambu dengan nama
membujur arah Utara-Selatan. Inventarisasi dilakukan daerah berbeda masih dikelompokkan dalam satu jenis. Hal
terhadap semua bambu yang tumbuh atau ditanam selebar ini menarik untuk diteliti lebih lanjut dari sisi taksonomi,
masing-masing 25 m dikanan kiri sungai tersebut. Jenis- namun sulit pelaksanaannya karena adanya beberapa
jenis yang belum diketahui namanya, dibuat spesimen kendala antara lain sulit mendapatkan bunganya untuk
herbariumnya untuk keperluan identifikasi (Dransfield and keperluan identifikasi. Untuk mengatasi kendala taksonomi
Widjaja, 1995). disarankan untuk melaklukan identifikasi dengan
mempergunakan sistem molekuler. Kebutuhan bambu oleh
masyarakat terus meningkat sehingga memaksa harus
HASIL DAN PEMBAHASAN ditebang sebelum waktunya.
Gigantochloa dan Schizostachyum merupakan marga
Hasil inventarisasi yang dilakukan sepanjang jalur bambu-bambuan terbesar masing-masing dengan delapan
penelitian, diketahui sebanyak 19 jenis dari empat marga dan enam jenis dimana didalamnya terdapat takson yang
bambu terdapat di desa Tigawasa (Tabel 1). Bali sampai oleh masyarakat lokal dapat dibedakan. Tidak menutup
saat ini mempunyai 36 jenis bambu dan sekitar 50% kemungkinan akan muncul jenis-jenis baru bila identifikasi
merupakan jenis introduksi (Arinasa dan Widjaja, 2003), sistem molekuler dapat dikerjakan.
sedangkan di Indonesia sampai saat ini memiliki 143 jenis Tabel 1 menunjukkan bahwa sekitar 63% (12 jenis)
bambu (Widjaja, 2001). bambu dianggap asli karena sudah dimiliki sejak nenek
Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa kehidupan moyang menghuni desa ini sebelum masa pemerintahan
sosial budaya masyarakat desa sangat menyatu dan tidak Kerajaan Majapahit. Ini membuktikan betapa menyatu
bisa lepas dari bambu, seperti juga masyarakat pedesaan kehidupan masyarakatnya dengan bambu yang masih
lainnya di Indonesia (Sastrapradja dkk., 1997). Hampir digelutinya hingga sekarang. Sebanyak 37% (7 jenis)
semua penduduk yang mempunyai lahan, baik di bambu lainnya adalah jenis introduksi yang dimasukkan
pekarangan maupun di tegalan ditanami bambu. Tidak satu beberapa dasa warsa terakhir dengan tujuan untuk
pun jenis bambu luput dari nama sekalipun hanya nama penganekaragaman jenis. Penanaman bambu juga
daerah (lokal). Penduduk setempat tahu betul membedakan dimaksudkan sebagai usaha masyarakat untuk konservasi
tanah dan air.
Tabel 1. Hasil inventarisasi jenis-jenis bambu di desa Tigawasa. Berdasarkan hasil inventarisasi
diketahui jumlah seluruh rumpun
Nama Jenis Nama Daerah Ket. yang ada pada jalur penelitian adalah
1. Bambusa blumeana J.A.& J.H. Schult Tiing gesing, ori I
2.160 rumpun. Diameter rumpun
2. Bambusa maculata Widjaja Tiing tutul I berkisar antara 0,15-5 m dan jarak
3. Bambusa vulgaris var.striata Tiing ampel gading I antar rumpun rata-rata 5 m. Buluh
4. Bambusa vulgaris Schrad.ex Wendl Tiing ampel gadang I taluh dan buluh lengis (S. lima) paling
5. Dendrocalamus asper (Schult.) Backer ex Heyne Tiing petung A banyak terdapat dalam jalur
6. Gigantochloa apus (J.A. & J.H.Schultes) Kurz Tiing tali A penelitian dengan jumlah 324 rumpun
7. Gigantochloa cf. manggong Tiing jelepung A (15%), sedangkan yang paling sedikit
8. Gigantochloa hasskarliana (Kurz) Backer ex Heyne Tiing katak A ditanam adalah tiing gesing/ori (B.
9. Gigantochloa nigrociliata (Buse) Kurz Tiing tabah I
10. Gigantochloa sp. 1 Tiing soret A
blumeana) yaitu sebanyak 43 rumpun
11. Gigantochloa sp. 2 Tiing bali A (1,9%). Jenis bambu yang terdapat di
12. Gigantochloa sp. 3 Tiing lidi, Tiing klotok, A desa Tigawasa termasuk populasi
Tiing mambang, sepuluh besar dari 19 jenis yang
13. Gigantochloa sp. 4 Tiing kedampal A ditemukan (Tabel 2).
14. Schizostachyum brachycladum Kurz Tiing tambling A
Tiing tamblang gading Kunci identifikasi
15. Schizostachyum castaneum Widjaja Buluh kedampal I Untuk mengetahui lebih lanjut
16. Schizostachyum lima (Blanco) Merr. Buluh taluh, A
Buluh lengis
tentang marga dan jenis bambu
17. Schizostachyum silicatum Widjaja Buluh A dilakukan identifikasi (Arinasa dan
18. Schizostachyum sp. Buluh gading A Widjaja, 2003), khususnya yang
19. Schizostachyum zollingeri Steud. Buluh batu I terdapat di desa Tigawasa. Berikut ini
Keterangan: A = asli, indigenous; I = introduksi, non-native. disajikan kunci identifikasi marga dan
jenis bambu hasil inventarisasi di
desa tersebut sebagai berikut:
Tabel 2. Jenis-jenis bambu yang termasuk populasi sepuluh besar.
Bambusa
Populasi
Nama Jenis Nama Daerah
(%)
Bambu simpodial dengan batang
1. Schizostachyum lima Buluh taluh, buluh lengis 15 yang tegak. Daun pelepah buluh yang
2. Gigantochloa apus Tiing tali 10 tegak atau terlekuk balik, kuping
3. Gigantochloa sp. 2 Tiing bali 9 pelepah buluh khas seperti berlekuk
4. Gigantochloa sp. 3 Tiing lidi, tiing mambang, tiing klotok 8 dan berbulu. Percabangan dengan
5. Schizostachyum castaneum Buluh kedampal 6,3 sebuah cabang primer lebih dominan
6. Dendrocalamus asper Tiing petung 5,5 diikuti oleh satu sampai beberapa
7. Gigantochloa hasskarliana Tiing katak 4,5 cabang sekunder dan beberapa
8. Gigantochloa nigrociliata Tiing tabah 4,5
cabang yang lebih kecil tumbuh dari
9. Schizostachyum zollingeri Buluh batu 4,5
10. Bambusa maculata Tiing tutul 4,5 pangkalnya.
ARINASA-Bambu dI Tigawasa, Bali 19

1. a. Buluh berduri pada pangkalnya ..… Bambusa blumeana 4.a. Kuping pelepah buluh mencolok ....… Gigantochloa sp. 4
b. Buluh tanpa duri …………………….….…………………2 b. Kuping buluh tanpa bulu …… Gigantochloa cf. manggong
2. a. Buluh hijau mengkilat sampai hijau dengan garis-garis 5.a. Pelepah buluh gugur ….............………………….…….…6
kuning ...................................…………………..…………..3 b. Pelepah buluh melekat .………………….………..………7
b. Buluh hijau dengan hanya garis garis kuning pada buluh
yang lebih rendah, buluh hitam keungu-unguan …………4
3. a. Buluh hijau mengkilat ……..………… Bambusa vulgaris 6.a. Kuping pelepah buluh dengan ujung melengkung kedalam,
b. Buluh hijau dengan garis-garis kuning .............................. kuping tanpa bulu …………… Gigantochloa hasskarliana
.............................................. Bambusa vulgaris var. striata b. Kuping pelepah daun tanpa ujung tambahan, kuping
4.a. Buluh hitam keungu-unguan, kuping pelepah buluh dengan bulu yang panjang……….....… Gigantochloa serik
membulat ….....................……………………. Bambusa sp. 7.a. Kuping pelepah buluh dengan bulu yang tersebar ……..…
b. Buluh hijau dengan spot-spot coklat kehitaman ….…..…… ...................................…………………. Gigantochloa apus
………………....................................… Bambusa maculata b. Pelepah buluh dengan lekukan kecil dengan ujung tam-
bahan melengkung ke dalam ...... Gigantochloa nigrociliata
Dendrocalamus
Bambu simpodial, buluh tegak. Pelepah buluh dengan Schizostachyum
daun pelepah terlekuk balik, kuping pelepah buluh berlekuk, Bambu simpodial, tegak, percabangan 1,5 m di atas
berbulu pada tepinya, ligula dengan bulu-bulu halus. tanah, masing-masing buku mendukung cabang-cabang
Percabangan dengan sebuah cabang primer yang dominan hampir sama besarnya. Pelepah buluh melekat atau gugur,
dengan satu sampai beberapa cabang sekunder dan daun pelepah buluh tegak sampai terlekuk balik. Daun-
beberapa cabang yang lebih kecil yang tumbuh dari daun dengan atau tanpa kuping yang selalu mempunyai
pangkal. Buluh muda dengan bulu-bulu beludru berwarna coklat bulu yang panjang.
pada bagian lebih bawah yang akan luruh bila semakin tua. Daun-
daunnya dengan kuping pelepah buluh yang kurang menarik 1.a. Daun pelepah buluh tegak …………………..……………. 2
perhatian dan gundul, ligulanya setengah melingkar ....................... b. Daun pelepah buluh terlekuk balik ..…....……………… 4
…………………….................................…… Dendrocalamus asper 2.a. Panjang daun pelepah buluh lebih panjang dari pada
lebarnya, kuping lebih kecil ………...............................… 3
Gigantochloa b. Panjang daun pelepah buluh sepanjang lebarnya atau
Bambu dengan buluh tegak, Pelepah buluh dengan kuping lebih pendek dari pada lebarnya, kuping lebih besar
pelepah buluh yang kurang menarik hingga kuping pelepah buluh .......... .………..……………........ Schizostachyum zollingeri
yang kecil, gundul hingga berbulu panjang, daun pelepah buluh 3.a. Daun pelepah buluh menyegitiga dengan pangkal yang
tegak hingga terlekuk balik, kebanyakan tertutupi oleh bulu-bulu melebar, kuping berlekuk 2 - 3,5 mm ……………….……
yang berwarna coklat tua hingga hitam. …………............................. Schizostachyum brachycladum
b. Daun pelepah buluh menyegitiga dengan pangkal yang
1.a. Buluh berwarna hijau dengan garis-garis kuning ...……. menyempit, kuping berlekuk kurang dari 2 mm ………
..... ..….. ... ….……………..............… Gigantochloa sp. 1 ...............……………………… Schizostachyum castaneum
b. Buluh berwarna hijau tanpa garis-garis kuning ……… 2 4.a. Pelepah buluh ditutupi oleh bulu-bulu berwarna coklat,
2.a. Ujung pelepah buluh mendatar …….……....................... 3 buluh dibawah, buku ditutupi oleh bulu-bulu berwarna
b. Ujung pelepah buluh meruncing …….. Gigantochloa sp. 2 coklat, tidak licin ….........………. Schizostachyum silicatum
3.a. Kuping pelepah buluh berdiri tegak ……………………… 4 b. Pelepah buluh ditutupi oleh bulu-bulu berwarna coklat
b. Kuping pelepah buluh kurang menarik perhatian ..……… memadat, buluh dibawah buku ditutupi oleh bulu-bulu
………...........................................……. Gigantochloa sp. 3 keputihan, memadat, licin …............. Schizostachyum lima

Penggunaan jenis-jenis bambu


Hasil wawancara dengan para perajin
dan tokoh masyarakat desa
menunjukkan bahwa setiap jenis bambu
Tabel 3. Penggunaan jenis-jenis bambu untuk berbagai macam kerajinan.
memiliki banyak fungsi, namun biasanya
Fungsi
terdapat satu jenis kerajinan yang
Nama jenis Nama daerah Kegunaan menjadi peran utamanya, sehingga
Utama Lain
1. Bambusa blumeana Tiing gesing, ori Katir jukung ¥ menjadikan satu jenis bambu tertentu
Wadah/ bade ngaben ¥ hanya baik digunakan untuk produk
Bubu ikan ¥ kerajinan tertentu seperti terlihat pada
Sayur/rebung ¥ Tabel 3.
Bambu dapat digunakan untuk
2. Bambusa maculata Tiing tutul Mebelair ¥ berbagai kerajinan, tiing tali (G. apus)
Hiasan rumah ¥ termasuk salah satu jenis bambu yang
Bingkai foto ¥
sangat fleksibel dapat digunakan untuk
Bumbung jangkrik ¥
Sanan/pemikul ¥ beberapa keperluan. Hal yang sama juga
dijumpai di daerah lain seperti Tabanan
3. Bambusa vulgaris Tiing ampel Hiasan rumah ¥ dan Karangasem (Arinasa dkk. 2003).
var.striata gading Wadah/bade ngaben ¥ Secara khusus bambu ini mempunyai
Mebelair ¥ peran utama dalam pembuatan rumah
Sayur/rebung ¥ sederhana. Sebagian besar komponen
rumah dapat dibuat dari bambu ini, mulai
4. Bambusa vulgaris Tiing ampel Rumah sederhana ¥ dari tiang, dinding, kaso hingga peralatan
gadang Sanan/pemikul ¥
dapur. Karena kegunaannya yang
Kulkul/kentongan ¥
Sayur/rebung ¥ banyak maka bambu ini menempati
urutan kedua sebanyak 216 rumpun
(10%) dari total rumpun yang ada.
20 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 17-21

Tabel 3. Penggunaan jenis-jenis bambu untuk berbagai macam kerajinan (lanjutan). Kelompok buluh taluh dan buluh
lengis (S. lima) sekalipun penggunaan-
Fungsi nya tidak sebanyak tiing tali namun
Nama jenis Nama daerah Kegunaan
Utama Lain buluhnya paling banyak dibutuhkan.
5. Dendrocalamus Tiing petung Rumah sederhana ¥ Bambu ini mempunyai kegunaan
asper Gambang (kesenian) ¥ khusus untuk membuat gedeg kualitas
Katir jukung ¥ terbaik, suatu anyaman khas yang
Lom/bom ¥ menjadikan desa Tigawasa sangat
Tingklik (kesenian) ¥
Kulkul/kentongan ¥
populer di Bali. Berbagai motif
Sayur/rebung ¥ dikembangkan dan dengan buluh
pilihan, anyaman ini laris dibeli
6. Gigantochloa apus Tiing tali Tali ¥ sehingga mengakibatkan kekurangan
Usuk/kaso ¥ bahan baku. Tiing bali
Rumah sederhana ¥ (Gigantochloa sp. 2) mempunyai dua
Sokasi ¥ peran utama, namun peran utamanya
Kuskusan ¥ yang terkenal adalah sebagai bahan
Lampid ¥
baku sokasi. Sokasi Tigawasa sangat
Keranjang ¥
Paboan ¥ terkenal karena anyaman ini kaya jenis
Nyiru ¥ dan juga kaya motif, mulai dari ukuran
Dompet ¥ besar-kecil, fungsi, bentuk anyaman
Guungan/sangkar ayam ¥ dan variasi warna yang digunakan.
Penarak/bakul ¥ Penggunaan buluh agar memberikan
Sangkar burung ¥ kualitas anyaman terbaik ditentukan
oleh umur buluh. Secara tradisional
7. Gigantochloa cf Tiing jelepung Rumah sederhana ¥
perajin menentukan umur buluh untuk
manggong Klakah/atap ¥
Bangul/panjatan ¥ ditebang yaitu pada umur dan tahap
maikut sesapi ujung bambu telah mulai
8. Gigantochloa Tiing katak Ketekung/tali pengikat mayat ¥ bercabang dan beberapa daun sudah
hasskarliana Jerat binatang ¥ mekar sempurna atau umur 6-12 bulan,
Tali ¥ tergantung jenis bambu. Ada beberapa
Penarak/bakul ¥ jenis bambu lain yang dapat digunakan
Sayur/rebung ¥ untuk sokasi namun memberikan
kualitas nomor dua.
9. Gigantochloa Tiing tabah Gerantang (kesenian) ¥
Menurut Sumantera (1995)
nigrociliata Gedeg ¥
Penarak/bakul ¥ beberapa sarana upacara adat di Bali
Pagar ¥ seperti Sekah, Sunari, Tumpang salu
Sayur/rebung ¥ memerlukan jenis bambu khusus dan
tidak boleh diganti dengan jenis lainnya.
10. Gigantochloa sp. 1 Tiing soret Rumah sederhana ¥ Sekah adalah simbolis dari badan kasar
Bangul/panjatan ¥ manusia dalam upacara Ngaben di Bali
Pagar ¥ mempergunakan bambu buluh gading
(Schizostachyum sp) yang sudah tua.
11. Gigantochloa sp. 2 Tiing bali Sokasi ¥
Sunari adalah semacam seruling sakral
Wadah/bade ngaben ¥
Bangul/panjatan ¥ yang dibuat dari tiing tamblang gading
Penarak/bakul ¥ (S. brachycladum), dengan memberi
Suih/sirak ¥ beberapa lubang sedemikian rupa pada
Joli ¥ bagian atasnya, bila ditiup angin akan
Pura sederhana ¥ mengeluarkan suara merdu, sebagai
Paboan ¥ sarana pengundang Dewata dalam
Dompet ¥ upacara Pengabenan. Tumpang salu
Sangkar burung ¥
yang berfungsi sebagai sarana tempat
Usungan mayat ¥
mayat atau leluhur dalam upacara
12. Gigantochloa sp. 3 Tiing lidi Palit jan/anak tangga ¥ Pengabenan juga, mesti dibuat dari
Penjor ¥ tiing ampel gading (B. vulgaris
Gedeg ¥ var.striata) yang sudah tua.
Tiang poak ¥ Kelakah adalah sejenis atap
Tiing mambang Sokasi ¥ sementara dibuat dari tiing jelepung (G.
Asagan ¥ cf.manggong) dan tiing mambang
Tiing klotok Klakah/atap ¥ (Gigantochloa sp. 3) dengan cara
Pura sederhana ¥
membelah dua, dan sekat bukunya
Jan/tangga ¥
Tali ¥ dihilangkan. Kelakah dipasang
tengadah dan telungkup saling
13. Gigantochloa sp. 4 Tiing kedampal Asagan ¥ menutupi. Kelakah dari tiing jelepung
Gedeg ¥ lebih kuat dan bisa tahan hingga lima
Usuk/kaso ¥ tahun bila dibandingkan dengan jenis
mambang.
ARINASA-Bambu dI Tigawasa, Bali 21

Tabel 3. Penggunaan jenis-jenis bambu untuk berbagai macam kerajinan (lanjutan). Tiing tutul (B. maculata) akhir-akhir
ini banyak dibutuhkan untuk pembuatan
Fungsi mebelair seperti meja dan kursi. Bambu
Nama jenis Nama daerah Kegunaan
Utama Lain ini disenangi karena coraknya yang
14. Schizostachyum Tiing tambling, Tempat nira ¥ artistik berkat adanya totol-totol warna
brachycladum Tiing tamblang Sokasi ¥ coklat kehitaman sepanjang buluhnya.
gading Sunari (kesenian) ¥ Penggunaan lainnya untuk bingkai foto
Hiasan rumah ¥ dan hiasan rumah. Tiing ampel gading
Sayur/rebung ¥
(B. vulgaris var. striata) adalah jenis
15. Schizostachyum Buluh kedampal Usuk/kaso ¥ bambu kedua yang banyak digunakan
castaneum Sokasi ¥ karena warna kuning dan strip hijaunya
Gerantang (kesenian) ¥ yang kontras menghasilkan produk
Gedeg ¥ yang memikat. Berbeda dengan
Ancak/pengaman liang lahat ¥ ditempat lain seperti Gianyar banyak
Sayur ¥ memerlukan tiing petung hitam (D.
Sumbu/pemetik buah ¥ asper) untuk pembuatan produk ini,
namun di daerah ini belum
16. Schizostachyum Buluh taluh Sokasi ¥
lima Semat/penjahit janur ¥ dimanfaatkan.
Gedeg ¥ Semat adalah batang bambu yang
Ancak/pengaman liang lahat ¥ dibilah kecil berfungsi untuk merangkai
Gedeg ¥ janur baik untuk upacara Agama
Sokasi ¥ (jejahitan) atau upacara lainnya, hampir
Buluh lengis Suling (kesenian) ¥ setiap hari digunakan. Tidak semua
Ancak/pengaman liang lahat ¥ ¥ jenis bambu dapat digunakan untuk
Sayur/rebung ¥ semat, karena bambu yang digunakan
untuk semat harus spesifik yaitu mudah
17. Schizostachyum Buluh Semat/penjahit janur ¥
silicatum Gedeg ¥ patah, dapat dibilah hingga kecil dan
Sayur/rebung ¥ kuat. Apabila tidak memenuhi syarat
seperti itu maka hasil jejahitan tidak
18. Schizostachyum sp. Buluh gading Sekah/upacara ngaben ¥ akan menghasilkan seni yang tinggi.
Pales/tiang pancing ¥ Bambu buluh (S. silicatum) adalah
Sayur/rebung ¥ penghasil semat yang paling bagus,
Klikis/tiang tanaman ¥ disusul oleh buluh taluh (S. lima).
19. Schizostachyum Buluh Batu Tinjeh/rangka atap alang-alang ¥
zollingeri Gedeg ¥
Sokasi ¥ KESIMPULAN
Ancak/pengaman liang lahat ¥
Sayur/rebung ¥ Hasil inventarisasi menunjukkan
bahwa di desa Tigawasa-Buleleng
terdapat 19 jenis bambu (12 jenis asli
dan 7 jenis introduksi). Kehidupan
sosial budaya masyarakat Tigawasa
telah menyatu dengan bambu sejak
berabad-abad. Semua jenis bambu (19
jenis) menghasilkan 54 jenis kerajinan.

DAFTAR PUSTAKA Sastrapradja, S., E.A. Widjaja, S. Prawiroatmodjo, S. Soenarko, 1977.


Beberapa Jenis Bambu. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
Anonim, 1999. Monografi Desa Tigawasa. Singaraja: Bagian Suanda, IW. 1995. Pameran Anyaman Tradisional Bali. Denpasar: Bagian
Pemerintahan Desa Setwilda Tk.II Buleleng-Bali. Proyek Pembinaan Permuseuman Bali, Departemen Pendidikan dan
Ardana, I.B. 1996. Data Bali Membangun. Denpasar: Bappeda Tingkat I Bali. Kebudayaan.
Arinasa, I.B.K., N. Sudiatna, N. Swirta 2003. Laporan Penelitian dan Sumantera, IW. 1995. Bamboo in Balinese Rituals. Dalam: Rao, I.V.R. and
Eksplorasi Flora di Kabupaten Karangasem. Candikuning: UPT Balai C.B. Sastry (Eds).. Bamboo,People and the Environment. Proceedings
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bali-LIPI. of the Vth International Bamboo Workshop and the IV International
Arinasa, I.B.K, E.A.Widjaja, 2003. Bamboo Diversity in Bali. Seminar Bamboo Congress. Ubud-Bali, 19-22 June 1995.
International Botanical Garden Congress. Candikuning, 15-18 Juli 2003. Widjaja, E.A. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Bogor: Balai
Dransfield, S. and E. A. Widjaja, 1995. Plant Resources of South-East Asia Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense-LIPI.
7. Bamboos. Leiden: Backhuys Publisher.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 22-30

Keanekaragaman Palem (Palmae) di Gunung Lumut,


Kalimantan Tengah
Diversity of palms (Palmae) in Gunung Lumut, Central Kalimantan

JOKO RIDHO WITONO1,2,j


1
Pusat Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16122.
2
Laboratory of Plant Chromosome and Gene Stock, Graduate School of Science, Hiroshima University, 1-4-3 Kagamiyama, Higashi-
Hiroshima City, Japan, 739-8526

Received: 30 November 2004. Accepted: 26 Desember 2004.

ABSTRACT

Kalimantan is one of biodiversity centers in Indonesia, especially for commercial timbers such as dipterocars and commercial non timbers,
such as orchids, ferns, and palms. One of the biodiversity centers in Kalimantan is Gunung Lumut. Gunung Lumut is located in Barito Utara
Regency, Central Kalimantan. The area is proposed as conservation area (world natural heritage) by local government, because its
biodiversity richness and also water reserve. Biodiversity surveys on plants and animals have been done by Indonesian Institute of
Sciences staff cooperation with the Local government since 2002 to get some data for that purposed. Based on the survey on palms taxa,
Gunung Lumut has 33 species of palms in 11 genera. There are Calamus 8 species, Daemonorops 7 species, Plectocomia 1 species,
Korthalsia 6 species, Ceratolobus 2 species, Eugeissona 1 species, Oncosperma 1 species, Pinanga 4 species, Iguanura 1 species,
Arenga 1 species, and Licuala 1 species.
” 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Key words: palms, Gunung Lumut, Kalimantan, world natural heritage.

PENDAHULUAN kehilangan 50% jenis dan jika 99% habitat hilang, maka
75% jenis akan hilang (Primarck et al., 1998).
2
Kalimantan yang mencakup sekitar 73% (539.460 km ) Salah satu area hutan di Kalimantan yang memiliki
dari Borneo, merupakan salah satu pulau yang memiliki keanekaragaman tumbuhan yang tinggi adalah Gunung
keanekaragaman jenis tumbuhan dan hewan yang tinggi. Di Lumut. Hutan di Gunung Lumut mencakup area seluas
Kalimantan diperkirakan terdapat 10.000-15.000 jenis kurang lebih 30.000 ha, yang mencakup dua Propinsi yaitu
tumbuhan berbunga, 3.000 jenis merupakan jenis pohon Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Menurut
(267 jenis merupakan jenis endemik), 146 jenis rotan, 2.000 MacKinnon et al. (1996), Gunung Lumut telah diusulkan
jenis anggrek, dan 1.000 jenis paku-pakuan (Dransfield, sebagai area konservasi. Hal ini ditindaklanjuti dengan
1992; MacKinnon et al., 1996). Keanekaragaman tumbuhan upaya Pemerintah Kabupaten Barito Utara yang ingin
yang demikian besar terancam oleh adanya aktivitas menjadikan kawasan tersebut sebagai World Natural
manusia yang memanfaatkan sumberdaya alam tersebut Heritage. Pada saat dilaksanakannya ekspedisi, Gunung
secara tidak berkelanjutan. Pada tahun 1968, diperkirakan Lumut berstatus hutan lindung yang pengelolaannya
luas hutan Kalimantan 77% dari luas daratan. Tahun 1984 dilakukan oleh Dinas Kehutanan. Gunung Lumut
menurun menjadi 73% dari luas daratan, dan pada tahun merupakan kawasan lindung yang terletak pada
1990 luas hutan berkurang lagi menjadi 63%. Penurunan pegunungan bawah mulai dari ketinggian 615-840 m dpl.
area hutan terutama disebabkan karena adanya eksploitasi Kondisi topografi umumnya berbukit dengan kemiringan
kayu dan konversi lahan menjadi daerah perkebunan, rata-rata sekitar 40-50%, jenis tanah umumnya latosol
pertanian, dan pemukiman. Selain itu, luasan hutan makin dengan seresah yang tebal terutama di daerah cekungan
berkurang secara drastis dengan seringnya kebakaran atau pertemuan dua bukit. Vegetasi didominasi oleh jenis-
hutan yang terjadi di Kalimantan. Berkurangnya kawasan jenis tumbuhan terutama dari suku Dipterocarpaceae,
hutan di Kalimantan, akan diikuti dengan berkurangnya Myrtaceae, Euphorbiaceae, dan Arecaceae (Palmae).
populasi maupun keanekaragaman jenis tumbuhan. Palem merupakan kelompok tumbuhan yang menarik,
Menurut teori species-area relationships, jika 50% dari areal dari aspek keanekaragaman jenis. Palem pada umumnya
hutan rusak, sekitar 10% jenis tumbuhan yang hidup di area berupa pohon atau semak, bervariasi dalam ukuran mulai
tersebut akan punah. Jika 90% habitat rusak, area akan dari 25 cm sampai 60 m, bervariasi pula bentuk daun, akar,
perbungaan, buah, maupun biji. Tumbuh tunggal atau
berumpun, bercabang atau tidak, pleonantik atau
j Alamat korespondensi: hapaksantik. Dari sekitar 576 jenis (46 marga) palem yang
x Laboratory of Plant Chromosome and Gene Stock, Graduate School ada di Indonesia, 216 jenis (29 marga) di antaranya
of Science, Hiroshima University, 1-4-3 Kagamiyama, Higashi- merupakan jenis-jenis endemik (Mogea dan Witono, 1999).
Hiroshima City, Japan, 739-8526. e-mail: witono@hiroshima-u.ac.jp; Di Kalimantan diperkirakan terdapat 200 jenis (27 marga),
x PKT Kebun Raya Bogor, Jl.Ir. H.Juanda 13, Bogor 16122. Tel. +62-
251-352519. Fax.: +62-251-322187. e-mail: jrwitono@yahoo.com 16 jenis di antaranya (7 marga) merupakan endemik.
WITONO – Palmae di Gunung Lumut Kalimantan Tengah 23

Jenis-jenis palem di dalam kawasan Gunung Lumut Persebaran: Thailand bagian selatan, Semenanjung
belum pernah dilaporkan sampai saat ini. Dalam ekspedisi Malaya, Singapura, Sumatera, Jawa, Kalimantan, sampai
gabungan yang dilakukan oleh peneliti LIPI, staf Dinas Palawan. Di Gunung Lumut ditemukan pada hutan
Kehutanan, staf Bapedalda Kabupaten Barito Utara, Dipterocarpaceae terutama pada ketinggian 800 m dpl
pemuka adat, dan masyarakat lokal pada tanggal 15 dalam populasi yang kecil.
September s.d.  Oktober 2003 diperoleh informasi Catatan: Di Gunung Lumut, C. javensis mirip dengan C.
tentang keanekaragaman tumbuhan, khususnya palem di flabellatus namun jenis tersebut daunnya lebih kusam dan
kawasan ini. jika telah kering berwarna hitam. Di Sulawesi juga terdapat
jenis yang mirip dengan C. javensis, yaitu C. minahassae,
namun jenis ini memiliki daun yang kaku seperti kertas.
BAHAN DAN METODE
Calamus blumei Becc. (Rotan seel brakung)-JW 291
Penelitian dilakukan dengan metode random sampling Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 11: 340
sepanjang jalur ekspedisi dan penelitian menuju puncak (1908) dan Appendix 63 (1913); Dransfield dalam Man.
Gunung Lumut, yang tercakup dalam kawasan Hutan Ratt. Malay. Pen. 192 (1979), Ratt. Sabah 134 (1984), &
Lindung Gunung Lumut dan area HPH PT. Indexim Utama Ratt. Sar. 149 (1992).
Corp (IUC.), Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Selatan. Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 10 m, Diameter
Setiap jenis palem yang belum diketahui nama jenisnya batang sampai 2 cm (tanpa pelepah 1-1,2 cm), panjang
dibuat herbarium untuk identifikasi lebih lanjut. Beberapa ruas sampai 25 cm. Pelepah hijau pucat, kadang-kadang
jenis yang materialnya lengkap, dibuat koleksi untuk ditutupi oleh bintik-bintik berwarna kuning-keabu-abuan,
disimpan di Herbarium Bogoriense dan dikirimkan ke duri jarang, panjang sampai 3 mm. Lutut tampak jelas.
herbarium lain di luar negeri, yaitu: Kew Herbarium, Inggris Selaput bumbung sampai 2 cm, warna coklat tua. Flagellum
dan Fairchild Tropical Garden (FTG) Herbarium, Miami, sampai 160 cm. Panjang daun sampai 70 cm, tangkai daun
Florida, Amerika Serikat. Beberapa material yang sampai 30 cm; helaian daun 6 di tiap sisi di sepanjang
menghasilkan buah yang masak, dikoleksi untuk ditanam di tulang daun, bentuk belah ketupat, tangkai pendek, ukuran
Kebun Raya Bogor. Pelaksanaan koleksi, pencatatan sampai 20x7,5 cm.
karakter morfologi, dan pelabelan dilakukan di lapangan. Persebaran: Sumatera, Semenanjung Malaysia, sampai
Pengepresan dan pemberian spiritus dilakukan di Borneo. Di Gunung Lumut terdapat mulai hutan
basecamp, yaitu: Camp Mandala, Camp Sungai Merah, dan Dipterocarpaceae dataran rendah sampai pegunungan
Camp Petak 14 K. Ketiga basecamp tersebut berada di dengan ketinggian 800 m dpl.
dalam kawasan HPH PT. Indexim Utama Corp. (IUC). Catatan: Semua individu yang ditemukan di lokasi
Proses selanjutnya yang meliputi, penggantian kertas berada dalam keadaan steril (tidak menghasilkan bunga
koran, pengepresan, pengeringan, dan identifikasi dan buah) dan anakan sulit ditemukan. Berdasarkan bentuk
dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bogor.
Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan palem di Gunung Lumut.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Calamus javensis Bl. (JW 290)
Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan di Hutan 2. Calamus blumei Becc. (JW 291)
3. Calamus paspalanthus Becc. (JW 292)
Lindung Gunung Lumut dan kawasan hutan di HPH PT. 4. Calamus flabelloides Becc. (JW 294)
Indexim Utama Corp (IUC) (HPH yang berbatasan dengan 5. Calamus laevigatus Mart. var. Laevigatus (JW 296)
Gunung Lumut), Barito Utara terdapat 33 jenis palem, yang 6. Calamus ornatus Bl.
termasuk dalam 11 marga (Tabel 1.). Pertelaan, 7. Calamus scipionum Lour.
persebaran, dan beberapa catatan lain akan dijelaskan 8. Calamus sp. (JW 309)
pada bagian di bawah ini: 9. Daemonorops korthalsii Bl. (JW 286)
10. Daemonorops fissa Bl. (JW 306)
Calamus 11. Daemonorops cristata Becc. (JW 315)
12. Daemonorops sabut Becc. (JW 293)
Calamus javensis Bl. (Uway soke)-JW 290 13. Daemonorops didymophylla Becc. (JW 287)
Blume dalam Rumphia 3: 63 (1847); Beccari dalam Ann. 14. Daemonorops sp. (JW 289)
Roy. Bot. Gard. Calcutta 11: 185 (1908); Dransfield dalam 15. Daemonorps sp. (JW 305)
Man. Ratt. Malay Pen. 198 (1979), Ratt. Sabah 136 (1984), 16. Plectocomia mulleri Bl. (JW 288)
dan Ratt. Sar. 153 (1992). 17. Korthalsia echinometra Becc. (JW 310)
Calamus filiformis Becc., dalam Ann. Roy. Bot. Gard. 18. Korthalsia rostrata Bl.
Calcutta 11: 186 (1908). 19. Korthalsia rigida Bl. (JW 299)
Calamus javensis var. acicularis Becc. dalam Ann. Roy. 20. Korthalsia robusta Bl.
21. Korthalsia flagellaris Miq. (JW 308)
Bot. Gard. Calcutta 11: 185 (1908). 22. Korthalsia hispida Becc. (JW 304)
Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 15 m, diameter 23. Ceratolobus discolor Becc. (JW 301)
batang sampai 0,5 cm (tanpa pelepah sampai 0,3 cm). 24. Ceratolobus subangulatus (Miq.)
Panjang ruas sampai 25 cm. Panjang daun sampai 50 cm; 25. Eugeissona utilis Becc.
pelepah daun hijau muda, ketika muda berwarna hijau 26. Oncosperma horridum (Griff.) Scheff.
kemerahan, berduri segitiga pipih, duri hijau kekuningan, 27. Pinanga mooreana J. Dransf. (JW 298)
panjang duri 0,3-0,5 cm. Tidak bertangkai daun atau sangat 28. Pinanga aristata (Burret) J. Dransf. (JW 300)
pendek, terdiri atas 5 helaian daun di tiap sisi tulang daun, 29. Pinanga patula Bl.
30. Pinanga sp. (JW 303)
berbentuk bulat memanjang, tipis, agak keriput, helaian 31. Iguanura macrostachya Becc. (JW 307)
daun paling pangkal biasanya memeluk batang. Panjang 32. Arenga distincta Mogea (JW 314)
flagellum/cemeti sampai 75 cm. Steril. 33. Licuala bidentata Becc. (JW 297)
24 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 22-30

helaian daun, C. blumei mirip C. rhomboideus Bl. yang pucat, berduri segitiga, kadang-kadang tidak berduri. Lutut
terdapat di Jawa dan Sumatera. Beberapa jenis yang tampak jelas. Selaput bumbung jarang berkembang.
daunnya berbentuk belah ketupat di Borneo, seperi C. Panjang daun sampai 110 cm, tidak bertangkai daun, daun
tomentosus, C. rhomboideus, C. slootenii, dan C. paling pangkal memeluk batang, panjang cirus sampai 50
penibukanensis dimasukkan ke dalam C. blumei, karena cm, helaian daun 20 di tiap sisi tulang daun, tersusun tidak
tidak terdapat perbedaan karakter morfologi yang signifikan teratur, berbentuk linier sampai bulat memanjang, di bagian
(Dransfield, 1984). pangkal terdapat 8 helaian daun di tiap sisi, berpasangan
dan tersusun rapat, di bagian atas biasanya berkelompok
Calamus paspalanthus Becc.-JW 292 dalam 2-4. Steril.
Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 11: 295 Persebaran: Borneo, Semenanjung Malaya, dan
(1908); Dransfield dalam Man. Ratt. Malay Pen. 157 (1979), Sumatera. Jenis ini terdapat di hutan Dipterocarpaceae
Ratt. Sabah 130 (1984), dan Ratt. Sar. 146 (1992), pada area HPH PT. IUC di ketinggian sekitar 225 m dpl.
Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 10 m, biasanya
tumbuh merayap di atas tanah dan menghasilkan akar Calamus ornatus Bl.
pada ruas yang bersentuhan dengan tanah. Diamater Blume dalam Rumphia 3: 58 (1847); Beccari dalam Ann.
batang sampai 3 cm (tanpa pelepah sampai 1,25 cm). Roy. Bot. Gard. Calcutta 11: 368 (1908); Dransfield dalam
Panjang ruas sampai 15 cm. Pelepah hijau kecoklatan, Man. Ratt. Malay Pen. 201 (1979), Ratt. Sabah 150 (1984),
berduri rapat, tegak, panjang duri sampai 5 cm. Lutut dan Ratt. Sar. 163 (1992).
tampak jelas, menggembung. Selaput bumbung Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 30 m, diameter
berkembang baik, bergaris, mudah pecah, dan berbentuk batang sampai 7 cm (tanpa pelepah sampai 4 cm), panjang
seperti kertas. Flagellum sampai 400 cm. Panjang daun ruas sampai 25 cm. Pelepah daun hijau tua, berduri
sampai 180 cm, panjang tangkai sampai 20 cm, tulang segitiga, ukuran sampai 3x1 cm, berwarna hijau
daun tertutup oleh rambut-rambut halus yang berwarna kekuningan, bagian pangkal berwarna hitam. Lutut terlihat
kecoklatan, helaian daun 60 di tiap sisi tulang daun, jelas, selaput bumbung pendek. Panjang flagellum sampai
tersusun teratur dan rapat, berbentuk linear, berduri kecil di 15 m, hijau tua, berduri pendek warna hitam. Panjang daun
bagian permukaan bawah. Perbuahan panjang, sampai 400 sampai 4 m, panjang tangkai sampai 75 cm, jumlah helaian
cm. Diameter buah sampai 1,6 cm, berwarna coklat daun 20-30 di tiap sisi tulang daun, warna hijau pucat,
kemerahan. tersusun teratur, bentuk bulat memanjang. Steril.
Persebaran: Borneo dan Semenanjung Malaya. Di Persebaran: Borneo, Jawa, Sumatera, Semenanjung
Gunung Lumut ditemukan pada ketinggian sekitar 700 m Malaya, Thailand bagian selatan, Philippina, dan Sulawesi.
dpl, sedangkan di areal HPH PT. IUC pada ketinggian 225 Jenis ini terdapat di di area HPH PT. IUC terutama di hutan
m dpl. Jenis ini pada dua daerah tersebut sedikit berbeda Dipterocarpaceae campuran sampai ketinggian 500 m dpl.
secara morfologi, di ketinggian 225 m secara umum Catatan: Secara morfologi memiliki kemiripan dengan C.
berukuran lebih besar. scipionum.
Catatan: C. paspalanthus memiliki ciri yang spesifik
terutama bentuk dan panjang duri di pelepah yang Calamus scipionum Lour. (Rotan semambu)
berdekatan dengan tangkai daun. Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 11: 317
(1908); Dransfield dalam Man. Ratt. Malay Pen. 203 (1979),
Calamus flabelloides Furtado (Uway peles)-JW 294. Ratt. Sabah 150 (1984), dan Ratt. Sar. 166 (1992).
Dransfield dalam Man. Ratt. Malay Pen. 195 (1979) dan Pertelaan: berumpun, memanjat, tinggi sampai 30 m.
Ratt. Sabah 145 (1984). Diameter batang sampai 3 cm (tanpa pelepah sampai 2
Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 15 m, Diameter cm). Pelepah daun hijau tua, berduri segitiga, tersusun
batang sampai 0,8 cm (tanpa pelepah sampai 0,4 cm), jarang, berbentuk segitiga, berwarna hijau kekuningan,
panjang ruas sampai 40 cm. Pelepah daun hijau tua, duri bagian pangkal berwarna hitam, panjang sampai 5 cm.
berbentuk segitiga sampai 1,5 cm. Lutut tampak jelas, sela- Ruas panjang, biasanya sampai 50 cm. Lutut terlihat jelas,
put bumbung tidak berkembang. Panjang flagellum sampai selaput bumbung biasanya pendek. Panjang flagellum
90 cm. Panjang daun sampai 30 cm, tidak bertangkai daun sampai 7 m, berduri hitam. Panjang daun sampai 2 m,
atau sangat pendek; helaian daun 3-4 di tiap sisi tulang panjang tangkai sampai 30 cm, helaian daun 25 di tiap sisi
daun, bagian pangkal memeluk batang, bagian ujung tulang daun, tersusun teratur, bentuk linier sampai bulat
bergabung sepanjang 1/3 sampai 2/3 bagian. Steril. memanjang, bagian ujung berduri tipis. Steril.
Persebaran: Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Persebaran: Borneo, Sumatera, Semenanjung Malaya,
Borneo. Jenis ini terdapat di hutan Dipterocarpaceae pada Thailand bagian selatan, dan Palawan. Jenis ini terdapat di
area HPH PT. IUC dataran rendah, terutama pada area HPH PT. IUC pada hutan Dipterocarpaceae dataran
ketinggian sekitar 225 m dpl. rendah yang telah terganggu pada ketinggian sekitar 225 m
Catatan: Pada fase juvenil, seringkali C. flabelloides dpl.
hanya memiliki sepasang daun, setelah flagellum terbentuk Catatan: Jenis ini termasuk rotan berbatang besar,
dan mulai memanjat, diikuti perubahan bentuk daun. selain C. ornatus. Pada fase juvenil, C. scipionum sulit
dibedakan dengan C. ornatus.
Calamus laevigatus Mart. var. laevigatus-JW 296.
Martius dalam Hist. Nat. Palm. 3: 339 (1853); Man. Ratt. Calamus sp.-JW 309
Malay Pen. 138 (1979), Ratt. Sabah 102 (1984), dan Ratt. Pertelaan: berumpun, memanjat, tinggi sampai 10 m.
Sar. 103 (1992). Diameter batang sampai 1 cm (tanpa pelepah sampai 0,5
Calamus retrophyllus Becc. dalam Ann. Roy. Bot. Gard. cm). Ruas panjang sampai 40 cm, pelepah berwarna hijau
Calcutta 11 (Suppl.): 123 (1913). pucat, berduri segitiga, tersusun jarang dan tidak teratur,
Pertelaan: tunggal, memanjat, tinggi sampai 10 m, panjang sampai 1 cm. Lutut tampak jelas, selaput bumbung
diamater batang sampai 1 cm (tanpa pelepah sampai 0,4 berkembang baik, berbentuk serabut. Panjang sampai 175
cm), panjang ruas sampai 15 cm. Pelepah daun hijau cm, panjang tangkai sampai 15 cm, cirus sampai 90 cm.
WITONO – Palmae di Gunung Lumut Kalimantan Tengah 25

