PENERBIT:
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta,
Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret Surakarta
ALAMAT PENERBIT/REDAKSI:
L AB O R AT O R I U M P U S AT M I P A U N I V E R S I T AS S E B E L AS M AR E T
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 398, 339; Fax.: +62-271-646655.
E-mail: unsjournals@yahoo.com; unsjournals@gmail.com. Online: www.unsjournals.com
ISSN:
1412-033X
PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB:
Sutarno
SEKRETARIS REDAKSI:
Ahmad Dwi Setyawan, Ari Pitoyo
PENYUNTING PELAKSANA:
Suranto (Biologi Molekuler), Marsusi, Solichatun (Botani),
Edwi Mahajoeno, Sugiyarto (Zoologi), Wiryanto (Ilmu Lingkungan)
BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah
pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap
naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara
khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya
dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai.
Jurnal ini terbit empat kali setahun, setiap bulan bulan Januari, April, Juli, dan Oktober.
PEDOMAN UNTUK PENULIS
Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi Penulis dianjurkan menyertakan foto atau gambar untuk sampul
para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya. depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah sendiri. Tidak ada
Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan lampiran, semua data atau analisis data dimasukkan dalam Hasil dan
bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan Pembahasan.
belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang
naskah dan satu disket ukuran 3½” atau compact disc (CD), kecuali penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis,
naskah yang dikirim melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka.
diminta satu disket untuk pencetakan. Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya
Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297 disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih,
mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk.,
Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Smith 1982a, b; Baker and
sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat Manwell, 1991; Suranto et al., 1998). Pada sitasi bertingkat digunakan
digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word. kata cit atau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau
Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999).
disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama
genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti
menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut:
penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L. Jurnal:
UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat
dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda. protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass
Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020.
Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan Buku:
IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure
nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan, and Applied Aspects. London: Chapman and Hall.
misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT) Bab dalam buku:
selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI, Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular
penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman,
pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml, C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier
dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m-2, l-1, h-1) disarankan Science Publishers B.V.
untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti “per-tanaman” atau Abstrak:
“per-plot”. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F.
dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah. Hammerschlag. 2000. Response of transgenic ‘Royal Gala’ apple
Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali (Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified
apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of
dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya 97th Annual International Conference of the American Society for
dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan “%” bukannya Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000.
“persen”. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan bertele- Prosiding:
tele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan dae-
efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25 rah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju
halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional
menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan
sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini. Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000.
Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20 Skripsi, Tesis, Disertasi:
kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae
dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe
dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas
berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul Indonesia.
pelari (running title) sekitar lima kata. Nama penulis atau para Informasi dari Internet:
penulis pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http://
disingkat. Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html
dan nomor jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor telepon
genggam, nomor faksimili, alamat e-mail, dan website. Pada naskah Naskah publikasi “in press” dapat disitasi dan dicantumkan dalam
kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk korespondensi beserta daftar pustaka. “Komunikasi pribadi” dapat disitasi, tetapi tidak dapat
alamat dengan urutan seperti di atas. Abstract sebaiknya tidak lebih dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasi-
dari 200 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk kan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi.
naskah dalam bahasa Indonesia (teks dalam bahasa Indonesia hanya Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-),
untuk kepentingan keredaksian) atau bahasa Inggris saja untuk kecuali kata ulang. Penggunaan huruf “l” (el) untuk “1” (satu) atau “O”
naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci (Keywords) sekitar lima (oh) untuk “0” (nol) perlu dihindari. Simbol α, β, χ, dan lain-lain
kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila ada), topik penelitian dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf.
dan metode-metode khusus yang digunakan. Pendahuluan Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi.
(Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar belakang, tinjauan
Kemajuan naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau
pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode (Materials and
ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman.
Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan cara analisis
Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai
data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) ditulis
dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya
sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang sebaiknya
bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan
dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan jawaban
korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada
pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat terjadi,
naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang
bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam bentuk
memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah
kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih disukai dari
diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal
pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah pustaka tanpa
nomor penerbitan berikutnya.
sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan Pembahasan.
Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan, meskipun PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju
biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan. Ucapan memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan
terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis secara BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan
singkat. Gambar dan Tabel maksimum tiga halaman, dapat dibuat Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan
dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di bawah menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau
gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto dicetak pada pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini
kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna dapat diterima selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis
apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang tanpa gambar disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam
tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya menyertakan file digital. jurnal ini.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 9, Nomor 3 Juli 2008
Halaman: 161-164
ABSTRACT
Galanga (Alpinia galanga L.) rhizome was known to inhibit the growth of pathogenic fungi. The antifungal substances of galangal rhizome
were found from their volatile oil. The objectives of this experiment were to study the ethanol extract of galangal rhizome against the growth
of filamentous fungi Fusarium moniliforme, Aspergillus flavus, Aspergillus terreus, and Aspergillus niger that produce mycotoxin, especially
aflatoxin, based on biomass and colony area and to determinate minimum growth inhibitory concentration the extract of galangal rhizome.
The extract of galangal rhizome was significant (p<0.05) effective against biomass of F. moniliforme and A. flavus. The extract of galangal
rhizome however was significant (p<0.05) effective against colony area of F. moniliforme, A. flavus and A. niger. The minimum growth
inhibitory concentration of extracts galangal rhizome against the growth of A. flavus, F. moniliforme and A. niger were 816, 1,682, and
3,366 mg/L repectively.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: Aspergillus spp., Fusarium moniliforme, galangal rhizome extract, minimum growth inhibitory concentration
terhadap jamur filamentus Fusarium moniliforme dan regresi linier. Setelah diketahui persamaan regresinya,
Aspergillus spp. yang mampu memproduksi mikotoksin. maka dihitung konsentrasi penghambatan pertumbuhan
minimum, yaitu konsentrasi dimana luas koloninya adalah
50% luas koloni kontrol.
BAHAN DAN METODE
lengkuas yang lebih kecil dibandingkan luas koloni jamur tetapi lebih rendah daripada kontrol. Hal ini menunjukkan
kontrol. Penghambatan pertumbuhan ekstrak rimpang bahwa terjadi pertumbuhan jamur selama inkubasi 72 jam,
lengkuas telah terjadi sejak umur inkubasi 48 jam. Bahkan meskipun di dalam media mengandung ekstrak rimpang
pertumbuhan jamur A. niger tampak paling terhambat lengkuas. Dengan demikian ekstrak rimpang lengkuas tidak
ekstrak rimpang lengkuas, terlihat dari pertambahan luas mampu membunuh jamur, tetapi hanya menghambat.
koloninya yang relatif sedikit. Membandingkan biomassa jamur kontrol dengan
biomassa jamur terpapar ekstrak rimpang lengkuas, maka
2
Tabel 1. Luas koloni jamur (cm ) pada media CDA yang terlihat bahwa ekstrak rimpang lengkuas mampu
mengandung ekstrak rimpang lengkuas. menurunkan biomassa jamur selama inkubasi 72 jam
(Tabel 3). Penghambatan pertumbuhan jamur sudah mulai
F.moniliforme A.flavus A. terreus A. niger terlihat pada konsentrasi 1 mg/L ekstrak rimpang lengkuas
Inkubasi 48 jam
pada umur inkubasi 48 jam. Penghambatan pertumbuhan
Kontrol 1,80 19,16 1,70 0,94
100 mg/L 1,24 14,53 1,00 0,81 ekstrak rimpang lengkuas pada umur inkubasi 48 jam
500 mg/L 0,96 10,32 0,92 0,81 terlihat jelas pada A. flavus. Pertumbuhan jamur lainnya
1000 mg/L 1,29 5,27 0,83 0,76 tampaknya terhambat lebih jelas pada umur inkubasi 72
Inkubasi 72 jam jam.
Kontrol 2,30 28,94 1,48 1,32 Untuk memperjelas penghambatan ekstrak rimpang
100 mg/L 1,71 17,36 1,57 0,92 lengkuas terhadap produksi biomassa jamur dilakukan
500 mg/L 1,31 10,64 1,53 0,80 analisis statistik. Analisis statistik biomassa jamur A. flavus
1000 mg/L 1,49 14,06 1,57 1,04
dan F. moniliforme menunjukkan bahwa terdapat
Tabel 2. Analisis statistik luas koloni jamur pada media CDA yang
perbedaan signifikan antar-perlakuan konsentrasi ekstrak
mengandung ekstrak rimpang lengkuas. rimpang lengkuas (Tabel 4), sedangkan analisis statistik
biomassa jamur A. terreus dan A. niger tidak berbeda
F. moniliforme A. flavus A. terreus A. niger signifikan. Dengan demikian ekstrak rimpang lengkuas
Kontrol 2,05
a
24,05
a
1,59
a
1,13
a
efektif menghambat produksi biomassa jamur A. flavus dan
ab b a ab
100 mg/L 1,48 15,94 1,28 0,90 F. Moniliforme, namun perlu diperhatikan bahwa biomassa
b c a b
500 mg/L 1,13 10,48 1,22 0,86 merupakan kumpulan miselia atau filamen-filamen jamur
ab c a b
1000 mg/L 1,39 9,67 1,20 0,80 baik yang hidup maupun mati.
a-c: angka yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan
signifikan (p<0,05) pada kolom sama.
Konsentrasi penghambatan pertumbuhan minimum
Tabel 3. Biomassa (mg) oleh jamur pada media CDA yang Luas koloni dan biomassa jamur terus bertambah
mengadung ekstrak rimpang lengkuas. meskipun lebih rendah daripada kontrol (Tabel 1 & 3). Hal
ini menunjukkan bahwa aktivitas antijamur pada ekstrak
F.moniliforme A.flavus A. terreus A. niger rimpang lengkuas hanya bersifat fungistatik. Hal ini
Inkubasi 48 jam menguntungkan, karena sel inang dapat mengembangkan
Kontrol 2,00 64,00 2,00 1,33 sistem pertahanan diri ketika terserang oleh jamur-jamur
100 mg/L 3,00 20,00 1,33 1,67 tersebut. Penelitian Yuharmen dkk. (2002) menunjukkan
500 mg/L 4,67 23,33 2,67 2,67 bahwa ekstrak metanol efektif terhadap Rhizopus sp. dan
1000 mg/L 2,33 24,67 2,67 3,00
Neurospora sp.
Inkubasi 72 jam
Kontrol 14,00 594,00 5,00 6,00
Konsentrasi penghambatan pertumbuhan minimum
100 mg/L 10,33 256,67 7,67 4,33 tidak sama dengan konsentrasi penghambatan minimum
500 mg/L 9,00 42,00 8,67 4,67 yang biasa digunakan untuk analisis senyawa antimikrobia.
1000 mg/L 10,00 64,67 6,67 4,33 Konsentrasi penghambatan minimum biasanya mengguna-
kan media cair dan parameter yang diukur adalah jumlah
Tabel 4. Analisis statistik biomassa jamur pada media CDA yang pembentuk koloni (colony forming unit), sedangkan
mengadung ekstrak rimpang lengkuas. konsentrasi penghambatan minimum adalah konsentrasi
senyawa antimikrobia yang mampu menghambat 50%
F.moniliforme A. flavus A. terreus A. niger
a a a a pertumbuhan mikrobia. Luas koloni menunjukkan kuantitas
Kontrol 8,00 329,00 3,50 3,67
100 mg/L 6,67
ab
138,33
b
4,50
a
3,00
a pertumbuhan jamur yang hidup, maka untuk mengetahui
500 mg/L 6,83
ab
32,67
c
5,67
a
3,67
a konsentrasi penghambatan pertumbuhan minimum
1000 mg/L 4,50
b
44,67
bc
4,67
a
3,67
a digunakan data luas koloni.
a-c: huruf berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0,05) Persamaan regresi ekstrak rimpang lengkuas terhadap
pada kolom sama. luas koloni jamur A. flavus, F. moniliforme, dan A. niger
menunjukkan signifikansi sebesar p<0,05; p>0,05; dan
Analisis statistik luas koloni jamur F. moniliforme, A. p>0,05 (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa persamaan
flavus, dan A. niger menunjukkan perbedaan signifikan regresi ekstrak rimpang lengkuas terhadap luas koloni yang
antar-perlakuan ekstrak rimpang lengkuas (Tabel 2). Hasil dapat dipercaya adalah persamaan regresi ekstrak rimpang
analisis statistik luas koloni memperkuat hasil analisis lengkuas terhadap luas koloni A. flavus. Hal ini terlihat pada
statistik biomassa. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak konsentrasi penghambatan pertumbuhan minimum F.
rimpang lengkuas mampu menghambat pertumbuhan tiga moniliforme dan A. niger, yaitu 1.682 dan 3.366 mg/L di luar
jamur tersebut, yaitu F. moniliforme, A. flavus, dan A. niger. kisaran konsentrasi yang digunakan, yaitu 0 sampai 1000
mg/L. Konsentrasi penghambatan pertumbuhan minimum
Biomassa jamur ekstrak rimpang lengkuas terhadap pertumbuhan A. flavus
Biomassa jamur terus meningkat selama inkubasi 72 sebesar 816 mg/L. Nilai sebesar itu menunjukkan bahwa
jam (Tabel 3). Biomassa jamur A. flavus kontrol paling ekstrak rimpang lengkuas tidak mampu menghambat
tinggi peningkatannya, yaitu sembilan kali lipat. Biomassa pertumbuhan jamur filamentus A. flavus. Hasil penelitian
jamur terpapar ekstrak rimpang lengkuas juga meningkat, Yuharmen dkk. (2002) menunjukkan bahwa fraksi metanol
164 B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 3, Juli 2008, hal. 161-164
Mikrobia Amilolitik pada Nira dan Laru dari Pulau Timor, Nusa
Tenggara Timur
Amylolitic microbes of nira and laru from Timor Island, East Nusa Tenggara
ELIDAR NAIOLA♥
Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong 19611.
ABSTRACT
Thirty nine isolates of microorganisms were isolated from the nira (palm sap from inflorescence stalk of Corypha utan Lamk. or Borassus
flabellifer L., laru (fermented palm sap) and their ability to produce amylase has been done. The result of screening showed that eight
isolates were positive in the starch iodine test, but their amylolitic activities relatively lower. The amylolitic activities show that laru is not
potential source of microbial amylases. In liquid media containing 2% soluble starch, three isolates of fungi (LG4, LMS1, and MI-1) produce
2 2 2
amylase and reached a maximum activity at 3 days fermentation, with levels 56.31x10 , 46.78x10 and 41.49x10 U/mL (one unit activity is
define as micromoles of glucose produce per mL per minute). Two yeast isolates which isolated from laru or kayu laru were showed their
ability to ferment the gula aer and produce ethanol, CO2 and some organic acids, it were identified as Pichia anomala. The other bacterial
isolates were identified as Bacillus licheniformis BL43, Chromobacterium sp., Lactobacillus sp., Micrococcus roseus (Staphylococcus
roseus), and Bacillus coagulans, its show the lower amylase activities.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta.
Key words: palm sap (nira), fermented palm sap (laru), amylase, fermentation, East Nusa Tenggara.
deterjen dan gula cair non tebu. Hingga saat ini kebutuhan tanda terjadi proses fermentasi (ditandai dengan timbulnya
akan enzim amilase di Indonesia belum dapat dipenuhi aroma khas alkohol dan terbentuk gelembung gas CO2),
sehingga masih harus diimpor. Padahal, mikrobia lokal selanjutnya mikrobia yang ada diisolasi dengan cara
terseleksi dapat digunakan sebagai penghasil enzim. menumbuhkan pada permukaan media padat yang sesuai.
Beberapa jenis mikrobia dari kelompok bakteri, kapang dan
khamir dilaporkan sebagai penghasil amilase, di antaranya Pengujian aktivitas amilase
kapang Aspergillus spp., serta khamir Endomyces sp. dan Pengujian aktivitas amilase secara kualitatif dan semi
Saccharomycopsis fibuligera (Hattori, 1961; Fogarty dan kuantitatif dilakukan dengan cara menumbuhkan satu ose
Kelly, 1980; Futatsugi et al., 1980). Bakteri potensial yang biakan khamir berumur 2-3 hari pada permukaan media
akhir-akhir ini banyak digunakan untuk memproduksi enzim agar YPSs dalam cawan petri. Inkubasikan selama 3 hari
amilase pada skala industri, antara lain: Bacillus pada suhu kamar. Aktifitas amilase diuji dengan cara
licheniformis dan B. Stearothermophillus. Penggunaan B. meneteskan larutan iodium pada media disekitar koloni.
stearothermophillus lebih disukai karena mampu Hasil bagi antara diameter zona bening dan diameter koloni
menghasilkan enzim yang bersifat termostabil sehingga dinyatakan sebagai kekuatan enzim secara nisbi.
menekan biaya produksi (Lestari et al., 2001). Hingga saat Untuk pegujian aktifitas amilase secara kuantitatif,
ini kebutuhan akan enzim amilase di Indonesia belum dapat enzim kasar dipersiapkan dengan menumbuhkan isolat-
dipenuhi, sehingga masih harus diimpor. Oleh karena itu, isolat terseleksi pada media YPSs cair. Sebanyak 2,5%
dilakukan penelitian ini untuk mendapatkan mikrobia lokal suspensi kapang berumur 3 hari (OD 630 = 0,5 )
yang potensial sebagai penghasil amilase. diinokulasikan ke dalam media produksi dan selanjutnya
diinkubasikan pada suhu kamar selama 5 hari. Enzim
amilase kasar diekstraksi dengan cara disentrifugasi pada
BAHAN DAN METODE kecepatan 10.000 rpm selama 5 menit.
Aktifitas amilase dari enzim kasar ditentukan dengan
Sumber mikrobia cara mengukur jumlah gula pereduksi yang dihasilkan oleh
Sampel yang digunakan adalah nira, gula aer, laru, sopi aktivitas hidrolisis enzim terhadap substrat pati. Caranya:
,“mur” (endapan laru yang terbentuk secara alami yang 0,5 mL larutan enzim ditambahkan ke dalam 0,5 mL
biasa dipakai sebagai starter) serta kayu laru (sejenis kayu substrat (2% pati terlarut dalam 0,05 M larutan buffer fosfat,
o
dari tanaman Alstonia acuminata Miq. (Heyne, 1987) yang pH 7), kemudian diinkubasikan pada suhu 40 C selama 10
biasa ditambahkan pada proses pembuatan laru. Nira yang menit. Produk yang terbentuk berupa gula produksi
digunakan untuk pembuatan laru berasal dari tanaman (glukosa) diukur dengan metoda Bernfeld (1955). Satu unit
gewang (Corypha utan Lamk.) dan lontar (Borassus aktivitas amilase adalah banyaknya enzim yang dapat
flabellifer L.) dari pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT). menghasilkan 1 μg glukosa per menit per mL larutan enzim
Identifikasi isolat dilakukan di Balai Penelitian Ternak, pada kondisi pengujian yang dilakukan (Khinoshita et al.,
Bogor berdasarkan sifat sifat morfologi dan fisiologinya, 1982 dan Gangrong et al., 1990).
disamping itu juga menggunakan 16 S rDNA partial
squensing. Analisis kandungan kimia produk-produk nira,
gula aer, laru, dan sopi dilakukan di Laboratorium HASIL DAN PEMBAHASAN
Pascapanen, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Bogor Hasil analisis kimia terhadap nira, produk nira (laru dan
sopi) maupun gula aer, diketahui bahwa produk tersebut
Media mempunyai kandungan gula terdiri dari sakarosa, fruktosa
Media yang digunakan untuk isolasi adalah, YPSs padat dan glukosa (Tabel 1). Nira dan gula aer merupakan sumber
dan cair dengan komposisi: 0,2% ekstrak khamir, 0,5% gula bagi industri setempat, yaitu: laru dan sopi yang
pepton, 0,3% KH2PO4, 0,05% MgSO4.7H2O, 0,01% merupakan minuman lokal beralkohol hasil fermentasi secara
CaCl2.2H2O, 20 g agar dan 2% pati terlarut sebagai sumber tradisional. Analisis kandungan gula pada sampel, terutama
C (Mangunwardoyo, 1982), Rose Bengal Agar dan PDA pada nira, dilakukan segera setelah pengambilan sampel,
diperoleh dari Difco. Ltd. serta YM agar (3 g ekstrak khamir, supaya hasil yang diperoleh lebih akurat. Keterlambatan
3 g ekstrak malt, 5 g pepton, 10 g glukosa, dan 20 g bacto analisis mengakibatkan sebagian besar komponen kimia
agar dalam 1 L akuades). Produksi enzim amilase dilaku- sampel sudah menguap atau terurai menjadi senyawa
kan dalam media YPSs cair. Isolat terseleksi dipelihara lainnya. Berdasakan data pada Tabel 1. diketahui bahwa
dalam PDA dan Nutrien Agar dengan komposisi 3 g ekstrak substrat yang dijadikan sebagai sumber mikrobia, terutama
daging, 5 g pepton dan 20 g bacto agar per liter akuades. nira gewang mengandung gula sederhana glukosa sebesar
3,5% dan gula disakarida, fruktosa dan sakarosa, masing-
Isolasi dan seleksi mikrobia masing sebesar 4,05% dan 3,6%. Nira gewang juga
Isolasi dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah mengandung sejumlah asam organik dan asam amino.
tertentu masing-masing contoh kepermukaan media padat
PDA, YPSs, YM agar dan Rose Bengal. Inkubasikan pada Tabel 1. Analisis kandungan kimia produk-produk gewang.
suhu kamar sekitar 2 hari, koloni tunggal masing-masing
isolat yang tumbuh dimurnikan pada media yang sesuai. Di Jenis analisis Nira Gula aer Laru Sopi
samping itu isolasi juga dilakukan dengan cara Fruktosa (%) 4,0 4,5 - -
menumbuhkan satu tetes sampel pada media cair selektif, Glukosa (%) 3,5 4,6 - -
inkubasikan pada suhu kamar selama 2-3 hari. Setelah Sakarosa (%) 3,6 8,9 - -
terlihat adanya pertumbuhan mikrobia baru dilakukan Air (%) 85,2 80,1 - -
Alkohol (%) - - 6,4 7,0
isolasi. Mikrobia yang terdapat pada kayu laru diisolasi
Malat (ppm) - - 11,5 -
dengan memasukkan 1-3 potong kayu laru ke dalam media Sitrat (ppm) - - 4,6 -
cair yang mengandung gula sukrosa, diinkubasikan selama Glutamat (ppm) - - 7,9 -
2-5 hari pada suhu kamar sampai terlihat adanya tanda- Tannat (ppm) - - 8,4 -
NAIOLA – Mikrobia amilolitik pada nira dan laru 167
identifikasi
Nilai nisbi
kualitatif
Hasil uji
Sumber
amilase
isolat
Isolat
Hasil
Nira gewang LG1 -
Kab. Belu LG2 -
LG3 -
LG4 ++ 1,40 aa
“Mur” atau starter MI-1 ++ 1,50
Kab. Kupang MI-2 -
MI-3 - bb
MI-4 -
MI-5 -
MII-1 -
MII-2 -
Laru putih, LPLI-1 - Gambar 1. Aktivitas amilase secara nisbi isolat Ferm. 2 pada
Kab. Kupang LPLI-2 - media padat YPSs. a) diameter koloni; b) diameter zona bening.
LPLII-1 -
LPLII-2 - minuman beralkohol seperti anggur, bir, dan tape. Pada
Lp1 ++ 1,20 Bacillus licheniformis beberapa minuman beralkohol tinggi diantaranya “cacaqa”
Lp2.1 ++ 1,15 Chromobacterium. sp yaitu sejenis minuman beralkohol tinggi yang populer di
Lp2.2 - Lactobacillu.s sp Brazil yang dibuat dari gula tebu dilaporkan terdapat
Lp3 -
beberapa jenis khamir yang menghasilkan metabolit
Lp4 -
Lp5 ++ 1,20 Micrococcus roseus sekunder, salah satunya P. anomala. Biakan ini berperan
Lp6 - atau memberikan konstribusi yang besar pada cita rasa
Lp7 ++ 1,20 serta aroma produk tersebut. Produk yang dihasilkan
Lp8 - mempunyai kualitas baik dengan kandungan alkohol tinggi
Lp9 - atau mempunyai keseimbangan yang tepat antara cita rasa
Lp10 - dan aroma. Dilaporkan juga bahwa P. anomala mempunyai
Laru merah, LB1 - aktivitas β-glukosidase dan arabinosidase yang merupakan
Kab. Kupang LB2 +/- ≤1
agen penting pada pembentukan aroma anggur yang
LB3 -
LB4 + 1,15 bekerja efektif pada kondisi yang sesuai dengan kondisi
LMS1 ++ 1,50 produk. Dari hasil penelitian ini terdapat kecenderungan
LMS2 - bahwa meskipun biakan P. anomala mempunyai aktivitas
LMS3 - amilase yang lemah, namun mempunyai kemampuan tinggi
Kayu laru, LK1 - dalam menghasilkan alkohol pada proses fermentasi laru.
Kab. Kupang LK2 - Menurut Kuriyama (1996) beberapa isolat khamir yang
LK3 - diisolasi dari berbagai makanan fermentasi di Indonesia
Ferm.1 +/- ≤1 Pichia anomala mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan
Ferm.2 +/- 1.05 Pichia anomala
XI +/- ≤1
alkohol, salah satunya P. anomala.
Bacillus coagulans
Keterangan : ++ aktivitas amilase cukup baik; + aktivitas amilase Isolat Lp2.1, Lp2.2, Lp6 dan XI masing-masing
rendah; +/- aktivitas amilase sangat rendah (hampir tidak ada); diidentifikasi sebagai Chromobacterium sp., Lactobacillus
- aktivitas amilase tidak ada. sp., Micrococcus roseus (Staphylococcus roseus), dan
Bacillus coagulans (identifikasi dilakukan di Balai Penelitian
Tabel 3. Analisis kandungan etanol (alkohol) dan asam asetat Ternak, Bogor). Isolat Lp1 diidentifikasi sebagai Bacillus
produk fermentasi nira lontar (Rahmansyah, 1998). licheniformis BL43 (99%) atau Bacillus sp. EGU 724
(100%), identifikasi dilakukan dengan menggunakan 16 S
Jenis analisis Laru putih Laru merah Sopi rDNA partial squensing).
Etanol (%) 4,8-5,8 5,8-7,7 19,5-20,6 Bacillus coagulans merupakan bakteri yang sering
Asam asetat (%) 0,4-0,5 0,35-0,4 0,03-0,3 terdapat pada probiotik atau produk-produk minuman untuk
kesehatan. Walaupun tidak termasuk kelompok bakteri
Karakter beberapa isolat terseleksi asam laktat, namun dalam probiotik bakteri-bakteri Bacillus
Isolat Ferm.1 dan Ferm.2 yang diisolasi dengan cara spp. sering dianggap sama dengan Lactobacillus
memasukkan potongan kayu laru ke dalam media yang sporogenes. Dalam penelitian ini B. coagulans disolasi dari
mengandung sukrosa memiliki aktivitas amilase sangat laru putih dan memiliki aktivitas amilase yang sangat lemah.
lemah (Gambar 1). Hasil identifikasi terhadap kedua isolat Bacillus licheniformis BL43 yang diisolasi dari laru putih,
tersebut menunjukkan bahwa kedua isolat ini termasuk mempunyai aktivitas amilase yang cukup baik dengan nilai
kelompok khamir yang diidentifikasi sebagai Pichia relatif 1,20. Menurut Riany (2007) dan Richana (2000), B.
anomala. Identifikasi dilakukan berdasarkan penilaian licheniformis memiliki aktivitas α-amilase yang dapat
tingkat kesamaan dalam pola penggunaan nutrisi (motode menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosida polisakarida dengan
yang dikembangkan oleh Barnett, 1990). menghasilkan oligosakarida, dekstrin, dan glukosa. Enzim
Menurut Dato et al. (2005), P. anomala merupakan biak ini bersifat termostabil sehingga banyak dimanfaatkan pada
khamir yang umum dijumpai pada produk tahap likuifikasi pada industri pengolahan pati. Isolat bakteri
makanan/minuman fermentasi, terutama pada produk ini diduga ikut terlibat menghasilkan komponen-komponen
168 B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 3, Juli 2008, hal. 165-168
kimia yang memberikan cita rasa serta aroma khas pada bahwa isolat Ferm.1 dan Ferm.2 termasuk kelompok
produk minuman laru. khamir yang diidentifikasi sebagai Pichia anomala. Isolat-
Pengukuran aktivitas amilase secara kuantitatif isolat bakteri lainnya yang memiliki aktivitas amilase
dilakukan terhadap isolat LG4, LMS1, dan MI-1, yaitu: isolat diidentifikasi sebagai Bacillus licheniformis BL43,
yang berdasarkan pengamatan secara morfologi termasuk Chromobacterium sp., Lactobacillus sp., Micrococcus
kelompok kapang. Diduga isolat-isolat kapang tersebut roseus (Staphylococcus roseus), dan Bacillus coagulans.
bukan merupakan mikrobia utama pada produk minuman
laru, melainkan sebagai mikrobia kontaminan yang terdapat
pada produk tersebut. Hasil uji aktivitas amilase kasar DAFTAR PUSTAKA
terhadap ketiga isolat kapang yang ditumbuhkan dalam
media produksi yang mengandung pati terlarut sebagai Barnett, J.A. 1990. Yeast Characteristic and Identification. London:
sumber C (inkubasi dilakukan di atas alat pengocok dengan Cambridge University Press.
kecepatan 100 rpm pada suhu kamar selama 3 hari) Bernfeld, O. 1955. Amylases. In: Colowick, S.P. and N.O. Kaplan (eds.).
Methods in Enzymology 1. New York: Academic Press.
ditunjukkan pada Tabel 4. Aktivitas amilase tertinggi yang Dato, M.C.F, J.P.M. Junior, and M.J.R. Mutton. 2005. Analysis of secondary
dihasilkan isolat LG4 (diisolasi dari laru gewang) adalah compounds produced by Saccharomyces cereviciae and wild yeast
2
56,31x10 U/mL yang dicapai pada hari ke-2 setelah strains during the production of “cahaqa”. Brazillian Journal of
inkubasi. Aktivitas amilase tertinggi yang dihasilkan isolat Microbiology 36 (1): 70-74.
Fogarty, W.M and T. Kelly. 1980. Amylases, amyloglucosidases and related
LMS1 (diisolasi dari laru merah) adalah 41,49x102 U/mL, gluconases in economy microbiology: microbial enzymes and
yang dicapai pada hari ke-3 setelah inkubasi. Isolat MI-1 bioconversions vol. 5. Ed. By. A. H. Rose. Academic Press, London.
merupakan isolat yang diisolasi dari “mur” menghasilkan Futatsugi, M., T. Ogawa, and H. Fukuda. 1980. Scale-up of glukoamilase
2 production by Saccharomycopsis fibuligera. Journal of Fermentation and
aktivitas amilase tertinggi sebesar 46,78x10 U/mL, aktivitas Bioengineering 76: 419-422.
amilase tertinggi dicapai pada hari ke 3 setelah inkubasi. Ganjar, I. 2007. Pengelolaan Plasma Nutfah Mikroorganisme sebagai Aset
Pemenuhan Kebutuhan Manusia. Jakarta: Komisi Nasional Sumber
Tabel 4. Aktivitas amilase dari beberapa isolat kapang. Daya Genetik (KNSDG).
Gangrong, X, S. Lee, M. Takagi, M. Morikawa and T. Inagaki. 1990. Cloning
Aktivitas amilase in Bacillus substilis of thermostable and alkalophilic amylase from a
Isolat Hari ke 2 thermophilic Bacillus sp. Annual report of IC. Biotech, Osaka University,
(x 10 U/mL) Osaka. Japan: 121-128.
LG4 1 49,34 Hattori, Y. 1961. Studies of amylolitic enzyme produced by Endomyces sp.
2 56,31 1. Production of extracellular amylase by Endomyces sp. Agricultural
3 44,72 Biologycal Chemistry 25: 737-743.
LMS1 1 31,16 Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Balitbang Departemen
2 35,81 Kehutanan RI. Jakarta, 1625.
Kinoshita, S, V. Sangpituk, D. Rodpaya, N. Nilubol, and H. Taguchi. 1982.
3 41,49 Hydrolysis of starch by immobilized cells and by enzymes of Aspergillus
MI-1 1 45,88 oryzae and Rhizopus sp. Annual reports of ICME 5: 253-259.
2 46,52 Kuriyama, H., D.D. Sastraatmadja, Y. Igosaki, K. Watanabe, A. Kanti, and T.
3 46,78 Fukatsu. 1997. Identification and Characterization of yeast isolated from
Indonesian fermented food. Mycoscience 38: 441-445.
Lestari, P, N. Richana, D.S. Damardjati, A.A. Darwis, K. Syamsu. 2001.
Analisis gula reduksi hasil hidrolisis enzimatik pati ubi kayu oleh a-
KESIMPULAN amilase termostabil dari Bacillus stearothemophilus TII12. Jurnal
Mikrobiologi 6(1): 23-26.
Mangunwardoyo, W., M. Takano, and I. Shibasaki. 1982. Preservation and
Delapan dari 39 isolat yang diisolasi dari beberapa utilization of a concentrated seed culture for bacterial amylase
sampel nira dan laru yang berasal pulau Timor, nusa production. Annual reports of ICME 5: 163-171.
Rahmansyah, M dan A. Kanti. 1999. Isolat-isolat khamir dari minuman
Tenggara Timur memiliki aktivitas amilase dengan nilai tradisional laru di NTT. Berita Biologi 4 (5): 255-63.
relatif >1,15x< 1,50. Dua isolat yang termasuk kelompok Riany, A. 2007. Kloning gen pengkode alpha-amilase termostabil Bacillus
khamir, yaitu: Ferm.1 dan Ferm.2 memiliki aktivitas amilase licheniformis sith cloning of gene encoding thermostable alpha-
amylase of Bacillus licheniformis sith). Undergraduate theses from
sangat lemah, namun keduanya mempunyai kemampuan JBPTITBPP/2007-10-05. ITB, Bandung, Indonesia
yang luar biasa dalam memfermentasi gula aer ditandai Richana, N. 2000. Prospek dan Produksi Enzim Alfa-amilase dari
dengan timbulnya aroma alkohol khas yang kuat dan Mikroorganisme Buletin AgroBio, Jurnal Tinjauan Ilmiah Riset Biologi
terbentuk gelembung gas CO2. Dalam media yang dan Bioteknologi Pertanian 3(2): 51-58.
Saono, S dan T. Basuki. 1978. The amylolytic, lipolytic and proteolytic
mengandung pati terlarut sebagai sumber C, aktivitas activities of yeast and micelial molds from ragi and some Indonesia
amilase kasar tertinggi yang dihasilkan isolat LG4, LMS1, foods. Annales Bogoriensis. VI: 207-209.
2 2 Steinkraus, K.H. 1983 (ed.). Handbook of Indonesian Fermented Foods, pp
dan MI-1 masing-masing sebesar 56,31x10 , 41,49x10
381- 388. Marcel Deckker Inc, New York.
U/mL, dan 46,78x102 U/mL. Hasil identifikasi menunjukkan
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 9, Nomor 3 Juli 2008
Halaman: 169-172
MAE SRI HARTATI WAHYUNINGSIH1,♥, SUBAGUS WAHYUONO2, DJOKO SANTOSA2, JUSAIN SETIADI2,
3 3 4 4
SOEKOTJO , SITI MUSLIMAH WIDIASTUTI. , RITA RAKHMAWATI , DINAR SARI CAHYANINGRUM WAHYUNI
1
Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta 55281.
2
Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta 55281.
3
Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta 55281.
4
Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126.
ABSTRACT
The width of the forest area of Indonesia is about 75% of the entire land which has not been optimally utilized as a raw medicinal resource.
The forest area is rich in plants of various medicinal benefits which have not been found out and developed. The aim of the study was to
explore Central Kalimantan’s forest plants as bioactive compound resources. Using Brine Shrimp Lethality Test (BST) method the
exploration was conducted on 70 kinds of plants which had been traditionally used in that area. The dry powder was macerated in
chloroform and then in methanol in order to obtain 140 chloroform and methanol extracts, each 70 extracts respectively. The activities of
those extract were tested on 500 dan 1000 μg/mL of their concentration. The result was analized using probit regresion in order to obtain
LC50 value. The result of the study indicated that from those 140 extracts, were obtained 70 active extracts (100% dead larva Artemia
salina) in their concentration of 500 μg/mL. Concentration decreasing up to 100 μg/mL produced 10 active extracts (100% dead larva A.
salina) which potential developed as bioactive compound resources.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: Central Kalimantan, plant exploration, bioactive compound, Brine Shrimp Lethality Test.
Oktober 2003. Bahan lain yang diperlukan mencakup diletakkan di bawah penerangan dan setelah 24 jam jumlah
kloroform, etil asetat, n-heksana, metanol berderajat pro larva yang mati dihitung. Hasil penelitian dianalisis
analisis (E. Merck); air laut buatan dengan kadar garam menggunakan regresi probit sehingga diperoleh harga LC50.
20%, telur Artemia salina Leach, suspensi ragi
(Fermipan®), silika gel GF254 (E. Merck), cerium (IV) sulfat Kromatografi lapis tipis
(E. Merck), reagen dragendorff (E. Merck), dan akuades. Ekstrak teraktif ditotolkan pada lempeng silika gel
Alat yang digunakan mencakup rotavapor, corong buchner, GF254 dan dikembangkan dengan fase gerak yang sesuai.
mikropipet, lampu (40 watt), aerator, mikrosiring, oven, alat Hasil pengembangan dideteksi dengan sinar UV 254 nm
penyemprot bercak, dan lampu UV. dan UV 366 nm, serta dragendorff dan serium (IV) sulfat.
percobaan menggunakan metode BST, yaitu: suatu uji Tabel 1. Persentase kematian 100% terhadap larva A. salina pada
aktivitas terhadap larva A. salina dengan menghitung konsentrasi 500 μg/mL dan 100 μg/mL.
jumlah/persentase kematian larva udang seperti yang
digunakan oleh Meyer et al. (1982). Metode ini telah banyak Ekstrak Konsentrasi
dikembangkan sebagai salah satu cara penentuan Sampel Nama 500 100
bioaktivitas ekstrak tumbuhan maupun senyawa murni. μg/mL μg/mL
03 bfar 004 Annona reticulata L. CHCl3 + +
Meyer et al., (1982) menyatakan bahwa suatu senyawa
03 bfar 004 Annona reticulata L. MeOH + -
dikatakan toksik/aktif apabila mempunyai nilai LC50 di 03 bfar 008 Globba marantina L. MeOH + -
bawah 1000 μg/mL. Brine Shrimp Lethallity Test (BST) 03 bfar 023 Eurya nitida Korth. CHCl3 + +
digunakan sebagai metode guided bioassay dalam 03 bfar 023 Eurya nitida Korth. MeOH + +
melakukan eksplorasi beberapa tanaman ini karena 03 bfar 026 Dictamnus albus L. CHCl3 + -
pelaksanaannya mudah, murah dan hasilnya representatif 03 bfar 027 Eurycoma longifolia Jack. CHCl3 + +
(Meyer et al., 1982; Carballo et al., 2002). 03 bfar 029 Fibraurea chloroleuca Miers CHCl3 + +
Eksplorasi terhadap 140 ekstrak yang diuji mengguna- 03 bfar 029 Fibraurea chloroleuca Miers MeOH + -
03 bfar 031 Pandora sp. CHCl3 + -
kan metode BST menunjukkan bahwa pada dosis 500 03 bfar 053 Hornstedtia mollis (Bl) Val. CHCl3 + -
µg/mL, 17 ekstrak menunjukkan aktivitas terhadap larva A. 03 bfar 058 Pithecellobium ellipticum (Bl) + +
salina dengan tingkat kematian 100%. Dari jumlah tersebut, CHCl3
Hassk.
pada dosis 100 µg/mL sebanyak 10 ekstrak menunjukkan 03 bfar 061 Vitex pubescens Vahl. CHCl3 + +
tingkat kematian 100% terhadap larva A. salina. Salah satu 03 bfar 066 Calamus caesius Bl. CHCl3 + +
sampel yang sangat menarik perhatian adalah sampel 03 bfar 066 Calamus caesius Bl. MeOH + -
dengan kode 03 bfar 023. Pada konsentrasi 500 µg/mL 03 bfar 068 Cinnamomum sintoc Bl. CHCl3 + +
maupun 100 µg/mL kedua ekstrak (kloroform dan metanol) 03 bfar 068 Cinnamomum sintoc Bl. MeOH + -
Keterangan: CHCl3 = kloroform, MeOH = metanol; + = mati, - =
dari sampel tersebut menunjukkan aktivitas yang sama,
tidak mati.
yakni menyebabkan kematian 100% terhadap larva A.
salina (Tabel 1.). Profil kromatogram KLT kedua ekstrak
tersebut berbeda, sehingga dapat dipastikan senyawa yang
Senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak
tersari juga berbeda. Berarti tumbuhan tersebut
kloroform F. chloroleuca dapat diisolasi menggunakan BST
mengandung senyawa-senyawa yang berbeda, tetapi
dengan LC50 sebesar 4,5 μg/mL. Senyawa bioaktif tersebut
memiliki aktivitas yang sama yakni mampu mematikan o
mempunyai jarak lebur yang tajam pada 182,4-183,0 C,
hewan uji baik pada konsentrasi tinggi maupun rendah.
dengan panjang gelombang maksimum 241-345 nm yang
Sampel lainnya yang juga menarik perhatian adalah sampel
mengindikasikan bahwa senyawa tersebut mempunyai
dengan kode 03 bfar 029. Sampel ini mempunyai nama
gugus kromofor. Senyawa tersebut juga memberikan reaksi
daerah akar kuning atau Fibraurea chloroleuca Miers.
positif dengan penampak bercak spesifik (dragendorf) pada
Tumbuhan ini banyak ditemukan di Thailand, Vietnam,
KLT yang mengindikasikan bahwa senyawa tersebut
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku (Sitepu, 2001).
merupakan alkaloid (Wahyuono et al., 2006). Identifikasi
Masyarakat Dayak di Kalimantan menggunakan tumbuhan
senyawa bioaktif tersebut menggunakan spektroskopi (UV,
ini sebagai obat sakit perut, obat tetes mata serta obat sakit
IR, NMR, dan MS) dan dibandingkan dengan data
kuning (Sitepu, 2001; Duke, 1985). F. chloroleuca mem-
spektroskopi dari literatur (Suau et al., 2000) menunjukkan
punyai kandungan alkaloid yang banyak terdapat di dalam
identitasnya sebagai 8-oxoprotoberberine (Wahyuono et al.,
batang, akar dan daun. Penelitian Manaf et al. (2002)
2007) (Gambar 1.). Senyawa ini dilaporkan mampu
menunjukkan bahwa alkaloid pada batang dan akar F.
menginterkalasi DNA (Liu et al., 2002).
chloroleuca berjenis sama. Tumbuhan ini juga mengandung
senyawa terpenoid, baik pada batang, daun maupun
akarnya. Beberapa penelitian mengemukakan senyawa-
senyawa yang terdapat pada tumbuhan F. chloroleuca, KESIMPULAN
antara lain, berberin, yaitu: suatu alkaloid yang telah lama
digunakan dalam pengobatan (Cernakova et al., 2002; Eksplorasi terhadap 140 macam ekstrak tanaman hutan
Anonim, 2005). Tumbuhan ini juga mengandung Kalimantan Tengah yang di uji dengan metode BST
jathrorrizin, palmitin (Anonim, 2005), dan fibleucin (Bakhari diperoleh 17 ekstrak aktif dengan kematian larva A. salina
et al., 1998). 100% pada konsentrasi 500 µg/mL. Penurunan konsentrasi
ekstrak sampai 100 μg/mL, diperoleh 10 ekstrak yang poten
4 5 dikembangkan sebagai sumber senyawa bioaktif.
