Anda di halaman 1dari 187

KAJIAN KETERSEDIAAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN

SUMBER DAYA AIR DI KAWASAN KARST


SANGKULIRANG–MANGKALIHAT
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Disertasi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan


mencapai gelar Doktor pada
Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan

Diajukan Oleh:

IRWAN
NIM. 1304017008

Kepada
Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan
Fakultas Kehutanan
Universitas Mulawarman
Samarinda
2020
DISERTASI

KAJIAN KETERSEDIAAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN


SUMBER DAYA AIR DI KAWASAN KARST
SANGKULIRANG–MANGKALIHAT
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Dipersiapkan dan disusun oleh :


Irwan
1304017008
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
pada tanggal
dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Dewan Penguji :

Promotor Utama Anggota Dewan Penguji I

Prof. Dr. Ir. Sigit Hardwinarto, M. Agr. Prof. Dr. Ir. Marlon Ivanhoe Aipassa, M. Agr.
NIP. 19610202 198603 1 003 NIP. 19580715 198103 1 008

Promotor Pendamping I Anggota Dewan Penguji II

Dr. Ir. Muhammad Sumaryono, M. Sc Dr. Ir. Djumali Mardji, M. Agr


NIP. 19550802 198302 1 003 NIP. 19531009 197603 1 003

Promotor Pendamping II, Anggota Dewan Penguji III

Prof. Dr. Ir. Lambang Subagiyo, M. Si. Prof. Dr. Ir. Paulus Matius, M. Sc.
NIP. 19660520 199103 1 006 NIP. 19550411 198403 1 001

Mengetahui :

Ketua Program Studi Doktor


Dekan Fakultas Kehutanan
Ilmu Kehutanan

Prof. Dr. Rudianto Amirta, S. Hut., M.P. Dr. Wiwin Suwinarti, S. Hut., M.P.
NIP. 19721025 199702 1 001 NIP. 19690215 199403 2 003

Lulus Ujian Disertasi :


Diserahkan Tanggal :
i

RIWAYAT HIDUP

IRWAN. Lahir pada tanggal 30 April 1979 di


Sangkulirang (Kalimantan Timur). Putra
ketiga dari 5 bersaudara dari pasangan (Alm)
Bapak H. Ridwan dan Ibu Hj. Saribanon.
Menikah dengan Yunia Anggraeni dikaruniai
tiga orang anak yaitu Kayyisah, Ukkasyah
dan Ayshlynn.
Jenjang pendidikan dasar formal mulai di SDN 1 Palakka.
Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN 1
Sangkulirang, melanjutkan pendidikan menengah atas di Sekolah
Kehutanan Menengah Atas (SKMA) Samarinda dan lulus pada
tahun 1998.
Jenjang pendidikan tinggi dimulai di Universitas Terbuka dan
mendapatkan gelar Ilmu Pemerintahan, kemudian melanjutkan
pendidikan Pasca Sarjana (S2) di Universitas Mulawarman pada
Program Studi Ilmu Kehutanan. Pada tahun 2013 melanjutkan studi
di Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman
Samarinda.
Tahun 1998-2004 bekerja sebagai Staf BIPHUT Samarinda,
kemudian pada tahun 2004-2014 bekerja sebagai Staf Dinas
Kehutanan Kutai Timur selanjutnya sebagai Kasi Penatagunaan dan
Perpetaan Dinas Kehutanan Kutai Timur (2014-2016). Pada tahun
2018 berhenti menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Tahun 2018 menjabat sebagai Ketua Gerakan 20 Mei Kutai
Timur, Ketua DPD Forum Bela Negara Kutai Timur, Ketua Forum
Peduli Karst (FPKKT), Ketua pengurus Daerah Ikatan Alumni
Sekolah Kehutanan Menengah Atas (IKA SKMA) Kalimantan Timur
dan Kalimantan Utara, Wakil Ketua Bidang Lingkungan Hidup DPD
KNPI Kutai Timur, Ketua Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI)
cabang Kutai Timur dan Ketua Dewan Pendiri Pusat Studi Dakwah
ii

Islam (PUSDAI) Kaltim. Tahun 2019 menjadi anggota Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dan tahun 2020
sebagai Wakil Sekretaris Jendral Partai Demokrat.
iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur tidak henti-hentinya dipanjatkan ke hadirat Allah


SWT, karena Rahmat dan Hidayah-Nya jualah sehingga penulis
dapat menyelesaikan Desertasi berjudul ”Kajian Ketersediaan Dan
Strategi Pengelolaan Sumber Daya Air Di Kawasan Karst
Sangkulirang-Mangkalihat Provinsi Kalimantan Timur” sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Kehutanan
pada Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan, Program Pascasarjana
Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
berbagai pihak yang telah memberi bimbingan, bantuan dan
perhatian selama mengikuti pendidikan hingga selesai, terutama
kepada:
1. Rektor dan civitas akademika Universitas Mulawarman yang
telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan
Program Pasca Sarjana di Universitas Mulawarman.
2. Ketua Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas
Mulawarman dan Staf yang telah membantu penyelesaian
baik dari segi akademik maupun administrasi.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Sigit Hardwinarto, M.Agr., Bapak Dr.
Ir. H. M. Sumaryono, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Lambang
Subagiyo, M.Si selaku Promotor yang telah banyak
membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan
Disertasi ini.
4. Bapak Dr. Ir. Djumali Mardji, M.Agr., Bapak Prof. Dr. Ir.
Marlon Ivanhoe Aipassa, M.Agr., Bapak Prof. Dr. Ir.
Paulus Matius, M.Sc., selaku dosen penguji, yang banyak
memberikan kritikan dan masukan untuk perbaikan Disertasi
ini.
5. Almarhum ayahandaku H. Ridwan dan ibundaku tercinta Hj.
Saribanon yang telah memelihara dan mendidikku mulai dari
masa kecil.
iv

6. Istri tercinta Yunia Anggraeni, anakku tersayang


Kayyisah, Ukkasyah dan Ayshlynn yang selalu
membangkitkan motivasi dan harapan, memberikan
dukungan moril, pengertian, perhatian dan doa serta mampu
menyisihkan keuangan keluarga untuk membiayai selama
perkuliahan.
7. Sahabat saya Bambang Soepriyadi, Asef Kurniyawan
Hardjana, Hadi Syahputra, Fandi Purnama, Dimas Prasaja,
rekan-rekan mahasiswa seperjuangan, kepala desa, rekan-
rekan di kelurahan serta daerah dan rekan-rekan lainnya
yang telah banyak memberikan dorongan untuk maju dalam
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Semoga amal kebaikan dari berbagai pihak tersebut
mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT, dan semoga
karya ilmiah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Amien.

Samarinda, Juli 2020

IRWAN
v

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ v
DAFTAR TABEL ....................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii

I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG.............................................................................................................. 1
1.2. PERUMUSAN MASALAH ................................................................................................... 3
1.3. TUJUAN PENELITIAN ......................................................................................................... 4
1.4. MANFAAT PENELITIAN ..................................................................................................... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5


2.1. KAWASAN KARST INDONESIA ....................................................................................... 5
2.2. KAWASAN KARST KUTAI TIMUR ................................................................................... 6
2.3. EKOSISTEM KARST ........................................................................................................... 7
2.3.1 Flora Fauna Karst ........................................................................................................... 7
2.3.2 Potensi Keanekaragaman Hayati Karst............................................................... 8
2.4. HIDROLOGI KARST ............................................................................................................ 8
2.4.1 Akuifer Karst ....................................................................................................................11
2.4.2 Hidrologi Permukaan Air Tanah Karst ................................................................11
2.4.3 Hidrologi Bawah Permukaan Karst ......................................................................12
2.4.4 Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis .................................13
2.4.4.1 Penginderaan Jauh ......................................................................................................13
2.4.4.2 Sistem Informasi Geografis (SIG).........................................................................18
2.4.5 Neraca Air Kawasan Karst .......................................................................................23
2.4.6 Pengelolaan Sumber daya Air................................................................................25
2.4.7 Pengelolaan Kawasan Karst ...................................................................................26
2.4.8 Analisis SWOT ...............................................................................................................27

III. METODE PENELITIAN ......................................................................... 29


3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian................................................................................29
3.2. BAHAN DAN ALAT PENELITIAN ...................................................................................30
3.3. TEKNIK PENGUMPULAN DATA ....................................................................................31
3.3.1 Data Sebaran Spasial Delineasi Lanskap Karst ...........................................31
vi

3.3.2 Data Ekosistem dan Vegetasi ................................................................................31


3.3.3 Data Hidrologi, Kualitas Air dan Ketersediaan Air Kawasan Karst ......32
3.3.4 Strategi Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Karst
(Pengumpulan Data Lapangan)............................................................................32
3.3.5 Teknik Analisis Data ....................................................................................................33
3.3.5.1 Analisis sebaran delineasi lanskap karst ..........................................................33
3.3.5.2 Analisis data ekositem ................................................................................................38
3.3.5.3 Analisis vegetasi ke ekosistem ..............................................................................38
3.3.5.4 Analisis hidrologi kawasan karst ...........................................................................39
3.3.5.5 Analisis kualitas air kawasan karst ......................................................................40
3.3.5.5.1 Pengambilan sampel .................................................................................................40
3.3.5.5.2 Parameter fisika-kimia air ........................................................................................41
3.3.5.5.3 Penanganan sampel ..................................................................................................41
3.3.5.5.4 Analisis deskriptif .........................................................................................................42
3.3.5.6 Analisis ketersedian air kawasan karst ..............................................................42
3.3.5.7 Analisis kebutuhan air ................................................................................................44
1. Kebutuhan Air Domestik............................................................................................44
2. Kebutuhan Air Pertanian ...........................................................................................44
3. Kebutuhan Air untuk Peternakan ..........................................................................45
3.3.5.8 Strategi pengelolaan dan pengembangan kawasan karst (analisis
data SWOT) ....................................................................................................................46
a. Pembobotan ............................................................................. 46
b. Rating (Pemeringkatan faktor SWOT) ......................................... 47

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................................. 49


4.1. DELINEASI SEBARAN LANSKAP KARST SANGKULIRANG–MANGKALIHAT ..49
4.1.1 Sebaran Spasial Delineasi Lanskap Karst .......................................................49
4.1.2 Data Sebaran Spasial Delineasi Lanskap Karst Pemerintah
Kabupaten Kutai Timur..............................................................................................49
4.1.3 Data Sebaran Spasial Delineasi Lanskap Karst Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur .........................................................................................................52
4.1.4 Data Sebaran Spasial Delineasi Lanskap Karst Badan Geologi Pusat
Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan......................................56
4.1.5 Data Sebaran Spasial Delineasi Lanskap Karst Pegunungan Sekerat
...............................................................................................................................................61
4.1.6 Perbedaan Data Sebaran Spasial Karst Sangkulirang-Mangkalihat ..66
4.1.7 Pembahasan Data Spasial Karst ..........................................................................67
4.2 DATA EKOSISTEM ............................................................................................................68
4.2.1 Analisis Vegetasi Karst Sangkulirang–Mangkalihat ....................................70
4.2.2 Fungsi Kawasan Hutan dan Penutupan Lahan .............................................73
vii

4.2.3 Tipe Hutan dan Potensi Tegakan di Karst Sekerat .....................................74


4.2.4 Penggunaan Lahan......................................................................................................75
4.2.5 Rencana Tata Ruang Wilayah untuk Kawasan Sangkulirang-
Mangkalihat .....................................................................................................................76
4.2.6 Pembahasan Ekosistem Kawasan Karst ..........................................................79
4.3 PERANAN KAWASAN KARST DALAM SISTEM HIDROLOGI .................................81
4.3.1 Hidrologi Kawasan Karst ...........................................................................................81
4.3.2 Hidrogeologi Karst ........................................................................................................87
4.3.3 Kualitas Air .......................................................................................................................89
4.3.4 Pengaruh Pertambangan terhadap Hidrologi Karst ....................................95
4.3.5 Neraca Air Kawasan Karst Sangkulirang–Mangkalihat .............................95
4.3.6 Ketersediaan Air di Kawasan Karst Sangkulirang–Mangkalihat ...........99
4.3.7 Kebutuhan Air di Kawasan Karst Sangkulirang–Mangkalihat ................99
4.3.8 Pembahasan Potensi Hidrologi Kawasan Karst......................................... 102
4.4 ANALISIS STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KARST SANGKULIRANG-
MANGKALIHAT ............................................................................................................... 106
4.4.1 Faktor Internal dan Eksternal Kawasan Karst Sangkulirang-
Mangkalihat .................................................................................................................. 107
4.4.2 Faktor Internal Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat ................... 107
4.4.2.1 Kekuatan Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat ............................. 107
4.4.2.2 Kelemahan Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat ......................... 110
4.4.4 Penentuan Posisi Strategis Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat
............................................................................................................................................ 117
4.4.5 Pembahasan Analisis Swot .................................................................................. 138

V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 140


5.1. KESIMPULAN ................................................................................................................... 140
5.2. SARAN .............................................................................................................................. 141
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii

DAFTAR TABEL

Tubuh Utama

No Judul Halaman
1 Komponen Neraca Air…………………………………………………. 24
2 Klasifikasi Koefisien Rezim Sungai…………………………………... 40
3 Koefisien tanaman menurut fase pertumbuhan tanaman…………. 45
4 Kebutuhan Air untuk Ternak………………………………………….. 45
5 Konsep dan Deskripsi Matriks SWOT……………………………….. 48
6 Luasan Karst Per Kecamatan………………………………………… 50
7 Karst Per Daerah Aliran Sungai………………………………………. 51
8 Sebaran geologi pada kawasan Karst Sangkulirang–Mangkalihat. 52
9 Karst Sangkulirang per Kecamatan…………………………………… 54
10 Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi Provinsi Berdasarkan Daerah 55
Aliran Sungai……………………………………………………………
11 Karst Versi Provinsi Berdasarkan Geologi…………………………... 56
12 Karst Sangkulirang–Mangkalihat versi ESDM per Kecamata……. 59
13 Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi ESDM per Daerah Aliran 60
Sungai (DAS)…………………………………………………………….
14 Karst Sangkulirang-Mangkalihat Versi ESDM Berdasarkan 60
Geologi…………………………………………………………………...
15 Lokasi Penelitian per Kecamatan……………………………………. 62
16 Lokasi Penelitian Berdasarkan Sub Daerah Aliran Sungai……….. 63
17 Lokasi Penelitian Berdasarkan Geologi…………………………...… 65
18 Potensi jenis (N), Frekuensi (F), Lbds dan Kerapatan Vegetasi di 69
Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat…………………………..
19 Hasil Analisa Vegetasi di Kawasan Karst Sangkulirang– 71
Mangkalihat……………………………………………………………....
20 Alokasi Pola Ruang Wilayah…………………………………………. 77
21 Analisis Karakteristik Hidrologi Mata Air Sekerat dan Goa Sigege.. 87
22 Data Kapasitas Air Maksimum Cutaneous zone dari Perbukitan 88
Karst Gunung Sekerat…………………………………………………..
23 Hasil Analisis Kualitas Air dari 11 sampel air di Kawasan Karst 92
Gunung Sekerat……………………………………………………..…
23 Lanjutan Hasil Analisis Kualitas Air dari 11 sampel air di Kawasan 93
ix

Karst Gunung Sekerat…………………………………………………….


24 Hasil Analisis Kualitas Air dari Sungai Mampang dan Sekera …... 94
25 Neraca air lahan kawasan karst Karst Sangkulirang–Mangkalihat 97
tahun 2007-2016……………………………………………………….....
26 Matriks SWOT………………………………………………………….…. 119
x

DAFTAR GAMBAR

Tubuh Utama

No Judul Halaman
1 Siklus Hidrologi secara umum………………………………………… 9
2 Drainase Bawah Permukaan di Karst……...….…………………….. 10
3 Peta Indikatif Karst Sangkulirang–Mangkalihat……………………. 29
4 Peta Sekerat dan Sekitarnya………………………………………….. 30

5 Diagram Analisis SWOT ……………………………………………… 47


6 Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Per Kecamatan…………... 50
7 Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Berdasarkan Daerah Aliran 51
Sungai (DAS)…………………………………………………………....
8 Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Berdasarkan Peta Geologi. 52
9 Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi Provinsi Per 54
Kecamatan……………………………………………………………….
10 Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi Provinsi 55
Berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS)…………………………...
11 Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi Provinsi Berdasarkan 56
Geologi……………………………………………………………………
12 Peta Sebaran Pegunungan di Karst Sangkulirang–Mangkalihat… 58
13 Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat versi ESDM Per Kecamatan 58
14 Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi ESDM Berdasarkan 59
Daerah Aliran Sungai (DAS)…………………………………………...
15 Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi ESDM Berdasarkan 60
Geologi……....................................................................................
16 Peta Lokasi Penelitian Karst Sekerat……………………………….. 61
17 Peta Lokasi Penelitian per Kecamatan……………………………… 62
18 Peta Lokasi Penelitian Berdasarkan Sub Daerah Aliran Sungai… 63
19 Peta Lokasi Penelitian Berdasarkan Geologi………………………. 65
20 Peta Sebaran Karst dan Bukan Karst Pada Lokasi Penelitian….. 66
21 Peta Tutupan Lahan di Lokasi Penelitian…………………………… 74
22 Peta Penggunaan Lahan di Karst Sekerat………………………….. 76
23 Pola Ruang Wilayah di Kawasan Gunung Sakerat……………....... 77
24 Mata Air Kawasan Karst Gunung Sekerat...................................... 82
25 Mata Air Goa Sigege…………………………………………………… 85
26 Pengukuran Debit Aliran di Lokasi Mata Air Sekerat………..……. 86
27 Pengukuran Debit Aliran di Lokasi Mata Air Sigegeh………..…… 86
28 Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Kawasan Karst Sangkulirang– 96
Mangkalihat Tahun 2007-2016………………………….……………..
xi

29 Suhu Udara Rata-Rata Bulanan Kawasan Karst Sangkulirang– 96


Mangkalihat Tahun 2007-2016………………………..……………….
30 Perbandingan Curah Hujan (CH), Evapotranspirasi Potensial (EP), 97
dan Evapotranspirasi Aktual (ETA) di Kawasan Karst
Sangkulirang–Mangkalihat Tahun 2007-2016……….………………
31 Ketersedian Air Tahunan Sangkulirang–Mangkalihat Tahun 2007- 99
2016……………………………………………………………………….
32 Kebutuhan Air Domestik Sangkulirang–Mangkalihat Tahun 2007- 100
2016……………………………………………………………………….
33 Kebutuhan Air Peternakan Sangkulirang–Mangkalihat Tahun 101
2012-2014………………………………………………………………..
34 Kebutuhan Air Pertanian Sangkulirang–Mangkalihat Tahun 2017. 102
35 Diagram Analisis SWOT Kawasan Karst Sangkulirang- 117
Mangkalihat Berada Dikuadran 2 (Strategi S-T)……………………..
xii

DAFTAR LAMPIRAN

Tubuh Utama

No Judul Halaman

1 Kuesioner Analisis SWOT…………………………………………….. 150


2 Analisis Kualitas Air …………………………………………………… 155
3 Dokumentasi Pengambilan Kuesioner………………….…………… 156
4 Dokumentasi Pengukuran Diameter Pohon……………….……….. 158
5 Dokumentasi Pengukuran Curah Hujan, Infiltrasi Dan 162
Pengambilan Sampel Air………………………………………………
xiii

ABSTRACT

IRWAN. 2020. Study of Availability and Strategy of Water


Resources Management in the Karst Region of Sangkulirang-Mangkalihat
East Kalimantan. Supervised by Sigit Hardwinarto, Muhammad
Sumaryono, and Lambang Subagiyo.
The Sangkulirang-Mangkalihat Karst area is one of the fairly
extensive karst regions in two districts, namely Berau Regency and East
Kutai Regency. Currently, there is no concern about the karst area of
Sangkulirang-Mangkalihat, especially the strategic planning of spatial
water resources (hydrology) of the karst landscape which plays an
important role in regulating water related to its availability and water quality
as the basic necessities of human life. There needs to be research on the
potential of karst region for water resources as an effort to maintain and
conserve water resources that are very beneficial for human survival, to
prevent the loss of water resources quality by making restrictions on land
utilization zoning. Lack of government attention in establishing the
management of karst area as a priority area, encouraging the local
government to develop efforts to plan the protection and management of
karst region Sangkulirang-Mangkalihat. The purpose of this research was:
(1) to determine the delineation of spatial distribution of the karst
landscape of Sangkulirang-Mangkalihat; (2) to get information on the
ecosystem types in the karst landscape; (3) To determine the role of the
karst landscape in hydrological systems as well as the potential/availability
of water resources in the karst region; (4) To develop the strategy of water
resources management and karst area development.
This research was conducted from March to June 2015 in the Karst
landscape area of Sangkulirang–Mangkalihat in East Kutai district East
Kalimantan Province. Data collection techniques using spatial distribution
data delineation karst landscapes; Data on ecosystems and vegetation,
hydrological data; Water quality and the availability of karst area water;
and management strategies and karst area development. Management
strategy formulation using SWOT analysis techniques. Data retrieval for
xiv

this research is divided into several locations, namely Spatial data retrieval
carried out in the karst area of Sangkulirang-Mangkalihat while for the
retrieval of data related to hydrology, the water, biodiversity and interviews
for the formulation of strategies implemented in the area of Sekerat
Mountains and Selangkau and Sekerat village.
From the study obtained the following results: (1) Delineation of the
karst spread of Sangkulirang–Mangkalihat spatial has a total area of
392.700,49 ha, While the area of the karst area of Sangkulirang–
Mangkalihat East Kalimantan province is divided into two parts, namely
East Kutai area of 241.283,08 ha and Berau area of 151.417,41 ha. The
spatial analysis of karst delineation in the area of Sekerat Mountains has
an area of 38.245 hectares in 4 sub-districts, namely Sangkulirang,
Kaliorang, Bengalon and Kaubun. (2) The Karst of Sangkulirang–
Mangkalihat has a type of ecosystem that binds and forms the corridor-
biological. The karst area is a living place of millions of species of fauna
supporting the life balance of East Kalimantan. The karst area of
Sangkulirang-Mangkalihat which is buried from the mountains/hills of
Bengalon Forest, bouquet, Sangkulirang, backrest and surroundings,
According to forest type generally included in rainforest type below 1.000
m above sea level. However, there are some places that have a height
above 1.000 m above sea level as a row of karst hilly areas (limestone)
with specific landforms. There are several places that have damaged
ecosystems in forest areas. Ecosystem of damaged forest can have
difficulty to do revegetation due to the thin of humus content. This occurs
because of erosion (ground level washing), so it tends to be dominated by
plutonik basalt rocks that have very dry properties when the dry season;
(3) Hydrological systems in the Karst region play an important role
especially for the availability and the distribution of water in the karst and
surrounding areas. Karst Store water through rock solvent cavity. The
Input of water coming into the karst is derived from the interception of
vegetation, rainwater in the form of surface flows and underground rivers.
Existing hydrological conditions in the hilly area of Sekerat mountain have
decreased water deposits by 3,17% of total water volume, so the minimum
xv

discharge in the dry season, while in terms of water demand in the karst
region is more intended for agriculture sector than other sectors. Based on
the analysis of water demand calculation, water resources in the karst
area of Sekerat mountain can fulfill the need for agricultural water 73
million m3/year. Another potential of hydrological system of karst area of
Sangkulirang is the utilization of water for daily needs such as drinking
water, water for livestock and for the needs of biota in the karst area of
Sekerat mountain; (4) The strategy and management of the karst area of
Sangkulirang–Mangkalihat directed to Srategi ST (Strenght-Threat) aimed
at using internal forces to reduce external threats with the following
strategy options: Improving the quality of human resources, to prevent the
activity of cement mining in the karst region, management of karst
potentials as a tourist attraction, create the concept of ecotourism-based
society to improve the tourism in Jepu-Jepu beach, protection of water
resources in the area of Sekerat village and Selangkau village to keep its
management sustainable, and land management that complies with
biophysical conditions and supports.

Key words: landscape delineation, ecosystem, hydrology, Karst of


Sangkulirang-Mangkalihat, management strategies, vegetation.
xvi

PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya, bahwa


sepanjang pengetahuan saya, di dalam naskah Disertasi ini tidak
terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oIeh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi dan tidak
terdapat karya atau yang pernah ditulis atau diterbitkan oIeh orang
lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan
disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah Disertasi ini dapat
dibuktikan terdapat unsur-unsur PLAGIASI, maka saya bersedia
DISERTASI ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya
peroleh (DOKTOR) dibatalkan serta diproses sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Samarinda, Juli 2020


Yang membuat pernyataan,

IRWAN
NIM 1304017008
xvii

PERNYATAAN BERPERILAKU DAN BERMORAL BAIK

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama Lengkap : Irwan


Tempat, tanggal lahir : Sangkulirang 30 April 1979
Alamat : Jl. Majapahit No 79, Teluk Lingga,
Sangatta Utara

Dengan ini menyatakan kesanggupan untuk berperilaku dan


bermoral baik setelah menyelesaikan pendidikan pada Program
Studi Doktor (S3) Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman dengan
berusaha menjunjung tinggi nama baik almamater Universitas
Mulawarman di manapun berada.
Bila saya terbukti melalaikan pernyataan, maka saya bersedia
menerima seluruh sanksi yang diberikan atas kelalaian tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk


diketahui dan dipertanggungjawabkan.

Samarinda, Juli 2020


Yang membuat pernyataan,

IRWAN
NIM 1304017008
xviii

PERNYATAAN PENYERAHAN DISERTASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan, bahwa disertasi


saya yang berjudul " Kajian Ketersediaan Dan Strategi Pengelolaan
Sumber Daya Air Di Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat Provinsi
Kalimantan Timur " telah diujikan pada hari Selasa tanggal 30 bulan Juni
tahun 2020 dan saya telah dinyatakan LULUS.

Tugas saya selanjutnya adalah saya wajib menyerahkan disertasi yang


telah diperbaiki kepada Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan paling
lambat tiga bulan setelah tanggal ujian tersebut, yaitu tepatnya pada
tanggal 30 bulan September tahun 2020.

Bila sampai pada tanggal tersebut saya tidak menyerahkan disertasi,


maka saya bersedia untuk tidak mendapatkan hak-hak saya sebagai
lulusan Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan. Hak-hak saya tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Mengikuti yudisium, yaitu penganugerahan gelar/sebutan Doktor.
2. Mengikuti wisuda, yaitu penerimaan ijazah Doktor.
3. Mendapat Transkrip Akademik, yaitu daftar nilai mata kuliah yang
ditempuh selama mengikuti program.
4. Menggunakan gelar Doktor di depan nama saya.

Surat Pernyataan ini saya buat rangkap lima asli yaitu masing-masing
untuk Promotor Utama, Promotor Pendamping I, Promotor Pendamping II,
Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan dan untuk saya sendiri.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dengan


penuh kesadaran.

Samarinda, Juli 2020


Yang membuat pernyataan,
tanda tangan di atas
meterai Rp6000
IRWAN
NIM 1304017008

Mengetahui
Promotor Utama Promotor Pendamping I Promotor Pendamping II

Prof. Dr. Ir. Sigit Hardwinarto Dr.Ir. Muhammad Summaryono, M. Sc. Prof. Dr. Ir. Lambang Subagiyo, M. Si.
NIP. 19610202 198603 1 003 NIP. 19550802 198302 1 003 NIP. 19660520 199103 1 006
1

I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Karst merupakan salah satu bentang alam yang banyak dan cukup
luas tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yaitu mencapai 8% dari total
luas daratan Indonesia. Wilayah karst di Indonesia merupakan contoh
karst yang terletak di wilayah tropis. Batuan gamping yang dapat
dibedakan berdasarkan umur bantuan penyusunnya, yang terdiri atas
wilayah karst dengan penyusun batuan gamping berumur tersier memiliki
luas 119.877 km2 atau 6,2% dari luas daratan di Indonesia; wilayah karst
yang terdiri atas batuan gamping berumur kuarter memiliki luas 15.811
km2 atau 0,8% dari luas daratan di Indonesia; dan wilayah karst yang
terdiri atas batuan gamping berumur mesozoikum memiliki luas 18.344
km2 atau 0,95% dari luas daratan di Indonesia (Bahgiarti, 2004).
Kawasan karst memiliki sumber daya alam yang cukup banyak dan
beragam, yaitu berupa sumber daya air, sumber daya lahan, sumber daya
hayati, habitat bagi hewan-hewan langka dan juga memiliki nilai budaya
serta nilai ekonomi yang tinggi. Salah satu sumber daya alam yang sangat
penting di kawasan karst adalah sumber daya air, karena karst memiliki
potensi sebagai penyimpan cadangan air yang besar (Ravbar dan
Goldscheider, 2009). Menurut Ford dan Williams (2007), karst merupakan
wilayah dengan sistem hidrologi yang khas dan terbentuk dari kombinasi
tingginya pelarutan batuan dengan porositas yang berkembang baik.
Kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat merupakan salah satu
kawasan karst yang cukup luas yang berada di dua kabupaten, yaitu
Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur. Kawasan tersebut memiliki
luas 1,8 juta hektar dan khusus untuk karst mencapai 505.000 hektar.
Kawasan ini merupakan hulu dari 5 sungai besar, yaitu Sungai Bengalon,
Karangan, Tabalar, Lesan dan Pesab. Ada lebih dari 105.000 jiwa
masyarakat hidup di kawasan karst Sangkulirang. Kawasan karst
sekarang ini menjadi kawasan strategis di Pulau Kalimantan.
2

Pentingnya peranan kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat bagi


kehidupan di sekitarnya menuntut adanya rencana pengelolaan yang
komprehensif agar dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan kawasan
tersebut. Apa yang telah dilakukan oleh penulis mengacu pada penelitian
terdahulu oleh Widyaningsih (2017) menyebutkan lebih dari 60%
ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat kenyataannya telah
dikonversikan dan dibebani oleh izin usaha. Dari angka tersebut, sekitar
50% dari kawasan karst tersebut dieksploitasi untuk pertambangan, baik
pertambangan batubara maupun pertambangan semen.
Sampai saat ini belum ada perhatian terhadap kawasan karst
Sangkulirang–Mangkalihat, khususnya perencanaan strategis spasial
sumber daya air (hidrologi) lanskap karst yang berperan penting untuk
mengatur tata air berkaitan dengan ketersediaannya dan kualitas air
sebagai kebutuhan pokok dari kehidupan manusia. Keterbatasan
informasi terkait karakteristik hidrologi karst dan tingkat ketersediaan air
serta ekosistem pada lanskap karst Sangkulirang–Mangkalihat yang
berperan penting dalam menyediakan sumber air untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan karst memberikan landasan
mengenai pentingnya pengelolaan dan pengembangan kawasan karst
terutama untuk kelestarian sumber air. Penelitian ini sejalur dengan
penelitian Endarto dkk (2015) yang menyebutkan bahwa strategi
kebijakan pengelolaan karst berbasis kewilayahan merupakan rencana
pengelolaan kawasan karst secara menyeluruh, yang mempertimbangkan
beberapa faktor, diantaranya adalah keberadaannya (morfologi),
konservasi kehutanan dan arahan peruntukan fungsi sebagai dasar
pelestarian sumber daya air.
Sedikitnya informasi tentang debit air yang dapat diserap dan
dikeluarkan dalam suatu ekosistem karst berdasarkan kondisi lanskap.
Sejauh ini kondisi ekosistem lanskap karst yang baik akan memberikan
kualitas air yang lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia, khususnya
dalam penyediaan pangan ataupun pemanfaatan air secara langsung
dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hal tersebut maka perlu
3

dilakukan penelitian mengenai potensi kawasan karst untuk sumber daya


air sebagai upaya mempertahankan dan melestarikan sumber daya air
yang sangat bermanfaat untuk kelangsungan hidup manusia, agar tidak
terjadi penurunan kualitas sumber daya air dengan membuat batasan-
batasan zonasi pemanfaatan lahan. Minimnya perhatian pemerintah
dalam menetapkan pengelolaan kawasan karst sebagai kawasan prioritas,
mendorong pemerintah daerah menyusun upaya guna rencana aksi
perlindungan dan pengelolaan kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat.
Namun rencana tersebut belum berjalan maksimal guna mencapai hasil
kesepakatan bersama, maka perlu ada strategi tepat dalam pengelolaan
kawasan karst dengan melibatkan semua pihak untuk menjaga potensi
karst agar tetap lestari serta penguatan regulasi dalam menjamin
ekosistem kawasan karst tersebut agar tidak rusak akibat adanya
berbagai aktivitas yang dilakukan di sekitar kawasan.
Oleh karena itu, untuk memahami pentingnya potensi kawasan
karst maka dalam penelitian ini dilakukan Delineasi spasial kawasan karst
untuk mengetahui sebaran karst, analisis ketersedian air dengan
menggunakan neraca air dan analisis Strength – Weakness – Opportunity
– Threat (SWOT) untuk mengetahui potensi pengembangan sumber daya
air dalam masyarakat kawasan karst.

1.2. PERUMUSAN MASALAH


Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1.2.1 Belum diketahui delineasi sebaran spasial lanskap karst
Sangkulirang–Mangkalihat.
1.2.2 Belum banyak informasi tentang tipe-tipe ekosistem pada lanskap
karst.
1.2.3 Belum diketahui peranan lanskap karst dalam sistem hidrologi serta
potensi/ketersediaan sumber daya air di kawasan karst.
1.3.1 Belum ada strategi pola pengembangan sumber daya air dan
pengembangan kawasan karst.
4

1.3. TUJUAN PENELITIAN


Tujuan penelitian adalah:
1.3.2 Untuk mengetahui delineasi sebaran spasial lanskap karst
Sangkulirang–Mangkalihat.
1.3.3 Untuk mendapatkan informasi tentang tipe-tipe ekosistem pada
lanskap karst.
1.3.4 Untuk mengetahui peranan lanskap karst dalam sistem hidrologi
serta potensi/ketersediaan sumber daya air di kawasan karst.
1.3.5 Untuk menyusun strategi pengelolaan sumber daya air dan
pengembangan kawasan karst.

1.4. MANFAAT PENELITIAN


Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai:
1.4.1. Dasar pertimbangan dalam melakukan perencanaan perlindungan
lanskap karst di Kabupaten Kutai Timur
1.4.2. Dasar pertimbangan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk
perlindungan keanekaragaman hayati dari lanskap karst.
1.4.3. Dasar pertimbangan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dalam
melaksanakan program Jasa Lingkungan (Payment Environmental
Services) dan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bidang
penyediaan air.
1.4.4. Dasar pertimbangan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dalam
menyusun strategi pemanfaatan ruang berdasarkan neraca air.
5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KAWASAN KARST INDONESIA


Karst merupakan bentang alam yang terletak di atas batuan
karbonat, dengan depresi tertutup yang luas, aliran bawah tanah yang
berkembang dengan baik, lembah yang kering dan aliran permukaan
sementara. Kondisi pada wilayah karst tersebut ditandai dengan adanya
morfologis berupa tonjolan bukit berbatu gamping yang tidak beraturan,
cekung, lereng terjal, goa sungai bawah tanah dan sungai sementara.
Pada karst yang terletak di wilayah tropis untuk morfologi berupa aliran
permukaan dan cekungan dapat mudah ditemukan (Jennings, 1971)
Indonesia adalah negara dengan bentang kawasan karst yang luas.
Diperkirakan Indonesia memiliki kawasan karst seluas 15,4 juta ha
(Bappenas, 2003) yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Beberapa
kawasan karst di Indonesia di antaranya adalah:
1. Naga Umbang Lhok Nga (Aceh)
2. Bahorok (Sumatera Utara)
3. Payakumbuh (Sumatera Barat)
4. Baturaja, Bukit Barisan (Sumatera Selatan)
5. Sengayau (Merangin, Jambi)
6. Sawarna (Lebak, Banten)
7. Sukabumi Selatan (Jawa Barat)
8. Karst Citatah-Rajamandala (Bandung Barat, Jabar)
9. Pangkalan (Karawang, Jawa Barat)
10. Cibinong-Ciampea-Cigudeg (Bogor, Jabar)
11. Pangandaran-Green Canyon (Ciamis, Jabar)
12. Gombong (Kebumen, Jateng)
13. Pegunungan Kapur Utara (Pati, Jateng – Lamongan, Jatim)
14. Pegunungan Kendeng (Grobogan, Jateng – Jombang, Jatim)
15. Pegunungan Sewu (Yogyakarta dan Wonogiri, Jateng-
Tulungagung, Jatim)
16. Sampang (Madura)
6

17. Pegunungan Schwaner (Kalimantan Barat)


18. Sangkulirang-Mangkalihat (Kalimantan Timur)
19. Pegunungan Muller (Kalimantan Tengah)
20. Pegunungan Meratus (Kalimantan Selatan)
21. Tenggarong (Kalimantan Timur)
22. Taman Nasional Manupeu Tanah Daru (Sumba, NTT)
23. Maros-Pangkep (Sulawesi Selatan)
24. Wowaselea (Sulawesi Tenggara)
25. Pulau Muna (Sulawesi Tenggara)
26. Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi, Sulawesi Tenggara)
27. Pulau Seram (Maluku)
28. Pulau Halmahera (Maluku Utara)
29. Fakfak (Papua Barat)
30. Pegunungan Lengguru (Kaimana, Papua Barat)
31. Biak dan Lorentz (Papua)

2.2. KAWASAN KARST KUTAI TIMUR


Kawasan karst yang mulai banyak dibicarakan sekarang, salah
satunya adalah kawasan karst Sangkulirang yang disebut juga
Semenanjung Mangkalihat. Kawasan ini memiliki luas kurang lebih 200
km2, terdiri dari sedikitnya 3 bentukan karst: bentuk gunungan, bentuk
perbukitan dan bentuk dataran. Kawasan ini belum terjelajahi dengan
rinci, sehingga banyak sekali versi untuk nama-nama lokasi (Setiawan,
2004). Wilayah-wilayah tersebut terdiri dari:
1. Wilayah Baay: gunungan Pengadan, gunungan Batunyere, gunungan
Ambolabung, gunungan Tutunambo/Batu Kambing
2. Wilayah Kaliorang: gunungan Sekerat, dataran Kaliorang
3. Wilayah Perondongan: perbukitan Ara Raya, dataran karst
Perondongan, perbukitan Batu Tengkorak, perbukitan Pelulun,
perbukitan Menubar, dataran Mandu Dalam
4. Wilayah Tepian Langsat: perbukitan Batu Aji, gunungan Gergaji-Batu
Raya, dataran Tepian Langsat.
7

5. Wilayah Tondoyan: gunungan Tondoyan, perbukitan Arasan


6. Wilayah Merabu: gunungan Kulat, gunungan Merapun, perbukitan
Kranggasan.
7. Wilayah Biduk-biduk: gunungan Biduk-biduk, dataran karst Batu Putih.