Helaian daun 8-9 di tiap sisi tulang daun, bentuk bulat masak, bagian luar biasanya berduri rapat, duri sama
memanjang, tersusun tidak teratur. Steril. seperti pada pelepah, banyak terdapat bercak-bercak
Persebaran: Di Gunung Lumut, terutama ditemukan di berwarna coklat. Buah masak berukuran sampai 2 cm, biji
hutan Dipterocarpaceae campuran pada lereng bukit yang berdiamater sampai 1,3 cm, endosperm memamah.
berdekatan dengan aliran sungai kecil. Populasi jenis ini Persebaran: Borneo (endemik). Di Gunung Lumut
bersifat lokal, populasi terbanyak pada ketinggian sekitar terdapat di punggung bukit hutan Dipterocarpaceae
700 m dpl. campuran pada ketinggian 900 m dpl.
Catatan: Identifikasi sampai pada tingkat jenis sulit Catatan: Jenis ini berkerabat dekat dengan D.
dilakukan karena dalam keadaan steril. Berdasarkan melanochaetes dan D. angustifolia. Jenis ini oleh Furtado
publikasi rotan di Borneo, jenis ini tidak memiliki kemiripan (1953) dimasukkkan dalam kelompok cymbospatha, bagian
morfologi dengan jenis lain yang telah diterbitkan. dalam perbungaan tetap tertutup oleh seludang
perbungaan meskipun buah telah masak.
Daemonorops
Daemonorops korthalsii Bl. (Rotan semele)-JW 286 Daemonorops cristata Becc.-JW 315
Blume dalam Rumphia 3: 23 (1847); Beccari dalam Ann. Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1): 190
Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1): 148 (1911); Dransfield (1911).
dalam Ratt. Sabah 63 (1984). Pertelaan: berumpun, batang pendek, tinggi sampai 2
Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 4 m. Diameter m. Diameter batang sampai 3 cm (tanpa pelepah sampai
batang sampai 3 cm (tanpa pelepah 1,5 cm). Panjang ruas 1,5 cm). Panjang ruas sampai 10 cm, Pelepah daun hijau,
sampai 15 cm. Pelepah daun hijau tua, berduri hitam berduri tajam, warna coklat sampai hitam, panjang sampai
sampai 3 cm, kadang-kadang terdapat bercak berwarna 2 cm. Lutut tidak tampak jelas. Panjang daun sampai 320
coklat pada pelepah yang masih muda, duri di sekitar mulut cm, panjang tangkai sampai 80 cm, cirus sampai 90 cm.
pelepah tegak dan lebih besar dibandingkan dengan bagian Tangkai daun berduri panjang, tersusun rapat, berbentuk
yang lain. Lutut tampak jelas, selaput bumbung tidak segitiga, tajam. Helaian daun sampai 40 di tiap sisi tulang
berkembang. Panjang daun sampai 270 cm, panjang daun, tersusun teratur. Perbuahan tegak, seludang tipis,
tangkai sampai 50 cm, cirus sampai 100 cm. Tangkai daun tidak berduri. Buah muda bulat, berwarna hijau, biji bulat,
berduri panjang, duri terbatas pada permukaan atas dan diameter sampai 1 cm.
kadang-kadang dalam barisan di bagian tepi. Susunan Persebaran: Borneo (endemik). D. cristata ditemukan di
helaian daun menyirip, terdiri atas 45 helaian daun di tiap areal HPH PT. IUC pada ketinggian sekitar 200 m dpl.
sisi tulang daun, tersusun teratur, ukuran sampai 35x1,5 dalam populasi yang kecil dan bersifat lokal.
cm. Perbungaan menjanggut, panjang sampai 40 cm, Catatan: Jenis ini lututnya tidak tampak jelas dan
seludang primer segera luruh pada saat antesis, duri berduri rapat dan panjang baik pada pelepah maupun
tersusun dalam kelompok, rakila bunga betina sampai 6 tangkai daun.
cm, seludang berukuran kecil; rakila bunga jantan pendek,
panjang sampai 3 cm. Buah masak bulat telur, ukuran Daemonorops sabut Becc. (Rotan duru)-JW 293
1,5x1 cm, warna coklat muda. Biji ovoid, datar/rata pada Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1):
dua sisi, endosperm memamah. 1811 (1911); Dransfield dalam Man. Ratt. Malay Pen. 109
Persebaran: Borneo (endemik). Di Gunung Lumut (1979), Ratt. Sabah 59 (1984), dan Ratt. Sar. 69 (1992).
terdapat di hutan Dipterocarpaceae sampai ketinggian 700 D. annulata Becc. dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta
m dpl. 12 (1): 174 (1911).
Catatan: D. korthalsii termasuk anggota Daemonorops D. pseudomirabilis Becc. dalam Ann. Roy. Bot. Gard.
hystrix kompleks. Secara morfologi, jenis ini terpisah karena Calcutta 12 (1): 179 (1911).
adanya duri yang tumbuh terbatas pada bagian pelepah D. turbinate Becc. dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta
dan beberapa duri di sekitar mulut pelepah daun. 12 (1): 225 (1911).
Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 15 m, diameter
Daemonorops fissa Bl. (Rotan kijang, Siit telaus)-JW 306. batang sampai 3 cm (tanpa pelepah sampai 1,5 cm),
Blume dalam Rumphia 3: 17 (1849); Beccari dalam Ann. panjang ruas sampai 15 cm. Pelepah hijau kekuningan, duri
Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1): 65 (1911); Dransfield tersusun melingkar, luruh jika telah tua/kering, warna hitam
dalam Ratt. Sabah 51 (1984) dan Ratt. Sar. 43 (1992). kecoklatan, panjang 1-6 cm; lutut berkembang. Panjang
Pertelaan: berumpun, memanjat, tinggi sampai 8 m. daun sampai 250 cm, panjang tangkai sampai 40 cm, cirus
Diamater batang sampai 2,5 cm (tanpa pelepah sampai sampai 100 cm; tangkai daun bagian bawah berduri hitam,
1,25 cm), panjang ruas sampai 15 cm; bergetah putih. tersusun terpisah atau dalam kelompok, terdiri atas 20
Pelepah daun hijau kecoklatan, duri hitam, panjang 1-2 cm, helaian daun di tiap sisi tulang daun, tersusun dalam
terpisah-pisah atau dalam kelompok, sebagian tersusun kelompok 3-6 helaian. Perbungaan jantan berwarna kuning,
horizontal atau membulat; banyak terdapat bercak- menggantung.
bercak/bulu-bulu berwarna coklat. Lutut berkembang baik, Persebaran: Borneo dan Semenanjung Malaya. Jenis ini
berduri seperti pada pelepah. Selaput bumbung tidak terdapat di areal HPH PT. IUC pada hutan Dipterocarp-
berkembang. Panjang daun sampai 270 cm, panjang aceae campuran pada ketinggian sekitar 300 m dpl.
tangkai sampai 40 cm dan cirus sampai 1 m; tangkai daun Catatan: Secara morfologi, D. sabut hampir sama
biasanya berduri dalam kelompok, duri segitiga pendek di dengan D. formicaria. Kedua jenis ini dibedakan berdasar-
sepanjang bagian tepi; helaian daun sampai 60 tiap sisi kan bentuk dan susunan helaian daun. Pada D. formicaria,
tulang daun, tersusun rapat, teratur, linear, ukuran sampai bentuk helaian daun linear dan tersusun teratur, sedangkan
40x1,5 cm, berduri halus di sepanjang tepi daun sampai 5 D. sabut berbentuk bulat memanjang dan tersusun dalam
nervi pada permukaan atas maupun bawah. Perbungaan kelompok.
jantan dan betina sama, tegak pada saat antesis, panjang
sampai 50 cm, bagian dalam tertutup rapat oleh seludang Daemonorops didymophylla Becc. (Rotan jernang,
perbungaan, biasanya tetap menempel sampai buah Uway jeranang)-JW 287
26 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 22-30

Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1): 123 Persebaran: Di Gunung Lumut, terdapat di daerah
(1911); Dransfield dalam Man. Ratt. Mal. Pen. 90 (1979), punggung bukit yang menuju ke puncak pada hutan
Ratt. Sabah 53 (1984) dan Ratt. Sar. 43 (1992). campuran Dipterocarpaceae ke hutan Myrtaceae di
Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 15 m, diameter ketinggian 950 m dpl.
batang sampai 2,5 cm (tanpa pelepah sampai 1,25 cm), Catatan: Berdasarkan hasil identifikasi, jenis ini mirip
panjang ruas sampai 30 cm. Pelepah daun hijau tua, dengan D. hystrix yang banyak tumbuh di Jawa. Perbeda-
berduri mengelompok, kadang-kadang merata, duri annya terletak pada panjang daun dan karakter buah. Pada
berwarna abu-abu sampai hitam, panjang antara 0,4-2,5 D. hystrix, panjang daunnya hanya mencapai 120 cm dan
cm, bagian pangkal kuning. Lutut tampak jelas. Panjang buahnya tidak pernah menghasilkan zat pewarna. Oleh
daun sampai 270 cm, tangkai daun sampai 35 cm, dan karena itu, penulis menarik kesimpulan sementara bahwa
cirus sampai 100 cm. Tangkai daun biasanya membulat spesies ini dimasukkan dalam D. hystrix kompleks.
pada bagian pangkal, berduri pendek berwarna kekuningan
pada permukaan bawah. Helaian daun sampai 20 di tiap Plectocomia
sisi tulang daun, tersusun menyilang berhadapan, kadang- Plectocomia mulleri Bl.-JW 288
kadang teratur, ukuran sampai 35x3,5 cm, kadangkala Blume dalam Rumphia 3: 71 (1847); Beccari dalam Ann.
sampai 40x2 cm, berambut di sepanjang tepinya. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2): 30 (1918); Dransfield
Perbungaan pendek sampai 20 cm, perbungaan jantan dan dalam Man. Ratt. Malay Pen. 59 (1979), Ratt. Sabah 34
betina biasanya sama, pada percabangan pertama segera (1984), dan Ratt. Sar. 216 (1992); Madulid dalam Kalikasan
luruh pada saat antesis. Tangkai perbungaan dan cabang 10: 55 (1981).
pertama berduri dengan sebagian membentuk kelompok, Pertelaan: berumpun, memanjat sampai 20 m; diameter
duri sampai 0,5 cm, rakila dan bunga tertutup oleh bulu- batang sampai 3 cm (tanpa pelepah sampai 1,3 cm),
bulu halus yang berwarna merah kecoklatan. Buah ovoid, panjang ruas sampai 20 cm. Pelepah daun tidak berlutut,
ukuran sampai 2,5x2 cm. Biji ovoid, beberapa bagian warna hijau keabu-abuan, susunan duri teratur dalam
datar/rata, endosperm memamah. barisan, panjang sampai 2 cm. Panjang daun sampai 4 m.
Persebaran: Borneo, Sumatera, Semenanjung Malaya, Susunan helaian daun tidak teratur, biasanya dalam
dan Thailand bagian selatan. Di Gunung Lumut, terdapat di kelompok, tiap kelompok terdiri atas 2-5, permukaan atas
punggung bukit pada hutan Dipterocarpaceae campuran berwarna hijau tua, bagian bawah berwarna hijau
pada ketinggian sampai 900 m dpl. keputihan. Steril.
Catatan: D. didymophylla mudah diidentifikasi dari Persebaran: Borneo dan Semenanjung Malaya. Di
ketidakteraturan susunan helaian daun, bentuk tangkai Gunung Lumut ditemukan pada punggung bukit yang
daun yang membulat merupakan karakter yang konsisten. menuju puncak gunung.

Daemonorops sp. (Rotan kehes)-JW 289 Korthalsia


Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 10 m, batang Korthalsia echinometra Becc. (Rotan semut)-JW 310
bergaris berwarna kecoklatan. Diameter batang sampai 1 Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2): 115
cm (tanpa pelepah sampai 0,5 cm), panjang ruas sampai (1918). Dransfield, Man. Ratt. Mal. Pen. 47 (1979), Kew
10 cm, warna hijau, berduri jarang, berbentuk segitiga, Bull. 36: 188 (1981), Ratt. Sabah 22 (1984), dan Ratt. Sar.
pendek, berwarna hijau kehitaman. Panjang daun sampai 28 (1992).
80 cm, panjang tangkai sampai 2 cm, panjang cirus sampai Pertelaan: berumpun, batang bercabang, tinggi sampai
45 cm. Terdiri atas 13 helaian daun di tiap sisi tulang daun, 20 m. Diameter batang sampai 2,5 cm (tanpa pelepah 1,5
helaian daun berbentuk bulat memanjang sampai bulat cm), panjang ruas sampai 15 cm. Pelepah hijau terang,
telur, susunan daun teratur, perbuahan pendek, seludang selaput bumbung menggelembung, berisi semut, ukuran
tidak luruh meskipun buah telah tua, warna buah jingga sampai 10x5 cm, berduri hitam dengan panjang mencapai 5
kecoklatan, diamater 1 cm, diameter biji 0,8 cm, endosperm cm. Panjang daun sampai 175 cm, cirus sampai 75 cm,
memamah. tangkai daun sampai 10 cm. Jumlah helaian daun sampai
Persebaran: Di Gunung Lumut terdapat di punggung 25 di tiap sisi tulang daun, bulat memanjang, bergerigi di
bukit yang menuju puncak. sekitar ujung helaian daun, ukuran sampai 30x3 cm,
Catatan: Jenis ini mirip dengan C. laevigatus, berdasar- permukaan atas berwarna hijau tua, permukaan bawah
kan bentuk batang dan daun serta susunan helaian daun. hijau keputihan seperti kapur.
Namun setelah melihat perbuahan dan bentuk buah, jenis Persebaran: Sumatera, Semenanjung Malaya bagian
ini termasuk dalam genus Daemonorops karena seludang selatan, sampai Borneo. Di Gunung Lumut dan area HPH
perbungaan tetap menempel meskipun buah telah tua dan PT. IUC terdapat dalam populasi yang besar terutama pada
seludang cabang perbungaan tidak ditemukan. ketinggian 300-600 m dpl., dan dapat ditemukan di hampir
semua lokasi.
Daemonorps sp. (Rotan jernang, Uway jeranang)-JW 305 Catatan: K. echinometra merupakan satu-satunya jenis
Pertelaan: tunggal, tinggi sampai 10 m, diameter batang yang memiliki selaput bumbung yang besar dan meman-
sampai 3,5 cm (tanpa pelepah sampai 1,5 cm), panjang jang. Jika selaput tersebut dipukul atau digoyang akan
ruas 15-25 cm. Pelepah daun hijau kecoklatan, berduri terdengar bunyi yang khas karena pergerakan semut yang
segitiga, panjang sampai 2 cm, tersusun tidak teratur, berada di dalam selaput bumbung yang keras dan kaku.
terdapat bintik-bintik berwarna coklat. Panjang daun sampai
300 cm, panjang tangkai sampai 30 cm, cirus 100 cm, Korthalsia rostrata Bl.
terdiri atas 60 helaian daun di tiap sisi tulang daun, Blume dalam Rumphia 2: 168 (1843); Dransfield dalam
tersusun teratur, bentuk linier. Seludang tetap menempel Kew Bull. 34: 29 (1979a), 36: 184 (1981), Ratt. Sabah 25
meskipun buah telah masak, warna buah kuning (1984), dan Ratt. Sar. 33 (1992).
kecoklatan, beberapa buah ditemukan adanya zat pewarna Pertelaan: berumpun, batang bercabang, tinggi sampai
seperti pada jenis rotan jernang. 20 m. Diameter batang sampai 1,2 cm (tanpa pelepah 0,6-
0,8 cm), panjang ruas sampai 10 cm. Pelepah hijau pucat,
WITONO – Palmae di Gunung Lumut Kalimantan Tengah 27

duri sampai 2 mm. Selaput bumbung menggelembung kecil Catatan: K. robusta berkerabat dekat dengan K. hispida,
dengan ukuran 3x2 cm, berduri, panjang sampai 3 mm, keduanya dibedakan berdasarkan bentuk duri pada
berisi semut kecil. Panjang daun sampai 110 cm, cirus pelepah dan selaput bumbung. Pada K. hispida tidak
sampai 60 cm, tangkai daun sampai 15 cm; jumlah helaian terdapat duri pada pelepah dan selaput.
daun 3-7 di tiap sisi tulang daun, berbentuk belah ketupat,
ukuran sampai 20x10 cm, bergerigi pada bagian ujung Korthalsia flagellaris Miq. (Rotan mea, Rotan merah)-
dengan lekukan sampai 3 mm, permukaan atas berwarna JW 308
hijau, permukaan bawah hijau keputihan. Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2): 143
Persebaran: Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand (1918); Dransfield dalam Man. Ratt. Mal. Pen. 42 (1979),
bagian selatan, sampai Borneo. Di Gunung Lumut umum- Kew Bull. 36: 180 (1981), Ratt. Sabah 20 (1984), dan Ratt.
nya terdapat di hutan Dipterocarpaceae dataran rendah. Sar. 25 (1992).
Catatan: Ukuran selaput bumbung K. rostrata tidak Pertelaan: berumpun, batang bercabang, tinggi sampai
sebesar K. echinometra dan semut yang berada di dalam 10 m. Diameter batang sampai 2,5 cm (tanpa pelepah
selaput bumbung berukuran jauh lebih kecil. sampai 1,25 cm), panjang ruas sampai 25 cm. Pelepah
daun hijau kecoklatan, tertutup oleh bintik-bintik berwarna
Korthalsia rigida Bl.-JW 299 hitam dan bulu-bulu halus berwarna coklat. Selaput
Blume dalam Rumphia 2: 167 (1843); Beccari dalam bumbung menempel rapat pada batang. Panjang daun
Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2): 124 (1918); sampai 210 cm, panjang tangkai 15 cm, panjang cirus 75
Dransfield, Man. Ratt. Mal. Pen. 38 (1979), Kew Bull. 36: cm. Helaian daun 11-12 di tiap sisi tulang daun, bentuk
172 (1981), Ratt. Sabah 15 (1984), dan Ratt. Sar. 19 belah ketupat menyempit, ukuran sampai 30x5 cm.
(1992). Permukaan atas berwarna hijau, permukaan bawah hijau
Pertelaan: berumpun, batang bercabang, tinggi 5 m. kecoklatan. Steril.
Diameter batang sampai 1,5 cm (tanpa pelepah sampai 0,5 Persebaran: Borneo, Sumatera, dan Semenanjung
cm); panjang ruas sampai 20 cm. Pelepah daun hijau Malaya. Di Gunung Lumut terdapat pada area yang vegeta-
pucat, kadang-kadang tertutup oleh bintik-bintik berwarna sinya didominasi oleh damar dan Dipterocarpaceae, teruta-
abu-abu dan coklat, duri jarang, panjang sampai 1 cm. ma di lereng-lereng bukit pada ketinggian sekitar 700 m dpl.
Selaput bumbung sampai 4 cm, menempel erat pada Catatan: Di berbagai publikasi disebutkan bahwa K.
batang, tidak berduri. Panjang daun sampai 100 cm, flagellumris selalu tumbuh pada hutan rawa gambut, namun
tangkai daun sampai 10 cm dan cirrus sampai 50 cm. di Gunung Lumut tumbuh di hutan pegunungan. Pada fase
Helaian daun 5-6 di tiap sisi tulang daun, permukaan atas anakan, daunnya tidak pecah seperti daun Johannesteijs-
berwarna hijau tua sampai pucat, permukaan bawah hijau mannia altrifrons. Berdasarkan karakter morfologinya, jenis
keabu-abuan, berbentuk belah ketupat, ukuran sampau ini mirip dengan K. flagellumris, namun karena dalam
15x8 cm. Steril. keadaan steril, pengamatan lebih detail perlu dilakukan,
Persebaran: Borneo, Palawan, Sumatera, Semenanjung apakah spesimen tersebut K. flagellumris atau tidak.
Malaya sampai Thailand bagian selatan. Di Gunung Lumut
ditemukan pada punggung bukit di hutan Dipterocarpaceae Korthalsia hispida Becc.-JW 304
pada ketinggian sekitar 800 m. Beccari dalam Malesia 2: 72 (1884) dan Ann. Roy. Bot.
Catatan: Jenis ini berkerabat dekat dengan Korthalsia Gard. Calcutta 12 (2): 154 (1918); Dransfield dalam Man.
paucijuga, namun K. paucijuga memiliki batang yang lebih Ratt. Mal. Pen. 50 (1979), Kew Bull. 36: 192 (1981), Ratt.
kecil, tidak memiliki tangkai daun dan helaian daun 3 Sabah 30 (1984), dan Ratt. Sar. 37 (1992).
sampai 4 di tiap sisi tulang daun. Pertelaan: berumpun, tinggi batang sampai 10 m,
bercabang di kanopi. Diameter batang sampai 3 cm (tanpa
Korthalsia robusta Bl. (Rotan Mea, Rotan Merah) pelepah sampai 1,5 cm); panjang ruas sampai 15 cm,
Blume dalam Rumphia 2: 170 (1843); Beccari dalam pelepah hijau terang, berbintik-bintik coklat, kadang-kadang
Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2): 148 (1918); Dransfield berduri hitam dengan panjang sampai 2,5 cm. Selaput
dalam Kew Bull. 36: 190 (1981), Ratt. Sabah 30 (1984), dan bumbung berkembang, ukuran sampai 25x5 cm, terbelah
Ratt. Sar. 35 (1992). dua dengan bagian ujung meruncing, kedua sisi
K. squarrosa Becc. dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta menggulung, berduri hitam sampai 2,5 cm, pada selaput
12 (2): 152 (1918). bumbung banyak terdapat semut dan biasanya sangat
K. macrocarpa Becc. Dalam Ann. Roy. Bot. Gard. sibuk. Panjang daun sampai 280 cm, tangkai sampai 45
Calcutta 12 (2): 49 (1918) cm, cirus sampai 100 cm. Helaian daun 8 di tiap sisi tulang
Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 30 cm. Diamater daun. Permukaan atas hijau muda, permukaan bawah hijau
batang sampai 3,5 cm (tanpa pelepah sampai 2,5 cm); keputihan seperti kapur. Steril.
panjang ruas sampai 20 cm, bagian tengah pelepah hijau Persebaran: Borneo, Sumatera, dan Malaya. Di Gunung
dan berduri hitam, panjang sampai 1 cm. Selaput bumbung Lumut terdapat di hutan Dipterocarpaceae campuran pada
memanjang berukuran sampai 30x7 cm, berwarna coklat ketinggian 950 m dpl., terutama di pungung-punggung
muda, terbagi dua, bagian ujung meruncing, kadang- bukit.
kadang bagian tepi menggulung, duri rapat sampai 2 cm; Catatan: Jika diganggu terutama bagian selaput
banyak terdapat semut pada selaput bumbung. Panjang bumbung, semut akan keluar sehingga untuk membuat
daun sampai 300 cm, tangkai daun sampai 20 cm dan cirus koleksi herbarium kadangkala sulit dilakukan.
sampai 175 cm. Jumlah helaian daun sampai 10 di tiap sisi
tulang daun, bentuk belah ketupat melebar, ukuran sampai Ceratolobus
25x10 cm, permukaan atas hijau muda, permukaan bawah Ceratolobus discolor Becc. (Rotan bura, Rotan putih)-
hijau keputihan. Steril. JW 301
Persebaran: Borneo, Sumatera, dan Palawan. Jenis ini Beccari dalam Malesia 3: 63 (1886), dan Ann. Roy. Bot.
terdapat dalam populasi yang besar terutama di area HPH Gard. Calcutta 12 (2): 7 (1918). Dransfield dalam Kew Bull.
PT. IUC, di tepi sungai.
28 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 22-30

34: 25 (1979), Ratt. Sabah 173 (1984), dan Ratt. Sar. 201 hitam, panjang 5-10 cm, duri di bagian bawah akan luruh
(1992). jika pohon telah dewasa. Tajuk terdiri atas 15-25 daun,
Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 10 m, diameter tajuk pelepah berduri, panjang sampai 100 cm, meng-
batang sampai 2 cm (tanpa pelepah 1 cm), panjang ruas gembung, tangkai daun berduri, panjang sampai 60 cm, ibu
sampai 20 cm. Pelepah daun hijau, berbintik-bintik coklat, tulang daun sampai 4 m, seringkali memutar, helaian daun
duri berwarna hitam pucat, panjang sampai 2 cm. Lutut tumbuh tegak, tersusun teratur, terdiri atas 80 helaian daun
tampak jelas, berwarna hijau kekuningan. Selaput bumbung di tiap sisi tulang daun. Perbungaan 3-5 buah tiap individu,
tidak berkembang, panjang sampai 1 cm. Panjang daun tumbuh di bawah tajuk pelepah, panjang sampai 100 cm;
210 cm, tangkai sampai 15 cm, cirus sampai 110 cm. panjang tangkai perbungaan sampai 15 cm, menyebar,
Helaian daun 6-7 di tiap sisi tulang daun, berbentuk belah menjanggut, rakila sampai 30 buah, panjang sampai 80 cm.
ketupat, bagian ujung bergerigi, sampai 35x15 cm, warna Buah coklat kehitaman, bulat, diameter sampai 1,5 cm.
permukaan atas hijau tua, permukaan bawah abu-abu Persebaran: Semenanjung Malaya, Philipina, Thailand,
keputihan. Perbungaan jantan dan betina sama, tidak Sumatera, Jawa, Borneo, Sulawesi, Maluku, sampai Papua.
bertangkai, tegak, ukuran seludang 80x9 cm, berwarna Jenis ini terdapat di area HPH PT. IUC terutama di hutan
coklat tua, keras dan hampir berkayu, tertutup oleh bulu- dataran rendah Dipterocarpaceae sampai pada ketinggian
bulu berwarna coklat. 500 m dpl.
Persebaran: Sumatera dan Borneo. Di Gunung Lumut Catatan: Secara morfologi O. horridum mirip dengan O.
hanya ditemukan di punggung bukit pada hutan tigillarium. Perbedaannya terletak pada bentuk dan
Dipterocarpaceae di ketinggian 800 m dpl. pertumbuhan daun serta tempat tumbuh. O. horridum
Catatan: Jenis ini mirip dengan Ceratolobus concolor. memiliki ukuran batang dan daun yang lebih besar, ibu
Keduanya dibedakan berdasarkan ukuran dan warna tulang daun seringkali memutar, helaian daun tumbuh
helaian daun. Pada C. concolor, ukuran lebih kecil dan tegak, dan umumnya tumbuh di hutan pegunungan.
warna helaian daun permukaan atas dan bawah sama. Sedangkan O. tigillarium memiliki ukuran batang dan daun
Berdasarkan bentuk daun, Ceratolobus mirip dengan yang lebih kecil, ibu tulang daun tidak memutar, helaian
Korthalsia, namun Korthalsia tidak memiliki lutut dan daun menjanggut, dan umumnya tumbuh di hutan rawa
selaput bumbung berkembang baik. gambut atau hutan pantai.

Ceratolobus subangulatus (Miq.) Becc.-JW 295 Pinanga


Dransfield dalam Kew Bull. 34: 12 (1979), Man. Ratt. Pinanga mooreana J. Dransf. (Sepon pokek, Pinang
Malay Pen. 251 (1979), Ratt. Sabah 171 (1984), dan Ratt. hutan)-JW 298
Sar. 199 (1992). Dransfield dalam Kew Bull. 34 (4): 783 (1980).
Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 5 m, diameter Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 5 m, diameter
batang sampai 0,9 cm (tanpa pelepah sampai 0,4 cm), sampai 3 cm, panjang ruas sampai 3 cm, jarak antar ruas
panjang ruas sampai 10 cm. Pelepah daun hijau tua, duri sampai 1 cm. Permukaan batang hijau kecoklatan di bagian
jarang, berbentuk segitiga, warna hijau kecoklatan. Lutut atas, di bagian bawah hijau keabu-abuan, di bagian yang
tampak jelas; selaput bumbung tidak berkembang. Panjang masih muda seringkali terdapat bintik-bintik berwarna
daun sampai 60 cm, tangkai daun pendek sampai 3 cm, coklat. Panjang tajuk pelepah sampai 60 cm,
panjang cirus sampai 20 cm; helaian daun sampai 10 di tiap menggembung di bagian bawah, hijau kecoklatan, terdapat
sisi tulang daun, bentuk bulat memanjang, tersusun teratur bintik-bintik berwarna coklat, jumlah daun di tajuk pohon
atau membentuk kelompok berjumlah 2-3 helaian. Steril. sampai 8 buah. Panjang pelepah daun sampai 40 cm,
Persebaran: Borneo, Semenanjung Malaya, dan panjang daun sampai 210 cm, panjang tangkai sampai 30
Sumatera. Jenis ini terdapat di area HPH PT. IUC pada cm, diameter sampai 1,5 cm, berbintik-bintik coklat. Helaian
ketinggian 225 m dpl. daun 20 di tiap sisi tulang daun, tersusun teratur, di bagian
Catatan: Dibandingkan dengan jenis Ceratolobus yang pangkal sampai mendekati ujung terdiri atas 1-3 tulang
lain, C. subangulatus memiliki bentuk daun yang berbeda, daun, di bagian ujung berpasangan. Steril.
yakni bulat memanjang, sedangkan jenis lain berbentuk Persebaran: Borneo (endemik). Jenis ini terdapat di
belah ketupat dengan bagian ujung bergerigi. area HPH PT. IUC pada tanah aluvial di tepi sungai kecil
pada ketinggian sekitar 200 m dpl.
Eugeissona Catatan: Jenis ini berkerabat dekat dengan P. malaiana.
Eugeissona utilis Becc. Perbedaannya terletak pada ukurannya yang lebih besar
Pertelaan: berumpun, batang berduri, tinggi sampai 20 pada semua bagian mulai dari batang, daun, dan
m, diameter sampai 30 cm. Panjang daun sampai 5 m, perbungaan; dan helaian daun di bagian bawah berwarna
tangkai daun berduri, panjang sampai 30 cm, helaian daun keabu-abuan.
tersusun teratur, panjang sampai 120 cm. Perbungaan Pinanga aristata (Burret) J. Dransf. (Sepon nayu)-JW 300
terletak di ujung batang, tumbuh tegak, panjang sampai 4 Dransfield dalam Kew Bull. 34 (4): 775 (1980)
m. Buah keras, bersisik seperti buah salak. Pertelaan: tunggal, tinggi sampai 3 m, diameter batang
Persebaran: Kalimantan (endemik ?). Di Gunung Lumut, sampai 2,5 cm, panjang ruas sampai 7 cm, jarak antar ruas
jenis ini hanya ditemukan di satu lokasi yaitu di lereng sampai 0,5 cm, batang abu-abu kecoklatan. Panjang tajuk
punggung bukit yang menuju ke puncak Gunung Lumut pelepah sampai 40 cm, menggembung di bagian bawah,
pada ketinggian sekitar 750 m dpl. Di daerah tersebut, E. hijau, terdapat bintik-bintik berwarna coklat, jumlah daun di
utilis ditemukan dalam populasi yang terbatas. tajuk pohon 7-8 buah. Panjang pelepah daun sampai 20
cm, panjang daun sampai 90 cm, panjang tangkai sampai
Oncosperma 15 cm, diameter sampai 1 cm. Helaian daun 11-13 di tiap
Oncosperma horridum (Griff.) Scheff. (Palem nibung) sisi tulang daun, tersusun teratur, di bagian pangkal sampai
Hodel dalam Palms & Cycads Thai. 134 (1998) mendekati ujung terdiri atas 1-2 tulang daun, di bagian
Pertelaan: berumpun, terdiri atas 3-6 individu, tinggi ujung berpasangan. Steril.
sampai 20 m. Batang abu-abu, berduri tajam berwarna
WITONO – Palmae di Gunung Lumut Kalimantan Tengah 29

Persebaran: Borneo (endemik). Di Gunung Lumut berbintik-bintik coklat, ujung bergerigi, jumlah tulang daun
terdapat pada punggung bukit yang menuju puncak 6-10. Perbungaan jantan kadang-kadang menembus
Gunung Lumut pada hutan campuran yang didominasi oleh pelepah daun, tunggal, ramping, panjang sampai 30 cm.
jenis-jenis Dipterocarpaceae dan myrtaceae. Di lokasi Tangkai perbungaan terbungkus oleh daun gagang,
tersebut, spesies ini ditemukan dalam populasi yang cukup ramping, panjang sampai 25 cm; jumlah rakila 1, merunduk,
besar pada ketinggian sekitar 800 m dpl. ramping panjang sampai 25 cm. Perbungaan betina mirip
dengan jantan, biasanya lebih pendek, panjang sampai 25
Pinanga patula Bl. (Pinang hutan) cm. Buah bulat, diameter sampai 1 cm. Berbiji 1, agak bulat
Blume dalam Rumphia 2: 87 (1839). sampai lonjong melebar, panjang sampai 0,6 cm.
Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 1 m, diameter Persebaran: Borneo (endemik) terutama di Sabah,
batang sampai 3 cm, panjang ruas sampai 10 cm, jarak Sarawak, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Jenis
antar ruas sampai 1 cm, batang abu-abu kecoklatan. ini terdapat di area HPH PT. IUC pada ketinggian 200 m
Panjang tajuk pelepah sampai 30 cm, menggembung di dpl.
bagian bawah, hijau kekuningan, jumlah daun di tajuk Catatan: A. distincta berkerabat dekat dengan A.
pohon buah. Helaian daun tersusun teratur, di bagian hastata, perbedaannya terletak pada susunan daunnya.
pangkal sampai mendekati ujung terdiri atas 1-2 tulang Pada A. distincta daunnya menyirip ganjil, sementara pada
daun, di bagian ujung berpasangan. Steril. A. hastata menyirip genap.
Persebaran: Sumatera dan Kalimantan. Jenis ini terda-
pat di area HPH PT. IUC pada ketinggian sekitar 200 m dpl. Licuala
Licuala bidentata Becc. (Torung)-JW 297
Pinanga sp. (Sepon nayu)-JW 303 Beccari dalam Malesia 3: 80 (1886)
Pertelaan: tunggal, tinggi sampai 2 m, diameter sampai Pertelaan: tunggal, tidak berbatang atau berbatang
4 cm, panjang ruas sampai 9 cm, jarak antar ruas sampai 2 pendek, diameter batang dengan pelepah sampai 15 cm.
cm. Batang hijau keabu-abuan. Panjang tajuk pelepah Jumlah daun di tajuk pohon sampai 9 buah. Pelepah daun
sampai 85 cm, menggembung di bagian bawah, hijau hijau kekuningan, panjang tangkai daun sampai 150 cm,
kekuningan, terdapat bintik-bintik berwarna coklat, jumlah berduri sampai ½ panjang tangkai daun, berwarna hijau
daun di tajuk pohon sampai 6 buah. Panjang pelepah daun pucat di permukaan atas, permukaan bawah hijau
sampai 45 cm, panjang daun sampai 210 cm, panjang kekuningan, panjang daun sampai 50 cm, daun terpecah
tangkai sampai 60 cm, diameter sampai 1,5 cm. Helaian sampai 20 helaian daun, berwarna hijau tua, warna
daun 23 di tiap sisi tulang daun, tersusun teratur, di bagian permukaan atas sama dengan permukaan bawah, ujung
pangkal sampai mendekati ujung terdiri atas 1-3 tulang helaian daun bergerigi. Perbungaan interfoliar, tegak,
daun, di bagian ujung berpasangan. panjang perbungaan sampai 110 cm, jumlah cabang 4.
Persebaran: Di Gunung Lumut, spesies ini terdapat di Buah muda berwarna merah, homogen.
lereng bukit yang berdekatan dengan puncak pada Persebaran: Borneo (endemik ?). Jenis ini terdapat di
ketinggian 1.000 m dpl. area HPH PT. IUC pada ketinggian 600 m dpl., terutama di
Catatan: Jenis ini mirip dengan Areca vestiaria yang daerah yang agak terbuka.
berasal dari Sulawesi pada keadaan steril.

Iguanura KESIMPULAN
Iguanura macrostachya Becc. (Sepon pokek)-JW 307
Beccari dalam Malesia 3: 101 (1886); Kiew dalam Gunung Lumut dan area HPH PT. IUC memiliki
Gard’s Bull. Sing. 28 (2): 208 (1976). keanekaragaman palem yang cukup tinggi. Di kawasan
Pertelaan: berumpun, tinggi batang sampai 2 m, tersebut terdapat 33 jenis palem (11 marga), yaitu Calamus
diameter sampai 1,5 cm. Daun tetap menempel pada 8 jenis, Daemonorops 7 jenis, Plectocomia 1 jenis,
batang meskipun telah kering, terdapat 8 daun di tajuk, Oncosperma 1 jenis, Pinanga 4 jenis, Korthalsia 6 jenis,
pelepah daun tipis dan berserat, panjang sampai 15 cm, Licuala 1 jenis, Eugeissona 1 jenis, Iguanura 1 jenis,
panjang daun sampai 60 cm, tangkai daun 15 cm. Ceratolobus 2 jenis, dan Arenga 1 jenis. Pengusulan
Perbungaan bercabang sampai 2 tingkat, tumbuh di antara kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut oleh Pemerintah
daun, seludang bagian luar sampai 10 cm, di bagian dalam Kabupaten Barito Utara untuk dijadikan kawasan World
sampai 25 cm. Buah bulat telur, buah muda berwarna putih Natural Heritage merupakan langkah yang perlu didukung
dan lunak. oleh semua pihak, karena kawasan tersebut menyimpan
Persebaran: Sarawak, Sabah, Kalimantan Timur, dan kekayaan biodiversitas yang tinggi, sebagai sumber
Kalimantan Tengah. Di Gunung Lumut terdapat di hutan penyimpan air yang penting, dan secara topografi memiliki
Dipterocarpaceae campuran pada ketinggian 900 m dpl. kemiringan yang curam.
Catatan: Jenis ini hanya ditemukan di satu lokasi
dengan populasi yang kecil dan berkelompok pada kondisi
yang steril dan beberapa individu berbuah muda. DAFTAR PUSTAKA

Arenga Beccari, O. 1886-1890. Nuovi Studi Sulle Palme Asiatiche. Malesia 3: 58-149.
Beccari, O. 1908. Asiatic Palms-Lepidocaryeae. Part 1. The Species of
Arenga distincta Mogea-JW 314 Calamus. Annales Royal Botanic Gardens-Calcutta 11: 1-518.
Mogea dalam Rev. marga Arenga 251 (1991). Beccari, O. 1913. Asiatic Palms-Lepidocaryeae. The Species of Calamus.
Pertelaan: berumpun, berupa semak, tinggi sampai 1 m, Annales Royal Botanic Gardens-Calcutta 11 (Suppl.): 123.
Beccari, O. 1918. Asiatic Palms-Lepidocaryeae. Part III. Annales Royal
diameter batang sampai 1,5 cm, panjang ruas sampai 5 cm. Botanic Gardens-Calcutta 12 (2): 1-231.
Jumlah daun pada batang sampai 6, meyirip ganjil, panjang Blume, C.L. 1838-1843. Rumphia, Sive Commentattiones Botanicae
pelepah sampai 10 cm, tepi pelepah dan lidah daun Imprimis de Plantis Indiae Orientali 2. Lugduni Batavorum.
berserabut hitam, panjang lidah daun sampai 5 cm, Blume, C.L. 1849. Rumphia, Sive Commentattiones Botanicae Imprimis de
Plantis Indiae Orientali 3. Lugduni Batavorum.
permukaan helaian daun bagian atas licin, bagian bawah
30 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 22-30

Dransfield, J. 1974. A Short Guide to Rattans. Bogor: BIOTROP-SEAMEO Furtado, C.X. 1953. The genus Daemonorops in Malaya. The Gardens
Regional Center for Tropical Biology.. Bulletin Singapore 14: 49-147.
Dransfield, J. 1979. A Mannual of Rattans of the Malay Peninsula. Kuala Lumpur: Hodel, D.R. 1998. The Palms and Cycads of Thailand. Kampon Tansacha,
Malaysian Forest Records No. 29. Forest Department of Malaysia Nong Nooch. Lawrence KN: Tropical Garden and The International Palm
Dransfield, J. 1979a. A monograph of the genus Ceratolobus (Palmae). Kew Society.
Bulletin 34: 1-33. Kiew, R. 1976. The Genus Iguanura Bl. (Palmae). The Gardens Bulletin
Dransfield, J. 1980. Systematic notes on Pinanga (Palmae) in Borneo. Kew Singapore 28 (2): 191-226.
Bulletin 34 (4): 769-788. MacKinnon, K., G. Hatta, H. Hakim, and A. Mangalik. 1996. The Ecology of
Dransfield, J. 1981. A Synopsis of Korthalsia (Palmae-Lepidocaryoideae). Indonesia Series Volume III: The Ecology of Kalimantan (Indonesian
Kew Bulletin 36: 163-194. Borneo). Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd.
Dransfield, J. 1984. The Rattans of Sabah. Sabah: Forest Department, Madulid, D.A. 1981. A Monograph of Plectocomia (Palmae:
Sabah, Malaysia. Lepidocaryoideae). Kalikasan 10: 1-94.
Dransfield, J. 1992. The Rattans of Sarawak. London: Royal Botanic Gardens, Martius, C.F.P. von. 1853. Historia Naturalis Palmarum. Expositio
Kew, UK and Sarawak Forest Department, Sarawak, Malaysia. Systematica 3: 339.
Dransfield, J. and N. Manokaran. 1994. Plant Resources of South-East Asia Mogea, J.P. 1991. Revisi Marga Arenga (Palmae). [Disertasi]. Jakarta:
6: Rattans. Bogor: Prosea Foundation.. FMIPA Universitas Indonesia.
Dransfield, J. and N.W. Uhl. 1989. Genera Palmarum, A Classification of Palms Primarck, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan, dan P. Kramadibrata. 1998.
based on the work of Harold E. Moore, Jr. The L.H. Bailey Hortorium Biologi Konservasi. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
and The International Palm Society. Lawrence KN: Allen Press.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 31-33

Inventarisasi Tumbuhan Potensial Untuk Fitoremediasi Lahan


dan Air Terdegradasi Penambangan Emas
Inventarization of potential plant for phytoremediation on degraded land and water mined

TITI JUHAETIj, FAUZIA SYARIF, NURIL HIDAYATI


Laboratorium Fisiologi Stres, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002.

Diterima: 22 Oktober 2004. Disetujui: 6 Desember 2004.

ABSTRACT

One of the most important problems in degraded mined ecosystem is contamination of soil and water by toxic substances, mainly heavy
metal such as Pb and others such as cyanide. Phytoremediation could be used as an alternative technique to overcome this problem.
Phytoremediation is defined as clean up of pollutans primarily mediated by photosynthetic plants. These plants have several beneficial
characteristics such as the ability to accumulate metal in their shoots and an especially high tolerance to heavy metals. This research was
carried out to study the potencies of local species to accumulate Pb and cyanide. Seventeen species were collected from mined waste area
(namely tailing area) and then the cyanide and Pb accumulated in each species were analyzed. The result showed that some species
accumulated Pb and cyanide in high concentration such as Ipomoea sp. (35.70 ppm cyanida) and Mikania cordata (Burm.f.) B.L.Robinson
(11.65 ppm Pb). A series of research is needed to prove that these species are potential as heavy metal and cyanide accumulators.
” 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: phytoremediation, heavy metal, gold mined.