15
O 3
6
DAFTAR PUSTAKA 24. Chemistry Dept, imperial College of Science, Technology and
Medicine.
Manaf, A.J., N.A. Shah, A.A. Musa, M. Supi, and S.Z.M. So’ad. 2002.
Anonim. 2002. Sarawak MediChem Pharmaceuticals; initiates clinical trial of Pengecaman tumbuhan bernilai komersil di hutan simpan Universiti
calanolide-A in combination therapy for HIV. Press release July 08, Teknologi MARA Cawangan Pahang serta penyaringan bahan-bahan
2002, News in the world of Natural Products. metabolit sekundernya. Proceeding of the Seminar on Malaysian
http://www.ingentaconnect.com/content/ben/cdth/2007 Traditional Medicine, University of Malaya, Kuala Lumpur, July 24-25
Anonim. 2005. Ubat-ubatan Tradisional, http://www.lib.usm.my/press/SSU/ Meyer, N., A.R. Ferrigni, J.E. Putnam, L.B. Jacobsen, D.E. Nicholas, and
GAEK.bm.html J.C. McLaughlin. 1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for
Aspan, R., 2004. Pengembangan pemanfaatan obat alam dalam pelayanan active plant constituent. Planta Medica 982 (45): 3-34.
kesehatan masyarakat. Seminar Tanaman Obat Indonesia, Ohlstein, E.H., R.R. Ruffolo Jr., and J.D. Elliot. 2000. Drug discovery in the
Tawangmangu, Surakarta. next millennium. Annual Review Pharmacology and Toxicology. 40: 177-
Backer, C. A., and Van den Brink, R. C. B., 1968, Flora of Java, volume II, 191.
p.240, NPV, Noordhoff, Groningen. Rijai, L.. 2003. Bioprospeksi suatu Paradigma Baru dalam Pengelolaan
Bakhari, N.A., S.T. Wah, K. Chinnakali, H.K. Fun, and I.A. Razak. 1998. Hutan Berkelanjutan Bogor: Program Pascasarjana S3, Institut
Fibleucin from Fibraurea chloroleuca Miers. Acta Crystallographica. C54: Pertanian Bogor.
1649-1651. Sitepu, D., dan P. Sutikno. 2001. Peranan tanaman obat dalam
Luis, C.J., I.Z.L. Hernandez, P. Pilar, G.M.D. Garcia. 2002. A comparison pengembangan hutan tanaman. Bulletin Kehutanan 2 (2): 14-18.
between two brine shrimp assays to detect bioactivity in marine natural Suau, R., J.M. Lopez-Romero, A. Ruiz, and R. Rico. 2000. Synthesis of
product. BMC Biotechnology 2: 27. homoprotoberberines and 8-oxoprotoberberines by sequential
Cernakova, M., D. Kostalove, V. Kettman, M. Pladova, J. Toth, and J. Drimal. bicyclization of phenylacetamides. Tetrahedron 56: 993-998.
2002. Potential antimutagenic activity of berberin, a constituent of Mahonia Wahyuono, S., J. Setiadi, Dj. Santosa, M.S.H. Wahyuningsih, Soekotjo, and
aquifolium. BMC Complementary and Alternative Medicine 2: 2. S.M. Widyastuti,. 2006. Potential of bioactive compound isolated from
Duke, J.A. and E.S. Ayensu. 1985. Medicinal Plants of China. Algonac: MI akar kuning (Fibraurea chloroleuca Miers.) collected from Central
Reference Publication, Inc. Kalimantan forest as anticancer. Majalah Obat Tradisional 11: 22-28
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Terbitan Kedua. Penerjemah: Wahyuono, S., J. Setiadi, Dj. Santosa, M.S.H. Wahyuningsih, Soekotjo, and
Padmawinata, K. dan I. Sudiro. Bandung: Penerbit ITB. S.M. Widyastuti. 2007. Structure identification of bioactive compound
Liu, L., R.N. Warrener, and R.A. Russel. 1998. Synthesis of B-ring isolated from akar kuning (Fibraurea chloroleuca Miers.) (#03-SBK-029)
aromatised protoberberine-8-one-species as potential DNA intercalation collected from central Kalimantan forest, Majalah Obat Tradisional. 11:
units. Electronic Conference on Heterocyclic Chemistry, June 29-July 3-8.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 9, Nomor 3 Juli 2008
Halaman: 173-176
ABSTRACT
Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) of the Araceae is a source of carbohydrate with a high content of glucomannan which is very
useful in preventing several diseases like diabetes, high blood cholesterol, high blood pressure, etc. In industry, the tuber is used as a raw
material for paper pulp, textile, gum, celluloid, food and cosmetics. Generally, iles-iles is propagated by splitting tubers, bulbils or leaf
cuttings, but this method can not yield high quality planting materials and sometimes may carry along many diseases. In this investigation,
an in vitro method for shoot regeneration of iles-iles from petiole explants was developed. Sterilization of the explants was carried out in
0.05% HgCl2 for 20 min. after dipping in 70% ethanol and Tween 20 solution. Leaf petioles about 1 cm in length were cultured on
Murashige & Skoog (MS) medium with a pH of 5.8 containing 30 g sucrose and 2.5 g Gelrite agar. The formation of adventives shoots was
induced on MS medium containing 1, 2, and 4 mg/L Benzyl Amino Purine (BAP) either with or without the addition of 0.1, 0.2 and 0.5 mg/L
Naphthalene Acetic Acid (NAA). Each treatment was done on 10 explants. All cultures were incubated at 26°C on a 16-h photoperiod with
an illumination of 30 µmol m-2 sec-1 provided by 40-W cool white inflorescent lights. The highest rate of shoot multiplication averaging 19
shoots per explants was achieved within 3 months on MS medium containing 2 mg/L BAP. However, the best shoot elongation was found
on MS medium containing 2 mg/L BAP and 0.2 mg/L NAA.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta.
.
Key words: Amorphophalus muelleri Blume, leaf petiole culture, benzyl amino purine (BAP), naphthalene acetic acid (NAA).
tidak merusak umbi, sehingga tidak mengganggu tanaman BAP dan 0,1-0,5 mg/L NAA terbentuk sedikit kalus. Dalam
induk. Selain itu, tangkai daun juga lebih mudah diperoleh waktu 12 minggu jumlah bakal tunas adventif yang
dalam jumlah banyak. terbentuk berkisar antara 5-19, tergantung pada komposisi
Sitokinin dan auksin merupakan zat pengatur tumbuh media yang digunakan (Tabel 1).
yang banyak digunakan dalam kultur jaringan tanaman. Pada semua media yang diuji, hanya 70% eksplan
Sitokinin seperti benzylaminopurine (BAP) sangat berperan potongan tangkai daun iles-iles yang mampu meregenerasi-
dalam pembentukan dan penggandaan tunas in vitro, kan tunas. Pada kultur pelepah daun Caladium hibrida,
sedangkan auksin seperti naphtaleneaceticacid (NAA) makin dekat jaraknya dengan pangkal pelepah atau ujung
berperan dalam pembentukan akar dan perpanjangan sel. pelepah daun makin tinggi kemampuannya untuk
Dalam tulisan ini akan diteliti kemampuan tangkai daun iles- membentuk tunas adventif (Irawati, 2005). Menurut Agarwal
iles untuk meregenerasikan tunas in vitro, melalui dan Ranu (2000), keberhasilan morfogenesis in vitro
penambahan zat pengatur tumbuh BAP dan NAA tergantung pada berbagai faktor, meliputi status fisiologi
dari tanaman induk, macam dan umur eksplan, komposisi
media serta jenis, konsentrasi, dan keseimbangan zat
BAHAN DAN METODE pengatur tumbuh (ZPT) yang ditambahkan.
BAP merupakan zat pengatur tumbuh yang sangat
efektif dalam menginduksi proliferasi tunas in vitro banyak
Bahan tanaman
jenis tanaman dibandingkan dengan sitokinin lain yang
Tangkai daun tanaman iles-iles (A. muelleri) yang
umum digunakan dalam kultur jaringan tanaman (George
ditumbuhkan dalam polibag di kamar kaca, berumur sekitar
dan Sherrrington, 1984). BAP sudah terbukti efektif dalam
4 bulan sejak tunasnya muncul dari umbi, digunakan
merangsang proliferasi tunas in vitro berbagai tanaman
sebagai sumber eksplan (Gambar 2a). Tangkai daun
buah-buahan seperti pepaya (Carica papaya), jeruk (Citrus
tersebut dipotong-potong sepanjang 8 cm(Gambar 2b), lalu
spp.), manggis (Garcinia mangostana) (Litz dan Jaiswal,
dicelupkan dalam alkohol 70% dan Tween 20, kemudian
1991), dan pisang (Musa acuminata x balbisiana) (Imelda,
disterilkan dalam larutan HgCl2 0,05% selama 20 menit.
1991).
Selanjutnya bahan tersebut dibilas beberapa kali dengan
akuades steril untuk membersihkan sisa HgCl2 di dalam
laminar air flow cabinet. Tangkai daun dipotong sepanjang Tabel 1. Pengaruh zat pengatur tumbuh BAP dan NAA terhadap
± 1 cm, kemudian ditumbuhkan pada media yang telah jumlah tunas in vitro iles-iles (A. muelleri).
disiapkan beberapa hari sebelumnya.
Media Jumlah tunas (rata-rata)
Media tumbuh dan perlakuan zat pengatur tumbuh B1 14,67
cde
komposisi Murashige & Skoog (MS) (1962) yang diberi B1N2 10,67
bcd
ab
sukrosa 3% dan agar gelrite 2,5 g/L. Keasaman media B1N5 7,33
e
diatur sampai mencapai pH 5,8 dengan penambahan B2 19,00
bcd
larutan KOH atau HCl. Selanjutnya media tersebut B2N1 11,00
cde
diautoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 1 atm selama B2N2 15,00
bcd
B2N5 12,33
15 menit. Untuk menginduksi pembentukan tunas melalui B4 16,33
de
ataupun yang dikombinasikan dengan naphthalene acetic Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan
acid (NAA) dengan konsentrasi 0,1; 0,2 dan 0,5 mg/L. tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSD pada taraf 0,05%. B =
Setiap perlakuan dilakukan pada 10 eksplan. Semua kultur BAP (mg/L); B1 = 1, B2 = 2, B4 = 4. N = NAA (mg/L); N1 = 0,1 N2
tersebut diinkubasikan dalam ruang ber-AC yang suhunya = 0,2 N5 = 0,5.
±26°C dan mendapat pencahayaan dari lampu TL 40 watt
2
sebesar 30 µmol/ m /det selama 16 jam/hari. Subkultur ke
20
media dengan komposisi serupa dilakukan setiap 4 minggu.
18
Pengamatan 16
Pengamatan dilakukan setiap dua minggu terhadap
perkembangan kultur yang tumbuh, jumlah tunas in vitro, 14
pembentukan akar.
10
4
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sekitar satu
2
minggu setelah dikulturkan, potongan tangkai daun mulai
membengkak pada salah satu ujungnya, atau kadang- 0
B1 B1N1 B1N2 B1N5 B2 B2N1 B2N2 B2N5 B4 B4N1 B4N2 B4N5
kadang pada kedua ujungnya. Dalam perkembangan
selanjutnya, dari bagian yang membengkak tersebut Media
terbentuk tonjolan-tonjolan kecil yang kemudian tumbuh
menjadi bakal tunas melalui proses organogenesis dalam Gambar 1. Jumlah tunas in vitro iles-iles (A. muelleri) rata-rata
waktu 8-9 minggu. Pada media yang mengandung 2-4 mg/L pada media MS yang diberi zat pengatur tumbuh BAP dan NAA.
IMELDA dkk. – Kultur tangkai daun Amorphophallus muelleri Blume 175
a b c
e d
f g h
Gambar 2. Regenerasi tunas dari kultur tangkai daun iles-iles (Amorphophalus muelleri): (a). Tanaman iles-ilesyang sedang berbunga, (b).
Tanaman induk, (c).Tangkai daun untuk bahan eksplan, (d). Bakal tunas muncul dari potongan tangkai daun, (e). Bakal tunas (close up), (f)
(g). Tunas in vitro yang lebih dewasa, (h). Planlet yang sudah siap untuk diaklimatisasikan.
176 B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 3, Juli 2008, hal. 173-176
Pengamatan pada umur 3 bulan menunjukkan bahwa penambahan berbagai zat pengatur tumbuh/fitohormon
jumlah tunas rata-rata iles-iles terbanyak diperoleh pada selama proses pengkulturan in vitro.
media B2 yang mengandung BAP 2 mg/L yaitu 19.
Peningkatan konsentasi BAP menjadi 4 mg/L tidak
meningkatkan jumlah tunas yang terbentuk karena setelah KESIMPULAN
mencapai kadar optimal, peningkatan kadar BAP
menghambat pertumbuhan/perpanjangan tunas. Hal serupa
Tangkai daun merupakan sumber eksplan yang efisien
juga dilaporkan oleh Al-Bahrany (2002) pada jeruk nipis
untuk perbanyakan in vitro iles-iles. Jumlah tunas terbanyak
(Citrus aurantifolia). Menurut Agarwal dan Ranu (2000),
yaitu 19 tunas dalam waktu 3 bulan, diperoleh pada media
pada geranium (Pelagonium x hortorum), kadar zat
MS yang mengandung 2 mg/L BAP.
pengatur tumbuh yang optimal bagi pembentukan tunas
adventif berbeda antar kultivar. Pengaruh ZPT terhadap
kemampuan regenerasi sangat kompleks dan berkaitan
dengan kondisi fisiologi dari tanaman in vivo. Keseim- UCAPAN TERIMA KASIH
bangan antara auksin dan sitokinin sangat diperlukan untuk
memperoleh hasil yang optimal bagi pembentukan tunas Penulis mengucapkan terima kasih kepada Program
dan akar. Oleh sebab itu untuk memperoleh hasil yang Kompetitif Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
optimal pada kultur tangkai daun iles-iles ini, perlu dicari Sub-program Domestikasi Keanekaragaman Hayati yang
kondisi terbaik bagi pertumbuhannya, antara lain telah mendanai penelitian ini.
penggunaan jenis, konsentrasi serta keseimbangan ZPT
yang tepat.
Pemberian BAP yang dikombinasikan dengan NAA, ter- DAFTAR PUSTAKA
nyata menghasilkan tunas yang lebih cepat perpanjangan-
nya, walaupun jumlah tunasnya lebih sedikit dibandingkan Agarwal, P.K. and R.S. Ranu. 2000. Regeneration of planlets from leaf and
dengan yang diberi BAP saja tanpa NAA. Kombinasi terbaik petiole explants of Pelargonium X hortorum. In vitro Plant 36 (5): 392-
bagi pembentukan dan perpanjangan tunas adalah BAP 2 397.
Al-Bahrany, A.M. 2002. Effect of phytohormones on in vitro shoot
mg/L dan NAA 0,2 mg/L. Pada kadar NAA yang lebih tinggi multiplication and rooting of lime Citrus aurantifolia (Christm.) Swing.
(0,5 mg/L) atau lebih rendah (0,1 mg/L), jumlah tunas yang Scientia Horticulturae 95 (4): 285-295.
terbentuk menurun (Tabel 1.). Hal ini menunjukkan bahwa Cassells, A.C., and B.F. Carney. 1987. Adventitious regeneration in
keseimbangan antara sitokinin (BAP) dan auksin (NAA) Pelargonium x domesticum Bailey. Acta Horticulturae 212 (2): 419-
425.
sangat diperlukan untuk memperoleh hasil yang optimal Castillo, B. and M.A.L. Smith. 1997. Direct somatic embryogenesis from
bagi penggandaan dan perpanjangan tunas. Pada tahap Begonia gracilis explants . Plant Cell Reports 16 (6): 385-388.
selanjutnya, tunas terbanyak yang diperoleh pada media Ermiati dan M.P.Laksmanahardja. 1996. Manfaat iles-iles (Amorphophallus
spp.) sebagai bahan baku makanan dan industri. Jurnal Litbang
yang hanya diberi BAP 2 mg/L, perlu disubkultur ke media Pertanian 15 (3): 74-80.
dengan kadar BAP yang lebih rendah, agar perpanjangan George, E.F. and P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue
tunasnya lebih cepat. Culture. London: Exegetics Limited.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tangkai daun Imelda, M. 1991. Penerapan teknologi in vitro dalam penyediaan bibit pisang.
Prosiding Seminar Bioteknologi Perkebunan dan Lokakarya Biopolimer
iles-iles merupakan sumber eksplan yang baik dan efisien untuk Industri. PAU Bioteknologi IPB, Bogor.
dalam menghasilkan tunas adventif (Gambar 1c-g), Imelda, M., A.Wulansari, Y.S. Poerba. 2007. Mikropropagasi tanaman iles-
walaupun jumlah tunas yang dihasilkan masih lebih rendah iles (Amorphophallus muelleri Blume). Berita Biologi 8 (4): 271-277.
Irawati. 2005. Pembentukan kalus dan embriogenesis kultur pelepah daun
dari pada yang diperoleh dari kultur tunas pucuk (Imelda dan daun Caladium hibrida. Berita Biologi 7 (5): 257-261.
dkk., 2007). Selain itu, tangkai daun juga lebih mudah Jansen, C.M., C. van der Wilk, and W.L.A. Hetterscheid. 1996.
disediakan dan pengambilannya tidak merusak umbi/ Amorphophallus Blume ex Decaisne. In: Flach, M. and F. Rumawas
tanaman induknya. Pengamatan secara visual terhadap (eds.). Plant Resource of South East Asia, No 9, Plant Yielding Non-
seed Carbohydrates. Bogor: Prosea.
tunas in vitro dan planlet iles-iles asal tangkai daun tersebut Litz, R.E. and V.S. Jaiswal. 1991. Micropropagation of tropical and
menunjukkan adanya tunas adventif dengan morfologi yang subtropical fruits. In: Deberg, P.C. and R.H. Zimmerman (eds.).
berbeda (varian), yaitu daunnya menjadi belang hijau putih Micropropagation: Technology and Applications. Dordrecht: Kluwer
Academic.
(variegata), walaupun jumlahnya sangat sedikit (kurang dari Martin, K.P., D. Joseph, J. Madassey, and V.J. Philip. 2003. Direct shoot
5%). Cassels dan Carney (1987), melaporkan bahwa pada regeneration from lamina explants of two commmersial cut flower
kultur tangkai daun Pelargonium x domesticum ‘Grand cultivars of Anthurium andrawanum Hort. In vitro Plant 39 (5): 500-
Slam’ varian yang muncul bisa sampai 16% dari regenerasi 504.
Mujib, A. 2004. In vitro variability in tissue culture a freshlook. In: Mujib, A.,
tunas adventif. M.-J. Cho, S. Predieri, and S. Banerjee (eds.). In vitro Application in
Pada iles-iles, perubahan warna daun tersebut Crop Improvement. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co.Pvt.Ttd.
tampaknya hanya bersifat sementara karena setelah Murashige, T. and F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and
bioassays with tobacco tissue culture. Physiology of Plant 15: 473-497.
disubkultur daun yang belang-belang putih hijau kembali Pradeep, K.A. and S.R. Rajinder. 2000. Regeneration of plantlets from leaf
menjadi hijau normal. Menurut Mujib (2004), perubahan and petiole explants of Pelargonium x hortorum. In vitro Plant 36 (5):
morfologi serupa itu merupakan variasi temporer atau 392-397.
variasi fisiologi yang antara lain dapat ditimbulkan oleh
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 9, Nomor 3 Juli 2008
Halaman: 177-179
th th
Received: 29 March 2008. Accepted: 12 June 2008
ABSTRACT
2+
The objectives of this research were to study the effects of Cu addition on the reserpine production and callus growth from in vitro culture
indian snake root (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. Ex Kurz). This research frame work was based on the potency of snake root which was
2+
many exploited as anti-hypertension. The addition of elicitor Cu in the form of CuCl2 would influence the ion transport of cell and changed
of cytoplasm pH, and also has effects on synthesis and activity of enzymes which role in reserpine production and callus growth. The
research was conducted in two steps, using Completely Randomized Design. The first step was the callus initiation to promote callus
growth. Second step was the treatment to induce reserpine production. The callus was divided into five groups: 0; 5; 10; 20; 40; and 80 µM.
Morphology, wet weight, dry weight, growth rate, and reserpine content of callus were determined after 15 treatment day. Data were
analyzed using ANOVA and continued by DMRT 5%. The result showed that reserpine production increased in addition of 5 µM and 10 µM
2+ 2+
Cu in callus culture of R. serpentina and reduced in addition of Cu more than 10 µM. The callus growth significantly decreased by
2+
increasing concentration of Cu .
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
detergent, soaked in 45% sodium hypochlorite (5.25%), 10 become yellow greenness until young green color.
min in sterile aquadest, 5 min in 70% ethanol and then they Existence of light can enhance chlorophyll production.
were washed two times with sterile aquadest in laminar air Texture callus at initiation medium is compact callus with
flow hood. solid cell and difficult to be dissociated. Callus texture at
The callus induction media was composed of MS treatment medium have no difference with texture callus at
(Murashige and Skoog) basal medium and supplemented initiation medium that is compact until the end of treatment
with 30 g/L sucrose, NAA 2 mg/L, and kinetin 2 mg/L. After periods (Tables 1). The high of kinetin concentration at
growing for 30 day, the callus were elicited with 0 µM, 5 µM, treatment medium (5 mg/L) caused the compact callus.
2+
10 µM, 20 µM, 40 µM, and 80 µM Cu as CuCl2 in basal Kinetin in high concentration can enhanced cell division and
medium without added NH4NO3 and NAA, the amount of formed the compact callus.
KH2PO4 reduced to 100 mg/L, and supplemented with 80 Rauvolfia serpentina callus which elicited by addition of
2+
g/L sucrose and kinetin 5 mg/L (Aryanti, 2005). Cu did not change the callus color to brown (browning)
Cultures were harvested on day 15 of subculture in a compared by color of control callus. This is possibility
treatment medium. The dry weight of callus was determined caused by height of concentration of kinetin in medium.
after drying the sample at 38oC to constant weight. Dried Mentioned by Lemenager et al. (2004), that sitokinin in high
callus were crushed to a fine powder with a mortar and concentration were known as an antioxidant agent.
pestle. Approximately 0.1 g of dried callus was placed in a Antioxidant were used in medium also enhanced the
tube react and extracted with 10 mL ethanol p.a. and diluted chlorophyll biosynthesis at callus cells.
2+
to the volume with double-distilled water in a 100 mL Callus with Cu at 10-80 M had significantly lower of
standard flask. To each this tube was added with 1 mL of dry weight than control (Table 1). Cu2+ required by callus
2+
freshly prepared 0.3% (w/v) solution of sodium nitrite, then cell in a small amount. Cu at high levels becomes strongly
mixed and heated in a water bath at 55oC for 30 min. After phytotoxic cell and causes inhibition of plant growth or even
cooling, 0.5 mL of freshly prepared solution of sulfamic acid cell death (Wang et al., 2004). The inhibition of dry weight
5% (w/v) was added and diluted up to the mark with (DW) accumulation in callus suggested that copper (Cu)
ethanol. The absorbance of solution was measured at 399 excess result in membrane damage and ion K+ leakage.
nm against a reagent blank by using spectrophotometer of Potassium plays an important role in vacuole where it
UV-VIS Shimadzu (Singh et al., 2004 with modification). contributes largely to the osmotic pressure and thus to the
Data were analyzed statistically by analysis of variance turgor pressure. Cell which lost of turgor pressure leaded to
(ANOVA) followed by DMRT 5%. Data of callus morphology decrease in cell elongation (Alaoui-Sosse et al., 2004).
covering color and texture presented descriptively. Potassium also plays to activate the enzyme which is
needed to form starch. In cell which deficiency of potassium
element will be accumulation of carbohydrate and
RESULT AND DISCUSSION decreased of starch rate, so that cause inhibition on
photosynthesis (Salisbury and Ross, 1995; Alaoui-Sosse et
al., 2004). Inhibition of resistance photosynthesis process
Culture growth
will cause the callus growth become pursued and also
The explants were incubated on basal MS media with
smaller dry weight yielded.
addition 2 mg/L NAA and 2 mg/L kinetin demonstrated
Cu is antagonist with a few ion among other are Fe, Mg,
callus formation after 7 days incubation. Explants formed
and Ca; so that the higher of Cu absorption the lower
callus at the cut surface and its color is white chromatic lay.
absorption of another ions (Srivastava and Gupta, 1996).
Shared explants which initiation to form callus caused by a
Calcium (Ca) include of essential macro element in cell
cell which contact with the medium incited to become 2+
growth, that is to function of ion Ca forming Ca-pektat as
meristematic and here in after perform the division tissues
leasing of cell wall and also existence of ion Ca2+ in early
of wound cover. Its have been explained by Santoso and
anaphase follow the initiative process the division of mitosis
Nursandi (2002) whereas callus formed as attempt of plant
cell phase especially anaphase (Reksoatmojo, 1993).
protection as a result of the stress or expression of wound. 2+
Addition of Cu abundant in media caused the absorption
Callus color at initiation medium changed from white to
of Ca2+ decreased and influenced the
division of cell culture.
Table 1. The accumulation of dry weight (DW) of callus cultures in treatment media. The Fe and Mg elements play important
data shown are the means of five replicates experiments. Means labeled with identical role in chlorophyll forming. Fe
letters are not significantly different at 95% of confidence level. influenced the concentration of glycine
2+
and succinil-CoA forming ∂-amino
Cu concentration ( µM) laevulinat acid (Srivastava and Gupta,
Dry weight of Cu0 Cu1 Cu2 Cu3 Cu4 Cu5 1996), while Mg assist the forming
d cd bc abc ab a
callus (g) 0,2690 0,2302 0,2182 0,2134 0,1814 0,1748 proto-porfirin become proto-chlorofilid
Cu: concentration of CuCl2. Cu0: 0 µM; Cu1:5 µM; Cu2: 10 µM; Cu3: 20 µM; Cu4: 40 µM;
(Salisbury and Ross, 1995). Prassad
and Cu5:80 µM.
(1998) reported that heavy metal can
pursue chlorophyll forming by pursuing
Table 2. The reserpine production of callus cultures in treatment media. The data shown activity of ∂-amino laevulinat and proto-
are the means of five replicates experiments. Means labeled with identical letters are not chlorofilid reductase. This is caused the
significantly different at the 95% of confidence level. degradation of amount of
2+
photosynthesis pigment which finally
Cu concentration ( µM) will influence the callus growth.
Reserpine Cu0 Cu1 Cu2 Cu3 Cu4 Cu5
ab a a ab ab b
production (mg/g) 0,6226 0,8786 0,8351 0,6238 0,6678 0,3712 Reserpine production
Cu: concentration of CuCl2. Cu0: 0 µM; Cu1:5 µM; Cu2: 10 µM; Cu3: 20 µM; Cu4: 40 µM;
Reserpine production increased in
and Cu5:80 µM.
Cu2+ concentration of 5 µM added in
2+
NURCHAYANI et al. – In vitro of Rauvolfia Serpentina by addition of Cu 179
callus culture of pule pandak (Table 2.). The addition of (Cucumis sativus) and its relationships with carbohydrate accumulation
2+ + and changes in ion contents. Plant Science 30:1-6.
Cu as a biotic elicitor in medium will cause H -ATP-ase Armini, N.M., G.A. Wattimena, dan L.W. Gunawan. 1992. Perbanyakan
inactivation (Hall, 2002; Demidchik et al., 1991) and tanaman. Dalam: Wattimena, G.A. (ed.). Bioteknologi Tanaman. Tim
degradation of pH cytoplasm. The cytoplasm acidity will Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Bogor: PAU Bioteknologi.
induce enzyme synthesis needed in reserpine biosynthesis. Demidchik, V., A. Sokolik, and V. Yurin. 1997. The effect of Cu2+ on ion
transport systems of the plant cell plasmalemma. Plant Physiology 144:
According to Hagendoorn et al. (1996) whereas the addition 1313-1325.
+
of elicitor will influence the transport of ion H pass the cell Gardner, F.P., R.B. Pearce, and R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi tanaman
membrane and will influence the degradation of pH Budidaya. Penerjemah: Susilo, H. Jakarta: UI Press.
Hagendoorn, A.W. L.H.W. van der Plas, and H.S. van Wal-Raver, 1996.
cytoplasm. This condition will induce activation of enzymes Petunia hybrida: in vitro cultures and the production of antocyanin and
which playing apart in secondary metabolism synthesis. other secondary metabolites. In: Bajaj, Y.P.S. Biotechnology in
Reactive oxygen species (ROS) production increased Agricultural and Forestry, Medical and Aromatic Plants IX. 37:284-300.
as a response to Cu2+ metal ion stress; this is also New York: Springer-Verlag
Hall, J.L. 2002. Review article: Cellular mechanism for heavy metal
suggested have an effect on reserpine accumulation. detoxification and tolerance. Journal of Experimental Botany 53 (366): 1-
According to Mithofer et al. (2004) which explained that 11.
ROS are involved in the oxidation of polyunsaturated fatty Lemenager, D., M. Clastre, M. Rideau, and J. Aguirreolea. 2004. Hormone
Mediated Alkaloids Accumulation: Implication of Redox State in
acids (PUFA) to PUFA hydro-peroxide (PUFA-OOH), which Cytokinin Signalling? Tours: Universite Francois.
are converted to oxylipin. Jasmonat represent one of Mithofer, A., B. Schulze, and W. Boland. 2004. Hypothesis biotic and heavy
linolenic acid-derived oxylipins. Synthesis and accumulation metal stress in plants: evidence for common signals. FEBS Letters 566:
of methyl jasmonat (Me-JA) during elicitor addition plays 1-5.
Mulabagal, V. and H.-S. Tsay. 2004. Plant cell culture: an alternative and
important role to induce the defense gene and also improve efficient source for the production of biologically important secondary
the arrangement of secondary metabolites synthesis. Vom- metabolism. International Journal of Applied Science of England. 291:
Endt et al. (2002) reported that the Me-JA accumulation 29-48
Mulliken ,T. and P. Crofton, 2008. Review of the Status, Harvest, Trade and
resulted in over expression Str biosynthesis gene Management of Seven Asian CITES-listed Medicinal and Aromatic Plant
(strictosidin synthase) and increased in TIA (terpenoid Species. Federal Agency for Nature Conservation. Bonn, Germany. p
indole alkaloid) production. Reserpine as main secondary 93-112
metabolites collected from pule pandak includes in Polle, A and A. Schutzendubel. 2002. Plant responses to abiotic stresses:
heavy metal induced oxidative stress and protection by mycorrhization.
terpenoid indole alkaloid compounds. Journal of Experimental Botany 53 (372): 1351-1365.
Callus with Cu2+ at 80 µM had lower reserpine Prassad, M.N.V. 1998. Metal-biomolecules complexes in plants: occurrence
production than control. This result suggested excess of functions and application. Analysis Magazine 26: 25-28.
Ramawat, K.G. 1999. Production in culture: optimization. In: Ramawat, K.G.
Cu2+ elicitor in the concentration caused plasma membrane and J.M. Merillon. (eds.) Biotechnology Secondary Metabolites. New
leakage so that reserpine in cell secrete into the Hampshire: Science Publishers, Inc.
surrounding culture medium. Mentioned by Sevon and Ramawat, K.G. and K.C. Sonie. 1999. Production under stress In: Ramawat,
Oksman-Caldentey (2002) those biotic and abiotic elicitors K.G. and J.M. Merillon. (eds.) Biotechnology Secondary Metabolites.
New Hampshire: Science Publishers, Inc.
were able to release the product of secondary metabolites Reksoatmojo, I. 1993. Biologi Sel. Yogyakarta: UGM Press.
from hairy culture into medium without any loss of viability Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Penerjemah:
and production capacity of the hairy roots. Padmawinata, K. Bandung: Penerbit ITB.
Santoso, U. dan F. Nursandi. 2002. Kultur Jaringan Tanaman. Malang: UMM
Press.
Sato, K., H. Kubota, Y. Goda, T. Yamada, and T. Maitani. 1997. Glutathione
enhanced anthraquinone production in adventitious root cultures of
CONCLUSION Rubia tinctorum L. Plant Biotechnology 14 (1): 63-66.
Sevon, N. and K.M. Oksman-Caldentey. 2002. Agrobacterium rhizogenes-
2+ mediated transfornation: root cultures as source of alkaloids. Planta
The addition of elicitor Cu at 5 µM enhanced the
Medica 68: 859-868.
reserpine production, while addition above 10 µM Singh, D.V., B. Srivastava, and A. Sahu. 2004. Spectrophotometric
decreased the reserpine production of callus culture of determination of Rauwolfia alkaloids: estimation of reserpine in
Rauvolfia serpentina. Callus growth significantly decreased pharmaceutical. Analytical Science 20: 571-573.
with addition of Cu2+ elicitor in MS medium. Srivastava, P.C. and U.C. Gupta. 1996. Trace Elements in Crop Production.
New Delhi: Science Publishers Inc.
Supriyadi. 2001. Tumbuhan Obat Indonesia: Penggunaan dan Khasiatnya.
Edisi I. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Valenzuela, O.A.M. Y.M. Garcia, E.M. Geraldo, and V.M. Vargar. 2003.
REFERENCES Increase in the indole alkaloids production and its excretion into the
culture medium by calcium antagonists in hairy roots. Biotechnology
Achmad, S.A. 1987. Metabolit sekunder: suatu kerangka untuk memahami Letters 25 (16): 1345-1349.
potensi sumber daya alam nabati Indonesia. Dalam: Pramono, S., D. Vom-Endt, D., J.W. Kijne, and J. Memelink. 2002. Transcription factors
Gunawan, dan C.J. Soegihardjo. (ed.). Buku Risalah Seminar Nasional controlling plant secondary metabolism: what regulates the regulators?
Metabolit Sekunder. Yogyakarta: PAU Bioteknologi UGM. Phytochemistry 61: 107-114.
Alaoui-Sosse, B. P. Genet, F. Vinit-Dunad, T. Marei-Laure, D. Epron, and Wang, S.-H., Z.-M. Yang, H. Yang, B. Lu, S.-Q. Li, and Y.-P. Lu. 2004.
P.M. Badot. 2004. Effect of copper on growth in cucumber plants Copper-induced stress and antioxidative responses in roots of Brassica
juncea L. Botanical Bulletin of Academia Sinica 45: 203-212.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 9, Nomor 3 Juli 2008
Halaman: 180-183
SULANDJARI
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 57126.
ABSTRACT
The root of Rauvolfia serpentina Benth (pule pandak) contains more than 50 kinds of alkaloid which is useful to treat many kinds of
diseases and reserpine is ones to treat of hypertension. Eucalyptus deglupta and Acacia mangium have become release an allelochemy to
ecosystem that are can reduce the growth of the plant association. The purpose of this research is to know about the influence of nutrient
and media under the plant with potential allelopathic effect to root yield and reserpine content. The research was arranged in Complete
-1
Random Block Design. Nutrient was nested on media. Media are: under Tectona grandis, A. mangium, and E. deglupta. Nutrient is 30 t ha
-1
organic fertilizers, 200 ha inorganic (NPK) fertilizers and control. Polybag with 30 cmx30 cm plant densities and 20% of shading. The
result are that beside under the T. grandis, pule pandak was capable to growth under the A. mangium and E. deglupta. Thirty ton per
-1
hectare organic fertilizers was increased of growth and yield more than 200 ha inorganic (NPK) fertilizers. Allelocemy from A. mangium
and E. deglupta was decreased dry root yield but was not effect to reserpine content.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
komponen senyawa alelopatik yang dapat ditemukan dalam tinggi, media bawah akasia memiliki KPK rendah dan media
jumlah cukup besar pada hampir semua tumbuhan, bawah eukaliptus memiliki KPK sedang. Hasil analisis fisik
terutama tanaman-tanaman yang menghasilkan minyak tanah (Tabel 2.) menunjukkan bahwa ketiga media tanah
atsiri dan metabolit sekunder lain, termasuk akasia dan termasuk tanah lempungan.
eukaliptus (Singh et al., 1991). Senyawa fenol dapat masuk
ke dalam tanah melalui pelindian daun, eksudasi akar, dan Tabel 1. Analisis kimia tanah awal media tanah.
dekomposisi sisa-sisa tumbuhan. Senyawa alelopati yang
berada dalam tanah tidak mudah tercuci oleh air, namun Media/Bawah
Komponen unsur
akan mengalami penurunan konsentrasi dan pengurangan Jati Akasia Eukaliptus
daya racun, karena menyatu dengan asam humat (Dalton N total (%) 0,27 0,32 0,41
et al., 1983). P tersedia (Ppm) 8,17 6,29 7,96
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh K tertukar/100g 0,28 0,29 0,35
penambahan unsur hara pada media tanah berpotensi C organik (%) 6,10 4,18 7,52
alelopati terhadap hasil akar dan kadar reserpina pule KPK Me/100g 30,15 18,6 20,15
pandak. Dengan kata lain apakah pule pandak dengan
penambahan hara dapat berasosiasi bersama populasi
tegakan akasia dan eukaliptus dan menghasilkan bobot
Tabel 2. Analisis fisik tanah media bawah tegakan jati , akasia, dan
akar dan kadar reserpina yang tinggi. eukaliptus.
Media/Bawah
Komponen unsur
BAHAN DAN METODE Jati Akasia Eukaliptus
3
Bv g/cm 1,08 1,37 1,47
Penelitian dilaksanakan di Hutan Penelitian Wanagama Bj g/cm
3
2,15 2,19 2,16
I, desa Playen, kecamatan Banaran, kabupaten Porositas (%) 49,77 37,40 31,94
Gunungkidul. Rancangan percobaan, RAKL tersarang, Tekstur:
dengan perlakuan: 1. Media tanah bawah tegakan jati, Debu (%) 38,01 37,17 30,43
bawah tegakan eukaliptus, dan bawah tegakan akasia.