2.3. EKOSISTEM KARST


Ekosistem karst sampai saat ini belum banyak tersentuh, ekosistem
ini menyimpan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi baik
teresterial maupun akuatik, baik di permukaan maupun di dalam goa.
Beberapa penelitian di kawasan karst menunjukkan temuan yang cukup
menarik dan mencengangkan dengan banyak ditemukannya jenis baru
maupun catatan baru. Sampai saat ini goa-goa di Indonesia menduduki
kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi di daerah tropis (Deharveng
and Bedos, 2000).

2.3.1 Flora Fauna Karst


Kawasan karst menyimpan kekayaan flora fauna yang sangat
menarik dan unik. Karena kondisi lingkungan karst yang kering, beberapa
jenis flora harus mampu beradaptasi pada kondisi kekeringan yang tinggi
pada musim kemarau, selain itu, kandungan kalsium yang tinggi juga
mengharuskan semua jenis flora dan fauna mampu beradaptasi pada
lingkungan karst. Flora di kawasan karst mempunyai keunikan di segala
hal. Keanekaragaman dan komposisi jenisnya sangat berbeda
dibandingkan dengan tipe vegetasi lainnya.
Flora karst juga mempunyai tingkat endemisitas yang sangat tinggi
terkadang satu bukit karst mempunyai satu jenis yang tidak ditemukan di
bukit yang lain di sekelilingnya (Vermeulen dan Whitten, 1999). Beberapa
jenis flora seperti anggrek, paku‐pakuan, palem dan pandan merupakan
jenis yang terkadang hidup di tebing‐tebing karst. Beberapa jenis
mempunyai habitat yang sangat spesifik seperti anggrek yang ditemukan
di Kalimantan.
8

Fauna permukaan karst belum banyak yang meneliti, namun


diyakini tebing‐tebing karst merupakan habitat bagi berbagai jenis burung.
Berbagai jenis mamalia juga sering dijumpai seperti macan kumbang
macan tutul maupun jenis‐jenis karnivora lainnya. Fauna yang menarik
adalah fauna yang hidup di kegelapan goa. Karena kondisi goa yang
gelap sepanjang masa berbagai jenis fauna mempunyai morfologi yang
unik seperti pemanjangan antena, pemanjangan kaki, warna putih pucat
dan bermata kecil atau bahkan tidak bermata.
Berbagai jenis fauna bertulang belakang lainnya juga sering
ditemukan hidup di dalam goa. Fauna yang paling sering ditemui adalah
kelelawar.

2.3.2 Potensi Keanekaragaman Hayati Karst


Keanekaragaman hayati karst mempunyai potensi yang sangat
tinggi antara lain potensi ekologi, potensi ilmiah dan potensi ekonomi.
Keanekaragaman yang berpotensi ekologi antara lain jenis‐jenis kelelawar
baik kelelawar pemakan serangga maupun pemakan buah. Kelelawar
pemakan serangga mempunyai peran untuk mengendalikan serangga
hama yang berpotensi merugikan pertanian, sedangkan kelelawar
pemakan buah mempunyai peran penyebaran biji maupun membantu
penyerbukan berbagai jenis tanaman yang bernilai ekonomi tinggi.
Namun kelimpahannya sangat ditentukan oleh musim. Potensi
ilmiah keanekaragaman hayati karst dan goa adalah tempat di mana
berbagai jenis fauna yang mempunyai nilai ilmiah tinggi ditemukan. Nilai
ilmiah fauna goa dapat ditinjau dari keunikan dan kekhasannya karena
adaptasi terhadap lingkungan goa yang gelap. Bentukan adaptasi
morfologi ini menjadikan bentuk-bentuk fauna goa menjadi unik dan khas.

2.4. HIDROLOGI KARST


Karst adalah suatu daerah yang memiliki sistem bentuk lahan dan
hidrologi yang khas dan terbentuk dari batuan dengan daya larut yang
tinggi serta berkembangnya porositas sekunder dengan baik (Wallace dan
9

Janet, 2012). Sistem hidrologi karst menjadikan minimnya akumulasi


cadangan air permukaan yang dapat dimanfaatkan. Salah satu
permasalahan daerah karst yaitu banyaknya jalur-jalur aliran air di bawah
tanah yang sulit dimanfaatkan oleh tanaman (Djakamihardja dan Mulyadi,
2013).
Pada awalnya, berbicara mengenai hidrologi karst tentunya
mempunyai konsekuensi logis yang dapat terbagi menjadi dua topik
pembicaraan utama yaitu hidrologi dan karst. Hidrologi, menurut Linsley et
al. (1995) adalah cabang dari ilmu geografi fisik yang berurusan dengan
air di muka bumi dengan sorotan khusus pada sifat, fenomena dan
distribusi air di daratan. Hidrologi dikategorikan secara khusus
mempelajari kejadian air di daratan/bumi, deskripsi pengaruh sifat daratan
terhadap air, pengaruh fisik air terhadap daratan dan mempelajari
hubungan air dengan kehidupan. Pada sisi yang lain, karst dikenal
sebagai suatu kawasan yang unik dan dicirikan oleh topografi eksokarst
seperti lembah karst, doline, uvala, polje, karren, kerucut karst dan
berkembangnya sistem drainase bawah permukaan yang jauh lebih
dominan dibandingkan dengan sistem aliran permukaannya (Adji dkk.,
1999). Siklus hidrologi secara umum disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Siklus Hidrologi Secara Umum


(Sumber; Kodoatie dkk., 2012)
10

Seperti disebutkan di atas, karena sifatnya, fokus dari hidrologi


karst adalah bukan pada air permukaan tetapi pada air yang tersimpan di
bawah tanah pada sistem-sistem drainase bawah permukaan karst. Untuk
lebih jelasnya, Gambar 2 mengilustrasikan drainase bawah permukaan
yang sangat dominan di daerah karst.

Gambar 2. Drainase Bawah Permukaan di Karst


(Sumber: Adji dan Haryono, 2004)

Pada Gambar 2 terlihat bahwa karena sifat batuan karbonat yang


mempunyai banyak rongga percelahan dan mudah larut dalam air, maka
sistem drainase permukaan tidak berkembang dan lebih didominasi oleh
sistem drainase bawah permukaan. Sebagai contoh adalah sistem
pergoaan yang kadang-kadang berair dan dikenal sebagai sungai bawah
tanah. Selanjutnya, dalam bahasan ini akan lebih banyak dideskripsikan
hidrologi karst bawah permukaan yang selanjutnya disebut sebagai air
tanah karst. Secara definitif, air pada sungai bawah tanah di daerah karst
boleh disebut sebagai air tanah, merujuk definisi air tanah oleh Todd
(1980) bahwa air tanah merupakan air yang mengisi celah atau pori-
pori/rongga antar batuan dan bersifat dinamis, sedangkan air bawah tanah
karst juga merupakan air yang mengisi batuan/percelahan yang banyak
terdapat pada kawasan ini, walaupun karakteristiknya sangat berbeda
dibandingkan dengan karakteristik air tanah pada kawasan lain.
Jankowski (2001) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen
utama pada sistem hidrologi karst, yaitu: akuifer, sistem hidrologi
permukaan dan sistem hidrologi bawah permukaan. Pada karst, cekungan
11

bawah permukaan dapat diidentifikasi dengan mencari hubungan antara


sungai yang tertelan (swallow holes) dan mata air. Cekungan bawah
permukaan ini dapat berkorelasi dengan cekungan aliran permukaan
(DAS) jika jalur-jalur lorong solusional pada bawah permukaan utamanya
bersumber pada sungai permukaan yang masuk melalui ponor. Tapi,
secara umum batas antara DAS permukaan dan bawah permukaan
adalah tidak sama. Sistem bawah permukaan, terutama yang memiliki
kemiringan muka air tanah yang rendah dapat mempunyai banyak jalur
dan outlet (mata air). Selanjutnya, karena terus berkembangnya proses
pelarutan, muka air tanah, mata air dan jalur sungai bawah tanah di
akuifer karst juga dapat berubah-ubah menurut waktu.

2.4.1 Akuifer Karst


Akuifer dapat diartikan sebagai suatu formasi geologi yang mampu
menyimpan dan mengalirkan air tanah dalam jumlah yang cukup pada
kondisi hidraulik gradien tertentu (Acworth, 2001). Perdebatan mengenai
hal ini sudah terjadi terutama pada masa-masa lampau dan solusi yang
ada biasanya tergantung dari sudut hidrogeologis mana orang
memandangnya.
Selanjutnya, dua hal ekstrem pada akuifer karst adalah adanya
sistem conduit dan diffuse yang hampir tidak terdapat pada akuifer jenis
lain (White, 1988). Ada kalanya suatu formasi karst didominasi oleh sistem
conduit dan ada kalanya pula tidak terdapat lorong-lorong conduit tetapi
lebih berkembang sistem difuse, sehingga hanya mempunyai pengaruh
yang sangat kecil terhadap sirkulasi air tanah karst. Tetapi, pada
umumnya suatu daerah karst yang berkembang baik mempunyai
kombinasi dua elemen tersebut.

2.4.2 Hidrologi Permukaan Air Tanah Karst


Pulau Kalimantan disebut bagian dari perisai benua (craton),
dengan batuan bed rock sudah tua dan sudah sangat consolidated dan
compact sehingga tidak memungkinkan terbentuknya akuifer di tengah
12

pulau. Craton (inti benua) atau shield atau perisai atau bagian masif suatu
benua yang umumnya disusun oleh kerak granitic, merupakan bagian
benua yang paling tua, dari mana inti benua berasal. Kemudian, oleh
proses tektonik, benua itu tumbuh semakin luas ke arah luarnya melalui
berbagai macam batuan yang menyambung di sisi luarnya yang disebut
proses akresi (Awang, 2009; Dirmawan, 2009).
Muka air tanah adalah batas antara zona jenuh dan zona tak jenuh.
Secara sederhana muka air tanah adalah air yang ditemukan pertama kali
ketika menggali sebuah sumur. Secara regional, notasi air tanah sering
kali dinyatakan dengan suatu istilah yang dikenal sebagai hydraulic head
atau jumlah antara tekanan hidrostatis air tanah dan ketinggian tempat.
Lebih mudahnya, nilai hydraulic head adalah nilai ketinggian tempat
dikurangi ketinggian muka air tanah dari permukaan bumi.

2.4.3 Hidrologi Bawah Permukaan Karst


Secara umum karena karakteristiknya yang khas, akuifer karst
menimbulkan banyak masalah dalam hal penentuan dan penyelidikan
sumber daya air karst yang terdapat pada lorong-lorong conduit dan
terakumulasi pada sungai-sungai bawah tanah. Selain itu, tidak mungkin
dapat melakukan generalisasi seperti yang dilakukan pada akuifer lain
karena karst dapat memiliki berbagai tipe dan karakter akuifer yang
berbeda-beda pada suatu daerah (Ford and Williams, 1992). Selanjutnya,
keberadaan air di karst biasanya hanya dapat diamati pada sungai bawah
tanah dan mata air yang dapat keluar di laut ataupun pada goa serta
karena adanya faktor topografi tertentu. Akibatnya, kemampuan untuk
melakukan survei bawah permukaan mutlak dipunyai oleh peneliti
hidrologi karst.
Ford and Williams (1992) mengemukakan bahwa penelitian
mengenai sistem aliran bawah permukaan karst perlu mencermati hal-hal
seperti berikut ini:
a) distribusi vertikal dan horisontal dari akuifer
b) batas akuifer
13

c) sifat aliran masuk dan keluar akuifer karst


d) hubungan, sistem pergoaan dan pola drainase bawah permukaan
e) karakteristik fisik akuifer
f) respon terhadap imbuhan (recharge) pada berbagai kondisi akuifer
g) hubungan aliran input dan output

2.4.4 Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis


2.4.4.1 Penginderaan Jauh
Definisi penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis
data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan
objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1993).

Rango (1996) dalam Indarto (2013) mendefinisikan penginderaan


jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu
objek, luas, atau tentang fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dari sensor, dalam hal ini sensor tidak berhubungan langsung dengan
objek sebagai target.

a. Spektrum elektromagnetik
Dalam penginderaan jauh digunakan tenaga elektromagnetik
meliputi: spektra kosmik, gamma, x, ultraviolet, tampakan inframerah,
gelombang mikro (mikcowave) dan radio. Bagian tertentu yang penting
dari spektrum elektromagnetik antara lain adalah spektrum tampak,
spektrum inframerah dan spektrum ultraviolet. Saluran atau pita (channel,
band) digunakan untuk bagian yang lebih kecil seperti saluran biru,
saluran hijau, saluran merah dan saluran merah pada spektrum tampak.
Spektrum yang biasa digunakan dalam penginderaan jauh sistem
fotografik optik adalah; spektrum ultraviolet, spektrum tampak dan
spektrum inframerah (Sutanto, 1986).

Puncak tenaga matahari berupa pantulan terletak pada panjang


gelombang 0,5 μm, sedang puncak tenaga bumi yang berupa pancaran
terletak pada panjang gelombang 9,7 μm. Penginderaan jauh sistem
14

termal menggunakan panjang gelombang sekitar 10 μm. „Band„


penginderaan jauh menggunakan spektrum ultraviolet hingga spektrum
gelombang mikro. Demikian pula spektrum Gamma dan spektrum X
diserap oleh atmosfer sehingga ini tak pernah mencapai bumi (Sutanto,
1986).

a. Citra foto dan citra non foto


Menurut Sutanto (1986) atas dasar cara perolehannya penginderaan
jauh dalam perekamannya diklasifikasikan menjadi:

1). Citra foto adalah citra yang direkam dengan kamera sebagai sensor
dengan menggunakan film sebagai detektor, perekamannya secara
serentak untuk seluruh daerah yang tergambar pada suatu lembar
citra. Pengklasifikasian berdasarkan wahana, citra foto terdiri dari:

a). Foto udara: foto yang dibuat dari udara (balon, pesawat terbang).

b). Foto satelit atau foto orbital: foto yang dibuat dari satelit.

2). Citra non foto adalah citra yang perekamannya dilakukan dengan
sensor berdasarkan atas pemindaian (scanning), detektornya bukan
film, perekamnya bagian demi bagian (tidak serentak untuk tiap
lembar), perekamannya dapat menggunakan satu atau beberapa
bagian dari seluruh jendela atmosfer.
b. Sensor
Menurut Muhadjir (1997), sebuah alat yang digunakan untuk
mendeteksi sumber data penginderaan jauh disebut “sensor“ (kamera
atau scanner), sedangkan kendaraan yang digunakan untuk membawa
sensor disebut “platform“.

Secara umum sensor terdiri dari sensor aktif yaitu mendeteksi


pantulan sebagai respon objek atas sumber energi buatan yang
dipancarkan oleh sensor dan sensor pasif yaitu mendeteksi energi
elektromagnetik yang dipancarkan objek secara alamiah (Soenarmo dan
Hartati, 1997).
15

c. Citra Alos (Advanced Land Observing Satellite)


1. Sejarah citra alos
Alos (Advanced Land Observing Satellite) yang telah berhasil
diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006, mempunyai 5 misi
utama 1) Kartografi, 2) Pengamatan regional 3) Pemantauan
bencana alam 4). Penelitian sumberdaya alam 5). Pengembangan
teknologi (Sitanggang, 2008)

2. Spesifikasi sensor
Satelit ALOS dilengkapi dengan tiga buah sensor indraja terdiri dari
2 buah sensor optik yaitu sensor PRISM (Pancromatic Remote
Sensing Instrument for Stereo Mapping) dan Sensor AVNIR-2
(Advance Visible and Near Infrared Radiometer type-2), sebuah
sensor gelombang mikro atau radar yaitu PALSAR (Phased Array
type L-band Syntetic Aperture Radar) (Sitanggang, 2008)

3. Karakteristik citra alos


Dengan karakteristik teknis satelit, sensor dan data PRISM,
ANVIR-2 dan PALSAR seperti yang disebutkan di atas, data
PRISM, ANVIR-2 dan PALSAR akan efektif untuk mendeteksi dan
pemantauan bencana alam seperti kebakaran hutan, polusi
minyak, kecelakaan kapal, banjir, letusan gunung api, gempa bumi,
tanah longsor, kekeringan, prakiraan produksi pertanian atau
aplikasi-aplikasi peringatan dini (early warning) dan lain
sebagainya.

Data AVNIR-2 mempunyai resolusi spasial yang lebih rendah dari


PRISM, tetapi untuk tujuan identifikasi atau deteksi, dengan
resolusi spasial 10 m dan dengan ketersediaan data dalam 4 kanal
spektral tampak dan inframerah dekat akan membantu di dalam
identifikasi yaitu dengan menggunakan operasi-operasi kombinasi
spektral (Sitanggang, 2008).

4. Tahapan koreksi citra alos


Menurut Indarto (2013), tahap-tahap koreksi citra antara lain:
16

a). Koreksi radiometrik

Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel


supaya sesuai dengan yang seharusnya yang biasanya
mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber
kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan
objek di permukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi
bukan nilai aslinya, tetapi menjadi lebih besar oleh karena
adanya hamburan atau lebih kecil karena proses serapan.
Metode-metode yang sering digunakan untuk menghilangkan
efek atmosfer antara lain metode pergeseran histogram
(histogram adjustment), metode regresi dan metode kalibrasi
bayangan.

b). Koreksi geometrik

Ketika akurasi areal, arah dan pengukuran jarak dibutuhkan,


citra mentah harus selalu diproses untuk menghilangkan
kesalahan geometrik dan merektifikasi citra kepada koordinat
sistem bumi yang sebenarnya. Dengan citra satelit, sebagai
contoh, kesalahan-kesalahan itu didahului oleh beberapa faktor
seperti, putaran (roll), gerak anggukan (pitch) dan
penyimpangan dari garis lurus (yaw) platform satelit dan
kelengkungan bumi. Untuk mengoverlaykan atau memosaik
citra, citra tersebut harus berada pada sistem koordinat yang
sama. Koordinat umumnya adalah dapat berupa "raw" (belum
terkoreksi), atau sistem proyeksi peta dunia yang sebenarnya.
Sebuah ground control point (GCP) adalah sebuah titik di
permukaan bumi dimana antara koordinat citra diukur dalam
baris dan kolom) dan proyeksi peta (diukur dalam derajat
latitude, longitude, meter atau feet) dapat diidentifikasi.
Rektifikasi adalah proses menggunakan GCP untuk
transformasi geometri citra sehingga masing-masing pixel terkait
dengan sebuah posisi pada sistem koordinat bumi sebenarnya
17

(seperti latitude/longitude atau easting/northing). Proses ini


kadang disebut dengan "warping" atau 'rubhersheeting" karena
data citra direntangkan atau dirapatkan sesuai keperluan untuk
menyesuaikan dengan grid peta bumi atau sistem koordinat.

Ortorektifikasi adalah bentuk lebih akurat dari rektifikasi karena


mengambil penghitungan sensor (kamera) dan karakteristik
platform (pesawat terbang). Ini khusus direkomendasikan untuk
foto udara. Ortorektifikasi dicakup terpisah di dalam `Image
orthorectification'.

5). Klasifikasi terbimbing dan klasifikasi tidak terbimbing

Lillesand dan Kiefer (1994) dalam Purwadhi (2001) membagi


proses klasifikasi menjadi:
a). Klasifikasi terbimbing (supervised classification)
Klasifikasi terbimbing memerlukan kelas-kelas yang
mengspesifikasikan wilayah-wilayah yang diinginkan. Dapat
mendefinisikan suatu wilayah dengan menggambarkan suatu
wilayah latihan dengan menggunakan sistem anotasi dan
menyimpannya dalam dataset raster. Tiap-tiap wilayah merupakan
wilayah vektor tetapi direlasikan sebagai dataset raster dan
disimpan dalam kepala file dataset raster
b). Klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification)
Klasifikasi tidak terbimbing memulai mengklasifikasi dari
kelas-kelas atau wilayah-wilayah yang dispesifikasikan atau dari
jumlah nominal kelas. Klasifikasi unsupervised secara sendiri akan
mengkategorikan semua pixel menjadi kelas-kelas dengan
kenampakan spektral atau karakteristik spektral yang sama. Hasil
klasifikasi dipengaruhi oleh parameter-parameter yang ditentukan
dalam kotak dialog klasifikasi unsupervised. Klasifikasi
unsupervised akan menghitung secara statistik untuk membagi
seluruh dataset menjadi kelas-kelas sesuai dengan jumlah kelas
yang diinginkan.
18

2.4.4.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)


Sistem informasi geografis (SIG) didefinisikan sebagai suatu
alat/media untuk memasukan, menyimpan, mengambil, memanipulasi,
menganalisis dan menampilkan data-data beratribut geografis yang
mendukung proses pengambilan keputusan dalam perencanaan dan
manajemen sumberdaya alam, lingkungan, transportasi, masalah
perkotaan dan administratif (Borrough, 1986).
Menurut Smith dkk. (1987) yang dikutip oleh Indarto (2013), Sistem
informasi geografis (SIG) juga didefinisikan sebagai suatu sistem
database yang mana hampir semua data terstuktur secara geospasial dan
adanya suatu prosedur yang berkerja untuk memberikan informasi tentang
suatu objek geospasial di dalam database tersebut.
Menurut Aronoff (1989) dalam Prahasta (2001), Sistem Informasi
Geografis (SIG) adalah sistem yang berbasiskan komputer yang
digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi (mengolah) informasi-
informasi geografi. Sistem informasi geografis merupakan sistem
komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani
data yang bereferensi geografi yaitu: (a) masukan, (b) manajemen data
(penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi
(mengolah) data, (d) keluaran.

Selanjutnya Indarto (2013) menyatakan, bahwa sistem informasi


geografis memiliki fungsi yakni:

1. Mengoleksi data
Data yang digunakan dalam sistem informasi geografis sering berasal
dari berbagai tipe dan disimpan dengan cara yang berbeda. Sistem
informasi geografis mengintegrasikan data-data yang berbeda dalam
sebuah format agar mudah dibandingkan dan dianalisis. Sumber data
sistem informasi geografis sebagian besar berasal dari hasil digitasi
secara manual, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa data satelit
dapat dijadikan sebagai masukan untuk sistem informasi geografis.
19

2. Memperbaharui dan mengolah data base.


Setelah data dikoleksi dan diintegrasikan, sistem informasi geografis
mampu menyediakan fasilitas untuk menambahkan dan memelihara
data.

3. Analisis geografis
Integrasi dan konversi data merupakan salah satu bagian dari tahap
pemasukan data dalam sistem informasi geografis, langkah yang
dibutuhkan selanjutnya adalah interpretasi dan analisis koleksi
informasi tersebut secara kuantitatif dan kualitatif.

4. Menampilkan dan mempretasikan hasil


Salah satu keunggulan pada sistem informasi geografis adalah
informasi yang beragam dapat ditampilkan dalam satu bidang yang
sama. Data tabel dan data grafik yang dihasilkan dari metode
konvensional dapat dilengkapi dengan peta dan gambar tiga dimensi
oleh sistem informasi geografis.

Menurut Prahasta (2001) sistem informasi geografis merupakan


sistem yang kompleks yang biasanya terinteregrasi dengan lingkungan
sistem-sistem komputer lain dengan tingkat fungsional dan jaringan.
Komponen dalam sistem informasi geografis harus saling mendukung dan
apabila salah satu komponen terganggu akan mempengaruhi optimalisasi
komponen yang lain. Komponen-komponen tersebut adalah:

1. Perangkat keras (hardware) yaitu alat yang dapat mempengaruhi


transfer, tampilan, pemprosesan dan penyimpanan data, berupa
komputer beserta perlengkapannya, digitizer dan printer atau plotter
grafis resolusi tinggi.
2. Perangkat lunak (software) merupakan prasarana untuk
mengimplementasikan konsep informasi geografis pada alat yang
tersedia, berupa program komputer yang mempunyai karakteristik,
filosofi dan kemampuan yang berbeda-beda pada jenis software
yang berbeda. Contoh software sistem informasi geografis adalah
ILWIS, IDRISI, Arc/Info, Arc View dll.
20

3. Data dan Informasi Geografi adalah sistem informasi geografis dapat


mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan
baik secara langsung dengan cara mengimpornya dari perangkat-
perangkat lunak sistem informasi geografis yang lain maupun secara
langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan
memasukkan data atributnya dari tabel-tabel dan laporan dengan
menggunakan keyboard.
4. Manajemen adalah suatu proyek sistem informasi geografis akan
berhasil jika dimanajemen dengan baik dan dikerjakan oleh orang-
orang memiliki keahlian yang tepat pada semua
Secara garis besar sistem informasi geografis terdiri atas dua buah
jenis data yaitu data spasial dan data non spasial (entitas). Data spasial
merupakan informasi keruangan yang menerangkan lokasi dan bentuk
informasi geografis, pada umumnya dikelompokkan menjadi empat jenis
simbol data yaitu titik, garis, polygone dan objek tiga dimensi, sedangkan
data atribut atau data non spasial merupakan informasi lebih lanjut dari
data spasial. Data ini menerangkan keterangan yang tidak dapat
digambarkan dengan hanya memunculkan aspek keruangan objek saja
(Prahasta, 2001).

Prosedur untuk mengaitkan hubungan keruangan antara


kenampakan dengan informasi ikutannya dinyatakan dalam topologi
(Borrough, 1986). Ada tiga hal pokok menyangkut konsep topologi, yaitu:

1. Keterhubungan (connectivity)
Pasangan koordinat pada tiap-tiap ruas garis akan diawali dan diakhiri
dengan titik atau garis, baik yang terbuka maupun yang membentuk
poligon tertutup akan berhubungan satu dengan yang lain pada suatu
titik.

2. Pengartian (definition)
Garis yang berhubungan dan memiliki suatu luas akan membentuk
suatu poligon. Hal ini berarti garis atau kumpulan garis akan
mengartikan suatu poligon yang dibatasinya.
21

3. Arahan.
Garis-garis selalu memiliki arah, dari asal ke tujuan dan disertai
informasi sisi kanan kiri. Hal ini berarti suatu garis akan selalu
membawa informasi tentang kaitan kedudukannya terhadap luas
(areal) yang dibentuknya.

Indarto (2013) menyatakan bahwa untuk mendapatkan sumber data


sistem informasi geografis yang digunakan untuk mengkonversikan peta
dan data yang ada menjadi bentuk digital yaitu:

1. Digitasi peta
Digitasi peta analog (peta tematik, peta topografi, dll) merupakan
metode yang umum digunakan untuk mengkonversi peta menjadi data
digital. Proses terdiri dari tiga tahap yaitu persiapan data, regristrasi
peta dan pemasukan data.

2. Pemasukan data melalui keyboard


Pemasukan data melalui keyboard merupakan metode terbaik untuk
memasukkan informasi angka dan teks. Data yang dapat dimasukkan
melalui keyboard adalah: Atribut basis data berupa karakter seperti
alamat, pemilik, alamat pemilik, data grafik.

3. Potret udara dan citra satelit


Citra yang dihasilkan dari sensor satelit atau yang ditempatkan di
dalam pesawat udara, merupakan sumber informasi parsial yang lebih
kaya dengan tingkat resolusi parsial dan temporal yang lebih
bervariasi.

4. Penyiaman (scanning)
Penyiaman (scanning) merupakan proses mengkonversikan data peta
dan dokumen menjadi format raster digital.

5. Survei lapangan dengan menggunakan GPS


Data geografis diperoleh dengan menggunakan sampling survey
lapangan. Data yang diperoleh umumnya berupa seri titik-titik
pengamatan yang kemudian dapat dijadikan layer di sistem informasi
geografis. Data-data titik tersebut diinterpolasi dan diubah menjadi
22

data luas dengan berbagai metode interpolasi yang tersedia pada


perangkat lunak sistem informasi geografis.
Menurut Prahasta (2014), sistem informasi geografis mempunyai
kemampuan melaksanakan operasi spasial, dinyatakan dalam fungsi
analisis dan atribut, jawaban atau solusi yang diberikan terhadap
pertanyaan yang diajukan, menghubungkan kumpulan data dengan
menggunakan lokasi sebagai kunci. Ada lima pertanyaan umum yang
dapat dijawab oleh SIG antara yaitu:
1. Lokasi (mencari apa yang terdapat dengan kondisi tertentu)
2. Kondisi (mencari lokasi dengan kondisi tertentu)
3. Kecenderungan (mencari perbedaan di dalam area menurut
perbedaan waktu)
4. Pola (mengetahui di mana berada)
5. Pemodelan (pertanyaan untuk determinasi apa yang terjadi)
Kemampuan sistem informasi geografis oleh Prahasta (2014), dapat
dikenali dari fungsi-fungsi analis yaitu:
1. Fungsi analisis atribut
a. Operasi dasar basisdata mencakup: membuat basisdata baru,
menhapus basisdata, membuat tabel basisdata, mengisi dan
menyisipkan data ke dalam tabel, membaca dan mencari data,
memperbaharui dan mengubah data dalam tabel basisdata serta
membuat indek untuk setiap basisdata.
b. Perluasan operasi basisdata mencakup: membaca dan menulis
basisdata dalam sistem basisdata lain, dapat berkomunikasi
dengan basisdata lain dan dapat menggunakan basisdata standar
SQL (Structured Query Language).
2. Fungsi analisis spasial
a. Operasi reklasifikasi (reclassification operations)
b. Operasi tumpangsusun (overlay operations)
c. Jaringan (network)
d. Analisis Tiga Dimensi (3D)
e. Zona dengan jarak tertentu dari data spasial acuan (buferring)
23

f. Pengolahan citra digital (digital image processing)


g. Dan masih banyak analisis lainnya yang digunakan dalam sistem
informasi geografis
Dengan demikian sistem informasi geografis bukan hanya
sekedar sistem komputer untuk pembuatan peta, walaupun dapat
membuat peta. Kekuatan sistem informasi geografis sebenarnya
terletak pada kemampuannya melakukan analisis, mengolah dan
mengelola data dengan volume yang besar. Dengan demikian
bagaimana cara mengekstrak data tersebut dan bagaimana
menggunakannya merupakan kunci analisis dari sistem informasi
geografis (Prahasta, 2014).

2.4.5 Neraca Air Kawasan Karst


Neraca air merupakan keseimbangan antara masukan dan
keluaran air di suatu tempat pada periode tertentu. Konsep neraca air
digunakan untuk mengetahui jumlah air yang tersedia di suatu wilayah.
Neraca air dapat menggambarkan kondisi kelebihan (surplus) ataupun
kekurangan (defisit). Kondisi air yang surplus maupun defisit ini dapat
digunakan untuk mengantisipasi bencana yang mungkin terjadi, serta
sebagai peringatan untuk memanfaatkan air sebaik-baiknya (Purnama et
al., 2012). Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air
yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang
jatuh pada luas dan kurun waktu tertentu (Noah et al., 2010).
Ketersediaan sumber daya air sangat dipengaruhi oleh kondisi
iklim, topografi, jenis tanah, tutupan lahan serta struktur geologi suatu
daerah (Soldevilla-Martineza et al., 2013). Tingkat ketersediaan air tanah
diperoleh dengan menganalisis data kandungan air tanah. Perbedaan
jenis tanah dapat mempengaruhi ketersediaan kandungan air tanah
(Zappa dan Gurtz, 2003).
Keseimbangan air adalah suatu analisis yang menggambarkan
pemanfaatan sumber daya air suatu daerah tinjauan yang didasarkan
pada perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air (Bonita dan
24

Mardyanto, 2015). Arsyad (2006) mendefinisikan neraca air secara


sederhana menjadi tiga komponen, yaitu air yang diterima, air yang hilang
dan air yang tersimpan (tersedia).
(Air yang diterima) – (Air yang hilang) = (Air yang dimanfaatkan)
Tabel 1. Komponen Neraca Air
Air yang diterima Air yang hilang Air yang dimanfaatkan
Presipitasi (hujan, Aliran permukaan Intersepsi
salju, hujan es) Perkolasi Perubahan kandungan
Kondensasi (embun) Evaporasi air tanah
Adsorpsi Transpirasi Simpanan permukaan
Evapotranspirasi
Sumber: Arsyad (2006)

Secara umum terdapat 3 model neraca air yang sering digunakan,


yaitu model neraca air umum, model neraca air lahan dan model neraca
air pertanaman. Model neraca air yang digunakan pada penelitian ini
adalah model neraca air lahan yang menghitung unsur gabungan dari
data klimatologis dengan data tanah, terutama data kadar air tanah pada
kapasitas lapang, titik layu permanen dan air tersedia. Kapasitas lapang
adalah keadaan yang menunjukkan jumlah air terbanyak dan dapat
ditahan oleh tanah terhadap gaya gravitasi. Jumlah air yang ditahan oleh
tanah ini, semakin lama akan semakin berkurang akibat air yang terus-
menerus diserap oleh tanaman ataupun mengoap kembali sebagai
evaporasi. Titik layu permanen menunjukkan kondisi akar-akar tanaman
tidak lagi mampu menyerap air tanah. Titik layu permanen ini mewakili
kelembapan tanah pada saat kekuatan pegang air dari partikel tanah
sebanding dengan daya maksimum penyerapan air oleh akar tanaman.
Pada kondisi ini air tidak tersedia bagi tanaman. Air tersedia menunjukkan
kondisi air cukup untuk digunakan oleh tanaman. Kondisi ini berada di
antara kondisi air pada kapasitas lapang dan titik layu permanen
(Purnama et al., 2012). Karst adalah suatu daerah yang memiliki sistem
bentuk lahan dan hidrologi yang khas dan terbentuk dari batuan dengan
daya larut yang tinggi serta berkembangnya porositas sekunder dengan
baik (Wallace dan Janet, 2012).
25

Air sebagai sumber daya alam yang terbatas jumlahnya memiliki


siklus tata air yang relatif tetap, mengemukakan bahwa kawasan karst
memiliki tata air sangat kondusif yang perlu dilakukan evaluasi ekonomi
terhadap sumber daya air karena nilai pada tata air di kawasan karst
sangat bergantung pada ketersediaan volume atau debit air sungai bawah
tanah.
Pada dasarnya kawasan karst adalah daerah batuan yang memiliki
peran dalam menyerap karbondioksida dan merupakan sumber untuk
menghasilkan sumber air. Jika diekploitasi dimanfaatkan secara terus
menerus maka akan menyebabkan masalah pada keseimbangan alam
dengan rusaknya lingkungan atau terjadi kerugian pada alam atau sering
terjadi pengikisan yang mengakibatkan habisnya batuan karst yang
memiliki banyak manfaat.
Perlindungan pada kawasan karst telah diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 maupun Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 2008, perlindungan pada kawasan karst sebagai sebuah
ekosistem sudah menjadi fokus untuk pemerintah dalam mencegah
kerusakan lingkungan hidup dengan memberikan atau menetapkan
batasan-batasan atau sistem zonasi pada pelaku usaha agar tidak
merusak alam. Namun kenyataannya peraturan ini sebagai upaya untuk
perlindungan kawasan karst bukan dilakukan untuk sebagai kawasan
pariwisata. Hal ini menjadikan pengeksploitasian kawasan karst secara
terus-menerus dan tidak bijak dalam penanganan keseimbangan
lingkungan atau ekosistem sehingga perlu dikelola agar tidak terjadi
kerusakan pada ekosistem.

2.4.6 Pengelolaan Sumber daya Air


Pengelolaan sumber daya air merupakan aktivitas merencanakan,
mengembangkan, mendistribusikan, dan mengelola penggunaan sumber
daya air secara optimal. Karst merupakan wilayah dengan hidrologi unik
dan terbentuk dari kombinasi antara tingginya pelarutan batuan dengan
porositas yang berkembang baik. Kondisi tersebut menyebabkan air yang
26

jatuh di permukaan akan mengalir melalui celah-celah dan lorong bawah


tanah dan terkumpul dalam akuifer karst atau sungai bawah tanah
(Cahyadi, 2010). Beberapa sungai bawah tanah kemudian muncul
kembali di permukaan pada topografi yang lebih rendah sebagai mata air.
Salah satu keunggulan dari mata air karst adalah waktu tunda yang
panjang antara hujan hingga keluar ke mata air sehingga beberapa mata
air karst akan memiliki debit yang besar saat musim kemarau. Hal ini yang
menyebabkan kawasan karst sering dijuluki sebagai “tanki air tawar
raksasa” yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia (Haryono, 2001).
Keberadaan sumber daya air di daerah karst amat berbeda dengan
di daerah vulkanik ataupun di daerah non karst yang lain. Sumber daya air
di daerah karst mempunyai penyebaran yang tidak merata, baik air
permukaan maupun air tanahnya, baik secara kualitas maupun secara
kuantitas, dan ini menjadi salah satu penyebab daerah karst sering
mengalami kekurangan atau krisis air, terutama pada musim kemarau
(Sulastoro, 2013). Perkembangan sistem hidrologi yang didominasi oleh
lorong-lorong pelarutan menyebabkan bagian atas di kawasan karst
memiliki kondisi yang kering, tetapi sebenarnya pada bagian bawah
permukaan tersimpan sumber daya air yang banyak (White, 1988).
Meskipun potensi sumber daya air wilayah karst yang berada di sistem
bawah permukaan begitu besar, namun perlu usaha yang besar pula
untuk dapat dimanfaatkan (Samodra, 2001).

