Anda di halaman 1dari 80

ISSN: 1412-033X

THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK

PENERBIT:
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta,
Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret Surakarta

ALAMAT PENERBIT/REDAKSI:
L AB O R AT O R I U M P U S AT M I P A U N I V E R S I T AS S E B E L AS M AR E T
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 398, 339; Fax.: +62-271-646655.
E-mail: unsjournals@yahoo.com; biology@mipa.uns.ac.id. Online: www.unsjournals.com

TERBIT PERTAMA TAHUN:


2000

ISSN:
1412-033X

TERAKREDITASI BERDASARKAN KEPUTUSAN


DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS RI No. 52/DIKTI/Kep/2002

PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB:
Sutarno

SEKRETARIS REDAKSI:
Ahmad Dwi Setyawan, Ari Pitoyo

PENYUNTING PELAKSANA:
Suranto (Biologi Molekuler), Marsusi, Solichatun (Botani),
Edwi Mahajoeno, Sugiyarto (Zoologi), Wiryanto, Kusumo Winarno (Ilmu Lingkungan)

PENYUNTING AHLI:
Prof. Ir. Djoko Marsono, Ph.D.
Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, M.Sc.
Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si.
Prof. J.M. Cummins, M.Sc., Ph.D.
Prof. Dr. Jusup Subagja, M.Sc.
Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja, M.Sc.
Dr. Setijati Sastrapradja
Dr. Dedi Darnaedi
Dr. Elizabeth A. Wijaya
Dr. Yayuk R. Suhardjono

(UGM Yogyakarta)
(IPB Bogor)
(UNS Surakarta)
(Murdoch University Australia)
(UGM Yogyakarta)
(ITB Bandung)
(Yayasan KEHATI Jakarta)
(Kebun Raya Bogor)
(Herbarium Bogoriense Bogor)
(Museum Zoologi Bogor)

BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah
pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap
naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara
khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya
dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai.
Jurnal ini terbit empat kali setahun, setiap bulan bulan Januari, April, Juli, dan Oktober.

PEDOMAN UNTUK PENULIS


Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi
para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya.
Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan
bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan
belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi
naskah dan satu disket ukuran 3 atau compact disc (CD), kecuali
naskah yang dikirim melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali
diminta satu disket untuk pencetakan.
Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297
mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf
Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua
sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat
digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word.
Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain
disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama
genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali
menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah
penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L.
UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah
dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda.
Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian
Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan
IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk
nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan,
misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT)
selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI,
penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI
pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml,
dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m-2, l-1, h-1) disarankan
untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti per-tanaman atau
per-plot. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan
dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah.
Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali
apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya
dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya
dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan % bukannya
persen. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan berteletele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan
efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25
halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka
menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau
sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini.
Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20
kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah
dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah
dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat
berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul
pelari (running title) sekitar lima kata. Nama penulis atau para
penulis pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak
disingkat. Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama
dan nomor jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor telepon
genggam, nomor faksimili, alamat e-mail, dan website. Pada naskah
kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk korespondensi beserta
alamat dengan urutan seperti di atas. Abstract sebaiknya tidak lebih
dari 200 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk
naskah dalam bahasa Indonesia (teks dalam bahasa Indonesia hanya
untuk kepentingan keredaksian) atau bahasa Inggris saja untuk
naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci (Keywords) sekitar lima
kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila ada), topik penelitian
dan metode-metode khusus yang digunakan. Pendahuluan
(Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar belakang, tinjauan
pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode (Materials and
Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan cara analisis
data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) ditulis
sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang sebaiknya
dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan jawaban
pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat terjadi,
bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam bentuk
kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih disukai dari
pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah pustaka tanpa
sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan Pembahasan.
Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan, meskipun
biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan. Ucapan
terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis secara
singkat. Gambar dan Tabel maksimum tiga halaman, dapat dibuat
dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di bawah
gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto dicetak pada
kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna dapat diterima
apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang tanpa gambar
tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya menyertakan file digital.

Penulis dianjurkan menyertakan foto atau gambar untuk sampul


depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah sendiri. Tidak ada
lampiran, semua data atau analisis data dimasukkan dalam Hasil dan
Pembahasan.
Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang
penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis,
maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka.
Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya
disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih,
maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk.,
misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Smith 1982a, b; Baker and
Manwell, 1991; Suranto et al., 1998). Pada sitasi bertingkat digunakan
kata cit atau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau
Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999).
Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti
CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut:
Jurnal:
Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat
protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass
mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020.
Buku:
Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure
and Applied Aspects. London: Chapman and Hall.
Bab dalam buku:
Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular
markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman,
C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier
Science Publishers B.V.
Abstrak:
Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F.
Hammerschlag. 2000. Response of transgenic Royal Gala apple
(Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified
cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of
97th Annual International Conference of the American Society for
Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000.
Prosiding:
Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan daerah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju
Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional
Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan
Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000.
Skripsi, Tesis, Disertasi:
Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae
UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe
terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Informasi dari Internet:
Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http://
www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html
Naskah publikasi in press dapat disitasi dan dicantumkan dalam
daftar pustaka. Komunikasi pribadi dapat disitasi, tetapi tidak dapat
dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasikan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi.
Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-),
kecuali kata ulang. Penggunaan huruf l (el) untuk 1 (satu) atau O
(oh) untuk 0 (nol) perlu dihindari. Simbol , , , dan lain-lain
dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf.
Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi.
Kemajuan naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau
ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman.
Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai
dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya
bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan
korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada
naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang
memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah
diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal
nomor penerbitan berikutnya.
PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju
memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan
BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan
Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan
menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau
pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini
selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis
disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam
jurnal ini.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 153-156

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Perubahan Kadar Dopamin, Homovanillic Acid (HVA) serta


Interleukin-1 (IL-1) dan Tumor Necrosis Factor- (TNF-) pada
Cerebral Palsy
Alteration of dopamine, homovanillic acid (HVA) with interleukine-1 (IL-1) and tumor
necrosis factor- (TNF-) in cerebral palsy
SATIMIN HADIWIDJAJA
Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126
Diterima: 4 Nopember 2004. Disetujui: 22 Maret 2005.

ABSTRACT
Now, diagnosis of cerebral palsy base only on clinical finding without involve the alteration of the neurochemistry cause by cerebral
hypoxic, although cerebral palsy is a syndrome cause by cerebral hypoxic; so, the accuracy diagnosis of this disease is very low. The aim
of this study is to know the alteration of neurochemistry in cerebral palsy, especially the dopamine, homovanillic acid (HVA), interleukine-1
(IL-1) and tumor necrosis factor- (TNF-). So, in the future, diagnosis of this disease not only base on clinical finding as above, but must
be combine with alteration of the neurochemistry. This study is conducted by observational method as cross-sectional study. Material of
this study is venous blood; take by periphery venous blood vessels on median cubital vein at the upper arm. Dopamine analysis by RIA and
homovanillic acid (HVA) by HPLC while Interleukine-1 (IL-1) and tumor necrosis factor- (TNF-) analysis by ELISA. The result of this
study show the alteration of dopamine, homovanillic acid (HVA), interleukine-1 (IL-1) and tumor necrosis factor- (TNF-), in the spastic
and dyskinetic type of cerebral palsy.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: IL-1, TNF-, dopamine, HVA, cerebral palsy.

PENDAHULUAN
Cerebral palsy (CP) adalah suatu sindrom akibat
gangguan otak yang bersifat non progresif dan non
herediter pada anak-anak karena adanya hipoksia serebri
yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Berdasarkan
kejadiannya, cerebral palsy dapat mulai timbul pada masa
prenatal, intranatal maupun perinatal dengan manifestasi
klinis munculnya gangguan gerak dan/atau sikap tubuh
(Wilsdon, 1996). Faktor prenatal yang mampu menyebabkan
timbulnya hipoksia serebri adalah malnutrisi, faktor intranatal
terutama akibat trauma saat lahir, sedang faktor perinatal
akibat infeksi serebral. Di banyak negara, baik negara
berkembang maupun negara industri angka kejadian
cerebral palsy masih tinggi, yaitu: 2 per 1000 kelahiran
hidup atau 2 (Paneth dan Kiely, 1984, dalam Wilsdon,
1996). SCOPE (1994, dalam Wilsdon, 1996) melaporkan di
London terdapat 1 kejadian cerebral palsy di antara 400
kelahiran hidup atau 2,5, di Amerika Serikat terdapat
angka cerebral palsy 4,2 per 1000 kelahiran hidup, sedang
di Swedia terdapat sekitar 1,5 per 1000 kelahiran hidup.
Terdapat dua kelompok besar cerebral palsy, yaitu: tipe
spastik (66%) dan tipe diskinetik (21%). Cerebral palsy tipe
spastik terjadi akibat kerusakan di korteks serebri dan
traktus piramidalis dengan manifestasi klinik adanya
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126
Tel. & Fax.: +62-271-664178
e-mail: drgadiprayitno@yahoo.com

kelumpuhan disertai spastisitas; sub kelompok tipe ini dapat


dalam bentuk hemiplegia (30%), diplegia (16%), dan
kuadriplegia (20%). Cerebral palsy tipe diskinetik terjadi
karena
kerusakan
ganglia
basalis
dan
traktus
ekstrapiramidalis dengan manifestasi klinik munculnya
gerakan-gerakan abnormal sebagai gerak involunter; sub
kelompok tipe ini dapat dalam bentuk athetoid, dystonia,
dan hypotonia. Dua kelompok kecil cerebral palsy adalah
tipe ataxic (3%) terjadi akibat kerusakan pada serebellum,
sedang tipe campuran (10%) mempunyai gejala lebih dari
satu tipe tersebut di atas. Cerebral palsy, apabila hanya
disebut demikian, yang dimaksud adalah cerebral palsy tipe
spastik, sehingga perubahan apapun yang ditemukan
dalam cerebral palsy tipe spastik merupakan manifestasi
dari keseluruhan cerebral palsy (Wilsdon, 1996).
Burt (1993) menyebutkan bahwa dopamin dapat
mengontrol gangguan gerak akibat kerusakan otak.
Dopamin yang merupakan neurotransmitter kelompok
katekolamin banyak terdapat di hampir seluruh jaringan
otak, terutama di ganglia basalis dan substantia nigra,
maka kerusakan jaringan otak akibat hipoksia serebri dapat
mempengaruhi kandungan dopamin ekstraseluler.
Penelitian tentang kerusakan jaringan otak umumnya
menunjukkan bahwa hipoksia serebri dapat meningkatkan
sitokin IL-1 dan TNF- (Betz et al., 1996; Silverstein et al.,
1997; Yoon et al., 1997a,b). Setiap traumatic brain injury
menyebabkan terjadinya peningkatan IL-1 dan TNF-.
Semua sitokin ini dapat ditemukan di liquor serebrospinalis
dan serum (Morganti-Kossman et al., 1997; Oygur et al.,
1998). Sitokin IL-1 dan TNF- secara biologis dapat

154

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 153-156

meningkatkan katabolisme jaringan, sehingga perubahan


patologik di otak akibat pengaruh langsung hipoksia serebri
akan menjadi lebih parah. Sitokin IL-1 dan TNF-
dikeluarkan oleh sel mikroglia yang merupakan stressed
cell akibat adanya stressor hipoksia serebri.
Hipoksia serebri akan mempengaruhi aktifitas neuron
dopaminergik pada striatum tikus yang menyebabkan
meningkatnya dopamin ekstraseluler. Peningkatan dopamin
ekstraseluler ini bukan saja disebabkan meningkatnya
dopamine release tetapi juga akibat adanya hambatan
dopamine reuptake (Akiyama et al., 1991; Chang et al.,
1993). Penurunan tekanan oksigen (hipoksia) di otak bayi
mempunyai korelasi negatif dengan meningkatnya
kandungan dopamin ekstraseluler; artinya semakin rendah
penurunan tekanan oksigen di otak maka akan semakin
tinggi kandungan dopamin ekstraseluler, sehingga
menyebabkan semakin turunnya kinerja sistem neuron
dopaminergik. Burt (1993) mengemukakan bahwa sebagian
besar gangguan gerakan yang berhubungan dengan
patobiologi ganglia basalis dapat muncul ke dalam satu dari
dua kategori gangguan gerakan yang gejalanya saling
berlawanan, yaitu: (i) akinesia (tidak ada gerakan) dan
hipertonia (rigiditas dari otot), (ii) dyskinesia (gerakan
abnormal) dan hipotonia (artinya otot menjadi lemas).
Pada cerebral palsy akan terjadi peningkatan IL-1 dan
TNF- pada darah tepi yang dapat menyebabkan
meningkatnya dopamin ekstraseluler. Ekspresi sitokin IL-1
dan TNF- yang tinggi saat terjadi hipoksia serebri dalam
liquor serebrospinalis dan plasma darah menyebabkan
kerusakan jaringan otak melalui peningkatan katabolisme,
sedang dalam konsentrasi yang rendah berfungsi untuk
neuroproteksi terhadap kerusakan jaringan otak akibat
hipoksia serebri (Ross dkk., 1994; Rothwell dan Strijbos,
1995; Hagberg et al., 1996). Pada masa posthipoksia
serebri yang disertai dengan kerusakan jaringan otak masih
dijumpai ekspresi sitokin IL-1 dan TNF- dalam
konsentrasi
rendah
untuk
memberikan
pengaruh
neuroproteksi (Dammann dan Leviton, 1997).
Kerusakan otak (squelae) merupakan perubahan yang
tidak reversibel, walaupun paparan hipoksia serebri sudah
tidak ada. Perubahan kandungan dopamin di striatum
maupun kompartemen ekstraseluler setelah hipoksia
serebri disebabkan perubahan dopamine release dan
dopamine uptake (Kondoh, 1995). Hasil akhir metabolit
dopamin adalah homovanillic acid (HVA) yang akan
dikeluarkan melalui ginjal bersama-sama dengan urin.
Besarnya kandungan HVA ini mempunyai korelasi dengan
kandungan dopamin di otak.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperlihatkan
perubahan IL-1, TNF-, Dopamin, dan HVA pada anak
normal, cerebral palsy tipe spastik maupun tipe diskinetik
serta untuk melihat data deskriptif hubungan antara
cerebral palsy dengan tingkat sosial-ekonomi yang kurang
baik.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini merupakan penelitian observasional, jenis
cross-sectional study yang bertujuan untuk mengetahui
perubahan IL-1, TNF-, dopamin dan HVA di darah tepi
pada anak normal dan anak cerebral palsy. Kelompok
kontrol diperankan oleh anak normal (non-cerebral palsy)
diambil sebanyak 13 anak berdasarkan kriteria inklusi.
Kelompok kasus cerebral palsy tipe spastik ditetapkan
berdasarkan adanya spastisitas dan kelumpuhan anggota

tubuh, sedang cerebral palsy tipe diskinetik ditetapkan


berdasarkan gerak involunter, masing-masing diambil 12
orang anak secara random.
Material (bahan) dalam penelitian ini adalah darah vena
yang diambil melalui vena mediana cubiti baik kelompok
kasus maupun kelompok kontrol. Pertama, darah diambil
sebanyak 7 mL dengan tabung venoject untuk pemeriksaan
TNF-, IL-1, dan Dopamin. Darah kemudian disentrifus
pada 3000 rpm selama 5 menit; serum yang muncul dibagi
menjadi tiga bagian masing-masing untuk pemeriksaan
TNF-, IL-1, dan Dopamin dengan dimasukkan ke dalam
o
tabung aliquot sendiri-sendiri, disimpan pada suhu -20 C.
TNF- dan IL-1 diperiksa dengan teknik ELISA indirect
(Sandwich) dengan reagen Quantikine HS kit, sedangkan
Dopamin diperiksa dengan teknik RIA dengan reagen IBL
dopamine RIA kit. Kedua, darah diambil 5 mL dengan
tabung venoject yang mengandung heparin untuk
pemeriksaan HVA, disentrifus pada 3000 rpm selama 5
menit. Plasma yang muncul dimasukkan ke dalam tabung
aliquot untuk disimpan pada suhu -20oC. HVA ini diperiksa
dengan teknik HPLC metode Lawrence A.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Variabel IL-1, TNF-, Dopamin dan HVA dianalisis
dengan bantuan perangkat lunak program SPSS versi 9.
Hasilnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. IL-1, TNF-, dopamin dan HVA pada CTL, CPS, CPDys
Subjek

Jumlah

Variabel

Rerata

SD

IL-1 (pg/mL)
0,515
0,182
TNF- (pg/mL)
4,925
0,894
CTL
13
Dopamin (ng/mL)
0,419
0,229
HVA (g/mL)
9,007
2,079
IL-1 (pg/mL)
1,594
0,810
CPS
TNF- (pg/mL)
7,610
2,834
12
Dopamin (ng/mL)
0,712
0,264
HVA (g/mL)
5,871
1,529
IL-1 (pg/mL)
0,793
0,499
TNF- (pg/mL)
6,534
2,600
CPDys
12
Dopamin (ng/mL)
0,504
0,181
HVA (g/mL)
3,042
0,323
Keterangan: CTL = Kontrol, CPS = CP spastik, CPDys = CP
diskinetik, SD = standar deviasi.

Seluruh cerebral palsy (gabungan bersama antara


cerebral palsy tipe spastik dengan tipe diskinetik)
dibandingkan dengan kelompok kontrol melalui uji beda,
analisis datanya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Uji beda dua mean variabel penelitian antara kelompok
kontrol dengan cerebral palsy .
Variabel
1.
2.
3.
4.

IL-1
TNF-
Dopamin
HVA

Beda rerata

Nilai t

Signifikansi

-0,678
-2,147
-0,189
4,550

-3,092
-2,755
-2,281
6,943

0,004
0,009
0,029
0,001

Berdasarkan Tabel 2, terdapat perbedaan yang sangat


bermakna (p<0,01) antara variabel IL-1, TNF dan HVA,
sedang Dopamin bermakna pada (p<0,05) antara kelompok
kontrol dan cerebral palsy. Dari analisis di atas, diketahui

HADIWIDJAJA Kadar dopamin, HVA, IL-1, dan TNF- pada cerebral palsy

adanya perbedaan seluruh variabel antara anak normal


dengan anak cerebral palsy.
Cerebral palsy tipe spastik merupakan kelompok
cerebral palsy terbesar dan merupakan representasi dari
keseluruhan cerebral palsy; sehingga perbedaan antara
anak normal dengan cerebral palsy tipe spastik sama
dengan analisis perbedaan antara anak normal dengan
keseluruhan cerebral palsy. Perbedaan variabel IL-1, TNF, Dopamin, dan HVA di darah tepi antara anak normal
dengan cerebral palsy tipe spastik dapat diketahui melalui
uji beda dua mean (Tabel 3).
Tabel 3. Uji beda dua mean variabel penelitian antara kelompok
kontrol dengan Cerebral palsy tipe spastik.

1.
2.
3.
4.

Variabel

Beda rerata

Nilai t

Signifikansi

IL-1
TNF-
Dopamin
HVA

-1,079
-2,685
-0,293
3,136

-4,686
-3,250
-2,971
4,265

0,001
0,004
0,007
0,001

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa semua variabel


IL-1, TNF-, Dopamin, dan HVA berbeda sangat nyata
(p<0,01) antara anak normal dengan cerebral palsy tipe
spastik.
Perbandingan variabel dopamin dan HVA antara
cerebral palsy tipe spastik dengan tipe diskinetik disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Uji beda dua mean variabel penelitian antara Cerebral
palsy tipe spastik dengan tipe diskinetik.

1.
2.

Variabel

Beda rerata

Nilai t

Signifikansi

Dopamin
HVA

-0,209
-2,830

-2,260
-6,272

0,034
0,001

Tabel 4 menunjukkan adanya beda nyata pada variabel


dopamin (p<0,05) antara cerebral palsy tipe spastik dengan
tipe diskinetik, sementara variabel HVA berbeda dengan
sangat nyata (p<0,01) antara keduanya.
Keempat variabel IL-1, TNF-, Dopamin, dan HVA
menunjukkan variasi perbedaan antara kelompok kontrol,
cerebral palsy tipe spastik dan tipe diskinetik, seperti terlihat
melalui uji Anava, yang analisisnya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Uji Anava kelompok kontrol, Cerebral palsy tipe spastik
dan tipe diskinetik.
Variabel
1.
2.
3.
4.

IL-1
TNF-
Dopamin
HVA

Nilai F

Signifikansi

12,701
4,519
5,440
48,082

0,001
0,018
0,009
0,001

Tabel 5 menunjukkan variasi perbedaan yang sangat


nyata (p<0,01) berbagai variabel antara kelompok anak
normal, anak cerebral palsy tipe spastik, dan tipe diskinetik.
Mengingat adanya variasi perbedaan antar variabel maka
perlu ditetapkan nilai IL-1, TNF-, Dopamin, dan HVA
pada anak normal dan cerebral palsy tipe spastik dan tipe
diskinetik.
Dari uraian tersebut di atas, maka nilai pada: (i) Anak
normal: IL-1=0,5150,182 pg/mL atau antara 0,333-0,697
pg/mL; TNF-,=4,9250,894 pg/mL atau antara 4,031-

155

5,819 pg/mL; Dopamin=0,4190,229 ng/mL atau antara


0,190-0,648 ng/mL dan HVA=9,0072,079 g/mL atau
antara 6,928-11,086 g/mL. (ii) Anak cerebral palsy tipe
spastik: IL-1=1,5940,810 pg/mL atau antara 0,784-2,404
pg/mL; TNF-,=7,6102,834 pg/mL atau antara 4,77610,444 pg/mL; Dopamin=0,7120,264 ng/mL atau antara
0,448-0,976 ng/mL dan HVA=5,8711,529 g/mL atau
antara 4,342-7,400 g/mL. (iii) Anak cerebral palsy tipe
diskinetik: IL-1=0,7930,499 pg/mL atau antara 0,2941,292 pg/mL; TNF-=6,5342,600 pg/mL atau terletak
antara 3,934-9,134 pg/mL; Dopamin=0,5040,181 ng/mL
atau antara 0,323-0,685 ng/mL dan HVA=3,0420,323
g/mL atau antara 2,719-3,365 g/mL.
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa setiap traumatic
brain injury akan meningkatkan IL-1 dan TNF- di dalam
liquor serebrospinalis dan serum (Betz, 1996; Silverstein,
1997; Morganti-Kossman, 1997). Pada cerebral palsy yang
merupakan suatu kasus brain injury, sel-sel mikroglia
mengekspresikan sitokin IL-1 dan TNF- dalam jumlah
yang lebih besar dari normal. Ekspresi sitokin IL-1 dan
TNF- di atas normal ini berfungsi untuk neuroproteksi
(Dammann dan Leviton, 1997) dalam mencegah meluasnya
kerusakan neuron akibat brain injury tersebut.
Kerusakan jaringan otak akibat ekspresi sitokin IL-1
dan TNF- akan mempengaruhi neuron dopaminergik,
mulai dari mempengaruhi mekanisme dopamine release,
dopamine reuptake, densitas dan afinitas reseptor D1
dopamin maupun reseptor D2 dopamin, serta kerusakan
yang lebih parah lagi. Kerusakan neuron dopaminergik ini
akan meningkatkan kandungan dopamin ekstraseluler
(Kondoh, 1995; Araki et al., 1996; Araki et al., 1997).
HVA (homovanillic acid) yang merupakan hasil akhir
metabolit dopamin, kadarnya sangat bergantung pada
metabolisme dopamin itu sendiri. Keadaan ini akan dapat
dicapai pada kondisi in vitro, tetapi pada kondisi in vivo
banyak faktor yang ikut menentukan besarnya kadar HVA.
Dalam keadaan iskhemia serebri, neuron dan sel-sel glia
mengalami depolarisasi dan sistem transport terganggu,
sehingga walaupun HVA tetap diproduksi oleh neuron,
kandungan HVA di dalam kompartemen intraseluler tetap
tinggi, sementara kadar HVA ekstraseluler turun (Phebus
dkk., 1995). Nakajima dkk. (1996) menyebutkan bahwa
hipoksia serebri akan mempengaruhi metabolisme
monoamine striatal yang menyebabkan terjadinya
peningkatan dopamin ekstraseluer dan penurunan HVA
ekstraseluler.
Kandungan
HVA
tidak
dapat
menggambarkan secara langsung sebagai metabolit akhir
dopamin. Tabaddor (1978a,b) menyebutkan bahwa diffuse
cerebral disease yang menyebabkan munculnya gangguan
gerak akan mengakibatkan penurunan aktifitas neuron
dopaminergik termasuk disfungsinya jaras nigrostriatal,
yang berakibat terjadi penurunan kandungan HVA
ekstraseluler. Cerebral palsy merupakan satu gangguan
serebral yang disertai dengan munculnya gangguan gerak,
maka penurunan aktifitas neuron dopaminergik yang terjadi
akan menyebabkan terjadinya penurunan kandungan HVA
ekstraseluler.
Otak merupakan organ di tubuh yang sangat sensitif,
khususnya saat dalam pertumbuhan; apabila nutrisi ke otak
kurang baik akibat makanan yang nilai gizinya rendah,
maka akan mengganggu pertumbuhan otak. Pemberian
makanan dengan nilai gizi yang tidak memenuhi kaidahkaidah 4 sehat 5 sempurna pada anak-anak, berakibat
pertumbuhan otaknya kurang baik; anak menjadi kurang
cerdas, kreatifitas anak berkurang, terjadi gangguan gerak
tertentu baik bersifat kaku atau lemas atau gerak tak teratur
(Constantinides, 1994; McCance dan Huether, 1994).

156

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 153-156

Riwayat kehamilan yang kurang baik, misalnya timbulnya


keracunan kehamilan (pre-eklampsia) serta gangguan
persalinan (partus lama), mengakibatkan konsumsi oksigen
ke otak berkurang. Gangguan otak akibat kurang gizi serta
riwayat kehamilan dan persalinan yang kurang baik ini
sama dengan akibat yang disebabkan oleh hipoksia serebri
pada anak-anak.
Secara deskriptif terlihat bahwa dari 24 anak cerebral
palsy (12 anak dengan cerebral palsy tipe spastik dan 12
anak dengan cerebral palsy tipe diskinetik), tercatat 19
anak berasal dari keluarga yang tingkat sosial-ekonominya
kurang baik; sehingga dari data ini terlihat 79% anak
cerebral palsy berasal dari keluarga miskin. Ke-19 anak
cerebral palsy ini tercatat ada yang berasal dari ibu yang
mengalami partus lama 7 orang dan keracunan kehamilan
9 orang, sedang sisanya berasal dari ibu yang riwayat
kehamilan dan persalinannya normal.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kerusakan jaringan otak (brain damage) akibat adanya
hipoksia serebri yang terdapat pada cerebral palsy baik
pada tipe spastik maupun tipe diskinetik menyebabkan
terjadinya perubahan kandungan IL-1, TNF-, Dopamin,
dan HVA di darah tepi. Nilai variabel IL-1, TNF-,
Dopamin dan HVA pada anak normal dan anak cerebral
palsy, dapat dilihat di bawah ini: (i) Anak normal:
interleukin-1 (IL-1) = 0,515 0,182 pg/mL atau antara
0,333-0,697 pg/mL; tumor necrosis factor- (TNF-) =
4,925 0,894 pg/mL atau antara 4,031-5,819 pg/mL;
Dopamin = 0,419 0,229 ng/mL atau antara 0,190-0,648
ng/mL; homovanillic acid (HVA) = 9,007 2,079 g/mL atau
antara 6,928-11,086 g/mL. (ii) Anak cerebral palsy:
interleukin-1 (IL-1) > anak normal; tumor necrosis factor (TNF-) > anak normal; dopamin > anak normal;
homovanillic acid (HVA) < anak normal. (iii) Anak cerebral
palsy tipe spastik: interleukin-1 (IL-1) = 1,594 0,810
pg/mL atau antara 0,784-2,404 pg/mL; tumor necrosis
factor- (TNF-) = 7,610 2,834 pg/mL atau antara 4,77610,444 pg/mL; Dopamin = 0,712 0,264 ng/mL atau antara
0,448-0,976 ng/mL; homovanillic acid (HVA) = 5,871
1,529 g/mL atau antara 4,342-7,400 g/mL. (iv) Anak
cerebral palsy tipe diskinetik: interleukin-1 (IL-1) = 0,793
0,499 pg/mL atau antara 0,294-1,292 pg/mL; tumor
necrosis factor- (TNF-) = 6,534 2,600 pg/mL atau
antara 3,934-9,134 pg/mL; Dopamin = 0,504 0,181 ng/mL
atau antara 0,323-0,685 ng/mL; homovanillic acid (HVA) =
3,042 0,323 g/mL atau antara 2,719-3,365 g/mL.
Cerebral palsy banyak dijumpai di lingkungan keluarga
dengan tingkat sosial-ekonomi yang kurang baik; terbukti
dari 24 anak cerebral palsy tercatat 19 anak (79%) dari
keluarga miskin dengan riwayat kehamilan dan persalinan
ibunya kurang baik.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kasus
cerebral palsy dengan rancangan penelitian kohort dengan
sampel yang lebih banyak serta dilakukan pada umur sedini
mungkin, terutama terhadap bayi dengan Apgar score yang
rendah serta anak yang menderita infeksi serebral.
Diagnosis cerebral palsy ditegakkan disamping dari gejalagejala klinis yang ada juga diikutsertakan adanya
perubahan neurokimiawi yang terjadi akibat hipoksia
serebri; dengan demikian gold standard untuk diagnosis
cerebral palsy dapat ditegakkan.

DAFTAR PUSTAKA
Akiyama, Y., K. Koshimura, T. Ohue, K. Lee, S. Miwa, S. Yamagata, and H.
Kikuchi. 1991. Effects of hypoxia on the activity of the dopaminergic
neuron system in the rat striatum as studied by in vivo brain
microdialysis. Journal of Neurochemistry 57 (3): 997-1002.
Araki, T., H. Kato, K. Shuto, T. Fujiwara, K. Kogure, and Y. Itoyama. 1996.
Effects of cerebral ischemia on dopamine receptors in the gerbil
striatum. European Journal of Pharmacology 306 (1-3): 73-79.
Araki, T., H. Kato, K. Shuto, T. Fujiwara, and Y. Itoyama. 1997. Effect of
cerebral ischemia on dopamine receptors and uptake sites in the gerbil
hippocampus. European Neuropsychopharmacology 7 (4): 275-282.
Betz, A.L., G.P. Scheilke, G.Y. and Yang. 1996. interleukin-1 in cerebral
ischemia. Keio Journal of Medicine 45 (3): 230-237.
Burt, A.M. 1993. Textbook of Neuroanatomy. 1st ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Company.
Chang, C.J., H. Ishii, H. Yamamoto, T. Yamamoto, and M. Spatz. 1993.
Effects of cerebral ischemic on regional dopamine release and D1 and
D2 receptors. Journal of Neurochemistry 60 (4): 1483-1490.
Constantinides, P. 1994. General Pathobiology. Norwalk, Connecticut:
Appleton & Lange.
Dammann, O. dan A. Leviton. 1997. Maternal intrauterine infection,
cytokines, and brain damage in preterm newborn. Pediatric Research 42
(1): 1-8.
Hagberg, H., E. Gilland, E. Bona, L.A. Hanson, M. Hahin-Zoric, M. Blennow,
M. Holst, A. McRae, and O. Soder. 1996. Enhanced expression of
interleukin (IL)-1 and IL-6 messenger RNA and bioactive protein after
hypoxia-ischemia in neonatal rats. Pediatric Research 40 (4): 603-609.
Kondoh, T., S.H. Lee, and W.C. Low. 1995. Alteration in striatal dopamine
release and uptake under conditions of mild, moderate and severe
cerebral ischemia. Neurosurgery 37 (5): 948-954.
McCance, K.L. and S.E. Huether. 1994. Pathophysiology. The Biologic Basis
for Disease in Adults and Children. 2nd edition. St.Louis Baltimore: IE
International Edition Mosby.
Morganti-Kossnan, M.C., P.M. Lenzlinger, V. Hans, P. Stabel, E. Csuka, E.
Ammann, R. Stocker, and T. Kossmann. 1997. Production of cytokines
following brain injury: Beneficial and deleterious for the damaged tissue.
Molecular Psychiatry 2 (2): 133-136.
Nakajima, W., A. Ishida, and G. Takada, 1996. Effect of anoxia on striatal
mono-amine metabolism in immature rat brain compared with that of
hypoxia: an in vivo microdialysis study. Brain Research 740 (11-2): 316322.
Oygur, N., O. Sonmez, O. Saka, and O. Yegin. 1998. Predictive value of
plasma and cerebrospinal fluid tumour necrosis factor-alpha and
interleukin-1 beta concentrations on outcome of full term infants with
hypoxic-ischemic encephalopahy. Archives Disease Child Fetal
Neonatal 79 (3): F190-193.
Phebus, L.A., R.E. Mincy, and J.A. Clemens. 1995. Ischemia increases
tissue and decreases extracellular levels of acid dopamine metabolites
in the rat striatum: further evidence for active transport of metabolites.
Life Science 56 (13): 1135-1141.
Ross, S.A., Halliday, M.I., Campbell, G.C., Byrnes, D.P., Rowlands, B.J.
1994. The presence of tumor necrosis factor in CSF and plasma after
severe head injury. British Journal of Neurosurgery 8 (4): 419-425.
Rothwell, N.J. and P.J. Strijbos. 1995. Cytokines in the neurodegeneration
and repair. International Journal of Developmental Neuroscience 13 (34): 179-185.
Silverstein, F.S., J.D. Barks, P. Hagan, X.H. Liu, J. Ivacko, and J. Szaflarski.
1997. Cytokines and perinatal brain injury. Neurochemistry International
30 (4-5): 375-383.
Tabaddor, K., L.I. Wolfson, and N.S. Sharpless. 1978a. Diminished
ventricular fluid dopamine metabolites in adult-onset dystonia. Neurology
28 (12): 1254-1258.
Tabaddor, K., L.I. Wolfson, and N.S. Sharpless. 1978b. Ventricular fluid
homovanillic acid and 5-hydroxyindoleacetic acid concentrations in
patients with movement disorders. Neurology 28 (12): 1249-1253.
Wilsdon, J. 1996. Cerebral palsy In: Stewart, A.M. (ed.). Occupational
Therapy and Physical Dysfunction. 4th ed.New York: Wiley
Yoon, B.H., J.K. Jun, R. Romero, K.H. Park, R. Gomez, J.H. Choi, and I.O.
Kim. 1997a. Amniotic fluid inflamatory cytokines (interleukin-6,
interleukin-1 beta, and tumor necrosis factor-alpha), neonatal brain white
matter lesions, and cerebral palsy. American Journal of Obstetry and
Gynecology 177 (1): 19-26.
Yoon, B.H., R. Romero, C.J. Kim, J.N. Koo, G. Choe, H.C. Syn, and J.G. Chi.
1997b. High expression of tumor necrosis factor-alpha and interleukin-6
in periventricular leukomalacia. American Journal of Obstetry and
Gynecology 177 (2): 406-411.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 157-159

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Ekspresi Protein p53, Rb, dan c-myc pada Kanker Serviks Uteri
dengan Pengecatan Immunohistokimia
The expression of p53, Rb, and c-myc protein in cervical cancer by
immunohistochemistry stain
ADI PRAYITNO1,, RUBEN DARMAWAN2, ISTAR YULIADI3, AMBAR MUDIGDO1
1

Bagian Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 57126
2
Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 57126
3
Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan, RSUD dr Muwardi, Surakarta 57126
Diterima: 14 Pebruari 2005. Disetujui: 1 April 2005.

ABSTRACT
The pathogenesis of cancer as whole (50%) is caused by gene mutation. Pathogenesis of cervical cancer has focusing on Human
Papilloma Virus (HPV). Early-7 (E7) proteins of HPV shell bind the Rb tumor suppressor gene, so pRb (Rb protein) cant express. Because
of the E2F transcription factor gene cant bound with pRb, so E2F gene are going active and help c-myc for DNA replication and to stimuli
the cell cycle. E6 protein of HPV is bind to and facilitates the degradation of the p53 tumor suppressor gene product. The objective of this
experiment is to known the expression of p53, Rb and c-myc proteins in cancer of uterine cervix. Nineteen blocks paraffin tissue of cervical
cancer are cut in thoroughly cleaned cryotome and place in glass plate that covered with poly-elysine. The immunohistochemistry is done
with monoclonal antibody anti p53, Rb and c-myc proteins. The Result of this experiment is shown that the expression of proteins of p53
protein is 40%, Rb protein is 30.8% and c-myc protein is 50.1%. The conclusion from this experiment is that the expression of p53, Rb and
c-myc proteins in cervical cancer are in mild category (30-70%). The experiment about cervical cancer is suggested.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: cervical cancer; p53; Rb; c-myc; immunohistochemistry.

PENDAHULUAN
Banyak faktor penyebab terjadinya kanker, baik internal
maupun external. Faktor internal terutama keberadaan gengen yang berperan pada siklus sel telah menjadi pusat
perhatian dalam hubungannya dengan proses terjadinya
pertumbuhan tumor. Dalam hubungannya dengan
pertumbuhan tumor, terdapat dua golongan gen: Pertama
adalah kelompok pemicu terjadinya tumor yang lazim
disebut tumor oncogenes, seperti: gen c-myc dan gen ras;
Kedua adalah kelompok penekan terjadinya tumor yang
lazim disebut tumor suppressor gene, seperti: gen p53 dan
gen Rb. Hingga saat ini banyak peneliti sementara
menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya kanker (50%)
adalah adanya mutasi pada gen-gen tersebut (Putsztai
dkk., 1996; Cotrans dkk., 1999).
Kanker serviks uteri adalah kanker yang paling sering
ditemukan terutama di negara-negara berkembang dan
sekaligus merupakan penyebab kematian pada perempuan
di dunia pada umumnya. Di Indonesia kanker serviks uteri
ini menduduki peringkat pertama diantara jenis kanker
lainnya (Badan Registrasi Kanker, 1998). Studi
epidemiologi mencurigai bahwa kanker serviks uteri
disebabkan oleh agen saat melakukan hubungan seksual.
Saat ini patogenesis terjadinya kanker serviks uteri tersebut
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126
Tel. & Fax.: +62-271-632494.
e-mail: drgadiprayitno@yahoo.com

difokuskan pada keberadaan HPV (Putsztai dkk., 1996;


Schmits, 1997a,b). Protein E6 dari HPV-16 and 18 akan
mengakibatkan inaktivasi gen p53 melalui mekanisme
pengikatan yang disebut ubiquitin-dependent proteolytic
pathway (E6AP), sehingga akan terjadi penurunan kadar
protein p53 (wild type). Protein E7 (onco protein) akan
mengikat gen pRb, sehingga akan berakibat sama seperti
pada protein p53. Ikatan E6 dengan pRb tersebut
menyebabkan tidak terikatnya gen E2F (faktor transkripsi)
oleh protein-pRb, sehingga gen E2F menjadi aktif dan akan
membantu c-myc untuk terjadinya replikasi DNA dan
menstimuli siklus sel (Mendelshon dkk., 1995; Pusztai dkk.,
1996; Dellas, 1997; Cotrans dkk., 1999).
Dari uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui bagaimana gambaran ekspresi protein-protein
pemicu tumor dan penekan tumor pada kanker serviks uteri.

BAHAN DAN METODE


Sampel didapat hari hasil biopsi (frozen section) serviks
uteri pada bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan
Rumah Sakit dr. Muwardi Surakarta dari bulan JuliDesember 2000. sebanyak 19 belas blok parafin jaringan
kanker serviks uteri dipotong menggunakan microtom yang
bersih dengan hati-hati dan ditempatkan pada glass plate
yang telah dilapisi dengan poly-elisen. Pengecatan
imunohistokimia dikerjakan dengan metode TSA indirect
(NEN Life Science Products, RENAISSENCE) menggunakan antibodi monoklonal anti protein p53, pRb, dan c-myc

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 157-159

158

(1:500). Untuk Counter stain dilakukan


dengan pengecatan HE. Hasil foto
mikroskop dibuat dengan perbesaran
aX100 lensa obyektif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kanker serviks uteri adalah kanker
penyebab kematian tersering pada
perempuan di negara-negara yang
sedang berkembang pada umumnya. Di
Indonesia data ini tidak jauh berbeda
(Badan Registrasi Kanker, 1998). Faktor
resiko yang diketahui adalah hubungan
seksual pada usia yang sangat muda
dan pasangan yang selalu bergantiganti. Faktor resiko lainnya adalah status
sosial ekonomi yang rendah, pemakaian
kontrasepsi oral, merokok, paritas yang
tinggi dan adanya riwayat penyakit
menular seksual. Penyebab penyakit
menular seksual pertama kali diduga
oleh Virus herpes simpleks tipe 2, tetapi
kemudian dipastikan bahwa penyebabnya adalah virus human papiloma
setelah mempelajari patogenesis kanker
serviks uteri dan condyloma acuminata
(Schmits, 1997a,b; Cotrans dkk., 1999).
Sembilan puluh persen penderita Kanker
serviks uteri menunjukkan HPV-DNA
positif (Borysiewicz, 1996) dan hampir
100% kasus Squamous Cell Ca. juga
menunjukkan HPV-DNA positif (Hollema,
1998). HPV dapat menyebabkan verucca,
papilloma dan kanker pada kulit serta
mukosa manusia (Mendelshon dkk.,
1995). HPV tipe 16 dan 18 dianggap
paling berpotensi sebagai penyebab
kelainan tersebut (Hollema, 1998).

Gambar 1. Ekspresi protein p53 pada kanker serviks uteri. Warna hitam kecoklatan
pada inti sel kanker (tanda panah) memperlihatkan ekspresi protein p53 tersebut.

Gambar 2. Ekspresi protein Rb pada kanker serviks uteri. Warna hitam kecoklatan
pada inti sel kanker (tanda panah) memperlihatkan ekspresi protein pRb tersebut.

Tabel 1. Ekspresi protein p53, Rb dan c-myc


(%) pada kanker serviks uteri.
cmyc
1.
30*
40
40
2.
30*
40
50
3.
30*
30*
60
4.
40
30*
70
5.
50
50
40
6.
40
40
50
7.
50
40
70
8.
40
30*
60
9.
30*
20*
40
10.
50
50
30*
11.
40
20*
50
12.
40
30*
50
13.
40
20*
30*
14.
40
50
60
15.
50
40
70
16
40
10*
30*
17
40
60
70
18.
40
40
60
19.
30*
30*
50
Rata-rata
40
30,8
50,1
Keterangan: persentase didapat dari sel
positif/100 sel/satu lapang pandang. 5-30% :
katagori ekspresi ringan (*); 31-70%: kategori
ekspresi sedang; 71-100%: kategori ekspresi
kuat.
p53

Rb

Gambar 3. Ekspresi protein c-myc pada kanker serviks uteri. Warna hitam kecoklatan
pada inti sel kanker (tanda panah) memperlihatkan ekspresi protein c-myc tersebut.

Ekspresi protein (%)

No. sampel

80
60
40
20
0
1

Jumlah sampel

p53

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
pRb

c-myc

Gambar 4. Ekspresi p53 (biru), Rb (merah) dan c-myc (warna terang) dari 19 sampel
kanker serviks uteri.

PRAYITNO dkk. Protein p53, Rb, dan c-myc pada kanker serviks uteri

Human Papiloma Virus (HPV) adalah virus DNA-circular


dengan genome 7800-8000 base pairs. Human Papilloma
Virus ada lebih dari 70 jenis yang tidak dapat diidentifikasi
secara serologis, tetapi dengan DNA-hybridization dan
PCR-spesifik primer dapat teridentifikasi (Mendelshon dkk.,
1995). Genome virus ini terdiri dari the early region (E) yang
mengkode protein yang berperan pada replikasi genome,
mengkrontrol transkripsi dan replikasi serta transformasi
sel. The late region (L) berisi L-genes yang mengkode
protein capsid (Smits, 1997a,b). Definisi tipe HPV yang
terbaru tidak lebih dari 90% terlihat adanya homologi pada
sequence DNA E6, E7 dan L1. Protein E6 (onco-protein)
high-risk HPV (tipe 16 dan 18) mempunyai peran dalam
proliferasi sel yang dihubungkan dengan keberadaan tumor
supressor gene-p53. E6-protein HPV 16 and 18 akan
mengakibatkan inaktivasi gen p53 melalui mekanisme
pengikatan yang disebut ubiquitin-dependent proteolytic
pathway (E6AP). Jadi dengan penurunan kadar protein p53
dalam sel akan berakibat pada kegagalan pengendalian
pertumbuhan sel, karena tidak terjadinya hambatan aktivasi
sel (Ngan dkk., 1997; Mendelshon dkk., 1995; Pusztai dkk.,
1996; Cotrans dkk., 1999). Protein E7 (onco-protein) highrisk HPV mempunyai peran dalam proliferasi sel yang
dihubungkan dengan keberadaan tumor supressor geneRb. Protein E7 (onco protein) akan mengikat gen Rb. Ikatan
tersebut menyebabkan tidak terikatnya gen E2F (faktor
transkripsi) oleh protein Rb, sehingga gen E2F menjadi aktif
dan akan membantu c-myc (faktor transkripsi) untuk
terjadinya replikasi DNA dan menstimuli siklus sel
(Mendelshon dkk., 1995; Pusztai dkk., 1996; Dellas, 1997;
Cotrans dkk., 1999). Foto-foto hasil penelitian ini disajikan
pada Gambar 1-3.
Protein c-myc (proto-oncogene) adalah protein yang
disandi oleh gen c-myc, yang berfungsi sebagai protein inti
sel untuk transkripsi dan replikasi sel dalam siklus sel,
sehingga dikelompokkan dalam gen-gen pemicu terjadinya
tumor. Gen ras adalah famili proto-oncogenes juga yang
merupakan second major class dari GTP-binding proteins,
dimana dalam banyak penelitian protein ini dipastikan
berperan dalam mitogenic signal transduction pada siklus
sel. Gen p53 adalah gen yang mengkode phosphoprotein
inti sel seberat 53 kDa, dan bertindak sebagai negatif
regulator dalam siklus sel, sehingga dikelompokkan dalam
gen-gen penekan tumor. Gen Rb adalah gen yang
ditemukan bertanggung jawab pada tumor retina-mata
(retinoblastoma) dan merupakan prototipe dari gen-gen
penekan tumor (Putsztai dkk., 1996).
Perbedaan potensi berbagai tipe HPV terhadap
karsinogenesis tergantung affinitas protein-E6 dalam
mengikat gen p53 dan protein-E7 dalam mengikat gen Rb.
yang mempunyai arti yang penting dalam karsinogenesis
kanker serviks uteri. Hal tersebut diatas bukan merupakan
proses mutasi akibat pengaruh karsinogen (Mendelshon,
1995).
Dari Tabel 1 dan Gambar 4. terlihat bahwa ekspresi cmyc terlihat lebih tinggi dibandingkan pRb dan p53 dengan
rata-rata 50,1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa siklus
sel sedang berlangsung, karena fungsi protein c-myc
adalah sebagai protein pemicu terjadinya transkripsi sel.
Ekspresi protein p53 (40%) masih dalam batas normal,
artinya protein p53 yang berfungsi sebagai protein penekan
tumor tidak menonjol aktivitasnya dalam rangka
memperbaiki gen-gen yang rusak atau mutasi. Ekspresi
protein Rb (30,8%) dapat dianggap rendah, artinya protein
Rb yang berfungsi sebagai protein penekan tumor tidak
menonjol aktivitasnya yaitu mengikat faktor transkripsi

159

(E2F) dan selanjutnya siklus sel yang diperankan protein cmyc akan berlangsung (Cotrans dkk., 1999; Putztai dkk.,
1996).
Penelitian lebih lanjut dapat diarahkan pada hubungan
antara stadium kanker, dengan ekspresi berbagai macam
protein /gen yang ada hubungannya dengan replikasi dan
siklus sel yang mengarah pada keganasan sel/organ/
jaringan/sistem/tubuh. Klasifikasi Internasional untuk
Stadium Keganasan Serviks Uteri yang dikemukakan oleh
Morehead (1965) sebagai berikut:
International classification of the cervical cancer:
Stage 0 : Intra epithelial carcinoma
Stage 1 : Carcinoma in situ
Stage 2 : The carcinoma extends beyond the cervix but not
reached the pelvic wall
Stage 3 : The carcinoma has reached the pelvic wall
Stage 4 : The carcinoma has invaded another organ.

KESIMPULAN
Ekspresi rata-rata protein p53 adalah 40%, Rb adalah
30,8% dan c-myc adalah 50,1%, sehingga disimpulkan
bahwa ekspresi protein p53, Rb dan c-myc pada kanker
serviks uteri berkategori sedang (30-70%).

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kami ucapkan kepada DCRG-URGE Dikti
Depdiknas RI Jakarta, PAU Bioteknologi UGM Yogyakarta,
dan penghargaan khusus diberikan kepada Prof. Dr. dr.
Noerhayati Soeripto, DTM&H, Prof. dr. Sofia Mubarika,
MMedSc., Ph.D, Prof. Marsetyawan HNES, MSc., Ph.D dan
Wayan T. Artama, drh., S.U., Ph.D.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Registrasi Kanker, 1998. Badan Registrasi Kanker. Jakarta: Ikatan
Ahli Patologi Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia..
Borysiewicz. 1996. A recombinant vaccinia virus encoding HPV type 16 and
18, E6 and E7 proteins as immunotheraphy for cervical cancer. The
Lancent 347:1523-1527.
Cotrans, R.S., V. Kumar and SL. Robbins. 1997. Robbins Patologic basis of
Disease. 6th ed. London: WB Saunders Co.
Dellas, A. 1997. Investigation of the bell and c-myc expression in relationship
to the Ki labelling index in cervical intra epithelial neoplasia. Interna
Journal of Gynecology Pathology 16 (3): 212-218.
Hollema. 1996. Viral Carcinogenesis. Surabaya: Dutch Foundation for The
Post Graduated Course, UNAIR.
Mendelshon, J., P. Howley, M. Israel, Liottal. 1995. The Molecular Basis of
the Cancer. Philadelphia: WB Saunders Co.
Morehead, R.P. 1965. Human Pathology. New York: The Blakistone Division
McGraw Hill Book Co.
Ngan, H.Y.S., M. Stanley, S.S. Liu, and H.K. Ma. 1994. HPV and p53 in
cervical cancer. Genitourin Medical 70: 1888-1901.
Ngan, H.Y.S., S.W. Tsao, and M. Stanley. 1997. Abnormal expresion and
mutation of p53 in cervical cancer: A study at protein, RNA and DNA
levels, Genitourin Medical 73: 54-58.
Pusztai, L., C.E. Lewis, and E. Yap. 1996. Cell Proliferation in CancerRegulation Mechanisms of Neoplastic Cell Growth. Oxford: Oxford
University Press..
Schmits, H.L. 1997a. Overview: epidemiology and diagnosis of cervical
cancer. Seminar Nasional Upaya Peningkatan Deteksi HPV Pada
Kanker Serviks Secara Biologi Molekuler dan Pengelolaannya. Pusat
Kedokteran Tropis UGM, Yogyakarta.
Schmits, H.L. 1997b. Overview: Molecular biology and detection of HPV
infection, Seminar Nasional Upaya Peningkatan Deteksi HPV Pada
Kanker Serviks Secara Biologi Molekuler dan Pengelolaannya.
Yogyakarta: Pusat Kedokteran Tropis UGM.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 160-163

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Kajian Pembentukan Warna pada Monascus-Nata Kompleks


dengan Menggunakan Kombinasi Ekstrak Beras, Ampas Tahu
dan Dedak Padi sebagai Media
Study on coloration of Monascus-nata complex using combination of rice flour, tofu
solid waste, and rice bran extracts as the medium
TIAS HESTI KUSUMAWATI, SURANTO, RATNA SETYANINGSIH
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126.
Diterima: 4 Agustus 2004. Disetujui: 21 Januari 2005.

ABSTRACT
Monascus-nata complex was made up from fermented nata which was grown in the medium containing Monascus purpureus fungi, that
could be used as coloration of nata. Rice flour usually used as medium to produce pigments by M. purpureus. Tofu solid waste and rice
bran could be used to produce pigments although the colour intensity of M. purpureus pigment was lower than rice. The aims of these
research were to study colour, pH medium and weight of miselium Monascus-nata complex from the combination of rice flour with tofu solid
waste extracts and rice flour with rice bran extracts as the medium. In these research, 5% (b/v) rice flour extracts, combination of rice flour
extract : tofu solid waste extract in the ratio of 1:1, 1:2, 1:3 and rice flour : rice bran extracts in the ratio of 1:1, 1:2, 1:3 were used as the
3
medium. Ten nata de coco (1x1x1 cm ) were put in to the extracts of medium (100mL) in bottle, then inoculated with 10% (v/v) starter of M.
7
purpureus containing 1.3x10 cfu/mL and incubated at room temperature on an orbital shaker at 100 rpm for 16 days. Parameters which
were measured, i.e. colour intensity, preferable test, pH medium, weight of miselium Monascus-nata complex. Data were analyzed using
analysis of variant and followed by DMRT in 5% significations except preferable test which were analyzed using hedonic test. Combination
of rice flour extract : tofu solid waste extracts in the ratio of 1:1 could be used to replace rice flour extracts on the making of Monascus-nata
complex. Orange colour intensity from rice flour extract : tofu solid waste extracts in the ratio of 1:1 was higher than from rice flour extracts.
Orange colour intensity from rice flour extract : tofu solid waste extracts in the ratio of 1:1 and rice flour were 0.156 and 0.123 respectively.
Red colour intensity from medium rice flour extract : tofu solid waste extracts in the ratio of 1:1 approach the red colour intensity of rice flour.
Red colour intensity from medium rice flour extract : tofu solid waste extracts in the ratio of 1:1 and rice flour extract were 0.088 and 0.145
respectively. All of pH value decreased from 7 to 6.82. Weight of miselium Monascus-nata complex from all medium was average 0.024 g.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: Monascus-nata complex, rice flour, tofu solid waste, rice bran.