Lempung (%) 50,65 52,13 56,86
Perlakuan pupuk tersarang dalam media: pupuk organik
-1 -1 Pasir (%) 11,34 10,70 12,71
(PO) 30 t ha , Pupuk NPK (15: 15: 15) 200 kg ha , dan
tanpa pupuk (kontrol). Setiap perlakuan dilakukan dengan
sembilan ulangan dengan perlakuan destruktif setiap umur
Tabel 3. Sidik ragam peubah pertumbuhan dan hasil pule pandak.
tanaman 3-9 bulan. Bibit pule pandak berasal dari setek
akar berumur tiga bulan. Penelitian menggunakan polibag
2 KT
dengan jarak penempatan 30x30 cm dan naungan paranet
± 20%. Media tanah diambil dari bawah naungan jati, Sumber
krsp
jmd
bka
bra
lsd
pa
da
at
ja
tt
Hasil analisis ragam peubah pertumbuhan dan hasil Tabel 5. Analisis NPK jaringan daun saat panen pule pandak
akar pule pandak menunjukkan bahwa macam media bawah tegakan jati, akasia, dan eukaliptus.
berpengaruh sangat nyata/nyata terhadap semua peubah
pertumbuhan dan hasil, kecuali panjang akar dan kadar Media/Bawah
Peubah
Pupuk Jati Akasia Eukaliptus
reserpina. Asupan hara dari pupuk organik ataupun
N 0 0,68 b 0,47 m 0,55 r
anorganik (NPK) berpengaruh nyata terhadap semua
PO 2,63 a 1,36 l 1,17 q
peubah pertumbuhan dan hasil (Tabel 3.). Analisis statistik
NPK 2,88 a 1,91 k 1,98 p
perlakuan terhadap peubah pertumbuhan pule pandak
Rerata 2,06 A 1,25 B 1,23 B
(Tabel 4.) menunjukkan bahwa pule pandak pada media
P 0 0,23 c 0,33 k 0,44 q
bawah jati mengalami pertumbuhan yang lebih baik
PO 0,71 a 0,17 m 0,57 p
daripada media bawah akasia ataupun eukaliptus yang
NPK 0,68 b 0,22 l 0,43 q
ditunjukkan pada tinggi tanaman, luas daun, dan ratio akar
Rerata 0,54 A 0,24 C 0,48 B
tajuk. May dan Ash (1990) melaporkan bahwa senyawa
K 0 0,32 c 0,17 l 0,16 r
fenolik dapat menurunkan kandungan klorofil, sehingga
PO 0,47 b 0,32 k 0,23 q
menghambat fotosintesis yang dapat dilihat pada
NPK 0,59 a 0,39 k 0,33 p
meningkatnya ratio akar tajuk, karena hasil fotosintesis
Rerata 0,46 A 0,29 B 0,24 C
digunakan untuk pertumbuhan akar. Selanjutnya ekstrak
Keterangan: Huruf sama pada kolom, masing-masing peubah tidak
daun eukaliptus dapat menekan bobot kering tajuk.
berbeda nyata pada DMRT 5%.
Pemberian pupuk organik pada masing-masing media
meningkatkan tinggi tanaman, menambah jumlah daun, Tabel 6. Pengaruh media dan pupuk terhadap peubah komponen
daun menjadi lebih luas dan meningkatkan ratio akar tajuk. akar pule pandak bawah tegakan jati, akasia dan eukaliptus.
Hal ini dimungkinkan karena KPK media bawah jati lebih
tinggi daripada media bawah akasia dan eukaliptus Peubah Media/Bawah
sehingga unsur hara lebih mudah tersedia. Di samping itu Pupuk Jati Akasia Eukaliptus
senyawa alelopati pada konsentrasi tertentu dapat Jumlah akar 0 6,33 b 5,33 l 5,67 q
menurunkan kemampuan pertumbuhan tanaman karena PO 9,33 a 7,00 k 6,67 p
transport asam amino dan pembentukan protein terhambat. NPK 6,67 b 6,33 kl 6,00 p
Rerata 7,44 A 6,22 B 6,11 B
Pemupukan NPK kurang meningkatkan pertumbuhan
Panjang akar 0 39,33 b 36,33 l 39,33 r
sesuai pernyataan (Lisanework dan Michelsen, 1993)
(cm) PO 47,33 a 47,67k 50,83 p
bahwa alelopati dapat meghambat penyerapan hara NPK 43,83a 43,00 k 41,00 q
mineral seperti terlihat pada kandungan unsur NPK di daun Rerata 43,50 A 42,33 A 43,72 A
pada media bawah akasia dan eukaliptus lebih rendah Diameter akar 0 0,60 c 0,47 l 0,60 r
dibandingkan dengan media bawah jati (Tabel 5). (cm) PO 0,93 a 0,77 k 0,90 p
Pengaruh macam media terhadap komponen akar NPK 0,70 b 0,70 k 0,77 q
(Tabel 6.) menunjukkan bahwa senyawa alelopati pada Rerata 0,74 A 0,64 B 0,76 A
media akasia menekan jumlah dan diameter akar Keterangan: Huruf sama pada kolom, masing-masing peubah tidak
sedangkan pada media bawah eukaliptus hanya menekan berbeda nyata pada DMRT 5%.
jumlah akar. Pada media bawah jati tidak ada perubahan
Tabel 7. Pengaruh media dan pupuk terhadap hasil pule pandak
yang berarti. Lisanework dan Michelsen (1993) menyatakan bawah tegakan jati, bawa akasia dan eukaliptus.
bahwa alelopati sangat menghambat perpanjangan sel,
perbanyakan, sel dan pertumbuhan akar kacang-kacangan Media/Bawah
dan jagung. Pemberian pupuk organik meningkatkan bobot Peubah
Pupuk Jati Akasia Eukaliptus
kering akar lebih tinggi dibandingkan pupuk anorganik Bobot kering 0 5,85 c 4,82 m 5,69 q
(NPK) pada ketiga media (Tabel 7, Gambar 1). Hal ini akar (g) PO 8,17 a 7,25 k 7,73 p
dimungkinkan karena pupuk organik banyak mengandung NPK 6,85 b 6,30 l 5,93 q
asam humat yang dapat menurunkan daya racun senyawa Rerata 6,95 A 6,13 B 6,45 AB
alelopati, karena senyawa tersebut mengalami transformasi Kadar 0 25,72 c 29,69 m 31,36 q
rantai samping atau termodifikasi sewaktu struktur reserpina PO 64,76 a 62,84 k 52,49 p
(ppm) NPK 45,25 b 41,04 l 39,41 q
cincinnya terpotong, sehingga akan terikat kuat dan tidak
Rerata 45,24 A 44,52 A 41,09 A
tersedia dalam larutan (Dalton et al., 1983). Bobot 0 0,16 c 0,14 m 0,18 q
Lambers et al. (2000) menyatakan bahwa reserpina PO 0,51 a 0,45 k 0,40 p
penghambatan oleh senyawa fenolik terjadi pada proses dalam akar NPK 0,31 b 0,26 l 0,23 q
pembentukan ATP yang dapat menekan hampir semua (mg/g ) Rerata 0,33 A 0,28 B 0,27 B
proses metabolisme dalam sel. ATP merupakan salah satu Keterangan: Huruf sama pada kolom, masing-masing peubah tidak
komponen yang berperan dalam mengikat CO2, sehingga berbeda nyata pada DMRT 5%.
penghambatan ini menyebabkan jumlah karbohidrat yang
berfungsi sebagai bahan bakar dan bahan penyusun Kadar reserpina pule pandak pada ketiga media tidak
struktur sel berkurang. Senyawa fenolik juga dapat menunjukkan beda nyata (Tabel 7). Hal ini dimungkinkan
menurunkan kandungan klorofil, sehingga menghambat karena tekanan pertumbuhan tanaman akibat adanya
fotosintesis yang dapat dilihat pada reduksi berat kering senyawa alelopati pada media akasia dan eukaliptus akan
tanaman (Tabel 7.). Selanjutnya Li et al. (1994) merangsang pembentukan metabolit sekunder dalam hal ini
menyatakan bahwa, kalau pertumbuhan akar dibatasi oleh adalah reserpina. Herms dan Mattson (1992) menyatakan
persediaan zat yang kurang, maka pertumbuhan tunas bahwa diperlukan suatu kondisi tekanan lingkungan untuk
relatif akan lebih terbatas dibandingkan daun, sehingga merangsang terbentuknya fungsi pertahanan seperti
kendala dalam penyerapan hara oleh akar akan metabolit sekunder. Meskipun demikian pemupukan yang
berpengaruh rasio akar tajuk. cukup dapat meningkatkan alkaloid (Hoft et al., 1996).
Pemberian pupuk organik akan meningkatkan kadar
SULANDJARI – Reserpina pada Rauvolfia serpentina 183
reserpina namun pemberian pupuk anorganik NPK pupuk anorganik (NPK)200 t ha-1 . Sifat alelopati tegakan
peningkatannya lebih kecil dibandingkan dengan tanpa akasia dan eukaliptus berpengaruh terhadap bobot kering
pemupukan (Tabel 7, Gambar 1). Meskipun kadar reserpina akar namun tidak berpengaruh terhadap kadar reserpina
ketiga media tidak berbeda nyata namun karena bobot
kering akar pule pandak pada media bawah jati lebih tinggi
daripada media bawah akasia ataupun eukaliptus, maka UCAPAN TERIMA KASIH
bobot reserpina dalam akar pule pandak pada media
bawah jati berbeda nyata dan lebih tinggi daripada media
Terima kasih penulis ucapkan kepada Depkdiknas yang
bawah akasia dan eukaliptus.
telah membantu dalam pembiayaan penelitian ini melalui
Penelitian Dosen Muda.
9
DAFTAR PUSTAKA
a
p
8 k
b
7 l Cordel, G.A. 1981. Introduction to Alkaloids, A Bioenergetic Approach. New
q
Bobot kerig akar (g)
60 p
b water potential and root temperature. Plant Soil 164: 43-50.
50 l q Lisanework, N. and A. Michelsen. 1993. Allelopati in agroforestry system: the
40 q effect of leaf extracts of Cupressus lusitanica and three Eucalyptus
m
30 c spp. on four Ethiopian crops. Agroforestry System 21: 63-74.
May, F. and E.J. Ash. 1990. An assessment of the allelopathic potential of
20 Eucalyptus. Australian Journal of Botany 38: 245-254
10 Mulliken ,T. and P. Crofton, 2008. Review of the Status, Harvest, Trade and
Management of Seven Asian CITES-listed Medicinal and Aromatic Plant
0
Species. Federal Agency for Nature Conservation. Bonn, Germany. p
0 po npk 0 po npk 0 po npk 93-112
Rice, E.L. 1984. Allelopathy. 2nd ed. London: Academic Press.
Jati Akasia Eukaliptus
Sarin,Y.K. 1982. Cultivation And Utilization of Medicinal Plants. Regional
Me di a dan pe rl ak u an pu pu k Research Laboratory Council of Scientifik & Industrial Research Jammu-
Tawi.
Sahid, H. and A. Nurhayati. 1992. Bioteknologi Pertanian 2. Bogor: PAU IPB.
Silander,J.A., B.R. Trenbath, and L.R. Fox. 1983. The allelopathic potential
Gambar 1. Hubungan media dengan pupuk organik (po) dan of a native plant. Oecologia 58: 415.
anorganik (NPK) terhadap bobot kering akar (A) dan kadar Singh, D., R.K. Kohli, and D.B. Saxena. 1991. Effect of Eucalyptus oil on
reserpina (B). germination and growth of Phaseolus aureus Roxb. Plant Soil 137:
223-227.
Sheludko Y, I. Gerasimenko, H. Kolskorn, and J. Stockigt. 2002. New
alkaloids of the sarpagine group from Rauvolfia serpentina hairy root
KESIMPULAN culture. Journal of Natural Products 65 (7):1006-1010.
Tyler,V.E., L.R. Brady, and J.E. Robbers. 1988. Pharmacognosy.
Philadelphia: Lea & Febiger.
Selain di bawah jati, pule pandak mampu tumbuh pada Yahya, F.A., E. Sandra, dan E.A.M. Zuhud. 2002. Pertumbuhan biomassa
media bawah tegakan akasia dan eukaliptus. Pemberian dan kandungan alkaloid akar pule Pandak (Rauvolfia serpentina
pupuk organik 30 t ha-1 mampu meningkatkan pertumbuhan Benth) hasil kultur in vitro. Seminar Nasional XXII TOI. Purwokerto. 11 –
12 Oktober 2002
dan hasil pule pandak lebih tinggi daripada pemberian
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 9, Nomor 3 Juli 2008
Halaman: 184-189
SUPRIYONO♥
Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta 57126
ABSTRACT
The aims of this research were to know the effect of different cultivars, planted seasons and creeper poles at velvet bean (Mucuna pruriens
(L.) DC.) growth, yield and their interactions. This research was conducted on litosol soil in Tancep, Ngawen, Gunungkidul on 170 m up sea
level and 9-10° elevation. The depth of soil tillage was 5-17 cm. Design utilization was Randomized Completed Block Design (RCBD) with
factorial 3 factors. The treatment was (i) cultivars: rase and putih Gunungkidul (ii) planted seasons: dry and rainy seasons and (iii) creeper-
poles: control, corn 0 weeks old, corn 2 weeks old, corn 4 weeks old and bambu. There is replicated 3 times. The result of this research
st nd
was the 1 velvet bean growth on rainy season was rapidly but they have long time planted. The 2 , by splited rase cultivars, rainy season
rd
and creeper-pole utilization was yield increased. The 3 , on the rainy season, the high yield was come by rase cultivar and creeper-pole
th
utilization. The 4 , with the 2 times velvet bean density and without calculated corn yield, rase cultivar planted on rainy season and bamboo
creeper-pole coused the highest velvet bean yield but no significant different with 4 weeks corn creeper-pole.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta.
Key words: cultivars, planted seasons, creeper-pole, velvet bean (Mucuna pruriens (L.) DC.).
Tabel 1. Serapan hara dan bagian vegetatif karabenguk 2 musim tanam pada dan tanpa penjalar. Dengan demikian
percobaan rangka penjalar dua kultivar. dapat disebutkan bahwa pada pertanaman
musim penghujan dengan penjalar jagung
Musim Bagian vegetatif karabenguk dan serapan hara 4 minggu menghasilkan biji dengan
Serapan Klorofil ILD Dmt Bt BkBrk Bk Brk kuantitas dan kualitas yang baik.
N K 2 Pada pertanaman musim kemarau,
P (g/tan) mg/cm 3bl mm g/tan g /petak
(g/tan) (g/tan) hasil per tanaman tidak berbeda nyata
Penghujan 6,82 a 0,76 a 3,64 a 1,42 a 6,40 a 15,21 a 216,32 a 1634,06 a antar perlakuan. Bobot 100 biji lebih tinggi
Kemarau 0,80 b 0,05 b 0,29 b 1,26 b 1,75 b 6,67 b 13,09 b 117,32 b
pada karabenguk dengan penjalar bambu
dan tanpa penjalar, namun tidak berbeda
nyata dengan penjalar karabenguk
Tabel 2. Serapan hara dan bagian vegetatif karabenguk kultivar berbeda pada bersamaan tanam. Indeks panen lebih
percobaan rangka penjalar dan musim tanam. tinggi pada karabenguk dengan penjalar
jagung bersamaan tanam dan umur 2
Kultivar Bagian vegetatif dan serapan hara karabenguk minggu serta penjalar bambu.. Kandungan
Serapan Klorofil ILD 3bl Dmt Bt BkBrk Bk Brk protein tertinggi pada karabenguk dengan
N(g/tan) P(g/tan) K(g/tan) mg/cm2 cm g/tan g/3m2 penjalar jagung bersamaan tanam.
Rase 4,16 a 2,22 a 2,21a 1,33a 4,13a 10,78a 115,42a 890,99a Dengan demikian pada musim kemarau,
Putih Gk 3,46 b 1,71 b 1,72a 1,35a 3,76a 11,09a 113,99a 860,38a pertanaman karabenguk yang ditanam
bersamaan dengan jagung serta dengan
penjalar bambu mampu menghasilkan biji
dengan kualitas yang lebih baik. Untuk
Tabel 3. Serapan hara dan bagian vegetatif karabenguk pada penjalar berbeda.
komponen bagian vegetatif dan hasil
tanaman, komponen yang berinteraksi
Penjalar Bagian vegetatif dan serapan hara karabenguk
antara musim dan kultivar adalah serapan
Serapan Klorofil ILD 3bl Dmt Bt BkBrk Bk Brk
N(g/tan) P(g/tan) K(g/tan) mg/cm2 cm g/tan g/petak
K, hasil biji per tanaman, bobot 100 biji,
Jagung 0 4,69 a 0,52 a 2,49 a 1,37a 4,22a 11,85 a 147,46 a 884,73a
indek panen, persentase biji per polong
Jagung 2 4,17 a 0,45 a 2,19 a 1,37a 3,77a 10,08 b 127,79 a 795,30a dan kandungan protein biji. Kombinasi dari
Jagung 4 4,61 a 0,50 a 2,43 a 1,36a 3,22a 9,46 b 142,05 a 852,28a enam variabel tersebut disajikan pada
Bambu 3,01 b 0,30 b 1,49 b 1,32a 4,29a 11,86 a 83,54 b 1002,42a Tabel 9.
Tanpa Penj 2,36 b 0,26 b 1,23 b 1,29a 3,92a 11,44 a 72,69 b 872,25a Pada musim penghujan, serapan K,
hasil biji per tanaman dan kandungan
protein lebih tinggi pada kultivar rase
dibandingkan putih Gunungkidul. Pada
Tabel 4. Hasil karabenguk pada musim berbeda pada percobaan rangka penjalar musim kemarau, persentase biji per
dua kultivar. polong, berat 100 biji dan kandungan
protein biji lebih tinggi pada kultivar rase.
Musim Hasil karabenguk Dengan demikian dapat diutarakan bahwa
Indek Pn Bj/Pl Hsl/Tan Hasil Biji B100bj KA Protein HCN kultivar rase memiliki potensi hasil yang
% g g/petak g %bbjk % bbjk % bbjk lebih tinggi dibandingkan putih
Hujan 0,390 a 52,85a 24,94 a 188,98 a 84,75 a 13,80a 28,57 a 3,71 b Gunungkidul. Pada komponen bagian
Kemarau 0,087 b 54,74a 10,41 b 91,17 b 75,88 b 13,86a 27,70 b 4,00 a
vegetatif dan hasil tanaman, antara kultivar
dan penjalar berinteraksi pada bobot 100
biji. Kombinasi hal tersebut disajikan pada
Tabel 5. Hasil karabenguk kultivar berbeda pada percobaan rangka penjalar dan Tabel 10.
musim tanam. Hasil tertinggi dicapai pada kultivar
rase tanpa penjalar dan tidak berbeda
Kultivar Hasil karabenguk nyata dengan rase berpenjalar bambu dan
Indek putih Gunungkidul dengan penjalar jagung
Bj/Pl Hsl/Tan Hasil Biji B100bj KA Protein HCN
Pn bersamaan tanam. Dari berbagai variabel
% g G/petak g % bbjk % bbjk % bbjk pada komponen vegetatif dan hasil
Rase 0,245 a 57,05 a 21,38 a 170,37 a 84,05 a 14,22 a 28,54 a 3,92 a tersebut tiga variabel yang berinteraksi
Putih Gk 0,232 a 50,54 b 13,97 b 109,78 b 76,58 b 13,43 b 27,74 b 3,80 b antara musim, kultivar dan penjalar yaitu
hasil biji total, kadar air biji dan kadar HCN.
Kombinasi hal tersebut disajikan pada
Tabel 6. Hasil karabenguk pada penjalar berbeda.
Tabel 11.
Hasil biji total tertinggi dicapai pada
Penjalar Hasil karabenguk musim penghujan dengan kultivar rase dan
Indek Pn Bj/Pl Hsl/Tan Hasil Biji B100bj KA Protein HCN penjalar bambu. Pada tingkatan kedua,
% g g/petak g %bbjk % bbjk % bbjk berada semua kultivar rase musim
Jagung 0 0,289a 54,31a 23,30a 139,81 b 82,56ab13,85ab 28,19a 3,90 b penghujan dari berbagai macam penjalar,
Jagung 2 0,253ab 53,55a 17,63ab 105,78 b 74,25ab13,94a 28,17a 3,87 b putih Gunungkidul musim penghujan dengan
Jagung 4 0,168b 55,05a 19,07ab 114,41 b 72,25b 13,74 bc 28,23a 3,69 d penjalar jagung bersamaan tanam dan
Bambu 0,306a 52,09a 18,21ab 218,52 a 82,98ab13,94a 27,94a 4,03 a jagung umur 4 minggu, rase musim kemarau
Tanpa Penj 0,179b 53,71a 10,16b 121,86 b 89,54a 13,67c 28,02a 3,80 c dengan penjalar jagung bersamaan tanam
dan penjalar bambu, juga putih Gunungkidul
musim kemarau dengan penjalar bambu.
SUPRIYONO – Pertumbuhan dan hasil Mucuna pruriens dengan rangka penjalar 187
Tabel 7. Bagian vegetatif dan serapan hara karabenguk pada musim dan penjalar Pada musim penghujan intensitas sinar
berbeda. matahari relatif rendah. Hal tersebut
Musim Penjalar Bagian vegetatif dan serapan hara karabenguk menyebabkan penjalar bambu yang tidak
Serapan Dmt Bt Bk Brk memberikan naungan akan memberikan
N g/tan P g/tan K g/tan cm g/Tan keleluasaan terhadap karabenguk untuk
Hujan Jagung 0 8,63 a 0,99 a 4,61 a 16,23a 280,12 a dapat menggunakan sinar matahari. Kultivar
Hujan Jagung 2 7,75 a 0,87 a 4,07 a 14,72a 246,42 a rase yang termasuk forma cochinchinensis
Hujan Jagung 4 8,87 a 0,97 a 4,70 a 14,90a 274,91 a memang sejak awal terindikasi mampu
Hujan Bambu 5,01 b 0,54 b 2,65 b 15,53a 154,10 b memberikan hasil yang lebih baik. Pada
Hujan Tanpa Pjl 3,85 b 0,40 b 2,10 b 14,65a 126,04 b musim kemarau, penjalar bambu baik pada
Kemarau Jagung O 1,15 c 0,06 c 0,38 c 7,47 b 14,80 c kultivar rase maupun putih Gunungkidul dan
Kemarau Jagung 2 0,60 c 0,04 c 0,21 c 5,45 c 9,17 c juga rase dengan penjalar jagung bersamaan
Kemarau Jagung 4 0,35 c 0,03 c 0,16 c 4,02 c 9,19 c tanam memberikan hasil yang lebih. Hal ini
Kemarau Bambu 1,01 c 0,05 c 0,34 c 8,18 b 12,97 c disebabkan seperti halnya pada musim
Kemarau Tanpa Pjl 0,88 c 0,07 c 0,36 c 8,23 b 19,33 c penghujan, penjalar bambu tidak
memberikan naungan pada karabenguk.
Tabel 8. Hasil karabenguk pada musim dan penjalar berbeda.
Musim Penjalar Hasil karabenguk
Demikian pula jagung yang ditanam
Ind Panen Hsl/Tan (g) B100 bj (g) Protein (%bbjk)
bersamaan dengan karabenguk memberikan
naungan awal yang lebih kecil sehingga
Hujan Jagung 0 0,085 c 29,33 ab 87,07a 28,21b
Hujan Jagung 2 0,085 c 27,29 ab 84,17a 28,67ab
tanaman karabenguk mampu memberikan
Hujan Jagung 4 0,098 c 35,30 a 86,47a 28,91a hasil yang tinggi.
Hujan Bambu 0,100 c 21,10 abc 83,11a 28,40b Pada kultivar rase dengan penjalar
Hujan Tanpa Pjl 0,068 c 11,67 cd 82,95a 28,66ab bambu musim penghujan ternyata kadar air
Kemarau Jagung 0 0,493 a 17,28 bcd 78,06ab 28,18b biji dan kadar HCN nya relatif rendah. Hal ini
Kemarau Jagung 2 0,420 a 7,97 cd 64,33bc 27,63c disebabkan dengan penjalar bambu biji akan
Kemarau Jagung 4 0,237 b 2,83 d 58,03c 27,60c menggantung sehingga akan lebih cepat
Kemarau Bambu 0,512 a 15,32 bcd 82,85a 27,64c kering. HCN juga relatif rendah, mungkin hal
Kemarau Tanpa Pjl 0,290 b 8,63 cd 96,13a 27,40c ini lebih disebabkan faktor genetis. Pada
musim kemarau, putih Gunungkidul dengan
Tabel 9. Serapan hara, pertumbuhan dan hasil karabenguk pada musim dan penjalar bambu memberikan kadar air yang
kultivar berbeda. rendah namun HCN tinggi. Pada rase musim
Musim Kultivar Serapan hara, pertumbuhan dan hasil kemarau dengan penjalar bambu, kadar air
Srp K Ind Pnen Bj/Pl H Bj/Tan B 100bj Protein maupun HCN relatif tinggi. Mungkin hal ini
g /tan % g g bbjk % bbjk berhubungan dengan ketuaan biji saat
Hujan Rase 4,10 a 0,11 b 54,16 b 31,55 a 83,23 a 28,83 a panen. Demikian pula halnya dengan
Hujan Putih Gk 3,18 b 0,06 b 51,53 bc 18,33 b 85,68 a 28,30 b pertanaman karabenguk rase musim
Kemarau Rase 0,34 c 0,35 a 59,93 a 11,20 b 84,29 a 28,21 b kemarau dengan penjalar jagung bersamaan
Kemarau Putih Gk 0,24 c 0,43 a 49.56 c 9,61 b 67,47 b 27,17 c tanam yang menghasilkan kadar air relatif
tinggi namun HCN relatif rendah, hal ini
Tabel 10. Bobot 100 biji (g) pada kultivar dan penjalar berbeda.
disebabkan umur panen. Berdasarkan uraian
Kult\Penjalar Jagung 0 Jagung 2 Jagung 4 Bambu Tanpa Pjl di atas, dapat dikatakan bahwa pada musim
Rase 81,09 b 75,36 b 72,34 b 88,69ab 102,80 a penghujan, kultivar rase dengan penjalar
Putih Gk 84,04ab 73,14 b 72,16 b 77,27 b 76,28 b bambu cukup memberikan harapan. Pada
musim kemarau rase dengan penjalar jagung
Tabel 11. Hasil karabenguk pada musim, kultivar dan penjalar berbeda. bersamaan tanam juga cukup memberikan
Musim Kultivar Penjalar Hasil biji harapan.
Hsl Bj Total Kadar Air HCN
g /petak % bbjk % bbjk
Kecepatan pertumbuhan
Hujan Rase Jagung 0 144,93 bcdef 13,49 gh 3,79 gh
Untuk melihat pertumbuhan tanaman,
Hujan Rase Jagung 2 248,04 bc 14,20 ef 3,54 I
Hujan Rase Jagung 4 267,27 b 14,02 f 3,28 j
diamati tiga variabel yaitu diameter batang,
Hujan Rase Bambu 395,80 a 13,63 g 3,77 h indeks luas daun dan kandungan klorofil
Hujan Rase Tanpa Pjl 176,64 bcde 13,65 g 3,63 I total. Pengamatan dilakukan sebulan sekali
Hujan Putih Gk Jagung 0 206,99 bcd 13,26 hi 3,94 defg selama 3 bulan. Hasilnya untuk setiap
Hujan Putih Gk Jagung 2 79,40 def 13,52 g 4,04 cde perlakuan dan ulangan dianalisis dengan
Hujan Putih Gk Jagung 4 156,37 bcdef 13,56 g 3,82 gh regresi linear sederhana: Y = a+bx. Nilai b
Hujan Putih Gk Bambu 110,63 cdef 14,12 ef 4,00 cdef untuk masing-masing perlakuan dan ulangan
Hujan Putih Gk Tanpa Pjl 103,78 cdef 14,49 cd 3,31 j kemudian dianalisis dengan analisis varian 2
Kemarau Rase Jagung 0 122,67 bcdef 14,93 b 3,86 fgh faktor.
Kemarau Rase Jagung 2 58,00 def 15,19 a 4,01 cde Didapatkan pertumbuhan diameter
Kemarau Rase Jagung 4 20,67 f 14,28 de 4,07 cd batang karabenguk pada musim penghujan
Kemarau Rase Bambu 173,33 bcde 14,53 c 4,24 b jauh lebih cepat dibandingkan musim
Kemarau Rase Tanpa Pjl 96,33 def 14,29 de 3,80 gh kemarau, sebagaimana disajikan pada tabel
Kemarau Putih Gk Jagung 0 84,67 def 13,71 g 4,02 cde 12 dan gambar 1. Diameter batang tanaman
Kemarau Putih Gk Jagung 2 37,67 ef 12,83 j 3,89 efgh pada musim penghujan (M1) umur 3 bulan
Kemarau Putih Gki Jagung 4 13,33 f 13,10 I 3,57 I dapat hampir dua kali lipat diameter batang
Kemarau Putih Gk Bambu 194,33 bcd 13,49 gh 4,11 bc pada musim kemarau (M2). Akibat
Kemarau Putih Gk Tanpa Pjl 110,67 cdef 12,24 k 4,45 a pertumbuhan vegetatif yang sangat kuat
188 B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 3, Juli 2008, hal. 184-189
ILD
20 4
15 2
10 0
5 1 2 3
Tabel 12. Pertumbuhan diameter batang antar musim dan kultivar penjalar. 3
ILD
Jg-Kb Kb Jg
Tabel 13. Pertumbuhan klorofil total daun antar musim dan kultivar penjalar.
Gambar 3. ILD pertanaman jagung, karabenguk
Klorofil Jg0 Jg2 Jg4 Pjl Bb Tanpa Pjl Jagung Rerata dan tumpangsari keduanya pada musim
Hujan Rase 1265ab 1018ab 256 d 1357a 1351a penghujan dan kemarau.
Putih 1006ab 739b c 370 cd 1240ab 851ab 219 d 827,87a
KemarauRase 32 d 54 d 34 d 117 d 141 d Seperti halnya parameter yang lain, indek
Putih 2d 153 d 81 d 97 d 206 d 75 d 86,46 b luas daun (ILD) tanaman baik jagung,
Rerata Rase 648,5ab 536,17abc144,67 c 737,17a 746,00a
karabenguk maupun tumpangsarinya pada
Putih 504,00abc445,83abc225,33 bc668,83ab528,67abc146,72 c
musim kemarau lebih rendah dibandingkan
musim penghujan. Hanya saja memang
Tabel 14. Pertumbuhan ILD antar musim dan kultivar penjalar. untuk karabenguk pada bulan ke dua lebih
tinggi pada pertanaman musim kemarau. Hal
ILD Jg0 Jg2 Jg4 Pjl Bb Tanpa Pjl Jagung Rerata tersebut disebabkan pertanaman karabenguk
Hujan Rase 3,23a 2,74a 1,07 cde 3,46a 3,39a musim kemarau mencapai pertumbuhan
Putih 2,94a 2,26abc 1,34 bcd 3,05a 2,28ab 1,28 bcd 2,34a maksimumnya yaitu menjelang tanaman
Kemarau Rase 0,29e 0,44 de 0,34 de 0,36 e 0,41 de memasuki periode generatif.
Putih 0,24e 0,63 de 0,44 de 0,31 e 0,63 de 0,64 de 0,41b
Rerata Rase 1,76 1,59 0,71 1,91 1,90
Putih 1,59 1,44 0,89 1,68 1,45 0,96
Keterangan 1-14: Dalam kolom yang sama, angka yang diikuti huruf sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar Uji Duncan 5%.
SUPRIYONO – Pertumbuhan dan hasil Mucuna pruriens dengan rangka penjalar 189
Pertumbuhan tanaman pada musim hujan lebih cepat Aiming-Qi, Ellis, R.H., Keatinge, J.D.H., Wheeler, T.R., Tarawali, S.A. and
Summerfield, R.J., 1999. “Differences in the effects of temperature and
namun umur tanaman 2 kali lipat disebabkan karabenguk photoperiod on progress to flowering among diverse Mucuna spp”. Crop
merupakan tanaman hari pendek. Hasil biji kultivar rase Science, 182, 249–258.
lebih tinggi dibandingkan putih Gunungkidul, hal ini Anonim, 2005. Atlas Indonesia dan Sekitarnya, Buana Raya, Jakarta.
berhubungan dengan bobot 100 biji, persentase biji-polong Apriantono, A; 1989. Analisis Zat Gizi. IPB, Bogor.
Bennett-Lartey, SO; 1998. “Characterization and preliminary evaluation of
dan serapan N dan P. Hasil biji pada musim hujan lebih some accessions of local germplasm of velvet bean (Mucuna pruriens
tinggi seiring meningkatnya serapan hara, indeks luas daun DCvar. utilis Wall) of Ghana”. Ghana Jurnal agricultural Science..31 (1):
dan produk brangkasan. Penggunaan rangka penjalar 131-135
Chattopadhyay S., S.K. Datta, and S.B. Mahato, 1994. Production of L-dopa
meningkatkan hasil seiring meningkatnya serapan hara. from cell suspension culture of Mucuna pruriens f. Pruriens. Plant Cell
Hasil biji kultivar rase yang ditanam pada musim hujan lebih Rep. 13 (9): 519-522
tinggi seiring meningkatnya serapan K. Dengan kerapatan Duke, JA. 1981. Hand book of Legumes of World Economic Importance.
karabenguk 2 kali lipat dan belum memperhitungkan hasil NewYork: Plenum Press.
Eddy-Mitoyat dan Widodo, 1978. Pengaruh Pemupukan N dan Pemakaian
jagung, kultivar rase yang ditanam pada musim hujan Rangka Penjalar (frame) terhadap Produksi Ubijalar. Yogyakarta: PPPT
dengan penjalar bambu menyebabkan hasil karabenguk UGM 1977/78 No. 17.
tertinggi. Karabenguk dengan penjalar jagung 4 minggu Handajani, Sri; Supriyono, Eddy Triharyanto, Sri Marwanti, Ismi Dwiastuti
dan Bambang Puji Asmanto, 1995. Pengembangan budidaya dan
yang ditanam pada musim hujan menyebabkan hasil yang pengolahan hasil kacang-kacangan sebagai usaha produktif wanita di
lebih tinggi dan tidak berbeda nyata dengan penjalar lahan kering daerah tangkapan hujan Waduk Kedungombo. Surakarta:
bambu. Lap. Pen. HB II/2 PSW LEMLIT UNS.
Harbourne, 1987. Metode Fitokimia. Terjemahan Kosasih P dan Iwang S,
ITB, Bandung.
Layzell, DB; 1990. N2 Fixation, NO3-reduction and NH4+ assimilation on
UCAPAN TERIMAKASIH Plant Physiology, Biochemistry and Molecular Biology, Dennis DT and
Turpin DH (ed). Longman, UK.
Supriyono, Didik Indradewa, Abdul Syukur dan Tohari, (2005).Hasil
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Karabenguk (Mucuna pruriens) pada Penggunaan berbagai Rangka
Tohari, MSc dan Prof. Dr. Ir. Didik Indradewa, keduanya Penjalar. Habitat XVI(3): 178-183
Supriyono, Tohari, Abdul Syukur dan Didik Indradewa (2004).Pertumbuhan
dosen Agronomi UGM serta Dr. Ir. Abdul Syukur, SU dosen dan Hasil Karabenguk (Mucuna pruriens) sebagai Tanaman Penutup
Ilmu Tanah UGM yang telah membimbing penulis selama Tanah pada Dua Musim Berbeda. Carakatani XIX(1): 18-25.
penelitian di lapangan sehingga tulisan ini dapat Versteeg MN, F Amadji, A Eteka, A Gogan, and V Koudokpon, 1998.
Farmers adaptability of Mucuna fallowing and agroforestry technologies
ditampilkan. in the Coastal Savanna of Benin. Agric Syst 56 (3): 269-287.
Vissoh P, VM Manyong, JR Carsky, P Osei Bonzu and M Galiba, 1998.
Experiences with Mucuna in West Afrika. IDRC, Ottawa.
166 B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 3, Juli 2008, hal. 184-189
ABSTRACT
Dendrobium capra J.J. Smith or “anggrek larat hijau” is the orchid of low land area which includes endangered orchid species, so it needs
to conserve ex situ. The success of ex situ plant conservation influence environmental factor. That’s why habitat study of D. capra needs to
be done to know about how the orchid can grow well. The observation was done in Perhutani’s teak forest between Madiun and
Bojonegoro, East Java which be done in three RPH is RPH Klangon (Pajaran village, Madiun), RPH Sukun (Sambongrejo village,
Bojonegoro) and RPH Gondang (Bethet village, Bojonegoro). The aims of this research are for doing study habitat and knowing the number
th
of population on wild. The result show that D. capra can found in teak and bungur trees at 5 zone because it needs to get a direct
sunshine. Some environment factors are temperature of 30-33ºC, humidity of 40-60% and no roots moss covered. The result of inventory
showed that the numbers of D. capra on areas are 45 individual in RPH Klangon, 145 individual RPH Sukun and 58 individual RPH
Gondang.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta.
.
Key words: Dendrobium capra J.J.Smith, habitat, Madiun, Bojonegoro.
Gambar 4. Keadaan hutan jati di kawasan RPH Sukun. Gambar 5. D. capra di pohon jati pada zona 5 (tanda →).
Berdasarkan status kelangkaannya anggrek ini masuk diperlukan oleh tumbuhan ini.
dalam daftar CITES Apendiks II, yang berarti hanya boleh Studi habitat merupakan upaya untuk mempelajari
diperdagangkan apabila berasal dari hasil perbanyakan dan habitat suatu jenis tumbuhan yang meliputi tempat dan
pengambilan langsung di alam untuk perdagangan tidak faktor tumbuh di habitat alaminya. Beberapa parameter
diperbolehkan. Statusnya yang terancam punah di habitat yang diamati pada studi habitat antara lain: suhu udara,
aslinya, menyebabkan anggrek ini perlu dikonservasi kelembaban udara, pH tanah, dan jenis tanah. Pada
secara ex-situ. Salah satu keberhasilan konservasi ex-situ tumbuhan epifit juga diamati jenis pohon inang, ketebalan
suatu tumbuhan tertentu ditentukan juga lingkungan substrat pada pohon tersebut dan letak tumbuhan pada
tumbuhnya. Oleh karena itu perlu dilakukan studi habitat D. inang. Beberapa penelitian tentang studi habitat anggrek
capra untuk mengetahui persyaratan tumbuh yang lainnya yang telah dilaporkan antara lain: P. glucophyllum di
192 B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 3, Juli 2008, hal. 190-193
habitat alaminya di desa Pronojiwo, kabupaten Lumajang Jumlah individu D. capra terbanyak di RPH Sukun
(Nurfadilah, 2006) dan Ascocentrum miniatum di kecama- yaitu 145 individu dan berturut-turut untuk RPH Gondang
tan Ngantang dan Pakis, kabupaten Malang (Nurfadilah dan dan Klangon yaitu 58 dan 45 individu. Di antara ketiga
Pa’i, 2007, komunikasi pribadi). Informasi yang diperoleh RPH yang menjadi tempat penelitian, RPH Klangon yang
dari studi habitat ini sangat penting dalam kegiatan merupakan hutan lindung jati memiliki luasan lebih
konservasi secara ex-situ pada suatu tumbuhan tertentu. sempit (sekitar 105 ha), sehingga jumlah individu
Inventarisasi merupakan usaha menghitung jumlah anggrek D. capra yang dijumpai lebih sedikit. Sedangkan
individu suatu jenis tumbuhan untuk mengetahui RPH Sukun dijumpai individu anggrek D. capra lebih
kemelimpahan populasi tersebut di habitat aslinya. Tahap banyak karena memiliki areal hutan jati produksi lebih
ini dapat digunakan untuk memperkirakan status luas (sekitar 365 ha) dari pada RPH Gondang (sekitar
kelangkaan jenis tumbuhan tertentu berdasarkan data 165 ha). Keberadaan D. capra di hutan jati ini dapat
populasi di habitat aslinya. Tujuan penelitian ini adalah dijumpai pada setiap pohon jati tua. Diperkirakan setiap
untuk mempelajari habitat alami Dendrobium capra J.J. pohon jati ditempeli 3-5 individu D. capra, bahkan
Smith dan menghitung populasinya di alam. terdapat pula beberapa pohon jati yang ditempeli 10-15
individu D. capra.
Comber (1990) menyebutkan bahwa habitat anggrek D.
BAHAN DAN METODE capra berada di hutan jati dataran rendah sampai tinggi.