2.4.7 Pengelolaan Kawasan Karst


Wilayah karst mempunyai karakteristik hidrologi dan geomorfologi
unik, termasuk berkembangnya drainase yang baik dan bentang lahan
bawah tanah yang dihasilkan dari proses pelarutan. Kebijakan yang untuk
perlindungan kawasan karst salah satunya adalah Keputusan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1456 Tahun 2000 tentang
Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst. Dalam peraturan tersebut
kawasan karst dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
27

Kawasan karst kelas I yang merupakan kawasan lindung yang di


dalamnya tidak boleh ada aktivitas penambangan tetapi boleh melakukan
kegiatan lain asal tidak mengganggu proses dan karstifikasi maupun
kegiatan yang merusak fungsi kawasan karst. Kedua, kawasan karst kelas
II yaitu kawasan karst yang di dalamnya boleh dilakukan kegiatan
penambangan dengan syarat studi AMDAL, UKL, dan UPL. Ketiga,
kawasan karst kelas III, yaitu kawasan karst yang boleh dilakukan
kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Kawasan ini juga sempurna untuk kegiatan pendidikan. Kompleksitas
wilayah ini sangat rentan sehingga manajemen lingkungan memerlukan
pengelolaan yang komprehensif serta multidisiplin (Waele, 2015).
Apabila terjadi kerusakan, di kawasan karst baik di atas permukaan
dan bawah permukaan untuk perbaikan kembali membutuhkan waktu
yang lama, dan proses yang sulit. Dengan alasan tersebut maka karst
harus diatur secara keseluruhan dan dikelola secara hati-hati (Ravbar,
2015). Kebijakan menyeluruh merupakan suatu hal yang berguna untuk
mengambil keputusan guna melindungi kawasan karst, memungkinkan
pengelola mempertimbangkan ancaman dan nilai-nilai yang mungkin
sebelumnya tidak dipertimbangkan (Angulo, 2013).

2.4.8 Analisis SWOT


Analisis SWOT merupakan cara sistematis untuk mengidentifikasi
faktor-faktor dan strategi yang menggambarkan kesesuaian paling baik di
antara berbagai alternatif strategi yang ada. Analisis ini didasarkan pada
asumsi bahwa suatu strategi yang efektif akan memaksimalkan kekuatan
dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman.
Analisis SWOT (strength, weakness, opportunities and threats)
meliputi analisis faktor internal yang terdiri dari strength and weakness
dan analisis faktor eksternal yang terdiri dari opportunites and threats.
Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan
ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan. Keuntungan
analisis SWOT menurut Luthfi (2003) adalah:
28

1. Tak hanya dapat membuat ekstrapolasi masa depan, tapi justru


dapat dipakai untuk membuat masa depan
2. Multiguna dan sederhana
3. Cocok dengan teknik lain (Delphi, Brainstorming, Time Series,
regression, AHP (Analytical Hierarchic Process)
4. Dapat dipakai membangun untuk konsensus berdasarkan
kebutuhan dan keinginan.
Menurut Rangkuti (2006) dalam analisis SWOT, kekuatan
(strength) dan kelemahan (weakness) adalah faktor internal sedangkan
peluang (opportunity) dan ancaman (threat) adalah faktor eksternal.
Analisis SWOT adalah identifikasi secara sistematik atas kekuatan dan
kelemahan dari faktor-faktor eksternal yang dihadapi suatu sektor.
Lingkup kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Kekuatan, meliputi semua aspek yang berada dalam sistem
pengelolaan kawasan karst yang memberikan nilai positif.
2. Kelemahan, meliputi semua aspek yang berada dalam sistem
pengelolaan kawasan karst yang memberikan nilai negatif.
3. Peluang adalah potensi atau kesempatan dari sistem pengelolaan
kawasan karst yang dapat diambil.
4. Ancaman adalah semua dampak negatif dari luar sistem
pengelolaan kawasan karst yang mungkin dihadapi.
29

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada kawasan lanskap karst
Sangkulirang–Mangkalihat di wilayah Kabupaten Kutai Timur Provinsi
Kalimantan Timur (Gambar 3).

Gambar 3. Peta Indikatif Karst Sangkulirang-Mangkalihat

Pengambilan data untuk penelitian ini terbagi atas beberapa lokasi


yaitu: pengambilan data spasial dilakukan pada kawasan karst
Sangkulirang-Mangkalihat sedangkan untuk pengambilan data terkait
hidrologi, kualitas air, keanekaragaman hayati serta wawancara untuk
perumusan strategi dilaksanakan di wilayah kawasan Gunung Sekerat
serta Desa Selangkau dan Sekerat. Pemilihan lokasi ini berdasarkan atas
pertimbangan bahwa kawasan ini merupakan daerah resapan air untuk
mata air yang ada pada tipe-tipe karst di Kabupaten Kutai Timur (karst
Sangkulirang–Mangkalihat). Untuk pengukuran rinci tentang ekosistem
(data sekunder) dan informasi hidrologi, fokus dilakukan di kawasan
Gunung Sekerat.
30

Gambar 4. Peta Sekerat dan Sekitarnya

Penelitian di lapangan dilakukan mulai bulan Maret–Juni 2015.


Kemudian dilanjutkan dengan analisis laboratorium, input data dan
pengolahan data penelitian.

3.2. BAHAN DAN ALAT PENELITIAN


Bahan dan alat yang digunakan:
a. Desk Studi: Komputer, Arc Gis, Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Kutai Timur, Kutai Timur Dalam Angka, Peta
lokasi penelitian dari Peta Rupa Bumi Indonesia Kabupaten Kutai
Timur, Peta Topografi, Peta Geologi, Peta Hidrogeologi, Peta Sistem
Lahan, Peta Tutupan Lahan, Citra Landsat dan Peta Jenis Tanah,
Data Vegetasi dan Peta Curah Hujan.
b. Penelitian lapangan: Global Positioning System (GPS), alat
pengambilan sampel tanah (Hand Auger), double ring infiltrometer,
tipping bucket, Automatic Water Level Recorder (AWLR), current
meter, phiband, kompas dan meteran.
31

3.3. TEKNIK PENGUMPULAN DATA


3.3.1 Data Sebaran Spasial Delineasi Lanskap Karst
Data sebaran spasial delineasi lanskap karst diperoleh dari data
Citra Quick Bird 2012–2013 (Time Series), Peta Topografi, Peta Geologi,
Peta Hidrogeologi, Peta Sistem Lahan dan Peta Jenis Tanah dengan
menggunakan delineasi on screen.
Analisis peta-peta yang memiliki skala peta yang berbeda dapat
diproyeksikan ke skala lebih besar dengan menambah informasi dalam
peta tersebut. Selanjutnya peta dikonversi dan dikoreksi dengan
menggunakan skala yang lebih besar (skala 1:25.000) serta memasukkan
data-data primer dari hasil survei lapangan (ground truth), di mana skala
peta-peta yang lebih kecil (1:250.000) dapat ditambah informasinya.
Kajian dalam penelitian ini memberikan gambaran mengenai situasi
yang berkaitan dengan bentang alam (landscape) berdasarkan peta
topografi wilayah untuk menentukan batas-batas alami dari suatu
kawasan daerah resapan (recharge area), sebaran batuan berdasarkan
peta geologi dan sebaran vegetasi (tutupan lahan) berdasarkan peta
landsat yang diperkirakan dapat memberi kontribusi atau pengaruh
terhadap resapan air.

3.3.2 Data Ekosistem dan Vegetasi


Data ekosistem dan vegetasi didapatkan dengan menggunakan
data sekunder tutupan lahan hasil interpretasi citra satelit dan ground
check. Dari data tutupan lahan didapatkan kelas tutupan lahan pada karst
Sangkulirang–Mangkalihat.
Untuk mengetahui kondisi ekosistem dan vegetasi pada kawasan
karst secara rinci dilakukan pengamatan langsung di lapangan dan
pengolahan data sekunder untuk memperoleh data ekosistem yang
mendominasi di sekitar kawasan karst tersebut, serta disesuaikan dengan
data sekunder hasil analisis petak ukur permanen Re Enumerasi Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IV Samarinda 2017, yang kemudian
dilakukan identifikasi jenis dan nama ilmiahnya. Penggunaan data
32

sekunder tersebut menjadi acuan utama untuk melihat sebaran ekosistem


di kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat.

3.3.3 Data Hidrologi, Kualitas Air dan Ketersediaan Air Kawasan


Karst
Data yang diperlukan untuk mengetahui sistem hidrologi di daerah
Gunung Sekerat pada Sungai Sekerat meliputi:
a. Kondisi eksisting biofisik kawasan karst.
b. Debit aliran di sumber air
c. Kapasitas air zona epikarst
d. Koefisien Rezim Sungai (KRS)
e. Mendapatkan informasi data meteorologi dari stasiun di sekitar
kawasan karst untuk informasi evapotranspirasi, suhu, kecepatan
angin, arah angin dan kelembapan.
Untuk mendapatkan informasi kualitas air dilakukan pengambilan
sampel air pada penampang yang sudah diukur di atas dan sampel air
tersebut dikirim ke laboratorium yang terakreditasi yaitu laboratorium
sucofindo dengan parameter untuk air baku air minum.

3.3.4 Strategi Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Karst


(Pengumpulan Data Lapangan)
Sumber data yang dikumpulkan adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil observasi lapang yang telah
direncanakan dan wawancara dengan daftar pertanyaan yang telah
disiapkan. Observasi bertujuan untuk melihat secara langsung kondisi dan
potensi yang ada di kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat, sedangkan
wawancara secara terstruktur dan kuesioner dilakukan pada dua desa
yaitu Selangkau dan Sekerat dengan jumlah responden sebanyak 100
responden dimana pada masing-masing desa di ambil 50 responden.
Pengumpulan data responden ditentukan dengan teknik purposive
sampling dengan pemilihan responden yang meliputi unsur pemerintah
seperti Kepala Desa, Kepala Dusun, Sekretaris Desa, pedagang,
33

kelompok nelayan dan masyarakat sekitar di Desa Sekerat dan Desa


Selangkau (diasumsikan pemilihan responden ini dapat memberikan
pandangan secara objektif terkait dengan aktivitas utama yang dilakukan
dan keterwakilan dari karakteristik lainnya). Pemilihan jumlah responden
berdasarkan Walpole (1977), apabila jumlah responden lebih besar atau
sama dengan 30 responden, maka hasilnya dapat mewakili populasi
tersebut.
Data sekunder diperoleh dari studi pustaka di antaranya jurnal-
jurnal hasil penelitian, buku dan instansi terkait seperti Badan Pusat
Statistik (BPS) serta demografi dari kedua desa. Alat yang digunakan
dalam pengumpulan data dan informasi meliputi: alat tulis, kamera dan
kuesioner.

3.3.5 Teknik Analisis Data


3.3.5.1 Analisis sebaran delineasi lanskap karst
Analisis sebaran delineasi lanskap karst menggunakan aplikasi SIG
(Sistem Informasi Geografis) dengan teknik tumpang susun (overlay)
sehingga menghasilkan peta tematik lanskap karst Sangkulirang–
Mangkalihat di wilayah Kabupaten Kutai Timur.
Peta dasar yang digunakan untuk analisis overlay adalah sebagai berikut:
a. Peta Administrasi Kabupaten Kutai Timur.
b. Peta Rupa Bumi Provinsi Kalimantan Timur.
c. Peta Geologi Provinsi Kalimantan Timur.
d. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Timur.
e. Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan
Utara sesuai dengan lampiran Surat Keputusan Menteri Kehutanan.
f. Nomor 718/Menhut-II/2014 tanggal 29 Agustus 2014.
g. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Provinsi Kalimantan Timur.
h. Peta Indikatif Karst Sangkulirang–Mangkalihat.
i. Peta Lampiran PERDA No. 1 Tahun 2016 RTRW Kabupaten Kutai
Timur Tahun 2015–2035.
34

Alat-alat yang diperlukan untuk membuat dan mendukung proses


overlay adalah sebagai berikut:
1) Seperangkat alat komputer yang dilengkapi perangkat lunak ArcGIS
10.2, ER Mapper ver. 7.01 dan Microsoft Office 2007.
2) Scanner Canon Canoscan LiDE 700F, untuk konversi peta analog
menjadi peta digital.

Analisis Overlay (Tumpang Susun)

Analisis overlay (tumpang susun) yaitu menggabungkan antara dua


atau lebih peta atau grafis untuk dapat diperoleh data baru yang memiliki
satuan pemetaan (unit pemetaan) gabungan dari beberapa data grafis
tersebut. Jadi proses tumpang susun akan diperoleh satuan pemetaan
baru (unit baru). Analisis overlay untuk masing-masing delineasi sebaran
lanskap karst Sangkulirang–Mangkalihat adalah sebagai berikut:
1. Peta Sebaran Lanskap Karst Pemerintah Kabupaten Kutai Timur

Peta Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat RTRW


Kabupaten Kutai Timur

Peta Administrasi Kabupaten Kutai Timur

Peta Sebaran Lanskap Karst Kabupaten Kutai Timur

2. Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Berdasarkan Daerah Aliran


Sungai (DAS)

Peta Sebaran Lanskap Karst Kabupaten Kutai Timur

Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Provinsi Kalimantan


Timur
Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Berdasarkan
Daerah Aliran Sungai (DAS)
35

3. Peta Sebaran Geogologi Karst Sangkulirang-Mangkalihat

Peta Sebaran Lanskap Karst Kabupaten Kutai Timur

Peta Geologi Provinsi Kalimantan timur 1:250.000

Peta Sebaran Geogologi Karst Sangkulirang-Mangkalihat

4. Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Versi Provinsi Kalimatan Timur


Per Kecamatan

Peta Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat RT/RW


Provinsi Kalimantan Timur

Peta Administrasi Kabupaten Kutai Timur

Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Provinsi Kalimantan


Timur

5. Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Versi Provinsi Kaltim


Berdasarkan Daerah Aliran Sungai
Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat RTRW Provinsi
Kalimantan Timur
Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Provinsi Kalimantan
Timur

Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Versi Provinsi


Kalimantan Timur Berdasarkan Daerah Aliran Sungai

6. Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Versi ESDM Per Kecamatan

Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Badan Geologi


Pusat Sumber Daya Air dan Geologi Lingkungan

Peta Administrasi Kabupaten Kutai Timur

Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Versi ESDM per


Kecamatan
36

7. Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Versi ESDM Berdasarkan


Daerah Aliran Sungai

Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Badan Geologi


Pusat Sumber Daya Air dan Geologi Lingkungan
Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Provinsi Kalimantan
Timur

Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Versi ESDM


Berdasarkan Daerah Aliran Sungai

8. Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Versi ESDM Berdasarkan


Daerah Aliran Sungai

Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Badan Geologi


Pusat Sumber Daya Air dan Geologi Lingkungan
Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Provinsi Kalimantan
Timur

Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Versi ESDM


Berdasarkan Daerah Aliran Sungai

9. Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Versi ESDM Berdasarkan


Geologi

Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Badan Geologi


Pusat Sumber Daya Air dan Geologi Lingkungan

Peta Geologi Provinsi Kalimantan Timur

Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Versi ESDM


Berdasarkan Geologi

10. Peta Lokasi Penelitian Karst Sekerat Per Kecamatan

Peta Lokasi Penelitian Karst Sekerat

Peta Administrasi Kabupaten Kutai TImur

Peta Lokasi Penelitian Karst Sekerat Per Kecamatan


37

11. Peta Lokasi Penelitian Karst Sekerat Berdasarakan Sub Daerah Aliran
Sungai

Peta Lokasi Penelitian Karst Sekerat


Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Provinsi Kalimantan
Timur
Peta Lokasi Penelitian Karst Sekerat Berdasarkan
Daerah Aliran Sungai

12. Peta Sebaran Karst dan Bukan Karst di Lokasi Penelitian

Peta Lokasi Penelitian Karst Sekerat

Peta Delineasi Karst ESDM

Peta Sebaran Karst dan Bukan Karst di Lokasi


Penelitian

13. Peta Tutupan Lahan di Lokasi Penelitian

Peta Lokasi Penelitian Karst Sekerat

Peta Tutupan Lahan BPKH Wilayah IV Samarinda


Tahun 2017

Peta Tutupan Lahan di Lokasi Penelitian

14. Peta Penggunaan Lahan di Lokasi Penelitian

Peta Lokasi Penelitian Karst Sekerat

Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Timur

Peta Penggunaan Lahan di Lokasi Penelitian

15. Pola Ruang di Kawasan Gunung Sekerat

Peta Lokasi Penelitian Karst Sekerat

Peta RTRW Kabupaten Kutai Timur Tahun 2015-2035

Pola Ruang di Kawasan Gunug Sekerat


38

3.3.5.2 Analisis data ekositem


Penelitian ini pada dasarnya bersifat penelitian deskriptif analisis
dengan teknik interpretasi citra dan survei lapangan untuk memperoleh
data tutupan lahan sehingga diketahui gambaran struktur vertikal tegakan
sesuai dengan kelas tutupan lahan, yaitu Hutan Lahan Kering Primer,
Hutan Lahan Kering Sekunder dan Belukar.
Analisis kerapatan tegakan dan analisis vegetasi didapatkan dari
data sekunder dengan memperhatikan komposisi jenis, diameter dan
tinggi pohon serta menggambarkan profil keadaan lapangan, arah lereng,
keadaan tegakan, tipe hutan, kategori lahan, fungsi hutan, sistem lahan,
ketinggian tempat serta keterjangkauan.

3.3.5.3 Analisis vegetasi ke ekosistem


Dalam tahap ini data ekosistem diperoleh dari hasil pengambilan
data di lapangan, kemudian diolah menggunakan tahapan rumusan
analisis vegetasi untuk dapat menjawab permasalahan serta mencapai
tujuan yang diharapkan dalam penelitian. Pengolahan data untuk masing-
masing elemen diuraikan pada penjelasan berikut ini:
a. INP (Indeks Nilai Penting)
Rumus-rumus yang digunakan untuk memperoleh parameter
sehubungan dengan pengolahan data penyebaran dan komposisi
jenis untuk mendapatkan INP yaitu:
INP % = KR + DR + FR
Kerapatan Relatif (KR) % = Jumlah individu suatu jenis x 100
Jumlah individu semua jenis
Dominasi Relatif (DR) % = Jumlah bidang dasar suatu jenis x 100
Jumlah bidang dasar semua jenis
Frekuensi Relatif (FR) % = Frekuensi suatu jenis x 100
Frekuensi semua jenis
b. Luas Bidang Dasar (LBD)
Dimana Luas Bidang Dasar (LBD) adalah luasan penampang
melintang batang kayu setinggi dada atau 1.30 m di atas tanah.
LBD = ¼.π.d2
39

c. Kerapatan
Kerapatan pohon dinyatakan dengan luas bidang dasar per hektar
(m2/ha)
Kerapatan (m2/ha) = Jumlah LBD
Luas plot

3.3.5.4 Analisis hidrologi kawasan karst


Analisis sistem hidrologi kawasan karst dilakukan dengan
uji/pengukuran parameter-parameter hidrologi di mata air kawasan
Gunung Sekerat, sehingga mendapatkan informasi awal untuk analisis
pemanfaatan sumber daya air di kawasan karst Gunung Sekerat. Analisis
yang dilakukan meliputi:
a. Analisis deskriptif dengan cara melakukan observasi lapangan untuk
mengidentifikasi kondisi eksisting kawasan karst perbukitan Gunung
Sekerat.
b. Analisis laboratorium kapasitas air maksimum dari cutaneous zone di
kawasan karst perbukitan Gunung Sekerat.
c. Pengukuran debit aliran di penampang yang sudah diukur
menggunakan current meter dengan metode velocity area current
meter adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran. Setiap current
meter mempunyai rumus kecepatan aliran. Persamaan umum yang
ada misalnya V air = a + bn, yang mana a dan b adalah koefisien
regresi, sedangkan n adalah jumlah putaran baling dibagi dengan
waktu. Pengukuran debit aliran dengan menggunakan current meter
mencakup pengukuran kecepatan aliran dan pengukuran luas
penampang basah. Mengingat bahwa distribusi kecepatan aliran baik
arah horisontal dan vertikal tidak sama, maka perlu teknik sampling
pengukuran dan teknik perhitungannya. Perhitungan debit aliran
dilakukan dengan mengalikan kecepatan aliran dengan luas
penampang basah.
d. Analisis Koefisien Rezim Sungai (KRS) pada mata air di kawasan
karst perbukitan Gunung Sekerat. KRS merupakan perbandingan
debit maksimum pada musim kemarau dengan debit minimum di
40

musim hujan. Nilai KRS ini dijadikan sebagai indikator karakteristik


hidrologi mata air karst.
Tabel 2. Klasifikasi Koefisien Rezim Sungai
Nilai Kelas
KRS<20 Sangat rendah
20<KRS<50 Rendah
50<KRS<80 Sedang
80<KRS<110 Tinggi
KRS>110 Sangat tinggi
*Sumber: Permenhut 61 tahun 2014

3.3.5.5 Analisis kualitas air kawasan karst


3.3.5.5.1 Pengambilan sampel
Analisis kualitas air dilakukan dengan pengambilan sampel di 11
(sebelas) mata air pada musim hujan. Sebelas sampel kualitas air
tersebut di antaranya: Sampel 442 K Mata Air Sekerat, Sampel 443 K
Mata Air Selangkau, Sampel 444 K Mata Air Batu Pondong, Sampel 445 K
Mata Air Selangkau, Sampel 446 K Mata Air SP 1, Sampel 447 K Mata Air
SP 2, Sampel 448 K Mata Air Mampang 2, Sampel 449 K Mata Air
Mampang, Sampel 13.085 K Sungai Muara Selangkau, Sampel 13.086 K
Air Goa Sigege, dan Sampel 13.087 K Air Goa Belerang. Sebagai
pembanding pengambilan sampel kualitas air di musim kemarau pada dua
mata air yaitu mata air Sungai Mampang dan Sekerat. Informasi kualitas
air dilakukan pengambilan sampel air pada panampang yang sudah diukur
di atas dan sampel air tersebut dikirim ke laboratorium sucofindo dengan
parameter untuk air baku air minum.
Sampel air diambil pada lapisan permukaan dengan menggunakan
botol ±250 ml, yang kemudian dimasukkan ke dalam botol polyetilen.
Sampel air dianalisis di laboratorium, sedangkan untuk sampel sedimen
diambil dari lokasi yang sama dengan pengambilan sampel air. Sedimen
diambil menggunakan eikman grab sampler yang terbuat dari bahan
alumunium. Sedimen diletakkan terlebih dahulu pada kain blacu ukuran
20x20 cm, kemudian dimasukkan ke dalam plastik, lalu diberi label untuk
41

dianalisis di laboratorium. Kandungan logam Pb diukur dengan


menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS).

3.3.5.5.2 Parameter fisika-kimia air


Pengukuran parameter fisika dan kimia air dilakukan dengan dua
cara, yaitu insitu dan eksitu. Contoh air diambil pada lapisan permukaan
dari tiap stasiun dengan menggunakan ember kemudian dimasukkan ke
dalam botol polyetilen. Contoh air yang telah diambil, digunakan untuk
menganalisis kandungan logam berat yang selanjutnya ditambahkan
dengan pengawet HNO3 pekat sebanyak 10 tetes hingga pH contoh air
berada di bawah 2. Kemudian contoh air tersebut dimasukkan ke dalam
cool box. Pengukuran langsung di lapangan (insitu) dilakukan terhadap
parameter kecerahan, suhu, oksigen terlarut (DO) dan pH, sedangkan
untuk kadar logam berat Pb dilakukan di laboratorium Sucofindo.

3.3.5.5.3 Penanganan sampel


Preparasi Sampel Air
Sampel air yang diperoleh dari lapangan dan laboratorium
kemudian disaring dengan peralatan penyaring yang steril, sebelumnya
direndam dengan HCl 0,5 N atau HNO3 1 N selama satu jam kemudian
dibilas dengan akuades. Hasil penyaringan tersebut kemudian diawetkan
dengan HNO3 pekat sampai pH larutan <2 dan kemudian diukur
menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) pada panjang
gelombang 357,9 nm (Rice et al., 2012).

Preparasi Sampel Sedimen


Sedimen ditimbang hingga mencapai 5 gram, kemudian
dikeringkan dengan oven untuk menghilangkan air yang ada pada
sedimen, kemudian diabukan sampai bahan organik hilang di dalam oven
dengan suhu 540°C. Didinginkan di cawan porselen dan ditambahkan
HNO3 5 ml kemudian dipanaskan 15 menit, kemudian ditambah 5 ml
HNO3 dipanaskan kembali selama 15 menit, kemudian ditambahkan lagi
42

HNO3 dan dipanaskan selama 15 menit, selanjutnya dipindahkan ke labu


ukur dengan volume 25 ml dan kemudian sampel sedimen siap diuji ke
AAS.

3.3.5.5.4 Analisis deskriptif


Untuk melihat kondisi pencemaran logam berat pada air di karst
Sekerat maka hasil analisis logam berat dibandingkan dengan baku mutu
air berdasarkan PP. No. 82 tahun 2001. Hasil analisis logam berat dalam
sedimen dibandingkan dengan baku mutu yang dikeluarkan oleh
IADC/CEDA (1999).

3.3.5.6 Analisis ketersedian air kawasan karst


Analisis ketersediaan air menggunakan pendekatan neraca air
lahan diduga dengan Metode Thornthwaite-Mather. Metode ini mampu
menghasilkan analisis mengenai penggunaan air dalam tanah untuk
evapotranspirasi saat terjadinya surplus air, defisit air dan recharge.
Masukan nilai yang digunakan tidak memerlukan data hidrologi, melainkan
hanya memerlukan nilai kelengasan tanah. Nilai kelengasan tanah
dinamis terhadap musim. Salah satu faktor yang mempengaruhi
kelengasan tanah adalah tekstur tanah. Kelengasan tanah maksimum
tercapai pada saat kondisi kapasitas lapang. Asumsi yang digunakan
dalam memperhitungkan lengas tanah ini adalah air masih sempat
tertahan di lapisan tanah sebelum masuk ke bawah permukaan, sehingga
kandungan air pada saat kapasitas lapang dapat tercapai. Langkah-
langkah perhitungan neraca air dengan Metode Thornthwaite-Mather
adalah sebagai berikut:
1. Menghitung Evapotranspirasi Potensial (EP)

( )

∑( )
43

EPi = evapotranspirasi potensial bulan ke–i (mm)


Ti = suhu rata-rata bulan ke-I (˚C)
I = akumulasi indeks panas dalam setahun
a = 0,000000675I3 – 0,0000771I2 + 0,01792I + 0,49239

2. Menentukan kelengasan tanah (ST) dan perubahan kelengasan tanah


(ΔST ) setiap bulan
( )

E = 2,718
APWL = jumlah kumulatif defisit curah hujan
STo = kelengasan tanah saat kondisi kapasitas lapang

3. Menentukan evapotranspirasi aktual (EA) berdasarkan curah hujan


(P) dan evapotranspirasi potensial (EP)
Bulan-bulan basah (P > EP), maka EA = EP
Bulan-bulan kering (P < EP), maka EA = P + |ΔST|

4. Menentukan kondisi defisit (D)


Kondisi defisit terjadi ketika jumlah curah hujan bulanan lebih kecil
dari evapotranspirasi potensial
𝐷= − 𝐴

5. Menentukan kondisi surplus (S)


Kondisi surplus terjadi ketika jumlah curah hujan bulanan yang lebih
besar dari evapotranspirasi potensial, yaitu:
ST = STo, maka = −
ST < STo, maka = ( − )–𝛥

6. Menentukan tingkat ketersediaan air


Ketersedian Air Lahan = Surplus x Luas kawasan bentang alam
karst.
44

3.3.5.7 Analisis kebutuhan air


Perhitungan kebutuhan air kawasan karst dilakukan untuk
kebutuhan air domestik, kebutuhan air pertanian dan kebutuhan air
peternakan.
1. Kebutuhan Air Domestik
Kebutuhan air domestik dihitung menggunakan faktor pendekatan
standar baku kebutuhan air individu per hari. Standar kebutuhan air
individu di pedesaan yaitu 60 liter/hari/orang (BAPPENAS, 2003). Total
kebutuhan air domestik dapat dihitung menggunakan rumus:

Q = Total kebutuhan air domestik (liter)


q = Standar baku penggunaan air (60 liter/orang/hari)
P = Jumlah penduduk (orang)

2. Kebutuhan Air Pertanian


Kebutuhan air pertanian adalah jumlah air irigasi yang dibutuhkan
untuk mengairi sawah. Kebutuhan air irigasi diperoleh dari selisih antara
evapotranspirasi tanaman (ETC) dengan curah hujan efektif. Jika EtT
lebih besar dibanding dengan curah hujan efektif maka area tersebut
membutuhkan air. Kebutuhan air untuk pertanian diduga dari
evapotranspirasi yang dialami tanaman didasarkan pada koefisien
tanaman sebagai berikut.

𝐾 𝑏𝑢𝑡𝑢 𝑛 𝑝 𝑡 𝑛 𝑛= 𝐾𝑐𝑥 T 𝑥 𝐿𝑢 𝑠 𝑙 𝑛

Kc : Koefisien tanaman
ETP : Evapotranspirasi (mm)
45

Tabel 3. Koefisien Tanaman Menurut Fase Pertumbuhan Tanaman

Jenis tanaman
Fase tanaman
Padi Kacang tanah Kedelai Kacang hijau Jagung
Vegetatif 1,05 0,40 0,50 0,50 0,70
Generatif 1,20 1,15 1,15 1,05 1,15
Pemasakan 0,75 0,60 0,50 0,90 1,05
Sumber: Allen et al. (1998)

3. Kebutuhan Air untuk Peternakan


Perhitungan kebutuhan air untuk peternakan dilakukan
berdasarkan jenis ternaknya yaitu: sapi, kerbau, kuda, kambing, domba,
babi dan unggas dengan menggunakan standar kebutuhan air yang sudah
ditentukan Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-6728.1-2002
tentang penyusunan neraca sumber daya air, kebutuhan harian
masyarakat sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan lokasi
bermukimnya.
Tabel 4. Kebutuhan Air untuk Ternak
Jenis ternak Kebutuhan air (liter/kepala/harian)
Sapi/Kerbau/Kuda 40,0
Kambing/Domba 5,0
Babi 6,0
Unggas 0,6
Sumber: BSN (2002)

Kebutuhan air untuk ternak diestimasi dengan cara mengalikan jumlah


ternak dengan tingkat kebutuhan air berdasarkan persamaan berikut:
*( ) ( ) ( )+ 𝑥 𝑢 𝑙

QE = kebutuhan air untuk ternak (liter/thn)


q1 = kebutuhan air untuk jenis ternak ke-1 (liter/ekor/hari)
q2 = kebutuhan air untuk jenis ternak ke-2 (liter/ekor/hari)
qn = kebutuhan air untuk jenis ternak ke-n (liter/ekor/hari)
q(po) = kebutuhan air untuk unggas (lt/kepala/hari)
P1 = jumlah ternak ke-1(ekor)
P2 = jumlah ternak ke-2 (ekor)
Pn = jumlah ternak ke-n (ekor)
46

3.3.5.8 Strategi pengelolaan dan pengembangan kawasan karst


(analisis data SWOT)
Analisis SWOT adalah salah satu cara analisis suatu konsep
strategi kebijakan dengan mengkaji faktor internal dan eksternal. Menurut
Rangkuti (2006), analisis SWOT mengidentifikasi berbagai faktor secara
sistematik untuk merumuskan strategi yang didasarkan pada logika untuk
memaksimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki dan secara
bersamaan mampu meminimalkan kelemahan dan ancaman yang berasal
dari internal dan eksternal. Langkah-langkah dalam melakukan analisis
SWOT berdasarkan faktor internal dan eksternal yang ada pada kawasan
karst Sangkulirang-Mangkalihat setelah dilakukan pengambilan data
adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi faktor internal dan eksternal
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara selanjutnya dilakukan
identifikasi faktor internal dan eksternal kawasan karst Sangkulirang-
Mangkalihat.
2. Analisis SWOT
Setelah mengidentifikasi faktor internal dan eksternal, langkah
selanjutnya adalah pembobotan dan perhitungan rating. Pembobotan
biasanya diberikan oleh para pakar sedangkan rating ditanyakan
langsung kepada responden menggunakan kuisioner yang sudah
disusun.
a. Pembobotan
Skala
1 = Tidak Penting
2 = Agak Penting
3 = Cukup Penting
4 = Penting
5 = Sangat Penting.
47

b. Rating (Pemeringkatan faktor SWOT)


Skala
1 = Sangat Kecil
2 = Sedang
3 = Besar
4 = Sangat Besar
c. Menentukan sumbu X dan sumbu Y
Sumbu X diperoleh dari selisih faktor internal (kekuatan ˗ kelemahan),
sedangkan sumbu Y diperoleh dari selisih faktor eksternal (peluang ˗
ancaman). Sumbu X dan sumbu Y selanjutnya digunakan untuk
menentukan posisi kuadran dalam menciptakan strategi pengelolaan
kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat seperti yang ditunjukkan oleh
Gambar 5.

Peluang (O)

3. Mendukung Strategi 1. Mendukung Strategi


Turn Around Agresif

Kelemahan (W) Kekuatan (S)

4. Mendukung Strategi 2. Mendukung Strategi


Defensif Diversifikasi

Ancaman (T)

Gambar 5. Diagram Analisis SWOT (Rangkuti, 2006).

Keterangan:
a. Strategi Agresif, menggambarkan situasi yang sangat baik karena
ada kekuatan yang dimanfaatkan untuk meraih peluang yang
menguntungkan. Untuk itu dapat digunakan alternatif strategi 1
yakni pengembangan (strategi agresif).
48

b. Strategi Diversifikasi, menggambarkan situasi bahwa meskipun


kawasan menghadapi ancaman, namun ada kekuatan yang dapat
diandalkan. Untuk itu organisasi dapat menggunakan alternatif
strategi 2 yakni strategi diversifikasi atau strategi inovasi.
c. Strategi Turn Around, menggambarkan bahwa kawasan
mengalami kelemahan dalam beberapa hal (internal), sehingga
peluang yang menguntungkan sulit dicapai. Strateginya yaitu
konsolidasi, perbaikan, mengubah cara pandang serta
menghilangkan penyebab masalah agar ancaman dapat dihindari.
d. Strategi Defensif, menggambarkan situasi kawasan sangat buruk,
karena di samping berbagai kelemahan internal timbul ancaman
dari luar. Strateginya yaitu strategi defensif misalnya perampingan,
pengurangan atau efisiensi dalam semua bidang kegiatan.
3. Langkah terakhir adalah membuat matriks SWOT, sehingga
menghasilkan satu dari empat tipe kemungkinan alternatif strategi,
yaitu strategi SO, strategi ST, strategi WO dan strategi WT.
Tabel 5. Konsep dan Deskripsi Matriks
Kekuatan (S) Kelemahan (W)
MATRIKS SWOT Tentukan faktor-faktor Tentukan faktor-faktor
kekuatan internal kelemahan internal
Peluang (O) Strategi S-O
Strategi W-O
Tentukan faktor-faktor Ciptakan strategi yang
Ciptakan strategi yang
peluang eksternal menggunakan kekuatan
meminimalkan kelemahan
untuk memanfaatkan
untuk memanfaatkan peluang
peluang
Ancaman (T) Strategi S-T Strategi W-T
Tentukan faktor-faktor Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
ancaman eksternal menggunakan kekuatan meminimalkan kelemahan
untuk mengatasi ancaman untuk menghindari ancaman
Sumber: Rangkuti (2006)
49

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. DELINEASI SEBARAN LANSKAP KARST SANGKULIRANG–MANGKALIHAT


4.1.1 Sebaran Spasial Delineasi Lanskap Karst
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik
Indonesia Nomor 17 tahun 2012 tentang penetapan kawasan bentang
alam karst telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan kawasan
bentang alam karst yaitu karst yang menunjukkan bentuk eksokarst dan
endokarst tertentu. Penetapan kawasan bentang alam karst juga telah
diatur sedemikian rupa yang mana harus melalui tahapan penyelidikan
dan penetapan kawasan bentang alam karst oleh Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan fakta bahwa sampai saat
ini belum ada kawasan bentang alam karst Sangkulirang–Mangkalihat
Kutai Timur yang telah ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral. Namun di sisi lain telah ada sebaran spasial delineasi
lanskap karst yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur bahkan oleh Badan Geologi Pusat
Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan namun semuanya
adalah berbagai macam hasil penelitian sendiri dan berdasarkan
kepentingan masing-masing sektoral.

4.1.2 Data Sebaran Spasial Delineasi Lanskap Karst Pemerintah


Kabupaten Kutai Timur
Dalam proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Kutai Timur maka telah dibuat sebaran spasial delineasi
lanskap karst Sangkulirang–Mangkalihat yang juga sekaligus menjadi
kawasan lindung geologi dalam pola ruang sesuai dengan lampiran peta
RTRW Kabupaten Kutai Timur.
Berdasarkan analisis spasial yang dilakukan yaitu tumpang susun
antara peta kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat dengan peta
administrasi wilayah kecamatan maka didapatkan luas lanskap karst
50

Sangkulirang–Mangkalihat seluas 149.225,47 ha yang tersebar di enam


kecamatan yaitu Sangkulirang, Kaliorang, Bengalon, Kongbeng, Karangan
dan Sandaran seperti terlihat pada Gambar 6 dan Tabel 6 .

Gambar 6. Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Per Kecamatan

Tabel 6. Luasan Karst Per Kecamatan


No Kecamatan Luas (ha)
1 Bengalon 32.624,44
2 Kaliorang 2.723,05
3 Karangan 50.090,54
4 Kongbeng 925,12
5 Sandaran 50.589,98
6 Sangkulirang 12.272,34
Jumlah 149.225,47

Kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat sendiri berada dalam


beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Bengalon, DAS
Karangan, DAS Manumbar, DAS Berau, DAS Dumaring dan DAS Tabalar
di mana sungai-sungai di daerah ini dimanfaatkan penduduk sekitar
sebagai sumber air minum dan jalur transportasi air antara daerah pantai
51

dengan daerah pedalaman. Berdasarkan hasil analisis spasial maka DAS


Karangan, DAS Manumbar dan DAS Bengalon mendominasi luas pada
karst Sangkulirang–Mangkalihat seperti terlihat pada Gambar 7 dan Tabel.