PENDAHULUAN Indonesia memiliki keragaman jenis tumbuhan endemik/


lokal yang tinggi. Dengan banyaknya jenis flora yang
Fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk dimiliki Indonesia, diperkirakan tidak sedikit pula jenis
menghilangkan polutan dari tanah atau perairan yang tumbuhan yang memiliki potensi sebagai hiperakumulator
terkontaminasi. Akhir-akhir ini teknik reklamasi dengan yang dapat digunakan untuk meremediasi lingkungan yang
fitoremediasi mengalami perkembangan pesat karena tercemar. Seiring bertambahnya waktu, di tempat penim-
terbukti lebih murah dibandingkan metode lainnya, misalnya bunan tailing PT. Aneka Tambang (Antam), Pongkor,
penambahan lapisan permukaan tanah. Fitoremediator Bogor, tumbuh berbagai jenis tumbuhan rumput dan gulma
tersebut dapat berupa herba, semak bahkan pohon. Semua berdaun lebar. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk
tumbuhan mampu menyerap logam dalam jumlah yang mencari jenis-jenis tumbuhan yang pontesial untuk
bervariasi, tetapi beberapa tumbuhan mampu fitoremediasi. Penelitiannya diarahkan untuk mendapatkan
mengakumulasi unsur logam tertentu dalam konsentrasi jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi pada tanah dengan
yang cukup tinggi. tingkat kelarutan logam yang relatif tinggi. Tumbuhan yang
Sudah banyak hasil penelitian yang membuktikan mampu tumbuh dengan baik di lahan tersebut berarti
keberhasilan penggunaan tumbuhan untuk remediasi dan mempunyai toleransi yang baik untuk hidup pada lahan
tidak sedikit tumbuhan yang dibuktikan sebagai marginal. Dari sekian keragaman jenis di lahan tersebut,
hiperakumulator adalah species yang berasal dari daerah diduga terdapat jenis yang potensial untuk dikembangkan
tropis. Species tersebut diantaranya Thlaspi calaminare sebagai tumbuhan fitoremediator. Penelitian ini lebih
untuk seng (Zn), T. caerulescens untuk kadmium (Cd), menitikberatkan pada tumbuhan pionir yang tumbuh di
Aeolanthus biformifolius untuk tembaga (Cu), Phylanthus lahan tersebut. Tumbuhan yang diharapkan adalah yang
serpentinus untuk nikel (Ni), Haumaniastrum robertii untuk mampu menyerap polutan dalam jumlah tinggi dalam waktu
kobalt (Co) Astragalus racemosus untuk selesium (Se), dan singkat. Sifat hipertoleran terhadap logam berat dan sianida
Alyxia rubricaulis untuk mangan (Mn) (Li, et. al., 2000 adalah kunci karakteristik yang mengindikasikan sifat
dalam Wise et. al., 2000). Selain itu Brachiaria mutica untuk hiperakumulator tumbuhan potensial tersebut.
air raksa (Hg) (Kartawinata, 2002, komunikasi pribadi). Dengan semakin meluasnya kasus kontaminasi tanah
Review oleh Cannon (1960) serta Baker dan Brooks (1989) dan perairan oleh logam berat serta adanya perkembangan
menunjukkan bahwa sedikitnya ada satu taksa tumbuhan ilmu fitoremediasi yang pesat, maka teknik rehabilitasi alter-
yang bersifat hiperakumulator untuk kadmium, 28 taksa natif yang relatif murah dan efektif ini perlu dikembangkan.
untuk kobalt, 37 taksa untuk tembaga, sembilan taksa untuk Untuk itu perlu dikembangkan penelitian tentang jenis-jenis
magnesium, 317 taksa untuk nikel dan 11 taksa untuk seng. tumbuhan yang mampu mengakumulasi logam berat dan
bahan toksik lain misalnya sianida sehingga lahan menjadi
aman bagi kesehatan dan lingkungan. Penelitian ini
j Alamat korespondensi: bertujuan untuk mencari jenis-jenis tumbuhan yang dapat
Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16002.
Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538.
menyerap logam berat dan sianida dalam jumlah banyak
e-mail: herbogor@indo.net.id sehingga dapat dipakai dalam fitoremediasi.
32 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 31-33

BAHAN DAN METODE Dirman, 2002). Lokasi penelitian adalah areal


penampungan limbah pengolahan emas milik PT Aneka
Deskripsi lokasi penelitian Tambang di Pongkor, Desa Bantar Karet, Kecamatan
Area penimbunan limbah tailing sisa pengolahan emas Nanggung, Kabupaten Bogor. Menurut klasifikasi Schmidt
di PT. Antam Pongkor, Bogor dipakai sebagai daerah dan Ferguson daerah ini memiliki tipe iklim A dengan curah
penelitian karena limbah tailing ini pada awalnya hujan sekitar 4 000-6 000 mm per tahun dengan ketinggian
merupakan bahan beracun dan berbahaya. Tailing 620-650 m dpl. (Sambas, 2002).
merupakan limbah lumpur sisa proses sianida CIL (proses Jenis tumbuhan yang dipelajari dalam penelitian ini
pelarutan emas dan perak, yang diikuti penyerapan oleh sebagian dipilih mengikuti hasil penelitian sebelumnya
karbon aktif). Pada pengolahan emas di pertambangan ini, yakni inventarisasi jenis tumbuhan di sekitar dam tailing
emas dan perak dilarutkan secara selektif menggunakan (Sambas, 2002). Dalam penelitian tersebut digunakan
larutan sianida dengan konsentrasi 700-900 ppm. metode pencacahan transek dan petak. Tiga buah transek
Penambahan Pb-nitrat dilakukan sebagai katalis pelarutan ditarik tegak lurus dam tailing berlawanan arah jarum jam.
perak. Kandungan sianida yang masih tinggi di dalam Jarak antar transek sekitar 40 m. Dalam tiap transek dibuat
tailing diambil kembali melalui pengaliran air yang 5 petak berukuran 1 m x 1 m dengan interval 5 m sehingga
dihasilkan dari Counter Current Decantation Thickener, didapat 15 petak. Setiap tumbuhan bawah dicatat nama
kemudian dikembalikan ke dalam proses penggilingan jenis, jumlah individu dan areal penutupannya (Tabel 1).
(milling) dan peluruhan (leaching) dalam pengolahan emas. Dari hasil inventarisasi ini diperoleh daftar jenis tumbuhan
Lumpur tailing dipompakan ke unit backfill cyclone untuk yang tumbuh di sekitar dam tailing disertai nilai penting,
mendapatkan fraksi kasar (± 10 µ) yang selanjutnya frekuensi keberadaannya di lokasi, jumlah individu, dan
digunakan sebagai material pengisi rongga di dalam luas penutupan tajuk. Dari daftar tersebut kemudian dipilih
tambang dan ditampung juga di tailing dam (Antam, 2002). beberapa jenis yang termasuk dominan atau jenis yang
Secara periodik, lumpur yang mengendap di dam tailing memiliki tingkat populasi paling tinggi pada saat
diangkut dan ditimbun sementara pada lahan di sekitar dam pengambilan sampel, yakni pada akhir musim hujan bulan
tersebut. Lumpur tanah ini mempunyai beberapa sifat kimia April 2003. Sampel tumbuhan kemudian diinventarisasi
yang kurang menguntungkan. Hasil analisis tanah sifat kembali nama jenisnya dan dianalisis potensi akumulasi Pb
kimia lumpur tailing sebagai berikut: pH KCl 6.8, pH H2O dan sianida di dalam jaringannya. Analisis Pb dilakukan
7.8, Cu total 1260 ppm, Fe tersedia 130 ppm, Pb total 524 dengan AAS, sedangkan sianida secara Spektrofotometri.
ppm, P2O5 total 174 mg/100g, P2O5 tersedia tidak terukur,
K2O total 72 mg/100g, K2O tersedia 51 mg/100g, C organik
0.3%, N total 0.3%, Cadd 16.6 me/100g, Mgdd 3.3 me/100g, HASIL DAN PEMBAHASAN
Kdd 2.0 me/100g, Nadd 3.0 me/100g, KTK 29.0 me/100g dan
KB 86% (Siringoringo et. al., 2001). Memperhatikan nilai Karakteristik tanah tailing
tersebut maka lahan tempat penimbunan tailing ini Hasil analisis kandungan kimia tanah tailing tertera pada
merupakan lahan kritis. Tabel 2. dari tabel ini diketahui bahwa tanah tailing
Analisis lumpur tailing yang dilakukan tahun 2001 me- merupakan tanah yang miskin hara. Kandungan nitrogen
nunjukkan Pb total tanah tailing yang tinggi yakni 524 ppm. tanah tergolong sangat rendah karena nilainya N < 0.1%
Analisis tahun 2003 menunjukkan kandungan Pb pada sedangkan kandungan fosfor medium (CSR/FAO, 1983).
tanah tailing berkisar 55-63,2 ppm, hal ini tetap merupakan Kandungan logam berat terutama timbal (Pb) cukup tinggi
nilai yang tinggi (Siringoringo et al., 2001). Unsur Pb yaitu 55-63,2 ppm. Hasil analisis ini berbeda dengan hasil
merupakan kelompok logam berat yang tidak esensial bagi analisis yang dilakukan tahun 2001 oleh Siringoringo et. al.
tumbuhan, bahkan dapat mengganggu siklus hara dalam (2001) yang menunjukkan nilai Pb total 524 ppm. Hal ini
tanah. Unsur Pb sampai saat ini masih dipandang sebagai diduga karena penanganan limbah oleh PT Antam menjadi
bahan pencemar yang dapat menimbulkan pencemaran lebih baik atau telah terjadi pencucian dari sampel lumpur
tanah dan lingkungan. limbah tersebut oleh air hujan.
Inventarisasi dan skrining potensi penyerapan logam
berat dalam tumbuhan pada penelitian ini dilakukan Jenis tumbuhan hipertoleran serta kandungan sianida dan timbal
berdasarkan hasil penelitian tumbuhan yang telah dilakukan Sifat hipertoleran terhadap logam berat adalah kunci
sebelumnya oleh Sambas (Sambas, 2002; Sambas dan karakteristik yang mengindikasikan sifat hiperakumulator
suatu tumbuhan. Suatu tumbuhan
Tabel 1. Beberapa jenis tumbuhan di areal Tailing Dam Pongkor, Bogor. dapat disebut hiperakumulator
apabila memiliki karakter-karakter
Jumlah Luas Nilai sebagai berikut: (i) Tumbuhan
Jenis Suku Frekuensi 2
Individu penutupan (m ) penting (%)
memiliki tingkat laju penyerapan
1. Cyperus haspan Cyperaceae 1 1 0,05 1,08
2. Echinochloa sp Poaceae 1 1 0,25 1,75 unsur dari tanah yang lebih tinggi
3. Cyperus kyllingia Cyperaceae 1 1 0,10 1,25 dibanding tanaman lainnya, (ii)
4. Fimbristylis annua Cyperaceae 1 1 0,02 0,98 Tumbuhan dapat mentoleransi un-
5. Panicum repens Poaceae 3 3 1,25 6,95 sur dalam tingkat yang tinggi pada
6. Mikania cordata Asteraceae 5 5 0,66 6,78 jaringan akar dan tajuknya, dan (iii)
7. Sonchus arvensis Asteraceae 2 2 0,17 2,39 Tumbuhan memiliki laju translokasi
logam berat dari akar ke tajuk yang
Tabel 2. Kandungan kimia lumpur tailing limbah pengolahan emas PT Antam, Pongkor tinggi sehingga akumulasinya pada
tajuk lebih tinggi dari pada akar
Ekstrak 1:5 Terhadap contoh kering 105°C
pH Olsen Morgan (ppm)
(Brown et al, 1995).
N (%) Di tempat penimbunan lumpur
H2O KCl P2O5 (ppm) K Fe Zn Pb Cd
8,0 7,9 0,01 15 68,9 88,4 8,3 55,0 0,47 tailing tumbuh dengan cukup subur
8,4 8,2 0,01 17 79,8 110,4 9,4 63,2 0,50 beberapa jenis tumbuhan. Untuk
JUHAETI dkk. – Jenis tumbuhan fitoremediasi tailing emas 33

Tabel 3. Kandungan sianida dan timbal pada tumbuhan yang tumbuh dominan di sekitar dalam jumlah yang cukup tinggi.
tailing dan PT. Antam Pongkor, Bogor. Pertumbuhan azolla pada
kosentrasi Pb 50 ppm lebih baik
Kandungan (ppm)
Jenis tumbuhan Famili dibandingkan pada Pb 0 ppm
Sianida Pb
1. Sonchus arvensis L. Asteraceae 3,09 3,46
(Juhaeti dan Syarif, 2003). Hasil
2. Mikania cordata (Burm.f.)B.L.Robinson Asteraceae 3,66 11,65 pengamatan terhadap serapan
3. Limnocharis flava *) Butomaceae 9,59 n.a sianida pada genjer dan azolla
4. Ipomoea sp Convolvulaceae 35,70 7,3 serta serapan Pb pada azolla
5. Fimbristylis miliacea (L.) Vahl Cyperaceae 1,54 4,93 menunjukkan bahwa genjer dan
6. Cyperus compactus Retz Cyperaceae 2,91 1,79 azolla potensial sebagai tumbuhan
7. Cynodon dactylon Cyperaceae 1,05 0,63 fitoremediator.
8. Echinochloa colona Link Poaceae 6,13 2,00 Jenis-jenis tumbuhan lainnya
9. Calopogonium mucunoides Desv Poaceae 3,35 6,16
10. Eulesine indica (L.) Gaertn Poaceae 1,18 4,67
yang beradaptasi dan dominan di
11. Ishaemum timorense Poaceae n.a 0,63 lahan terkontaminasi juga menun-
12. Azolla *) Salviniaceae 4,62 n.a jukkan kemampuan akumulasi
13. Scoparia dulcis L. Scropulariaceae 4,72 6,13 bahan kontaminan (berupa logam
Keterangan: n.a = tidak dilakukan analisis kandungan sianida dan timbal pada jaringan berat maupun bahan toksik lain)
tumbuhan; *) Sampel diambil dari perairan sekitar dam tailing. yang tinggi pada jaringannya,
sehingga diharapkan berpotensi
tujuan fitoremediasi diutamakan tumbuhan yang bersifat sebagai tumbuhan hiperakumulator
semak, perdu atau jenis rerumputan. Dari tumbuhan yang yang dapat dimanfaatkan untuk membersihkan kontaminan
mempunyai populasi terbanyak diambil sampelnya untuk pada lahan maupun perairan yang tercemar (Juhaeti dan
kemudian diidentifikasi dan dianalisis kandungan logam Syarif, 2003; Syarif dan Juhaeti, 2003; Hidayati dan
berat timbal (Pb) dan sianidanya. Hasil pengamatan Saefudin, 2003).
menunjukkan bahwa populasi tumbuhan terbanyak berasal
dari famili Amaranthaceae, Poaceae, Cyperaceae, KESIMPULAN
Convolvulaceae, Asteraceae, dan Scropulariaceae.
Dari hasil penelitian terdahulu pada tahun 2002 Dari beberapa jenis tumbuhan yang toleran di lahan
diperoleh sebanyak 64 jenis tumbuhan bawah yang tailing ternyata beberapa jenis mampu mengakumulasi
termasuk ke dalam 57 marga dan 30 suku dengan jumlah sianida dan timbal dalam jumlah yang cukup besar yakni
suku terbanyak Poaceae dan Asteraceae dengan jumlah Ipomoea sp untuk sianida (HCN) serta Mikania cordata
jenis masing-masing 11 dan 9. Diantara tumbuhan tersebut (Burm.f.) B.L.Robinson dan Azolla untuk timbal (Pb). Dari
terdapat beberapa jenis yang dominan termasuk Mikania perairan di sekitar tailing ternyata Azolla dan Limnocharis
cordata, Mimosa pudica, Mimosa pigra, Crotalaria sp., flava juga menyerap sianida.
Panicum repens, dan Sonchus arvensis (Sambas, 2002).
Vegetasi yang tercatat merupakan jenis-jenis pionir dan
sekunder yang tahan hidup pada kondisi miskin hara. Di DAFTAR PUSTAKA
antara jenis tumbuhan tersebut diharapkan ada yang Antam. 2002. Sekilas Informasi Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor.
memiliki potensi sebagai tumbuhan hiperakumulator atau Bogor: PT. Aneka Tambang Tbk.
tumbuhan yang mampu mengakumulasi logam berat dan Baker, A.J.M. and R.R. Brooks. 1989. Terrestrial higher plants which
sianida, sebagai bahan kontaminan yang utama di areal ini, hyperaccumulate metal elements a reveiew of their distribution, ecology
and phytochemistry. Biorecovery 1:81-126
dalam jumlah yang signifikan dibandingkan tumbuhan Brown S.L., R.L.Chaney, J.S.Angle and A.J.M. Baker. 1995. Zink and
normal. Hasil analisis penyerapan logam berat dan sianida Cadmium uptake by hyperaccumulator Thlaspi caerulescens grown in
oleh tumbuhan di sekitar penampungan limbah dam tailing nutrient solution. Soil Science Society of America Journa 59:125-133.
Cannon, H.L. 1960. Botanical prospecting for ore deposits. Science 132:
ini disajikan pada Tabel 3. 591-598.
Tabel 3. menunjukkan bahwa beberapa tumbuhan CSR/FAO. 1983. Reconnaissance Land Resource Surveys. Atlas Format
memiliki potensi untuk menyerap logam berat maupun Procedure. Bogor: Center for Soil Research.
sianida. Ipomoea sp yang tumbuh di sekitar tailing, Hidayati, N. dan Saefudin. 2003. Potensi Hipertoleransi dan Serapan Logam
Beberapa Jenis Tumbuhan terhadap Limbah Pengolahan Emas.
merupakan jenis liar dan berperawakan kecil menunjukkan [Laporan Teknik]. Bogor: Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan
kandungan sianida yang tinggi, yakni 35,70 ppm sehingga Sumberdaya Hayati. Pusat Penelitian Biologi. LIPI.
Ipomoea sp ini perlu diteliti lebih lanjut potensinya dalam Juhaeti, T. dan F. Syarif. 2003. Studi Potensi Beberapa Jenis Tumbuhan Air
untuk Fitoremediasi. [Laporan Teknik]. Bogor: Proyek Pengkajian dan
menyerap sianida. Sementara itu Mikania cordata (Burm.f.) Pemanfaatan Sumberdaya Hayati. Pusat Penelitian Biologi. LIPI. Bogor .
B.L.Robinson juga menunjukkan kandungan timbal (Pb) Sambas, E.N. dan Dirman. 2002. Analisis Vegetasi Hutan Sekitar Tailing
yang tinggi, yakni 11,65 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa Dam Pongkor. [Laporan Teknik]. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.
ke dua tumbuhan tersebut mempunyai toleransi yang tinggi Sambas, E N. 2002. Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah pada Areal Tailing
Dam PT Aneka Tambang (Antam) Pongkor. [Laporan Teknik]. Bogor:
terhadap lingkungan marginal di lahan penimbunan lumpur Pusat Penelitian Biologi, LIPI. Bogor.
tailing sehingga diduga tumbuhan ini potensial sebagai Siringoringo, H.H., C.A. Siregar, N.M. Heryanto, Kusmara, A. Rusmana,
fitoremediator terutama pada sianida dan Pb. Jejen, dan Fauzi. 2001. Inventarisasi Lahan Kritis di KW Eksploitasi PT
Aneka Tambang Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor.
Azolla dan Limnocharis flava (genjer) yang diambil dari [Laporan Kegiatan Kerjasama]. Bogor: PT Aneka Tambang Tbk Unit
perairan sekitar dam tailing menunjukkan bahwa dalam Bisnis Pertambangan Emas Emas dengan Pusat Penelitian dan
genjer terkandung sianida dengan kadar tinggi, yakni 9,59 Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Taman Nasional
ppm. Pengamatan di lokasi menunjukkan genjer ini dipanen Gunung Halimun, PT Perhutani KPH Bogor dan Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Bogor.
untuk dimanfaatkan penduduk sebagai makanan ternak Syarif, F. dan T. Juhaeti. 2003. Pertumbuhan, Serapan Hara dan Logam
atau bahkan dikonsumsi. Azolla juga mengandung sianida Berat Berbagai Jenis Rumput yang Ditanam pada Media Tanah
dalam jumlah yang cukup tinggi, yakni 4,62 ppm. Pada Tercemar. [Laporan Teknik]. Bogor: Proyek Pengkajian dan
Pemanfaatan Sumberdaya Hayati. Pusat Penelitian Biologi. LIPI.
penelitian tentang potensi tumbuhan perairan untuk Wise D.L, D.J Trantolo, E.J Cichon., H.I. Inyang, and U. Stottmeister (eds.)
fitoremediasi, ternyata azolla juga mampu menyerap Pb 2000. Bioremediation of Contaminated Soils. New York: Marcel Dekker Inc.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 34-39

Flora Mangrove Berhabitus Pohon di Hutan Lindung Angke-Kapuk


Floristics of mangrove tree species in Angke-Kapuk Protected Forest

ONRIZAL1,j, RUGAYAH2, SUHARDJONO2


1
Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera UtaraMedan. 20155.
2
"Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002

Diterima: 11 Maret 2004. Disetujui: 10 Nopember 2004.

ABSTRACT

Angke-Kapuk Protected Forest with total area 44.76 ha is part of the Tegal Alur-Angke Kapuk mangrove forests. Therefore, this forest has
important role as an interface between terrestrial and marine ecosystems, whether physical, biological or social-economic aspects, to
determine mangrove ecosystem as a productive and unique ecosystem in the coastal area. However, the study of floristic of the mangrove
vegetation in this forest has never to be done previously. According to the study on September to November 2003, in this forest found 8
species of mangrove trees. The tree species can be classified into two groups. The first group is true mangroves (7 species), i.e. Avicennia
officinalis, Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Sonneratia caseolaris (major component), Excoecaria agallocha, and
Xylocarpus moluccensis (minor component). The last group is mangrove associate, i.e. Terminalia catappa. In this forest also found 7 tree
species, i.e. Bruguiera gymnorrhiza, Calophyllum inophyllum, Cerbera manghas, Paraserianthes falcataria, Tamarindus indicus, Acacia
mangium, and A. auriculiformis as introduced species. The growth level of B. gymnorhiza, C. inophyllum and C. manghas up to now is
seedling and sapling, while the growth level of another introduced species is till in pole and tree.
” 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Key words: mangrove tree species, Angke-Kapuk Protected Forest.

PENDAHULUAN Sedangkan kajian tentang studi floristik vegetasinya belum


pernah dilakukan sebelumnya. Padahal, kajian tersebut
Hutan Lindung Angke-Kapuk (HLAK) di Kecamatan merupakan kajian dasar, yang selain penting dalam
Penjaringan, Jakarta Utara merupakan satu-satunya hutan pencapaian pengelolaan kawasan secara lestari, juga
lindung dan salah satu kawasan konservasi formal yang sangat mendukung akurasi berbagai studi yang telah
ada di wilayah daratan DKI Jakarta. Luas kawasan HLAK dilakukan, terutama yang terkait dengan keanekaragaman
tergolong kecil, yakni hanya 44,76 ha, namun mengingat flora HLAK.
keberadaan (lokasi) dan fungsinya, kawasan ini mempunyai Tingkat gangguan dan faktor-faktor yang menyebabkan
nilai yang sangat khusus. HLAK terletak di wilayah pesisir, penurunan fungsi dan degradasi hutan tergolong sangat
yakni kawasan peralihan antara daratan dan lautan di tinggi, mengingat HLAK berada di wilayah pengembangan
bagian utara DKI Jakarta, yang memanjang dari muara daratan maupun lautan. Timbunan sampah, terutama
sungai Angke di bagian timur sampai perbatasan DKI sampah non-degradable, sedimentasi dari arah darat, dan
Jakarta dengan Banten di bagian barat (Santoso, 2002). abrasi dari arah laut merupakan permasalahan yang terlihat
Kondisi demikian, menjadikan HLAK berperan penting di lapangan yang mengakibatkan kerusakan/kematian
dalam menjaga stabilitas kawasan di sekitarnya, baik aspek pohon mangrove. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan
fisik, biologi atau sosial ekonomi yang memposisikan kapasitas HLAK dalam menjalankan fungsinya juga akan
ekosistem mangrove penyusun HLAK sebagai ekosistem berkurang. Dengan demikian, studi floristik pohon
yang produktif dan unik di kawasan pesisir. mangrove di HLAK ini menjadi penting untuk dilakukan,
Salah satu faktor kunci dalam menjaga stabilitas dimana selain akan memberikan gambaran tentang
kawasan pesisir adalah kondisi vegetasi, terutama keanekaragam jenis pohon di HLAK, sekaligus akan
pepohonan. Vegetasi yang tumbuh di kawasan HLAK mendukung kegiatan rehabilitasi kawasan, terutama dalam
adalah formasi mangrove karena seluruh kawasan tersebut hal pemilihan jenis yang tepat.
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Berbagai publikasi Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyusun
terkait HLAK, seperti Fakultas Kehutanan IPB (1996, flora pohon mangrove di HLAK. Sedangkan tujuan
2000a, 2000b), Matrizal et al. (2002), Pusat Pengkajian antaranya adalah (i) untuk mengetahui keanekaragaman
Keanekaragaman Hayati IPB (1997a, 1997b), Brastasida flora mangrove berhabitus pohon di HLAK, dan (ii)
(2002), Kusmana (2002), dan Santoso (2002) secara garis mendapatkan data dasar yang dapat digunakan dalam
besar berisi tentang kondisi dan fungsi ekologi, tindakan pemilihan jenis untuk kegiatan rehabilitasi pada kawasan
konservasi, rehabilitasi, dan pengelolaan kawasan HLAK. HLAK yang sudah rusak.

j Alamat korespondensi:
BAHAN DAN METODE
Kampus USU, Jl. Tri Dharma Ujung No. 1, Medan 20155.
Tel.: +62-618220605; Fax.: +62-618201920 Bahan penelitian berupa material herbarium dari
e-mail: onrizal03@yahoo.com kawasan HLAK yang diambil pada bulan September-
ONRIZAL dkk. – Flora mangrove di Angke-Kapuk 35

November 2003. Mengingat bentuk kawasan yang 4.a. Daun tunggal, berhadapan; akar nafas meruncing, tinggi
memanjang (sekitar 3,6 km) dengan lebar areal bervegetasi sampai 40 cm………..............……… Sonneratia caseolaris
yang sempit (berkisar antara 0-80 m), maka jalur 4.b. Daun majemuk menyirip genap, berseling; akar nafas
tumpul, tinggi sekitar 5 cm ……… Xylocarpus moluccensis
inventarisasi dilakukan dalam dua arah, yaitu (i) jalur yang
2.b. Berakar tunjang (stilt roots) .................................................. 5
searah batas kawasan, dan (ii) jalur tegak lurus batas luar 5.a. Kulit kasar, retak-retak persegi empat dengan tepi
(darat) menuju batas dalam (laut) pada bagian kawasan terangkat; daun melonjong membesar sampai menjorong,
yang lebar areal bervegetasi t 40 m. Selain pengambilan permukaan bawah berbintik-bintik hitam, ujung bermukro
material herbarium, di lapangan dilakukan analisis dan sampai 0,7 cm, tangkai hijau, daun penumpu merah atau
pengukuran karakter morfologi di lapangan, dan pendataan hijau muda ....................................... Rhizophora mucronata
karakter yang akan hilang apabila material spesimen 5.b. Kulit licin, retak-retak memanjang dengan tepi tidak
diawetkan menjadi herbarium. Kegiatan berikutnya terangkat ............................................................................. 6
6.a. Daun melonjong menyempit, permukaan bawah
dilanjutkan di Herbarium Bogoriense (BO) berupa (i) jarang/tidak berbintik-bintik hitam, ujung bermukro sampai
analisis dan pengukuran karakter morfologi di lapangan 0,2 cm, tangkai daun muda merah, daun penumpu selalu
(khusus untuk karakter bunga didukung dengan merah ................................................. Rhizophora apiculata
penggunaan mikroskop) dan (ii) identifikasi jenis dengan 6.b. Daun melonjong melebar, permukaan bawah selalu
membandingkan material herbarium yang disimpan di BO berbintik-bintik hitam, ujung bermukro sampai 0,7 cm,
serta publikasi flora terkait. Dalam tulisan ini, hasil analisis tangkai daun muda hijau, daun penumpu hijau muda ...........
dan pengukuran yang disajikan dibatasi hanya pada jenis ................................................................ Rhizophora stylosa
pohon mangrove asli kawasan HLAK, sedangkan jenis-jenis 1.b. Pohon tidak memiliki akar di atas substrat ........................ 7
7.a. Pohon bergetah putih ...……........….. Excoecaria agallocha
pohon introduksi diabaikan. 7.b. Pohon tidak bergetah putih ......……… Terminalia catappa

Avicennia officinalis L.
Avicennia officinalis L., Ridley Fl. Mal. Penin. 2: 640
HASIL DAN PEMBAHASAN (1923); Backer and Bakhuizen, Fl. Java 2: 613 (1965)
Pohon dengan tinggi mencapai 16 m dan dbh (diameter
Keanekaragaman jenis pohon at breast high atau diameter setinggi dada) mencapai 40
Kawasan HLAK disusun oleh 15 jenis pohon mangrove, cm; berakar nafas (pneumatophores) kecil, seperti pensil,
8 jenis merupakan jenis asli setempat dan sisanya diameter sampai 0,7 cm. Batang silindris, tidak berbanir;
merupakan jenis yang ditanam yang berasal dari kawasan kulit luar abu-abu, abu-abu kehijauan sampai coklat,
lain. Jenis-jenis pohon mangrove asli kawasan HLAK menyerpih. Daun tunggal, berhadapan atau bersilang
terbagi atas dua grup, yakni (i) mangrove sejati yang terdiri berhadapan, membundar telur sungsang atau melonjong
atas 7 jenis, yaitu Avicennia officinalis L. (Avicenniaceae), melebar, panjang 6-9 cm, lebar 3-4,5 cm; pangkal runcing
Rhizophora apiculata Blume, R. mucronata Lamarck, R. atau membaji, ujung membundar atau tumpul; permukaan
stylosa Griff (Rhizophoraceae), Sonneratia caseolaris (L.) atas hijau sampai hijau tua, permukaan bawah abu-abu, hijau
Engler (Sonneratiaceae) yang merupakan komponen keabu-abuan; panjang tangkai ± 1 cm. Perbungaan mementol
mayor/utama, Excoecaria agallocha L., (Euphorbiaceae) (capitate), panjang 1-1,5 cm, lebar ± 0,5 cm, panjang gagang
dan Xylocarpus moluccensis (Lamk.) Roem. (Meliaceae) perbungaan 2,5-4 cm; disusun sampai 12 bunga. Bunga
yang merupakan komponen minor/tambahan, dan (ii) berkelopak hijau; mahkota bunga kuning atau kuning tua;
sisanya sebagai asosiasi mangrove, yaitu Terminalia benangsari 4 buah, hijau muda sampai kuning. Buah
catappa L. Sedangkan 7 jenis pohon mangrove yang membulat telur, diameter mencapai 2,5 cm, panjang
merupakan jenis introduksi terdiri atas 1 jenis mangrove mencapai 3 cm, hijau keabu-abuan-kecoklatan, kulit berbulu
sejati, yaitu Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamarck halus pendek; ujung berjarum, hitam.
(Rhizophoraceae), dan 6 jenis asosiasi mangrove, yakni Ekologi. Tumbuh pada daerah yang berlumpur dalam
Calophyllum inophyllum L. (Guttiferae), Cerbera manghas sampai dangkal, tergenang air pasang harian, pada habitat
L. (Apocynaceae), Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen, mangrove umumnya membentuk tegakan murni. Di
Tamarindus indica, Acacia mangium, dan A. auriculiformis kawasan HLAK, tegakan jenis ini mendominasi sebagian
(Leguminosae). Berdasarkan tingkat pertumbuhannya, B. besar kawasan.
gymnorrhiza, C. inophyllum dan C. manghas baru sampai
pancang, sedangkan P. falcataria, T. indicus, A. mangium, Excoecaria agallocha L.
dan A. auriculiformis sudah ada yang mencapai tingkat Excoecaria agallocha L., Ridley Fl. Mal. Penin. 3 (1924)
pohon. 640; Backer and Bakhuizen, Fl. Java 1: 499 (1963)
Untuk mengenal jenis-jenis pohon mangrove asli daerah Pohon dengan tinggi mencapai 14 m dan dbh mencapai
tersebut berikut ini disajikan kunci identifikasi lapangan ke 8 25 cm; tidak memiliki akar di atas substrat (no prominent
jenis tersebut. areal roots). Batang silindris, tidak berbanir; kulit luar hijau
kecoklatan sampai hitam, licin, retak-retak seperti garis
Kunci identifikasi lapangan vertikal; bergetah putih. Daun tunggal, berselang atau
Berdasarkan hasil analisis dan pengukuran karakter tersebar, melonjong sampai menjorong, panjang 4-7,5 cm,
morfologi, jenis-jenis pohon mangrove asli di kawasan lebar 2-3 cm; pangkal runcing atau tumpul, ujung runcing atau
HLAK dapat dibedakan berdasarkan karakter morfologi meruncing; permukaan atas hijau sampai hijau tua,
organ vegetatif tanpa dikombinasikan dengan organ permukaan bawah hijau; tangkai hijau muda sampai hijau,
generatif, seperti tersimpul dari kunci identifikasi berikut ini: panjang 1,5-2 cm. Perbungaan bunga jantan tipe untaian,
bunga betina tandan bertangkai pendek; panjang sampai 7
1.a. Pohon memiliki akar di atas substrat (aerial roots) .............. 2
2.a. Berakar nafas (pneumatophores) ......................................... 3
cm, hijau muda kehijauan sampai hijau. Bunga berkelopak
3.a. Akar nafas langsing seperti pensil, diameter sampai 0,7 cm hijau kekuningan; petal hijau dan putih; benangsari 3, kuning.
….......................................................… Avicennia officinalis Buah kapsul beruang 3, licin, hijau, diameter sampai 0,7 cm.
3.a. Akar nafas kokoh seperti baji, diameter mencapai 5 cm ...... 4
36 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 34-39

a b c d e

Gambar 1. Avicennia officinalis: a. tegakan; b. akar nafas; c. kulit batang; d. bunga; e. buah.

a b c d e

Gambar 2. Excoecaria agallocha: a. tegakan; b. pangkal batang; c. kulit batang; d. bunga; e. buah.

a b c d
Gambar 3. Rhizophora apiculata: a. tegakan dan akar tunjang; b. kulit batang; c. bunga; d. bunga.

a b c d e

Gambar 4. Rhizophora mucronata: a. tegakan; b. akar tunjang; c. kulit batang; d. bunga; e. buah dan hipokotil.
ONRIZAL dkk. – Flora mangrove di Angke-Kapuk 37

a b c d
Gambar 5. Rhizophora stylosa: a. tegakan; b. kulit batang; c. daun dan bunga; d. buah dan hipokotil.

(i)

a b c (ii) (iii) d e

Gambar 6. Sonneratia caseolaris: a. tegakan; b. akar nafas; c. kulit batang; d. bunga, (i) bunga akan mekar, (ii) bunga muda, (iii) bunga
mekar namun benangsari sudah luruh; e. buah.

a b c e e

Gambar 7.Terminalia catappa: a. tegakan; b. pangkal batang; c. kulit batang; d. percabangan yang khas, e. bunga, f. buah.

a b c d e

Gambar 8. Xylocarpus moluccensis: a. tegakan; b. akar nafas yang pendek; c. kulit batang; d. daun; e. buah.
38 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 34-39

Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan tanah yang agak membentuk tegakan murni. Di kawasan HLAK, tegakan
keras atau daerah pinggir belakang mangrove, jarang murni jenis ini masih banyak dijumpai.
tergenang air pasang, tidak membentuk tegakan murni
(sehingga digolongkan sebagai komponen minor Rhizophora stylosa Griff.
mangrove). Di kawasan HLAK, tegakan jenis ini ditemukan Rhizophora stylosa Griff. Ding Hou, Fl. Males. 1, 5 (4):
sedikit dan tumbuh secara terpencar pada daerah yang 456 (1958); Backer and Bakhuizen, Fl. Java 1: 380 (1963)
agak kering dan jarang tergenang air pasang. Pohon dengan tinggi mencapai 10 m dan dbh mencapai
25 cm; berakar tunjang. Batang silindris, tidak berbanir; kulit
Rhizophora apiculata Blume luar coklat, coklat keabu-abuan sampai coklat kehitaman,
Rhizophora apiculata Blume, Ding Hou, Fl. Males. 1, 5 licin, retak-retak vertikal seperti garis dengan tepi tidak
(4): 452 (1958); Backer and Bakhuizen, Fl. Java 1: 379 (1963) terangkat. Daun tunggal, bersilang berhadapan, melonjong
Pohon dengan tinggi mencapai 16 m dan dbh mencapai melebar, panjang 8,6-12,8 cm, lebar 4,9-6,6 cm; pangkal
20 cm; berakar tunjang. Batang silindris, tidak berbanir; kulit runcing, ujung runcing bermukro sampai 0,7 cm; permukaan
luar coklat terang, coklat keabu-abuan sampai coklat atas hijau sampai hijau tua, permukaan bawah hijau
kehitaman, licin, retak-retak seperti garis vertikal. Daun kekuningan berbintik-bintik hitam kecil; tangkai hijau, panjang
tunggal, bersilang berhadapan, melonjong menyempit, 2,7-3,3 cm; daun penumpu hijau muda. Perbungaan
panjang 10-15 cm, lebar 3,5-6,5 cm; pangkal runcing atau menggarpu dengan (4)-5-8-(16) bunga, gagang perbungaan
membaji, ujung daun bermukro sampai 0,2 cm, ujung runcing hijau, panjang 2,4-4,3 cm. Bunga hijau kekuningan sampai
atau meruncing; permukaan atas hijau sampai hijau tua, kecoklatan, panjang 1,0-1,2 cm, lebar 0,6-0,7 cm, bertangkai
permukaan bawah hijau kekuningan; tangkai hijau sampai panjang 0,9-12,1 cm; kelopak hijau kekuningan, hijau
merah, panjang sampai 2,5 cm; daun penumpu merah. kecoklatan, bercuping 4; mahkota putih, berbulu; benangsari
Perbungaan selalu sepasang, gagang perbungaan tebal, 8, hijau muda atau coklat muda. Buah membulat telur
hijau, panjang ± 0,5 cm. Bunga hijau sampai kecoklatan, memanjang, panjang 2,5-4 cm, lebar sekitar 1,5-2,5 cm, kulit
panjang 1-1,4 cm, lebar 0,5-0,8 cm; bertangkai pendek, kasar, coklat, kelopak tidak luruh, bersifat vivipari membentuk
berembang (apiculate); kelopak hijau kekuningan, hijau hipokotil; hipokotil hijau kekuningan sampai hijau, banyak
kecoklatan sampai kemerahan, cuping 4; mahkota putih atau lentisel, panjang mencapai 25-(54) cm, diameter 1,0-1,6 cm;
hijau muda, tidak berbulu; benangsari umumnya 12, coklat kotiledon hijau muda sampai hijau, licin, panjang sampai 2
muda. Buah membulat telur menyerupai paruh, panjang 1,5-2 cm.
cm, diameter 1-1,5 cm, kulit kasar, coklat, kelopak tidak luruh, Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan lumpur dangkal,
bersifat vivipari membentuk hipokotil; hipokotil hijau tergenang air pasang harian, membentuk tegakan murni. Di
kekuningan sampai hijau, licin, panjang 21-32 cm, lebar 1-1,5 kawasan HLAK, tegakan jenis ini sudah jarang dijumpai.
cm; kotiledon merah, licin, panjang 2-3 cm.
Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan lumpur yang Sonneratia caseolaris (L.) Engler
agak keras dan dangkal, tergenang air pasang harian, bisa Sonneratia caseolaris (L.) Engler. Backer and
membentuk tegakan murni. Di kawasan HLAK, pada saat Bakhuizen, Fl. Java 1: 258 (1963).
ini sudah tidak membentuk tegakan murni lagi. Pohon dengan tinggi mencapai 18 m dan dbh mencapai
40 cm; berakar nafas yang kokoh, meruncing, diameter
Rhizophora mucronata Lamarck pangkal mencapai 5 cm, tinggi mencapai 40 cm. Batang
Rhizophora mucronata Lamarck. Ding Hou, Fl. Males. 1, silindris, tidak berbanir; kulit luar coklat keabu-abuan
5 (4): 453 (1958); Backer and Bakhuizen, Fl. Java 1: 380 sampai coklat kehitaman, bergelang, adakalanya besisik.
(1963). Daun tunggal, bersilang berhadapan atau berhadapan,
Pertelaan. Pohon dengan tinggi mencapai 16 m dan dbh membundar telur sungsang, melonjong sampai menjorong,
mencapai 27 cm; berakar tunjang. Batang silindris, tidak panjang 7,5-12 cm, lebar 2,7-3,2 cm; pangkal runcing atau
berbanir; kulit luar coklat, coklat keabu-abuan sampai coklat membaji, ujung tumpul atau runcing; permukaan atas hijau
kehitaman, kasar, retak-retak berbentuk persegi empat sampai hijau tua; permukaan bawah hijau kekuningan;
dengan pinggir terangkat. Daun tunggal, bersilang tangkai pendek, hijau sampai hijau kemerahan, panjang
berhadapan, melonjong melebar sampai menjorong, panjang sampai 0,5 cm; kuncup hijau muda. Bunga soliter, membulat,
12-17 cm, lebar 5,5-10 cm; pangkal runcing atau membaji, panjang sampai 3 cm, lebar sampai 2,5 cm; kelopak hijau,
ujung tumpul atau runcing bermukro sampai 0,7 cm; cuping 6; petal 6, merah, tipis; benangsari banyak, merah dan
permukaan atas hijau sampai hijau tua, permukaan bawah putih. Buah membulat dengan kelopak tidak luruh seperti
hijau kekuningan berbintik-bintik hitam kecil; tangkai hijau, bintang, hijau, diameter sampai 5 cm; tangkai putik panjang
panjang 3-5 cm; daun penumpu merah atau hijau muda. sampai 7 cm.
Perbungaan menggarpu dengan (2)-3-(5) bunga, gagang Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan lumpur lunak
perbungaan hijau, panjang 2-5 cm. Bunga hijau kekuningan yang dalam sampai dangkal, tergenang air pasang harian,
sampai kecoklatan, panjang 1,2-1,7 cm, lebar 0,5-0,8 cm, di pinggir atau muara sungai, membentuk tegakan murni. Di
bertangkai panjang r 0,6 cm; kelopak hijau kekuningan, hijau kawasan HLAK tegakan murni jenis ini sudah jarang
kecoklatan, bercuping 4; mahkota putih, berbulu; benangsari dijumpai.
8, hijau muda atau coklat muda. Buah membulat telur
memanjang, panjang 3,5-5 cm, lebar sekitar 1,5-2,5 cm, kulit Terminalia catappa L.
kasar, coklat, kelopak tidak luruh, bersifat vivipari membentuk Terminalia catappa L. Backer and Bakhuizen, Fl. Java 1:
hipokotil; hipokotil hijau kekuningan sampai hijau, banyak 352 (1963)
lentisel, panjang mencapai 50 cm, diameter 1-2 cm; kotiledon Pohon dengan tinggi mencapai 16 m dan dbh mencapai
hijau muda sampai hijau, licin, panjang sampai 2 cm. 30 cm; tidak memiliki akar di atas substrat. Batang silindris,
Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan lumpur lunak tidak berbanir; kulit luar putih keabu-abuan sampai hitam
yang dalam sampai dangkal, tergenang air pasang harian, keabu-abuan, retak-retak seperti garis vertikal. Daun
tunggal, spiral atau menyebar, mengumpul di ujung ranting,
ONRIZAL dkk. – Flora mangrove di Angke-Kapuk 39

membundar telur sungsang, panjang 13-17 cm, lebar 9-13 gymnorrhiza, C. inophyllum, C. manghas, P. falcataria, T.
cm; pangkal runcing atau membaji, ujung membundar atau indica, A. mangium, dan A. auriculiformis. Jenis-jenis pohon
tumpul; permukaan atas hijau sampai hijau tua; permukaan mangrove asli kawasan HLAK dapat dibedakan dengan
bawah hijau kecoklatan, berbulu halus pendek; tangkai hijau hanya menggunakan karakter morfologi organ vegetatif.
muda sampai hijau, panjang sampai 1 cm. Perbungaan tipe
bulir, panjang sampai 10 cm. Bunga hijau muda sampai hijau,
bulat kecil, diameter sampai 0,3 cm; kelopak hijau pada UCAPAN TERIMA KASIH
bagian luar dan putih pada bagian dalam, bercuping 5;
benangsari 10, putih sampai hijau muda. Buah seperti Penulis mengucapkan terima kasih kepada pengelola
almond, licin, hijau, hijau keabu-abuan, diameter sampai 4 Hutan Lindung Angke Kapuk atas izin yang diberikan untuk
cm, panjang sampai 6 cm. melaksanakan penelitian di kawasan tersebut. Demikian
Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan tanah yang agak juga kepada pimpinan Herbarium Bogoriense atas izin
keras atau daerah pinggir belakang mangrove, jarang untuk menggunakan koleksi herbarium dan fasilitas lain
tergenang air pasang, umum juga tumbuh di di daerah guna mendukung penelitian ini.
bukan habitat mangrove. Di kawasan HLAK, tegakan jenis
ini ditemukan sedikit dan tumbuh secara terpencar pada
daerah yang agak kering dan jarang tergenang air pasang. DAFTAR PUSTAKA

Xylocarpus moluccensis (Lamk.) Roem. Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol.
I. Groningen: P.Noordhoff
Xylocarpus moluccensis (Lamk.) Roem., Mabberley et al., Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol.
Fl. Males. 1, 12 (1): 376 (1995); Backer and Bakhuizen, Fl. II. Groningen: P.Noordhoff
Java 2: 118 (1965). Brastasida, L. 2002. Pelestarian Ekosistem mangrove di Propinsi DKI
Pohon dengan tinggi mencapai 10 m dan dbh mencapai Jakarta. Dalam: Susanti, P. (ed.). Konservasi dan Rehabilitasi sebagai
Upaya Pelestarian Ekosistem Mangrove DKI Jakarta. Prosiding Seminar
20 cm; berakar nafas kokoh, tumpul, diameter mencapai 5 Mangrove DKI Jakarta. Jakarta, 21 Oktober 2002.
cm, pendek dengan tinggi hanya mencapai 5 cm. Batang Ding Hou. 1958. Rhizophoraceae. Flora Malesiana 1, 5 (4): 452-453.
silindris, adakalanya berbanir; kulit luar coklat sampai Fakultas Kehutanan IPB. 1996. Laporan Akhir: Pembinaan Habitat dan
Satwa Liar di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Bogor: Kerjasama Dinas
hitam, besisik atau mengelupas. Daun majemuk bersirip Kehutanan Propinsi DKI Jakarta dengan Fakultas Kehutanan IPB.
genap, berseling, 1-3 pasang anak daun tiap rakhis; rakhis Fakultas Kehutanan IPB. 2000a. Laporan Akhir: Penataan Kawasan Hutan
coklat tua, panjang 4,5-9 cm; anak daun melonjong sampai Lindung di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Bogor: Kerjasama
menjorong, panjang 7-14 cm, lebar 2,5-6,5 cm, pangkal antara Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Fakultas
Kehutanan IPB.
runcing atau membaji, ujung runcing atau meruncing; Fakultas Kehutanan IPB. 2000b. Laporan Akhir: Penyusunan Identifikasi
permukaan atas hijau, permukaan bawah hijau kekuningan Pemanfaatan Kawasan Lindung di Kecamatan Penjaringan, Jakarta
sampai hijau; bertangkai, panjang ± 0,5 cm. Perbungaan tipe Utara. Bogor: Kerjasama antara Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta dan Fakultas Kehutanan IPB.
tandan dengan 10-35 bunga, panjang 6-19,5 cm; bunga kecil, Kusmana, C. 2002. Konservasi dan rehabilitasi mangrove di wilayah DKI
diameter 0,8-1 cm; tangkai bunga 0,2-1 cm; kelopak hijau Jakarta. Dalam: Susanti, P. (ed.). Konsrvasi dan Rehabilitasi sebagai
kekuningan, cuping 4; petal 4, hijau muda sampai putih Upaya Pelestarian Ekosistem Mangrove DKI Jakarta, Prosiding Seminar
kehijauan. Buah seperti bola, diameter sampai 10 cm, kulit Mangrove DKI Jakarta. Jakarta, 21 Oktober 2002.
Mabberley, D.J., C.M Pannel, and A.M. Sing. 1995. Meliaceae. Flora
hijau seperti kulit, licin, 4-10 biji. Malesiana 1, 12 (1): 376.
Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan tanah yang Matrizal, I., Paryono, dan S. Yuwono. 2002. Evaluasi Ekosistem Mangove di
keras, jarang tergenang air pasang, umum di daerah batas Wilayah Teluk Jakarta. Bogor: Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
luar hutan mangrove yang berbatasan dengan hutan Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika IPB. 1997. Laporan
daratan, tidak membentuk tegakan murni. Di kawasan Akhir: Perencanaan Pengelolaan Reboisasi dan Penghijauan Kota.
HLAK, tegakan jenis ini sudah jarang dijumpai. Bogor: Kerjasama Dinas Kehutanan DKI Jakarta dengan Pusat
Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika Lembaga Penelitian IPB.
Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika IPB. 1997. Laporan
Akhir: Perencanaan Konservasi Sumberdaya Alam di Kawasan Pantai
KESIMPULAN Utara DKI Jakarta. Bogor: Kerjasama Dinas Kehutanan DKI Jakarta
dengan Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika Lembaga
Penelitian IPB.
Kawasan Hutan Lindung Angke-Kapuk memiliki 15 jenis Ridley, H.N. 1923. Flora of the Malay Peninsula. Vol. 2. London: L. Reeve.
pohon mangrove, yang terdiri atas 8 jenis asli setempat dan Ridley, H.N. 1924. Flora of the Malay Peninsula. Vol. 3. London: L. Reeve.
7 jenis introduksi dari kawasan lain. Jenis-jenis asli Santoso, N. 2002. Prospek pengelolaan hutan mangrove Muara Angke
kawasan HLAK adalah A. officinalis, R. apiculata, R. sebagai lokasi pendidikan lingkungan di DKI Jakarta. Dalam: Susanti, P.
(ed.). Konservasi dan Rehabilitasi sebagai Upaya Pelestarian Ekosistem
mucronata, S. caseolaris, E. agallocha, X. moluccensis dan Mangrove DKI Jakarta, Prosiding Seminar Mangrove DKI Jakarta.
T. catappa. Sedangkan jenis introduksi adalah B. Jakarta, 21 Oktober 2002.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 40-44

Vegetasi Tepi-Baruh pada Habitat Bekantan (Nasalis larvatus) di


Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan

Lowland-Edge Vegetation on Habitat of Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in


Rubber Forest of Tabalong District, South Kalimantan

1,2,j 3 4 5
MOCHAMAD ARIEF SOENDJOTO , HADI SUKADI ALIKODRA , MOHAMMAD BISMARK , HERU SETIJANTO
1
Program Doktor Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Petanian Bogor (IPB), Bogor 16680
2
Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarbaru 70714,
3
Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Petanian Bogor (IPB), Bogor 16680
4
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan, Bogor 16118
5
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Petanian Bogor (IPB), Bogor 16680

Diterima: 5 Nopember 2004. Disetujui: 7 Desember 2004.

ABSTRACT

The proboscis monkey (Nasalis larvatus) frequently visits certain lowland (baruh) and never visits other, although both lowlands are
inundated during rainy season or even have no water during the dry season. Data on seedling, sapling, pole, and tree of two former
lowlands and of two latter ones were collected. Important value indexes were compared based on Renkonen similarity index. Treatments
on vegetation were qualitatively recorded. The former lowlands had more diverse vegetation and higher security level than the latter had.
Food sources, such as Hevea brasiliensis, Syzygium stapfiana, Vitex pubescens, Elaeocarpus stipularis, and Artocarpus teysmanii were
available and more abundant on the former lowlands which were poorly cared. However, such condition could change anytime, because all
lowlands include in the cultivated area.
” 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: lowland-edge vegetation, Nasalis larvatus, rubber forest, Tabalong.

PENDAHULUAN Kalimantan Selatan yang secara spesifik didominasi galam


(Melaleuca cajuputi).
Habitat bekantan (Nasalis larvatus) cenderung terkait Kecenderungan habitat bekantan yang berkaitan
dengan perairan. Menurut Boonratana (2000), habitat dengan perairan juga terjadi di 10 lokasi hunian bekantan di
bekantan terbatas pada hutan tepian sungai, rawa gambut, Kabupaten Tabalong. Di lokasi-lokasi yang pada umumnya
dan mangrove. Supriatna dan Wahyono (2000) menyebut merupakan hutan karet itu terdapat perairan terbuka yang
habitat bekantan adalah hutan rawa, hutan muara sungai, berupa sungai atau baruh, yakni hamparan lahan yang
hutan bakau dekat sungai atau vegetasi nipah (Nipa permukaannya mencekung atau lebih rendah daripada
fruticans), serta rawa bakau sepanjang pantai, teluk atau permukaan lahan sekitarnya (Soendjoto et al., 2002).
daerah pasang surut. Di Taman Nasional Bako, Serawak, Dalam pengamatan lanjutan terhadap perilaku bekantan
bekantan dijumpai di hutan kerangas-tinggi yang berada di Desa Simpung Layung antara April 2003
(Dipterocarpaceae), hutan mangrove dan hutan tepian- dan Juli 2004, ditemukan bahwa bekantan sering
sungai, tetapi jarang dijumpai di vegetasi nipah, padang mendatangi dan berada cukup lama di baruh tertentu dan
rumput, semak sekunder, area yang banyak dikunjungi tidak pernah mendatangi baruh lainnya. Bekantan
manusia (Salter dan Aken, 1983), dan lahan pertanian berperilaku demikian, walaupun kedua kategori baruh ini
(Salter et al., 1985). Bekantan jarang ditemukan di tegakan- digenangi air pada musim penghujan atau bahkan tidak
murni nipah atau hutan cemara pantai (Casuarina berair sama sekali pada musim kemarau (Soendjoto, 2004,
equisetifolia) dan bukan penghuni hutan Dipterocarpaceae pengamatan pribadi). Kondisi ini mengisyaratkan bahwa air
(Bennett dan Sebastian, 1988). Menurut Payne et al., bukan satu-satunya kebutuhan bekantan. Ada faktor lain
(1985), primata ini dijumpai di hulu Sungai Kapuas yang juga dibutuhkan oleh bekantan dan kebutuhan itu
(Kalimantan Barat), Tumbang Maruwe (hulu Sungai Barito, tersedia di baruh. Salah satu kebutuhan paling mungkin
Kalimantan Tengah), serta Sungai Mahakam dan Sungai adalah pakan yang pada dasarnya bersumber dari
Kayan (Kalimantan Timur). Soendjoto et al. (2001) bahkan vegetasi.
menjumpai bekantan di hutan rawa di Barito Kuala, Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan vegetasi
antara baruh yang sering didatangi dan baruh yang tidak
pernah didatangi bekantan, serta mengidentifikasi
j Alamat korespondensi: kebutuhan yang mungkin didapat dari baruh tertentu tetapi
Kampus UNLAM, Banjarbaru 70714 tidak didapat di baruh lainnya.
Tel.: +62-62511-772290
e-mail: asoendjoto@telkom.net
SOENDJOTO dkk. – Vegetasi tepi-baruh habitat Nasalis larvatus 41

BAHAN DAN METODE Tabel 1. Spesies tumbuhan di tepi baruh hutan karet Simpung
Layung, Kabupaten Tabalong.
Pengambilan data vegetasi tepi baruh dilakukan di
hutan karet Desa Simpung Layung, Kecamatan Muara Uya, Famili Nama ilmiah Nama lokal
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan pada Mei 2004. 1. Anacardiaceae Buchanania sp. Rawa-rawa
Perlakuan masyarakat terhadap vegetasi diamati sampai 2. Anacardiaceae Bouea oppositifolia Paning-paning
dengan Juli 2004, ketika seluruh rangkaian penelitian 3. Anacardiaceae Gluta renghas Rengas
diakhiri. 4. Anacardiaceae Semecarpus heterophyllus Semecarpus
Sebanyak empat baruh dipilih sebagai contoh tapak, 5. Annonaceae Frisodielsia sp. Frisodielsia
6. Annonaceae Polyalthia sp. Polyalthia
yaitu Ari, Munti, Simpung-1, dan Simpung-2. Pada tepi
7. Bombacaceae Durio acutifolius Durian burung
utara Ari, tepi timur Munti, tepi timur Simpung-1, dan tepi 8. Connaraceae Cnethis platantha Lempe’ung
selatan Simpung-2 dibuat dua jalur (100x20) m2 9. Dilleniaceae Dillenia exelsa Galigantan
bersinggungan. Di setiap jalur terdapat lima plot (20x20) m2. 10. Ebenaceae Diospyros sp. Kayu hirang
Di dalam setiap plot terdapat masing-masing satu sub-plot 11. Elaeocarpaceae Elaeocarpus stipularis Bangkinang burung
lebih kecil (10x10) m2, (5x5) m2, dan (2x2) m2. Pada plot 12. Euphorbiaceae Aporosa lucida Lurangan
(20x20) m2 dihitung jumlah tumbuhan berkayu tingkat 13. Euphorbiaceae Glochidion rubrum Berunai
pohon dan diukur diameter batang setinggi dada, 14. Euphorbiaceae Hevea brasiliensis Karet
2 15. Euphorbiaceae Macaranga pruinosa Mahang
sedangkan plot (10x10) m untuk tingkat tiang. Pada plot
2 16. Euphorbiaceae Trigonostemon sp. Trigonostemon
(5x5) m dihitung jumlah tumbuhan berkayu tingkat pancang 17. Flacourtiaceae Pangium edule Kluwak
dan pada plot (2x2) m2 untuk tingkat semai. Tumbuhan 18. Guttiferae Callophyllum nodusum Unut-unut
tingkat pohon adalah tumbuhan yang berdiameter • 20 cm, 19. Guttiferae Garcinia dulcis Mundu, penaga
tingkat tiang berdiameter 10-20 cm, tingkat pancang 20. Hypericaceae Cratoxylum cochinchinensis Mampat
berdiameter ” 10 cm tetapi tingginya • 1,5 m, serta tingkat 21. Ixonanthaceae Ixonanthes reticulata Ixonanthes
semai tingginya ” 1,5 m. Spesies tumbuhan diidentifikasi di 22. Lauraceae Actinodaphne sp. Medang
Wanariset Samboja, Balikpapan, Kalimantan Timur. 23. Lauraceae Cinnamomum sp. Bungkam buaya
24. Loganiaceae Fagraea resinosa Mengkudu hutan
Data selanjutnya diolah sehingga diperoleh nilai-nilai
25. Melastomaceae Memecylon edule Kamasulan
frekuensi, frekuensi relatif, kerapatan, kerapatan relatif, 26. Melastomaceae Pternandra rostrata Jamai, pisulan
dominansi, dominansi relatif, dan indeks nilai penting (INP) 27. Moraceae Ficus binnendykii Kariwaya
setiap spesies tumbuhan. INP tingkat semai dan pancang 28. Moraceae Artocarpus elasticus Tarap
merupakan hasil penjumlahan kerapatan relatif dan 29. Moraceae A. integer Tiwadak
frekuensi relatif, sedangkan INP tingkat tiang dan pohon 30. Moraceae A. teysmanii Tiwadak banyu
merupakan hasil penjumlahan kerapatan relatif, frekuensi 31. Myrtaceae Syzygium nigricans Jambu hutan
relatif dan dominansi relatif. Dominansi ditentukan 32. Myrtaceae S. polyanthum Salam
33. Myrtaceae S. pyrifolium Serai merah
berdasarkan luas bidang dasar yang nilainya adalah 1/4 S 34. Myrtaceae S. stapfiana Kujamas
2
(D) . Vegetasi pada setiap baruh diperbandingkan. 35. Myrtaceae S. zeylanica Bati-bati
Pembandingan dilakukan menurut persentase kemiripan 36. Myrtaceae Syzygium sp. 1 Syzygium
atau indeks kemiripan Renkonen (Krebs, 1989) yang 37. Myrtaceae Syzygium sp. 2 Salam laki
dihitung berdasarkan INP. 38. Polygalaceae Xanthophyllum affine Babuku
39. Rubiaceae Timonius lasianthoides Kupat, bengkel
P = ¦ minimum (p1i, p2i) 40. Rutaceae Melicope hookeri Alaban kapas
41. Sapindaceae Nephelium cuspidatum Rambutan kabung
42. Symplocaceae Symplocos cochinchinensis Geminting
P = persentase kemiripan antara baruh 1 dan 2; 43. Symplocaceae S. fasciculata Habu-habu rawa
p1i = persentase spesies i dalam baruh 1; 44. Symplocaceae S. cerasifolia Symplocos
p2i = persentase spesies i dalam baruh 2. 45. Verbenaceae Peronema canescens Sungkai
Pembandingan juga dilakukan berdasarkan perlakuan 46. Verbenaceae Vitex pubescens Alaban
yang diterapkan pemilik hutan karet terhadap vegetasi tepi
baruh. Perlakuan ini dideskripsikan secara kualitatif.

30000
HASIL DAN PEMBAHASAN
20000
Komposisi vegetasi
Secara keseluruhan baruh di sekitar Desa Simpung
Layung ditumbuhi oleh 1 spesies tanaman budidaya, yaitu 10000
karet, dan 45 spesies tumbuhan berkayu yang tumbuh liar.
Semua spesies ini tercakup dalam 23 famili (Tabel 1.). Dari 0
semua spesies tersebut, 29 spesies tumbuh pada tingkat Semai Pancang Tiang Pohon
semai, 40 pada tingkat pancang, 9 pada tingkat tiang, dan
Ari 2250 800 50 160
12 pada tingkat pohon.
Kepadatan karet pada tingkat semai, pancang, dan Munti 5750 1040 40 92.5
tiang lebih tinggi di Simpung-1 dan Simpung-2 daripada di 25500 2600 330 182.5
Simpung-1
Ari dan Munti (Gambar 1.). Pada saat bersamaan,
kepadatan semai tumbuhan lain (selain karet) dibanding Simpung-2 11750 1960 310 257.5
kepadatan semai karet relatif lebih mencolok di Ari dan
Munti daripada di Simpung-1 dan Simpung-2 (Gambar 2.).
Kepadatan seperti ini dapat terjadi karena di Ari dan Munti Gambar 1. Kepadatan (individu/ha) karet menurut tingkat
tidak ada pemeliharaan hutan karet. Sebaliknya, di dua pertumbuhan di tepi baruh.
42 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 40-44

baruh lainnya pemeliharaan hutan lebih intensif.


50000
Pemeliharaan yang dilakukan oleh penduduk terhadap
hutan karet adalah penebasan tumbuhan liar. Terdapat tiga
40000
tindakan yang dilakukan masyarakat berkaitan dengan
penebasan ini. 30000
Pertama, penebasan harus dilakukan secara berkala.
Penebasan yang biasa dilakukan di kebun karet atau di 20000
lahan yang ditanami karet unggul ini dilakukan untuk
mematikan tumbuhan selain karet atau bahkan semai karet 10000
sekalipun. Perlakuan ini bermanfaat untuk memudahkan
0
pemilik kebun memupuk dan merawat pohon satu per satu. Semai Pancang Tiang Pohon
Dari perlakuan ini yang tampak di kebun atau lahan Ari (K) 2250 800 50 160
hanyalah tegakan karet teratur rapi dan bebas dari 45250 4840 40 12.5
Ari (SK)
tumbuhan lain.
Kedua, penebasan tumbuhan liar dilakukan seperlunya.
a
Hal ini biasa dilakukan pada hutan karet. Pada musim hujan
kegiatan dilakukan untuk memudahkan penyadap 30000
berpindah dari satu pohon ke pohon lain dalam
25000
penyadapan atau pengumpulan getah, mengurangi
tumbuhnya jamur/cendawan di batang karet, serta memberi 20000
kesempatan kulit batang lekas kering setelah ditoreh. Pada
musim kemarau, kegiatan dilakukan untuk menghindari 15000

kekeringan kulit batang. Kulit batang cepat mengering 10000


karena tajuk-tajuk karet, yang sebenarnya dapat berfungsi
5000
menutupi lantai hutan dari sinar matahari, berkurang.
Pengurangan seperti ini terjadi secara alami pada musim 0
kemarau (antara Juni dan September). Pada saat itu Semai Pancang Tiang Pohon
dedaunan karet berluruhan. Munti (K) 5750 1040 40 92.5
Ketiga, penebasan dilakukan kapan saja diperlukan. Hal Munti (SK) 26750 2520 170 67.5
ini biasa dilakukan oleh pemilik karet yang area hutan
karetnya relatif luas atau tenaga kerjanya terbatas. Pada b
hutan karet luas, pemilik dapat menggilir petak. Pemilik
menebas petak yang karetnya akan disadap dan 30000
membiarkan petak lain yang karetnya tidak disadap. Pemilik
25000
berharap karet yang tidak disadap dapat memulihkan luka-
luka akibat torehan. Pemilik pun dapat menebangi karet 20000
pada petak tertentu untuk dijadikan ladang dan selanjutnya
15000
menyadap karet pada petak lainnya atau bahkan menanami
dan memelihara karet muda pada petak yang satu atau dua 10000
tahun sebelumnya telah dijadikan ladang.
5000
Penebasan berdampak positif. Perlakuan ini
mengurangi terjadinya persaingan dalam memperoleh 0
Semai Pancang Tiang Pohon
pakan antara karet sebagai tanaman pokok dan tumbuhan
lain. Pada akhirnya pengurangan persaingan tersebut Simpung-1 (K) 25500 2600 330 182.5

meningkatkan produksi getah karet, meningkatkan Simpung-1 (SK) 16250 1240 0 0

perkembangan tegakan, dan meningkatkan kemungkinan


biji karet yang berjatuhan di atas tanah untuk bertumbuh c
menjadi bibit. Gambar 2c menunjukkan bahwa penebasan
atau pemeliharaan intensif di Simpung-1 meningkatkan 18000
kepadatan semai karet daripada kepadatan semai 16000
tumbuhan lain. Hal yang sebaliknya terjadi di Simpung-2, 14000
Ari, dan Munti (Gambar 2a, 2b, 2d). Di sisi lain, penebasan
12000
menyebabkan penurunan keanekaragaman spesies
10000
tumbuhan. Hal ini terlihat di Simpung-1 dan Simpung-2
yang jumlah spesies tumbuhan lainnya berturut-turut hanya 8000
15 dan 8, sedangkan jumlah spesies tumbuhan selain karet 6000
yang ditemukan di Ari adalah 22 dan di Munti mencapai 38. 4000
Tumbuhan selain karet yang mendominasi setiap tingkat 2000
pertumbuhan, di setiap baruh sebagai berikut: tingkat semai 0
di Ari didominasi oleh kujamas (88,38%), geminting Semai Pancang Tiang Pohon
(39,04%), dan salam (11,47%), di Munti oleh kujamas Simpung-2 (K) 11750 1960 310 257.5
(66,16%), paning-paning (22,98%), dan geminting Simpung-2 (SK) 16250 3960 0 7.5
(18,43%), di Simpung-1 oleh mundu (49,57%), Frisodielsia
(8,94%), dan babuku (8,34%), serta di Simpung-2 oleh
d
kujamas (52,59%), mundu (21,11%), dan babuku (19,26%).
Jenis tumbuhan dominan pada tingkat pancang di Ari Gambar 2. Kepadatan karet dan tumbuhan selain karet di baruh
adalah kujamas (85,38%), mampat (12,28%), dan Seme- (a) Ari, (b) Munti, (c) Simpung-1, dan (d) Simpung-2.
SOENDJOTO dkk. – Vegetasi tepi-baruh habitat Nasalis larvatus 43

carpus (10,86%), di Munti adalah alaban (17,78%), kupat pakan, seperti: karet, kujamas, alaban, tiwadak banyu, dan
(12,67%), dan mampat (12,44%), di Simpung-1 adalah mundu bangkinang burung. Di hutan karet yang didominasi oleh
(45,19%) dan bungkam buaya (6,60%), serta di Simpung-2 tanaman budidaya (karet), bekantan harus beradaptasi dan
adalah kujamas (80,03%), mundu (26,76%), dan rawa-rawa menjadikan karet sebagai sumber pakan. Namun, ketika
(10,70%). Di Ari jenis tumbuhan dominan pada tingkat tiang dedaunan karet meluruh atau merontok (terutama pada
adalah kujamas (125,31%), Semecarpus (25,34%), dan musim kemarau), bekantan pun harus mencari sumber
alaban (25,19%), di Munti adalah bangkinang burung pakan alternatif. Sumber pakan itu antara lain kujamas,
(62,33%), alaban (58,62%), dan kujamas (43,92%), alaban, bangkinang burung, dan tiwadak banyu (Soendjoto,
sedangkan di Simpung-1 dan Simpung-2 tidak ada 2004). Keempat tumbuhan ini tersedia di Ari dan Munti dan
tumbuhan lain yang mendominasi. Di Ari jenis tumbuhan bahkan tiga tumbuhan pertama tergolong dominan.
dominan pada tingkat pohon adalah kujamas (13,62%), Kujamas memiliki akar jangkar. Perakaran ini mirip dengan
alaban (12,97%), dan Semecarpus (10,69%), di Munti perakaran bakau, sehingga mampu beradaptasi di perairan.
alaban (46,52%), tarap (33,53%), dan bangkinang burung Alaban dikenal sebagai tumbuhan pionir dan mampu cepat
(15,25%), sedangkan di Simpung-1 tidak ada tumbuhan lain tumbuh di tanah kering. Pertumbuhannya yang mencapai
serta di Simpung-2 hanya mahang (14,94%). tingkat pohon di Ari dan Munti sekaligus menegaskan
bahwa kedua baruh ini dibiarkan oleh masyarakat dan tidak
Kemiripan vegetasi antar baruh dipelihara intensif. Bangkinang burung dan tiwadak banyu
Tabel 2. menunjukkan indeks kemiripan antar baruh juga termasuk tumbuhan yang mudah tumbuh. Buah
pada tingkat semai, pancang, tiang, pohon, dan semua bangkinang burung merupakan sumber pakan tidak hanya
tingkat pertumbuhan. Indeks kemiripan tertinggi untuk bagi bekantan, tetapi juga spesies burung frugivora dan
vegetasi tingkat semai terjadi di Ari x Munti (58,74%), hirangan (Trachipithecus auratus). Tiwadak banyu
sedangkan untuk pancang di Ari x Simpung-2 (58,79%). merupakan tumbuhan yang biasa ditemukan di sekitar
Tumbuhan penyumbang kemiripan untuk semai ini antara perairan. Bekantan pernah dijumpai memakan seluruh
lain karet, kujamas, dan geminting, sedangkan untuk tingkat daun. Dengan demikian, mendatangi baruh yang memiliki
pancang antara lain karet, kujamas, dan babuku. keanekaragaman tumbuhan tinggi merupakan strategi
Sementara itu, indeks kemiripan tertinggi pada tingkat tiang bekantan untuk beradaptasi terhadap berbagai sumber dan
dan sekaligus tingkat pohon adalah Simpung-1 x Simpung- komposisi pakan. Adaptasi ini akan menguntungkan bagi
2, secara berturut-turut 100% dan 95,02%. Satu-satunya kelangsungan hidup bekantan, terutama selama terjadinya
tumbuhan penyumbang kemiripan untuk tiang adalah karet, penurunan kuantitas dan kualitas salah satu sumber pakan.
sedangkan untuk tingkat pohon adalah karet dan mahang. Secara umum bekantan adalah folifora (Bennett dan
Sebastian, 1988). Daun merupakan jenis pakan utama bagi
bekantan; proporsinya mencapai 92% dari seluruh pakan
Tabel 2. Indeks kemiripan vegetasi antar-baruh untuk setiap dan (Bismark, 1987). Tingginya tingkat konsumsi terhadap daun
semua tingkat pertumbuhan. disebabkan oleh rendahnya keragaman jenis pohon dan
tidak selalu adanya produksi buah (Soerianegara et al.,
Antar-baruh Semai Pancang Tiang Pohon Semua 1994). Di Taman Nasional Tanjung Puting, Yeager (1989)
1. Ari x Munti 58,74 42,53 37,94 61,18 50,10 menemukan bahwa pada Januari-Mei bekantan adalah
2. Ari x Simpung-1 20,23 24,25 42,39 87,57 43,61 frugifora, sedangkan pada Juni-Desember bekantan
3. Ari x Simpung-2 42,71 58,79 42,39 87,57 57,87 berperan sebagai pemakan dedaunan.
4. Munti x Simpung-1 25,13 30,69 15,90 54,61 31,58 Kedua, Ari dan Munti memberikan tingkat keamanan
5. Munti x Simpung-2 44,08 31,56 15,90 54,61 36,54 yang lebih tinggi daripada Simpung-1 dan Simpung-2. Ari
6. Simpung-1 x Simpung-2 53,99 57,09 100,00 95,02 76,53 dan Munti terletak di dalam hutan karet dan berjarak 200-
Keterangan: Nilai indeks kemiripan dalam %. 250 m dari jalan tanah Simpung – Ojik atau sekitar 500 m
dari permukiman. Kondisi ini berbeda dengan Simpung-1
dan Simpung-2. Simpung-1 terletak hanya sekitar 150 m
Dalam kaitan vegetasi sebagai habitat bekantan, indeks dari permukiman (Simpung Kampung) atau jalan raya
kemiripan berdasarkan tingkat pertumbuhan saja kurang Tanjung – Muara Uya, sedangkan Simpung-2 terletak
memadai untuk ditafsirkan lebih jauh. Oleh sebab itu, hanya sekitar 100 m dari jalan tanah Simpung – Ojik. Letak
indeks kemiripan gabungan atau berdasarkan semua ini menjadikan Ari dan Munti relatif jauh dari gangguan.
tingkat pertumbuhan perlu dipergunakan. Indeks ini tetap Gangguan paling besar yang dihadapi bekantan adalah
merupakan indeks kemiripan Renkonen, tetapi nilainya aktivitas manusia. Aktivitas utama manusia di hutan karet
diperoleh dari jumlah indeks kemiripan untuk semua tingkat adalah penyadapan karet dan penebasan tumbuhan liar
pertumbuhan (dalam hal ini adalah semai, pancang, tiang, (selain karet), sedangkan di permukiman antara lain adalah
pohon) dibagi 4. Indeks kemiripan gabungan tertinggi aktivitas rumah tangga. Aktivitas ini menimbulkan gerakan,
terdapat antara Simpung-1 x Simpung-2 (76,53%). misalnya lalu lalang orang; serta kebisingan, misalnya
Tumbuhan penyumbang kemiripan tidak hanya karet, tetapi suara penduduk, bunyi alat transportasi, bunyi gergaji
juga kujamas, mahang, mundu, salam laki, bungkam mesin dan kapak dalam penebangan, serta bunyi pengeras
buaya, dan babuku. suara atau alat elektronik. Pada bekantan yang hidup di
hutan rawa, Yeager (1992) berpendapat bahwa
Kaitan kondisi vegetasi dan kehadiran bekantan pertambahan lalu lalang kendaraan sungai berdampak
Terdapat kaitan antara kondisi vegetasi dan kehadiran negatif pada populasi bekantan.
bekantan. Dua faktor yang melatarbelakangi seringnya Secara umum, tingginya keanekaragaman tumbuhan
bekantan mendatangi Ari dan Munti atau tidak mendatangi dan tingginya tingkat keamanan di Ari dan Munti
Simpung-1 dan Simpung-2 adalah sebagai berikut: menunjukkan tingginya tingkat kenyamanan di kedua baruh
Pertama, Ari dan Munti menyediakan keanekaragaman tersebut. Bekantan adalah primata arboreal (Yasuma dan
tumbuhan lebih tinggi daripada Simpung-1 dan Simpung-2, Alikodra, 1997). Tipe habitat yang berpohon tentu
sehingga terdapat lebih banyak spesies tumbuhan sumber disukainya, karena tipe habitat ini merupakan tempat yang
44 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 40-44

nyaman untuk berperilaku, seperti bergelantungan, atau tersedianya sumber pakan, serta tidak intensifnya
bermain, dan bersembunyi. Namun, tingkat kenyamanan pemeliharaan atau sedikitnya gangguan dari aktivitas
Ari dan Munti tentu saja dapat berubah atau menurun. Ari manusia memicu bekantan untuk sering mendatangi Ari
dan Munti, seperti juga Simpung-1 dan Simpung-2, dan Munti. Namun penurunan keanekaragaman dan tingkat
merupakan kawasan budidaya. Ketika pepohonan karet di keamanan dari gangguan manusia dapat terjadi kapan saja,
tepi kedua baruh ini akan disadap lagi atau bahkan karena Ari dan Munti termasuk dalam kawasan budidaya,
dijadikan ladang, aktivitas manusia pun akan meningkat; seperti halnya Simpung-1 dan Simpung 2.
pepohonan ditebangi sehingga keanekaragaman tumbuhan Penelitian perlu dilanjutkan untuk mengetahui (i)
menurun. Salah satu contoh adalah yang terjadi di utara proporsi aktivitas harian bekantan atau lebih spesifik lagi
Munti (tepat berbatasan dengan baruh). Pada Juli 2004 lama (jam/hari) bekantan berada di sekitar baruh; (ii) jenis
vegetasi pada lahan sekitar 0,5 ha ditebang habis dan tumbuhan selain karet, kujamas, bangkinang burung,
dipersiapkan untuk ladang. Pembakaran vegetasi hasil tiwadak banyu, dan alaban yang menjadi sumber pakan
penebangan direncanakan sedikit demi sedikit, ketika bekantan; (iii) jenis tumbuhan dan bagian organ yang
serasah kering. Penyemprotan pestisida setelah disukai bekantan; (iv) cara bekantan mengatasi ketiadaan
pembakaran dan penanaman padi di lahan tersebut air di baruh pada musim kemarau.
direncanakan bulan Oktober 2004. Kondisi ini mengubah
aktivitas harian bekantan. Bekantan berusaha mencari
baruh lain dan harus beradaptasi dengan lingkungan ini. DAFTAR PUSTAKA
Selain keempat baruh yang dijadikan lokasi penelitian,
terdapat banyak baruh di hutan karet Mabai (Desa Simpung Alikodra, H.S. 1997. Populasi dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di
Samboja Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi 5 (2): 67-72.
Layung) yang luasnya diperkirakan 400 ha, misalnya Puak, Bennett, E.L. and A.C. Sebastian. 1988. Social organization and ecology of
Saga, Rantaubaru, Bukuan, Kuwaruh, dan Panai Buruk. proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in mixed coastal forest in
2
Luas baruh bervariasi 20-2.500 m dan kedalaman 0,25-4 Sarawak. International Journal of Primatology 9 (3): 233-255.
m. Dengan asumsi bahwa luas daerah jelajah bekantan Bismark, M. 1980. Populasi dan tingkahlaku bekantan (Nasalis larvatus) di
Suaka Margasatwa Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. [Laporan No.
berkisar dari 27 ha (Bismark, 1980) hingga 900 ha (Bennett 357]. Bogor: Lembaga Penelitian Hutan.
dan Sebastian, 1988) dan daerah jelajah yang Bismark, M. 1987. Sosio ekologi bekantan (Nasalis larvatus) di Taman
dipergunakan secara intensif seluas 19,4 ha (Soerianegara Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Rimba Indonesia 21 (2-4): 24-35.
Boonratana, R. 2000. Ranging behaviour of proboscis monkeys (Nasalis
et al., 1994), maka baruh ini dapat dijelajahi oleh bekantan larvatus) in the Lower Kinabatangan, Northern Borneo. International
dari Ari dan Munti. Variasi luas secara alami bergantung Journal of Primatology 21: 497-518
pada potensi dan keragaman pakan (Bismark, 1987), Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. New York: Harper & Row.
penyebaran jenis pakan utama (Salter et al., 1985), serta Payne, J., C.M. Francis, and K. Phillipps. 1985. A Field Guide to the
Mammals of Borneo. Kuala Lumpur: The Sabah Society & World Wildlife
faktor-faktor lingkungan lainnya, seperti perburuan (Bennett Fund Malaysia.
dan Sebastian, 1988) dan perubahan habitat atau Salter, R.E. and K.N. Aken. 1983. The probocis monkey in Bako National
peningkatan aktivitas manusia (Soerianegara et al., 1994; Park, Sarawak. Tigerpaper 10 (3): 6-8.
Salter, R.E., N.A. MacKenzie, N. Nightingale, K.M. Aken, and P.K. Chai.
Alikodra, 1997). 1985. Habitat uses, ranging behaviour, and food habitats of the
Berdasarkan indeks kemiripan (yang mencerminkan proboscis monkey, Nasalis larvatus (van Wurmb), in Sarawak.
ketersediaan pakan, tingkat keamanan, dan tingkat Primates 26 (4): 436-451.
kenyamanan) serta kedekatan dengan sumber air (yang Soendjoto, M.A. 2004. A New Record on Habitat of the Proboscis Monkey
(Nasalis larvatus) and Its Problems in South Kalimantan, Indonesia.
selalu tersedia pada musim kemarau), satu baruh yang Tigerpaper 31 (2): 17-18.
mungkin pertama kali atau sering didatangi oleh bekantan Soendjoto, M.A., Djami’at, Johansyah, dan Hairani. 2002. Bekantan juga
adalah Simpung-2. Sesuai dengan arah perjalanan harian hidup di hutan karet. Warta Konservasi Lahan Basah 10 (4): 27-28.
Soendjoto, M.A., M. Akhdiyat, Haitami dan I. Kusumajaya. 2001. Persebaran
bekantan, baruh ini hanya berjarak 200 m ke arah barat laut dan tipe habitat bekantan (Nasalis larvatus) di Kabupaten Barito Kuala,
dari Ari atau 1.500 m ke arah tenggara dari Sungai Uwi. Kalimantan Selatan. Media Konservasi 7 (2): 55-61.
Namun, kemungkinan pemilihan bekantan pada Simpung-2 Soerianegara, I., D. Sastradipradja, H.S. Alikodra, dan M. Bismark. 1994.
masih perlu diteliti, karena letak baruh yang lebih dekat Studi Habitat, Sumber Pakan, dan Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus)
sebagai Parameter Ekologi dalam Mengkaji Sistem Pengelolaan Habitat
dengan permukiman dan jalan. Hutan Mangrove di Taman Nasional Kutai. [Laporan Akhir]. Bogor:
Bogor: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB.
Supriatna, J. dan E.H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
KESIMPULAN DAN SARAN Yasuma, S. dan H.S. Alikodra. 1992. Mammals of Bukit Soeharto Protection
Forest. Samarinda: The Tropical Rain Forest Research Project JTA 9(a)-
Vegetasi tepi baruh Ari dan Munti memiliki 137, PUSREHUT Special Publication No. 1 Ed. 2.
keanekaragaman tumbuhan yang lebih tinggi daripada Yeager, C.P. 1989. Feeding ecology of the proboscis monkey (Nasalis
larvatus). International Journal of Primatology 10(6): 497-530.
vegetasi tepi baruh Simpung-1 dan Simpung-2. Kedua Yeager, C.P. 1992. Changes in proboscis monkeys (Nasalis larvatus) group
baruh ini tidak dipelihara secara intensif. Selain karet, size and density at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah,
tumbuhan yang dominan adalah kujamas, alaban, dan Indonesia. Tropical Biodiversity 1 (1): 49-55.
bangkinang burung. Tingginya keanekaragaman tumbuhan
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 45-49

Pakan dan Habitat Kukang (Nycticebus coucang) di Hutan


Lindung Perkampungan Baduy, Rangkasbitung-Banten Selatan
Feeding and habitat of slow Loris (Nycticebus coucang) in Badui Tribe conservation
forest, Rangkasbitung-south Banten

WIRDATETIj, LILIK ENDANG SETYORINI, SUPARNO, TRI HADI HANDAYANI


Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong-Bogor 16911

Diterima: 15 Juli 2004. Disetujui: 9 Desember 2004.

ABSTRACT

Feeding and habitat of slow Loris (Nycticebus coucang) in conservation forest located in Rangkasbitung-South Banten has been studied.
This study was conducted in protected forest of the Paniga and Kiaralawang Baduy tribe in Cibeo for the inner Baduy and in Tinjoleat forest
for the outer Baduy. The Study site was located about 250-610 m above sea level. The collected data consist of the type of feeding, nest
sites and health. During the observation there were 61 plant species from 24 families which were dominated by Moraceae and
Euphorbiaceae were consumed by slow Loris. Six other kinds of feed consist of small animals: reptile, mammals, aves, and insects. Nest
was building on host plant from growing trees and made of litters.
” 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: Nycticebus coucang, slow loris, Rangkasbitung conservation forest.

PENDAHULUAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati keadaan


habitat dan jenis-jenis tumbuhan hutan yang dipilih kukang
Kukang (Nycticebus coucang) adalah salah satu sebagai sumber pakan. Penelitian dilakukan di kawasan
spesies primata dari genus Nycticebus yang hutan lindung Baduy, Kecamatan Lewidamar, Kabupaten
penyebarannya di Indonesia meliputi pulau Jawa, Sumatera Lebak, Banten Selatan.
dan Kalimantan. Kukang dikenal juga dengan sebutan
pukang, malu-malu atau lori, bersifat aktif di malam hari
(nokturnal). Di pulau Jawa terdapat subspesies Nycticebus BAHAN DAN METODE
coucang javanicus, yang penyebarannya meliputi Jawa
Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ciri Observasi lapangan untuk mengetahui keberadaan
bulu tubuhnya berwarna coklat muda sampai coklat tua, kukang atau sarang kukang dilakukan dengan penjelajahan
bermata besar menonjol keluar, panjang kepala dan areal hutan dibantu oleh penduduk yang mengetahui
badannya 33 cm dengan bobot badan berkisar antara 300- sebaran kukang di sekitar hutan. Metode wawancara
1500 g. Pada bagian kepala hingga punggungnya terdapat digunakan untuk mengetahui kemungkinan keberadaan
garis coklat tua yang menjadi salah satu cirinya. Tangannya kukang, frekuensi kemunculan kukang serta bentuk atau
berfungsi sebagai pemegang yang telah berkembang baik jenis kukang yang pernah mereka lihat. Untuk melakukan
(Uitgeverij 1988). Populasi kukang di alam saat ini pengamatan tidak semua hutan dapat di survei, karena
diperkirakan cenderung menurun yang disebabkan oleh adanya pembagian kawasan hutan sesuai dengan
perusakan habitat dan penangkapan yang terus kegunaannya bagi masyarakat Baduy yaitu hutan garapan,
berlangsung tanpa memper-dulikan umur dan jenis kelamin. hutan lindung, dan hutan larangan. Observasi dilakukan
Penangkapan kukang yang tidak terkendali terutama untuk pada hutan lindung dan hutan garapan yaitu satu lokasi di
diperdagangkan sebagai hewan peliharaan (pet animal). kampung Baduy Luar yaitu perkampungan Kadugketar
Akibatnya kukang sekarang termasuk kategori spesies meliputi hutan Tinjoleat, hutan Gunung Baduy dan tiga
terancam punah dan dilindungi Undang-undang dalam lokasi di kampung Cibeo-Baduy Dalam meliputi hutan
Konvensi CITES Appendix II (Anonymous, 1996). Kukang Pagelaran (Cikakok), Paniga, dan Kiaralawang dengan
tergolong satwa pemakan segala (omnivora), seperti halnya ketinggian berkisar 200-635 m di dp). Kedua kawasan
dengan primata lainnya pakan utama adalah buah-buahan penelitian termasuk dalam wilayah Desa Kanekes,
dan dedaunan. Namun demikian kukang di habitat aslinya, Kecamatan Lewidamar. Posisi lokasi penelitian
juga memakan biji-bijian, serangga, telur burung, kadal dan diperlihatkan pada Tabel 1.
mamalia kecil (Napier and Napier, 1967). Observasi lapangan pada malam hari dan siang hari
dilakukan untuk mengetahui jenis tumbuhan yang dimakan
kukang. Pengamatan lebih banyak dilakukan pada malam
j Alamat korespondensi: hari karena kukang adalah hewan nokturnal. Selain
Widyasatwaloka. Jl. Raya Cibinong KM 46, Cibinong 16911 pengamatan langsung, informasi diperoleh juga dari
Tel.: +62-21-8765056. Fax.: +62-21-8765068. penduduk yang mengetahui jenis tumbuhan hutan yang
e-mail: teti_mzb@yahoo.com
biasa dimakan oleh kukang. Tumbuhan yang diketahui
46 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 45-49

bagian daun atau buahnya sebagai sisa pakan kukang HASIL DAN PEMBAHASAN
dicatat nama lokal, ketinggian pohon, dan bagian tumbuhan
yang dimakan. Selain itu sampel tanaman yang dimakan Lokasi observasi
juga diambil untuk herbarium guna pengidentifikasian nama Desa Kanekes-Ciboleger, Kecamatan Lewidamar,
ilmiah dan analisis nutrisi. Analisis pakan dilakukan secara Kabupaten Lebak adalah salah satu perkampungan suku
proksimat (bahan kering, abu, lemak, protein dan serat Baduy di Propinsi Banten, Jawa Barat (Gambar 1). Luasnya
kasar) serta gross energi. Tingkat palatabilitas kukang ± 510 Ha dengan jumlah penduduk 7181 jiwa terdiri dari
terhadap suatu jenis tumbuhan juga diketahui dari perilaku 1997 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 54 kampung
makan di penangkaran. Baduy. Tiga kampung di antaranya termasuk Baduy Dalam
Pengamatan habitat dilakukan pada sore sampai malam dengan peradaban asli suku Baduy sedangkan 51
hari, saat kukang meninggalkan sarang untuk mencari kampung lainnya termasuk Baduy Luar. Kampung Baduy
pakan. Sarang yang diketahui sebagai tempat kukang Dalam meliputi Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Umumnya
berlindung dan beristirahat, dicatat nama lokal tumbuhan, perkampungan terletak di tengah-tengah hutan garapan
diukur ketinggian sarang pada pohon tersebut dan bagian dan hutan lindung. Luas hutan garapan sekitar 2/3 bagian
tempat bersarang. dan 1/3 bagian lainnya merupakan hutan lindung. Pada
hutan lindung terdapat kawasan hutan larangan. Hutan
Tabel 1. Posisi lokasi penelitian di kawasan hutan lindung Baduy- larangan ini bagi suku Baduy Dalam, merupakan tempat
Banten. yang dikeramatkan, sehingga di kawasan hutan tersebut
tidak dilakukan observasi. Observasi hanya dilakukan di
Lintang Bujur timur Ketinggian dalam hutan lindung diluar kawasan hutan larangan, dan
Lokasi
Selatan (S) (T) (m dpl)
o ’ o hutan garapan. Pembagian hutan oleh masyarakat Baduy
6 36 003” 106 13’ 490” 250 Gunung Tinjoleat
o
6 36’ 114”
o
106 13’ 520” 250 Gunung Baduy adalah sebagai berikut:
o
6 37’117”
o
106 14’ 248” 400 Hutan Kiaralawang Hutan garapan. Di hutan ini penduduk dapat mengolah
o o
6 37’ 777” 106 14’ 238” 425 Hutan Pagelaran (Cikakok) lahan untuk kegiatan pertanian, seperti tanaman padi
o o
6 37’ 513” 106 14’ 494” 610 Hutan Paniga huma, pisang, cabe dan tidak diperbolehkan menanam
o o
6 36’ 812” 106 14’ 163” 410 Kadugketar tanaman keras seperti cengkeh.

Gambar 1. Peta lokasi pengamatan kukang di desa Kanekes, kawasan Baduy. Keterangan: 1 = Desa Kanekes, lokasi penelitian, 2 =
Kecamatan Lewidamar.
WIRDATETI dkk. – Pakan dan habitat Nycticebus coucang 47

Hutan lindung. Di hutan yang dilindungi ini, penduduk Inventarisasi jenis pakan
dapat memanfaatkan hasil tanaman yang tumbuh secara Seperti pada tempat-tempat lainnya, kukang sering
alami, akan tetapi tidak diperbolehkan untuk menebangnya. terlihat pada pohon aren, dan pada pohon yang sedang
Seperti pada tumbuhan, demikian pula satwa tidak berbuah. Hasil wawancara dengan penduduk setempat,
diperkenankan untuk diburu, kecuali jenis-jenis tertentu kukang juga sering terlihat memakan daun-daun muda atau
seperti kancil, burung, dan ikan. Penangkapan dilakukan pucuk, pangkal bunga, beberapa jenis hewan kecil seperti
dengan cara tradisional dan tidak diperbolehkan anak burung, kadal, cecak pohon, ular kecil, telur burung,
menggunakan bahan selain dari tumbuhan. Misalnya untuk dan serangga kecil. Hasil pengamatan, menunjukkan
menangkap kancil dengan menggali lubang dan tidak boleh kukang menyukai buah-buahan rasa manis seperti buah
menggunakan jerat atau senapan, burung dengan pohon ceri, leusir dan lain-lain; buah rasa asam manis dan
menggunakan getah dari nangka atau tanaman lain. daun-daunan rasa asam. Di samping itu kukang juga
Hutan larangan. Hutan ini dikeramatkan oleh menyukai tumbuhan yang mempunyai cairan rasa manis
masyarakat Baduy, sehingga hutan ini hanya diperbolehkan pada pangkal bunga atau buah seperti pada tanaman tepus
bagi orang-orang tertentu. Hutan ini hanya terdapat di hutan, air nira dari pohon aren, dan kaliandra, dengan cara
Baduy Dalam. mengisap cairan yang ada pada pangkal bunga atau bakal
bunga. Bransilver (1999) menyatakan bahwa makanan
kukang terutama adalah buah-buahan, kadang-kadang
Lokasi Kampung Kadugketug, Baduy Luar
serangga dan telur burung. Jenis tumbuhan yang dimakan
Lokasi ini terletak ± 1 km dari pintu masuk Desa
kukang dicantumkan pada Tabel 2. Pada tabel ini terlihat
Kanekes-Ciboleger dengan ketinggian 200 m dpl. Kampung
bahwa di alam kukang lebih menyukai buah-buahan dari
ini berpenduduk 40 KK dikelilingi oleh dua gunung
pada daun-daunan. Di samping itu, pada pengamatan ini
(perbukitan) yaitu Gunung Tinjoleat merupakan hutan
juga diketahui kukang mengkonsumsi pakan asal hewan,
lindung dan Gunung Baduy sebagai hutan garapan. Di
hal ini yang membedakan pakan kukang dari jenis primata
hutan lindung Gunung Tinjoleat yang merupakan hutan
lain. Terdapat enam jenis pakan asal hewan, yaitu
sekunder, sedikit sekali jenis satwa yang ditemukan, di
serangga, burung, telur burung, kadal pohon, ular kecil, dan
antaranya jenis primata (monyet ekor panjang dan lutung),
cecak pohon.
ular, kadal, tupai, dan beberapa jenis burung. Menurut
Tabel 2. menunjukkan terdapat 61 jenis tumbuhan yang
penduduk setempat hutan ini dulunya sering digunakan
tergolong dalam 24 suku. Jenis tumbuh-tumbuhan tersebut
sebagai kawasan berburu tupai, kancil, dan burung untuk
umumnya dari kelompok pohon dan perdu. Jenis terbanyak
dimakan, akan tetapi 10 tahun terakhir hewan buruan
adalah suku Moraceae (11 jenis) dan Euphorbiaceae (lima
tersebut sudah jarang terlihat.
jenis). Jenis buah-buahan yang tidak disukai adalah yang
Pada lokasi di atas tidak ditemukan kukang selama
berasa pahit, kecut, asam, dan gatal. Pucuk daun yang
observasi, akan tetapi menurut informasi penduduk
tidak disukai adalah dari jenis tumbuhan berdaun yang
setempat, kukang pada saat-saat tertentu terlihat di
berbau menusuk atau langu, berdaun kasar, berdaun pahit,
pinggiran hutan. Hewan tersebut tidak diburu karena
dan berdaun tebal. Jenis pakan yang tidak disukai kukang
dianggap keramat dan mereka takut untuk menangkapnya.
diketahui dari pengamatan penduduk dan dari uji coba
Di daerah tersebut kukang yang biasa dilihat masyarakat
pemberian beberapa jenis buah-buahan dan pucuk daun di
berwarna kecoklatan dengan strip hitam dari kepala hingga
penangkaran yang sebagian diperoleh dari alam.
punggungnya, ukuran tubuh diperkirakan sebesar kucing
Kandungan nutrisi beberapa jenis pakan kukang yang
muda. Ciri-ciri yang demikian sesuai dengan jenis kukang
diperoleh dari habitat aslinya diperlihatkan pada Tabel 3.
(Nycticebus coucang javanicus) yang terdapat di pulau
Zat makanan berupa substansi kimia yang terkandung
Jawa, khususnya daerah Jawa Barat.
dalam pakan dan digunakan untuk hidup pokok, produksi
dan kesehatan hewan. Kandungan zat makanan tersebut
Lokasi Kampung Cibeo, Baduy Dalam adalah karbohidrat, lemak, protein, mineral, serat kasar,
Lokasi ini terletak ± 14 km dari kampung Kadugketug vitamin dan air serta energi. Jumlah zat makanan yang
dengan ketinggian 400 m dpl dan dibatasi oleh hutan dibutuhkan tergantung pada jenis hewan, umur dan tujuan
lindung dan hutan garapan, berpenduduk ± 500 jiwa terdiri dari pemberian pakan (Ensminger, 1991). Hasil analisis
dari 90 KK. Hutan lindung di sekitar kampung Cibeo dan menunjukkan bahwa kandungan protein buah yang
kawasan yang di observasi adalah hutan Cikakok, Paniga, dikonsumsi kukang di alam sekitar 3,84-16,85% dan
dan Kiaralawang. Hutan lindung tersebut merupakan hutan kebutuhan energi sekitar 4.000 kal/g. Ballenger (1995)
sekunder yang mempunyai keanekaragaman cukup tinggi menyatakan kukang adalah predator nokturnal dan
baik satwa maupun tumbuhan, hal ini dapat dilihat dari makanan utamanya adalah serangga, telur burung, anak
vegetasi hutan dan jenis satwa yang dijumpai. burung atau bangkai burung dan mamalia, akan tetapi juga
Menurut penduduk setempat, pada lokasi ini sering memakan buah-buahan dan bagian lain dari tanaman. Di
ditemukan kukang, sama halnya dengan hutan Tinjoleat, di alam atau di habitat asli kukang mengkonsumsi 50% buah-
lokasi ini kukang juga tidak diburu dan ditangkap. Menurut buahan, 40% pakan asal hewan, dan 10% getah atau
keterangan penduduk yang dituakan, bahwa kukang yang cairan tanaman (Supriatna dan Wahyono, 2000). Di
ada di hutan lindung tersebut terdapat empat jenis atau penangkaran kukang mengkonsumsi buah-buahan seperti
bentuk, yaitu kukang yang berwarna coklat yang umum pepaya, pisang, markisa, jambu manis, di samping itu juga
ditemukan di daerah Jawa Barat; kukang dengan bulu memakan roti dan jangkrik (Wirdateti dkk., 2000).
warna putih; kukang dengan bulu dan mata merah
kecoklatan yang mereka sebut dengan kukang muka geni, Habitat kukang
dan kukang warna totol yang mereka sebut kukang muka Pengamatan habitat kukang dilakukan pada malam hari,
brahma. Tiga jenis kukang selain warna coklat di atas karena sifat hewan ini aktif di malam hari (nokturnal). Data
adalah jenis baru yang diketahui, akan tetapi dalam habitat yang diambil adalah tempat bersarang, ketinggian
observasi ini tidak diperoleh sampel dalam bentuk hidup. sarang, tipe sarang, dan jenis pohon yang ditumpangi. Hasil
48 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 45-49

pengamatan dan wawancara dengan penduduk, diperoleh hamberang (Ficus sp.), dan puspa (Schima wallichii (DC.)
informasi bahwa pada malam hari kukang sering ditemukan Korth.). Kukang membuat sarang pada tanaman inang yang
di pohon aren, pohon kasungka, dan tepus hutan. Tempat ada pada pohon tersebut, seperti kadaka, atau jenis paku-
bersarangnya hewan ini yaitu pada pohon yang besar dan pakuan di hutan sekunder. Tumbuhan kadaka yang ditempati
tinggi seperti kondang (Ficus variegata Bl.), beunying (Ficus dengan susunan akar yang rapat dan besar-besar,
septica Burm.f), kiara koneng (Ficus annulata Bl.), dan sehingga kukang terlindungi dari pemangsa. Ketinggian

Tabel 2. Daftar jenis tumbuhan pakan kukang di kawasan hutan Baduy, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung.

Nama lokal Nama ilmiah Suku Ket. Lokasi


1. Jatake Bouea maerophylla Griff Anacardiaceae B Paniga
2. Kedondong hutan Spondias dulcis Soland ex Park. Anacardiaceae B Tinjoleat
3. Ceel Calamus sp. Arecaceae U Tinjoleat
4. Lahang Arenga pinnata Arecaceae N Paniga
5. Sangkala badak Voacanga grandifolia Roffe. Apocynaceae B Cikotok
6 Bingbiringan Begonia isoptera Dryand Begoniaceae D Kiaralawang
7. Paku mencak Blechnum orientale L Blechnaceae P Cikotok
8. Mangguk Garcinia dulcis Kurt Clusiaceae B,P Gn. Baduy
9. Ceri Garcinia parvifolia Miq Clusiaceae B,P H. Cikotok
10. Araireten Ipomoea sp. Convolvulaceae D Tinjoleat
11. Aroiasaham Tetracera indica Houtt ex Christm & Panz. Dilleniaceae B Gn.Tinjoleat
12. Sempur Dillenia abovata (Bl.) Hooge Dilleniaceae B,P Cikotok
13. Korambi Omalanthus populneus (Geiseler) Pax Euphorbiaceae D Cikotok
14. Tepus Elaterio spermum tapos Bl. Euphorbiaceae P Panegak
15. Ramfere Bridelia tomentosa Blume Euphorbiaceae B Cibeo
16. Cenia Antidesma tetrandum Bl Euphorbiaceae B Cikotok
17. Gintung Bischofia javanica Bl. Euphorbiaceae B Tinjoleat
18. Ranji Dialium molum L. Fabaceae B Cikotok
19. Kaliandra Calliandra callothyrsus Meisn. Fabaceae Bg Baduy
20. Saninten Castanopsis argentea Fagaceae B Cikotok
21. Kasungka Gnetum cuspidatum Bl Gnetaceae B Kiaralawang
22. Sentul Cryptocarya sp. Lauraceae B Paniga
23. Harendong lampung Bellucia axinanthera Triana Melastomatoceae B Cikotok
24. Pisitan Lansium dimesticum Carrea Meliaceae B Cikotok
25. Kondang Ficus variegata Bl Moraceae B Tinjoleat
26. Benying Ficus septica Burm.f Moraceae B -
27. Nangka berit Artocarpus integer (Thunb.) Merrill Moraceae B Cikotok
28. Terap Artocarpus elasticus Bl Moraceae B Ciketok
29. Hamberang Ficus padana Burm.f Moraceae B Kadugketar
30. Kiara koneng Ficus annulata Bl. Moraceae B Cikotok
31. Kiara Ficus benyamina L. Moraceae B Tinjoleat
33 Sehang Ficus grossularioides Burm.f Moraceae B Cikotok
34. Drandang Ficus sinuata Thumb Moraceae B Paniga
35.. Kiara banyer Ficus vasculosa Wall Moraceae B Paniga
36.. Leles Ficus sp. Moraceae B Cikotok
37.. Pisang kole Musa zebrina van Houtte ex Planek Musaceae B.Bi Tinjoleat
38.. Kotek Musa acuminata Coea Musaceae P,Bi,B Paniga
39. Kelapa ciung Hoersfieldia glabra (Bl.) Warb Myristicaceae B Cikotok
40. Kupa Syzygium polycephalum (Miq.) Merr&Perry Myrtaceae B Paniga
41. Kaso Saccharum spontaneum L. Poaceae Bi Cikotok
42. Awi apus Gigantochloa sp. Poaceae P Cikotok
43. Cinaungan Mussaenda frondosa L. Rubiaceae P Cikotok
44. Calagor Nephelium juglandifolium Bl. Sapindaceae B Cikotok
45. Leusir Pometia painata Forst Sapindaceae B Cikotok
46. Paku daun Pleocnemia irregularis (Presl.) Holtt. Tectaria gr D Cikotok
47. Harenok Grewia tomentosa Juss Tiliaceae B Cikotok
48. Puspa Schima wallichii (DC) Korth. Theaceae P,B Paniga
49. Nangsi Villebrunea rubescens Bl. Urticaceae P Tinjoleat
50. Barahulu Alpinia sp. Zingiberaceae B Tinjoleat
51. Barahulu Amomum sp. Zingiberaceae B Paniga
52. Purut - - B Baduy
53. Tandot - - P Tinjoleat
54. Kiheur - - B Paniga
55. Pasang - - B Cikotok
56. Uspi - - B Kiaralawang
57. Bingha - - D,B Tinjoleat
58. Jenjiung - - P Tinjoleat
59. Peusar - - B Tinjoleat
60. Ganggiringan - - P Tinjoleat
61. Kitando - - P Paniga

Keterangan: bagian tumbuhan yang dimakan: D = daun, B = buah, Bg = bunga, Bi = bilus, P = pucuk, U = umbut muda (pucuk), N = Nira
aren. Lokasi = nama lokasi area pengambilan sample.
WIRDATETI dkk. – Pakan dan habitat Nycticebus coucang 49

Tabel 3. Kandungan zat-zat makanan dalam beberapa jenis bahan pakan kukang.

Jenis Pakan BK (%) Abu (%) Lemak (%) Protein (%) SK (%) Energi Kal/g)
1. Daun ceuri 91,83 3,89 1,20 11,13 15,90 3851
2. Daun Puspa 93,08 2,97 1,09 9,27 38,76 3958
3. Buah Kasungka 83,27 0,80 2,60 12,60 37,19 3957
4. Buah kiseueur 90,23 3,80 4,63 5,20 40,07 n.a
5. Buah harendong lampung 90,09 4,06 2,72 7,39 22,06 3830
6. Buah benying 92,35 9,66 2,77 7,02 29,87 4060
7. Buah kondang 93,32 12,33 4,89 8,72 24,89 4666
8. Buah pesar 88,20 4,57 - 12,49 45,70 -
9. Buah darangdan 92,72 7,32 - 12,50 27,81 n.a
10. Buah kedondong hutan 88,26 7,11 - 3,84 7,46 n.a
11. Buah sentul 87,77 3,71 5,26 8,74 n.a 4130
12. Buah baruhulu 87,56 11,96 - 9,49 n.a n.a
13. Umbut muda ceel 91,48 7,23 0,91 10,59 n.a n.a
14. Buah kolek 87,82 26,38 - 12,79 n.a n.a
15. Araireten 89,73 9,85 0,84 16,85 n.a n.a
Keterangan: BK = bahan kering, SK = serat kasar, n.a = tidak dianalisis karena sampel tidak cukup.

sarang berkisar 12-30 m, kadang-kadang kukang juga serta cairan dari bunga atau bakal buah dan pakan asal
bersarang hanya pada tumpukan daun lebat dari pohon hewan. Di habitat aslinya kukang bersarang pada pohon
tersebut. Pada dataran rendah kukang sering ditemukan besar dan pada tumpukan daun yang lebat.
pada tanaman bambu di perkebunan, bersarang di antara
tumpukan daun yang lebat. Pengamatan dilakukan pada
ketinggian 250-610 m dpl. Kukang tersebar cukup luas UCAPAN TERIMA KASIH
dapat ditemui hingga ketinggian 1300 m dpl. Bransilver
(1999) menyatakan habitat kukang adalah hutan hujan Penulis mengucapkan terima kasih kepada Proyek
tropis, sementara penyebarannya di India ditemui di hutan Pengkajian dan Pemanfaatan Sumber Daya Hayati, DIP
hijau tropis, hutan semi hijau dan hutan gugur tropis Pusat Penelitian Biologi Tahun 2002/2003, yang membiayai
campuran (Choudhury, 1992). penelitian ini.
Kukang yang bersifat arboreal kadang-kadang turun ke
dasar hutan apabila pakan yang diinginkan berupa perdu
seperti tanaman kasungka (Gnetum cuspidatum Bl.) dan DAFTAR PUSTAKA
tepus (suku Euphorbiaceae). Kawasan hutan Baduy Dalam
yaitu di hutan lindung sekitar Cibeo, mempunyai vegetasi Anonymous. 1996 List of CITES Species. Jakarta: Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan dan
yang lebih beragam dibandingkan dengan hutan Tinjoleat Perkebunan.
(Baduy Luar) untuk kategori pohon. Jenis pakan lebih Ballenger, L. 1995. Toxins and toothcombs. Potential allospecific chemical
banyak ditemukan pada lokasi Baduy Dalam, sehingga defences in Nycticebus and Perodicticus in Cretures of the Dark:
sarang kukang lebih banyak ditemukan pada lokasi hutan Nocturnal Prosimians. In Slow loris (Nycticebus coucang). ttp//www.
Members.tripod.com/uakari/Nycticebus coucang.html (19 Juli 2001).
lindung Baduy Dalam. Bransilver, C. 1999. Slow loris (Nycticebus coucang).
http/www.duke.edu/web/primate/slowlor.html. (28 Juli 1999).
Choudhury, A.U. 1992. The Slow loris (Nycticebus coucang) in North-east
India. Primate Report. 34: 77-83.
KESIMPULAN Ensminger, M.E. 1991. Animal Science. 9th edition. Illinois: Interstate
Publisher, Inc. Danville..
Hasil survai menemukan 61 jenis tumbuhan hutan yang Napier, J.R. and P.H. Napier. 1967. A Handbook of Living Primates. London:
tergolong dalam 24 suku yang dipilih kukang sebagai Academic Press..
Supriatna, J. dan E.H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata
sumber pakan. Jenis tumbuhan pakan yang terbanyak Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
adalah dari suku Moraceae (11 jenis) dan Euphorbiaceae Uitgeverij, W. 1988. Ensiklopedia Indonesia Mamalia I. Jakarta: PT Dai
(lima jenis), serta enam jenis pakan asal hewan. Pakan Nippon Printing Indonesia.
Wirdateti, W.R Farida dan H. Dahrudin. 2001. Uji Palatabilitas pakan pada
yang disukai kukang adalah buah-buahan yang berasa kukang (Nycticebus coucang) di penangkaran. Jurnal Fauna Tropika.
manis, pucuk daun yang tidak berbau menusuk dan pahit, 28: 1-7.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 50-54

Pemilihan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan dan Tempat


Bersarang Kuskus (Phalanger sp.) di Cagar Alam Gunung Mutis,
Nusa Tenggara Timur
Feed Plants Selection and Nesting Site of Cuscus (Phalanger sp.) in
Nature Reserve of Gunung Mutis, East Nusa Tenggara

WARTIKA ROSA FARIDA1,Ɔ, TEGUH TRIONO2, TRI HADI HANDAYANI1, ISMAIL2


1
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911.
2
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002.

Diterima: 15 Juli 2004. Disetujui: 18 Agustus 2004.

ABSTRACT

Research on feed plants selection and nesting site of cuscus (Phalanger sp.) was conducted in Nature Reserve of Gunung Mutis, West
Timor, East Nusa Tenggara. The study was done in the montane rain forest with the altitude of 1530-2010 m a.s.l. The results showed
seven species of plants was selected by cuscus as their nesting site and 41 species of plants as their feed resources. Parts of the plants
being consumed were young leaves, flower, and fruit. Their habitat was damaged caused by exploitation of the forest. Meanwhile, hunting
pressure by local people to provide their meat supply threatens the existence of cuscuses.
” 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: Phalanger sp., cuscus, plant, feed, nesting site, Gunung Mutis, East Nusa Tenggara.

PENDAHULUAN dicirikan oleh perbedaan warna bulu tubuhnya,


sebagaimana yang dilaporkan oleh Eduk dan Djalo (1995)
Kuskus adalah salah satu satwa berkantung yaitu kuskus berbulu abu-abu kehitaman (Phalanger
(marsupialia) endemik Indonesia Timur yang gymnotis), kuskus coklat muda dada kuning (P. vestitus),
penyebarannya meliputi Papua, Maluku, Sulawesi, dan dan kuskus putih (P. orientalis). Dari informasi penduduk
Timor. Kuskus yang tergolong famili Phalangeridae sudah lokal khususnya pemburu bahwa hingga saat ini kuskus di
sejak lama diburu untuk dimanfaatkan daging, bulu, dan wilayah CA Gunung Mutis masih saja diburu untuk
giginya oleh penduduk setempat. Hingga saat ini beberapa dikonsumsi dagingnya. Perburuan liar seperti ini dapat
jenis satwa famili Phalangeridae sudah terkategori menyebabkan menurunnya populasi kuskus. Kenyataan ini
terancam punah (endangered) dan menuju kepunahan menjadikan perlunya peningkatan tindakan pelestarian
(vulnerable), sebagian besar satwa tersebut secara hukum satwa tersebut melalui penangkaran (ex situ), sehingga
dilindungi dan tercantum dalam Appendix II Konvensi dapat diharapkan satwa yang akan dimanfaatkan bukanlah
CITES (Baillie dan Groombridge, 1996). Kegiatan hasil tangkapan langsung dari alam, tetapi satwa yang
perburuan dan penangkapan kuskus di alam serta merupakan hasil perkembangbiakan di penangkaran.
perdagangan yang tidak terkontrol dapat menyebabkan Secara umum Panjang badan sampai ekor kuskus
terancamnya keberadaan satwa tersebut di habitat aslinya. Timor berkisar 79 - 82 cm dan berat badan dewasa dapat
Cagar Alam Gunung Mutis (CA Gunung Mutis) dengan mencapai 2 - 2,5 kg (Farida, 2000); bentuk kepala bulat dan
luas 12.000 ha secara administratif berada di Kecamatan agak besar; hidung agak meruncing; mata bulat besar
Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan menonjol keluar; telinga bulat pendek dan bagian dalamnya
Kecamatan Miomofa Barat, Kabupaten Timor Tengah tidak berbulu; bulu tubuhnya lembut tebal seperti wol; serta
Utara. Alam Gunung Mutis merupakan daerah hutan ekor panjang prehensil yang sepertiga bagian ujungnya
pegunungan yang dicirikan banyaknya lumut jenggot tidak berbulu. Kuskus memiliki lima jari dan seluruhnya
(Usnea sp.) dan didominasi oleh tegakan ampupu kecuali ibu jari mempunyai cakar yang tajam dan sangat
(Eucalyptus urophylla). Menurut FAO/UNDP (1982) tegakan membengkok. Jari pertama (ibu jari) dan jari kedua
ampupu merupakan tegakan terluas di wilayah Nusa berhadapan dengan ketiga jari lainnya, jari ketiga dan
Tenggara Timur. keempat menjadi satu terlihat seperti sebuah jari dengan
Di CA Gunung Mutis terdapat tiga jenis kuskus yang dua kuku. Kuskus betina memiliki kantung yang membuka
ke depan di bagian perutnya dan di dalamnya terdapat
empat puting susu.
Tujuan penelitian di CA Gunung Mutis Kabupaten Timor
j Alamat korespondensi: Tengah Selatan sebagai wilayah hutan pegunungan adalah
Gedung Widyasatwaloka
Jl. Raya Bogor-Jakarta Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 untuk menghimpun data tentang pemilihan jenis tumbuhan
Tel.: +62-21-8765056/64, Faks.: +62-21-8765068 sebagai sumber pakan dan tempat bersarang bagi kuskus
e-mail: wrfarida@indo.net.id Timor dan mengamati kondisi habitat terkini.
FARIDA dkk. – Phalanger di CA. Gunung Mutis, NTT 51

BAHAN DAN METODE


Dari hasil pengamatan di lapangan kuskus berbulu abu-
Penelitian di CA Gunung Mutis Kabupaten Timor abu kehitaman (Phalanger gymnotis) memiliki bentuk dan
Tengah Selatan telah dilakukan pada bulan Juni 2002. Data pola warnanya sama/mirip dengan yang ditemukan di Irian
penyebaran habitat kuskus dihimpun berdasarkan laporan jaya; kuskus berbulu coklat muda dada kuning (P. Vestitus)
masyarakat/ pemburu setempat guna dilakukan belum terlihat di Irian Jaya; sedangkan kuskus berbulu putih
pengamatan kondisi habitat kuskus timor dan pengumpulan (P. Orientalis) ada ditemukan di Irian Jaya, tetapi ada
jenis-jenis tumbuhan hutan sebagai sumber pakan dan perbedaan pada warna moncong, warna lingkaran mata,
tempat bersarang kuskus. Pengukuran tinggi pohon dan warna dan panjang telinga, serta kehalusan bulunya. Ciri-
diameter batang setinggi dada dilakukan pada setiap pohon ciri bentuk kepala kuskus bulat dan agak besar, hidungnya
yang dijumpai sebagai sumber pakan dan/atau tempat agak meruncing, mata bulat besar menonjol keluar, telinga
bersarang kuskus. bulat pendek bagian dalam tidak berbulu, bulu tubuhnya
Informasi mengenai jenis-jenis tumbuhan yang disukai lembut, tebal seperti wol, ekor panjang prehensil yang
kuskus sebagai tempat bersarang dan/atau sumber sepertiga bagian ujungnya tidak berbulu (Farida, 1998).
pakannya diperoleh dari wawancara dengan Menurut Monk et al. (1997) di Pulau Timor hanya ada
penduduk/pemburu setempat dan berdasarkan metode satu jenis kuskus yaitu Phalanger orientalis timorensis yang
jelajah yaitu dengan cara pergi bersama beberapa mungkin juga merupakan introduksi ke pulau tersebut.
penduduk mendatangi lokasi-lokasi habitat kuskus dan Informasi dari penduduk/pemburu di sekitar CA Gunung
tumbuhan pakan di dalam hutan. Penduduk tersebut dapat Mutis di Kabupaten Timor Tengah Selatan menyebutkan
menunjukkan beberapa bukti bekas-bekas sarang pada bahwa pada sekitar 15 tahun yang lalu mereka bisa
lubang-lubang kayu besar seperti bekas bulu kuskus serta memperoleh kuskus sebagai hasil buruan sebanyak 10-20
bekas cakaran pada dahan pohon disekitar sarang. Pada ekor dalam satu hari. Dewasa ini sudah agak sulit
bekas tumbuhan pakan sering meninggalkan bekas berupa mendapatkan kuskus dalam jumlah sebanyak itu, karena
sisa-sisa bagian tumbuhan yang dimakan kuskus seperti populasi kuskus pun sudah semakin berkurang. Kuskus
bekas renggutan pada daun, bekas gigitan pada buah, dan hasil buruan yang cukup banyak biasanya diawetkan
bekas pada batang pohon yang telah dikuliti oleh kuskus. menjadi dendeng sebagai persediaan lauk-pauk.
Untuk tujuan identifikasi nama ilmiah tumbuhan pakan Masyarakat memanfaatkan daging kuskus sebagai salah
dan/atau sarang kuskus, maka diambil contoh batang, satu sumber protein (Farida, 2001).
ranting, dan daun, serta bunga dan buah (bila ada). Dari hasil pengamatan disekitar basecamp Lelofui ke
Selanjutnya contoh tumbuhan tersebut disusun berlapis arah puncak Gunung Mutis, tipe hutan yang diamati dapat
kertas koran bekas dan dibasahi dengan spritus sebagai digolongkan menjadi dua, yaitu hutan pegunungan bawah
pengawet untuk selanjutnya diidentifikasi di Herbarium yang dicirikan dengan kondisi hutan yang selalu hijau
Bogoriense/Bidang Botani, Puslit Biologi-LIPI, Bogor. dengan penutupan kanopi mencapai 35 m pada ketinggian
Untuk pengujian kandungan nutrisi, maka contoh bagian 1.000-1.800 m dpl, dan hutan pegunungan atas yang
tumbuhan pakan yang dikonsumsi kuskus berupa daun, dicirikan dengan kondisi kanopi yang awet hijau dengan
buah, atau bunga dikumpulkan sebanyak mungkin dan penutupan kanopi antara 10-20 m pada ketinggian diatas
dimasukkan ke dalam kantong plastik. Selanjutnya setiap 1800 m dpl, dengan struktur tegakan yang rapat (Monk et
jenis contoh dipotong-potong, dikering anginkan dan al., 1997). Selain itu terdapat pula beberapa padang rumput
dijemur di bawah sinar matahari hingga dicapai berat kering di antara tegakan-tegakan hutan pegunungan ini. Pada
matahari. Analisis kandungan nutrisi tumbuhan dilakukan di hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas
Laboratorium Nutrisi, Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI lapisan kanopi atas didominasi oleh pohon ampupu
Cibinong. Contoh pakan dalam bentuk kering matahari (Eucalyptus urophylla), diikuti oleh hau solalu (Podocarpus
selanjutnya di Laboratorium dikeringkan dalam oven neriifolius), tune (Podocarpus imbricata) dan ajaub
selama 12 jam (dedaunan) dan selama 18 jam (buah- (Casuarina aquisetifolia) sebagai penyusun lapisan kedua.
o
buahan) pada suhu 60 C, kemudian digiling halus dan Di bawah lapisan-lapisan tajuk tersebut terdapat jenis
disimpan dalam kantung plastik hingga analisis proksimat sapling yang dominan yaitu natbona metan (Daphiphyllum
dilakukan berdasarkan metoda Harris (1970). glaucescens). Ciri yang membedakan hutan pegunungan
atas dan bawah adalah dijumpainya jenis-jenis lumut yang
melimpah pada hutan pegunungan atas. Secara umum
HASIL DAN PEMBAHASAN Sukendar dkk. (1986) melaporkankan bahwa hutan
pegunungan di CA Gunung Mutis khususnya di kawasan
Posisi lokasi penelitian di CA Gunung Mutis, Timor Lelofui dan sekitarnya relatif homogen, karena tingkat
Barat, NTT disajikan pada Tabel 1. keragaman jenisnya yang rendah.

Tabel 1. Posisi Lokasi Penelitian di CA Gunung Mutis, Timor Barat, NTT.

ALT
LATD LATM LATS DIRLAT LONGD LONGM LONGS DIRLONG LOKASI
(m dpl)
9 38 891 S 124 13 324 E 1530 Stasiun WWF CA Gunung Mutis, Ds. Fatumnasi,
Kec. Fatumnasi, Kab. Timor Tengah Selatan (TTS)
9 35 242 S 124 14 629 E 1550 Nasikisan, G. Mutis
9 35 460 S 124 14 435 E 1750 Lelofui, G. Mutis
* * * S * * * E 1750 Oemol, G. Mutis
9 34 561 S 124 13 397 E 1875 Nefo mtasa, G. Mutis
9 34 553 S 124 13 538 E 1950 Monet nana, G. Mutis
9 34 530 S 124 13 550 E 1940 Uimbal lebin, G. Mutis
* * * S * * * E 2010 Tanjakan I, G. Mutis
Keterangan: * GPS tidak memperlihatkan posisi koordinat di lokasi tersebut.
52 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 50-54

prehensil juga merupakan tangannya


yang kelima untuk mencengkeram
dan bergelantungan pada dahan
pohon (McKay dan Winter, 1989).
Dari hasil penelitian ternyata
sebaran habitat kuskus hampir
merata di CA Gunung Mutis, karena
dominasi pohon ampupu yang
menjadi tempat bersarang kuskus
timor yang tumbuh hampir diseluruh
hutan CA Gunung Mutis. Kondisi
habitat umumnya sudah banyak
terganggu akibat perambahan hutan
Keterangan: dan pemanfatan hutan untuk lahan
= koordinat pengamatan beternak sapi dan kuda. Dilaporkan
= Sungai oleh Republika (2000) bahwa hampir
1 = Stasiun penelitian WWF tidak ada kontrol dari aparat terhadap
pencurian satwa dan kayu, selain itu
kerusakan CA Gunung Mutis
diperparah lagi dengan bakal
dibukanya lebih dari lima
Gambar 1. Posisi lokasi pengamatan di CA Guning Mutis, Timor Barat. pertambangan marmer disekitar
wilayah cagar alam.
Tumbuhan hutan sebagai pakan
kuskus timor yang teridentifikasi
Tabel 2. Tumbuhan/pohon yang disukai kuskus untuk bersarang sementara. berjumlah 41 jenis yang tergolong
dalam 27 suku (Tabel 3).
Tinggi Diameter Ketinggian Berdasarkan bagian tumbuhan yang
Nama lokal Nama jenis
(m) (cm) sarang (m) dimakan oleh kuskus tercatat 15 jenis
1. Ampupu Eucalyptus urophylla 44 43,50 22, 27, dan 29 (36,6%) daun mudanya saja; 1 jenis
2. Nonotoni Embelia sp. Merambat - - (2,4%) daun muda dan bunganya; 3
3. Nismetan Pterocymium tinetorium 23 16,2 20 jenis (7,3%) daun muda, bunga dan
4. Keolnasa Aphanamyxis polystachya 25 22,6 22 buahnya; 15 jenis (36,6%) daun
5. Ketapang hutan Barringtonia sp. 14 17,2 12 muda dan buahnya; 6 jenis (14,7%)
6. Benafo Kleinhovia hospita 8,2 32,9 7,5 buahnya saja; dan 1 jenis (2,4%)
7. Niko Grewia koordersiana 21 30,3 10 umbutnya. Dari penelitian terdahulu
dilaporkan oleh Farida dkk. (1999)
bahwa bagian dari jenis pohon yang
dimakan kuskus adalah pucuk dan
daun muda, bunga, buah, atau umbut pandan hutan,
Dari beberapa lokasi sarang/habitat/kuskus yang sedangkan dari jenis tumbuhan merambat, bagian yang
dijumpai di dalam hutan, nampak bahwa habitat kuskus di dimakan adalah daun dan/atau buah. Tumbuhan berbuah
C.A. Gunung Mutis mencakup hutan pegunungan atas dan yang menjadi pakan kuskus antara lain adalah jambu biji
bawah. Umumnya sarang berada di tegakan ampupu (Psidium guajava), yang banyak dijumpai di daerah
(Eucalyptus urophylla) yang cukup rapat dengan tajuk Nasikisan (1.450 m dpl) terdapat tegakan yang cukup luas.
pohon saling menutupi satu sama lain. Tajuk yang rapat ini Kuskus juga makan buah dari famili terung-terungan seperti
memudahkan kuskus untuk bergerak dan berpindah dari kaulilfuj (Cyphomandra betacea) dan kaubasu (Solanum
satu pohon ke pohon yang lainnya dengan cepat. Tabel 2 torvum). Selain buah, kuskus juga makan daun muda dan
menunjukkan beberapa jenis pohon yang disukai kuskus bunga. Daun muda manmana (Melastoma sylvatica) adalah
untuk membuat sarang. contoh tumbuhan hutan yang bunganya menjadi pakan
Selama masa penelitian sering dijumpai pula bahwa alami kuskus, sedangkan untuk jenis pangkase (Lantana
letak pohon ampupu (Eucalyptus urophylla) tempat camara), daun muda dan bunganya yang menjadi sumber
sarang/habitat kuskus ditemui, selalu berdekatan dengan pakan kuskus. Hau sisfafe (Neolitsea cassiaefolia) adalah
pohon tune (Podocarpus imbricata) atau berdekatan jenis tumbuhan dominan di CA Gunung Mutis yang daun
dengan pohon hau solalu (Podocarpus neriifolius). Hal ini mudanya juga menjadi sumber pakan kuskus, yang mudah
dapat diduga bahwa pemilihan lokasi sarang/habitat dikenali di alam karena warna daun bagian bawahnya yang
berkaitan dekatnya sarang dengan salah satu sumber keperakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuskus
pakan alami kuskus. Tune maupun hau solalu diantaranya merupakan hewan pemakan tumbuhan (herbivora),
merupakan jenis tumbuhan hutan yang menjadi pakan walaupun beberapa literatur melaporkan bahwa kuskus di
alami kuskus di C.A. Gunung Mutis. Ketinggian sarang habitat aslinya juga mengkonsumsi telur burung, anak
kuskus umumnya berada diatas 20 m dari tanah. burung, kadal, dan anak mamalia kecil (Menzies, 1991;
Terkadang pada sebatang pohon terdapat 2-3 lubang Petocz, 1994). Dari banyaknya jenis pakan yang dipilih
sarang. Kuskus adalah hewan arboreal atau hewan yang kuskus berupa tumbuhan pohon, jelas terlihat bahwa
hidupnya di atas pohon dan pemanjat pohon yang gesit. kuskus adalah hewan arboreal atau hewan yang hidupnya
Selain kedua kaki dan kedua tangannya yang kuat di atas pohon.
mencengkeram dahan-dahan pohon, ekornya yang
FARIDA dkk. – Phalanger di CA. Gunung Mutis, NTT 53

Tabel 3. Daftar tumbuhan hutan sebagai sumber pakan kuskus Timor.

Bagian yang
Nama ilmiah Suku Nama lokal Habitus
dimakan
1. Acer laurinum Hassk. Aceraceae Hau nitu Daun muda Perdu berkayu
2. Alangium villosum (Bl.) Wang Alangiaceae A’kumfuj Daun muda & buah Pohon
3. Asplenium nidus L Aspleniaceae Snifit Daun muda Fern
4. Acalypha caturus Blume Euphorbiaceae Name mtasa Daun muda pohon
5. Drypetes microphylla Pax. & Hoffm. Euphorbiaceae Bokhail Daun muda & buah Pohon
6. Rhynchotechum sp. Gesneriaceae Lufu Daun muda & buah Pohon
7. Litsea glutinosa (Lour.) C.B. Rob. Lauraceae Bijaema Daun muda Pohon
8. Neolitsea cassiaefolia (Bl.) Merr. Lauraceae Hau sisfafe Daun muda Pohon
9. Buddleja asiatica Loureiro Loganiaceae Tastasik Daun muda Pohon
10. Scurrula obovata (Bl.) G. Don Loranthaceae Laesilo Daun muda, bunga
& buah
11. Melastoma sylvatica Blume Melastomataceae Manmana Daun muda, bunga Perdu
& buah
12. Musa sp1. Musaceae Uki Kase Daun muda & buah Terna
13. Musa sp2. Musaceae Uki mej Daun muda & buah Terna
14. Musa sp3. Musaceae Uki Muti Daun muda & buah Terna
15. Musa sp4. Musaceae Uki nats Daun & buah Terna
16. Maclura cochinchinensis (Lour.) Moore Moraceae Manuk heim Daun muda & buah Perdu berkayu
17. Maessa virgata (BI) A.DC. Myrsinaceae Nismok anak Daun muda & buah Pohon kecil
18. Syzygium rostratum (Bl.) D.C. Myrtaceae Manuk molo Daun muda & buah Pohon
19. Psidium guajava L Myrtaceae Kujawas Buah Pohon
20. Nyssa javanica (Bl.) Wang. Nyssaceae Hau neknail Daun muda Pohon
21. Freycinetia insignis Blume Pandanaceae Nonoekam Umbut Merambat
22. Passiflora edulis Sims. Passifloraceae Nonpa Buah Merambat
23. Bambusa sp. Poaceae Kaka Daun muda Rumput
24. Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne Poaceae Fetun Daun muda Rumput
25. Schizostachyum sp. Poaceae Ob Daun muda
26. Pothinia notoniana W. et. A Rosaceae Amasi Daun muda Pohon
27. Rubus fraxinifolius Poiret Rosaceae Saknati Buah Merambat
28. - Rubiaceae Nonbese Daun muda Merambat
29. Gynochthodes philippinensis (Elmer.) Merr. Rubiaceae Nonfule Daun muda & buah Merambat
30. Acronychia trifoliata Zoll. Ex Mor. Rutaceae Sensena noana Daun muda Pohon
31. Euodia latifolia D.C. Rutaceae Noteno Daun muda Pohon
32. Citrus reticulata Blanco Rutaceae Lelo kase Daun muda & buah Pohon
33. Citrus reticulata Blanco Rutaceae Lelo boko Daun muda & buah Pohon
34. Citrus sp. Rutaceae Lelo naes Daun muda & buah Pohon
35. Dodonea viscosa Jacq. Sapindaceae Maun nafu Daun muda Pohon
36. Cyphomandra betacea (Cav.) Sendtner Solanaceae Kaulilfuj Buah Perdu berkayu
37. Solanum torvum Swartz Solanaceae Kaubasu Buah Perdu berkayu
38. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore. Symplocaceae Akleo Daun muda & Pohon
bunga
39. Wikstroemia androsaemifolia Decaisne Thymelaceae Kusmelo Daun muda & buah Pohon
40. Lantana camara L. Verbenaceae Pangkase Daun muda, bunga Perdu
& buah
41. Parthenocissus heterophylla (Bl.) Merr. Vitaceae Nono babu Buah Merambat

KESIMPULAN

Dari Tabel 4 terlihat kandungan nutrisi tumbuhan hutan Keragaman jenis tumbuhan hutan yang menjadi sumber
sebagai pakan kuskus memiliki rentang nilai yang luas pakan kuskus Timor di CA Gunung Mutis cukup tinggi, yang
khususnya untuk protein (4,31 – 27,68%) dengan rata-rata berarti ketersediaan pakan alaminya masih cukup baik.
13,28% (sd = 5,36) dan serat kasar (10,97 – 64,79%) Tercatat ada 41 jenis yang tergolong ke dalam 27 suku
dengan rata-rata 25,75% (sd = 11,26). Hal tersebut tumbuhan hutan sebagai sumber pakan kuskus Timor, dan
menunjukkan jenis tumbuhan yang dipilih kuskus sebagai berdasarkan bagian tumbuhan yang dimakan, kuskus lebih
sumber pakannya sangat bervariasi. Analisis kandungan banyak mengkonsumsi daun muda dan buah. Sebagai
nutrisi tumbuhan pakan perlu diketahui, karena hal ini tempat bersarang kuskus Timor menyukai enam jenis
penting untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bila kuskus pohon (Eucalyptus urophylla, Pterocymium tinetorium,
ditangkarkan (konservasi ex situ) untuk tujuan penelitian Aphanamyxis polystachya, Barringtonia sp., Kleinhovia
atau pengembangan, sehingga dapat dicarikan jenis pakan hospita, dan Grewia koordersiana). Sebaran habitat kuskus
alternatif yang kandungan nutrisinya mendekati kandungan hampir merata hingga ketinggian 2400 m dpl., karena
nutrisi tumbuhan pakan di habitat aslinya. tegakan ampupu (Eucalyptus urophylla) yang merupakan
tempat kuskus bersarang/habitat tersebar merata tumbuh di
hutan CA Gunung Mutis.
54 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 50-54

Tabel 4. Kandungan nutrisi tumbuhan hutan sebagai pakan kuskus.

Jenis tumbuhan BK Abu Protein Lemak Serat kasar Energi


(nama lokal) (%) (%) (%) (%) (%) (kal/g)

Daun muda:
1. Haunitu 92,60 4,87 11,63 1,46 33,47 3762
2. Sensena noana 92,04 8,64 21,97 1,43 18,49 4152
3. Snifit 89,74 16,32 15,35 1,22 19,94 3252
4. Manmana 89,91 9,05 12,08 2,38 23,34 3529
5. Kusmelo 92,93 7,49 14,96 2,25 26,85 4322
6. Manuk molo 94,38 5,61 13,62 2,07 35,60 4893
7. Tastasik 93,54 4,73 11,81 0,46 23,91 2418
8. Hau sisfafe 93,88 4,64 14,07 0,80 26,51 4117
9. Lupu 93,45 15,77 12,22 1,10 22,45 3685
10. Noteno 90,61 10,18 27,68 2,19 16,26 4416
11. Nonfule 93,78 9,03 13,74 1,65 45,91 3806
12. Akleo 92,47 11,77 11,36 1,47 25,37 3752
13. Bokhail 93,09 9,06 11,08 0,73 25,82 4081
14. Hau noknail 93,16 5,81 13,64 1,19 30,01 3595
15. Nismok anak 92,61 10,65 21,01 1,37 18,71 3724
16. A’kumfuj 91,34 10,32 24,47 0,68 20,66 4127
17. Nonbese 92,13 8,52 18,86 0,88 23,01 4315
18. Pangkase 92,78 9,32 19,76 0,74 20,57 4086
19. Manuk haem 92,85 11,21 18,03 0,92 n.a n.a
20. Uki nais 91,51 9,77 15,16 0,88 53,26 4032
21. Uki muti 91,96 11,77 n.a 1,17 n.a n.a
22. Uki kase 91,24 9,71 15,32 n.a n.a n.a
23. Ob 93,06 17,08 14,01 0,93 19,66 3783
24. Maun nafu 95,45 5,85 13,99 0,72 17,62 3702
25. Laesilo 96,30 9,39 7,21 0,74 12,10 3745
26. Lelo naes 96,47 8,87 9,99 1,43 18,82 3666
27. Lelo boko 96,37 9,61 6,80 1,12 28,09 3357
28. Fetun 93,96 9,49 13,42 0,42 26,91 3752

Bunga & buah:


1. Manmana 91,30 7,04 7,62 2,66 23,16 3850
2. Pangkase 93,85 6,52 9,66 0,83 30,06 3927

Buah:
1. Kaulilfuj 87,02 8,43 11,09 2,55 14,37 3843
2. Kusmelo 94,17 9,41 17,66 9,19 15,22 5366
3. Manuk molo 90,72 3,72 7,69 0,19 10,97 4232
4. Saknati 93,07 4,56 9,39 n.a. n.a n.a
5. Kaubasu 92,31 11,24 12,53 0,91 24,88 3794
6. Bokhail 93,32 4,09 2,54 0,69 64,79 3655
7. Manuk haem 92,23 9,65 13,58 n.a n.a n.a
8. Lae silo 91,78 7,19 5,34 n.a n.a n.a
9. Kujawas 94,97 3,85 4,31 2,09 33,10 3576
Keterangan: n.a = tidak dianalisis karena sampel tidak cukup.

DAFTAR PUSTAKA Farida, W.R., G. Semiadi, Wirdateti, dan H. Dahruddin. 2001. Pemanfaatan
kuskus (Phalanger sp.) oleh masyarakat Timor Barat, Nusa Tenggara
Timur. Biota 6 (2): 85-86.
Baillie, J. and B. Groombridge. 1996. IUCN Red List of Threatened Animals. Harris, L.E. 1970. Nutrition Research Techniques for Domestic and Wild
IUCN Gland. Switzerland. Animals. Logan: Animal Science Department, Utah State University.
Eduk, E.J. dan A. Djalo. 1995. Inventarisasi Fauna di Kawasan Cagar Alam McKay, G.M. and J.W. Winter. 1989. Phalangeridae. In: Strahan, R. (ed.).
Gunung Mutis, Perwakilan Kecamatan Molo Utara, Kabupaten Dati II Fauna of Australia. Vol. 1B. Mammalia. Canberra: Australian
Timor Tengah Selatan. Kupang: WWF Nusa Tenggara Project dan Government Publishing Service, Canberra.
Universitas Widya Mandira. Melnick, DJ, G.A Hoelzer, and R. Honeycut. 1992. The Mitochondrial
FAO/UNDP. 1982. National Conservation Plan for Indonesia. 4: Nusa Genome: Its uses in Anthropological Research. In: Devor, E. (ed),
Tenggara. Bogor: FAO of the United Nations (Field Report 44). Molecular Application in Biological Antropology. Cambridge: Cambridge
Farida, W.R. 1998. Pemahaman Sifat Biologi dan Kekerabatan Famili University Press.
Phalangeridae dari Satwa Berkantung Endemik Indonesia Timur dalam Menzies, J. 1991. A Handbook of New Guinea Marsupialia and Monotremes.
Upaya Pelestarian dan Pemanfaatannya. [Laporan Pelaksanaan RUT VI Madang, PNG: Kristen Pres Inc.
tahun ke-1 (Irian Jaya)]. Jakarta: Kantor Menteri Negara Riset dan Monk, K.A., Y. de Fretes, and G. Reksodiharjo-Lilley. 1997. The Ecology of
Teknologi, Dewan Riset Nasional. Nusa Tenggara and Maluku. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd.
Farida, W.R. G. Semiadi, dan H. Dahruddin. 1999. Pemilihan jenis-jenis Petocz, R. 1994. Mamalia Darat Irian Jaya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
tumbuhan sebagai tempat bersarang dan sumber pakan kuskus (famili Utama.
Phalangeridae) di Irian Jaya. Jurnal Biologi Indonesi 2 (5): 235-243. Republika. 29/07/2000. Cagar Alam Gunung Mutis NTT memprihatinkan.
Farida, W.R. 2000. Pemahaman Sifat Biologi dan Kekerabatan Famili Sukendar, H. Simbolon, dan A. Adhikerana. 1986. Vegetasi dan Keadaan
Phalangeridae dari Satwa Berkantung Endemik Indonesia Timur dalam Tanah hutan Lelofui Gunung Mutis, Soe, NTT. [Laporan Perjalanan].
Upaya Pelestarian dan Pemanfaatannya. [Laporan Pelaksanaan RUT VI Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI.
tahun ke-3 (Timor Barat)]. Jakarta: Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi, Dewan Riset Nasional.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 55-58

Morphological Comparison among Striped Puntius


(Pisces: Cyprinidae) from Indonesia

HARYONOj
Division of Zoology, Research Center for Biology, The Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Cibinong-Bogor 16911

Received: 23 April 2004. Accepted: 1 October 2004.

ABSTRACT

The striped Puntius consisting of four species, these are P. johorensis, P. gemellus, P. trifasciatus, and P. lineatus. This group marked by
longitudinal stripe on body, and these varieties. The three species first of them have four long barbells, originally describe by Puntius
eugrammus, and the last species has barbells 0-2 (short when present). The strange species was described from Central Mahakam areas,
East Kalimantan. It’s named by Puntius sp., predicted new species but specifically study is needed. This species differ from its congener by
the half stripe (+1) above the midlateral stripe on the anterior half of the body.
” 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: striped Puntius, morphology, color pattern, truss morphometric.

INTRODUCTION MATERIALS AND METHODS

The Puntius fasciatus include striped Puntius group was Specimens are deposited in the Museum Zoologicum
recognized by Weber and de Beaufort (1916). Then Bogoriense (MZB) or Division Zoology, Research Center for
Roberts (1989) and Kottelat et al. (1993) explained two Biology, The Indonesian Institute of Sciences (LIPI) in
species of striped Puntius, these are P. lineatus and P. Cibinong, Bogor.
eugrammus. The former species has 0-2 barbells (short Traditional measurements used in ichthyology and
when present), rostral barbells absent, 18-19 gill rakers on counts follow Hubbs and Lagler (1949); Mohsin and Ambak
first gill arch, and 4-5 stripes on the body in both juveniles (1983); also Inger and Chin (1962). Measurements of
and adults. The last species was originally described by bilateral characters, such as pectoral and pelvic fin length,
Bleeker (1853) with Barbus fasciatus, it replaced by Weber were made on the left side of the body. A modified box
and de Beaufort (1916) by P. fasciatus, and has been truss/truss morphometric (Figure 1.) was employed to
replaced by P. eugrammus by Silas (1956), and also examine shape variation among species. It method similar
Eschmeyer (1998) used it. It has long barbells, 4-6 dark with Ehlinger (1991) and Humpries et al. (1981), the
stripes in adults, juveniles (about 20 mm SL) have five modification by taken 10 point of homolog, then jointed
broad vertical bars which start to break up at about 25 mm result 18 characters; the measurement is used digital
SL, and become replaced by stripes, 10 gill rakers on first caliper. The analysis refer to Morrison (1978); Kendall
gill arch. (1975); also Kevin et al. (2000).
Presently the striped Puntius divide to four species by Data were analyzed using the Canonical variant
Kottelat (1996); these are P. johorensis, P. gemellus, P. (discriminant function) analysis (DFA). These characters
trifasciatus, and P. lineatus. The origin three species first of are: SPH (snout – upper part of posterior head), PHPB
them are P. eugrammus. They are described based on (posterior head – pectoral fin base), SPB (snout – pectoral
color pattern of body. The color pattern is main
character for describe species of striped Puntius,
because the morphometric and meristics not
successful for identification three species of them
(Kottelat, 1996).
Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) is
accidentally has all species of striped Puntius
from Indonesia, also the strange species that
marked by distinct of color pattern and named
Puntius sp. This study will be compare of striped
Puntius based on color pattern and truss
morphometric.

j Alamat korespondensi:
Gedung Widyasatwaloka
Jl. Raya Bogor-Jakarta Km. 46, Cibinong-Bogor 16911
Tel.: +62-21-8765056/64, Faks.: +62-21-8765068
Figure 1. A schematic of truss morphometric (box truss) of striped Puntius.
e-mail: ikharyono@yahoo.com
56 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 55-58

Table 1. Measurement (in mm) of striped Puntius by truss morphometric. The numbering scheme for stripes
follows Kottelat (1996), thus stripe 0 is
Puntius sp. P. johorensis P. gemellus P. trifasciatus P. lineatus midlateral, in general, follows the lateral
line scale row; stripe +1 is the first stripe
1. SPH 12.03r1.39 15.27r2.42 10.11r2.28 12.58r2.49 9.30r1.44 above the midlateral stripe, stripe +2 is
2. PHPB 11.36r0.84 16.09r2.45 10.10r2.64 11.60r2.45 8.14r1.09
the second stripe above the midlateral
3. SPB 15.55r0.87 21.08r2.79 14.34r3.25 16.64r4.09 12.92r1.81
stripe, stripe –1 is the first stripe below the
4. ED 4.21r0.21 5.83r0.79 3.87r0.59 4.53r0.60 3.62r0.42
5. PHDB
midlateral stripe and stripe –2 is the
16.21r2.25 23.94r3.82 15.10r4.13 18.34r5.07 12.15r1.15
6. DBVB 17.68r1.29 25.58r4.57 16.11r4.54 17.36r4.72 11.80r1.63
second stripe below the midlateral stripe.
7. PBVB 13.42r1.15 17.92r3.24 12.73r3.48 14.82r4.05 7.52r1.05 A longitudinal dark mark are
8. PHVB 21.45r1.35 29.67r4.62 19.96r5.41 23.21r5.58 14.07r1.54 numbered as follow: row 0 is the row
9. VBAB 13.27r0.81 17.96r3.02 11.67r3.55 14.43r4.00 8.26r1.35 bearing the lateral line canals, row +1 is
10. PDAB 14.84r1.21 20.23r3.32 12.73r3.92 14.62r3.64 9.17r1.42 the row immediately above it, row –1 is
11. DBL 8.48r0.89 12.15r2.20 8.30r3.33 8.69r2.18 5.32r0.89 the row immediately below it; the next
12. ADAA 20.35r1.38 29.26r4.69 18.12r5.32 21.32r5.69 13.12r1.75 rows are +2 and –2 respectively, etc.
13. ABL 4.87r0.76 6.78r1.15 4.13r0.97 5.13r1.17 3.36r0.49 Stripes are numbered the same way.
14. PDPA 14.93r0.94 20.22r3.02 12.96r3.91 15.45r4.45 9.05r1.21
15. CPL 9.89r1.06 13.12r2.16 7.57r2.06 9.95r1.67 6.85r0.67
16. CPD 6.88r0.69 10.04r1.77 6.30r1.79 7.02r1.49 4.58r0.51 RESULTS AND DISCUSSION
17. PDUCP 19.26r1.32 26.70r4.13 17.51r4.43 21.20r4.65 13.14r1.54
18. PDLCP 21.45r1.34 26.92r9.74 19.02r4.51 22.68r4.94 14.16r1.30 Body shape of striped Puntius (P.
johorensis, P. gemellus, P. trifasciatus, P.
lineatus, and Puntius sp.) are similar, but
fin base), ED (eye diameter), PHDB (posterior head – the color pattern of them are varied depend on its species
anterior dorsal fin base), DBVB (anterior dorsal fin base – (Figure 2.).
ventral fin base), PBVB (pectoral fin base – ventral fin The color pattern of P. johorensis, there are usually 6
base), PHVB (upper part of posterior head – ventral fin narrow stripes on a reddish brown background. Stripe 0 on
base), VBAB (ventral fin base – anterior anal fin base), row 0, except on anterior most scales where it is between
PDAB (posterior dorsal fin base – anterior anal fin base), rows 0 and –1. Stripe +1 is between rows +1 and +2, except
DBL (dorsal fin base length), ADAA (anterior dorsal fin on anterior scales where it is on row +1. Stripe +2 is
base – anterior anal fin base), ABL (anal fin base), PDPA between rows +2 and +3; it ends at the beginning of the
(posterior dorsal fin base – posterior anal fin base), CPL caudal peduncle. Stripe +3 is between rows +3 and +4, it is
(caudal peduncle length), CPD (caudal peduncle depth), absent in the smallest specimens (about 40 mm SL). Stripe
PDUCP (posterior dorsal fin base – upper caudal –1 is between rows –1 and 2, except on caudal peduncle
peduncle), PDLCP (posterior dorsal fin base – lower caudal where it is on row –2. Stripe –2 is on row –3, between
peduncle). pectoral and anal bases. Stripe +1 and –1 are on rows +2
The result measure by truss morphometric method and –2 respectively on the caudal peduncle and the dorsal
showed in Table 1.The traditional methods (morphometric and ventral midlines have the general background color of
and meristic) was be done, with selected characters such the body (Figure 2A.). Distribution in Indonesia: Jambi,
as explained by Kottelat (1996). The result of measure and Riau, East Kalimantan, and Central Kalimantan.
count showed in Table 3.

A B

D
C

Figure 2. The diversity of striped Puntius in Indonesia: P. johorensis (A), P. gemellus (B) P. trifasciatus (C), Puntius sp. (D), and P. lineatus (E).
HARYONO – Striped Puntius from Indonesia 57

P. gemellus, there are usually 6 narrow stripes on pale from operculum with position above the anterior most,
brown background. Stripe 0 is on row 0, except on anterior continued to caudal peduncle. The stripe +1 and +2 are
most scales where it is between rows 0 and –1. Stripe +1 is differ from other species its congeners. Stripe +3 beginning
between rows +1 and +2, except on anterior scales where it at back of operculum on row +3 and +4, its end of dorsal
is on row +1. Stripe +2 is on row +3, except anteriorly where part of caudal peduncle. Stripe –1 on row –1 and -2,
it is between rows +2 and +3; it ends at the beginning of the beginning at base of pectoral fin, its end at lower part of
caudal peduncle. Stripe +3 is on row +4, except anteriorly caudal peduncle. Stripe –2 is on row –3, between pelvic
where it is on row +3; it extends to end of dorsal base; it is and anal origins, it is present in all specimens examined,
absent in small specimens (less than 26 mm SL). The the stripe thin and not continued to caudal peduncle (Figure
stripes on the back (especially stripes +2 or +3) may be 2D.). Distribution in Indonesia: East Kalimantan.
somewhat irregular or connected. Stripe –1 is between rows The truss morphometric was examined by canonical
–1 and –2, except caudal peduncle where it is on row –2. discriminant analysis with two steps. First step was
Stripe –2 is on row –3, between pelvic and anal origins. examined all characters, and second of them only
Stripes +1 and –1 are on rows +2 and –2 respectively on examined selected characters (6 characters). The selection
the caudal peduncle (Figure 2B.). Distribution in Indonesia: of characters following value of Wilk’s Lambda, and the
Jambi, Riau, Bangka, Belitung, and South Kalimantan. result of important character such as: ED, PBVB, CPL,
P. trifasciatus, stripe 0 is broad, extending on the whole DBVB, PDUCP, and CPD. A plotting of selected characters
row 0 and part of rows –1 and +1 at the beginning and the by function 1, 2, and 3 explained variation each 58.24%,
end of lateral line; in the median area, it is over rows 0 and 25.43%, and 12.63% (Table 2.), and a joined these function
+1. Stripe +1 is on row +3 or between rows +3 and +4, explained 93.48%. This result showed separation between
except anteriorly where it is slightly lower, on the caudal species of a striped Puntius (Figure 3.). A plotting between
peduncle; it is on row +3. Stripe +2 is on row +4 or between function 1, 2, and function 3 that Puntius sp. is distinct from
+4 and +5; it extends between nape and the posterior P. johorensis, P. gemellus, P. trifasciatus, and P. lineatus.
extremity of dorsal base; it is usually not present in It’s closer with P. trifasciatus and P. gemellus.
specimens less than about 60 mm SL. Stripe –1 is between
rows –1 and –2 above the pelvic, on row –2 in front, and on 6
row –3 on the caudal peduncle (Fig 2C). Distribution in
Indonesia: South Kalimantan, West Kalimantan, and East
Kalimantan 4

P. lineatus, is distinguished from the other four species


Fun gsi 2 anali sis 1

of striped Puntius in Indonesia by having only 0-1 pair of 2


barbells, much shorter than eye (vs. 2 pairs of long
barbells), ½ 5 scales rows between dorsal origin and lateral Spe cies:
line (vs. ½ 4) and 4 between lateral line and pelvic origin 0
Puntius trif as ciatus
(vs. 3); 17-20 gill rakers on anterior gill arch (vs. 7-11), Puntius li neatus
mouth sub inferior (vs. terminal), and especially by its fleshy -2 Puntius ge mellus
lower lip forming a continuous post labial groove in
Puntius joho rensis
specimens larger than about 20 mm SL, a character unique
among Indonesian Puntius. It is smaller species, not known -4 Punt ius sp.
-6 -4 -2 0 2 4 6
to grow larger than 53 mm SL. The color pattern, stripe 0 is
on row 0, except in the middle area of flank where it is Fun gsi 1 anali sis 1
between rows 0 and +1. Stripe +1 is on row 2, except in the Figure 3. A Plotting of striped Puntius with function 1 and 2.
middle where it is between row +2 and +3. Stripe +2 is on
row +3 anteriorly, going progressively to row +4 posteriorly; If compare with P. trifasciatus (vs. 3 stripes with
it ends at about posterior extremity of dorsal base. Stripe –1 complete). The other characters for compare with used
is on row –2, except in the middle where it is between rows Table 3., such as: total length, predorsal length, preanal
–1 and –2. Stripe –2 is on row –3 and extends between length, body width, upper caudal lobe length, and middle
pectoral and anal origin; it is usually weak or even absent caudal rays length are less than P. trifasciatus, and another
(Figure 2E.). Distribution in Indonesia: Jambi and West characters (body depth, interorbital width, anal fin base
Kalimantan. length) are larger than it.
Puntius sp., differ from all other known striped If compare with P. gemellus (vs. 5-6 stripes with
congeners by the half stripe above the midlateral stripe on complete). It also has total length, predorsal length,
the anterior half of the body. It’s based on 6 specimens and prepelvic length, preanal length, head depth, body depth,
predicted as the new species. The complete
Table 2. Selected caharcters, Canonical variate function coefficient for five species
descriptions are general body shape and
of striped Puntius.
appearance as shown in Figure 2D. Its body
long and compressed, head pointed; color Value of
pattern, there are 5 narrow stripes on pale Characters Function 1 Function 2 Function 3
Wilk’Lambda
background; on the upper half of the body 1. ED 0.31682 0.211 (0.365) 1.215 (2.100) -0.476 (-0.023)
the reticulate pattern is well defined, formed 2. PBVB 0.14531 -2.770 (-0.893) 1.269 (0.409) 1.0281 (0.332)
by pigmentation at the edges of the exposed 3. CPL 0.08176 0.910 (0.543) 0.943 (0.563) -1.431 (-0.854)
part of scales. Stripe 0 is on row 0, except on 4. DBVB 0.04610 1.601 (0.416) -3.220(-0.837) 0.714 (0.186)
anterior most scales where it is between 5. PDUCP 0.03115 -1.572 (-0.397) 1.557 (0.393) -0.416 (-0.105)
6. CPD 0.02207 1.940 (1.375) -0.999 (-0.708) 1.186 (0.840)
rows 0 and –1. Stripe +1 anterior part have
11-13 scales, it is ends lower of middle Variation explained (%) 58.24 25.43 12.63
dorsal fin; posterior part stripe (+2) on row Constant -4.212 -7.855 0.918
th
between +2 and +3, beginning scale 5-6 Annotation: standardized values followed by (in brackets) unstandardized values.
58 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 55-58

Table 3. Selected morphometric (in mm) and meristic data of Puntius sp., P. gemellus, P. johorensis, P. lineatus, and P. trifasciatus.

Puntius sp. P. gemellus *) P. johorensis *) P. lineatus P. trifasciatus *)


Standard length MZB 8146 H n=6 MZB. 5939 H CMK. 11141 MZB 8098 (n=5) MZB. 5940 H
56.4 55.2 60.0 73.9 40.97 74.0
Presented of standard length
1. Total length 129.2 128.8 **) 131.8 133.3 131.50 130.0
2. Head length 25.5 29.4 26.9 31.8 34.39 29.5
3. Predorsal length 51.8 51.9 **) 52.3 55.3 54.20 53.1
4. Prepelvic length 52.0 50.6 51.8 53.5 51.19 51.4
5. Preanal length 73.3 72.0 **) 78.2 76.0 70.52 74.6
6. Head depth 21.1 17.5 18.6 22.7 20.97 19.9
7. Body depth 31.9 33.0 35.1 37.2 30.55 31.1
8. Depth of caudal peduncle 13.6 12.9 12.2 14.3 11.86 12.8
9. Length of caudal peduncle 20.4 21.3 20.6 20.4 19.55 21.1
10. Snout length 8.9 8.6 7.4 9.2 10.04 8.4
11. Body width 13.9 14.4 **) 15.2 19.4 14.27 15.8
12. Eye diameter 7.7 8.1 7.7 8.0 10.38 7.7
13. Interorbital width 10.8 10.1 9.2 11.2 9.85 9.6
14. Length of dorsal fin base 16.3 15.7 14.8 15.6 14.81 14.1
15. length of anal fin base 9.2 9.3 8.5 9.7 10.21 7.8
16. Length of pelvic fin 18.4 19.7 17.7 20.0 22.21 19.5
17. Length of pectoral fin 20.1 20.6 19.4 21.0 20.69 20.8
18. Length of upper caudal lobe 28.1 29.5 **) 30.9 32.5 32.79 30.0
19. Length of middle caudal rays 9.1 11.0 **) 15.2 15.2 17.99 12.0
20. Length of lower caudal lobe 32.5 29.3 31.7 31.4 33.48 31.5
Presented of head length
21. Snout length 32.1 31.5 **) 27.4 28.9 29.21 28.4
22. Eye diameter 27.7 28.1 28.6 25.1 30.20 27.7
23. Interorbital width 38.9 34.0 34.3 35.3 28.65 32.5
Meristic
24. Pectoral rays 15 14-16 15 16 16 17
25. Lateral line scales 25+2 25+2 26+2 26+2 25+2 25+2
26. Predorsal scales 10 10 11 10 12 10
Annotation: *) Kottelat (1996), **) differ from others species.

body width, upper and middle caudal rays length are less Tjakrawidjaja for allowing access to his specimens from
than P. gemellus, and another characters (snout length, Central Mahakam.
interorbital width, dorsal fin base length, anal-fin base
length, and pectoral fin length) are larger than it.
If compare with P. lineatus (vs. 4-5 narrow stripes). The
majority of morphometric characters of Puntius sp. less than REFERENCES
P. lineatus, such as total length, head length, predorsal
Bleeker, P., 1853. Nalezingen op de ichtyologische fauna van het eiland
length, prepelvic length, head depth, snout length, eye Banka. Natuurkunde Tijdschrift voor Nederlansch-Indie 5: 175-194.
diameter, length of anal fin base, length of pelvic fin and Ehlinger, T.J., 1991. Allometry and analysis of morphometric variation in
lobes of caudal fin. The lips of P. lineatus is differs from the Bluegill, Lepomis macrochirus. Copeia 2: 347-357.
other stripe Puntius. Eschmeyer, W.N. 1998. Catalog of Fishes, Vol 1: Introductory Materials
Species of Fishes A-L. San Francisco: California Academy of Sciences.
Compare with P. johorensis (vs. 6 narrow stripes on Hubs, L. and K.F. Lagler. 1949. Fishes of the Great Lakes Region. Ann
reddish brown background). The stripe narrower, the Arbor: Cranbook Institute of Science no. 26.
morphometric result is almost all characters less than P. Humpries, J.M., F.L. Bookstein, B. Chernoff, G.R. Smith, R.L. Elder and S.G.
Poss. 1981. Multivariate discrimination by shape in relation size.
johorensis. The comparison in the above showed are Systematisc Zoology 30 (3): 291-308.
Puntius sp. more close to P. trifasciatus than P. gemellus Inger, R.F. & P.K. Chin. 1962. The Freshwater Fishes of North Borneo. Kota
and P. johorensis. Therefore suggested are the four Kinabalu: Sabah Zoological Society.
specimens examined differ from it, mainly on number of Kendall, S.M. 1975. Multivariate analysis. London: Charle Griffin & Co. Ltd.
Kevin, M., S. Cushman & S. Stafford. 2000. Multivariate statistics for wildlife
stripe, color pattern, selected characters and truss and ecology research. New York: Springer-Verlag.
morphometric. Kottelat, M. 1992. The identify of Barbus johorensis Duncker, 1904
(Teleostei: Cyprinidae). The Raffles Bulletin of Zoology 40 (2): 187-192.
Kottelat, M. 1996. The identify of Puntius eugrammus and diagnoses of two
CONCLUSION new species of striped barbs (Teleostei: Cyprinidae) from Southeast
Asia. The Raffles Bulletin of Zoology 44 (1): 301-316.
The stripe Puntius marked by longitudinal band and Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, and S. Wirjoatmodjo. 1993.
differentiated mainly by 6 selected characters fiz ED, PBVB, Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Singapore:
Periplus.
CPL, DBVB, PDUCP, and CPD. The Puntius sp. from Mohsin, A.K. M. & M.A. Ambak. 1983. Freshwater fishes of Peninsular
Central Mahakam, East Kalimantan differs from its Malaysia. Malaysia: University Pertanian Malaysia Press.
congeners by the half stripe above the midlateral stripe on Morrison, D.F. 1978. Multivariate Statistical Methods 2nd. Auckland:
McGraw-Hill.
the anterior half of body; based on truss morphometric also Roberts, T.R. 1989. The freshwater fishes of western Borneo (Kalimantan Barat,
different, therefore predicted as new species. Indonesia). Memoirs of the California Academy of Sciences 14: 1-210.
Silas, E.G., 1956. The systematic position of the Indian cyprinid fish,
Cirrhinus fasciatus Jerdon (1849), with a new name for Barbus
AKNOWLEDGMENT fasciatus Bleeker (1853). Copeia 3: 194.
Weber, M. and L.F. de Beaufort. 1916. The Fishes of the Indo-Australian
I thank Dr. Darrell J. Siebert (British Museum Natural Archipelago. II. Ostariophysi: II Cyprinioidea, Apodes, Synbranchi.
History, London) for guiding of manuscript and Drs. Agus H. Leiden: E.J. Brill.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 59-62

Pola Kelahiran Rusa Sambar (Cervus unicolor) di Penangkaran


Kalimantan Timur

Calving pattern on captive sambar deer (Cervus unicolor) in East Kalimantan

1,j 2 2
GONO SEMIADI , I.G. MADE JAYA ADHI , ANDI TRASODIHARTO
1
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002.
2
Balai Inseminasi dan Pembibitan Ternak, Dinas Peternakan, Desa Api-Api, Kecamatan Petung,
Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur

Diterima: 28 Juli 2004. Disetujui: 1 Desember 2004.

ABSTRACT

Sambar deer (Cervus unicolor) is the biggest of tropical deer with its distribution in Indonesia limited to Kalimantan and Sumatera islands
and neighboring islands near Sumatera. Several countries such as Malaysia and Thailand have been developing their tropical deer
farming, whereas in Indonesia they are still in its infancy, as captive breeding. The knowledge on the biology of reproduction from tropical
deer is still limited, particularly those under their natural habitat. An evaluation on the reproduction profiles of captive sambar deer were
conducted by analyzing log book of the captive breeding in East Kalimantan. The results indicated that conception rates was very low, only
48,8% (SD=16.24; n=10 years) with peak calving time between June and July and mean calving date was on 4 July (SD=10.4 days; n=109
fawns). Calving interval was 388,2 days (SD=82.45; n=33 fawns), with natural nursing lasted for 148 days. Young hind gave birth for the
first time at the age of 693.8 days (SD=89.40; n=4 hinds), giving a time estimate of first mating at the age of 453 days.
” 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: Cervus unicolor, sambar deer, calving pattern, captivity, East Kalimantan.

PENDAHULUAN perkebunan kelapa sawit di habitat rusa sambar, mereka


terbukti dapat berkembang dengan baik (Semiadi, 2004
Rusa sambar (Cervus unicolor) merupakan rusa pengamatan pribadi). Salah satu strategi pengembangan
terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran di Indonesia populasi rusa di penangkaran adalah memahami sifat
terbatas di pulau Sumatera, Kalimantan dan pulau kecil di reproduksinya. Namun saat ini pengetahuan yang
sekitar Sumatera (Whitehead, 1994). Tinggi gumba pada mendalam mengenai biologi reproduksi dari rusa tropik
yang jantan dapat mencapai 160 cm dengan berat badan yang ditangkarkan pada habitat aslinya masih sangat
antara 136-320 kg, sedangkan pada yang betina mencapai terbatas. Pada kelompok rusa, telah diketahui bahwa pada
115 cm dengan berat badan 135-225 kg, tergantung pada musim kawin, pejantan akan berkompetisi dengan pejantan
anak jenis. Ada kecenderungan anak jenis rusa sambar lain untuk dapat menguasai kelompok betina yang dapat
yang berasal dari India dan Sri Lanka merupakan yang dikawininya. Sifat kompetisi ini akan membentuk suatu
terbesar dan tertinggi (Awal et al., 1992, Lewis et al., 1990). susunan kekuatan penguasaan yang disebut hieraki,
Pada lingkungan peternakan di Australia, rusa sambar pejantan yang dapat menguasai kelompok betina disebut
betina dapat mencapai berat badan 228 kg (Anderson, pejantan dominan. Sedangkan sifat mengumpulkan
1984). beberapa ekor betina oleh seekor pejantan disebut
Warna bulu rusa sambar umumnya coklat dengan pengumpulan harem (Semiadi dan Nugraha, 2004).
variasinya yang agak kehitaman (gelap) pada yang jantan Di beberapa negara seperti Australia, Thailand dan
atau yang telah tua. Ekor agak pendek dan tertutup bulu Malaysia, rusa sambar telah diternakkan dan berkembang
yang cukup panjang. Keadaan bulu termasuk kasar dan dengan baik. Di Indonesia, pemeliharaan masih dalam
tidak terlalu rapat. Pada daerah leher bagian lateral, bulu bentuk penangkaran, walau telah dilakukan sejak tahun
membentuk suatu surai/malai (mane). Perubahan warna 1990 di Kalimantan Timur (Muchsinin dkk., 2002). Tujuan
bulu dari coklat cerah menjadi lebih gelap, khususnya pada utama pemeliharan rusa sebagai hewan ternak di luar
yang jantan dominan, sering terlihat bersamaan dengan negeri adalah untuk dimanfaatkan dagingnya yang disebut
masuknya pejantan ke musim kawin (Semiadi, 2004 venison, serta tanduknya yang disebut ranggah.
pengamatan pribadi). Pemanfaatan ranggah ini hanya dilakukan saat ranggah
Daerah habitat asli rusa sambar berupa daerah payau masih dalam umur muda yang disebut velvet antler. Dalam
atau berair, namun dengan berkembangnya wilayah siklus pertumbuhannya, ranggah mempunyai siklus
ranggah keras, luruh dan ranggah muda, yang bersiklus
terus selama hidup rusa (Semiadi dan Nugraha, 2004).
Pemahaman hal-hal yang berhubungan dengan
j Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16002. reproduksi pada rusa saat ini lebih banyak pada rusa yang
Tel.: +62-251-321041. Fax.: +62-251-325854. berasal dari daratan Eropa, seperti rusa merah (Cervus
e-mail: semiadi@yahoo.com elaphus), dan sedikit pada rusa yang berasal dari daerah
60 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 59-62

tropik (English, 1992; Monfort et al., 1993). Berhasilnya jumlah dikarenakan oleh kematian serta pengiriman ke
pemahaman keadaan reproduksi suatu jenis rusa akan beberapa penangkaran di Kalimantan Timur.
banyak membantu usaha peningkatan populasi rusa
tangkaran, antara lain melalui strategi manajemen Tabel 1. Perubahan populasi rusa sambar di setiap akhir tahun dari
reproduksi. Untuk itu dilakukan kajian terhadap pola 1992 hingga 2001.
kelahiran dan hal-hal yang berkaitan dengan pola
reproduksi pada rusa sambar yang ditangkarkan. Jantan Betina
Tahun Anak
Dewasa Dewasa
1992 5 10 9
1993 5 11 17
BAHAN DAN METODE 1994 12 21 11
1995 12 20 21
Penelitian dilakukan mulai bulan Maret hingga 1996 11 20 30
Nopember 2002, di penangkaran rusa sambar (Cervus 1997 15 25 34
unicolor) milik Pemda Kalimantan Timur di Desa Api-Api, 1998 19 29 48
Kecamatan Petung, Kabupaten Penajam Paser Utara. 1999 24 33 53
2000 21 29 64
Kegiatan penangkaran dimulai tahun 1990, dengan fasilitas
2001 30 24 56
yang telah tersedia saat ini adalah delapan buah pedok
(padang rumput kecil) yang mencapai luasan 9,5 hektar Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka konsepsi
dan kandang kerja (yard) yang dilengkapi penjepit rusa tergolong sangat rendah, dengan rata-rata 48,8%
(deer crush). Enam hektar dari pedok telah ditanami rumput (SD=16,24%; n=10 tahun), sedangkan nilai terendah
unggul dan sisanya masih dalam taraf persiapan. adalah 30,9% dan tertinggi 83,3% (Gambar 1.).
Kegiatan penelitian terbagi atas dua kelompok, berupa Kecenderungannya adalah semakin banyak rusa betina
(i) kajian terhadap pola sebaran kelahiran dan perkawinan dewasa tersedia, ternyata tidak diimbangi dengan
yang tercantum dalam catatan perkembangan populasi (log kenaikkan jumlah anak secara signifikan. Sedangkan
book) dan (ii) pengamatan pola pertumbuhan ranggah. sebaran kelahiran anak rusa terjadi setiap bulan sepanjang
Kegiatan pencatatan perkembangan populasi rusa tahun, dengan puncak kelahiran pada bulan Juni dan Juli
dilakukan oleh pihak manajemen penangkaran sejak dengan rata-rata tanggal kelahiran 4 Juli (SD=10,4 hari;
pertama kali rusa tiba di lokasi penangkaran. Namun, n=109 anak; Gambar 2.).
pencatatan yang tertata rapi hanya didapat pada kurun
waktu bulan April 1992 hingga Juli 2001.
Rusa ditempatkan dalam pedok secara berkelompok,
90
bercampur antara jantan dan betina dewasa (• 20 bulan),
sehingga perkawinan berjalan secara alami sepanjang 80
waktu. Jumlah pejantan pada kelompok dewasa dalam satu 70
Angka konsepsi (%)

masa paling sedikit adalah 5 ekor dewasa dengan betina 60


dewasa paling sedikit 10 ekor. Fluktuasi populasi di akhir
50
tahun berubah setiap saat dan mencapai maksimum 30
jantan dewasa dan 24 betina dewasa di tahun 2001. 40
Monitoring kelahiran anak dilakukan dengan mengontrol 30
pedok setiap dua hingga empat hari sekali, sehingga sedikit 20
sekali kemungkinan terjadi kehilangan pantauan anak yang
10
baru lahir. Setiap kelahiran kemudian dicatat dalam log
book. Angka konsepsi (%) betina dihitung dengan cara 0
1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

membagi jumlah anak yang lahir pada satu periode dengan


jumlah induk produktif yang ada pada periode yang sama,
Tahun pengamatan
dihitung per delapan bulan, dengan mengambil rata-rata
lama masa bunting rusa sambar sekitar 240 hari (Semiadi,
2004 pengamatan pribadi). Pencatatan langsung juga
dilakukan pada beberapa individu betina muda yang Gambar 1. Angka konsepsi (%) induk rusa sambar di
melahirkan dan menyusui, serta pejantan selama enam penangkaran.
bulan (Mei-Nopember 2002), sehingga beberapa indikator
reproduksi yang memungkinkan dihitung juga dianalisis. Imbangan kelamin anak jantan dan betina menunjukkan
Pada pejantan, pertumbuhan ranggah diamati dengan nilai sempurna 55 : 54, dengan kematian anak sebelum
mencatat jumlah jantan yang berada pada posisi ranggah umur sapih (4 bulan) sebesar 13 ekor (11,9%). Dari data
keras, ranggah muda (velvet), dan yang luruh ranggahnya. yang terbatas, diperoleh gambaran bahwa interval kelahiran
Pencatatan ini dilakukan setiap dua minggu selama enam anak di penangkaran adalah 388,2 hari (SD=82,45 hari;
bulan, sehinga tergambarkan perubahan status n=33 ekor). Mengasumsikan rata-rata lama kebuntingan
pertumbuhan ranggah dari masing-masing pejantan. adalah 240 hari, maka masa penyusuan alami pada anak
rusa yang lahir di penangkaran adalah 148 hari (r 5 bulan).
Rusa betina muda pertama kali melahirkan teridentifikasi
HASIL DAN PEMBAHASAN pada umur 693,8 hari (SD=89,40 hari; n=4), yang berarti
konsepsi untuk pertama kali terjadi pada umur sekitar 453
Perkembangan populasi rusa dari tahun 1992 hingga hari (r 15 bulan).
tahun 2001 terlihat pada Tabel 1. Peningkatan jumlah anak Penampilan reproduksi rusa jantan, masih belum
mulai terlihat di tahun 1996, saat penangkaran telah banyak data yang dapat ditampilkan. Data terbatas
berjalan selama enam tahun dan populasi induk dewasa menunjukkan bahwa semua rusa jantan dewasa berada
mulai meningkat. Fluktuasi populasi mengalamii perubahan pada kondisi ranggah keras yang bersamaan waktunya,
SEMIADI dkk. – Pola kelahiran Cervus unicolor 61

dengan kisaran lama pada kondisi ranggah keras antara 5- secara tidak langsung akan menurunkan angka
7 bulan (Tabel 2). Informasi pertumbuhan ranggah dari produktivitas induk, (ii) adanya permasalahan fertilitas baik
jantan muda (d 2 tahun) masih belum dapat ditabulasi pada jantan ataupun betina potensial, (iii) tetap dipakainya
mengingat kesulitan dalam mengidentifikasi individu. induk tua (> 7 tahun) dalam perkawinan, (iv) kemampuan
pejantan untuk kawin menjadi menurun sebagai akibat dari
seringnya pertarungan antar pejantan yang disatukan
16 dalam satu kelompok dengan betina. Hal ini disebabkan
oleh sifat hieraki dan pengumpulan harem pada kelompok
Anak yang lahir (ekor)

14
12 rusa jantan di musim kawin.
10
8
6
4
2
0
J P M A M J J A S O N D
Bulan

Gambar 2. Sebaran kelahiran anak rusa sambar (ekor) di


penangkaran selama 10 tahun.

Tabel 2. Sebaran jantan dewasa dalam masa pertumbuhan


ranggah di saat penelitian lapang.

Pejantan J P M A M J J A S O N D
Muda -1 x x x x V V V V K K x x
Otong x x x x K K K K M a t i
Bravo x x x x K K K K K K x
Cama x x x x K K K K K K C x
Memey x x x x K K K C V V K x
Kuning x x x x K K K K K K K x
Bradock x x x x K K K C V V K x
Amor x x x x K K K K K K C x
Gareng x x x x K K K K K K K x
Toi x x x x K K K K C V V x
Bagong x x x x K K K K K K K x
Keterangan: v = ranggah velvet; c = ranggah luruh; k = ranggah
keras.; x = tidak ada pengamatan.

Indikator keberhasilan pengembangan suatu populasi


penangkaran dapat ditinjau dari nilai produktivitas induk dan
persentase anak hidup pada umur 12 bulan. Sangat
rendahnya rata-rata angka persentase kelahiran (49%)
merupakan hal yang harus mendapatkan perhatian dari
segi manajemen perkawinan. Di Selandia Baru, persentase
kelahiran anak rusa sambar di penangkaran yang terendah Gambar 3. Pola kelahiran rusa tropik di Kebun Binatang Surabaya
hanya 78% (Semiadi et al., 1994). Persentase kelahiran (Semiadi dan Subekti, 1996).
pada rusa timor yang berada di Mauritius dan Kaledonia
Baru adalah antara 80-100% (Bianchi et al., 1994:
Lalouette, 1985) dan di Australia antara 90-97% (van Pola kelahiran rusa sambar yang dapat berlangsung
Mourik, 1986). Pada hasil perkawinan silang antara rusa sepanjang tahun memang merupakan ciri khas reproduksi
timor betina dengan rusa sambar jantan persentase rusa tropik (English, 1984; Monfort et al., 1993; Semiadi,
kelahiran juga rendah, hanya 32% (van Mourik dan Schurig, 1998; Semiadi et al., 1994) (Gambar 3.), tetapi pada
1985). Namun produk dari perkawinan silang ini tampaknya kelompok penangkaran ini tampak pula adanya
lebih disebabkan oleh persoalan perbandingan ukuran kecenderungan sentralisasi kelahiran yaitu pada bulan Juni
badan yang tidak seimbang antar rusa sambar yang besar dan Juli. Kelahiran yang terjadi di dua bulan tersebut dirasa
dengan rusa timor yang 30% lebih kecil dari rusa sambar. tidak akan produktif dipandang dari sudut kepentingan
Beberapa kemungkinan dari rendahnya angka konsepsi induk dan anak, mengingat saat itu anak membutuhkan
dalam penelitian ini adalah (i) faktor program perkawinan susu yang tinggi serta induk perlu energi untuk memulihkan
yang belun ada, sehingga kelahiran banyak terjadi di musim kondisi badan paska kelahiran. Pada kenyataannya
yang kurang sumber pakannya (kemarau) dan lingkungan alam berada pada posisi musim kemarau yang
mengakibatkan induk lebih lama menyusui anaknya serta membatasi ketersediaan hijauan bermutu. Iklim mikro
mundurnya berahi paska kelahiran. Terlebih dengan setempat menunjukkan bahwa kemarau dimulai sekitar
melihat pada data interval kelahiran yang mencapai 388 bulan Mei dan berakhir pada bulan September/Oktober,
hari, dengan lama masa menyusui mencapai lima bulan, dengan puncaknya pada bulan Juli/Agustus. Untuk itu
62 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 59-62

pengalihan puncak kelahiran ke bulan saat cukup dengan setiap saat dengan pejantan dalam kondisi ranggah keras
hijauan berkualitas, melalui perkawinan terkontrol atau cenderung mengelompok dalam satu periode tertentu.
penyediaan pakan secara cut and carry selama puncak
musim kemarau merupakan beberapa alternatif yang dapat
dipertimbangkan. DAFTAR PUSTAKA
Rusa sambar di Selandia Baru mempunyai masa
puncak kelahiran di bulan April dan Mei, dengan rata-rata Anderson, R. 1984. Deer farming in Australia. In: Deer Refresher Course
Proceedings no. 72. Sydney: University of Sydney.
tanggal kelahiran 8 Mei (Semiadi et al., 1994), sedangkan Awal, A., N.J Sarker, and K.Z. Husain. 1992. Breeding records of sambar
di Surabaya, rata-rata tanggal kelahiran adalah 16 Juni deer (Cervus unicolor) in captivity. Bangladesh Journal of Zoology 20:
(Semiadi dan Soebekti, 1996). Di Nusa Tenggara Timur, 285-290.
rusa timor mempunyai rata-rata tanggal kelahiran 4 Juli Bianchi, M., S. Lebel, J.C. Hurlin, P. Humblot, P. Chardonnet, and M. Thibier.
1994. Reproductive pattern of rusa deer (Cervus timorensis russa) in
(Semiadi, 1998). Dibandingkan dengan rata-rata tanggal New Caledonia. In: Milne, J.A (ed.). Recent Developments in Deer
kelahiran pada penelitian ini, tampak bahwa kisaran Biology. Aberdeen, U.K.: Macaulay Land Use Research Institute..
kelahiran rusa sambar tidak terlalu jauh, antara bulan Mei English, A.W. 1992. Management strategies for farmed chital deer. In: R.D
Brown. (ed.). The Biology of Deer. New York: Springer-Verlag
hingga Juli. Publication.
Dalam hal imbangan jenis kelamin yang lahir, hasil Hoefs, M. and U. Nowlan. 1994. Distorted sex rations in young ungulates:
analisis pada enam jenis ungulata di daerah beriklim dingin, the role of nutrition. Journal of Mammalogy 75: 631-636.
termasuk rusa, menunjukkan adanya kecenderungan betina Kitchener, H.J. 1961. The sambar deer-Cervus unicolor equinus. Malayan
Nature Journal 15: 52-61.
sekitar 25% lebih tinggi dibandingkan jantan. Faktor nutrisi Lalouette, J.A. 1985. Development of deer farming in Mauritius. In:
yang sangat baik selama kebuntingan menunjukkan Fennessy, P.F and K.R. Drew (eds.) Biology of deer production.
perannya yang positif terhadap ketidakseimbangan Proceedings. The Royal Society of New Zealand Bulletin 22: 379-380.
Lewis, J.C., L.B. Flynn, R.L. Marchinton, S.M. Shea, and E.M.Marchinton.
perbandingan kelamin yang lahir (Hoefs dan Nowlan, 1990. Part I. Introduction, study area description and literature review.
1994). Namun tampaknya sifat ini belum terlihat pada In: Ecology of sambar on St. Vincent National Wildlife Refugee. Florida.
kelompok rusa tropik. Pada rusa timor imbangan kelamin Tall Timbers Research Station. Tallahassee Bulletin 25: 1-12.
jantan betina adalah 1,3: 1,0 (Semiadi, 1998). Monfort, S.L., J.L. Brown, M. Bush, T.C. Wood, C. Wemmer, A. Vargas, L.R.
Williamson, R.J. Montali, and D.E. Wildt. 1993. Circannual inter-
Mengingat populasi pejantan yang termonitor untuk relationships among reproductive hormones, gross morphometry,
perkembangan ranggahnya masih sangat terbatas (11 behaviour, ejaculate characteristics and testicular histology in Eld’s deer
ekor) dengan koleksi data yang demikian pendek (6 bulan), stags (Cervus eldi thamin). Journal of Reproduction and Fertility 98:
471-480.
maka belum dapat memberikan gambaran yang baik Muchsinin, M., G. Semiadi, A. Dradjat, and W.R. Farida. 2002.
tentang penampilan pejantan. Namun dari data yang sangat Pengembangan rusa sambar sebagai jenis hewan ternak baru di
terbatas ini diketahui adanya kecenderungan sinkronisasi Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional Bioekologi dan
jantan secara alami dalam posisi ranggah keras. Hal ini Konservasi Ungulata. Lembaga Penelitian IPB, Bogor, 5 Pebruari 2002.
Semiadi, G. 1998. Pola kelahiran Rusa timorensis di Nusa Tenggara Timur.
juga tampak pada kelompok rusa sambar yang ada di Hayati 5: 22-24.
Selandia Baru (Semiadi et al., 1994). Lama pejantan dalam Semiadi, G and Soebekti, K. 1996. Pola kelahiran rusa bawean di
ranggah keras yang mencapai sekitar enam bulan penangkaran dan perbandingannya dengan kelompok Cervidae lainnya.
Berkala Penelitian Hayati 2: 81-86.
menujukkan lamanya pejantan berpotensi di musim kawin. Semiadi, G., P.D Muir, and T.N. Barry. 1994. General biology of sambar
Beberapa laporan menyatakan bahwa pada rusa tropik, deer (Cervus unicolor) in captivity. New Zealand Journal of Agricultural
jantan dalam keadaan ranggah keras dapat mencapai lebih Science 37: 79-85.
dari satu tahun, walau tidak terlalu sering (Kitchener, 1961). Semiadi, G and R.T.P. Nugraha, 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis.
Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.
van Mourik, S. 1986. Reproductive performance and maternal behaviour in
farmed rusa deer (Cervus (Rusa) timorensis). Applied Animal
KESIMPULAN Behaviour Science 15: 147-159.
van Mourik, S. and V. Schurig. 1985. Hybridization between sambar
(Cervus (rusa) unicolor) and rusa (Cervus (rusa) timorensis) deer.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Zoologisher Anzeiger Jena 214: 177-184.
kelahiran pada rusa sambar (Cervus unicolor) tropik terjadi Whitehead, G.K. 1994. Encylopedia of Deer. Shrewsbury: Swann Hill Press.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 63-65

Peranan Makrofauna Tanah dalam Proses Dekomposisi Serasah


Acacia mangium Willd.

The roles of soil macrofauna on litter decomposition of Acacia mangium Willd

Ɔ
MUSYAFA
Laboratorium Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281

Diterima: 13 Pebruari 2004. Disetujui: 17 Mei 2004

ABSTRACT

Acacia mangium has been widely planted in industrial forest plantation (HTI). High litter accumulation in floor of A. mangium (Acacia)
plantation due to slow process of decomposition, may disturb nutrient cycling process. It is also vulnerable to forest fire especially in dry
season. The research was aimed to clarify the density of soil macrofauna in Acacia plantation and the roles of macrofauna in the
decomposition of Acacia litter. The density of macrofauna was estimated by using pitfall traps and hand-sorting method in Acacia stand, at
Wanagama Reaserch Center, Gadjah Mada University (GMU). In the laboratory, Spirobolus sp. (Diplopoda) were fed with the litter of
Acacia and the ingestion rate, defecation rate, and assimilatioan rate were determined. C and N content of the litter and feces were
analyzed at Laboratory of Soil Science, Faculty of Agriculture GMU. The results showed that the density of soil macrofauna was low (74.6
2
individual/m ). The study in laboratory showed that Spirobolus did not est newly fallen leaves of Acacia. Ingestion rate, defecation rate,
assimilation efficiency of millipede fed with partly decomposed Acacia leaves were 76.8 mg/g/day, 7.0 mg/g/day, 6.1 mg/g/day respectively.
C/N ratio of feces was lower than that of partly decomposed Acacia leaves. It indicated significant change during gut passage of Spirobolus
sp. This millipede should be introduced in Acacia plantation as a potential decomposer.
¤ 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: soil macrofauna, decomposition, ingestion rate, defecation rate, C/N ratio

PENDAHULUAN miselium jamur dan bakteri yang berperan dalam proses


dekomposisi serasah. Olechowicz (1987) menemukan ada
Acacia mangium (mangium) banyak ditanam pada hubungan yang kuat antara kesuburan tanah, jumlah dan
Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk berbagai keperluan biomas makrofauna tanah.
seperti pembuatan pulp dan kayu bangunan. Kelebihan Kontribusi makrofauna tanah dalam proses
dari jenis ini adalah bentuk batangnya lurus, tajuk cepat dekomposisi dapat secara langsung ataupun tidak
menutup tanah, mempunyai pertumbuhan yang cepat dan langsung (Visser, 1985 dan Anderson, 1988 dalam Teuben
dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur. Salah satu dan Roelofsma, 1990). Kontribusi secara langsung dapat
masalah dalam tegakan mangium adalah terakumulasinya dilihat dari nutrien yang mengalami pelindian karena
serasah di lantai hutan. Siklus hara akan terhambat jika makrofauna sendiri. Sedangkan efek tidak langsung terjadi
serasah tidak terdekomposisi dengan baik. Penumpukan jika makrofauna itu mempengaruhi mikroorganisme yang
serasah yang berlebihan pada lantai hutan juga rawan berperan dalam proses dekomposisi. Efek secara tidak
terhadap kebakaran. Sifat serasah, kondisi lingkungan langsung ini dilakukan dengan mengubah kualitas substrat
yang tidak mendukung dan minimnya aktifitas organisme bagi mikroorganisme, seperti mengubah rasio C: nutrien
pengurai menyebabkan lambatnya proses dekomposisi yang dapat dipertukarkan (exchangeable nutrient) di dalam
(Sydes dan Grime, 1981 dalam Widyastuti dkk., 1999). substrat (Coleman dkk., 1983 dalam Teuben dan
Widyastuti dkk. (1999) menunjukkan jamur Trichoderma Roelofsma, 1990).
spp. dapat mempercepat dekomposisi serasah mangium. Comminutor, seperti isopoda dan milipoda mempunyai
Selain jamur, fauna tanah juga dapat membantu proses peranan dalam proses dekomposisi secara langsung
dekomposisi serasah. Makrofauna tanah dapat mengubah karena memakan serasah yang banyak, menghasilkan
serasah menjadi fragmen kecil dan feses, meningkatkan feses dan mempunyai efisiensi asimilasi yang rendah.
luas areal permukaan dan memodifikasi substrat untuk Menurut Rushton dan Hassal (1987) binatang menyeleksi
kolonisasi bakteri (Parkinson, 1998). Meskipun fauna tanah makanan berdasarkan bagaimana kecepatan nutrient yang
bertanggung jawab kurang dari 5% dari total respirasi dapat diserap. Dudgeon dkk. (1990) menunjukkan tingkat
dekomposer, biomasnya biasanya berhubungan dengan konsumsi (ingestion rate) isopoda Burmoniscus ocellatus
tingkat dekomposisi (Schaefer dan Schaeuermann, 1990). adalah 48,4 mg/g/hari. Slavecz (1993) menunjukkan feses
Aktivitas makrofauna tanah dapat memencarkan spora, isopoda mempunyai C/N rasio yang lebih rendah daripada
serasah.
Mengingat potensi makrofauna tersebut diperlukan
penelitian dasar tentang ekologi makrofauna tanah, dimulai
j Alamat korespondensi:
Kampus Bulak Sumur UGM Yogyakarta 55281
dari menginventarisir jenis-jenis yang ada dan mengetahui
Tel. +62-274-588074. Fax. +62-274-565268 kemampuan makrofauna mendekomposisi serasah secara
e-mail: aku_kue@yahoo.com fisik maupun kimiawi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
64 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 63-65

mengetahui: (i) kepadatan makrofauna tanah dekomposer dan tanah (kedalaman 10 cm) dengan cara hand-sorting
pada lantai tegakan mangium, (ii) kemampuan makrofauna dan pitfall trap disajikan pada Tabel 1.
tanah dekomposer dalam mendekomposisi serasah mangi-
um, (iii) kandungan karbon dan nitrogen pada serasah dan
2
feses yang dihasilkan makrofauna dekomposer. Tabel 1. Kepadatan populasi makrofauna tanah (individu/m ) yang
dikoleksi dari lantai tegakan mangium sampai kedalaman 10 cm
dengan cara hand-sorting dan pitfall trap.
BAHAN DAN METODE
Hand-sorting Pitfall trap
2
Kepadatan (individu/m ) Kepadatan
Tempat penelitian Taksa
(individu/
Penelitian dilakukan di tegakan mangium Petak 17, Serasah Tanah Total
trap)
Hutan Pendidikan Wanagama Gunung Kidul milik Fakultas 1. Oligochaeta 0 3,6 3,6 0
Kehutanan UGM Yogyakarta dan di Laboratorium Perlin- 2. Arachnida 3,6 12,4 16 0,08
dungan Hutan, Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta. 3. Isopoda 0 10,6 10,6 0
Analisis C dan N total serasah dan feses milipoda 4. Diplopoda 0 0 0 0
dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian 5. Chilopoda 0 3,5 3,5 0
6. Hexapoda:
UGM Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
a. Orthoptera 0 0 0 0
Juni s.d. Agustus 2002. b. Coleoptera 1,8 1,8 3,6 0
c. Isoptera 1,8 0 1,8 0
Cara penelitian d. Hymenoptera 5,3 30,2 35,5 6,36
Kepadatan makrofauna e. Dermaptera 0 0 0 0
Makrofauana tanah dikoleksi dari lantai hutan ukuran Total 12,4 62,2 74,6 6,44
25x25 cm sampai kedalaman 10 cm. Pengambilan sampel
dilakukan pada bulan Juli 2002 dengan ulangan 9 kali.
Makrofauna dikoleksi dengan hand-sorting dan diawetkan
dalam alkohol 70% untuk diidentifikasi di Laboratorium Kepadatan populasi makrofauna pada bulan Juli adalah
Perlindungan Hutan UGM Yogyakarta. Untuk makrofauna 74,6 individu/m2 terdiri dari 12,4 individu/m2 pada serasah
2
yang mempunyai aktifitas tinggi (high motility) ditangkap dan 62,2 individu/m pada tanah. Taksa yang dominan
dengan pitfall trap. Dua puluh lima pitfall trap dipasang adalah Formicidae, Arachnida dan Isopoda yang meliputi
pada lantai hutan, dengan jarak 4-5. Setelah 3 hari pitfall 70% dari total makrofauna. Total makrofauna pada bulan
trap diambil dan makrofauna yang tertangkap dikumpulkan Juli ini lebih tinggi daripada yang dikoleksi pada tempat
2
untuk diidentifikasi. yang sama bulan September 2001 (29,7 individu/m ) dan
lebih rendah dari yang dikoleksi pada bulan November
2
Kemampuan makrofauna mendekomposisi serasah 2001 (94 individu/ m ) (Musyafa, 2001). Jumlah individu
2
Pada penelitian di tegakan mangium jumlah individu dekomposer seperti Isopoda (10,6 individu/m ), Isoptera
2 2
makrofauna dekomposer sangat rendah. Oleh karena itu (1,8 individu/m ), Oligochaeta (3,6 individu/m ), Diplopoda
pada eksperimen tentang fungsi makrofauna dalam proses (0) pada bulan Juli sangat rendah.
dekomposisi di laboratorium digunakan Spirobolus sp. Jumlah individu makrofauna tanah pada permukaan
(Julidae, Diplopoda). Jenis ini terdapat melimpah di daerah serasah yang tertangkap dengan pitfall trap dapat dilihat
sekitar Wanagama terutama pada serasah tanaman kayu pada Tabel 1. Jumlah individu makrofauna tanah (high
putih, tetapi tidak ditemui pada seresah mangium. Apabila motile) pada permukaan serasah yang tertangkap pada
dalam penelitian ini dapat dibuktikan Spirobolus sp. bulan Juli 6,44 individu/trap, lebih rendah dari yang
Mempunyai kemampuan yang baik untuk mendekomposisi tertangkap pada bulan November 2001 (10,2 individu/trap)
seresah mangium maka perlu dilakukan introduksi jenis ini (Musyafa, 2001). Dengan metode ini tidak ditemukan taksa
pada tegakan mangium untuk membantu proses yang berperan sebagai dekomposer.
dekomposisi seresah. Populasi mektofauna tanah yang berperan sebagai
Tiga ekor Spirobolus sp. yang diambil dari seresah dekomposer pada tegakan mangium di Wanagama sangat
kayu putih di sekitar Wanagama (berat masing-masing rendah, sehingga aktivitas makrofauna dalam proses
individu 0,38-0,45 g) dimasukkan dalam kotak plastik dekomposisi seresah juga rendah. Untuk meningkatkan
berdiameter 15 cm. Serasah mangium baru, seresah peranan makrofauna tanah dalam proses dekomposisi
mangium yang belum terdekomposisi atau setengah diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan populasi
terdekomposisi (partly decomposed), dengan berat kering makrofauna dekomposer antara lain dengan mengintro-
angin 0,88 g dimasukkan dalam kotak plastik. Kotak plastik duksikan dekomposer yang potensial.
ditempatkan dalam ruangan dengan suhu kamar selama 8
hari. Berat kering serasah yang tersisa ditimbang untuk Kemampuan makrofauna tanah mendekomposisi serasah
mengetahui kemampuan makrofauna mendekomposisinya. Pada penelitian laboratorium digunakan dekomposer
Feses yang dihasilkan dikumpulkan, dikeringkan dan Spirobolus sp. yang diberi makan serasah daun mangium.
ditimbang. C dan N total serasah sebelum dimakan, sisa Feeding experiment Spirobolus sp. yang diberi makan
serasah, dan feses yang dihasilkan Spirobolus sp. serasah daun mangium dapat dilihat pada Tabel 2.
dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Spirobolus sp. hanya makan serasah yang terde-
UGM Yogyakarta. komposisi sebagian, dan tidak memakan serasah baru
atau serasah yang belum terdekomposisi. Musyafa (2001)
menyebutkan Armadillidum vulgare lebih menyukai daun
HASIL DAN PEMBAHASAN aoki dan cedar yang telah terdekomposisi dibandingkan
dengan serasah yang baru. Soma dan Saito (1983)
Kepadatan makrofauna tanah menyatakan tekstur serasah daun mempengaruhi
Kepadatan populasi makrofauna tanah pada serasah preferensi makrofauna tanah.
MUSYAFA – Dekomposisi serasah Acacia mangium 65

Tabel 2. Feeding experiment dengan menggunakan Spirobolus menunjukkan adanya proses perubahan yang cukup
sp. yang diberi makan serasah daun mangium. signifikan selama melewati usus Spirobolus sp.
Tingkat makan Spirobolus sp. Terhadap serasah
Serasah
Serasah Serasah belum mangium yang terdekomposisi sebagian cukup tinggi.
terdekomposisi
baru terdekomposisi
sebagian
Jenis perlu diintroduksi pada tegakan mangium di
Tingkat konsumsi - - 76,8 Wanagama yang mempunyai populasi makrofauna
(mg/g/hari) dekomposer sangat rendah agar proses dekomposisi dapat
Tingkat pengeluaran - - 72,0 berjalan lebih baik. Oleh karena itu diperlukan penelitian
feses (mg/g/hari) lanjutan tentang kemamp[uan adaptasi Spirobolus sp.
Efisiensi assimilasi - - 6,1 Pada tegakan mangium.
(%)

KESIMPULAN
Daun mangium yang terdekomposisi sebagian lebih
lunak dibandingkan dengan serasah baru. Di samping itu Kepadatan makrofauna (termasuk makrofauna
adanya aktivitas mikroorganisme dapat meningkatkan dekomposer) pada tegakan mangium pada bulan kering
kandungan nutrien. Serasah mangium yang masih baru (Juli) cukup rendah (74,6 individu/m2). Spirobolus sp.
selain teksturnya keras, kemungkinan juga mengandung (Diplopoda) tidak memakan serasah yang baru (belum
zat yang tidak disukai oleh Spirobolus sp. Pada serasah terdekomposisi oleh mikroorganisme). Tingkat makan,
yang telah terdekomposisi sebagian tingkat makannya 76,8 tingkat pengeluaran feses, dan efisiensi asimilasi
mg/g/hari, tingkat defekasi 72,0 mg/g/hari, dan tingkat Spirobolus sp. yang diberi makan serasah mangium yang
efisiensinya 6,1%. Slavecz (1993) menyebutkan tingkat terdekomposisi sebagian berturut-turut 76,8 mg/g/hari, 7,0
makan isopod Protracheoniscus amoenus 15,9 mg/g/hari, mg/g/hari dan 6,1%. C/N rasio feses Spirobolus sp. lebih
tingkat defekasi 11,5 mg/g/hari, dan efisiensi assimilasi rendah daripada serasah yang terdekomposisi sebagian.
26,2%. Pada Cylisticus convexus, tingkat makan 9,1 Spirobolus sp. berpotensi diintroduksi pada tegakan
mg/g/hari, tingkat defekasi 7,6 mg/g/hari, dan efisiensi mangium untuk membantu proses dekomposisi.
asimilasi 16,4%. Dibandingkan dua jenis isopod yang
diteliti oleh Slavecs (1993) tingkat makan dan defekasi
milipoda yang diberi makan mangium ini jauh lebih tinggi. DAFTAR PUSTAKA
Kandungan bahan organik (BO), karbon, total nitrogen
serasah daun mangium dan feses yang dikeluarkan oleh Bocock, K.L. 1963. The digestion and assimilation of food by Glomeris. In:
Spirobolus sp. disajikan pada Tabel 3. Proceeding of Coll. Soil Fauna, Soil Microfauna, and their Relationship.
Amsterdam: North Holland Publishing.
Dudgeon, D., M.H.T. Ma, and P.K.S. Lam. 1990. Differential palatabilityof
leaf litter to four sympatric isopods in a Hongkong forest. Oecologia. 84:
Tabel 3. Kandungan bahan organik (BO), karbon, total nitrogen 398-403.
serasah daun mangium dan feses yang dikeluarkan oleh Gunnarson, T. and A. Tunlid. 1986. Recycling of fecal pellets in isopods:
Spirobolus sp. microorganism and nitrogen compounds as potential food of Oniscus
acellus. Soil Biology and Biochemistry 18: 595-600.
BO Karbon Nitrogen Musyafa. 2001. Ekologi Makrofauna Tanah pada Tegakan Acacia
Media C/N mangium Willd. [Laporan Penelitian]. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan
(%) (%) (%)
UGM.
Serasah baru 88,6 51,4 1,2 42,1 Olechowicz, E. 1987. Density and biomass of soil macrofauna from different
Serasah terdekomposisi 88,6 51,4 1,8 29,2 forest ecosystems of the Kampinos forest (Poland). Ekologia Polska 34
sebagian (awal) (4): 689-710.
Serasah terdekomposisi 88,2 51,2 1,6 33,2 Parkinson, D. 1998. Linkages between resources availability,
sebagian (akhir) microorganisms, and soil invertebrates. Agriculture, Ecosystem and
Feses 87,3 51,5 2,2 25,9 Environment 24: 21-32.
Rushton, S.P. and M. Hassal 1987. Effects of food qaulity on isopod
population dynamics. Functional Ecology 1: 359-367.
Schaefer, M. and J. Schauermann. 1990. The soil fauna of beech forest:
Kandungan N paling tinggi terdapat pada feses comparison between a mull and a moder soil. Pedobiologia 34: 299-
(2,16%,) kemudian diikuti serasah yang terdekomposisi 314.
Soma, K. and T. Saito. 1983. Ecological studies of soil organisms with
sebagian (1,76% dan 1,57%) dan paling kecil pada references to the decomposition of pine needle. II. Litter feeding and
serasah baru (1,2%). C/N rasio paling tinggi pada serasah breakdown by woodlouse, Porcellio scaber. Plant and Soil 75: 139-
baru (42,08%), serasah yang terdekomposisi sebagian 151.
Slavecz, K. 1993. Needle consumption by two terrestrial isopods,
(29,21% dan 33,16%) dan paling rendah feses (25,99%). Protracheoniscus amoenus (C.L. Koch) and Cylisticus convexus
Binatang sapropafag mempunyai pengaruh terhadap (de Geer) (Isopoda, Oniscidea). Pedobiologia. 37: 57-64
dekomposisi dengan memproduksi feses yang lebih Teuben, A. and T.A.P.J. Roelofsma. 1990. Dynamic interactions between
terdekomposisi daripada serasah. Hal ini juga dibuktikan functional groups of soil arthropods and microorga-nisms during
decomposition of coniferous litter in microcosm experiments. Biological
pada Glomeris marginata oleh Bocock (1963), pada Fertility of Soils. 9: 145-151.
Oniscus asellus oleh Gunnarson dan Tunlid (1986). Widyastuti, S.M., Sumardi, dan Supriyanto. 1999. Pemanfaatan
Slavecz (1993) juga menunjukkan feses dari dua Isopod biofungisida, Trichoderma sp. untuk mempercepat penguraian serasah
Acacia mangium. Mediagama 1 (1): 13-20.
mempunyai C/N rasio yang lebih rendah daripada serasah.
Adanya perbedaan C/N rasio antara feses dan serasah
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 66-69

REVIEW:
Current Status of Extenders and Cryoprotectants on Fish
Spermatozoa Cryopreservation

MUCHLISIN Z.A.
Department of Marine Sciences, Faculty of Sciences Syiah Kuala University, Banda Aceh 23111
Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia.

Received: 21 Mei 2004. Accepted: 30 September 2004.

ABSTRACT

An important component of many studies of cryopreservation of fish spermatozoa is the type of extenders and cryoprotectants. The
suitability of extenders and cryoprotectants differs from one fish to another. There are many studies have been done in cryopreservation of
fish spermatozoa. However, there are few review have been done. This review reveals some aspects of cryopreservation especially the
role of extender and cryoprotectant in fish sperm cryopreservation. Fish produce high viscosity of sperm and in some cases only small
volume is produced. Before cryopreserved in liquid nitrogen, sperm have to dilute with extenders and for long-term cryopreservation,
cryoprotectants are needed to protect the sperm cell from cold and hot shock treatments and prevent cell dehydration during pre-freezing,
freezing and post thawed. The suitability of extenders and cryoprotectants differs from one fish to another. Over the last decade, studies on
the cryopreservation of mammalian sperm, animal husbandry sperm and human sperm have progressed significantly but studies on fish
sperm is still confined to some aquatic.
” 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Key words: fish, sperm, cryopreservation, extenders, cryoprotectants.

INTRODUCTION causes of spermatozoa damage during cryopreservation,


and the ability of spermatozoa plasma membrane to resist
Cryopreservation is the method to preserve the milt. structural damage during cryopreservation may be related
This method has been applied in fish sperm. According to to the type of fatty acids in the spermatozoa plasma
Chao and Liao (2001), cryopreservation of fish sperm has membrane and the strength of the bonds between
been well established for many years in many finfish membrane components.
species. This method offers several benefits such as stock It was postulated that fatty acids protect the cell from
protection from being totally eliminated due to sudden osmotic pressure of extenders and cryoprotectants solution
diseases outbreak, natural disaster, or accidents such as oil and hot or cold shock during freezing and thawing further
spills. Other advantages of cryopreservation include stable prevent cell dehydration and damages.
supply of sperm for optimal utilization in hatchery production
and laboratory experiments, easy stock transportation
among hatcheries, improvement in selective breeding EXTENDERS
whereby stock can be maintained more economically and
effectively, experimental material for advanced studies, In terms of cryopreservation, extenders have been very
such as gene transfer. well studied because cryopreservation is difficult without
The principle of cryopreservation is to cause cell them. An extender is a medium to dilute sperm and to get a
dehydration and eventually concentrate the cytosol with larger amount of diluted sperm for artificial induce breeding
minimum injury so that ice crystallization in the cytosol is purposes, while a cryoprotectant is a material which added
minimized during quenching in liquid nitrogen. Major into an extended sperm dilutions to protect the sperm from
cryoinjuries can occur in relation to freezing and thawing cold and hot shock and cryo toxicity during cryopreservation
process during conventional cryopreservation within the (Muchlisin, 2004b). Some of extenders that used for
temperature ranges of generalized cryopreservation cryopreservation of sperm in various fish species was listed
procedures due to the cold shock during freezing and hot in Table 1. (Chao, 1996).
shock when the samples thawed. The cryoinjuries occur Fish produces high viscosity of sperm and in some
during pre-freezing and post-thawing, at the temperature cases only small volume is produced. Extenders are playing
o
range between 0 and –40 C. Other causes of cryoinjuries a vital role in cryopreservation, it needed for sperm dilution,
include pH fluctuation, ice crystal formation, osmotic and generally it induced initial motility and increased
pressure, and cryoprotectant toxicity (Chao and Liao, 2001). fertilization of cryopreserved sperm. It is known that
In addition, Hammerstedt et al. (1990) reported that ice spermatozoa can be preserved for a day to years and their
formation and changes in osmotic pressure are other major motility could be retained under low temperatures.
Ringer and physiology solutions are common practical
extenders to dilute the milt, since these solutions are easy
j Alamat korespondensi: to prepare. A physiology solution contains 7.98 g/L NaCl
Kampus Unsyiah Banda Aceh 23111, NAD. and 0.2 g/L NaHCO3 (Alawi et al., 1995) while Ringer
Tel./fax.: +62-0651-555622 solution has 7.5 g/L NaCl, 0.2 g/L KCl, 0.20 g/L CaCl2, 0.20
e-mail: muchlisinza@yahoo.com
MUCHLISIN Z.A. – Fish spermatozoa cryopreservation 67

g/L and NaHCO3. Ringer solution is commonly used in black porgy, 5-15% glycerol showed satisfactory function,
freshwater fish spermatozoa. Although, modified Ringer while in the tilapias, 15% milk and 5% methanol as diluents-
contains 13.5 g/l NaCl, 0.60 g/l KCl, 0.25 g/l CaCl2, 0.35 g/l cryoprotective agent mixture gave satisfactory motility and
MgCl2, and 0.2 g/l NaHCO3 is used for marine fish fertility.
spermatozoa. Ringer with milk and Ringer with honey are DMSO (dimethyl-sulfoxide) at various concentrations is
also reported to be suitable for tilapia (Oreochromis generally used as a cryoprotectant for animal cells, for
niloticus).and milkfish (Chanos chanos) or black porgy example 10% DMSO resulted in a high percentage of motile
(Acanthopagrus schlegeli) spermatozoa respectively (Chao, milkfish spermatozoa (Chao, 1991), Artic charr (Salvelinus
1991). In addition, Muchlisin et al. (2004a) find that Ringer alpinus) (Richardson et al., 2000b), and spotted sea trout
solutions at dilution ratio of 1:20 resulted in higher sperm (Cynoscion nebulosus) (Wayman et al., 1996), whereas
motility of bagrid catfish (Mystus nemurus). 12% DMSO was found suitable for Atlantic salmon (Salmo
Another extender that can be used is saline solution salar L) spermatozoa (Gallant et al., 1993). However, 10%
consisting of 75 mmol/L NaCl, 70 mmol/L KCl, 2 mmol Dimethyl-acetamide (DMA) was more effective than 10%
CaCl2, 1 mmol/L MgSO4, and 20 mmol/L tris (pH 8) which is DMSO for cryopreservation of rainbow trout (Ochorhynchus
suitable for cyprinid fish spermatozoa (Lahnsteiner et al., mykiss) spermatozoa (McNiven et al., 1993; and
2000). In addition, Kurokura-1 which contains of 128.4 mM Richardson, et al., 2000a) and African catfish (Clarias
NaCl. 2.7 mM KCl, 1.4 mMCaCl2, 2.4 mMNaHCO3 is gariepinus) spermatozoa (Horvath and Urbanyi, 2000).
suitable for common carp (Cyprinus carpio) spermatozoa Also available as a cryoprotectant is glycerol which was
(Linhart, et al., 2000). found to be a more effective cryoprotectant than DMSO and
ethylene glycol (EG) for European catfish (Silarus glanis)
spermatozoa (Linhart et al., 1993). In contrast, Marian and
CRYOPROTECTANTS
Krasznai (1987) found DMSO better than EG in European
catfish, and propylene glycol (PG) in yellowtail founder
Like extenders, cryoprotectants are also playing
(Pleuronectes ferrugineus) (Richardson et al., 1995).
important role in cryopreservation particularly for long-term
Methanol also has a good protective effect for fish
cryopreservation. Cryoprotectants are needed to protect the
spermatozoa. For example, 10% methanol is suitable for
sperm cell from cold and hot shock treatments and prevent
cryopreservation of bitterling spermatozoa (Ohta et al.,
cell dehydration. Cryoprotectants provide cryoprotection to
2001), spine foot fish (Chao, 1991), bagrid catfish
labile enzymes, for example catalase, and stabilize protein
(Muchlisin and Muhammadar, 2002), European catfish
in unfrozen and aqueous solutions. They can also prevent
(Ogier de Baulny et al., 1999) and African catfish (Viveiros
ice formation during prefreezing, but the same levels of
et al., 2000), and 5% methanol is reported to be suitable for
cryoprotectants can be lethal to unfrozen cell (Chao, 1991).
tilapia spermatozoa (Chao, 1991).
However, cryoprotectants have some disadvantages in that
it can induce protein denaturation at higher temperature and Table 2. Cryoprotectants used in cryopreservation studies (Chao,
cause cryoprotectant toxicity in cellular systems. The 1996).
toxicity of the diluents is a major limitation to successful
spermatozoa cryopreservation of fishes. Some of Acetamide Glycerol monoacetate Proline
cryoprotectants that used in cryopreservation studies was Aline (L) Glycine Propylene glycol
listed in Table 2. (Chao, 1996). Albumin Hydroxyethyl starch Pyridine-N-Oxide
Since spermatozoa are very sensitive cells and are Ammonium acetate Inositol Ribose
easily affected by diluents such as extenders and Chloroform Lactose Serine
Choline Magnesium chloride Sodium bromide
cryoprotectants, studies on the cryoprotectants and Dextrans Magnesium sulfate Sodium chloride
extenders, in terms of spermatozoa preservation are Diethyl glycol Maltose Sodium iodide
important to determine the most suitable extenders, Dimethyl acetamide Mannitol Sodium nitrate
cryoprotectants and their concentration for certain fish Dimethyl formamide Mannose Sodium sulfate
species. Chao (1991) also reported that very few Dimethyl sulphoxide Methanol Sorbitol
spermatozoa survive at very low temperature without Erythritol Methyl acetamide Sucrose
cryoprotectant due to the ice crystals that were formed. Ethanol Methyl formamide Triethylene glycol
In addition, cryoprotectants added to milt greatly Ethylene glycol Methyl urea Trimethylamine
acetate
extends the tolerance of spermatozoa to freezing Formamide Phenol Urea
particularly when it is done at slower rate. Here the optimal Glucose Pluronic polyols Valine
cooling rate depends on the nature and concentration of the Glycerol Polyethylene glycol Xylose
cryoprotectant that is used. For instance, in grey mullet and Glycerophosphate Polyvinyl pyrrolidone -

Table 1. The type of extenders used for cryopreservation of sperm in various fish species (Chao, 1996).

NaCl KCl CaCl2 MgCl2 NaHCO3 Taps Caps Glucose Yolk Honey Milk Species
Ingredient (g/L)
(g/l) (mmol) (ml) Recommended

Marine fish ringer 13.5 0.6 0.25 0.35 0.2 - - - - - - Marine fish
Freshwater fish ringer 7.5 0.2 0.20 - 0.2 - - - - - - Freshwat. fish
Taps 2.9 3.2 0.07 0.03 - 15 - - - - - Tilapia
Caps 2.9 3.2 0.07 0.03 - - 15 - - - - Tilapia
Milk in ringer 7.5 0.2 0.20 - 0.2 - - - - - 150 Tilapia
V2e 7.5 0.38 - - 2.0 - - 1.0 0.2 - - Tilapia
V2f 7.5 - - - 2.0 - - 1.0 0.2 - - Tilapia
Honey in ringer 7.5 0.6 0.60 0.35 0.2 - - - - 1 - Black porgy,
milkfish
68 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 66-69

“CO-CRYOPROTECTANTS” grouper (Chao and Liao, 2001). Tables 1 and 2 show the
types of, cryoprotectants, extenders and co-protectants are
Besides cryoprotectants and extenders, some commonly used respectively.
researchers have used a combination of several materials
known as “co-cryoprotectants” such as egg yolk, milk,
honey, sucrose and glucose to the diluents (Table 3). For EFFECT OF CRYOPRESERVATION ON THE SPERM
instance, Chao et al. (1987) reported that the simplest MOTILITY AND FERTILITY
formulation such as 5% glucose has generally been the
most successful for cryopreservation of tilapia sperm. Motility and fertilization rate of cryopreservation
Further simple or single component diluents such as diluted spermatozoa is usually inferior to that of fresh milt. Thus,
0.5% honey or glucose in Ringer solution were found with frozen semen 15 times more spermatozoa are required
functional in both laboratory and field for milkfish and black for obtaining sufficient fertility in rainbow trout. The lower
porgy (Chao et al., 1987). Milt diluted with Ringer solution fertility observed could be due to several factors among
which has been previously combined in methanol is an ideal them (i) low motility of post-thaw spermatozoa, (ii) the
freezing medium in cryopreserved sperm of several tilapia reduced percentage of motile spermatozoa after undergoing
species including Oreochromis aureus, Oreochromis freezing and thawing and (iii) low fertility regardless of
mossambicus, Oreochromis niloticus, Tilapia zilli, motility of cryopreserved sperm (Ohta et al., 1995).
Oreochromis niloticus x Oroechromis aureus hybrid and red In walking catfish (Clarias batrachus) for example,
tilapia (Oreochromis sp. hybrid) (Chao, 1991). spermatozoa motility decreased from 80% to 59%, and 38%
Egg yolk has been tested as an additive material to after 20, 40, and 120 minutes respectively at a temperature
extenders and cryoprotectants in many cryopreservation of 10oC (Anuar and Chan, 2000). However, Oetome et al.
studies. Ciereszko et al. (1993) compared two combined (1996) studied the effect of different cryoprotectants on
cryoprotectants and found that 8% DMSO with 10% egg sperm motility of African catfish, and found that fresh and
yolk gave significantly higher fertilization rate than 20% cryopreserved semen resulted in no significant difference in
glycerol with 0.3 M glucose in yellow perch. In addition, hatching rate of 82.25% and 78.9% for the fresh and
Lahnsteiner et al. (1996) pointed out that the addition of egg cryopreserved sperm respectively.
yolk (7% and 20%) and sucrose (0.5%) significantly Furthermore, Ohta et al. (2001) studied the effect of five
increased the quality of rainbow trout semen in comparison cryoprotectants namely DMSO, glycerol, methanol, DMA
without these additives. and DMF in Japanese bitterling spermatozoa
Anuar and Chan (2000) used an extender containing of cryopreservation, they reported that the additional of 10 %
0.16 g calcium chloride, 8 g sodium chloride, 0.4 g DMSO or N, N-dimethylacetamide (DMA) to the diluents
potassium chloride, 0.2 g magnesium sulfate, 0.12 g increased the percent motility significantly. The results also
potassium dihydrogen phosphate, 0.06 g sodium hydrogen showed that 10% methanol plus 90% fetal bovine serum as
carbonate, 10 g glucose and 0.15 g amphicilin for Clarias suitable diluents for cryopreservation of Japanese bitterling
o
batrachus spermatozoa, and reported a 68% of sperm spermatozoa and those samples should be cooled to –40 C
motility at the beginning of storage with survival until day at low freezing rate for effective storage.
12, but a combination of cryoprotectant with 15% DMSO Ohta et al. (1995) suggested a correlation between the
and 15% egg yolk maintained sperm motility until day 28. percentage of fertility and motility of amago salmon
In marine fish, a combination of Erdahl-Graham`s (Oncorhynchus masou) after thawing, in that high
solution (which contains 0.29 g of CaCl2.H2O, 0.4 g of percentage of motility can increase the fertility. Similar
MgCl2.6H2O, 0.5 g of Na2HPO4, 5.1 g of KCl, 11.7 g of results were found in sea bass and turbot spermatozoa
NaCl., 0.2 g of citric acid, 20 g of glucose, 20 mL at 1.27 g (Dreanno et al., 1998).
-1 -1 3 Contrarily, Ciereszko et al. (1999) reported no relation-
100mL KOH, 20 mL at 5.3 g 100 mL bicine, 2 dm of
distilled water) and 10% egg yolk showed positive effects ship between the motility and sperm fertility in rainbow trout,
on milt of northern pike (Esox lucius) with increasing fertility since 0% motility had 67.9% fertilization success. They
rate (Babiak et al., 1995; 1999). Moreover, Piironen (1993) considered three possible explanations for the phenomenon
found that the addition of egg yolk in extender for sperm of cryopreserved sperm for this observation: (i) sperm
cryopreservation increased the fertilization rates in brown motility was suppressed by conditions of the sperm analysis
trout (Salmo trutta m. lacustris L), although in Artic charr chamber, (ii) sperm motility was activated by an egg factor,
addition of egg yolk into the diluents decreased the or (iii) eggs can be fertilized by immotile spermatozoa. The
fertilization rate. Similarly, in aspius (Aspius aspius), the existence of a factor in egg and ovarian fluid that can
presence of egg yolk in the extender significantly decreased stimulate sperm motility and could fertilize the egg support
cryopreservation success (Babiak et al., 1998). the theory that sperm motility was activated by an egg
In addition to the cryoprotectant used, the acceptable factor. Unfortunately, the mechanism for the stimulation of
dilution ratios of the extenders appear to vary in fish. For sperm motility by the egg factor remains unclear. It is
example 1 part milt: 1 part extender for the sperm of grey suspected that some of the steroid hormones in egg and
mullet, black porgy, and tilapia; 1:4 for milkfish; and 1:20 for ovarian have played a role in this phenomenon.

Table 3. The types of co-cryoprotectants used in cryopreservation studies.

Co-protectants Combined with Fish species References


Glucose 5% Ringer Milkfish Chao et al. (1987); Muchlisin et al. (2004a).
Honey 0.5% Ringer Black porgy Chao et al. (1987)
Milk Ringer-methanol Tilapias Chao, (1991)
Egg yolk 10% DMSO Yellow perch Ciereszko et al. (1993)
Egg yolk 7&20%+ sucrose (0.5%) - Rainbow trout Lahnsteiner et al. (1996)
Egg yolk 15% DMSO Walking catfish Annuar and Chan (2000)
Egg yolk 10%+ sucrose 0.6M Erdahl-DMSO Northern pike Babiak et al. (1999)
MUCHLISIN Z.A. – Fish spermatozoa cryopreservation 69

However, in the most successful cryopreservation, Ciereszko, A., K. Dabarowski, F. Lin, S.A. Christ, and G.P. Toth. 1999. Effect
of extenders and time of storage before freezing on motility and
sperm maybe viable and motile after cryopreservation, but fertilization of cryopreserved Muskellunge spermatozoa. Progressive
their fertility was reduced. Roberts et al. (2000) reported Fisheries Culturist American Fisheries Society 128: 542-548.
many cryopreserved sperm were immotile, and that the Dreanno, C., M. Suquet, E. Desbruyeres, J. Cosson, H. le Delliou, and R.
motile sperm rapidly lost their motility and swimming Billard. 1998. Effect of urine on semen quality in turbot (Scophthalmus
maximus). Aquaculture 169: 247-262.
velocity after dilution. They also found the highest Gallant, R.K., G.F. Richardson and M.A. McNiven. 1993. Comparison of
fertilization rates obtained were only 20-40%. different extender for the cryopreservation of atlantic salmon
spermatozoa. Theriogenology 40: 479-486.
Hammerstedt, R.H., J.K. Graham, and J.P. Nolan. 1990. Cryopreservation of
mammalian sperm: What we ask them to survive. Andrology 11(3): 73-
CONCLUSIONS 88.
Horvath, A., and B. Urbanyi. 2000. The effect of cryoprotectant on the motility
Cryopreservation has several benefits such as stock and fertilizing capacity of cryopreserved African catfish, Clarias
gariepinus sperm. Aquaculture Research 31 (3): 317-324.
protection, a stable supply of sperm for optimal utilization in Lahnsteiner, F., B. Berger. A. Horvath, T. Weismann, and R. Patzner. 1996.
hatchery production and laboratory experiments, easy stock The influence of various cryoprotectants on semen quality of the rainbow
transportation, improvement in selective breeding and gene trout (Ochorhynchus mykiss) before and after cryopreservation.
Journal of Applied Ichthyology 12 (2): 99-106. 21.
transfer. In fact, fish produce a high viscosity of sperm and Lahnsteiner, F., Berger. B., A. Horvath, B. Urbanyi, and T. Weismann. 2000.
in some cases only small volume is produced. Extenders Cryopreservation of spermatozoa in cyprinid fishes. Theriogenology 54:
and cryoprotectants are important and play a vital role in 1477-1498.
cryopreservation. Extenders are needed for sperm dilution Linhart, O., R. Billard, and J.P. Proteau. 1993. Cryopreservation of European
catfish (Silarus glanis L) spermatozoa. Aquaculture 115: 347-359.
to produce large volume of diluted sperm while Linhart, O., M. Rodina, and J. Cosson. 2000. Cryopreservation of sperm in
cryoprotectants are also needed to protect the sperm cell common carp Cyprinus carpio: sperm motility and hatching success of
from cold and hot shock treatments and prevent cell embryos. Cryobiology 41: 241-250.
Marian, T. and Z.L. Krasznai. 1987. Cryopreservation of European catfish
dehydration during pre-freezing, freezing and post thawed, (Silarus glanis L) sperm. In: K Tiew (ed.). Selection, Hybridization and
and its greatly extends the tolerance of spermatozoa to Genetic Engineering in Aquaculture. Vol I. Hamburg: FAO/EIFAC.
freezing particularly when it is done at slower rate. The McNiven, M.A., R.K.Gallant, and G.F. Richardson. 1993. Dimethyl-acetamide
optimal cooling rate depends on the nature and as a cryopreservation for rainbow trout spermatozoa. Theriogenology
40: 943-948.
concentration of the cryoprotectant that is used. In addition, Muchlisin Z.A. and Muhammadar. 2002. Long-term cryopreservation of
the suitability of extenders and cryoprotectants differs from baung spermatozoa, Mystus nemurus: Effect of various cryoprotectants
one fish to another. on motility and fertility. Torani 12 (4): 204-210.
Muchlisin Z.A., R. Hashim and A. Chong. 2004a. Preliminary study on the
cryopreservation of bagrid catfish spermatozoa : Effect of different
extenders and cryoprotectants on the motility after short-term storage.
ACKNOWLEDGEMENT Theriogenology, 62 (1-2): 25-37.
Muchlisin Z.A. 2004b. Preliminary study on spermatozoa cryopreservation
and evaluation of dietary protein on gonadal development of bagrid
We gratefully acknowledge Prof. Dr. Roshada Hashim of catfish (Mystus nemurus) female Broodstock. Thesis, University
University Sciences Malaysia for her suggestion to improve Sciences Malaysia, Penang.
this manuscript. Thanks are also due to all members of peer Muchlisin Z.A. 2004c. Ultra structure of baung (Mystus nemurus)
spermatozoa. Hayati, 9 (2) : 75-77.
group of Marine Sciences Department Faculty of Sciences, Oetome, Z.J., R.N. Nunes, C.K. Kouassi, S. Hem, J.F. Agnese. 1996.
Syiah Kuala University for their helpful during phases of Testicular structure, spermatogenesis and sperm cryopreservation in the
manuscript preparation. African clariid catfish. Aquaculture Research 27 (11): 805-813.
Ogier de Baulny, B., C. Labbe, and G. Maisse. 1999. Membrane integrity,
mitochondrial activity, ATP content, and motility of the European catfish
(Silarus glanis) testicular spermatozoa after freezing with different
REFERENCES cryoprotectant. Cryobiology 39: 177-184.
Ohta, H., H. Shimma, and K. Hirose. 1995. Relationship between fertility and
Alawi, H., Nuraini, N. Aryani, and S. Hutapea. 1995. Pengembangbiakan motility of cryopreserved spermatozoa of the amago salmon
Ikan. Pekanbaru: Fakultas Perikanan Univ. Riau. Oncorhynchus masou ishikawae. Fisheries Science 61 (5): 886-887.
Anuar, H and S.K. Chan. 2000. Studies on the cryopreservation of keli kayu, Ohta, H., K. Kawamura, T. Unuma, and Y. Takegoshi. 2001. Cryopreserva-
Clarias batrachus spermatozoa. In: Proceeding of National fisheries tion of the sperm of the Japanese bitterling. Fish Biology 58: 670-681.
symposium: Challenges to sustainable fisheries development in the next Piironen, J. 1993. Cryopreservation of sperm from brown trout (Salmo trutta
decade (National Agriculture Policy III). Kuala Lumpur: Ministry of m. lacustris L) and Arctic charr (Salvelinus alpinus L.) Aquaculture
Agriculture, Department of Fisheries Malaysia. 116 (2-3): 275-285.
Babiak, I., J. Glogowski, M.J. Luezynski, D. Kucharezyk, and M. Luezynski. Richardson, G.F., L.W. Crim, Z. Yao, and C. Short. 1995. Cryopreservation
1995. Cryopreservation of the milk of the northern pike. Fish Biology 46 of yellowtail flouder (Pleuronectes ferrugineus) semen. In: Goetz, F.W,
(5): 819-828. and P. Thomas, (eds.). Proc. of the Fifth International Symposium on the
Babiak, I., J. Glogowski, R. Kujawa, D. Kucharezyk, and L. Mamearz. 1998. Reproductive Physiology of Fish, 2-8 July, 1995, The University of
Cryopreservation of sperm of common crap, Cyprinus carpio L. Texas, Austin-Texas. 136p.
Aquaculture Research 28 (7): 567-571. Richardson, G.F., T.L. Miller, and M.A. McNiven. 2000a. Cryopreservation of
Babiak, I., J. Glogowski, M.J. Luezynski, M. Luenzynski, and W. rainbow trout semen using dimethyl-acetamide or dimethyl-sulfoxide as
Demianowiez. 1999. The effect of egg yolk, low density lipoprotein, cryoprotectant and three size of straw. In: Norberg, B., O.S. Kjesbu, G.L.
methylxanthines and fertilization diluent on cryopreservation efficiency of Taranger, E. Anderson, and S.O. Stefansson (eds.). Proc. of the 6th
Northern pike (Esox lucius) spermatozoa. Theriogenology 52: 473-479. International Ssymposium on the Rreproductive Pphysiology of Ffish, 4-
Chao, N.H., W.C. Chao, K.C. Liu, and I.C. Liao. 1987. The properties of 9 July 1999, Bergen. Institute of Marine Research and University of
tilapia sperm and its cryopreservation. Fish Biology 30: 107-118. Bergen. 443p.
Chao, N.H. 1991. Fish sperm cryopreservation in Taiwan: Technology Richardson, G.F., T.L. Miller, and M.A. McNiven. 2000b. Cryopreservation of
advancement and extention efforts. International Symposium on Arctic charr, Salvelinus alpinus L., semen in various exters and in three
Reproductive Biology in Aquaculture. Taipei: Department of Aquaculture, sizes of straw. Aquaculture 31: 307-315.
Taiwan Fisheriesv Research Institute. Roberts, R., S. Adams, J. Smith, A. Pugh, A. Janke, S. Buchanan, P.
Chao, N.H. 1996. Cryopreservation of finfish and shellfish sperms. Taiwan Hessian, and P. Mladenov. 2000. Cryopreservation of abalone (Haliotis
Fisheries Research 4(2):157-170. iris) sperm. Shellfish Research 19 (1): 530.
Chao, N.H and I.C. Liao. 2001. Cryopreservation on finfish and shellfish Viveiros, A.T.M., N. So, and J. Komen. 2000. Sperm cryopreservation of
gametes and embryos. Aquaculture 197: 161-189. African catfish, Clarias gariepinus: cryoprotectants, freezing rates and
Ciereszko, A., Ramseyer, L., and Dabroski, K. 1993. Crypreservation of sperm: egg dilution ratio. Theriogenology 54:1395-1408.
yellow perch semen. Progressive Fisheries Culturist American Fisheries Wayman, W.R., R.G. Thomas, and Tiersch. 1996. Cryopreservation of sperm
Society 55 (4): 261-264. of spotted seatrout (Cynoscion nebulosus). Gulf Research Report 9
(3): 183-188.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 70-75

REVIEW:
Karakteristik Sumberdaya Genetik Ternak Sapi Bali
(Bos-bibos banteng) dan Alternatif Pola Konservasinya
The Characteristics of Genetic Resource of Bali Cattle (Bos-bibos banteng) and
the Alternative of It's Conservation Methods

ACHMAD NUR CHAMDIj


Jurusan Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126

Diterima: 16 Maret 2004. Disetujui: 10 Nopember 2004.

ABSTRACT

Bali cattle is an Indonesian native beef cattle, the result of domestication of Banteng (Bos-bibos banteng). The main problem faced in the
development of Bali cattle is the low quality of breed, which is predicted as the effect of inbreeding or raising management. The affects of
genetic and cross breeding which usually inflict a loss are the decreasing of cattle’s endurance, fertility and birth weight. Seeing the fact,
the government effort to introduce a quality bull to the breed source areas, the determination of cattle release including the controll on the
cutting of productive female cattle, and to exactly count the number of Bali cattle which can be released in order to do not disturb its
population balance, so it is necessary to do conservation attempt by in-situ and ex-situ. The result of this study shows that the
characteristics on genetic resource of Bali cattle which comprises documentation, evaluation on reproduction and production, and attempt
in increasing Bali cattle’s genetic quality in Indonesia have been done, eventhough those are still limited.
” 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: Bali cattle, animal genetic resource, reproduction, production.

PENDAHULUAN dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan ladang


(Putu et al., 1998; Moran, 1990), persentase karkas tinggi,
Kondisi peternakan sapi potong saat ini masih daging tanpa lemak, heterosis positif tinggi pada
mengalami kekurangan pasokan sapi bakalan lokal karena persilangan (Pane, 1990), daya adaptasi yang tinggi
pertambahan populasi tidak seimbang dengan kebutuhan terhadap lingkungan dan persentase kelahiran dapat
daging nasional, sehingga terjadi impor sapi potong mencapai 80 persen (Ngadiyono, 1997 cit Tanari, 2001).
bakalan dan daging (Putu et al., 1997). Kebutuhan daging Namun ada juga beberapa kekurangannya yaitu
sapi di Indonesia saat ini dipasok dari tiga pemasok yaitu: pertumbuhannya lambat, peka terhadap penyakit
peternakan rakyat (ternak lokal), industri peternakan rakyat Jembrana, penyakit ingusan (malignant catarrhal fever) dan
(hasil penggemukan sapi potong ex-import) dan impor Bali ziekte (Darmadja, 1980; Hardjosubroto, 1994).
daging (Oetoro, 1997). Sapi potong merupakan hewan Kunci pengelolaan yang optimal terhadap sumberdaya
ternak dengan keanekaragaman jenis tinggi dan ditemukan genetika ternak adalah keragaman genetik. Perbedaan
hampir di semua negara, termasuk Indonesia (Lelana et al., genetik antar spesies, bangsa, kelompok ternak adalah
2003). Wilayah Indonesia didiami oleh tiga bangsa besar memungkinkan produsen memilih salah satu set gen untuk
ternak sapi potong yaitu Ongole, Bali dan Madura beserta mencapai tujuan tertentu pada suatu lingkungan tertentu
peranakan-peranakannya (Talib dan Siregar, 1998; (Subandriyo, 1997). Mempertahankan keragaman genetik
Kusumaningsih, 2002). Penyebaran bangsa-bangsa sapi ini sangat penting, akan tetapi langkah-langkah tertentu perlu
mulai dari ujung Sumatera sampai ke Maluku, dengan diperhatikan, apabila sumberdaya genetik akan dikelola
proporsi sekitar 50% tersebar di Pulau Jawa (Talib dan secara baik yaitu melalui karakterisasi sumberdaya genetik
Siregar,1998). Populasi sapi bali di Indonesia sekitar ternak. Langkah pertama yang perlu diperhatikan adalah
2.632.125 ekor atau sekitar 26,92% dari total populasi sapi dokumentasi. Dokumentasi adalah upaya untuk mengetahui
potong yang ada di Indonesia sehingga diharapkan dapat keberadaan suatu bangsa dan bagaimana performannya
menyuplai kebutuhan daging nasional (Tanari, 2001). pada berbagai macam kondisi lingkungan. Jadi
Sapi bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan dokumentasi dilakukan untuk mengetahui informasi setiap
merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos-bibos bangsa. Langkah kedua adalah evaluasi, yaitu
banteng) (Hardjosubroto, 1994), dan merupakan sapi asli perbandingan antar dua bangsa atau lebih serta
Pulau Bali (Payne dan Rollinson, 1974 cit Sutan, 1988). persilangannya. Langkah ketiga adalah pengembangan
Sapi bali menjadi primadona sapi potong di Indonesia program pemuliaan (development breeding plan). Dalam
karena mempunyai kemampuan reproduksi tinggi, serta pengembangan program pemuliaan, tidak ada cara umum
yang dapat memenuhi semua situasi. Akan tetapi
pengetahuan yang diperoleh dari dokumentasi dan
j Alamat korespondensi: evaluasi, serta struktur dari industri peternakan merupakan
Jl. Ir. Sutami No. 36A Surakarta 57126. dasar yang diperlukan dalam program pemuliaan. Langkah
Tel. & Fax.: +62-271-637457.
e-mail: ancham11@yahoo.com.
keempat adalah konservasi. Konservasi mungkin perlu
CHAMDI - Karakteristik Bos-bibos banteng 71

dilakukan atau mungkin tidak, informasinya tergantung akibat dari faktor inbreeding (silang dalam) atau tatalaksana
pada dokumentasi dan evaluasi (Turner, 1981). Dalam pemeliharaan. Pengaruh genetik dan kawin silang yang
makalah ini dikemukakan karakterisasi sumberdaya biasanya merugikan yaitu penurunan daya tahan,
genetika ternak sapi bali yang merupakan ternak lokal kesuburan ternak dan bobot lahir ternak (Sariubang et al.,
Indonesia dalam kaitannya dengan upaya pelestarian yang 1998). Hal ini sesuai dengan pernyataan Mikema (1987)
dilakukan terhadap ternak sapi bali di Indonesia. bahwa pengaruh silang dalam dapat meningkatkan proporsi
lokus-lokus genetik yang heterosigot, bersamaan dengan
itu akan terjadi "depresi persedarahan" yang berakibat pada
TERNAK SAPI BALI berkurangnya daya tahan, kesuburan dan bobot lahir
ternak. Warwick et al. (1983) menyatakan bahwa
Sapi bali (Bos-bibos banteng) yang berasal dari
perkawinan silang dalam pada ternak sapi potong
domestikasi Banteng dapat beradaptasi dengan baik pada
mengakibatkan penurunan bobot badan sebesar 2,5-5,0 kg
lingkungan setempat. Demikian pula dengan penyebaran
setiap kenaikan 10% silang dalam.
pada lingkungan di luar wilayah Indonesia (tropis dan sub
Melihat kenyataan tersebut, pemerintah berupaya
tropis), sapi bali tidak mengalami kesulitan dalam arti fungsi
mengintroduksikan pejantan unggul pada daerah sumber
reproduksi dan berjalan secara normal sebagaimana pada
bibit pada tahun 1989/1990. Pada awalnya diprogram
daerah asalnya (Copland, 1974; Kirby, 1979; McCool, 1992,
bahwa satu wilayah diintroduksikan satu jenis pejantan
Sivarajasingham, 1992; dan Asa et al., 1993 cit Talib et al.,
(semen). Terbukanya informasi dan adanya kesempatan
1998). Sampai saat ini penyebaran populasi sapi bali telah
yang sama untuk memilih jenis semen yang disukai
meluas yang mencakup seluruh wilayah Indonesia,
menyebabkan berbagai bangsa telah disebarkan ke
termasuk di Pulau Jawa kecuali Propinsi DKI Jakarta.
beberapa wilayah (Sitorus et al., 1995). Pada saat ini
Konsentrasi sapi bali terbesar adalah di Sulawesi Selatan,
walaupun proporsi genotipe induk sapi bali (asli) yang
Pulau Timor, Bali dan Lombok (Tanari, 2001). Jumlah sapi
dimiliki peternak masih tinggi, akan tetapi persilangan
bali di Sulawesi Selatan dan Pulau Timor telah jauh
dengan jenis sapi lain melalui program Inseminasi Buatan
melampaui populasi sapi bali ditempat asalnya Pulau Bali
(IB) telah banyak terjadi. Kecenderungan peternak
(Soehadji, 1990). Sapi bali juga dapat ditemukan di kebun-
melakukan persilangan antara sapi bali induk dengan jenis
kebun binatang dan Taman Safari di luar negeri, secara liar
semen lain yang unggul berdasarkan pada kenyataan
dan terpelihara juga dapat dilihat pada hutan-hutan tropis
bahwa nilai jual anak sapi bali persilangan lebih baik
dan negara-negara Asia Tenggara dan Australia Utara
dibandingkan dengan anak sapi bali murni. Melihat
(Talib et al., 1998).
kecenderungan peternak untuk melakukan persilangan
Ditinjau dari sistematika ternak, sapi bali masuk familia
antar breed sapi ini, dimungkinkan untuk dilakukan evaluasi
Bovidae, Genus bos dan Sub-Genus Bovine, yang
anak sapi persilangan hasil IB. Evaluasi penampilan
termasuk dalam sub-genus tersebut adalah Bibos gaurus,
produksi dapat dilihat dari bobot badan dan pertambahan
Bibos frontalis dan Bibos sondaicus (Hardjosubroto, 1994),
bobot badannya. Pendekatan lainnya yaitu dapat dengan
sedangkan Williamson dan Payne (1978) menyatakan
mengamati ukuran linier tubuh sapi yang berkorelasi erat
bahwa sapi bali (Bos-bibos Banteng) yang spesies liarnya
dengan bobot badan (Handiwirawan et al., 1998). Hal ini
adalah banteng termasuk Famili bovidae, Genus bos dan
sesuai dengan pendapat Hardjosubroto (1994) bahwa
sub-genus bibos. Sapi bali mempunyai ciri-ciri khusus
beberapa ukuran tubuh ternak telah diketahui berkorelasi
antara lain: warna bulu merah bata, tetapi yang jantan
dan merupakan indikator bagi bobot badan sapi seperti
dewasa berubah menjadi hitam (Hardjosubroto, 1994). Satu
tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan.
karakter lain yakni perubahan warna sapi jantan kebirian
Sariubang et al. (1998) melaporkan bahwa introduksi
dari warna hitam kembali pada warna semula yakni coklat
pejantan luar ke dalam populasi sapi bali di daerah sumber
muda keemasan yang diduga karena makin tersedianya
bibit Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan ternyata dapat
hormon testosteron sebagai hasil produk testes (Aalfs,
meningkatkan bobot lahir rata-rata 1,92 kg pada turunan
1934 cit Darmadja, 1980).
pertama (F1). Demikian juga lingkar dada dan tinggi
Karakteristik lain yang harus dipenuhi dari ternak sapi
pundak, sedangkan panjang badan tidak nampak
bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha,
pengaruhnya. Data bobot lahir pada Tabel 1 menunjukkan
pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai
bahwa pengaruh pejantan unggul nyata (P<0.05) terhadap
tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu
bobot lahir anak. Dimana JU x BL berbeda nyata (P<0.05)
pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga
dengan JL x BL maupun JL x BDS, sedangkan JL x BL dan
putih, terdapat garis hitam yang jelas pada bagian atas
JL x BDS tidak berbeda nyata (P>0.05).
punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling ideal
Lebih lanjut dilaporkan bahwa korelasi ukuran-ukuran
disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu jalannya
tubuh pada saat lahir dan pada saat mencapai umur bibit (2
pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar
tahun) terlihat bahwa pertumbuhan ukuran tubuh pada
lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya
turunan dari pejantan luar lebih besar dibandingkan dengan
membengkok sedikit keluar. Pada yang betina bentuk
turunan pejantan lokal (Tabel 2). Hasil penelitian ini sesuai
tanduk yang ideal yang disebut manggul gangsa yaitu
dengan yang dilaporkan Lasley (1978) bahwa peningkatan
jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah
bobot lahir ternak berkorelasi dengan bobot sapih.
ke belakang sedikit melengkung ke bawah dan pada
Penampilan eksterior sapi bali sama halnya dengan
ujungnya sedikit mengarah ke bawah dan ke dalam, tanduk
ternak ruminansia lainnya, yang dapat dipakai sebagai
ini berwarna hitam (Hardjosubroto, 1994).
indikator kemampuan produksi dan reproduksi. Tolok ukur
lingkar dada (LD) mempunyai hubungan yang erat dengan
bobot badan dengan koefisien korelasi sebesar 0,90-0,98
EVALUASI TERNAK SAPI BALI
(Lana et al., 1979). Lingkar dada pada sapi bali dipengaruhi
oleh jenis kelamin, umur ternak, kondisi lingkungan
Ukuran linier tubuh ternak
hidupnya seperti letak ketinggian dari permukaan laut
Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan
maupun pakan yang ada (Prabowo et al., 1992).
ternak sapi bali adalah rendahnya kualitas bibit yang diduga
72 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 70-75

Tabel 1. Bobot lahir, tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan sapi bali persilangan di Kabupaten Barru dan Luwu, Sulawesi Selatan
(Sariubang et al., 1998).

Pengamatan
Parameter
Bobot lahir (kg) Tinggi pundak (cm) Lingkar dada (cm) Panjang badan (cm)
JL x BL 11,83 61,33 61,71 42,47
JU x BL 13,77 63,96 63,91 42,91
JL x BDS 11,95 58,90 57,45 41,51
Keterangan: JL = Jantan lokal, JU = Jantan unggul, BL = Betina lokal, BDS = Betina di bawah standar.

Tabel 2. Rata-rata ukuran linier tubuh sapi bali pada umur 2 tahun (Sariubang et al., 1998).

Ukuran tubuh Jenis kelamin JL x BL JU x BL JL x BDS


Panjang badan (cm) Jantan 108,8 + 3,4 105,8 + 7,0 107,7 + 6,9
Betina 104,0 + 0,2 103,0 + 1,8 100,6 + 7,1
Tinggi pundak (cm) Jantan 104,4 + 2,1 103,2 + 1,9 109,4 + 9,2
Betina 100,4 + 4,8 98,6 + 3,6 101,2 + 9,8
Lingkar dada (cm) Jantan 148,5 + 4,2 141,7 + 5,3 149,8 +10,2
Betina 133,2 + 8,0 131,1 + 7,6 137,7 + 9,2

Tabel 3. Ukuran tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada sapi bali dan persilangannya di Kabupaten Lombok Timur, NTB
(Handiwirawan et al., 1998).

Jenis Tinggi pundak (cm) Panjang badan (cm) Lingkar dada (cm)
Induk
semen <31 hari 61-90 hari < 31 hari 61-90 hari < 31 hari 61-90 hari
Bali Bali 63,20+6,34 76,73+9,33 56,00+5,60 71,73+8,11 69,80+5,90 (10) 91,18+9,92 (11)
(10) (11) (10) (11)
Persilangan - - - - - -

Brahman Bali 68 86,67+6,09 56 82,00+6,45 75 106,83+12,09


(1) (6) (1) (6) (1) (6)
Persilangan 77,50+6,36 - 69,50+9,19 - 87,50+0,71 (2) -
(2) (2)
Limousin Bali 70,00+2,16 82,42+7,60 65,00+4,14 80,42+8,76 78,62+3,07 (13) 105,00+11,92
(13) (12) (13) (12) (12)
Persilangan 72,40+2,61 89,50+5,89 67,00+6,21 92,83+9,33 83,20+6,22 (5) 110,67+9,16 (6)
(5) (6) (5) (6)
Simental Bali 70,80+5,02 83,67+8,39 59,00+9,33 84,25+8,19 76,80+6,30 (5) 106,00+9,84
(5) (12) (5) (12) (12)
Persilangan 79,67+3,20 89,36+5,84 73,00+1,10 90,64+12,51 85,00+2,10 (6) 117,27+21,91
(6) (11) (6) (11) (11)
Keterangan: angka dalam kurung adalah jumlah sapi yang diukur.

Lubis dan Sitepu (1998) melaporkan bahwa pada sapi memiliki ukuran 80,42+8,76 cm. Diantara ukuran lingkar
bali betina umur 2-2,5 tahun menunjukkan rata-rata tinggi dada sapi persilangan pada umur <31 hari, sapi Limbal
pundak antara 112-114 cm, panjang badan antara 115-116 memiliki ukuran sedikit lebih panjang yaitu 78,62+3,07 cm,
cm dan lingkar dada antara 151-154 cm. Sedangkan akan tetapi pada umur 61-90 hari sapi Brahbal, Limbal dan
Handiwirawan et al. (1998) melaporkan bahwa ukuran Simbal memiliki ukuran relatif sama, berturut-turut
tinggi pundak sapi bali lebih rendah dibandingkan dengan 106,83+12,09 cm; 105,00+11,92 cm dan 106,00+9,84 cm
sapi persilangan Brahman x Bali (Brahbal), Limousin x Bali (Tabel 3).
(Limbal), Simental x Bali (Simbal). Pada kelompok umur
<31 hari ukuran tinggi pundak sapi bali adalah 63,20+6,34 Reproduksi ternak
cm, sedangkan yang tertinggi adalah persilangan dengan Dalam upaya pengembangan populasi ternak sapi Bali,
Limousin dan Simental (70,00+2,16 dan 70,80+5,02 cm). kasus kegagalan reproduksi merupakan kejadian yang
Pada kelompok umur 61-90 hari, tinggi pundak anak sapi sering dijumpai. Di lapangan, keadaan ini biasanya
persilangan dengan Brahman menjadi paling tinggi diantara terungkap antara lain dengan keterlambatan dewasa
sapi persilangan dengan Limousin dan Simental kelamin, nilai service per conception (S/C) yang tinggi, jarak
(86,67+6,09 vs 82,42+7,60 dan 83,67+8,39 cm). Ukuran beranak yang panjang dan selang post partus estrus yang
panjang badan terpendek untuk kelompok umur <31 hari panjang (Majestika, 1998). Nilai service per conception sapi
adalah pada sapi bali yaitu 56,00+5,60 cm sedangkan yang bali yaitu 1,22 (Davendra et al., 1973), antara 1-2 (Lubis
paling panjang adalah sapi Limbal yaitu 65,00+4,14 cm. dan Sitepu, 1998), dan 1,35 (Anonim, 1979). Lama
Ada kecenderungan sapi Brahbal memiliki pertambahan kebuntingan (pregnancy rate) sekitar 287+0,7 hari
ukuran panjang lebih cepat dibanding sapi yang lain, hal ini (Davendra et al., 1973), 286+15 hari (Darmadja dan
terlihat pada kelompok umur 61-90 hari, sapi Brahbal Sutedja, 1976), 9,55 bulan (Pastika dan Darmadja, 1976),
memiliki ukuran 82,00+6,45 cm sedangkan sapi Limbal dan antara 276-295 hari (Lubis dan Sitepu, 1998).
CHAMDI - Karakteristik Bos-bibos banteng 73

Kemudian rata-rata kembali birahi setelah beranak (post kelompok kontrol pada sapi bali (0,53 vs 0,14 kg/ekor/hari).
partus estrus) antara 106-165 hari (Lubis dan Sitepu, 1998). Sedangkan bobot lahir anak dari sapi bali yaitu 22,93 vs
Sedangkan jarak beranak (calving interval) dilaporkan 20,21 kg. Angka kematian anak sapi bali sebelum umur 47
antara 15,48-16,28 bulan atau 15,88+0,4 bulan (Davendra hari pada kelompok tanpa pemberian pakan konsentrat
et al., 1973), antara 373-683 hari atau 528+155 hari tambahan (kontrol) lebih tinggi dibandingkan dengan
(Darmadja dan Sutedja, 1976), dan antara 351-440 hari pemberian konsentrat yaitu sebesar 12,5% vs 6,3% (Tabel
(Lubis dan Sitepu, 1998). Jarak beranak yang ideal adalah 4). Penyebab kematian anak sapi bali secara umum
12 bulan (Bozwort et al., 1971), atau antara 12-14 bulan disebabkan oleh faktor lingkungan dan genetik. Menurut
(Jainudeen dan Hafez, 1987). Hal ini berarti bahwa dalam Talib et al., 1998), faktor-faktor tersebut yaitu bobot lahir
waktu 60 hari setelah melahirkan, induk sapi harus sudah yang rendah, kondisi fisik ternak, produksi susu induk
dikawinkan atau diinseminasi kembali dan bunting. Jarak rendah, waktu laktasi yang pendek (4 bulan) dan
beranak merupakan salah satu cara untuk mengukur kekurangan pakan pada saat disapih.
efisiensi usaha ternak (Bozwort et al., 1971), dan Bahar dan Rakhmat (2003) melaporkan bahwa
menunjukkan tingkat performans reproduksi ternak sapi pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi bali yang
(Fonseca et al., 1983). digembalakan dengan pakan hijauan lokal pada musim
kemarau berkisar antara 0,05-0,1 kg/ekor/hari, sedangkan
Produktivitas ternak pada musim hujan antara 0,2-0,4 kg/ekor/hari. Sehingga
Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor untuk meningkatkan produktivitas sapi bali khususnya di
ternak pada ukuran waktu tertentu (Hardjosubroto, 1994). musim kemarau perlu pemanfaatan secara maksimal
Produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai limbah pertanian seperti jerami padi, jerami kacang dan
fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Seiffert, jerami ubi jalar, serta pemanfaatan daun leguminosa untuk
1978). Wodzicka-Tomaszewska et al. (1988) menyatakan perbaikan nutrisi ternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan
bahwa aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan Vercoe dan Frisch (1980) bahwa sifat produksi dan
dari reproduksi ternak yang bersangkutan, sehingga dapat reproduksi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
dikatakan bahwa tanpa berlangsungnya reproduksi tidak lain bangsa sapi, keadaan tanah, kondisi padang rumput,
akan terjadi produksi. Dijelaskan pula bahwa tingkat dan penyakit dan manajemen. Termasuk dalam hal ini
efesiensi produksi ternak dibatasi oleh tingkat dan efesiensi manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan ternak.
reproduksinya. Menurut Djanuar (1985) bahwa produktivitas Oleh karena itu perbaikan mutu sapi potong haruslah
sapi potong dapat ditingkatkan baik melalui modifikasi ditekankan pada peningkatan sifat produksi dan reproduksi
lingkungan atau mengubah mutu genetiknya, namun dalam yang ditunjang oleh pengelolaan yang baik dari segi
prakteknya adalah kombinasi antara kedua alternatif di zooteknis dan bioekonomis.
atas.
Trikesowo et al. (1993) cit Tanari (2001) menyatakan
bahwa yang termasuk dalam komponen performans UPAYA PELESTARIAN TERNAK SAPI BALI
produktivitas sapi potong adalah jumlah kebuntingan,
kelahiran, kematian, panen pedet (calf crop), perbandingan Dalam upaya pelestarian dan pengembangan populasi
anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot ternak sapi bali sebagai sumberdaya genetika ternak lokal
setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot Indonesia, perlu diperhatikan faktor pemuliaan ternak.
badan. Hasil penelitian terdahulu yang mengamati potensi Program pemuliaan ternak sapi bali dapat dilakukan melalui
produksi sapi bali yaitu seperti bobot lahir antara 15-17 kg seleksi persilangan, yang pelaksanaannya tergantung dari
(Djagra et al., 1979), persentase kematian sebelum dan dokumentasi dan evaluasi pada kondisi tertentu. Pemuliaan
sesudah disapih yang mencapai 7-27% (Darmadja dan ternak melalui seleksi pada umumnya sangat lambat, akan
Sutedja, 1976; Sumadi et al., 1982; Nggobe et al., 1991), tetapi seleksi harus tetap dilaksanakan untuk
dan kematian dewasa yang mencapai 2,7% (Sumbung et mempertahankan kemurnian dan konservasi melalui usaha
al., 1978). pengelolaan ternak sapi Bali. Penyebaran sapi bali telah
Selanjutnya, Putu et al. (1998) melaporkan bahwa meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi
pemberian pakan konsentrat tambahan sebanyak 3 sapi bali terbesar di Sulawesi selatan, Pulau Timor, Bali dan
kg/ekor/hari pada sapi bali umur kebuntingan +7 bulan Lombok, namun kemurnian sapi bali tetap dipertahankan di
memberikan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) Pulau Bali, sebagai sumber bibit yang pembinaannya
yang lebih tinggi setelah 47 hari perlakuan dibandingkan dilakukan oleh Proyek Pembibitan dan Pengembangan

Tabel 4. Performans produksi dan reproduksi sapi bali setelah diberi pakan konsentrat (Putu et al., 1998).

Sapi Bali
Parameter Kontrol (K) Perlakuan (P)
n Min Max Rerata n Min Max Rerata
Bobot awal (kg) 16 184 301 247,5 16 199 319 247,56
Score kondisi badan 16 3 6 4,18 16 3 6 4,06
Bobot hari ke-47 (kg) 16 186 308 255,38 15 240 344 273,67
PBBH hari ke-47 (kg/ekor) 16 -0,64 0,70 0,14 15 -0,19 1,34 0,53
Persentase kelahiran (%) 15 - - 93,80 16 - - 100,00
Berahi setelah partus (%) 3 - - 18,75 2 - - 13,33
Berat lahir (kg) 14 16 30 20,21 16 16 28 22,93
Berat lahir betina (kg) 8 16 23 18,60 8 16 23 19,50
Berat lahir jantan (kg) 6 16 30 22,3 8 16 28 20,60
Mortalitas anak (%) 2 - - 12,50 1 - - 6,25
74 B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 70-75

Sapi bali (P3-Bali) (Tanari, 2001). Pemerintah juga telah sebagai hasil persilangan dengan sapi Bos Indicus, Bos
berupaya untuk meningkatkan mutu genetik ternak sapi bali Taurus, dan berbagai bangsa baru silangan seperti Santa
antara lain melalui seleksi yaitu program pengembangan Gertrudis, Droughtmaster, Belmot Red, Braford, Brangus
pusat pembibitan ternak di daerah pedesaan (village dan lainnya (Martojo, 1989).
breeding centre). Sedangkan untuk pengembangan usaha Pentingnya upaya untuk melestarikan sumberdaya
peternakan sapi Bali, Pemerintah menerapkan pola genetika ternak sapi bali tidak perlu diragukan lagi, akan
pengembangan peternakan rakyat melalui dua model, yaitu tetapi akan lebih menguatkan apabila ditindaklanjuti dengan
Pola Swadaya dan Pola Kemitraan. Pola swadaya pengorganisasian secara jelas dan dalam pelaksanaannya
merupakan pola pengembangan peternakan rakyat yang didukung dengan peraturan perundang-undangan. Pelesta-
mengandalkan swadaya dan swadana peternak, baik rian secara in-situ melibatkan banyak pihak, karena ternak
secara individu maupun kelompok. Sedangkan pola rakyat, pemilik dan masyarakat sekitarnya turut mempunyai
kemitraan (PIR-NAK) merupakan kerjasama yang saling andil yang besar (Setiadi et al., 1998). Sehingga sebaiknya
antara perusahaan inti dengan peternak rakyat sebagai dilakukan upaya pelestarian gabungan dari cara in-situ
plasma. Dijelaskan pula bahwa dalam kerjasama atau maupun ex-situ, karena akan memberikan hasil yang lebih
kemitraan ini, seluruh kegiatan pra-produksi, produksi menguntungkan. Salah satu cara untuk mencegah
hingga pasca produksi dilakukan dengan kerjasama antara kepunahan sapi bali dapat didekati dengan pendekatan
plasma dan inti (Anonim, 1998; Bank Indonesia, 2003). kriteria teknis, ekonomis, sosial budaya dan politis.

Tabel 5. Dinamika populasi ternak sapi bali di Propinsi Bali (1990- KESIMPULAN
2000) (Biro Pusat Statistik, 2000 cit Kusumaningsih, 2002).
Perubahan Karakterisasi sumberdaya genetik ternak sapi bali
Tahun Populasi ternak (ekor)
populasi (%) melalui dokumentasi dan evaluasi telah dilakukan,
1990 456.179 - walaupun masih sangat terbatas. Pengembangan program
1991 435.789 - 4,68 pemuliaan ternak melalui seleksi telah diupayakan oleh
1992 471.888 7,65 pemerintah melalui Proyek Pembibitan dan Pengembangan
1993 483.687 2,44
Sapi bali (P3-Bali) dan pusat pembibitan ternak pedesaan
1994 491.329 1,56
1995 513.700 4,35 (village breeding centre), meskipun pada umumnya belum
1996 528.400 2,78 seperti yang diharapkan. Upaya peningkatan mutu genetik
1997 538.800 1,93 ternak sapi bali melalui persilangan telah dilakukan di
1998 524.615 - 2,70 Indonesia sejak lama, tetapi secara umum kurang berhasil
1999 526.013 0,27 karena tidak dilakukan secara sistematis dan tidak
2000 529.064 0,58 dipertahankan adaptasi ternak impor terhadap lingkungan
Indonesia. Selain itu, juga perlu dilakukan upaya pelesta-
rian dan pengembangan ternak sapi bali secara gabungan
Selain itu, dalam melaksanakan pengembangan yaitu melalui cara in-situ dan ex-situ. Pendidikan dan
populasi ternak sapi Bali, penentuan pengeluaran ternak penyuluhan mengenai upaya pelestarian dan pemanfaatan
termasuk pengendalian pemotongan ternak betina produktif plasma nutfah secara berkelanjutan perlu disebarluaskan
perlu diperhatikan, dan menghitung dengan tepat jumlah kepada para peternak dan masyarakat secara luas.
ternak sapi bali yang dapat dikeluarkan, agar tidak
mengganggu keseimbangan populasinya dari suatu wilayah
(Tanari, 2001). Tabel 5 menunjukkan dinamika populasi DAFTAR PUSTAKA
ternak sapi bali di daerah asalnya yaitu Propinsi Bali,
dimana ada kecenderungan mengalami peningkatan Anonim. 1979. Laporan Performans Sapi bali dan Ongole di Propinsi Bali
populasi sampai akhir tahun 1997, namun setelah itu dan Nusa Tenggara Timur. Bogor: Direktorat Jenderal Produksi
populasinya cenderung turun. Menurut Hardjosubroto Peternakan dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Anonim. 1998. Kajian Pola Pengembangan Peternakan Rakyat Berwawasan
(1994) bahwa out put sapi potong dari suatu wilayah Agribisnis. Bogor: Direktorat Jenderal Peternakan dan Lembaga
tertentu agar keseimbangan populasi ternak potong Penelitian IPB.
tersebut tetap konstan dipengaruhi antara lain natural Bank Indonesia. 2003. Informasi sistem usaha kemitraan: dalam usaha
produksi ternak sapi potong.
increase, tingkat kematian ternak, kebutuhan ternak http://www.bi.go.id/sipuk/lm/ind/sapi_potong/aspek_teknis_produksi.htm
pengganti, jumlah ternak tersingkir, pemasukan ternak Bahar, S. dan Rakhmat. 2003. Kajian pertumbuhan sapi bali yang
hidup dan besarnya proyeksi kenaikan populasi ternak di digembalakan dengan pakan hijauan lokal. Prosiding Seminar Nasional
daerah tersebut. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 28-29 September 2003.
Bozworth, R.W., G. Ward, E.P. Cal, and E.R. Bonewitz. 1971. Analysis of
Dalam upaya pengembangan ternak sapi bali di suatu factors affecting calving interval of dairy cows. Journal of Dairy Science
wilayah tertentu perlu dilengkapi dengan rancangan 55: 334-339.
peningkatan mutu genetik ternak (Winter, 2003). Salah satu Copland, R.S. 1974. Observation on Banteng cattle in Sabah. Tropical
Animal Health and Production 6: 89.
cara untuk mempertahankan mutu genetik ternak sapi bali Darmadja, S.D.N.D. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional
dan berbagai bangsa sapi lain di daerah sumber bibit dalam Ekosistem Pertanian di Bali. [Disertasi]. Bandung: Universitas
adalah menghitung dengan tepat jumlah sapi dari berbagai Padjadjaran.
mutu genetik bibit yang dapat dikeluarkan, seimbang Darmadja, D. dan P. Sutedja. 1976. Masa kebuntingan dan interval beranak
pada sapi Bali. Prosiding Seminar Reproduksi Sapi Bali. Universitas
dengan jumlah dan mutu bibit yang perlu dipertahankan Udayana. Denpasar, Bali.
sebagai ternak pengganti. Selain cara tersebut diatas Davendra, C.T.; Lee, K.C. and Pathmasingam. 1973. The productivity of Bali
dapat pula dilakukan persilangan sapi bali dengan berbagai cattle in Malaysia. Agricultural Journal 49: 183-197.
Djanuar, R. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi.
bangsa lain. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa persilangan Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
sapi bali dengan berbagai bangsa lain menghasilkan sapi Djagra, I.B., I.K. Lana, dan I.K. Sulandra. 1979. Faktor-faktor yang ber-
silangan yang menunjukkan sifat pertumbuhan yang pengaruh pada berat lahir dan berat sapih sapi Bali. Prosiding Seminar
meningkat sebanyak 50–100%. Hal ini terutama terjadi Keahlian di Bidang Peternakan. Denpasar: Universitas Udayana.
CHAMDI - Karakteristik Bos-bibos banteng 75

Fonseca, F.A., J.H. Britt, B.T. McDaniel, J.C.Wilk, and A.H. Rakers. 1983. pakan konsentrat tambahan selama dua bulan sebelum dan sesudah
Reproductive traits of Holstein and Jersey: Effect of the age, milk yield kelahiran terhadap performan produksi dan reproduksi sapi potong.
and clinical abnormalities and involution of cervics and uterus, ovulation, Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2
estrous cycles, detection of estrous, conception rate, and days open. Desember 1998.
Journal of Dairy Science 66: 1128. Sariubang, M., D. Pasambe, dan Chalidjah. 1998. Pengaruh kawin silang
Handiwirawan, E., E.D. Setiawan, I.W. Mathius, Santoso, dan A. Sudibyo. terhadap performans hasil turunan pertama (F1) pada sapi Bali di
1998. Ukuran tubuh anak sapi bali dan persilangannya di Nusa Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan
Tenggara Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998.
Bogor, 1-2 Desember 1998. Seiffert, G. W. 1978. Simulated selection for reproductive rate in beef cattle.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Journal of Animal Science 61: 402-409.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Setiadi, B., I.W. Mathius, dan I.K. Sutama. 1998. Karakterisasi sumberdaya
Jaenudeen, M.R., and E.S.E. Hafez. 1987. Reproductive cycles: Cattle and kambing Gembrong dan alternatif pola konservasinya. Prosiding
water buffalo. In: Hafez, E.S.E. (ed.) Reproduction in Farm Animals. 5th Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember
ed. Philadelphia: Lea and Febiger. 1998.
Kirby, G.M.W. 1979. Bali cattle in Australia. World Review of Animal Sivarajasingham, S. 1992. Improvement of indigenous cattle and buffalo
Production 31: 24. breeds in South East Asia. Proceeding of the 6th AAAP Animal Science
Kusumaningsih, A. 2002. A Glance of Cattle (Bos javanicus) as an Congress. Bangkok: 151.
Indonesian Natural Rresource. Sitorus, P., Subandriyo, L.H. Prasetyo, S. Rachmawati, S.N. Tambing, A.
http://rudyct.250x.com/sem1_012/anni_kusumaningsih.htm. Gunawan, dan B. Setiadi. 1995. Pengaruh Penyebaran Berbagai Jenis
Lana, K., D. Djagra, dan K. Sulandra. 1979. Bobot lahir sapi Bali. Prosiding Sapi Bibit melalui Inseminasi Buatan terhadap Penyebaran dan
Seminar Nasional Penelitian dan Penunjang Peternakan. Denpasar, Pengembangan Ternak Sapi di Kawasan Timur Indonesia. Bogor: Pusat
Bali: Universitas Udayana. Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Lasley, J.F. 1978. Genetics of Livestock Improvement. 3rd ed. New York: Soehadji, 1990. Kebijaksanaan pemuliaan ternak (breeding policy) khusus
Prentice Hall Inc. sapi bali dalam pengembangan peternakan. Prosiding Seminar Nasional
Lelana, N.E., Sutarno, dan N. Etikawati. 2003. Identifikasi poliformisme pada Sapi Bali. Denpasar, 20-22 September 1990.
fragmen ND-5 DNA mitokondria sapi Benggala dan Madura dengan Subandriyo. 1997. Pengelolaan sumberdaya genetika ternak domba di
teknik PCR-RLFP. Biodiversitas 4 (1): 1-6. Indonesia. Buletin Plasma Nutfah: 44-50.
Lubis, A.M., dan P. Sitepu. 1998. Evaluasi produktivitas sapi perah yang Sumadi, P.A., Soepiyono, dan H. Mulyadi. 1982. Produktivitas sapi Ongole,
terseleksi di dua lokasi penelitian KUD Sarwa Mukti dan KUD Pasir Bali dan Brahman Cross di ladang ternak Bila Rivet Ranch Sulawesi
Jambu. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, Selatan. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Cisarua, 6-9
1-2 Desember 1998. Desember 1982.
Majestika. 1998. Manipulasi uterus untuk memperpendek selang post partus Sumbung, F.P. 1977. Performans reproduksi sapi Bali. Prosiding Seminar
ke estrus pertama pada sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Ruminansia. Bogor: Direktorat Jenderal Peternakan, Puslitbangnak dan
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998. Fapet IPB.
Martojo H. 1989. Pengembangan peternakan di Sumatera dalam Sutan, S.M. 1988. Perbandingan Performans Reproduksi dan Produksi
menyongsong era tinggal landas. Prosiding Seminar Nasional antara Sapi Brahman, Peranakan Ongole dan Bali di Daerah
Peternakan. Padang, 14-15 September 1988. Transmigrasi Batumarta, Sumatra Selatan. [Disertasi]. Bogor: Institut
McCool, C. 1992. Buffalo and Bali cattle: Exploiting their reproductive Pertanian Bogor.
behaviour and physiology. Tropical Animal Health and Production 24: Talib, C. dan A. R. Siregar. 1998. Faktor-faktor yang mempengaruhi
165. pertumbuhan pedet PO dan cross breednya dengan Bos Indicus dan
Mikema, D. 1987. Dasar Genetik dalam Pembudidayaan Ternak. Jakarta: Bos Taurus dalam pemeliharaan tradisional. Prosiding Seminar Nasional
Bharata Karya Aksara. Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998.
Moran. J.B., 1990. Performans dari sapi-sapi Pedaging di Indonesia dalam Talib, C., A. Bamualim, dan A.Pohan. 1998. Problematika pengembangan
Kondisi Pengelolaan Tradisional dan Diperbaiki. Laporan Seminar sapi bali dalam pemeliharaan di padang penggembalaan. Prosiding
Ruminansia II. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember
Nggobe, M. Bathseba Tiro, A. Bamualim, dan R.B. Wirdahayati. 1991. 1998.
Pemberian suplemen pada akhir masa kebuntingan terhadap bobot Tanari, M. 2001. Usaha Pengembangan Sapi bali sebagai Ternak Lokal
lahir, produksi susu induk dan kematian anak sapi bali pada musim dalam Menunjang Pemenuhan Kebutuhan Protein asal Hewani di
kemarau. http://pustaka.bogor.net/publ/jp3/jp211-34.htm. Indonesia. http://rudyct.250x.com/sem1_012/m_tanari.htm.
Oetoro. 1997. Peluang dan tantangan pengembangan sapi potong. Turner, H.N. 1981. Animal genetic resources. Int. Goat and Sheep Res. 1(4):
Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 243.
Januari 1997. Vercoe, J.E. dan J.E. Frisch. 1980. Pemuliaan dari segi genetik sapi
Pane, I. 1990. Upaya peningkatan mutu genetik sapi Bali di P3 Bali. pedaging di daerah tropik. Laporan Seminar Ruminansia II. Bogor:
Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. Bali, 20-22 September 1990. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak.
Pastika, M. dan D. Darmadja. 1976. Performans reproduksi sapi Bali. Warwick, E.J., J.M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1995. Ilmu Pemuliaan
Prosiding Seminar Reproduksi Sapi Bali. Denpasar, Bali: Universitas Ternak. Edisi kelima. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Udayana. Williamson, G., dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah
Prabowo, A., M. Sariubang, M. Sabrani, dan A. Tikupadang. 1992. Tropis. Edisi ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Performans Sapi bali Betina di Bawah Standar Bibit di Daerah Winter, W.H. 2003. Cattle production in eastern Indonesia. A Summary of
Transmigrasi Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Gowa: Sub Balai collaborative research. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Penelitian Ternak. Peternakan dan Veteriner. Bogor: 28-29 September 2003.
Putu, I.G., K. Diwyanto, P. Sitepu, dan T. D. Soedjana. 1997. Ketersediaan Wodzicka-Tomaszewska, M., T.D. Chaniago, and I.K. Sutama. 1988.
dan kebutuhan teknologi produksi sapi potong. Prosiding Seminar Reproduction in Relation to Animal Production in Indonesia. Bogor:
Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 Januari 1997. Institut Pertanian Bogor-Australia Project.
Putu, I.G., P. Situmorang, A. Lubis, T.D. Chaniago, E. Triwulaningsih, T.
Sugiarti, I.W. Mathius dan B. Sudaryanto. 1998. Pengaruh pemberian
ISSN: 1412-033X

Karakterisasi Genetik Anjing Kintamani Menggunakan Petanda Mikrosatellite 77-81


I KETUT PUJA
Isolasi, Enumerasi, dan Karakterisasi Bakteri Rhizobium dari Tanah Kebun Biologi 82-84
Wamena, Papua
SRI PURWANINGSIH
Actinomycetes Selulolitik dari Tanah Hutan Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi 85-90
ATIT KANTI
Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman Jenis 91-95
AHMAD DWI SETYAWAN, INDROWURYATNO, WIRYANTO, KUSUMO WINARNO,
ARI SUSILOWATI
Keanekaragaman Bambu di Pulau Sumba 96-100
ELIZABETH A. WIDJAJA, KARSONO
Studi Taksonomi Micromelum Blume (Rutaceae) di Indonesia 101-103
TAHAN UJI
Studi Keragaman Anggrek di Cagar Alam Gunung Simpang, Jawa Barat 104-109
DWI MURTI PUSPITANINGTYAS
Eksplorasi Jenis Palem di Pulau Mioswar Kabupaten Teluk Wondama 110-114
YOHANES Y. RAHAWARIN
Kunci Identifikasi Rotan (Calamus spp.) Asal Sulawesi Tengah Berdasarkan Struktur 115-119
Anatomi Batang
ANDI TANRA TELLU
Keanekaragaman Spesies Tingkat Pohon di Kawasan Taman Wisata Alam Ruteng 120-125
Nusa Tenggara Timur
DEDE SETIADI
Komposisi Jenis dan Struktur Vegetasi Hutan di Kawasan Pakuli, Taman Nasional 126-132
Lore Lindu, Sulawesi Tengah
PURWANINGSIH, RAZALI YUSUF
Pemencaran Syzygium cormiflorum (F. Muell.) B. Hyland. di Sekitar Pohon Induk 133-137
dalam Cagar Alam Lamedae, Kolaka, Sulawesi Tenggara
DEDEN MUDIANA
Dinamika Hutan Dipterocarp Campuran Wanariset Semboja, Kalimantan Timur Setelah 138-143
Tiga Kali Kebakaran Tahun 1980-2003
HERWINT SIMBOLON
Pemanfaatan Tebu dalam Upacara Adat di Kabupaten Tabanan, Bali 144-146
I NYOMAN PENENG, I WAYAN SUMANTERA
Review: Penelitian Biodiversitas Serangga di Indonesia: Kumbang Tinja (Coleoptera: 147-152
Scarabaeidae) dan Peran Ekosistemnya
SHAHABUDDIN, PURNAMA HIDAYAT, WORO ANGGRAITONINGSIH NOERDJITO

Gambar sampul depan:


Penampang melintang batang rotan (Calamus spp.)

Terbit empat kali setahun


Yth.: Pembaca dan Kolega

Mulai tahun 2005, Biodiversitas, Journal of Biological Diversity (teakreditasi) terbit empat
nomor setiap tahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Selanjutnya untuk
memperluas cakupan pembaca, jurnal ini dapat menerima langganan pribadi atau institusi
dengan membayar. Ketentuan pengganti biaya pencetakan dan pengeposan per tahun sebagi
berikut:
potong di sini

ƀJawa: Rp. 100.000,00.


ſ Luar Jawa: Rp. 130.000,00.

Adapun pengiriman sample jurnal secara terbatas dan bebas tagihan (free on charge)
sebagaimana telah dilakukan selama ini, untuk selanjutnya hanya akan dilakukan khusus
kepada institusi yang secara periodik juga mengirimkan materi publikasinya kepada
Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS, c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas.

Biaya berlangganan dapat dibayarkan secara tunai atau transfer via BNI KC. Sebelas Maret
Surakarta, a.n. Solichatun, M.Si. No. Rekening: 274.000146652.941.

Surakarta, 1 Januari 2005

Bersama ini saya kirimkan kopi bukti transfer biaya


berlangganan jurnal:
Biodiversitas, Journal of Biological Diversity Kirim
dengan besar biaya: dengan
perangko
Lama waktu Jawa Luar Jawa
1 tahun Rp. 100.000,00 Rp. 130.000,00
2 tahun Rp. 200.000,00 Rp. 260.000,00
potong di sini

3 tahun Rp. 300.000,00 Rp. 390.000,00

Untuk dikirimkan kepada:

Nama : ………………………………………… KEPADA


Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS
Alamat : ………………………………..………. c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas
…………………………………………………………
d.a. Laboratorium Pusat MIPA UNS
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126
………………………………………………………… Tel. & Fax. +62-271-663375;
E-mail: unsjournals@yahoo.com
Tel. & Fax : ………………………………………… Website: www.unsjournals.com

E-mail : ………………………………….……..
Bersama ini saya kirimkan kopi bukti transfer biaya
berlangganan jurnal:
Biodiversitas, Journal of Biological Diversity Kirim
dengan besar biaya: dengan
perangko
Lama waktu Jawa Luar Jawa

potong di sini
1 tahun Rp. 100.000,00 Rp. 130.000,00
2 tahun Rp. 200.000,00 Rp. 260.000,00
3 tahun Rp. 300.000,00 Rp. 390.000,00

Untuk dikirimkan kepada:

Nama : ………………………………………… KEPADA


Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS
Alamat : ………………………………..………. c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas
…………………………………………………………
d.a. Laboratorium Pusat MIPA UNS
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126
………………………………………………………… Tel. & Fax. +62-271-663375;
E-mail: unsjournals@yahoo.com
Tel. & Fax : ………………………………………… Website: www.unsjournals.com

E-mail : ………………………………….……..

Yth.: Pembaca dan Kolega

Mulai tahun 2005, Biodiversitas, Journal of Biological Diversity (teakreditasi) terbit empat
nomor setiap tahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Selanjutnya untuk
memperluas cakupan pembaca, jurnal ini dapat menerima langganan pribadi atau institusi
dengan membayar. Ketentuan pengganti biaya pencetakan dan pengeposan per tahun sebagi
berikut:

ƀJawa: Rp. 100.000,00.


potong di sini

ſ Luar Jawa: Rp. 130.000,00.

Adapun pengiriman sample jurnal secara terbatas dan bebas tagihan (free on charge)
sebagaimana telah dilakukan selama ini, untuk selanjutnya hanya akan dilakukan khusus
kepada institusi yang secara periodik juga mengirimkan materi publikasinya kepada
Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS, c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas.

Biaya berlangganan dapat dibayarkan secara tunai atau transfer via BNI KC. Sebelas Maret
Surakarta, a.n. Solichatun, M.Si. No. Rekening: 274.000146652.941.

Surakarta, 1 Januari 2005


THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK
ISSN: 1412-033X

Storage and the Use of Peroxydase Enzyme to Detect Germination Capability of 1-5
Sandoricum koetjape Merr. Seeds-A Neglected Tropical Fruit Species
USEP SOETISNA, DODY PRIADI,SRI HARTATI, ENNY SUDARMONOWATI
Biodiversity of Soil Microbes from Rhizosphere at Wamena Biological Garden (WBiG), 6-11
Jayawijaya, Papua
SRI WIDAWATI, SULIASIH, H.J.D. LATUPAPUA, ARWAN SUGIHARTO
Hubungan Kekerabatan Antar Spesies Piper Berdasarkan Sifat Morfologi dan Minyak 12-16
Atsiri Daun di Yogyakarta
PURNOMO, RANI ASMARAYANI
Keanekaragaman dan Penggunaan Jenis-jenis Bambu di Desa Tigawasa, Bali 17-21
IDA BAGUS KETUT ARINASA
Keanekaragaman Palem (Palmae) di Gunung Lumut, Kalimantan Tengah 22-30
JOKO RIDHO WITONO
Inventarisasi Tumbuhan Potensial Untuk Fitoremediasi Lahan dan Air Terdegradasi 31-33
Penambangan Emas
TITI JUHAETI, FAUZIA SYARIF, NURIL HIDAYATI
Flora Mangrove Berhabitus Pohon di Hutan Lindung Angke-Kapuk 34-39
ONRIZAL, RUGAYAH, SUHARDJONO
Vegetasi Tepi-Baruh pada Habitat Bekantan (Nasalis larvatus) di Hutan Karet Kabupaten 40-44
Tabalong, Kalimantan Selatan
MOCHAMAD ARIEF SOENDJOTO, HADI SUKADI ALIKODRA, MOHAMMAD BISMARK,
HERU SETIJANTO
Pakan dan Habitat Kukang (Nycticebus coucang) di Hutan Lindung Perkampungan 45-49
Baduy, Rangkasbitung-Banten Selatan
WIRDATETI, LILIK ENDANG SETYORINI, SUPARNO, TRI HADI HANDAYANI
Pemilihan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan dan Tempat Bersarang Kuskus (Phalanger 50-54
sp.) di Cagar Alam Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur
WARTIKA ROSA FARIDA, TEGUH TRIONO, TRI HADI HANDAYANI, ISMAIL
Morphological Comparison between Striped Puntius (Pisces: Cyprinidae) from Indonesia 55-58
HARYONO
Pola Kelahiran Rusa Sambar (Cervus unicolor) di Penangkaran Kalimantan Timur 59-62
GONO SEMIADI, I.G. MADE JAYA ADHI, ANDI TRASODIHARTO
Peranan Makrofauna Tanah dalam Proses Dekomposisi Serasah Acacia mangium Willd. 63-65
MUSYAFA
REVIEW: Current Status of Extenders and Cryoprotectants on Fish Spermatozoa 66-69
Cryopreservation
MUCHLISIN Z.A.
REVIEW: Karakteristik Sumberdaya Genetik Ternak Sapi Bali (Bos-bibos banteng) dan 70-75
Alternatif Pola Konservasinya
ACHMAD NUR CHAMDI

Gambar sampul depan:


Kuskus (Phalanger sp.)

Terbit empat kali setahun

Anda mungkin juga menyukai