Apabila dilihat dari letak ketinggian tempatnya, RPH
Gondang merupakan daerah yang terendah, yaitu: dengan
Penelitian studi habitat dan inventarisasi D. capra
ketinggian tempat 170,75 m dpl, sedangkan RPH Klangon
dilakukan pada tanggal 5-9 Agustus 2007 di hutan jati milik
memiliki ketinggian tempat tertinggi, yaitu: 349 m dpl dan
Perhutani Bojonegoro dan Madiun. Lokasi penelitian di
RPH Sukun diantara keduanya (283,5 m dpl) (Tabel 1).
Bojonegoro dilakukan di RPH Sukun dan RPH Gondang,
Lokasi pengamatan di RPH Klangon merupakan hutan
sedangkan di Madiun, dilakukan di RPH Klangon. Secara
lindung yang tanamannya tidak pernah ditebang. Di
administratif, RPH Klangon termasuk wilayah desa Pajaran,
kawasan ini lingkar batang tanaman jati mencapai lebih dari
kabupaten Madiun, RPH Sukun termasuk desa
100 cm, menunjukkan tanaman telah berusia puluhan
Sambongrejo, dan RPH Gondang termasuk desa Bethet,
tahun, sehingga kemungkinan besar asal persebaran D.
keduanya di kabupaten Bojonegoro. Dari dari arah Madiun
capra di kawasan ini dimulai dari RPH Klangon yang
ke Bojonegoro secara berurutan akan ditemui RPH
kemudian menyebar ke RPH Sukun dan RPH Gondang
Klangon, Sukun, Gondang. Posisi hutan jati ini terletak di
yang merupakan hutan produksi dengan umur pohon jati
perbatasan jalur Madiun-Bojonegoro, yakni: di kanan kiri
lebih muda.
jalur tersebut. Titik pengamatan berada di kanan-kiri jalan
Beberapa individu D. capra yang ditemukan di lokasi
dan masuk ke dalam sampai bagian terluar hutan. Lokasi
penelitian mulai berbunga. Pengertian anggrek berbunga
pengamatan di RPH Klangon merupakan daerah hutan
dalam penelitian ini adalah dijumpainya kuncup bunga,
lindung jati, sedangkan RPH Sukun dan RPH Gondang
bunga mekar atau buah. Hal ini menunjukkan bahwa pada
merupakan hutan jati produksi, artinya hutan ini akan
akhir musim kemarau anggrek ini mulai memasuki fase
ditebang dan digantikan tanaman jati baru. Selain itu,
generatif dan anggrek ini memiliki masa berbunga antara
sebagai data pembanding juga dilakukan pengamatan di
bulan Agustus sampai Desember. Gambar 2 menunjukkan
KPH Dungus, kabupaten Madiun yang berjarak sekitar 50
persentase anggrek berbunga dan tidak berbunga di lokasi
km dari RPH Klangon.
penelitian. Persentase anggrek berbunga dan tidak
Metode yang dilakukan dengan cara mengghitung
berbunga di RPH Klangon hampir seimbang. Di RPH
jumlah individu D. capra yang tumbuh epifit pada pohon
Gondang dan Sukun persentase anggrek yang berbunga
inang. Data pendukung yang diamati yaitu: zonasi (letak
dibandingkan dengan yang tidak berbunga (83,45%)
anggrek epifit pada pohon inang), suhu udara, kelembaban
selisihnya cukup besar. Di RPH Klangon (> 40%) yang
udara, intensitas cahaya, ketebalan substrat dan ketinggian
merupakan kawasan hutan lindung memiliki persentase
tempat serta posisi lintang.
anggrek berbunga lebih besar dari pada RPH Gondang dan
Penentuan zonasi dengan menggunakan metode
Sukun.
Johanson yang membagi pohon inang menjadi 5 zona
yaitu: Zona 1, daerah yang meliputi pangkal pohon (1/3 Tabel 1. Jumlah individu D. capra di tiga lokasi penelitian.
tinggi pohon); Zona 2, daerah yang meliputi batang utama
pohon hingga percabangan pertama (2/3 bagian atas Jumlah anggrek
Lokasi
batang utama); Zona 3, daerah yang meliputi bagian basal Berbunga Tidak berbunga Total
percabangan (1/3 bagian dari total panjang cabang); RPH Klangon 21 24 45
Zona 4, daerah yang meliputi bagian tengah percabangan RPH Sukun 24 121 145
(1/3 bagian tengah berikutnya); Zona 5 , daerah terluar dari RPH Gondang 18 40 58
percabangan (1/3 bagian luar percabangannya) Total 63 185 248
(Puspitaningtyas dan Fatimah, 1999).
Tabel 2. Rerata suhu udara, kelembaban udara dan ketinggian di
tiga lokasi penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketinggian
Lokasi Suhu udara (°C) RH (%)
(m dpl)
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 248 individu D.
RPH Klangon 349 31 46
capra yang terdapat di RPH Klangon, Sukun, dan Gondang RPH Sukun 283,5 31,67 49,5
(Tabel 1). Pada penelitian ini, D. capra tidak ditemukan di RPH Gondang 170,75 32,63 57,75
RPH Dungus. Hal ini mungkin disebabkan jaraknya yang
terlalu jauh dari ketiga lokasi yang lain sehingga persebaran
anggrek ini tidak sampai ke RPH Dungus.
YULIA dan RUSEANI – Dendrobium capra di Madiun dan Bojonegoro 193
Tabel 3. Pohon inang D. capra di tiga lokasi penelitian. pohon inang bagi D. capra yaitu kulit kayunya kering dan
tidak lembab. Di samping itu tajuk pohon jati tidak terlalu
Lokasi Pohon inang Jumlah Jumlah D. capra rapat dan menggugurkan daunnya pada musim kemarau
RPH Klangon jati 12 45 sehingga memudahkan D. capra untuk mendapatkan sinar
RPH Sukun jati 40 142 matahari secara langsung.
bungur 3 3 Substrat humus tempat D. capra ini menempel pada
RPH Gondang jati 28 58 kulit batang tidak terlihat, sehingga perakaran anggrek ini
tidak tertutup oleh humus. Intensitas cahaya yang diterima
anggrek ini digolongkan terbuka yang berarti tidak terhalang
90,00% 83,45%
oleh naungan secara langsung. Hal tersebut menunjukkan
80,00%
68,97% anggrek ini menyukai kondisi kering, kelembaban rendah di
70,00% tempatnya menempel dan menyukai sinar matahari dengan
60,00% 53,33% intensitas tinggi. Hal ini didukung kenyataan bahwa D.
46,67% capra paling banyak dijumpai di zona 5 dan paling sedikit di
50,00%
40,00%
zona 1 (Gambar 3.). Zona 5 merupakan bagian terluar
31,03%
pohon inang, sehingga di bagian ini anggrek menerima
30,00%
16,56% intensitas cahaya dalam jumlah paling banyak dan
20,00% kelembaban relatif rendah sehingga kondisinya cenderung
10,00% kering. Semakin ke dalam intensitas cahaya yang diterima
0,00% semakin kecil karena terhalang oleh tajuk pohon, dan
RPH Klongan RPH Sukun RPH Gondang kelembaban relatif tinggi. Berdasarkan jumlah D. capra
yang berada pada zonasi pohon inang, dapat dikatakan
% anggrek berbunga % anggrek tidak berbunga bahwa anggrek ini menyukai tempat-tempat yang terang
Gambar 2. Keadaan anggrek D. capra di lokasi penelitian terkena sinar matahari langsung, dan tahan terhadap
kondisi kering.
160 151
ABSTRACT
Inventory and exploration series in Wawonii island have been conducted since 2003-2006, to discover of its biodiversity. The thirds time of
field work (2005) was plotted in Waworete Mountain, where located at the center of this island, include in East Wawonii District, Konawe
Regency, Southeast Sulawesi Province, at the geographic positions of S 04º 06´ 843”, E 123º 08´ 953”. The forest still in undisturbs
condition, so that, it need to be conserved. Approximately 208 plant species were identified, several species of them are new information.
Anoectochilus setaceus (Bl.) Lindl., Diplocaulobium brevicole J.J.Sm. (Orchidaceae), Cyrtochloa cf. toppingii (Gamble) S. Dransf.
(Poaceae) are a new record for Sulawesi and Indonesia respectively.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Pulau Wawonii merupakan salah satu pulau kecil yang Waktu dan tempat penelitian
luasnya sekitar 1000 km² (Anonim, 2008), terletak di bagian Kegiatan eksplorasi dilakukan pada tanggal 24 Agustus
tenggara kota Kendari, termasuk dalam kabupaten s.d. 6 September 2005 di hutan pegunungan Waworete
Konawe, propinsi Sulawesi Tenggara. Pulau ini dapat (Gambar 1.), pada lokasi-lokasi dengan titik koordinat
dicapai dengan kapal cepat atau kapal kayu sekitar 1,5-3 geografi: 04º 07´ 882” LS-123º 09´ 443” BT, 04º 07´ 509”
jam dari kota Kendari di daratan pulau Sulawesi ke Langara LS-123º 08´ 557” BT, dan 04º 06´ 843” LS-123º 08´ 953”
di pulau Wawonii. Wawonii secara etimologis berasal dari BT, terutama di hutan Polara dan Kali Mosolo pada
kata wawo yang berarti di atas, dan nii yang berarti kelapa, ketinggian 300-850 m dpl. Perjalanan dari Langara ke
sehingga Wawonii artinya "di atas kelapa" atau secara Munse ditempuh dalam waktu 3 jam dengan perahu kayu.
harfiah berarti daratan/pulau yang ditumbuhi pohon kelapa. Untuk mencapai kecamatan Wawonii Timur, terutama desa
Sebelum tahun 2004 secara administratif pulau ini terbagi Munse sangat tergantung dari keadaan iklim, karena harus
menjadi 2 kecamatan, namun sejak Juli 2005 dimekarkan melalui laut Banda yang merupakan laut lepas, dan tidak
menjadi 5 kecamatan, yaitu: Wawonii Utara, Wawonii Timur, terhalang oleh daratan lain sehingga pengaruh angin terasa
Wawonii Selatan, Wawonii Barat, dan Wawonii Tengah. sekali. Waktu yang baik untuk berkunjung ke Munse sekitar
Pemilihan pulau Wawonii sebagai lokasi penelitian bulan September-April, saat musim barat sehingga laut
karena tidak adanya informasi keanekaragaman flora pulau menjadi teduh dan ombak tidak begitu besar. Ombak besar
ini (Rugayah dkk., 2003), serta tidak adanya data terjadi pada musim timur yaitu: bulan Mei-Agustus, dimana
keanekaragaman hewan dan mikrobia (Rugayah dkk., perjalanan laut menjadi berbahaya. Perjalanan dari Munse
2004). Untuk mendapatkan data dasar tersebut ”Tim ke pegunungan Waworete membutuhkan waktu 2 hari
Keanekaragaman dan Pengungkapan Potensi Biota di melaui desa Tekonia, Polara dan Kekea. Lokasinya yang
pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara” dari Pusat Penelitian terpencil menyebabkan kawasan ini relatif belum banyak
Biologi, LIPI telah melakukan penelitian di pulau ini sejak dijelajahi.
tahun 2003. Pada tahun 2005 perjalanan eksplorasi ke
pulau Wawonii difokuskan di kecamatan Wawonii Timur Cara kerja
tepatnya di pegunungan Waworete. Penelitian ini bertujuan Koleksi spesimen dilakukan dengan metode jelajah,
antara lain untuk mengungkap keanekaragaman tumbuhan yakni kolektor menjelajahi setiap sudut hutan (pada lokasi
di hutan pegunungan Waworete. yang sama dapat dilakukan lebih dari sekali), untuk mengo-
leksi semua jenis tumbuhan di hutan tersebut (Rugayah
dkk., 2004). Koleksi yang dikumpulkan berupa spesimen
tumbuhan yang sedang berbunga atau berbuah dan
♥ Alamat korespondensi: diawetkan dalam alkohol 70%, lalu dikirim ke Herbarium
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911. Bogoriense untuk diproses lebih lanjut. Tumbuhan yang
Tel. +62-251-324616, Fax. +62-251-336538
e-mail: narti_supeno@yahoo.com tidak sedang berbunga/berbuah dicatat untuk melengkapi
SUNARTI dkk. – Keragaman tumbuhan di pegunungan Waworete 195
Keadaan hutan
Hutan Waworete mempunyai
topografi yang bergelombang
s.d. bergunung dengan
kemiringan berkisar 30-45%.
Menurut Anonim (1980) curah
hujannya 2000-2500 mm, jumlah
bulan kering 3-4, dengan
temperatur rata-rata pada bulan
terdingin > 20ºC dan menurut
Schmidt & Ferguson (1951)
termasuk tipe iklim C. Secara
umum hutan di wilayah ini
didominasi oleh
Kjellbergiodendron celebicum
(Koord.) Merrill (tambeuwa),
Syzygium sp.1 (sisio), Syzygium
sp.3 (anaholea), Podocarpus
neriifolius D. Don (sisio bula),
Garcinia celebica L. (dongkala),
Gambar 1. Peta Propinsi Sulawesi Tenggara dan lokasi eksplorasi di Pegunungan Waworete, Pinus sp., dan Knema sp. (keu
Pulau Wawonii. Keterangan: kotak hitam adalah lokasi eksplorasi. rea). Jenis-jenis lain yang ada di
hutan ini antara lain Arenga
pinnata (Wurmb.) Merr.
(kowala), Artocarpus glaucus
data kekayaan jenis. Kegiatan pasca eksplorasi mencakup Bl., Canarium sp., Dysoxylum sp., Elaeocarpus sp., dan
pengeringan, pengindentifikasian, pembuatan label, Horsfieldia sp.
pengeplakan, penyusunan data base, preservasi, dan Tumbuhan bawah yang umum dijumpai antara lain
penyimpanan dalam koleksi. Pengidentifikasian dilakukan Psychotria valetonii Hochr., Ardisia humilis Vahl. (bolo-
dengan mencocokkan spesimen tersebut dengan spesimen bolo), Pandanus lauterbachii K. Schum. & Warb. ex Warb.
herbarium yang telah teridentifikasi, serta menggunakan (tole balula), Freycinetia scandens Daudich., Calamus sp.,
buku flora antara lain: Whitmore dkk. (1989), Backer dan Didymocarpus crinitus Jacq., Polyscias sp.,
Bakhuizen van den Brink (1963, 1964, 1965), dan Comber Pseuderanthemum sp., Mackinlaya celebica (Harms.)
(1990). Untuk menentukan spesimen tersebut dapat Philipson, Medinilla sp.1, Gironniera rhamnifolia Bl.
dimasukkan dalam kriteria endemik, rekaman baru atau (Kokou), Labisia pumila (Bl.) F. Vill., Chionanthus
takson baru maka dilakukan analisis dengan menggunakan cordulatus Kds., sedangkan jenis-jenis paku antara lain
pustaka-pustaka Flora Malesiana, IUCN Red Data Book, Angioptreris evecta (G. Forst.) Hoffm., Anthrophyum
Kew Bulletin, Blumea, Reinwardtia, dan lain-lain. reticulatum (Forst.) Kaulf., Selaginella sp.1, Lindsaea sp.1,
Cyathea spp., dan Trichomanes spp. Jenis-jenis tumbuhan
pada wilayah jelajah diperlihatkan pada uraian di masing-
HASIL DAN PEMBAHASAN masing lokasi eksplorasi di bawah ini:
Nees, Pandanus lauterbachii K. Schum. & Warb. ex Warb. tanah yaitu: Phaius callosus yang bunganya kuning keputih-
(tole balula). Dua jenis anggrek yang ditemukan pada putihan dan Neuwiedia veratiflora juga dijumpai pada
ketinggian tersebut adalah Calanthe angustifolia (Bl.) Lindl. ketinggian 450 m dpl.
dengan warna bunga putih dan panjang perbungaannya 8 Pada ketinggian 850 m dpl. semua pohon ditumbuhi
cm dan Liparis sp.1 dengan warna bunga coklat-merah dan dengan lumut yang sangat tebal. Adapun jenis-jenis pohon
panjang perbungaan 25 cm. yang mendominasi tempat ini antara lain: sisio bula
Pada ketinggian sekitar 750 m dpl. dijumpai sejenis (Podocarpus neriifolius), pengupa dahu (Syzygium sp.2.),
pandan merambat yaitu: Freycinetia scandens Daudich. Anaholea (Syzygium sp3.), kuma batu (Diospyros sp.2.),
yang sedang berbuah, letak buahnya di ujung, berwarna bitai (Callophyllum sp.1.), ogu (Dacrydium sp.), dan tira
merah. Bambu merambat dari jenis Dinochloa sipitangensis pampak (Prunus grisea), sedangkan pada ketinggian 500 m
dijumpai pula di lokasi ini. Jenis-jenis lain yang dijumpai dpl. antara lain: Ganua sp., Prunus grisea, Gordonia sp.,
pada ketinggian sekitar 750 m antara lain: Euonymus Garcinia celebica, Myristica sp. (Purwaningsih dan Hidayat
javanicus Bl., Polyalthia celebica Miq., Cyrtandra picta Bl., (2005).
Ficus pubinervis Bl., Knema tomentella (Miq.) Warb.,
Syzygium pycnanthum Merr. & Perry. Jenis-jenis yang ada Penelaahan hasil eksplorasi
di hutan Polara dan dijumpai pula di hutan Kali Mosolo Dari hasil eksplorasi terkumpul 91 nomor koleksi
antara lain Ardisia humilis Vahl., Labisia pumila (Bl.) F. Vill., material herbarium, 11 nomor di antaranya berupa koleksi
Pseuderanthemum sp. anggrek hidup untuk ditanam di Kebun Raya Bogor.
Pada ketinggian sekitar 315 m dpl. terdapat hutan rawa, Ditemukan beberapa rekaman baru dan jenis baru, tetapi
pada saat penelitian dalam keadaan kering. Di tepi rawa jumlah dan koleksinya kurang memuaskan karena
ditemukan sejenis bambu merambat yang sedang waktunya kurang lama dan musim kurang tepat. Di bagian
berbunga, dengan panjang perbungaan 1,5 m, atas pegunungan banyak ditemukan pohon-pohon yang
teridentifikasi sebagai Dinochloa cf. cordata S. Dransf.. Di tidak berbunga dan tidak berbuah. Hal ini kemungkinan
samping itu ditemukan juga Phaleria capitata Jack. yang disebabkan kurangnya cahaya matahari yang dapat
sedang berbuah, anggrek Liparis sp.2, serta epifit dari suku mempengaruhi produksi organ generatif, sehingga banyak
Loranthaceae (Dendrophtoe cf. falcata (L.f.) Ettingsh.). yang tidak berbunga ataupun berbuah. Dari hasil identifikasi
Pada ketinggian 100-200 m dpl. sudah mulai memasuki tumbuhan yang dijumpai di pegunungan Waworete tercatat
wilayah hutan produksi. 208 jenis yang tergolong dalam 142 marga dan 72 suku,
tetapi banyak yang belum teridentifikasi sampai ke tingkat
Hutan Kali Mosolo jenis karena spesimennya dalam keadaan steril (Tabel 1.).
Jenis-jenis tumbuhan yang dijumpai di hutan Kali Dari Tabel 2. diketahui bahwa jumlah jenis, marga dan
Mosolo pada ketinggian 600 m dpl. antara lain Impatiens suku di hutan Waworete hampir sama dengan di Suaka
platypetala Lindl. yang berbunga putih dan Nepenthes cf. Margasatwa (SM) Buton Utara, pulau Buton, tetapi sangat
maxima dengan panjang kantong 8,5 cm dan berwarna berbeda dalam jenisnya, hanya sekitar 20 jenis yang sama.
hijau kemerah-merahan. Pada ketinggian 500 m dpl. Jenis-jenis yang ada di kedua lokasi tersebut adalah
dijumpai Nepenthes dari jenis lain yaitu: N. cf. mirabilis Arenga pinnata (Wurmb.) Merr., Artocarpus elasticus
(Lour.) Druce dengan kantong berwarna merah bata, Reinw. ex Bl., Buchanania arborescens (Bl.) Bl., Drypetes
panjangnya sekitar 12,5 cm. Selain itu dijumpai pula dua minahassae (Boerl. & Kds.) Pax & K. Hoffm., Garcinia
jenis anggrek yaitu: Dendrobium sp.2. berdaun seperti celebica L., Gnetum gnemon L., Horsfieldia lancifolia de
bambu dan bunganya berwarna merah marun; serta Wilde, Kjellbergiodendron celebicum (Koord.) Merrill,
Anoectochilus setaceus Bl. berbunga warna putih yang Nageia wallichiana (Presl.) O.Kunze, Palaquium
merupakan rekaman baru di tempat ini, dari eksplorasi obtusifolium Burck, Podocarpus neriifolius D.Don, Polyalthia
sebelumnya belum pernah dijumpai (Sulistiarini dkk., 2003; celebica Miq., P. lateriflora (Bl.) King, Santiria laevigata Bl.,
Sulistiarini dkk., 2004). Selain itu ditemukan jambu hutan Syzygium littorale (Bl.) Amsh., S. zeylanicum (L.) DC.,
(Ixora sp.) yang buahnya bulat, berwarna merah. Erytroxylum ecarinatum Burck., Phaleria capitata Jack.,
Pada ketinggian 490 m dpl. ditemukan pohon kecil Impatiens platypetala Lindl., dan Asplenium nidus L.
mangupa dahu bula (Syzygium littorale (Bl.) Amsh.) yang Adanya perbedaan ini kemungkinan karena perbedaan
tingginya sekitar 5 m dengan bunga berwarna putih. Jenis lokasi dan ketinggian tempat, SM Buton Utara terletak pada
ini jarang ditemukan di hutan Waworete. Ditemukan pula ketinggian 100-330 m dpl., sedangkan hutan Waworete
dua jenis anggrek tanah, yaitu: Phaius callosus (Bl.) Lindl. terletak pada ketinggian 300-850 m dpl.
yang warna bunganya bagus coklat kuning dan Liparis sp.1. Lokasi eksplorasi ke pulau Wawonii, khususnya ke
Jenis-jenis tumbuhan lain yang sedang berbunga adalah Waworete, merupakan lokasi yang baru bagi Herbarium
Hypolytrum nemorum (Vahl.) Spreng var. nemorum, dan Bogoriense dan Kebun Raya Bogor, sehingga kemungkinan
yang sedang berbuah antara lain Psychotria valetonii masih dapat dijumpai banyak rekaman baru tingkat marga
Hochr. (bondulu), Lasianthus laevigatus Bl., Labisia pumila, atau jenis. Seperti dari perjalanan kali ini, dua dari sekitar
Ardisia humilis, dan Mapania cuspidata (Miq.) Vitt. var. 20 jenis anggrek yang ditemukan merupakan rekaman baru
angustifolia. untuk Sulawesi, yaitu: Diplocaulobium brevicole J.J. Sm.
Di lereng hutan dengan ketinggian 485 m dpl. dijumpai
jenis bambu merambat yang sedang berbunga yaitu: Tabel 2. Perbandingan antara jumlah suku, marga dan jenis
Cyrtochloa cf. toppingii (Gamble) S. Dransf.. Dijumpai pula tumbuhan di Hutan Waworete dan S.M. Buton Utara (Uji dan
jenis anggrek tanah yang telah berbunga yaitu: Neuwiedia Sujadi, 2003, 2004).
veratriflora Bl. Jenis-jenis dari suku Rubiaceae banyak yang
Jumlah/Lokasi Hutan Waworete S.M. Buton Utara
sedang berbunga seperti Lasianthus sp., Urophyllum
Suku 72 74
arboreum (Reinw. ex Bl.) Korth., Pseuderanthemum sp., Marga 142 146
Praravinia loconensis Brem. Jenis-jenis yang sedang Jenis 208 193
berbuah antara lain: Randia sp., Chionanthus cordulatus
Kds., Horsfieldia lancifolia de Wilde. Dua jenis anggrek
SUNARTI dkk. – Keragaman tumbuhan di pegunungan Waworete 197
Tabel 1 (Lanjutan). Jenis tumbuhan di pegunungan Waworete, pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.
Suku Jenis (dan nama daerah)
Vittariaceae Anthrophyum latifolium Bl., Anthrophyum reticulatum (Forst.) Kaulf, Vittaria sp.
Zingiberaceae Alpinia soscotilis Val.
dan Anoectochilus setaceus (Sulistiarini dkk., 2007). DAFTAR PUSTAKA
Menurut Blume (1825) jenis yang disebut terakhir ini
berasal dari Jawa, dan Comber (1990) mengatakan bahwa Anonim. 1980. Bio-Iklim di Kawasan Kepulauan Indonesia. Peta diterbitkan
persebarannya dari ketinggian 1000-1800 m dpl. Hal oleh Lembaga Perancis Pondichery India. Kedutaan Besar Perancis di
Indonesia.
menarik lainnya adalah dijumpainya 3 jenis bambu, salah Anonim. 1992. Laporan Pemetaan Batas Definitif/Kawasan Hutan Kompleks
satu di antaranya yaitu: Cyrtochloa cf. toppingii menurut Wawonii, di Kabupaten Dati II Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara.
Widjaja (2005, komunikasi pribadi) merupakan rekaman Kendari: Sub Balai Inventarisasi dan Pemetaan Hutan Kendari, Kantor
Wilayah Departemen Kehutanan, Propinsi Sulawesi Tenggara.
baru dan marga baru di Indonesia. Sebelumnya jenis ini Anonim. 2008. Tempat Wisata dan Aktivitas pulau Wawonii. http://sulawesi-
hanya di temukan di Filipina (Dransfield, 1998). Dijumpai ecotours.com/Indwawonii.htm [17/4/2008
pula 5 jenis Pandanaceae, tiga di antaranya termasuk Backer, C.A. dan R.J. Bakhuizen v.d. Brink Jr. 1963. Flora of Java. vol.1.
dalam marga Pandanus (Pandanus lauterbachii K. Schum Groningen: N.V.P. Noordhoff.
Backer, C.A. dan R.J. Bakhuizen v.d. Brink Jr. 1964. Flora of Java. vol.2.
& Warb. ex Warb., P. polycephalus Lamk., dan P. beccarii Groningen: N.V.P. Noordhoff.
Solms) dan 2 jenis dari marga Freycinetia (Freycinetia Backer, C.A. dan R.J. Bakhuizen v.d. Brink Jr. 1965. Flora of Java. vol.3.
scandens Daudich. dan F. minahassae Koord.) yang Groningen: N.V.P. Noordhoff.
Blume, C.L. 1825. Jaavansche Orchideen. Buitenzorg: Bijdragen Tot De
sedang berbuah. Sekitar 42 jenis paku dijumpai di daerah Flora van Nederlansch Indie.
ini, 11 jenis di antaranya hanya di ditemukan di Waworete, Comber, J.B. 1990. Orchids of Java. Kew: Bentham-Moxon Trust, Royal
yaitu: Asplenium belangeri (Bory) Kze, Diplazium Botanic Gardens, Kew, UK.
subserratum Moore, Elaphoglossum callifolium (Bl.) Moore, Dransfield, S. 1998. Cyrtochloa, a new of bamboo (Gramineae-
Bambusoideae) from Philippines. Kew Bulletin 53 (4): 861.
Heterogonium sp., Lecanopteris carnosa (Reinw.) Bl., Purwaningsih dan A. Hidayat. 2005. Penelitian Vegetasi Hutan Primer di
Lomagramma lomariodes (Bl.) J. Sm., Humata repens (L.f.) Gunung Waworete, pulau Wawonii-Sulawesi Tenggara. Dalam: Arief,
Diels, Ctenopteris latifolium, Helminthostachys zeylanica A.J., E.B. Walujo, Mulayadi dan H. Julistiono (ed.). Laporan Teknik
2005. Bogor: Proyek Inventarisasi dan Karakterisasi Sumber Daya
(L.) Hook., Phymatodes nigrescens, dan Pyrrosia Hayati, Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
nummulariifolia (Swartz) Ching. Rugayah, M. Rahayu, D. Sulistiarini, Sunardi, dan M. Amir. 2003.
Keanekaragaman flora non anggrek di pulau Wawonii. Dalam: Jamal,
Y., Rugayah, T. Khusniati, S. Sulandari, S. Kahono, T. Partomihardjo
dan H. Simbolon (ed.). Laporan Teknik 2003. Bogor: Proyek
KESIMPULAN Inventarisasi dan Karakterisasi Sumber Daya Hayati, Pusat Penelitian
Biologi, LIPI.
Rugayah, E.A. Widjaja, dan Praptiwi. 2004. Pedoman Pengumpulan Data
Di pegunungan Waworete tercatat 208 jenis tumbuhan, Keanekaragaman Flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
dua di antaranya merupakan rekaman baru untuk Sulawesi Rugayah, S. Sunarti, Purwaningsih, J.S. Rahajoe, dan Suhardjono. 2004.
(Diplocaulobium brevicole dan Anoectochilus setaceus) dan Kajian flora tumbuhan tinggi non anggrek di pulau Wawonii (Lampeapi,
Wawolaa, Lansilowo). Dalam: Rugayah, H. Imamudin, S. Sulandari, S.
satu merupakan marga dan koleksi baru untuk Indonesia Kahono, T. Partomihardjo, H. Simbolon, Erniwati, Y. Jamal dan Sosiani
(Cyrtochloa cf. toppingii). Keadaan hutan Waworete masih (ed.). Laporan Teknik 2004. Bogor: Proyek Inventarisasi dan
sangat bagus, sehingga perlu terus dijaga kelestariannya Karakterisasi Sumber Daya Hayati, Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and
untuk menjaga keanekaragaman hayati dan menjamin dry period ratios for Indonesia with western New Guinea.
kebutuhan air bersih masyarakat di sekitarnya. Verhandelingen 42
Sulistiarini, D., Rugayah, M. Rahayu dan Sunardi. 2003. Jenis-jenis anggrek
dari pulau Wawonii. Dalam: Jamal, Y., Rugayah, T. Khusniati, S.
Sulandari, S. Kahono, T. Partomihardjo dan H. Simbolon (ed.). Laporan
UCAPAN TERIMAKASIH Teknik 2003. Bogor: Proyek Inventarisasi dan Karakterisasi Sumber
Daya Hayati, Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
Sulistiarini, D., Rugayah, M. Rahayu, S. Sunarti, Sunardi dan A. Hidayat.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Kepala 2004. Kajian flora anggrek dari pulau Wawonii. Dalam: Rugayah, H.
Pusat Penelitian Biologi, LIPI dan Kepala Proyek Imamudin, S. Sulandari, S. Kahono, T. Partomihardjo, H. Simbolon,
Inventarisasi dan Karakterisasi Flora Sumber Daya Hayati, Erniwati, Y. Jamal dan Sosiani (ed.). Laporan Teknik 2004. Bogor:
Proyek Inventarisasi dan Karakterisasi Sumber Daya Hayati, Pusat
LIPI yang telah memberikan sarana dan prasarana untuk Penelitian Biologi, LIPI.
melaksanakan perjalanan ke pulau Wawonii, terutama ke Sulistiarini, D., S. Sunarti dan H. Wiriadinata. 2007. Rekaman baru anggrek
pegunungan Waworete; serta kepada Kepala BARISDA dari pulau Wawonii. Biodiversitas 8 (2): 83-87.
Uji, T. dan A. Sujadi. 2003. Keanekaragaman dan Potensi Flora di Kawasan
dan Dinas Kehutanan Kendari serta Camat Wawonii Timur Suaka Margasatwa Buton Utara-Sulawesi Tenggara. Dalam: Jamal, Y.,
beserta karyawannya yang telah memberikan informasi Rugayah, T. Khusniati, S. Sulandari, S. Kahono, T. Partomihardjo dan
mengenai perjalanan ke lokasi tersebut. Ucapan terima H. Simbolon (ed.). Laporan Teknik 2003. Bogor: Proyek Inventarisasi
kasih juga disampaikan kepada mahasiswa Universitas dan Karakterisasi Sumber Daya Hayati, Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
Uji, T. dan A. Sujadi. 2004. Keanekaragaman dan potensi flora di kawasan
Haluoleo, Kendari dan masyarakat desa Munse dan Munse Suaka Margasatwa Buton Utara. Dalam: Rugayah, H. Imamudin, S.
Indah yang telah membantu kelancaran pelaksanaan Sulandari, S. Kahono, T. Partomihardjo, H. Simbolon, Erniwati, Y. Jamal
perjalanan tersebut. dan Sosiani (ed.). Laporan Teknik 2004. Bogor: Proyek Inventarisasi
dan Karakterisasi Sumber Daya Hayati, Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
Whitmore, T.C., I.G.M. Tantra, dan U. Sutisna. 1989. Tree Flora of
Indonesia; Checklist for Sulawesi. Bogor: Agency for Forestry Research
and Development, Forest Research and Development Centre.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 9, Nomor 3 Juli 2008
Halaman: 199-203
ABSTRACT
The study aimed to gain information about tree species domination and association was conducted in lowland tropical forest of Tangkoko
Nature Reserve. The tree with ≥10 cm dbh censused with quarter method. The result showed that Palaquium sp. having the highest
domination species with Index Importance Value 21.05, as well as Cananga odorata Hook.f. & Thoms. and Dracontomelon dao (Blanco)
Merril & Rolfe. There was one couple species that had positive association among seven main species composition in area study, that was
C. odorata with kayu kapur. Generally, the other couples species had negative association, so there was no tolerance to exist in the same
area and no mutualism interrelationship especially in habitat grouping.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: Palaquium sp., domination, species association, Tangkoko Nature Reserve.
Tabel 1. Jenis-jenis pohon dominan di hutan dataran rendah CA Tangkoko. Steenis (1977), melaporkan bahwa jenis
ini termasuk ke dalam jenis-jenis
Nama ilmiah KR DR FR INP Bignoniaceae yang dibudidayakan secara
luas sebagai tanaman hias dan peneduh
Palaquium sp. 7 7,34979 6,70241 21,0522
Cananga odorata Hook. f. & Thoms. 5,25 6,44798 4,28954 15,9875 di kawasan Malesia hingga ketinggian
Dracontomelon dao (Blanco) Merril & Rolfe 3 7,56397 3,21716 13,7811 1000 m dpl. Di samping itu, jenis ini
Spathodea campanulata Beauv. 5,25 4,19344 4,28954 13,733 berbunga dan berbuah sepanjang tahun
Koordersiodendron pinnatum Merril 3,75 5,65889 3,75335 13,1622 sehingga produksi biji pun melimpah. Biji
Leea indica (Burm.f.) Merr. 4,75 3,35926 4,28954 12,3988 S. campanulata yang bersayap
‘kayu kapur’ 4 2,96472 3,48525 10,45 memudahkan proses pemencaran.
Karakter-karakter ini menyebabkan S.
campanulata dapat dengan mudah
Tabel 2. Hasil perhitungan asosiasi antara tujuh jenis pohon dominan di hutan dataran ditemukan di berbagai lokasi.
rendah CA Tangkoko.
Boer et al. (1995), menyatakan bahwa
2 2 2
K. pinnatum merupakan tumbuhan khas
Jenis X t (1%) X t (5%) X t Tipe asosiasi E(a) Indonesia yang tersebar di Sulawesi,
ns
Palaquium sp. dengan C. odorata 2,407 1,678 0,48 td 4,16 Kalimantan, Maluku dan Bagian Utara
ns
Palaquium sp. dengan D. dao 2,407 1,678 0,38 td 3,12 Irian Jaya. Di Sulawesi jenis ini dikenal
ns
Palaquium sp. dengan S. campanulata 2,407 1,678 0,40 td 4 dengan nama ‘kayu bugis’ atau ‘bugis’,
ns
Palaquium sp. dengan K. pinnatum 2,407 1,678 1,03 td 3,64 namun secara umum lebih dikenal
ns
Palaquium sp. dengan L. indica 2,407 1,678 0,01 td 3,84
Palaquium sp. dengan ‘‘kayu kapur’’ 2,407 1,678 2,60
*
- 3,38
dengan sebutan ‘ranggu’. Heyne (1987),
C. odorata dengan D. dao 2,407 1,678 0,60
ns
td 1,92 melaporkan bahwa di Sulawesi Utara kulit
C. odorata dengan S. campanulata 2,407 1,678 0,11
ns
td 2,56 batang keringnya dapat digunakan
C. odorata dengan K. pinnatum 2,407 1,678 0,95
ns
td 2,24 sebagai pewarna gelap dalam pembuatan
C. odorata dengan L. indica 2,407 1,678 1,35** - 2,56 gula aren dan kayunya untuk bahan
C. odorata dengan ‘‘kayu kapur’’ 2,407 1,678 2,43* + 2,08 bangunan. Boer et al. (1995),
ns
D. dao dengan S. campanulata 2,407 1,678 0,00 td 1,92 menambahkan bahwa getah dari
D. dao dengan K. pinnatum 2,407 1,678 2,22** - 1,68 batangnya dapat digunakan untuk
ns
D. dao dengan L. indica 2,407 1,678 0,00 td 2,04
D. dao dengan ‘‘kayu kapur’’ 2,407 1,678 2,04** - 1,56
pengobatan tradisional namun tidak
S. campanulata dengan K. pinnatum 2,407 1,678 0,95
ns
td 2,24 dijelaskan secara rinci sebagai obat apa.
ns
S. campanulata dengan L.indica 2,407 1,678 1,15 td 2,56
ns
S. campanulata dengan ‘kayu kapur’ 2,407 1,678 0,77 td 2,08 Asosiasi di antara jenis-jenis penyusun
ns
K. pinnatum dengan L. indica 2,407 1,678 0,95 td 2,24 utama
ns
K. pinnatum dengan ‘kayu kapur’ 2,407 1,678 0,63 td 1,95 Hasil penghitungan INP diperoleh 7
L. indica dengan ‘kayu kapur’ 2,407 1,678 2,85* - 2,08
+: -: jenis pohon dominan atau yang memiliki
Keterangan: asosiasi positif, asosiasi negatif, *: Berbeda nyata pada taraf uji 1%, **:
Berbeda nyata pada taraf uji 5%, td: Tidak dihitung, ns: Tidak berbeda nyata.
INP ≥10% (Tabel 1). Hasil perhitungan
asosiasi di antara 7 jenis tersebut
menunjukkan bahwa peluang asosiasi
positif sangat kecil dibandingkan dengan
banyak digunakan sebagai pewangi ataupun sarana dalam peluang asosiasi negatif. Begitu juga untuk pasangan jenis
upacara agama di Bali dan Jawa serta sebagai obat yang berasosiasi tidak jelas sangat banyak. Hal tersebut
alternatif untuk penyakit malaria, asma dan gatal-gatal. Di disebabkan banyaknya pasangan jenis yang hasilnya tidak
daerah Sulawesi sendiri, kulit batang jenis ini dapat dapat dibandingkan pada taraf uji 1% dan 5%. Dengan
dipergunakan sebagai tali. demikian hasil ini menunjukkan bahwa pasangan jenis
Tiga jenis lainnya yaitu Dracontomelon dao (Blanco) dominan di lokasi penelitian yang memiliki kecenderungan
Merril & Rolfe (Anacardiaceae), Spathodea campanulata untuk hidup bersama lebih sedikit dibandingkan dengan
Beauv. (Bignoniaceae) dan Koordersiodendron pinnatum pasangan jenis yang tidak memiliki kecenderungan untuk
Merril (Anacardiaceae) memiliki INP yang relatif sama pada hidup bersama. Dapat dikatakan bahwa penentuan asosiasi
kisaran 13. D. dao berasal dari India bagian timur dan pulau jenis dengan pendekatan tabel Contingency 2x2 ternyata
Andaman, Myanmar, Thailand, Kamboja, Cina Selatan, belum memberikan indikasi tentang derajat asosiasi.
kawasan Malesia (Indonesia, Malaysia, Papua Nugini dan Hasil perhitungan pasangan jenis dominan menunjuk-
Filipina) serta kepulauan Pasifik (pulau Solomon) (Richter kan adanya 5 pasang jenis yang berasosiasi secara negatif,
dan Dallwitz, 2006; USDA-ARS-NGRP, 2001; Ding Hou, yaitu: (i) Palaquium sp. dengan kayu kapur, (ii) C. odorata
1978). Jenis D. dao dapat ditemukan di kawasan hutan dengan Leea indica (Burm.f.) Merr., (iii) D. dao dengan K.
dengan tanah yang berdrainase baik ataupun buruk, hutan pinnatum, (iv) D. dao dengan kayu kapur, dan (v) L. indica
sekunder dataran rendah dan di area bercurah hujan tinggi dengan kayu kapur. Pasangan jenis ini secara berturut-turut
dengan musim kering yang singkat (Ding Hou, 1978). Kulit memiliki nilai Chi-square sebesar 2,60; 1,35; 2,22; 2,04;
batang D. dao dapat dimanfaatkan dalam pengobatan 2,85 yang masing-masing diperlakukan pada taraf uji 1%;
tradisional untuk membantu mengeluarkan ari-ari pada 5%; 5%; 5%; 1% (Tabel 2). Dengan demikian pasangan
wanita bersalin (Heyne, 1987). jenis tersebut tidak menunjukkan adanya toleransi untuk
Hal yang unik terjadi pada S. campanulata yang ditemu- hidup bersama pada area yang sama atau tidak ada
kan mengelompok pada beberapa titik di lokasi penelitian. hubungan timbal balik yang saling menguntungkan,
Brickell (1999) dan Steenis (1977), mengemukakan bahwa khususnya dalam pembagian ruang hidup. Menurut
S. campanulata berasal dari Afrika Tropik yang berarti Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974); Barbour et al.
dapat menunjukkan bahwa jenis ini bukan tumbuhan (1999), selain pengaruh interaksi pada suatu komunitas,
endemik Sulawesi, namun pada kenyataannya ditemukan tiap tumbuhan saling memberi tempat hidup pada suatu
cukup melimpah di hutan dataran rendah CA Tangkoko. area dan habitat yang sama.