Gambar 7. Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Berdasarkan


Daerah Aliran Sungai (DAS)

Tabel 7. Karst Per Daerah Aliran Sungai

No Daerah Aliran Sungai Luas (ha)


1 Bengalon 28.104,45
2 Berau 10.745,49
3 Dumaring 3.235,88
4 Karangan 53.643,39
5 Manumbar 53.281,31
6 Tabalar 214,95
Jumlah 149.225,47

Secara geologi karst Sangkulirang–Mangkalihat hampir sebagian


besar didominasi oleh Formasi Tendeh Hantu dan Formasi Lembak yang
tersebar di bagian barat dan timur serta Formasi Tabalar yang tersebar di
bagian utara pedalaman Kutai Timur dan berbatasan dengan Kabupaten
Berau. Sebaran geologi pada kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat
serta luasnya dapat dilihat pada Gambar 8 dan Tabel 8.
52

Gambar 8. Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Berdasarkan Peta


Geologi

Tabel 8. Sebaran geologi pada kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat


No Kode geologi Nama unsur Luas (ha)
1 Qal ALUVIUMs 333,51
2 Tmpd FORMATION OF DOMARING 3.568,44
3 Tmpg FORMATION OF GOLOK 2.441,42
4 Teok FORMATION OF KARANGAN 959,29
5 Ktk FORMATION OF KELAI 1.488,10
6 Toml FORMATION OF LEMBAK 32.572,48
7 Tomm FORMATION OF MAAU 2.420,83
8 Tmma FORMATION OF MALUWI 1.351,16
9 Teom FORMATION OF MANGKUPA 19.094,63
10 Tmme FORMATION OF MANUMBAR 10.683,83
11 Tem FORMATION OF MARAH 5.619,33
12 Tmpb FORMATION OF PULAU BALANG 838,23
13 Teot FORMATION OF TABALAR 27.187,74
14 Tmt FORMATION OF TENDEH HANTU 37.175,28
15 Tomw FORMATION OF WAHAU 3.491,20
Jumlah 149.225,47

4.1.3 Data Sebaran Spasial Delineasi Lanskap Karst Pemerintah


Provinsi Kalimantan Timur
Bentang alam karst yang tersebar di berbagai daerah provinsi di
Indonesia merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan,
memerlukan proses pembentukan yang lama memiliki fenomena alam
yang unik dan langka serta mempunyai nilai yang penting bagi kehidupan
53

dan ekosistem, oleh karena itu perlu dikelola secara bijaksana. Karst
Sangkulirang–Mangkalihat secara wilayah administrasi provinsi berada di
Kalimantan Timur, tepatnya di dua kabupaten yaitu Kutai Timur dan
Berau, di mana karst ini merupakan tempat hidup berjuta spesies flora
fauna penunjang keseimbangan kehidupan Kalimantan Timur nan damai.
Dalam proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Provinsi Kalimantan Timur juga telah dibuat sebaran spasial Delineasi
lanskap Karst Sangkulirang–Mangkalihat, yang mana dibuat Delineasi
bentang alam karstnya sekaligus bentang alam ekosistem karstnya yang
masuk dalam kawasan strategi Provinsi Kalimantan Timur. Delineasi
sebaran karst yang dilakukan pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
berbeda batas maupun luasnya dengan Delineasi yang dilakukan
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Di dalam RTRW Provinsi Kalimantan
Timur kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat itu menjadi kawasan
lindung geologi dalam pola ruang sesuai dengan lampiran peta RTRW
Provinsi Kalimantan Timur.
Berdasarkan analisis spasial yang dilakukan yaitu tumpang susun
antara peta kawasan Karst Sangkulirang–Mangkalihat dengan peta
administrasi wilayah kabupaten, maka didapatkan luas wilayah karst
Sangkulirang–Mangkalihat di Kutai Timur seluas 166.541,22 ha dan
sisanya seluas 140.795,55 ha berada di Berau. Karst Sangkulirang-
Mangkalihat yang ada di Kutai Timur tersebar di 7 kecamatan yaitu
Sangkulirang, Kaliorang, Bengalon, Kaubun, Karangan, Sandaran dan
Kongbeng seperti terlihat pada Gambar 9 dan Tabel 9.
54

Gambar 9. Peta Karst Sangkulirang-Mangkalihat Versi Provinsi


Per Kecamatan

Tabel 9. Karst Sangkulirang Per Kecamatan


No Kecamatan Luas (ha)
1 Bengalon 25.884,03
2 Kaliorang 3.408,97
3 Karangan 66.082,72
4 Kaubun 351,53
5 Kongbeng 124,28
6 Sandaran 43.113,04
7 Sangkulirang 27.576,67
Jumlah 166.541,24

Hasil tumpang susun antara kawasan karst Sangkulirang–


Mangkalihat dengan Daerah Aliran Sungai Kalimantan Timur didapatkan
luasan yang berbeda dengan luasan Daerah Aliran Sungai pada karst
Sangkulirang–Mangkalihat versi Pemerintah Kutai Timur seperti terlihat
pada Gambar 10 dan Tabel 10.
55

Gambar 10. Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi Provinsi


Berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Tabel 10. Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi Provinsi


Berdasarkan Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai Luas (ha)
1 Bengalon 26.074,14
2 Berau 10.157,06
3 Dumaring 6.920,84
4 Karangan 79.667,15
5 Manumbar 43.353,69
6 Tabalar 368,36
Jumlah 166.541,24

Secara formasi geologi karst Sangkulirang–Mangkalihat versi


Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sama dengan hasil delineasi
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, hanya berbeda dari luas masing-
masing formasi geologi yaitu sebagian besar didominasi oleh Formasi
Tendeh Hantu dan Formasi Lembak yang tersebar di bagian barat dan
timur serta Formasi Tabalar yang tersebar di bagian utara pedalaman
Kutai Timur dan berbatasan dengan Kabupaten Berau. Sebaran geologi
pada kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat serta luasnya dapat dilihat
pada Gambar 11 dan Tabel 11.
56

Gambar 11. Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi Provinsi


Berdasarkan Geologi

Tabel 11. Karst Versi Provinsi Berdasarkan Geologi


No Kode geologi Nama unsur Luas (ha)
1 Qal ALUVIUMs 742,25
2 Tmpd FORMATION OF DOMARING 5287,35
3 Tmpg FORMATION OF GOLOK 9218,61
4 Teok FORMATION OF KARANGAN 160,72
5 Ktk FORMATION OF KELAI 786,7
6 Toml FORMATION OF LEMBAK 34.927,74
7 Tomm FORMATION OF MAAU 3.429,12
8 Tmma FORMATION OF MALUWI 5.432,19
9 Teom FORMATION OF MANGKUPA 17.848,32
10 Tmme FORMATION OF MANUMBAR 35.957,16
11 Tem FORMATION OF MARAH 188,67
12 Tmpb FORMATION OF PULAU BALANG 453,31
13 Teot FORMATION OF TABALAR 21.519,1
14 Tmt FORMATION OF TENDEH HANTU 29.195,79
15 Tomw FORMATION OF WAHAU 1.394,21
Jumlah 166.541,24

4.1.4 Data Sebaran Spasial Delineasi Lanskap Karst Badan Geologi


Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan
Berdasarkan delineasi kawasan karst Badan Geologi Pusat
Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan Kementerian Energi
Sumber Daya Mineral didapatkan data Kawasan Bentang Alam Karst
(KBAK) Kabupaten Kutai Timur meliputi:
a. Kawasan Karst Pegunungan Kulat, Gunung Kulat tinggi ±1.020 m
dpl., meliputi wilayah Kulat-Merabu-Merapun, termasuk pada
57

wilayah Kecamatan Karangan.


b. Kawasan Karst Pegunungan Tondoyan, puncak tertinggi ±600 m
dpl., termasuk wilayah Kecamatan Bengalon.
c. Kawasan Karst Pegunungan Marang, puncak tertingginya Gunung
Gergaji ±500 m dpl., termasuk wilayah Kecamatan Bengalon.
d. Kawasan Karst Tutunambo, puncak tertingginya ±650 m dpl.,
termasuk wilayah Kecamatan Karangan.
e. Kawasan Karst Merdua, puncak tertingginya ±450 m dpl., termasuk
wilayah Kecamatan Karangan.
f. Kawasan Karst Sekerat, puncak tertingginya Gunung Sekerat ±400
m dpl., termasuk wilayah Kecamatan Kaliorang (namun
berdasarkan perhitungan penulis puncak tertingginya adalah ±600
m dpl).
g. Kawasan Karst Ara Raya, puncak tertingginya Gunung Ara Raya
±950 m dpl., termasuk wilayah Kecamatan Karangan.
h. Kawasan Karst Tabalar, puncak tertingginya Gunung Tabalar ± 900
m dpl., termasuk wilayah Kecamatan Karangan.
i. Kawasan Karst Medadem, puncak tertingginya Gunung Medadem
±500 m dpl., termasuk wilayah Kecamatan Sangkulirang.
j. Kawasan Karst Ampalam, puncak tertingginya Gunung Ampalam
±590 m dpl., termasuk wilayah Kecamatan Sandaran.
k. Kawasan Karst Tindih Hantu-Mangkalihat, puncak tertingginya
Pegunungan Tindih Hantu dan Pegunungan Mangkalihat masing-
masing ketinggiannya sekitar ±400 m dpl., termasuk wilayah
Kecamatan Sandaran.
58

Gambar 12. Peta Sebaran Pegunungan di Karst Sangkulirang–


Mangkalihat

Hasil analisis spasial wilayah yang dilakukan yaitu tumpang susun


antara peta kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat hasil Delineasi
Badan Geologi Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan
dengan peta administrasi wilayah Kabupaten Provinsi Kalimantan Timur
maka didapatkan luas wilayah karst Sangkulirang–Mangkalihat seluruhnya
adalah 392.700,49 ha dengan rincian di Kutai Timur seluas 241.283,08 ha
dan sisanya seluas 151.417,41 ha berada di Berau. Karst Sangkulirang-
Mangkalihat yang ada di Kutai Timur tersebar di 7 Kecamatan yaitu
Sangkulirang, Kaliorang, Bengalon, Kaubun, Karangan, Sandaran dan
Kongbeng seperti terlihat pada Gambar 13 dan Tabel 12.

Gambar 13. Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi ESDM Per


Kecamatan
59

Tabel 12. Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi ESDM Per


Kecamatan
No Kecamatan Luas
1 Bengalon 25.665,20
2 Kaliorang 3.485,34
3 Karangan 91.079,99
4 Kaubun 25,77
5 Kongbeng 480,96
6 Sandaran 95.346,13
7 Sangkulirang 25.199,69
Jumlah 241.283,08

Terkait sebaran Daerah Aliran Sungai dalam karst Sangkulirang–


Mangkalihat hasil delineasi Badan Geologi Pusat Sumber Daya Air Tanah
dan Geologi Lingkungan hampir sama dengan hasil Delineasi Pemerintah
Kabupaten Kutai Timur dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yaitu
DAS Bengalon, DAS Karangan, DAS Manumbar, DAS Berau, DAS
Dumaring dan DAS Tabalar. Dari hasil analisis spasial didapatkan luas
yang berbeda dengan luas Daerah Aliran Sungai pada karst
Sangkulirang–Mangkalihat versi Pemerintah Kutai Timur dan Provinsi
Kalimantan Timur seperti terlihat pada Gambar 14 dan Tabel 13.

Gambar 14. Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi ESDM


Berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS)
60

Tabel 13. Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi ESDM Per


Daerah Aliran Sungai (DAS)
No Daerah Aliran Sungai Luas (ha)
1 Bengalon 26.805,58
2 Berau 10.653,40
3 Dumaring 6.608,61
4 Karangan 98.131,98
5 Manumbar 98.745,6
6 Tabalar 337,91
Jumlah 241.283,08

Berdasarkan hasil tumpang susun Peta Geologi Kutai Timur


dengan Peta Sebaran karst Sangkulirang–Mangkalihat hasil delineasi
Badan Geologi Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan
didapatkan sebaran formasi geologi yang beragam dalam kawasan karst
Sangkulirang–Mangkalihat. Sebaran geologi pada kawasan karst
Sangkulirang–Mangkalihat serta luasnya dapat dilihat pada Gambar 15
dan Tabel 14.

Gambar 15. Peta Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi ESDM


Berdasarkan Geologi.
61

Tabel 14. Karst Sangkulirang–Mangkalihat Versi ESDM Berdasarkan


Geologi.
No Kode geologi Nama unsur Luas (ha)
1 Qal ALUVIUMs 122,77
2 Tmpd FORMATION OF DOMARING 20.853,03
3 Tmpg FORMATION OF GOLOK 18.365,78
4 Teok FORMATION OF KARANGAN 4.084,36
5 Ktk FORMATION OF KELAI 1.639,95
6 Toml FORMATION OF KENDANGO 297,1
7 Tomm FORMATION OF LEMBAK 59.602,7
8 Tmma FORMATION OF MAAU 2.834,95
9 Teom FORMATION OF MALUWI 6.544,21
10 Tmme FORMATION OF MANGKUPA 10.205,25
11 Tem FORMATION OF MANUMBAR 26.631,39
12 Tmpb FORMATION OF MARAH 2.138,88
13 Teot FORMATION OF TABALAR 42.270,87
14 Tmt FORMATION OF TENDEH HANTU 39.452,11
15 Tomw FORMATION OF WAHAU 6.239,74
Jumlah 241.283,08

4.1.5 Data Sebaran Spasial Delineasi Lanskap Karst Pegunungan


Sekerat
Pegunungan Sekerat merupakan bagian dari kawasan Karst
Sangkulirang–Mangkalihat dan termasuk dalam karst pesisir. Pemilihan
lokasi ini berdasarkan atas pertimbangan bahwa di samping dekat dari
pusat ibukota Kabupaten Kutai Timur, kawasan ini juga merupakan
daerah resapan air untuk kebutuhan beberapa kecamatan di pesisir Kutai
Timur.
Cakupan wilayah penelitian diambil berdasarkan data tofografi di
kawasan pegunungan Sekerat dengan menggunakan data Digital Elevasi
Model (DEM) dan data Triangulasi Irregural Network (TIN) kemudian
dilakukan delineasi on screen di software arcgis 10.2.
62

Gambar 16. Peta Lokasi Penelitian Karst Sekerat

Dari analisis spasial yang dilakukan yaitu tumpang susun antara


peta lokasi penelitian karst pegunungan Sekerat dengan peta
administrasi wilayah kecamatan, maka didapatkan luas lanskap lokasi
penelitian seluas 38.245 ha yang tersebar di 4 kecamatan yaitu
Sangkulirang, Kaliorang, Bengalon, Kaubun seperti terlihat pada Gambar
17 dan Tabel 15.

Gambar 17. Peta Lokasi Penelitian Per Kecamatan


63

Tabel 15. Lokasi Penelitian Per Kecamatan

No Kecamatan Luas (ha)


1 Kaliorang 15.935,79
2 Bengalon 20.180,32
3 Kaubun 1.871,30
4 Sangkulirang 258,19
Jumlah 38.245,60

Berdasarkan interpretasi tofografi dari Peta Daerah Aliran Sungai


(DAS) dan Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) yang dibangun dari
software Watershed Management System (WMS) dan setelah dilakukan
observasi di lapangan, di mana sungai-sungai utama yang mengalir di
lokasi penelitian adalah Sungai Sekurau, Sungai Mampang, Sungai
Sekerat di bagian selatan dan barat lokasi penelitian, Sungai Jepu-jepu,
Sungai Sigege dan Sungai Selangkau di bagian timur lokasi penelitian dan
Sungai Kaliorang di bagian utara lokasi penelitian, maka didapat data
bahwa lokasi penelitian berada di DAS Bengalon dan terdiri dari beberapa
Sub DAS antara lain Sub DAS Sekurau, Sub DAS Sekerat, Sub DAS
Jepu-jepu, Sub DAS Selangkau dan Sub DAS Kaliorang seperti terlihat
pada Gambar 18 dan Tabel 16.

Gambar 18. Peta Lokasi Penelitian Berdasarkan Sub Daerah Aliran


Sungai
64

Tabel 16. Lokasi Penelitian Berdasarkan Sub Daerah Aliran


Sungai
No Sub Daerah Aliran Sungai Luas (ha)
1 Jepu-jepu 1.702,01
2 Kaliorang 15.582,61
3 Sekerat 5.472,47
4 Sekurau 12.136
5 Selangkau 3.352,08
Jumlah 38.245,60

Berdasarkan hasil tumpang susun peta Geologi Kutai Timur


dengan peta lokasi penelitian didapat sebaran formasi geologi yang
beragam dalam lokasi penelitian. Struktur geologi di lokasi penelitian
terdiri dari struktur lipatan dan patahan. Perlipatan berupa sinklin dan
anticlin umumnya berarah sumbu utara-selatan sampai utara timur laut-
selatan barat daya. Patahan yang berkembang adalah patahan geser.
Stratigrafi umum pada lokasi penelitian termasuk stratigrafi
Cekungan Kutai bagian utara sesuai dengan Peta Geologi lembar
Sangatta hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Bandung tahun 1995. Stratigrafi umum dari yang berumur tua hingga
muda pada lokasi penelitian adalah sebagai berikut:
a. Formasi Maluwi terdiri dari batu lempung, batu lempung pasiran
dengan sisipan napal, serpih kelabu, serpih pasiran, sedikit
karbonan, ke arah atas berangsur menjadi batu gamping
dengan sisipan napal dan batu lempung kecoklatan. Di banyak
tempat ditemukan konkresi lempung gampingan yang kaya
akan fosil, berumur Miosen Tengah bagian bawah. Lingkungan
pengendapan ditafsirkan sebagai endapan neritic/paralik lagun
sampai neritik dangkal.
b. Formasi Manum Bar terdiri dari perselingan batu lumpur
gampingan dengan batu gamping di bagian bawah dan di
bagian atas batu pasir masif mengandung glaukonit dan
memperlihatkan perlapisan silang-siur. Batu lumpur gampingan,
kelabu, lunak, mengandung foram menunjukkan Miosen Tengah
bagian atas – Miosen Akhir bagian bawah. Lingkungan
65

pengendapan neritic dalam luar dengan ketebalan kurang lebih


1000 meter.
c. Formasi Tendeh Hantu terdiri dari batu gamping terumbu muka,
batu gamping koral dan batu gamping terumbu belakang,
setempat berlapis, kuning muda, pejal dan berongga berumur
Miosen Tengah bagian atas. Lingkungan pengendapannya
ditafsirkan laut dangkal, tebal kurang lebih 300 meter,
berhubungan menjemari dengan Formasi Manumbar.
d. Endapan Aluvium terdiri dari kerikil, pasir dan lumpur.
Sebaran formasi geologi beserta luasnya dapat dilihat pada
Gambar 19 dan Tabel 17.

Gambar 19. Peta Lokasi Penelitian Berdasarkan Geologi

Tabel 17. Lokasi Penelitian Berdasarkan Geologi


No Kode geologi Nama unsur Luas (ha)
1 Qal ALUVIUMs 9.120,83
2 Tmma FORMATION OF MALUWI 6.671,12
3 Tmme FORMATION OF MANUMBAR 12.140,41
4 Tmt FORMATION OF TENDEH HANTU 10.313,23
Jumlah 38.245,59

Dari hasil analisis spasial didapatkan data bahwa tidak semua


dalam lokasi penelitian pegunungan Sekerat merupakan kawasan karst
Sangkulirang–Mangkalihat. Berdasarkan tumpang susun peta lokasi
66

penelitian dengan hasil Delineasi Badan Geologi Pusat Sumber Daya Air
Tanah dan Geologi Lingkungan ESDM. Pada lokasi penelitian terdiri dari
kawasan karst seluas 7.471,30 ha, kawasan batu gamping bukan karst
seluas 17.487,95 ha dan kawasan bukan batu gamping dan bukan karst
seluas 13.286,35 ha. Sebaran geologi beserta luasnya dapat dilihat pada
Gambar 20.

Gambar 20. Peta Sebaran Karst dan Bukan Karst di Lokasi Penelitian

4.1.6 Perbedaan Data Sebaran Spasial Karst Sangkulirang-


Mangkalihat
Berdasarkan analisis spasial terhadap sebaran landskap karst
Sangkulirang-Mangkalihat maka ditemukan adanya perbedaan baik dari
sisi Delineasi batas maupun luas kawasan karst Sangkulirang-
Mangkalihat dari tiga sumber data yang digunakan, yaitu Data RTRW
Kabupaten Kutai Timur, Data RTRW Provinsi Kalimantan Timur dan Data
Badan Geologi Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkunga
ESDM.
Perbedaan ketiga sumber data tersebut dimungkinkan terjadi karena:
a. Data yang digunakan untuk menDelineasi batas kawasan karst
adalah data sekunder bukan data hasil survei lapangan.
b. Adanya konflik kepentingan terkait kondisi eksisting perijinan
ataupun penggunaan lahan sebelum penyusunan rencana
tataruang wilayah kabupaten dan provinsi.
67

c. Belum adanya peta Kawasan Bentang Alam Karst yang ditetapkan


oleh Kementerian ESDM.

4.1.7 Pembahasan Data Spasial Karst


Berdasarkan hasil penelitian ditemukan fakta bahwa sampai saat
ini belum ada kawasan bentang alam karst Sangkulirang–Mangkalihat
Kabupaten Kutai Timur yang telah ditetapkan oleh Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral. Namun di sisi lain telah ada sebaran spatial
Delineasi lanskap karst yang dibuat oleh pemerintah Kabupaten Kutai
Timur, pemerintah Provinsi Kalimantan Timur bahkan oleh Badan Geologi
Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan namun berbagai
macam hasil penelitian tersebut hanya digunakan untuk kepentingan
masing-masing sektoral. Menurut Widyaningsih (2017) salah satu
permasalahan yang juga berpengaruh terhadap perlindungan ekosistem
karst Sangkulirang-Mangkalihat adalah adanya perbedaan penetapan
luasan ekosistem karst tersebut di beberapa penelitian maupun regulasi.
Perbedaan ini tentu menimbulkan ketidakpastian terhadap status
beberapa wilayah di Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau,
apakah termasuk ekosistem karst atau tidak.
Perbedaan ketiga sumber data tersebut dimungkinkan terjadi
karena : 1) Data yang digunakan untuk menDelineasi batas kawasan karst
adalah data sekunder bukan data hasil survei lapangan, 2) Adanya konflik
kepentingan terkait kondisi eksisting perijinan ataupun penggunaan lahan
sebelum penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten dan provinsi,
3) Belum adanya peta kawasan bentang alam karst yang ditetapkan oleh
Kementrian ESDM. Berdasarkan tumpang susun antara peta kawasan
karst Sangkulirang–Mangkalihat dengan peta administrasi wilayah
kecamatan luas lanskap karst Sangkulirang–Mangkalihat seluas
149.225,47 ha tersebar di 6 kecamatan yaitu Sangkulirang, Kaliorang,
Bengalon, Kongbeng, Karangan dan Sandaran.
Dari hasil analisis spasial didapatkan data bahwa tidak semua
dalam lokasi penelitian pegunungan Sekerat merupakan kawasan karst
68

Sangkulirang–Mangkalihat. Pada lokasi penelitian terdiri dari kawasan


karst seluas 7.471,30 ha, kawasan batu gamping bukan karst seluas
17.487,95 ha dan kawasan bukan batu gamping dan bukan karst seluas
13.286,35 ha. Secara formasi geologi karst Sangkulirang–Mangkalihat
versi pemerintah provinsi Kalimantan Timur sama dengan hasil Delineasi
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, hanya berbeda dari luas masing-
masing formasi geologi yaitu sebagian besar didominasi oleh Formasi
Tendeh Hantu dan Formasi Lembak yang tersebar di bagian barat dan
timur serta Formasi Tabalar yang tersebar di bagian utara pedalaman
Kutai Timur dan berbatasan dengan Kabupaten Berau.
Menurut Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial (2018)
bentukan morfologi karst yang dijumpai di permukaan yang terbentuk
secara alami dibagi menjadi dua tipe relief, yaitu relief positif dan relief
negatif. Relief positif merupakan relief yang berbentuk bukit
keluar/terekspose ke permukaan yang diakibatkan proses pelarutan,
tektonik, erosional, dan juga sisa denudasi. Relief negatif merupakan
bentukan yang berbentuk cekungan ke dalam permukaan yang
diakibatkan oleh proses erosi, pelarutan, dan juga runtuhan. kawasan
karst Sangkulirang-Mangkalihat terdiri dari beberapa bentukan
geomorfologi karst yang cukup beragam. Bentukan karst yang ditemukan
berupa bentuk lahan karst mayor maupun minor. Secara morfologi bentuk
lahan yang ditemukan berupa bentukan positif dan negatif. Bentuk lahan
positif yang ditemukan berupa bukit sedangkan bentukan lahan negatif
berupa ponor, doline, dan lembah.

4.2 DATA EKOSISTEM


Karst Sangkulirang–Mangkalihat adalah ekosistem yang sambung-
menyambung membentuk koridor-hayati. Tempat hidup berjuta spesies
flora fauna penunjang keseimbangan kehidupan Kalimantan Timur nan
damai. Karst mempunyai keanekaragaman hayati dalam dan luar karst
serta kehidupan pesisir dan pulau coral. Karst juga merupakan tempat
hidup Orang utan yang nyaman. Ketika banyak lahan hutan beralih fungsi
69

menjadi kawasan budidaya lainnya, di kawasan hutan karst masih


menjanjikan tempat hidup yang layak bagi mereka.
Kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat sekarang ini menjadi
kawasan strategis di Pulau Kalimantan. Penghasil jutaan liter air untuk
beragam kehidupan flora, fauna dan khususnya manusia. Karst
Kalimantan Timur menjadi sumber air sejumlah sungai utama dan
berperan besar memunculkan mata air di pesisir, di dasar laut dan di
pulau lepas pantai.
Untuk mengetahui data ekosistem dari jenis vegetasi yang tersebar
di kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat, maka dilakukan pengolahan
data sekunder hasil inventarisasi tumbuhan, yang kemudian dilakukan
identifikasi jenis dan nama ilmiahnya. Setelah itu dilakukan analisis
vegetasinya untuk mengetahui komposisi dan dominasi floristik secara
kuantitatif di lapangan seperti yang tersaji pada Tabel 18.
Tabel 18. Potensi jenis (N), Frekuensi (F), Lbds dan Kerapatan Vegetasi
di Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat.
Kerapatan Lbds Kerapatan N
No. Nama Daerah Nama Latin F Lbds (m2)
(m2/ha) (phn/ha)
1 Cunday Saraca declinata 1 0,7239808 2.68 10
2 Terap Artocarpus sp. 1 1,5253218 5.65 14
3 Bintangur Callophyllum sp. 0.333333 0,066052 0.24 1
4 Kenari Canarium sp. 0.666667 0,5151427 1.91 6
5 Arang Diospyros sp. 0.333333 0,2045177 0.76 4
6 Keruing Dipterocarpus sp. 0.666667 0,6688451 2.48 3
7 Ulin Eusideroxylon zwageri 0.666667 0,4376239 1.62 3
8 Manggis-manggisan Garcinia sp. 0.333333 0,2784236 1.03 3
9 Pasang Lithocarpus sp. 1 0,528573 1.96 5
10 Kayu Batu Invingia sp. 0.666667 1,0266921 3.80 14
11 Meranti Shorea sp. 0.333333 0,1983916 0.73 5
12 Dara-dara Myristica sp. 0.333333 0,1106626 0.41 2
13 Binuang Octomeles sp. 0.666667 0,2068739 0.77 3
14 Bayur Pterospermum sp. 0.666667 0,5819015 2.16 8
15 Banitan Polyalthia sp. 0.666667 0,0871007 0.32 2
16 Medang Litsea sp. 1 1,6699206 6.18 19
17 Nyatoh Palaquium sp. 0.666667 0,6296537 2.33 10
18 Jambu-jambu Syzygium sp. 0.666667 5,8175424 21.55 43
19 Bengkirai Shorea laevis 0.333333 0,2290221 0.85 1
20 Macaranga Macaranga sp. 0.666667 2,3228936 8.60 19
21 Jabon Anthocephalus sp. 1 2,3679755 8.77 30
22 Resak Vatica sp. 0.666667 0,2049104 0.76 3
23 Laban Vitex sp. 0.666667 0,6157522 2.28 9
24 Keranji Pongamia pinnata 0.666667 0,0988031 0.37 2
70

Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa terdapat 24


jenis pohon yang teridentifikasi pada lokasi penelitian. Di mana pontensi
jenis yang banyak dijumpai adalah jambu-jambuan (Syzygium sp)
sebanyak 43 pohon, kemudian diikuti jenis jabon (Anthocephalus sp),
macaranga/mahang (Macaranga sp) dan Medang (Litsea sp) masing-
masing secara berurutan sebanyak 30, 19 dan 19. Dengan kondisi seperti
itu secara langsung untuk data frekuensi. Lbds dan kerapatan vegetasi
juga mengikuti peringkatnya dalam formasi vegetasi di karst tersebut.
Dengan kondisi tersebut terlihat bahwa penyebaran dan komposisi jenis
tidak merata, selain itu sebagian besar tegakan didominasi oleh jenis yang
tidak komersil.

4.2.1 Analisis Vegetasi Karst Sangkulirang–Mangkalihat


Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa sampai saat
penelitian ini dilakukan, karst Sangkulirang–Mangkalihat belum ada
penetapan dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral terkait kawasan
bentang alam karstnya dengan demikian Delineasi karst Sangkulirang–
Mangkalihat yang paling tepat digunakan adalah Delineasi yang dilakukan
oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. Untuk selajutnya dalam
penelitian ini Delineasi Kementerian ESDM menjadi acuan peneliti dalam
analisis spasial dengan data-data lainnya termasuk data hasil analisis
vegetasi yang juga merupakan bagian data ekosistem di kawasan karst.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi teridentifikasi jenis-jenis kurang
komersil yang mendominasi kawasan karst tersebut, sehingga sangatlah
tepat untuk melakukan kegiatan penelitian di lokasi tersebut, di samping
sisi sosial dan ekonomi juga menjadi hal yang perlu dipertimbangkan. Dari
hasil penelitian nanti dapat menggambarkan bahwa kawasan yang
dijadikan lokasi penelitian merupakan bagian dari kawasan karst
Sangkulirang–Mangkalihat memiliki kondisi vegetasi yang sangat
berpengaruh terhadap kondisi keberlangsungan sumber daya air di sana.
Untuk melakukan penilaian lebih lanjut dari kondisi vegetasi di lokasi
penelitian dilakukan analisis vegetasi seperti yang tersaji pada Tabel 19.
71

Tabel 19. Hasil Analisis Vegetasi di Kawasan Karst Sangkulirang–


Mangkalihat.
No. Nama Daerah Nama Latin KR (%) DR (%) FR (%) INP (%)
1 Cunday Saraca declinata 4,56621 3.42850 6.38298 14.37768
2 Terap Artocarpus sp. 6,39269 7.22334 6.38298 19.99901
3 Bintangur Callophyllum sp. 0,45662 0.31280 2.12766 2.89708
4 Kenari Canarium sp. 2,73973 2.43952 4.25532 9.43456
5 Arang Diospyros sp. 1,82648 0.96852 2.12766 4.92266
6 Keruing Dipterocarpus sp. 1,36986 3.16739 4.25532 8.79258
7 Ulin Eusideroxylon zwageri 1,36986 2.07242 4.25532 7.69760
8 Manggis-manggisan Garcinia sp. 1,36986 1.31851 2.12766 4.81603
9 Pasang Lithocarpus sp. 2,28311 2.50312 6.38298 11.16920
10 Kayu Batu Invingia sp. 6,39269 4.86202 4.25532 15.51003
11 Meranti Shorea sp. 2,28311 0.93951 2.12766 5.35027
12 Dara-dara Myristica sp. 0,91324 0.52406 2.12766 3.56496
13 Binuang Octomeles sp. 1,36986 0.97968 4.25532 6.60486
14 Bayur Pterospermum sp. 3,65297 2.75566 4.25532 10.66395
15 Banitan Polyalthia sp. 0,91324 0.41248 4.25532 5.58104
16 Medang Litsea sp. 8,67580 7.90810 6.38298 22.96688
17 Nyatoh Palaquium sp. 4,56621 2.98180 4.25532 11.80333
18 Jambu-jambu Syzygium sp. 19,63470 27.54965 4.25532 51.43967
19 Bengkirai Shorea laevis 0,45662 1.08456 2.12766 3.66884
20 Macaranga Macaranga sp. 8,67580 11.00033 4.25532 23.93145
21 Jabon Anthocephalus sp. 13,69863 11.21382 6.38298 31.29543
22 Resak Vatica sp. 1,36986 0.97038 4.25532 6.59556
23 Laban Vitex sp. 4,10959 2.91597 4.25532 11.28087
24 Keranji Pongamia pinnata 0,91324 0.46789 4.25532 5.63645
Ket. KR (Kerapatan Relatif); DR (Dominasi Relatif); FR (Frekuensi Relatif);
INP (Indeks Nilai Penting)

Hasil analisis vegetasi pada Tabel 19 menunjukkan bahwa indeks


nilai penting (INP) vegetasi tertinggi ada pada jenis jambu-jambu
(Syzygium sp) sebesar 51,43% dan INP terendah adalah jenis bintangur
(Callophyllum sp) sebesar 2,89%. Keragaman tegakan tiap individu atau
jenis terlihat rendah sehingga menyebabkan nilai tegakan tidak stabil dan
keanekaragaman tegakan rendah. Jika nilai kestabilitasan tegakan tinggi
menunjukan tingkat keanekaragaman tegakan yang tinggi pula, ditandai
dengan tingkat stabilitas tegakan, baik tingkat pertumbuhan atau pada
tipe-tipe hutan keragamannya tinggi (Shanon dan Wiener, 1949 dalam
Odum, 1993). Tabel 19 menunjukkan bahwa dari hasil perhitungan INP
dapat dijelaskan bahwa adanya tingkat keragaman yang cukup rendah.
Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya hanya jenis-jenis tertentu
saja yang dapat tumbuh pada areal berbatu kapur.
Keragaman jenis tumbuhan yang ada pada lokasi penelitian
sangat berhubungan dengan kondisi lingkungan. Hal ini juga disampaikan
Wijana (2014) bahwa komposisi spesies tumbuhan yang berbeda-beda
72

dipengaruhi oleh faktor altitude, latitude, klimatik dan edafik yang ada
pada kondisi lingkungan tersebut. Beragamnya potensi pohon di lokasi
penelitian juga dipengaruhi oleh lingkungan seperti suhu, intensitas
cahaya matahari dan perebutan unsur hara dengan jenis-jenis lainnya
sehingga sangat mempengaruhi pertumbuhan diameter batang pohon
pada suatu vegetasi.
Kerapatan tumbuhan di suatu vegetasi sangat berpengaruh dengan
ketersediaan sumber daya air di Karst Sangkulirang-Mangkalihat.
Vegetasi dapat berfungsi dalam konservasi tanah dan air karena ia
memiliki beberapa manfaat yang mendukung tanah. Vegetasi dapat
meningkatkan infiltrasi karena perakaran tanaman akan memperbesar
granulasi dan porositas tanah, disamping itu juga mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme yang berakibat pada peningkatan porositas tanah
(Harsono, 1995). Sehingga meningkatkan daya serap tanah dalam
menyerap air oleh hujan. Selanjutnya air masuk melalui infiltrasi tetap
tersimpan karena tertahan oleh tanaman penutup di bawahnya atau sisa-
sisa tanaman berupa daun yang sifatnya memiliki penutupan yang rapat
sehingga menekan evaporasi. Selain itu keberadaan vegetasi juga dapat
mengurangi kerusakan agregat tanah akibat jatuhnya butir hujan ke
permukaan tanah.
Indeks kemerataan vegetasi pada lokasi penelitian menunjukkan
nilai dibawah 0,1 kecuali jenis jambu-jambu, sehingga dapat dikatakan
tingkat kehadiran jenis-jenis lainnya tidak merata pada lokasi penelitian
tersebut. Komposisi suatu kawasan hutan dikatakan baik indeks
kemerataannya adalah jika individu-individu terdistribusi secara merata
pada jenis-jenis yang hadir pada suatu tingkat pertumbuhan (Pielou, 1966
dalam Odum, 1993). Dengan begitu kondisi ini juga berpengaruh terhadap
indeks dominasi yang hanya didominasi oleh jenis jambu-jambu dengan
indeks dominasi sebesar 0,04, kemudian diikuti oleh jenis jabon dengan
nilai indeks dominasi sebesar 0,02. Indeks dominasi merupakan informasi
penting dalam analisis vegetasi untuk mengetahui individu-individu lebih
terpusat pada satu atau beberapa jenis dari suatu tingkat pertumbuhan
73

(Simpson, 1949 dalam Odum, 1993). Keterkaitan analisis vegetasi


terhadap ketersediaan air menurut saputra dkk. (2013) menyatakan
semakin banyak jenis tumbuhan pada kawasan karst, maka semakin
banyak ketersediaan air yang dapat disimpan dan diserap melalui akar-
akar tanaman. Sehingga penting sekali untuk menjaga vegetasi kawasan
karst agar ketersediaan air yang dibutuhkan tetap melimpah dan dapat
bermanfaat bagi biota dan makhluk hidup lainnya.