PENDAHULUAN
Persaingan produk makanan di pasaran semakin
meningkat. Agar produk makanan dapat bersaing dan
dipilih oleh konsumen, produk makanan harus memiliki rasa
yang enak, warna yang menarik, nilai gizi tinggi serta
ekonomis. Pertimbangan-pertimbangan di atas menjadi
dasar digunakannya zat-zat tambahan, khususnya zat
warna baik sintetis maupun alami untuk meningkatkan
kualitas produk terutama penampakannya. Industri
makanan lebih banyak menggunakan zat warna sintetis
daripada zat warna alami karena lebih murah dan mudah
didapat. Penggunaan zat warna sintetis yang boleh
digunakan semakin berkurang karena banyak yang
menimbulkan alergi dan berbahaya bagi manusia. Kondisi
ini mendorong usaha pengembangan produk bahan
tambahan makanan terutama zat pewarna yang bersifat
alami. Menurut Sukandar (2000) sebagian besar pewarna
alami berasal dari ekstrak tumbuhan, hewan, atau dari
mikroorganisme.
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126
Tel. & Fax.: +62-271-663375
e-mail: biology@mipa.uns.ac.id

Produksi bahan tambahan makanan menggunakan


mikroorganisme
semakin
meningkat.
Salah
satu
mikroorganisme yang dapat menghasilkan bahan pewarna
alami adalah Monascus purpureus. Pigmen yang dihasilkan
oleh M. purpureus sangat stabil dan aman digunakan
sebagai bahan tambahan makanan (Fabre et al., 1993;
Sheu et al., 2000). Jamur M. purpureus sudah banyak
dimanfaatkan untuk menghasilkan pigmen melalui proses
fermentasi baik pada substrat padat maupun cair. Beras
adalah media yang paling banyak digunakan dalam proses
fermentasi dan dikenal dengan nama angkak (red rice)
(Bakoov et al., 2001). Limbah industri makanan seperti
dedak padi, ampas tahu dan onggok dapat dimanfaatkan
untuk menghasilkan pigmen merah oleh M. purpureus
tetapi intensitas warna yang dihasilkan tidak sebaik beras.
Kombinasi dedak padi, ampas tahu dan onggok, dapat
digunakan untuk menggantikan sebagian beras yang
digunakan sebagai substrat (Jenie dkk., 1994).
Pewarnaan nata dapat memperbaiki penampakannya
sebagai bahan makanan. Sheu et al. (2000) menggunakan
M. purpureus untuk memberi warna pada nata. Nata,
selulosa bakteri yang dihasilkan oleh A. xlynum, diwarnai
dengan cara melakukan fermentasi menggunakan M.
purpureus pada media cair. Nata yang diwarnai dengan

KUSUMAWATI dkk. Pembentukan warna pada Monascus-nata kompleks

cara seperti ini disebut Monascus-nata kompleks. Warna


yang tampak pada nata disebabkan pigmen yang berada di
dalam miselium M. purpureus (intraseluler) dan miselium
tersebut dapat tumbuh di dalam jaringan selulosa nata.
Sheu et al. (2000) menyatakan bahwa pewarnaan
menggunakan pigmen yang dihasilkan oleh M. purpureus
sangat stabil dan tidak mengubah rasa nata.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut di atas, maka
perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji pembentukan
warna, pH media, berat miselia Monascus-nata kompleks
dalam media yang dibuat dari kombinasi ekstrak beras
dengan ampas tahu dan ekstrak beras dengan dedak padi.
Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan dapat
diketahui perbandingan media yang dapat digunakan dalam
pembuatan Monascus-nata kompleks.
BAHAN DAN METODE
Bahan
Pembuatan nata de coco membutuhkan: gula pasir,
kecambah kacang hijau, air kelapa masak, asam asetat
25%, biakan murni A. xlynum yang diperoleh dari Lab.
Biologi Tanah Fak. Pertanian UNS Surakarta. Fermentasi
Monascus-nata kompleks membutuhkan: beras IR-28,
ampas tahu, dedak padi, biakan murni M. purpureus FNCC
6008 yang diperoleh dari Lab. Pangan dan Gizi PAU UGM,
NaOH 1M, akuades, PDA (Potato Dextrosa Agar), NH4NO3,
KH2PO4, MgSO4H2O. Ekstraksi pigmen Monascus-nata
kompleks membutuhkan: metanol.
Cara kerja
Pembuatan Nata de coco
Pembuatan kultur kerja. Kultur kerja dibuat dengan
cara menginokulasikan 1 ose kultur murni bakteri A. xlynum
ke dalam media agar miring dan diinkubasi pada suhu
kamar selama 24 jam. Komposisi media agar miring sama
dengan media fermentasi nata, tetapi ditambah agar 2%
(Rahayu dkk., 1993).
Pembuatan starter nata. Komposisi media untuk
starter sama dengan media untuk fermentasi. Media
disterilkan dengan autoclave pada suhu 121C selama 15
menit. Sebanyak 2 mL media steril dimasukkan ke dalam
kultur kerja dan diinkubasi pada suhu kamar selama 72
jam, kemudian dipindahkan ke dalam media sebanyak 100
mL dan diinkubasi pada suhu kamar selama 72 jam. Starter
siap dipakai setelah timbul lapisan nata di permukaan
media (Rahayu dkk., 1993).
Fermentasi nata. Media fermentasi diatur pH-nya
menjadi 4 dengan cara menambahkan asam asetat 25%
sebanyak kurang lebih 18-20 mL/L, kemudian disterilkan
pada suhu 121C selama 15 menit. Setelah dingin 10%
(v/v) starter dimasukkan ke dalam media fermentasi.
Wadah fermenter ditutup dengan kertas dan diikat dengan
karet. Fermentasi nata berlangsung selama 12 hari
(Rahayu dkk., 1993).
Pemanenan nata. Lapisan nata yang terbentuk dengan
ketebalan kurang lebih 1 cm diambil kemudian dipotong
dengan ukuran 1x1x1cm3. Potongan nata direndam dalam
air selama kurang lebih 3 hari dan setiap hari air diganti
(Rahayu dkk., 1993).
Pembuatan Monascus-nata kompleks
Pembuatan kultur kerja Kultur murni jamur M.
purpureus diperbanyak dengan cara menginokulasikan satu
ose kultur ke media PDA miring dan diinkubasi pada suhu
kamar selama 8 hari. Kultur siap digunakan sebagai kultur
kerja (Jenie, 1995; Sheu et al., 2000).

161

Pembuatan starter M. purpureus. Media diatur pH nya


menjadi netral dengan menambahkan NaOH 1M sebanyak
kurang lebih 25 mL/L, kemudian disterilisasi pada suhu
121C selama 15 menit. Setelah dingin, media diinokulasi
dengan 5 tabung kultur kerja dan diinkubasi selama 7 hari
dengan shaker kecepatan 100 rpm pada suhu kamar.
Starter yang telah berumur 7 hari berisi 1,3x107 cfu/mL
(Sheu et al., 2000; Jenie, 1995)
Penyiapan
media
fermentasi
Monascus-nata
kompleks. Media fermentasi yang digunakan adalah
ekstrak beras, ampas tahu, dedak padi. Ekstrak beras,
ampas tahu dan dedak padi dibuat dengan cara
menyiapkan tepung beras, ampas tahu dan dedak padi
terlebih dahulu, dengan komposisi 5% (b/v) tepung beras,
tepung beras:ampas tahu (1:1, 1:2, 1:3), tepung
beras:dedak padi(1:1, 1:2, 1:3) kemudian dididihkan pada
suhu 100C selama 30 menit dan disaring. Tepung ampas
tahu dan dedak padi dibuat dengan mengeringkan ampas
tahu dan dedak padi dalam oven pada suhu 60C selama 2
hari, kemudian dihaluskan menggunakan blender.
Pembuatan tepung beras dilakukan dengan cara mencuci
beras kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 60C
selama 1 hari dan dihaluskan (Jenie dkk., 1994).
Fermentasi
Monascus-nata
kompleks.
Media
fermentasi dinetralkan dengan menambahkan 1M NaOH
sebanyak kurang lebih 25 mL tiap 1 L. Sepuluh potongan
nata de coco dimasukkan ke dalam media fermentasi (100
mL) dalam botol jam. Setelah disterilisasi dalam autoclave
pada suhu 121C selama 20 menit, kemudian didinginkan.
Setiap botol diinokulasi dengan starter sebanyak 10% (v/v).
Fermentasi berlangsung selama 16 hari dan dilakukan
dengan shaker kecepatan 100 rpm pada suhu kamar (Jenie
dkk., 1994; Sheu et al., 2000).
Ekstraksi pigmen
Monascus-nata kompleks dikeringkan pada suhu 70C
selama 24 jam. Kompleks yang sudah kering sebanyak
0,07 g ditumbuk dengan mortar dan ditambah 10 mL
metanol sambil diaduk dan dimasukkan ke dalam tabung
reaksi kemudian didiamkan selama 24 jam. Campuran
kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama
30 menit. Supernatan disaring dengan kertas saring dan
merupakan pigmen intraseluler yang akan diukur intensitas
warnanya menggunakan Spektrofotometer UV-VIS (Kanoni
dan Astuti, 1988; Jenie, 1995).
Pengukuran parameter
Parameter yang diukur adalah warna Monascus-nata
kompleks meliputi intensitas warna (Kanoni dan Astuti,
1988) dan uji kesukaan warna (Kartika dkk., 1988), pH media,
berat miselia Monascus-nata kompleks. Semua parameter
diukur pada akhir fermentasi yaitu setelah hari ke-16.
Rancangan percobaan
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan satu faktor, 7 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan
yang digunakan sebagai berikut:
PO= ekstrak beras
P1 = ekstrak beras: ampas tahu (1:1)
P2 = ekstrak beras: ampas tahu (1:2)
P3 = ekstrak beras: ampas tahu (1:3)
P4 = ekstrak beras: dedak padi (1:1)
P5 = ekstrak beras: dedak padi (1:2)
P6 = ekstrak beras: dedak padi (1:3)
terhadap variabel bebas yaitu kombinasi media sedangkan
variabel terikat adalah warna, pH media, berat miselia
Monascus-nata kompleks.

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 160-163

162

Analisis data
Data dianalisis dengan Analisis Variansi (ANAVA) untuk
mengetahui pengaruh perlakuan terhadap semua variabel
pengamatan, dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range
Test (DMRT) pada taraf 5% (Sugandi dan Sugiarto, 1994)
untuk mengetahui perlakuan media yang menunjukkan
beda nyata, sedangkan untuk uji kesukaan digunakan
Metode Hedonik (Kartika dkk., 1988).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Warna Monascus-nata kompleks
Intensitas warna
Hasil pengukuran intensitas warna (Tabel 1; Gambar 1)
menunjukkan bahwa Monascus-nata kompleks yang
menggunakan media fermentasi ekstrak beras : ekstrak
ampas tahu perbandingan 1:1 memiliki intensitas warna
merah yang paling mendekati intensitas warna merah pada
media ekstrak beras yaitu sebesar 0,088. Pada media
ekstrak beras intensitas warna merah paling tinggi yaitu
sebesar 0,145, sedangkan pada media fermentasi ekstrak
beras:dedak padi perbandingan 1:3 intensitas warna merah
terendah yaitu sebesar 0,043. Intensitas warna jingga yang
didapatkan pada media fermentasi ekstrak beras : ekstrak
ampas tahu perbandingan 1:1 sebesar 0,156 sedikit lebih
tinggi daripada yang didapatkan pada media ekstrak beras
sebesar 0,123. Intensitas warna jingga terendah didapatkan
pada media fermentasi ekstrak beras:dedak padi (1:3) yaitu
sebesar 0,065.
Menurut Lin (1973) media fermentasi yang paling baik
untuk pembentukan pigmen merah oleh Monascus
purpureus adalah bahan yang mengandung pati sebagai
sumber karbon (C). Intensitas warna merah tertinggi
didapatkan pada media ekstrak beras dikarenakan
komponen utama beras adalah pati sebagai sumber C yaitu
sebesar 80%. Pembentukan pigmen dipengaruhi oleh jenis
karbohidrat dan perbandingan C dengan N. Bila konsentrasi
C dalam media meningkat harus diimbangi dengan
peningkatan konsentrasi N yang dibutuhkan untuk
mencapai pertumbuhan maksimum dan pembentukan

pigmen (Broder dan Koehler, 1980). Kombinasi media


ekstrak beras dengan ampas tahu dan ekstrak beras
dengan dedak padi yang digunakan pada perbandingan
1:1; 1:2; 1:3, dengan bagian ekstrak ampas tahu dan dedak
padi yang semakin meningkat menghasilkan intensitas
warna merah maupun jingga yang semakin menurun.
Penurunan intensitas warna pada media ekstrak beras :
ekstrak ampas tahu dan ekstrak beras:dedak padi dengan
bagian ekstrak ampas tahu dan dedak padi yang semakin
meningkat kemungkinan disebabkan perbandingan C dan N
di dalam media tidak terdapat dalam jumlah yang seimbang
untuk mendukung pembentukan pigmen.
Jenis karbohidrat di dalam media yang digunakan
sangat mempengaruhi pembentukan pigmen. Percobaan
yang dilakukan Sheu et al. (2000) menggunakan maltosa
didapatkan Monascus-nata kompleks yang berwarna merah
tua sedangkan bila digunakan sukrosa Monascus-nata
kompleks yang didapatkan berwarna merah muda.
Perbedaan jenis karbohidrat yang terdapat di dalam media
kemungkinan menyebabkan intensitas warna jingga dan
merah juga berbeda. Perbandingan C dan N dan juga
kemungkinan adanya jenis karbohidrat yang berbeda di
dalam media diduga menyebabkan intensitas warna yang
didapatkan juga berbeda.
Tabel 1. Intensitas warna jingga ( 400 nm) dan merah ( 500 nm)
Monascus-nata kompleks setelah fermentasi 16 hari pada berbagai
macam media.
Intensitas warna
Nilai
Rerata
berat
Jingga
Merah ( kesukaan Nilai pH
warna
miselia (g)
( 400 nm) 500 nm)
b
d
bc
PO
0,123
0,145
3,32
6,84
0,026
c
c
c
P1
0,156
0,088
2,28
6,91
0,021
a
b
c
0,093
0,065
3,07
6,93
0,028
P2
a
ab
bc
0,085
0,053
3,78
6,85
0,017
P3
a
ab
ab
0,088
0,052
4,15
6,78
0,022
P4
a
ab
a
0,076
0,052
4,65
6,67
0,025
P5
a
a
ab
0,065
0,043
4,10
6,75
0,029
P6
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang
sama menunjukkan tidak beda nyata berdasar DMRT 5%. Nilai
kesukaan: 1 = sangat suka, 2 = suka, 3 = biasa saja, 4 = kurang
suka, 5 = tidak suka, 6 = sangat tidak suka.
Perlakuan

E
F
G
Gambar 1. Warna Monascus-nata kompleks setelah fermentasi 16 hari, yang diperoleh dari: media ekstrak beras (A); media ekstrak beras:
ampas tahu perbandingan 1:1 (B) 1:2 (C) 1:3 (D); media ekstrak beras:dedak padi perbandingan 1:1 (E) 1:2 (F) 1:3 (G).

163

Kesukaan warna
Tabel 1 menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap
warna Monascus-nata kompleks berada pada skala 2-4
yaitu antara nilai kesukaan suka sampai kurang suka. Dari
hasil ranking dan analisis uji kesukaan dapat diketahui
bahwa kesukaan terhadap warna Monascus-nata kompleks
yang didapatkan dari media ekstrak beras : ekstrak ampas
tahu perbandingan 1:1 dianggap para panelis paling disukai
karena warna jingga yang terlihat paling tajam di antara
sampel yang lain, sedangkan kompleks yang didapatkan
dari media ekstrak beras:dedak padi perbandingan 1:2
dianggap paling tidak disukai karena warnanya kurang
tajam dan merata.
Nilai pH
Hasil pengukuran pH media setelah fermentasi selama
16 hari dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai pH tertinggi
didapatkan pada media ekstrak beras : ekstrak ampas tahu
perbandingan 1:2 dan pH terendah pada media ekstrak
beras:dedak padi perbandingan 1:2. Nilai pH setelah
fermentasi selama 16 hari mengalami penurunan dari pH
awal 7 menjadi sekitar 6,82. Penurunan pH disebabkan
karena adanya dekomposisi protein pada media (Jenie,
1995). Menurut Lehninger (1993) protein dibentuk oleh
adanya asam-asam amino yang berikatan kovalen. Adanya
asam-asam amino bergugus samping (R) bermuatan (-)
dalam media campuran yang mempunyai kecenderungan
+
melepaskan ion H diduga menyebabkan penurunan pH.
Dua asam amino yang mengandung gugus R bermuatan
negatif adalah asam aspartat dan asam glutamat.
Nilai pH media di bawah 5 lebih mendukung
pembentukan pigmen merah (Jenie dkk., 1994). Pada nilai
pH yang rendah terdapat lebih banyak gugus =NH yang
berasal dari pemecahan protein. Menurut Carels dan
Shepherd (1977) pigmen merah terbentuk dari penggantian
atom oksigen pada cincin piranoid dari monascorubrin atau
rubropunctatin (pigmen jingga) dengan gugus = NH. Lebih
rendahnya intensitas warna merah dibandingkan intensitas
warna jingga dapat dikaitkan dengan pH media yaitu sekitar
6. Pada kisaran pH tersebut gugus =NH yang terdapat
dalam media tidak tersedia dalam jumlah yang cukup
banyak untuk menggantikan atom O pada cincin piranoid
dari pigmen jingga, sehingga pigmen merah yang
dihasilkan lebih sedikit.
Berat miselia
Pada pengamatan Monascus-nata kompleks menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) diketahui bahwa miselia Monascus dapat tumbuh di dalam jaringan selulosa nata (Sheu et al., 2000). Penghitungan berat miselia
Monascus-nata kompleks dilakukan dengan mencari selisih
berat kering sesudah dengan sebelum fermentasi. Hasil
penghitungan berat miselia dapat dilihat pada Tabel 1.
Analisis Variansi menunjukkan bahwa penggunaan media
dengan perbandingan yang berbeda tidak mempengaruhi
berat miselia yang didapatkan. di dalam Monascus-nata
kompleks, sehingga tidak dilanjutkan dengan DMRT 5%.
Berat miselia yang tidak berbeda nyata antar perlakuan
menunjukkan bahwa pertumbuhan Monascus di dalam nata
tidak dipengaruhi oleh perbandingan ampas tahu maupun
dedak padi yang berbeda.
Pembentukan pigmen Monascus dimulai pada fase
pertumbuhan lambat dan mulai meningkat pada fase
pertumbuhan stasioner (Jenie dkk., 1994). Dari pernyataan
tersebut dapat diketahui bahwa pembentukan pigmen
dimulai sesudah pertumbuhan terjadi. Nutrisi yang

terkandung pada media digunakan untuk memenuhi


pertumbuhan terlebih dahulu. Apabila pertumbuhan
mencapai maksimum, nutrisi yang tersisa pada media
digunakan untuk pembentukan pigmen. Penggunaan media
ekstrak beras : ekstrak ampas tahu dan ekstrak
beras:dedak padi pada perbandingan 1:1;1:2;1:3 tidak
mempengaruhi pertumbuhan jamur di dalam nata tetapi
mempengaruhi intensitas warna yang dihasilkan. Hal ini
kemungkinan disebabkan pada media yang digunakan,
jamur Monascus purpureus membutuhkan sejumlah nutrisi
yang hampir sama untuk mencapai pertumbuhan
maksimum. Apabila pertumbuhan maksimum tercapai,
nutrisi yang tersisa digunakan untuk pembentukan pigmen.
Kemungkinan ada-nya perbedaan jumlah nutrisi yang
tersisa menyebabkan intensitas warna yang dihasilkan juga
berbeda.
KESIMPULAN
Media ekstrak beras : ekstrak ampas tahu pada
perbandingan 1:1 dapat digunakan untuk mengganti media
ekstrak beras dalam pembuatan Monascus-nata kompleks.
Intensitas warna jingga Monascus-nata kompleks yang
didapatkan dari media ekstrak beras : ekstrak ampas tahu
(1:1) sebesar 0,156 lebih tinggi dari intensitas warna jingga
yang didapatkan dari media ekstrak beras sebesar 0,123.
Intensitas warna merah yang didapatkan pada media
ekstrak beras : ekstrak ampas tahu pada perbandingan
(1:1) sebesar 0,089 paling mendekati intensitas warna
merah yang didapatkan dari media ekstrak beras sebesar
0,145. Nilai pH pada semua media turun dari 7 menjadi
sekitar 6,82. Berat miselia Monascus-nata kompleks yang
didapatkan dari semua media sekitar 0,024.
DAFTAR PUSTAKA
Bakoov, A., D. Mate, A. Laciakova, and M. Pipova, 2001. Utilization of
Monascus purpureus in the production of foods of animal origin.
Bulletin Veterinary Institute of Pulawy 45: 111-116.
Broder, C.U., and P.E. Koehler, 1980. Pigments produced by Monascus
purpureus with regard to quality and quantity. Journal of Food Science
45: 567-569.
Carels, M. and D. Shepherd, 1977. The effect of different nitrogen sources
on pigment production and sporulation of Monascus species in
submerged, shaken culture. Canadian Journal of Microbiology 23: 13601372.
Fabre, C.E., G. Goma, and P.J. Blanc. 1993. Production and food
applications of the red pigments of Monascus ruber. Journal of Food
Science 58 (5): 1099-1102.
Jenie, B.S.L. 1995. Utilization of tofu and tapioca solid wastes and rice bran
to produce red pigments by Monascus purpureus in tofu liquid waste
medium. Indonesian Food and Nutrition Progress 2 (2): 24-29.
Jenie, B.S.L., Helianti, dan S. Fardiaz, 1994. Pemanfaatan ampas tahu,
onggok dan dedak untuk produksi pigmen merah oleh Monascus
purpureus. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 5 (2): 22-29.
Kanoni, S. dan M. Astuti, 1988. Kajian tentang Keamanan Zat Warna dari
Monascus purpureus. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM.
Kartika, B., P. Hastuti, dan W. Supartono, 1988. Pedoman Uji Inderawi
Bahan Pangan. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM.
Lehninger, A.L. 1993. Dasar-dasar Biokimia. Jilid I. Jakarta: Penerbit
Airlangga.
Lin, C.F. 1973. Isolation and Cultural Conditions of Monascus sp for the
Production of Pigment in a Submerged Culture. Journal of Fermentation
Technology 51: 135-142.
Rahayu, E.S., I. Retno, U.Tyas, H. Eny, dan M.N. Cahyanto, 1993. Bahan
Pangan Hasil Fermentasi. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM.
Sheu, E., C.L. Wang, and Y.T. Shyu, 2000. Fermentation of Monascus
purpureus on bacterial cellulosa-nata and the color stability of
Monascus-nata complex. Journal of Food Science 65 (2): 342-345.
Sugandi dan Sugiarto, 1994. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Andi Offset.
Sukandar, U. 2000. Singkong sebagai substrat yang potensial untuk produksi
zat warna Monascus. Proseding Seminar Nasional Teknologi Proses
Kimia V. Jakarta: Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik UI.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 164-167

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Transesterifikasi Ester Asam Lemak Melalui Pemanfaatan


Teknologi Lipase
Application of lipase technology for transesterification of fatty acid ester
RINI HANDAYANI, JOKO SULISTYO
Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16122.
Diterima: 26 Januari 2005. Disetujui: 1 April 2005.

ABSTRACT
We have reported the potency of microbial extracellular enzyme for synthesis of fatty acid ester. Further investigation was aimed to study
capacity of the enzyme on bioprocess of crude palm oil by transesterification of saturated fatty acid to fatty acid ester. We have studied
some lipases from culture filtrate of Candida rugosa FM-9301, Bacillus subtilis FM-9101 and Pseudomonas aerogenes FM-9201, which
were preincubated in a medium containing olive oil as inducers, using a shaker under conditions that allowed for lipase production at pH
4.5-6.5 and room temperature for 5 days. Those strains shown different activities during the hydrolysis of substrates, which resulted in
decreasing or increasing free fatty acids those, were liberated from media containing crude palm oil and organic solvents. The optimal
transesterification condition was at temperature of 45-50C and at pH 4.5 for C. rugosa and pH 6.0 to 7.0 for P. aerogenes and B. subtilis.
Under the enzyme concentration of 50% (v/v), the transesterification was rapidly occurred, while at the concentration of 20% (v/v) the
enzymatically biosynthesis required longer incubation period. The substrates incubated with C. rugosa lipase exhibited higher linoleic and
linolenic acid (7.16 and 2.15%, respectively), than that of B. subtilis lipase (4.85% and 1.43%, respectively), while P. aerogenes lipase
(3.73% and 1.11%, respectively).
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: transesterification, lipase, crude palm oil, fatty acid ester.

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil
kelapa dan kelapa sawit dunia dengan kontribusi tinggi
sebagai komoditi ekspor. Saat ini, areal perkebunan kelapa
sawit mengalami peningkatan cukup pesat. Seiring dengan
meningkatnya luas areal, produksi minyak sawit mentah
(CPO) juga terus meningkat (Latief, 1991). Minyak sawit
telah banyak digunakan dalam industri pangan dan non
pangan sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetika,
deterjen dan surfaktan (Ghosh dan Bhattacharyya, 1995;
Tucker dan Woods, 1995). Asam lemak dan ester asam
lemak berantai pendek juga bermanfaat sebagai senyawa
aromatik penyedap rasa (Kosugi dan Azuma, 1994; Singh
dkk., 1994). Metil dan etil ester asam lemak berantai
panjang bermanfaat untuk produksi alkohol lemak serta
bahan bakar pengganti untuk motor bermesin disel (Linko
dkk., 1994). Asam lemak tidak jenuh berantai panjang,
antara lain asam oleat, linoleat, linolenat dan arakhidonat
(Ketaren, 1986), bahkan bermanfaat untuk pencegahan dan
penyembuhan berbagai penyakit yang berkaitan dengan
sistem peredaran darah antara lain trombosis dan ateroklerosis (Shirasaka dan Shimizu, 1995; Posorske, 1984).
Produksi ester alkohol berantai panjang dari asam
lemak dengan cara esterifikasi dan alkoholisis oleh
katalisator kimia sudah tidak diragukan lagi. Proses secara

Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16122.
Tel.: +62-251-324006. Faks.: +62-251-325854
e-mail: handayanirini@yahoo.co.uk

kimiawi tersebut memiliki keterbatasan, antara lain asamasam dari jenis yang lebih tidak jenuh akan mengalami
polimerisasi atau perubahan-perubahan lain selama proses
esterifikasi (Sil-Roy dan Bhattacharyya, 1993). Asam lemak
dengan grup-grup fungsional seperti epoksi dan hidroksi
sulit sekali untuk diesterifikasi tanpa merusaknya terlebih
dahulu. Katalisis ester yang sulit dilakukan dengan metode
kimiawi tersebut menjadi sederhana dengan pemanfaatan
teknologi enzimatik lipase (Bailey, 1950; Sulistyo dkk.,
2000).
Pada penelitian ini enzim lipase digunakan sebagai
biokatalisator pada reaksi hidrolisis dan transesterifikasi
trigliserida dari minyak sawit mentah dan santan kelapa
dengan alkohol atau pelarut organik lainnya untuk
mensintesis produk transfer berupa ester asam lemak.

BAHAN DAN METODE


Ekstraksi enzim lipase dari mikroba
Biakan mikroba penghasil enzim lipase terdiri dari
Bacillus subtilis FM-9101, Candida rugosa FM-9301, dan
Pseudomonas aerogenes FM-9201 ditumbuhkan secara
terpisah. Media basal untuk memproduksi enzim
mengandung pepton 0,5%, K2HPO4 0,1%, NaCl 0,05%,
MgSO4 0,05%, FeSO4 0,001%, ZnSO4 0,0001%, CuSO4
0,0001%, MnSO4 0,0001%, ekstrak khamir 0,5% (Cowan,
1981; Sulistyo dkk., 1999) dan masing-masing bahan
penginduksi (minyak zaitun) sebanyak 2,0%, pada 10 mM
bufer Na-fosfat pH 4,5-6,5. Media produksi digoyang pada
suhu ruang selama 5 hari, kemudian disentrifus pada

HANDAYANI dan SULISTYO Transesterifikasi ester asam lemak

kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada 4C dan


supernatan digunakan sebagai sumber enzim.
Uji aktivitas enzimatik lipase
Minyak zaitun sebanyak 1,0 mL dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 100 mL, lalu ditambahkan berturut-turut 0,5 mL
CaCl2 0,1 M dan 4,5 mL bufer asetat 0,1 M (pH 5,5).
Campuran reaksi diinkubasi pada suhu 40C selama 10
menit, kemudian ditambahkan enzim lipase sebanyak 10%
(v/v) dari masing-masing biakan dan diinkubasi kembali
pada suhu 40C dengan digoyang pada kecepatan 160 rpm
selama 30 menit. Selanjutnya, campuran reaksi ditambah
20 mL etanol dan 3 tetes indikator fenolptalin serta dititrasi
dengan NaOH 0,05 M sampai terjadi perubahan warna
menjadi merah muda. Satu unit aktivitas enzim lipase
setara dengan 1 mol asam lemak bebas yang dihasilkan
dari hidrolisis substrat yang dikatalisis oleh enzim lipase
selama 30 menit.
Pengaruh pH dan suhu pada aktivitas enzimatik lipase
Campuran reaksi (dalam erlenmeyer 100-mL)
mengandung 1,0 mL minyak zaitun, 0,5 mL CaCl2 0,1 M
dan 4,5 mL 0,1 M bufer asetat pada pH 4,0-8,0,
diinkubasikan pada suhu 30-60C dengan cara digoyang
pada kecepatan 160 rpm selama 30 menit. Selanjutnya,
aktivitas residu enzim lipolitiknya diuji sebagaimana cara
pengujian aktivitas enzimatik tersebut di atas.
Analisis asam lemak bebas (ALB)
Kadar asam lemak bebas ditentukan dengan mengukur
sebanyak 5,0 g sampel minyak dalam campuran alkoholbenzena (25: 25, v/v). Campuran larutan ditrasi dengan
KOH-alkohol (0,1N) menggunakan indikator fenolptalin.
Titrasi dilakukan sampai larutan berubah menjadi merah
muda. Persentase ALB pada setiap sampel diperoleh dari
hasil penghitungan volume larutan titrant terhadap bobot
molekul minyak.
Kromatografi gas (GC)
Campuran
reaksi
dianalisis
secara
kuantitatif
menggunakan kromatografi gas (GC) dengan menimbang
sebanyak 0,02-0,05 g sampel dan dilarutkan dengan 2,0
mL NaOH dalam metanol 0,5 M, kemudian dipanaskan
pada suhu 80C selama 20 menit. Setelah penambahan
larutan BF3 dalam metanol sebanyak 2,0 mL, sampel
dipanaskan kembali pada suhu 80C selama 20 menit dan
selanjutnya ditambahkan NaCl jenuh dan heksan, masingmasing sebanyak 2,0 mL. Sampel (2,0 l) dimasukkan
dalam kolom silikagel GC. GC dijalankan dengan pelarut H2
(g) dan N2 (g) pada suhu awal 150C dan suhu injektor
200C. Deteksi sampel diukur dengan FID pada suhu
250C.
Reaksi hidrolisis enzimatik
Substrat (50 g minyak asam) ditempatkan dalam gelas
erlenmeyer 100 mL diinkubasikan dengan 25% (v/v) larutan
enzim lipase dalam buffer pada suhu 50C dan digoyang
pada 100 rpm diatas shaker selama 24 jam. Reaksi
hidrolisis yang terjadi diestimasi dengan pengukuran
kandungan asam lemak bebas (ALB) pada setiap sampel
yang dianalisis. Emulsi lemak dihancurkan dengan cara
pemanasan pada suhu 80C dan lapisan lemak yang
mengandung enzim dan gliserol dipisahkan dengan cara
sentrifugasi. ALB sebagai produk hidrolisis yang terkandung
dalam lapisan lemak selanjutnya dianalisis.

165

Reaksi transesterifikasi ester asam lemak


Substrat CPO dan pelarut alkohol (etanol, metanol,
propanol, butanol konsentrasi 10-25%) atau buffer sebagai
kontrol dalam gelas erlenmeyer 100-mL diinkubasi dengan
25% larutan enzim lipase dari beberapa biakan mikroba (B.
subtilis, C. rugosa dan P. aerogenes) dengan cara dikocok
menggunakan pengocok magnetis pada suhu 50C selama
24 jam. Campuran produk (masing-masing sebanyak 2,0
mL) disaring untuk memisahkannya dari kotoran yang tidak
terlarut.
Hasil
reaksi
dianalisis
secara
kualitatif
menggunakan kromatografi lapis tipis (TLC; thin layer
chromatography) dan secara kuantitatif menggunakan GC.
TLC. Sampel diencerkan dengan etanol dengan perbandingan 1:10. Sebanyak 0,01 mL sampel encer digunakan
untuk analisis TLC. Untuk mengetahui spot produk yang
terkromatografi, plat TLC dikembangkan dalam larutan
heksan:dietil eter:asam asetat (80:20:1) selama satu jam.
Setelah dikeringkan, plat TLC disemprot dengan 0,1% 2,7diklorofluoresin dalam 99,5% etanol dan selanjutnya
diamati pada panjang gelombang 254 dan 360 nm.
GC. Sampel (2,0 L) dimasukkan dalam kolom silikagel
GC. GC dijalankan dengan pelarut H2 (g) dan N2 (g) pada
suhu awal 150C dan suhu injektor 200C. Deteksi cuplikan
diukur dilakukan dengan FID pada suhu 250C.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Isolat yang dipilih untuk pengujian aktivitas lipolitik
adalah bakteri yang diisolasi dari sampel limbah
mengandung minyak. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa dari beberapa isolat yang telah
diidentifikasi, tiga biakan penghasil enzim lipase yaitu C.
rugosa, B. subtilis dan P. aerogenes menunjukkan aktivitas
lipolitik secara signifikan, masing-masing sebesar 32.10
U/mL, 37,05 U/mL dan 36,08 U/mL, setelah ketiga biakan
tersebut diprakulturkan pada substrat mengandung minyak
zaitun 2% dan pada suhu ruang (Sulistyo dkk., 2001).
Hasil uji pengaruh pH dan suhu pada perumbuhan
enzim lipase dari berbagai sumber biakan menunjukkan
bahwa pH dan suhu optimal untuk aktivitas enzim lipase
dari C. Rugosa, B. subtilis dan P. aerogenes masingmasing adalah pada pH 4,5 (5,14 mol/menit) dan suhu
45C (5,33 mol/menit), pada pH 7,0 (masing-masing 5,81
mol/menit dan 5,85 mol/menit), dan pada suhu 40C dan
45C (masing-masing 5,98 mol/menit dan 5,92
mol/menit) (Gambar 1 dan 2).
Tabel 1 menunjukkan hasil uji kualitatif perubahan pada
substrat CPO setelah terjadi reaksi enzimatik menggunakan
beberapa biakan penghasil enzim lipase. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sumber enzim lipase berpengaruh
pada proses transesterifikasi, meskipun pada konsentrasi
10-25% pengaruh enzim tidak signifikan. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa enzim lipase dari biakan tertentu
dapat bekerja secara efektif dan efisien sebagai
biokatalisator pada proses transesterifikasi (Herawan dan
Eka, 1996), karena kondisi media bagi aktivitas enzimatik
menjadi optimal, sehingga terjadi proses penguraian
trigliserida yang diikuti pembentukan asam lemak yang
diperlukan untuk sintesis ester asam lemak.
Terjadinya reaksi transesterifikasi dapat dianalisis
berdasarkan perbandingan jumlah gugus hidroksil pada
substrat sebelum dan sesudah reaksi enzimatik. Tabel 1
menunjukkan hasil bahwa enzim lipase berpengaruh
terhadap penurunan kadar asam lemak bebas (ALB) pada
substrat CPO. Pada reaksi hidrolisis, penambahan enzim

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 164-167

166

Aktivitas (umol/menit)

lipase dari C. rugosa dapat menurunkan kadar ALB


sebanyak 25%., sedangkan penambahan enzim lipase dari
B. subtilis dan P. aerogenes hanya menurunkan kadar ALB
sekitar 6-7%. Akan tetapi dengan penambahan santan
kelapa atau butanol sebagai pelarut organik, penurunan
kadar ALB substrat mencapai 29-30%, bahkan hingga 34%
pada substrat dengan penambahan butanol yang
direaksikan dengan enzim lipase dari C. rugosa.

transglikosilasi dapat ditandai dengan adanya pembentukan


spot-spot sebagai produk transfer (PT) yang terdeteksi
pada kromatogram hasil analisis TLC. Ester asam lemak
yang memiliki polaritas lebih tinggi, memiliki spot
kromatogram dengan nilai-Rf yang lebih tinggi (0,82)
dibanding nilai-Rf produk asam lemak bebas hasil hidrolisis
trigliserida pada CPO antara lain stearat (Rf 0,59), palmitat
(Rf 0,46), linoleat (Rf 0,25), linolenat (Rf 0,09) dan oleat (Rf
0,04).

Produk transfer

6
5
4

Stearat

Palmitat
C. rugosa
B. subtilis
P. aerogenes

2
1
0
30

35

40

45

50

55

60

Suhu Inkubasi ( C)
Gambar 1. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim lipase dari
beberapa biakan mikroba.

Stearat

Linoleat

Linoleat

Linolenat
Oleat

Linolenat
Oleat

Standar

Aktivitas (umol/menit)

7
6

Gambar 3. Kromatogram TLC hasil reaksi enzimatik lipase pada


substrat CPO dan butanol. Keterangan: 1. Kontrol, 2. C. rugosa, 3.
B. subtilis, 4. P. aerogenes.

5
4
3
2

C. rugosa
B. subtilis
P. aerogenes

1
0
4.0

4.5

5.0

5.5

6.0

6.5

7.0

7.5

8.0

pH

Gambar 2. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim lipase dari


beberapa biakan mikroba.

Tabel 1. Pengaruh sumber enzim lipase pada perubahan kadar


ALB minyak sawit.
Substrat

Sumber enzim

Kontrol
CPO + Bufer
CPO + Bufer
CPO + Santan
CPO + Santan
CPO + Butanol
CPO + Butanol
CPO + Bufer
CPO + Bufer
CPO + Santan
CPO + Santan
CPO + Butanol
CPO + Butanol
CPO + Bufer
CPO + Bufer
CPO + Santan
CPO + Santan
CPO + Butanol
CPO + Butanol

C. rugosa
C. rugosa
C. rugosa
C. rugosa
C. rugosa
C. rugosa
B. subtilis
B. subtilis
B. subtilis
B. subtilis
B. subtilis
B. subtilis
P. aerogenes
P. aerogenes
P. aerogenes
P .aerogenes
P. aerogenes
P. aerogenes

Kadar enzim
0%
10%
25%
10%
25%
10%
25%
10%
25%
10%
25%
10%
25%
10%
25%
10%
25%
10%
25%

Gambar 4 menunjukkan kondisi campuran reaksi


mengandung substrat CPO setelah penambahan pelarut
alkohol (metanol, etanol, butanol dan propanol) 10-25%,
dinkubasi dengan enzim lipase dari C. rugosa selama 48
jam. Secara kualitatif terjadinya reaksi transesterifikasi
ditunjukkan dengan adanya pembentukan ester asam
lemak yang memiliki polaritas dan solubilitas lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol (buffer) yang tidak diberi
penambahan pelarut alkohol (Saifuddin dan Chua, 2004).
Campuran reaksi menunjukkan terjadinya perubahan sifat
kelarutan yang lebih baik, ditandai dengan tingginya kadar
asam lemak tidak jenuh dari golongan oleat, linoleat dan
linolenat (Tabel 2) sebagai produk asam lemak bebas hasil
hidrolisis trigliserida secara enzimatik pada CPO.

Kadar ALB
(%)
8,09
6,33
6,06
5,21
5,57
5,30
5,72
7,67
7,50
5,75
5,59
5,59
5,65
7,61
7,57
6,40
6,75
5,75
6,74

Gambar 3 menunjukkan kromatogram TLC hasil reaksi


substrat CPO setelah penambahan butanol 10% dan
dinkubasi menggunakan enzim lipase dari C. rugosa
selama 48 jam. Secara kualitatif terjadinya reaksi

Gambar 4. Campuran reaksi mengandung substrat CPO dan


beberapa pelarut alkohol sebagai akseptor reaksi transesterifikasi
dengan enzim lipase dari biakan C. rugosa.

HANDAYANI dan SULISTYO Transesterifikasi ester asam lemak

167

Tabel 2. Analisis kandungan asam lemak minyak nabati.


Substrat
CPO + Bufer
CPO + Bufer
CPO + Santan
CPO + Butanol
CPO + Butanol
CPO + Butanol CPO + Butanol

Sumber
enzim
Kontrol
C. rugosa
C. rugosa
C. rugosa
C. rugosa
B. subtilis
P. aerogenes

Asam lemak jenuh (%)


Laurat
Palmitat
Stearat
0,3984
0,3848
4,8587
0,0380
0,1700
5,0421
0,5522
0,2620
2,4151
0,0507
0,2112
7,4600
0,0119
0,1130
4,5486
0,0150
0,1470
5,9049
0,0113
0,1207
4,5793

Hasil analisis kromatografi gas pada substrat CPO yang


telah direaksikan dengan butanol dan enzim lipase dari C.
rugosa, menunjukkan bahwa komposisi kandungan asam
lemak tidak jenuh yang merupakan asam lemak esensial,
terbentuk lebih tinggi dibanding kandungan asam lemak
jenuh. Hasil tersebut memberi indikasi bahwa komposisi
asam lemak bebas pada substrat CPO sebelum dan
sesudah mengalami reaksi transesterifikasi, mengalami
perubahan
yang
nyata.
Reaksi
transesterifikasi
menggunakan butanol dengan enzim lipase dari C. rugosa
dapat meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh
yaitu asam oleat, linoleat dan linolenat, masing-masing
sebesar 19%, 29% dan 42%, serta menurunkan asam
lemak jenuh, yaitu laurat dan palmitat masing-masing
sebesar 87% dan 45%, akan tetapi sebaliknya kandungan
asam lemak jenuh stearat juga meningkat sebesar 53%.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak seluruh
komponen asam lemak tidak jenuh dapat ditingkatkan
mengikuti penurunan kandungan sebagian asam lemak
jenuh. Sebaliknya Reaksi enzimatik menggunakan butanol
dengan enzim lipase dari B. subtilis dan P. aerogenes tidak
dapat meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh
yang terdiri dari asam oleat, linoleat dan linolenat, meskipun
dapat menurunkan asam lemak jenuh, khususnya asam
laurat dan palmitat, masing-masing sebesar 96% dan 62%
(B. subtilis) serta 97% dan 69% (P. aerogenes).
Peningkatan kandungan asam stearat juga terjadi meskipun
tidak terlalu besar.
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa sumber enzim
berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan
kandungan asam lemak bebas secara cukup signifikan
pada ketersediaan akseptor butanol. Perubahan komposisi
dan kandungan asam lemak bebas yang terdapat pada
substrat CPO belum optimal, sehingga masih dapat
ditingkatkan lagi mengingat tingginya kandungan asam
palmitat pada CPO (40-46%) belum sepenuhnya dapat
termanfaatkan dengan baik. Untuk meningkatkan reaksi
transesterifikasi secara lebih efektif dan efisien, diperlukan
optimasi perihal sumber enzim dari berbagai sumber biakan
mikroba, khususnya dari golongan termofilik dan
alkalotoleran, serta kondisi optimum inkubasi maupun jenis
pelarut organiknya, agar seluruh kandungan asam lemak
jenuh yang terdapat dalam substrat dapat ditransferkan
menjadi ester asam lemak secara optimal (Winarno, 1987).
Indikasi tersebut didasarkan pada asumsi apabila
efektivitas enzim pada reaksi transesterifikasi menjadi
sangat tinggi, maka kandungan asam lemak tidak jenuh
akan meningkat, sehingga minyak akan tetap mencair pada
suhu ruang dan fungsinya sebagai bahan berminyak dapat
dimanfaatkan secara optimal, antara lain sebagai senyawa
aromatik penyedap rasa, untuk produksi alkohol lemak atau
untuk pemanfaatan sebagai produk farmaka yang berfungsi
untuk pencegahan dan penyembuhan penyakit yang
berkaitan dengan sistem peredaran darah, antara lain
trombosis dan arteriosklerosis.

Asam lemak tak jenuh (%)


Oleat
Linoleat
Linolenat
0,9452
5,5588
1,5128
0,6876
0,4305
1,3525
0,3698
2,1069
0,6351
1,1282
7,1596
2,1467
0,8613
4,3726
1,3961
0,8303
4,8465
1,4279
0,6374
3,7342
1,1143

KESIMPULAN
Penelitian ini membuktikan bahwa asam lemak pada
minyak sawit mentah (CPO) dan minyak kelapa, dapat
direaksikan secara transesterifikasi menggunakan enzim
lipase yang diekstraksi dari biakan mikroba, antara lain C.
rugosa, B. subtilis dan P. aerogenes menjadi ester asam
lemak, pada ketersediaan butanol sebagai pelarut organik.
Selain itu, reaksi transesterifikasi dengan enzim lipase dari
C. rugosa juga menyebabkan terjadinya perubahan pada
kandungan asam lemak bebas. Perubahan cukup signifikan
yang ditunjukkan oleh adanya penurunan beberapa
komponen asam lemak jenuh, diikuti dengan peningkatan
beberapa komponen asam lemak tidak jenuh sebagai asam
lemak esensial, memberikan indikasi yang prospektif
perihal pemanfaatan enzim lipase dari biakan mikroba.
DAFTAR PUSTAKA
Bailey, A.E. 1950. Industrial Oil and Fat Product. New York: Pinterscholastic
Publishing Inc.
Cowan, S.T. 1981. Manual for Identification of Medical Bacteria. 6th ed.
Cambridge: Cambridge University Press.
Ghosh, S. and D.K. Bhattacharyya. 1995. Utilization of acid oils in making
valuable fatty products by microbial lipase technology. Journal of
American Oil Chemistry Society 72 (12): 1541-1544.
Herawan, T. dan N. Eka. 1996. Hidrolisis minyak sawit menggunakan
lipozyme dari Mucor miehei. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 4(2): 91-98.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Kosugi, Y. and N. Azuma. 1994. Synthesis of triacylglycerol from
polyunsaturated fatty acid by immobilazed lipase. Journal of American
Oil Chemistry Society 71 (12): 1397-1403.
Latief, S. 1991. Analisis komposisi asam lemak minyak sawit yang
dipercepat. Berita Penelitian Perkebunan 1 (1): 21-26.
Linko, Y.Y., M. Lms, A. Huhtala, and P. Linko. 1994. Lipase catalyzed
transesterification of rapeseed oil and 2-ethyl-1-hexanol. Journal of
American Oil Chemistry Society 71 (12): 1411-1414.
Posorske, L.H. 1984. Industrial scale application of enzyme to the fats and oil
industry. Journal American Oil Chemistry Society 61 (11): 1758-1760.
Saifuddin, N. and K.H. Chua. 2004. Production of ethil ester (biodisel) from
used frying oil: optimization of transesterification process using
microwave irradiation. Malaysian Journal of Chemistry 6 (1): 077-082.
Shirasaka, N. and S. Shimizu. 1995. Production of eicosapentaenoic acid by
Saprolegnia sp. 28YTF-1. Journal of American Oil Chemistry Society 72
(12): 1545-1549.
Sil-Roy, S. and D.K. Battacharyya. 1993. Distinction between enzymically
and chemically catalyzed interesterification. Journal of American Oil
Chemistry Society 70 (12): 1293-1294.
Singh, C.P., P. Skagerlind, K. Holmberg, and D.O. Shah. 1994. A
comparison between lipase-catalyzed esterification of oleic acid with
glycerol in monolayer and microemulsion systems. Journal of American
Oil Chemistry Society. 71 (12): 1405-1409.
Sulistyo, J., Y.S. Soeka, E. Triana, and R.N.R. Napitupulu. 1999.
Bioprocessing of fermented coconut oil by application of enzymatic
technology. Berita Biologi 4 (5): 273-279
Sulistyo, J., Y.S. Soeka, and R. Handayani. 2000. Bioprocessing of fatty acid
esters by application of enzymatic technology. Prosiding Seminar TTG.
UNPAD-BP-TTG-LIPI. November 2000.
Sulistyo, J., Y.S. Soeka, dan R. Handayani. 2001. Transesterifikasi enzimatik
asam lemak dari substrat minyak sawit dan santan kelapa. Berkala
Penelitian Hayati 7 (1): 19-23.
Tucker G.A. and L.F.J. Woods. 1995. Enzyme in Food Processing. 2nd
edition. London: Blacckie Academic & Professional.
Winarno, F.G. 1987. Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 168-171

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Seleksi Biak Rhizobium dari Wonogiri, Jawa Tengah terhadap


Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max L.) pada Media
Pasir Steril di Rumah Kaca
Selection of Rhizobium strain from Wonogiri, Central Java on the growth of soybean
(Glycine max L.) on the sand sterile medium in greenhouse
SRI PURWANINGSIH
Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002
Diterima: 3 Maret 2005. Disetujui: 1 Mei 2005.

ABSTRACT
An experiment on the selection of Rhizobium strain from Wonogiri, Central Java on the growth of soybean (Glycine max L.) on the sand
sterile medium in green house. The aim of the experiment the selection and potency of the Rhizobium strain to increase the growth of
soybean. The experiment was carried out in green house condition in Microbiology Division, Research Center for Biology-LIPI with sterile
sand medium. The research design was Completely Randomized Design with three replications for each treatment. The Rhizobium strains
used were 1 W (isolated from bean, Vigna radiata), 2 W (isolated from soybean), 3 W (isolated from bean), 4 W (isolated from soybean), 5
W (isolated from soybean), 6 W (isolated from peanut, Arachis hypogaea), 7 W (isolated from peanut), 8 W (isolated from peanut), the
controls were uninoculated with Rhizobium strain and without urea fertilizer (K1), uninoculated and with urea fertilizer equal 100 kg/ha (K2).
The plants were harvested after 50 days, the variable of investigation were the dry weight of canopy, roots, nodules root, total plants,
number of nodules and symbiotic capacity. The results showed that all of experiment plant which be inoculated with Rhizobium able to
form nodule. Strain of 2 W (isolated from soybean) has given the best effects on the growth of soybean.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: Rhizobium strain, Glycine max L, sand sterile.

PENDAHULUAN
Daerah Wonogiri merupakan kawasan lahan kering
yang mempunyai tingkat curah hujan yang kurang/sedikit,
keberhasilan budidaya kedelai di lahan kering tersebut
sangat tergantung pada penguasaan teknologi yang
mampu berpengaruh terhadap meningkatnya produksi
kedelai. Terbatasnya ketersediaan air di dalam tanah, akan
dapat menghambat serapan unsur hara oleh akar tanaman,
proses fotosintesa dan proses fiksasi nitrogen oleh bintil
akar yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya produksi
tanaman, terutama tanaman kacang-kacangan.
Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu tanaman
budidaya dengan kandungan nutrisi yang tinggi,
diantaranya mengandung protein 30-50% (Richard et al.,
1984). Kandungan protein yang tinggi memberi indikasi
bahwa tanaman kedelai memerlukan hara nitrogen yang
tinggi pula. Di Indonesia sampai saat ini produksi kedelai
belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen dalam
negeri. Menurut Sumarno (1999) penyebab utamanya
adalah luas areal panen belum memadai dan produktivitas
masih rendah, selain itu juga karena teknik budidaya yang
masih rendah, tingginya serangan hama dan penyakit, serta
tingginya harga pupuk. Salah satu usaha untuk
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16002.
Tel.: +62-251-324006. Faks.: +62-251-325854
e-mail: novikur@yahoo.co.uk

meningkatkan produktivitas kedelai adalah dengan


menggunakan inokulan Rhizobium sebagai pupuk hayati.
Keuntungan menggunakan inokulan tersebut adalah dari
sebagian N yang ditambat tetap berada dalam akar dan
bintil akar yang terlepas ke dalam tanah, nitrogen tersebut
akan dimanfaatkan jasad lain dan berakhir dalam bentuk
ammonium dan nitrat. Apabila jasad tersebut mati maka
akan terjadi pelapukan, amonifikasi dan nitrifikasi, sehingga
sebagian dari N yang ditambat dari udara menjadi tersedia
bagi tumbuhan itu sendiri dan tumbuhan lain di sekitarnya
(Soepardi, 1983). Simarmata (1995) mengemukakan
bahwa penggunaan berbagai pupuk hayati pada lahan
marginal di Indonesia ternyata mampu meningkatkan
ketersediaan hara dan hasil berbagai tanaman antara 20100%, serta dapat menekan pemakaian pupuk buatan dan
meningkatkan efisiensi pemupukan. Pasaribu et al. (1989)
juga mengemukakan bahwa peningkatan hasil kedelai jelas
terjadi
dengan
mengadakan
inokulasi
Rhizobium
japonicum. Selain itu bakteri Rhizobium mempunyai
dampak yang positip terhadap sifat fisik dan kimia tanah
(Alexander, 1977), serta memiliki wawasan lingkungan.
Percobaan-percobaan terdahulu menunjukkan bahwa
inokulasi pada tanaman kacang-kacangan memberikan
peluang yang cukup besar untuk meningkatkan produksi
kacang-kacangan tersebut baik kualitas maupun kuantitas,
juga mengurangi penggunaan pupuk buatan (Singleton dan
Taveres, 1986), namun dalam kehidupannya bakteri
Rhizobium menunjukkan perbedaan kecocokan, baik
terhadap varietas tanaman maupun lingkungan tempat
tumbuh. Tingkat kecocokan suatu biak Rhizobium dapat

PURWANINGSIH Seleksi Rhizobium dari Wonogiri, Jawa Tengah

terlihat dari kemampuan menginfeksi tanaman inang,


kemampuan system simbiosis dalam menambat N udara
serta tanggapan pertumbuhan tanaman inang (Usman,
1983; Yutono, 1985). Selain itu keberhasilan suatu galur
inokulan
yang
diberikan
juga
tergantung
pada
kemampuannya berkompetisi dengan Rhizobium asli
(indigenous) yang ada di dalam tanah, dan mempunyai
kemampuan beradaptasi dengan lingkungan (Frederick,
1975). Oleh karena itu perlu dilakukan suatu usaha seleksi
biak Rhizobium untuk mendapatkan biak Rhizobium yang
efektif, efisien dan sekaligus mampu beradaptasi dengan
lingkungan tempat tumbuhnya, sehingga diperoleh
simbiosis yang optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan biak
Rhizobium terseleksi yang efektif dan efisien guna
meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai.

Sc = kemampuan bersimbiose.
I = rata-rata bobot kering tajuk tanaman yang diinokulasi.
U = rata-rata bobot kering tanaman tanpa diinokulasi dan
tanpa N (K1).
N = rata-rata bobot kering tanaman tanpa diinokulasi dan
ditambah pupuk N (K2).
Nilai Sc dibagi dalam 4 katagori yaitu: E (sangat efektif)
jika Sc>0,67, E (efektif) jika 0,33<Sc<0,67, e (kurang
efektif) jika Sc< 0,33, dan I (tidak efektif) jika Sc<0.
Selain Sc, pengujian tingkat keefektifan ini dilakukan
juga dengan membandingkan bobot kering tanaman total
yang diuji dengan bobot kering tanaman kontrol dengan
ditambah pupuk N (K2) yang dinyatakan dengan persen
seperti yang dikemukakan oleh Date (dalam Vincent, 1982).

Tabel 2. Komposisi larutan hara (10 L larutan A + 10 mL larutan B


+ 100 mL larutan C + 10 mL larutan D).

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan di rumah kaca Bidang Mikrobiologi,
Puslit Biologi-LIPI, pada tahun 2003/2004, dengan
menggunakan media pasir steril, dalam pot-pot plastik
berukuran 0,5 galon. Sebanyak 1,8 kg pasir steril sebagai
media tumbuh. Biji kedelai dikecambahkan dahulu dalam
petridish, setelah berkecambah diinokulasi dengan biak
Rhizobium, didiamkan selama 2 jam, kemudian ditanam ke
dalam pot percobaan, dan di atasnya ditambah pasir steril
yang telah dicampur dengan parafin dan benzol (steril)
setinggi 2 cm sebagai penutup biji yang ditanam.
Sebagai kontrol tanaman tanpa diinokulasi dan tanpa
dipupuk N (K1), dan tanaman tanpa diinokulasi dan
ditambah pupuk N setara dengan 100 kg/ha (K2).
Rancangan yang digunakan adalan Rancangan Acak
Lengkap dengan masing-masing perlakuan 3 kali ulangan.
Untuk mempertahankan kelembaban (24%) dilakukan
penyiraman setiap hari dengan menggunakan larutan hara
tanpa N terikat seperti yang dilakukan oleh Saono dkk.
(1976).
Tanaman dipanen pada umur 50 hari, variabel yang
diamati meliputi bobot kering tajuk, akar, bintil akar,
tanaman total, dan jumlah bintil, komponen tersebut
o
dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 C selama 24
jam. Analisis data dilakukan dengan uji Duncan pada level
5%. Untuk mengetahui kemampuan bersimbiose (Sc) biakbiak Rhizobium yang diinokulasikan dilakukan penetapan
dengan menggunakan cara Brockwell dkk. (1965) sebagai
berikut:

I U
Sc = ------NU

169

Unsur yang
dikandung

Larutan
A (standar larutan
calsium sulfur)
B (standar larutan
ferric citrate)
C (standar larutan
Fosfat)
D (standar larutan
trace element)

CaSO42H2O
MgSO47H2O
Akuades steril
Ferric citrate
Akuades steril
KH2PO4
KOH
Akuades steril
MnSO4H2O
ZnSO45H2O
CuSO45H2O
NaMoO22H2O
H3BO3
CaCl26H2O
Akuades steril

Jumlah
2,5 g
2,5 g
10 L
30 g
1L
30 g
1,96 g
1L
1g
0,25 g
0,25 g
0,06 g
0,50 g
0,05 g
1L

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian menunjukkan bahwa biak-biak
Rhizobium yang diinokulasikan terhadap tanaman kedelai
semuanya mampu membentuk bintil akar, hal ini
menunjukkan bahwa biak tersebut dapat bersimbiose
secara efektif dengan tanaman kedelai, yang ditandai
dengan pertumbuhan vegetatip lebih bagus dibandingkan
dengan tanaman kontrol tanpa diinokulasi dan tanpa
dipupuk N (K1). Seperti yang dilaporkan oleh Demezas dan
Bottomley (1986) bahwa kemampuan simbiosa yang efektif
diketahui bahwa biak Rhizobium yang diinokulasikan
mampu membentuk bintil akar, yang berarti pengikatan
nitrogennya berjalan dengan baik.