202 B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 3, Juli 2008, hal. 199-203
Berdasarkan kedua teknik perhitungan, indeks asosiasi Tabel 4. Nilai indeks asosiasi masing-masing pasangan jenis dan
lebih baik dibandingkan penghitungan tabel contingency. nilai tabel contingency 2x2.
Apabila kehadiran pasangan spesies yang ingin dilihat
Nilai Nilai tabel
asosiasinya rendah, maka indeks asosiasinya juga rendah.
No Jenis indeks kontingensi
Demikian halnya dengan penghitungan tabel contingency. asosiasi 2x2
Djufri (2002), menegaskan bahwa sesungguhnya yang 1. Palaquium sp. dengan C. odorata 0,10 138
paling baik adalah penggabungan kedua teknik tersebut. 2. Palaquium sp. dengan D. dao 0,23 100
Hasil perhitungan asosiasi jenis, diperoleh satu pasang 3. Palaquium sp. dengan S. campanulata 0,15 100
jenis berasosiasi positif yaitu antara C. odorata dengan 4. Palaquium sp. dengan K. pinnatum 0,11 103
kayu kapur. Pasangan jenis ini memiliki nilai Chi-square 5. Palaquium sp. dengan L. indica 0,20 100
sebesar 2,43 pada taraf uji 1%, sehingga pasangan jenis ini 6. Palaquium sp. dengan kayu kapur 0,05 100
mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama. Barbour 7. C. odorata dengan D. dao 0,07 100
8. C. odorata dengan S. campanulata 0,19 100
et. al. (1999), menyebutkan bahwa bila jenis berasosiasi
9. C. odorata dengan K. pinnatum 0,07 100
secara positif maka akan menghasilkan hubungan spasial 10. C. odorata dengan L. indica 0,06 100
positif terhadap pasangannya. Jika satu pasangan 11. C. odorata dengan kayu kapur 0,28 100
didapatkan dalam sampling, maka kemungkinan besar 12. D. dao dengan S. campanulata 0,14 100
akan ditemukan pasangan lainnya tumbuh di dekatnya. 13. D. dao dengan K. pinnatum 0,00 100
14. D. dao dengan L. indica 0,14 100
15. D. dao dengan kayu kapur 0,00 100
Matriks asosiasi di antara tujuh jenis dominan
16. S. campanulata dengan K. pinnatum 0,07 100
Berdasarkan matriks asosiasi jenis pada Tabel 3, dapat 17. S. campanulata dengan L.indica 0,25 100
dilihat bahwa sebanyak 5 pasang jenis (23,81%) 18. S. campanulata dengan kayu kapur 0,07 100
berasosiasi secara negatif dan 1 pasang jenis (4,76%) 19. K. pinnatum dengan L. indica 0,07 100
berasosiasi secara positif. Matriks asosiasi di antara 7 jenis 20. K. pinnatum dengan kayu kapur 0,07 100
dominan menunjukkan kondisi sebagai berikut: (1) 21. L. indica dengan kayu kapur 0,00 100
pasangan jenis yang memiliki frekuensi tinggi tidak selalu
menghasilkan asosiasi positif, tetapi dapat juga negatif,
sebagai contoh antara Leea indica dengan kayu kapur; (2) Tabel 5. Indeks asosiasi tujuh jenis pohon dominan di hutan
dataran rendah CA Tangkoko.
pasangan jenis yang memiliki frekuensi rendah tidak selalu
menghasilkan asosiasi negatif, tetapi juga positif sebagai No Indeks Keterangan Jumlah Persentase
contoh antara C. odorata dengan kayu kapur. Beberapa asosiasi kombinasi (%)
contoh lainnya dapat ditemukan pada Tabel 3. Berdasarkan 1 1,00-0,75 Sangat tinggi (ST) 0 0
fakta ini, penentuan asosiasi dengan tabel contingency 2 0,74-0,49 Tinggi (T) 0 0
sebaiknya dilanjutkan dengan pengujian nilai indeks 3 0,48-0,23 Rendah (R) 3 14,29
asosiasi, sehingga dapat diketahui apakah asosiasi positif 4 <0,22 Sangat rendah (SR) 18 85,71
pada tabel 3. juga menunjukkan nilai indeks asosiasi yang Jumlah 21 100,00
tinggi. Demikian juga sebaliknya untuk asosiasi negatif.
Barbour, B.M., J.K. Burk, and W.D. Pitts. 1999. Terrestrial Plant Ecology.
New York: The Benjamin/Cummings.
KURNIAWAN dkk. – Asosiasi pohon di CA Tangkoko, Bitung 203
Boer, E., J.W. Hildebrand, D.S. Alonzo and J.W. Fundter. 1995. Ludwig, J.A dan J.F. Reynolds, 1988. Statistical Ecology. 2nd ed. London:
Koordersiodendron Engl. In: Lemmens, R.H.M.J., I. Soeriangara, and Edward Arnold (Publisher ) Co. Ltd.
W.C. Wong (eds.). PROSEA 5 (2). Timber Trees: Minor Commercial Manner, H.I., and C.R. Elevitch. 2006. Cananga odorata (ylang-ylang), ver.
Timber. Bogor: Prosea Foundation. 2.1. In: Elevitch, C.R. (ed.). Species Profiles for Pacific Island
Brickell, C. 1999 (ed.). A-Z Encyclopedia of Garden Plants. Hongkong: Dai Agroforestry. Hōlualoa, Hawai‘i: Permanent Agriculture Resources
Nippon. (PAR). http://www.traditionaltree.org.
Cenderawasih, P., A.D. Masikki dan I. Muslih. 2005. Mengenal BKSDA Sulut McNaughton, S.J. and W.L. Wolf. 1992. Ekologi Umum. Edisi Kedua.
dan Konservasi. Manado: Balai Konservasi Sumber Daya Alam Penerjemah: Sunaryono P. dan Srigandono. Penyunting: Soedarsono.
Sulawesi Utara. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.
Clark, D.B., M.W. Palmer, and D.A. Clark. 1999. Edaphic factors and the Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of
landscape-scale distributions of tropical rain forest trees. Ecology 80 (8): Vegetation Ecology. Toronto: John Wiley & Sons Inc.
2662-2675. Richter, H.G. and M.J. Dallwitz. 2006. Commercial timbers: Dracontomelon
Daubenmire, R. 1968. Plant Communities: A Text Book of Plant Synecology. dao (Blanco) Merr. & Rolfe (Dao, paldao). In: Commercial Timbers:
New York: Harper & Row Publishers. Descriptions, Illustrations, Identification, and Information Retrieval.
Ding Hou. 1978. Anacardiaceae. Flora Malesiana. Series I 8 (3): 470-473. Version: 16th April 2006. http://delta-intkey.com’.
Djufri. 2002. Penentuan pola distribusi, asosiasi dan interaksi spesies Rugayah, E.A. Widjaja, dan Praptiwi. 2005. Pedoman Pengumpulan Data
tumbuhan khususnya Padang Rumput di Taman Nasional Baluran, Keanekaragaman Flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Jawa Timur. Biodiversitas 3 (1):181-188. Shukla, R.S. and P.S. Chandel. 1996. Plant Ecology and Soil Science. Ram
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Penerjemah: Badan Nagar, New Delhi: S. Chan and Company Ltd.
Litbang Kehutanan. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Soerianegara, I dan A. Indrawan. 1983. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor:
Hutchinson, T.F., R.E.J. Boerner, L.R. Iverson, S. Sutherland and E.K. Departemen Kehutanan-IPB.
Sutherland. 1999. Landscape patterns of understory composition and USDA-ARS-NGRP. 2001. Dracontomelon dao (Blanco) Merr. & Rolfe. In:
richness across a moisture and nitrogen mineralization gradient in Ohio Germplasm Resources Information Network-(GRIN) [Online Database].
(USA) Quercus forests. Plant Ecology 144: 177-189 National Germplasm Resources Laboratory, Beltsville, Maryland.
Jiao, M.S. 1996. Palaquium Blanco, Fl. Filip. 403. 1873. Flora of China 15: http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?14665.
206-207. Steenis. G.C.C.J. van 1977. Bignoniaceae. Flora Malesiana. Series I-8 (2):
Kartasubrata, J.N. Tonanon, R.H.M.J. Lemmens and R. Klassen. 1994. 185.
Palaquium Blanco. In I. Soerianegara and R.H.M.J. Lemmens (eds.). Yusuf, U.M. and V.O. Sinohin. 1999. Cananga odorata (Lamk) Hook.f &
PROSEA 5 (1). Timber Trees: Major Commercial Timbers. Bogor: Thompson. In: Oyen, L.P.A. and X.D. Nguyen (eds.) PROSEA 19.
Prosea Foundation. Essential-oil Plants. Bogor: Prosea Foundation.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 9, Nomor 3 Juli 2008
Halaman: 204-208
SUGIYARTO♥
Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 57126.
Program Studi Biosains Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 57126.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas LPPM, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 57126.
ABSTRACT
White grub (Coleoptera: Melolonthidae) is a group of soil pest at any agrosystem., especially at Salak pondoh (Salacca zalacca (Gaert.)
Voss.) crop. The characteristics of this specimen were very crucial to be studied in order to find the exact biocontrol. The aim of this
research was to know the characteristics of white grubs (Melolonthidae: Coleoptera) based on morphological and isozyme banding
patterns. This research was conducted on August - November 2007 at Sleman and Magelang districts for the morphological purposes,
while for the isozyme data were conducted at Sub Laboratory Biology, Central Laboratory of Sebelas Maret University Surakarta. Sample
was taken by using stratified random sampling method, on five stations. Polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) using the vertical type
was taken to isozyme analysis. The enzyme used in this research were peroxidase and esterase to detect the isozyme banding patterns.
The results showed that there was no morphological variation of white grubs (Melolonthidae: Coleoptera) at salak pondoh agroecosystem
in Mounth Merapi’s slope. Based on this character, there was one species of white grub found, i.e. Holotrichia javana. There was a genetic
variation based on the variation of isozyme banding patterns.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta.
hama tersebut. Karakterisasi melalui pendekatan stok B dan 5 mL larutan stok A, kemudian ditambah
morfologi mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya dengan 0,02 mL N,N,N’,N'-tetramethyl-ethylenediamine
penampilan karakter sering kali dipengaruhi oleh faktor (TEMED) dan dicampur secara hati-hati. Untuk
lingkungan atau kemungkinan terjadinya spesies kembar polimerisasi gel, ditambahkan 30 µl ammonium
atau sibling (Suskendriyati dkk., 2000). persulphate (APS).
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk me- Organ pencernaan lundi putih diekstraksi
lengkapi informasi karakter morfologi adalah menggunakan buffer ekstraksi dengan perbandingan 1:3,
karakterisasi lundi putih berdasar pola pita isozim. Isozim dalam satuan μg untuk sampel dan μL untuk buffer
adalah beberapa enzim yang memiliki struktur kimia ekstraksi. Organ tersebut dilumatkan menggunakan
yang berbeda tetapi mengkatalisis reaksi yang sama. mortar di atas serpihan kristal es. Sampel yang sudah
Isozim memiliki beberapa keuntungan, antara lain: dapat hancur kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 8500
digunakan untuk mengidentifikasi sifat-sifat yang tidak rpm selama 3 menit. Supernatan diambil sebanyak 7 μL
tampak secara morfologi (Mariani, 2002), dapat untuk pewarnaan peroksidase dan 15 μL pewarnaan
diterapkan untuk mengetahui struktur genetik intra esterase. Perangkat elektroforesis yang digunakan untuk
maupun inter-populasi (Fitriyah, 2002), dan jumlah analisis pola pita isozim adalah BIO-RAD Mini PROTEAN
sampel yang banyak dapat dianalisis dalam waktu yang 3 Cell tipe vertikal.
relatif singkat (Hadiati dan Sukmadjaja, 2002). Tujuan Pewarnaan pada penelitian ini menggunakan dua
dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik lundi sistem enzim, yaitu peroksidase dan esterase. Untuk
putih (Melolonthidae: Coleoptera) pada agroekosistem pewarnaan peroksidase, sebanyak 0,0125 g O-dianisidin
salak pondoh di lereng gunung Merapi berdasarkan pola dilarutkan dalam 2,5 mL aseton, lalu ditambahkan 50 mL
pita isozim. buffer asetat pH 4,5 dan 2 tetes hidrogen peroksida.
Sedangkan untuk pewarnaan esterase, sebanyak 0,0125
g α-naftil asetat dilarutkan dalam 2,5 mL aseton,
BAHAN DAN METODE kemudian ditambahkan 50 mL dari 0,2 M buffer phosphat
pH 6,5 dan 0,0125 g fast Blue BB salt.
Penelitian di lapangan Pita yang terbentuk digambar dalam bentuk zimogram.
Lundi putih (Melolonthidae: Coleoptera) diambil dari Data diperoleh dengan menghitung nilai Rf, yaitu
agroekosistem salak pondoh di lereng gunung Merapi, perbandingan jarak migrasi pita terhadap jarak migrasi
tepatnya di kabupaten Sleman, Yogyakarta dan loading dye. Data dianalisis berdasarkan muncul tidaknya
kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Pengambilan sampel pita pada gel serta tebal tipisnya pita yang terbentuk.
dilakukan pada 5 stasiun dengan ketinggian tempat yang
berbeda-beda, yaitu: stasiun I: 484 m dpl (Turi, Sleman),
stasiun II: 545 m dpl (Srumbung, Magelang), stasiun III: HASIL DAN PEMBAHASAN
620 m dpl (Srumbung, Magelang), stasiun IV: 751 m dpl
(Turi, Sleman), dan stasiun V: 820 m dpl (Pakem, Karakter morfologi lundi putih (Coleoptera:
Sleman). Setiap stasiun diambil sebanyak 10 sampel melolonthidae)
hidup dengan metode hand sorting untuk digunakan Diantara kelompok serangga, kumbang (Coleoptera)
dalam analisis morfologi dan pola pita isozim. merupakan kelompok terbesar karena menyusun sekitar
40% dari seluruh jenis serangga dan terdiri tidak kurang
Analisis morfologi dari 250 ribu spesies (Pracaya, 1999). Lundi putih
Pengamatan morfologi lundi putih dilakukan secara termasuk dalam familia Melolonthidae dari ordo
langsung maupun dengan bantuan kaca pembesar dan Coleoptera (Chu, 1992). Borror (1992) juga memasukkan
mikroskop. Hasil pengamatan sampel lundi putih lundi putih ke dalam familia Scarabaeidae. Larva (uret)
didokumentasikan melalui pemotretan, data morfologi di yang termasuk dalam familia ini sering merusak akar
tabulasikan dan dilakukan analisis keanekaragamannya tanaman dan apabila sudah dewasa akan memakan daun,
(Wiratno dkk., 1997). Karakter morfologi lundi putih namun kerusakan yang ditimbulkan tidak separah fase
meliputi: persebaran bulu, jumlah segmen kaki, bentuk larvanya. Lundi putih tinggal di dalam tanah dan
labrum, bentuk maxilla, bentuk kuku dan ukuran tubuh memerlukan waktu ± 7 bulan sebelum berkepompong.
(Chu dan Cutkomp, 1992). Dari kelima lokasi penelitian, yakni stasiun I sampai V
yang ditentukan berdasarkan gradasi ketinggian,
Analisis pola pita isozim ditemukan lundi putih yang memiliki ciri morfologi yang
Analisis pola pita isozim dilakukan dengan sama (Gambar 1), yaitu: bentuk tubuh seperti huruf ‘C’,
Polyacrylamide Gel Electrophoresis (PAGE). Pembuatan kepala/thorak berwarna coklat kemerahan, terdiri dari 3
buffer dan larutan stok mengikuti metode Suranto (1991, segmen, pada segmen pertama terdapat spirakel, bibir
2001, 2002). Tank buffer (buffer boraks) dibuat dengan atas tidak bersegmen, maxilla dengan galea dan lacinia
melarutkan asam boraks 14,4 g dan boraks 31,5 g dalam bersatu; memiliki 3 pasang kaki dengan 4 segmen terletak
akuades hingga mencapai volume 2 L. Buffer ekstraksi tepat di belakang kepala, kuku pada tibio tarsus terbelah
dibuat dengan melarutkan 0,018 g sistein, 0,021 g asam dua (Jumar, 2000). Abdomen memiliki 10 segmen, 8
askorbat, dan 5 g sukrosa dalam 20 mL Tank buffer pH segmen memiliki spirakel di lateral tubuhnya, sedangkan 2
8,4. Larutan stok A dibuat dengan melarutkan 4,5 g tris segmen terakhir tidak berspirakel dan berfungsi sebagai
dan 0,51 g asam sitrat ke dalam 500 mL akuabides. tempat untuk menyimpan sisa pencernaan sehingga
Larutan stok B dibuat dengan melarutkan 30 g akrilamid, berwarna gelap (hitam) dan terdapat anus. Warna
ditambah dengan 0,80 g N,N’-methylene-bis-acrylamide tubuhnya putih kekuningan, panjang tubuh berkisar antara
(bisakrilamid) ke dalam 100 mL akuabides. 2-6 cm, diameter tubuh berkisar antara 0,5-1,5 cm. Bulu-
Gel dibuat menurut metode Suranto (1991) dengan bulu tersebar merata.
modifikasi, yaitu dengan mencampurkan 2,5 mL larutan
206 B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 3, Juli 2008, hal. 204-208
Berdasarkan deskripsi karakter morfologinya tersebut, mm (Rf 0,060) dan pada 4 mm (Rf 0,069) dari slot. Secara
variasi yang muncul hanya terletak pada ukuran tubuh dan kuantitatif kedua pita ini tipis. Selain individu dari stasiun
bagian-bagian tubuhnya yang dimungkinkan karena II, individu dari stasiun IV juga menunjukkan munculnya
perbedaan umur dan daya dukung lingkungannya. Dengan pita pada jarak migrasi 15 dan 18 mm atau pada Rf 0,259
demikian berdasarkan morfologinya, lundi putih yang dan 0,310 (individu no. 8), serta 38, 41, 45 dan 52 mm
terdapat di kawasan penelitian tersebut adalah Phyllophaga atau pada Rf 0,655; 0,707; 0,776 dan 0,896 (individu no.
javana Brsk. atau nama lainnya adalah Holotrichia javana 7). Munculnya pita pada individu dari stasiun IV yang tidak
Brsk. (Pracaya, 1999). terdapat pada individu dari stasiun yang lain juga
menunjukkan adanya variasi pola pita isozim peroksidase
Karakter pola pita isozim pada lundi putih.
Isozim adalah enzim yang memiliki struktur kimia yang Berdasarkan hasil di atas, dapat dijelaskan bahwa
berbeda namun mengkatalisis reaksi yang sama. individu dari stasiun90 I, III dan V memiliki pola pita yang
Perbedaan bentuk molekul suatu enzim dapat dijadikan sama, sedangkan individu dari stasiun II dan IV
sebagai landasan pemisahan secara kimia, antara lain menunjukkan keanekaragaman pola pita isozim sehingga
dengan elektroforesis yang menghasilkan pita-pita dengan dapat dikatakan terdapat perbedaan genetik yang
jarak migrasi yang berbeda-beda. menyandi enzim tersebut. Menurut Cahyarini (2004),
perbedaan jarak migrasi pita-pita merupakan wujud dari
Isozim peroksidase perbedaan muatan dan bentuk molekul enzim. Rahayu
Enzim peroksidase (PER) tergolong dalam kelompok dkk (2006) menambahkan bahwa enzim atau protein
oksido-reduktase. Adanya enzim peroksidase mudah dapat digunakan untuk menunjukkan variasi, baik secara
dideteksi karena aktivitas dan stabilitasnya yang tinggi kualitatif maupun kuantitatif. Variasi ini akibat dari peran
dan dapat menggunakan sejumlah substrat sebagai donor gen yang mengarahkan pembentukan enzim yang
hidrogen (Cahyarini, 2004). Dari zimogram hasil bersangkutan, oleh karenanya variasi enzim dapat
elektroforesis isozim peroksidase (Gambar 2), dapat menggambarkan variasi gen.
diketahui bahwa isozim peroksidase menghasilkan 12 pita
berdasarkan pergerakan relatif enzim (Rf). Isozim esterase
Dari keduabelas pita, empat pita selalu muncul atau Enzim esterase termasuk dalam kelas hidrolase yang
ditemukan pada semua individu dari stasiun I sampai V, reaksi spesifiknya adalah memutuskan ikatan kimia dengan
yaitu pita yang terletak pada jarak migrasi 1; 1,5; 5 dan 9 menambahkan unsur air (Salisbury dan Ross, 1992).
mm dari slot atau pada Rf 0,017; 0,026; 0,086 dan 0,155. Esterase merupakan enzim hidrolitik yang berfungsi
Pita kedua terlihat samar-samar atau tipis, yang melakukan pemotongan ester sederhana pada asam
menunjukkan bahwa konsentrasi enzim tersebut kecil. organik, asam anorganik, alkohol, dan fenol serta
Keempat pita tersebut dapat dijadikan sebagai ciri khas mempunyai berat molekul yang rendah dan mudah larut
pola pita isozim peroksidase pada lundi putih. Selain (Subronto, 1989). Dari zimogram hasil elektroforesis isozim
keempat pita utama yang muncul, pada individu dari esterase (Gambar 3.), diketahui bahwa isozim esterase
stasiun II memiliki pita yang tidak terdapat pada individu pada lundi putih menghasilkan tujuh pita.
lain dari kelima stasiun. Pita tersebut terletak pada 3,5
SUGIYARTO – Variasi Coleoptera: Melolonthidae di lereng gunung Merapi 207
isozim baik isozim peroksidase (pada individu dari stasiun II Hadiati, S., dan D. Sukmadjaja. 2002. Keragaman pola pita beberapa aksesi
nanas berdasarkan analisis isozim. Jurnal Bioteknologi Pertanian 7 (20):
dan IV) maupun esterase (pada individu dari stasiun III dan 62-70.
V). Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Kompas. 10/04/2003. Hama Uret Ancam Tanaman Salak Pondoh di Sleman.
Mariani, Y. 2002. Studi tentang Variasi Isozim dari Beberapa Koloni Wereng
Hijau (Nephotettix virescens) sebagai Vektor Pembawa Penyakit
UCAPAN TERIMAKASIH Tungro pada Padi. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret.
Pracaya. 1999. Hama dan Penyakit Tanaman. Jakarta:Penebar Swadaya.
Terimakasih diucapkan kepada Pengelola Program PHK Rahayu, S., S.B. Sumitro, T. Susilawati, dan Soemarno. 2006. Analisis
A-2 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta atas dukungan isoenzim untuk mempelajari variasi genetik sapi bali di Provinsi Bali.
dana penelitiannya, serta Sri Wardani, Retnowati, dan Berkala Penelitian Hayati 12: 1-5.
Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan Jilid II.
Andika Rahmawanto sebagai mahasiswa anggota tim Penerjemah: Lukman, D.R. dan Sumaryono. Bandung: Penerbit ITB.
peneliti. Setianto, A. 2001. Karakterisasi Jeruk Besar (Citrus grandis (L.) Obsbeck)
di Kecamatan Jepon dan Jiken Kabupaten Blora Berdasarkan Penanda
Isozim dan Morfologi Buah. [Tesis]. Surakarta: Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret.
DAFTAR PUSTAKA Soehardjono, Y., Adianto, dan S. Adisoemarto. 2000. Strategi
pengembangan pengelolaan arthropoda tanah. Kumpulan Makalah
Simposium KEHATI Arthropoda Tanah pada Sistem Prodoksi Pertanian.
Borror, D.J., C.A. Triplehorn, dan N.F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran PEI. Bogor,16-18 Oktober 2000.
Serangga. Penerjemah: Soetiyono, P. dan D.B. Mukayat. Yogyakarta: Subronto, 1989. Isolasi dan Sifat Isozim dari Daun Kelapa Sawit Deli Dura.
Gadjah Mada University Press. Tesis. FSP. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Cahyarini, R.D. 2004. Identifikasi Keragaman Genetik Beberapa Varietas Sugiyarto. 2000. Keanekaragaman makrofauna tanah pada berbagai umur
Lokal Kedelai di Jawa Berdasarkan Analisis Isozim. [Tesis]. Surakarta: tegakan sengon di RPH Jatirejo, kabupaten Kediri. Biodiversitas 1 (2):
Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. 47-54.
Chu, H.F. 1992. How to Know Immature Insects. Dubuque: WMC Brown Sugiyarto. 2003. Evaluasi Struktur dan Komposisi Makrofauna Tanah
Com. Inc.. Sebagai Bioindikator Kesehatan Tanah pada Kasus Perubahan Sistem
Crocker, R.L., W.T. Nailon, J.R., J.H. Matis, and R.E. Woodruff. 1999. Penggunaan Lahan di HTI Sengon. Surakarta: LPPM UNS.
Temporal pattern of ovipositional readiness in spring species of Sugiyarto. 2004. Keanekaragaman Makroinvertebrata Tanah dan
Phyllophaga (Coleoptera: Scarabaeidae) in North Central Texas. Produktivitas Tanaman Sela pada Sistem Agroforestri Berbasis Sengon.
Annual Entomology American Society 92 (1): 47-52. [Disertasi]. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya.
De Oliveira, C.M., M.A. Moron, and M.R. Frizzas. 2007. First record of Suranto. 1991. Studies of Population Variation in Species of Ranunculus.
Phyllophaga sp. aff. capillata (Coleoptera: Melolonthidae) as a [Thesis]. Hobart: Department of Plant Science, University of Tasmania.
soybean pest in the Brazilian “Cerrado”. Florida Entomologist 90 (4): Suranto. 2001. Isozyme studies on the morphological variation of
772-774. Ranunculus nanus populations. AGRIVITA 23 (2): 139-146.
Fitriyah, F. 2002. Studi Komparasi Pola Pita Isozim dan Morfologi Wereng Suranto. 2002. Cluster Analysis of Ranunculus Species. Biodiversitas 3 (1):
Hijau (Nephotettix virescens) dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa 201-206.
Timur. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Suskendriyati, H.A., Wijayati, Nurhidayah dan D. Cahyuningdari. 2000. Studi
Maret. morfologi dan hubungan kekerabatan varietas salak pondoh (Salacca
zalacca (Gaert.) Voss.) di dataran tinggi Sleman. Biodiversitas 1 (1): 26-
31.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 9, Nomor 3 Juli 2008
Halaman: 209-212
SUHARYANTO
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros 90512.
ABSTRACT
In 1996, four specieses of sponge namely Auletta sp., Callyspongia pseudoreticulata, Callyspongia sp., and Halichondria sp. have been
potentially identified as bacteriside for fishery commodities. Nevertheless, information on sponge distribution, its covering percentage, and
its habitate are still very little. Observation on distribution and abundance of sponge was conducted in the Southeastern and the
Northwestern part of Barranglompo Island, South Sulawesi, using scuba diving set and under water writting tools. At first, coral reef
condition in 3 and 10 m depths up to 100 m length of shore line were observed in both stations, using “lifeform method”. Then distribution
and covering percentage of sponge, biotic and abiotic factor in 3, 6, 9, and 12 m depths in both stations were examined using “square
transect method”. The result showed that different coral reef condition qualitatively causes different of sponge species distribution, but
quantitatively not significantly different (P>0,05) on its covering percentage. It was also found that generally sponge grows better at the
dead coral where no other biotic organism around.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Kisaran kedalaman ini dipilih karena pertumbuhan dan yang ditemukan adalah Auletta sp., Callyspongia sp.,
komunitas optimum sponge di pulau tersebut adalah pada Callyspongia pseudoreticulatta, Clatria basilana, Clatria
kedalaman 3 dan 10 m (Suharsono, 1995). Pengambilan reinwardti, Jaspis stelifera, Plakortis nigra, Spirastella
sampel sponge dilakukan di kedua stasiun, masing-masing vagabunda, Theonella cylindrica, dan Xestosponga exiqua.
pada empat kedalaman. Pengambilan sponge dilakukan
dengan metode kuadrat (UNEP/AIM, 1993; Suharsono, Distribusi dan persentase tutupan
1995), yaitu: dengan menggunakan besi berdiameter 8 mm, Dari hasil pengamatan distribusi dan persentase
2
ukuran 1x1 m yang diletakan secara acak dan pada setiap tutupannya ternyata terdapat perbedaan jenis sponge yang
titik sampling dilakukan tiga ulangan. Jenis sponge yang ditemukan, yakni: pada stasiun I tidak dijumpai
ditemukan pada setiap kuadrat dicatat dan dihitung. Dalam Callyspongia sp. dan Theonella cylindrica, keduanya hanya
hal ini diperlukan peralatan selam dan alat tulis bawah air, dijumpai pada stasiun II. Hal ini diduga karena jenis sponge
Data dari empat kali sampling, masing-masing dengan ini lebih menyukai kondisi terumbu karang yang masih baik,
tiga ulangan yang diperoleh dari empat kedalaman pada sedangkan di stasiun II kondisi terumbu karangnya dalam
dua stasiun dirata-rata dan disajikan dalam bentuk tabel. kategori cukup baik (Suharyanto et al., 1998). Menurut Storr
Analisis data secara kuantitatif untuk membandingkan (1976a) terdapat beberapa jenis sponge yang hidupnya
perbedaan persentase tutupan sponge di setiap kedalaman berasosiasi langsung dengan terumbu karang, satu di
kedua stasiun dilakukan dengan uji t. Untuk analisis antaranya adalah Theonella cylindrica.
kualitatif, sampel sponge dibawa ke Laboratorium Biologi Callyspongia pseudoreticulatta, Clatria reinwardti, dan
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros, dan Spirostella vagabunda tidak dijumpai pada stasiun II, tetapi
diidentifikasi menggunakan buku identifikasi dari Allen dan hanya dijumpai pada stasiun I. Rerata presentase
Steen (1994). tutupannya masing-masing adalah sebsar 10%, 0,4% dan
Untuk mengetahui indeks keanekaragaman sponge, 4,7%. Kedua jenis sponge ini diduga lebih menyukai habitat
digunakan rumus indeks dominansi dari Simpson (Odum, terumbu karang yang kondisinya kurang baik.
1971) sebagai berikut: Pada stasiun I, presentase tutupan tertinggi ditemukan
pada C. pseudoreticulata, yakni: 25,1% pada kedalaman 9
C = Σ (n/N)2 d = 1-C m dan 14,1% pada kedalaman 6 m. Hal ini menunjukkan
bahwa C. pseudoreticulata terdistribusi dan lebih menyukai
C : Indeks dominansi hidup pada kedalaman 6 dan 9 m, kemudian disusul
n : Persentase tutupan setiap jenis sponge Placortis nigra, Spirostella vagabunda, dan Xestosponga
N : Total persentase tutupan setiap jenis sponge exiqua dengan persentase tutupan cukup tinggi, masing-
d : Indeks keanekaragaman masing 18,7% pada kedalaman 3 m. Hal ini menunjukkan
bahwa ketiga jenis sponge tersebut lebih menyukai habitat
Untuk menganalisis komposisi jenis yang meliputi perairan yang lebih dangkal (3 m) (Tabel 1.).
identifikasi sponge yang diperoleh menurut jenis dan Auletta sp. selalu ditemukan pada setiap kedalaman di
perhitungan frekuensi kemunculan setiap jenis digunakan stasiun I walaupun persentase tutupannya tidak terlalu
rumus sebagai berikut (Odum, 1971): tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jenis ini lebih menyukai
hidup pada terumbu karang yang kondisinya kurang baik,
F = ΣM/ΣSt x 100% sedangkan di stasiun II, jenis ini ditemukan pada
kedalaman 3, 9 dan 12 m dan persentase tutupannya
2
F : Frekuensi kemunculan setiap jenis sponge hanya 3,1% per m (Tabel 1).
ΣM: Jumlah kemunculan pada setiap stasiun Pada stasiun II, presentase tutupan tertinggi ditemukan
ΣSt: Jumlah stasiun pada Callyspongia sp., pada keempat macam kedalaman
(3, 6, 9, dan 12 m), yakni: masing-masing 3,1%, 6,3%,
Pengukuran faktor oseanogarfis dilakukan pada masing- 26,3%, dan 21,8%. Hal ini menunjukkan bahwa sponge
masing kedalaman di setiap stasiun, meliputi suhu air, jenis ini lebih menyukai perairan yang agak dalam, yakni: 9
salinitas, kecepatan arus, kecerahan, oksigen terlarut, NH4- dan 12 m. Persentase tertinggi berikutnya adalah Jenis
N, NH3-N, NO2-N, dan PO4-P, kemudian data yang Xestospongia exiqua, dan Jaspis stellifrea dengan
diperoleh di rata-ratakan dan disajikan dalam bentuk tabel. persentase tutupan cukup tinggi, yakni: masing-masing
19,3% dan 12,5% di kedalaman 12 m, hal ini menunjukkan
bahwa sponge tersebut lebih menyukai habitat perairan
HASIL DAN PEMBAHASAN yang dalam.
Tabel 1. Spesies, distribusi dan persentase tutupan sponge (%) pada kedalaman yang dominansi semakin tinggi pula dan
berbeda. sebaliknya indeks keseragaman akan
semakin rendah. Berdasarkan nilai
Stasiun Spesies Kedalaman (m) & % tutupan indeks keanekaragaman dari setiap
3 (%) 6 (%) 9 (%) 12 (%) Rerata
(%) stasiun pada masing-masing
Auletta sp 6,3 0,8 2,1 6,3 3,9 kedalaman, maka dapat dikatakan
Callyspongia pseudoreticullata - 14,1 25.1 0,6 10,0 bahwa kondisi perairan pulau
Clatria basilana - - 2,1 6,9 2,3 Barranglompo masih dalam batas
Clatria reinwardti 1,6 - - - 0,4
I
Jaspis stellifera - - 4,7 - 1,2 kewajaran dan belum tercemar.
Plakortis nigra 18,7 6,3 - - 6.3
Spirostella vagabunda 18,7 - - - 4,7 Frekuensi kemunculan sponge
Xestospongia exiqua 18,7 12,5 - - 7,8
Jumlah persentase tutupan 64,0 33,7 34,0 13,8 48,5
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari
Auletta sp 3.1 - 3,1 3,1 2,3 sembilan jenis sponge yang ditemukan
Callyspongia sp 3,1 6,3 26,3 21,8 14,3 pada masing-masing kedalaman di
Clatria basilana - - 6,3 12,5 4,7 kedua stasiun, maka ada beberapa
II Jaspis stellifera - 6,3 3,1 2,1 2,9 jenis sponge yang frekuensi
Plakortis nigra - 1,6 - - 0,4
Theonella cylindrica - - - 0,8 0,2 kemunculannya cukup mencolok yaitu:
Xestospongia exiqua - 3,1 3,1 19,3 6.4 Auletta sp. di stasiun I dan Callyspongia
Jumlah persentase tutupan 6,2 17,3 41,9 59,6 31,3 sp. di stasiun II yang frekuensi
kemunculannya 100%. Hal ini
Tabel 2. Indeks dominansi dan indeks keanekaragaman spesies sponge pada masing- menunjukkan adanya kemampuan
masing kedalaman di stasiun I dan II. beradaptasi kedua jenis sponge ini
yang cukup baik terhadap kedalaman.
Stasiun Spesies Kedalaman & % tutupan Menurut Storr (1976b), beberapa jenis
3 (%) 6 (%) 9 (%) 12 (%) Rerata sponge dapat bertahan hidup pada
(%)
Auletta sp 0,0100 0,0004 0,0004 0,2600 0,0677 kedalaman sampai 20 m asalkan
Callyspongia pseudoreticullata - 0,1600 0,4900 0,0020 0,1630 kebutuhan sinar matahari cukup. Dari
Clatria basilana - - 0,0004 0,2500 0,0626 hasil penelitian Suharyanto et al.
Clatria reinwardti 0,0010 - - - 0,0003 (2001), Jenis Auletta sp. selalu
I
Jaspis stellifera - - 0,0100 - 0,0003
Plakortis nigra 0,0900 0,0400 - - 0,0325 ditemukan pada kedalaman 3-10 m,
Spirostella vagabunda 0,0900 - - - 0,0225 hanya berbeda ukuran, bentuk, warna,
Xestospongia exiqua 0,0900 0,1600 - - 0,0625 dan jumlah cabang per koloninya. Pada
Indeks diminasi 0,2810 0,3600 0,5010 0,5120 0,4135 kedalaman 10 m dibandingkan jenis
Indeks keanekaragaman 0,7190 0,6400 0,4990 0,4880 0,5865
yang tumbuh pada kedalaman 3 m,
Auletta sp 0,2500 - 0,0005 0,0020 0,0631
Callyspongia sp 0,2500 0,1300 0,0400 0,1300 0,1375 maka ukurannya lebih panjang, jumlah
Clatria basilana - - 0,0200 0,0400 0,0150 cabangnya sedikit (2-3 cabang), bentuk
II Jaspis stellifera - 0,1300 0,0050 0,0010 0,0340 beraturan, dan warna lebih tua (abu-
Plakortis nigra - 0,0080 - - 0,0020 abu tua). Hal ini menguatkan dugaan
Theonella cylindrica - - - 0,0200 0,0050
Xestospongia exiqua - 0,0300 0,0050 0,1000 0.0338 bahwa semakin dalam tempat
Indeks diminasi 0,5000 0,2980 0,4350 0,2930 0,3815 tumbuhnya, maka semakin besar dan
Indeks keanekaragaman 0,5000 0,7020 0,5650 0,7070 0.6158 panjang ukurannya. Menurut Amir
(1992), pada perairan yang lebih dalam
sponge cenderung memiliki bentuk
Tabel 3. Frekuensi kemunculan setiap jenis sponge pada masing-masing kedalaman di
perairan pulau Barranglompo, Sulawesi Selatan. tubuh yang lebih simetris dan lebih
besar sebagai akibat dari lingkungan
Jenis Frekuensi kemunculan (%) yang lebih stabil dibandingkan dengan
Stasiun I Stasiun II jenis yang sama yang hidup pada
Auletta sp 100 75 perairan yang lebih dangkal.
Callyspongia pseudoreticullata 75 -
Callyspongia sp - 100
Clatria basilana 50 50 Kualitas perairan
Clatria reinwardti 25 -
Data hasil pengamatan kualitas air
Jaspis stellifera 25 75
Plakortis nigra 50 25 rerata selama empat minggu disajikan
Spirostella vagabunda 25 - dalam Tabel 4. Dari hasil pengamatan
Theonella cylindrica - 25 faktor oseanografi perairan pulau
Xestospongia exiqua 50 75 Barranglompo pada masing-masing
stasiun masih dalam kisaran yang layak
untuk kehidupan akuatik khususnya
digunakan untuk mempermudah menganalisis jumlah sponge. Sponge termasuk plankton
individu dan jenis atau genera suatu organisme (Stirn, feeder, sehingga memerluka kualitas dan kesuburan
1981). Selanjutnya dikatakan pula, semakin banyak jenis perairan yang ideal untuk menunjang kehidupannya.
atau genera dalam suatu sampel, maka semakin besar pula Dari hasil pengamatan diketahui bahwa mayoritas
nilai indeks keanekaragaman, meskipun nilai ini sangat sponge yang ditemukan tumbuh baik dan subur pada
tergantung dari jumlah total individu masing-masing jenis. daerah yang kondisi terumbu karangnya rata-rata jelek (0-
Menurut (Odum, 1971)), nilai indeks keanekaragaman 49,9%), misalnya Auletta sp. tumbuh sangat baik dan
dapat dijadikan indikator tingkat pencemaran suatu bentuknya beraturan pada karang yang sudah mati. Pada
perairan. Semakin besar dominansi jenis maka indeks daerah yang kondisi terumbu karangnya masih baik
212 B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 3, Juli 2008, hal. 209-212
Tabel 4. Hasil rerata pengukuran faktor oseanografi di setiap kedalaman pada stasiun I dan II perairan Barranglompo Sulawesi Selatan.