4.2.2 Fungsi Kawasan Hutan dan Penutupan Lahan


Kawasan karst Sekerat, berdasarkan Peta Kawasan Hutan Prov.
Kalimantan Timur dan Prov. Kalimantan Utara (Lampiran Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor: SK.718/Menhut-II/2014 tanggal 29 Agustus
2014) adalah seluas ±7.997,43 ha merupakan Kawasan Hutan Produksi
(HP) dan seluas ±30.248,17 ha merupakan Areal Penggunaan Lain (APL).
Penutupan lahan berdasarkan hasil penafsiran Citra Landsat 8
tahun 2017 oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IV
Kalimantan Timur adalah sebagai berikut:
1. Hutan Lahan Kering Sekunder (Hs) seluas ±585,69 ha.
2. Hutan Mangrove Primer (HMp) seluas ±9,76 ha
3. Hutan Mangrove Sekunder (HMs) seluas ±399,52 ha
4. Perkebunan (Pk) seluas ±4.197,63 ha
5. Permukiman (Pm) seluas ±86,20 ha.
6. Pertambangan (Tb) seluas ±160,29 ha.
7. Pertanian Lahan Kering Campur Semak (Pc) seluas ±13.943,33 ha.
8. Semak Belukar (B) seluas ±17.127,62 ha.
9. Semak Belukar Rawa (Br) seluas ±1.073,64 ha.
10. Tambak (Tm) seluas ±661,21 ha
74

Gambar 21. Peta Tutupan Lahan di Lokasi Penelitian

4.2.3 Tipe Hutan dan Potensi Tegakan di Karst Sekerat


Kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat yang terdri dari
pegunungan/perbukitan dari hutan Bengalon, Karangan, Sangkulirang,
Sandaran dan sekitarnya, menurut tipe hutan pada umumnya termasuk
kedalam tipe hutan hujan di bawah 1.000 m dpl, namun demikian ada
beberapa tempat yang mempunyai ketinggian di atas 1.000 m dpl, yang
merupakan deretan perbukitan karst (batu kapur) dengan ciri bentang
alam spesifik, beberapa tempat yang mengalami kerusakan hutan sangat
sulit dilakukan revegetasi karena tipis akan kandungan humus atau
karena adanya erosi (pencucian permukaan tanah) sehingga cenderung
didominasi oleh batuan plutonik basalt yang mempunyai sifat sangat
kering apabila musim kemarau.
Tipe Hutan berdasarkan penutupan lahan dan strata hutan
kawasan perbukitan karst ini, yang kemudian dilakukan pendekatan hasil
perhitungan potensi tegakan berdasarkan data enumerasi TSP/PSP
BPKH Wilayah IV terdiri dari 4 kelompok strata adalah sebagai berikut:
1. Kelompok Strata Hutan Lahan Kering Sekunder.
Kelompok ini meliputi areal seluas ±0,39 ha dengan potensi tegakan
hutan rata-rata per hektar untuk pohon yang berdiameter ≥50 cm
adalah 61,39 m3/ha (N = 20 btg/ha), sehingga asumsi total potensi
tegakan pada hutan lahan kering sekunder adalah sebesar 23,94 m3.
75

Pada kawasan tersebut tegakan hutan yang mendominasi adalah


Kelompok Dipterocarpaceae yaitu Kelompok Meranti (Shorea spp),
sedangkan Kelompok Rimba Campuran didominasi Jenis Jambu-
jambu (Eugenia sp), Nyatoh (Palaquium spp), Medang (Polyalthia sp),
dan Mangga Batu (Irvingia spp).

2. Kelompok Strata Belukar.


Kelompok ini meliputi areal seluas ±7.361,01 ha, berdasarkan kelas
strata resolusi tinggi identik dengan hutan sekunder kerapatan rendah
dengan potensi tegakan hutan rata-rata per hektar untuk pohon yang
berdiameter ≥50 cm adalah <28,52 m3/ha (N = 12 btg/ha), sehingga
asumsi total potensi tegakan pada areal belukar tua ini adalah
209.936,01 m3. Pada kawasan tersebut tegakan hutan yang
mendominasi adalah Kelompok Rimba Campuran yaitu dari jenis
Jambu-jambu (Eugenia sp), Mahang (Macaranga spp) dan
Jabon/Anggrung/Klampayan (Neolamarckia cadamba spp).

3. Kelompok Pertanian Campur Semak.


Kelompok ini meliputi areal seluas ±76,37 ha, merupakan areal bekas
ladang atau ladang aktif oleh masyarakat, areal kebakaran dan
lainnya yang didominasi oleh tumbuhan perdu.

4.2.4 Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan di lokasi penelitian khususnya pada kawasan
karst Sekerat pada tahun 2017 terdiri dari Perkebunan seluas 28,12 ha
dan pertambangan seluas 894,82 ha. Penggunaan lahan tersebut baru
sebatas perizinan dan hingga saat ini belum ada aktivitas/kegiatan di
lapangan.
76

Gambar 22. Peta Penggunaan Lahan di Karst Sekerat

4.2.5 Rencana Tata Ruang Wilayah untuk Kawasan


Sangkulirang-Mangkalihat
Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai hasil perencanaan tata
ruang merupakan landasan pembangunan sektoral. Dengan kata lain
setiap pembangunan sektoral yang berbasis ruang perlu mengacu pada
rencana tata ruang yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar terjadi sinergi
dan efisiensi pembangunan, sekaligus menghindari kemungkinan
terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor yang berkepentingan
dan dampak merugikan pada masyarakat luas. Peranan tata ruang pada
hakikatnya dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan sumber daya
optimal dengan sedapat mungkin menghindari konflik pemanfaatan
sumber daya, mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup serta
meningkatkan keselarasan.
Berdasarkan rencana tata ruang wilayah tahun 2015-2035 untuk
wilayah sekitar kawasan karst yang telah ditumpang susun dengan lokasi
penelitian terdapat tujuh peruntukan kawasan alokasi ruang di lokasi
penelitian. Kawasan yang paling mendominasi yaitu kawasan perkebunan
seluas 18,766 ha kemudian kawasan lindung geologi seluas 8,488 ha
sedangkan alokasi ruang yang terkecil dialokasikan untuk kawasan
77

resapan air seluas 40,26 ha, untuk lebih jelasnya data dilihat pada
Gambar 23 dan Tabel 20.

Gambar 23. Pola Ruang Wilayah di Kawasan Gunung Sekerat

Tabel 20. Alokasi Pola Ruang Wilayah


No Alokasi Tata Ruang Luas (ha)
1 Kawasan Industri 1.908,67
2 Kawasan Lindung Geologi 8.488,89
3 Kawasan Pariwisata 227,07
4 Kawasan Resapan Air 40,26
5 Perkebunan 18.766,88
6 Permukiman Pedesaan 4.202,22
7 Pertanian Tanaman Pangan 4.389,88

Bila ditinjau dari pola ruang tahun 2015-2035 sebagian besar


alokasi ruang yang diperuntukan pada lokasi penelitian dialokasikan untuk
kawasan perkebunan seluas 18.766,88 ha, kawasan lindung geologi
seluas 8.488,89 ha, pertanian tanaman pangan seluas 4,389.88 ha,
permukiman pedesaan seluas 4.202,22 dan kawasan industri seluas
1.908,67 ha sedangkan alokasi terkecil dialokasikan untuk kawasan
pariwisata seluas 227.07 ha dan kawasan resapan air seluas 40.26 ha.
Akibat dari sedikitnya alokasi ruang untuk kawasan resapan air menjadi
ancaman hidrologi pada kawasan karst Gunung Sekerat akibat adanya
78

aktivitas pertambangan. Menurut Adji et al. (1999) Kegiatan penambangan


di kawasan karst sudah dapat dikatakan sangat intensif. Penambangan
pada kawasan karst sudah menjadi kegiatan industri, baik itu yang
berskala kecil, sedang, dan besar seperti pabrik semen. Umumnya,
kegiatan penambangan adalah penambangan terhadap batu gamping
yang mengikis kubah-kubah karst. Efek yang terjadi sebagai akibat
kegiatan penambangan di antaranya adalah penurunan indeks
keanekaragaman hayati, erosi dan sedimentasi, penurunan tingkat
kesuburan tanah, perubahan bentang alam/lahan, dan pencemaran
badan udara serta perairan.
Danny (2006) menyebutkan semua usaha pertambangan yang
berjalan diperlukan pengendalian terhadap ruang atau kawasan yang
ditambang dan kawasan sekitarnya karena dianggap dapat merusak
lingkungan dan lebih jauh lagi akan menciptakan ganggoan pada
ekosistem. Eamare and Singh (2016) tentang dampak tambang batu
gamping terhadap lingkungan sekitar di Meghalaya, India. Proses
penambangan batu kapur menyebabkan tutupan hutan hilang, polusi pada
air, tanah, serta udara. Flora dan fauna endemik penghuni ekosistem asli
wilayah itu juga terganggu bahkan hilang. Tambang juga menyebabkan
erosi tanah, ketidakstabilan masa tanah dan batuan, serta perubahan
bentang alam dan degradasi lahan pertanian. Selain itu kawasan karst
berfungsi sebagai ekosistem untuk habitat berbagai hewan dan tumbuhan.
Kekayaan flora dan fauna kawasan karst ini luar biasa (Jumari, 2011).
Pengelolaan lahan akan sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang terwadahi
di dalamnya. Tidak semua jenis pemanfaatan lahan dapat dilakukan di
kawasan karst (Cahyadi, 2014).
Penataan kawasan konservasi karst tidak akan bisa dilaksanakan
tanpa mengetahui data-data dari segala aspek yang ada pada kawasan
ini, yang mencakup aspek eksokarst, endokarst, maupun sistem antar
keduanya. Pemahaman ini berkaitan dengan dampak perubahan
lingkungan terhadap kawasan karst baik jangka pendek dan jangka
panjang. Pemahaman ini sangat penting artinya guna menjaga kelestarian
79

lingkungan (Urich, 2002). Perubahan lingkungan karst akibat aktivitas


manusia dapat terjadi di permukaan maupun di bawah tanah dan
dampaknya bisa bersifat langsung atau tidak langsung. Pengaturan zonasi
penting untuk membantu pemerintah daerah untuk melaksanakan
perencanaan yang komprehensif dan untuk mencapai tujuannya dalam
pengembangan tertib pembangunan (Fidel et al., 2013). Peraturan zonasi
juga dapat membatasi jenis dan lokasi secara terstruktur. Peraturan ini
berlaku sama di setiap zona yang sama di kabupaten, tetapi dapat
bervariasi dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya (Fidel et al., 2013).

4.2.6 Pembahasan Ekosistem Kawasan Karst


Karst Sangkulirang–Mangkalihat adalah ekosistem yang sambung
menyambung membentuk koridor-hayati. Tempat hidup berjuta spesies
flora fauna penunjang keseimbangan kehidupan Kalimantan Timur nan
damai. Karst mempunyai keanekaragaman hayati dalam dan luar Karst
serta kehidupan pesisir dan pulau coral. Karst juga merupakan tempat
hidup Orang utan yang nyaman. Ketika banyak lahan hutan beralih fungsi
menjadi kawasan budidaya lainnya, di kawasan hutan karst masih
menjanjikan tempat hidup yang layak bagi mereka. Berdasarkan hasil
Delineasi yang telah dilakukan pada kawasan karst di lokasi penelitian
diperoleh bahwa kawasan karst seluas 7.471,30 ha, kawasan batu
gamping bukan karst seluas 17.487,95 ha dan kawasan bukan batu
gamping dan bukan karst seluas 13.286,35 ha. Ditinjau dari peruntukan
pola ruang wilayah di lokasi penelitian terdapat 7 alokasi ruang pada
lokasi penelitian. Kawasan Karst Sangkulirang–Mangkalihat sekarang ini
menjadi kawasan strategis di Pulau Kalimantan. Penghasil jutaan liter air
untuk beragam kehidupan flora, fauna dan khususnya manusia. Karst
Kalimantan Timur menjadi sumber air sejumlah sungai utama, dan
berperan besar memunculkan beratus mata air di pesisir, di dasar laut dan
di pulau lepas pantai.
Menurut Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial (2018)
terdapat beberapa potensi keanekaragaman hayati di kawasan karst
80

Sangkulirang-Mangkalihat. Beberapa potensi fauna endokarst yang


ditemui antara lain: ikan buta (Diancistrus typhlops), kalacemeti (ada 3
jenis) yaitu Sarax sangkulirangensis, Sarax mardua dan Sarax, beberapa
jenis kelelawar, sriti, kecoa raksasa, ikan transparan, kepiting goa, walet
putih (Aerodramus fuciphagus), dan walet hitam (Aerodramus maximus).
Adapun potensi fauna eksokarst yang ditemui di kawasan karst
Sangkulirang-Mangkalihatantara lain: orang utan (Pongo pygmaeus
morio), owa Kalimantan (Hylobates muelleri), lutung merah (Presbytis
rubicunda), berangat (Presbytis hosei canicrus) dan masih banyak primata
lainnya yang ditemukan di kawasan karst tersebut. Selain itu juga dijumpai
fauna lainnya seperti musang Rase Kalimantan (Viverra megaspila),
jelarang hitam (Ratufa bicolor), tupai kerdil (Nannosciurus malanotis),
garangan Kalimantan (Herpestes brachyurus), dan lain-lain.
Berdasarkan hasil penafsiran Citra Landsat 8 tahun 2017 oleh Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IV Kalimantan Timur terdapat 10
kelas tutupan lahan adalah di kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat
yaitu: 1) Hutan Lahan Kering Sekunder (Hs) seluas ±585,69 ha, 2) Hutan
Mangrove Primer (HMp) seluas ±9,76 ha, 3) Hutan Mangrove Sekunder
(HMs) seluas ±399,52 ha, 4) Perkebunan (Pk) seluas ±4.197,63 ha, 5)
Permukiman (Pm) seluas ±86,20 ha, 6) Pertambangan (Tb) seluas
±160,29 ha, 7) Pertanian Lahan Kering Campur Semak (Pc) seluas
±13.943,33 ha, 8) Semak Belukar (B) seluas ±17.127,62 ha, 9) Semak
Belukar Rawa (Br) seluas ±1.073,64 ha dan 10)Tambak (Tm) seluas
±661,21 ha.
Berdasarkan tipe hutan yang ditinjau melalui penutupan lahan dan
strata hutan kawasan perbukitan karst ini, yang kemudian dilakukan
pendekatan hasil perhitungan potensi tegakan berdasarkan data
enumerasi TSP / PSP BPKH Wilayah IV terdiri dari 3 kelompok strata
adalah sebagai berikut: Pertama kelompok Strata Hutan Lahan Kering
Sekunder yang mendominasi adalah Kelompok Dipterocarpaceae yaitu
Kelompok Meranti (Shorea spp), sedangkan Kelompok Rimba Campuran
didominasi Jenis Jambu-jambu (Eugenia sp), Nyatoh (Palaquium spp),
81

Medang (Polyalthia sp), dan Mangga Batu (Irvingia spp), Kedua kelompok
Strata Belukar. yang medominasi adalah Kelompok Rimba Campuran
yaitu dari jenis Jambu-jambu (Eugenia sp), Mahang (Macaranga spp) dan
Jabon/Anggrung/Klampayan (Neolamarckia cadamba) dan Ketiga
Kelompok Pertanian Campur Semak merupakan areal bekas ladang atau
ladang aktif oleh masyarakat, areal kebakaran dan lainnya yang
didominasi oleh tumbuhan perdu.

4.3 PERANAN KAWASAN KARST DALAM SISTEM HIDROLOGI


4.3.1 Hidrologi Kawasan Karst
Sistem hidrologi kawasan karst dipengaruhi oleh sistem pelorongan
yang terbentuk akibat proses pelarutan batuan, maka sangat berbeda
dengan sistem hidrologi yang terdapat pada tanah atau media porus yang
dikontrol oleh ruang antar butir batuan. Karst merupakan suatu sistem
yang mempunyai heterogenitas yang tinggi dan anisotropis (Atkinson,
1985; Goldscheider, 2005).
Perbukitan karst Gunung Sekerat termasuk dalam hidrologi
internal. Aliran permukaan tidak melewati lembah-lembah permukaan.
Aliran permukaan masuk dalam sistem drainase bawah permukaan, maka
keluar ke permukaan sebagai mata air. Mata air perbukitan karst Gunung
Sekerat keluar di lereng-lereng membentuk sungai-sungai permukaan.
Kawasan karst Gunung Sekerat berdasarkan kemunculan mata
airnya dapat dibedakan menjadi tiga zona yaitu:
a. Zona pertama adalah zona di sepanjang lereng-lereng perbukitan karst
bagian utara. Mata air yang muncul di Zona Utara berjumlah 11.
b. Zona kedua berada di sepanjang lereng-lereng perbukitan karst bagian
timur. Mata air yang muncul di Zona Timur berjumlah 14.
c. Zona ketiga di bagian selatan sepanjang pantai dan dekat pantai. Pada
zona ketiga mendominasi fenomena hidrologi karst, karena sebagian
besar mata air karst muncul di zona ini dengan debit yang jauh lebih
besar dibandingkan dengan zona yang lain. Mata air yang muncul di
82

Zona Selatan sebanyak 20 mata air. Sebagian besar mata air karst
Gunung Sekerat bersifat perenial atau mengalir sepanjang tahun.
Sistem aliran di kawasan karst menurut White (1988)
dikelompokkan dua jenis aliran yaitu: aliran yang didominasi oleh ruang
antar butir batuan (diffuse) dan aliran yang didominasi oleh lorong-lorong
pelarutan (conduit). Mata air yang muncul di perbukitan karst Gunung
Sekerat Zona Utara berasal dari sistem drainase sungai bawah tanah
(conduit) dan rembesan dari celah-celah batuan (diffuse). Pada musim
hujan apabila mata air keruh, maka aliran yang dominan tersebut conduit.
Hal ini terjadi karena air hujan yang jatuh ke perbukitan karst menjadi
aliran permukaan. Aliran permukaan masuk ke dalam drainase sungai
bawah tanah disertai sedimen, maka mata air keruh. Mata air yang jernih
sepanjang tahun dihasilkan dari celah-celah batuan atau diffuse.
Kawasan karst Gunung Sekerat berdasarkan observasi lapangan
terdapat beberapa sungai permukaan. Sungai permanen yang mengalir
pada musim hujan dan kemarau yaitu Sungai Mampang, Sungai Sekerat
dan Sungai Selangkau. Ketiga sungai tersebut cukup besar debitnya dan
ada beberapa sungai kecil di bagian selatan, tetapi langsung masuk ke
muara dan laut. Gambar 24 menyajikan kondisi mata air kawasan karst
Gunung Sekerat.

Gambar 24. Mata Air Kawasan Karst Gunung Sekerat


83

Mata air di kawasan karst Gunung Sekerat merupakan bagian hulu


dari sungai-sungai yang mengalir di sekitarnya. Keberadaan perbukitan
karst Gunung Sekerat berperan penting dalam siklus hidrologi. Sungai-
sungai yang mengalir di sekitar perbukitan Gunung Sekerat yaitu Sungai
Selangkau, Sungai Mampang, Sungai Batu Pondong, Sungai Sekerat,
Sungai Jepu-jepu Barat, Sungai Sigege dan Sungai Jepu-jepu Timur. Oleh
karena itu, keberadaan perbukitan karst Gunung Sekerat sebagai
kawasan hulu 7 sungai tersebut sangat penting karena berperan sebagai
penyuplai sumber air bagi sungai ketika musim kemarau dan hujan.
Kondisi eksisting sungai permukaan di kawasan perbukitan Gunung
Sekerat pada musim penghujan (Bulan Desember) antara lain:

1. Sungai Selangkau
Posisi Sungai Selangkau berada di sebelah timur laut. Secara
administrasi terletak di Desa Selangkau sampai ke muara Desa
Selangkau. Mata air sungai ini berasal dari mata air Selangkau dan Selok
Maciong. Debit aliran sungai ini sebesar 0,62 m3/detik. Sungai ini
berperan sebagai sumber irigasi sawah dan untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga penduduk Desa Selangkau.

2. Sungai Mampang
Sungai Mampang terletak di Desa Sekerat. Pemanfaatan sungai ini
dijadikan sebagai PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) dan kebutuhan
rumah tangga Desa Sekerat. Debit aliran sungai ini sebesar 1,51 m3/detik.
Pada bagian hulu warna airnya jernih dan ke bagian muara berwarna
keruh karena banyak membawa sedimen.

3. Sungai Batu Pondong


Sungai Batu Pondong secara administrasi terletak di perbatasan
antara Desa Selangkau dan Desa Sekerat. Mata air Sungai Batu Pondong
berasal dari sela-sela batuan kawasan karst Gunung Sekerat.
Pengukuran debit aliran sungai dilakukan di muara Sungai Batu Pondong
84

sebesar 0,39 m3/detik. Alur sungai ini mengalir dari perbatasan karst
melewati rawa dan berakhir di pantai.

4. Sungai Sekerat
Sungai Sekerat secara administrasi terletak di Desa Sekerat. Mata
airnya berbentuk blue hole dengan warna air hijau kebiruan dan airnya
jernih. Sungai ini terdapat bangunan reservoir dan instalasinya di bagian
hulu sungai dan sungai ini digunakan oleh KPC. Pengukuran debit aliran
Sungai Sekerat sebesar 1,35 m3/detik.

5. Sungai Jepu-jepu Barat


Sungai Jepu-jepu Barat memiliki 2 mata air blue hole yang
berwarna hijau kebiruan. Mata air blue hole ini mengalir ke rawa di bagian
utara dan ke arah timur berakhir ke muara pasir. Debit Aliran Sungai Jepu-
jepu Barat ini sebesar 0,88 m-3/detik.

6. Sungai Sigege
Sungai Sigege ini berasal dari mata air Goa Sigege. Hasil
observasi lapangan mata air ini keluar dari outlet sump. Pengukuran debit
aliran dari Goa Sigege pada musim hujan sebesar 0,34 m3/detik.
Pemanfaatan mata air Goa Segege dijadikan sebagai objek wisata ketika
liburan oleh penduduk sekitar Desa Sekerat dan Selangkau. Pada musim
hujan mata air Goa Sigege berubah warna jadi kecoklatan setelah 1 jam
hujan turun. Hal ini terjadi karena aliran permukaan masuk ke dalam sela-
sela batuan karst yang membawa sedimen keluar menjadi mata air Goa
Segege (aliran conduit). Gambar 25 menunjukkan kondisi eksisting mata
air Goa Sigege.
85

Gambar 25. Mata Air Goa Sigege

7. Sungai Jepu-jepu Timur


Mata air utama Sungai Jepu-jepu Timur belum diketahui secara
pasti karena air keluar dari rawa. Sumber air rawa berasal dari beberapa
mata air kecil di perbatasan perbukitan karst Gunung Sekerat. Mata air
yang menggenang di sekitar rawa mengalami pengeringan kemudian
berkumpul pada Sungai Jepu-jepu Timur dan berakhir di muara.
Pengukuran debit aliran sungai dilakukan di muara sungai ini yaitu
sebesar 0,062 m3/detik. Pada saat terjadinya hujan mata air cukup jernih
dan tinggi muka airnya mengalami kenaikan cukup tinggi.
Pengamatan kondisi eksisting tahap kedua dilakukan pada tanggal
10 dan 12 Februari 2016 (awal musim kemarau) (Gambar 26).
Pengamatan dilakukan pada dua lokasi yaitu mata air Sekerat dan mata
air Goa Sigege. Hal ini dilakukan karena mata air Sekerat sudah
dimanfaatkan sebagai sumber air PDAM Sekerat dan mata air Sigege
sebagai objek wisata.
86

Gambar 26. Pengukuran Kecepatan Aliran di Lokasi Mata Air Sekerat

Pengamatan dilakukan untuk mengetahui karakteristik hidrologi


karst seperti debit aliran, aliran bawah permukaan, kualitas air dan kondisi
eksisting karst. Debit mata air Sekerat berdasarkan pengukuran
menggunakan current meter sebesar 0,42 m3/detik, sedangkan mata air
Sigege 0,112 m3/detik (Gambar 27). Data debit aliran tersebut merupakan
debit minimum dari kedua sumber mata air pada musim kemarau. Karst
mendapatkan air sebagian besar dari air hujan yang diimbuh oleh rongga-
rongga batuan dan air dari intersepsi tumbuhan.

Gambar 27. Pengukuran Kecepatan Aliran di Lokasi Mata Air Sigege

Hasil pengamatan debit aliran di mata air Sekerat pada musim


hujan sebesar 1,35 m3/detik dan pada musim kemarau 0,42 m3/detik,
maka nilai Koefisien Rezim Aliran Sungai (KRA) 3,21 kategori sangat
rendah menurut Permenhut No 61 tahun 2014. Oleh karena itu sumber air
87

kawasan karst perbukitan Gunung Sekerat dari segi hidrologi masih baik.
Tabel 20 menyajikan data karakteristik hidrologi dari mata air Sekerat dan
Goa Sigege dari segi KRS. Mata air Goa Sigege berdasarkan data
observasi lapangan memiliki nilai KRS 3,09 kategori sangat rendah. Hal ini
menunjukkan kapasitas karst sebagai penampung sumber air dari segi
hidrologi harus dipertahankan kelestariannya. Berdasarkan peta kawasan
hutan lindung Kalimantan Timur peruntukan penggunaan lahan kawasan
karst perbukitan Sekerat masuk ke dalam kawasan perlindungan geologi.
Tetapi, penerapan di lapangan terjadinya konversi lahan kawasan hutan
menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertanian lahan kering.

Tabel 21. Analisis Karakteristik Hidrologi Mata Air Sekerat dan Goa Sigege
Debit aliran (m3/detik)
No Mata air KRS Keterangan
Musim hujan Musim kemarau
1 Sekerat 1,35 0,42 3,21 Sangat rendah
2 Goa Sigege 0,34 0,11 3,09 Sangat rendah

4.3.2 Hidrogeologi Karst


Akuifer kawasan karst pada umumnya terdapat tiga komponen
yaitu cutaneous zone, epikarst zone dan zona jenuh. Komponen pertama
adalah cutaneous zone, yaitu tanah permukaan dan lapukan batu
gamping yang berada di bagian lapisan paling atas. Perbukitan karst
Gunung Sekerat memiliki komponen akuifer tergolong cutaneous zone
dengan kedalaman 0,5-1,5 m. Sub cutaneous zone berperan penting
karena berfungsi meresapkan air hutan ke dalam batu gamping di
bawahnya dan menyimpan air sementara dan mengalirkan secara
perlahan-lahan. Tabel 22 menyajikan data analisis laboratorium kapasitas
air maksimum dari cutaneous zone di perbukitan Gunung Sekerat.
88

Tabel 22. Data Kapasitas Air Maksimum Cutaneous zone dari Perbukitan
Karst Gunung Sekerat

Nomor unit 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nomor laboratorium 30/LT/11 31/LT/11 32/LT/11 33/LT/11 34/LT/11 35/LT/11 36/LT/11 37/LT/11 38/LT/11 39/LT/11
Nomor pengiriman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Parameter Satuan
Berat Jenis - 1,67 1,77 1,86 1,95 1,73 1,93 1,50 2,24 1,97 2,15
Berat Volume gr/cc 1,61 1,44 1,57 1,71 1,26 1,12 0,71 1,47 1,57 1,28

Kadar Air
% 62,86 73,32 74,73 68,42 62,91 67,29 71,37 72,59 69,91 58,19
Maksimal

Permeabilitas cm/jam 0,015 0,029 8,888 0,026 70,67 0,043 2,288 0,019 0,037 5,890

Kelas Sangat Sangat Agak Sangat Sangat Sangat Sangat Sangat


- Sedang Sedang
Permeabilitas lambat lambat cepat Lambat cepat lambat lambat lambat

Tabel 22 menunjukkan bahwa pada kawasan karst Gunung


Sekerat memiliki rata-rata kapasitas maksimum air sebesar 68,16%.
Asumsi setiap 1 m3 mengandung 68,16% kadar air maksimal, maka
terdapat 681,6 liter air. Air masuk kedalam cutaneous zone secara
perlahan dengan kecepatan rata-rata 8.79 m/menit.
Komponen aquifer yang kedua yaitu epikarst zone. Epikarst zone
merupakan lapisan paling atas batuan terkarstifikasi. Perbukitan karst
Gunung Sekerat tersusun dari kumpulan batu gamping jenis boundstone,
grainstone, packstone, wackstone, mudstone dan batu gamping jenis
kristalin. Batu gamping yang terbentuk di perbukitan karst Gunung Sekerat
sudah mengalami proses karstifikasi membentuk rongga-rongga
pelarutan. Rongga-rongga pelarutan ini berperan sebagai penyimpan air
permukaan. Rongga-rongga pelarutan batu gamping membentuk
porositas sekunder. Porositas sekunder yang terbentuk berukuran <1 mm
sampai berukuran 1 m, maka membentuk jaringan goa. Rongga-rongga
pelarut ini berfungsi sebagai penyimpan air (water storage), pengatur air
permukaan dan menyalurkan air permukaan.
Komponen aquifer yang ketiga yaitu zona jenuh. Zona jenuh
terdapat di bawah watertable. Perbukitan karst Gunung Sekerat memiliki
zona jenuh yang berada di dekat kemunculan mata air. Adanya goa-goa
yang aktif atau kemunculan mata air merupakan tanda umum dari zona
89

jenuh di kawasan karst. Ketinggian zona jenuh di perbukitan karst Sekerat


bagian sisi timur berada pada elevasi 80–130 m. Hal ini didasarkan
kemunculan mata air pada ketinggian dan ketebalan epikarst 50 m.

4.3.3 Kualitas Air


Pengamatan kualitas air dilakukan pengambilan sampel air di 11
mata air di kawasan karst Gunung Sekerat pada musim hujan (Bulan
Desember). Kualitas air ini untuk mengetahui baku mutu dari mata air
yang diteliti. Hasil analisis laboratorium dari 11 sampel air dari mata air di
perbukitan karst Gunung Sekerat termasuk kategori kelas 1 baku mutu air
(Tabel 23). Oleh karena itu, kualitas air dari 11 sampel ini masih layak
untuk dikonsumsi karena kadar logam beratnya tidak berbahaya dan pH
sampel air 6-7 (normal). Sampel air tidak menghasilkan bau dan tidak
berwarna (jernih).
Pengamatan kualitas air kedua dilakukan pada musim kemarau
(Bulan Februari). Pengambilan contoh air dilakukan untuk analisis
laboratorium terhadap komponen biologi, fisika dan kimia. Untuk
keperluan analisis ini sample air yang digunakan sebanyak tiga titik
pengambilan sampel dengan sebaran lokasi di Sungai Mampang, Sungai
Sekerat dan Sungai Sigege. Analisis kualitas air dilakukan oleh
Laboratorium Air PT Sucofindo. Analisis biologi, fisika dan kimia air
didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 21 tentang Kualitas Air Kelas I
(air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air minum dan atau
peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut) dan komponen hidrokarbon yang terdapat dalam air
berupa kandungan minyak dan lemak yang dapat menjadi petunjuk
(indikasi) adanya kontaminasi di dalam air, baik air tanah ataupun air
permukaan. Tabel 24 menunjukkan data analisis kualitas air dari sumber
mata air Sunggai Mampang, Sungai Sekerat dan Sungai Sigege.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, didapatkan informasi bahwa air tanah
dan air permukaan yang terdapat di daerah Sekerat dan Mampang secara
biologi, fisika dan kimia sesuai peruntukannya untuk nilai baku air minum.
90

Tabel 24 dapat dilihat bahwa hasil uji bakteriologi MPN Escherichia


coli pada Sungai Mampang dan Sungai Sekerat tidak menunjukkan
adanya cemaran mikroba tersebut. Namun, pada hasil uji bakteriologi
MPN Coliform air Sungai Mampang dan Sungai Sekerat menunjukkan
semua sampel positif mengandung bakteri golongan Coliform dengan
rincian pada sampel air Sungai Mampang 8.100/ml dan air Sungai Sekerat
6.100/ml. Tingginya jumlah bakteri Coliform pada kedua air sample sungai
tersebut dapat disebabkan karena kemampuan self purification dari sungai
tersebut tidak mampu dilakukan, sehingga mikroba berkembang biak di
dalam perairan sungai tersebut.
Berdasarkan Permenkes No. 492/Menkes/Per/Rev/2010 tentang
syarat-syarat dan pengawasan kualitas air menyebutkan bahwa syarat
mikrobiologis total MPN Coliform untuk air minum adalah 0,100/ml.
Menurut Purbowarsito (2011) jika mikroorganisme indikator tersebut
ditemukan di dalam sampel air, maka sampel air tersebut sudah tercemar
oleh tinja dan kemungkinan besar bahwa di dalam perairan tersebut
mengandung bakteri patogen lainnya.
Pada umumnya bahan buangan anorganik yang berada di perairan
umum merupakan limbah yang tidak membusuk (persisten) dan sangat
sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Apabila bahan buangan ini masuk
ke perairan umum, maka akan terjadi proses peningkatan ion logam
dalam air. Bahan buangan anorganik di perairan sungai pada umumnya
berasal dari industri yang melibatkan penggunaan unsur-unsur logam
seperti arsen (As), Kadmium (Cd), Fluorida (F), nitrit (NO2), nitrat (NO3),
Chrom (Cr), Sianida (Sn). Perairan umum yang bersih tidak boleh
mengandung bahan-bahan anorganik dalam jumlah yang melampaui
batas. Berdasarkan hasil pengujian pada laboratorium, diperoleh bahwa
semua bahan anorganik yang diujikan masih berada di bawah ambang
batas aman. Tapi bukan berarti, suatu saat nanti nilai-nilai yang diperoleh
tidak lebih kecil dari saat ini. Oleh karena itu, perlu adanya metode
pengolahan air sungai yang kompleks meliputi unit intake (terdapat bar
screen, yaitu penyaring kasar), unit pengolahan (koagulasi–flokulasi–
91

sedimentasi–filtrasidesinfaksi dan kadangkala diperlukan proses


tambahan seperti ion exchange dan absorption) dan unit reservoir (unit
penampungan akhir) supaya air baku yang hendak digunakan sebagai
sumber air minum tetap berada pada ambang aman.
Pengukuran suhu yang dilakukan di lapangan yaitu perairan Sungai
Mampang dan Sungai Sekerat menunjukkan hasil yang masih berada
pada batas aman. Menurut Effendi (2003) suhu air yang optimal di daerah
tropis biasanya berkisar 25-35ºC. Suhu air mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap proses kimiawi pada perairan, oleh karena itu suhu
yang ideal adalah perbedaan antara siang dan malam tidak lebih dari 5ºC,
yaitu antara 25-30ºC. Pada pengukuran bau dan rasa air sample dari
Sungai Mampang dan Sungai Sekerat tidak terdeteksi bau ataupun
rasanya ketika dikecap. Hal tersebut sesuai dengan syarat
diberlakukannya suatu sumber air sebagai bahan baku untuk air minum,
yaitu tidak boleh berasa dan tidak boleh berbau.
92

Tabel 23. Hasil Analisis Kualitas Air dari 11 Sampel Air di Kawasan Karst Gunung Sekerat

No Parameter Satuan Sampel 442 K Sampel 443 K Sampel 444 K Sampel 445 K Sampel 446 K Sampel 447 K Sampel 448 K Sampel 449 K
Mata Air Sekerat Mata Air Mata Air Batu Mata Air Mata Air SP 1 Mata Air SP 2 Mata Air Mata Air
Selangkau Pondong Selangkau Mampang 2 Mampang

A. FISIKA
1 Bau - Tak berbau Tak berbau Tak berbau Tak berbau Tak berbau Tak berbau Tak berbau Tak berbau
2 Jml Z Pdt terlarut (TDS) mg/l 195 281 230 283 190 202 201 187
3 Kekeruhan* NTU 9 4 11 1 2 3 1 8
4 Rasa - Tak berasa Tak berasa Tak berasa Tak berasa Tak berasa Tak berasa Tak berasa Tak berasa
5 Suhu* *C 27 27 27 27 27 27 27 27
6 Warna TCU 3 2 5 1 4 Tak terdeteksi 4 13

B. KIMIA
1 Air Raksa (Hg) mg/l - - - - - - - -
2 Arsen (As) mg/l - - - - - - - -
3 Besi (Fe)* mg/l <0,0193 <0,193 <0,0193 <0,0193 <0,0193 <0,0193 <0,0193 0,1464
4 Deterjen mg/l Tak terdeteksi Tak terdeteksi Tak terdeteksi Tak terdeteksi Tak terdeteksi Tak terdeteksi Tak terdeteksi Tak terdeteksi
5 Fluorida (F) mg/l 0,11 0,09 0,10 0,07 0,06 0,07 0,20 0,12
6 Kadmium (Cd)* mg/l - - - - - - - -
7 Kesadahan sbg CaCO3* mg/l 157,21 254,72 163,18 254,72 171,14 177,11 188,06 133,33
8 Klorida (Cl)* mg/l 5,0 2,0 29,4 4,0 3,0 3,0 4,0 <1.7
9 Kromium (Cr+6) mg/l - - - - - - - -
10 Mangan (Mn)* mg/l 0,14 0,06 0,15 <0,02 <0,02 0,05 <0,02 0,11
11 Natrium (Na)* mg/l 4 3 4 5 3 4 3 6
12 Nitrat (NO3-N)* mg/l 0,47 0,55 0,81 0,48 0,63 0,42 0,94 0,52
13 Nitrit (NO2-N)* mg/l 0,0009 0,0094 <0,0008 0,0030 0,0011 0,0133 0,0060 0,0032
14 Perak (Ag)* mg/l - - - - - - - -
15 pH* 7,1 6,9 6,8 6,9 7,0 7,1 7,0 7,1
16 Seng (Zn)* mg/l - - - - - - - -
17 Sianida (CN) mg/l Tak terdeteksi Tak terdeteksi Tak terdeteksi Tak terdeteksi Tak terdeteksi Tak terdeteksi Tak terdeteksi Tak terdeteksi
18 Sulfat (SO4)* mg/l <2 5 <2 4 4 9 5 31
19 Timbal (Pb)* mg/l - - - - - - - -
20 Zat Organik (KmnO4) mg/l 2,50 0,63 3,13 0,63 0,63 0,95 1,26 7,27
21 Selenium (Se) mg/l - - - - - - - -

HASIL Kelas I Kelas I Kelas I Kelas I Kelas I Kelas I Kelas I Kelas I


93

Tabel 23. Lanjutan

No Parameter Satuan Sampel 13085 K Sampel 13086 Sampel 13087


Sungai Muara K Air Goa K Air Goa
Selangkau Sigege Belerang
A. FISIKA
1 Bau - Tak berbau Tak berbau Tak berbau
2 Jml.Z.Pdt terlarut (TDS) Mg/l 287 214 809
3 Kekeruhan* NTU 13 3 <1
4 Rasa - Tak berasa Tak berasa Tak berasa
5 Suhu* *C 26 27 27
6 Warna TCU 13 4 15
B. KIMIA
1 Air Raksa (Hg) mg/l - - -
2 Arsen (As) mg/l - - -
3 Besi (Fe) mg/l 0,1212 <0,0193 <0,0193
4 Deterjen mg/l 0,0280 Tak terdeteksi Tak terdeteksi
5 Fluorida (F) mg/l <0,03 <0,03 <0,03
6 Kadmium (Cd)* mg/l - - -
7 Kesadahan sbg CaCO3* mg/l 207,03 176,88 317,58
8 Klorida (Cl)* mg/l <1,7 <1,7 303,7
9 Kromium (Cr+6) mg/l - - -
10 Mangan (Mn)* mg/l 0,09 0,06 0,02
11 Natrium (Na)* mg/l 5 3 155
12 Nitrat (NO3-N)* mg/l 0,80 0,05 0,10
13 Nitrit (NO2-N)* mg/l 0,0075 0,0144 <0,0008
14 Perak (Ag)* mg/l - - -
15 pH* 6,3 6,3 6,6
16 Seng (Zn)* mg/l - - -
17 Sianida (CN) mg/l Tak terdeteksi Tak terdeteksi Tak terdeteksi
18 Sulfat (SO4)* mg/l <2 <2 24
19 Timbal (Pb)* mg/l - - -
20 Zat Organik (KmnO4) mg/l 1,58 1,58 1,60
21 Selenium (Se) mg/l - - -
HASIL KELAS I KELAS I KELAS I
94

Tabel 24. Hasil Analisis Kualitas Air dari Sungai Mampang dan Sekerat

No Parameter Satuan Sungai Mampang Sungai Sekerat


Microbiologi Test
1 E. Coli MPN/100ml 0 0
2 Total Colidorm MPN/100ml 0 0
Inorganic Test
3 Arsenic mg/l <0,001 <0,001
4 Fluorida mg/l <0,01 <0,01
5 Chrom Hexavalent mg/l <0,01 <0,01
6 Cadmium mg/l <0,001 <0,001
7 Nitrite as N mg/l 0,200 0,100
8 Nitrate as N mg/l 1,90 1,30
9 Cyanide mg/l <0,01 <0,01
10 Selenium mg/l <0,001 <0,001
Physical Test
11 Odor - Ordoless Ordoless
12 Color Pt-Co Scale 9 5
13 Total Dissolved Solids mg/l 182 189
14 Turbidity FTU 6 4
15 Taste - Tasteless Tasteless
0 0 0
16 Temperature At Lab C 25,3 25,2
Chemical Test
17 Alumunium mg/l <0,02 <0,02
18 Iron mg/l <0,02 <0,02
19 Total Hardness as mg/l 42,39 42,65
20 CaCO3 mg/l 0,31 2,63
21 Chloride mg/l <0,02 <0,02
23 Manganese - 7.63 7,44
24 pH Al Lab mg/l <0,05 <0,05
25 Zinc mg/l 32 28
26 Sulfate mg/l <0,02 <0,02
27 Copper mg/l 0,16 0,16
28 Clorine Residual mg/l 0,04 0,03
Ammonia as N
95

4.3.4 Pengaruh Pertambangan terhadap Hidrologi Karst


Rencana eksploitasi pertambangan di kawasan karst Gunung
Sekerat dapat menyebabkan berkurangnya resapan air pada zona
epikarst, maka dapat berpengaruh terhadap besaran debit aliran dari mata
air. Kawasan karst pada dasarnya berfungsi sebagai penampung air. Oleh
karena itu, semakin berkurangnya vegetasi di atas kawasan karst otomatis
mengurangi input mata air. Adanya eksploitasi pertambangan
mengakibatkan berkurangnya vegetasi, maka dari segi hidrologi debit
aliran di setiap mata air pada musim kemarau akan berkurang.
Pengurangan simpanan air di kawasan karst Gunung Sekerat akibat
pertambangan sebesar 3,17% dari volume air total di perbukitan Gunung
Sekerat. Hal ini terjadi disebabkan berkurangnya zona sub-cutaneous dan
zona epikarst . Sumber air yang diprediksikan mengalami dampak negatif
dari kegiatan pertambangan adalah Sungai Bawah Tanah dari Goa
Sigege dan Mata Air Sekerat. Menurut Arsyad et al. (2014) penambahan
luas lahan tambang sangat berpengaruh pada fungsi ekologis kawasan
karst, terutama berkaitan dengan kemampuan kawasan menyimpan
(menyerap, menampung dan mengalirkan air). Oleh karena itu, perlu
dilakukan pembatasan perizinan areal pertambangan dan memperbaiki
vegetasi di kawasan karst pegunungan Sekerat. Hal ini dilakukan untuk
menjaga distribusi mata air pasca penambangan, maka batas akhir sisa
penambangan harus dibatasi minimal 50 meter dari ketinggian mata air di
sekitarnya.