Table 1. Hasil isolasi nomor biak yang digunakan dari daerah Wonogiri, Jawa Tengah.
No. biak

Tanaman

1W
2W
3W
4W
5W
6W
7W
8W

Kacang hijau
Kedelai
Kacang hijau
Kedelai
Kedelai
Kacang tanah
Kacang tanah
Kacang tanah

Asal daerah
Talun Ombo
Puwun
Juwangi
Dringo
Juwangi
Talun Ombo
Dringo
Puwun

Warna
Putih
Kekuningan
Kekuningan
Kekuningan
Kekuningan
Putih
Kekuningan
Kekuningan

Diskripsi
Pertumbuhan
Lebat
Sangat lebat
Sangat lebat
Sangat lebat
Sangat lebat
Lebat
Sangat lebat
Sangat lebat

Kelompok (warna koloni)


Tumbuh lambat (biru)
Tumbuh cepat (kuning)
Tumbuh cepat (kuning)
Tumbuh cepat (kuning)
Tumbuh cepat (kuning)
Tumbuh lambat (biru)
Tumbuh cepat (kuning)
Tumbuh cepat (kuning)

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 168-171

170

Dilihat dari masing-masing variabel yang diamati


menunjukkan bahwa untuk bobot kering tajuk nilai tertinggi
pada tanaman yang diinokulasi dengan biak No 1 W (isolat
dari kacang hijau), mengalami peningkatan sebesar 57,39%
dibandingkan dengan tanaman tanpa diinokulasi dan tanpa
N (K1), untuk bobot kering akar nilai tertinggi pada tanaman
yang diinokulasi dengan biak No 2 W (isolat dari kedelai)
mengalami peningkatan sebesar 89,18% dibandingkan
dengan tanaman tanpa diinokulasi dan tanpa N (K1), dan
untuk bobot kering tanaman total nilai tertinggi pada
tanaman yang diinokulasi dengan biak No 2 W (isolat dari
kedelai) mengalami peningkatan sebesar 56,08%
dibandingkan dengan tanaman tanpa diinokulasi dan tanpa
N (K1). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa untuk
semua variabel pertumbuhan yang diamati terdapat
perbedaan yang nyata antar biak, hal ini menunjukkan
bahwa biak tersebut mempunyai kemampuan simbiosis
yang efektif yang mana mampu menambat nitrogen dari
udara secara maksimal, yang mengakibatkan pertumbuhan
tanaman lebih baik. Pasaribu dkk. (1983) mengemukakan
bahwa simbiosis yang efektif dan efisien akan
menghasilkan N tertambat yang tinggi, dimana N dapat
digunakan oleh tanaman untuk tumbuh dan berkembang,
sehingga pertumbuhannya akan menjadi lebih baik.
Dari keseluruhan variabel yang diamati menunjukkan
bahwa dari 8 biak Rhizobium yang diinokulasikan
memberikan hasil pertumbuhan yang sangat bervariasi,
tetapi apabila dibandingkan dengan tanaman yang tidak
diinokulasi (K1) terjadi kenaikan pertumbuhan, hal ini berarti
bahwa ada kecocokan/keserasian antara biak yang
diinokulasikan dengan tanaman inang.
Tabel 3. Nilai rata-rata bobot kering tajuk (BKT), akar (BKA), bintil
akar (BKBA), dan tanaman total (BKTT) tanaman kedelai yang
diinokulasi dengan biak-biak Rhizobium.
Perlakuan

BKT

1W
2W
3W
4W
5W
6W
7W
8W
K1 (tanpa N)
K2 (+N)
BNT 5%

3,51
c
3,40
c
2,38
bc
2,90
c
3,18
a
3,23
c
2,94
c
3,06
a
2,23
d
5,72
0,65

BKA

BKBA

abc

0,1405
c
0,3608
a
0,0594
b
0,1501
b
0,1153
b
0,1335
b
0,1165
b
0,1340
0
0
0,0424

0,31
e
0,70
cd
0,51
abc
0,42
ab
0,37
abc
0,42
a
0,31
cd
0,60
ab
0,37
f
0,89
0,15

BKTT
c

4,0539
c
4,0582
ab
3,1443
bc
3,4796
bc
3,6692
bc
3,8002
b
3,3672
bc
3,7997
a
2,6000
d
6,6100
1,6681

Tabel 4. Pembintilan, nilai kapasitas simbiosis dan persentase


keefektifan (PK) biak Rhizobium yang diinokulasikan terhadap
tanaman kedelai (umur 50 hari).

Perlakuan

Pembintilan

1W
2W
3W
4W
5W
6W
7W
8W
K1 (tanpa N)
K2 (+N)

+
+
+
+
+
+
+
+
-

Jumlah
bintil
d

35,33
abc
18,33
ab
13,66
a
13,00
abc
19,00
d
39,33
c
23,33
a
13,00
0
0

Kapasitas
simbiosis (nilai
riil) (nilai nisbi)
e
0,36
e
0,34
e
0,04
e
0,19
e
0,27
e
0,28
e
0,20
e
0,23
0
0
0
0

PK
(%)
61,32
61,39
47,56
52,64
55,50
57,49
50,94
57,48
0
0

Tabel 5. Nilai rata-rata tertinggi dan persentase peningkatan hasil


pertumbuhan tanaman kedelai yang diinokulasi dengan biak
Rhizobium.
No. biak (yang
% peningkatan
tertinggi)(g)
*)
BKT (umur 50 hari)
1 W (3,51)
57,39
BKA (umur 50 hari)
2 W (0,70)
89,18
BKBA (umur 50 hari)
2 W (0,3608)
0
BKTT (umur 50 hari)
2 W (4,0582)
56,08
JB (umur 50 hari)
7 W (39,33)
0
Keterangan: *) % peningkatan = ((Kn K1):K1) X 100%; Kn =
pengukuran hasil tanaman yang diinokulasi; K1= pengukuran hasil
tanaman tanpa diinokulasi.
Parameter

Sumarno dan Harnoto (1983) mengemukakan bahwa


inokulasi akan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
dan hasil apabila inokulan yang diberikan mampu bersaing
dengan mikroba asli tanah dan inokulan tersebut
merupakan inokulan yang efektif dan efisien terhadap
tanaman, serta mempunyai keserasian dengan tanaman
inangnya, dan Freire (1977) menambahkan bahwa teknik
dan waktu inokulasi juga sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan hasil panen, Setiap biak mempunyai
kemampuan yang berbeda dalam penyesuaian serta
kemampuan bersaing dengan mikroba setempat.
Ke delapan biak Rhizobium yang diinokulasikan
terhadap
tanaman
kedelai
menunjukkan
bahwa
kemampuan bersimbiose biak No 1 W dan 2 W
menunjukkan nilai Sc yang efektif dan biak No 3 W, 4 W, 5
W, 6 W, 7 W, dan 8 W menunjukkan kurang efektif. Dari
hasil pengujian kemampuan bersimbiose dapat diambil
kesimpulan bahwa walaupun biak-biak tersebut yang
diinokulasikan mampu menginfeksi suatu akar tanaman,
belum tentu biak tersebut efektif terhadap tanaman itu
(kedelai). Seperti dikemukakan Usman (1983) bahwa suatu
bakteri yang dapat menginfeksi tanaman inang tertentu
tidak selalu efektif. Banyak jenis Rhizobium yang cukup dan
sangat efektif atau tidak efektif sama sekali melainkan biak
tersebut mempunyai sifat infektif, namun tidak selalu
sanggup membentuk bintil akar efektif penuh, namun dapat
membentuk bintil akar efektif parsial, sehingga hasil
penambatan nitrogennya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan N tanaman inangnya.
Persentase
keefektifan
biak
Rhizobium
yang
diinokulasikan tertinggi pada tanaman yang diinokulasi
dengan biak No 2 W (isolat dari tanaman kedelai),
kemudian diikuti pada tanaman yang diinokulasi dengan
biak No 1 W, 6 W, 8 W, 5 W, 4 W, 7 W dan 4 W.
Persentase keefektifan ini sangat bervariasi tergantung dari
keefektifan dari masing-masing biak yang diinokulasikan
dan kecocokan terhadap tanaman inang, apabila terjadi
kecocokan antara biak dengan tanaman inang akan terjadi
simbiose yang efektif. Seperti misalnya isolat yang berasal
dari tanaman kedelai menghasilkan pertumbuhan tanaman
lebih baik dibandingkan pada tanaman yang diinokulasi
dengan isolat yang berasal dari tanaman kacang hijau.
Simbiosis antara strain-strain Rhizobium dengan spesies
leguminosa terdapat perbedaan dalam keserasiannya,
bahkan perbedaan dalam hubungan simbiosis itu terdapat
antara strain-strain Rhizobium dengan varietas tanaman
legumonisa. Hubungan yang serasi menghasilkan bintil
akar yang sangat efektif dalam menambat N udara (Yutono,
1985). Selain itu faktor lingkungan dan fisiologi juga sangat
berpengaruh. Gibson (1981) mengemukakan bahwa
pembentukan bintil akar yang baik dari hasil penambatan N
pada akar tanaman legume merupakan suatu rangkaian

PURWANINGSIH Seleksi Rhizobium dari Wonogiri, Jawa Tengah

yang komplek dari proses fisiologi yang meliputi interaksi


antara tanaman inang dengan biak yang diinokulasikan.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semua
biak yang diinokulasikan mampu membentuk bintil akar,
tetapi tidak semua biak efektif untuk tanaman kedelai. Hasil
terbaik diperlihatkan oleh biak No. 2 W (isolat dari tanaman
kedelai dari Desa Puwun). Biak tersebut dapat
dikembangkan sebagai inokulan pupuk hayati untuk
tanaman kedelai.

DAFTAR PUSTAKA
Alexander. M., 1977. Soil Microbiology. 2nd edition. New York: John Wiley
and Sons Inc.
Brockwell, J.F., W. Hely, and C.A. Neal-Smith. 1965. Some Symbiotic as
effective field nodulation of Lobus hipidus. Australian Journal of
Experimental Agriculture and Animal Husbanry 6 (23): 365-370.
Demezas. D.H and P.J. Bottomley. 1986. Autecology in Rhizospheres and
Nodulating Behavior of Indigenous Rhizobium trifolii. Applied and
Environmental Microbiology 52 (4-6): 1014-1019.
Frederick.L.R. 1975. Soybean inoculation. In. R.M. Goodman (ed) Expanding
the Use of Soybean. Intern. Agronony Publication College of Agriculture
University of Illinois, University Press. Urbana Campaign.
Freire, J.R.J., 1977. Inoculation of Soybean. In. Vincent, J.M., A.S. Whitney,
and J. Bose (eds.). Exploiting the legume Rhizobium symbiosis in
tropical agriculture. College of Tropical Agriculture Miscellaneous
Publication 145. Hawaii: Departement of Agronomy and Soil Science.
University of Hawaii.
Gibson. A.H. 1981. Current Perspectives in nitrogen fixation. Proceedings of
the Fourth International Symposium on Nitrogen Fixation. Australian
Academy of Science. Camberra, Australia. 1-5 December 1980. 534 p.

171

Pasaribu. D., N. Sunarlim, Sumarno, Y. Supriati, R. Saraswati, P. Sutjipto,


and S. Karana.1989. Penelitian Inokulasi Rhizobium di Indonesia.
Dalam Syam, M., Rusdi, dan A. Widjono. Risalah Penelitian
Penambatan Nitrogen Secara Hayati pada Kacang-kacangan. Pusat
Penelitian Tanaman Pangan, Departemen Pertanian-Pusat Penelitian
dan Pengembangan Bioteknologi-LIPI, Bogor, 30-31 Agustus 1988.
Pasaribu. D., N. Sunarlim, M. Fathan, M. Sudjadi, Hartono, dan L.
Sumarsono. 1983. Maksimalisasi hasil Kedelai di Wonosari-Yogyakarta.
Identifikasi Komponen dan Paket Teknologi Kacang-kacangan pada
Lahan Tegalan. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Pangan.
Richard. J.D., J.G. Louis, and Henry. 1984. Soybeans Crop Production. 5th
edition. Engelwood Cliffs, N.J.: Practice Hall. Inc.
Saono, S., H. Karsono, and D. Suseno. 1976. Studies on the effect of
different rhizobial strains on Phaseolus lunatus in sand culture.
Annales Bogoriense 6 (2): 143-154.
Simarmata, T. 1995. Strategi Pemanfaatan Mikroba Tanah (Pupuk Biologi)
dalam era Bioteknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan
Marginal di Indonesia menuju Pertanian Berwawasan Lingkungan.
Bandung: Fakultas Pertanian UNPAD.
Singleton, P.W., and J.W. Taveres. 1986. Inoculation response of legumes in
relation to the number and effectiiviness of indigen Rhizobium
population. Applied and Environmental Microbiology 51 (6): 1013-1018.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah 2. Bogor: Jurusan Ilmu Tanah,
Fakultas Pertanian, IPB.
Sumarno dan Harnoto. 1983. Kedelai dan cara Bercocok Tanamnya..
Bulletin Teknik Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
6: 1-63.
Sumarno, 1999. Strategi pengembangan produksi kedelai nasional
mendukung Gema Palagung 2001. Dalam: N. Sunarlim, D. Pasaribu,
dan Sunihardi (ed.). Strategi Pengembangan Kedelai. Prosiding
Lokakarya Pengembangan Produksi Kedelai Nasional. Puslitbangtan,
Bogor, 16 Maret 1999. h: 7-13.
Usman. R., 1983. Penelitian Mengenai Isolasi, Media Pembiakan serta
Metode Pengelompokan Spesies Rhizobium. [Disertasi S-3]. Bandung:
Universitas Padjadjaran. 360 h.
Vincent. J.M., 1982. Nitrogen Fixation in Legumes. Sidney: Academic Press.
Yutono. 1985. Inokulasi Rhizobium pada kedelai. Dalam Somaatmadja, S.,
M. Ismunaji, Sumarno, M. Syam., S.O. Manurung, dan Yuswadi (eds).
Kedelai. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Puslitbangtan.

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 172-174

Influence of Palmitic Acid and Amino Acids Addition on Iturin A


Productivity by Bacillus subtilis RB14-CS
YULIAR

Microbiology Division, Research Center for Biology, The Indonesian Institute of Science, Bogor 16002.
Received: 8 January 2005. Accepted: 5 April 2005.

ABSTRACT
The aim of this study was to observe the influence of palmitic acid and amino acids on enhancement of iturin A productivity using Bacillus
subtilis RB14-CS. The concentrations of palmitic acid examined were 0.8%, 1.6%, and 3.2%. A good yield was observed when 1.6%
palmitic acid was added to Polypepton S medium. The production of iturin A increased about 18% than the control. Addition of 3.2%
palmitic acid was not effective on iturin A production. It gave lower pH and slightly higher viable cell number of RB14-CS than control and
the others addition concentration. Whereas the addition of 0.8% of each of the following amino acids; L-arg, L-asn , L-gln , L-glu, L-gly, Lleu, L-lys, L-trp, L-tyr, and L-val could not increase iturin A productivity, but changed the proportion of iturin A peaks. L-leu, L-val, and L-asn
addition produced the highest proportion of peak 3, 4, and 1 respectively.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: iturin A, Bacillus subtilis RB14-CS, palmitic acid, and L-amino acids.

INTRODUCTION
The use of microorganisms for biological purposes has
become an effect to control plant pathogens. Various
strains of Bacillus subtilis (NB22, YB8, UB24, and SB4)
suppressed phytopatogenic fungi or bacteria in vitro and
greenhouse test (Phae et al., 1990). Berna et al., (2002)
demonstrated that mutant strain of Bacillus sp. has a higher
antagonistic activity against the plant pathogen Botrytys
cinera (grey mould), Rastonia solanacearum (bacterial wilt)
and Erwinia carotovora (bacterial soft rot).
As producer of antibiotics, Bacillus spp. secrete three
groups of the following lipopeptide antibiotics; surfactin
group, iturin group, and plipastatin- fengycin group (Tsuge
et al., 2001). Among of these antibiotics, iturin has the
strongest antifungal activity on large variety of yeasts and
fungi. As iturin A is one of the most powerful antifungal
substance, it has good prospect on agriculture and medical
application. Since Bacillus produce the lipopeptide
antibiotics, therefore why this bacteria suppres various plant
pathogens. Iturin families that were found are; iturin A, iturin
C, iturin D, iturin E, baccilomycin D, bacillomycin F,
bacillomycin L. Iturin A consist of five homologues and the
five peaks pattern of iturin A as shown in Figure1.
-1
The highest productivity of iturin A was 138 mgl ,
produced by Bacillus subtilis S499 (Hbid et al., 1996).
Beside carbon and nitrogen source, palmitic acid and Lamino acid may also influence the antibiotics production.
Palmitic acid was incorporated into lipid moiety of iturin A by
B. subtilis on Landy medium (Besson et al., 1990). The
metabolism of amino acids, purine, and pyrimidines provides
the nitrogenous precursor for antibiotics biosynthesis.

Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 18 Bogor 16002.
Tel.: +62-251-321038, Fax.: +62-251-325854.
e-mail: novikur@yahoo.com

Specific amino acids are direct precursors for many peptide


antibiotics (Aharonowitz, 1980). In order to know whether
palmitic acid or L- amino acid can enhance iturin A
productivity, the addition effect of them to the medium
cultivation of Bacillus subtilis RB14-CS was studied.

MATERIALS AND METHODS


Microorganism. Bacillus subtilis RB14-CS as mono
producer of iturin A was used in this study. This
microorganism is belong to Prof. Makoto Shoda laboratory
(Chemical Resources Lab., Tokyo Institute of technology).
LB medium. This media were used as seed media and
consist of 10 g/l polypepton, 5 g/l yeast extract, and 5 g/l
NaCl. The pH was adjusted to 7.00 with NaOH. Five
milliliters of this media were transferred into a test tube
o
using micropipette and sterilized at 121 C for 20 minutes.
For LB agar media, 2% of agar was added to the media.
Polypepton S medium. Polypepton S (3.2 g) were
dissolved in 23 ml distilled water in 200 ml flasks and
o
sterilized at 121 C for 20 min. After sterilization, 6.7% of
maltose, 0.5% K2HPO4, 0.05% MgSO4.7H2O, 25 ppm
FeSO4.7H2O, 22 ppm MnSO4.5H2O, and 184 ppm
CaCl2.2H2O were added into flasks.
Pre-cultivation. Five milliliters sterilized LB media in a
test tube were added with 5l of streptomycin (20 mgl-1) and
inoculated with 10l of RB14-CS stock. Inoculated media
was incubated at 37oC and shake 124 spm (horizontal
shaker) for about 16 hours.
Cultivation of RB14-CS on Polypepton S media
contains palmitic acid. Three concentrations of palmitic
acid i.e 0.8%, 1.6%, and 3.2% were each added into
polyppeton S media and inoculated with 400l RB14-CS,
o
then incubated at 30 C, 120 spm for 7 days.
Cultivation of RB14-CS on Polypepton S that
contains L-amino acids. 0.8% of each of L-amino acid i.e
L-arg, L-asn , L-gln , L-glu, L-gly, L-leu, L-lys, L-trp, L-tyr,

YULIAR Iturin A of Bacillus subtilis RB14-CS

173

addition. The pH change in the sample with


the addition of 0.8% and 1.6% palmitic acid
Peak 1
was almost similar with the control. The range
of viable cell number change of the strain was
Peak 2
10
8
10 to 10 CFU/ml.
R
-amino acid group
Figure 4 below illustrates iturin A
Peak 1 CH3-CH2-CH2-n-C14- -amino acid
productivity in the presence of 0.8% of each of
the following amino acids; L-arg, L-asn , L-gln ,
Peak 2 CH3-CH2-CH2-anteiso-C15- -amino acid

Peak 3
L-glu, L-gly, L-leu, L-lys, L-trp, L-tyr, and L-val
CH3
on Polypepton S medium. The addition of
Peak 4
these L-amino acids did not improve the iturin
Peak 3 CH3-CH-CH2-iso-C15- -amino acid
A productivity, but changed the proportion of

Peak 5
iturin A peaks (Figure 5). Whereas
CH3
suplementation of L-amino acids changed the
Peak 4 CH3-CH-CH2-CH2-iso-C16- -amino acid
proportion of iturin A peaks. HPLC separation

pattern of iturin A homologous is denoted as


CH3
peak 1 to peak 5 according to elution time
order of HPLC. Each of them (peaks 1 to 5)
Peak 5 CH3-CH2-CH2-CH2- -C16- -amino acid
corresponds to the following components
respectively; n-C14--amino acid , anteisoFigure 1. Structure of iturin A and HPLC elution pattern of iturin A homologues.
C15--amino acid, iso-C15--amino acid, isoC16--amino acid, and n-C16--amino acids
(Fig. 1). When L-leu was supplemented to the
and L-val were added into Polypepton S medium before
cultivation of RB14-CS the highest proportion of peaks 3
autoclaving. Sterilized media were inoculated with 400l
(iso-C15--amino acid) of iturin A was observed. Hourdou
o
RB14-CS, then incubated at 30 C, 120 spm for 7 days.
et al. (1988) observed that leucine increased the production
Extraction and measurement of iturin A. The culture
of iso-C15--amino acid and iso-C15 fatty acid of iturin A.
(100l) were transferred into one milliliter Eppendorf tube,
While Besson and Hourdou (1987) observed the influence
and diluted with 900l of the buffer that composed of
of leucine on bacillomycin F production, and they found that
CH3CN: 10mM CH3COONH4 (35:65; v/v). The mixture were
leucine increased both odd iso fatty acid and odd iso
rotated for about 30 minutes at room temperature, and it
amino acids to about 55%. By addition of L-val to the
o
were centrifuged at 15,000x g for 10 minutes at 4 C. The
cultivation, the strain produced the highest proportion of
supernatant were filtrated through 0.20m PTFE membrane
peak 4 (iso-C16-amino acid). Hourdou et al. (1988)
filter (Advantec 020). This filtrate (20 l) were injected into
reported that valine was found to increase iso-C16 and nODS RP-18C (Merck) column, and monitored by the UV
C14--amino acid of iturin A. Besson and Hourdou (1987)
detector at 205 nm (LC-800 system, JASCO). HPLC was
found that valine increased iso C-14 and C-16, but did not
performed using acetonitrile: 10mM CH3COONH4= ( 35:65,
induce synthesis of iso-C14--amino acid on bacillomycin
v/v) solvent, and flow rate was 2ml/min, and absorbance
production. Akpa et al. (2001) also stated that valine is a
o
were measured at 30 C. Iturin A production was observed
precursor of even fatty acids, and the use of leucine
on day 2, day 5, and day 7.
increased the rate C15--amino acid (44%). Theobald et al.
7
Viable cell number. The culture was diluted 10 times
(2000) observed that in a chemically defined medium, L-val
in small sterile test tubes, then 100l of the dilution sample
was better nitrogen source than L-glu and L-leu for the
was spread onto the LB agar medium. After the plates were
simocyclinone D8 production. Whereas Kempf et al., (1999)
o
incubated in incubator at 37 C overnight, the cell number
increased gallidermin production to about 25% by
was counted. The viable cell number was observed on day
Staphylococcus gallinarum by the addition of glutamic acid
-1
2, day 5, and day 7.
(final concentration 20 gl ) at fermentation time of 30 hours.
The viable cell number and the pattern of pH change of
L-amino acids supplementation was almost similar to the
RESULTS AND DISCUSSION
control one (Table 1). The addition of L-asn gave the
smallest cell number on day five, after that all of cell number
decreased to about 108CFU/ml.
As we see in figure2, the addition of 1.6% palmitic acid
on Polypepton S medium enhanced iturin A production
Table 1. pH and viable cell number in amino acids experiment
18%. Without an addition the production was about 2200
shown in figure 4.
mgl-1 and the addition of 1.6% of palmitic acid yielded iturin
-1
A about 2600 mgl . This is in agreement with Hourdou et al.
9
Viable cell number (x10
pH
(1988) who reported that by 0.05% of palmitic acid addition
Treatment
CFU/ml)
to the culture medium (LANDY medium), iturin A -amino
Day 2
Day 5 Day 7 Day 2 Day 5 Day 7
acids by GC analysis showed an increase of straight chain
Control
13.9
10.1
0.15
7,62
8.75
9.18
-amino acids: 33% instead of 24% in the control for n-C14
L-arg
16.0
3.4
0.15
7,95
9,06
9.06
and 11% instead of 6% in the control for n-C16. Besson et
L-asn
9.1
1.0
0.11
7,71
9.09
9.14
L-gln
11.6
10.4
0.01
7.94
8.92
9.16
al. (1990) also reported that palmitic acid is the precursor of
L-glu
9.9
1.13
0.10
8.01
8.20
9.23
amino acids of iturin A.
L-gly
9.1
8.4
0.12
7.76
8.60
9.16
Figure 3 shows the pH range and viable cell number of
L-leu
14.8
13.2
0.20
7.73
8.02
8.87
RB14-CS on iturin A productivity. A high concentration of
L-lys
14.1
14.4
0.20
7.54
8.49
8.85
palmitic acid addition (3.2%) was not effective in iturin A
L-trp
14.4
5.60
0.27
7.43
8.78
9.04
production. It gave lower the pH and slightly higher of the
L-tyr
14.9
9.20
0.22
7.47
8.83
9.04
viable cell number than control and the others concentration
L-val
13.6
12.80
0.01
7.59
7.46
8.76
RCHCH2COL-AsnD-tyrD-Asn

NHL-serD-AsnL-proL -Gln

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 172-174

174

during this study. I also thank Dr. Kazumasa Okuno for his
assistance and comment during the experimental work.

3000
Control

Iturin A productivity
(mg/L)

2500

Palmitate 0,8%
Palmitate 1,6%

2000

Palmitate 3,2%

1500
1000
500
0
0

4
Time (day)

13

10
9

12

8
11

10

pH

Viable cell number


(Log (CFU/mL))

Figure 2. Influence of palmitic acid on iturin A productivity.

5
9

3
0

Control (log CFU)

Palmitate 0,8% (logCFU)

Time (day)Palmitate 3,2% (log CFU)

Palmitate 1,6% (log CFU)


Control (pH)

Palmiatate 0,8%(pH)

Palmitate 1,6% (pH)

Palmitate 3,2%(pH)

Figure 3. Viable cell number and pH changes in the palmitic acid


addition experiment.

Iturin A productivity
(mg/L)

2500
2000
Day 2

1500

Day 5

1000

Figure 5. The influence of amino acids addition on the peaks


proportion of iturin A.

Day 7

500

REFERENCES
L-tyr

L-val

L-trp

L-lys

L-gly

L-leu

L-glu

L-gln

L-asn

L-arg

Control

Amino acids addition

Figure 4. The influence of amino acids on iturin A productivity.

CONCLUSION
This research can be concluded as follows: (i)
supplementation of 1.6% palmitic acid to the Polypepton S
medium increased the production of iturin A about 18 %, (ii)
the addition of 0.8% of each the following amino acids Larg, L-asn, L-gln, L-glu, L-gly, L-leu, L-lys, L-trp, l-tyr, and Lval could not increase iturin A production, but change the
peaks proportion of iturin A, (iii) L-leu addition produced the
highest proportion of peak 3, L-val addition gave the highest
proportion of peak 4, and L-asn addition resulted the
highest proportion of peak 1.

ACKNOWLEDGEMENTS
I would like to thank Prof. Makoto Shoda and Prof.
Takashi Ano, Chemical Resources Laboratory, Tokyo Institute
of Technology for their helpful guidance, and comments

Aharonowitz, Y. 1980. Nitrogen metabolite regulation of antibiotic


biosynthesis. Annual Review of Microbiology 34: 209-233.
Akpa, E., P. Jacques, B. Wathelet, M. Paquot, R. Fuch, H. Budzikiewicz, and
P. Thonart. 2001. Influence of culture conditions on lipopeptide
production by Bacillus subtilis. Applied Biochemistry and
Biotechnology 91/93: 551-556.
Berna,G., A.. Illanes, and L. Ciampi. 2002. Isolation and partial purification of
metabolite from a mutant strain of Bacillus sp. with antibiotic activity
against plant pathogenic agents. Electronic Journal of Biotechnology 5: 1-9.
Besson, F. and M.L. Hourdou, 1987. Effect of amino acids on the
biosynthesis of amino acids constituents of Bacillomycins F. Journal of
Antibiotics 40: 221-223.
Besson, F., M.L. Hourdou, and G. Michel, 1990. Studies on the biosynthesis
of iturin, an antibiotics of Bacillus subtilis, and lipopeptide containing hydroxy fatty acids. Biochemistry and Biophysics Acta 1036: 101-106.
Hbid ,C., P. Jacques, H. Razafindralambo, M.K. Mpoyo, E. Meurice, M. Paquot,
and P. Thonart, 1996. Influence of the production of two lipopeptides,
iturin A and surfactin S1, on oxygen transfer during Bacillus subtilis
fermentation. Applied Biochemistry and Biotechnology 57/58: 572-579.
Hourdou, M. L., F. Besson, and G. Michel, 1988. Studies on the biosynthesis
of -amino acids, the lipid moiety of iturin A, in Bacilllus subtilis.
Journal of Antibiotics 41: 207-211.
Kempf, M., U. Theobald, and H.P.Fiedler, 1999. Correlation between the
consumption of amino acids and the production of the antibiotic
gallidermin by Staphylococcus gallinarum. Biotechnology Letters 21:
959-963.
Phae, C.G., M. Shoda, and H. Kubota, 1990. Suppressive effect of Bacillus
subtilis and its product on phytopathogenic microorganisms. Journal of
Fermentation and Bioengineering 69: 1-7.
Theobald, U., J. Schimana, and H. Fiedler. 2000. Microbial growth and
production kinetics of Streptomyces antibioticus Tu 6040. Antonie van
Leeuwenhoek 78: 307-313.
Tsuge, K., T. Akiyama, and M. Shoda, 2001. Cloning, sequencing, and
characterization of iturin A operon. Journal of Bacteriology 183: 62656273.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 5
Halaman: 175-177

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Isolation and Identification of Phosphate Solubilizing and


Nitrogen Fixing Bacteria from Soil in Wamena Biological
Garden, Jayawijaya, Papua
SULIASIH, SRI WIDAWATI
Microbiology Division, Research Center of Biology, Indonesian Institute of Sciences Bogor 16002.
Received: 28 October 2004. Accepted: 9 March 2005.

ABSTRACT
A study was undertaken to investigate the occurrence of phosphate solubilizing bacteria (PSB) and nitrogen-fixing bacteria (NFB) from soil
samples of Wamena Biological Garden (WbiG). Eleven soil samples were collected randomly to estimate microbial population which used
3
6 cells
3
of bacteria/gram of soil and 5.0x10 plate count method. The result showed that the microbial population ranged from 5.0x10 -7.5x10
7
1.5x10 cells of bacteria/gram of soil for PSB and NFB respectively. There were 17 isolates which have been identified till genus and
species. The isolated microorganism were identified as PSB i.e. Bacillus sp., B. pantothenticus, B. megatherium, Flavobacterium sp., F.
breve, Klebsiella sp., K. aerogenes, Chromobacterium lividum, Enterobacter alvei, E. agglomerans, Pseudomonas sp., Proteus sp. and as
NFB i.e. Azotobacter sp., A. chroococcum, A. paspalii, Rhizobium sp., and Azospirillum sp.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: phosphate- solubilizing bacteria, Nitrogen-fixing bacteria, Wamena Biological Garden.

INTRODUCTION
Wamena Biological Garden (WBiG) is one of mountain
range-biota ex-situ conservation at eastern part of
Indonesia. The ex-situ conservation is the first conservation
built by Biological Research Center, Indonesian Institute of
Sciences. WBiG has unique vegetation and many variations
of soil colors. Soil is a unity of subsistence that includes the
varieties of microbe, because microbes community is one
of the important components of soil. Activity and species
composition of microbes are generally influenced by many
factors including physic-chemical properties of the soil,
temperature and vegetation (Jha et al., 1992).
The most important role of soil organism in ecosystem is
decomposing of organic matters, synthesize and release
them into inorganic forms that plant can use (Setiadi, 1989).
Most microbes in terrestrial ecosystem are in soil. Bacteria
are the most dominant group of soil microbes. In the fertile
6
8
soil, there are 10 -10 cells of bacteria/ gram of soil. Some
groups of soil bacteria (nitrogen-fixing bacteria and
phosphate-solubilizing bacteria) are useful as biofertilizer.
Some plants and microbes species have developed
symbiosis or mutually beneficial relationships. Rhizobium is
the root of legumes host nitrogen fixing bacteria which can
invade root and get sugars from the plant. In return, they
convert large amounts of dinitrogen (N2) from the
atmosphere into forms that the plants can use (Zahran,
1999). Another nitrogen fixing bacteria living in soil are
Azotobacter sp. and Azosprillum sp. Several species of
Azotobacter and Azosprillum are known to fix nitrogen

Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda No.18 Bogor 16002
Tel.: +62-251-324006. Fax.: +62-251-325854.
e-mail: widadomon@yahoo.com

under field condition in association with roots of plant.


Nitrogen-fixing Azosprillum strains have been isolated from
tropical and some temperate grass root surface. Some
species of Azotobacter from root associations with seasonal
grasses are specific hosts, e.g. A. paspalii associated with
the root of Paspalum notatum (Berreiner et al., 1976,
Elmerich, 1984, Okon, 1985, Okon and LabanderaGonzales, 1994). The other biofertilizer bacteria are genus
of Pseudomonas and Bacillus. Those bacteria are able to
solubilize available forms of Fe, Ca, Mg, Al bound P. The
solubilization effect is generally due to the production of
organic acids (Kucey, 1983).
The present investigation was carried out to study the
occurrence of PSB and NFB from WBiG. The isolated
microbes were identified.
MATERIALS AND METHODS
Soil
Surface (0-15 cm) soil samples were collected randomly
from 11 different sites of Gunung Susu which was one of
WBiG sites. All samples were kept in plastic bags and
transported to the laboratory and stored in 4o C prior to be
analyzed. These samples were air-dried and ground to pass
2 mm sieve before the chemical analyses. The samples
were analyzed for pH, soil chemistry and texture, (Table 1
and 2).
Microbial count
Microbial population was estimated by plate count
method (Ravina et al, 1992; Thompson, 1989; Vincent,
1982). Ten grams soil was suspended in 90 mL sterile
distilled water in Erlenmeyer flask and mixed thoroughly for
30 minutes using a mechanical shaker at 110 rpm. Then 1
mL an aliquot transferred with sterile pipettes to 9 mL sterile

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 175-177

176

distilled water in test tube. This suspension was stir for 10


second. A subsequent serial dilution was prepared as
7
above to 10 . From each serial dilution, 0.2 mL of aliquot
was transferred to sterile putridity and over poured and
o
dispersed swirling with agar media (50 C).
PSB was grown on Pikovskaya agar media (Sundara
Rao and Sinha, 1963, Gaur, 1981), containing of 5g
Ca3(PO4)2; ten g glucose; 0.2g NaCl; 2.5mg MgSO4.7H2O;
2.5mg MnSO4.2H2O; 2.5mg FeSO4.7H2O; 5g yeast extract;
20g agar, diluted in 1 l distilled water. The plats were
incubated for 7 days at room temperature. Colonies of PSB
were detected by clear zones of solubilization around them.
For growing Rhizobium was used yeast extract mannitol
agar (YEMA) (Subba Rao,1994), containing 10g mannitol;
0.5g K2HPO4; 0.1g NaCl; 0.2g MgSO4.7H2O; 1g yeast
extract; 2.5 mL congo red 1%; 20g agar, diluted in 1 l
distilled water. The plats were incubated for 7 days at room
temperature. Rhizobia colonies have transparent white
color, shining.
Mannitol Ashby agar medium was used for isolating
Azotobacter containing of 20g mannitol; 0.2g K2HPO4; 0.2g
NaCl; 0.2g MgSO4.7H2O; 0.1g K2SO4; 5.0g CaCO3; 20g
agar, diluted in 1 l distilled water. The plats were incubated
for 7 days at room temperature (Subba Rao, 1994).
The numbers of Azospirillum bacteria counted on a
Okon medium containing of 6.0g K2HPO4; 4.0g KH2PO4;
0.2g MgSO4; 0.1g NaCl; 5g Sucrose; 0.02g CaCl2; 1.0g NH4
Cal; 5.0g NaOH; 2.1mg MnSO4; 10.0mg FeCl3; 2.0mg
Na2MoO4.; 0.1g yeast extract; 2.0 mg H3 BO3; 0.04mg
Cu(NO3)2; 0.2 mg ZnSO4; 2 mL bromthymol blue 0.5%; 20.0
agar, diluted in 1 L distilled water (Okon et al., 1977).
The number of bacterial colony was estimated after 7
days of incubation at room temperature. The isolates were
identified follows Bergeys manual for bacteriology methods
systematic (Krieg and Hold, 1984).

RESULTS AND DISCUSSION


Table 1 and 2 showed that the result analyses of soil
chemical properties varied depending on the vegetations
and soil types. Soils that were dominated by Imperata
cylindrica indicated to be deficiency of soil nutrient. Setiadi
(1989) proposed that the land in area of Imperata cylindrica
has eroded, because the plants are less effective to avoid
the erosion. In the eroded land, organic matter and nutrient
leaching may generally occur, and results in fewer nutrients
available.
Table 1. Soil physic from 11 sites in Wamena Biological Garden
Soil
Soil color
samples
1 Black
2 Dark brown
3 Brown
4

Brown

5
6
7
8
9
10
11

Brown reddish
Red
Yellow
Gray
Black
Gray
Brown

Soil Texture (%)


Vegetation
Pittosporum ramiflorum
Grevillea papuana
Castanopsis
accuminattisima
Vaccinium
varingiaefolium
Imperata cylindrica
Imperata cylindrica
Imperata cylindrica
Imperata cylindrica
Imperata cylindrica
Imperata cylindrica
Imperata cylindrica

Sand Clay Dust


5.79 51.37 42.84
7.38 52.08 40.54
20.17 18.56 61.25
16.73 28.01 55.26
16.36
11.51
17.51
10.89
18.03
10.89
15.65

43.45
65.75
41.42
38.82
38.06
38.82
35.74

40.19
22.69
41.06
49.28
43.01
49.28
48.61

Table 2. Soil chemistry from 11 sites of Wamena Biological Garden.


Soil
N
P
K
C
Ca
samC/N
PH
(%) (ppm) (me/100g) (%)
(Me/100g)
ples
1
0.21
4.8
0.53
2.54 12.10
26.00
5.30
(m)
(m)
(m)
(m)
(v.h)
(acid)
2
0.30
3.9
0.36
3.05 10.17
19.23
4.80
(m)
(l)
(l)
(h)
(l)
(h)
(acid)
3
0.22
1.6
0.15
3.12 14.48
9.34
4.35
(m)
(v.l)
(l)
(h)
(m)
(m)
(acid)
4
0.23
3.3
0.26
3.85 16.74
8.82
4.90
(m)
(l)
(l)
(m)
(h)
(m)
(acid)
5
0.06
0.2
0.07
0.69 11.50
8.88
5.00
(v.l)
(v.l)
(v.l)
(v.l)
(m)
(m)
(acid)
6
0.06
0.3
0.07
0.62 10.33
9.55
6.05
(v.l)
(v.l)
(v.l)
(v.l)
(l)
(m)
(acid)
7
0.05
0.4
0.05
0.51 10.20
9.34
5.25
(v.l)
(v.l)
(v.l)
(l)
(l)
(m)
(acid)
8
0.04
1.6
0.13
0.36 9.00
9.73
4.60
(v.l)
(v.l)
(l)
(v.l)
(l)
(m)
(acid)
0.06
2.76 11.04
32.90
5.26
9
0.25
2.1
(l)
(v.l)
(m)
(m)
(v.h)
(acid)
(m)
10
0.23
2.7
0.10
2.47 10.74
19.23
4.25
(m)
(l)
(l)
(m)
(l)
(h)
(acid)
11
0.03
0.1
0.05
0.36 12.00
9.03
4.65
(v.l)
(v.l)
(v.l)
(v.l)
(m)
(m)
(acid)
Note: v.l = very low; l = low; m = moderate; h = high; v.h = very high

The estimates of total bacteria, PSB and NFB at each


sites ranging from 2.95x105-2.5x108cells of bacteria/ gram
soil. Soil samples number 2, 3, 4, 9, 10 reveal the number
of total bacteria which are higher than samples number 5, 6,
7, 8, 11 (Table 3).
Table 3. The population of microbes isolated from 11 sites of
Wamena Biological Garden.
Soil
samples
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Total
bacteria
(cell/g
soil)
8
2.5x10
7
5.0x10
7
2.5x10
8
2.0x10
6
3.5x10
6
2.4x10
6
2.4x10
5
3.0x10
6
5.0x10
7
5.0x10
6
5.5x10

PSB
(cell/g
soil)
4

5.5x10
6
1.5x10
5
1.1x10
6
1.5x10
6
2.6x10
4
3.5x10
3
5.0x10
4
5.5x10
6
7.5x10
6
2.5x10
5
5.4x10

NFB (cell/g soil)


Rhizobium
sp.
6
2.5x10
6
1.5x10
6
2.0x10
6
2.0x10
5
4.4x10
5
1.9x10
5
2.2x10
5
2.1x10
6
1.5x10
6
5.0x10
6
2.5x10

Azospirillum Azotobacter
sp.
sp.
5
7
5.8x10
1.5x10
6
6
1.0x10
1.5x10
6
6
5.0x10
1.5x10
6
6
1.5x10
2.5x10
4
4
6.0x10
2.0x10
5
6
1.0x10
1.0x10
5
1.5x10
4
3
2.0x10
5.0x10
4
4
8.5x10
5.5x10
6
6
1.0x10
2.5x10
5
5
1.2x10
1.5x10

Table 4 showed that the most dominant phosphate


solubilizing bacteria found were aerobic spore forming
bacteria. Identification of this group showed that Bacillus sp.
was the most predominant PSB was found in all of soils
tested, followed by B. panthothenticus and B. megatherium
were in soil samples numbers 1, 2, 3, 6 and 9 respectively.
Other PSB involved were Flavobacterium sp., F. breve,
Klebsiella sp., K. aerogenes, Chromobacterium lividum,
Enterobacter alvei, E. agglomerans, Pseudomonas sp. and
Proteus sp. The finding of predominance of spore formers
was in harmony with the work of Taha et al. (1969). He also
observed that sporeformer was well known to resist adverse
conditions such as high temperature and dryness. Thus the
important PSB can overcome such unfavorable conditions.
Swaby and Sperber cit. Taha et al. (1969) found that the
principal genera of PSB were Arthobacter, Pseudomonas,
Xanthomonas, Achromobacter and Flavobacterium. It is well
known that the interplay of so many factors such as physicochemical properties of soil, vegetation crop, rotation and environmental conditions greatly influence soil microbial flora.

SULIASIH and WIDAWATI Phosphate solubilizing and nitrogen fixing bacteria

Table 4. Identified isolates from 11 sites of Wamena Biological Garden.


Soil
samples
1
2

Phosphate solubilizing
bacteria
Bacillus sp.
B. panthothenticus,
Enterobacter agglomerans
Bacillus sp.
B. panthothenticus,
Chromobacterium lividum,
Flavobacterium sp.
Bacillus sp.
B. panthothenticus,
Flavobacterium sp.
Klebsiella sp.
K. aerogenes
Bacillus sp.
Enterobacter agglomerans

Bacillus sp.
Flavobacterium breve,
Pseudomonas sp.

Bacillus sp.
B. panthothenticus,
Klebsiella aerogenes,
Enterobacter alvei
Bacillus sp.
Chromobacterium lividum,
Enterobacter agglomerans
Bacillus sp.
Flavobacterium sp.
Proteus sp.

7
8

Bacillus sp.
B. megatherium,
Enterobacter alvei

10

Bacillus sp.

11

Bacillus sp.
Pseudomonas sp.

Nitrogen-fixing
bacteria
Rhizobium sp.
Azospirillum sp.
Azotobacter sp.
Rhizobium sp.
Azospirillum sp.
Azotobacter sp.
Rhizobium sp.
Azospirillum sp.
Azotobacter sp.
A. paspalii
Rhizobium sp.
Azospirillum sp.
Azotobacter sp.
Rhizobium sp.
Azospirillum sp.
Azotobacter sp.
A. paspalii
A. chroococcum
Rhizobium sp.
Azospirillum sp.
Azotobacter sp.
Rhizobium sp.
Azotobacter sp.
Rhizobium sp.
Azospirillum sp.
Azotobacter sp.
A. paspalii,
A. chroococcum
Rhizobium sp.
Azospirillum sp.
Azotobacter sp.
A. paspalii
Rhizobium sp.
Azospirillum sp.
Azotobacter sp.
Rhizobium sp.
Azospirillum sp.
Azotobacter sp.
A. paspalii
A. chroococcum

Nitrogen-fixing bacteria such as Rhizobium sp. and


Azotobacter sp were found in all of soil tested. Azospirillum
was found in almost soil samples except in soil number 7.
The isolates of Rhizobium and Azospirillum have already
been identified till genus level. Isolates of Azotobacter till
genus and species level. Both of Azotobacter paspali and
A. chroococum were obtained in soil samples numbers 5, 8,
11. Rhizobium, Azotobacter and Azospirillum are
heterotrophic bacteria which depend on outside carbon
sources to fix nitrogen. Soil microbes require energy and
essential nutrient to grow and reproduce, while plants
derive their energy from carbon acquired from the
atmosphere by means of photosynthesis. The carbon in
organic matter decomposing provides soil microbes with
their energy supply (John et al., 2001).
The result showed that different soil nutrient status and
vegetation type in the investigated sites resulted in the
different bacterial population and bacterial type. The
difference was caused by releasing organic and inorganic
root exudates that can be used by surrounding organism.
Jha et al. (1992) and Setiadi (1989) found that biological
activity and composition of soil microbes are generally
affected by many factors including physico-chemical
properties of soil, temperature and vegetation. C availability
in soil may affect the numbers and activities of microbes
directly. Setiadi (1989) reported that the roots of higher
plants might affect significantly the activity and the

177

development of soil microbes. (Katznelson cit. Mukerji and


Subba-Rao, 1982) reported that the influence of the root on
soil microbes starts immediately after seed germination
which increases as the plant grow and reach maximum
when plans have reaches the peak of the vegetative growth
Stenton cit. Mukerji and Subba-Rao (1982) proposed
that the roots of higher plants provide an ecological niche to
soil microbes within the soil. Mishara (1969) also reported
that different plant species grown in the same type of soil
could harbor different microbes in the rhizosphere.
CONCLUSSION
3

The microbial population range from 5.0x10 -7.5x10


cells of bacteria/g of soil and 5.0x103-1.5x107 cells of
bacteria/g of soil for phosphate-solubilizing bacteria and
nitrogen-fixing bacteria respectively. There were 17 isolates
which have been identified till genus and species. The
isolated microorganism were identified as PSB i.e. Bacillus
sp., B. pantothenticus, B. megatherium, Flavobacterium sp.,
F. breve, Klebsiella sp., K. aerogenes, Chromobacterium
lividum, Enterobacter alvei, E. agglomerans, Pseudomonas
sp., Proteus sp. and as NFB i.e. Azotobacter sp., A.
chroococum, A. paspali, Rhizobium sp., and Azospirillum sp.
REFERENCES
Berreiner, D.J. and J.M. Day. 1976. Assosiative symbioses and free living
system. In: Newton, W.E. and C.J. Nyman (eds). Proceedings of the 1st
International Symposium on Nitrogen Fixation. Pullman: Washington
State University Press.
Elmerich, C. 1984. Molecular Biology and Ecology of Diazotrophs associated
with non-leguminous plants. Biotechnology 2: 967-978.
Gaur, A.C. 1981. Phospho microorganism and various transformation in
compost technology, Project Field Document No. 13. Rome: FAO.
Zahran, H.H. 1999. Rhizobium-legume symbiosis and Nitrogen-fixation
under severe conditions and in an arid climate. Microbiology and
Molecular Biology Reviews: 968-989.
Jha, D.K., G.D. Sharma, and R.R. Mishara. 1992. Ecology of soil micro-flora
and mycorrhizal symbionts. Biological Fertility of Soils 12: 272-278.
John, L., D. Herms, B. Stinner, and H. Hostink. 2001. Mulch effect on soil
microbial activity, nutrient cycling, and plant growth in ornamental
landscape. Ornamental Plant Annual Report and Research Reviews
2001. Ohio state: The Ohio State University.
Krieg, N.R. and J.G. Holt. 1984. Bergeys Manual of Systematic Bacteriology.
Vol. 1. Baltimore: Williams and Wilkins.
Kucey, R.M.N. 1983. Phosphate-solubilizing bacteria and fungi in various cultivated
and Virgin Alberta soils. Canadian Journal of Soil Science 63: 671-678.
Mishara, R.R. 1969. Nature of rhizosphere fungal flora of certain plants. Plant
and Soil 37: 162-166.
Mukerji,K.G. and N.S. Subba Rao. 1982. Plant surface microflora and plant
nutrition. In: Subba Rao, N.S. (ed.). Advances in Agricultural
Microbiology. Oxford: Oxford & IBH Publishing Co.
Okon, Y., S.L. Albrecht, and R.H. Burris. 1977. Methods for growing Spirillum
lipoferum and for counting it in pure culture and in association with
plants. Journal of Applied Environmental Microbiology 33: 85-88.
Okon, Y. 1985. Azzospirillum as a potential inoculant for inoculant for
agriculture. Trends in Biotechnology 3: 223-228.
Okon, Y. and C.A. Labandera-Gonzales. 1994. Agronomic application of
Azospirillum; an evolution of 20 years worldwide field inoculation. Soil
Biology and Biochemistry 26:1591-1601.
Ravina, M.D., M.J. Acea, and T. Carballas.1992. Seasonal fluctuations in
microbial populations and aviable nutrients in forest soil. Biological
Fertility of Soils 16: 198-204.
Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Subba Rao, N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Sundara Rao, W.V.B. and M.K. Sinha. 1963. Phosphate dissolving
microorganism in the soil and rhizosphere. Indian Journal of Agricultural
Science 33: 272-278.
Taha, S.M., S.A.Z. Mahmoud, A. Halim E. Damaty, and A.M.A. El Hafez.
1969. Activity of phosphate dissolving bacteria in Egyptian soils. Plant
and Soil 31: 149-160.
Vincent,J.M. 1982. Enumeration and determination of growth. In Vincent,
J.M. (ed.). Nitrogen Fixation in Legumes. Sidney: Academic Press.
Thompson, J.P. 1989. Counting viable Azotobacter chroococcum in
vertisols. Plant and Soil 117: 9-16.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 178-180

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Optimalisasi Media untuk Jumlah Daun dan Multiplikasi Tunas


Lidah Buaya (Aloe vera) dengan Pemberian BAP dan Adenin
Medium optimization for leaf numbers and shoot multiplication of lidah buaya (Aloe
vera) by BAP and adenine supplement
LAELA SARI
Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911.
Diterima: 15 Juli 2004. Disetujui: 2 Pebruari 2005.

ABSTRACT
Aloe vera of the Aloeaceae is originated from Canary Island (West Africa). This plant is commonly know in Indonesia and cultivated in large
fields or in the house yard for many purposes, such as ornamental and medicine plant. The industries using it as the principle raw material
has became more important due to the significant benefits of this plant. This study is purposed to obtain the medium optimization for leaf
numbers and shoot multiplication of Aloe vera by BAP and adenine supplement. The shoot of Aloe vera was taken from green house of
Biotechnology-LIPI. Shoots sterilized by clorox (sodium hypochlorite) solution 35% and 20% for 30 and 15 min. until get aseptic shoot (in
vitro plants). The shoot isolated from in vitro plant into MS (Murashige and Skoog) medium in different concentration of BAP and adenine.
The research used factorial Completely Randomized Design with two factors (BAP concentration: 0; 0.5; 1; 1.5; 2 mg/L and adenine
concentration 0; 10; 20 mg/L) with 5 replicates. The results obtained have showed that addition 20 mg/L adenine to MS raise the numbers
of leaf. The shoot multiplication has been augmented by addition of BAP 1 mg/L and adenine 20 mg/L. The results showed that BAP has a
positive role in increasing shoot multiplication rate and that adenine has a synergic effect when added together with BAP.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: optimization, Aloe vera, BAP, adenine, in vitro tissue culture.

PENDAHULUAN
Lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu dari 10
jenis tanaman di dunia yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan sebagai tanaman obat dan bahan baku
industri (Atherton, 1998; Wahjono dan Koesnandar, 2002).
Tanaman ini dapat dijumpai di seluruh Indonesia dan
umumnya dibudidayakan sebagai tanaman obat keluarga
sekaligus tanaman hias pot atau pekarangan.
Lidah buaya memiliki daun berwarna hijau berlapis lilin
putih, berbentuk agak runcing seperti taji dengan tepi daun
bergerigi/berduri kecil. Pemanfaatan lidah buaya sebagai
bahan kosmetika dan obat tradisional telah dilakukan sejak
1400 SM, terutama untuk penyubur rambut, penghalus dan
pengencang kulit, obat anti inflamasi, anti jamur, anti bakteri
dan regenerasi sel. Akhir-akhir ini diketahui bahwa lidah
buaya juga berfungsi menurunkan kadar gula darah, obat
kanker dan mengontrol tekanan darah, mengatasi stres dan
kecanduan, serta merupakan nutrisi pendukung bagi
penderita HIV (Atherton, 1998; Pangabean, 2002).
Lidah buaya dikenal dengan sebutan the miracle plant
(tanaman ajaib), karena dapat menyembuhkan berbagai
macam penyakit (Plaskett, 2000; Sumarno, 2002). Bahan
aktif yang dikandungnya antara lain adalah aloin,
glukomannan, acemannan, aloe-emodin, aloenin, folocin,
asam sinamat, yang memiliki efek farmakologi sebagai anti
radang, anti pencahar, anti diabetes, anti kanker, anti
inflamatori, dan anti bakteri. Prospek pengembangan
tanaman lidah buaya sangat cerah mengingat jenis ini telah
Alamat korespondensi:
Jl Raya Bogor Km 46 Cibinong-Bogor 16911
Tel.: +621-8754587. Fax.: +621-8754588.
e-mail: laelasari@yahoo.com.

dimanfaatkan dalam bidang kedokteran di 23 negara dan


tercantum dalam Daftar Tanaman Obat Prioritas WHO
(Anonim, 2000; Tarigans, 2001; Wahjono dan Koesnandar 2002).
Multiplikasi lidah buaya biasanya dilakukan melalui
pemisahan anakan, stek batang, dan dengan teknik kultur
jaringan. Akibat dari perbanyakan vegetatif yang dilakukan
secara terus menerus dalam jangka panjang tersebut,
variasi genetik lidah buaya menjadi sempit. Pemuliaan lidah
buaya hampir tidak pernah dilakukan, namun silangan
alami mungkin dapat ditemukan di daerah pembudidayaan.
Untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan bibit,
sejalan dengan berkembangnya industri berbahan baku
lidah buaya, kiranya perlu dikembangkan teknologi in vitro
yang efisien bagi perbanyakan tanaman lidah buaya.
Teknik tersebut kelak dapat diterapkan pada varietas
terpilih yang berdaya produksi atau mengandung bahan
aktif tinggi. Menurut George dan Sherrington (1984) dan
Yusnita (2003), kultur jaringan tanaman merupakan teknik
menumbuhkembangkan bagian tanaman baik berupa sel,
jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro.
Meskipun pada prinsipnya semua sel dapat ditumbuhkan,
sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan
mudah tumbuh seperti anakan atau mata tunas.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari media yang
optimal bagi pertambahan jumlah daun dan tunas lidah
buaya dengan BAP dan adenin pada media MS.