Stasiun
Parameter air I II
Kedalaman (m) Kedalaman (m)
3 6 9 12 3 6 9 12
o
Suhu ( C) 29 29 29 28 29 29 29 28
pH 7,43 7,30 7,50 7,55 7,55 7,56 7,56 7,5
Salinitas (ppt) 35 35 35 35 35 35 35 35
Oksigen (ppm) 7,32 Ttd. Ttd. 7.43 7,43 - - -
BOT (ppm) 1,3 1,0 4,45 4,1 4,1 2,0 2,0 0,6
NH4-N 0,0937 0,0570 0,0968 0,0715 0,0643 0,0679 0,1148 0,0552
NO3-N 0,0140 0,0207 0,0109 0,0282 0,0132 0,0215 0,0185 0,0478
NO2-N Ttd. 0,0002 Ttd. Ttd. Ttd. Ttd. 0,0019 0,0019
PO4-P 0,0866 0,0938 0,1376 0,0866 0,1814 0,2252 0,3346 0,0938
Keterangan: Ttd: Tidak terditeksi.
ABSTRACT
The research was conducted in the mangrove coastal water in Peniti, West Kalimantan. Peniti mangrove coastal water has high species
richness and diversity of polychaetes. We have collected 43 species of polychaetes. Most of them are deposit feeders with Dodecaceria sp.
and Sternaspis scutata showed highest abundance among all species. The substrate characteristic was muddy-clay and the high carbon
organic content.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
A B C
D E
Gambar 1. Struktur komunitas polychaeta di perairan pantai mangrove Peniti, Kalimantan Barat. A. Jumlah spesies. B. Kemelimpahan
2
(ind/m ). C. Indeks Dominansi, D. Indeks Keseragaman, E. Indeks Keanekaragaman. Keterangan: ■ Maret ; □ Mei.
Keanekaragaman polychaeta dianalisis menggunakan Maret. Jumlah spesies pada Stasiun 1 (Maret) hanya empat
Indeks Keanekaragaman (H′) Shannon-Wienner (Krebs, spesies yaitu Dodecaceria sp., Cirrratulus concinus,
1989): H′ =-∑ pi log2 pi. Kadar karbon organik dan total Nephtys hombergi dan Notomastus fauvelli. Spesies yang
nitrogen dianalisis menggunakan rumus (Anderson dan ditemukan di Stasiun 6 (Maret) juga sebanyak empat spesies
Ingram, 1993): % C-organik = (Kx0,1)/(Wx0,74). Total yaitu Capitellid, Sternaspis scutata, Jasmineira sp. dan
nitrogen dianalisis menggunakan rumus: % total-N = Cossura costa. Spesies yang ditemukan hampir di setiap
(TxSx0,01)/(AxW). Tekstur substrat dianalisis stasiun bulan Maret dan Mei adalah S. scutata. Hal ini
menggunakan metode hidrometrik. diduga berkaitan dengan preferensi spesies ini terhadap
tekstur substrat.
Sedikitnya jumlah spesies pada kedua stasiun tersebut
tidak diikuti oleh jumlah individu. Spesies dengan jumlah
HASIL DAN PEMBAHASAN
individu lebih banyak cenderung akan mendominasi spesies
yang lain. Spesies yang banyak pada bulan Maret yaitu
Keanekaragaman polychaeta Dodecaceria sp (Stasiun 1) dan S. scutata (Stasiun 6).
Polychaeta yang didapatkan di perairan mangrove Peniti Untuk melihat apakah kedua spesies tersebut mendomi-
umumnya termasuk polychaeta pemakan deposit (deposit nasi, perlu diketahui melalui Indeks Dominansi spesies.
feeder) dan penyaring detritus (filter feeder). Keduanya Jumlah individu yang menyusun populasi setiap stasiun
dicirikan dengan adanya antena dan filamen brancial di dapat diketahui dengan menghitung kemelimpahannya.
bagian kepala. Spesies yang ditemukan umumnya juga Individu yang didapatkan umumnya tidak lebih dari 1500
memiliki ukuran tubuh kecil. Polychaeta yang didapatkan 2
ind/m , hanya di Stasiun 3 dan 4 bulan Mei jumlah individu
sebanyak 43 spesies. Berdasarkan periode pengambilan didapatkan masing-masing sebanyak 1800 ind/m2 dan
sampel, pada bulan Maret polychaeta yang didapatkan 2
1733,33 ind/m (Gambar 1B). Menurut Stolyarov (1995),
sebanyak 33 spesies dan pada bulan Mei 30 spesies. kategori kemelimpahan polychaeta yang didapatkan
Jumlah spesies yang ditemukan pada bulan Maret saja termasuk kategori agak melimpah sampai sangat melimpah.
sebanyak 13 spesies dan bulan Mei saja sebanyak 10 Kemelimpahan di Stasiun 3 dan 4 pada bulan Mei
spesies. Spesies yang ditemukan pada bulan Maret dan 2
walaupun terlihat cukup tinggi (>1000 ind/m ), namun tidak
Mei sebanyak 20 spesies. Jumlah spesies polychaeta yang didominansi oleh satu spesies tertentu. Untuk melihat
ditemukan dari perairan mangrove Peniti disajikan pada adanya spesies yang dominan dalam setiap stasiun
Gambar 1A. diperlukan Indeks Dominansi. Nilai ini akan menerangkan
Banyaknya jumlah spesies yang sama pada Maret dan besarnya tingkat dominansi satu spesies terhadap spesies
Mei menunjukkan bahwa polychaeta tersebut masih hidup lainnya dalam stasiun.
selama waktu pengambilan sampel. Perbedaan jumlah Nilai Indeks Dominansi spesies berkisar antara 0,12-
spesies pada kedua bulan diduga merupakan populasi 0,75 dengan nilai terendah di stasiun 4 (Mei) dan tertinggi di
berbeda dan munculnya populasi yang baru. Secara umum Stasiun 6 (Maret). Secara umum, komposisi spesies di
jumlah spesies setiap stasiun tidak lebih dari 15 spesies. semua stasiun tidak memperlihatkan adanya dominansi
Jumlah spesies tertinggi ditemukan di Stasiun 2 dan 3 pada spesies. Hal ini ditunjukkan dari nilai Indeks Dominasi yang
bulan Mei dan terendah di Stasiun 1 dan 6 pada bulan
JUNARDI dan WARDOYO – Polychaeta di pantai Peniti, Kalimantan Barat 215
relatif kecil (<0,5) (Gambar 1C). Nilai Indeks Dominansi yang oportunistik dan dapat memanfaatkan kandungan
tampak tinggi hanya pada Stasiun 6 (Maret) disebabkan oksigen yang rendah dalam sedimen (Fauchald dan
oleh tingginya kemelimpahan S. scutata. Kecenderungan Jumars, 1979). Nilai nitrogen organik hampir sama pada
dominansi spesies ini diduga berkaitan erat dengan semua stasiun dan bulan pengambilan antara 0,2-1,18
kemampuan spesies ini hidup pada tingkat Nitrogen total mg/L. Nilai ini tergolong rendah dan berpengaruh kecil
(N-tot) yang tinggi. Letak Stasiun 6 di depan muara sungai terhadap keanekaragaman dan kemelimpahan polychaeta
Peniti dengan tingginya aktivitas penggunaan jaring trawl (Junardi, 2001).
nelayan dan dinamika arus yang mengakibatkan
pengerukan sedimen. Faktor tersebut menjadi penentu Tabel 1. Hasil pengukuran parameter fisik-kimia substrat
ketidakmampuan spesies lain untuk beradaptasi. Hal ini Polychaeta.
diduga akibat intensifnya pengerukan sedimen oleh trawl
nelayan. Pengerukan sedimen menyebabkan terganggunya Tekstur (%) Klasifikasi
C-organik N
Stasiun segitiga
siklus hidup organisme laut. Selain itu juga akan muncul (%) (mg/l) Pasir Lumpur Liat
Shepard
beberapa spesies polychaeta oportunistik (Pocklington dan Ma1 3,92 0,28 2 62 36 Lumpur berliat
Wells, 1992). Ma2 4,23 0,2 3 75 22 Lumpur berliat
Tingkat dominansi S. scutata terhadap spesies lain Ma3 6,36 0,34 4 63 33 Lumpur berliat
dapat diketahui melalui Indeks Keseragaman spesies yang Ma4 3,49 0,22 8 73 19 Lumpur berliat
menunjukkan besarnya komposisi dan jumlah individu Ma5 3,44 0,21 12 74 14 Lumpur berliat
dalam satu stasiun. Kisaran nilai Indeks Keseragaman Ma6 3,09 1,18 3 75 24 Lumpur berliat
spesies polychaeta yang didapatkan berkisar antara 0,38- Ma7 3,78 0,26 7 63 30 Lumpur berliat
Ma8 3,36 0,35 13 55 32 Lumpur berliat
0,95 (Gambar 1D). Keseragaman tersebut termasuk
Ma9 2,65 0,21 11 57 32 Lumpur berliat
kategori populasi yang rendah sampai tinggi. Indeks Ma10 3,97 0,29 3 57 38 Lumpur berliat
keseragaman terendah di Stasiun 6 (Maret) dan tertinggi di Mi1 5,85 0,29 2 62 36 Lumpur berliat
Stasiun 10 (Mei). Pada Gambar 1D terlihat bahwa nilai Mi2 12,14 0,51 3 75 22 Lumpur berliat
Indeks Keseragaman di semua stasiun umumnya tinggi Mi3 6,4 0,34 4 63 33 Lumpur berliat
(>0,5), kecuali di Stasiun 6 (Maret). Indeks Dominansi Mi4 6,38 0,35 8 73 19 Lumpur berliat
berhubungan terbalik dengan Indeks Keseragaman. Mi5 5,1 0,26 12 74 14 Lumpur berliat
Semakin tinggi Indeks Keseragaman maka semakin rendah Mi6 5,94 0,34 3 75 24 Lumpur berliat
Mi7 11,13 0,47 7 63 30 Lumpur berliat
Indeks Dominansi dan sebaliknya.
Mi8 6,72 0,3 13 55 32 Lumpur berliat
Tingkat dominansi suatu spesies juga berpengaruh Mi9 5,19 0,25 11 57 32 Lumpur berliat
terhadap Indeks Keanekaragaman spesies. Nilai indeks Mi10 6,44 0,32 3 57 38 Lumpur berliat
Keanekaragaman menggambarkan kondisi yang Keterangan: Ma: Maret, Mi: Mei, 1-10: stasiun.
berkaitan dengan fungsi masing-masing spesies
terhadap kelestarian dan daya dukung ekosistem. Hasil
pengamatan terhadap keanekaragaman disajikan pada Tekstur substrat
Gambar 1E. Nilai Indeks Keanekaragaman terendah Tekstur substrat terdiri atas pasir, lumpur dan liat (Tabel
terdapat di Stasiun 6 (Maret) dan tertinggi di Stasiun 10 1). Tekstur substrat tersebut dikelompokkan lagi berdasarkan
(Mei). Rendahnya Indeks Keanekaragaman di Stasiun 6 grafik segitiga Shepard. Berdasarkan fraksinya, lumpur
(Maret) disebabkan tingginya dominansi S. scutata baru sangat dominan hingga melebihi 55%. Hasil analisis segitiga
berkembang biak yang dibuktikan dengan banyaknya Shepard mengklasifikasikan satu tipe tekstur pada semua
individu pra dewasa dengan ukuran tubuh kecil dan stasiun yaitu lumpur berliat. Kondisi ini akibat tingginya
segmen-segmen belum sempurna. partikel terlarut dan tersuspensi dalam kolom air. Hal tersebut
Penelitian polychaeta di perairan mangrove oleh Junardi akan berakibat pada rendahnya kadar oksigen dalam
(2001), mendapatkan 26 spesies polychaeta. Berdasarkan sedimen atau hipoksia (Borja et al., 2000).
data tersebut, perairan Peniti memiliki kekayaan spesies Spesies yang dapat hidup dalam kondisi demikian hanya
dan keanekaragaman polychaeta yang tinggi. Hutan spesies-spesies tertentu. Hal ini akan berdampak pada
mangrove Peniti menjadi faktor penentu tingginya kekayaan tingginya kemelimpahan dan dominansi serta menurunkan
dan keanekaragaman spesies polychaeta. Serasah yang nilai keanekaragaman, sehingga tipe substrat akan
berasal dari hutan mangrove merupakan suplai tetap bahan berpengaruh terhadap kemelimpahan, dominansi dan
organik ke badan perairan. keanekaragaman polychaeta. Hasil penelitian ini
menunjukkan adanya beberapa spesies oportunistik selain
Karakteristik substrat Paraonis sp. yaitu S. scutata, Capitellid, Perinereis, dan
Karakteristik substrat bulan Maret dan Mei tidak Prionospio cirrifera. Banyaknya spesies oportunistik tersebut
berbeda secara signifikan (Tabel 1.). Karbon organik dalam dalam stasiun menyebabkan adanya keseimbangan nilai
sedimen dapat bersumber dari hasil proses dekomposisi keseragaman dan keanekaragaman spesies.
serasah. Kandungan karbon organik (C-organik) berkisar
antara 2,65-12,14%. Nilai ini tergolong tinggi dan
kandungan C-organik tertinggi terdapat di Stasiun 2 (Mei). KESIMPULAN
Polychaeta yang ditemukan paling banyak pada stasiun ini
adalah Paraonis sp. Spesies ini sangat menyukai kondisi
Polychaeta yang ditemukan di perairan hutan mangrove
sedimen dengan komposisi lumpur yang tinggi (Alcantara
Peniti, Kalimantan Barat sebanyak 43 spesies yang
dan Weiss, 1991). Pemakan deposit ini lebih dapat cepat
termasuk polychaeta pemakan deposit. Keanekaragaman
beradaptasi dengan kondisi bahan organik tinggi.
polychaeta yang ditemukan umumnya tinggi (>2,5).
Kandungan karbon organik yang tinggi dalam sedimen
Karakteristik substrat polychaeta tergolong lumpur berliat
akan berdampak pada rendahnya oksigen dalam sedimen.
dengan kandungan karbon organik tinggi.
Oksigen dimanfaatkan oleh mikrobia untuk menguraikan
bahan organik yang ada. Paraonis sp. tergolong spesies
216 B I O D I V E R S I T A S Vol. 9 No. 3, Juli 2008, hal. 213-216
DAFTAR PUSTAKA jalur hijau hutan mangrove. Ciloto. 27 Pebruari-1 Maret 1986. Proyek
Lingkungan Hidup LIPI dan Departemen Kehutanan.
Day J.H. 1967. A Monograph on the Polychaete of Southern Africa. Part 1 &
Alcantara, P.H., and V.S.Weiss. 1991. Ecological aspect of the polychaeta 2. Trustees. London: The British Museum (Natural History).
population associated with the Red Mangrove Rhizophora mangle at Dinas Perikanan Kalimantan Barat. 1989. Pemanfaatan sumber daya dan
Laguna de Terminos, Southern Part of The Gulf of Mexico. Ophelia 5 program pengembangan perikanan Propinsi Daerah Tingkat I
(Suppl): 451-462. Kalimantan Barat. Prosiding Temu Karya Ilmiah Pengkajian Potensi dan
Anderson J.M., and J.S.E.I Ingram. 1993. Tropical Soil Biology and Fertility. Prospek Pengembangan Perikanan Wilayah Kalimantan. Pemprov.
A Handbook of Methods. Second ed. Wallingford: CAB. International.. Kalbar, Pontianak, 11- 12 Januari 1989.
Atmosentono M., 1989. Kebijakan pembangunan daerah tingkat I Kalimantan Fauchald K. 1977. The Polychaete Worm: Definitions and Keys to Orders,
Barat khususnya subsektor perikanan dalam Repelita V. Prosiding Temu Families, and Genera. Los Angeles: Natural History Museum.
Karya Ilmiah Pengkajian Potensi dan Prospek Pengembangan Fauchald K, and P.A. Jumars. 1979. The diet of worms: a study of
Perikanan Wilayah Kalimantan. Pemprov. Kalbar, Pontianak, 11- 12 polychaete feeding guilds. Oceanography, Marine Biology Annual
Januari 1989. Review. 193-284.
Beesley, P.L., G.J.B. Ross, and C.J. Glasby. 2000. Polychaetes and allies: Junardi. 2001. Keanekaragaman, Pola Penyebaran dan Ciri-ciri Substrat
the Southern synthesis. Fauna of Australia. Polychaeta, Myzostomida, Cacing Laut (Polychaeta) di Perairan Pantai Timur Lampung Selatan.
Pogonophora, Echiura, Sipuncula. Melbourne: CSIRO [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Borja A, J. Franco, and V. Perez. 2000. A marine biotic index to establish the Krebs C.J. 1989. Ecological Methodology. New York: Harper Collins
ecological quality of soft-bottom benthos within European estuarine and Publishers.
coastal environments. Marine Pollution Bulletin: 1100-1114. Poclington, P, and P.G. Wells. 1992. Polychaetes: key taxa for marine
Bruno C, M.B. Cousseau, and C. Bremec. 1998. Contribution of environment quality monitoring. Marine Pollution Bulletin 24: 593-598.
polychaetous annelid to the diet of Cheilodactylus berghi (Pisces, Stolyarov A.P. 1995. Zonal distribution of the macrobenthos in the estuary of
Cheilodactilidae). Abstract of 6th International Polychaete Conference. the Chernaya River (Gulf of Kandalaksha) on the White Sea.
Brazil, 2-7 Agustus 1998. International Polychaetes association. Hydrobiological Journal 31: 12-19.
Coto, Z, T.B. Suselo, S. Rahardjo, J. Purwanto, E.M. Adiwilaga, dan P.J.H. Wilson, R.S, P.A. Hutchings, and C.J. Glasby. 2003. An Interactive
Nainggolan. 1986. Interaksi ekosistem hutan mangrove dan ekosistem Identification Guide. Melbourne: CSIRO Publishing.
perairan di daerah estuaria. Diskusi panel daya guna dan batas lebar
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 9, Nomor 3 Juli 2008
Halaman: 217-221
ABSTRACT
Phytoplankton can be used as indicator of waters environment quality. This research was conducted in Bauluang Island waters of Takalar
Regency of South Sulawesi. The aims of this research were study the richness and stabilization of Bauluang Island waters by analysis of
phytoplankton diversity and their relationship of waters quality. Plankton net no. 25 was used to phytoplankton collection then it was
preserved in MAF solution. Identification of phytoplankton was conducted until species level and counting cell method was used to
calculate their population density. Varies phytoplankton density at the range of 470-2,680 ind./L and species at the range of 5-20 species.
Phytoplankton stabilization was moderate while phytoplankton evenness was spread. Correlation (r) of phytoplankton diversity with
alkalinity and total organic matter was 0.61 respectively.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
P. Bauluang
LEGEND:
Hutan mangrove
Sisa-sisa hutan mangrove
Pemukiman/desa
Ladang
Tambak ikan
Danau
Sedimentasi dangkal
Perairan dangkal (< 5 m)
Laut dalam (> 5 m)
Gambar 1. Lokasi studi di perairan pulau Bauluang, kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (YKL Indonesia, 2003). Keterangan: Angka 1 s.d.
9 merupakan titik-titik samping penelitian.
PIRZAN dan PONG-MASAK – Hubungan keragaman fitoplankton dengan kualitas air 219
pada kisaran 470-2.680 ind./L dan jumlah spesies pada usaha perikanan budidaya yang berkelanjutan karena
kisaran 5-20 serta indeks keragama pada kisaran 1,4703- memiliki nilai keragaman (H’>1). Nilai keragaman di
2,8499, indeks keseragaman 0,7417-0,9743 dan indeks perairan ini relatif lebih tinggi (H’ = 1,4703-2,8499)
dominansi 0,1160-0,2552. Jumlah individu dan spesies dibandingkan dengan perairan Polewali (H’ = 0,8664-
fitoplankton yang ditemukan dalam studi ini relatif lebih 2,39141). Hal ini diduga karena penduduk pulau Bauluang
tinggi dibandingkan dengan perairan Polewali, yaitu masih belum padat dan masyarakatnya senantiasa diberi
masing-masing pada kisaran 40-1.520 ind./L dan 3-13 penyuluhan akan pentingnya keberadaan mangrove
spesies. Selain itu, jumlah individu juga lebih tinggi sebagai pengaman serta sebagai habitat dan daerah
dibandingkan dengan selat Likupang dan kepulauan asuhan larva dan juvenil jenis-jenis ikan, krustasea,
Togian, masing-masing pada kisaran 20-1.300 ind./L dan moluska tertentu, dan organisme perairan lainnya.
11-112 ind./L, serta jumlah spesies masing-masing pada Nilai keseragaman fitoplankton di perairan pulau
kisaran 4-15 dan 2-5 spesies (Pirzan et al., 2005; 2006). Bauluang tergolong tinggi (E>0,75), kecuali di stasiun 2
Perairan ini relatif lebih baik dibandingkan dengan perairan yang memiliki nilai relatif rendah, tetapi secara keseluruhan
Polewali dan selat Likupang diduga karena pulau ini masih kepadatan atau keberadaan biota tersebut termasuk merata
merupakan wilayah kepulauan Spermonde yang jauh dari (Ali, 1994) sehingga tidak terjadi dominansi spesies yang
sumber cemaran berupa limbah perkotaan dan industri dapat menunjang usaha perikanan yang produktif dan
yang mengalir ke perairan. berkelanjutan. Hal ini diperkuat Pirzan et al. (2005) yang
Hasil analisis keragaman (H’) fitoplankton memperlihat- menyatakan bahwa apabila keseragaman mendekati nol
kan bahwa seluruh stasiun termasuk stabil moderat. berarti keseragaman antar spesies di dalam komunitas
Menurut Stirn (1981) apabila H’ < 1, maka komunitas biota tergolong rendah dan sebaliknya keseragaman yang
dinyatakan tidak stabil, apabila H’ berkisar 1-3 maka mendekati satu dapat dikatakan keseragaman antar
stabilitas komunitas biota tersebut adalah moderat (sedang) spesies tergolong merata atau sama.
dan apabila H’ > 3 berarti stabilitas komunitas biota berada Nilai indeks dominansi (D) fitoplankton di perairan pulau
dalam kondsi prima (stabil). Semakin besar nilai H’ Bauluang pada seluruh stasiun memperlihatkan nilai yang
menunjukkan semakin beragamnya kehidupan di perairan rendah (baik) yang berarti tidak terjadi dominansi spesies
tersebut, kondisi ini merupakan tempat hidup yang lebih tertentu di perairan tersebut. Apabila nilai dominansi
baik. Kondisi di lokasi studi, mudah berubah dengan hanya mendekati nilai 1 berarti di dalam komunitas terdapat
mengalami pengaruh lingkungan yang relatif kecil. spesies yang mendominansi spesies lainnya, sebaliknya
Berdasarkan nilai keragaman perairan ini mendukung apabila mendekati nilai 0 berarti di dalam struktur
komunitas tidak terdapat spesies yang
Tabel 1. Jumlah individu dan spesies, indeks keragaman, keseragaman dan dominansi secara ekstrim mendominasi spesies
fitoplankton di perairan pulau Bauluang, kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
lainnya (Basmi, 2000). Faktor utama yang
mempengaruhi jumlah organisme,
Stasiun
Spesies (ind./L) keragaman jenis dan dominansi antara
1 2 3 4 5 6 7 8 9
lain adanya perusakan habitat alami
Amphora hyalina - - - - - - - 80 -
A. laevis - 40 - - - - - - - seperti pengkonversian lahan mangrove
A. lineolata - - - - - 60 - - - menjadi tambak atau peruntukan lainnya,
A. quadrota - - - - - 40 - - - pecemaran kimia dan organik, serta
Bacteriastrum hyalinum - - 40 100 170 - - - - perubahan iklim (Widodo, 1997). Untuk
B. minus - - - - 190 180 - 120 150 mempertahankan tidak terjadinya
B. varians - - - - 110 170 - - 140 dominansi spesies tertentu di peraran
Ceratium trichoceros - - - 20 - - - - - pulau Bauluang, di samping melestarikan
Chaetoceros compressus 120 - 90 240 270 370 - - -
terumbu karang dan padang lamun, perlu
C. diversus - - - - 170 - - - -
C. laevis - - - - 150 - - - - juga ditempuh upaya pelestarian dan
C. lorenzianus - - 100 - 180 - - - - rehabilitasi ekosistem hutan mangrove,
C. setoensis - - - - 260 - - - - antara lain: (i) hutan mangrove dijaga
C. teres - - - - 260 - - - - agar dapat bertumbuh dan berkembang
Climacosphenia moniligera 30 - - - 60 - 60 50 50 secara alami, (ii) hutan mangrove yang
Coeconeis pseudomorginata - - - - 50 - - - - telah rusak atau masih dalam tahap
Coscinodiscus megalomma 120 - - - 70 - - - - perkembangan dibantu dengan
Hyalodiscus steligger - - - - 60 - - - -
melakukan penanaman bibit mangrove,
Nitzschia longissima 100 160 140 160 60 150 250 200 200
N. pungens 50 - - - - - - - - (iii) mengembangkan tambak tumpangsari
N. sigma - - - - - - - 90 - baik dengan pola komplangan maupun
Oscillatoria sp - - 90 80 - - - - - empang parit, dan (iv) melakukan
Peridinium laneceolata - - - 40 50 - - - - reboisasi lahan mangrove yang kosong
Pleurosigma normanni - - - - - - - 80 - dengan pohon mangrove. Gunarto et al.
Pyrosistis lanceolata - 60 - - - - - - - (2002) mendapatkan indeks keragaman
Rhizosolenia calcaravis - - - - - - 220 - - makrobentos yang cenderung lebih tinggi
R. delicatula - 70 - - 60 190 - - -
pada lokasi tambak yang di sekitarnya
R. hebetata formahiemalis 50 160 90 - 120 140 250 - 170
R. imbricata - - - - 90 340 160 - 250 terdapat hutan mangrove lebat daripada
R. setigera - - - 110 - - - - tambak yang hutan mangrove-nya hampir
Tintinnus japonicus - - 120 90 - 170 130 30 110 habis dibabat.
T. nitzschiodes - - - - 190 140 - - -
Jumlah individu E(Sn) 470 490 670 730 2680 1950 1070 650 `1070 Parameter kualitas air
Jumlah spesies (S) 6 5 7 7 20 11 6 7 7 Parameter lingkungan perairan pulau
Keragaman (H’) 1,6786 1,4703 1,8960 1,7289 2,8499 2,2471 1,7062 1,8035 1,8638.
Bauluang, kabupaten Takalar, Sulawesi
Keseragaman (E) 0,9368 0,7417 0,9743 0,8885 0,9514 0,9401 0,9592 0,9628 0,8076
Dominansi (D) 0,2023 0,2552 0,1557 0,2050 0,2457 0,1172 0,1917 0,1864 0,1160 Selatan selama studi diperlihatkan pada
220 B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 3, Juli 2008, hal. 217-221
Tabel 2. Dari tujuh parameter kualitas air yang diamati, mempertahankan keragaman plankton tetap tinggi
maka alkalinitas dan BOT relatif lebih bervariasi sehingga tercapai pemanfaatan secara berkelanjutan.
dibandingkan dengan parameter lainnya. Zat hara Perubahan satu di antara faktor lingkungan akan
anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh mempengaruhi keragaan fitoplankton, penambahan unsur
dan berkembang biak adalah nitrogen dan fosfor. Zat hara nitrogen dan fosfat akan memperlihatkan pertumbuhan
lain, anorganik maupun organik diperlukan dalam jumlah fitoplankton yang signifikan pada kisaran salinitas 0-31 ppt.
kecil atau sangat kecil, namun pengaruhnya terhadap Di perairan yang bersalinitas < 2 ppt pertumbuhannya
produktivitas tidak sebesar nitrogen dan fosfor. Kedua dibatasi oleh unsur fosfat sedangkan pada perairan yang
unsur ini sangat penting karena kadarnya dalam air laut lebih asin dibatasi oleh unsur N (Caraco et al., 1978). Rasio
sangat kecil. nitrat dan fosfat (rasio N/P) di perairan pulau Bauluang
adalah 4:1. Rasio N/P di perairan terbuka biasanya hampir
Tabel 2. Parameter kualitas perairan pada setiap titik sampling di konstan, yaitu sekitar 15:1, tetapi pada perairan di dekat
pulau Bauluang, kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada saat pantai rasionya sangat bervariasi (Nontji, 1984). Rasio N/P
studi berlangsung. dalam studi ini memperlihatkan nilai yang relatif rendah, hal
ini diduga karena perbedaan kondisi dan proses yang
NH4-N NO2-N NO3-N PO4-P Fe BOT Alkalinitas terjadi di lingkungan perairan. Apabila laju pemakaian
Stasiun
(mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) nitrogen oleh fitoplankton berlangsung cepat dan tidak
1 1,0440 0,0470 1,3640 0,3258 0,2315 2,728 24,24 sebanding dengan laju pemakaian fosfat maka rasio N/P
2 0,2301 0,0441 1,3745 0,3267 0,2683 2,046 20,20 akan mengecil. Hal lain dapat juga terjadi, dimana laju
3 0,2161 0,0432 1,3710 0,3314 0,0287 9,548 64,64
regenerasi fosfat dari bahan tersuspensi atau sedimen
4 0,1889 0,0438 1,3683 0,3191 0,2110 2,728 24,24
5 0,1786 0,0447 1,3774 0,3232 0,2288 7,502 52,52 berlangsung lebih cepat dan tidak disertai penyediaan
6 0,1904 0,0429 1,3730 0,3294 0,2297 5,456 40,40 nitrogen yang cukup.
7 0,1898 0,0423 1,3855 0,3362 0,4801 2,046 20,20 Kandungan besi pada perairan ini berkisar antara
8 0,2267 0,0423 1,3878 0,3337 0,4434 4,092 32,32 0,0287-0,4801 mg/L (0,27±0,13) (Tabel 2.). Kandungan
9 0,2097 0,0429 1,3821 0,3319 0,3145 1,364 16,16 tersebut secara umum relatif lebih tinggi dibandingkan
Rerata 0,29 0,04 1,37 0,33 0,27 4,17 32,77 dengan di perairan umum, yaitu 0,05-0,2 mg/L (Boyd,
(SD) (±0,28) (±0,001) (±0,008) (±0,005) (±0,13) (±2,80) (±16,58) 1990), namun kondisi ini diperkirakan tidak banyak
berpengaruh terhadap organisme budidaya, karena setiap
Kandungan amonium (NH4-N) berkisar antara 0,1786- saat terjadi pencucian melalui proses hidrodinamika dan
1,0440 mg/L (0,29±0,28) (Tabel 2.). Menurut Boyd (1990) pasang surut air laut.
amoniak dan amonium bersifat toksik tetapi amoniak lebih
S = 0.34509069
toksik daripada amonium. Kandungan rata-rata amonium r = 0.61153882
lebih rendah dibandingkan dengan kandungan amoniak 2.9
9
dalam baku mutu air laut untuk biota laut, yaitu 0,3 mg/L
(MENLH, 2004). Amonium mempunyai keuntungan dilihat 2.7
1
dari segi pemanfaatannya karena plankton langsung dapat Y = 1,5447 + 0,089X
Indeks keragaman
Selanjutnya kandungan nitrat antara 1,3640-1, 3878 mg/L Bahan organik total (ppm)
(1,370±0,008), lebih tinggi dibanding dengan baku mutu air
laut untuk biota laut, yaitu 0,008 mg/L (MENLH, 2004). S = 0.34509069
r = 0.61153882
Bentuk ion nitrat dan amonium mempunyai peranan penting
9
sebagai sumber nitrogen bagi plankton meskipun peranan 2.9
ABSTRACT
A study on the relationships between prey animals and the occurence of sumatran tiger was conducted in Kerinci Seblat National Park,
western Sumatra from May up to September 2001. The data have been collected from eight study sites based on the forest habitat types
and its threats. The results showed that frequency of encounters with prey animals in different forest habitats were no difference. This might
indicates that the prey animals were distributed fairly in all types of forest habitat. The frequency encounters of the sumatran tiger signs,
however, have shown differently between locations. The encounters of tiger signs were more frequent in the forest habitats that close to the
streams; in forest habitats with few animal huntings; and in forest habitats with no logging activities. This findings support the hypotheses
that the existence of sumatran tiger as a predator is determined by the dense vegetations surrounding streams as hiding place used in an
ambush; availability of prey animals as food, and habitat disturbances as shown by logging.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae); forest habitat; prey animals.
Faktor yang mempengaruhi frekuensi perjumpaan hewan terdahulu (Santiapilai dan Ramono, 1993; Sriyanto dan
mangsa Rustiati, 1997) secara jelas menunjukkan adanya hubungan
Frekuensi perjumpaan hewan mangsa sangat dipenga- positif antara penyusutan mangsa dengan populasi
uhi faktor ekologi (letak geografi) dan tingkat ancamannya harimau. Karena keberadaan hewan mangsa merupakan
(perburuan dan kerusakan habitat). Ketinggian letak salah satu faktor terpenting dari komponen habitat harimau
geografi dapat digunakan indikator ekologi, sedangkan (Karanth dan Stith, 1999).
pemukiman terdekat dan penebangan pohon masing-
masing dapat digunakan sebagai indikator perburuan dan
kerusakan habitat. Berdasarkan uji statistik regresi Table 2. Uraian analisis regresi berganda kemelimpahan frekuensi
perjumpaan hewan mangsa.
berganda yang menguji faktor-faktor yang mempengaruhi
frekuensi perjumpaan hewan mangsa, diperoleh hasil yang
Unstandardized
Standard error
signifikan (P<0,05) yaitu dengan letak ketinggian geografi
Standardized
(p=0,041), jarak ke pemukiman terdekat (p=0,012) dan
regression
regression
coefficient
coefficient
rusaknya habitat (p=0,039) (Table 2.). T Sig.
Kawasan dataran rendah yang jauh dari desa dan
dengan penebangan pohon sedikit, tingkat perjumpaan
hewan mangsa tinggi. Ketiga faktor ini merupakan faktor Log10 Ketinggian -0,241 0,115 -0,284 -2,088 0,041
penting yang dapat mempenga-ruhi frekuensi perjumpaan Log10 Jarak ke desa -1,802 0,693 -0,442 -2,599 0,012
mangsa. Faktor keamanan dari perburuan yang ditunjukkan Penebangan pohon 0,298 0,141 0,330 2,115 0,039
dengan indikator jarak ke pemukiman desa menjadi faktor
terpenting dari perjumpaan hewan mangsa (p= 0,012). Hal
ini menunjukkan bahwa tingginya intensitas konversi hutan Table 3. Uraian analisis regresi berganda kemelimpahan frekuensi
dan perburuan yang dilakukan oleh masyarakat desa perjumpaan tanda harimau sumatera.
sekitar hutan sangat mempengaruhi hewan-hewan ungulata
Unstandardized
yang merupakan hewan mangsa utama harimau. Hewan-
Standard error
Standardized
hewan tersebut dianggap sebagai hama oleh para petani
regression
regression
coefficient
coefficient
karena masuk dan merusak ladang. Babi hutan adalah T Sig.
salah satu hewan mangsa utama harimau yang dianggap
sebagai hama oleh para petani, sehingga seringkali diburu.
Kawasan hutan yang dekat dengan desa mempunyai
Log10 Ketinggian 0,222 0,085 0,312 2,625 0,011
tekanan yang lebih besar, karena intensitas aktivitas Log10 Jarak ke desa -0,121 0,040 -0,367 -3,068 0,003
manusia yang lebih tinggi (efek tepi) seperti penebangan Penebangan pohon -0,007 0,031 -0,280 2,323 0,024
pohon dan perburuan liar (Woodroffe dan Ginsberg, 1998).
Deforestasi yang terjadi akibat penebangan pohon
menyebabkan menurunnya biomassa vegetasi yang berarti Perburuan mangsa secara besar-besaran yang
juga menurunnya kualitas habitat. Penurunan kualitas dilakukan oleh manusia telah menekan jumlah hewan
habitat ini sangat mempengaruhi populasi hewan-hewan mangsa yang ada di wilayah hidup harimau. Berdasarkan
mangsa karena berkurangnya sumber pakan dan naungan bukti empiris tersebut diyakini bahwa penyusutan mangsa
vegetasi sebagai tempat berlindung. Sedangkan hutan merupakan faktor utama pengurangan jumlah harimau di
dataran rendah lebih mendukung biomassa hewan mangsa, habitatnya. Perburuan mangsa yang dilakukan oleh
karena hutan dataran rendah mempunyai tingkat masyarakat di TNKS umumnya menggunakan jerat.
keragaman dan kerapatan vegetasi yang lebih tinggi Banyaknya jerat yang ditemukan di kawasan TNKS
dibandingkan hutan perbukitan dan pegunungan. kemungkinan juga mempengaruhi kehadiran harimau,
karena harimau akan cenderung menghindar untuk mencari
Faktor yang mempengaruhi frekuensi perjumpaan harimau tempat yang lebih aman.
sumatera Korelasi kemelimpahan harimau sumatera dengan jarak
Pada penelitian ini frekuensi perjumpaan harimau diten- ke sungai adalah positif dan signifikan (p=0,011) dimana
tukan dengan log10 jarak ke sungai (p=0,011), perburuan kemelimpahan harimau lebih tinggi dikawasan dekat alur
mangsa (p=0,003) dan penebangan pohon (p=0,024) dan sungai. Daerah dekat sungai merupakan daerah yang
uji statistik mununjukkan hasil yang signifikan (p<0,05). paling banyak dimanfaatkan oleh satwa liar termasuk
Perjumpaan dengan tanda bekas harimau menjadi lebih hewan ungulata, karena kebutuhan terhadap air dan daerah
sering di kawasan dekat sungai yang perburuan hewan dekat sungai merupakan daerah aluvial yang kaya akan
mangsanya sedikit dan jarang penebangan pohon hutannya nutrisi. Strategi predator selalu mencari tempat-tempat
(Tabel 3). hewan mangsa berkumpul agar mudah melakukan
Faktor-faktor ekologi dan tingkah laku dapat membatasi penyergapan. Hewan mangsa biasanya berkumpul pada
sebaran harimau di Sumatera, sehingga populasi tersebut tempat-tempat sumber pakan yang melimpah, dimana
rentan terhadap perubahan habitat yang dilakukan daerah pinggiran alur sungai merupakan lahan yang sangat
manusia. Jarak dari sungai, perburuan mangsa, dan subur untuk jenis-jenis vegetasi yang merupakan sumber
penebangan pohon merupakan tiga faktor penting yang pakan hewan mangsa. Harimau lebih memilih kawasan
mempengaruhi tingkat perjumpaan harimau. Dari ketiga yang dekat dengan sungai agar lebih mudah melakukan
faktor tersebut, perburuan mangsa adalah faktor yang penyergapan terhadap hewan mangsa. Tempat-tempat di
paling signifikan dan mempunyai pengaruh besar terhadap sekitar alur sungai mempunyai tutupan vegetasi yang rapat,
frekuensi perjumpaan harimau (Ramakrishnan et al., 1999). sehingga sangat menguntungkan harimau yang memburu
Pernyataan ini diperkuat oleh Sunquist dan Sunquist (1989) mangsanya dengan cara serangan mendadak atau
serta Lynam et al. (2000) yang menyatakan bahwa harimau penyergapan. Menurut Nowell dan Jackson (1996), daerah
sangat tergantung pada tutupan vegetasi yang rapat, akses jelajah harimau biasanya terbatas pada daerah inti
ke sumber air, dan hewan mangsa yang cukup. Penelitian kawasan lindung dan menghindari daerah yang memiliki
226 B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 3, Juli 2008, hal. 222-226
kemelimpahan populasi manusia tinggi. Berkurangnya Franklin, N., Bastoni, Sriyanto, D. Siswomartono, J. Manansang, and R.
Tilson. 1999. Last of the Indonesian tigers: a cause for optimism. In:
tutupan vegetasi yang rapat akan menyulitkan harimau Siedensticker, J., S. Christie, and P. Jackson (eds.). Ridding the Tiger:
melakukan aktifitas seperti perburuan mangsa, sehingga Tiger Conservation in Human Dominated Landscape. Cambridge, UK.:
fragmentasi habitat yang terjadi akibat dari penebangan liar Cambridge University Press.
menyebabkan distribusinya menjadi terbatas. Faust, T and R. Tilson. 1994. Estimating how many tigers are in Sumatra: a
beginning. In: Tilson, R., K. Soemarna, W. Ramono, S. Luslie, K.H.
Taylor, and U. Seal (eds.). Sumatran Tiger Population and Habitat
Viability Analysis Report. Jakarta: Indonesian Directorate of Forest
Protection and Nature Conservation and IUCN/SSC Conservation
KESIMPULAN Breeding Specialist Group. Apple Valley, Minnesota.