4.3.5 Neraca Air Kawasan Karst Sangkulirang–Mangkalihat


Analisis ketersedian air dilakukan dengan menggunakan konsep
neraca air lahan. Neraca air lahan yang dihitung dalam penelitian ini
adalah sesuai dengan luas wilayah penelitian yaitu 38,25 ha. Perhitungan
neraca air memerlukan beberapa unsur iklim seperti curah hujan dan
suhu. Curah hujan di kawasan penelitian memiliki pola hujan equatorial
yang dicirikan dengan dua puncak musim hujan (bimodial), puncak hujan
pertama terjadi pada bulan Mei dengan jumlah curah hujan rata-rata
96

sebesar 218 mm dan puncak kedua terjadi pada bulan Desember dengan
jumlah 226 mm. Desember merupakan bulan dengan curah hujan paling
basah dan bulan paling kering terjadi pada bulan Oktober dengan jumlah
curah hujan 105 mm (Gambar 28). Jumlah curah hujan rata-rata tahunan
adalah 2.036 mm.
250

200
Curah Hujan (mm/bulan)

150

100

50

0
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Gambar 28. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Kawasan Karst


Sangkulirang-MangkalihatTahun 2007-2016

28,2
28,0
27,8
Suhu Udara (˚C)

27,6
27,4
27,2
27,0
26,8
26,6
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Gambar 29. Suhu Udara Rata–Rata Bulanan Kawasan Karst


Sangkulirang–Mangkalihat Tahun 2007-2016

Pola suhu rata-rata di daerah penelitian (Gambar 29) menunjukkan


bahwa suhu rata-ratanya berkisar antara 27,1˚C-28,1˚C. Suhu rata-rata
97

tertinggi terjadi pada bulan Mei dan suhu rata-rata terendah terjadi pada
bulan Januari.
Evapotranspirasi potensial (EP) adalah jumlah air yang hilang dari
luas lahan tertentu melalui permukaan tanah/air maupun pertanaman
yang hanya ditentukan oleh unsur-unsur iklim (Handoko, 1994). EP yang
terjadi di kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat tahun 2007-2016
(Gambar 30) cenderung stabil setiap bulannya. EP maksimum terjadi
pada bulan Mei. Nilai evapotranspirasi potensial pada bulan tersebut
mencapai 174 mm dengan curah hujan yang hanya sebesar 218 mm. Hal
ini terjadi disebabkan oleh suhu dan curah hujan. Evapotranspirasi tinggi
juga dapat terjadi pada saat suhu udara sedang tinggi, sedangkan EP
terendah terjadi pada bulan Februari sebesar 140 mm.

CH ETP ETA
250

200
Tinggi Kolom Air (mm)

150

100

50

0
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Gambar 30. Perbandingan Curah Hujan (CH), Evapotranspirasi Potensial


(EP), dan Epapotranspirasi Aktual (ETA) di Kawasan Karst
Sangkulirang–Mangkalihat Tahun 2007-2016.

Evapotranspirasi Aktual (ETA) yaitu jumlah air yang hilang dari luas
lahan tertentu melalui permukaan tanah atau air maupun pertanaman
yang ditentukan oleh unsur-unsur iklim, kondisi tanah dan sifat tanaman
(Handoko, 1994). Jika curah hujan lebih tinggi dari pada EP, maka ETA
yang terjadi akan sama dengan EP, sedangkan jika curah hujan lebih
rendah daripada EP, maka ETA yang terjadi lebih rendah dari EP. Bulan
Agustus sampai dengan Oktober ETA lebih rendah dibanding EP. Nilai
98

ETA lebih kecil dari nilai EP dapat terjadi jika kondisi permukaan tanah
kering.
Jenis tanah yang terdapat di kawasan karst umumnya adalah tanah
inceptisol dengan tekstur clay loam (BBPPSLP, 2014). Tanah dengan
tekstur seperti itu pada kondisi kapasitas lapang memiliki nilai kelengasan
tanah sekitar 54 mm. Nilai lengas tanah akan menurun jika curah hujan
lebih kecil dari kehilangan air potensialnya (EP). Nilai lengas tanah
mengalami penurunan pada bulan Juni hingga Oktober. Jika dibandingkan
dengan bentang alam yang lain, bentang alam karst memiliki nilai
kelengasan yang rendah karena kedalaman tanah yang tipis. Kedalaman
tanah yang tipis disebabkan oleh banyaknya batu gamping di bawah
permukaan tanah (Salim, 2016).
Kondisi pada kawasan air mengalami surplus dan defisit hasil
perhitungan neraca air disajikan pada Tabel 25. Kondisi surplus terjadi
dari bulan November sampai bulan Mei. Kondisi surplus tertinggi terjadi
pada bulan Desember sebesar 67 mm/bulan dan kondisi surplus terendah
terjadi pada bulan Maret sebesar 13 mm/bulan. Kondisi defisit terjadi
pada bulan Juni hingga Oktober dengan nilai tertinggi terjadi pada bulan
Oktober dan defisit terendah Juni.
Tabel 25. Neraca Air Lahan Kawasan Karst Sangkulirang–Mangkalihat
Tahun 2007-2016

Parameter Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
T 27,1 27,4 27,7 28,0 28,1 27,7 27,5 27,7 27,8 27,8 27,9 27,6
CH 165 153 166 208 218 147 164 136 107 105 201 226
EP 148 140 163 165 173 158 156 161 160 164 162 159
CH - EP 16 13 3 42 45 -11 7 -25 -53 -58 38 67
APWL 0 0 0 0 0 -11 0 -25 -78 -136 0 0
KAT 54 54 54 54 54 44 54 34 13 4 54 54
dKAT 0 0 0 0 0 -10 10 -20 -21 -8 50 0
ETA 148 140 163 165 173 157 156 156 128 114 162 159
DEF 0 0 0 0 0 1 0 5 31 50 0 0
SURP 16 13 3 42 45 0 7 0 0 0 38 67
T= temperature, CH= curah hujan, EP= evapotranspirasi potensial, CH-EP= curah hujan dan evapotranpirasi
potensial, APWL= jumlah kumulatif defisit curah hujan, KAT=kandungan air tanah, dKAT=perubahan kadar air
tanah, ETA=evapotranpirasi actual, DEF=deficit dan SURP= surplus.
99

4.3.6 Ketersediaan Air di Kawasan Karst Sangkulirang–


Mangkalihat
Perhitungan ketersedian air di daerah penelitian dilakukan selama
10 tahun (2007-2016). Perhitungan ketersedian air hanya dilakukan untuk
4 kecamatan yang termasuk dalam daerah penelitian yaitu Bengalon,
Kaliorang, Kaubun dan Sangkulirang. Air yang tersedia dari curah hujan di
kawasan ini terbilang cukup rendah. Setiap tahun terjadi kondisi surplus
dan defisit pada bulan yang hampir sama.
250

200
Air Tersedia (juta m3)

150

100

50

0
2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016
Gambar 31. Ketersedian Air Tahunan Sangkulirang–Mangkalihat Tahun
2007-2016

Hasil perhitungan ketersedian air menunjukkan bahwa ketersedian


air mengalami fluktuatif setiap tahun (Gambar 31). Jumlah air tersedia
tertinggi terjadi pada tahun 2010, yaitu sebesar 205 m3/tahun dan
terendah terjadi pada tahun 2015 yaitu 44 m3/tahun, dengan ketersediaan
air rata-rata 177,6 juta m3/tahun setara dengan 1.647 mm/tahun.

4.3.7 Kebutuhan Air di Kawasan Karst Sangkulirang–Mangkalihat


Air yang tersedia di kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat
digunakan untuk kebutuhan domestik, pertanian dan peternakan. Jumlah
kebutuhan air sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk, jumlah ternak,
dan luas lahan sawah yang terdapat di daerah penelitian. Kebutuhan air
100

juga dihitung hanya di 4 kecamatan yang termasuk dalam daerah


penelitian.
1,80

1,60

1,40
Kebutuhan air (juta m3)

1,20

1,00

0,80

0,60

0,40

0,20

0,00
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Gambar 32. Kebutuhan Air Domestik Sangkulirang–Mangkalihat Tahun


2007-2016.

Kebutuhan air domestik yaitu jumlah air yang digunakan oleh


penduduk dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan air setiap individu
berbeda tergantung aktivitasnya. Penduduk yang menetap di daerah rural
(pedesaan) cenderung menggunakan air lebih sedikit dibanding yang
menetap di daerah urban (perkotaan). Perbedaan kebutuhan air karena
penduduk di daerah urban cenderung memanfaatkan air secara berlebih
dibandingkan penduduk di daerah rural.
Perhitungan kebutuhan air domestik untuk periode 2007-2016
(Gambar 32), untuk tahun 2007 dan 2008, tidak ada data yang diperoleh
dari Badan Pusat Statistik (BPS) maka tidak dilakukan perhitungan
kebutuhan airnya. Kebutuhan air domestik di daerah penelitian cenderung
mengalami peningkatan selama periode tahun 2007 hingga 2016.
Peningkatan ini terjadi karena jumlah penduduk
yang terdapat di daerah penelitian cenderung meningkat tiap
tahunnya. Kebutuhan air pada tahun 2009 sebesar 0,97 juta m3/tahun
dengan jumlah penduduk sebesar 44.267 jiwa. Kebutuhan air mengalami
101

peningkatan pada tahun 2016 yakni 1,63 juta m3/tahun dengan jumlah
penduduk sebesar 74.631 jiwa.
145

144
Kebutuhan Air (ribu m3)

143

142

141

140

139

138
2012 2013 2014

Gambar 33. Kebutuhan Air Peternakan Sangkulirang–Mangkalihat Tahun


2012-2014

Kebutuhan air peternakan digunakan untuk keperluan berbagai


jenis ternak yang terdapat di 4 kecamatan yang masuk ke dalam areal
penelitian. Jenis ternak yang dimasukkan dalam perhitungan kebutuhan
air peternakan adalah sapi, kerbau, kambing, babi dan unggas.
Perhitungan kebutuhan air peternakan hanya dilakukan selama 3 tahun
yaitu 2012-2014 (Gambar 33), karena data ternak yang tersedia hanya
pada tahun tersebut. Populasi ternak mengalami peningkatan sehingga
menyebabkan air yang dibutuhkan untuk peternakan juga meningkat.
Kebutuhan air pada tahun 2012 sebesar 140,5 ribu m3/tahun. Kebutuhan
air mengalami peningkatan pada tahun 2014 menjadi 1,44 ribu m3/tahun.
102

80

70

Kebutuhan Air (Juta m3)


60

50

40

30

20

10

0
2017
Gambar 34. Kebutuhan Air Pertanian Sangkulirang–Mangkalihat Tahun
2017

Sektor pertanian memiliki kebutuhan air yang paling besar


dibandingkan dengan sektor lain. Air yang mengairi sawah hanya
digunakan untuk kebutuhan konsumtif berupa evapotranspirasi tanaman
(Etc). Air yang digunakan untuk kegiatan pertanian sangat dipengaruhi
oleh pola tanam di wilayah tersebut. Pola tanam pada penelitian ini
diasumsikan berupa Padi-Padi-Palawija, pada musim tanam pertama
diasumsikan bahwa semua lahan sawah ditanami padi, luas tanaman padi
pada musim tanam kedua yaitu 85% dari total luas sawah dan luas tanam
palawija pada musim ketiga sebesar 75% dari luas total sawah.
Perhitungan kebutuhan air pertanian hanya dilakukan pada tahun 2017
karena data yang tersedia hanya tahun 2017 (Gambar 34). Berdasarkan
perhitungan kebutuhan air pertanian tahun 2017, menunjukkan bahwa
kebutuhan air untuk pertanian sebanyak 73 juta m3/tahun.

4.3.8 Pembahasan Potensi Hidrologi Kawasan Karst


Secara garis besar potensi kawasan karst dikontrol oleh struktur
geologi, yang menentukan besar kecilnya aliran air. Potensi sumber daya
air kawasan karst pada lokasi penelitian sangat banyak terutama sebagai
sumber kehidupan banyak biota dan makhluk hidup lainnya sebaga
sumber daya potensial. Secara umum potensi yang dimiliki pada daerah
103

karst Sangkulirang-Mangkalihat cadangan air tanahnya yang melimpah


yang harus dimanfaatkan secara optimal dengan tetap memelihara biota
di sekitarnya. Potensi lain dari kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat
yaitu debit airnya yang stabil di musim kemarau, di sisi lain kawasan karst
memiliki kualitas air yang sangat jernih karena sedimen sudah
terperangkap dalam material isian.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan perbukitan karst
Gunung Sekerat termasuk dalam hidrologi internal. Aliran permukaan
tidak melewati lembah-lembah permukaan. Aliran permukaan masuk
dalam sistem drainase bawah permukaan, maka keluar ke permukaan
sebagai mata air. Mata air perbukitan karst Gunung Sekerat keluar di
lereng-lereng membentuk sungai-sungai permukaan. Kawasan karst
Gunung Sekerat terdapat beberapa sungai permukaan. Sungai permanen
yang mengalir pada musim hujan dan kemarau yaitu Sungai Mampang,
Sungai Sekerat dan Sungai Selangkau. Berdasarkan pengamatan kualitas
air yang dilakukan di 11 mata air di kawasan karst Gunung Sekerat pada
musim hujan (Bulan Desember). kualitas air dari 11 sampel ini masih
layak untuk dikonsumsi karena kadar logam beratnya tidak berbahaya dan
pH sampel air 6-7 (normal). Sampel air tidak menghasilkan bau dan tidak
berwarna (jernih).
Pada pengamatan kualitas air kedua dilakukan pada musim
kemarau (Bulan Februari) untuk analisis laboratorium terhadap komponen
biologi, fisika dan kimia didapatkan informasi bahwa air tanah dan air
permukaan yang terdapat di daerah Sekerat dan Mampang secara biologi,
fisika dan kimia sesuai peruntukannya untuk nilai baku air minum,
sedangkan hasil uji bakteriologi MPN E.coli pada sungai Mampang dan
sungai Sekerat tidak menunjukkan adanya cemaran mikroba tersebut.
Namun, pada hasil uji bakteriologi MPN Coliform air sungai Mampang dan
sungai Sekerat menunjukkan semua sampel positif mengandung bakteri
golongan Coliform dengan rincian pada sampel air sungai Mampang
8.100 ml-1 dan air sungai Sekerat 6.100 ml-1. Tingginya jumlah bakteri
Coliform pada kedua air sample sungai tersebut dapat disebabkan karena
104

kemampuan self purification dari sungai tersebut tidak mampu dilakukan,


sehingga mikroba berkembang biak di dalam perairan sungai tersebut.
Pengukuran suhu air yang dilakukan di sungai Mampang dan
sungai Sekerat menunjukkan hasil yang masih berada pada batas aman
dan pengukuran bau dan rasa air sample dari sungai Mampang dan
sungai Sekerat tidak terdeteksi bau ataupun rasanya ketika dikecap.
Namun pengukuran dilakukan juga pada kawasan rencana eksploitasi
pertambangan di kawasan karst Gunung Sekerat yang dapat
menyebabkan berkurangnya resapan air pada zona epikarst, maka dapat
berpengaruh terhadap besaran debit aliran dari mata air. Pengurangan
simpanan air di kawasan karst Gunung Sekerat akibat pertambangan
sebesar 3,17% dari volume air total di perbukitan Gunung Sekerat. Hal ini
terjadi disebabkan berkurangnya zona sub-cutaneous dan zona epikarst.
Sumber mata air yang diprediksikan mengalami dampak negatif dari
kegiatan pertambangan adalah sungai bawah tanah dari Goa Segege dan
mata air Sekerat.
Neraca air lahan yang dihitung menunjukkan curah hujan di
kawasan penelitian memiliki pola hujan equatorial yang dicirikan dengan
dua puncak musim hujan (bimodial), puncak hujan pertama terjadi pada
bulan Mei dengan jumlah curah hujan rata-rata sebesar 218 mm dan
puncak kedua terjadi pada bulan Desember dengan jumlah 226 mm.
curah hujan paling kering terjadi pada bulan Oktober dengan jumlah curah
hujan 105 mm. Jumlah curah hujan rata-rata tahunan adalah 2.036 mm.
Faktor dominan yang mempengaruhi neraca air lahan yaitu kondisi iklim
setempat (Mehrabadi dkk., 2013) .
Pola suhu rata-rata udara di daerah penelitian menunjukkan bahwa
suhu rata-ratanya berkisar antara 27.1˚C-28.1˚C.suhu rata-rata tertinggi
terjadi pada bulan Mei suhu rata-rata terendah terjadi pada bulan Januari.
ETP yang terjadi di kawasan Karst Sangkulirang–Mangkalihat tahun 2007-
2016 cenderung stabil setiap bulannya. ETP maksimum terjadi pada bulan
Mei, Nilai evapotranspirasi potensial pada bulan Mei mencapai 174 mm
dengan curah hujan yang hanya sebesar 218 mm. Evapotranspirasi tinggi
105

juga dapat terjadi pada saat suhu udara sedang tinggi, sedangkan ETP
terendah terjadi pada bulan Februari sebesar 140 mm. Tinggi rendahnya
nilai evapotranspirasi yang terjadi berpengaruh terhadap ketersediaan air
di dalam tanah (Dugan dan Zelt, 2001).
Dalam pembahasan terkait curah hujan, neraca air serta suhu perlu
adanya keterkaitan terhadap dampak elnino El Nino-Southern
Oscillation (ENSO) yang merupakan salah satu fenomena iklim skala
antar-tahunan yang dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan atau
anomali iklim di Indonesia. Fase hangat dari ENSO biasa dikenal dengan
istilah El Nino dapat menyebabkan kekeringan panjang. Untuk
mengantisiapsi hal tersebut pemerintah hendaknya melakukan peringatan
dini kepada masyarakat agar bisa melakukan persiapan di segala sektor,
untuk masyarakat agar tidak melakukan pembukaan lahan yang bisa
mengakibatkan kebakaran hutan dan untuk para akademisi dapat
melakukan penelitian dan inovasi teknologi budidaya yang dapat
dilakukan pada saat el nino.
Pada pengukuran kondisi air di kawasan air mengalami surplus dan
defisit. Kondisi surplus terjadi dari bulan November sampai bulan Mei.
Kondisi surplus tertinggi terjadi pada bulan Desember sebesar 67
mm/bulan dan kondisi defisit terjadi pada bulan Maret sebesar 13
mm/bulan. Surplus disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya kondisi
iklim, karateristik lahan serta jenis tanah yang ada di lokasi penelitian.
Kondisi defisit terjadi pada bulan Juni hingga Oktober dengan nilai tinggi
terjadi pada bulan Oktober dan defisit terendah pada bulan Juni.
Ketersedian air menunjukkan bahwa ketersedian air mengalami fluktuatif
setiap tahun. Jumlah air tersedia tertinggi terjadi pada tahun 2010, yaitu
sebesar 205 m3/tahun dan terendah terjadi pada tahun 2015 yaitu 44
m3/tahun, dengan ketersedian air rata-rata 177,6 juta m3/tahun setara
dengan 1647 mm/tahun. Menurut Tufaila et al. (2017) pada lahan-lahan
yang terbentuk pada daerah karst memiliki nilai defisit air yang tinggi bila
dibandingkan dengan surplus air yang terjadi. Salah satu faktor yang
mempengaruhi ini adalah kondisi lahan yang terbentuk di atas batuan
106

karst memiliki drainase di bawah tanah yang dominan. Kondisi ini


mempengaruhi ketersediaan air untuk tanaman atau pemanfaatan lainnya.
Kebutuhan air domestik di daerah penelitian cenderung mengalami
peningkatan selama periode tahun 2007 hingga 2016. Peningkatan ini
terjadi karena jumlah penduduk yang terdapat di daerah penelitian
cenderung meningkat tiap tahunnya. Kebutuhan air pada tahun 2009
sebesar 0,97 juta m3/tahun dengan jumlah penduduk sebesar 44.267 jiwa.
Kebutuhan air mengalami peningkatan pada tahun 2016 yakni 1,63 juta
m3/tahun dengan jumlah penduduk sebesar 74.631 jiwa, sedangkan pada
kebutuhan air peternakan yang digunakan untuk keperluan berbagai jenis
ternak yang terdapat di 4 kecamatan yang masuk ke dalam area
penelitian adalah yaitu sapi, kerbau, kambing, babi dan unggas. dilakukan
selama 3 tahun yaitu 2012-2014. Kebutuhan air pada tahun 2012 sebesar
140,5 ribu m3/tahun. Kebutuhan air mengalami peningkatan pada tahun
2014 menjadi 1,44 ribu m3/tahun. Kebutuhan air pertanian tahun 2017,
adalah sebanyak 73 juta m3/tahun. Dari uraian tersebut di atas maka
secara garis besar potensi hidrologi kawasan karst dapat dikelompokkan
menjadi 3 bagian, yaitu: sumber kehidupan bagi biota dan makhluk hidup,
ketersediaan air yang stabil pada musim kemarau, dan kualitas air yang
baik.

4.4 ANALISIS STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KARST SANGKULIRANG-


MANGKALIHAT
Penentuan strategi pengelolaan kawasan karst Sangkulirang-
Mangkalihat dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT yaitu
menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal yang dimiliki oleh
kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat. Faktor internal tersebut adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan sumber daya yang akan
dikelola (perikanan, pertanian, perkebunan dan objek wisata), sedangkan
faktor eksternal adalah hal-hal yang dapat mempengaruhi keberadaan
sumber daya kawasan karst yang akan dikembangkan dan berasal dari
luar. Faktor internal terdiri atas kekuatan (Strength) dan kelemahan
107

(Weakness) kawasan karst, sedangkan faktor eksternal terdiri atas


peluang (Opportunity) dan ancaman (Threat) terhadap kawasan karst
Sangkulirang-Mangkalihat.

4.4.1 Faktor Internal dan Eksternal Kawasan Karst Sangkulirang-


Mangkalihat
Hasil identifikasi dari beberapa strategi kawasan karst Sangkulirang-
Mangkalihat dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan pengelolaan
kawasan karst. Pengelolaan ini sangat membutuhkan peraturan-peraturan
yang mengatur untuk melindungi semua potensi yang ada di kawasan
karst di mana hal tersebut sebagai salah satu kekuatan dalam
meningkatkan pengelolaan kawasan karst untuk menunjang
kesejahteraan masyarakat. Hasil identifikasi faktor strategis yang sudah
dilakukan dapat dibagi menjadi 2 yaitu faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) serta faktor eksternal (peluang dan ancaman) kawasan karst
Sangkulirang-Mangkalihat.

4.4.2 Faktor Internal Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat


4.4.2.1 Kekuatan Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
a. Potensi kawasan karst
Kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat memiliki potensi yang
cukup banyak, hal ini disebabkan karena kawasan karst oleh
masyarakat tetap dilindungi karena merupakan sumber kehidupan bagi
mereka. Namun berdasarkan informasi yang diperoleh sudah beberapa
tahun ini oleh oknum tertentu sudah direncanakan untuk pembangunan
pabrik semen tetapi sampai saat ini belum beroperasi.
Potensi sumber air belum dimanfaatkan secara efektif dan
efisien sehingga air terbuang begitu saja tanpa dilakukan
pemanfaatan oleh masyarakat karena air tidak hanya difungsikan
untuk kebutuhan rumah tangga melainkan sebagai sarana
penunjang sosial ekonomi seperti untuk kegiatan bertani, berkebun,
budidaya ikan dan berdasarkan kajian pada penelitian ini kawasan
108

karst Sangkulirang-Mangkalihat sangat berpotensi untuk dijadikan


objek wisata.

b. Daerah resapan air


Kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat merupakan daerah
resapan air. Karena keterbatasan pengetahuan sumber aliran air
kawasan karst sudah dijadikan sebagai objek wisata yaitu Goa
Sigege dan Tangga Bidadari yang oleh pemerintah sumber mata air
tersebut merupakan sarana pengolahan air bersih atau air PDAM.
Pemukiman penduduk Desa Selangkau dan Sekerat memiliki
mata air dari kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat yang selama
ini mengairi perkebunan dan sawah penduduk serta sebagai sumber
pengairan untuk kehidupan sehari-hari. Desa Selangkau
memanfaatkan 2 sumber aliran air untuk kebutuhan sehari-hari
selebihnya untuk kebutuhan irigasi perkebunan dan pertanian. Desa
Sekerat selain untuk kebutuhan sehari-hari dan pertanian,
pemerintah mengelola menjadi air bersih untuk masyarakat sekitar
kawasan Desa Sekerat. Namun berdasarkan informasi bahwa
penyaluran air bersih oleh pemerintah tersebut kurang direspon oleh
masyarakat disebabkan karena biaya yang cukup mahal.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan bahwa mata air kawasan
Gunung Sekerat juga disalurkan ke pelabuhan internasional Kipi
Maloy, jumlah air yang disalurkan cukup banyak hal ini terbukti dari
debit penyaluran yang digunakan. Penyaluran tersebut sudah
dimulai dengan pemasangan pipa sepanjang Desa Sekerat dan
Selangkau. Dampak yang diakibatkan dengan penyaluran air ke Kipi
Maloy adalah masyarakat sekitar kawasan Gunung Sekerat
mengalami kekeringan atau kekurangan air karena
ketidakseimbangan antara jumlah ketersediaan air dengan
penggunaan air. Maka dari itu perlu dipertimbangkan bahwa potensi
air yang ada di kawasan Gunung Sekerat dilakukan pengelolaan
yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
109

c. Potensi kawasan karst sebagai objek wisata


Objek wisata merupakan salah satu wahana yang
memperkenalkan potensi kawasan karst secara luas ke seluruh
wilayah yang ada di Indonesia bahkan dunia. Objek wisata yang
sudah ada saat ini adalah Goa Sigege, Pantai Jepu-jepu, Tangga
Bidadari dan Bukit Jepu-jepu. Objek wisata ini terutama Pantai Jepu-
jepu dan Bukit Jepu-jepu selalu ramai dikunjungi setiap hari Minggu
dan hari libur, baik warga sekitar maupun masyarakat luar serta
pencinta alam. Pada hari itu, biasanya warga membawa jualannya
dan berdagang di sekitar pantai. Masyarakat sekitar juga dapat
berjualan aneka hasil daerah jika jumlah ikan melimpah masyarakat
sekitar mengelola menjadi abon dari ikan tuna, tenggiri dan tongkol.

d. Ekosistem kawasan karst berpotensi sebagai pengembangan


pertanian
Pengembangan pertanian di kawasan karst Sangkulirang-
Mangkalihat belum dikelola secara maksimal. Selama ini mesin-
mesin untuk pertanian sudah ada tetapi belum biasa diterapkan
secara maksimal karena terkendala dengan kemampuan masyarakat
dan kesesuaian lahan. Tetapi, dengan alat seadanya, masyarakat
juga dapat melakukan panen rutin dengan 2 sampai 3 kali panen per
tahun. Masyarakat yang tidak mempunyai lahan, biasanya ikut
membantu panen dari pemilik sawah dengan imbalan 3:1, sehingga
hasil dari membantu tersebut cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

e. Pengembangan dan pemanfaatan ekosistem karst


Kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat memiliki nilai-nilai
yang sangat unik dan strategis, karena memiliki potensi yang bukan
saja unik tetapi juga sangat kaya dengan sumber daya alam, baik itu
hayati maupun non hayati. Efek dari tekanan kebutuhan masyarakat
kadang memiliki imbas ke kawasan karst untuk dijadikan sebagai
110

tempat pertambangan liar, Kekayaan bentang lahan karst yang


didominasi oleh batuan karbonat merupakan bahan tambang yang
sangat potensial. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di
kawasan karst dan ketergantungannya dengan kawasan karst serta
kondisi mata air menjadi topik yang sangat menarik untuk dikaji.

f. Sarang burung walet


Keberadaan kawasan karst menjadi daya tarik tersendiri
dengan banyaknya rumah walet di kawasan desa yang menjadi
sumber pendapatan tambahan dengan hasil yang lebih besar
daripada pendapatan utama. Pembangunan sarang burung walet
dimulai dari tahun 2009 dan sampai sekarang sudah terdapat ≥49
rumah walet. Besarnya pendapatan dari walet dengan
jumlah produksi dapat mencapai 26 kg/20 hari dengan harga 1 kg
dapat mencapai Rp15.000.000,- membuat masyarakat berlomba-
lomba untuk membuat rumah walet. Pembuatan rumah walet yang
awalnya membutuhkan modal yang besar, tetapi setelah dicoba
ternyata dapat dibuat dengan modal yang sedikit.

4.4.2.2 Kelemahan Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat


a. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola kawasan
karst.
Pada dasarnya masyarakat sekitar belum memahami
kepentingan dari pengelolaan kawasan karst dan alasan untuk
mempertahankan keberadaan kawasan karst. Perlu adanya edukasi
kepada masyarakat tentang pengelolaan karst yang selain berperan
besar terhadap kehidupan sehari-hari juga berperan dalam
meningkatkan pendapatan masyarakat.
Penduduk yang mendiami kawasan karst Desa Selangkau
dan Sekerat sebanyak 50% merupakan suku Bugis. Berdasarkan
hasil wawancara SDM dapat dikategorikan memiliki pengetahuan
yang cukup rendah dalam memanfaatkan potensi yang ada di sekitar
111

kawasan karst. Hal ini tentu sangat mempengaruhi kondisi ekonomi


masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di sisi
lain dampak SDM yang rendah oleh pihak yang memiliki kepentingan
dengan mudah dapat mempengaruhi masyarakat misalnya
mengajak dan meminta pendapat mereka terkait projek
pertambangan batu bara dengan imbalan sebagai tenaga kerja.
Pendapat ini juga sempat diutarakan oleh beberapa ibu rumah
tangga bahwa dengan keberadaan tambang batu bara dapat
meningkatkan pendapatan mereka karena gaji yang diterima lebih
tinggi jika dibandingkan dengan bekerja sebagai nelayan, bertani
dan jenis pekerjaan lainnya. Namun jika dikaji lebih dalam
penambangan batu bara memiliki dampak yang cukup besar
terhadap kondisi kawasan karst. Maka dari itu, untuk menghindari
hal tersebut, keterampilan masyarakat Selangkau dan Sekerat perlu
ditingkatkan, baik itu melalui pelatihan maupun sosialisasi dengan
harapan masyarakat mampu mengelola potensi yang ada dan tetap
mempertahankan kelestarian kawasan karst.

b. Kegiatan penambangan batu bara


Daerah Kalimantan Timur merupakan daerah dengan aktivitas
tambang terbesar di Asia Tenggara. Dampak dari kegiatan
tersebut menyebabkan pencemaran udara dan berdampak terhadap
pencemaran di perairan yang mengakibatkan penurunan jumlah
tangkapan nelayan. Hasil wawancara dengan nelayan menunjukkan
bahwa jumlah tangkapan ikan semakin lama semakin berkurang. Hal
ini disebabkan karena butiran debu batu bara yang jatuh ke laut
menjadi polusi dan mengurangi produktivitas ikan. Di sisi lain
kegiatan penambangan batu bara menjadi sumber mata pencaharian
masyarakat sekitar dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Berdasarkan kondisi existing penambangan batu bara dapat
merusak lingkungan, di antaranya: efek dari pengangkutan dapat
merusak terumbu karang habitat ikan laut, debu selain mencemari
112

udara juga mengakibatkan penurunan kualitas ikan budidaya


masyarakat sekitar wilayah pertambangan mengalami kendala
pertumbuhan, sehingga kondisi tersebut tentu mengurangi
pendapatan masyarakat. Untuk mengurangi kerusakan tersebut
dilakukan beberapa pencegahan misalnya masyarakat jangan hanya
mengandalkan nelayan sebagai sumber pendapatan, melainkan
diupayakan untuk memanfaatkan potensi yang lain seperti bertani,
beternak dan pengelolaan kawasan sebagai objek wisata.

c. Penurunan kualitas dan kuantitas air


Aktivitas pertambangan berdampak besar terhadap kerusakan
karst seperti hilangnya sumber air, perubahan bentang alam karst,
banjir, pencemaran air dan menurunnya keanekaragaman hayati
karst. Penurunan kualitas air bahkan kuantitasnya sangat merugikan
masyarakat terutama untuk kebutuhan sehari-hari, seperti keperluan
air minum, mandi serta untuk ternak dan juga kebun-kebun milik
warga. Di sisi lain dampak yang ditimbulkan oleh pertambangan
yaitu terjadinya bencana seperti longsor. Berdasarkan pengamatan
dan lokasi penelitian, masyarakat desa pada kawasan karst
Sangkulirang-Mangkalihat sangat bergantung pada sumber air dari
mata air karst tersebut, sehingga diharapkan kepada masyarakat
dan pemerintah setempat agar tidak memberikan izin penambangan
karst dengan demikian kualitas air dan kuantitasnya dapat terus
terjaga.

d. Sarana dan prasarana wisata belum memadai


Salah satu penunjang sarana pengelolaan kawasan objek
wisata adalah akses jalan raya dan tempat penginapan, serta
keamanan dan kenyamanan pengunjung dan penunjang lainnya.
Keberadaan wisata dapat menciptakan peluang kerja baru bagi
masyarakat sekitar kawasan karst, di antaranya kegiatan berdagang
aneka khas makanan, souvenir dan aktivitas kegiatan lainnya. Selain
113

itu juga tidak hanya menciptakan lapangan kerja masyarakat namun


dengan keberadaan objek wisata dapat menambah pendapatan
pemerintah daerah. Fasilitas di tempat wisata hanya dijumpai balai
dan toilet. Fasilitas penunjang lain seperti atraksi wisata, warung
makan, guide, kebersihan, penginapan akan melengkapi kegiatan
wisata.

e. Keterbatasan dana dan anggaran pembangunan


Jumlah dana yang dibutuhkan untuk perbaikan dan
pemeliharaan sarana dan prasarana sangatlah besar, sehingga
pemerintah desa juga harus bertahap dan perlahan dalam perbaikan
tersebut. Mungkin sebagai awalan baiknya melibatkan masyarakat
untuk kebersihan dan perawatan sarana dan prasarana yang ada
sekarang.
Kebutuhan dana untuk daerah terpencil namun berpotensi
sangat membutuhkan kerja sama dengan dinas-dinas terkait
misalnya khususnya dinas pariwisata untuk pengembangan objek
wisata. Potensi objek wisata yang ada di kawasan karst
Sangkulirang-Mangkalihat sudah ada dan belum maksimal sehingga
untuk pengelolaan yang lebih baik dibutuhkan dana yang banyak.

f. Belum terjalin kemitraan antar masyarakat dengan pengelola


Hubungan antara pengelola wisata yaitu Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata dengan petugas wisata di
lokasi belum terjalin dengan baik. Hal ini terlihat belum adanya
manajemen wisata dan struktur organisasi yang jelas berkaitan
dengan pengelolaan.
Kemampuan pengelola wisata dalam menyajikan objek
wisata sesuai dengan potensinya maka dapat meningkatkan banyak
wisatawan. Kerja sama masyarakat dengan pihak pemerintah
daerah sangat penting. Melihat beberapa permasalahan yang ada di
114

Desa Sekerat membuktikan bahwa belum terjalin kemitraan antar


masyarakat dengan pihak pengelola.
Berdasarkan hasil wawancara ditemukan beberapa
permasalahan yaitu biaya ganti rugi yang masih kurang untuk
masyrakat yang tanahnya terlibat untuk pembangungan
pemanfaatan air bersih, pendistribusian air ke Kipi Maloy dengan
debit yang cukup besar. Hal ini dikhawatirkan dengan ketersediaan
air yang sedikit mengakibatkan masyarakat kekurangan air,
permasalahan yang terakhir adalah masyarakat dengan perwakilan
desa terjadi kesalahfahaman sehingga keberadaan pabrik
pengelolaan air tidak sesuai dengan harapan masyarakat untuk
mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

4.4.3 Faktor Eksternal Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat


4.4.3.1 Peluang Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
a. Dukungan pemerintah pusat untuk melindungi kawasan karst
Pemberian izin dari pemerintah untuk pembangunan tambang
hanya di 200 ha, memberikan perlindungan kepada kawasan karst.
Larangan kegiatan penambangan di daerah yang telah ditentukan
memberikan keuntungan kepada pemerintah daerah untuk
melindungi kawasan karst.

b. Peningkatan dukungan masyarakat daerah terhadap pemanfaatan


wisata alam kawasan karst
Edukasi dari pemerintah tentang pengelolaan karst dan
kerugian yang dirasakan masyarakat dapat menumbuhkan rasa ingin
melestarikan kawasan karst. Peran serta pemerintah dalam
melibatkan masyarakat sekitar membuat mereka secara bersama-
sama memiliki rasa memiliki untuk membantu pengelolaan kawasan
wisata karst.
115

c. Letak kawasan karst strategis


Sejauh ini akses untuk memasuki kawasan karst strategis,
walaupun jalan yang dilalui masih berupa jalan tanah dan aspal.
Observasi sedang dilakukan guna persiapan pembangunan sebagai
jalan lintas dari kota dan dapat tembus ke Kota Sangatta.

d. Terbukanya lapangan kerja untuk warga sekitar


Perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana akan
membantu terbukanya lapangan kerja untuk masyarakat sekitar
karena akan membutuhkan tenaga untuk pembangunan. Diharapkan
masyarakat sekitar sebagai tenaga kerja lokal dapat berperan sesuai
dengan keahlian misalnya menjadi pemandu wisata, penyedia jasa
penyewaan barang (pelampung), membuka usaha penjualan
makanan, penyedia kendaraan dan administrasi memasuki kawasan.