BAHAN DAN METODE


Bahan tanaman
Bahan eksplan berupa tunas pucuk lidah buaya kultivar
kecil, tinggi 3-4 cm dari rumah kaca Pusat Penelitian
Bioteknologi, LIPI, Cibinong-Bogor.

SARI Optimalisasi media tumbuh Aloe vera

Sterilisasi eksplan
Tunas pucuk lidah buaya dicuci bersih dengan air
mengalir, lalu direndam dalam larutan sabun (sunlight)
selama 5 menit dan direndam dalam larutan klorox 35%
selama 30 menit. Selanjutnya tunas dicelupkan dalam
larutan alkohol 70% selama 2 menit, dan dalam larutan
klorox 20% selama 15 menit. Pekerjaan terakhir ini
dilakukan dalam laminar air flow cabinet. Setelah itu
eksplan tersebut dibilas beberapa kali dengan akuades
steril agar bersih dari sisa-sisa klorox dan alkohol.
Media tumbuh
Media dasar Murashige dan Skoog (MS) (1962), yang
dilengkapi dengan gula 30 g/L, agar Gelrite 2,5 g/L serta zat
pengatur tumbuh (ZPT) BAP 1 mg/L (media inisiasi) digunakan untuk menginduksi penggandaan tunas in vitro. Tunas
yang dihasilkan digunakan sebagai bahan eksplan. Media
tersebut diatur keasamannya pada pH 5,7, diberi agar, lalu
diautoklaf pada suhu 121C dan tekanan 1 atm selama 15
menit, kemudian disimpan selama 3 hari untuk mengeliminasi media yang terkontaminasi jamur atau bakteri. Untuk
menginduksi penggandaan tunas in vitro lidah buaya, maka
dicari kombinasi hormon BAP dan adenin yang optimal
(media perlakuan) dalam berbagai konsentrasi (Tabel.1).
Tabel 1. Media perlakuan BAP dan adenin.
BAP (mg/L)
0
0,5
1
1,5
2

0
1
4
7
10
13

Adenin (mg/L)
10
2
5
8
11
14

20
3
6
9
12
15

Penanaman eksplan
Tunas pucuk yang telah disterilkan dibuang daun-daun
luarnya, sehingga diperoleh pucuk tunas berukuran 1-2
cm. Tunas tersebut ditumbuhkan dalam media tumbuh awal
(MS + BAP 1 mg/L), lalu diinkubasikan dalam ruangan
bersuhu 25C yang diberi pencahayaan dari lampu TL
selama 16 jam per hari sampai terbentuk tunas baru untuk
eksplan, kemudian tunas yang baru (dengan 2 daun)
ditumbuhkan kembali pada media tumbuh (Tabel 1).
Rancangan penelitian
Data penelitian disusun dalam Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 5 ulangan dan pola faktorial
(Gasperz, 1991), dengan dua faktor yaitu faktor BAP dan
adenin. Perlakuan yang diberikan meliputi konsentrasi BAP

179

(0; 0,5; 1; 1,5; 2 mg/L) dan konsentrasi adenin (0; 10; 20


mg/L). Pengamatan dilakukan terhadap jumlah daun dan
jumlah tunas seminggu sekali sampai data yang diperoleh
tidak berubah lagi. Data dianalisis dengan Analisis Sidik
Ragam dan Uji Lanjut Tukey pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertambahan jumlah daun
Hasil analisis data pertambahan jumlah daun pada
minggu ke-1 s.d. ke-3, menunjukkan tidak ada perbedaan
yang nyata, maka hanya data minggu ke-4 s.d. ke-10 yang
ditampilkan. Tahap inisiasi (pada media inisiasi) tidak
diamati, yakni minggu ke-1 s.d. ke-4 setelah tanam.
Pengamatan dilakukan pada media perlakuan mulai minggu
ke-1 s.d ke-10. Dalam waktu 1 minggu tunas yang
ditumbuhkan pada media perlakuan, tampak mulai
menghijau dan jumlah daunnya bertambah 1-2 helai (awal
tanam daun berjumlah 2 helai) sampai minggu ke-8.
Pertambahan jumlah daun pada minggu ke-9 s.d. ke-10
tidak berbeda nyata (Tabel 2.), sehingga dilaksanakan
pemanenan pada minggu ke-10.
Secara umum, perlakuan BAP tidak berpengaruh terhadap pertambahan jumlah daun. Perlakuan 3 (MS + adenin
20 mg/L) menunjukkan hasil yang tertinggi dengan nilai
rata-rata 7,8 dibandingkan dengan ke-14 perlakuan lainnya
(Tabel 2.). Hal ini diduga karena tanpa penambahan BAP,
yang sangat berperan dalam multiplikasi tunas, maka
tanaman dapat berkonsentrasi dalam penambahan jumlah
daun. Pada perlakuan kontrol/perlakuan 1 (MS tanpa ZPT)
jumlah daun juga cukup banyak dengan rata-rata 6,6.
Media tanpa BAP (perlakuan 1, 2 dan 3) juga menghasilkan
pertambahan jumlah daun yang tinggi, sehingga peran BAP
tidak nampak pada pertambahan jumlah daun.
Pertambahan jumlah daun rata-rata paling sedikit tampak
pada perlakuan MS + 2 mg/L BAP + 10 mg/L adenin dan
MS + 2 mg/L BAP + 20 mg/L adenin. Hal ini menunjukkan
bahwa penambahan BAP yang terlalu tinggi (2 mg/L) dapat
menghambat pertambahan daun (Tabel 2.). Perlakuan MS
+ 2 mg/L BAP + 10 mg/L adenin dan MS + 2 mg/L BAP +
20 mg/L adenin tidak meningkatkan jumlah daun (jumlah
daun tetap) dari minggu ke-7 s.d. ke-10. Sedangkan pada
media MS tanpa BAP (kontrol), MS + adenin 10 dan 20
mg/L jumlah daun meningkat sampai minggu ke-10. Hal ini
menunjukkan bahwa pengaruh BAP yang berperan dalam
menggandakan tunas lebih kuat, sehingga pada media
yang mengandung BAP penggandaan tunas lebih menonjol
daripada pertambahan jumlah daun.

Tabel 2. Pengaruh hormon BAP dan adenin terhadap jumlah pertambahan daun lidah buaya (umur 1-10 minggu).
Minggu ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1. Kontrol
3,6 a
4,4 a 4,6 a
5 bcde
5,8 ef
6,2 de 6 cd
6 def
6,6 ef
6,6 ef
2. Adenin 1
3,2a
4,4 a 5,2 a
5,2cde
6f
62 de 6,4 de 6,6 fg
6,4 ef
6,4 ef
3. Adenin 2
3,2a
4,6 a 5 a
5,4 de
6,2 f
6,6 e
7,2 e
7,6 g
7,8 f
7,8 f
4. BAP 0,5
3,4a
3,8 a 4,4 a
5 bcde
5,4cdef
5,2 cd 5,4 bcd 5,4 bcde 5,8 cde
5,8 cde
5. BAP 0,5+ Adenin 1
2,4a
3,8 a 4 a
5,6 e
5,4cdef
5,4 cd 5,4 bcd 5,4 bcde 6 de
6 de
6. BAP 0,5+ Adenin 2
3a
4a
4,4 a
4,4 ab
4,6abc
4,8 abc 4,6 ab 4,6 abc
4,8 abcd 4,8 abcd
7. BAP 1
3,4a
4,4 a 4a
4,6 abc
5 bcde
5 bc
5,2 bc 5,8 bcde 5,6 bcde 5,6 bcde
8. BAP 1+ Adenin 1
3,2 a
3,6 a 3,4 a
4,6 abc
5 bcde
5 bc
5,4 bcd 5,6 cdef 5,6 cde
5,6 cde
9. BAP 1+ Adenin 2
3a
3,6 a 4,2 a
5,4 de
5,6 def
6 de
6,2 de 6,2 ef
6,2 e
6,2 e
10. BAP 1,5
3a
3,8 a 3,6 a
4,4 ab
5 bcde
5 bc
5b
5 bcd
4,6 abc
4,6 abc
11. BAP 1,5+ Adenin 1
3,8 a
4,2 a 4,4 a
4,8abcd
4,8 abcd
4,8 abc 4,8 ab 4,8 abc
4,8 abcd 4,8 abcd
12. BAP 1,5+ Adenin 2
3,4 a
3,8 a 3,8 a
5,2cde
5 bcde
5 bc
5b
5 bcd
4,6 abc
4,6 abc
13. BAP 2
3a
3,8 a 3,8a
4,8 abcd
4,8 abcd
4,8 abc 4,8 ab 4,4 ab
4,2 ab
4,2 ab
14. BAP 2+ Adenin 1
3,4a
4,2 a 4 a
4,4 ab
4a
4a
4a
4a
4a
4a
15. BAP 2+ Adenin 2
3,6 a
4a
4,2 a
4,2a
4,2 ab
4,2 ab 4 a
4a
4a
4a
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak ada perbedaan nyata menurut uji Tukey
pada taraf 5%.
Perlakuan

180

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 178-180

Multiplikasi tunas
Pengamatan jumlah tunas lidah buaya yang ditanam
secara in vitro dengan pemberian beberapa konsentrasi
BAP dan adenin memperlihatkan pengaruh nyata, terlihat
pada Tabel 3. Tunas in vitro yang digunakan sebagai
eksplan dan dikulturkan pada berbagai media perlakuan
mulai tumbuh pada minggu ke-3. Pada minggu ke-4 tunas
sudah memiliki 2 daun dan tampak menjadi lebih hijau.
Multiplikasi tunas terjadi pada semua media yang
mengandung BAP dengan kisaran 0,5-2 mg/L, namun
jumlahnya berbeda-beda tergantung pada konsentrasi yang
diberikan (Tabel 3.).

Hasil analisis statistik, terlihat bahwa selain eksplan,


kadar BAP media mempunyai pengaruh pada pembentukan
tunas lidah buaya. Hal serupa terlihat pada pembentukan
tunas majemuk lidah buaya, yang menghasilkan tunas
paling banyak pada media MS + 1 mg/L BAP + 20 mg/L
adenin. Hal ini didukung oleh pendapat Hortman dan Kister
cit Agusta (1995) dan Wattimena (1998) mengatakan
bahwa sitokinin (BAP) berfungsi sebagai perangsang
pertumbuhan tunas, berpengaruh terhadap metabolisme
sel, pembelahan sel, merangsang sel, mendorong
pembentukan buah dan biji, mengurangi dormansi apikal,
serta mendorong inisiasi tunas lateral.

Tabel 3. Pengaruh hormon BAP dan adenin terhadap jumlah


rataan tunas lidah buaya (umur 10 minggu)

KESIMPULAN

Kadar hormon (mg/L)


Jumlah rata-rata tunas
BAP
Adenin
1
0
0
0,6 a
2
0
10
1,2 a
3
0
20
2,2 a
4
0,5
0
16,4 bcd
5
0,5
10
21,8 cde
6
0,5
20
24,2 de
7
1
0
27,0 d
8
1
10
29,8 ef
9
1
20
40,6 f
10
1,5
0
21,6 cde
11
1,5
10
21,4 cde
12
1,5
20
16,2 bcd
13
2
0
10,4 b
14
2
10
12,2 b
15
2
20
14,6 bc
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam
satu kolom menunjukkan tidak ada perbedaan nyata menurut uji
Tukey pada taraf 5%.

Penggandaan tunas yang terbaik diperoleh pada rasio


BAP 1 mg/L dan adenin 20 mg/L dengan nilai rata-rata
40,6. Tunas paling sedikit diperoleh pada media kontrol
dengan nilai rata-rata 0,6. Hasil ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi kadar BAP, maka tunas yang dihasilkan
semakin banyak, namun agar tunas tersebut dapat tumbuh
besar dan membentuk planlet, perlu disubkultur ke media
MS tanpa BAP. Penggunaan hormon BAP untuk menggandakan tunas secara in vitro banyak berhasil pada tanaman
hortikultura seperti pisang (Imelda, 1991; Yusnita dkk., 1996),
pepaya, jeruk, manggis (Litz dan Jaiswal, 1991), nanas bogor
(Yusnita dkk., 1999; Imelda dan Erlyandari, 2000), kentang
(Satria, 2004), dan durian (Satria dan Zainal, 2004).
Di antara berbagai hormon sitokinin sintetik, BAP paling
sering digunakan karena sangat efektif menginduksi pembentukan daun dan penggandaan tunas, mudah didapat
dan harganya relatif murah (George dan Sherrington,
1984). Pemberian adenin pada konsentrasi yang tepat,
bersama-sama dengan BAP mampu meningkatkan multiplikasi tunas lidah buaya. Proliferasi dan perpanjangan tunas
yang optimal dapat diperoleh dengan mengontrol rasio
konsentrasi BAP dan adenin. Tabel 3 menunjukkan bahwa
perbandingan sitokinin (BAP) dan adenin pada konsentrasi
yang tepat, sangat menentukan daya multiplikasi tunas in
vitro lidah buaya.
Jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang
digunakan adalah salah satu penentu keberhasilan kultur
jaringan atau kultur in vitro secara umum. Selain itu, faktor
lain yang juga mempengaruhi pertumbuhan tunas adalah
umur eksplan. Dalam penelitian ini umur lidah buaya yang
digunakan sebagai eksplan adalah 4 bulan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Tisserat dkk. (1979) yang menyatakan
bahwa umur fisiologis eksplan sangat penting dalam
menentukan keberhasilan kultur jaringan.

Media optimum bagi penambahan jumlah daun lidah


buaya adalah media MS + adenin 20mg/L (perlakuan 3)
dengan nilai rata-rata 7,8. Media optimum bagi multiplikasi
tunas lidah buaya adalah media MS + BAP 1 mg/L + adenin
20 mg/L (perlakuan 9) dengan nilai rata-rata 40,6.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
2000.
Lidah
Buaya
( Aloe
vera
L.).
http://www.asiamaya.com/jamu/isi/ lidahbuaya_aloevera.htm
Atherton, P. 1998. Aloe vera-mith or medicine?. http://www.positivehealth.
com/permit/articles/aloe%20vera/atherton.htm.
Agusta, Y. 1995. Pengujian Beberapa Konsentrasi Paclobutrazol dan BAP
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Umbi Mini Kentang. Padang: Fakultas
Pertanian Universitas Andalas.
Gasperz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan Untuk ilmu-ilmu
Pertanian, Teknik, Biologi. Bandung: Armico.
George, E.F. and P.D. Sherrington. 1984. Plant propagation by Tissue
Culture, Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Reading,
UK.: Eastern Press.
Imelda, M. 1991. Penerapan teknologi in vitro dalam penyediaan bibit pisang.
Prosiding Seminar Bioteknologi Perkebunan dan Lokakarya Biopolimer
Untuk Industri. PAU Bioteknologi, IPB, Bogor 15-16 Februari 1991.
Imelda, M. dan F. Erlyandari. 2000. Produksi bibit nanas bogor (Ananas
comosus (L) Merr.) melalui proliferasi tunas. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi III, Puslitbang Bioteknologi,
LIPI, Cibinong, 7-9 Maret 2000.
Litz, R.E and V.S. Jaiswal. 1991. Micropropagation of tropical and subtropical
fruit. In: Deberg, P.C. and R.H. Zimmerman (eds.), Micropopagation,
Technology and Application. London: Kluwer Academic Publishers.
Murashige, T. and F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and
bioassays with tobacco tissue cultures. Plant Physiology 15: 473-497.
Pangabean, F.I. 2002. Lidah Buaya Sembuhkan Bermacam Penyakit Berat.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=37868. 9 Nopember
2002.
Plaskett, L. 2000. Aloe vera, Aloe in Alternative Medicine Practice.
http://www.wholeleaf.com/aloevera/plaskett.htm.
Satria, B. 2004. Perbanyakan vegetatif klon kentang unggul (Solanum
tuberosum L.) dengan pemberian konsentrasi BAP pada media MS
melalui kultur jaringan. Jurnal Stigma 12 (1): 14-18.
Satria, B dan A. Zainal. 2004. Perbanyakan vegetatif durian aripan (Durio
zibethinus Murr.) melalui regenerasi kalus in vitro. Jurnal Stigma 12 (1):
19-24.
Sumarno. 2002. Program Pengembangan lidah buaya di Indonesia.
Pertemuan Nasional Pengembangan Lidah Buaya, Pontianak 21-22
Juni 2002. Pontianak: Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak Kalimantan
Barat.
Tarigans.
D.D.
2001.
Lidah
buaya,
Si
Tanaman
Ajaib.
http://www.MagelangBaru.mht/lidahbuaya.htm.
Tisserat. E., E.B. Esan, and T. Murashige. 1979. Somatic Embryogenesis in
Angiosperms. In: Janick, J. (ed.). Horticultural Reviews, Vol. 1. Wesport:
Avi Publishing Company.
Wahjono, E. dan Koesnandar. 2002. Mengebunkan Lidah Buaya secara
Intensif. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Wattimena, G.A. 1998. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor: PAU Institut
Pertanian Bogor.
Yusnita, Aprianita, dan D. Hapsoro. 1999. Pengaruh benzyladenine dan
naphthaleneacetic terhadap perbanyakan tunas nanas (Ananas
comosus L.) in vitro. Jurnal Agrotropika 4 (2): 6-10.
Yusnita, 2003. Kultur Jaringan. Cara memperbanyak tanaman secara efisien.
Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Yusnita, K. Mantja, dan D. Hapsoro. 1996. Pengaruh benziladenin, adenin
dan asam indol asetat terhadap perbanyakan tunas pisang ambon
kuning secara in vitro. Jurnal Agrotropika 1 (1): 29-32.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 181-184

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Mawar Hijau (Rosa x odorata viridiflora) di Kebun Raya Bali:


Biologi Perbungaan dan Perbanyakannya
Rosa x odorata viridiflora (green rose) in Bali Botanical Garden: biological
phenology and its propagation
HARTUTININGSIH-M. SIREGAR, I PUTU SUENDRA, MUSTAID SIREGAR
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tabanan, Bali 82191.
Diterima: 15 Desember 2004. Disetujui: 17 Mei 2005.

ABSTRACT
Rosa x odorata viridiflora (green rose) was one of rose collection in Bali Botanical Garden. This shrub had shiny, dark green leaves and
sprays of rossete-shaped, double flowers, 4-5 cm across, green ageing to purplish green, with narrow petals that resemble sepals.
Phenology flower research was begin from the growth phase and the development until the flower was fall, every phase was identified with
one or more changing. Vegetative reproduction should take over for propagation purpose. Vegetative propagation was done by cutting
about 15 cm long and 0.8-1.0 cm diameter. The study was carried out in the greenhouse of Bali Botanic Garden by using Completely
Randomized Design with 5 treatments: rootone F powder, atonik 1 mL/L, atonik 2 mL/L, IBA 1 mg/L, NAA 1 mg/L and control. Each
treatment was done 3 replication had 5 pieces of cutting. The result of research indicated that cutting more responsive to rootone F with
highest cutting persentage (66,67%), highest to buds (25 days after planting) and to fast flowering (147 days after planting). Green rose is
one of more flowers is not interested by pollinator insect.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: green rose, Rosa x odorata viridiflora, phenology.

PENDAHULUAN
Marga Rosa (Rosaceae), terdiri dari 150 jenis tanaman
yang berbentuk perdu dan memanjat, beberapa jenis
merupakan tanaman budidaya. Mawar tersebar luas di
Asia, Eropa, Afrika Utara, dan Amerika Utara. Batang
mawar umumnya berduri, daun tersusun berseling,
bergerigi, panjang antara 2,5-18 cm. Bunga mawar
merupakan bunga yang atraktif, harum, dan tersusun
membentuk payung. Mawar merupakan tumbuhan yang
dapat tumbuh di daerah dingin atau panas. Mawar sangat
toleran terhadap kondisi lingkungan; tumbuh sangat baik
pada tanah yang subur, kaya humus, dengan drainase dan
kelembaban yang baik. Untuk menghasilkan bunga yang
baik, pemupukan dilakukan secara berimbang setiap 3
minggu sekali. Kultivar mawar merupakan persilangan
antara jenis-jenis mawar, yang jumlahnya dapat mencapai
ribuan kultivar (Brickell, 1996).
Tajuk bunga mawar atau mahkota bunga (corolla) terdiri
dari beberapa helai daun tajuk (petala). Daun tajuk lebih
halus, lemas dan indah warnanya. Pada mawar terdapat
daun tajuk yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada
daun kelopak. Kehalusan, warna, dan bentuk tajuknya
menentukan kecantikan bunga. Warna bunga yang unik
akan sangat digemari, warna-warni bunga mawar sangat
didominasi warna merah (ruber), putih (albus), dan kuning
(flavus). Warna-warna tersebut merupakan hibrid bunga

Alamat korespondensi:
Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191.
Tel. & Fax.: +62-368-21273.
e-mail: direkbg@singaraja.wasantara.net.id.

mawar yang umum dijumpai. Warna bunga dapat dijadikan


daya tarik bagi hewan penyerbuk. Warna merah sering
didatangi kupu-kupu, putih dikunjungi lebah, sedangkan
hijau didatangi burung. Warna tidak mutlak menjadi daya
tarik terhadap serangga, aroma bunga juga merupakan
daya tarik tersendiri (Kartapraja, 1997).
Taman Mawar (rose collection) Kebun Raya Bali
menampilkan koleksi mawar dari berbagai jenis/kultivar,
2
yang menempati suatu areal khusus seluas 1.200 m
terletak di vak VII DII. 10, VII D II. 11 dan VII.12. Ada sekitar
950 sampai dengan 1.100 tanaman mawar yang ditanam
baik mawar lokal maupun hibrid, antara lain dari Belanda R.
fedtschencoana Regel, R. multiflora Thumb. ex Murr., dan
R. sweginzowii Koechne (Arinasa dan Astuti, 1999). Bunga
mawar lokal, umumnya berukuran kecil-kecil, warna pink,
putih susu, putih kemerahan, dan putih kekuningan. Mawar
hibrid memiliki lebih banyak variasi warna, di samping
memiliki bunga yang besar, warnanya juga menarik,, yaitu:
merah tua, merah santan, kuning tua, kuning muda, orange,
dan putih. Kebun Raya Bali memiliki koleksi mawar unik,
yaitu: mawar hijau (viridis), bunga ini tersusun dari tajuk
yang berwarna hijau.
Di Bali mawar hijau jarang dijumpai, beberapa informasi
mengatakan pernah tumbuh di daerah Kintamani, tetapi
saat ini keberadaannya tidak diketahui lagi. Mawar hijau
(Rosa x odorata viridiflora) atau populer dengan nama
green rose, tingginya berkisar 75 cm, daun hijau,
mengkilap, merupakan persilangan antara (R. chinensis x
R. gigantea) (Brickell, 1996). Tanaman ini berupa semak,
batang berduri, daun hijau dengan anak daun 3-5 bentuk
lonjong panjang 4-6 cm, bunga muncul pada ranting kecil,
membentuk roset dengan bunga tumpuk diameter sekitar 4-

182

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 181-184

5 cm, warna hijau, ungu lembayung hijau, dengan kelopak


menyerupai mahkota bunga (Brickell, 1996).
Pada umumnya keluarga mawar diperbanyak secara
vegetatif, yaitu: dengan stek maupun cangkok. Untuk
mempercepat terbentuknya akar diperlukan penambahan
zat pengatur tumbuh (ZPT). Beberapa zat pengatur tumbuh
yang dikenal dan sering digunakan adalah atonik dan
rootone F. Atonik adalah zat pengatur tumbuh yang
mengandung senyawa nitroaromatik, mengandung natrium
ortho nitrofenol 0,2%, natrium 2,4 dinitrofenol 0,05%,
natrium para nitrofenol 0,3%, natrium 5 nitro guaikolat
0,1%. Zat ini berfungsi merangsang proses fisiologi dan
metabolisme, sehingga unsur hara di dalam tanaman dan
hasil serapan dimanfaatkan secara optimal dan berimbang.
Pemberian larutan Atonik 2 mL/L dapat memberikan
pengaruh nyata pada penambahan tinggi tanaman, jumlah
daun, jumlah akar serta kadar klorofil daun meniran (Moko
dkk., 1993).
Rootone F, yang diformulasikan oleh Agrocarb adalah
zat pengatur tumbuh sintetik berupa serbuk warna putih
yang mengandung naftalenasetamida (NAD) 0,067%, 2
metil 1 naftalenasetamida (NAA) 0,013%, 2 metil 1
nafthalen asetat (MNAA) 0,033%, indol 3 butirat (IBA)
0,057%, bahan aktif tersebut termasuk dalam golongan
auksin, sedangkan tetramethilthiuram disulfida (thiram) 4%,
berfungsi sebagai fungisida (Sudrajat dan Wahyono, 2002).
Hormon tumbuh IAA, IBA, dan NAA adalah suatu
senyawa sintetis yang dapat mendorong pembentukan akar
pada stek. Auksin adalah salah satu hormon pertumbuhan
yang mempunyai pengaruh paling besar pada pertumbuhan
akar (Hartman dkk., 1997; Gardner dkk., 1991; Salisbury
dan Ross, 1992). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
(i) proses pembungaan bunga mawar hijau, (ii) serangga
pengunjung bunga mawar hijau dan (iii) proses
perbanyakan bunga mawar hijau dengan zat pengatur
tumbuh. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini
diharapkan dapat menunjang dalam teknik perbanyakan
dan pengembangannya.

BAHAN DAN METODE


Pengamatan pembungaan mawar hijau
Pengamatan pembungaan mawar hijau dilakukan di
Taman Mawar Kebun Raya Bali, pada satu periode
pembungaan mulai bulan Juni 2002 sampai dengan
Pebruari 2003, dengan mengambil 3 koleksi tanaman yang
terletak di vak VII. Pengamatan morfologi dilakukan dengan
mata telanjang dan dengan kaca pembesar. Tahap
pertumbuhan dan perkembangan kuncup bunga dimulai
sejak kuncup dapat dibedakan dengan tunas daun, setiap
tahap dicirikan dengan satu atau lebih perubahan bagian
kuncup. Jangka waktu, ukuran dan perkembangan bunga
dicatat
pada
masing-masing
tahap.
Pengamatan
pembungaan meliputi jumlah kuncup bunga, mulai
berbunga, lamanya bunga mekar, dan bunga gugur pada
setiap periode waktu.
Pengamatan serangga pengunjung
Pengamatan penyerbukan dilakukan tanggal 1 Oktober
sampai dengan 8 Oktober 2003 setiap hari mulai pukul
09.00 sampai dengan 15.00 WITA dengan mencatat jenis
dan jumlah serangga pengunjung.
Perbanyakan vegetatif mawar hijau
Penelitian dilakukan di rumah kaca Pembibitan Kebun
Raya Bali dengan menggunakan Rancangan Acak

Lengkap. Bahan penelitian yang digunakan adalah stek


batang panjang 15 cm, diambil dari bagian tengah batang,
diameter 0,8-1,0 cm dengan ujung pangkal miring.
Perlakuan terdiri dari: A= rootone F serbuk, B= atonik 1
mL/L, C= atonik 2 mL/L, D= IAA 1 mg/L, E= IBA 1 mg/L, F=
NAA 1 mg/L, K= kontrol. Masing-masing perlakuan 3
ulangan, setiap ulangan 5 stek. Semua stek direndam
dalam larutan zat pengatur tumbuh selama 1 jam.
Sedangkan untuk perlakuan rootone F serbuk, sebelumnya
pangkal stek dibasahi dengan air kemudian dilumuri
dengan rootone F secukupnya secara merata. Setelah
perlakuan diterapkan stek ditanam pada polibag berisi
campuran tanah, kompos, dan pasir dengan perbandingan
1: 1: 1. Pengamatan dilakukan terhadap saat keluarnya
tunas, persentase stek yang bertunas, jumlah tunas dan
jumlah daun. Selanjutnya pertumbuhan tanaman diamati
sampai terbentuknya bunga (12 bulan). Untuk menjaga
kelembaban dilakukan penyiraman dengan volume air yang
sama untuk masing-masing polibag.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pembungaan mawar hijau
Taman Mawar Kebun Raya Bali merupakan koleksi
jenis-jenis mawar dengan berbagai macam warna, areal ini
2
seluas 1200 m , dengan penataan berdasarkan warna
bunga. Koleksi mawar hijau merupakan koleksi yang paling
sedikit dan terletak di bagian timur. Pengamatan mawar
hijau diambil contoh 3 tanaman koleksi. Dari hasil
pengamatan dilaporkan bahwa pembungaan mawar terjadi
tidak serempak, akan tetapi mawar termasuk rajin
berbunga, tidak terpengaruh fluktuasi iklim. Pada musim
hujan maupun kemarau, tanaman ini rajin berbunga. Dalam
satu pohon rata-rata terdapat 23,4 bunga yang terdiri dari
kuncup 15,66, mekar 6,32 dan gugur 1,42. Hasil
pengamatan morfologi antara bunga mawar hijau dengan
mawar merah disajikan pada Tabel 1. Penampilan bunga
mawar hijau kurang menarik dibandingkan mawar merah,
dengan struktur bunga yang kasar dan berwarna hijau.
Tanaman ini kurang disukai oleh serangga pengunjung.
Tabel 1. Perbandingan morfologi bunga antara mawar hijau (Rosa
x odorata viridiflora) dengan mawar merah (Rosa sp.).
Parameter

Mawar hijau

Mawar merah

1.
2.
3.
4.
5.
6.

5
4-5
hijau
agak kasar
banyak
kecil-kecil
(1-2,5): (0,4-0,5)
bergerigi
menempel, termodifikasi menjadi
tajuk bunga

5
6-7
merah
halus
5-banyak
agak lebar
(2-3,5): (2,4-3,5)
halus
berdiri sendiri,
banyak

Kelopak bunga
Diameter bunga (cm)
Warna tajuk
Struktur tajuk
Jumlah tajuk
Ukuran tajuk bunga
panjang: lebar = p: l (cm)

7. Tepi tajuk bunga


8. Letak benang sari

Tahapan pertumbuhan bunga


Pertumbuhan dan perkembangan bunga mawar hijau
dari kuncup (seluruh bagian terbungkus oleh kelopak
bunga) sampai berakhirnya perbungaan (ditandai dengan
seluruh mahkota bunga gugur) memerlukan waktu 75 hari.
Perkembangan kuncup bunga sampai menjadi bunga
mekar penuh dibagi dalam 4 tahapan (Gambar 1), yaitu:

SIREGAR dkk. Rosa x odorata viridiflora di Kebun Raya Bali

183

Gambar 1. Tahapan perkembangan bunga mawar hijau. A. tahap


pertama (kuncup), B. tahap kedua (kuncup mengembung), C.
tahap ketiga (kuncup pecah), D. tahap keempat (mekar penuh).

Tahap pertama: kuncup. Bunga masih berbentuk kuncup, merupakan tahap perlindungan proses pembungaan,
seluruh bagian bunga dilindungi oleh kelopak dengan bulubulu yang halus. Sepintas berbentuk seperti tunas, bagian
ujung meruncing. Rasio panjang:lebar kuncup sekitar 1,01,5 cm: 0,3-0,5 cm, tahap ini berlangsung sampai 14 hari.
Tahap
kedua:
penggembungan
kuncup.
Perkembangan kuncup mulai kelihatan normal, kelopak
bunga mulai pecah dan membuka, berwarna hijau. Tajuk
bunga jelas terlihat berwarna hijau. Ukuran kuncup bunga
bertambah menggelembung dengan ukuran panjang x lebar
= 2,5-3,0 x 0,7-1,0 cm. Tahap ini memerlukan waktu hingga
19 hari. Irisan membujur memperlihatkan organ reproduksi
mulai terbentuk. Benang sari dengan tangkai sari berwarna
kekuningan panjang sekitar 0,5 cm terbungkus rapat oleh
lembaran-lembaran tajuk yang berwarna kuning kecoklatan,
semakin ke arah luar warna tajuk semakin berubah menjadi
kehijauan. Kenampakan morfologi kuncup ini berwarna
hijau dengan bagian kelopak sudah membuka dan terjuntai.
Tahap ketiga: kuncup pecah. Kelopak bunga sudah
mulai terbuka ke arah bawah, diikuti membukanya tajuk
bunga, dimulai dari salah satu sisi bunga merekah, lalu
keluar tajuk bunga yang berukuran kecil berwarna hijau.
Proses membukanya tajuk berangsur-angsur terjadi,
membentuk lingkaran sampai terjadi 3 putaran tajuk,
selama sekitar 14 hari. Irisan membujur tahap ini tidak
memperlihatkan adanya benangsari. Perkembangan
selanjutnya ujung tangkai sari termodifikasi menjadi tajuk
bunga, sangat jelas sekali tangkai sari masih ada berwarna
keputih-putihan, sedangkan bagian ujungnya berwarna
hijau membentuk lembaran meruncing, semakin keluar
ukurannya semakin lebar membentuk tajuk bunga. Bakal
buah sangat jelas. Pada tahap ini ukuran bunga semakin
besar sekitar panjang x lebar bunga = 3,0-3,3 x 2,0-2,3 cm.
Tahap keempat: mekar penuh. Bunga mulai mekar
penuh, ukuran sudah mantap dengan diameter 5-7 cm,
warna tajuk hijau, tepi bergerigi (Gambar 2). Dari tahap
ketiga menuju keempat diperlukan waktu sekitar 28 hari.
Mawar hijau termasuk jenis mawar yang paling lama
mempertahankan bunga mekar, dapat mekar penuh sampai
25 hari, lalu berangsur-angsur mengalami pengguguran,
dimulai dari bagian dalam gugur satu persatu, sampai
akhirnya tajuk gugur semua, diikuti dengan gugurnya
kelopak bunga.
Dengan mempelajari tahapan pembungaan mawar
hijau, dapat disimpulkan bahwa bunga ini termasuk bunga
steril, benangsari terbentuk, tetapi pada perkembangan
selanjutnya berubah menjadi tajuk sehingga tidak terjadi
proses pembuahan, dan akhirnya tidak terbentuk biji.
Beberapa jenis mawar merah dan kuning (Rosa sp.) dapat
membentuk biji. Upaya perbanyakan mawar hijau hanya
dapat dilakukan secara vegetatif, dengan stek atau cangkok.

Gambar 2. Morfologi bunga mawar hijau (Rosa x odorata


viridiflora) tahap mekar penuh (A), dan irisan membujur (B).

Serangga pengunjung
Mawar hijau termasuk bunga mawar yang tidak disukai
serangga. Dalam pengamatan tidak dijumpai jenis
serangga yang secara rutin mengunjungi bunga ini,
kalaupun ada hanya sekedar hinggap kemudian terbang
lagi. Pengamatan serangga pengunjung dilakukan di lokasi
taman mawar, dengan koleksi mawar hijau terletak pada
petak paling ujung, kunjungan serangga maupun kupu-kupu
jarang sekali terlihat. Beberapa jenis kupu-kupu hanya
melintas di atas mawar hijau dan hinggap di mawar lain
yang mempunyai mahkota bunga lebih menarik dan
berwarna-warni (merah, putih, kuning, dan lain-lain).
Pengamatan juga dilakukan di lokasi pembibitan selama
delapan hari dimulai pada tanggal 1 Oktober sampai
dengan 8 Oktober 2003 setiap hari mulai pukul 09.00
sampai dengan 15.00 WITA. Perlu diketahui bahwa lokasi
pembibitan terdapat 35 tanaman yang sedang berbunga,
dengan lokasi di sebelah kanan lokasi pembibitan bunga
Liliaceae dan sebelah kiri Asteraceae, akan tetapi
kunjungan serangga juga masih sepi, beberapa jenis lalat
pada waktu pagi sekitar pukul 10.00 WITA pernah terlihat
menempel sebanyak 4 ekor, pada siang hari dengan udara
cerah jenis kupu-kupu juga tidak hinggap hanya melintas
dan kemudian hinggap di lokasi sebelahnya. Gambaran
sepintas lokasi pembibitan disiapkan untuk tanaman
berbunga semusim misalnya Amaryllidaceae (Crinum,
Hippeastrum, Hymenocallis), Cannaceae (Canna), Liliaceae
(Aloe, Lilium), Strelitziaceae (Heliconia), Asteraceae
(Chrysanthemum, Dahlia), Begoniaceae (Begonia), dan
lain-lain. Pengamatan kunjungan serangga pada saat hari
yang cerah, pernah ditemukan 6 jenis serangga yang
mengunjungi bunga. Pada pagi hari sekitar pukul 09.0011.00 WITA jenis kupu-kupu (1) hanya terbang melintas,
kemudian 2 jenis lalat hanya mengunjungi daun dan batang
saja sekitar 5-10 menit dengan jumlah 4 ekor, sejenis lebah
hanya hinggap, kemudian tercatat sejenis lalat yang juga
hinggap di bunga. Pengamatan pada siang hari sekitar
pukul 13.00-15.00 WITA kupu-kupu hanya lewat saja,
sedangkan lalat sebagai pengunjung setia hinggap di
bagian batang dan daun, kemudian mengunjungi bunga
hanya sekitar 1 menit saja.
Perbanyakan vegetatif mawar hijau
Dari hasil pengamatan (Tabel 2. dan 3.) rootone F
merupakan zat pengatur tumbuh yang dapat memacu
terbentuknya perakaran pada stek. Stek paling cepat
membentuk akar 25 hst (hari setelah tanam), persentase
stek yang tumbuh paling tinggi, yaitu: 66,70%.
Pertumbuhan selanjutnya menghasilkan tanaman yang kuat

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 181-184

184

dengan jumlah tunas paling banyak 7 tunas dibandingkan


kontrol. Jumlah tunas yang banyak mengakibatkan jumlah
daun juga meningkat 41 buah dan menghasilkan tanaman
yang paling cepat berbunga 147 hst. Rootone F mempunyai
bahan aktif yang merupakan senyawa organik yang
memiliki daya pengaturan pertumbuhan dan dapat
memperbanyak akar.

larutan atonik 2 mL/L dapat memberikan pengaruh nyata


pada penambahan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah
akar serta kadar klorofil daun meniran. Perlakuan IAA 1
mg/L dan IBA 1 mg/L, dapat memacu terbentuknya tunas,
dan persentase tunas yang tumbuh berturut-turut 50,00%
dan 58,33%. Pertumbuhan selanjutnya tanaman mulai
berbunga memerlukan waktu lama, 211 hst.

Tabel 2. Perlakuan zat pengatur tumbuh terhadap saat keluarnya


tunas, persentase stek bertunas (%) pada mawar hijau.

KESIMPULAN

Perlakuan
A: rootone F
B: atonik 1 mL/L
C: atonik 2 mL/L
D: IAA 1 mg/L
E: IBA 1 mg/L
F: NAA 1 mg/L
Kontrol

Saat keluarnya
tunas (hst)
25
25
25
29
25
45

Persentase
bertunas (%)
66,67
33,33
50,00
50,00
58,33
30,00

Tabel 3. Perlakuan zat pengatur tumbuh terhadap tinggi tanaman,


jumlah daun (umur 12 bulan) dan saat awal berbunga pada mawar
hijau.
Perlakuan
A:rootone F
B: atonik 1 mL/L
C: atonik 2 mL/L
D: IAA 1 mg/L
E: IBA 1 mg/L
F: NAA 1 mg/L
Kontrol

Tinggi
Tanaman
(cm)
86
62
62
92
66
58

Jumlah
tunas

Jumlah
daun

7
6
5
7
3
2

41
43
31
51
28
22

Saat awal
berbunga
(hst)
147
170
178
211
211
310

Perlakuan atonik 1 mL/L dan 2 mL/L dapat


mempengaruhi pertumbuhan stek, stek lebih awal tumbuh
25 hst. Konsentrasi atonik yang lebih tinggi, 2 mL/L,
menghasilkan jumlah stek yang bertunas sebanyak 50,00%
lebih tinggi dibandingkan konsentrasi yang lebih rendah,
yaitu: 1 mL/L hanya 33,33%. Pertumbuhan selanjutnya
tanaman mempunyai jumlah tunas yang cukup tinggi, yaitu:
pada perlakuan atonik 1 mL/L tinggi tanaman 62 cm, jumlah
tunas 6, jumlah daun 43 dan tanaman mulai berbunga pada
170 hst. Sedangkan pada perlakuan atonik 2 mL/L
menghasilkan tinggi tanaman 62 cm, jumlah tunas 5, jumlah
daun 31, dan mulai berbunga pada 178 hst (Tabel 1.).
Atonik mengandung senyawa nitroorganik yang berfungsi
merangsang proses fisiologi dan metabolisme sehingga
unsur hara di dalam tanaman dan hasil serapan dapat
dimanfaatkan secara optimal dan berimbang. Sesuai
dengan hasil penelitian (Moko dkk., 1993) pemberian

Mawar hijau (Rosa x odorata viridiflora) atau green


rose termasuk bunga yang steril, benangsari terbentuk
akan tetapi termodifikasi menjadi tajuk bunga. Pertumbuhan
dan perkembangan bunga dari kuncup sampai mekar
penuh memerlukan waktu 75 hari, bunga mekar dapat
bertahan sampai 25 hari. Perbanyakannya dapat dilakukan
dengan stek, rootone F serbuk merupakan zat pengatur
tumbuh yang dapat memacu terbentuknya perakaran,
presentase stek hidup tertinggi (66,67%), stek paling cepat
terbentuk tunas (25 hst) dan paling cepat menghasilkan
bunga (147 hst). Bunga mawar hijau termasuk bunga yang
tidak disukai serangga.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada rekan-rekan
di unit kerja Pembibitan Kebun Raya Eka Karya Bali dalam
membantu pelaksanaan penelitian dan rekan I Dewa Putu
Darma yang membantu menggambar ilustrasi bunga.

DAFTAR PUSTAKA
Arinasa, I.B.K. dan I. P. Astuti. 1999. An Alphabetical List of Plant Species
Cultivated in the Bali Botanic Garden. Bali: Indonesian Institute of
Science, Indonesia Botanic Garden.
Brickell, C. 1996. Encyclopedia of Garden Plants. The Royal Horticultural
Society A-Z. London: Dorling Kindersley Limited.
Gardner, F.P; R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya. (Terjemahan). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Hartman, T.H., D.E. Kester, F.T. Davies, and R.L. Geneve. 1997. Plant
Propagation. Principles and Practice. Upper Saddle River, NJ.: Prentice
Hall.
Kartapradja, R. 1997. Perbaikan varietas dan teknologi produksi bunga
mawar. Dalam Kusumo, S., Saifullah dan T. Sutater. Jakarta: Balai
Penelitian Tanaman Hias. Puslitbang Hortikultura, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Moko, H., E. Rachmat dan S.M.D. Rosita. 1993. Respon meniran terhadap
penggunaan zat pengatur tumbuh. Prosiding Seminar Meniran dan
Kedawung 2 (4). Bogor: 29-30.
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan (3). Bandung:
Penerbit ITB.
Sudrajat, H. dan S.Wahyono. 2002. Pengaruh Rootone-F. terhadap stek
batang poko (Mentha arvensis L.). Prosiding Simposium Nasional II
Tumbuhan Obat dan Aromatik. Bogor: 328-334.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 185-190

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume);


Deskripsi dan Sifat-sifat Lainnya
Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume); description and other characteristics
SUMARWOTO
Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta 55283
Diterima: 26 Pebruari 2004. Disetujui: 4 Juni 2005.

ABSTRACT
The aims of the research was to asses describe and find out the others iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) properties on the
vegetative growth and age until reach the generative growth. The research was conducted at the experimental fields of Bogor Agricultural
University, Darmaga from November, 1999 to May, 2003 and at the experimental field of the Agricultural Technology Assesment
Installation Unit, Sukabumi from February 2001 to April, 2002. It was found that iles-iles showed positive responses to shading, good
drainage, and application of high manure (organic matter).The phenological study gave additional information on describing this
species and also on cultivation aspects such us: planting distance, planting depth, the best time of harvest, and concentration of tuber and
bulbil glucomannan.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: Amorphophallus muelleri Blume, description, glucomannan, tuber, bulbil.

PENDAHULUAN
Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume; sin. A. blumei
(Scott.) Engler; sin. A. oncophyllus Prain) termasuk famili
Araceae, merupakan jenis tanaman umbi yang mempunyai
potensi dan prospek untuk dikembangkan di Indonesia.
Selain mudah didapatkan, tanaman ini juga mampu
menghasilkan karbohidrat dan indeks panen tinggi. Dewasa
ini kebutuhan makanan pokok utama berupa karbohidrat
masih dipenuhi dari beras, diikuti jagung dan serealia yang
lain. Sumber karbohidrat dari jenis umbi-umbian, seperti ubi
kayu, ubi jalar, talas, kimpul, uwi-uwian, ganyong, garut,
suweg dan iles-iles pemanfaatannya belum optimal
sehingga masih terbatas sebagai bahan makan alternatif di
saat paceklik (Kriswidarti, 1980, 1981; Rijono, 1999).
Amorphophallus spp. awalnya ditemukan di daerah
tropik dari Afrika sampai ke pulau-pulau Pasifik, kemudian
menyebar ke daerah beriklim sedang seperti Cina dan
Jepang. Jenis A. muelleri Blume, awalnya ditemukan di
Kepulauan Andaman India, menyebar ke arah timur melalui
Myanmar masuk ke Thailand dan ke Indonesia (Jansen et
al. 1996). Tanaman ini merupakan tanaman terna hidup
panjang, daunnya mirip sekali dengan daun Tacca (Heyne,
1987). Tunaman ini tumbuh dimana saja seperti di pinggir
hutan jati, di bawah rumpun bambu, di tepi-tepi sungai, di
semak belukar dan di tempat-tempat di bawah naungan
yang bervariasi. Untuk mencapai produksi umbi yang tinggi
diperlukan naungan 50-60% (Jansen et al. 1996).
Tanaman ini tumbuh dari dataran rendah sampai 1000 m
di atas permukaan laut, dengan suhu antara 25-35oC,
sedangkan curah hujannya antara 300-500 mm per bulan
selama periode pertumbuhan. Pada suhu di atas 35o C
Alamat korespondensi:
Kampus UPN Veteran.
Jl. SWK 104 Lingkar Utara Condongcatur Yogyakarta 55283
Tel. +62-274-486692. Fax.: +62-274-486693.
e-mail: aaries37@telkom.com

daun tanaman akan terbakar, sedangkan pada suhu rendah


menyebabkan iles-iles dorman (Idris, 1972; Perum
Perhutani, 1995).
Iles-iles termasuk tipe tumbuhan liar (wild type)
(Yuzammi, 2000), sehingga di kalangan petani Indonesia
tidak banyak dikenal. Tumbuhnya bersifat sporadis di
hutan-hutan atau di pekarangan-pekarangan, dan belum
banyak dibudidayakan (Hartanto, 1994). Menurut Ermiati
dan Laksmanahardja (1996); Hetterscheid dan Ittenbach
(1996), iles-iles dapat tumbuh baik pada tanah bertekstur
ringan yaitu pada kondisi liat berpasir, strukturnya gembur,
dan kaya unsur hara. Di samping itu juga memiliki drainase
baik, kandungan humus yang tinggi, dan memiliki pH tanah
6 - 7,5 (Jansen et al. 1996). Lebih lanjut Lingga et al. (1989)
menyatakan bahwa memang belum banyak ahli agronomi
yang tertarik untuk meneliti aspek-aspek budidaya
tumbuhan ini, sehingga pustakanyapun langka. Disadari
bahwa deskripsi suatu tumbuhan merupakan hal yang
penting, karena mengandung informasi tentang ciri-ciri dan
sifat-sifat iles-iles yang dapat digunakan sebagai pedoman
di dalam penelitian para pemulia tanaman dan budidaya
iles-iles. Beberapa sumber menunjukkan bahwa deskripsi
atau ciri-ciri iles-iles belum lengkap, termasuk data
pengamatan pada setiap periode tumbuh. Untuk itu agar
dapat dikenal dan diketahui lebih mendalam oleh para
petani, masyarakat, dan peneliti, deskripsi tumbuhan ini
perlu dilengkapi dan dikaji lebih lanjut.
Berdasarkan latar belakang di atas perlu dilakukan
penelitian tentang deskripsi iles-iles yang lebih mendalam
dan lengkap. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan
deskripsi dan sifat-sifat lain iles-iles, sekaligus melengkapi
data atau keterangan yang sudah ada sehingga dapat
digunakan sebagai pedoman dalam budidaya iles-iles.
Disamping itu diharapkan dapat digunakan sebagai sumber
informasi bagi para peminat, pemulia dan peneliti iles-iles.

186

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 185-190

BAHAN DAN METODE


Bahan dan pelaksanaan
Bahan tanaman diperoleh dari induk tanaman iles-iles
berasal dari kebun Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)
Saradan, Madiun, Jawa Timur berupa tanaman pada
stadium masak buah.
Cara kerja
Awal penanaman biji dilakukan di kebun percobaan
Darmaga, IPB pada ketinggian tempat 250 m dpl, musim
hujan tahun 2000 di bawah paranet 50% dengan jarak
tanam rapat 30x30 cm2 sejumlah 400 polibag. Periode
selanjutnya ditanam di bawah tanaman sengon atau
2
Paraserianthes falcataria yang berjarak tanam 1x4 m di
kebun percobaan Darmaga dan di bawah tanaman kelapa
atau Cocos nucifera berjarak tanam 9x9x9 m3 di kebun
Cicurug, Sukabumi pada ketinggian tempat 550 m dpl.
Penanaman iles-iles menggunakan jarak tanam 75x75 cm2
dan ukuran lubang tanam 25x25x25 cm3. Pupuk yang
diberikan 500 g pupuk kompos dan 25 g pupuk majemuk
NPK (15:15:15) tiap lubang tanam. Penanaman dilakukan
secara bertahap dan terus menerus mulai benih, bibit, dan
tanaman di lapang sampai empat periode tanam, sehingga
diperoleh tanaman yang menghasilkan bulbil, bunga dan
buah. Pada setiap periode pertumbunan tanaman,
dilakukan pengamatan secara intensif terhadap 15 tanaman
sampel yang diambil secara acak dari populasi tanaman
yang tumbuh. Pengendalian gulma, hama dan penyakit
tanaman dilakukan secara manual dan menyemprot
dengan pestisida. Adapun pemeliharaan lain dilakukan
terhadap tanaman peteduh (pohon sengon atau pohon
kelapa), terutama ranting, cabang kering dan daun yang
rimbun diatur dengan cara memangkas. Pelaksanaan
penelitian pada bulan Nopember 1999 s.d. April 2003.
Analisis data
Penelitian menggunakan metode deskriptif yaitu metode
dalam meneliti suatu obyek atau suatu kelas peristiwa pada
masa sekarang, dengan tujuan membuat pencandraan
(karakter) secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
sifat-sifat atau karakteristik serta hubungan fenomena yang
diamati (Suryabrata, 2003). Pengamatan dilakukan
terhadap semua ciri tanaman meliputi organ vegetatif dan
generatif serta sifat-sifat lain seperti kadar glukomanan
pada berbagai tahap periode tumbuh.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengamatan pertumbuhan tanaman di dua lokasi yang
berbeda tingkat peneduhan, menunjukkan bahwa dalam
budidaya iles-iles peteduh mutlak diperlukan. Untuk
menentukan derajat peneduhan yang tepat perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut. Menurut Jansen et al., (1996) untuk
memperoleh pertumbuhan yang lebih baik, diperlukan
peteduh 50-60%. Panjang siklus hidup mulai pesemaian
sampai dihasilkan tanaman berbuah dan masak,
dipengaruhi oleh adanya musim hujan pada saat mulai
pesemaian atau tanam. Pesemaian dimulai November 1999
sampai dengan dihasilkan buah masak memerlukan waktu
38-43 bulan. Rincian waktu dalam satu siklus hidup sebagai
berikut: waktu semai 1,5-2 bulan, pertumbuhan dalam
polibag 1,5-2 bulan, tumbuh di lapangan pertama 5-6 bulan,
dorman pertama 4 bulan, tumbuh di lapangan kedua 5-6
bulan, dorman kedua 4 bulan, tumbuh di lapangan ketiga 56 bulan, dorman ketiga 4 bulan, pembungaan sampai buah

masak 8-9 bulan. Umbi mulai berbunga jika telah mencapai


ukuran tertentu yaitu lebih berat dari 500 g, dan telah
memasuki minimal dua kali masa pertumbuhan vegetatif.
Pertumbuhan selanjutnya diduga bergantian antara
pertumbuhan vegetatif dan generatif. Informasi tentang
umur mulai berbunga iles-iles belum ada sumber yang
menerangkan, sedangkan untuk A. konjac berbunga
setelah tanaman berumur 4 tahun (Jansen et al., 1996).
Tanaman iles-iles selengkapnya disajikan pada Gambar 1-10.
Karakteristik morfologi bagian vegetatif dan generatif,
cara perbanyakan tanaman dan perkembangan kadar
glukomanan sebagai ciri-ciri iles-iles dari hasil penelitian
dan berbagai sumber yang diperoleh disajikan pada Tabel
1. Hasil pengamatan terhadap ciri-ciri iles-iles pada Tabel 1,
merupakan koreksi sekaligus melengkapi terhadap data
yang telah ada seperti yang disajikan olen Jansen et al.
(1996), Ambarwati et al. (2000), dan Sufiani (1993). Dari
Tabel tersebut dapat diketahui, perbedaan dan kesamaan
serta ciri-ciri lain yang belum pernah ada sebelumnya.
Terjadinya perbedaan keterangan, diduga data sebelumnya
merupakan hasil pengamatan dari pertumbuhan tanaman di
lapangan untuk tanaman yang telah dewasa saja (telah
mencapai umur maksimum). Adapun data hasil penelitian
diperoleh dari berbagai tingkat periode tumbuh dan masih
merupakan proses domestikasi tumbuhan liar seperti ilesiles. Dengan demikian hasil penelitian ini memberikan data
deskripsi dan sifat-sifat lain iles-iles yang lebih lengkap
dalam satu siklus hidup.
Data garis tengah daun, ukuran umbi dan kadar
glukomanan
pada
setiap
periode
pertumbuhan
menunjukkan ukuran yang berbeda-beda. Iles-iles yang
semakin banyak memasuki pertumbuhan vegetatif, ukuran
garis tengah daun, hasil umbi, maupun kadar glukomanan
umbi juga semakin besar. Hal ini dapat diperoleh
keterangan bahwa, dalam melakukan penanaman iles-iles
jarak tanam hendaknya disesuaikan dengan masa periode
tumbuhnya. Periode tumbuh pertama jarak tanam berkisar
2
37,5x37,5 cm , sedangkan periode kedua berkisar menjadi
57,5x57,5 cm2 dan periode ketiga meningkat menjadi
2
hampir dua kali lipat kurang lebih menjadi 100x100 cm .
Apabila bahan tanaman berupa umbi, agar diperoleh
pertumbuhan tanaman yang baik, kedalaman tanam perlu
disesuaikan dengan ukuran (bobot) umbi yang ditanam.
Jika bibit berupa bulbil besar kedalaman tanam cukup 5 cm,
sedangkan umbi berukuran bobot kurang dari 200 g
kedalaman tanam 10 cm, dan jika umbi lebih berat lagi
menjadi lebih dalam sampai kurang lebih 15 cm. Panen
sebaiknya dilakukan pada keadaan kadar glukomanan umbi
sudah maksimum, yaitu setelah tanaman memasuki tiga
periode tumbuh dan batang semu terkulai dengan helaian
daun berwarna kuning.
Tinggi rendahnya kadar glukomanan ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor antara lain, jenis tanaman, umur
tanaman, lama waktu setelah panen (Outsuki, 1968;
Irawati, 1985; Syaefullah, 1990), dan perlakuan menjelang
pengeringan, bagian yang digiling, serta alat yang digunaan (Suhirman et al., 1995). Oleh karena itu kadar glukoanan bervariasi sebagai berikut: 24,4-58,3% (Hanif, 1991),
54,3-58,3% (Sait, 1995), 64,98% (Arifin, 2001), 35%
(Perum Perhutani, 1995), dan 30% (Purwadaria, 2001).
Untuk itu hasil penelitian ini, khususnya data berbagai
tingkat periode tumbuh sampai menghasilkan buah masak,
variasi kadar glukomanan, merupakan informasi yang
penting bagi lingkungan agronomi dan para pemulia
tanaman iles-iles. Diharapkan dapat melengkapi data yang
telah ada dan dapat mendorong para peminat iles-iles
dalam melakukan penelitian yang lebih komprehensif.

SUMARWOTO Deskripsi Amorphophallus muelleri Bl.

187

Gambar 1. Bibit umur 2 bst di polibag.

Gambar 2. Tanaman dewasa.

Gambar 3. Tanaman di lapang dua periode


tumbuh.

Gambar 4. Umbi hasil panen.

Gambar 5. Biji telanjang.

Gambar 6. Bumbil (umbi daun).

Gambar 7. Bibit di pesemaian.

Gambar 8. Bunga kuncup.

Gambar 9. Bunga mekar penuh.

Gambar 10. Buah masak.

Tabel 1. Perbandingan deskripsi iles-iles atau Amorphophallus muelleri Blume, perbanyakan tanaman dan kadar glukomannan hasil
penelitian dengan beberapa sumber informasi yang diperoleh peneliti.
Deskripsi dan sifat-sifat lain iles-iles
Macam ciri

Hasil penelitian

Daun
Warna dan keadaan tangkai Bervariasi warna hijau muda sampai hijau tua dan
daun atau batang semu.
ada bercak putih kehijauan (variasi sangat tinggi).

Permukaan tangkai daun


Permukaan daun
Bentuk anak helaian daun
Jumlah helaian anak daun
Warna tepi daun
Warna daun
Garis tengah kanopi daun

Halus dan licin


Halus bergelombang
Elip dengan ujung daun runcing
Saat flushing berturut-turut 3, 4-5, 5-6 akhirnya 6
helaian anak daun bercabang-cabang dengan 3
anak tangkai daun.
Ungu muda (daun muda), hijau (daun umur sedang)
dan kuning (daun tua), lebar garis tepi daun 0,3-0,5
mm
Hijau muda sampai hijau tua
25-50 cm, satu periode tumbuh
40-75 cm, dua periode tumbuh
50-150 cm, tiga periode tumbuh

Jansen et al. (1996)

Ambarwati et al. (2000)

Sudarsono &
Abdulmanaf
(1965) cit.
Sufiani (1993)

Hijau sampai dengan


kecoklatan dengan
bercak coklat mudahijau abu-abu bercak
kehijauan, kecoklatan
Licin
Lanset
-

Hijau muda sampai hijau


tua, bercak putih.
Hijau muda sampai tua
bergaris dan bercak putih

Hijau muda
sampai hijau
tua bercak
putih

Licin
-

Licin
-

Ungu (daun muda)

Ungu muda
(daun muda)

75-200 cm

Hijau sampai hijau tua


-

SUMARWOTO Deskripsi Amorphophallus muelleri Bl.

189
Batang, umbi dan bulbil
Letak batang
Garis tengah batang semu
(diukur 10 cm dari tanah)

Bersatu berada sebelah atas umbi, di dalam tanah

5-10 mm, satu periode tumbuh


15-25 mm, dua periode tumbuh
25-50 mm, tiga periode tumbuh
Kuning kecoklatan-krem; coklat

Coklat tua

Kelabu kecoklatan

Kelabu coklat

Kuning muda

Kuning

Kuning

Sampai 3000 g

Kasar

Ada bulbil

Halus

Halus

5-6 bulan
40-180 cm

25-40 cm

Seperti tombak, tetapi


pendek dan tidak runcing

Bunga tersusun atas


seludang bunga, putik
dan benangsari
Seludang pendek, bentuk
agak bulat, semi tegak
ada satu buah.
Warna pink coklat muda,
bercak putih
-

Warna luar umbi batang;


bulbil (umbi daun atau umbi
tetas atau katak)
Warna dalam umbi batang; Kuning-kuning kecoklatan; kuning
bulbil
Warna keripik (gaplek) umbi Putih susu-coklat susu dengan butiran-butiran kristal
glukomanan kekuning-kuningan
Bentuk umbi batang
Bulat agak lonjong berserabut akar dengan bangun
teratur
Bobot umbi batang
50-200 g, satu periode tumbuh
250-1350 g, dua periode tumbuh
450-3350 g, tiga periode tumbuh
Permukaan umbi batang;
Halus-Kasar; kasar
bulbil
Letak bulbil
Pada percabangan tulang daun dan anak daun, di
atas percabangan tangkai daun pada umbi batang
Bentuk bulbil
Bulat simetris (bagian tengah); lonjong
(dipercabangan tulang daun)
Garis tengah bulbil tengah
10-45 mm (tergantung umur tanaman induk dan
(sentral)
letak di daun)
Batang, umbi dan bulbil
Bobot bulbil
1-23 g (tergantung umur tanaman induk dan posisi
letak pada daun)
Garis tengah bulbil
1-5 cm (tergantung umur tanaman & posisi letak
pada daun)
Susunan jaringan umbi dan Halus
bulbil
Masa dorman umbi & bulbil 4-5 bulan
Tinggi tanaman
20-50 cm, satu periode tubuh
40-75 cm, dua periode tumbuh
75-175 cm, tiga periode tumbuh atau lebih dan
dipengaruhi lingkungan tumbuh
Bunga
Bentuk bunga (cone)
Seperti tombak ujung tumpul (Garis tengah 4-7 cm)
dan tinggi 10-20,5 cm
Sebagian besar bunga muncul pada awal musim
hujan, dan sebagian kecil pada akhir musim
kemarau
Bersifat uniseksual
Susunan bunga
Bunga tersusun atas seludang bunga, putik dan
benangsari.
Seludang bunga

Putik
Bagian bunga betina dari
tongkol
Benangsari

Bagian bunga jantan dari


tongkol
Tangkai bunga

Seludang bunga pendek bentuk agak bulat, agak


tegak, satu buah.
Bagian bawah hijau keunguan bercak putih, bagian
atas jingga bercak putih, tinggi 20-28 cm; garis
tengah 6-8 cm.
Merah hati (maroon)
Tinggi 6-9 cm, Garis tengah 2-4 cm

Letak benangsari di atas putik


Benangsari terdiri atas benangsari fertil (bawah) dan
benangsari steril (atas).
Bagian steril: kuning kecoklatan, fertil: hijau

Tinggi 6 -7,5 cm; garis tengah 2-3 cm.

Tinggi 25-45 cm dari permukaan umbi


Garis tengah 16,5-28 mm
Hijau muda sampai tua berbercak putih kehijauan

Benang sari di atas putik terdiri atas fertil (bawah),


steril (atas)
Bagian steril: coklat muda
sampai tua, fertil hijau
Sedang, 25-40 cm
-

Hijau muda sampai tua


bercak putih
Licin

Halus dan licin

Silindris

Setiap buah 2-3 biji

Umur buah sampai masak

Berdaging dan majemuk


Berwarna hijau waktu muda, kuning kehijauan mulai
tua dan orange-merah waktu masak (tua)
Bentuk lonjong, meruncing ke pangkal
Garis tengah 40-80 mm; Tinggi 10-22 cm
100-450 butir & rata-rata 300 butir per tongkol buah
Bentuk oval; Garis tengah, termasuk kulit 8-15,5 mm
Tinggi, termasuk kulit biji 10-18 mm
Setiap buah terdapat 2-4 lembaga (biji atau ovule)
Sifat apomiksis
8-9 bulan dari mulai pembungaan (keluar bunga)

Masa dorman biji

1-2 bulan

5-6 bulan

Warna dan gambaran


tangkai bunga
Permukaan tangkai bunga
Buah
Tipe
Warna
Bentuk tandan buah
Jumlah buah

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 185-190

Perbanyakan dan
pergantian daun
Perbanyakan tanaman

Vegetatif: umbi batang, bagian umbi batang; umbi


daun (bulbil) dan daun (stek daun)
Generatif: biji
Flushing (pergantian daun
Tanaman asal biji 3-4 kali
dalam satu periode tumbuh) Tanaman asal bulbil atau umbi 0-1 kali
Tumbuh
Dalam budidaya
Masa tumbuh setiap periode 5-6 bulan
Kadar glukomanan
Kadar glukomanan umbi
35-39%, satu periode tumbuh
46-48%, dua periode tumbuh
47-55%, tiga periode tumbuh
43-49%, bunga muncul (masih kuncup)
40-45%, bunga mekar
32-37%, masa pengisian biji
32-35%, buah mulai masak
Kadar glukomanan bulbil
25-30%

KESIMPULAN
Deskripsi dan sifat-sifat lain tanaman iles-iles yang
disajikan merupakan data yang lebih lengkap, sehingga
dapat digunakan sebagai pedoman para peminat, dan
peneliti iles-iles. Diperoleh informasi penting untuk teknik
budidaya dalam hal pengaturan jarak tanam. Pada periode
tumbuh pertama kisaran jarak tanam 37,5x37,5 cm2;
periode tumbuh kedua menjadi 57,5x57,5 cm2; dan ketiga
2
meningkat berkisar menjadi 100x100 cm . Ditinjau dari
kandungan glukomanan umbi, telah diperoleh informasi
penting mengenai saat panen yakni setelah tanaman
memasuki periode vegetatif minimal dua kali dengan kadar
glukomanan lebih besar 41,8%. Ditinjau dari bobot umbi,
agar diperoleh bobot maksimum saat panen dapat
diperpanjang yakni setelah tanaman memasuki periode
vegetatif tiga kali atau lebih.

DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, E., R.H. Murti, Haryadi, A. Basyir, dan S. Widodo. 2000.
Eksplorasi dan Karakterisasi Iles-iles. Yogyakarta: LP UGM
Bekerjasama dengan BPPTPPP/ PAATP Balitbangtan.
Arifin, M.A. 2001. Pengeringan Keripik Umbi Iles-iles secara Mekanik untuk
Meningkatkan Mutu Keripik Iles. [Tesis]. Bogor: Teknologi Pasca Panen.
PPS IPB.
Ermiati dan M.P. Laksmanahardja. 1996. Manfaat iles-iles (Amorphophallus
sp.) sebagai bahan baku makanan dan industri. Jurnal Litbang
Pertanian 15 (3): 74-80.
Hanif, Z. 1991. Pengaruh Cara Pengeringan dan Cara Ekstraksi terhadap
Rendemen dan Mutu Tepung Mannan Umbi Iles-iles Kuning
(Amorphophallus oncophyllus Prain). [Skripsi]. FATETA. IPB.
Hartanto, E.S. 1994. Iles-iles tanaman langka yang laku dikespor. Buletin
Ekonomi 19 (5): 21-25.
Hetterscheid, W. and S. Ittenbach. 1996. Everything you always wanted to
know about Amorphophallus, but were afraid to stick your nose into.
Aroideana 19: 7-131.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Badan Litbang
Kehutanan Departemen Kehutanan.

190

Vegetatif: umbi atau


bagian umbi dan bulbil
Generatif: biji
6 bulan

Vegetatif: umbi batang,


umbi bibit
Generatif: biji
-

Lebih tinggi daripada A.


variabilis

41,3%

Tinggi sampai
dengan
sangat tinggi

Liar
-

Idris, A. 1972. Pengamatan jenis Amorphophallus dan tempat tumbuhnya


di pulau Jawa. Buletin Kebun Raya Bogor 3 (4): 101-107.
Irawati, T. 1985. Standar dan Metoda Analisis Iles-iles. [Karya Ilmiah]. Bogor:
Pusbinlat Idustri Sekolah Analisis Kimia Menegah Atas, Departemen
Perindustrian.
Jansen, P.C.M., C. van der Wilk, and W.L.A. Hetterscheid. 1996.
Amorphophallus Blume ex Decaisne. In Flach, M. and F. Rumawas
(eds.). PROSEA: Plant Resources of South-East Asia No 9. Plant
Yielding Non-seed Carbohydrates. Leiden: Backhuys Publishers.
Kriswidarti, T. 1980. Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl) kerabat
bunga bangkai yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat. Buletin
Kebun Raya 4 (5): 171-173.
Kriswidarti, T. 1981. Pengamatan morfologi jenis-jenis Amorphophallus di
Jawa. Dalam: Penelitian Peningkatan Pendayagunaan Sumberdaya
Hayati. [Laporan Teknik 1981-1982]. Bogor: Lembaga Biologi Nasional,
LIPI.
Lingga, P., B. Sarwono, F. Rahardi, P.C. Rahardja, J.J. Afriastini, W. Rini, dan
W.H. Apriadji. 1989. Bertanam Ubi-ubian. Jakarta: Penebar Swadaya.
Outsuki, T. 1968. Studies on reserve carbohydrates of flour
Amorphophallus species, with special reference to mannan.
Botanical Magazine Tokyo 81: 119-126.
Perum Perhutani. 1995. Iles-iles (Amorphophallus oncophyllus).
Surabaya: Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
Purwadaria, H.K. 2001. Pengembangan Proses Fraksinasi untuk Meningkatkan
Mutu Tepug Iles-iles (Konjac Flour) untuk Ekspor. [Laporan Akhir Tahun
RUT VIII-1 Tahun Anggaran 2001]. Bogor: FATETA IPB.
Rijono. 1999. Buku Pengelolaan Tanaman Iles-iles (Amorphophallus
onchophyllus). Madiun: Perum Perhutani KPH Saradan, Madiun, Jawa
Timur.
Sait, S. 1995. Mutu umbi iles-iles liar (Amorphophallus oncophyllus) Jawa
sebagai bahan baku industri. Warta AKAB 6: 15-21.
Sufiani, S. 1993. Iles-iles (Amorphophallus); jenis, syarat tumbuh, budidaya
dan standar mutu ekspornya. Media Komunikasi Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri 12: 11-16.
Suhirman, S., S. Yuliani, E. Imanuel, dan M.P. Laksmanahardja. 1995.
Penelitian Pengolahan Lanjut dan Penganekaragaman Hasil Tanaman
Iles-iles. [Laporan Hasil Penelitian Tanaman Industri]. Bogor: BALITRO.
Suryabrata, S. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Syaefullah, M., 1990. Studi Karakteristik Glukomanan dan Sumber
Indegenous Iles-iles (Amorphophallus oncophyllus) dengan Variasi
Proses Pengeringan dan Dosis Perendaman. [Tesis]. Fakultas Pasca
Sarjana IPB. Bogor.
Yuzammi. 2000. A Taxonomic Revision of the Terrestrial and Aquatic Aroids
(Araceae) in Java. [Thesis]. Sidney: School of Biological Science,
Faculty of Life Science, University of New South Wales.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 190-193

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Pertumbuhan Vegetatif pada Amorphophallus titanum (Becc.)


Becc. di Kebun Raya Cibodas
Vegetative growth of of Amorphophallus titanum (Becc.) Becc. at Cibodas Botanic
Garden
R. SHOLIHIN, R. SUBEKTI PURWANTORO
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cipanas Cianjur 43253
Diterima: 3 Pebruari 2005. Disetujui: 14 April 2005.

ABSTRACT
A study on the growth of vegetative stadium of Amorphophallus titanum (Becc.) Becc. has been carried out in Cibodas Botanic Garden.
Two bulbs are planted as collection plants since June second 2000. The big one, before dormant was in generative stadium and the other
bulb is small one, before dormant was in vegetative stadium. The result of this study indicate that the growth of the big bulb longer than
small one. The effect of different stadium before dormant cause the early growth of big bulb is longer than the small one.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: Amorphophallus titanum, growth.

PENDAHULUAN

BAHAN DAN METODE

Amorphophallus titanum (Becc.) Becc. atau lebih


dikenal dengan nama bunga bangkai merupakan salah satu
anggota suku talas-talasan (Araceae) yang dikelompokkan
sebagai jenis tumbuhan langka Indonesia (Mogea et al.
2001). Menurut Mogea et al. (2001) A. titanum disebut
bunga bangkai karena pada waktu bunga mekar
mengeluarkan bau busuk yang dapat tercium sampai
radius 100 m. Selanjutnya dikatakan bahwa bau tersebut
berasal dari asam amino yang keluar melalui permukaan
tongkol. Bau busuk yang muncul pada waktu bunga mekar
menarik perhatian bagi jenis-jenis serangga pengunjung
yang aktivitasnya dapat membantu penyerbukan tumbuhan
langka tersebut. Burkill (1966) melaporkan bahwa bunga
raksasa yang ukurannya demikian besar tersebut memiliki
kombinasi warna merah, hijau, dan kuning emas. Menurut
Idris (1974) pengertian masyarakat awam yang disebut
bunga pada A. titanum adalah seludang bunganya,
sedangkan bunga yang sebenarnya terletak pada
permukaan tongkol bagian bawah yang terdiri dari bunga
jantan dan bunga betina. Selanjutnya dikatakan bahwa
batang vegetatif merupakan batang semu, batang yang
sebenarnya terletak di antara batang semu (tangkai daun)
dan umbi batangnya.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan
vegetatif pada A. titanum yang dikoleksi di Kebun Raya
Cibodas pada diameter umbi yang berbeda. Di samping itu
penelitian ini juga untuk mengetahui pengaruh perbedaan
stadium sebelum masa dorman.

Penelitian dilakukan pada A. titanum koleksi Kebun


Raya Cibodas yang ditanam pada ketinggian 1.350 m dpl.
selama 4 tahun sejak 2 Juni 2000 sampai 23 April 2004.
Umbi berukuran besar (A) dengan diameter 58 cm, umbi
kecil (B) dengan diameter 37 cm. Penanaman dilakukan
pada lubang kedalaman 80x80x60 cm. Sebelum ditanam
media tanam diberi pupuk kandang karung dicampur
dengan I karung humus. Dua umbi tersebut ditanam
berjarak 5 m dengan keadaan lingkungan agak ternaungi.
Untuk menghindari serangan babi hutan dilakukan
pemagaran besi setinggi 1,5 m di sekitarnya.
Pengamatan dilakukan setiap minggu dengan
menggunakan beberapa parameter: waktu tumbuh tunas,
waktu muncul bakal daun, panjang tunas, diameter tunas,
tinggi tanaman, diameter tunas vegetatif, diameter tajuk.
Pencatatan data dihentikan setelah data yang didapatkan
konstan.

Alamat korespondensi:
UPT BKT Kebun Raya Cibodas-LIPI.
Kompleks Gd. IX/5, Jl. Juanda 13 Bogor 16122.
Tel. & Fax.: +62-251-354150.
e-mail: subekti27@yahoo.com.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Menurut catatan di Registrasi Kebun Raya Cibodas A.
titanum yang dikoleksi merupakan hasil eksplorasi oleh tim
yang dipimpin R. Subekti Purwantoro, dengan anggota Didi
Supardi, Dian Latifah, R. Sholihin, Ence Sulaiman, dan
Dadang, pada tanggal 20 Juni 2000 berasal dari lokasi
Bukit Sungai Talang, Dusun Sungai Manau Desa Sungai
Kalu Dua Taman Nasional Kerinci Seblat Resort Batang
Suliti Kec. Kota Parik Gadang Kab. Solok Sumatra Barat
pada ketinggian 850 m dpl. Pengamatan awal pada
pertumbuhan A. titanum koleksi Kebun Raya Cibodas (umbi
berdiameter 58 cm) yang dilakukan oleh R. Sholihin ketika
mekar pertama kali tinggi bunga mencapai 317 cm atau
3,17 m dan diameter bunga mencapai 154 cm atau 1,54 m.

SHOLIHIN dan PURWANTORO Pertumbuhan Amorphophallus titanum

Pada Gambar 1 A. titanum ketika fase generatif


sebelum terjadi masa dorman dapat dilihat bagian-bagian
bunga yang terdiri atas bunga jantan dan bunga betina
yang terletak pada permukaan tongkol bagian bawah.
Bunga betina terletak di bagian bawah dengan panjang
bunga 2 cm, berbentuk kerucut, berwarna kuning kehijauan
lebar tongkol betina 14-22 cm; bunga jantan terletak di atas
bunga betina berbentuk bulat, berwarna kebiruan dengan
lebar tongkol jantan 9-11 cm. Keadaan demikian tidak
berbeda dengan yang dilaporkan oleh Mogea et al. (2001);
Yuzammi dan Astuti (2001). Hasil pengamatan pertumbuhan fase vegetatif ditandai dengan munculnya tunas dari
permukaan tanah. Tunas vegetatif berbentuk kerucut, tunas
tersebut terbungkus oleh 5-6 daun penumpu/sisik dan
kemudian diikuti oleh pertumbuhan calon daun.

191

5-6 daun penumpu/sisik dan kemudian diikuti oleh


pertumbuhan calon daun. Pertumbuhan umbi A (umbi
besar) lebih lambat dari pada umbi B (umbi kecil) setelah
melalui masa dorman. Pada Tabel 1 dan 2 dapat dilihat
bahwa pengamatan minggu ke-47 tinggi tunas vegetatif
umbi A (1.430 mm) lebih rendah dari tunas vegetatif umbi B
(1.640 mm), tetapi pengamatan minggu ke 48 tinggi tunas
umbi A lebih tinggi daripada umbi B. Tinggi tunas umbi A
tidak bertambah lagi mulai minggu ke-54 hingga akhir
pengamatan (minggu ke-66), demikian pula pada umbi B
sejak minggu ke-54 hingga minggu ke-66 tinggi tunasnya
tidak bertambah lagi (Gambar 2). Perubahan juga terjadi
pada diameter tunas vegetatif A. titanum yang terjadi pada
minggu ke-45 dan minggu ke-47 seperti terlihat pada Tabel
1 dan 3.
Tabel 1. Parameter yang digunakan pada pertumbuhan A. titanum.

Minggu
ke

Gambar 1. Bunga A. titanum pada umbi.

Menurut catatan di Registrasi Kebun Raya Cibodas A.


titanum yang dikoleksi merupakan hasil eksplorasi oleh Tim
R.S. Purantoro dkk., berasal dari lokasi Bukit Sungai
Talang, Dusun Sungai Manau Desa Sungai Kalu Dua
Taman Nasional Kerinci Seblat Resort Batang Suliti Kec.
Kota Parik Gadang Kab. Solok Sumatra Barat pada
ketinggian 850 m dpl. Pengamatan awal pada pertumbuhan
A. titanum koleksi Kebun Raya Cibodas (umbi berdiameter
58 cm) yang dilakukan oleh R. Sholihin S.P. ketika mekar
pertama kali tinggi bunga dapat mencapai 317 cm atau 3,17
m dan diameter bunga mencapai 154 cm atau 1,54 m.
Pada Gambar 1. A. titanum ketika fase generatif
sebelum terjadi masa dorman dapat dilihat bagian-bagian
bunga yang terdiri atas bunga jantan dan bunga betina
yang terletak pada permukaan tongkol bagian bawah.
Bunga betina terletak di bagian bawah dengan panjang
bunga 2 cm, berbentuk kerucut, berwarna kuning kehijauan
lebar tongkol betina 14-22 cm; bunga jantan terletak di atas
bunga betina berbentuk bulat, berwarna kebiruan dengan
lebar tongkol jantan 9-11 cm. Keadaan demikian tidak
berbeda dengan yang dilaporkan oleh Mogea et al. (2001),
Yuzammi dan Astuti (2001).
Hasil pengamatan pertumbuhan fase vegetatif ditandai
dengan munculnya tunas dari permukaan tanah. Tunas
vegetatif berbentuk kerucut, tunas tersebut terbungkus oleh

14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66

Tinggi
Tunas (mm)
Umbi
Besar Kecil
(A)
(B)
0
4
10
20
30
43
34
48
38
53
42
55
46
57
48
61
53
65
54
70
58
75
60
80
89
91
95
102
106
117
113
120
120
138
135
155
150
173
158
183
173
265
285
272
385
470
340
635
382
788
466
897
510 1010
600 1130
695 1140
900 1290
1070 1320
1320 1500
1360 1580
1430 1640
1740 1670
2000 1680
2010 1690
2140 1700
2160 1740
2170 1750
2180 1800
2180 1800
2180 1800
2180 1800
2180 1800
2180 1800
2180 1800
2180 1800
2180 1800
2180 1800
2180 1800
2180 1800
2180 1800

Diameter
tunas
Umbi
Besar Kecil
(A)
(B)
43,3 86,6
66,6 86,6
80 103,3
96,6 120
107,6 133,3
130 133,3
150 150
176,6 150
195 150
201,6 150
210 153,3
216,6 153,3
216,6 156,6
221,6 156,6
221,6 156,6
223,3 160
225 163,3
226,6 163,3
226,6 163,3
226,6 163,3
226,6 163,3
226,6 163,3
228,3 163,3
228,3 163,3
228,3 163,3
228,3 163,3
228,3 163,3

Diameter
tajuk
Umbi
Besar Kecil
(A)
(B)
86,6
120
166,6
60
496,6
76,6
570
466,6 683,3
550 766,6
630
770
750 773,3
845 811,6
786,6 818,3
790
845
920 866,6
1033,3 871,66
1028,3 871,66
1045 871,5
1001,6 875
1038,5 883,3
1043,3 886,6
1040 886,6
1038,5 886,6
1038,5 886,8
1038,5 886,6
1038,5 886,6

Tinggi
tanaman
Umbi
Besar Kecil
(A)
(B)
1340 2180
1860 2290
2560 2410
2830 2520
2940 2610
3170 2630
3310 2640
3360 2665
3385 2615
3400 2670
3400 2680
3400 2680
3430 2680
3430 2725
3430 2725
3430 2725
3430 2725
3430 2725

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 190-193

192

Tabel 2. Pertumbuhan tunas vegetatif A. titanum di Kebun Raya Cibodas.

Parameter
Tinggi tunas (mm)

47
Umbi besar (A)
1430

Umbi kecil (B)


1640

Minggu ke:
48
Umbi besar (A) Umbi kecil (B)
1740
1670

61
Umbi besar (A)
2180

Umbi kecil (B)


1800

Tabel 3. Diameter tunas vegetatif pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas.

Parameter
Diameter tunas vegetatif
(mm)

45
Umbi besar (A)
130

Umbi kecil (B)


133,3

Minggu ke:
47
Umbi besar (A) Umbi kecil (B)
176,6
150

Umbi besar (A)


201,6

Minggu ke:
51
Umbi besar (A) Umbi kecil (B)
2560
2410

Umbi besar (A)


3430

Minggu ke:
52
Umbi besar (A) Umbi kecil (B)
815,3
767,5

Umbi besar (A)


1092,3

49
Umbi kecil (B)
150

Tabel 4. Tinggi tanaman pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas.

Parameter
Tinggi tanaman (mm)

50
Umbi besar (A)
1860

Umbi kecil (B)


2290

61
Umbi kecil (B)
2725

Tabel 5. Diameter tajuk pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas.

Parameter
Diameter tajuk (mm)

51
Umbi besar (A)
592,3

Umbi kecil (B)


729,3

61
Umbi kecil (B)
867,8

Tabel 6. Waktu pemunculan bagian vegetatif dan mulai dorman pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas.
Parameter
Muncul tunas vegetatif
Muncul bakal daun
Mulai masa dorman

Umbi besar (A)


3 bulan 17 hari
8 bulan
3 tahun 5 bulan

Pengamatan minggu ke-45 diameter tunas vegetatif


umbi A lebih kecil daripada umbi B, yaitu berturut-turut 130
mm dan 133,3 mm, tetapi 2 minggu kemudian (minggu ke47) diameter tunas umbi A (176,6 mm) lebih besar
daripada umbi B (150 mm). Bertambahnya diameter tunas
vegetatif terhenti pada minggu ke-56 (umbi B) disusul oleh
umbi A pada minggu ke-57. Tidak bertambahnya diameter
tunas tersebut berlangsung sampai akhir pengamatan
(minggu ke-66) seperti terlihat pada Gambar 3. Pada tinggi
tanaman yang diukur dari mulai tumbuh daun sampai
dengan daun tumbuh dan berkembang secara maksimal.
Perubahan tinggi tanaman dari kedua spesimen yang
diamati terjadi pada minggu ke-50 dan minggu ke-51.
Pada Tabel 1 dan 4 dapat dilihat bahwa pengamatan
minggu ke-50 tinggi tanaman pada umbi A (1,860 mm) lebih
pendek daripada tinggi tanaman umbi B (2,290 mm),
seminggu kemudian tinggi tanaman pada umbi A (2,560
mm) lebih tinggi dari pada umbi B (2,410 mm). Pada
Gambar 4 terlihat simpangan grafik yang menggambarkan
perubahan tinggi tanaman dari 2 spesimen koleksi Kebun
Raya Cibodas. Pada Gambar tersebut juga dapat dilihat
tinggi tanaman umbi A tidak bertambah mulai minggu ke-61
hingga akhir pengamatan (minggu ke-66), keadaan
demikian terjadi pada umbi B seminggu setelah itu.
Pertumbuhan kedua spesimen A. titanum juga dapat dilihat
berdasarkan diameter tajuk.
Tabel 1 dan 5 memperlihatkan bahwa diameter tajuk
pada umbi A dari awal sampai minggu ke-51 lebih kecil
daripada diameter tajuk pada umbi B, namun mulai minggu

Umbi kecil (B)


3 bulan 10 hari
7 bulan
2 tahun 3 bulan

Keterangan
Setelah tanam
Setelah tunas
Setelah tunas

ke-52 diameter tajuk pada umbi A lebih besar dari pada


umbi B. Gambar 5 memperlihatkan tidak ada penambahan
diameter tajuk. Mulai minggu ke-63 diameter tajuk umbi
tidak bertambah hingga akhir pengamatan (minggu ke-66),
sedangkan pada umbi B keadaan yang sama terjadi lebih
awal yaitu minggu ke-60.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada keempat
parameter pertumbuhan tersebut disebabkan perbedaan
fase sebelum masa dorman. Pada umbi A sebelum masa
dormansi mengalami fase generatif, sedangkan pada umbi
B mengalami fase vegetatif. Menurut Idris (1974) awal fase
dorman setelah fase generatif seperti pada umbi A, umbi
dalam keadaan kempes/gembos setelah cadangan
makanan yang ada digunakan untuk pertumbuhan bunga,
sehingga setelah masa dorman fase pertumbuhan tunas
vegetatif lebih lambat, sebaliknya umbi B yang sebelum
masa dorman mengalami fase vegetatif lebih cepat tumbuh
tunas.
Tabel 6 menunjukkan bahwa perbedaan umur umbi
mempengaruhi fase-fase pertumbuhan vegetatif pada A.
titanum, pada umbi besar (A) muncul tunas, muncul bakal
daun maupun waktu mulai masa dormansi lebih lama
dibandingkan pada umbi kecil (B). Semakin besar ukuran
umbi semakin besar pula energi yang diperlukan untuk
proses pertumbuhannya. Menurut Darmawan dan Baharsyah (1983) besarnya umbi di dalam tanah tergantung pada
pertumbuhan vegetatifnya, makin luas permukaan daunnya
maka makin banyak hasil fotosintesis yang dihasilkan yang
menyebabkan semakin besar ukuran umbinya.

SHOLIHIN dan PURWANTORO Pertumbuhan Amorphophallus titanum

193

2500

tinggi tunas (mm)

2000

1500

A
B
1000

500

0
14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66
15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 59 61 63 65

m in g g u k e :

Gambar 2. Pertumbuhan tunas vegetatif pada A. titanum di Kebun


Raya Cibodas. A: umbi besar; B: umbi kecil.

Gambar 5. Diameter tajuk pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas

KESIMPULAN
Terdapat kecenderungan semakin besar ukuran umbi
maka semakin lama pertumbuhan vegetatifnya. Umbi yang
sebelum masa dorman mengalami pertumbuhan vegetatif,
maka stadium awal pertumbuhan vegetatifnya lebih lama
dari pada umbi yang sebelum masa dorman mengalami
fase generatif.

UCAPAN TERIMA KASIH

Gambar 3. Diameter tunas vegetatif pada A. titanum di Kebun


Raya Cibodas

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Yuzammi


yang menekuni Suku Araceae yang telah memberikan
kesempatan penulis untuk mempublikasi hasil penelitian
Amorphophallus titanum.

DAFTAR PUSTAKA

Gambar 4. Tinggi tanaman pada A. titanum di Kebun Raya Cibodas.

Burkill, L.H. 1966. A dictionary of the Plant Economics Product of Malay


Peninsula, Vol. I. Kuala Lumpur: Ministry of Agriculture and
Cooperatives.
Hammen, L. van der. 1947. Traces of ancient dichotomies in Angiosperms.
Blumea 6(1): 290301.
Idris, S. 1974. Amorphophallus titanium Becc. (bunga bangkai). Buletin
Kebun Raya 1 (3): 7-10.
Mogea, J.P., D. Gandawidjaja, H. Wiriadinata, R.E. Nasution, dan Irawati.
2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Bogor: Herbarium Bogoriense P3
Biologi-LIPI.
Yuzami dan I.P. Astuti. 2001. Amorphophallus gigas Teisjm.; terancam
punah? Seminar Nasional Puspa Langka Indonesia. Bogor: LIPI.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 194-198

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah:


2. Komposisi dan Struktur Vegetasi
Mangrove plants in coastal area of Central Java:
2. Floristic composition and vegetation structure
AHMAD DWI SETYAWAN

1,3,

, INDROWURYATNO1,2, WIRYANTO1,3, KUSUMO WINARNO1,3, ARI SUSILOWATI1

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126


2
Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126
3
Program Studi Ilmu Lingkungan, Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126.
Diterima: 11 September 2004. Disetujui: 1 Desember 2004.

ABSTRACT
The study was intended to observe the vegetation composition and structure of mangrove plants on southern and northern coast of Central
Java Province. This research was conducted in July till December 2003, at 20 sites. Laboratory assay was done in Laboratory of Biology
Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, and Central Laboratory of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret
University (UNS) Surakarta. Data was collected by using belt transect method, from coast line into landward. The result indicated that in
common, the trees strata which also have shoots strata and strata of germs (seedlings); and bushes strata which also have strata of germs
(seedlings), if they were compared to the same species then their important value tend to be stable. So it was predictable that in the
disturbance condition, the preservation of mangrove was guaranteed, as long as there was no great change on a broad scale.

2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta


Key words: mangrove plants, Central Java Province, composition and vegetation structure.

PENDAHULUAN
Tumbuhan mangrove umumnya mudah dikenali karena
memiliki sistem perakaran yang sangat menyolok, serta
tumbuh pada kawasan pantai di antara rata-rata pasang
dan pasang tertinggi (Ng dan Sivasothi, 2001). Hutan
mangrove atau mangal adalah vegetasi yang tumbuh di
sepanjang garis pantai tropis dan sub-tropis, didominasi
tumbuhan bunga terestrial umumnya berhabitus pohon dan
semak, dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang
surut, dengan tanah bersalinitas tinggi dan anaerob (MacNae, 1968; Chapman, 1976; Tomlinson, 1986; Aksornkoae,
1993; Nybakken, 1993; Kitamura dkk., 1997). Ekosistem
mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai
tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan
lingkungan di habitat mangrove (SNM, 2003), namun tanpa
hadirnya tumbuhan mangrove, kawasan ini tidak dapat disebut ekosistem mangrove (Jayatissa dkk., 2002).
Komposisi dan struktur vegetasi mangrove berbeda-beda,
secara spasial maupun temporal akibat pengaruh geofisik,
geografi, geologi, hidrografi, biogeografi, iklim, faktor edafik
dan kondisi lingkungan lainnya (Bandaranayake, 1998).
Kawasan pantai utara dan selatan Jawa Tengah,
merupakan bagian pulau Jawa yang secara dinamis
mengalami perubahan. Ekosistem mangrove di kawasan ini
memiliki bentuk yang beragam. Pantai utara Jawa Tengah

Alamat korespondensi:
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126
Tel. & Fax.: +62-271-663375
e-mail: uns_journals@yahoo.com

berbatasan dengan laut pedalaman, Laut Jawa, dengan


hempasan gelombangnya relatif kecil. Sebaliknya pantai
selatan berbatasan langsung dengan laut lepas, Laut
Selatan (Samudera Hindia), dengan kondisi gelombangnya
sangat besar. Hal ini menyebabkan fisiognomi dan fisiografi
vegetasi mangrove di kedua kawasan tersebut berbeda
(Steenis, 1958).
Di pantai utara Jawa Tengah, sedimen dari sungai dan
laut terendapkan pada lokasi-lokasi tertentu yang terlindung
dan membentuk tidal flat (tanah lumpur pasang surut). Di
pantai selatan, sedimen yang terbawa sungai dan laut
mengendap di muara sungai membentuk tanggul dan
gumuk pasir (sand dune), sehingga terbentuk laguna
(Steenis, 1958; 1965; Whitten dkk., 2000). Di pantai utara
mangrove tidak hanya tumbuh di muara sungai, namun
terutama pada kawasan tidal flat, sedangkan di pantai
selatan hanya tumbuh di muara sungai. Di pantai selatan
terdapat kawasan mangrove terluas di Jawa, yaitu laguna
Segara Anakan, Cilacap, yang terbentuk karena adanya
perlindungan dari gelombang laut oleh Pulau Nusakambangan dan masukan air tawar dari Sungai Citanduy
dan lain-lain (Winarno dan Setyawan, 2003).
Struktur dan komposisi vegetasi tumbuhan merupakan
faktor penting yang mempengaruhi perpindahan aliran
materi, energi dan keanekaragaman hayati (Dubayah dkk.,
1997). Kanopi hutan merupakan faktor pembatas bagi
kehidupan tumbuhan, karena dapat menghalangi penetrasi
cahaya ke lantai hutan (Walters dan Reich, 1997; Fahey
dkk., 1998). Pengetahuan tentang struktur dan komposisi
vegetasi hutan dapat menjadi dasar untuk memprediksi
kemungkinan perubahan lingkungan yang akan terjadi di
masa depan (Aumeeruddy, 1994). Kesempatan sebuah

SETYAWAN dkk. Vegetasi mangrove di Jawa Tengah

pohon untuk mencapai kanopi hutan tergantung


penampakan anak pohonnya (Clark dan Clark, 1991; Kobe
dkk., 1995). Variasi ketersediaan sumberdaya ini beserta
perbedaan kemampuan antar spesies anak pohon dalam
menggunakannya dapat mempengaruhi komposisi dan
struktur vegetasi hutan (Latham, 1992; Pacala dkk., 1996).
Perbedaan kemampuan antara spesies anakan pohon
dalam menoleransi naungan mempengaruhi dinamika
hutan (Finzi dan Canham, 2000). Pada kondisi cahaya
rendah, perbedaan kecil dalam pertumbuhan pohon muda
dapat menyebabkan perbedaan mortalitas yang besar
(Kobe dkk., 1995), sehingga mempengaruhi kemelimpahan
relatifnya (Pacala dkk., 1996). Tumbuhan sering dibedakan
berdasarkan habitusnya menjadi pohon, semak, dan herba.
Pohon memiliki diameter batang > 10 cm, semak memiliki
diameter < 10 cm, tetapi tingginnya > 1,5 m, sedangkan
herba memiliki tinggi < 1,5 m. Dalam hal ini anak pohon
dapat dikategorikan sebagai semak, sedangkan bibit pohon
dan bibit semak dapat dikategorikan sebagai herba
(Kusmana dan Istomo, 1995).
Suksesi di hutan mangrove sangat aktif, arus pasang
surut memungkinkan masuknya sedimen dan invasi
berbagai spesies dari berbagai lokasi, dengan tingkat
adaptasi yang berbeda-beda. Perubahan fisik di dalam
hutan mangrove seperti pengeringan, pembangunan kanalkanal air dan pemakaian pupuk dalam pengelolaan tambak,
menyebabkan perubahan habitat mangrove (Tanaka,
1992), sehingga komposisi dan struktur vegetasi hutan ini
dapat berubah-ubah (Odum, 1971). Deposisi sedimen
dalam jumlah banyak juga dapat mempengaruhi ketinggian
tanah, sehingga mempengaruhi distribusi dan komposisi
tumbuhan mangrove (Callaway dan Zedler 1998).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan
struktur vegetasi mangrove di pantai utara dan pantai
selatan Jawa Tengah, mencakup strata berhabitus: (i)
pohon, (ii) semak dan anak pohon, serta (iii) herba, bibit
(seedling) semak dan bibit pohon.

BAHAN DAN METODE


Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s.d.
Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada 20
habitat mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah.
Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan, Demak (2)
Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4) Bulak, Jepara, (5)
Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7) Juwana, Pati, (8)
Pecangakan, Rembang, (9) Pasar Bangi, Rembang, (10)
Lasem, Rembang, (11) Bogowonto, perbatasan Kulonprogo
dan Purworejo, (12) Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo,
Purworejo, (14) Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo,
Kebumen, (16) Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap,
(18) Tritih, Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara
Dua, Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di
bibir/tepi pantai dan jauh dari muara sungai besar, lokasi
ke-18, 19, 20 terletak di laguna Segara Anakan, sedangkan
lokasi sisanya terletak di muara sungai. Penelitian
laboratorium dilakukan di Laboratorium Jurusan Biologi
FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Laboratorium
Pusat MIPA UNS Surakarta.
Alat dan bahan
Untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi
tumbuhan mangrove dilakukan tahap-tahap sebagai
berikut: koleksi, identifikasi, pembuatan herbarium, dan
analisis vegetasi. Dalam hal ini diperlukan perahu motor

195

sebagai sarana transportasi di kawasan mangrove,


khususnya di Wulan dan Segara Anakan yang luas.
Koleksi. Alat yang digunakan adalah: ransel, gunting
tanaman, pisau, beliung, pensil, buku lapangan, etiket
gantung, peta topografi, kompas dan teropong.
Identifikasi. Alat yang digunakan adalah: mikroskop,
mikroskop stereo, lampu penyorot, lensa pembesar, cawan
petri, jarum pemisah, pisau, pinset, dan buku identifikasi.
Pembuatan herbarium. Alat dan bahan yang
digunakan dalam pembuatan herbarium kering adalah:
sasak, kertas koran, kertas kardus, tali, gunting, pisau,
oven, kertas herbarium, label herbarium, amplop herbarium,
etiket herbarium dan lem/selotip bening. Sedangkan pada
pembuatan herbarium basah adalah: botol kaca bening,
gelas ukur, alkohol 70%, dan air.
Analisis vegetasi. Alat yang digunakan pada dasarnya
sama dengan alat untuk koleksi ditambah peralatan untuk
membuat plot kuadrat meliputi: meteran, tali plastik, dan
patok.
Cara kerja
Koleksi, identifikasi, dan pembuatan herbarium.
Koleksi dilakukan di dalam plot kuadrat untuk sampling
vegetasi. Spesimen segar hasil koleksi segera diidentifikasi.
Identifikasi spesies mangrove mayor, minor, dan tumbuhan
asosiasi merujuk pada pustaka-pustaka: Backer dan
Bakhuizen van den Brink (1963; 1965; 1968), Kitamura dkk.
(1997), Ng dan Sivasothi (2001), serta Tomlison (1986).
Identitas tumbuhan, yang meragukan dicocokkan dengan
spesimen kering koleksi Herbarium Bogoriense, Bogor.
Herbarium dibuat dari spesimen yang telah dewasa, tidak
terserang hama, penyakit atau kerusakan fisik lain.
Tumbuhan berhabitus pohon dan semak disertakan ujung
batang, daun, bunga dan buah, sedang tumbuhan
berbentuk herba disertakan seluruh habitus. Herbarium
kering digunakan untuk spesimen yang mudah dikeringkan,
misalnya daun, batang, bunga dan akar, sedangkan
herbarium basah digunakan untuk spesimen yang berair
dan lembek, misalnya buah (Lawrence, 1951).
Analisis vegetasi. Pengambilan data vegetasi
dilakukan dengan metode belt transect, yakni dengan
meletakkan belt transect ukuran 10X60 m2, dari bibir pantai
atau muara sungai ke arah daratan, yang di dalamnya
terdapat 6 plot kuadrat untuk setiap strata, dengan ukuran
10X10 m2 (habitus pohon), 5X5 m2 (habitus semak dan
2
anak pohon), serta 1X1 m (habitus herba, bibit semak, dan
bibit pohon). Pada setiap lokasi dari ke-20 lokasi penelitian
dibuat 18 plot kuadrat, sehingga terdapat 360 plot untuk
setiap strata habitus. Semua spesies tumbuhan di dalam
plot diidentifikasi dan diambil sampelnya untuk herbarium.
Diukur nilai penutupan dan frekuensi setiap spesies pada
setiap strata habitus. Data komposisi dan struktur vegetasi
ditampilkan dalam bentuk nilai penting. Nilai penting
merupakan penjumlahan nilai penutupan dan frekuensi
relatif yang dibagi dua (Odum, 1971; Barbour dkk., 1987).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Dalam penelitian ini, tidak semua spesies yang dijumpai
di area penelitian tercakup dalam analisis vegetasi,
mengingat metode yang digunakan adalah belt transect,
sehingga kawasan yang dicakup relatif terbatas. Dalam
penelitian yang dilakukan pada lokasi dan waktu yang sama
dengan metode survai (penjelajahan) ditemukan 55 spesies
(Setyawan dkk., 2005, dalam jurnal ini). Nilai penting setiap

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 194-198

196

spesies untuk setiap strata habitus disajikan pada Tabel 1.


Dalam analisis vegetasi tumbuhan berhabitus pohon
yang tercakup sebanyak 8 spesies, semak 5 spesies,
adapun herba 5 spesies/kelompok spesies. Kedelapan
tumbuhan berhabitus pohon tersebut adalah Avicennia spp.,
Sonneratia spp., Rhizophora spp., Excoecaria agallocha,
Aegiceras corniculatum, Nypa fruticans, Xylocarpus spp.,
dan Bruguiera spp. Kelima tumbuhan berhabitus semak
tersebut adalah Acanthus ilicifolius, Acrostichum spp.,

Derris trifoliata, Pandanus tectorius, dan Calotropis


gigantea. Adapun kelima tumbuhan berhabitus herba
tersebut
adalah
Ipomoea
pes-caprae,
Sesuvium
portulacastrum, kelompok rumput, rumput liar lain (belum
teridentifikasi), serta kelompok teki. Kelompok rumput
(Gramineae) meliputi: Cynodon dactylon, Paspalum spp.,
Phragmites karka; Spinifex littoreus, sedangkan kelompok
teki (Cyperaceae) meliputi: Cyperus spp., Fimbristylis
ferruginea; Scirpus spp. Tidak semua spesies yang tercakup

Tabel 1. Nilai penting spesies tumbuhan mangrove strata habitus pohon, strata habitus semak dan anak pohon, serta strata habitus herba,
bibit semak, dan bibit pohon di pantai utara dan selatan Jawa Tengah.

0
0 0,14 0,13 0,17 0,1 0,17 0,20
ASO 0,31 0,18 0
MIN 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0,20
0
0 0,15 0,18 0
0 0,07 0,23
ASO 0,29 0,12 0
ASO 0
0
0
0
0
0
0
0
0 0,07 0
0,12 0
0
0 0,06
ASO 0,17 0,10 0,13 0,17 0,20

Serayu

Bengawan

0,190
0,136
0,058
0,006
0,053
0,077
0,004
0,013

Strata habitus pohon


MAY 0,45 0,69 0,41 0,15 0,22 0,15 0,07 0,51 0,09 0,42 0
0
0
0
MAY 0,19 0,04 0,1 0 0,09 0 0,08 0 0,06 0,06 0,6 0,18 0,13 0
0
0
0
MAY 0,51 0,1 0,18 0,36 0,42 0,33 0,06 0,22 0,83 0,33 0
0
0
0
0
0
0
MIN 0
0
0
0
0
0 0,06 0
MIN 0
0
0
0 0,08 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0,46
MAY 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0,17 0
MIN 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
MAY 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Strata habitus anak pohon dan semak

Ijo

Rata-rata

Cingcingguling

MAY 0,49 0,43 0,33 0,26 0,24 0,18 0,10 0,43 0,13 0,32 0
0
0
0 0,1 0
0 0,32
0
0 0,58 0,20 0,20 0
0 0,30 0,04 0,21
MAY 0,23 0 0,17 0 0,11 0 0,22 0
0
0 0,32 0,20
0,62
MAY 0,54 0,27 0,23 0,33 0,30 0,34 0,17 0,26 0,68 0,46 0,1 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
MIN 0
0
0
0
0
0 0,11 0
MIN 0
0
0
0 0,18 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0,35 0,21 0,21 0,35 0
MAY 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0,23 0
MIN 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
MAY 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0,14

Lukulo

0,175
0,026
0,109
0,022
0,075

Cakrayasan

0
0 0,14 0,18 0,17 0,10 0,17 0,20 0,17 0,06 0 0,18 0,22 0,25 0,23 0,39 0,52 3,49
ASO 0,33 0,18 0
0
0
0
0 0,07 0,13 0,10 0,51
MIN 0
0
0
0
0
0
0
0 0,03 0 0,10 0,08 0
0
0 0,15 0,18 0
0 0,07 0,23 0,11 0 0,07 0,14 0,18 0,11 0,14 0,18 0,21 2,18
ASO 0,29 0,12 0
0
0
0
0
0
0 0,44
ASO 0
0
0
0
0
0
0
0
0 0,07 0 0,20 0,17 0
0 0,17 0
0
0 1,50
ASO 0,14 0,13 0,13 0,17 0,2 0 0,13 0 0,04 0 0,09 0,13 0 0,17 0
Strata habitus bibit pohon, bibit semak, dan herba

Bogowonto

0,163
0,126
0,213
0,005
0,058
0,004
0,004
0,013

Lasem

0,19 3,26
0,19 2,52
0,17 4,25
0 0,10
0,47 1,16
0,07 0,08
0,04 0,08
0,07 0,25

Pasar Bangi

0,19
0,19
0,17
0
0,52
0,10
0,04
0,04

Juwana

MAY 0,40 0,39 0,37 0,19 0,18 0,16 0,10 0,34 0,10 0,32 0
0
0
0 0,10 0
0 0,23
0 0,28 0,03 0,19
MAY 0,19 0 0,13 0 0,10 0 0,21 0 0,09 0,06 0,50 0,20 0,16 0
0
0 0,28 0,13 0 0,48
MAY 0,52 0,20 0,19 0,19 0,26 0,29 0,11 0,23 0,45 0,46 0,12 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
MIN 0
0
0
0
0
0 0,10 0
MIN 0
0
0
0 0,17 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0,34 0,20 0,19 0,34 0
MAY 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0,19 0
MIN 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
MAY 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0,14

Tayu

0,186
0,113
0,235
0,003
0,046
0,085
0,004
0,007

Telukawur

3,71
2,26
4,70
0,06
0,91
1,69
0,08
0,14

Bulak

0,11
0,07
0,21
0
0,35
0,07
0,04
0,03

Serang

0,16
0,13
0,17
0
0,48
0,12
0,04
0,04

Sigrogol

0,1 0
0 0,18
0,04 0,27 0,1 0,12
0,25 0,1 0 0,63
0
0
0
0
0
0
0
0
0,25 0,2 0,42 0
0
0
0
0
0
0
0 0,07

Wulan

Jumlah

Bibit pohon
1. Avicennia spp.
2. Sonneratia spp.
3. Rhizophora spp.
4. Excoecaria agallocha
5. Aegiceras corniculatum
6. Nypa fruticans
7. Xylocarpus spp.
8. Bruguiera spp.
Bibit semak
9. Acanthus ilicifolius *)
10. Acrostichum spp.*)
11. Derris trifoliata *)
12. Pandanus tectorius *)
13. Calotropis gigantea
Herba
14. Ipomoea pescaprae
15. Sesuvium portulacastrum
16. Rumput (Gramineae) **)
17. Rumput liar lainnya ***)
18. Teki (Cyperaceae) ****)

Muara Dua

Anak pohon
1. Avicennia spp.
2. Sonneratia spp.
3. Rhizophora spp.
4. Excoecaria agallocha
5. Aegiceras corniculatum
6. Nypa fruticans
7. Xylocarpus spp.
8. Bruguiera spp.
Semak
9. Acanthus ilicifolius
10. Acrostichum spp.
11. Derris trifoliata
12. Pandanus tectorius
13. Calotropis gigantea

Motean

Avicennia spp.
Sonneratia spp.
Rhizophora spp.
Excoecaria agallocha
Aegiceras corniculatum
Nypa fruticans
Xylocarpus spp.
Bruguiera spp.

Tritih

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kategori

Nama Spesies

Pantai Selatan
Pecangakan

Pantai Utara

0,25
0,21
0,25
0
0,50
0,11
0,04
0,04

0,21
0,25
0,28
0
0,37
0,07
0,04
0,07

3,79
2,72
1,15
0,11
1,05
1,53
0,08
0,25

0,17 0,06 0 0,18 0,22 0,25 0,23 0,39 0,51 3,41 0,171
0,08 0
0
0
0
0 0,07 0,13 0,1 0,58 0,029
0,05 0 0,07 0,14 0,18 0,11 0,14 0,18 0,21 2,12 0,106
0,17 0,17 0
0
0
0
0
0
0 0,41 0,021
0,13 0 0,16 0
0 0,10 0
0
0 0,57 0,029

0
0
ASO 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0,21 0,04 0,14 0,14 0,07 0
0 0,11 0,11 0,07 0,11 0,10 0,14 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
ASO 0,10 0,07 0
0 0,13 0,20 0 0,23 0,61 0,55 0,83 0
0
0 0,20 0
0
0
ASO 0,23 0 0,15 0,11 0
0 0,11 0
0
0
0 0,14 0,17 0,20 0 0,20 0
0
ASO 0 0,13 0
0 0,16 0,15 0
0
0 0,07 0 0,07 0,10 0,07 0
0 0,08 0
0
0 0,08 0
0 0,14 0,14
ASO 0,13 0

Keterangan: MAY = mayor, MIN = minor, ASO = asosiasi


*)
Umumnya berkembangbiak secara vegetatif, sedangkan perkembangbiakan secara generatif cenderung kurang berarti.
**)
Rumput (Gramineae) meliputi: Cynodon dactylon, Paspalum spp., Phragmites karka; Spinifex littoreus
***)
Rumput liar lain: belum teridentifikasi.
****) Teki (Cyperaceae) meliputi: Cyperus spp., Fimbristylis ferruginea; Scirpus spp.

0,60
0,81
3,24
1,26
0,88

0,030
0,041
0,162
0,063
0,044

SETYAWAN dkk. Vegetasi mangrove di Jawa Tengah

dalam analisis vegetasi memiliki nilai penting cukup besar,


beberapa di antaranya memiliki nilai penting sangat rendah
karena penyebarannya yang terbatas dan/atau nilai
penutupannya yang kecil, sehingga pengaruhnya terhadap
ekosistem relatif dapat diabaikan.
Pada habitat yang terfragmentasi, kebanyakan spesies
berada pada populasi yang memiliki ciri-ciri tersendiri,
mereka
dihubungkan
oleh
migrasi.
Lingkungan
memperlihatkan dinamika tertentu akibat disturbansi dan
suksesi komunitas tumbuhan (Stacey dan Taper, 1992;
Crawley, 1997). Selama perubahan kondisi ekologi ini,
lokasi boleh jadi kurang sesuai untuk jenis tertentu,
sebaliknya sangat cocok bagi spesies pendatang. Dalam
kondisi ini banyak komunitas berada dalam suatu
kesetimbangan antara pemunahan populasi lokal dan
pemantapan populasi baru, yakni mereka tinggal di
metapopulasi (Hanski dan Gilpin, 1997).
Strata pohon
Dalam penelitian ini nilai penting paling besar ditemukan
pada Rhizophora spp. (0,235), disusul Avicennia spp.
(0,186) dan Sonneratia spp. (0,113). Ketiga spesies ini
merupakan tumbuhan mangrove mayor yang biasa
mendominasi kawasan mangrove. Dalam penelitian ini
penyebaran ketiganya cukup merata, baik di pantai utara
maupun selatan Jawa Tengah. Nilai penting terbesar
berikutnya adalah N. fruticans (0,085), diikuti A.
corniculatum (0,046) dan Bruguiera spp. (0,007). N.
fruticans memiliki nilai penting cukup tinggi karena mampu
membentuk tegakan murni melalui perkembangbiakan
vegetatif yang mendominasi tempat-tempat tertentu pada
batas antara ekosistem laut dan tawar. Vegetasi ini
membentuk massa yang dominan di Cingcingguling, Ijo,
Bengawan, dan Serayu. Ketiadaan atau sedikitnya jenis
tumbuhan mangrove lain akibat penebangan oleh
penduduk, serta pemeliharaan N. fruticans oleh masyarakat
untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti sebagai penahan tanah
dari abrasi serta untuk dipanen buah dan daunnya, boleh
jadi menyebabkan kesuksesan tumbuhan ini dibanding-kan
tumbuhan mangrove lain di kawasan tersebut. Dua spesies
yang memiliki nilai penting paling kecil adalah E. agallocha
(0,003) dan Xylocarpus spp. (0,004). Keduanya memiliki
distribusi sangat terbatas. E. agallocha hanya ditemukan di
Juwana, sedangkan Xylocarpus spp. hanya ditemukan di
Motean dan Muara Dua (Segara Anakan).
Strata semak dan anak pohon
Semak dan anak pohon memiliki habitus dan strata
yang cenderung serupa, sehingga memiliki peran ekologi
yang diperkirakan sama. Dalam penelitian ini anak pohon
yang memiliki nilai penting tinggi merupakan genus yang
sama dengan pohon, yaitu Rhizophora spp. (0,213),
Avicennia spp. (0,163) dan Sonneratia spp. (0,126). Hal ini
sangat wajar mengingat hanya pohon-pohon yang telah
mapan yang mampu beregenerasi melahirkan keturunan
dengan jumlah melimpah, meskipun tidak tertutup
kemungkinan adanya suplai baru dari luar kawasan. Dalam
penelitian ini rata-rata nilai penting anak pohon tidak
berbeda jauh dengan rata-rata nilai penting pohon,
sehingga diperkirakan kelestarian jenis-jenis pohon akan
bertahan dalam jangka waktu lama, selama kondisi
lingkungan tidak mengalami perubahan yang drastis. Hal ini
sekaligus mengindikasikan bahwa di dalam ekosistem
tersebut terjadi disturbansi, tegakan tidak atau belum
mencapai klimaks, sehingga memberi kesempatan
tumbuhnya tumbuhan muda. Pada kondisi klimaks
biasanya bibit pohon akan mulai mati pada saat mencapai
umur anak pohon, mengingat pada kondisi ini terjadi

197

kompetisi dengan tumbuhan dewasa, khususnya untuk


memperebutkan ruang dan cahaya matahari. Adapun
dalam kondisi masih berupa bibit, tumbuhan biasanya
masih dapat bertahan karena adanya sisa-sisa cadangan
makanan dari biji dan ruang yang cukup, meskipun dengan
cahaya matahari yang terbatas karena berada di bawah
naungan pepohonan.
Semak dengan rata-rata nilai penting paling tinggi
dimiliki oleh A. ilicifolius (0,175), diikuti oleh D. trifoliata
(0,109). Kedua tumbuhan ini dapat berkembangbiak secara
vegetatif serta membentuk massa lebat/tebal yang
menghambat pertumbuhan spesies lain. Pada kawasan
terbuka akibat penebangan hutan, sebagaimana banyak
terjadi di Segara Anakan, keduanya dapat tumbuh lebat
dan mendominasi kawasan tersebut. Hal ini merupakan
langkah awal proses suksesi sekunder. Keduanya juga
tumbuh pada tanah akresi yang baru terbentuk, sebagai
langkah awal proses suksesi primer, misalnya di Segara
Anakan dan Wulan.
Semak lain memiliki nilai penting sebagai berikut: C.
gigantea (0,075), Acrostichum spp. (0,026), dan P. tectorius
(0,022). P. tectorius merupakan bagian dari formasi hutan
pantai yang umumnya ditemukan pada kawasan berpasir
dan kering. Adapun C. gigantea merupakan tumbuhan
dataran kering dengan penyebaran sangat luas, termasuk
di kawasan pedalaman pulau Jawa. Kemampuannya
beradaptasi
terhadap
salinitas
dan
kekeringan
menyebabkannya mampu tumbuh sebagai tumbuhan
asosiasi mangrove. Dalam penelitian ini keduanya sering
ditemukan pada pematang tambak yang keras dan kering.
Sebaliknya Acrostichum spp., sebagai tumbuhan mangrove
minor, hanya mampu tumbuh pada tanah mangrove yang
becek (water logged).
Strata herba, bibit pohon dan bibit semak
Herba memiliki habitus serupa dengan bibit pohon dan
bibit semak, sehingga secara ekologi diperkirakan memiliki
peranan yang sama pula. Besarnya nilai penting bibit
pohon, tidak berbeda jauh dengan nilai penting anak pohon
dan pohon. Avicennia spp. (0,190), Sonneratia spp. (0,136),
dan Rhizophora spp. (0,058) memiliki nilai penting yang
cukup tinggi, sehingga dalam jangka panjang diperkirankan
kelestariannya akan terjaga. Nilai penting bibit Rhizophora
spp. yang lebih kecil dari kedua genus lainnya disebabkan
bentuk kanopi bibit pohon ini relatif lurus ke atas, dengan
proyeksi ke permukaan tanah lebih sempit sehingga nilai
penutupan lebih kecil untuk jumlah individu bibit yang sama.
Strata bibit pohon lainnya yang memiliki nilai penting cukup
tinggi adalah N. fruticans (0,077). Hal ini terjadi karena
tumbuhan tersebut mampu berkembangbiak secara
vegetatif membentuk tegakan murni, di samping mampu
pula berkembang biak secara generatif.
Besarnya nilai penting bibit semak hampir sama dengan
nilai penting semak. Hal ini boleh jadi disebabkan hampir
semua tumbuhan semak yang ada dapat berkembangbiak
secara vegetatif. Dari lima spesies semak tersebut, hanya
C. gigantea yang tidak dapat berkembangbiak secara
vegetatif. Sebaliknya Acrostichum spp. dan D. trifoliata
perkembangbiakan secara vegetatif jauh lebih maju dari
pada perkembangbiakan secara generatif.
Dalam penelitian ini kelompok herba yang memiliki nilai
penting terbesar adalah rumput (rata-rata keseluruhan
0,162), diikuti rumput liar lain (rata-rata keseluruhan 0,063),
dan teki (rata-rata keseluruhan 0,044). Adapun dua spesies
sisanya adalan I. pes-caprae (0,030) dan Sessuvium
portulacastrum (0,041). Kelima spesies/kelompok spesies
tersebut memiliki penyebaran yang relatif merata, baik di

198

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 194-198

pantai utara maupun selatan, kecuali I. pes-caprae yang


dalam penelitian ini hanya dijumpai di pantai selatan.
Spesies ini merupakan bagian dari formasi hutan pantai
yang umumnya hanya tumbuh di kawasan pantai berpasir
yang kering, sehingga tidak dijumpai di lokasi penelitian di
pantai utara yang umumnya berupa kawasan pantai
didominasi lumpur. Penelitian Suranto dkk. (2000)
menunjukkan bahwa di pantai utara Tuban yang berpasir
dan kering terdapat komunitas tumbuhan I. pes-caprae.
Secara umum strata pohon yang sekaligus memiliki
strata anak pohon dan bibit pohon, serta strata semak yang
sekaligus
memiliki
strata
bibit
semak,
apabila
diperbandingkan dalam satu spesies yang sama maka nilai
pentingnya cenderung tetap. Kondisi ini merupakan sinergi
dari banyak faktor mulai dari faktor biotik, abiotik, dan sosial
budaya masyarakat yang telah mapan, sehingga
diperkirakan kelestarian tumbuhan mangrove di pantai
utara dan selatan Jawa dalam jangka panjang akan lestari.

KESIMPULAN
Secara umum strata pohon yang sekaligus memiliki
strata anak pohon dan bibit pohon, serta strata semak yang
sekaligus
memiliki
strata
bibit
semak,
apabila
diperbandingkan dalam satu spesies yang sama maka nilai
pentingnya cenderung tetap. Pada tiga besar tumbuhan
mangrove mayor, yaitu Avicennia spp., Sonneratia spp.,
dan Rhizophora spp. nilai penting pada strata pohon secara
berturut-turut adalah0.190, 0.136, dan 0.058; strata anak
pohon 0.163, 0.126, dan 0.213, strata bibit pohon 0.186,
0.113, dan 0.235. Oleh karenanya kelestarian tumbuhan
mangrove di Jawa Tengah diperkirakan akan terjamin,
meskipun dalam kondisi disturbansi, selama tidak terjadi
perubahan-perubahan lingkungan secara besar-besaran
dalam skala luas. Data ini sekaligus menunjukkan tingginya
pengaruh antropogenik, yang menyebabkan disturbansi
ekosistem, sehingga tegakan tidak mencapai klimaks,
dengan nilai penting tumbuhan muda relatif tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. Bangkok:
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources.
Aumeeruddy, Y. 1994. Local Representations and Management of
Agroforests on the Periphery of Kerinci Seblat National Park, Sumatra,
Indonesia, People and Plants Working Paper 3. Paris: UNESCO.
Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol.
I. Groningen: P.Noordhoff
Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol.
II. Groningen: P.Noordhoff
Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java. Vol.
III. Groningen: P.Noordhoff
Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of mangroves.
Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148.
Barbour, M.G., J.H. Burk, and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology.
Second edition. Menlo Park CA.: The Benjamin Cummings Pub. Co. Inc.
Callaway J.C, and J.B. Zedler. 1998. Tidal wetland sedimentation impacts:
flood-caused bare zones sustained by trampling and high salinities.
ASLO/ESA Joint Conference on the Land-Water Interface. St. Louis,
June 1998.
Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein: J.Cramer Verlag.

Clark, D.A. dan D.B. Clark. 1991. The impact of physical damage on canopy
tree regeneration in tropical rain forests. Journal of Ecology 79: 447-457.
Crawley, M.J. 1997. Plant Ecology. Oxford: Blackwell Science.
Dubayah, R., J.B. Blair, J.L. Bufton, D.B. Clark, J. Jaja, R. Knox, S. Luthcke,
S. Prince and J. Weishampel. 1997. The vegetation canopy lidar
mission, Land Satellite Information in the Next Decade II: Sources and
Applications. ASPRS Proceedings: 100-112.
Fahey, T.J., J.J. Battles, and G.F. Wilson. 1998. Responses of early
successional hardwood forests to changes in nutrient availability.
Ecology Monograph 68 (2): 183-212.
Finzi, A.C and C.D. Canham. 2000. Sapling growth in response to light and
nitrogen availability in a southern New England forest. Forest Ecology
and Management 131: 153-165.
Hanski I, and M.E. Gilpin. 1997. Metapopulation Biology: Ecology, Genetics,
and Evolution. San Diego, CA: Academic Press.
Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A review of the
floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka. Botanical
Journal of the Linnean Society 138: 29-43.
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of
Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The Development of
Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest
Indonesia and Japan International Cooperation Agency.
Kobe, R.K., S.W. Pacala, J.A. Silander Jr., and C.D. Canham. 1995. Juvenile
tree survivorship as a component of shade tolerance. Ecology Applied 5
(2): 517-532.
Kusmana, C. dan Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan
IPB.
Latham, R.E. 1992. Co-occurring tree species change rank in seedling
performance with resources varied experimentally. Ecology 73: 21292144.
Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomi of Vascular Plants. New York: Joh Wiley
and Sons.
MacNae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove
swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in Marine
Biology 6: 73-270.
Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore.
Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal
Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre.
Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. 3rd edition.
New York: Harper Collins College Publishers.
Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. Philadelphia: W.B.
Sounders Company.
Pacala, S.W., C.D. Canham, J. Saponara, J.A. Silander, R.K. Kobe, and E.
Ribbens, 1996. Forest models defined by field measurements II.
Estimation, error analysis, and dynamics. Ecology Monograph 66 (1): 144.
Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, Kusumo Winarno, dan A.
Susilowati. 2005. Tumbuhan mangrove di Propinsi Jawa Tengah: 1.
Keanekaragaman jenis. Biodiversitas 6 (1): 00-00 (submitted).
SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan
Mangrove di Indonesia (Draft Revisi); Buku II: Mangrove di Indonesia.
Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Stacey P.B. and M. Taper. 1992. Environmental variation and the
persistence of small populations. Ecological Applications 2: 18-29.
Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana.
Djakarta: Noordhoff-Kollf.
Steenis, C.G.G..J. van. 1965. Concise plant-geography of Java. In: Backer,
C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II.
Groningen: P.Noordhoff
Suranto, Sajidan, Harliyono, K. Winarno, dan S.E. Hariningsih. 2000. Studi
variasi populasi Ipomoea pes-caprae (L.) Sweet di Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Yogyakarta. BioSMART 2 (1): 28-33.
Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest.
Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management Project.
Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge
University Press.
Walters, M.B., and P.B. Reich, 1997. Growth of Acer Saccharum seedlings in
deeply shaded understories of northern Wisconsin: effects of nitrogen
and water. Canadian Journal of Forest Research 27: 237-247.
Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 2000. Ecology of Java and Bali.
Singapore: Periplus.
Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan Sungai
Citanduy, Buah Simalakama Konservasi Ekosistem Mangrove Segara
Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 199-204

ISSN: 1412-033X
Oktober 2005

Gatra Taksonomi Argostemma Wall. (Rubiaceae-Rubioidae) di


Gunung Gede-Pangrango, Gunung Halimun, dan Gunung Salak
berdasarkan Karakter Morfologi
The taxonomical aspect of Argostemma Wall. (Rubiaceae-Rubioidae) in Mount GedePangrango, Mount Halimun, and Mount Salak based on morphological characteristics
R. SUBEKTI PURWANTORO1,, HARRY WIRIADINATA2, SUSIANI PURBANINGSIH3
1

UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cianjur 43253.

Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16122.
3
Program Studi Biologi, Program Pascasarjana FMIPA Universitas Indonesia (UI) Depok 16424.
Diterima: 22 Pebruari 2005. Disetujui: 8 Mei 2005.

ABSTRACT
Vegetative character and reproductive at Argostemma from Mount Gede-Pangrango, Mount Halimun, and Mount Salak have been used for
the identification of 101 herbarium specimens from Herbarium Bogoriense and new specimens from field. Identifying of herbarium
specimens based morphology character on Argostemma hybrid group by previous author still identified as Argostemma montanum. Ovary
at Argostemma consist of 2-3 celled, ovary 2 celled is found at A. montanum and A. borragineum, while the ovary of A. uniflorum account of
3 celled. Amount of flower do not range from 3-6, but between 1-8. Study on Argostemma morphology also can be concluded that in Mount
Gede-Pangrango, Mount Halimun, and Mount Salak there are 3 Argostemma species, that is A. montanum Blume ex DC, A. borragineum
Blume ex DC, and A. uniflorum Blume ex DC. Spreading of Argostemma vertically in Mount Gede-Pangrango, Mount Halimun, and Mount
Salak range from 560-2,600 m above sea level. with spreading center 1,000-2,000 m above sea level.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: Argostemma, morphological characteristics, herbarium specimens, Mount Gede-Pangrango, Mount Halimun, Mount Salak.

PENDAHULUAN
Argostemma Wall. adalah salah satu anggota suku
Rubiaceae (Sunarno dan Rugayah, 1992; Sridith, 1999).
Menurut Robbrecht (1988) dalam Alejandro dan Leide
(2003) Rubiaceae merupakan kelompok tumbuhan vaskuler
yang terdiri atas 659 marga dan membawahi tidak kurang
dari 13.000 jenis. Selanjutnya dikatakan bahwa di wilayah
Malesia Rubiaceae terdiri atas 150 marga dan 1.830 jenis.
Argostemma diperkenalkan pertama kali oleh Wallich pada
tahun 1824 (Carey 1975). Pada umumnya Argostemma
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: berbatang tegak atau
bagian bawah menjalar, tinggi kurang dari 1 m. Daun
tunggal, bertulang menyirip, bertangkai daun pendek;
duduk daun berseberangan, jarang berkarang semu.
Perbungaan hermafrodit, terminalis, tunggal atau dalam
perbungaan memayung atau bentuk simosa; lembar
kelopak menabung; mahkota menyerupai terompet, ujung
tegak atau melengkung ke luar; tangkai benang sari
menempel pada pangkal tabung mahkota, kepala sari tegak
menghadap ke luar; bakal buah beruang 2; bakal biji
banyak; tangkai putik membenang. Buah terlindung oleh
lembar kelopak, biji berjumlah banyak berbentuk segi tiga
pipih.
Alamat korespondensi:
UPT BKT Kebun Raya Cibodas-LIPI.
Kompleks Gd. IX/5, Jl. Juanda 13 Bogor 16122.
Tel. & Fax.: +62-251-354150.
e-mail: subekti27@yahoo.com.

Dalam perkembangan sejarah taksonomi Rubiaceae,


Argostemma di Asia terdiri atas 5 seksi (section), yaitu
seksi
Argostemma,
Pomangium,
Argostemella,
Elasteimoides, dan seksi Borragineum (Bakhuizen van den
Brink Jr. 1953). Kemudian Backer dan Bakhuizen van den
Brink Jr. (1965) membagi Argostemma di Pulau Jawa
menjadi 5 jenis tanpa melalui seksi-seksi tersebut.
Pengelompokan Argostemma di Pulau Jawa oleh Backer
dan Bakhuizen van den Brink Jr. (1965) demikian itu pernah
pula dilakukan oleh Miquel (1868) dan Candolle (1830).
Mabberly (1990) melaporkan bahwa marga Argostemma
terdiri atas 100 jenis. Penyebaran Argostemma di Asia
meliputi Nepal, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra,
Kalimantan, Serawak, Sabah, Jawa dan Filipina (Candolle,
1830; Miquel, 1868; Holthuis dan Lam, 1942; Lam, 1942;
Bakhuizen van den Brink Jr., 1953; Backer dan Bakhuizen
van den Brink Jr., 1965; Sridith dan Puff, 2000).
Menurut Backer dan Bakhuizen van den Brink Jr. (1965)
Argostemma yang terdapat di Pulau Jawa adalah A.
uniflorum Blume ex DC, A. borragineum Blume ex DC, and
A. montanum Blume ex DC. Selanjutnya Backer dan
Bakhuizen van den Brink Jr. (1965) yang didukung oleh
Steenis (1974) menemukan sekelompok Argostemma yang
menurut dugaannya merupakan hibrid alam antara A.
montanum dan A. borragineum. Kelompok yang ditemukan
di Nirmala Gunung Halimun tersebut mempunyai ciri-ciri:
lebih dari separuh bagian pada lembar mahkota
berlepasan, keadaan demikian mirip dengan A.
borragineum. Sementara itu bentuk bunga, perawakan, dan
tabung benang sari sama dengan A. montanum. Penelitian

200

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 199-204

Aditya dan Corpus (2002) mengungkapkan adanya hybrid


baru antara A. montanum dan A. uniflorum, tetapi di dalam
penelitiannya tidak dilengkapi dengan pertelaan seperti
pada hibrid yang pertama.
Karakter yang bisa dipilih untuk memisahkan tumbuhan
adalah karakter morfologi vegetatif dan karakter morfologi
reproduktif. Karakter morfologi vegetatif yang biasa
digunakan a.l. ukuran dan bentuk daun, tangkai daun, daun
penumpu (petiole) dengan struktur dan macam alat
tambahan, sedangkan karakter morfologi reproduktif antara
lain morfologi bunga, ukuran perbungaan termasuk daun
gagang (bractea), daun gantilan (brakteola), gantilan
(pedicel), lembar kelopak, lembar mahkota.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengklarifikasi dengan adanya dugaan hibrid
pada Argostemma di Gunung Halimun, Gunung GedePangrango, dan Gunung Salak sesuai dengan laporan dari
Backer dan Bakhuizen van den Brink Jr. (1965); Steenis
(1974); Aditya dan Corpus (2002).

BAHAN DAN METODE


Pengambilan bahan herbarium dan pengamatan morfologi dilakukan pada bulan Nopember 2002 s.d. Januari
2003 di Gunung Halimun, Gunung Gede-Pangrango, dan
Gunung Salak berupa 72 spesimen herbarium baru dan 29
spesimen herbarium koleksi Herbarium Bogoriense.
Pengkoleksian spesimen dilakukan dengan menyimpan
bahan material ke dalam lipatan koran bekas, ditempatkan
ke dalam kantong plastik, disiram dengan alkohol 70%.
Selanjutnya dilakukan proses pengeringan, pelabelan, dan
pengidentifikasian dilakukan di Herbarium Bogoriense.
Dengan menggunakan metode deskriptif (Vogel, 1987),
dilakukan pencatatan data taksonomi. Spesimen herbarium
dipilah-pilah dalam kelompok-kelompok berdasarkan
karakter morfologi, kemudian dilakukan pengamatan dan
analisis karakter terhadap kelompok untuk dasar penentuan
batasan takson. Kriteria dasar analisis karakter untuk dasar
pengelompokan dengan menggunakan metode deskriptif
tersebut digunakan karakter-karakter morfologi yang
konstan, artinya karakter yang dipakai konsisten pada
spesimen satu dengan lainnya. Tahap berikutnya dibuat
kunci identifikasi, pertelaan lengkap, dan gambar ilustrasi.
Adapun istilah taksonomi dalam penelitian ini menggunakan
buku: Glosarium Biologi karangan Rifai dan Emitati (1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Argostemma di Gunung Halimun, Gunung GedePangrango, dan Gunung Salak dapat dibedakan menjadi 3
jenis berdasarkan karakter morfologi vegetatif dan
reproduktif. Pengelompokan jenis Argostemma disajikan
pada kunci identifikasi sebagai berikut:
1. a. Perbandingan daun lebih dari 3:1. Perbungaan tunggal.
Bakal buah beruang 3 .......... A. uniflorum Blume ex DC.
b. Perbandingan daun kurang dari 2:1. Perbungaan sinsinus
atau memayung atau anak payung. Bakal buah beruang
2
............................................... 2
2. a. Perbungaan sinsinus, lembar mahkota tergulung balik
(revoluted) .. A. borragineum Blume ex DC
b. Perbungaan memayung atau anak payung, lembar
mahkota terlengkung balik (recurved) ..........................
........ A. montanum Blume ex DC

Pertelaan
1. Argostemma uniflorum Blume ex De Candolle
A. uniflorum Blume ex De Candolle, Prod. Syst. Nat. 4:
418 (1830), Miq., Ann. Mus. Bot. 4: 229 (1868); Koord.,
Exk. Von Jav. 3: 247 (1912); Koord., Fl. Von Tjibodas 3: 7
(1918); Bak.f., Blumea 7(2): 332 (1953); Back & Bakh.f., Fl.
Jav. 2: 293 (1965); Steenis, The Mts. Fl. Jav., plate: 46.7
(1972).
Tipe: Jawa Barat, hutan pegunungan, Blume s.n. (BO,
L. !).
Pomangium montanum Zipp. Non Reinward, Miq., Ann.
Mus. Bot. 4: 229 (1868). Tipe: Jawa Barat, hutan
pegunungan, Blume s.n. (BO, L. !).
Terna: menjalar dengan ujung tegak, batang berbulu
jarang coklat kadang-kadang bercabang, 13,5-25 cm.
Daun: jorong, melanset, membundar telur sungsang,
permukaan atas hijau mengkilat, bulu permukaan atas daun
hanya terdapat di sekitar tepi daun, pertulangan berbulu
sampai cabang pertama, bulu coklat, jaringan pertulangan
membentuk jala tetapi tidak menonjol ke permukaan,
jumlah tulang cabang pertama dari ibu tulang 4-7, ujung
tulang cabang pertama gundul bersambung ke tulang
cabang berikutnya, permukaan bawah berwarna putih
perak, tepi daun berbulu teratur, ujung meruncing; pangkal
menyadak (oblique) atau menirus (attenuate); pasangan
daun sangat berbeda, daun yang kecil seperti daun
penumpu, 2-3,7x1-1,9 cm. Tangkai daun: berbulu, 0,4-0,7
cm. Daun penumpu: putih perak, permukaan luar gundul,
tepi berbulu teratur, berbentuk menjantung melebar, 0,40,8x0,3-0,6 cm. Perbungaan: memayung (umbelliform),
berbunga tunggal; gagang (peduncle) mula-mula berwarna
putih setelah tua hijau mengkilat, gundul, 0,55-1,6 cm; daun
gagang (bractela) membundar telur, berbulu teratur, ujung
melancip, kadang-kadang ujung bercelah, 0,3-0,5x0,1-0,5
cm; panjang gantilan 0,8-2,5 cm; daun gantilan berbentuk
benang, 4 lembar, ujung meruncing, 0,4x0,15 cm;
permukaan luar dasar bunga berbulu panjang; lembar
kelopak hijau muda, permukaan luar berbulu pendek,
pertulangan menjala, 1/3 bagian bawah menabung, ujung
melancip, 0,2-0,4x0,2 cm; lembar mahkota membundar
telur memanjang, berwarna putih, tengah tabung mahkota
hijau membintang, tepi berbulu putih, permukaan luar dan
dalam gundul, ujung dan sisi-sisinya agak melekuk ke luar,
meruncing, 0,7-1,1x0,3-0,5 cm; tabung benang sari
berbentuk kerucut memanjang, panjang 1,2 cm, meruncing
berwarna putih sampai coklat kekuningan, ujungnya
membungkus kepala putik atau tangkai kepala putik yang
gundul dan membenang muncul ke luar, kepala benang sari
berjumlah 5 menghadap ke luar; kepala putik berwarna
putih kekuningan, membulat lonjong (ovoid).
Sebaran: Di Jawa, jenis ini hanya ditemukan di bagian
barat Propinsi Jawa Barat dan Banten sampai di sekitar
pegunungan Priangan, 900-2.000, jenis ini ditemukan di
Gunung Baud Puncak pada ketinggian 1.450-1.600 m dpl.,
di Gunung Halimun ditemukan di 2 lokasi: Ci Kuda Paeh
pada ketinggian 1.100-1.250 m dpl. dan di Gunung Botol
pada ketinggian 1.500 m dpl., sedangkan di Gunung Salak
ditemukan pada ketinggian 1.100-1.950 m dpl. Di samping
itu di Sumatra juga ditemukan di Gunung Goh Lembuh
Aceh, dekat air terjun Putih pada ketinggian 1.200 m dpl.
Habitat: Permukaan lantai hutan berlumut, permukaan
batang kayu lapuk berlumut dengan kelembaban tinggi,
ternaungi oleh pohon-pohon dan semak-semak.
Spesimen yang diamati: Taman Nasional GedePangrango: Gunung Baud: 10.IX.2003.PW 179, 10
IX.2003.PW184, 10 IX.2003.PW197, 10 IX.2003.PW198, 10

PURWANTORO dkk. Taksonomi Argostemma

IX.2003.PW210, 10 IX.2003.PW211, 10 IX.2003.PW212.


Geger
Bentang:
26.VII.1928.Steenis
2094,
31.V.1914.Backer 13687. Taman Nasional Gunung
Halimun: Gunung Sanggabuwana: 30.III.1918.Backer
23790. Gunung Salak: 16.IX.1913. Backer 9234,
8.18.VII.1974.Afriastini Z., 22.II.2000.Wiriadinata & Hoover
31216.
2. Argostemma borragineum Blume ex De Candolle
A. borragineum Blume ex De Candolle, Prod. Syst. Nat.
4: 417 (1830), Miq., Ann. Mus. Bot. 4: 229 (1868); Koord.,
Exk. Von Jav. 3: 247 (1912); Miq., Fl. Ind. Bat. 2:163
(1856); Bak.f., Blumea 7(2): 332 (1953); Back & Bakh.f., Fl.
Jav. 2: 293 (1965); Steenis, The Mts. Fl. Jav., plate: 46.7
(1972).
Tipe: Jawa Barat, hutan pegunungan, Blume s.n. (BO,
L. !).
Terna: menjalar dengan ujung tegak, bercabang batang
berbulu pendek, 20-50 cm. Daun: lebar, permukaan atas
daun berbulu bersusuhan tersebar rata, tepi daun berbulu
berkelompok-kelompok 2-3 bulu, 7,4-23,2x3,1-5,7 cm.
Daun penumpu: interpetiolaris, membundar telur, ujung
melancip, 0,4-0,7x0,4-0,7 cm, jumlah tulang cabang
pertama 6-8. Perbungaan: berbentuk dobel sinsinus, 7-30
bunga; gagang berwarna hijau pucat, 1-6 cm; daun gagang
membundar telur memeluk gagang, ujung melancip, 0,150,7x0,2-0,5 cm; gantilan berwarna putih, berbulu, semakin
ke bawah bulu semakin pendek, gantilan menunduk waktu
bunga kuncup, setelah buah tua gantilan menjadi tegak,
0,1-1,7 cm; daun gantilan membenang, 0,3-0,4x0,1-0,2 cm;
lembar kelopak 1/3 bagian bawah berlekatan, agak tebal,
hijau, melancip, 0,2-0,3x0,1-0,2 cm; 2/3 bagian ujung
tabung mahkota berlepasan 5 lembar tergulung balik
(revoluted), panjang 0,6x0,2 cm, lembar mahkota hijau
pucat; tabung benang sari membulat dengan ujung pendek
berwarna kuning sampai coklat muda, ujung pendek
dengan 5 tonjolan kecil membulat tegak, 0,4x0,2 cm;
tangkai kepala putik (stylus) membenang, ujung menebal
dan berbulu putih pendek; kepala putik (stigma) putih
kekuningan sampai kuning; bunga mekar satu persatu.
Sebaran: Pulau Jawa. Pada waktu penelitian lapangan
tahun 2002 jenis ini ditemukan di Kebun Raya Cibodas
pada ketinggian 1.200 m dpl., di Gunung Kendeng ada
pada ketinggian 900-1.200 m dpl., dan di Gunung Salak
tersebar pada ketinggian 560-1.230 m. Menurut Steenis
(1972) jenis ini termasuk agak jarang (rather rare), hanya
ditemukan di Jawa Barat dan Banten pada ketinggian 4001.500 m dpl. Di luar Jawa dapat ditemukan di Lombok,
Sumatra, Malaya, dan Borneo.
Habitat: Basah, lokasi cekungan lereng pegunungan,
pinggir sungai yang berkelembaban tinggi, sangat ternaungi
dengan humus yang tebal.
Spesimen yang diamati: Taman Nasional GedePangrango:
Gunung
Betet:
1918.Backer
22573,
1918.Backer 22573. Gunung Gede: 1917.Backer 1906.
Karang Gantungan Bogor: (?).Backer 6309. Puncak:
28.XII.1912.Backer 148, 1912.BO-1285509. Situ Gunung:
24.IV.1928.Steenis 164. Taman Nasional Gunung
Halimun: Ci Kuda Paeh: 15.IX.2003.PW 202. Gunung
Kendeng: 23.XI.2002.PW 199, 22.XI.2002.PW 200,
22.XI.2002.PW 201, 22.XI.2002.PW 213. Nirmala:
(?).1913.Backer
10770,
28.XII.1912.Backer
6148,
20.XII.1913.Backer 10866, 5.IX.1941.Steenis 12435.
Gunung Salak: (?). Afriastini Z.2, 21.XII.1927.Steenis 151,
13.IX.1913.Backer
9204,
4.XII.2002.PW
181,
4.XII.2002.PW 182.

201

3. Argostemma montanum Blume ex De Candolle


A. montanum Blume ex De Candolle, Prod. Syst. Nat. 4:
418 (1830), Miq., Fl. Ind. Bat. 2:163 (1856); Miq., Ann. Mus.
Bot. 4: 229 (1868); Koord., Fl. Von Tjibodas 3: 7 (1918);
Back & Bakh.f., Fl. Jav. 2: 293 (1965); Steenis, The Mts. Fl.
Jav., plate: 46.7 (1972).
Tipe: Jawa Barat, hutan pegunungan, Blume s.n. (BO,
L. !).
Terna: tegak atau ujung tegak, batang hijau pucat
berbulu rapat berbaring ke arah ujung, 15-38 cm. Daun:
membundar telur, jorong, lonjong, bagian ujung meruncing,
pangkal menirus, seluruh tepi berbulu atau bagian bawah
saja atau gundul, 2-4x1-2.8 cm; ukuran pasangan daun
relatif sama, permukaan hijau pucat atau hijau mengkilat
atau hijau tua kasar, bulu tersebar di seluruh permukaan
atas daun atau hanya sekitar tepi saja, ibu tulang dan
pertulangan cabang pertama berwarna putih pucat, tidak
menonjol
ke
permukaan,
berbulu
teratur
atau
mengelompok, permukaan bawah hijau pucat, pertulangan
menonjol ke permukaan berbulu putih sampai pertulangan
cabang kedua, berbaring ke arah ujung aksis, jumlah tulang
cabang pertama 6-8, ujung tulang cabang tersebut gundul
atau berbulu bersambung dengan tulang cabang pertama
berikutnya, jaringan pertulangan berupa tonjolan halus ke
permukaan. Tangkai daun: berbentuk silinder, berbulu
putih, berbaring kearah ujung aksis, 0,3x1,2 cm. Daun
penumpu: berbentuk jorong-melanset, sisi luar berbulu
jarang, ujung melancip, 0,2-0,5x0,05-0,4 cm. Perbungaan:
memayung atau anak payung, jumlah bunga 1-8 bunga;
gagang hijau pucat berbulu, 0,9-3,3 cm; daun gagang,
0,5x0,25 cm; gantilan berbulu rapat, panjang 0,4-0,8 cm;
daun gantilan menjorong langsing, 4 lembar, panjang 0,3
cm; permukaan dasar bunga berbulu keriting panjang
warna putih, ke arah pangkal semakin pendek; tabung
kelopak hijau tua, lebih dari separuh lembar kelopak
berlepasan, permukaan luar dekat pangkal tertutup bulu,
ujung melancip sampai meruncing, 0,2-0,3 cm; lembar
mahkota 1/2-2/3 bagian atas berlepasan, lembar mahkota
putih agak melebar dengan ujung melancip sampai
meruncing, 1/2 bagian yang berlepasan terlengkung balik,
tengah mahkota berwarna hijau membintang, permukaan
luar berbulu putih pendek; tabung benang sari berbentuk
kerucut, melancip, ada yang ujungnya membungkus
sebagian atau seluruh kepala putik, tangkai kepala putik
membenang putih; kepala putik membulat putih pucat.
Sebaran: Di Jawa jenis ini ditemukan di Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Penelitian lapangan pada
tahun 2002 jenis ini ditemukan di Gunung Gede, Telaga
Warna Puncak, Selabintana, Geger Bentang, dan Gunung
Baud pada ketinggian 1.200-2.100 m dpl, di Gunung
Kendeng, Ci Kuda Paeh, dan Gunung Botol pada
ketinggian 1.000-1.600 m dpl., dan Gunung Salak pada
ketinggian 900-1.700 m dpl. Di luar Jawa ditemukan di
Sumatra dan P. Talaud.
Habitat: Kelembaban tinggi pada batu berlumut atau
pada permukaan batang Cyathea spp.
Spesimen yang diamati: Taman Nasional GedePangrango: Cibeureum: 14.IX.1919.Bakh. v/d Brink 2782.
Cibodas: 28.I.1895.Hallier 394, 2.X.1919.Koorders 31873,
1.XI.1908.Koorders
31981b,
(?).1908.BO
1374012,
(?).1941.Schiffner
2651,
1.IX.1979.Arsin
19654,
6.V.1914.Lorzing 1470, V.1912.Boerlage (BO1335691),
(?).Leg Ign 18989. Gunung Baud: 10.IX.2003.PW 196.
Gunung Bunder: 25.XII.1929.Steenis 4028. Gunung Gede:
6.IV.1917.Backer 22306. G. Limo: 29.IX.1935.Steenis 6846.
Gunung Pangrango: (?).Manchy Sn. (BO 1335229),
1920.Kramer 21, (?).1922.Smith 787, III.1922.Kramer (BO

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 199-204

202

1373991). Geger Bentang: 26.VII.1928.Steenis 2141.


Kandang Badak: (?).1925.BO 1335241, (?).Steenis 11,
21.VII.1928.Steenis 1973. Sindanglaya: (?).Ploem 18976.
Taman
Nasional
Gunung
Halimun:
Nirmala:
25.XII.1913.Backer 11096, IV.1941.Steenis 12439. Gunung
Botol: XI.2002.PW 156, XI.2002.PW 162, XI.2002.PW 183,
XI.2002.PW 186, XI.2002.PW 219. Ci Kuda Paeh:
XI.2002.PW 187, XI.2002.PW 188, XI.2002.PW 190.
Gunung Halimun: 17.V.1974.Dransfield 4222. Gunung
Kendeng: 22.XI.2002.PW 203, 23.XI.2002.PW 214,
23.XI.2002.PW 215, 23.XI.2002.PW 218. Gunung Salak:
11.V.1900.Koorders
36716,
(?).1906.BO
1373997,
12.IX.1913.Backer 9182, 25.IX.1913. 9366, (?).1921.Bakh.
v/d Brink 5125, (?).1925.BO 1335239, 3.XII.2002.PW 172,
3.XII.2002.PW 174, 3.XII.2002.PW 175, 3.XII.2002.PW 176,
3.XII.2002.PW 177, 3.XII.2002.PW 178, 3.XII.2002.PW 180,
16.XII.2002.PW 185, XII.2002.PW 189, 18.XII.2002.PW
191,
18.XII.2002.PW
192,
18.XII.2002.PW
193,
18.XII.2002.PW 194, 18.XII.2002.PW 195, XII.2002.PW
205,
15.XII.2002.PW
206,
204,
15.XII.2002.PW
15.XII.2002.PW 207, XII.2002.PW 222, XII.2002.PW 223,
XII.2002.PW 224. Pasir Kaca: XII.2002.PW 216,
XII.2002.PW 217, XII.2002.PW 220, XII.2002.PW 221.
Salak I: XII.2002.PW 208, XII.2002.PW 209. Waroeng Loa:
(?).Steenis 175.
Perbandingan pertelaan
Berdasarkan karakter utama morfologi, bulu permukaan
atas daun (trikoma) Argostemma terdiri dari 2 macam, yaitu
menyutra (seraceous) dan bersusuhan (strigose). Pada A.
borragineum dan A. uniflorum, 1 kelompok spesifik hanya
terdapat trikoma yang bersusuhan, sedangkan pada A.
montanum dan 4 kelompok lain terdapat 2 macam bulu
tersebut. Karakter utama selengkapnya disajikan pada
Tabel 1. Berdasarkan morfologi bunga (Gambar 1, 2, dan
3), ketiga jenis Argostemma dapat dibedakan dengan jelas.
Masing-masing lembar mahkota A. uniflorum tersebar
mendatar tegak lurus sumbu utama, tabung benang sari

berbentuk kerucut meruncing, lembar mahkota A.


borragineum tergulung balik (revoluted), tabung benang sari
membulat dengan ujung yang pendek, lembar mahkota A.
montanum terlengkung balik (recurved).
Pada Tabel 2 terlihat bahwa A. montanum berdasarkan
morfologi daun terdapat 5 variasi yang dapat dibedakan
berdasarkan warna daun, permukaan atas daun, bentuk
daun, penyebaran bulu permukaan atas daun, dan tepi
daun. Satu di antara 5 kelompok tersebut adalah kelompok
yang karakter morfologinya mirip dengan kelompok
Argostemma yang oleh Backer dan Bakhuizen van den
Brink Jr. (1965), Steenis (1974), dan Aditya & Corpus
(2002) dikatakan hibrid antara A. borragineum dan A.
montanum (Kelompok II). Satu-satunya karakter morfologi
yang mirip A. borragineum adalah lebih dari separuh bagian
lembar mahkota berlepasan, tetapi ujung lembar mahkota
terlengkung balik seperti yang terlihat pada kunci
identifikasi dan Gambar 3, demikian pula karakter morfologi
lainnya menunjukkan persamaan dengan A. montanum
seperti pada deskrispsi lengkap yang telah dipaparkan.
Pada Kelompok ke IV yang permukaan atas daun
mengkilat, bulu daun permukaan atas terdapat di sekitar
tepi daun terdiri dari 2 macam bulu yaitu: menyutra dan
bersusuhan, tepi daun berbulu teratur, perbungaan
memayung, separuh lembar mahkota berlepasan, jumlah
bunga selalu lebih dari satu. Kelompok I memiliki karakter
setengah sebagian tepi daun berbulu, yaitu ke arah pangkal
daun, sedangkan Kelompok III permukaan atas daun hijau
mengkilat. Pada Kelompok V permukaan atas daun hijau
kasar. Sifat Argostemma yang bunganya mampu
menyerbuk sendiri dengan bantuan serangga penyerbuk
(hermafrodit), memperkecil kemungkinan terjadinya hibrid
alam antara A. montanum dan A. borragineum. A.
montanum dan kelima kelompok tersbut bunganya
berbentuk bel, lembar mahkota berwarna putih terlengkung
balik (recurved), tabung benang sari membentuk kerucut
melancip, kepala putik bulat, atau tertutup oleh ujung
tabung benang sari.

Tabel 1. Pengelompokan Argostemma berdasarkan karakter utama morfologi daun dan bunga.
Karakter morfologi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Warna daun
Permukaan atas daun
Ukuran dan bentuk daun (cm)
Bulu permukaan atas daun
Penyebaran bulu permukaan atas daun
Penyebaran bulu tepi daun
Perbandingan pasangan daun
Permukaan bawah daun
Jaringan pertulangan permukaan bawah daun
Jumlah bunga
Perbungaan

uniflorum
hijau mengkilat
rata
2-3,7x1-1,9 jorong-melanset
bersusuhan
sekitar tepi daun
teratur
lebih dari 3 : 1
tidak berbulu
tenggelam
1
memayung

Argostemma
borragineum
hijau tua
rata
7,4-3,2x3,1-5,7 jorong
bersusuhan
seluruh permukaan
berkelompok
kurang dari 2 : 1
berbulu
menonjol halus
7-30
sinsinus

montanum
hijau pucat
bergelombang
2-4x1-2,8 membundar telur
bersusuhan dan menyutra
seluruh permukaan
teratur
Kurang dari 2 : 1
berbulu
menonjol halus
1-8
memayung, anak payung

Tabel 2. Argostemma berdasarkan karakter utama morfologi daun dan bunga.


Karakter morfologi

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kelompok I
Warna daun
hijau pucat
Permukaan daun
bergelombang
Bentuk daun
membundar telur
Bulu permukaan atas daun seluruh permukaan
Tepi daun
berbulu
Bentuk bunga
seperti bel
Perbungaan
memayung, anak
payung

Kelompok II
hijau pucat
bergelombang
membundar telur
seluruh permukaan
gundul
seperti bel
memayung, anak
payung

A. montanum
Kelompok III
hijau pucat; mengkilat
bergelombang
jorong
seluruh permukaan
berbulu
seperti bel
memayung, anak
payung

Kelompok IV
hijau tua; mengkilat
bergelombang
jorong
sekitar tepi daun
berbulu
seperti bel
memayung, anak
payung

Kelompok V
hijau tua; kasar
rata
lonjong
seluruh permukaan
berbulu
seperti bel
memayung, anak
payung

PURWANTORO dkk. Taksonomi Argostemma

Gambar 1. Argostemma uniflorum Blume ex DC. Keterangan: A.


Penampang lintang buah muda, B. Perawakan, C. Bunga mekar.
bn: bunga, bh: buah, dp: daun penumpu, d: daun, b: batang, ta:
tabung antera, dm: lembar mahkota tegak lurus sumbu utama.

Gambar 2. Argostemma borragineum Blume ex DC. Keterangan:


A. Penampang lintang buah muda, B. Perawakan, C. Bunga
mekar. bh: buah, dp: daun penumpu, d: daun, bt: batang, g:
gagang, ta: tabung antera, dm: lembar mahkota tergulung balik.

203

Gambar 3. Argostemma montanum Blume ex DC. Keterangan: A.


Penampang lintang buah muda, B. Perawakan, C. Bunga mekar.
bn: bunga, bh: buah, dp: daun penumpu, d: daun, b: batang, g:
gagang, ta: tabung antera, dm: lembar mahkota terlengkung balik,
AmA1: Kelompok I, A1: Kelompok II, AmA2: Kelompok III, A2:
Kelompok IV, A3: Kelompok V.

Hasil penelitian ini juga menemukan karakter morfologi


penting, yaitu bakal buah. Bakal buah Argostemma tidak
hanya terdiri dari 2 ruang seperti yang dikemukakan oleh
Backer dan Bakhuzen van den Brink (1965), tetapi ada juga
yang berjumlah 3 ruang seperti pada A. uniflorum, Gambar
1. Karakter penting lainnya adalah kisaran jumlah bunga
pada A. montanum 1-8 berbeda dengan pendapat Backer
dan Bakhuzen van den Brink (1965) yang menyatakan
jumlah bunga A. montanum 3-8. Aditya dan Corpus (2002)
yang menyepakati tentang dugaan hibrid oleh Backer dan
Bakhuizen van den Brink Jr. (1965) menyatakan bahwa
kelompok hibrid tersebut mempunyai karakter kepala
putikselalu terbungkus oleh ujung tabung benang sari.
Namun hasil uji karakter menunjukkan karakter tersebut
tidak konstan, sebab pada kelompok tersebut ditemukan
juga tangkai putik lebih panjang dari pada tabung benang
sari. Kepala putik yang terbungkus oleh ujung tabung
benang sari maupun yang tidak terbungjus oleh ujung
tabung benang sari juga ditemukan pada A. uniflorum dan
A. montanum.
Persebaran Argostemma secara vertikal baik di G.
Gede-Pangrango, G. Halimun maupun G. Salak berkisar
antara 560-2.600 m dpl. Pada ketinggian 1.100-1.950 m
dpl. merupakan habitat A. uniflorum, A. borragineum
tersebar pada ketinggian 560-1.230 m dpl., sedangkan A.
montanum terdapat pada ketinggian 700-2.600 m dpl.
Pusat penyebaran Argostemma secara vertikal di kawasan
penelitian berkisar 1.000-2.000 m dpl.

204

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 199-204

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Berdasarkan identifikasi dengan menggunakan karakter


morfologi kelompok Argostemma yang diduga hibrid oleh
author sebelumnya masih teridentifikasi sebagai A.
montanum. Bakal buah pada Argostemma terdiri dari 2-3
ruang, bakal buah beruang 2 ditemukan pada A. montanum
dan A. borragineum, sedangkan A. uniflorum bakal
buahnya beruang 3. Jumlah bunga A. montanum tidak
berkisar antara 3-8, tetapi berkisar antara1-8. Dari studi
morfologi Argostemma juga dapat disimpulkan bahwa di
Gunung Gede-Pangrango, Gunung Halimun maupun
Gunung Salak terdapat 3 jenis Argostemma, yaitu A.
uniflorum Blume ex DC, A. borragineum Blume ex DC, and
A. montanum Blume ex DC. Penyebaran Argostemma secara vertikal di Gunung Gede-Pangrango, Gunung Halimun,
dan Gunung Salak berkisar antara 560-2.600 m dpl. Dengan pusat penyebaran pada ketinggian 1.000-2.000 m dpl.

Aditya, E. and N.R. Corpus. 2002. Assesment of putative hybrid of


Argostemma (Rubiaceae) in West Java. The sixth Regional Training on
Plant Taxonomy, Bogor, 8 July-6 August: 13 hlm.
Alejandro, G.D. and S. Leide. 2003. The Philippine Rubiaceae genera:
Updated synopsis in intkey database of the delta system. Blumea 48(2):
261-277.
Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1965. Flora of Java, Vol.
2. Groningen: N.V.P. Noordhoff.
Bakhuizen van den Brink Jr., R.C. 1953. Florae Malesianae praecursores, V.
Notes on Malaysian Rubiaceae. Blumea 7, 1952-1954: 329-334.
Bremer, B. 1989. The genus Argostemma (Rubiaceae-Argostemmateae) in
Borneo. Annals of the Missouri Botanical Garden 76 (1): 7-49.
Candolle, A.P. de. 1830. Argostemma. Prodromus Systematis Naturalis
Regni Vegetabilis 4: 417-418.
Carey, W. 1975. Argostemma. Flora Indica 2: 324-325.
Holthuis, L.B. and H.J. Lam. 1942. A first contribution to our knowledge of the
flora of the Talalaud Islands and Morotai. Blumea 5 (1): 93-145.
Koorders, S.H. 1912. Exkursionsflora von Java. Vol. 3. Buitenzorg: Verlag
von Gustav Fischer.
Koorders, S.H. 1918. Flora von Tjibodas, 3. Band. 2. Abteilung. Batavia:
Verlag von Boekhandel Visser & Co.
Lam, H.J. 1942. Notes on historical phytogeography of Celebes. Blumea 5
(3): 600-640.
Mabberly, D.J. 1990. The Plant Book, A Portable Dictionary of the Vascular
Plant. 2nd ed. Cambridge: Cambridge University Press.
Miquel, F.A.G. 1856. Argostemma. Flora Indie Batavae 4: 160-166.
Miquel, F.A.G. 1868. Argostemma. Annales Musei Botanici 4: 228-230.
Rifai, M.A. dan Ermitati. 1995. Glosarium Biologi. Jakarta: Balai Pustaka.
Sridith, K. 1999. A synopsis of the genus Argostemma Wall. (Rubiaceae) in
Thailand. Thailand Forest Bulletin (Botany) 27: 86-138.
Sridith, K. and C. Puff. 2000. Distribution of Argostemma Wall. (Rubiaceae),
with special reference to Thailand and sorrounding area. Thailand Forest
Bulletin (Botany) 28: 123-138.
Steenis, C.G.G.J. van. 1972. The Mountain Flora of Java. Leiden: E.J. Brill.
Sunarno, B. dan Rugayah. 1995. Flora Taman Nasional Gede-Pangrango.
Bogor: Herbarium Bogoriense Puslitbang Biologi-LIPI.
Vogel, E.F. de (ed.). 1987. Manual of Herbarium Taxonomy: Theory and
Practice. Jakarta: UNESCO.

UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih kepada Dr. Johanis P. Mogea dan Dr. Eko Baroto
Walujo yang telah menguji hasil penelitian ini, yang
merupakan penelitian tesis Ps. Biologi Program
Pascasarjana FMIPA Universitas Indonesia, Jakarta.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 205-211

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Keanekaragaman dan Potensi Flora di Suaka Margasatwa


Buton Utara, Sulawesi Tenggara
Plants diversity and its potential in Buton Utara Game Reserve, South-East Sulawesi
TAHAN UJI
"Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16013
Diterima: 10 Pebruari 2005. Disetujui: 17 Mei 2005.

ABSTRACT
Study on richness diversity and potential species of plant in two locations in the Buton Utara Game Reserve had been conducted. One
hundred and seventy nine species of plant are collected from this area, and 137 species of them are reported as the potential of species.
The largest group is timber (76 species) and the other is medicinal plants (41 species). Other data can be gathered as follows 23 species of
fruits, 22 species of ornamental plants, 12 species of vegetable, 7 species of fibre plants and 5 species of poisonous plants. The results of
study indicated that biti/owala (Vitex coffasus), upi (Intsia palembanica), gufi (Intsia bijuga), nato (Palaquium bataanense), kuru (Elmerillia
ovalis), keu uti (Drypetes sibuyanensis), rumbai (Pterospermum celebicum), kondongia (Cinnamomum parthenoxylon), and dongi (Dillenia
serrata) were very important as commercial timbers.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: species diversity, potential, Buton Utara game reserve, South-East Sulawesi.

PENDAHULUAN
Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya
mempunyai flora dan fauna yang unik dibandingkan dengan
bagian timur dan baratnya, karena menjadi daerah
intermediate bertemunya flora dan fauna dari kedua
daerah tersebut. Kawasan di bagian barat Sulawesi
dipengaruhi oleh biogeografi Asia, sedangkan di bagian
timurnya dipengaruhi biogeografi Australia (Keng, 1978).
Kawasan Suaka Margasatwa Buton Utara (SMBU) di
Pulau Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara luasnya
mencapai 28.000 hektar merupakan suaka alam terluas
dari delapan suaka alam yang ada di Propinsi Sulawesi
Tenggara (Anonim, 1999). Selain cukup kaya dengan
keanekaragaman jenis dan potensi flora, kawasan ini juga
memiliki flora yang unik bahkan cukup banyak jenis-jenis
tumbuhan endemik. Sampai saat ini data dan informasi
tentang kekayaan keanekaragaman jenis dan potensi flora
di SM Buton Utara masih sangat kurang. Keadaan ini
antara lain tampak dari sedikitnya jumlah koleksi spesimen
herbarium dari kawasan ini yang disimpan di Herbarium
Bogoriense. Di samping juga minimnya data/informasi dari
hasil-hasil laporan perjalanan maupun publikasi-publikasi
khususnya yang mengungkapkan potensi flora di kawasan
SMBU.
Seperti halnya kawasan-kawasan konservasi lainnya di
Indonesia, kawasan hutan di SM Buton Utara juga mulai
terancam kelestariannya. Hal ini dapat dilihat dengan
banyaknya para perambah dan pencuri kayu/rotan. Apabila

Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16013.
Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538.
e-mail: herbogor@indo.net.id.

keadaan ini dibiarkan maka kelestarian hutan akan


terancam bahkan dapat berakibat terhadap musnahnya
beberapa jenis flora dan fauna.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas
maka perlu dilakukan penelitian tentang kekayaan
keanekaragaman jenis dan potensi flora di kawasan SMBU.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat mengungkapkan
kekayaan keanekaragaman jenis dan potensi flora di
kawasan SMBU, sehingga nantinya dapat dimanfaatkan
oleh instansi-instansi pemerintah terkait khususnya Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dalam
pengambilan kebijakan, pengelolaan dan pemanfaatan
kawasan konservasi ini.

BAHAN DAN METODE


Pengambilan contoh spesimen tumbuhan di lapangan
dilakukan dengan metoda jelajah (Rugayah et al., 2004),
yaitu dengan cara menjelajahi setiap sudut lokasi yang
diteliti. Semua jenis tumbuhan yang dijumpai diambil contoh
herbariumnya. Setiap contoh tumbuhan yang dikoleksi
diberi nomor koleksi dan dicatat data dan informasi yang
diperlukan, antara lain ciri-ciri morfologi tumbuhan, habitat,
lokasi (ketinggian dari permukaan laut dan posisi
geografis), nama daerah dan kegunaan. Informasi tentang
potensi pemanfaatan tumbuhan diperoleh dengan dua cara.
Pertama dari data primer dengan cara mewawancarai
penduduk lokal yang mengenal dan mengetahui namanama lokal dan kegunaan tumbuhan. Kedua diperoleh dari
data/informasi sekunder yaitu dari penelusuran pustakapustaka. Dalam pengelompokan potensi pemanfaatan
tumbuhan yang dikoleksi selain didasarkan pada kegunaan
utama (primary use) juga kegunaan lainnya (secondary
use) (Lemmens et al., 1989).

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 205-211

206

Penelitian dilakukan di dua lokasi di kawasan SMBU.


Lokasi pertama di kawasan hutan sepanjang jalan poros
dari Maligano ke arah Ronta pada Km 9 sampai Km 20
pada ketinggian 100-330 m. dpl. Lokasi ini secara geografis
terletak pada koordinat dan garis lintang antara 441'
Lintang Selatan dan 12253' Bujur Timur. Lokasi kedua di
kawasan hutan lereng Gunung Wani pada ketinggian 300600 m. dpl. Secara geografis lokasi kedua terletak pada
koordinat dan garis lintang antara 426' Lintang Selatan dan
122 59' Bujur Timur.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil koleksi tumbuhan yang dilakukan di kawasan SM
Buton Utara adalah 179 jenis dalam 72 suku yang terdiri
atas 108 jenis pohon, 17 jenis perdu, 30 jenis herba, 16

jenis liana dan 8 jenis semak. Berdasarkan informasi dari


penduduk lokal maupun penelusuran pustaka, 137 dari 179
jenis tumbuhan yang dikoleksi di SM Buton Utara telah
diketahui potensi pemanfaatannya sedangkan 42 jenis
lainnya masih belum diketahui potensi pemanfaatannya.
Jenis-jenis yang berpotensi sebagai penghasil kayu (timber)
adalah yang paling besar jumlahnya yaitu 76 jenis. Di
samping itu ditemukan jenis-jenis kelompok tumbuhan
berpotensi lainnya yang jumlahnya juga cukup banyak
masing-masing adalah kelompok tumbuhan obat (41 jenis),
buah-buahan (23 jenis) dan kelompok tanaman hias (22
jenis). Sedangkan kelompok tumbuhan berpotensi lainnya
yang jumlah jenisnya relatif kecil adalah kelompok
penghasil bahan pewarna (5 jenis), rotan (3 jenis), serat (7
jenis), sayuran (12 jenis), pakan ternak (2 jenis), minyak
atsiri (3 jenis), resin (2 jenis) dan penghasil racun (5 jenis)
(Tabel 1).

Tabel 1. Daftar jenis tumbuhan yang dikoleksi di SM Buton Utara dan potensi pemanfaatannya
No. Nama suku dan jenis
ACANTHACEAE
1. Hemigraphis bicolor Hall. f.
ACTINIDIACEAE
2. Saurauia reinwardtiana Blume
ANACARDIACEAE
3. Buchanania arborescens (Blume) Blume
4. Dracontomelon dao (Blanco) Merr. & Rolfe
5. Mangifera indica L.
6. M. quadrifida Jack
ANNONACEAE
7. Cananga odorata (Lam) Hook. f. & Thomson
8. Polyalthia celebica Miq.
9. P. lateriflora (Blume) King
10. Uvaria celebica Scheff.
APOCYNACEAE
11. Cerbera manghas L.
ARACEAE
12. Aglaonema simplex Blume
13. Schismatoglottis sp.
ARECACEAE
14. Areca vestiaria Giseke
15. Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.
16. Calamus inops Becc. *
17. C. ornatus Blume var. celebicus Becc. *
18. C. zollingeri Becc.
19. Caryota mitis Lour.
20. Licuala celebica Miq. *
21. Livistona rotundifolia (Lam.) Mart.
22. Pinanga celebica Scheff. * #
ASPLENIUM GROUP
23. Asplenium nidus L.
BALSAMINACEAE
24. Impatiens platypetala Lindl.
BEGONIACEAE
25. Begonia isoptera Dryand.
26. B. muricata Blume
BIGNONIACEAE
27. Radermachera sp.
BURSERACEAE
28. Canarium asperum Benth.
29. C. hirsutum Willd.
30. Santiria laevigata Blume
CASUARINACEAE
31. Gymnostoma sumatranum (L.) Johnson
CLUSIACEAE
32. Calophyllum soulatri Burm. f.
33. Garcinia celebica L.
34. G. parvifolia (Miq.) Miq.

Nama daerah

Habitus

Potensi dan referensi

Morompo
Rao, raghu
Wo
Kapopo

P
P
P
P

1(A",K)
1(A',K); 3(C,K)
1(A',K); 3(C,K)
1(A',K); 3(C,K)

Ondolia, kuli
Kande kande
-

P
P
P
L

1(A",K); 10(I)
1(K)
1(A",K)
-

Dampaka

1(A"); 2(B',K)

H
H

2(B"); 5(K)
-

Galanti
Kowala
Rotan tohiti
Rotan lambang
Rotan batang
Kabaru-baru
Wiu
Kombungo

P
P
L
L
L
P
S
P
P

5(K); 7(F); 8(K)


2(B",K); 3(C,K)
3(E,K); 6(E); 8(K)
3(E,K); 6(E); 8(K)
3(E,K); 6(E); 8(K)
1(A"); 5(K); 8(K)
5(K); 8 (K)
1(A",K); 2(K); 5(K); 8(K)
5(K); 8(K)

2(B"); 5(K); 8(G)

5(K)

H
H

2(B"); 5(K)
5(K)

Wiolo
Ragho
-

P
P
P

1(A')
1(K); 11(J)
1(A")

Gu

1(A"); 2(K)

Betau
Dampingisi

P
P
P

1(A,K);2,9(B",K)
1(A"); 3(C,K)
1(A"); 3(C,K); 8(G)

UJI Flora Suaka Margasatwa Buton Utara, Sulawesi Tenggara

COMBRETACEAE
35. Terminalia microcarpa Decne
36. T. supitiana Koord.
CUNNONIACEAE
37. Weinmannia devolgii H.C.F. Hopkins
CYCADACEAE
38. Cycas rumphii Miq.
CYPERACEAE
39. Fimbristylis meliacea (L.)Vahl
40. Scleria scrobiculata Nees.
DAPHNIPHYLLACEAE
41. Daphniphyllum laurinum (Benth.) Baill.
DILLENIACEAE
42. Dillenia serrata Thunbr. *
DRYNARIA GROUP
43. Drynaria sparsissora (Desv.) T. Moore
EBENACEAE
44. Diospyros lanceifolia Roxb.
45. D. pilasonthera Blanco
ELAEOCARPACEAE
46. Elaeocarpus glaber Blume
47. E. ovalis Miq.
ERYTHROXYLACEAE
48. Erythroxylum ecarinatum Burck.
EUPHORBIACEAE
49. Breynia cernua Muell. Arg.
50. Cleistanthus myrianthus (Hassk.) Kurz
51. Drypetes longifolia (Blume) Pax & Hoffm.
52. D. sibuyanensis Pax. & K. Hoffm.
53. Macaranga hispida (Blume) Muell. Arg.
54. M. mappa (L.) Muell. Arg.
55. M. tanarius (L.) Muell. Arg.
56. M. triloba (Reinw. ex Blume) Muell. Arg.
57. Mallotus peltatus (Geiseler) Muell. Arg.
FABACEAE
58. Archidendron sp.
59. Cynometra ramiflora L.
60. Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze
61. I. palembanica Miq.
62. Phanera finlaysoniana Benth.
63. P. lingua (DC.) Miq.
64. Pithecellobium celebicum Kosterm.
65. P. splendens (Miq.) Prain #
FLACOURTIACEAE
66. Casearia grewiaefolia Vent.
67. Flacourtia inermis Roxb.
68. Pangium edule Reinw.
69. Scolopia spinosa (Roxb.) Warb.
FLAGELLARIACEAE
70. Flagellaria indica L.
GESNERIACEAE
71. Loxonia burtiana A. Welba
72. Monophyllae marrilliana Blume
GNETACEAE
73. Gnetum gnemon L.
HYPERICACEAE
74. Cratoxylum celebicum Blume.
ICACINACEAE
75. Gomphandra mappioides Valet.
76. Gonocaryum litorale (Blume) Sleumer
LAURACEAE
77. Actinodaphne glomerata Nees
78. Cinnamomum iners Reinw.
79. C. parthenoxylon Meissner #
LECYTHIDACEAE
80. Barringtonia acutangulata (L.) Gaertn.
81. B. racemosa (L.) Spreng
82. Planchonia valida (DC.) Blume
LEEACEAE
83. Leea indica (Burm. f.) Merr.
84. L. aculeata Blume & Spreng
85. L. aequata L.
LILIACEAE
86. Dracaena angustifolia Roxb.

207

Kokoleo
Ketapang hutan

P
P

1(A',K)
1(A')

Potabu

2,3,8,9(C); 5(K)

Sasawile

H
H

9(H)
-

1(A")

Soni

1(A',K), 2(K); 3(C,K)

Katimboga

2(B',K); 5

Gito-gito

P
P

1(A')
1(A'); 2(B")

Mandole

Pd
P

1(A"); 3(C)
-

1(A")

Kabaho-baho
Holea rogbine P
Keu uti
Lapimomea
Lapi
Lapinko
Tofa

S
P
P
P
P
P
P
P

2(B')
1(A")
1(A")
1(A",K)
1(A")
1(A")
1(A",K); 2(B")
1(A"); 2(B'); 4(D)
-

Namu
Gefi
Upi
Palapi

P
P
P
P
L
L
P
P

1(A)
1(A,K)
1(A,K)
2(K)
1(A")

Kolaka
Logasi
-

P
P
P
P

1(A",K)
3(C,K)
2,9(B')
1(A")

Eurtina

7(F)

H
H

Huka

3(C,K); 8(G,K)

Holea

1(A')

Weleko
-

P
P

1(A")

Kondongia

P
P
P

1(A")
1(A')
1(A',K); 2(K)

Wowone
Kambahu
Behi

P
P
P

1(A"); 2,9(B',K)
1(A"); 2,9(B',K)
1(A",K)

Kasala-sala
Leha

Pd
Pd
Pd

2(B', K); 4(D)


2(B',K)
2(B')

Molome

2(B")

208

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 205-211

LOGANIACEAE
87. Neuburgia celebica (Koord.) Leenh.
MAGNOLIACEAE
88. Elmerrillia ovalis (Miq.) Dandy
MALVACEAE
89. Urena lobata L.
MARANTHACEAE
90. Donax canneiformis (G.Forst.) K.Sch.
MELASTOMATACEAE
91. Melastoma malabathricum L.
MELIACEAE
92. Aglaia odoratissima Blume
93. Chisocheton seramicus (Miq.) C.DC.
94. Dysoxyllum arborescens (Blume) Miq.
MENISPERMACEAE
95. Arcangelicia flava (L.) Merr. #
MICROSORIUM GROUP
96. Microsorium sp.
MORACEAE
97. Artocarpus elasticus Blume
98. Antiaris toxicaria (Pers.) Lesch.
99. Ficus microcarpa L.f.
100. F. riedelii Miq.
101. F. ribes Reinw.
102. F. septica Burm.f.
103. F. tonsa Miq.
MYRISTICACEAE
104. Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
105. H. costulata (Miq.) Warb. *
106. H. lanceifolia De Wilde *
107. Knema cinerea (Poir.) Warb.
108. Myristica fatua Hoult.
MYRSINACEAE
109. Ardisia sp.
110. Rapanea hasseltii (Blume) Merr.
MYRTACEAE
111. Decaspermum fruticosum Forst.
112. Kjelbergiodendron celebicum Koord.
113. Metrosideros petiolata (Val.) Koord.
114. Syzygium litorale (Blume) Amsh.
115. S. zeylanicum (L.) DC.
OLEACEAE
116. Chionanthus nitens Koord. & Valeton
ORCHIDACEAE
117. Appendicula buxifolia Blume
118. Bulbophyllum sp.
119. Coelogyne speciosa (Blume) Lindl.
120. Eulophia nuda Lindl.
121. Spatoglottis plicata Blume
122. Tropidia angulosa (Lindl.) Blume
PANDANACEAE
123. Freycinetia angustifolia Blume
124. Pandanus tectorius Soland. & Park.
PASSIFLORACEAE
125. Passiflora foetida L.
PIPERACEAE
126. Peperomia candida Miq.
POACEAE
127. Leptaspis urceolata R. Br.
128. Oryza meyeriana (Zoll. & Merr.) Baill.
129. Schizostachyum brachycladum (Kurz) Kurz
130. Sorghum propinguum Hitche
PODOCARPACEAE
131. Podocarpus wallichianus (Presl) Kuntze
132. Podocarpus neriifolius D. Don
ROSACEAE
133. Rubus rosaefolius J.E. Smith
134. R. moluccanus L.
RUBIACEAE
135. Anthocephalus chinensis (Lamk.) A.Rich.
136. Anthocephalus sp.
137. Canthium sp.
138. Ixora macrophylla Barth.
139. I. macrothyrsa (Teysm.& Binn.) Jackson
140. Ixora sp.
141. Lasianthus inodorus Blume

1(A")

Kuru

1(A', K)

2(K); 7(F)

Pd

2(B'); 3(C);4(D)

Holea
-

P
P
P

10(I)
1(A")
1(A")

Katolak

2, 4 (B, K)

Kumbou
Natanamu
Kanangka
-

P
P
P
P
P
P
P

2(B"); 3(C, K)
1,3(A"); 2,7(B); 9(B,K)
1(A")
2(B)
2(B, K)
-

Gharu
Pala hutan
Saurea

P
P
P
P
P

1(A", K)
1(A")
1(A")
1(A"); 3(K)
1(A', K)

Pd
Pd

1(A")

Kulimonipi
Totobonowawi
-

P
P
P
P
P

1(A")
1(K)
1(A')
1(A'), 3(C,K); 4(D)

Bulabatu

H
H
H
H
H
H

5(K)
5(K)
5(K)
5(K)
5(K)
5(K)

Tole

L
P

1(K); 3(C); 5(K); 10(I)

3(C,K)

Tulamonipi
-

H
H
S
H

Magatis
Kayu Cina

P
P

1(A', K)
1(A', K); 2(B")

L
L

2(B'); 3(K)
2(B'); 3(C,K)

Bangkali
Kokabu
Talo-talo
Mando-mando
Kahara raron

P
P
Pd
P
Pd
Pd
Pd

1(A, K)
1(K)
5(K)
-

UJI Flora Suaka Margasatwa Buton Utara, Sulawesi Tenggara

142. Morinda citrifolia var. bracteata (Roxb.) Hook.f.


143. Mussaenda frondosa L.
144. Nauclea sp.
145. Neonauclea calycina (Barth. Ex DC.) Merr.
146. Pavetta sp.
147. Psychotria celebica Miq.
148. Uncaria sp.
RUTACEAE
149. Tetradium glabrifolium (Champ. ex Benth.) Hartley
150. Acronychia pedunculata (L.) Miq.
SABIACEAE
151. Meliosma sumatrana (Jack) Walp.
SAPINDACEAE
152. Pometia pinnata J.R. & G. Forst.
SAPOTACEAE
153. Palaquium bataanense Merr. *
154. P. obtusifolium Burck.
SELAGINELLACEAE
155. Selaginella wildenowii (Desv.) Baker
STERCULIACEAE
156. Guazuma tomentosa Kunth.
157. Melochia umbellata (Houth.) Stapf.
158. Pterospermum celebicum Miq.
TACCACEAE
159. Tacca palmata Blume
TECTARIA GROUP
160. Stenosemia aurita (Sw.) Presl.
161. Tectaria angulata (Willd.) C. Chr.
162. T. barberi (Hook.) C.Chr.
THEACEAE
163. Ternstroemia toquian (Blanco) F. Vill.
THYMELEACEAE
164. Phaleria capitata Jack
TILIACEAE
165. Microcos sp.
166. Colona scabra (Sm.) Burr.
URTICACEAE
167. Dendrochnide stimulan (L.f.) Chew
168. Leucosyke capitellata Wedd.
169. Pipturus argenteus (Forst.) Wedd.
170. Pilea sp.
171. Elatostema sessile Forst.
172. E. sinuatum (Blume) Hassk.
VERBENACEAE
173. Clerodendrum deflexum Wall.
174. C. speciosissimum Van Geert.
175. Geunsia hexandra (Teisjm.& Binn.)Koord Kamama
176. Vitex coffasus Reinw.
VITACEAE
177. Cayratia geniculata (Blume) Gagnep.
ZINGIBERACEAE
178. Costus globosus Blume
179. Alpinia malaccensis (Burm. f.) Roscob

209

Cengkudu
-

Pd
L
P
P
Pd
P
L

2(B",K); 4(D)
5(K); 8(G)
1(K)
1(A", K)
-

She
Sauwia

P
P

1(A", K)
1(A'); 2(K)

Tolanga

1(A"); 3(C, K)

Kase-kase

1, 2, 3 (A, K)

Nato
Kuma

P
P

1(A, K)
1(A, K)

2(B", K)

Koba
Bolongita
Rumbai

Pd
P
P

1(A", K)

2(B")

H
H
H

Kowara

Gaharu

2(K); 3(C, K); 7(F)

Koba
Wulumea

Pd
P

Silatokarambu
-

Pd
S
S
H
H
H

2,9(B')
2(B')
2(B')
-

Behi
Kamena mena

P
Pd
P
P

2(B')
2(K)
1(A', K); 2(K)

Biti, owala
-

S
S

2(B'), 5(K)
5(K); 10(I)

Keterangan: Habitus: P = pohon, Pd = perdu, S = semak, L = liana, H = herba. Potensi pemanfaatan: 1 = penghasil kayu, 2 = tumbuhan
obat, 3 = buah-buahan, 4 = penghasil tanin/pewarna, 5 = tanaman hias, 6 = penghasil rotan, 7 = penghasil serat, 8 = penghasil sayuran, 9
= pakan ternak, 10 = penghasil minyak atsiri, 11 = penghasil resin, 12 = penghasil racun. Status: * = tumbuhan endemic, # = tumbuhan
langka. Sumber referensi: A = Soerianegara dan Lemmens (1994), A' = Lemmens et al. (1995), A" = Sosef dkk. (1998), B = Padua et al.
(1999), B' = Valkenburg dan Bunyapraphatsara (2001), B" = Lemmens dan Bunyapraphatsara (2003), C = Verheij dan Coronel (1991), D =
Lemmens dan Soetjipto (1992), E = Dransfield dan Manukaran (1994), F = Brink dan Escobin (2003), G = Siemonsma dan Pileuk (1994), H
= Mannetje dan Jones (1992), I = Oyen dan Dung (1999), J = Boer dan Ella (2001), K = Informasi penduduk lokal.

Berikut ini diuraikan beberapa jenis dari kelompok


tumbuhan berpotensi penting yang ditemukan di kawasan
SMBU.
Penghasil kayu
Tumbuhan yang dikelompokan sebagai penghasil kayu
mencakup jenis-jenis pohon yang hasil kayunya dapat
dimanfaatkan antara lain sebagai bahan bangunan rumah,
konstruksi jembatan, pembuatan mebel, dan perahu. Dari
76 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai penghasil kayu,
9 jenis diantaranya merupakan jenis-jenis pohon yang

bernilai ekonomi cukup tinggi. Kesembilan jenis pohon


tersebut adalah biti/owala (Vitex coffasus), upi (Intsia
palembanica), gefi (Intsia bijuga), nato (Palaquium
bataanense),
kuru
(Elmerillia
ovalis),
kondongia
(Cinnamomum parthenoxylon), dongi (Dillenia serrata), keu
uti (Drypetes sibuyanensis) dan rumbai (Pterospermum
celebicum). Berdasarkan informasi penduduk lokal, pohon
biti/owala (Vitex coffasus), upi (Intsia palembanica) dan gefi
(Intsia bijuga) merupakan jenis-jenis pohon penghasil kayu
kualitas satu. Pada umumnya penduduk menggunakan
ketiga jenis pohon ini sebagai bahan bangunan rumah,

210

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 205-211

lantai, mebel, perahu dan konstruksi jembatan. Di samping


itu ketiga jenis pohon ini juga merupakan komoditas kayu
perdagangan yang cukup penting. Dalam dunia
perdagangan, kayu yang dihasilkan dari jenis-jenis pohon
Intsia dikenal dengan nama merbau (Soerianegara dan
Lemmens, 1994). Sedangkan pohon nato (Palaquium
bataanense) dan kuru (Elmerillia ovalis) oleh penduduk
lokal digolongkan sebagai kayu kulitas dua. Kayu kedua
jenis pohon ini termasuk jenis kayu yang tahan lama.
Penduduk lokal banyak memanfaatkan kayu jenis ini
sebagai bahan bangunan rumah dan pembuatan perahu. Di
Indonesia, pohon nato hanya dapat ditemukan di Sulawesi
dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Sedangkan di Filipina,
pohon nato dilaporkan sudah langka dengan status rawan
(Anonim, 1992). Di kawasan SMBU, dikenal ada 2 macam
pohon nato, yaitu nato berbatang merah dan putih.
Pohon kondongia (Cinnamomum parthenoxylon)
merupakan salah satu new record untuk koleksi di
Herbarium Bogoriense. Jenis pohon ini dilaporkan juga
sudah langka (Anonim, 1992) dan oleh penduduk lokal
kayunya dimanfaatkan untuk pembuatan perahu sedangkan
kulit batangnya digunakan untuk membasmi kutu. Kayu
kondongia berbau harum menyerupai kayu cendana
(Santalum album). Di masa depan kayu kondongia
kemungkinan dapat dimanfaatkan sebagai pengganti kayu
cendana yang mahal harganya dan sulit dicari. Oleh karena
itu baik kayu maupun kulit kayu kondongia mempunyai
prospek ekonomi penting di masa depan.
Selain itu ditemukan pula satu jenis pohon yang
dilindungi pemerintah yaitu pohon rumbai (Pterospermum
celebicum) (Wiriadinata, 2001). Di Indonesia, pohon rumbai
hanya tumbuh di Sulawesi dan Maluku. Jenis pohon ini
banyak dimanfaatkan penduduk lokal untuk bahan
bangunan rumah dan pembuatan perahu. Jenis pohon
lainnya yang juga banyak dimanfaatkan penduduk lokal
untuk pembuatan perahu adalah pohon soni (Dillenia
serrata). Jenis pohon ini merupakan tumbuhan endemik di
Sulawesi. Penduduk lokal juga memanfaatkan buah soni
sebagai pengganti buah asam dalam masakan. Demikian
pula kulit batangnya dapat digunakan untuk mengobati
muntah darah.
Tumbuhan obat
Tumbuhan yang berpotensi sebagai tumbuhan obat
menempati urutan kedua dengan jumlah 41 jenis. Salah
satu jenis tumbuhan obat yang cukup penting dan banyak
tumbuh di kawasan SM Buton Utara adalah cengkudu
(Morinda citrifolia var. bracteata). Dilaporkan bahwa buah
cengkudu dapat mengobati berbagai penyakit penting,
antara lain penyakit diabetes, beri-beri, asma, batuk, dan
gangguan pernafasan (Lemmens dan Bunyapraphatsara,
2003). Daun cengkudu oleh penduduk lokal dimanfaatkan
untuk mengobati luka. Di kawasan SM Buton Utara juga
ditemukan satu jenis tumbuhan obat langka yaitu katolak
(Arcangelicia flava) dengan status rawan. Air yang terdapat
pada batang muda katolak dilaporkan dapat untuk
mengobati sariawan dan panas dalam. Sedangkan air
rebusan batangnya yang dicampur daun sirih dan jeruk
dapat menyembuhkan penyakit kuning, gangguan
pencernaan, dan obat cacing (Rifai et al., 1992). Penduduk
lokal di sekitar kawasan SM Buton Utara menggunakan air
yang terdapat di dalam batang katolak sebagai obat tetes
mata khususnya pada penyakit mata merah atau trachoma.
Pohon kowala (Arenga pinnata) yang merupakan salah
satu jenis tumbuhan yang dilindungi keberadaannya oleh
pemerintah (Wiriadinata, 2001) juga banyak tumbuh di
kawasan SMBU. Pohon ini merupakan salah satu jenis

tumbuhan yang dapat memberikan penghasilan tambahan


bagi penduduk lokal. Karena di samping mengambil niranya
untuk dijadikan gula dan minuman beralkohol, penduduk
juga memanfaatkan air rebusan akarnya untuk diminum
sebagai obat batu ginjal. Di samping pohon kowala, pohon
kombungo (Livistona rotundifolia) juga merupakan jenis
pohon yang dilindungi pemerintah (Wiriadinata, 2001).
Jenis pohon ini juga banyak tumbuh di kawasan SMBU.
Penduduk lokal menggunakan kulit batang kombungo
sebagai salah satu campuran obat untuk mengobati
penyakit yang tergolong berat, yakni penyakit-penyakit yang
secara medis sangat sulit disembuhkan atau sifatnya
menahun dan sering kambuh, antara lain asma, alergi dan
penyakit TBC (Windadri dan Uji, 2003).
Buah-buahan
Dari 23 jenis buah-buahan yang ditemukan dan dapat
dimakan, jenis-jenis pohon dari suku Anacardiaceae dan
Clusiaceae merupakan jenis-jenis yang cukup penting
sebagai sumber plasma nutfah buah-buahan di kawasan
ini. Jenis-jenis tersebut antara lain wo (Mangifera indica),
kapopo (Mangifera quadrifida), rao (Dracontomelon dao),
dampingisi (Garcinia parviflora), dan Garcinia celebica.
Dampingisi mempunyai perawakan pohon yang pendek,
tingginya antara 2-5 meter sehingga berpotensi sebagai
material batang bawah untuk usaha pemuliaan kerabat
manggis (Verheij dan Coronel, 1991). Demikian pula
Garcinia celebica, jenis ini juga berpotensi sebagai batang
bawah, karena mempunyai laju pertumbuhan yang lebih
cepat dibandingkan dengan manggis (G. mangostana) ( Uji,
2004). Jenis lainnya yang juga cukup penting sebagai
penghasil buah yaitu huka (Gnetum gnemon). Jenis ini
selain dimakan buahnya, daun mudanya digunakan untuk
sayur terutama sebagai campuran makanan balita dan
dipercaya dapat meningkatkan kecerdasan.
Tanaman hias
Dari 22 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai
tanaman hias, jenis-jenis dari suku Arecaceae dan
Orchidaceae perlu mendapatkan perhatian khusus.
Beberapa jenis dari suku Arecaceae yang menarik sebagai
tanaman hias, antara lain galanti (Areca vestiaria), kabarubaru (Caryota mitis), wiu (Licuala celebica), kombungo
(Livistona rotundifolia), dan Pinanga celebica. Wiu dan
Pinanga celebica merupakan jenis endemik di Sulawesi.
Bahkan dilaporkan keberadaan Pinanga celebica sudah
langka (Anonim, 1992).
Jenis-jenis dari suku Orchidaceae yang berpotensi
penting sebagai tanaman hias, antara lain Appendicula
buxifolia, Coelogyne speciosa, Eulophia nuda, Spatoglottis
plicata, dan Tropidia angulosa. Satu dari 5 jenis anggrek
tersebut, yaitu Spatoglottis plicata sudah banyak
dibudidayakan. Jenis tumbuhan lainnya yang juga
berpotensi penting sebagai tanaman hias adalah Begonia
isoptera dan B. muricata. Begonia isoptera yang berbunga
kekuningan tumbuh melimpah di pinggiran sungai
sedangkan B. muricata banyak tumbuh di bebatuan.
Penghasil rotan
Ditemukan 3 jenis Calamus sebagai penghasil rotan
yang berpotensi di kawasan ini, yaitu rotan tohiti (Calamus
inops), rotan lambang (C. ornatus var. celebicus), dan rotan
batang (C. zollingeri). Dua dari 3 jenis Calamus ini
termasuk jenis endemik, yaitu C. inops dan C. ornatus var.
celebicus (Dransfield dan Manokaran, 1994). Penduduk
lokal menggunakan jenis-jenis rotan tersebut untuk bahan
baku pembuatan mebel, tali, anyaman keranjang dan tikar.

UJI Flora Suaka Margasatwa Buton Utara, Sulawesi Tenggara

Rotan batang merupakan salah satu jenis rotan yang paling


banyak diambil penduduk. Jenis rotan ini selain berdiameter
paling besar juga kualitas rotannya paling bagus di
bandingkan jenis rotan lainnya. Oleh karena itu keberadaan
rotan batang di kawasan SM Buton Utara perlu
mendapatkan perhatian khusus terutama terhadap
kelestariannya.

211

ditemukan 8 jenis tumbuhan endemik, yaitu: rotan tohiti


(Calamus inops), rotan lambang (C. ornatus var. celebicus),
wiu (Licuala celebica), Pinanga celebica, soni (Dillenia
serrata), gharu (Horsfieldia irya), Horsfieldia lanceifolia, dan
nato (Palaquium bataanense).

DAFTAR PUSTAKA
Tumbuhan berpotensi lainnya
Di samping jenis-jenis tumbuhan berpotensi yang telah
diuraikan di atas, terdapat kelompok jenis lainnya yang juga
bernilai guna, antara lain sebagai bahan pewarna, pakan
ternak, tumbuhan racun, penghasil serat, minyak atsiri, dan
penghasil resin (Tabel 1). Batang katolak (Arcangelisia
flava) dan akar cengkudu (Morinda citrifolia var. bracteata),
masing-masing merupakan penghasil bahan pewarna
kuning dan merah-kuning (Padua et al., 1999; Lemmens
dan Bunyapraphatsara, 2003). Sedangkan galanti (Areca
vestiaria), eurtina (Flagellaria indica), Donax canneiformis,
Urena lobata, tole (Pandanus tectoriuas), dan gaharu
(Phaleria capitata) merupakan jenis-jenis penghasil serat
(Brink dan Escobin, 2003). Adapun wiolo (Canarium
asperum) dan ragho (Canarium hirsutum) berpotensi
sebagai penghasil resin (Boer dan Ella, 2001). Pohon
ondolia atau kuli (Cananga odorata), holea (Aglaia
odoratissima) dilaporkan menghasilkan minyak atsiri ( Oyen
dan Dung, 1999).
Tumbuhan racun juga dapat ditemukan di kawasan ini,
antara lain natanamu (Antiaris toxicaria). Penduduk
menggunakan getah natanamu untuk berburu binatang liar.
Caranya dengan mengoleskan getah natanamu pada ujung
anak panah. Di samping itu penduduk juga menggunakan
racun ikan yang diambil dari buah wowone (Barringtonia
acutangula) dan kambahu (B. racemosa).

KESIMPULAN
Suaka Margasatwa Buton Utara kaya dengan
keanekaragaman jenis dan potensi tumbuhan. Tujuh puluh
enam dari 179 jenis tumbuhan yang dikoleksi di kawasan
SM Buton Utara berpotensi sebagai penghasil kayu bahan
bangunan rumah, konstruksi jembatan, mebel dan
pembuatan perahu. Sembilan dari 76 jenis pohon penghasil
kayu merupakan jenis-jenis yang bernilai ekonomi cukup
tinggi, yaitu biti/owala (Vitex coffasus), upi (Intsia
palembanica), gufi (I. bijuga), nato (Palaquium bataanense),
kuru (Elmerrilia ovalis), keu uti (Drypetes sibuyanensis),
rumbai
(Pterospermum
celebicum),
kondongia
(Cinnamomum parthenoxylon) dan dongi (Dillenia serrata).
Kawasan ini juga cukup kaya dengan obat. Tercatat 41
jenis ditemukan sebagai tumbuhan penghasil obat-obatan
dan satu jenis di antaranya yaitu katolak (Arcangelisia flava)
merupakan tumbuhan obat langka. Di samping itu juga

Anonim. 1992. Indonesia Conservation Status Listing Threatened Plants


Unit. Cambridge: World Conservation Monitoring Centre.
Anonim. 1999. Informasi Kawasan Konservasi Propinsi Sulawesi Tenggara.
Kendari: Departemen Kehutanan, Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi
Tenggara, Sub Balai KSDA Sulawewsi Tenggara.
Brink, M. and R.P. Escobin (eds.). 2003. Fibre Plants. Leiden: Backhuys
Publisher & Plant Resources of South-East Asia (PROSEA).
Boer, E. and A.B. Ella (eds.). 2001. Plants Producing Exudates. Bogor: Plant
Resources of South-East Asia (PROSEA).
Dransfield, J. and N. Manokaran (eds.). 1994. Rattans. Bogor: Plant
Resources of South-East Asia (PROSEA).
Keng, H. 1978. Orders and Families of Malayan Seed Plants. Singapore:
Singapore University Press.
Lemmens, R.H.M.J., P.C.M. Jansen, J.S. Siemonsma and F.M. Stavast
(eds.). 1989. Basic List of Species and Commodity Grouping Version.
Wageningen: Plant Resources of South-East Asia (PROSEA).
Lemmens, R.H.M.J. and N.W. Soetjipto (eds.). 1992. Dye and Tannin
Producing Plants. Bogor: Plant Resources of South-East Asia
(PROSEA).
Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara, and W.C. Wong (eds.). 1995. Timber
Trees: Minor Commercial Timbers. Bogor: Plant Resources of SouthEast Asia (PROSEA).
Lemmens, R.H.M.J. and N. Bunyapraphatsara (eds.). 2003. Medicinal and
Poisonous Plants 3. Leiden: Backhuys Publishers/ Plant Resources of
South-East Asia (PROSEA).
Mannetje, L.T. and R.M. Jones (eds.). 1992. Forages. Bogor: Plant
Resources of South-East Asia (PROSEA).
Oyen, L.P.A. and N.X. Dung (eds.). 1999. Essential Oil Plants. Leiden:
Backhuys Publisher/ Plant Resources of South-East Asia (PROSEA).
Padua, L.S., N. Bunyapraphatsara, and R.H.M.J. Lemmens (eds.). 1999.
Medicinal and Poisonous Plats 1. Leiden: Backhuys Plublisher/ Plant
Resources of South-East Asia (PROSEA).
Rifai, M.A., Rugayah, and E.A.Widjaja (eds.). 1992. Tiga puluh tumbuhan
obat langka Indonesia. Sisipan Floribunda 2: 10.
Rugayah, E.A.Widjaja, dan Praptiwi (eds.) 2004. Pedoman Pengumpulan
Data Keanekaragaman Flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi.
Siemonsma, J.S. and K. Pileuk (eds.). 1994. Vegetables. Bogor: Plant
Resources of South-East Asia (PROSEA).
Soerianegara, I. and R.H.M.J. Lemmens (eds.). 1994. Timber Trees: Major
Commercial Timbers. Bogor: Plant Resources of South East Asia
(PROSEA).
Sosef, M.S.M., L.T. Hong, and S. Prawirohatmodjo (eds.). 1998. Timber
Trees: Lesser-known Timbers. Leiden: Backhuys Publisher/Plant
Resources of South-East Asia (PROSEA).
Uji, T. 2004. Keanekaragaman Jenis, Plasma Nutfah, dan Potensi Buahbuahan Asli Kalimantan. BioSMART (6) 2: 117-125.
Valkenburg, J.L.C.H. and Bunyapraphatsara (eds.). 2001. Medicinal and
Poisonous Plants 2. Leiden: Backhuys Publisher/Plant Resources of
South-East Asia (PROSEA).
Verheij, E.W.M. and R.E. Coronel (eds.). 1991. Edible Fruits and Nuts.
Wageningen: Pudoc/Plant Resources of South-East Asia (PROSEA).
Windadri, F.I. dan T. Uji. 2003. Tumbuhan Berpotensi Ekonomi Pulau Buton,
Sulawesi Tenggara. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
Wiriadinata, H. 2001. Tumbuhan . Dalam: Noerdjito, M. dan I. Maryanto (ed.).
Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia.
Cibinong-Bogor: Puslit Biologi-LIPI, The Nature Conservancy, and
USAID.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 212-216

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Berkayu sebagai Bahan Baku


Perahu Tradisional oleh Suku Yachai di Kabupaten Mappi
The use of vascular plants as traditional boat raw material by Yachai tribe in Mappi Regency
SERLLY LANOEROE, ELISA MARKUS KESAULIJA, YOHANES YOSEPH RAHAWARIN
Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua, Manokwari 98314, Irian Jaya Barat (Papua).
Diterima: 7 Pebruari 2005. Disetujui: 17 Mei 2005.

ABSTRACT
This research is executed aim to know the plant species and the way of exploiting permanent wood upon which traditional boat making by
Yachai tribe in Mappi regency. The Method that used in this research is descriptive method with the structural semi interview technique and
direct perception in field. Result of research indicate that the tribe Yachai exploit the plant species have permanent wood upon which
traditional boat as much 26 species from 14 family. There are 8 wood species which is often used for the body of boat and also own the
good quality according to Yachai tribe, that is Atam (Scihizomeria serrata Hochr), Batki (Adinandra forbesii Baker. F), Chomach (Gordonia
papuana Kobuski), Rupke (Tristania sp.), Bao (Dillenia papuana artelli), Top (Buchanania macrocarpa Laut), Mitbo (Cordia Dichtoma
Forst.), and Yunun (Camnosperma brevipetiolata Volkens). While to part of oar exploit 2 wood species that is Bach (Buchanania
Arborescens.Bi) and Tup (Litsea ampala Merr). Yachai Tribe recognized 3 boat model owning different size measure and function, that is
Junun Ramchai, Junun Pochoi and Junun Toch.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: vascular plants, traditional boat, Yachai tribe, Mappi Regency.

PENDAHULUAN
Secara geografis Indonesia terletak antara 95-141 BT
dan antara 6LU-11LS. Letak geografis tersebut
menyebabkan Indonesia memiliki sumberdaya alam yang
potensial. Terdapat kurang lebih 13.000 pulau (besar dan
kecil) yang dipisahkan oleh perairan dan sangat
membutuhkan alat transportasi darat maupun laut. Sebagai
negara kepulauan sarana transportasi yang biasa
digunakan adalah perahu/kapal (Junus dkk., 1985).
Kayu merupakan jenis bahan baku yang paling banyak
digunakan dalam pembuatan perahu oleh berbagai suku di
Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena sebagai negara
yang beriklim tropik Indonesia memiliki keanekaragaman
jenis flora yang tinggi. Menurut Martawijaya (1993)
diperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 4000 jenis kayu,
kurang dari jumlah ini sekitar 400 jenis tumbuhan berkayu
yang dianggap sudah dimanfaatkan dan memiliki nilai
ekonomis bagi masyarakat.
Propinsi Papua merupakan daerah pemusatan
kehidupan tumbuhan paling kaya di Indonesia dengan
bentangan daratan yang luas hingga mencapai ketinggian
5.000 m dpl. dengan pengecualian daerah tadah hujan di
bagian tenggara, merupakan hutan subur beriklim basah
tropik serta mengandung kekayaan floristik yang luar biasa
proporsinya. Kebutuhan kayu tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat sehari-hari, baik untuk kebutuhan
dalam rumah maupun di luar rumah, seperti konstruksi
Alamat korespondensi:
Jl. Gunung Salju Amban PO BOX 153, Manokwari 98314.
Tel. +62-986-211065, Fax. +62-986-213069.
e-mail: yohanesrahawarin@yahoo.com

rumah, perabot rumah tangga, pagar rumah, jembatan,


serta berbagai alat transportasi seperti kapal kayu, perahu
dan gerobak (Petocz, 1987).
Suku Yachai merupakan salah satu etnik di propinsi
Papua yang bermukim di daerah aliran sungai Obaa,
wilayah kabupaten Mappi. Suku ini dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari masih bergantung pada
sumberdaya hutan dan perairan. Pola kehidupan demikian
menyebabkan suku Yachai menggunakan perahu sebagai
alat transportasi. Perahu berperan penting bagi kehidupan
masyarakat tradisional suku Yachai dalam kegiatan
transportasi antar kampung, sebagai perahu pencari ikan,
perahu berburu, bahkan dalam sejarah peradaban suku
Yachai perahu memegang peranan penting misalnya saat
perang antar suku yang dikenal sebagai zaman mengayau.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dewasa ini
telah banyak mempengaruhi peradaban suku bangsa di
dunia, termasuk suku Yachai di kabupaten Mappi.
Perkembangan ini mengancam kelestarian pengetahuan
tradisional yang dimiliki masyarakat dalam proses
pembuatan perahu. Sejauh ini belum terdapat informasi
tentang pemanfaatan jenis kayu sebagai bahan baku
perahu oleh suku Yachai, oleh sebab itu kajian untuk
mengetahui kearifan tradisional dalam proses pembuatan
perahu perlu dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan cara
pemanfaatan tumbuhan berkayu sebagai bahan baku
pembuatan perahu tradisional oleh suku Yachai di
kabupaten Mappi. Hasil penelitian ini merupakan informasi
dasar mengenai pengetahuan tradisional pembuatan
perahu tradisional khususnya suku Yachai. Selain itu, hasil
penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi
rencana pengelolaan dan pelestarian jenis-jenis kayu
perahu di Papua khususnya kabupaten Mappi.

LANOEROE dkk. Perahu tradisional oleh Suku Yachai

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan
teknik wawancara semi struktural dan pengamatan
langsung di lapangan. Penelitian dilaksanakan di
Kabupaten Mappi, yang berlangsung dari tanggal 19 Juni
s.d. 20 Agustus 2004. Subyek penelitian ini adalah
masyarakat suku Yachai yang mengetahui dan
memanfaatkan perahu tradisional. Obyek yang diamati
adalah jenis-jenis kayu yang digunakan dalam pembuatan
perahu tradisional.
Pengambilan contoh responden terbagi menjadi dua,
yaitu: responden kunci dan responden umum. Responden
kunci terdiri dari kepala suku, tokoh adat, kepala kampung,
dan tokoh masyarakat, sedangkan responden umum
diambil secara acak sebesar 10% dari jumlah kepala
keluarga yang ada.
Variabel yang diamati adalah pengetahuan tradisional
suku Yachai dalam membuat perahu tradisional, yang
meliputi: (i) jenis dan kriteria tumbuhan berkayu sebagai
bahan baku perahu tradisonal, (ii) model dan fungsi perahu
tradisonal, (iii) proses pembuatan perahu tradisional, (iv)
motif ukiran pada dayung dan badan perahu tradisional, (v)
cara dan waktu pengambilan bahan baku perahu tradisonal,
(vi) cara perlindungan dan pemeliharaan perahu tradisonal.
Untuk jenis kayu perahu yang belum diketahui nama
ilimiahnya
dibuatkan
spesimen
herbarium
untuk
diidentifikasi pada Herbarium Manokwariense (MAN), Pusat
Penelitian Keanekaragaman Hayati, Universitas Negeri
Papua (PPKH) UNIPA Manokwari.

213

bahan baku perahu tradisional suku Yachai diperlihatkan


pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa jenis tumbuhan
berkayu yang dimanfaatkan sebagai bahan baku perahu
didominasi oleh famili Myrtaceae diikuti oleh Clusiaceae,
Dipterocarpaceae, dan Anacardiaceae. Hal ini disebabkan
areal tempat tinggal suku Yachai didominasi oleh tipe
vegetasi dari hutan dataran rendah yang tersebar dari
ketinggian 0-600 m dpl, dengan topografi agak berbukit.

Model dan fungsi perahu tradisional suku Yachai


Suku Yachai di Kabupaten Mappi menyebut perahu
dalam bahasa Yachai adalah Junun. Model perahu memiliki
ciri utama menggunakan ukiran pada bagian depan perahu
(Badun) serta tidak memiliki semang. Berdasarkan fungsi
dan bentuknya terdapat 3 (tiga) model perahu yang dikenal
dalam kehidupan suku Yachai, yaitu: Junun Ramchai,
Junun Pochoi, dan Junun Toch. Secara umum fungsi dan
kegunaan masing-masing perahu adalah sebagai berikut:
Junun Ramchai adalah perahu yang fungsi utamanya
sebagai sarana transportasi untuk berbagai keperluan ke
ibukota distrik atau transportasi antar kampung. Junun
Pochoi adalah perahu yang biasa digunakan dalam
kegiatan memancing atau mencari ikan secara tradisional.
Junun Toch adalah perahu yang digunakan pada zaman
dahulu dalam kegiatan berperang (mengayau).
Kondisi perairan kabupaten Mappi yang terdiri atas
sungai dan anak sungai yang panjang serta sebagian besar
merupakan daerah berawa, menyebabkan model perahu
Junun Ramchai dan Junun Pochoi paling banyak digunakan
sebagai sarana transportasi sungai, ataupun untuk
menangkap ikan/hasil buruan. Pada penelitian ini model
perahu tradisional yang diamati Junun Ramchai dan Junun
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pochoi. Ciri fisik dari masing-masing model perahu
tradisional suku Yachai seperti diperlihatkan pada Gambar
Jenis Tumbuhan Berkayu Sebagai Bahan Baku Perahu
1, 2, dan 3.
Tradisional Pemanfaatan jenis tumbuhan berkayu sebagai
Junun Ramchai banyak diminati oleh masyarakat suku
Yachai sebagai alat transportasi
antar kampung. Hal ini terlihat
dari ukuran perahu dengan
Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan berkayu sebagai bahan baku perahu tradisional Suku Yachai.
panjang 7-9 m dan lebar 1 m
serta dapat menampung sampai
Tujuan
Nama ilmiah
Famili
Nama daerah
8
orang.
Sebagai
sarana
pemanfaatan
transportasi, perahu ini memiliki
Anacardiaceae
1. Buchanania arborescens Bl.
Bach
Dayung
motif ukiran pada bagian depan
2. Buchanania macrocarpa Laut
Top
Badan perahu
3. Camnosperma brevipetiolata Volkens.
Junun
Badan perahu
perahu yang dikenal dengan
4. Cordia dichotoma Forst.f
Boraginiaceae
Mitbo
Badan perahu
sebutan Badun Wabub (kasuari).
5. Canarium decumanum
Burseraceae
Minang
Badan perahu
Kehidupan masyarakat suku
6. Lophopetalum forsteniana Miq.
Celastraceae
It
Badan perahu
Yachai yang memiliki kebiasaan
7. Calophyllum congestiflorum A.C.Sm.
Madu
Badan perahu
Clusiaceae
meramu (subsisten) pada daerah
8. Calophyllum papuanum Lauterb.
Titem
Badan perahu
berawa dan banyak sungai
9. Calophyllum pseudovitiensis L.F.
Wat
Badan perahu
mengharuskan setiap kepala
10. Calophyllum savanarum A.C.Sm.
Kore
Badan perahu
keluarga
memiliki
perahu.
11. Scihizomeria serrata Hochr.
Cunoniceae
Atam
Badan perahu
12. Dillenia papuana Martelli
Dilleniaceae
Bao
Badan perahu
Terdapat beberapa aturan adat
13. Hopea papuana Diels
Dipterocarpaceae Kit
Badan perahu
yang berlaku, seperti terlihat
14. Hopea similis Sloot.
Kib Ndingach Badan perahu
pada Gambar 1., adanya dua
15. Vatica papuana Dyer
Acha
Badan perahu
buah dayung (Dokak) yang
16. Litsea ampala Merr.
Lauraceae
Tup
Dayung
menyilang antara badan perahu
17. Aglalia sp.
Meliaceae
Mat
Badan perahu
yang
menandakan
bahwa
18. Syzygium buettnerianum (K.Schum)
Pachpoch
Badan perahu
Myrtaceae
perahu tersebut tidak dapat
19. Syzygium sp.
Tatcham
Badan perahu
dipergunakan oleh orang lain
20. Syzygium papuasica M.p.
Borok
Badan perahu
21. Tristania sp.
Rupke
Badan perahu
selain
pemilik
perahu.
22. Tristania ferruginea C.T.White.
Boe
Badan perahu
Pelanggaran terhadap simbol
23. Nageia wallichiana (pres L) O. Kuntze. Podocarpaceae
Nachai
Badan perahu
adat ini akan mendapat sangsi
24. Adina sp.
Rubiaceae
Petim
Badan perahu
adat
bahkan
dapat
25. Adinandra forbesii Baker.f
Theaceae
Batki
Badan perahu
mengakibatkan
hukuman
mati.
26. Gordonia papuana Kobuski.
Chomach
Badan perahu

214

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 212-216

Gambar 1. Ciri fisik model Junun Ramchai. Keterangan: panjang 7-9


m, lebar 1 m.

Gambar 5. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan perahu.

Gambar 2. Ciri Fisik Model Junun Pochoi. Keterangan: panjang 3-4


m, lebar 0,5 m.

Gambar 6. Kegiatan pembuatan ukiran dayung.

Gambar 3. Sketsa model Junun Toch. Keterangan: panjang 7-9 m,


lebar 1 m.

Gambar 7. Pembuatan jalur penarikan bahan baku perahu.

Gambar 4. Ciri fisik ukiran bagian depan perahu.

Gambar 8. Motif ukiran dan ukuran dayung tradisional Suku


Yachai. Keterangan: A. Ik Dokak, B. Rur Dokak, C. Riyae Dokak.
Panjang kepala dayung 0,5-1 m; panjang tangkai dayung 1,51 m.

LANOEROE dkk. Perahu tradisional oleh Suku Yachai

Pengambilan Bahan Baku


(7-10 orang)

Pembersihan/Potong
Ujung & Pangkal
(1-2 orang)

Penarikan Bahan Baku Ke


Tepi Sungai
(7-10 orang)

Pembentukan Badan
Perahu/Rimbas Kasar
(2-3 orang)
Pembentukan
Bagian Luar perahu

Penggalian
Bagian Dalam perahu

Pengasaran/Penggarangan
Badan Perahu

Rimbas Halus
(1orang Tenaga Terampil)

Pembuatan Ukiran Pada


depan (Badun) Perahu
(1 orang Tenaga Terampil)

Junun Pochoi

Junun Ramchai
Junun Toch

Gambar 9. Skema proses pembuatan perahu tradisional.

Junun Pochoi adalah salah satu model perahu yang


biasanya digunakan untuk mencari ikan serta memiliki daya
tampung 2 orang. Ukuran Junun Pochoi tidak terlalu
besar, yaitu: panjang antara 3-4 m, lebar 40-50 cm. Hal ini
bila dibandingkan Junun Ramchai yang memiliki kapasitas
lebih besar. Motif ukiran pada bagian depan perahu Junun
Pochoi berbeda dengan Junun Ramchai. Motif ukiran yang
sering digunakan dan telah dikenal oleh suku Yachai
adalah Mandockoi Wabub (ikan). Motif ukiran pada depan
perahu menandakan perbedaan antara perahu yang satu
dengan yang lainnya, dan telah menjadi totem pada suku
Yachai sebagai simbol adat dari nenek moyang serta
menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Perahu model Junun Toch digunakan pada zaman
nenek moyang suku Yachai yang seringkali terjadi perang
antar suku demi mempertahankan wilayahnya. Jenis
perahu perang ini sudah tidak ditermukan lagi di sekitar
perairan sungai Obaa, namun masih bisa digambarkan oleh
para tetua adat seperti sketsa pada Gambar 3.
Ukuran Junun Toch menurut para tokoh adat setempat
memiliki panjang 7-9 m, dan lebar 1 m dengan daya muat
biasanya 5-6 orang. Di dalam perahu terdapat peralatan
perang seperti panah, kapak, dan tombak serta dihias pada
bagian badan perahu dengan ukiran-ukiran yang digosok
dengan menggunakan lumpur. Motif ukiran pada bagian
depan perahu Junun Toch yang dikenal oleh masyarakat
dengan sebutan Mamin Rup yang memiliki arti
pertumpahan darah (perang).

215

Kriteria pemilihan jenis kayu perahu


Badan perahu (Dedo)
Suku Yachai cenderung memilih jenis kayu yang kuat,
ringan, tidak mudah pecah, tidak berlubang, memiliki
cabang bebas yang tinggi, lurus, kayu tidak keras supaya
mudah diukir pada bagian depan perahu, serta tahan
terhadap organisme perusak kayu khususnya binatang
laut/air. Dari 24 Jenis kayu yang digunakan, hanya delapan
jenis yang sering digunakan untuk badan perahu antara lain
batki (Adinandra forbesii Baker.f), rupke (Tristania sp.),
yunun (Camnosperma brevipetiolata Volkens.), top
(Buchanania macrocarpa Laut), Atam (Sccihizomeria
serrata Hochr.), chomach (Gordonia papuana Kobuski.),
mitbo (Cordia dichtoma Forst.f), dan bao (Dillenia papuana
Martelli).
Kedelapan jenis kayu di atas memiliki keunggulan
dibanding kayu lainnya karena jenis-jenis tersebut memiliki
kelas kuat II-III, kelas awet II-III, dengan berat jenis kayu
0,55-0,80, serta umur pakai 3-5 tahun (Dinas Kehutanan
Daerah Tingkat I Irian Jaya, 1976)
Dayung (Dokak)
Untuk bagian dayung suku Yachai cenderung memilih
kayu yang tidak terlalu berat, tidak mudah patah, tidak
terlalu keras. Dipilihnya kayu yang tidak terlalu keras agar
dayung tersebut dapat diukir sesuai motif ukiran dalam
suku Yachai. Terdapat 11 motif ukiran pada dayung Suku
Yachai antara lain Dokak kende dokak, Riyae dokak, Kajo
abur dokak, Rur dokak, Wari dokak, Ik yachand dokak,
Chaingga dokak, Naper dokak, Ra kound dokak, Mind
dokak, dan Petit dokak. Namun saat ini suku Yachai hanya
menggunakan 7 motif ukiran, yaitu: Riyae dokak, Ik yachan
dokak, Dokak kende dokak, Petit dokak, Rur dokak, Wari
dokak, dan Kajo abur dokak. Ukiran Rur Dokak bermotif
kupu-kupu yang telah menjadi totem dalam kehidupan suku
Yachai sebagai lambang persaudaraan. Sedangkan ukiran
Riyae dokak bermotif penyu yang artinya kehidupan abadi.
Beberapa motif ukiran dayung suku Yachai disajikan pada
Gambar 8.
Suku Yachai dalam pembuatan dayung mengenal dua
jenis kayu, yaitu: bach (Buchanania arborescens BI.) dan
tup (Litsea ampala Merr.). Menurut masyarakat setempat
bahan kedua kayu ini cocok untuk bahan baku dayung
karena ringan, tidak mudah patah dan mudah diukir.
Kegiatan pembuatan ukiran pada dayung diperlihatkan
pada Gambar 6.
Cara dan waktu pengambilan bahan baku
Proses pengambilan bahan baku perahu oleh suku
Yachai diawali dengan memberikan tanda pada pohon yang
akan ditebang. Tanda tersebut dilakukan sesuai dengan
arah terbit matahari dengan memotong batang pohon
seperti huruf V biasanya dilaksanakan pada pagi hari.
Pemberian tanda ini dimaksudkan untuk menentukan
bagian batang pohon yang akan digali sebagai badan
perahu. Tidak terdapat acara ritual atau upacara adat di
dalam pengambilan bahan baku perahu tradisional.
Sebelum pohon ditebang biasanya dibersihkan dahulu arah
rebah pohon, agar tidak mengalami kesulitan dalam
penarikan kayu. Selanjutnya dibuatkan jalur kayu yang
diberikan bantalan dari tiang-tiang kayu untuk ditarik ke tepi
sungai, pada pagi hari (Gambar 7).
Proses pembuatan perahu tradisional
Pada awal pembuatan perahu, bahan dicincang kasar
untuk menentukan bagian depan dan belakang, serta
badan perahu. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudahkan proses pembuatan perahu. Tahap selanjutnya adalah

216

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 212-216

kegiatan rimbas perahu. Rimbas perahu terbagi menjadi


dua, yaitu:, rimbas kasar berupa pekerjaan pembentukan
bagian luar dan penggalian badan perahu. Rimbas halus
dilakukan setelah badan perahu hasil rimbas kasar telah
melewati proses penggarangan. Penggarangan dilakukan
dengan cara membakar badan perahu dengan daun kelapa
kering agar perahu yang dihasilkan kering dari getah
pohon. Hal ini dimaksudkan agar perahu kuat dan tahan
terhadap serangan binatang air perusak kayu perahu.
Selanjutnya tahap pembuatan ukiran pada bagian depan
perahu. Motif ukiran disesuaikan dengan perahu yang akan
dihasilkan. Skema proses pembuatan perahu tradisional
suku Yachai diperlihatkan pada Gambar 9.
Tenaga kerja
Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pembuatan
perahu tradisional suku Yachai berjumlah antara 11-13
orang. Untuk kegiatan pengambilan bahan baku,
pembersihan ujung dan pangkal pohon serta penarikan
bahan baku ke tepi sungai dibutuhkan 7-10 orang. Untuk
pekerjaan pembentukan badan perahu secara kasar
dibutuhkan 2-3 orang. Sedangkan 2 orang lainnya masingmasing terdiri dari 1 orang tenaga terampil untuk rimbas
halus dan 1 orang pengukir bagian depan perahu.
Peralatan dan waktu pembuatan perahu
Peralatan yang digunakan untuk membuat perahu,
yaitu: kapak (Nugget/Chamba), parang (Akib), rimbas
(Khaytangget), dan pisau (Tokak) (Gambar 5). Kapak dan
parang digunakan untuk menebang dan membersihkan
batang dari ranting-ranting. Rimbas digunakan untuk
membentuk badan perahu bagian luar maupun dalam, serta
menghaluskan badan perahu, sedangkan pisau digunakan
untuk membuat ukiran pada bagian depan perahu.
Kehidupan suku Yachai
yang berpola meramu
mengakibatkan perahu menjadi kebutuhan utama, sebagai
sarana transportasi. Kondisi ini berakibat pada proses
pembuatan perahu yang dikerjakan relatif singkat. Waktu
yang dibutuhkan dalam membuat sebuah perahu 3-5 hari
untuk Junun Pochoi dan 2-4 minggu untuk Junun
Ramchai.
Pemeliharaan dan perlindungan perahu secara tradisional
Perlakuan untuk memperpanjang masa pakai perahu
dilakukan setelah perahu selesai dikerjakan. Perlakuan
yang diberikan berupa pembakaran badan perahu bagian
luar dengan daun kelapa (Cocos nucifera) kering,
selanjutnya dilakukan perimbasan terakhir. Pembakaran ini
dimaksudkan agar perahu yang dihasilkan benar-benar
kering dari getah pohon serta menjadi kuat dan tahan
terhadap serangan binatang air perusak kayu perahu.
Kegiatan pemeliharaan dan perlindungan yang biasa
dilakukan suku Yachai untuk memperpanjang masa pakai
perahu meliputi: (i) Perahu sesegera mungkin diangkat ke
tepi sungai, apabila sudah tidak digunakan lagi. Jika terlalu
lama berada dalam air akan mudah diserang binatang
perusak dan lumut. (ii) Apabila sudah tidak digunakan lagi
dan telah diangkat ke tepi sungai, maka perahu tidak boleh
terkena sinar matahari secara langsung dan harus berada
di tempat teduh agar badan perahu tidak retak atau pecah.
(iii) Pada waktu tertentu bagian dalam perahu dibersihkan
dari lumut dan sisa air dengan mengikisnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Suku Yachai memanfaatkan sebanyak 26 jenis dari 14
famili tumbuhan berkayu sebagai bahan baku perahu
tradisional. Terdapat 8 jenis kayu yang sering digunakan

untuk badan perahu dan berkualitas baik, di antaranya


atam (Scihizomeria serrata Hochr.), batki (Adinandra
forbesii Baker.f), chomach (Gordonia papuana Kobuski.),
rupke (Tristania sp.), bao (Dillenia papuana Martelli), top
(Buchanania macrocarpa Laut), mitbo (Cordia dichtoma
Forst.f), dan yunun (Camnosperma brevipetiolata Volkens.).
Sedangkan untuk bagian dayung dimanfaatkan 2 jenis
kayu, yaitu: bach (Buchanania arborescens BI.) dan tup
(Litsea ampala Merr.). Terdapat 3 jenis perahu dalam
kehidupan suku Yachai yang memiliki fungsi dan ukuran
yang berbeda, yaitu: Junun Ramchai, Junun Pochoi dan
Junun Toch. Model Junun Toch yang merupakan perahu
perang sudah tidak ditemukan lagi. Kriteria pemilihan jenis
kayu yang digunakan dalam pembuatan badan perahu
tradisional adalah kuat, tidak mudah pecah, lurus, ringan,
memiliki batang bebas cabang yang tinggi, tidak keras
sehingga mudah dibentuk dan diukir serta tahan terhadap
organisme perusak kayu khususnya binatang laut/air.
Sedangkan kriteria pemilihan jenis kayu untuk dayung
adalah: tidak terlalu berat, tidak mudah patah, dan tidak
terlalu keras agar mudah diukir. Bahan baku perahu
diperoleh dari areal hutan sekitar kampung yang diawali
dengan memberikan tanda seperti huruf V pada pohon
yang akan ditebang sebagai petunjuk untuk bagian badan
perahu yang akan digali. Proses pembuatan perahu diawali
dengan pengambilan bahan baku, pembersihan ujung dan
pangkal, penarikan ke tepi sungai, pembentukan badan
perahu/rimbas kasar, penggalian badan perahu dan
pembentukan bagian luar, penggarangan badan perahu,
rimbas halus, pembuatan ukiran pada depan perahu
(Badun). Peralatan yang digunakan dalam proses
pembuatan perahu adalah kapak (Nugget/Chamba), parang
(Akib), rimbas (Khaytangget), pisau (Tokak). Tenaga kerja
dalam proses pembuatan perahu tradisional berjumlah
antara 11-13 orang. Lama pengerjaan perahu untuk model
Junun Pochoi 3-5 hari dan Junun Ramchai 2-4 minggu.
Perlakuan yang diberikan untuk memperpanjang masa
pakai perahu dilakukan melalui proses penggarangan,
pengikisan badan perahu dari lumut/binatang perusak serta
perahu dilindungi dari sinar matahari langsung untuk
mencegah retak dan pecah pada badan perahu.
Untuk selanjutnya perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui status populasi jenis kayu perahu yang biasa
digunakan suku Yachai. Perlu penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui sifat fisika dan mekanika jenis kayu perahu
tradisional. Untuk mencegah kepunahan jenis kayu perahu
yang sering digunakan masyarakat, maka perlu dilakukan
upaya konservasi berupa penyuluhan dan penanaman
kembali jenis-jenis kayu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I Irian Jaya, 1976. Mengenal Beberapa
Jenis Kayu Irian Jaya. Jilid I. Jayapura: Dinas Kehutanan Daerah
Tingkat I Irian Jaya
Duwila, 2003. Pemanfaatan Jenis-Jenis Kayu Sebagai Bahan Baku
Pembuatan Perahu Tradisional oleh Masyarakat Kampung Wariap
Distrik Ransiki Kabupaten Manokwari. [Skripsi]. Manokwari: Fakultas
Kehutanan UNIPA.
Fatubun, H.M. 2003. Jenis Tumbuhan Berkayu yang Dimanfaatkan dalam
Kehidupan Suku Biak di Kampung Auki Distrik Padaido Kabupaten Biak
Numfor. [Skripsi]. Manokwari: Fakultas Kehutanan UNIPA.
Junus., A.R. Wasaraka., J.J. Fransz., M. Rusmaedi., Soeyitno., S. Sanggen.,
dan Ny. Digut. 1985. Dasar Umum Ilmu Kehutanan. Ujung Pandang..
Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur.
Martawijaya, A. 1993. Sifat dan Kegunaan Kayu Merbau. Seminar Sehari
Optimalisasi Pemanfaatan Kayu Merbau Indonesia, Jakarta.
Petocz, 1987. Konservasi Alam dan Pengembangan di Irian Jaya. Strategi
Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Rasional. Jakarta: PT.
Temprint.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 217-219

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

Jenis-jenis Pengganti Pinang dan Gambir dalam Budaya


Menginang Masyarakat di Kawasan Taman Nasional Wasur,
Merauke, Papua
The alternative choices of masticatory customs by local people in Wasur National
Park, Merauke, Papua
SITI SUSIARTI
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16122.
Diterima: 11 Maret 2005. Disetujui: 4 Juni 2005.

ABSTRACT
The flora diversity and the interesting customs in East Indonesia, particularly in Papua, have not been explored intensively. This study
encountered the relationship between traditional customs and usage of plant species by the local people in Wasur National Park Area,
Merauke sub-district, Merauke district. One of them was masticatory. It has been well known by Indonesians in most parts of Indonesia,
including societies in Wasur National Park. The major societies live in Wasur National Park are Kanum, Morori and Marind. Besides gambir
(Uncaria gambir Roxburgh) and sirih (Piper betle L.), the young fruit of betel nut (Areca catechu L.) is usually consumed it as masticatory
materials, by man and women. Several plant species, usually used alternative choices by Kanum, Morori and Marind were openg
(Exocarpus latifolius R.Br.; Santalaceae), tawal (Celastraceae), sambiwal (Erythroxylum ecarinatum Burck; Erythroxylaceae), ntuo
(Cryptocaria nitida R.A.Philippi; Lauraceae) and agya (Endiandra montana C.T. White; Lauraceae).
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: masticatory customs, Wasur National Park, Papua.

PENDAHULUAN
Keanekaragaman floristik di Kawasan Timur Indonesia
beserta keanekaragaman budayanya cukup menarik,
namun belum banyak yang diungkapkan terutama di
Papua. Kebiasaan menginang sudah dilakukan oleh
masyarakat Indonesia secara luas sejak zaman dahulu,
baik di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku maupun Papua.
Kebiasaan menginang ini diperkirakan muncul sebelum
abad ke-4 Masehi. Kebiasaan menginang dikenal hampir
oleh semua kelompok etnis di Papua mulai dari etnis yang
mendiami kawasan pesisir pantai selatan, sampai daerah
Kerom, perbatasan antara RI dan Papua Niugini,
sedangkan di pedalaman Kabupaten Jayawijaya dan Paniai
tradisi menginang di masa lampau tidak dikenal (Hamzuri
dkk., 1997).
Menurut Hamzuri dkk. (1997) kebiasaan menginang
tidak berbeda dengan praktek kenikmatan lain, seperti
tembakau, teh, dan kopi, sehingga penginang yang sudah
kecanduan sukar untuk menghilangkannya. Praktek
menginang mempunyai efek positif karena bahan yang
dikinang mengandung antiseptik yang dapat memperkuat
gigi. Disamping itu sirih yang dikunyah dapat mengurangi
bahaya karies gigi dan menjaga kesehatan mulut (Sundari
dkk., 1992). Hal ini terjadi karena daun sirih dan daun

Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122.
Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538.
e-mail: herbogor@indo.net.id

gambir mempunyai aktifitas antioksidan (Diantini dkk.,


2001). Pada abad ke-16, di Maluku telah tercatat enam
jenis pinang dan sirih yang digunakan masyarakat (Hamzuri
dkk., 1997). Menurut Heyne (1987) dan Jansen et al.,
(1993), tumbuhan yang dimasukkan dalam kelompok bahan
untuk menginang terutama dari suku Arecaceae, Moraceae,
Piperaceae, Sterculiaceae, Fabaceae, dan Rubiaceae.
Nilai-nilai budaya seringkali merupakan ungkapan nyata
dari kearifan generasi terdahulu dalam beradaptasi terhadap lingkungan dan menjalankan kehidupan secara lebih
sejahtera. Budaya menginang dengan segala keanekaragaman cara dan nilai yang dikandungnya merupakan
salah satu warisan pengetahuan tradisional yang memiliki
nilai-nilai positif, sehingga perlu dilestarikan, termasuk pada
masyarakat Kanum, Marori dan Marind di kawasan Taman
Nasional (TN) Wasur, Merauke, propinsi Papua.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini menggunakan metode partisipasi langsung
pada masyarakat di kawasan TN Wasur yang meliputi Desa
Wasur, Sota, Rawa Biru, Yang Gandur, dan Onggaya yang
secara administratif termasuk dalam Kecamatan Merauke,
Kabupaten Merauke, propinsi Papua. Kawasan ini
berbatasan dengan negara tetangga Papua Niugini.
Masyarakatnya terdiri dari suku Kanum, Marori, dan Marind.
Data dan informasi diperoleh melalui wawancara secara
langsung terhadap lebih dari 30 anggota masyarakat,
termasuk para tetua adat. Informasi jenis-jenis tumbuhan
pengganti pinang dicatat, termasuk cara pemanfaatan,

218

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 217-219

tempat tumbuh dan nama daerahnya. Untuk keperluan


identifikasi dan nama baku ilmiahnya, setiap jenis
tumbuhan diambil contoh herbariumnya. Selain data
lapangan juga diperiksa spesimen herbarium koleksi
Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi, LIPI untuk
melengkapi aspek botani lain seperti penyebarannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kebiasaan menginang dikenal hampir di seluruh
kelompok etnis di kawasan bumi Cendrawasih, termasuk
masyarakat Kanum, Marori dan Marind. Kebiasaan
menginang ini sudah lama dilakukan oleh wanita dan pria,
baik tua maupun muda, hal ini juga menjadi sarana
bersosialisasi sehari-hari. Setiap suku mempunyai bahasa
lokal tersendiri untuk perkataan menginang dan
perlengkapan untuk menginang, seperti pinang, gambir,
sirih, dan kapur (Tabel 1.).
Tabel 1. Nama/istilah menginang dan bahannya dari masyarakat
Kanum, Marori, dan Marind.
Nama/istilah
Menginang
Pinang
Gambir
Sirih
Kapur

Kelompok masyarakat
Kanum
Marori
serei/ ngo/ krei-ra
woyouw
konji
sonom
agya
ake
teh
yorwo
bond
(kwoi)

Marind
kavos
kamis
ake
ngol
koi

Ketiga suku menggunakan perlengkapan menginang


yang cukup beragam yaitu pinang (Areca catechu L.), sirih
(Piper betle L.), gambir (Uncaria gambir Roxburgh), kapur,
dan tembakau. Tembakau biasanya dibeli di pasar dengan
harga Rp. 1.000,- per potong, sedangkan pinang kering
kadangkala dijual di toko/ pasar. Bagian tanaman sirih yang
biasanya paling banyak dimanfaatkan adalah buah, akar,
batang, dan daunnya. Bagian pinang yang dimanfaatkan
untuk menginang adalah buah muda. Sirih dan pinang
ditanam
dan
dipelihara
di
pekarangan
rumah,
perkampungan atau lingkungan yang berdekatan dengan
desa. Tumbuhan pengganti pinang, yaitu openg, sambiwal,
tawal, ntuo, dan agya diperoleh dari hutan di sekitar desa
dalam TN Wasur. Ramuan untuk menginang dari setiap
suku terdapat sedikit perbedaan, misalnya sebagian
masyarakat Marind tidak menggunakan gambir, yaitu pada
masyarakat Marind Deg (Marind Pedalaman).
Masyarakat Kanum, Marori, dan Marind juga
menggunakan beberapa jenis tumbuhan sebagai bahan
pengganti pinang dan gambir. Jenis-jenis tumbuhan
pengganti pinang adalah kulit kayu openg (Exocarpus
latifolius
R.Br.;
Santalaceae),
kulit
kayu
tawal;
(Celastraceae), kulit kayu sambiwal (Erythroxylum
ecarinatum Burck; Erythroxylaceae), dan kulit buah dan
daun muda ntuo (Cryptocaria nitida R.A.Philippi;
Lauraceae), sedangkan pengganti gambir adalah kulit kayu
dan buah agya (Endiandra montana C.T. White;
Lauraceae).
Budaya menginang merupakan kebiasaan masyarakat
peramu yang diturunkan dari generasi ke generasi dan
telah merupakan bagian integral yang tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan masyarakat di Irian Jaya.
Seperti halnya diungkapkan dalam Hamzuri dkk. et. al.
(1997), sebelum menginang terlebih dahulu disediakan
bahan-bahan ramuan, baik ramuan pokok maupun ramuan

pelengkap. Ramuan pokok terdiri atas: buah pinang, buah


sirih, dan kapur sirih. Sedangkan ramuan pelengkap terdiri
atas: buah pinang hutan, kulit kayu, dan buah kelapa muda
yang kecil. Apabila datang pergantian musim, pinang dan
sirih tidak berbuah, maka masyarakat menggantinya
dengan ramuan pelengkap (ramuan cadangan) sesuai
dengan pengetahuannya.
Hamzuri dkk. (1997) menyatakan bahwa daerah lain di
Papua mengenal pengganti buah pinang dan buah sirih,
yaitu kulit kayu dakue di Kabupaten Jayapura; buah akes
dan kulit kayu knei di Kabupaten Biak Numfor; buah
komorifu dan buah atau kulit karakarawo di Kabupaten
Yapen Waropen; buah sunggeri dan kulit kayu apaimo di
Kabupaten Manukwari; kulit kayu ayahne di Kabupaten
Sorong. Nama-nama pengganti buah pinang dan buah sirih
ini belum teridentifikasi nama ilmiahnya.
Jenis-jenis pengganti pinang dan gambir yang
dimanfaatkan masyarakat di kawasan TN Wasur ini belum
tercatat dalam Heyne (1987) dan Jansen et al. (1993).
Jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan untuk menginang
berasal dari suku Arecaceae, Moraceae, Piperaceae,
Sterculiaceae, Fabaceae dan Rubiaceae. Jenis tumbuhan
tersebut umumnya termasuk tumbuhan berkayu (Jansen et
al., 1993). Jenis-jenis pengganti pinang di TN Wasur ini
tumbuh di hutan savanah di antara jenis Melaleuca sp. dan.
Eucalyptus sp.
Jenis-jenis pengganti pinang dan gambir selain di TN
Wasur, ditemukan juga pada berbagai kawasan, misalnya
Exocarpus
latifolius
R.Br.
(Santalaceae).
Jenis
berperawakan pohon ini dapat mencapai tinggi 15 m
dengan diameter 40 cm. Berdasarkan koleksi Herbarium
Bogoriense, daerah persebarannya di Jawa: Puger, Besuki,
Bondowoso, Baluran, Sumenep, Kangean; Bali; Sumbawa;
Flores: Flores Barat, Manggarai, G. Rinca; Sumba; Timor;
Sulawesi: Pangkadjene, Selayar; Maluku: P. Obi, P. Aru,
Kei, Ternate, Halmahera; Irian Jaya, P.N.G, dan Filipina.
Jenis ini tahan terhadap kekeringan dan tumbuh dari hutan
pantai yang agak terbuka, di antara pantai berpasir, pada
savanah Eucalyptus, hingga ketinggian 600 m dpl. Koleksi
Herbarium Bogoriense mencantumkan bahwa daun jenis ini
dicampur sirih dimanfaatkan masyarakat Desa Waifoi
(nama lokal: katanye), Pulau Waigeo, Irian Jaya,
sedangkan
masyarakat
di
kawasan
TN
Wasur
memanfaatkan kulit kayunya. Menurut Jansen et al. (1993)
E. latifolius termasuk tumbuhan berkayu wangi. Menurut
Heyne (1987), jenis tumbuhan dari suku yang sama yaitu
cendana (Santalum album L.) dimanfaatkan pula sebagai
pengganti pinang.
Erythroxylum ecarinatum Burck, (Erythroxylaceae),
umumnya berbentuk pohon kecil namun ada pula yang
dapat mencapai tinggi 20-30 m. Berdasarkan koleksi
Herbarium Bogoriense, daerah persebarannya meliputi
Sulawesi: Donggala; Maluku: Ambon, Buru, Morotai,
Seram; Irian Jaya: Biak, Fak-fak, Mimika, Lembah Kebar, S.
Idenburg, dan Manokwari; Filipina: Palawan. Sedangkan
menurut Steenis (1958) dan Woodley (1991) tumbuhan
tersebut dapat ditemukan juga di Malaysia Timur serta
Melanesia: P. Solomon. Menurut Woodley (1991) maupun
dari koleksi Herbarium Bogoriense habitat dari jenis ini
tumbuh baik pada hutan sekunder muda, hutan sekunder,
maupun hutan primer dari dataran rendah sampai
ketinggian 1500-2000 m dpl. Menurut Woodley (1991), jenis
ini dimanfaatkan untuk obat di Sulawesi dan PNG, daunnya
dicampur dengan garam dan dikunyah, lalu getahnya
ditelan untuk mengobati sakit perut dan mencegah muntah.
Daun jenis ini mengandung alkaloid, terutama tropakokain,
sedangkan daun dari marga yang sama yaitu Erythroxylum

SUSIARTI Pengganti pinang dan gambir di TN Wasur, Merauke

coca Lamk mengandung alkaloid kokain, daun


Erythroxylum cuneatum (Miquel) Kurz yang biasa
dimanfaatkan sebagai racun ikan atau tonik mengandung
beberapa jenis alkaloid, akar Erythroxylum australe F.
Muell. juga mengandung alkaloid (Imam dkk., 1988).
Menurut Mandagi dan Wresniwiro (1995), kokain diekstrak
dari daun coca yang ditanam di dataran tinggi Andes,
Amerika Selatan sejak masa prasejarah. Daun tersebut
dikunyah untuk mendapatkan kesegaran dan melepas
lelah, seperti tembakau yang dikunyah di Amerika Utara.
Cryptocarya nitida R.A. Philippi (Lauraceae) yang
berperawakan pohon ini dapat mencapai tinggi pohon 2025 m dengan diameter 20-45 cm. Berdasarkan koleksi
Herbarium Bogoriense, daerah persebarannya meliputi Irian
Jaya: Biak; Maluku: Ternate dan G. Para-para (Morotai).
Jenis ini tumbuh pada hutan primer, hutan tua, pada
dataran miring dengan ketinggian 3-1000 m. dpl. Endiandra
montana C.T. White (Lauraceae) berperawakan pohon;
dapat mencapai tinggi 24 m dengan diameter 43 cm.
Berdasarkan koleksi Herbarium Bogoriense, daerah
persebarannya meliputi Maluku (Morotai), Irian Jaya dan
PNG. Jenis ini tumbuh pada hutan hujan sekunder, pada
dataran rendah dengan ketinggian 30-1000 m. dpl., jenis ini
kadang tumbuh berasosiasi dengan Flindersia spp. dan
Acacia spp.
Tawal berperawakan pohon kecil; termasuk Suku
Celastraceae. Suku Celastraceae ditemukan di Jawa dan
Sumatra. Kulit kayunya biasanya termasuk kayu yang awet.
Uji tes alkaloid anggota suku Celastraceae misal Bhesa
archboldiana, pada daun dan kulit kayu menunjukkan hasil
positif (Hartley, 1973).
Jenis-jenis pengganti pinang dan gambir perlu
dilestarikan melalui usaha pengembangan dan budidaya
karena belum ada usaha masyarakat untuk menanamnya.
Pengambilan secara terus menerus langsung dari alam
dikhawatirkan akan menimbulkan kelangkaan. Tercatat
jenis Erythroxylum ecarinatum telah dikonservasi secara ex
situ di Kebun Raya Bogor (Astuti dkk., 2001).

KESIMPULAN
Budaya menginang telah dikenal masyarakat Kanum,
Morari, dan Marind yang bermukim di kawasan T.N. Wasur.

219

Masyarakat menggunakan beberapa jenis tumbuhan


sebagai pengganti pinang dan gambir, yaitu: openg
(Exocarpus latifolius, Santalaceae), tawal (Celastraceae),
sambiwal (Erythroxylum ecarinatum, Erythroxylaceae), ntuo
(Cryptocaria nitida, Lauraceae), dan agya (Endiandra
montana, Lauraceae). Jenis-jenis pengganti pinang dan
gambir ini belum diungkapkan pemanfaatannya secara luas
dan
belum
dibudidayakan
masyarakat,
sehingga
dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan akibat diambil
secara terus menerus dari alam. Tercatat jenis
Erythroxylum ecarinatum telah dikonservasi secara ex situ
di Kebun Raya Bogor.

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, I.P., L.P. Soewilo, T.D. Said, and R.N.A. Kosasih (eds.). 2001. An
Alphabetical List of Plant Species Cultivated in the Bogor Botanical
Garden. Bogor: Botanic Gardens of Indonesia, Indonesian Institute of
Sciences.
Diantini, A., I. Sofyan, A. Subarnas, and R. Mustanchie. 2001. Antioxidant
activity of the metanol extracts of Piper betle Linn. and Uncaria gambir
(HUNTER) ROXB. leaves. In: Kosela, S., W. Priyono, E. Saepudin, S.
Hudiyono, and F. Roza (eds.). Proceeding of International Seminar on
Natural Products Chemistry and Utilization of Natural Resources, UI,
Depok, Indonesia, 5-7 Juni 2001.
Hamzuri, M. Husni, dan T. R. Siregar (ed.). 1997. Budaya Menginang di
Daerah Irian Jaya, Maluku dan Sulawesi. Jakarta: Direktorat
Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan R.I.
Hartley, T.G. 1973. A survey of New Guinea plants for alkaloids. Lloydia 36
(3): 217-319.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan R.I.
Imam, Y.M.A., W.C. Evans, and R.J. Grout. 1988. Alkaloids of Erythroxylum
cuneatum, E. ecarinatum and E. australe. Phytochemistry 27 (7):
2181-2184.
Jansen, P.C.M., R.H.M.J. Lemmens, L.P.A. Oyen, J.S. Siemonsma, F.M.
Stavast, and J.L.C.H. van Valkenburg (eds.). 1993. Plant Resources of
South-East Asia. Basic List of Species and Commodity Grouping. Final
version. Wageningen : Pudoc.
Mandagi, J. dan M. Wresniwiro. 1995. Masalah Narkotika dan Zat Adiktif
Lainnya serta Penanggulangannya. Jakarta: Pramuka Saka
Bhayangkara.
Steenis, C.G.G.J. van 1955-1958. Flora Malesiana. Series I. Spermatophyta.
Vol 5: 547-548. Jakarta: Noordhoff-Kolff N.V.
Sundari, S, Koensoemardijah, dan Nusratini. 1992. Minyak atsiri daun sirih
dalam pasta gigi; Stabilitas fisis dan daya antibakteri. Warta Tumbuhan
Obat Indonesia 1 (1): 5-6.
Woodley, E. (ed.). 1991. Medicinal Plants of Papua New Guinea. Part 1.
Morobe Province: Verlag Josef Margraf.

BIODIVERSITAS
Volume 6, Nomor 3
Halaman: 220-223

ISSN: 1412-033X
Juli 2005

REVIEW:
Social and Environmental Issues of Danau Sentarum National
Park, West Kalimantan
ONRIZAL1,, CECEP KUSMANA2, BAMBANG HERO SAHARJO3, IIN PURWATI HANDAYANI4, TSUYOSHI KATO5
1

Forestry Department, Faculty of Agriculture, North Sumatra University, Medan 20155


2
Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, Bogor 16680.
3
Laboratory of Forest and Land Fires, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, Bogor 16680.
4
Soil Science Department, Bengkulu University, Bengkulu 38371
5
Japan International Cooperating Agency (JICA), Indonesian representative, Bogor 16000
Received: 3 March 2005. Accepted: 6 May 2005.

ABSTRACT
Danau Sentarum National Park (DSNP) is a cluster of lakes located in Kapuas Hulu District, West Kalimantan Province with the total area
of 132,000 ha. From 1981 to January 1999 this site was recognized as Suaka Margasatwa Danau Sentarum (Danau Sentarum Wildlife
Reserve). Since 1994 this site had been declared as Ramsar site. DSNP is a monumental site, since the only undisturbed peat swamp
forest was found in this site. Peat swamp forest in the national park stores the oldest tropical peat in the world. The lakes and the peat
swamp forest in DSNP that always flood is the biggest water reservoir for West Kalimantan Province. Peat swamp forest in the national
park served as water reservoir in the national park, which was able to keep 300 400 % of moisture content from dry weight basis. Based
on our investigation, the decreasing income of fisherman and natural resources destruction affected other community to do illegal logging
supported by investors from neighboring country in which they can get cash money easily. Using special approaches in law enforcement,
technological, socio-economical, socio cultural and ecological aspects should solve social problems faced by DSNP. Eco-tourism might be
one alternative solution for DSNP as one of tourism object.
2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: Danau Sentarum National Park, West Kalimantan, social issues, environmental issues.

INTRODUCTION
Danau Sentarum National Park (DSNP) is a cluster of
lakes located about 700 km from Kapuas River in Kapuas
Hulu District, West Kalimantan Province (Anshari et al.,
2002). Based on the decree of Ministry of Forestry and
Estate No. 34/Kpts II/1999 dated 4 February 1999, the
Lake Sentarum was declared as National Park with the total
area of 132,000 ha. From 1981 to January 1999 this site
was recognized as Suaka Margasatwa Danau Sentarum
(Danau Sentarum Wildlife Reserve) based on the decree of
Directorate General of Forestry, No. 2240/DJ/1981 (Anshari
et al., 2002). Furthermore, since 1994 this site had been
declared as Ramsar site (DCruz and OCallaghan, 1994,
Giesen, 1995a, 1995b, 1996; Anshari et al., 2002). The
lakes in DSNP are in open areas and influenced by
monsoonal condition. The water level may reach 12 meter
deep in rainy season and decrease in dry season. When
water level in Kapuas River decreases, water will flow from
the lake to the river. On the other hand, the Natural Park
may gradually dry especially during long dry season
(Giesen, 1987, 1995a, 1995b, 1996, Jansen et al., 1994,
Jeanes, 1996, 1997, Jeanes and Meijaard, 2000; Anshari et
Corresponding address:
Jl Tri Dharma Ujung No. 1, Kampus USU-Medan 20155
Tel. & Fax.: +62-61-8220605
e-mail: onrizal03@yahoo.com

al., 2002) (Figure 1). Therefore, flora, fauna and human


activities have been adapted to the tidal pattern of the lakes
in DSNP.
Recorded data shows that DSNP is a
monumental site, since the only undisturbed peat swamp
forest was found in this site. Anshari et al. (2001) reported
that peat swamp forest in the national park stores the oldest
tropical peat in the world. Peat found in the beach (marine)
is originated from mangrove, while peat swamp forest found
in the lakes of the National Park is predicted come from
heath (kerangas) vegetation.
The lakes and the peat swamp forest in DSNP that
always flood is the biggest water reservoir for West
Kalimantan Province. During rainy season, the exceeding
water flow from rainfall is hold by the National Park, so that
Kapuas River is not flooding. On the other hand, when
water level of Kapuas River tend to decrease during dry
season, water from the national park flows to the river and
make a balance of the river debit.
Recently, climate changes globally, which may cause
longer dry season that leads to global warming in the future.
During the last ten years, DSNP experienced three times of
dry season in the period of 1994 and 2001. In the year
2002, water level of the lakes fluctuated highly in which
water level decreased in early June and increased in July,
then decreased in August (Anshari et al., 2002). Normally,
there is one to three dry months period in the lakes of
DSNP. However, the lakes experienced seven dry months
period in 1997 (Jeanes and Meijaard, 2000; Anshari et al.,
2002). The increase of dry period may be influenced by

ONRIZAL et al. Issues on Danau Sentarum National Park

climate change and human activity surrounding and in the


area of DSNP. Environmental destruction and the lost of
forest in West Kalimantan may cause high surface run off
which lead to highly fluctuated of water level in Kapuas
River. Kapuas River increases and tends to over flow
during rainy season; meanwhile the water level may
decrease rapidly when rainfall decreases.

B
Figure 1. Lake Tapak Luar, one of the lakes in DSNP with the
background of Semujan hill in two seasons: (A) rainy season
(December 2003, Photo by Bambang Hero Saharjo), and (B) dry
season (June 2004, Photo by Onrizal)

SOCIAL ISSUES
DSNP area has socio economic and culture values
related with the life and activities of local community who
live in and surrounding the area. Therefore, those values
need to be taken into account in DSNP management by
policy makers. Recorded data showed that about 1800
household (9000 people) stay in DSNP whereby most of
their income depends on the natural resources
sustainability of the park. They are consisted of Melayu
(Malay) communities who stay near the river and lakes and
Dayak Iban communities who live near the forest area in
the park (Anshari et al., 2002).
Malay communities dominate the area in which about
80% of them live in the park. Most of the people are
nelayan (fisherman) (Giesen, 1987, Jansen et al., 1994;
Anshari et al.,2002). They constitute a group and establish

221

a village (kampong) in the National Park. Some of them


stay in permanent or semi permanent houses and some of
them still stay in lanting (floating house) on the river site
and lake. In addition to the local people living in the park,
some other people also come to DSNP periodically. The
local people informed that they normally come in fishing
time during dry season when the water level of the lake
decreases, in the period of June to August.
Each village has their own working area that has been
agreed upon by the community. A leader of the fisherman
who is selected through local agreement arranges fishing
activities. The agreement varies from one village to another
(Anshari et al., 2002). However, it is cleared that the
differences of opinion among the villages seem not to be a
serious problem so far.
Fisherman community in DSNP does not depend only
on fishing activities but they also grow fish in a keramba (a
basket put in the stream) in their village (Anshari et al.,
2002). Fish species grown in keramba are Channa
micropeltes, Leptobarbus hoevenii, Oxyleotris marmorata,
Pangasius nasutus. C. micropeltes and O. marmorata are
carnivores consuming small fish. They are kept in the
keramba for at least one year. To grow fish in keramba
has been intensively carried out and large number of small
fishes has been capture to feed the fish. This activity may
affect fish population in the park.
Based on our observation, agricultural activities in
DSNP are relatively in a small scale. Those activities are
traditionally implemented by most of Dayak communities
by doing shifting cultivation on hillside around the forest
area. Main agricultural commodity is rice. Beside corn,
sweet potato and horticulture commodities are also planted.
Fruit trees are normally planted around their village. Beside
agriculture practices, Dayak community is also doing
hunting of turtle and other animals. On the other hand,
since the access to Malaysia is relatively near, the local
people informed that many young people leave their village
and go for work in Malaysia.
From September to February in each year, some people
in DSNP are busy with many activities dealing with
honeybee harvesting. During that period wild honeybees
(Apis dorsata) move to DSNP. It is correspond to the flower
season of forest trees in the park. The communities living
in the national park know traditional method how to keep
the wild honeybee. They used a kind of wood for a nest that
locally called tikung. One beekeeper has about 40 60
tikung, some of them have around 100, and others have
no tikung. One tikung which is kept intensively may
produce around 10 20 kg honey (Anshari et al., 2002,
LSM Riak Bumi, 2003).
The regulations applied in DSNP are originated from
traditional custom. These rules are maintained by the
community in order to manage their life in the park. Their
ancestor had executed the agreements for years.
Recently, however, new values had been established based
on agreement. The lost of income of the fisherman due to
the decrease of water resources quality affect the lost of
chance for the community to participate in sustainability
activity for DSNP management. On the other hand, based
on our investigation, the decreasing income of fisherman
and natural resources destruction affected other community
to do illegal logging sponsored by investors from
neighboring country in which they can get cash money
easily. The investor usually called cukong that sometime
caused horizontal conflict between party who really want to
protect the national park and another party who really want
to join the investor.

222

B I O D I V E R S I T A S Vol. 6, No. 3, Juli 2005, hal. 220-223

Using special approaches in law enforcement,


technological, socio-economical, socio cultural and
ecological aspects should solve social problems faced by
DSNP. Problems in DSNP are multidimensional in motive.
Furthermore, land clearing and land preparation by slashand-burn method in the buffer zone area may cause a
negative impact on the national park ecosystem.

ENVIRONMENTAL ISSUES
Environmental quality degradation
Recently, DSNP is facing environmental problems,
which lead to land degradation due to high exploitation
activity in the forest in and around the National Park,
particularly during wet season. The intensive fishing activity
and growing fish in keramba had been found to decrease
fish population in Kapuas River which leads to difficulties in
finding fish during wet season. Logging and land clearing
activities in and around the national park have caused
negative impacts to the water quality of the lakes in DSNP.
As natural resources of water and forest exploitation in and
around the national park increases, the transportation and
the migration of people to the national park has also
increased significantly.
Accessibility for people going through the national park
has increased since there was a change of availability of
transportation and other facilities. Transportation services
from outside DSNP to villages in the lakes that normally by
motor Bandung have changed to speedboat. Using
speedboat will spend only 2-3 hours from Semitau (village
in outside DSNP) to Semangit (one of the village in DSNP),
while using motor Bandung needs 3-4 times longer.
Recently, motor Bandung is not operated regularly,
because the people prefer to use speedboat for daily
transportation.
Condition around DSNP has rapidly
changed, especially in buffer zone between Lanjak and
Badau.
Based on our observation, located as a district border,
Badau become a transit city, which is noisy and grows
rapidly. Economic activities seem starting to grow up in this
area, marked by the development of supermarkets and
hotels. Those changes also accompanied by negative
social impacts such as gambling, drug abuse and
prostitution. Next to Badau, Lanjak is a strategic sub-district
located between Putussibau and Badau. Lanjak is the final
destination for logging or sawn timber transportation before
entering Indonesia-Malaysian border and recognized as
one of the biggest route for illegal logging in West
Kalimantan.
Decreasing of fish population
Fish population in DSNP is decreasing due to human
activities mostly, like using equipment and other fishing
facilities, which cause negative impacts to the fish
sustainability in Kapuas catchments area. Using poison
called bubu warin, strum technique in several places,
chemical poisoning, and cut pond have caused bad impacts
since those things decrease the chance for fish population
to grow up (Anshari et al., 2002).
Fishing baby fish in DSNP is strongly related to the
activity of growing fish in keramba, especially toman
species. The baby fishes from various species are being
captured and used as food for toman. This causes
disturbance of populations in DSNP. Anshari et al. (2002)
reported that the activity had been done for at least 10 year
and seemed to create negative impacts. Most fishermen

feel that fish population in the lakes, including baby fish,


decreased year by year. A strong impact to the economical
performance seems to be experienced by people dealing
with the fish business including fisherman. From fish
biodiversity point of view, scarcity of certain species had
been found such as the exporting fishes of Scleropages
formosus (arowana), Botia macracanthus (ulang uli), and
Oxyeleotris marmorata, some species even becoming
disappeared
such
as
Balantiocheilos
meloptrus,
Neobarynotus microlepis, Maerochirichthys maerochirus.
Decline of water quality
Decline of water quality in DSNP is not only due to
human activities in the park but also surround the park,
especially northern part of the buffer zone. It is due to the
intensively opening access to Badau especially to the
neighboring country by which forest resources exploitation
has been increased in Kapuas Hulu district. Logging
activities in water catchments area around DSNP effect
directly to the hydrological balance in the national park
area.
The increasing number of water transportation activities
across the lakes of the national park has also negative
impacts to water quality such as gasoline and wood
chemical substances used in the exploitation. Forest
resources exploitation which focuses on logging often
ignores conservation aspect. Although it might not be a
permanent business, certainly causes forest destruction.
This lead to difficulties in natural regeneration and increase
of fire risk. The forest is also treated with erosion and flood
which lead to soil degradation. Eroded soil layer may
increase the particle entering water body which finally
shallower the lakes and Kapuas river.
Natural forest stands closed to DSNP with their richness
of biodiversity have been functionally changed when a
company replaced the stand with oil palm plantation
(Anshari et al., 2002). Furthermore, local people are still
applying slash and burn method for agricultural activity
which consist of cutting, drying and burning trees.
Meanwhile, rubber and pepper are being planted as
agricultural estate crop. The alteration of Dipterocarps
forest is strictly affect water balance in DSNP.
Fluctuation of lakes water level
The fluctuation of lakes water level is periodically
change and depends on the condition of water catchments
area around the national park. The water level in the
national park is highly influenced by rainfall, surface run-off
and the ability of peat swamp forest to store the water. The
rainfall and surface run-off seem to be directly affected by
canopy cover and the condition of natural forest near the
national park. Klepper (1994) reported that peat swamp
forest in the national park served as water reservoir in the
national park, which was able to keep 300 400 % of
moisture content from dry weight basis.
The alteration of hydrological pattern that occur in DSNP
is highly related to the shifting of rainy and dry season and
water level of the lakes. Nowadays, local people living in
DSNP are finding difficulties in predicting the shifting period
of rainy and dry season. This problem may affect seasonal
calendar, which is very important in scheduling of fishing
period. Without proper seasonal calendar, fishing activity
may be disturbed and affect their income directly.
Forest and land fires
Forest and land fires often occur in DSNP. Based on
pollen analysis and coal analysis data, peat swamp forests

ONRIZAL et al. Issues on Danau Sentarum National Park

in the national park have frequently experienced fires since


20.000 years ago (Anshari et al., 2002). Forest fire had
been reported also by environmentalist and researcher who
visited the lake of Kapuas in the last centuries. Recently,
fire become more quite frequently occurs especially during
dry season. Until nowadays, all fires which had occurred in
the area were due to human activities.
According to pollen analysis by Anshari et al. (2001), fire
occurred in the peat swamp forest area had not destroyed
the habitat and neither caused disappearing of trees
formation. About 1.400 years ago, forest fire tended to
improve trees formation and affect the changing of closed
forest to become open forest (Table 1). Nowadays, fires
become a very serious problem.
Table 1. Predicted burned area in the DSNP in the period of 19731997 (Anshari et al., 2002).
Year

Burned area (ha)

1973
1990
1994
1997

5483
9045
11105
18905

Forest and land fires occurred in DSNP is closely


related to human activity, including their motivation in
expanding of fishing area. During dry season, thousand of
people from village around Kapuas River come for fishing.
Therefore, the activities during that time are very intensive.
Negative impact of the fires is the alteration of forest
structure and composition. Frequent fire occurrences may
increase the chance of this area become cogon (alangalang) grassland (Saharjo et al., 2004). Anshari et al.
(2002) informed that several wildlife such as Pongo
pygmaeus (orang utan) and Nasalis lavartus (bekantan)
were forced to move to the unburned area in which plenty of
foods are available. Fires in 1997 caused wild bee of Apis
dorsata stop building their nest in DSNP since haze/ smoke
produced by burning disturbed their activities. Besides, the
trees whereby the honeybees place their nest were burned
out. This caused extreme (more than 90%) of decreasing of
honey production during 1997 1999. However, the farmer
could get the honey for daily need but not for sale.
Based on our investigation, the decreasing income of
fisherman and natural resources destruction affected other
community to do illegal logging supported by the investor
from neighboring country in which they can get cash money
easily
Biodiversity
One of the special natures of DSNP is the richness of
flora and fauna (Saharjo et al., 2004). Recorded data show
that there are more than 500 trees species, 260 species of
fish, 300 species of birds, 11 species of turtles and 3
species of crocodiles. Besides, the national park area is a
habitat for Pongo pygmaeus (orang utan), Hylobates
muelleri (siamang), Nasalis lavartus (bekantan), Macaca
fascicularis (long tail monkey), Helarctos malaganus (honey
bee), Sus barbatus (wild pig), some species of deer, snakes
and lizards (Giesen, 1987, 1995a, 1996, Jansen et al.,
1994; Jeanes and Meijaard, 2000).
Eco-tourism
An idea to create DSNP as a tourism object had been
initiated since the park had the status as wildlife reserve in

223

the period of 1994-1995 (Giesen, 1995a, 1995b, 1996,


Jeanes and Meijaard, 2000). The idea appeared when the
uniqueness and specific of DNSP have particular attention
from domestic and also foreign tourists to come. Besides,
since the national park had been recorded as one of
Ramsar site in Indonesia, the national park is become more
valuable to be sold for international community.
Several benefits that might be taken from DSNP as the
tourism object are as follows (i) availability of fund for
managing DSNP, (ii) creating job opportunities for the
people living in and around the park, (iii) reducing natural
resources exploitation pressure on DSNP by local people,
(iv) being a source of income for Kapuas Hulu District.
However, establishment of DSNP as one of tourism object
probably will cause several negative impacts as follows (i)
decreasing of environmental quality, (ii) destruction of
ecological condition, (iii) economical dependent, (iv)
negative changing of socio cultural condition.
Eco-tourism might be one alternative solution for DSNP
as one of tourism object. Unfortunately, the word is easily
said but not in implementation, because it cannot be run
amateur but it must be conducted professionally. One
important thing is that opening the protected area to be an
open access area must be carefully considered and should
be done through an integrated study.
REFERENCES
Anshari, G.Z., A.P.Kershaw., and S. van der Karrs. 2001. A late Pleistocene
and Holocene pollen and charcoal record from peat swamp forest, Lake
Sentarum
Wildlife
Reserve,
West
Kalimantan,
Indonesia.
Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology 171: 213-228
Anshari, G.Z., Y.C.T. Anyang., D. Kusnandar., V. Heri and A. Jumhur. 2002.
Taman Nasional Danau Sentarum: Lahan Basah Terunik di Dunia.
Pontianak: Riak Bumi dan Yayasan Konservasi Borneo.
DCruz, R. and B. OCallaghan (eds.). 1994. Priorities and institutional
mechanisms for wetland protection and wise use in South-east Asia.
Proceedings of the Ramsar Regional Workshop. AWB Publication No.
107. Bogor, Indonesia. 29 March 1 April 1994.
Giesen, W. 1987. Danau Sentarum Wildlife Reserve: Inventory, Ecology and
Management Guidelines. Bogor: WWF/PHPA.
Giesen, W. 1995a. Importance of the Danau Sentarum Wildlife Reserve
(West Kalimantan, Indonesia) to Conservation. Bogor: Asian Wetland
Bureau-Indonesia.
Giesen, W. 1995b. The Flooded Forests and Blackwater Lakes of Danau
Sentarum, West Kalimantan, Indonesia. Bogor: UK-ITFMP report for
AWB/PHPA.
Giesen, W. 1996. Habitat Types and their Management: Danau Sentarum
Wildlife Reserve, West Kalimantan, Indonesia. Bogor: Wetlands
International-Indonesia Programme/PHPA.
Jansen, R., W. Giesen, E. Widjanarti, and V. Deschamps. 1994. An
Introduction to the Danau Sentarum Wildlife Reserve. Bogor: Asian
Wetland Bureau.
Jeanes, K.W. and E. Meijaard, 2000. Habitat characteristic and biodiversity
distribution within and surrounding Danau Sentarum. Borneo Research
Bulletin 31: 230-245
Jeanes, K.W. 1996. Danau Sentarum Wildlife Reserve: Catchments
Developing Review, Reserve Boundary Review and Buffer Zone
Proposal. Survey report, Indonesia-UK Tropical Forest Management
Programme: Project 5-Conservation, Wetland International-ODA.
Jeanes, K.W. 1997. A Biophysical Profile of Danau Sentarum Wildlife
Reserve. Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme:
Project 5-Conservation, Wetland International-DFID.
Klepper, O. 1994. A Hydrological Model of the upper Kapuas River and the
Lake Sentarum Wildlife Reserve. Bogor: Directorate General of Forest
Protection and Nature Conservation and Asian Wetland Bureau.
LSM Riak Bumi. 2003. Laporan Proyek: Pembinaan Lebah Madu Liar untuk
Konservasi Lahan Basah dan Peningkatan Pendapatan Masyarakat di
Taman Nasional Danau Sentarum, Periode Oktober 2002-September
2003. Pontianak: LSM Riak Bumi.
Saharjo, B.H., B. Sumawinata, and G. Anshari. 2004. Taman Nasional
Danau Sentarum yang sedang murung. Warta Konservasi Lahan Basah
12 (1): 7, 25.

ISSN: 1412-033X

Struktur Genetik Sebaran Populasi Salvia japonica Thunb. (Labiatae) di Kebun Raya
Universitas Osaka City, Kisaichi, Prefektur Osaka, Jepang
SUDARMONO
Variasi Isozim dan Morfologi pada Anopheles subpictus Grassi Vektor dan Nonvektor
Malaria
RUBEN DHARMAWAN, DARUKUTNI, SATIMIN HADIWIDJAJA, ADI PRAYITNO
Analisis Filogenetik Rhizobia yang Diisolasi dari Aeschynomene spp.
EVI TRIANA
Daya Pacu Aktivator Fungi Asal Kebun Biologi Wamena terhadap Kematangan dan Hara
Kompos, serta Kandungan Mikrobia Pelarut Fosfat dan Penambat Nitrogen
SRI WIDAWATI
Pengaruh pH terhadap Aktivitas Endo-1,4--glucanase Bacillus sp. AR 009
IMAN HIDAYAT
Karakterisasi Pigmen dan Kadar Lovastatin Beberapa Isolat Monascus purpureus
ERNAWATI KASIM, SRI ASTUTI, NOVIK NURHIDAYAT
Diversity and Growth Behaviour of Nepenthes (Pitcher Plants) in Tanjung Puting National
Park, Central Kalimantan Province
TRI HANDAYANI, DIAN LATIFAH, DODO
Jenis-jenis Tumbuhan Sumber Pakan dan Tempat Bersarang Kuskus (Phalangeridae) di
Cagar Alam Biak Utara, Papua
HADI DAHRUDDIN, WARTIKA ROSA FARIDA, AEP SYAEPUL ROHMAN
Perilaku Makan Oposum Layang (Petaurus Breviceps) di Penangkaran pada Malam Hari
WARTIKA ROSA FARIDA, A. PERDANA, D. DIAPARI, A.S. TJAKRADIDJAJA
Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Kerangas Bekas Kebakaran di Taman Nasional
Danau Sentarum, Kalimantan Barat
ONRIZAL, CECEP KUSMANA, BAMBANG HERO SAHARJO, IIN PURWATI HANDAYANI,
TSUYOSHI KATO
Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Alam Rimbo Panti, Propinsi Sumatera Barat
RAZALI YUSUF, PURWANINGSIH, GUSMAN
Pola Reproduksi Burung Jalak Gading (Turdius sp.) di Gunung Lawu, Jawa Tengah
AGUNG BUDIARJO
Keragaman Serangga pada Tanaman Roay (Phaseolus lunatus)
YAYAN SANJAYA, WIWIN SETIAWATI
Jenis Tumbuhan Pewarna Alami dan Pemanfaatannya secara Tradisional oleh Suku
Marori Men-Gey di Taman Nasional Wasur, Merauke
ANTONIUS ETUS HARBELUBUN, YOHANES YOSEPH RAHAWARIN
Bahan Rempah Tradisional dari Masyarakat Dayak Kenyah Di Kalimantan Timur
SITI SUSIARTI, FRANCISCA MURTI SETYOWATI
Review: Capsicum spp. (Cabai): Asal, Persebaran dan Nilai Ekonomi
TUTIE DJARWANINGSIH

224-229

230-234

235-240
241-244

245-247
248-251
252-256

257-262

263-266
267-269

270-275
276-280
281-285
286-290

291-293
294-298

Gambar sampul depan:


Nepenthes ampullaria Jack
(FOTO: TRI HANDAYANI)

Terbit empat kali setahun

potong di sini

Yth.: Pembaca dan Kolega


Mulai tahun 2005, Biodiversitas, Journal of Biological Diversity (teakreditasi) terbit empat
nomor setiap tahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Selanjutnya untuk
memperluas cakupan pembaca, jurnal ini dapat menerima langganan pribadi atau institusi
dengan membayar. Ketentuan pengganti biaya pencetakan dan pengeposan per tahun sebagi
berikut:
Jawa: Rp. 100.000,00.
Luar Jawa: Rp. 130.000,00.
Adapun pengiriman sample jurnal secara terbatas dan bebas tagihan (free on charge)
sebagaimana telah dilakukan selama ini, untuk selanjutnya hanya akan dilakukan khusus
kepada institusi yang secara periodik juga mengirimkan materi publikasinya kepada
Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS, c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas.
Biaya berlangganan dapat dibayarkan secara tunai atau transfer via BNI KC. Sebelas Maret
Surakarta, a.n. Solichatun, M.Si. No. Rekening: 274.000146652.941.
Surakarta, 1 Januari 2005

Bersama ini saya kirimkan kopi bukti transfer biaya


berlangganan jurnal:
Biodiversitas, Journal of Biological Diversity

potong di sini

dengan besar biaya:


Lama waktu Jawa
Rp. 100.000,00
1 tahun
Rp. 200.000,00
2 tahun
Rp. 300.000,00
3 tahun

Kirim
dengan
perangko

Luar Jawa
Rp. 130.000,00
Rp. 260.000,00
Rp. 390.000,00

Untuk dikirimkan kepada:


Nama

Alamat

: ...

Tel. & Fax :


E-mail

: ...

KEPADA
Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS
c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas
d.a. Laboratorium Pusat MIPA UNS
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126
Tel. & Fax. +62-271-663375;
E-mail: unsjournals@yahoo.com
Website: www.unsjournals.com

Bersama ini saya kirimkan kopi bukti transfer biaya


berlangganan jurnal:

dengan besar biaya:


Lama waktu Jawa
Rp. 100.000,00
1 tahun
Rp. 200.000,00
2 tahun
Rp. 300.000,00
3 tahun

Kirim
dengan
perangko

Luar Jawa
Rp. 130.000,00
Rp. 260.000,00
Rp. 390.000,00

Untuk dikirimkan kepada:


Nama

Alamat

: ...

Tel. & Fax :


E-mail

KEPADA
Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS
c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas
d.a. Laboratorium Pusat MIPA UNS
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126
Tel. & Fax. +62-271-663375;
E-mail: unsjournals@yahoo.com
Website: www.unsjournals.com

potong di sini

Biodiversitas, Journal of Biological Diversity

: ...

Yth.: Pembaca dan Kolega

Jawa: Rp. 100.000,00.


Luar Jawa: Rp. 130.000,00.
Adapun pengiriman sample jurnal secara terbatas dan bebas tagihan (free on charge)
sebagaimana telah dilakukan selama ini, untuk selanjutnya hanya akan dilakukan khusus
kepada institusi yang secara periodik juga mengirimkan materi publikasinya kepada
Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS, c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas.
Biaya berlangganan dapat dibayarkan secara tunai atau transfer via BNI KC. Sebelas Maret
Surakarta, a.n. Solichatun, M.Si. No. Rekening: 274.000146652.941.
Surakarta, 1 Januari 2005

potong di sini

Mulai tahun 2005, Biodiversitas, Journal of Biological Diversity (teakreditasi) terbit empat
nomor setiap tahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Selanjutnya untuk
memperluas cakupan pembaca, jurnal ini dapat menerima langganan pribadi atau institusi
dengan membayar. Ketentuan pengganti biaya pencetakan dan pengeposan per tahun sebagi
berikut:

THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK

ISSN: 1412-033X

Perubahan Kadar Dopamin, Homovanillic Acid (HVA) serta Interleukin-1 (IL-1) dan
153-156
Tumor Necrosis Factor- (TNF-) pada Cerebral Palsy
SATIMIN HADIWIDJAJA
Ekspresi Protein p53, pRb, dan c-myc pada Kanker Serviks Uteri Menggunakan
157-159
Pengecatan Imunohistokimia
ADI PRAYITNO, RUBEN DARMAWAN, ISTAR YULIADI, AMBAR MUDIGDO
Kajian Pembentukan Warna pada Monascus-Nata Kompleks dengan Menggunakan
160-163
Kombinasi Ekstrak Beras, Ampas Tahu dan Dedak Padi sebagai Media
TIAS HESTI KUSUMAWATI, SURANTO, RATNA SETYANINGSIH
Transesterifikasi Ester Asam Lemak Melalui Pemanfaatan Teknologi Lipase
164-167
RINI HANDAYANI, JOKO SULISTYO
Seleksi Biak Rhizobium dari Wonogiri, Jawa Tengah terhadap Pertumbuhan Tanaman
168-171
Kedelai (Glycine max L.) pada Media Pasir Steril di Rumah Kaca
SRI PURWANINGSIH
Influence of Palmitic Acid and Amino Acids Addition on Iturin A Productivity by Bacillus 172-174
subtilis RB14-CS
YULIAR
Isolation and Identification of Phosphate Solubilizing and Nitrogen Fixing Bacteria from 175-177
Soil in Wamena Biological Garden, Jayawijaya, Papua
SULIASIH, SRI WIDAWATI
Optimalisasi Media untuk Jumlah Daun dan Multiplikasi Tunas Lidah Buaya (Aloe vera)
178-180
dengan Pemberian BAP dan Adenin
LAELA SARI
Mawar Hijau (Rosa x odorata Viridiflora) di Kebun Raya Bali: Biologi Perbungaan dan 181-184
Perbanyakannya
HARTUTININGSIH-M. SIREGAR, I PUTU SUENDRA, MUSTAID SIREGAR
Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume); Deskripsi dan Sifat-sifat Lainnya
185-189
SUMARWOTO
Pertumbuhan Vegetatif pada Amorphophallus titanum (Becc.) Becc. di Kebun Raya Cibodas
190-193
R. SHOLIHIN, R. SUBEKTI PURWANTORO
Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi
194-198
AHMAD DWI SETYAWAN, INDROWURYATNO, WIRYANTO, KUSUMO WINARNO,
ARI SUSILOWATI
Gatra Taksonomi Argostemma Wall. (Rubiaceae-Rubioidae) di Gunung Gede199-204
Pangrango, Gunung Halimun, dan Gunung Salah berdasarkan Karakter Morfologi
R. SUBEKTI PURWANTORO, HARRY WIRIADINATA, SUSIANI PURBANINGSIH
Keanekaragaman dan Potensi Flora di Suaka Margasatwa Buton Utara, Sulawesi Tenggara
205-211
TAHAN UJI
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Berkayu sebagai Bahan Baku Perahu Tradisional oleh
212-216
Suku Yachai di Kabupaten Mappi
SERLLY LANOEROE, ELISA MARKUS KESAULIJA,YOHANES YOSEPH RAHAWARIN
Bahan Rempah Tradisional dari Masyarakat Dayak Kenyah Di Kalimantan Timur
217-219
SITI SUSIARTI, FRANCISCA MURTI SETYOWATI
REVIEW: Social and Environmental Issues of Danau Sentarum National Park, West Kalimantan 220-223
ONRIZAL, CECEP KUSMANA, BAMBANG HERO SAHARJO, IIN PURWATI HANDAYANI,
TSUYOSHI KATO
Gambar sampul depan:
Rosa x odorata viridiflora
(Foto: HARTUTININGSIH-M. SIREGAR)

Terbit empat kali setahun

Anda mungkin juga menyukai