Griffith, M. 1994. Population density of Sumatran tiger in Gunung leuser
Frekuensi perjumpaan hewan mangsa antara setiap tipe National Park. In: Tilson, R., K. Soemarna, W. Ramono, S. Luslie, K.H.
Taylor, and U. Seal (eds.). Sumatran Tiger Population and Habitat
habitat hutan secara statistik menunjukkan tidak terdapat Viability Analysis Report. Jakarta: Indonesian Directorate of Forest
perbedaan yang nyata, walaupun cenderung lebih banyak Protection and Nature Conservation and IUCN/SSC Conservation
dijumpai pada dataran rendah. Hewan mangsa dapat Breeding Specialist Group. Apple Valley, Minnesota.
Karanth, K.U. and B.M. Stith. 1999. Prey depletion as a critical determinant
ditemukan menyebar di habitat hutan dataran rendah, of tiger population viability. In: Siedensticker, J., S. Christie, and P.
perbukitan dan pegunungan. Frekuensi perjumpaan tanda Jackson (eds.). Ridding the Tiger: Tiger Conservation in Human
bekas harimau sumatera antara setiap tipe habitat hutan Dominated Landscape. Cambridge, UK.: Cambridge University Press.
menunjukkan tidak terdapat perbedaan. Tanda-tanda bekas Lancia, R.A., J.D. Nichols, and K.N. Pollock. 1994. Estimation of number of
animals in wildlife populations. In: Bookhout, T (ed.). Research and
kehadiran harimau sumatera dapat dijumpai merata di Management Techniques for Wildlife and Habitats. Bethesda, Maryland,
semua habitat hutan dataran rendah, perbukitan, dan USA: The Wildlife Society.
pegunungan. Faktor jarak dari tempat pemukiman adalah Linkie, M., D.J. Martys, J. Holden, A. Yanuar, A.T. Hartana, J. Sugardjito,
and N.L. William. 2003. Habitat destruction and poaching threaten the
faktor terpenting yang mempengaruhi frekuensi perjumpaan Sumatran tiger in Kerinci Seblat National Park, Sumatra. Oryx 37: 41-48.
hewan mangsa. Daerah yang jauh dari pemukiman Lynam, A.J., T. Palasuwan, J. Ray, and S. Galster. 2000. Tiger Survey
mempunyai frekuensi perjumpaan hewan mangsa yang Techniques and Conservation Handbook. Bangkok: Wildlife
tinggi. Letak habitat hutan yang berdekatan dengan alur Conservation Society-Thailand Program.
Macdonald, D.W. (ed.). 1984. The Encyclopedia of Mammals. New York:
sungai, habitat hutan yang aman dari perburuan binatang Facts on File, Inc.
dan bebas dari penebangan pohon merupakan lokasi yang Nowell, K. and P. Jackson. 1996 Wild Cats, Status Survey and Conservation
sering terdapat tanda-tanda bekas kehadiran harimau. Di Action Plan. Cambridge, UK.: IUCN Publication Service Unit.
Nyhus, P.J. and R. Tilson. 2004. Characterizing tiger-human conflict in
antara ketiga faktor tersebut, perburuan hewan mangsa Sumatra, Indonesia: Implications for conservation. Oryx 38: 68-74.
adalah faktor terpenting yang mempengaruhi frekuensi O’Brien, T.G., M.F. Kinnaird, and H.T. Wibisono. 2003. Crouching Tiger,
perjumpaan tanda bekas harimau sumatera. Daerah Hidden Prey: Sumatran tiger and prey populations in a tropical forest
dengan perburuan hewan mangsa yang sedikit mempunyai landscape. Animal Conservation 6: 131-139.
Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan, and P. Kramadibrata. 1998. Biologi
frekuensi perjumpaan tanda bekas kehadiran harimau yang Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
tinggi. Ramakrishnan, U., R.G. Coss, and N.W. Pelkey. 1999. Tiger decline caused
by the reduction of large ungulate prey, evidence from a study of leopard
diet in southern India. Biological Conservation 89: 113-120.
Santiapilai, C. and Ramono, W.S. 1993 Conservation of Sumatran tiger
UCAPAN TERIMAKASIH (Panthera tigris sumatrae) in Indonesia. Tiger Paper 20: 44-48.
Seal, U., Soemarna, K, and Tilson, R. 1994 Population biology and analysis
for Sumatran tiger. In: Siedensticker, J., S. Christie, and P. Jackson
Penulis mengucap terima kasih terutama kepada Dr. (eds.). Ridding the Tiger: Tiger Conservation in Human Dominated
Matthew Linkie dari DICE, Kent University, UK atas bantuan Landscape. Cambridge, UK.: Cambridge University Press.
Seidensticker, J., S. Christie, and P. Jackson. 1999. Preface. In:
finansialnya dalam mendukung penelitian ini. Terima kasih Siedensticker, J., S. Christie, and P. Jackson (eds.). Ridding the Tiger:
juga diucapkan kepada Kepala Balai TNKS, Listya Tiger Conservation in Human Dominated Landscape. Cambridge, UK.:
Kusumawardhani, dan Suwartono yang telah memberikan Cambridge University Press.
Sriyanto dan E.L. Rustiati. 1997. Hewan mangsa potensial harimau Sumatra
ijin untuk melakukan penelitian serta dukungannya dalam di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Dalam: Tilson, R., Sriyanto,
melakukan operasi pemberantasan perburuan binatang di E.L. Rustiati, Bastoni, M. Yunus, Sumianto, Apriawan, dan N. Franklin
TNKS, serta Deborah J. Martyr dari Tiger Conservation and (ed.). Proyek Penyelamatan Harimau Sumatra: Langkah-langkah
Protection Unit (TPCU) dan Monitoring Harimau Sumatera konservasi dan Manajemen In-situ dalam Penyelamatan Harimau
Sumatra. Jakarta: LIPI.
(MHS) TNKS yang tiada henti dan lelah terus berjuang Sunquist, M.E, K.U. Karanth, and F.C. Sunquist. 1999. Ecology, behaviour
melestarikan harimau Sumatera di TNKS. Akhirnya penulis and resilience of the tiger and its conservation needs. In: Siedensticker,
juga mengucap terima kasih kepada para mahasiswa dan J., S. Christie, and P. Jackson (eds.). Ridding the Tiger: Tiger
Conservation in Human Dominated Landscape. Cambridge, UK.:
petugas lapangan Balai TNKS yang membantu dalam Cambridge University Press.
pengumpulan data selama penelitian. Sunquist, M.E. and F.C. Sunquist. 1989. Ecological constraints on predation
by large felids. In: Gittleman, J.L (ed.). Carnivore Behavior, Ecology, and
Evolution. Ithaca, NY.: Cornell University Press.
Tilson, R., Sriyanto, E.L. Rustiati, Bastoni, M. Yunus, Sumianto, Apriawan,
DAFTAR PUSTAKA dan N. Franklin (ed.). Proyek Penyelamatan Harimau Sumatra:
Langkah-langkah konservasi dan Manajemen In-situ dalam
Penyelamatan Harimau Sumatra. Jakarta: LIPI.
Ahearns, S.C., J.L.D. Smith, A.R. Joshi, and J. Ding. 2001. TIGMOD: An Whitten, A.J., S.J. Damanik, J. Anwar, dan N. Hisjam. 1984. Ekologi
individual-based spatially explicit model for simulating tiger/human Sumatra. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
Interaction in multiple use forests. Ecological Modelling 140: 81-97. Woodroffe, R. and J.R. Ginsberg. 1998. Edge effect and the extinction of
Eisenberg, J.F. and J. Seidensticker. 1976. Ungulates in southeast Asia: A population inside protected areas. Science 280: 2126-2128.
consider of biomass estimates for selected habitats. Biology
Conservation 10: 293-308.
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 9, Nomor 3 Juli 2008
Halaman: 227-231
ABSTRACT
Natural ecosystem forest of Bedugul-Pancasari represents an area which located in Tabanan regency, Bali province. This ecosystem area
consist of eight laid orchard at strategic area so that do not deny by many society forest exploit variety involve residing in the area. This
research aimed to get the information about variance factors that influence the extraction of nature resources by the village and also to
know the respondent characteristic. The result from frequency distribution table showed the age of respondent 20-35 (45%) was the
biggest group which taken the forest biodiversities around Bedugul-Pancasari forest. The respondent who taken the biggest forest
biodiversity has income from 50,000-185,000 rupiahs (42%) and 82% as a farmer. The age, the distance between house and forest, and
the number of family member variables influenced the respondents to take the forest biodiversities. The Cramer’s V value for each variable
is 0.592, 0.691 and 0.723 that indicated there was correlation.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta.
Area penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-Maret 2006,
♥ Alamat korespondensi: Lokasi pengambilan contoh dalam melihat karakteristik
Candikuning, Baturiti, Tabanan 82191, Bali. responden yang memanfaatkan sumberdaya hutan dipilih
Tel.: +62-368-21273, Fax.: +62-368-22050 lima dusun secara purposif, yaitu: Candikuning, Batu Sese,
E-mail : bram_shearer@yahoo.com
228 B I O D I V E R S I T A S Vol, 9, No, 3, Juli 2008, hal, 227-231
2
Bukit Catu, Pemuteran, dan Dasong. Pemilihan ini X = Nilai Chi square
didasarkan pada kedekatan kelima dusun tersebut dengan l = Jumlah kolom atau baris terbesar
wilayah hutan sekitar Bedugul-Pancasari, kabupaten
Tabanan. Data yang digunakan dalam penelitian ini bukan
merupakan keseluruhan dari populasi, oleh sebab itu di- HASIL DAN PEMBAHASAN
lakukan pengambilan contoh. Metode pengambilan contoh
(sampel) dilakukan dengan pendekatan nonprobability
Memahami karakteristik dan perilaku masyarakat yang
sampling dengan metode purposive sampling. Metode ini
menggunakan hutan, atau masyarakat yang mengambil
menjadi satu-satunya alternatif yang cocok karena tidak
sumberdaya hutan untuk kehidupan sehari-hari merupakan
adanya sample frame yang jelas.
informasi yang sangat bermanfaat dan penting bagi sebuah
Lestari (2004) menyatakan bahwa ukuran minimum
lembaga pengambil kebijakan dalam menyusun strategi
sampel yang dapat diterima berdasarkan desain penelitian
pengelolaan hutan sebagai usaha menciptakan kelestarian
yang menggunakan metode deskriptif-korelasional, minimal
hutan.
adalah 30 subjek. Pada penelitian ini diambil contoh atau
Lestari (2004), menyatakan bahwa ada tiga pendekatan
responden sebanyak 64 orang dengan pertimbangan
yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi karakteristik,
adanya keterbatasan waktu dan biaya.
yaitu: pendekatan geografis, sosiografis, dan psikografis.
Berdasarkan pendekatan tersebut diperoleh data primer
Analisis data dan hasil analisis yang memperlihatkan bahwa responden
Metode analisis data yang digunakan meliputi: analisis yang menyatakan memanfaatkan sumberdaya hayati
deskriptif dan analisis strength of association (kekuatan sebanyak 50 responden, sedangkan 14 responden
asosiasi) (Rangkuti, 2003). Metode analisis deskriptif menyatakan tidak mengambil sumberdaya hayati yang
bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berada di dalam hutan (missing). Responden yang tidak
berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa memanfaatkan sumberdaya hayati (SDH) dalam
sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Metode ini juga pengambilan kayu bakar dan rumput umumnya tidak
bertujuan menjawab pertanyaan yang menyangkut sesuatu memiliki ternak dan lokasi rumahnya jauh dengan hutan.
pada saat berlangsungnya proses penelitian (Lestari, Disamping itu, pemanfaatan kayu bakar dinilai kurang
2004). Data primer yang telah dikumpulkan melalui ekonomis serta memerlukan waktu serta proses yang lebih
kegiatan wawancara secara langsung dengan masyarakat lama. Statistik jumlah responden yang memanfaatkan
yang memanfaatkan hutan, kemudian ditabulasikan dalam sumberdaya hutan diperlihatkan pada Tabel 1.
sebuah tabel distribusi frekuensi. Analisis frekuensi usia terhadap responden yang me-
Penggunaan tabel distribusi frekuensi akan memberikan manfaatkan sumberdaya hayati hutan paling besar berada
gambaran yang lebih jelas dalam menganalisis perilaku dan pada kisaran usia 20-27 tahun dan 28-35 tahun yang men-
karakteristik responden. Tabulasi dalam tabel distribusi capai 24%, sedangkan rentang usia 68-75 hanya sebesar
frekuensi, mengikuti aturan Struge (Ramanathan, 1997; 2% (Tabel 2.). Hal ini dapat disebabkan, dalam pengam-
Cooper, 1995), dimana mensyaratkan bahwa panjang bilan sumberdaya hayati hutan masyarakat perlu berjalan
interval kelas harus sama, dirumuskan dengan: jauh dan beban yang harus dibawa cukup berat. Kondisi ini
memerlukan kondisi tubuh yang relatif baik. Karakteristik
k = 1 + 3,3 log n responden berdasarkan tingkat pendidikan memperlihatkan
jumlah terbesar responden yang mengambil sumberdaya
n = jumlah contoh; k = jumlah kelas interval hayati hutan adalah berpendidikan SD (32%). Hasil analisis
memperlihatkan pada tingkat pendidikan yang rendah (tidak
Panjang kelas interval (p) ditentukan dengan rumus: tamat SD dan tamat SD) sebanyak 78% memanfaatkan
R sumberdaya hayati hutan (Tabel 3). Rendahnya tingkat
p= pendidikan ikut menyebabkan rendahnya keterampilan
k
R = rentang masyarakat. Dengan sebagain besar berada pada kisaran
umur produktif, kegiatan pengambilan sumberdaya hutan
Panjang rentang ditentukan dengan rumus: juga dijadikan sebagai mata pencaharian. Tingkat
pendidikan yang rendah menjadikan mereka yang berada
R= Xn-Xi pada golongan usia produktif tidak dapat diserap dalam
lapangan pekerjaan formal.
Xn = Nilai data terbesar; Xi = Nilai data terendah Berdasarkan data primer pendapatan dari responden
yang memanfaatkan sumberdaya hayati hutan memper-
lihatkan data tersebar pada rentang pendapatan 50.000-
Analisis strength of association
185.000 (42%) dan rentang 186.000-321.000 (22%) (Tabel
Analisis ini akan memperlihatkan apakah variabel tidak
4.). Kondisi pendapatan yang rendah menjadi salah satu
bebas yang ada dalam contingency table mempunyai
penyebab mereka mengambil sumberdaya hayati hutan
keterkaitan yang erat atau berhubungan nyata dengan
(khususnya kayu bakar) sebagai sarana memasak. Hal ini
variabel bebasnya. Alat analisis yang digunakan berupa
diperparah dengan kenaikan BBM pada tahun 2005,
analisis Cramer’s V yang merupakan analisis pengukuran
sehingga banyak responden yang mengalihkan konsumsi
untuk strength of association antara dua variabel. Analisis
minyak tanah ke kayu bakar. Umumnya responden mencari
Cramer’s V lebih sesuai untuk bentuk tabel yang memiliki
kayu bakar dua kali lebih banyak setelah terjadi kenaikan
lebih dari dua kolom dan dua baris (Nazir, 1988)
BBM dibandingkan sebelumnya. Sumberdaya hayati yang
dirumuskan sebagai berikut:
diambil tidak hanya terbatas kayu bakar, namun juga jenis
X2 tanaman yang dapat diperjualbelikan, Bedugul merupakan
l −1 salah satu sentra penjualan berbagai tanaman hias, dan
Cramer’s V = tidak sedikit yang berasal dari keanekaragaman hutan
sekitar wilayah Bedugul-Pancasari.
NUGROHO dkk, – Ekosistem hutan alami Bedugul-Pancasari, Bali 229
Tabel 1. Statistik jumlah responden yang memanfaatkan Tabel 7. Distribusi frekuensi jarak.
sumberdaya hutan. Freq. % Valid% Cum%
Valid 0,5-0,9 3 4,7 6,0 6,0
tanggungan
1-1,4 22 34,4 44,0 50,0
Pendapatan
Pendidikan
Pekerjaan
SDH yang
1,5-1,9 0 0 0 50,0
yang ikut
keluarga
Anggota
Domisili
Jumlah
diambil
2-2,4 18 28,1 36,0 86,0
Hutan
Jarak
Usia
rumput yang mencapai 52% (Tabel 6.). Kondisi ini antara variabel bebas yang dipengaruhi variabel tidak
disebabkan kenaikan harga BBM yang menyebabkan bebasnya dianalisis dengan analisis Cramer’s V. Analisis ini
meningkatnya kebutuhan kayu bakar karena adanya menilai apakah variabel bebas akan mempengaruhi
pengalihan konsumsi minyak tanah ke arah kayu bakar. variabel tidak bebas secara nyata, atau pengambilan
Tingginya pencarian rumput disebabkan sebagian besar sumberdaya hutan oleh masyarakat hanya dipengaruhi oleh
responden memiliki ternak sapi. Sedangkan pola konsumsi faktor budaya yang selama ini sudah menjadi pola,
yang hanya mengambil kayu bakar (28%) memperlihatkan sehingga variabel-variabel bebasnya tidak berpengaruh
bahwa pola penggunaan kayu bakar sebagai sarana dalam mendorong masyarakat untuk memanfaatkan atau
pengganti minyak tanah ataupun gas cukup besar. mengambil sumberdaya hutan. Variabel tidak bebas dalam
Sebagian besar responden yang memanfaatkan hutan penelitian ini berupa sumberdaya hutan yang diambil oleh
berada pada kisaran pendapatan yang rendah, sehingga masyarakat, sedangkan variabel bebasnya berupa usia,
kenaikan harga minyak tanah akan menyebabkan pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan dalam
pergeseran pola konsumsi ke kayu bakar yang lebih besar. keluarga dan jarak tempat tinggal sampai ke hutan.
Sumardjani (2007), menyatakan, pemanfaatan kayu Analisis Cramer’s V pada Tabel 12. memperlihatkan
bakar akan dapat megurangi subsidi pemerintah dalam bahwa tingkat pendidikan dan pendapatan tidak memiliki
pemenuhan subsidi minyak tanah. Namun, pengelolaan hubungan yang nyata dalam mendorong responden untuk
hutan untuk keperluan pemenuhan kayu bakar harus mengambil sumberdaya hutan. Variabel yang berperan
dengan managemen yang baik. Pemerintah juga harus mendorong responden untuk mengambil sumberdaya hutan
menyiapkan sistem jaringan distribusi dan pemasaran kayu adalah usia, jumlah tanggungan keluarga dan jarak. Tabel
bakar secara nasional, agar memudahkan semua orang frekuensi usia memperlihatkan bahwa rentang usia 20-35
untuk menggunakan kayu bakar. Pemanfaatan kayu bakar tahun paling banyak memanfaatkan hutan, sehingga
juga harus disertai dengan introduksi teknologi dalam berdasarkan analisis Cramer’s V ini terdapat hubungan
pemanfaatannya, sehingga konsumsi kayu bakar dapat yang kuat antara sumberdaya hutan yang diambil
dikurangi yang secara langsung akan mengurangi responden dengan kelompok usia 20-35 tahun. Kondisi ini
intensitas masyarakat untuk mengambil kayu bakar di hutan juga terkait dengan jumlah tanggungan keluarga yang
(Anonim, 2007). umumnya kecil.
Dari lima dusun yanng dipilih sebagai contoh untuk
melihat hubungan masyarakat sekitarnya dalam Tabel 12. Kekuatan asosiasi sumberdaya hutan yang diambil
pemanfaatan sumberdaya hutan, terlihat bahwa sebanyak terhadap variabel tidak bebasnya.
22 responden (44%) menuju hutan di sekitarnya pada jarak
1-1,4 km (Tabel 7.). Jika dilihat dari sisi geografis antara Variabel tidak bebas Cramer’s V
lima dusun yang dijadikan contoh, hasil analisis Usia 0,592 *
memperlihatkan bahwa penduduk akan mencari Pendidikan 0,236
keanekaragaman hayati di hutan yang berdekatan dengan Pendapatan 0,252
dusunnya dan tidak berusaha mencari di hutan lain yang Jumlah tanggungan dalam keluarga 0,723**
berjauhan dengan dusunnya. Pola penyebaran dalam Jarak 0,691*
* = nyata dengan kesalahan 1%
mencari sumberdaya hutan memperlihatkan bahwa
** = nyata dengan kesalahan 5%
penduduk Candikuning yang berdekatan dengan Kebun
Raya Bali, memanfaatkan Kebun Raya Bali sebagai tempat Variabel jarak juga menunjukkan kekuatan untuk
mencari sumberdaya hutan. mempengaruhi responden dalam memanfaatkan sumber-
Frekuensi terbesar dari penduduk yang mencari daya hutan, dengan nilai Cramer’s V sebesar 0,691, Hal ini
sumberdaya hutan berasal dari wilayah candikuning, mengindikasikan terdapat hubungan antara jarak dengan
mencapai 21.9% (Tabel 8). Hal ini dikarenakan desa ini pengambilan sumberdaya hutan, jika jarak rumah ke hutan
merupakan desa terdekat dari kegiatan pariwisata, serta semakin jauh, maka pengambilan sumberdaya hutan akan
merupakan sentra wilayah penjualan tanaman hias. berkurang. Tingkat pengambilan sumberdaya hutan
Sementara wilayah hutan yang paling banyak diambil terbanyak berada pada jarak 1-1,4 km, sedangkan untuk
sumberdaya hutannya adalah wilayah kebun raya, bukit jarak 0,5-0,9 km lebih rendah disebabkan sedikitnya rumah
tapak serta bukit pohen (Tabel 9.) Ketiga wilayah ini pada jarak kurang dari 1 km dari hutan.
merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan
desa, serta mmpunyai jarak yang paling dekat dengan
desa.
Jumlah tanggungan dalam satu keluarga Cagar biosfer
memperlihatkan bahwa dalam satu keluarga dengan jumlah Berdasarkan hasil analisis perilaku responden dalam
tanggungan sebanyak 4 orang mempunyai proporsi pemanfaatan hutan alami Bedugul-Pancasari tersebut,
terbesar untuk mengambil sumberdaya hutan. Hal ini juga maka perlu dibentuk suatu kawasan buffer untuk
didasarkan sebagian besar responden memiliki jumlah melindungi keanekaragaman kawasan hutan Bedugul-
tanggungan sebanyak 4 orang (Tabel 10). Sebagaian besar Pancasari. Pembentukan cagar biosfer dapat menjadi salah
respondn yang mengambil sumberdaya hutan memiliki satu bentuk perlindungan sekaligus penyangga, yang
profesi sebagai petani (64.1%) Tabel 11. Hasil wawancara secara langsung juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
memperlihatkan bahwa kecenderungan mereka mengambil sekitar hutan. Cagar biosfer yang lebih dari sekedar
sumberdaya hutan juga disebabkan lokasi pertanian yang kawasan lindung, tujuannya agar pada kawasan tersebut
berdkatan dengan hutan, sehingga lebih mudah untuk dapat dijaga kelestarian dan keanekaragaman hayatinya
mengambil sumberdaya hutan. melalui perlindungan penuh dan ketat seperti umumnya
pada suatu cagar alam (buffer). Kegiatan manusia berupa
Analisis strength of association pemanfaatan sumberdaya alam dikendalikan dengan ketat,
Analisis kekuatan asosiasi ini digunakan dalam melihat namun kegiatan ilmiah seperti pemantauan jangka panjang
keterkaitan atau kekuatan antara dua variabel. Keterkaitan
NUGROHO dkk, – Ekosistem hutan alami Bedugul-Pancasari, Bali 231
atau praktek pengelolaan berprinsip keseimbangan ekologi hutan memiliki tanggungan keluarga pada rentang 2-5
masih dapat dilakukan (Darnaedi dkk., 2005). orang (90%). Pola perilaku responden dalam mengambil
Cagar biosfer merupakan kawasan ekosistem daratan sumberdaya hutan memperlihatkan bahwa pengambilan
dan pesisir/laut, yang secara internasional diakui berada di umumnya dilakukan secara bersamaan antara suami dan
dalam kerangka Program Manusia dan Biosfer dari istri (52%), dengan pengambilan sumberdaya hutan
UNESCO (Statutory Framework of the World Network, of terbesar berupa kayu bakar dan rumput secara bersamaan
Biosphere Reserves-Kerangka Hukum Jaringan Cagar dengan proporsi mencapai 52%. Sebanyak 50% responden
Biosfer Dunia). Secara fisik, cagar biosfer harus terdiri atas memanfaatkan hutan dalam rentang jarak 0,5-1,4 km dari
tiga elemen, yaitu: satu atau lebih zona inti, yang rumah, dan semakin menurun dengan bertambahnya jarak.
merupakan kawasan dilindungi bagi konservasi Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa masyarakat
keanekaragaman hayati, pemantauan ekosistem yang mengambil sumberdaya hutan di sekitar wilayah dusunnya.
mengalami gangguan, dan melakukan kegiatan penelitian Pengambilan sumberdaya hutan terbanyak berupa kayu
yang tidak merusak dan kegiatan lainnya yang berdampak bakar dan rumput secara bersamaan yang mencapai
rendah (seperti pendidikan); zona penyangga yang 40,6%. Analisis kekuatan asosiasi menunjukkan hanya tiga
ditentukan dengan jelas, yang biasanya mengelilingi atau variabel bebas yang mempengaruhi komposisi sumberdaya
berdampingan dengan zona inti, dan dimanfaatkan bagi hutan yang diambil, masing-masing dengan nilai Cramer’s
kegiatan-kegiatan kerjasama yang tidak bertentangan V adalah: usia (0,592), jarak rumah sampai ke hutan
secara ekologis, termasuk pendidikan lingkungan, rekreasi, (0,691), dan jumlah tanggungan keluarga (0,723).
ekoturisme dan penelitian terapan dan dasar; zona transisi
atau zona peralihan, yang dapat berisi kegiatan pertanian,
pemukiman dan pemanfaatan lain, dimana masyarakat DAFTAR PUSTAKA
lokal, lembaga manajemen, ilmuwan, lembaga swadaya
masyarakat, masyarakat adat, pemerhati ekonomi dan Anonim. 2006a. Perspektif Sosiologis Pelibatan Masyarakat Lokal dalam
pemangku kepentingan lain bekerjasama untuk mengelola Pembangunan Kehutanan. http://fkkm,org/ artikel/index,php/action=
dan menyeimbangkan sumberdaya secara berkelanjutan, detail&page =30%E2%8C%A9 =ind, (17 Maret 2006).
Anonim. 2006b. Biosphere Reserves: The Seville Strategy and the Statutory
Pengaturan kepemilikan juga bermacam-macam. Zona inti Framework of the World Network. http://www,dephut,go,id/ INFORMASI/
cagar biosfer kebanyakan merupakan tanah negara, tetapi PHPA / TAMNAS /cagar_biosfer.htm. (23 Juni 2006).
dapat juga dimiliki secara pribadi atau milik organisasi non Anonim. 2007. Hemat kayu bakar dengan tungku alternatif. ESP News 23:
pemerintah. Dalam banyak hal, zona penyangga Halaman 4.
Bjoerkqvist, K. 1997. The invitability of conflict but not of violence: theoretical
merupakan milik perseorangan atau masyarakat tertentu, considerations on conflict and agression. In: Fry, D.P. and K.
dan kondisi ini pada umumnya ditemukan pula pada daerah Bjoerkqvist. (eds.). Cultural Variation in Conflict Resolution: Alternatives
transisi (Anonim, 2006, 2006a). to Violence. Mahwah, NJ.: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Cooper, D.R. and C.W. Emory, 1995. Business Researh Methods. 5th ed.
Secara singkat, cagar biosfer harus dapat melestarikan Jakarta: Erlangga.
dan menghasilkan nilai-nilai alami dan budaya melalui Darnaedi, D., M. Siregar, H. Soedjito, dan E. Sukara. 2005. Konsep cagar
pengelolaan yang dapat dipertanggungjawabkan secara biosfer: alternatif pengelolaan kawasan Tri-Danau Beratan, Buyan, dan
ilmiah, sesuai dengan kreativitas budaya dan diterapkan Tamblingan, Provinsi Bali. Prosiding Simposium Analisis Daya Dukung
dan Daya Tampung Sumberdaya Air di Kawasan Tri-Danau Beratan,
secara berkelanjutan. Disamping itu, pembentukan cagar Buyan dan Tamblingan, Bali. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun
biosfer harus mengacu pada kondisi sosial, sebagai upaya Raya ’Eka Karya’ Bali. Bedugul Bali. 11 Agustus 2005.
menghindari terjadinya konflik. Pemahaman sosial ini harus Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah-Direktorat Jenderal
Penataan Ruang. 2004. Draft Rencana (Ringkasan) Peninjauan Kembali
didukung dengan pengetahuan tentang spesifikasi RDTR Kawasan Pariwisata Bedugul-Pancasari Bali Tahun Anggaran
sosiologis sistem sosial yang dihadapi. Secara teoritis 2003. Jakarta.
konsep sosiologis yang dimaksud meliputi: konsep Lestari, S.N.W. 2004. Analisis Tingkat Kepuasan Pengunjung dan
masyarakat (society), tujuan sosial (social goals), sistem Implikasinya Terhadap Taman Bunga Nusantara Cipanas, Kabupaten
Cianjur. [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi
sosial (social system), ordo sosial (social order), siklus Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB.
sosial (social cycle), dan aliran sumberdaya (resource flow) Nazir,M. 1988. Metode Penelitian. Edisi 3. Jakarta: Graha Indonesia.
(Parker, 1992; Bjoerkqvist, 1997). Parker, J.K. and W.R. Burch. 1992. Toward a Social Ecology for Agroforestry
in Asia. USA. Winrock International-South Asia Books.
Ramanathan, R. 1997. Introductory of Econometrikcs with Applications. 4th
ed. San Diego: University of California.
Rangkuti, F. 2003. Measuring Customer Satification: Gaining Customer
KESIMPULAN Relationship Strategy. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Unit KSDA Bali. 2000. Informasi Potensi Kawasan Konservasi Propinsi Bali.
Analisis tabel distribusi frekuensi memperlihatkan Denpasar.
Yusnawati, C. 2004. Pengaruh Sosial Ekonomi Masyarakat terhadap
bahwa usia responden 20-35 tahun (48%) merupakan Pemanfaatan Hutan Mangrove di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten
golongan usia terbesar dalam mengambil sumberdaya Deli Serdang. [Tesis]. Medan: Program Pasca Sarjana, Universitas
hutan. Rentang pendapatan masyarakat yang Sumatera Utara.
memanfaatkan hutan paling besar berkisar Rp. 50.000- Sumardjani, L. 2007. Kayu sebagai sumberdaya energi: potensi ekonomi luar
biasa yang terlupakan. ESP News 23: halaman 1-3.
85.000 (42%), dan sebanyak 82% berprofesi sebagai
petani. Responden terbesar yang mengambil sumberdaya
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 9, Nomor 3 Juli 2008
Halaman: 232-236
ABSTRACT
The impact of CPO (Crude Palm Oil) dock activity in Mentaya River of Central Borneo caused degradation of ecosystem, particularly on
both mangrove and macrozoobenthos community. One of methods used for monitoring of ecosystem degradation was to determine
species that were still survive under the polluted conditions. These survival species were assumed to synthesize alloenzyme that can be
used as indicator. Alloenzyme was synthesized as an effort of adaptation processes toward environmental pressures caused by CPO spill
on Mentaya River. Alloenzyme would be expressed as phenotypic and genotypic adaptation processes or phenotypic plasticity. Research
was carried out, consisted of field research included collecting sample and environmental data (oil content, temperature, pH, electric
conductivity and redox potential), and laboratory research included series analysis of water quality (DO, BOD, COD, pH, TSS, TDS) and
also alloenzyme content of Soneratia caseolaris L. and Macrobrachium rosenbergii de Man. The alloenzyme of root and leaves mangrove
and prawn’s hepatopancreas was analyzed using Spencer starch gel electrophoresis modified method of exposed on sucrose solution.
Separated components of alloenzyme were detected by special staining for Esterase isozyme. The results revealed that Soneratia
caseolaris L. and Macrobrachium rosenbergii de Man were bioindicator organisms for the polluted site by oil spills from CPO loading
activities. The polluted river water by oil spill from CPO activities decreased redox potential, DO, increased oil content, DHL, water
temperature, pH sediment, pH water, TDS, BOD, COD, TSS. Gel electrophoretical analysis demonstrated that Mangrove Soneratia
caseolaris synthesized alloenzyme consisted of complex enzymes such as EST in its root and leave cells. Those enzymes were nearly
similar to those of Macrobrachium rosenbergii. The oil spill from CPO have ester bonding so its adaptation mechanism with release
Esterase isozyme to hodrolysis process. The similar component of the isozyme are promising enzyme used as a tool for biomonitoring
and an effective methods for detection of early river ecosystem degradation.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
lingkungan tertentu sehingga dapat digunakan sebagai satu BAHAN DAN METODE
petunjuk atau uji kuantitatif. Isozim dapat mengakibatkan
proses transkripsi dalam gen yang berbeda sehingga dapat Penelitian ini dilaksanakan di daerah muara Sungai
menyebabkan terjadinya modifikasi pada proses translasi, Mentaya, Kalimantan Tengah. Penelitian lapangan ini
serta dapat menyebabkan ekspresi dari struktur morfologi membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun, dilanjutkan uji
yang berbeda. Dinamika isozim terjadi seiring dengan laboratorium terhadap variasi isozim esterase di PAU
dinamika gen, sehingga sangat beralasan apabila dinamika Bioteknologi UGM Yogyakarta.
isozim digunakan untuk menentukan perubahan lingkungan
khususnya yang mengarah pada degradasi ekosistem. Bahan dan alat
Mutansi atau perubahan pada tingkat gen pada dasarnya Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
terjadi karena perubahan lingkungan, sehingga dinamika bahan kimia untuk analisis kualitas air, yaitu: pH stick
isozim sangat berarti dalam mendeteksi terjadinya mutansi (Merck), larutan MnSO4, KOH-KJ, H2SO4 pekat, Na2S2O3
secara lebih dini dan akurat dibandingkan menggunakan 0,025 N. Alat yang digunakan meliputi aerator dan perleng-
pengamatan secara visual. Menurut Singer dan Berg (1991) kapannya, saringan udang dari nilon, modifikasi alat
wujud ekspresi gen pada organisme adalah protein, pengambil cuplikan sedimen (Eijkman grab), botol akua
polipeptida ini terbentuk melalui rangkaian proses volume 500 mL untuk sampling air; pengukur potensial
transkripsi dan translasi. Badel dan Tatum (1963) redoks metode tanah jenuh air dengan Eh-meter tipe 42D
mengemukakan hipotesis mengenai keterkaitan antara gen SN-730692 (Jerman); pengukur DO dan BOD dengan
dan enzim, yaitu one gene one enzyme yang kemudian oksigenmeter dari YSI Incorporated, model 51B SN: 95 H
berkembang menjadi one gene one polypeptide, karena 36111 (Simpson Electric Co., Yellow Spring Ohio 45387-
enzim merupakan protein yang tersusun oleh polipeptida, 0279, Amerika Serikat); pengukur salinitas air dengan
maka sifat-sifat protein juga melekat pada enzim. Wiseman refraktometer (N.O.W, 0-100 ppt, Jepang), pengukur suhu
(2000) menyatakan bahwa biomonitoring seharusnya dan pH air dengan pH meter electric) (Ciba-Corning,
ditunjukkan dengan perubahan pada tingkat molekuler Jepang), pengukur panjang kerang dengan jangka sorong
sebagai biomarker sehingga dapat diperlakukan sebagai (Trickle Brand, seri 880703), pengukur kadar NH3 dengan
bioindikator. spectrophotometer/colorimeter (Perkin Elmer, Jerman
Dengan mengetahui keanekaragaman isozim maka Barat).
akan semakin besar kemungkinan mengetahui proses
dinamika struktur komunitas dalam ekologi yang dapat
Cara penelitian
digunakan untuk memonitoring proses degradasi
ekosistem. Sungai Mentaya, Kalimantan Tengah yang saat
ini dijadikan pusat transportasi perairan serta industri hulu Tahap persiapan
sangat rawan terhadap proses degradasi ekosistem akibat Penentuan lokasi pengambilan sampel bersifat
pencemaran tumpahan minyak CPO, sehingga perlu purposive random sampling. Penetapan untuk peletakan
penelitian untuk mencegah sedini mungkin terjadinya area kajian dan pencuplikan sampel menggunakan metode
degradasi ekosistem tersebut. Kovacs (1992) menyebutkan transek. Setiap transek berjarak 1 km mulai dari lokasi
bahwa makrozoobentos dapat dijadikan organisme daerah yang tercemar sampai muara sungai. Tiap transek
indikator karena mempunyai sifat spesifik terhadap berjarak 5 km dengan jarak titik sampling tiap 0,5 km mulai
perubahan kualitas air. Makrozoobentos yang migrasi dari lokasi daerah yang tercemar sampai 10 km menuju
karena terbawa aliran air dari hulu sungai ke estuarin muara sungai dan 10 km ke hulu menuju daerah kontrol.
mengalami proses adaptasi dengan lingkungan estuarin. Sampel diambil di daerah muara Sungai Mentaya
Dinamika sedimen akibat terjadi akumulasi material yang Kalimantan Tengah pada saat air surut maksimal. Dibuat
terbawa oleh aliran sungai juga secara tidak langsung garis transek yang berupa plot kuadrat ukuran 20 x 20
mempengaruhi pola adaptasi mangrove itu sendiri. Hal meter untuk golongan mangrove baik yang berupa pohon
inilah yang dapat diasumsikan timbulnya variasi alloenzim (diameter batang > 10 cm) dan diukur sekitar 1,3 meter dari
sehingga pada tingkat degradasi ekosistem dapat dideteksi pangkal batang. Lokasi penentuan plot untuk sampel
dari dinamika isoenzimnya. Menurut Ives et al. (1999) makrozoobenthos juga 20 x 20 meter dari batas mangrove
timbulnya variasi dalam suatu populasi tergantung pada menuju ke arah pantai. Sampel makrozoobenthos
sensitifitasnya terhadap fluktuasi perubahan lingkungan, dikumpulkan dalam “keramba” hingga waktu pengambilan
yakni interaksi antar spesies yang ada. Setiap spesies akan sampel untuk dibawa ke laboratorium tiba. Tiap sampel
menunjukkan efek yang berbeda dalam menanggapi suatu dengan ulangan 3 kali.
kompetisi, dan biodiversitas yang meningkat pada suatu
komunitas akan sangat mendukung terwujudnya stabilitas Pengamatan kualitas air, faktor fisik, dan faktor klimatik
komunitas tersebut. Bioindikator adalah kelompok atau Kualitas air yang diamati meliputi: suhu, kelembaban
komunitas organisme yang saling berhubungan, yang udara dan intensitas cahaya, DO, BOD, pH, padatan
keberadaannya atau perilakunya sangat erat berhubungan tersuspensi, potensial redoks dan NH3. Faktor fisik yang
dengan kondisi lingkungan tertentu, sehingga dapat diamati berdasarkan zonasi relief, air dan substrat. Faktor
digunakan sebagai satu petunjuk atau uji kuantitatif klimatik diamati meliputi curah hujan dan kelembaban.
(Ellenberg, 1991). Struktur komunitas organisme perairan
dipengaruhi oleh sifat fisika dan kimia air, antara lain: Pengujian elektromorf isozim esterase
kecepatan arus, padatan tersuspensi, suhu air, DO, pH, Material biologi yang diuji adalah sampel daun dan akar
BOD dan amoniak (Hellawell, 1986). Biomonitoring dengan tumbuhan mangrove S. caseolaris serta hepatopankreas
menggunakan parameter kualitas air dan dinamika struktur udang M. rosenbergii. Metode uji isozim yang digunakan
komunitas mangrove dan makrozoobentos melalui kajian mengikuti Widmer et al. (1986) dengan bahan gel
elektromorf isozim sangat efektif apabila dilakukan secara polyacrylamid. Pembuatan khemikalia mengikuti Chung
sinergis (1987), Chanda (1996), dan Bachrudin (1996).
B I O D I V E R S I T A S Vol. 8, No. 3, Juli 2008, hal. 233-236 234
tidak menguntungkan. Karakter limbah tumpahan CPO gen). Semakin banyak isozimnya diperkirakan daya tahan-
berupa minyak nabati yanng terdiri dari ikatan-ikatan ester. nya terhadap stress lingkungan akibat limbah CPO semakin
Mekanisme adaptasi terhadap bahan tersebut dengan tinggi. Hal inilah yang menjadikan alasan pada lokasi
mengeluarkan isozim esterase bertujuan untuk terpapar limbah CPO penampakan polimorfisme pita isozim
mempercepat reaksi hidrolisis maupun sintesis ikatan ester. organisme udang M. rosenbergii maupun mangrove S.