4.4.3.2 Ancaman Terhadap Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat


a. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang
konservasi kawasan karst
Masyarakat belum memahami arti penting pemeliharaan
kawasan karst. Masyarakat masih membolehkan pengajuan izin
pabrik tambang dan batu gamping untuk pabrik semen. Kebutuhan
masyarakat terhadap pekerjaan dan peningkatan pendapatan
dengan terbukanya lapangan kerja membuat masyarakat belum
mengetahui akibat yang ditimbulkan. Aktivitas pertambangan dan
pengambilan batu gamping sebagai bahan baku semen akan
mengakibatkan perubahan bentang alam karst, pencemaran air,
berkurangnya air dan berkurangnya keanekaragaman hayati.
b. Adanya pertambangan menyebabkan terjadinya pembangunan jalan
dan alih fungsi lahan pertanian
Adanya pertambangan mengakibatkan kebutuhan untuk
pembangunan jalan, di Desa Sekerat lahan-lahan warga di sekitar
116

areal tambang telah dilakukan pembebasan lahan, tetapi sampai


sekarang urusan pelunasan lahan juga belum lunas.
c. Ancaman kekurangan air, akibat dampak pendistribusian air secara
berlebihan ke pelabuhan internasional Kipi Maloy
Berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2010, Maloy ditetapkan
sebagai Kawasan Pengembangan Industri Berbasis Pertanian, Oleo
chemical. Keputusan Bupati Kutai Timur Nomor
641.6/K.945/HK/XI/2010 tentang Penetapan Lokasi Untuk Keperluan
Pengembangan Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional
Maloy Kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur seluas ±1.000 ha
yang terletak di Desa Kaliorang, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten
Kutai Timur. Rencana pembangunan ini membutuhkan penyediaan
air baku dari Bendungan Kaliorang, Desa Sekerat dan Desa
Selangkau, dengan pengambilan debit berturut-turut 350 l/detik,
panjang pipa transmisi 20,17 km dan debit 500 l/detik.
d. Konflik kepentingan antar stakeholder
Pada tahun 2016 dilakukan pengerjaan keperluan air oleh
PDAM. Awalnya keperluan air masyarakat dilakukan oleh swadaya
desa. Seiring dengan bertambahnya kepadatan masyarakat
mengakibatkan tidak mempunyai penyaluran pipa dari swadaya desa
untuk menjangkau tempat yang jauh. PDAM membantu penyaluran
air ini, dengan biaya pemasangan awal sekarang mencapai
Rp3.000.000 dan tarif per bulannya dengan pemakaian 6000l/kubik
mencapai Rp100.000, sedangkan tarif dari swadaya desa dengan
pemakaian yang sama hanya Rp40.000 – Rp70.000.
e. Potensi wilayah kawasan karst dalam pengembangan sektor
pertambangan
Rencana pengembangan pertambangan di kawasan karst
Gunung Sekerat dapat berdampak berkurangnya resapan air pada
zona epikarst, sehingga distribusi air terganggu. Adanya
pertambangan mengakibatkan berkurangnya vegetasi di kawasan
117

karst, maka dari segi hidrologi debit aliran minimum di setiap mata air
pada musim kemarau akan berkurang.

4.4.4 Penentuan Posisi Strategis Kawasan Karst Sangkulirang


Mangkalihat
Penentuan posisi strategis pengelolaan kawasan karst
Sangkulirang-Mangkalihat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan
eksternal. Berdasarkan hasil perhitungan pada Lampiran 1 bahwa sumbu
X ditentukan berdasarkan faktor internal yaitu selisish kekuatan dengan
kelemahan dengan nilai sebesar 6, sedangkan sumbu Y ditentukan oleh
faktor eksternal yaitu selisih dari peluang dan ancaman dengan nilai -2.
Maka dari itu, berdasarkan diagram analisis SWOT, kawasan karst
Sangkulirang-Mangkalihat berada pada kuadran 2. Hasil perhitungan
disajikan pada Gambar 35.

Peluang (O)

Kuadran 3 Kuadran 1

Kelemahan (W) Kekuatan (S)


6
-2
Kuadran 4 Kuadran 2

Ancaman
(T)
Gambar 35. Diagram Analisis SWOT Kawasan Karst Sangkulirang-
MangkalihatBerada di Kuadran 2 (Strategi S-T)

Perumusan strategi alternatif kebijakan pengelolaan potensi


kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat dalam rangka meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui pertimbangan empat
faktor yaitu kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.
Menurut Rangkuti (2006) bahwa kuadran dua mendukung strategi
diversifikasi, yang mana strategi diversifikasi ini adalah membuat strategi
118

menggunakan kekuatan untuk mengatasi suatu ancaman, baik itu dengan


penataan kembali maupun dengan pencegahan ancaman-ancaman yang
khawatir terjadi di masa yang akan datang melalui suatu pengelolaan
yang baik. Strategi diversifikasi menggambarkan situasi bahwa meskipun
kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat menghadapi ancaman, namun
ada kekuatan yang dapat diandalkan. Pengelolaan kawasan karst
Sangkulirang-Mangkalihat untuk mendukung strategi diversifikasi yaitu
dengan mengelola potensi yang ada.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan tokoh-tokoh
perwakilan masyarakat bahwa salah satu pemanfaatan potensi sumber air
kawasan karst adalah menjadikan kawasan karst sebagai kawasan
wisata. Wisata yang sudah ada selama ini selain wisata pantai adalah
Goa Sigege dan Tangga Bidadari. Namun kedua tempat wisata ini belum
diketahui oleh banyak orang sehingga pengunjung sedikit. Pada strategi
ini selain pengembangan pertanian, peternakan dan pengelolaan ikan,
peningkatan pengelolaan wisata sangat penting untuk ditingkatkan
sebagai salah satu penunjang kesejahteraan masyarakat. Analisis
kebijakan pengelolaan potensi kawasan karst melalui matriks SWOT
disajikan pada Tabel 26.
119

Tabel 26. Analisis Kebijakan Matriks SWOT Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat

Kekuatan (S) Kelemahan (W)


FAKTOR INTERNAL
1. Potensi kawasan karst 1. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
2. Daerah resapan air ekosistem kawasan karst masih kurang
3. Potensi kawasan karst sebagai objek wisata 2. Kegiatan penambangan batu bara
4. Letak kawasan karst strategis 3. Keterbatasan dana dan anggaran pembangunan
5. Terbukanya lapangan kerja untuk warga sekitar 4. Belum terjalin kemitraan antar masyarakat
dengan pengelola
5. Kurangnya pemahaman dan kesadaran
FAKTOR EKSTERNAL masyarakat tentang konservasi kawasan karst
6. Adanya pertambangan menyebabkan terjadinya
pembangunan jalan dan alih fungsi lahan
pertanian

Peluang (O) Strategi SO Strategi WO


1. Dukungan pemerintah pusat untuk 1. Penguatan regulasi dari pemerintah pusat dan 1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia
melindungi kawasan karst daerah terkait perlindungan kawasan karst agar melalui kegiatan penyuluhan, peningkatan
2. Dukungan masyarakat terhadap pengelolaan tidak merusak potensi kawasan karst. ketrampilan dalam upaya pengelolaan dan
wisata alam kawasan karst 2. Memanfaatkan potensi air bawah tanah untuk perlindungan kawasan karst.
3. Ekosistem kawasan karst berpotensi sebagai kegiatan pertanian, perkebunan dan sarana air 2. Penataan kawasan karst berdasarkan
pengembangan pertanian, perkebunan, dan bersih dengan mengeksploitasi secara tepat dalam karakteristik ekosistemnya dan penetapan
perikanan mempertahankan kelestarian kuantitas dan kualitas potensi zonasinya baik untuk kawasan industri,
4. Pengembangan dan pengelolaan ekosistem air. budidaya, dan kawasan pertambangan untuk
karst 3. Mengembangkan potensi lanskap karst yang unik menjamin berjalannya fungsi hidrologis kawasan
5. Potensi sarang burung walet sebagai potensi wisata. karst.
4. Mengembangkan dan membina industri kecil 3. Dukungan pemerintahan pusat dalam
berbasis sumber daya lokal untuk mendukung daya penambahan anggaran sebagai dana tambahan
tarik sebagai objek wisata dan meningkatkan untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan
120

pendapatan masyarakat serta menciptakan karst.


lapangan kerja bagi masyarakat sekitar kawasan 4. Membangun pola kemitraan dan kerja sama yang
karst. baik antara seluruh pihak yang terlibat di sekitar
5. Mengembangkan budidaya sarang burung walet kawasan karst.
pada habitat aslinya dengan mempertahankan dan 5. Peningkatan evaluasi dan monitoring aktivitas
melestarikan lingkungan sekitar habitat. pertambangan yang ada agar tidak merusak
ekosistem sekitar kawasan karst.

Ancaman (T) Strategi ST Strategi WT


1. Ancaman kekurangan air, akibat 1. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia 1. Meningkatkan pengetahuan kesadaran
pendistribusian air ke pelabuhan internasional (SDM) masyarakat tentang pengetahuan teknik
Kipi Maloy 2. Mencegah adanya aktivitas penambangan semen di konservasi dalam upaya perlindungan kawasan
2. Konflik kepentingan antar stakeholder kawasan karst karst agar tidak merusak kawasan karst dan
3. Potensi wilayah kawasan karst dalam 3. Pengelolaan potensi karst sebagai objek wisata menjaga kelestarian kawasan karst.
pengembangan sektor pertambangan 4. Membuat konsep ekowisata berbasis masyarakat
4. Penurunan kualitas dan kuantitas untuk meningkatkan wisata di Pantai Jepu-jepu. 2. Mencegah adanya perizinan pertambangan
5. Sarana dan prasarana wisata belum 5. Perlindungan sumber daya air di kawasan Desa baru dan mengevaluasi aktivitas tambang yang
ada saat ini agar tidak mengganggu disribusi
memadai Sekerat dan Desa Selangkau agar pengelolaannya
air ke pelabuhan Internasional Kipi Maloy
tetap berkelanjutan
6. Pengelolaan lahan yang sesuai
3. Penguatan kerja sama dan melibatkan seluruh
pihak stakeholder, swasta dan masyarakat
agar tidak terjadi konflik kepentingan.

4. Memberikan perlakuan khusus terhadap


pengelolaan dan pemanfaatan kawasan
pertambangan sesuai dengan kaidah-kaidah
ekologi sehingga mampu meningkatkan
kualitas kelestarian lingkungan khususnya
121

keseimbangan hidrologi serta mengurangi


dampak negatif akibat eksploitasi kawasan
pertambangan.

5. Perbaikan fasilitas sarana dan prasarana


wisata dan fasilitas penunjang lainnya agar
memudahkan wisatawan dalam berkunjung.
122

Berdasarkan permasalahan/isu kawasan Desa Sekerat dan Desa


Selangkau yang telah diidentifikasi, maka dibuat strategi untuk konservasi
kawasan karst Desa Sekerat dan Desa Selangkau sebagai berikut:

Strategi S-T (Strenght-Threats)


1. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber daya manusia merupakan objek utama dalam pengelolaan
potensi karst. SDM yang berkualitas tentunya dapat berinovasi
mengembangkan potensi sumber daya kawasan karst yang berkelanjutan
dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Maka dari
itu pada penelitian ini direkomendasikan beberapa metode atau konsep
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat yaitu melalui pendampingan
oleh lembaga-lembaga tertentu, setelah itu oleh pihak pemerintah untuk
mengembangkan kemampuan yang sudah dimiliki perlu fasilitas
pendukung, misalnya pendanaan berupa uang tunai maupun alat dan
bahan lainnya, metode ketiga adalah dengan membentuk organisasi atau
kelembagaan untuk mempertahankan keberlanjutan kegiatan-kegiatan
yang sudah direncanakan oleh masyarakat dan pemerintah.
Masyarakat belum mengetahui pengelolaan dan potensi karst.
Peran pemerintah sangat besar untuk memfasilitasi hal ini. Bimbingan dari
pemerintah akan membuat masyarakat membantu pemerintah bersama-
sama menjaga potensi kawasan karst. Pemerintah mendampingi
masyarakat untuk menghidupkan kembali perkumpulan-perkumpulan,
seperti perkumpulan nelayan, usaha mandiri dan lain-lain. Selain diberikan
pelatihan, pemerintah juga melibatkan pengawas yang dapat terjun
lansung untuk masyarakat, agar selain diberikan pelatihan, masyarakat
juga dibimbing cara-cara untuk meningkatkan pendapatan mereka. Para
ibu-ibu rumah tangga juga dapat diajarkan bagaimana pengelolaan dan
pengolahan makanan khas yang higienis dan awet, diajarkan cara
berkebun sederhana untuk kebutuhan sehari-hari dan dibuat koperasi
untuk menjual kembali hasil dari kebun masyarakat. Pelatihan ini setiap
enam bulan sekali ada evaluasi dan pemantauan dari pemerintah,
123

sehingga terus berkelanjutan. Misalnya fasilitas untuk sehari-hari mulai


dari kesehatan, kebersihan, penanaman sayuran dll.

2. Mencegah adanya aktivitas penambangan semen di kawasan karst


Kawasan karst kaya dengan bebatuan sebagai bahan untuk
penambangan semen. Dalam jangka pendek kegiatan penambangan
memang menguntungkan masyarakat karena dilibatkan sebagai tenaga
kerja dan tentunya masyarakat yang minim dengan pengetahuan akan
kerusakan lingkungan sangat mendukung kegiatan penambangan semen
tersebut, sehingga pada point pertama penting dilakukan sosialisasi
kepada masyarakat terkait dampak yang diakibatkan apabila dilakukan
penambangan semen.
Dampak dari aktivitas pertambangan di kawasan karst Gunung
Sekerat adalah mempengaruhi ketersediaan air. Berdasarkan hasil
analisis fisik yaitu karakteristik hidrologi sumber air Sekerat dan Goa
Sigege sangat rendah. Debit aliran di musim hujan sebesar 1,35 m3/detik
di Sekerat dan 0,34 m3/detik di Goa Sigege. Pada musim kemarau debit
aliran tersebut menurun secara berurutan di Sekerat dan Goa Sigege
adalah 0,42 m3/detik dan 0,11 m3/detik. Hal ini merupakan salah satu
pembuktian secara ilmiah bahwa pertambangan tidak boleh dilakukan
karena mempengaruhi ketersediaan air. Berdasarkan hasil observasi
untuk Desa Selangkau sebelum terjadi kerusakan yang sama seperti di
Desa Sekerat perlu dilindungi karena memiliki debit aliran air lebih besar
jika dibandingkan dengan debit aliran air di Desa Sekerat.
Upaya pencegahan aktivitas pertambangan ini merupakan salah
satu strategi yang dilakukan untuk mencegah ancaman yang dampaknya
secara langsung dirasakan oleh masyarakat, misalnya kekurangan air
untuk memenuhi kebutuhan mandi, memasak, minum dan lain
sebagainya. Selain kebutuhan sehari-hari dampak lain adalah tidak dapat
dilakukan aktivitas bertani karena salah satu sarana penting dalam bertani
adalah kebutuhan irigasi.
124

3. Pengelolaan potensi karst sebagai objek wisata


Kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat memiliki keindahan alam
untuk dijadikan sebagai objek wisata yang mana keindahan adalah salah
satu daya tarik wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata. Menurut
Gunawan (2000) bahwa objek dan daya tarik wisata adalah segala
sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai yang berupa
keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang
menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Berdasarkan observasi dengan masyarakat penduduk kawasan
karst khususnya Desa Selangkau dan Sekerat ditemukan beberapa
destinasi ekowisata yang berpotensi untuk dikembangkan adalah Pantai
Jepu-jepu (wisata pantai), pendakian ke bukit karst (Bukit Jepu-jepu), Goa
Sigege, dan Tangga Bidadari. Selama ini wisata yang banyak dikunjungi
adalah pantai Jepu-jepu dan Bukit Jepu-jepu.
Bukit Jepu-jepu memiliki tinggi sekitar 600 m dpl memiliki daya tarik
bagi para pengunjung karena jalur trackingnya yang cukup menantang
bagi para pendaki untuk melakukan uji nyali selama perjalanan menuju
puncak Bukit Sekerat (puncak Jepu-jepu). Jalur menuju puncak Jepu-jepu
yang berlokasi di pegunungan karst Desa Sekerat bebas didatangi
pengunjung dengan batasan tanpa menebas pohon sedikitpun untuk
menjaga kelestarian alam karst. Letaknya yang cukup jauh ditempuh
selama kurang lebih selama 7 jam perjalanan darat dari Balikpapan
menuju Desa Sekerat.

4. Membuat konsep ekowisata berbasis mayarakat untuk


meningkatkan wisata di Pantai Jepu-jepu
Pengembangan sektor pariwisata sebaiknya melibatkan
masyarakat sekitar. Ekowisata bertujuan mengkonservasi lingkungan dan
melestarikan kehidupan serta meningkatkan kesejahteraan penduduk
setempat. Ekowisata berbasis masyarakat menekankan pada usaha
pelestarian keanekaragaman hayati dengan menciptakan kerja sama yang
erat antara masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan wisata dengan
125

industri pariwisata (Yanuar, 2017). Secara umum aksesibilitas menuju


Pantai Jepu-jepu sangatlah mudah. Pasir di sepanjang bibir pantai
merupakan akses jalan lintas untuk menghubungkan Desa Sekerat dan
Desa Selangkau.
Berdasarkan pengamatan secara langsung di lapangan, jalan lintas
ini bahkan digunakan truk-truk untuk membawa barang antar desa.
Waktu-waktu pasang surut pantai sangat menentukan karena informasi
tersebut sangat dibutuhkan untuk informasi pelintasan antar dua desa.
Fasilitas sarana dan prasana yang tersedia adalah saung, kamar mandi,
toilet dan mushola. Rumah makan yang tersedia di sekitar pantai belum
memiliki kuliner yang khas. Penataan pedagang kaki lima di sekitar pantai
juga belum teratur, karena belum tersedianya tenda-tenda permanen
untuk pedagang. Selama ini, pedagang yang berjualan di sekitar adalah
pedagang dadakan yang membuat tenda sementara. Pedagang yang
berjualan di Pantai Jepu-jepu bukanlah masyarakat sekitar melainkan
masyarakat yang jauh dari desa.
Fasilitas kebersihan yang berkaitan dengan kamar mandi, toilet dan
ruang ganti masih kurang. Tempat sampah yang digunakan bukanlah tong
sampah dengan pemilahan jenis sampah khusus melainkan tempat
sampah yang terbuat dari tong dan langsung dibakar di tempat. Saung
yang dibangun di sekitar pantai sangat besar dan nyaman sehingga dapat
membuat nyaman pengunjung yang berkunjung. Pantai Jepu-jepu
memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan. Aksesibilitas yang
dapat dikembangkan adalah penyediaan jasa transportasi sehingga
wisatawan yang datang ke pantai dapat menikmati keindahan pinggir
pantai dengan menggunakan delman atau ATV. Pantai Jepu-jepu memiliki
ombak yang tenang, sehingga berpotensi untuk dijadikan objek wisata air
seperti banana boat dan diberikan pelatihan kepada pengelola bagaimana
menjaga keselamatan wisatawan dengan memberikan pelampung dan
arahan sebelum bermain. Pemerintah juga harus melibatkan warga sekitar
untuk berjualan makanan khas daerah dan membuat makanan yang
dikemas dengan baik sebagai oleh-oleh. Sarana dan prasarana yang ada
126

seperti toilet, tempat sampah sebaiknya melibatkan kesadaran dari


wisatawan untuk menjaga kebersihan secara bersama-sama.

5. Perlindungan sumber daya air di kawasan Desa Sekerat dan Desa


Selangkau agar pemanfaatannya tetap berkelanjutan
Penyaluran air bersih untuk kebutuhan pengembangan kawasan
industri dan Pelabuhan Internasional Kipi Maloy tidak dapat dihindari.
Sebaiknya ada kebijakan intervensi dari pemerintah dengan jaringan air
bersih tersendiri sesuai dengan kondisi masyarakat. Selain sungai, ada
sumber air lain yaitu Tangga Bidadari. Tangga Bidadari merupakan mata
air dengan arus deras yang berundak-undak seperti tangga dengan
ketinggian sampai 350 m dpl. Uniknya tanjakan batu-batu ini tidak licin
sehingga memudahkan pengunjung sampai ke atas. Kawasan-kawasan
mata air yang mendukung kebutuhan masyarakat sebaiknya mendapat
perlindungan khusus dari pemerintah dengan pembuatan sistem zonasi,
sehingga pengelolaannya tetap berkelanjutan. Berdasarkan analisis
hidrologi karst yang telah dilakukan terjadi pengurangan simpanan air di
kawasan karst Gunung Sekerat akibat pertambangan sebesar 3,17% dari
volume air total di perbukitan Gunung Sekerat. Hal ini terjadi disebabkan
berkurangnya zona sub-cutaneous dan zona epikarst. Sumber air yang
diprediksikan mengalami dampak negatif dari kegiatan pertambangan
adalah sungai bawah tanah dari Goa Segege dan mata air Sekerat.
Perbandingan debit aliran maksimum dan debit minimum di dua mata air
tersebut termasuk kategori sangat rendah menurut Permenhut No 61
tahun 2014 (Nilai Koefisien Rezim Sungai (KRS)<20).

6. Pengelolaan lahan yang sesuai


Dari data biofisik yang telah dianalisis berdasarkan hidrologi karst
telah terjadi kerusakan di daerah perbukitan Gunung Sekerat.
Berdasarkan analisis hidrologi nilai KRS <20 kategori rendah, sehingga
diperlukan pengolahan lahan yang sesuai. Sistem agroforestri dapat
dijadikan solusi untuk melakukan konservasi penggunaan di sekitar
127

kawasan karst dan pengendalian kerusakan lingkungan, sehingga selain


bersifat lestari dan berkelanjutan juga dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat. Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri pada
penggunaan lahan pertanian lahan kering dengan kemiringan lereng
15-25% seperti penerapan menanam pohon-pohonan yang berbuah khas
dari Kalimantan (lai, rambutan dan buah mangga). Penerapan agroforestri
dari segi lingkungan dapat mengurangi potensi erosi dan meningkatkan
daerah resapan air. Selain itu juga, dari segi ekonomi dapat memberikan
penghasilan tambahan untuk masyarakat sekitar dan mengurangi potensi
perambahan kawasan hutan. Sistem agroforestri ini nantinya dapat
menjadi kebun buah atau sayur yang dapat dikunjungi oleh wisatawan dan
pengelolanya dapat melakukan program pemetikan sendiri oleh
wisatawan. Penerapan kawasan hutan pada lereng 25-40% (curam)
disesuaikan dengan arahan peta kawasan hutan lindung Kalimantan
Timur, sehingga vegetasi kawasan karst di Pegunungan Sekerat terjaga
distribusi airnya. Ketersediaan air di kawasan karst sangat tergantung
pada vegetasi di permukaan epikarst, curah hujan dan rongga-rongga
batuan penyimpan air. Oleh karena itu, sebaiknya kawasan karst di
Gunung Sekerat peruntukan lahannya sebagai kawasan lindung geologi
sesuai arahan peta kawasan hutan lindung Kalimantan Timur.

Strategi S-O (Strenght-Opportunities)


1. Penguatan regulasi dari pemerintah pusat dan daerah terkait
perlindungan kawasan karst agar tidak merusak potensi kawasan
karst
Ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat di Desa Sakerat dan
Desa Selangkau yang secara resmi ditetapkan melalui peraturan
Gubernur Provinsi Kalimantan Timur Nomor 67 Tahun 2012 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Sangkulirang–
Mangkalihat di Kabupaten Berau dan Kutai Timur selanjutnya disebut
“Pergub Kaltim No. 67 Tahun 2012”. Dalam peraturan, tersebut,
ditetapkan bahwa luasan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat
128

adalah sebesar 1.867.676 ha dan tersebar di Kabupaten Kutai Timur dan


Kabupaten Berau. Berdasarkan jumlah ini, berarti baru sekitar 52% dari
keseluruhan ekosistem karst di Provinsi Kalimantan Timur yang telah
ditetapkan.
Permasalahan yang krusial dalam pengelolaan ekosistem karst
Sangkulirang-Mangkalihat adalah adanya pengelolaan ekosistem yang
bersifat ekstraktif serta tindakan mengkonversi ekosistem karst untuk
kegiatan usaha. Setidaknya saat ini, ekosistem karst Sangkulirang-
Mangkalihat mengalami ancaman degradasi lahan dan hutan, risiko
kekurangan air, hingga kehilangan nilai sosial, budaya, ekonomi, dan
ekologi. Adanya ancaman kerusakan ini tidak terlepas dari regulasi yang
ditetapkan di tingkat pusat yang tidak mengakomodir perlindungan
maupun arahan operasionalisasi ekosistem karst secara keseluruhan.
Penguatan regulasi sangat penting dilakukan mengingat kawasan
karst sangkulirang-mangkalihat merupakan salah satu cagar budaya
warisan dunia yang telah ditetapkan oleh UNESCO. Untuk itu, Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur diharapkan agar tidak hanya berpedoman
terhadap regulasi yang ada namun juga memperhatikan asas-asas
perlindungan lingkungan hidup, agar setiap kebijakan lebih berpihak
terhadap perlindungan ekosistem karst secara keseluruhan.

2. Memanfaatkan potensi air bawah tanah untuk kegiatan pertanian,


perkebunan dan sarana air bersih dengan mengekploitasi secara
tepat dalam mempertahankan kelestarian kuantitas dan kualitas
air
Ekosistem karst memiliki fungsi yang sangat penting bagi
lingkungan hidup, antara lain sebagai tempat penyimpanan air, termasuk
pemasok kesediaan air yang penting bagi kehidupan manusia.
Pemanfaatan potensi air di bawah tanah atau sungai bawah tanah untuk
kegiatan produksi pertanian, konsumsi air bersih dengan
pengeksploitasian secara tepat dapat mempertahankan kelestarian
kualitas dan kuantitas airnya. Selain itu dengan mengoptimalkan
129

pemanfaatan di bidang budidaya pertanian, peternakan, kehutanan,


perikanan, pariwisata baik minat khusus maupun minat umum akan
mengurangi dampak yang lebih parah dari aktivitas penambangan.

3. Mengembangkan potensi lanskap karst yang unik sebagai potensi


wisata
Lanskap di kawasan karst mempunyai nilai keindahan dan
keunikan yang tinggi, baik di permukaan (eksokarst) maupun bawah
permukaan (endokarst). Bentangan karst Sangkuliran-Mangkalihat
memiliki potensi dalam konteks keragaman geologi (Geodiversity),
keanekaragaman hayati (Biodiversity), dan keragaman budaya (Cultural
Diversity). Di permukaan, kawasan karst dihiasi oleh ribuan kubah-kubah
karst atau menara karst dengan sesekali ditemukan ngarai yang terjal,
dolin, dan danau dolin.
Keindahan di bawah permukaan kawasan karst didapatkan pada
goa-goa beserta ornamennya. Goa-goa tersebut dapat berupa goa vertikal
(shaft), cimne, maupun goa horizontal, sedangkan ornamen (speleothem)
yang dimiliki goa sangat bervariasi baik bentuk, warna, dan ukurannya.
Keunikan lain dari goa adalah terdapatnya ruangan bawah tanah
(chamber) dan sungai di beberapa goa dengan bendungan alamnya. Luas
ruangan bawah tanah bisa mencapai satuan hektar, walaupun di
permukaan hanya berdiameter satu atau dua meter.
Pola pengembangan wisata ini mendukung dan memungkinkan
keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengelolaan usaha wisata dan segala keuntungan yang
diperoleh. Wisata berbasis masyarakat merupakan usaha wisata yang
menitikberatkan peran aktif komunitas. Konsep dasar perencanaan
lanskap ekowisata karst Sangkulirang-Mangkalihat ini adalah menjadikan
kawasan tersebut sebagai kawasan wisata yang tetap menjaga
kelestarian lingkungan, partisipatif, dan edukatif.
Perencanaan kawasan berbasis ekologi bertujuan agar tidak
merusak karst. Pemberdayaan masyarakat sekitar dalam pengelolaan
130

untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Unsur edukasi dimasukkan


dalam pengembangan konsep agar wisatawan dapat memperoleh
pemahaman tentang kawasan karst yang merupakan bentang alam yang
penting dan perlu dilindungi dan dilestarikan. Perencanaan kawasan karst
Sangkulirang-Mangkalihat diharapkan mampu menjadi icon
kepariwisataan.

4. Mengembangkan dan membina industri kecil berbasis sumber


daya lokal untuk mendukung daya tarik sebagai objek wisata dan
meningkatkan pendapatan masyarakat serta menciptakan
lapangan kerja bagi masyarakat sekitar kawasan karst
Pengembangan kawasan wisata tentunya memerlukan dukungan
dari berbagai pihak, baik pemerintah, sektor swasta, lembaga keuangan,
dan masyarakat sekitar. Untuk meningkatkan perekonomian dan
pemerataan pembangunan yang berbasis kearifan lokal, salah satu upaya
yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah melalui sektor pariwisata
dan industri kreatif. Sektor yang diandalkan untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat adalah melalui pengembangan ecotourism
(pariwisata alam). Beberapa industri kreatif yang dapat tumbuh dan
berkembang dengan hadirnya desa wisata antara lain, seni pertunjukan,
kuliner, kerajinan, maupun industri kreatif lainnya. Hal ini berdampak pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena pariwisata mempunyai
dampak ganda antara industri
Wisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja
bagi masyarakat setempat dan mengurangi kemiskinan, di mana
penghasilan wisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu;
ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan dan lain-lain. Wisata
membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya
asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu
menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang
tumbuh akibat peningkatan kegiatan wisata.
131

5. Mengembangkan budidaya sarang burung walet pada habitat


aslinya dengan mempertahankan dan melestarikan lingkungan
sekitar habitat
Kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat di Desa Sekerat dan
Selangkau memiliki banyak potensi dari berbagai aspek dan salah
satunya aspek ekonomi. Jika ditinjau dari aspek ekonomi, kawasan ini
memiliki potensi alam yang dapat meningkatkan nilai ekonomis. Salah
satu faktanya ialah kawasan ini penghasil utama dan penyumbang
terbesar sarang burung walet alam di Kalimantan Timur. Secara ekonomi
kawasan karst merupakan daerah penghasil sarang burung terbesar
dengan rata-rata hasil yang dapat diperoleh sekitar 1 ton untuk setiap
harinya. Sarang burung walet bisa dijadikan bahan konsumsi. Sarang
burung walet memiliki nilai ekonomi tinggi yang bisa dijadikan sumber
pendapatan.

Strategi W-O (Weakneses-Opportunities)


1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui kegiatan
penyuluhan, peningkatan keterampilan dalam upaya pengelolaan
dan perlindungan kawasan karst
Pengembangan kemampuan dan keterampilan masyarakat dapat
dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan mengikutsertakan
masyarakat pada pelatihan pengembangan kemampuan dan keterampilan
yang dibutuhkan, atau dapat mengajak masyarakat mengunjungi kegiatan
di tempat lain dengan maksud agar masyarakat dapat melihat sekaligus
belajar. Kegiatan ini sering disebut dengan istilah studi banding. Menurut
Riyanto (2008) penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku
utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan
mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi,
permodalan, dan sumber daya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya serta
meningkatkan kesadaran dalam kelestarian fungsi lingkungan hidup.
132

2. Penataan kawasan karst berdasarkan karakteristik ekosistemnya


dan penetapan potensi zonasinya baik untuk kawasan industri,
budidaya, dan kawasan pertambangan untuk menjamin
berjalannya fungsi hidrologis kawasan karst
Zonasi kawasan karst menjadi salah satu tahapan yang paling pent
ing dalam pengelolaan kawasan karst. Hasil zonasi kawasan karst dapat
digunakan sebagai suatu acuan dalam menentukan kegiatan
pembangunan yang akan dilakukan di suatu kawasan karst. Salah satu
dasar pemikiran pelaksanaan zonasi kawasan karst adalah karena tidak
semua wilayah dengan batuan karbonat (gamping atau dolomit) dapat
membentuk kawasan karst. Proses zonasi kawasan karst dapat dilakukan
dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh untuk lebih mudah
dalam melakukan delineasi suatu kawasan karst.
Kawasan karst yang berkembang baik akan dicirikan dengan
terbentuknya kerucut-kerucut karst atau menara karst memiliki topografi
yang sangat kasar. Kawasan karst berkembang sedang dicirikan dengan
bentukan yang lebih halus. Meskipun demikian, proses ini harus
ditindaklanjuti dengan menggabungkan dengan data spasial lain seperti
peta geologi, peta rupa bumi, serta dilakukan survei lapangan untuk
mengetahui tingkat kebenaran delineasi yang telah dilakukan. Mengingat
pentingnya zonasi kawasan karst dalam pengelolaan kawasan karst dan
menunjang pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, maka diperlukan
suatu aturan yang mewajibkan dilakukannya proses zonasi kawasan karst
dalam membuat rencana pemanfaatan kawasan karst atau rencana tata
ruang wilayah yang berisi pula tentang standar-standar serta aturan-
aturan teknis untuk melakukan zonasi tersebut yang lebih rinci, sehingga
pemanfaatan dan eksploitasi di kawasan karst dapat diminimalisir
dampaknya, termasuk dapat menjaga fungsi hidrologis.

3. Dukungan pemerintah pusat dalam penambahan anggaran


sebagai dana tambahan untuk pengembangan dan pengelolaan
kawasan karst
133

Keterbatasan anggaran menjadi problem paling krusial dalam


melaksanakan kegiatan pengelolaan kawasan karst Sangkulirang-
Mangkalihat. Dalam pelaksanaan kegiatan aksi, seperti kegiatan di sektor
pengembangan, anggaran yang diperlukan daerah untuk membangun
sarana dan prasarana sangat terbatas. Tetapi kebutuhan anggaran tidak
hanya dibutuhkan untuk pembangunan sarana dan prasarana, tetapi juga
diperlukan untuk pengembangan kapasitas SDM, penguatan koordinasi,
dan kegiatan pendukung lain. Seperti diketahui, rendahnya kapasitas
sumberdaya manusia masih menjadi salah satu problem utama
pelaksanaan agenda pengelolaan di kawasan sekitar karst. Namun, dalam
rangka pengembangan kapasitas SDM, seluruh fokus dihadapkan pada
persoalan ketiadaan anggaran untuk pengembangan kapasitas SDM.
Daerah dihadapkan pada keterbatasan anggaran untuk melakukan
kegiatan pelatihan dan pengembangan kapasitas SDM.

4. Membangun pola kemitraan dan kerja sama yang baik antara


seluruh pihak yang terlibat di sekitar kawasan karst
Kerja sama yang baik antara pemerintah, swasta dan masyarakat
dapat menghasilkan pengembangan pariwisata yang optimal serta
menguntungkan, sehingga perlu kesetaraan antara semua pihak yang
saling bekerja sama/ bermitra. Pemerintah memberi ruang terbentuknya
kerja sama yang berdasar pada prinsip kemitraan yaitu saling
membutuhkan, saling mengoatkan dan saling memberi manfaat. Untuk
mewujudkan kemitraan tersebut, perlu adanya kesepakatan dan
kerjasama antara pemerintah, swasta maupun masyarakat. Di samping itu
perlu adanya perencanaan, strategi dan inovasi dalam pengembangan
dan pengelolaan kawasan karst, guna meningkatkan perekonomian
daerah dan masyarakat. Hakikat dari dilaksanakannya kemitraan adalah
bahwa kemitraan dapat menyebabkan program menjadi lebih efektif
(Brinkerhoff et al., 2011).
134

5. Peningkatan evaluasi dan monitoring aktivitas pertambangan


yang ada agar tidak merusak ekosistem sekitar kawasan karst
Perlindungan kawasan karst, adalah upaya sistematis dan terpadu
yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum ( pasal 1 ayat (2) Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup).
Aktivitas pertambangan baik skala besar maupun kecil masih
menjadi ancaman terbesar bagi kelestarian kawasan karst. Daya rusak
kegiatan penambangan ini berdampak sistemik terhadap ekosistem karst
dan sekitarnya serta bersifat permanen. Kawasan karst Sangkulirang-
Mangkalihat tidak luput dari ancaman penambangan. Peningkatan
evaluasi aktivitas penambangan di kawasan karst Sangkulirang-
Mangkilihat sangat diperlukan agar tidak merusak ekosistem dan fungsi
hidrologis di sekitar kawasan tersebut.

Strategi W-T (Weaknesses-Threat)


1. Meningkatkan pengetahuan kesadaran masyarakat tentang
pengetahuan teknik konservasi dalam upaya perlindungan
kawasan karst agar tidak merusak kawasan karst dan menjaga
kelestarian kawasan karst
Masyarakat merupakan pihak yang memiliki peranan penting dalam
mendukung keberhasilan konservasi kawasan karst. Untuk itu masyarakat
perlu dibekali dengan pemahaman dan pengetahuan mengenai
konservasi kawasan karst. Karakteristiknya dan tindakan-tindakan dalam
konservasi yang dapat dilakukan. Kegiatan ini bertujuan untuk melibatkan
masyarakat untuk mengoptimalkan dan melestarikan sumber daya
lingkungan kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat. Program aksi yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam
konservasi kawasan ini adalah: (1) Edukasi dan sosialisasi tentang
135

kawasan Sangkulirang-Mangkalihat dan konservasinya, (2) Pembuatan


booklet dan buku tentang kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat dan
konservasinya yang dapat langsung disebarluaskan kepada masyarakat.

2. Mencegah adanya perizinan pertambangan baru dan


mengevaluasi aktivitas tambang yang ada saat ini agar tidak
mengganggu distribusi air ke pelabuhan International Kipi Maloy
Regulasi terkait karst saat ini tidak ada yang secara tegas
melarang adanya kegiatan usaha di ekosistem karst, bahkan di atas
kawasan bentang alam karst sekalipun. Namun, setidaknya untuk
ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat operasionalisasinya telah
diarahkan untuk dapat dipertahankan fungsinya. Hal ini secara tegas
dinyatakan dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang
Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan (selanjutnya disebut “Perpres
Nomor. 3 Tahun 2012”). Namun, amanat untuk mempertahankan fungsi
ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat tidak tercermin dalam tindakan
pengeluaran izin usaha secara masif yang dilakukan oleh pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur.
Kegiatan usaha di sektor pertambangan merupakan kegiatan
usaha padat modal dan padat teknologi yang sarat dengan berbagai
risiko, mulai dari pencarian cadangan, eksplorasi, sampai pada kegiatan
eksploitasi. Pengeksploitasian dan pemanfaatan berbagai bahan tambang
secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa
mekanisme keseimbangan dalam pengeksploitasiannya akan
menyebabkan perubahan ekosistem dan ganggoan terhadap sumber
daya alam. Kondisi ini akhirnya menimbulkan masalah lingkungan, yaitu
menurunnya kualitas lingkungan hidup, produktivitas dan
keanekaragaman sumber daya alam. Dampak penambangan terhadap
kerusakan ekologi-fisik lingkungan seperti: tanah, air dan vegetasi adalah
merupakan dampak langsung yang akibatnya dapat dilihat dari
perubahan-perubahan yang terjadi baik kasat mata maupun dari uji
laboratorium. Tidak jarang kasus pertambangan juga memicu konflik
136

dengan warga di sekitar area tambang. Ini disebabkan warga sekitar


tambang terancam terkena dampak negatif dari proses pertambangan
tersebut. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa tambang juga dapat
membawa dampak positif bagi warga di sekitar area pertambangan,
seperti penyerapan tenaga kerja, pengembangan masyarakat, dan
sebagainya. Kegiatan tambang yang ada saat ini harus selalu dilakukan
evaluasi segala aktivitasnya karena mengingat adanya aktivitas
penambangan tersebut mengakibatkan ancaman terhadap kawasan karst
Sangkulirang-Mangkalihat dan mengganggu sitem hidrologi pada
kawasan tersebut. Salah satu kawasan yang berdampak akibat dari
kerusakan tersebut yaitu Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional
(KIPI) adalah bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Maloy Batuta
Trans Kalimantan (MBTK) dan merupakan Kluster ekonomi utama dalam
mewujudkan pembangunan Kalimantan Timur sebagai pusat agroindustri
oleochemical dan energi terkemuka. Kontrol dan pengawasan terhadap
akivitas yang ada di sekitar kawasan karst menjadi penting untuk
dilakukan untuk menjamin distribusi air ke pelabuhan internasional Kipi
Maloy.

3. Penguatan kerja sama dan melibatkan seluruh pihak stakeholder,


swasta dan masyarakat agar tidak terjadi konflik kepentingan
Penguatan kerja sama antar stakeholder, swasta dan masyarakat
merupakan pilar utama dalam pengembangan karst Sangkulirang-
Mangkalihat. Pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai
pengembangan kawasan karst yang diiringi dengan kebijakannya,
kemudian pihak swasta yang secara profesional menyediakan jasa
pelayanan bagi pengembangan kawasan karst tersebut, maka tugas
masyarakat adalah mendukung dalam berbagai program pengembangan
kawasan karst yang telah direncanakan oleh pemerintah dengan pihak
swasta untuk meningkatkan daya tarik dari sektor pariwisata.
Keberhasilan pelaksanaan pengembangan di kawasan karst tidak
bisa sendiri dilakukan oleh pemerintah daerah, akan tetapi membutuhkan
137

sinergi dengan stakeholders lainnya. Namun permasalahan di lapangan


seringkali terjadi konflik kepentingan karena kurangnya keterlibatan
stakeholders lain. Padahal kerja sama antar stakeholders termasuk
masyarakat sangat berpengaruh dalam pengembangan kawasan karst.
Setiap pemangku kepentingan memiliki peran dan fungsi yang berbeda
yang perlu dipahami agar pengembangan kawasan karst dapat terwujud
dan terlaksana dengan baik.

4. Memberikan perlakuan khusus terhadap pengelolaan dan


pemanfaatan kawasan pertambangan sesuai dengan kaidah-
kaidah ekologi sehingga mampu meningkatkan kualitas
kelestarian lingkungan khususnya keseimbangan hidrologi serta
mengurangi dampak negatif akibat eksploitasi kawasan
pertambangan
Kawasan karst adalah kawasan yang rentan terhadap pengikisan
karena sering digunakan sebagai kegiatan penambangan. Kawasan karst
yang rentan terhadap kegiatan penambangan adalah salah satunya pada
kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat. Pada dasarnya kawasan karst
adalah daerah batuan yang memiliki peran dalam menyerap
karbondioksida dan merupakan sumber untuk menghasilkan sumber air.
Jika dieksploitasi dimanfaatkan secara terus menerus maka akan
menyebabkan masalah pada keseimbangan alam dengan rusaknya
lingkungan atau terjadi kerugian pada alam atau terjadi pengikisan yang
mengakibatkan habisnya batuan karst yang memiliki banyak manfaat.
Kegiatan penambangan adalah kegiatan yang dapat mengubah
lingkungan yang ada menjadi lingkungan baru yang berbeda, dan
perubahan tersebut sulit atau bahkan tidak dapat dikembalikan seperti
semula. Penambangan dapat menciptakan kerusakan lingkungan yang
serius dalam suatu kawasan. Skala potensi kerusakan tergantung pada
berbagai faktor kegiatan penambangan dan faktor keadaan lingkungan.
Pemberian izin pada kegiatan pertambangan di kawasan karst harus
138

diperhatikan secara serius agar potensi ekosistem karst tidak rusak akibat
aktivitas tersebut.

5. Perbaikan fasilitas sarana dan prasarana wisata dan fasilitas


penunjang lainnya agar memudahkan wisatawan dalam
berkunjung
Sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor penting yang
sangat menunjang pertumbuhan industri pariwisata. Sarana dan
prasarana harus ada dalam suatu kawasan wisata untuk menciptakan
kepuasan wisatawan. Sarana dan prasarana dapat menjadi salah satu
penunjang agar daya tarik wisata di kawasan ini diminati oleh wisatawan.
Karena apabila sarana dan prasarana tidak dikembangkan dengan baik
berakibat berkurangnya minat wisatawan untuk berkunjung. Sektor
pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal jika mampu dikelola
dengan baik.
Pengembangan rencana fasilitas berdasarkan pada kebutuhan
setiap ruangnya tergantung aktivitas dan kondisi eksisting. Penggunaan
material yang ramah lingkungan dan berasal dari daerah setempat (lokal)
akan memberikan kesan alami dan sesuai dengan konsep ekowisata
kawasan yang akan dikembangkan. Fasilitas yang akan dikembangkan
tidak boleh mengganggu dan merusak kondisi eksisting karst yang ada.

4.4.5 Pembahasan Analisis Swot


Berdasarkan hasil perhitungan pada bahwa sumbu X ditentukan
berdasarkan faktor internal yaitu selisish kekuatan dengan kelemahan
dengan nilai sebesar 6, sedangkan sumbu Y ditentukan oleh faktor
eksternal yaitu selisih dari peluang dan ancaman dengan nilai -2 artinya
posisi pengelolaan karst di Desa Sakerat dan Selangkau berada pada
kuadran 2 yang mengidentifikasikan bahwa strategi yang dipakai adalah
S-T (Strength-Threat). Kondisi pengelolaan kawasan karst di Desa
Sekerat dan Selangkau hasil penelitian diperoleh strategi diversifikasi
139

artinya membuat strategi menggunakan kekuatan untuk mengatasi suatu


ancaman, baik itu dengan penataan kembali maupun dengan pencegahan
ancaman-ancaman yang dikhawatirkan terjadi di masa yang akan datang
melalui suatu pengelolaan yang baik, untuk mendukung strategi
diversifikasi yaitu dengan mengelola potensi yang ada.
Hasil analisis SWOT menunjukkan dalam perumusan strategi yang
tepat untuk pengelolaan kawasan karst dengan melakukan penyusunan
strategi sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

2. Mencegah adanya aktivitas penambangan semen di kawasan


karst.
3. Pemanfaatan potensi karst sebagai objek wisata.
4. Membuat konsep ekowisata berbasis mayarakat untuk
meningkatkan wisata di Pantai Jeppu-jeppu.
5. Perlindungan sumber daya air di kawasan Desa Sekerat dan
Desa Selangkau agar pemanfaatannya tetap berkelanjutan.
6. Pengelolaan lahan yang sesuai. Untuk mencapai sasaran sesuai
dengan strategi dan kebijakan yang telah ditetapkan maka
dirumuskan program-program jangka menengah, yang dapat
mendukung implementasi dan pengelolaan kawasan karst yang
selanjutnya akan berdampak terhadap peningkatan keberlanjutan
pada dimensi lingkungan. Perlibatan semua pihak sangat
diperlukan dalam mencapai pengelolaan yang baik guna
menghindari kerusakan pada kawasan karst.
140

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil Delineasi sebaran karst Sangkulirang–Mangkalihat
secara spasial memiliki luas keseluruhan 392.700,49 ha, sedangkan
luas wilayah karst Sangkulirang–Mangkalihat secara administrasi
Provinsi Kalimantan Timur terbagi dua bagian, yaitu: Kutai Timur
seluas 241.283,08 ha dan Berau seluas 151.417,41 ha. Adapun
analisis spasial delineasi karst di kawasan Pegunungan Sekerat
memiliki luas 38.245 ha yang terdapat di 4 kecamatan yaitu
Sangkulirang, Kaliorang, Bengalon dan Kaubun.
2. Karst Sangkulirang–Mangkalihat memiliki tipe ekosistem yang saling
berikatan dan membentuk koridor-hayati. Kawasan karst adalah
tempat hidup berjuta spesies flora-fauna penunjang keseimbangan
kehidupan Kalimantan Timur. Kawasan karst Sangkulirang-
Mangkalihat yang terdri dari pegunungan/perbukitan dari hutan
Bengalon, Karangan, Sangkulirang, Sandaran dan sekitarnya, menurut
tipe hutan pada umumnya termasuk dalam Tipe Hutan Hujan di bawah
1000 m dpl. Tetapi, ada beberapa tempat yang mempunyai ketinggian
di atas 1000 m dpl seperti deretan daerah perbukitan karst (batu
kapur) dengan ciri bentang alam spesifik. Terdapat beberapa tempat
yang mengalami kerusakan ekosistem di kawasan hutan. Ekosistem
kawasan hutan rusak dapat mengalami kesulitan untuk dilakukan
revegetasi karena tipisnya kandungan humus. Hal ini terjadi karena
adanya erosi (pencucian permukaan tanah), sehingga cenderung
didominasi oleh batuan plutonik basalt yang mempunyai sifat sangat
kering apabila musim kemarau.
3. Sistem hidrologi di kawasan karst memiliki peranan penting terutama
menjaga ketersediaan dan ditribusi air pada kawasan karst dan
sekitarnya. Karst menyimpan air melalui rongga-rongga pelarut batuan.
Input air yang masuk ke dalam karst berasal dari intersepsi vegetasi,
air hujan dalam bentuk aliran permukaan dan sungai bawah tanah.
141

Kondisi hidrologi eksisting di kawasan perbukitan Gunung Sekerat


sudah mengalami pengurangan simpanan air sebesar 3,17% dari
volume air total, sehingga debit minimum pada musim kemarau
berkurang, sedangkan dari segi kebutuhan air di kawasan karst lebih
banyak diperuntukan bagi sektor pertanian dibandingkan sektor lain.
Berdasarkan analisis perhitungan kebutuhan air, sumber daya air
pada kawasan karst Gunung Sekerat dapat memenuhi kebutuhan air
untuk pertanian 73 juta m3/tahun. Potensi lain dari sistem hidrologi
kawasan karst Sangkulirang yaitu pemanfaatan air untuk kebutuhan
sehari-hari seperti kebutuhan air minum, air untuk peternakan serta
untuk kebutuhan biota lainnya pada ekosistem kawasan karst Gunung
Sekerat.
4. Strategi dan pengelolaan kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat
diarahkan kepada Srategi ST (Strength-Threat) yang bertujuan
menggunakan kekuatan internal untuk mengurangi ancaman
eksternal dengan opsi strategi sebagai berikut:
a. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
b. Mencegah adanya aktivitas penambangan semen di kawasan
karst
c. Pengelolaan potensi karst sebagai objek wisata
d. Membuat konsep ekowisata berbasis mayarakat untuk
meningkatkan wisata di Pantai Jepu-jepu
e. Perlindungan sumber daya air di kawasan Desa Sekerat dan
Desa Selangkau agar pengelolaannya tetap berkelanjutan
f. Pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi biofisik dan
mendukung sistem hidrologi karst

5.2. SARAN
1. Diharapkan pada pemerintah pusat dan daerah dalam penetapan
delineasi atau luasan kawasan karst agar diperjelas supaya tidak
terjadi tumpang tindih luasan untuk memudahkan pengelolaan dan
perlindungan pada kawasan karst.
128 142

2. Mengaktifkan peran stakeholder untuk melakukan pelatihan kepada


masyarakat serta memberikan pengetahuan mengenai pengelolaan
karst berbasis masyarakat sehingga pelestarian ekosistem karst
dapat tercapai dan mencegah segala aktivitas yang dapat
merusak/menganggu kelestarian ekosistem dan sistem hidrologi pada
kawasan karst.
3. Perlunya melakukan kegiatan konservasi pada kawasan karst agar
tidak terjadi kerusakan, karena peranan penting kawasan karst
sebagai tempat cadangan air dan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan
kawasan karst memiliki potensi sebagai penyimpanan sumber daya
air, sehingga pentingnya terus menjaga kelestarian karst agar terjaga
sumber daya air pada kawasan tersebut.
4. Pentingnya peran dan ketegasan pemerintah setempat dalam
pelestarian kawasan karst Sangkulirang–Mangkalihat sebagai
kawasan lindung perlu dikelola dengan baik agar tidak terjadi
eksploitasi. Keseluruhan strategi yang harus dilakukan untuk
pengelolaan kawasan karst dengan memperkuat
regulasi/pembatasan izin aktivitas di sekitar kawasan karst dan
pengelolaan dengan melibatkan seluruh pihak yaitu pemerintah,
masyarakat dan swasta serta mengaktifkan peran masing-masing
pihak agar tidak terjadi konflik kepentingan.
5. Perlunya dukungan pemerintah terhadap kawasan karst Sangkulirang-
Mangkalihat dalam pengembangan ekowisata dengan segala
keindahan dan potensinya.
143

DAFTAR PUSTAKA

Acworth, R.I. 2001. The Electrical Image Method Compared With


Resistivity Sounding and Electromagneticprofiling for
Investigation In Areas of Complex Geology A Case Study From
Groundwater Investigation In A Weathred Crystalline Rock
Environment. Exploration Geophysics 32: 119-128.

Adji, T.N.; E. Haryono dan S. Worosuprojo. 1999. Kawasan Karst dan


Prospek Pengembangannya di Indonesia. Seminar Pertemuan
Ilmiah Tahunan Ikatan Geograf Indonesia. Universitas Indonesia.
Jakarta.

Angulo, B. 2013. Implementing a Comprehensive Approach for


Evaluating Significance and Disturbance in Protected Karst Areas
to Guide Management Strategies.Elsevier: Journal of
Environmental Management 130 (2013): 386-396.

Allen, R.G.; L.S. Pereira; D. Raes dan M. Smit. 1998. Crop


Evapotranspiration- Guidelines for Computing Crop
WaterRequirements–FAO Irrigation and Drainage Paper 56. Roma
(IT): Food and Agriculture Organization on the United Nations

Anonim, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian (proposal) dan


Disertasi, Program Studi DoktorI lmu Kehutanan, Program Pasca
Sarjana Universitas Mulawarman, Samarinda.

Anonim. 2006, Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai, Permen PU No


11A, Jakarta.

Anonim. 2008. Pemanfaatan Sumber Daya Air, PP 42, Jakarta.

Anonim. 2008. Kabupaten Kutai Timur Dalam Angka 2007, BAPPEDA dan
BPS Kutai Timur, Sangatta.

Anonim. 2009. Kabupaten Kutai Timur Dalam Angka 2008, BAPPEDA dan
BPS Kutai Timur, Sangatta.

Anonim. 2010. Kabupaten Kutai Timur Dalam Angka 2009, BAPPEDA dan
BPS Kutai Timur, Sangatta.

Anonim. 2011. Kabupaten Kutai Timur Dalam Angka 2010, BAPPEDA dan
BPS Kutai Timur, Sangatta.

Anonim. 2012. Kabupaten Kutai Timur Dalam Angka 2011, BAPPEDA dan
BPS Kutai Timur, Sangatta.
144

Anonim. 2013. Kabupaten Kutai Timur Dalam Angka 2012, BAPPEDA dan
BPS Kutai Timur, Sangatta.

Anonim. 2012. Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Sumber


Daya Air, Permen PU Nomor 02/PRT/M/2013, Jakarta.

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air, IPB Press, Bogor.

Arsyad, M.; H. Pawitan; P. Sidauruk dan. E.I.K. Putri. 2014. Analisis


Ketersediaan Air Sungai Bawah Tanah dan Pemanfaatan
Berkelanjutan di Kawasan Karst Maros Sulawesi Selatan.Jurnal
Manusia dan Lingkungan 21(1): 8-14.

Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor.


Penerbit IPB IPB Press, Bogor.

Atkinson, T.C. 1985. Present and Future Directions in Karst Hydrogeology.


Annal. Soc. Geol. Belgique 108: 193-296.

Awang, H.S. 2009. Geologi Indonesia: Dinamika dan Prosesnya. Blognya


Ahli Geologi.

Bahgiarti, S. 2004. Mengenal Hidrologi karst. Yogyakarta, Pusat Studi


Karst: UPN Yogyakarta.

[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2003.


Prakarsa Strategis Pemanfaatan Sumber Daya Air untuk Mengatasi
Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa: Strategi Pemanfaatan
Sumber Daya Air di Pulau Jawa. Jakarta (ID): Direktorat Pengairan
dan Irigasi BAPPENAS.

Bonita, R dan M.A. Mardyanto. 2015. Studi Water Balance Air Tanah di
Kecamatan Kejayan, Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur.
Jurnal Teknik ITS 4(1): 21-26.

Brinkerhoff, D.; W., Jennifer dan M, Brinkerhoff. 2011. Public-Private


Partnership: Perspective on Purpose, Publicness, and Good
Governance. Public Administration and Development, Public Adm.
Dev 31: 2-14.

Burrough, P.A. 1986. Principles of Geographical Information Systems for


land Resources Assesment, Clarendonprees, Oxford.

Cahyadi, A. 2010. Pengelolaan Kawasan Karst dan Peranannya dalam


Siklus Karbon di Indonesia. Makalah dalam Seminar Nasional
Perubahan Iklim di Indonesia. Sekolah Pasca Sarjana UGM
Yogyakarta, 13 Oktober 2010.
145

Cahyadi, A. 2014. Chapter 9 Sumberdaya Lahan Kawasan Karst


Gunungsewu. In Ekologi Lingkungan Kawasan Karst Indonesia:
Menjaga Asa Kelestarian Kawasan Karst Indonesia (pp. 1–13).
Penerbit Deepublish.

Danny, H. 2006. Pertambangan Tanpa Izin (PETI) dan Kemungkinan


Alih Status Menjadi Pertambangan Skala Kecil. Bandung. Pusat
Sumber Daya Geologi.

Deharveng, L. and A. Bedos. 2000. The Cave Fauna of Southeast Asia.


Origin, Evolution and Ecology. In Subterranean Ecosystems, edited
by H. Wilknes, D. C. Culver and W. F. Humphries, Amsterdam and
New York; Elsevier.

Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial. 2018. Laporan Kinerja


Tahun 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dirmawan. 2009. Gunung dan Pembentukan CAT. Personal Komunikasi.

Djakamihardja, A.S. dan D. Mulyadi. 2013. Implikasi Penambangan Batu


Gamping Terhadap Kondisi Hidrologi di Citeurup, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. Jurnal RISET Geologi dan Pertambangan
23(1); 49-60.

Dobrin, B.M. dan C.H. Savit, 1988, Introduction to Geophysical


Prospecting, Fourth Edition, McGraw-Hill International Edition.

Dugan dan Zelt. 2001. Simulation and analysis of soilwater conditions in


the Great Plains and adjacent areas, central United States,
1951e80. Reston: U.S. Geological Survey. Water-Supply Paper
2427.

Effendi, H. 2003.Telaah kualitas Air.Kanisius.Yogyakarta.

Endarto, R; T. Gunawan dan E. Haryono. 2015. Kajian Kerusakan


Lingkungan Karst sebagai Dasar Pelestarian Sumberdaya Air
(Kasus di DAS Bribin Hulu Kabupaten Gunung Kidul Daerah
Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia 29(1): 51-59.

Fidel, J.; K. McCarthy dan S. Murray. 2013. Conservation Zoning Districts.


In Community Strategies for Vermont‟s Forests and Wildlife: A
Guide for Local Action.

Ford, D dan P. William. 1992. Karst Hydrogeology and Geomorphology.


Chapman and Hall, London.

Ford, D.C. and P. Williams. 2007. Karst Hydrogeology and


Geomorphology. John Wiley, Chichester, 562.
146

Goldscheider, N. 2005. Karst Groundwater Vulnerability Mapping-


Application of a New Method in The Swabian Aib, Germany.
Hydrogeology Journal 13(4): 555-564.

Gunawan, M.P. 2000. Agenda Pariwisata untuk Pengembangan kualitas


hidup secara berkelanjutan. Jakarta.

Handoko. 1994. Klimatologi Dasar. Jakarta (ID): Pustaka Jaya.

Haryono, E. 2001. Nilai Hidrologis Bukit Karst. Makalah pada seminar


Nasional, EkoHidrolik. 28-29 Maret 2001 .Jurusan Teknik Sipil
UGM.

Haryono, E dan T.N. Adji. 2004. Bahan Ajar Geomorfologi dan Hidrologi
Karst. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

IADC/CEDA, 1999. Convension, Codes and Conditions : Marine Disposal.


Enviromental Aspect of Dredging.

Indarto, P.D.R. 2013. Pembuatan Digital Elevation Model Resolusi 10m


dari Peta RBI dan Survei GPS dengan Algoritma Anudem. Jurnal
Keteknikan Pertanian 2(1):55-63.

Jankowski, J. 2001. Hydrogeochemistry, Short Course Note, School of


Geology, University Of New South Wales, Sydney, Australia.

Jennings, J.N. 1971. Karst An Introduction to Systematic Geomophology,


Vol 7. Vii: 253. M.I.T. Press, Cambridge, London.

Jumari, 2011, Laporan Penelitian Lapangan Flora dan Fauna Kawasan


Pegunungan Karst Kendeng, Semarang.

Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.SK.328/Menhut-


II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas
Dalam Rangka Pencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) Tahun 2010-2014.

Kodoatie.; J. Robert dan S. Roestam. 2012. Pengelolaan Sumber Daya


Air Terpadu. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Lilles, T.M dan F.W. Kiefer. 1993. Penginderaan Jauh dan Interpretasi
Citra. Alih bahasa. R. Dubahri. Gadjah Mada University Press.

Linsley, R.K dan J.B. Franzini. 1995. Teknik Sumber Daya Air. Edisi ke-2
(Terjemahan oleh Djoko Sasongko). Erlangga, Jakarta. 627 LIN t.
147

Lemare. R.E and O.P. Singh. 2016.Limestone Mining And Its


Environmental Implications In Meghalaya, India. ENVIS Bulletin
Himalayan Ecology 24:87-100.

Luthfi, M. 2003. Analisis Ekonomi Wilayah Kabupaten-Kabupaten di


Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo. Prosiding Lokakarya Nasional.
Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.

Mehrabadi, M.H.R.; B. Saghafian dan F.H. Fashi. (2013). Assessment of


residential rainwater harvesting efficiency for meeting non-potable
water demands in three climate conditions. Resources,
Conservation and Recycling 73: 86-93.

Noah, M.; Schmadel; T. Bethany; Neilson; K. David and Stevens. 2010.


Approaches to estimate uncertainty in longitudinal channel water
balances. Journal of Hydrology 394: 357-369.

Odum, P.E. 1993. Dasar-dasar Ecology. Edisi Ketiga. Gadjah Mada Univ.
Press. Yogyakarta.

Prahasta, E. 2001. Sistem Informasi Geografi. Nova. Bandung.

Prahasta, E. 2014. Sistem Informasi Geografis Konsep-Konsep Dasar


(Perspektif Geodesi dan Geomatika). Informatika. Bandung.

Purbowarsito, H. 2011. Uji Bakteriologis Air Sumur di Kecamatan


Semampir Surabaya. [skripsi]. Surabaya(ID): Universitas
Airlangga Surabaya.

Purnama, S.; S. Trijuni; F. Hanafi; T. Aulia dan R. Razali. 2012. Analisis


Neraca Air di DAS Kupang dan Sengkarang. Magister
Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai
(MPPDAS). Program S-2 Geografi. Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Purwadhi, F.S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT. Grasindo. Jakarta.

Rango, A. 1996. A Remote Sensing Campaign to Quantify Rangeland


Vegetation Change and Plant CommunityAtmospheric
Interactions”. Proceedings of Second International Conference on
GEWEX, Washington, D.C., p. 445-446.

Ravbar, N and N. Goldscheider. 2009. Comparative application of four


methods of groundwater vulnerability mapping in a Slovene karst
catchment. Hydrogeology Journal 17: 397-411.

Ravbar, N. 2015.The Effectiveness of Protection Policies and Legislative


Framework With Special Regard to Karst Landscapes: Insights
148

From Slovenia. Elsevier : Environmental Science & Policy 51:106-


116.

Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis.


Penerbit PT GramediaPustaka Utama: Jakarta.

Rice, E.W.; R.B. Baird;, A.D. Eaton and L.S. Clesceri. 2012. APHA
(American Public Health Association): Standard Method for The
Examination of Water and Wastewater 22th ed. Washington DC
(US): AWWA (American Water Works Association) and WEF
(Water Environment Federation).

Riyanto, B. 2008. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta:


Penerbit GPFE.

Salim, A.F. 2016. Analisis Ketersediaan Air di Kawasan Karst (Studi


Kasus: Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta)
[skripsi]. Bogor (ID): InstitutPertanian Bogor.

Samodra, H. 2001. Nilai Strategis Kawasan Karst. Jakarta: Departemen


Energi dan Sumbedaya Mineral.

Saputra, A.Y.; E. Wirryani dan Jumari. 2013. Keanekaragaman Tumbuhan


pada Berbagai Tata Guna Lahan di Kawasan Kars Pegunungan
Kendeng Desa Sukolilo, Pati. Jurnal Biologi 2(1):9-18.

Setiawan, P. 2004. Kawasan Karst Sangkulirang: Antropologi dan


Arkeologi, laporan penelitian The Nature Conservancy,
Samarainda, Kalimantan Timur.

Sitanggang, G. 2008. Kajian Sistem Penginderaan Jauh Satelit Cartosat-1


dan Analisis Pemanfaatan Data. Majalah Sains dan Teknologi
Dirgantara 3(2): 55-69.

Soldevilla, M.M.; U.R. López; M.L. Martíneza; M. Quemada dan J.I.


Lizaso. (2013). Improving simulation of soil water balance using
lysimeter observations in a semiarid climate. Procedia
Environmental Sciences 19: 534-542.

Soenarmo dan S. Hartati. 2007. The Ecohydrogeometeorological Analysis


for Bandung Basin Based on the Rainfall Characteristics and
Satellite Image Processing, Groundwater Management and Water
Resourses Conference, MHI–Bali.

Sulastoro. 2013. Karakteristik Sumber daya Air di Daerah Karst (Studi


Kasus Daerah Pracimantoro). Journal of Rural and Development. 4
.61-67.
149

Todd, D.K.1980. Groundwater Hydrology, 535 pp., Numerous Figs And


Tables. New York, Chichester, Brisbane, Toronto: John Wiley.
118(4).

Tufaila,M,; L.A. Mpia dan J. Karim. 2017. Analisis Neraca Air Lahan pada
Jenis Tanah yang Berkembang pada Daerah Karts di Kecamatan
Parigi Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Jurnal AGRITECH
37(2):215-219.

Urich, P.B. (2002). Land use in karst terrain: Review of impacts of primary
activities on temperate karst ecosystems. In Science for
Conservation.

Vermeulen, J.J. 1992 and Whitten, T. 199. Biodiversity and Cultural


Property In The Management of Limestone Resource; Lessons
from East Asia. Washington, D.C: The World Bank.

Waele, J.D. 2015.Karst Geomorphology: from Hidrological Functioningto


Palaeoenvironmental Recontructions. Science Direct:
Geomorphology 229:1–2.

Walpole, R. 1997.Pengantar Statistika.Ed ke-3. Jakarta (ID): Gramedia


Pustaka Utama.

Wallace, J and D.M. Janet. (2012). Climate Change Impacts on The Water
Balance of Coastal and Montane Rainforests in Northern
Queensland. Australia Journal of Hydrology 475: 84-96.

White, W.B. 1988. Geomorphology and Hydrology of Karst Terrains. New


York, Oxford: Oxford University Press.

Widyaningsih, G.A. 2017. Permasalahan Hukum dalam Perlindungan


Ekosistem Karst di Indonesia (Studi Kasus Ekosistem Karst
Sangkuliran-Mangkaliat Provinsi Kalimantan Timur). Jurnal Hukum
Lingkungan 3(2):73-95.

Yanuar, V. 2017. Ekowisata berbasis masyarakat wisata alam Pantai


Kubu. Ziraa‟ah, Volume 42(3):183-192.

Zappa, M. and J. Gurtz. 2003. Simulation of Soil Moisture and


Evapotranspiration in A Soil Profile During The 1999 MAP-Rivera
Campaign. Hydrology and Earth System Sciences 7: 903-919.
150

LAMPIRAN 1. Kuesioner Analisis SWOT

KUESIONER ANALISIS SWOT


Pengembangan dan Pengelolaan Ekosistem Karst

Penjelasan
1. Maksud dari analisis SWOT digunakan untuk strategi pengembangan dan
pengelolaan ekosistem karst yang berbasis lestari berdasarkan persepsi
masyarakat. Hasil dari persepsi/ aspirasi masyarakat terhadap pengembangan
dan pengelolaan ekosistem karst yang berbasis lestari yang dapat dijadikan
sebagai rekomendasi terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam waktu
jangka panjang.
2. Tujuan dari analisis SWOT adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis
persepsi masyarakat yang berada pada ekosistem karst atas penilaian faktor
internal dan faktor eksternal yang berkaitan dengan sosial ekonomi dan
lingkungan.
3. Kegunaan penelitian ini adalah untuk menyusun disertasi guna untuk
melengkapi salah satu syarat penyelesaian pendidikan Doktor.

No. Responden :
Lokasi :
Hari/ Tanggal :
IDENTITAS RESPONDEN

Nama Responden :
Jenis Kelamin :L/P
Umur : Tahun
Suku :
Alamat :
Lama Tinggal dilokasi : Tahun
Pendidikan Terakhir : SD/ SMP/ SMA/ S1/ S2/ S3/ lainnya .......
Status Kependudukan : Asli / Pendatang, dari.......
Status Perkawainan : Belum Menikah / Menikah
Pekerjaan Utama : Petani / Peternak / Nelayan / Lainnya.......
151

Penilaian responden
Faktor internal Sangat setuju Setuju Netral Tidak setuju Sangat tidak setuju
(5) (4) (3) (2) (1)
Kekuatan (strengths)
1. Memiliki potensi yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat
2. Daya dukung kawasan belum
terlampaui untuk pengembangan dan
pengelolaan ekosistem karst
3. Memiliki potensi kawasan wisata
alam yang cukup bagus jika
dikembangkan secara optimal
4. Ekosistem karst yang dimiliki oleh
kabupaten kutai timur dapat
digunakan sebagai lahan pertanian
masyarakat
5. Nilai ilmiah, keindahan, keunikan
dan kelangkaan kawasan karst yang
tinggi
6. Berbagai jenis satwa dan tanaman
yang hidup di kawasan tersebut
yang bergantung pada kawasan karst
7. Kearifan lokal masyarakat yang
masih dilestarikan
Kelemahan (weaknesses)
152

1. Pengetahuan dan kesadaran


masyarakat tentang ekosistem
kawasan karst masih kurang
2. Belum memiliki akses yang mudah
menuju lokasi kawasan ekosistem
karst
3. Tumpang tindih peraturan
mengenai karst sebagai
kawasan lindung
4. Terjadinya kegiatan
penambangan dikawasan karst
5. Belum banyak diketahui tentang
debit air yang dapat diserap dan
dikeluarkan dalam suatu
ekosistem karst
6. Lemahnya Kebijakan pemerintah
dalam memfilter kawasan karst
dari kepentingan para pelaku
usaha yang ingin
mengalihfungsikan kawasan
karst menjadi kawasan
pertambangan
7. Modernisasi telah
mempengaruhi kearifan lokal
153

masyarakat
Faktor eksternal
Peluang (opportunities)
1. Gugusan karst memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi
2. Kawasan karst sangkulirang
memiliki situs purbakala (lukisan
tangan di dinding goa batu kapur
sekitar 10000 tahun yang lalu)
3. Dukungan pemerintah pusat untuk
pengembangan kawasan karst
4. Keberadaan stakeholder yang
potensial dalam konservasi kawasan
5. Letak kawasan karst strategis
6. Masyarakat yang berada disekitar
kawasan karst berprofesi sebagai
petani
7. Wilayah sangkulirang menjadi
tujuan destinasi wisata agro yang
cukup tinggi
8. Kuliner khas, kuliner hasil budidaya
dan kerajinan tangan dapat
menyumbangkan untuk ekowisata
Ancaman (threats)
1. Flora dan fauna sekitar kawasan
154

karst mengalami ganggoan akibat


pertambangan
2. Akibat adanya pertambangan
menyebabkan terjadinya
pembangunan jalan dan alih fungsi
lahan pertanian
3. Konflik kepentingan antar
stakeholder
4. Terjadinya pencemaran lingkungan
di kawasan karst
5. Wilayah sangkulirang sebagai
wilayah yang berpotensi dalam
pengembangan sektor pertambangan
155

Lampiran 2. Analisis Kualitas Air


156

Lampiran 3. Dokumentasi Pengambilan Kuesioner


157
158

Lampiran 4. Dokumentasi Pengukuran Diameter pohon


159
160
161
162

Lampiran 5. Dokumentasi Pengukuran Curah Hujan, Infiltrasi Dan


Pengambilan Sampel Air
163
164
165
166
167

Anda mungkin juga menyukai