Isozim merupakan bentuk molekul majemuk suatu caseolaris sangat tampak jelas, namun pada lokasi kontrol
enzim dalam satu individu atau populasi dari satu spesies. tidak ditemukan polimorfisme pita isozim tersebut. Gel
Isozim dapat diidentifikasi dengan materi dari berbagai diposisikan pada puncak dan anoda di bagian bawah, untuk
bagian jaringan tumbuhan mangrove S. caseolaris, masing-masing lokus ditetapkan alelanya. Pita tunggal
misalnya akar dan daunnya. Sifat isozim sebagai penanda menunjukkan individu yang homozigot, sedangkan yang
morfologi dikontrol oleh gen majemuk dan faktor lingkungan mempunyai dua pita atau lebih menunjukkan heterozigot.
yang telah tercemar limbah tumpahan CPO di perairan Bentos dalam hal ini makrozoobentos berada pada kon-
sungai Mentaya, sedangkan sifat isozim sebagai penanda disi yang tidak menguntungkan karena pencemaran limbah
genetik atau biokimia, maka sifat resesif akan muncul. tumpahan CPO. Makrozoobentos udang M. rosenbergii ter-
Bonde et al. (1993) mengatakan bahwa ada tiga fenomena sebut melakukan adaptasi dengan mekanisme mengeluar-
biokimia yang muncul dari analisis isozim esterase, yaitu: kan isozim esterase. Tipe enzim tersebut merupakan enzim
adanya perbedaan alel-alel pada lokus tunggal, lokus regulator, sehingga pada umumnya akan mempunyai
ganda yang mengkode enzim tunggal serta proses translasi isozim. Proses adaptasi terhadap bahan pencemar CPO
dan pembentukan isozim sekunder. Penyebab timbulnya akan memunculkan enzim pendatang yang berupa isozim.
isozim menurut Sofro (1994) adalah: (i) adanya lokus gen Variabilitas genotip yang besar akan mempengaruhi daya
majemuk yang menyandi rantai polipeptida enzim yang tahan hidup yang besar pula. Hal inilah yang melatar-
strukturnya berlainan; (ii) adanya alelisme majemuk belakangi makrozoobentos dijadikan bioindikator untuk
(allozim) pada satu lokus yang menentukan versi rantai deteksi dini terhadap pencemaran limbah CPO. Mikrobia
polipeptida tertentu yang strukturnya berlainan; (iii) adanya tidak dijadikan sebagai bioindikator, karena mikrobia sendiri
pembentukan isozim sekunder akibat modifikasi pasca jarang menggunakan strategi isozim untuk menghadapi
penerjemahan struktur enzim. stress lingkungan yang diakibatkan oleh limbah CPO
Individu heterozigot yang membawa dua macam alel tersebut.
pada umumnya akan menunjukkan pola isozim yang lebih Jenis tumbuhan yang berasosiasi dengan mangrove S.
komplek dibandingkan individu homozigot. Apabila isozim- caseolaris adalah: Asplenium sp., Blechnum sp., Acanthus
nya monomerik (hanya terdiri atas satu rantai polipeptida), ilicifolius, Ipomea pescaprae, Melastoma sp., Schleryae sp.,
maka isozim yang tampak pada heterozigot akan meng- Cassia sp., Hibiscus tiliaceus., Ficus septica, Plumeria sp.,
gambarkan suatu campuran sederhana polipeptida yang Cyperus sp., dan Thespresia populnea. Tumbuhan
tampak pada kedua homozigot yang bersangkutan. Apabila mangrove mayor yang terdapat di lokasi penelitian yang
isozimnya multimerik (mengandung dua rantai polipeptida terpapar tumpahan minyak CPO dan dijadikan indikator
atau lebih) biasanya terdapat isozim hibrida tambahan yang adalah: S. caseolaris .
tidak dijumpai pada kedua jenis homozigotnya. Perbedaan
penting antara alelisme majemuk dan lokus majemuk Parameter lingkungan
sebagai penyebab pembentukan isozim, ialah: alelisme Faktor lingkungan sungai Mentaya, Kalimantan Tengah
majemuk menyebabkan perbedaan antara masing-masing akan mempengaruhi daya adaptasi udang M. rosenbergii
anggota spesies dalam pola isozim yang ada, sedangkan dan mangrove S. caseolaris. Data parameter lingkungan
lokus majemuk pada umumnya lazim untuk semua anggota diperlihatkan pada Tabel 1.
spesies, sehingga mempengaruhi pembentukan keseluruh-
an pola isozim. Suatu alel muncul akibat adanya mutasi gen Tabel 1. Data parameter kualitas perairan sungai Mentaya,
atau adaptasi terhadap zat pencemar tumpahan CPO, yang Kalimantan Tengah pada bulan Januari 2007.
selanjutnya akan mengakibatkan perubahan struktur protein
yang disandi. Secara matematis suatu alel dianggap jarang Rerata Rerata
Parameter Satuan
apabila frekuensi alelnya kurang dari frekuensi polimorfik (< kontrol terpapar
1%). Alel mutan yang muncul apabila tidak merugikan akan DO (dissolved oxygen) ppm 4,4 2,7
pH 3,5 4,7
muncul pada populasi generasi berikutnya. Menurut Rider o
Suhu C 30,1 32,6
dan Taylor (1980) alel pada kebanyakan lokus isozim di Daya hantar listrik air (water μS 52 98
alam bersifat kodominan, sehingga mudah membedakan electric conductifity)
antara individu homozigot dan heterozigot. TDS (total dissolved solid) ppm 58 26
Teknik elektroforesis untuk pemisahan enzim didasarkan BOD (biological oxygen demand) ppm 5 16
pada tiga prinsip yaitu perbedaan atas dasar berat molekul, COD (chemical oxygen demand ppm 20 65
perbedaan tipe muatan dan perbedaan sifat hidropobisitas- Potensial redoks sedimen mV 101 42
nya. Enzim yang dapat dilihat pada gel disebut elektromorf. pH tanah 5,96 6,49
Jika populasi mempunyai lebih dari satu elektromorf maka
disebut polimorf. Hal ini menunjukkan adanya lebih dari dua
alel untuk gen yang dikodekan enzim. Isozim yang dihasil- Berdasarkan data Tabel 1 terlihat bahwa air yang
kan oleh alelanya atau pada lokus yang sama disebut terpapar limbah tumpahan CPO akan menurunkan daya
sebagai allozim. Ekspresinya dapat berupa multiple genetic hantar listrik, DO (oksigen terlarut), potensial redoks serta
locus maupun multiple genetic allel. Setiap pita yang TDS (bahan terlarutnya). Disisi lain terjadi kenaikan BOD,
muncul dari hasil elektroforesis diintepretasikan dalam alel/ COD, pH tanah sediment suhu serta pH air. Bahan
lokus. Lokus merupakan lokasi kromosom, sedangkan alel cemaran tumpahan minyak CPO mengandung lemak
merupakan bentuk alternatif gen tunggal. Penentuan lokasi alkohol, metil ester, asam lemak jenuh dan tidak jenuh
lokus dengan menggunakan metode FISH (fluorescence in relatif seimbang. Berat jenis pada suhu kamar 0,8948 gr/ml
situ hybriditation) dengan menggunakan probe (pelacak lebih kecil dibandingkan dengan berat jenis air sehingga
B I O D I V E R S I T A S Vol. 8, No. 3, Juli 2008, hal. 233-236 236
berada di atas permukaan air. Lapisan minyak CPO akan menurunkan DO dan menaikkan COD dan BOD serta
menghambat proses difusi oksigen bebas ke permukaan air menaikkan daya hantar listrik. Hal ini mempengaruhi proses
sehingga kandungan oksigen terlarut berkurang secara adaptasi mangrove Soneratia caseolaris L. dan udang
drastis. Sifat polar dari bahan cemaran tumpahan minyak Macrobrachium rosenbergii dengan mengeluarkan isoenzim
CPO menyebabkan nilai DHL bertambah. Pada kondisi Esterase.
perairan yang terpapar tumpahan minyak CPO maka
lapisan minyak menutupi ujung akar mangrove Soneratia
caseolaris L. yang menyebabkan proses respirasi dan DAFTAR PUSTAKA
meristematis sel ujung akar terhambat. Proses
penghambatan metabolisme yang terjadi di akar dapat Bachrudin, Z. 1996. Petunjuk Laboratorium Isolasi, Identifikasi dan
dideteksi dengan teridentifikasinya isoenzim baru yang Pemurnian Protein. PAU Bioteknologi UGM. Yogyakarta
berupa Esterase. Nilai BOD dan COD yang naik serta DO Beadle, G. dan Edward Tatum, 1963. Genetics and Modern Biology. Vol.57.
Philadelphia, PA: American Philosophical Society, pp.73, USA.
yang turun drastis tersebut akan mempengaruhi proses Bonde, M.R., J.A. Micales and G.L.Peterson. 1993. The Use of Isozyme
adaptasi udang Macrobrachium rosenbergii dengan Analysis for Identification of Plant Pathogenic Fungi. Journal Plant
mekanisme mengeluarkan isoenzim Esterase. Disease 77; P:961-968.
Chanda, Virginia Benson (editor). 1996. Current Protocols in Protein
Science. USA. John Wiley and Sons, Inc.
Chung, M.C.M. 1987. Gene and Protein. A Laboratory Manual of Selected
KESIMPULAN Techniquein Molecular Biology. ICSU Press. Paris. France p: 101-111.
Deffense, 1985. Fractional of Palm Oil. JAOCS. Vol 62; p: 376-385.
Ives,A.R, J.L. Klug, and K.Gross. 1999. Stability and Variability in
Adaptasi biokimia bioindikator komunitas mangrove Competitive Communities. Journal of Sciences Vol: 286. Iss:5439
Soneratia caseolaris dan makrozoobentos Macrobrachium Kovacs, M. 1992. Biological Indicator of Environmental Pollution in Kovacs,
M (ed) Biological Indicator in Environment Protection. Elles Honwood,
rosenbergii terhadap limbah tumpahan CPO di sungai New York.
Mentaya Kalimantan dengan mengeluarkan isozim Singer, M. and P. Berg. 1991. Genes and Genomes. California University
esterase. Hal ini dapat dipakai sebagai metode Science Books.
Sofro, S.S.M. 1994. Keanekaragaman Genetik. Yogyakarta. Andi Offset.
biomonitoring degradasi ekosistem di muara sungai yang Wiseman, Allan. Ed. 2000. Biomonitoring, Extrapolation and Then
efektif dengan menggunakan dinamika elektromorf isozim Bioremediation for Ecorestoration. Journal of Trends in Biotechnology.
dari bioindikator mangrove dan makrozoobentos. Vol 19: p:7-8.
Tumpahan minyak CPO yang menutupi permukaan air
BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X
Volume 9, Nomor 3 Juli 2008
Halaman: 237-243
Review:
Keanekaragaman genetik HLA-DR dan variasi kerentanan
terhadap penyakit asma; tinjauan khusus pada asma dalam
Kehamilan
Genetic diversity of HLA-DR and varion of asthma susceptibility; an overview of
Asthma in Pregnancy
ABSTRACT
Asthma is the most common potentially serious medical condition to complicate pregnancy. To date, many attempts have been done to
detect genetic loci contributing to asthma susceptibility. HLA-DR loci may play an important role in the pathophysiology of allergic
inflammation by influencing specific IgE responses. Asthma affects almost 7 percent of women in their childbearing years. When women
with asthma become pregnant, a third of the patients improve, one third worsen, and the last third remain unchanged. Asthma
exacerbations are most likely to appear during the weeks 24 to 36 of gestation, with only occasional patients (10 percent or fewer)
becoming symptomatic during labor and delivery. Uncontrolled asthma can cause serious complications for mother, including high blood
pressure, toxemia and premature delivery. For the baby, complications of uncontrolled asthma include increased risk of stillbirth, fetal
growth retardation, premature birth, low birth weight and a low APGAR score at birth. The goal management of asthma during pregnancy is
to achieve optimal therapy, maintaining controlled asthma and increased the mother and baby’s quality of life. Most asthma medications
are safe during pregnancy.
© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
KEANEKARAGAMAN HLA-DR vaskularisasi paru tampak jelas pada foto toraks (Sodre,
2000).
HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility
complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan Perubahan hormonal
oleh kompleks antigen leukosit manusia (HLA/ human leukocyte Perubahan hormonal pada kehamilan mempengaruhi
antigen) yang terletak pada kromosom 6 daerah 6p21.31. HLA traktus respiratorius atas dan mukosa jalan napas,
sebenarnya didefinisikan sebagai antigen-antigen permukaan menyebabkan hiperemis, edema mukosa, hipersekresi dan
sel yang bertanggung jawab terhadap reaksi rejeksi pada peningkatan friabilitas mukosa, namun perubahan hormonal
transplan jaringan. HLA-DR juga terlibat dalam beberapa kondisi ini tidak secara signifikan mempengaruhi faal paru (Kramer,
auto imun, suseptibilitas maupun resistensi terhadap suatu 2001).
penyakit. Estrogen menyebabkan edema jaringan, kongesti
Hubungan antara asma dengan HLA-DR pada orang kulit kapiler dan hiperplasi kelenjar mukosa. Progesteron
putih telah diteliti oleh Mayers dan Marsh (dalam menyebabkan hiperemis mukosa jalan napas atas dan
Chandrakusuma 2008), yang membuktikan secara difinitif bawah, relaksasi otot polos jalan napas secara langsung
bahwa Gen HLA-DRaf3I*1501 yang terletak pada kromosom 6p dan potensialisasi relaksasi yang disebabkan oleh beta
21.3 secara pasti telah ditunjukkan oleh Marsh (dalam adrenergik agonis. Progesteron berkompetisi dengan
Chandrakusuma, 2008) mempunyai hubungan yang erat glukokortikoid dan mencegah translokasi nuklear
dengan penyakit atopi dan disebut sebagai the atopy-and- glukokortikoid, sehingga menyebabkan perlawanan efek-
asthma- I gene (AAI). Lebih jauh, Chandrakusuma (2008) efek fisiologis kortikosteroid endogen dan eksogen (Kelsen,
mengatakan bahwa gen kerentanan terhadap asma pasca 2003).
bronkiolitis dan gen kerentanan terhadap asma secara
keseluruhan pada populasi Indonesia belum pernah dilakukan.
Perubahan faal paru
Perubahan anatomi rongga dada mengakibatkan
STRUKTUR DAN VARIASI GENETIK HLA-DR penurunan progresif kapasitas residu fungsional sekitar 10-
12% (Kramer, 2001). Penurunan kapasitas residu
HLA-DR merupakan reseptor permukaan sel terdiri atas fungsional menyebabkan penurunan oksigenasi maternal
alpha dan beta heterodimer. Baik rantai alpha maupun beta bersamaan dengan peningkatan gradien oksigen alveoli-
dari struktur ini terikat pada membran. Genetik dari HLA-DR arteri. Penutupan jalan napas menyebabkan
adalah kompleks. HLA-DR dikodekan oleh beberapa lokus ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, hal ini biasa terjadi
dan beberapa gen. Rantai alpha dikodekan oleh lokus HLA- pada saat posisi terlentang, dan menyebabkan pergeseran
DRA. Sedangkan rantai beta dikodekan oleh 4 lokus kurva desaturasi oksihemoglobin ke kanan (Edwards et al.,
(Marsh,2005). Lokus HLA-DRB1 menyandikan banyak 2002).
produk gen fungsional, yaitu dari HLA-DR1 sampai HLA- Kehamilan meningkatkan 20% konsumsi oksigen serta
DR17. lokus HLA-DRB3 menyandikan HLA-DR52, yang 15% laju metabolik. Kebutuhan ekstra ini diperoleh melalui
cukup bervariasi, dan variasi ini berkaitan dengan peningkatan 40-50% resting minute ventilation, yang
variabilitas dengan tipe HLA-DRB1 tertentu. Lokus HLA- berasal terutama dari peningkatan volume tidal (Nelson and
DRB4 menyandikan HLA-DR53 yang juga bervariasi, dan Piercy, 2001; ACAAI, 2002). Hiperventilasi menyebabkan
variasi ini berkaitan dengan tipe HLA-DRB1 tertentu pula. peningkatan tekanan oksigen arteri (PaO2) serta
Lokus HLA-DRB5 menyandikan HLA-DR51 yang penurunan tekanan karbondioksida arteri (PaCO2), dengan
umumnya tidak bervariasi dan terkait dengan tipe HLA- kompensasi penurunan kadar bikarbonat serum sampai 18-
DR2. 22 mmol/l. Alkalosis respiratorik ringan (pH 7,44) seringkali
ditemukan dalam kehamilan (Nelson and Piercy, 2001).
Sesak napas sering dijumpai selama kehamilan, sekitar
2/3 wanita hamil mengalami sesak napas selama
FISIOLOGI PERNAPASAN PADA KEHAMILAN kehamilan terutama pada trimester ketiga, pada umumnya
terjadi pada 60% wanita saat aktivitas dan 20% saat
Kehamilan menyebabkan perubahan besar bagi istirahat. Sesak napas secara fisiologis dapat terjadi pada
seorang ibu sehingga memberikan perubahan yang awal kehamilan dan tidak mengganggu aktivitas harian.
signifikan pada fisiologi pernapasan. Perubahan fisiologi Mekanisme yang paling penting adalah hiperventilasi yang
pernapasan ini dipengaruhi oleh perubahan anatomis, disebabkan oleh peningkatan kadar progesteron (Nelson
hormonal dan faal paru selama kehamilan (Kramer, 2001). and Piercy, 2001; Schatz et al.,2000).
Perubahan anatomis
Perubahan anatomis rongga dada disebabkan oleh Perubahan fungsi respirasi
pembesaran uterus dan efek hormonal selama kehamilan. Kadar estrogen dan progesteron meningkat selama
Semakin uterus membesar, diafragma bergeser ke atas kehamilan, keduanya bertanggung jawab utama dalam
sejauh 4 cm, diameter antero posterior dan tranversus dada mempertahankan kehamilan. Progesteron meningkatkan
meningkat, sehingga membuat lingkar dinding dada laju ventilasi pada tingkat kemoreseptor pusat, sehingga
menjadi lebih lebar. Fungsi dan pergerakan diafragma terjadi penurunan tekanan arteri karbon dioksida dan
tetap normal. Tonus otot-otot abdomen menurun dan menyebabkan alkalosis respiratorik dengan pH arteri rata-
menjadi kurang aktif selama kehamilan (Kramer, 2001). rata 7,44 (Edwards et al., 2002).
Dilatasi kapiler traktus respiratorius terjadi pada awal Ventilasi permenit meningkat secara signifikan hingga
kehamilan, sehingga terjadi perubahan suara dan keluhan mencapai 20-40%, mulai trimester pertama, sedangkan
sulit bernapas melalui hidung. Infeksi saluran napas dan ventilasi alveolar meningkat sampai 50-70%. Peningkatan
preeklampsia memperberat gejala ini. Peningkatan ventilasi terjadi karena peningkatan produksi metabolik
karbon dioksida dan karena meningkatnya laju pernapasan
SUBIJANTO – Variasi kerentanan terhadap penyakit asma 239
yang disebabkan oleh tingginya kadar serum progesteron.. ringan, asma persisten sedang dan asma persisten berat,
Frekwensi pernapasan relatif konstan atau meningkat, dan tergantung pada frekwensi dan derajat berat gejalanya,
volume tidal meningkat 30-35% (Kramer, 2001). termasuk gejala malam, episode serangan dan faal paru
(Sharma, 2004).
Alkalosis gas darah Kelompok kerja National Asthma Education and
Hiperventilasi fisiologis menyebabkan alkalosis Prevention Program (NAEPP) berpendapat bahwa pasien
respiratorik dengan kompensasi ekskresi bikarbonat dari asma persisten harus dievaluasi minimal setiap bulannya
ginjal. Tekanan karbon dioksida arteri mencapai kadar selama kehamilan. Evaluasi termasuk riwayat penyakit
plasma 28-32 mmHg dan bikarbonat menurun sampai 18- (frekwensi gejala, asma malam hari, gangguan aktivitas,
21 mmol/L sehingga pH arteri berada dalam kisaran 7,40- serangan dan penggunaan obat ), auskultasi paru, serta
7,47. Hipoksemia ringan dapat terjadi ketika penderita tidur faal paru (NAEPP, 2005).
terlentang. Konsumsi oksigen meningkat 20-33% pada awal Uji spirometri dilakukan pada diagnosis pertama kali,
trimester I karena peningkatan kebutuhan janin dan proses dan dilanjutkan dengan pemantauan rutin pada kunjungan
metabolisme ibu (Kramer, 2001). pasien selanjutnya, tetapi pengukuran APE dengan peak
flow meter biasanya sudah cukup. Pasien dengan VEP1
60-80% prediksi meningkatkan risiko terjadinya asma pada
kehamilan, dan pasien dengan VEP1 kurang dari 60%
PATOFISIOLOGI ASMA PADA KEHAMILAN
prediksi memiliki risiko yang lebih tinggi (NAEPP, 2005).
Asma pada kehamilan berhubungan dengan kejadian
Perubahan fisiologis selama kehamilan mengubah Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan kelahiran
prognosis asma, hal ini berhubungan dengan perubahan prematur, sangatlah penting untuk menegakkan waktu
hormonal selama kehamilan. Bronkodilatasi yang dimediasi kehamilan secara akurat melalui pemeriksaan USG pada
oleh progesteron serta peningkatan kadar kortisol serum trimester pertama. Menurut pendapat kelompok kerja
bebas merupakan salah satu perubahan fisiologis NAEPP, evaluasi aktivitas dan perkembangan janin dengan
kehamilan yang dapat memperbaiki gejala asma, pemeriksaan USG rutin dipertimbangkan bagi : 1) wanita
sedangkan prostaglandin F2 dapat memperburuk gejala dengan asma terkontrol; 2) wanita dengan asma sedang
asma karena efek bronkokonstriksi yang ditimbulkannya sampai berat, mulai kehamilan minggu ke-32; 3) wanita
(Nelson and Piercy, 2001). setelah pulih dari serangan asma berat (NAEPP, 2005).
napas, mencegah serangan dan mencegah remodelling atau meningkatkan dosis kortiko steroid inhalasi sampai
dinding jalan napas (NAEPP, 2005). Kortikosteroid dosis medium. Data yang menunjukkan keefektivan dan
mencegah pelepasan sitokin, pengangkutan eosinofil jalan atau keamanan penggunaan kombinasi terapi ini selama
napas dan pelepasan mediator inflamasi (NAEPP, 2003). kehamilan sangat terbatas, tetapi menurut data uji coba
Kortikosteroid inhalasi mencegah eksarsebasi asma dalam kontrol acak pada orang dewasa tidak hamil
kehamilan dan merupakan terapi profilaksis pilihan (Nelson menunjukkan bahwa penambahan β2 agonis inhalasi
and Piercy, 2001). kerja lama pada kortiko steroid inhalasi dosis rendah
Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, menghasilkan asma yang lebih terkontrol daripada hanya
budesonid lebih banyak digunakan pada wanita hamil. meningkatkan dosis kortikosteroid (NAEPP, 2005).
Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa Profil farmakologi dan toksikologi β2 agonis inhalasi
penggunaan kortikosteroid inhalasi selain budesonid tidak kerja lama dan singkat hampir sama, terdapat justifikasi
aman selama kehamilan. Oleh karenanya, kortikosteroid bahwa β2 agonis inhalasi kerja lama memiliki profil
inhalasi selain budesonid juga dapat diteruskan pada keamanan yang sama dengan salbutamol, dan β2 agonis
pasien yang sudah terkontrol dengan baik sebelum inhalasi kerja lama aman digunakan selama kehamilan.
kehamilan, terutama bila terdapat dugaan perubahan Contoh β2 agonis inhalasi kerja lama adalah salmeterol
formulasi dapat membahayakan asma yang terkontrol dan formoterol (NAEPP, 2005). Bracken dkk
(NAEPP, 2005). menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang
Kortikosteroid oral selama kehamilan meningkatkan signifikan pada berat lahir dan panjang lahir bayi,
risiko preeklampsia, kelahiran prematur dan berat bayi lahir kelahiran prematur, maupun preeklampsia, pada
rendah (Nelson and Piercy, 2001; Gluck and Gluck,2005; penggunaan β2 agonis inhalasi kerja lama bila
NAEPP,2005; Sharma,2004). Bagaimanapun juga, dibandingkan dengan Salmeterol selama kehamilan
mengingat pengaruh serangan asma berat bagi ibu dan (Gluck and Gluck, 2005).
janin, penggunaan kortikosteroid oral tetap diindikasikan
secara klinis selama kehamilan (Nelson and Piercy, 2001). Tahap 4 : Asma Persisten Berat
Selama kehamilan, penggunaan prednison untuk Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai
mengontrol gejala asma penting diberikan bila terdapat tetapi masih membutuhkan tambahan terapi, maka dosis
kemungkinan terjadinya hipoksemia ibu dan oksigenasi kortikosteroid inhalasi harus dinaikkan sampai batas dosis
janin yang tidak adekuat (Greenberger, 1997). tinggi, serta penambahan terapi budesonid. Jika cara ini
Prednisolon dimetabolisme sangat rendah oleh gagal dalam mengatasi gejala asma, maka dianjurkan
plasenta (10%). Beberapa studi menyebutkan tidak ada untuk penambahan kortikosteroid sistemik (NAEPP, 2005).
peningkatan risiko aborsi, bayi lahir mati, kelainan Dosis kortikosteroid sistemik sebagai pengontol jangka
kongenital, reaksi penolakan janin ataupun kematian panjang selama kehamilan dan laktasi dapat dilihat pada
neonatus yang disebabkan pengobatan ibu dengan Tabel.2.
steroid (Nelson and Piercy,2001; NAEPP,2003; Rotschild
et al.,1997)
Kromolin sodium memiliki toleransi dan profil
PENATALAKSANAAN ASMA PADA PERSALINAN
keamanan yang baik, tetapi kurang efektif dalam
mengurangi manifestasi asma baik secara objektif
maupun subjektif bila dibandingkan dengan Serangan asma akut selama kelahiran dan persalinan
kortikosteroid inhalasi. Kromolin sodium memiliki sangat jarang ditemukan. Ibu hamil dapat melanjutkan
kemampuan anti inflamasi, mekanismenya berhubungan penggunaan inhaler rutin sampai persalinan. Pada ibu
dengan blokade saluran klorida. Kromolin ialah suatu dengan asma yang selama kehamilan telah menggunakan
terapi alternatif, bukan terapi yang dianjurkan bagi asma steroid oral (>7,5 mg prednisolon setiap hari selama lebih
persisten ringan (NAEPP, 2005). dari 2 minggu) saat awal kelahiran atau persalinan harus
Antagonis reseptor leukotrien (montelukast dan mendapatkan steroid parenteral (hidrokortison 100mg
zafirlukast) digunakan untuk mempertahankan terapi setiap 6-8 jam) selama persalinan, sampai ia mampu
terkontrol pada pasien asma sebelum hamil. Menurut memulai kembali pengobatan oralnya. Prostaglandin E2
opini kelompok kerja NAEPP, saat memulai terapi baru adalah suatu bronkodilator yang aman digunakan sebagai
untuk asma pada kehamilan, antagonis reseptor induksi persalinan untuk mematangkan serviks atau untuk
leukotrien merupakan terapi alternatif, dan tidak terminasi awal kehamilan. Prostaglandin F2α yang
dianjurkan sebagai terapi pilihan bagi asma persisten diindikasikan untuk perdarahan post partum berat, harus
ringan (NAEPP, 2005). digunakan dengan hati-hati karena menyebabkan
Teofilin menyebabkan bronkodilatasi ringan sampai bronkospasme (Nelson and Piercy, 2001).
sedang pada asma. Konsentrasi rendah teofilin dalam Selama kehamilan semua bentuk penghilang rasa sakit
serum beraksi sebagai anti inflamasi ringan. Teofilin dapat digunakan dengan aman, termasuk analgetik
memiliki potensi toksisitas serius bila dosisnya epidural. Hindarkan penggunaan opiat pada serangan
berlebihan atau terdapat interaksi dengan obat lain ( asma akut. Bila dibutuhkan tindakan anestesi, sebaiknya
misal dengan eritromisin). Penggunaan teofilin selama menggunakan epidural anestesi daripada anestesi umum
kehamilan membutuhkan dosis titrasi yang hati-hati serta karena peningkatan risiko infeksi dada dan atelektasis.
pemantauan ketat untuk mempertahankan konsentrasi Ergometrin dapat menyebabkan bronkospasme, terutama
teofilin serum 5 – 12 mcg/mL. Penggunaan teofilin dosis pada anestesi umum. Sintometrin (oksitosin/ergometrin)
rendah merupakan terapi alternatif, tapi tidak dianjurkan yang digunakan untuk mencegah perdarahan post partum,
pada asma persisten ringan (NAEPP, 2005). aman digunakan pada wanita asma. Sebelum
menggunakan obat-obat analgetik harus ditanyakan
mengenai sensitivitas pasien terhadap aspirin atau NSAID
Tahap 3 : Asma Persisten Sedang
(Nelson and Piercy, 2001).
Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid
inhalasi dosis rendah dan β2 agonis inhalasi kerja lama
242 B I O D I V E R S I T A S Vol. 8, No. 3, Juli 2008, hal. 237-243
KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN Tabel 2. Dosis pengobatan kontrol jangka lama selama kehamilan dan laktasi
Jenis Obat Sediaan Dosis Dewasa
Asma pada kehamilan yang tidak
Kortikosteroid inhalasi
terkontrol dapat mengakibatkan penurunan
asupan oksigen ibu, sehingga berefek negatif Kortikosteroid sistemik
bagi janin. Asma tak terkontrol pada 7,5-60 mg perhari sebagai dosis
Metilprednisolon tablet 2,4,8,16,32 mg
kehamilan menyebabkan komplikasi baik bagi tunggal di pagi hari
short course "burst" sebagai
ibu maupun janin (OSUMC, 2005). Prednisolon tablet 5 mg
kontrol
40-60 mg perhari dosis tunggal
Komplikasi asma pada kehamilan bagi ibu 5 mg/ 5 cc
atau dosis terbagi
Asma tak terkontrol dapat menyebabkan 15 mg/ 5 cc untuk 3-10 hari
stres yang berlebihan bagi ibu. Komplikasi tablet 1, 2,5, 5, 10, 20,
asma tak terkontrol bagi ibu termasuk : 1) Prednison
50 mg
Preeklampsia, ditandai dengan peningkatan 5 mg/ cc
tekanan darah, retensi air serta proteinuria; 2) 5 mg/ 5 cc
Hipertensi kehamilan, yaitu tekanan darah
Beta-2 agonis inhalasi kerja lama
tinggi selama kehamilan; 3) Hiperemesis
gravidarum, ditandai dengan mual-mual, berat Salmeterol MDI 21 mcg/puff 2 puff setiap 12 jam
badan turun serta ketidakseimbangan cairan DPI 50 mcg/puff 1 blister setiap 12 jam
dan elektrolit; 4) Perdarahan pervaginam DPI 12 mcg/ kapsul
Formoterol 1 kapsul setiap 12 jam
Induksi kehamilan dan atau komplikasi sekali pakai
kehamilan (OSUMC, 2005). Obat Kombinasi
1 puff 2 kali sehari : dosis
Fluticasone/ DPI 100, 250 atau
Komplikasi asma pada kehamilan bagi janin tergantung pada
Kekurangan oksigen ibu ke janin Salmeterol 500 mcg/50 mcg derajat berat asma
menyebabkan beberapa masalah kesehatan Kromolin
janin, termasuk : 1) Kematian perinatal; 2) Kromolin MDI 1 mg/puff 2-4 puff 3-4 kali sehari
IUGR, gangguan perkembangan janin dalam
rahim menyebabkan janin lebih kecil dari umur Nebulisasi 20 mg/ampul 1 ampul 3-4 kali sehari
kehamilannya; 3) Kehamilan preterm; 4) Antagonis Reseptor Leukotrien
Hipoksia neonatal, oksigen tidak adekuat bagi Montelukast tablet 10 mg 10 mg qhs
sel-sel; 5) Berat bayi lahir rendah (OSUMC, Zafirlukast tablet 10 atau 20 mg 40 mg perhari (20 mg tablet bid)
2005).
Metilxantin
cair, tablet lepas lambat dosis dimulai 10 mg/kg/hari
Mekanisme penyebab berat bayi lahir Teofilin
dan sampai maks. 300 mg
rendah pada wanita asma masih belum biasanya maksimum 800
diketahui, akan tetapi terdapat beberapa faktor kapsul
mg/hari
yang mendukung seperti perubahan fungsi Dikutip dari (NAEPP,2005)
plasenta, derajat berat asma dan terapi asma
(Murphy et al., 2003; Clifton et al., 2001). kerentanan terhadap asma antar individu baik pada anak,
Plasenta memegang peranan penting dalam mengontrol orang dewasa maupun dalam kehamilan.
perkembangan janin dengan memberi suplai nutrisi dan
oksigen dari ibu. Plasenta juga mencegah transfer DAFTAR PUSTAKA
konsentrasi kortisol dalam jumlah besar dari ibu ke janin.
Enzim plasenta 11β-hidroksisteroid dehidrogenase tipe-2 American College of Allergy Asthma and Immunology. 2002. When
(11β-HSD2) berperan sebagai barier dengan Pregnancy is Complicated by Allergies and Asthma. Illionis, IL:
memetabolisme kortisol menjadi kortison inaktif, sehingga Pregnancy Committee of the American College of Allergy Asthma and
Immunology.
dapat menghambat perkembangan janin (NAEPP, 2003; Aron, Y., Desmazes-Dufeu, N., Matran, R., Polla, B., Dusser, D., Lockhart,
Clifton et al., 2001). A., and Swierczewski, E. 1996. Evidence of a strong, positive
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa selain faktor association between atopy and the HLA class II alleles DR4 and DR7.
Clin. Exp. Allergy 26: 821-828
lingkungan, faktor genetik ikut menentukan kerentanan Bhatia P, Bhatia K. 2000. Pregnancy and the lung. Postgrad Med J 76: 638-
seseorang terhadap penyakiit asma. Penyakit ini dapat 639.
dijumpai pada ibu yang sedang hamil, dan dapat Blaiss MS. 2004. Managing Asthma during Pregnancy. Postgraduate
menyebabkan komplikasi pada 7% kehamilan (Blaiss, Medicine. May 115: 105-112.
Chandrakusuma. 2008. Asosiasi gen HLA-DRB1 dengan timbulnya asma
2004). pasca bronkiolitis rsv : studi imunogenetika. PhD. Thesis, Airlangga
University, Surabaya.
Clifton VL, Giles WB, Smith R, Bisits AT, Hempenstall PAJ, Kessel CG, et al.
2001. Alterations of Placental Vascular Function in Asthmatic
KESIMPULAN Pregnancies. Am J Respir Crit Care Med 164: 546-553.
Cox, H., Moffatt, M., Faux, J., Walley, A., Coleman, R., Trembath, R.,
Cookson, W., and Harper, J. 1998a. Association of atopic dermatitis to
Bukti-bukti dari keterkaitan antara senyawa intermediat the beta subunit of the high affinity immunoglobulin E receptor. Br.
fenotip (khususnya kadar IgE serum) dengan asma, J. Dermatol. 138: 182-187
disebabkan oleh beberapa gen yang dalam ekspresinya Cydulka RK, Emerman CL, Schreiber D, Molander KH, Woodruff PG,
Camargo CA. 1999. Acute Asthma among Pregnant Women Presenting
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Gen tersebut to the Emergency Department. American Journal Respiratory Critical
sangat bervariasi antara individu satu dengan yang lain, Care Medicine 160 : 887-892.
dan variasi ini diduga menyebabkan terjadinya perbedaan Edwards N, Middleton PG, Blyton DM, Sullivan CE. 2002. Sleep disorder
breathing and pregnancy. Thorax 57:555-558.
SUBIJANTO – Variasi kerentanan terhadap penyakit asma 243
Frezzo T, McMahon CL, Pergament E. 2003. Asthma and Pregnancy. Illionis: National Institutes of Health National Heart, Lung and Blood Institute.
Northwestern University Medical School. London: McGraw-Hill.
Gluck JC, Gluck PA. 2005. Asthma controller therapy during pregnancy. Nelson C, Piercy. 2001. Asthma in Pregnancy. in : Respiratory diseases in
American Journal of Obstetrics and Gynecology 192: 369-380. pregnancy-1. Thorax 56:325-328.
Greenberger PA. 1997. Managing Asthma during Pregnancy. Journal of Palmer, L., Daniels, S., Rye, P., Gibson, N., Tay, G., Cookson, W., Goldblatt,
Paediatrics, Obstetrics and Gynaecology 57: 532-540. J., Burton, P., and LeSouef, P. 1998. Linkage of Chromosome 5q and
Kahrilas PJ. 1996. Gastroesophageal Reflux Disease. JAMA 276 : 983-988. 11q gene markers to asthma-associated quantitative traits in Australian
Kelsen SG. 2003. Asthma and Pregnancy. J Allergy Clin Immunology children. Am. J. Respir. Crit. Care Med. 158: 1825-1830
112:268-270. Rotschild A, Solimano A, Sekhon HS, Massoud EA at al. 1997. Effect of
Kramer MS. 2001. Pregnancy and Pulmonary Disease. Available at : triamcinolone acetonide on the development of the pulmonary airways in
http://www.pregnancypulmonary.com/ pulm_chap35.html. the fetal rat. Pediatr Pulmonol 23(2):76-86.
Kwon HL, Belanger K, Bracken MB. 2004. Effect of pregnancy and stage of Schatz M, Dombrowski MP, Wise R, Thom EA, et al. 2000. Asthma morbidity
pregnancy on asthma severity: A systematic review. American Journal of during pregnancy can be predicted by severity classification. Presented
Obstetrics and Gynecology 190:1201-1210. at the 56th Annual Meeting of the American Academy of Allergy, Asthma
Liu S, Wen SW, Demissie K, Marcoux S, Kramer MS. 2000. Maternal and Immunology, San Diego , California. April 2000.
Asthma and Pregnancy Outcomes : A retrospective cohort study. Am J Sharma S. 2004. Pulmonary Diseases and Pregnancy. Available at
Obstet Gynecol 184 (2): 383-342. http://www.emedicine.com/pulmonarydiseases_ pregnancy.html.
Marsh SG, Albert ED, Bodmer WF, Bontrop RE, Dupont B, Erlich HA, Sodrè PM. 2000. Maternal Physiology Changes During Pregnancy in : Med
Geraghty DE, Hansen JA, Hurley CK, Mach B, Mayr WR, Parham P, Students Obstetrics & Gynecology. Obstetrics & Gynecology Diagnosis
Petersdorf EW, Sasazuki T, Schreuder GM, Strominger JL, Svejgaard A, and Treatment. London: Mosby.
Sandford, A., Weir, T., and Pare, P. 1996. The genetics of asthma. Am.
Terasaki PI, and Trowsdale J. (2005). "Nomenclature for factors of the J. Respir. Crit. Care Med. 153: 1749-1765
HLA System, 2004.". Tissue antigens 65: 301–369. Shirakawa, T., Mao, X., Sasaki, S., Enomoto, T., Kawai, M., Morimoto, K.,
Murphy VE, Gibson PG, Giles WB, Zakar T, Smith R, Bisits AM, et al. 2003. and Hopkin, J. 1996. Association between atopic asthma and a coding
Maternal Asthma is Associated with Reduced Female Fetal Growth. Am variant of FCeRIb in a Japanese population. Hum. Mol. Genet. 5: 1129-
J Respir Crit Care Med 168 :1317-1323. 1130
National Asthma Education and Prevention Program Expert Panel Report 2: Tan KS, Thomson NC. 2000. Asthma in pregnancy. Am J Med; 109(9): 727-
Guidelines for the diagnosis and treatment of asthma. 2003. NIH 33
production No. 97-4051. Bethesda, MD: US Department of The Ohio State University Medical Center. 2005. Asthma and Pregnancy.
Health and Human Services: National Institutes of Health; Ohio: Elsevier Science Publisher.
National Heart, Lung, and Blood Institute, Available at: VanHerwerden, L., Harrap, S., Wong, Z., Abramson, M., Kutin, J., Forbes, A.,
http://www.nhlbi.nih.gov/ guidelines/asthma/ asthgdln.htm. Raven, J., Lanigan, A., and Walters, E. 1995. Linkage of high-affinity IgE
National Asthma Education and Prevention Program. 2005. Managing receptor gene with bronchial hyperreactivity, even in the absence of
Asthma During Pregnancy Recommendations for Pharmacologic atopy. Lancet 346: 1262-1265
Treatment update 2004. US Department of Health and Human Services.
THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK