Anda di halaman 1dari 83

STUDI KERENTANAN WILAYAH DAN KETAHANAN

MASYARAKAT PESISIR KECAMATAN GEDANGAN


KABUPATEN MALANG TERHADAP BENCANA TSUNAMI

SKRIPSI

Oleh:

SYAFRIANIDA ANWAR
NIM. 15.03.4.1.1.00066

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


JURUSAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
BANGKALAN
2019
STUDI KERENTANAN WILAYAH DAN KETAHANAN MASYARAKAT
PESISIR KECAMATAN GEDANGAN KABUPATEN MALANG
TERHADAP BENCANA TSUNAMI

SKRIPSI

Diajukan
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Derajat Sarjana Strata I
Pada Program Studi Ilmu Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Oleh:

SYAFRIANIDA ANWAR
NIM 15.03.4.1.1.00066

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


JURUSAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
BANGKALAN
2019

i
STUDI KERENTANAN WILAYAH DAN KETAHANAN MASYARAKAT
PESISIR KECAMATAN GEDANGAN KABUPATEN MALANG
TERHADAP BENCANA TSUNAMI

Oleh:

SYAFRIANIDA ANWAR
NIM 15.03.4.1.1.00066

Disetujui Oleh:

Pembimbing 1

Dr. Zainul Hidayah, S.pi., M.App.Sc


NIP. 19800819.200312.1.001

ii
SKRIPSI BERJUDUL
STUDI KERENTANAN WILAYAH DAN KETAHANAN MASYARAKAT
PESISIR KECAMATAN GEDANGAN KABUPATEN MALANG
TERHADAP BENCANA TSUNAMI

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

SYAFRIANIDA ANWAR

Telah dipertahankan di depan dewan penguji


Pada tanggal 1 Juli 2019
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima

Susunan Dewan Penguji

Ketua

(Achmad Fachruddin Syah, S.Pi., M.Si., Ph.D)


NIP. 19790520.200501.1.001
Anggota 1.

(Dr. H. Agus Romadhon, S.P., M.Si)


NIP. 19760827.200501.1.002
2.

(Dr. Zainul Hidayah, S.pi., M.App.Sc)


NIP. 19800819.200312.1.001

Bangkalan, 1 Juli 2019


Fakultas Pertanian
Universitas Trunojoyo Madura

Mengetahui Mengesahkan
Dekan Fakultas Pertanian Ketua Jurusan Kelautan dan
Perikanan

Dr.Ir. Slamet Subari, M.Si (Dr. H. Agus Romadhon, S.P., M.Si)


NIP. 19631212.200112.1.001 NIP. 19760827.200501.1.002

iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Syafrianida Anwar

NIM : 150341100066

Jurusan : Kelautan dan Perikanan

Fakultas : Pertanian

Menyatakan bahwa Skripsi berjudul “Studi Kerentanan Wilayah dan


Ketahanan Masyarakat Pesisir Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang Terhadap
Bencana Tsunami” merupakan karya pribadi saya kecuali yang telah disebutkan
sumbernya, dan tidak pernah digunakan sebagian atau seluruh bagiannya untuk
mendapatkan gelar akademik apapun.

Semua informasi yang dimuat didalam skripsi ini yang berasal dari penulis
lain baik yang dipublikasikan maupun tidak telah diberikan penghargaan dengan
mengutip nama sumber penulis secara benar dan semua isi skripsi ini sepenuhnya
menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.

Bangkalan, 1 Juli 2019


Penulis,

SYAFRIANIDA ANWAR
NIM. 15.03.4.1.1.00066

iv
RIWAYAT HIDUP

Syafrianida Anwar, anak kedua dari tiga bersaudara pasangan


Syaiful Anwar dan Djumi Friati. Lahir di Bangkalan pada
tanggal 4 Januari Tahun 1997. Pada Tahun 2001 memasuki
bangku Taman Kanak-kanak di TK Dharma Wanita Bangkalan.
Memulai bangku sekolah dasar di SDN Pejagan 1 Bangkalan
pada Tahun 2003 dan lulus dengan baik pada Tahun 2009.
Kemudian dilanjutkan ke sekolah menengah pertama di SMPN 1 Bangkalan dan
lulus tepat waktu pada Tahun 2012. Sekolah menengah atas yang di tempuh adalah
di SMAN 1 Bangkalan dan lulus dengan baik pada Tahun 2015. Dan pendidikan
yang sedang di jalankan adalah di perguruan tinggi negeri Universitas Trunojoyo
Madura. Program studi yang diambil adalah Program Studi Ilmu Kelautan yang
berada dinaungan Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura. Diterima di
Universitas Trunojoyo Madura pada tahun 2015 dengan jalur tes tulis atau
SBMPTN. Mengikuti beberapa keorganisasian di dalam maupun di luar kampus
selama masa perkuliahan. Organisasi yang diikuti di dalam kampus yaitu;
HIMALA (Himpunan Mahasiswa Ilmu Kelautan), pernah menjabat menjadi
Kepala Departemen Kominfo (komunikasi dan informasi) pada tahun
kepengurusan 2016/2017 dan menjabat sebagai anggota DPO (Dewan
Pertimbangan Organisasi) selama dua periode kepengurusan pada tahun 2017/2018
dan tahun 2018/2019; UKM-F MARDIC (Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas
Madura Diving Club), pernah menjabat sebagai anggota Divisi Ristek (riset dan
teknologi) selama dua periode kepengurusan pada tahun 2015/2016 dan tahun
2016/2017, serta menjadi anggota DPO pada tahun kepengurusan 2017/2018.
Organisasi yang diikuti di luar kampus yaitu sebagai anggota JLPPMHP (Jejaring
Laboratorium Pengujian Penyakit dan Mutu Hasil Perikanan). Pernah berprestasi
meraih Juara I pada Lomba Inovasi Pangan Lokal Nasional dan menjadi salah satu
pemenang Grant APRI YOUTH INNOVATION yang diselenggarakan oleh APRI
(Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia).

v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang
dengan rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan
sebaik-baiknya. Skripsi ini berisi tentang hasil penelitian yang penulis lakukan di
Wilayah Pesisir Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang. Skripsi ini dibuat
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Derajat Sarjana Strata I Program Studi
Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura.

Ucapan terimakasih penulis tujukan untuk pihak-pihak yang telah bersedia


membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan
terimakasih ditujukan kepada:

1. Kedua orang tua dan segenap keluarga yang telah mendukung saya dalam
menempuh pendidikan hingga saat ini.
2. Dr. Zainul Hidayah, S.Pi., M.App.Sc sebagai Pembimbing
3. Frandi, Antok, Minkha, Angga, Yuyun, Dhoni, dan Grace yang telah
membantu saya dalam pengambilan data lapang di daerah Malang Selatan.
4. Alif, Yuyun, Rista, Minkha, Sinta, Annisa, Alfi, Frandi, Zen, Antok sebagai
teman satu pembimbing yang telah sama-sama saling membantu untuk
menyelesaikan skipsi masing-masing.
5. Rusita, ria, alfi, grace, adhit, zen (Katanya Sih Ngopi) yang telah membantu
dan menemani saya selama empat tahun perkuliahan ini.
6. Marine Science 2015 atas segala cerita dan pengalaman selama empat tahun
perkuliahan ini.
7. Dan seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah
membantu saya dalam menyelesaikan Skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini,


oleh karena itu penulis mengharapkan saran dari berbagai pihak untuk
menyempurnakan laporan ini. Penulis berharap Skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi semua orang.
Bangkalan, 1 Juli 2019
Penulis,

SYAFRIANIDA ANWAR
NIM. 15.03.4.1.1.00066
vi
ABSTRAK
SYAFRIANIDA ANWAR 15.03.4.1.1.00066. Study Vulnerability And Resilience
Of Coastal Areas Subdistrict Gedangan, Malang Of Tsunami Dr. Zainul Hidayah,
S.pi., M.App.Sc
The Indonesian archipelago is on track subduction tectonic plates, the existence of
this subduction process causes the Indonesian archipelago is prone to earthquakes
both low and high strength. Collisions or harsh shifting plates accompanied by an
earthquake in the ocean area would pose a potential tsunami. South Coastal
Malang is one of the areas prone to tsunamis. This study aims to determine the
vulnerability of the area and the resilience of coastal communities Gedangan
subdistrict, Malang against tsunami. The method used in the determination of the
class of vulnerabilities is by the method weighted overlay with the four elements,
namely the vulnerability of the land elevation, slope, distance from the beach and
the distance from the river. In the comprehensive results indicate very low
susceptibility 188.63 Ha, 7470.46 Ha low, medium 1026.63 Ha, 649.72 Ha high,
and very high 201.38 Ha, with a total area of 9536.84 Ha. The method used in the
determination of community resilience using CCR (Coastal Community Resilience).
CCR method is a method that is performed to determine communities' resilience in
the face of disaster by distributing questionnaires and scoring. CCR resistance
element is composed of government, social and economic life, coastal resource
management, structural design and land use, knowledge of the risks, warning and
evacuation, emergency response, and recovery after a disaster. RESULTS
resistance element that is below standard (3) is a government elements (2,62),
social and economic life (2.66), the design of the structure and land use (2.51) and
disaster recovery (2.35). Thus the need for recommendations to improve community
resilience element so that in accordance with the standards.
Keywords: Tsunami, Vulnerability, Resilience, Malang

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i


HALAMAN PENJELAS .................................................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH...........................................................iv
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................................vi
ABSTRAK ........................................................................................................................vii
DAFTAR ISI.................................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .............................................................................................................xi
I. PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 3
1.3 Batasan Masalah ..................................................................................................... 3
1.4 Tujuan ...................................................................................................................... 4
1.5 Manfaat .................................................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 5
2.1 Pengertian Bencana ................................................................................................ 5
2.2 Tsunami ................................................................................................................... 7
2.3 Bencana Tsunami di Wilayah Pesisir .................................................................. 10
2.4 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tsunami ................................................... 12
2.5 Faktor Kerentanan Bencana Tsunami ................................................................ 14
2.6 Mitigasi Bencana ................................................................................................... 17
2.7 Pengaplikasian SIG ............................................................................................... 18
2.8 Ketahanan Masyarakat ........................................................................................ 20
2.9 Coastal Community Resilience Guide ................................................................. 22
III. METODOLOGI ....................................................................................................... 27
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................................... 27
3.2 Alat dan Bahan...................................................................................................... 28
3.3 Alur Penelitian ...................................................................................................... 28
3.4 Pengolahan Data ................................................................................................... 29
3.4.1 Kerentanan ..................................................................................................... 29

viii
3.4.2 Ketahanan Masyarakat ................................................................................. 34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................................. 41
4.1 Gambaran Umum Wilayah .................................................................................. 41
4.2 Faktor Kerentanan Wilayah ................................................................................ 42
4.2.1 Ketinggian Daratan........................................................................................ 42
4.2.2 Wilayah Lereng .............................................................................................. 44
4.2.3 Jarak dari Garis Pantai ................................................................................. 46
4.2.4 Jarak dari Badan Sungai............................................................................... 47
4.2.5 Tingkat Kerentanan....................................................................................... 49
4.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kerentanan .......................................................... 52
4.4 Ketahanan Masyarakat ........................................................................................ 56
4.4.1 Gambaran Umum Responden ...................................................................... 56
4.4.2 Hasil Survey Masyarakat Pesisir .................................................................. 58
4.4.3 Analis dan Rekomendasi ............................................................................... 60
V. PENUTUP ................................................................................................................... 62
5.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 62
5.2 Saran ...................................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 63
LAMPIRAN..................................................................................................................... 67

ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pulau-pulau di Indonesia Terletak Di Zona Interaksi 3 Lempeng ..... 6
Gambar 2.2 Proses Refraksi .................................................................................. 8
Gambar 2.3 Defraksi Gelombang Tsunami ........................................................... 9
Gambar 2.4 Refleksi Gelombang Tsunami ........................................................... 9
Gambar 2.5 Rekam Jejak Tsunami Di Indonesia ................................................ 10
Gambar 2.6 Perbedaan Antara Tsunami Dan Gelombang Ombak Biasa ............ 11
Gambar 2.7 Gerak Konvergen, Divergen Dan Transform .................................. 12
Gambar 2.8 Proses Terjadinya Tsunami Oleh Gempa Tektonik ......................... 13
Gambar 2.9 Proses Terjadinya Tsunami Akibat Longsoran Sedimen ................. 14
Gambar 2.10 Subsistem Sistem Informasi Geografis.......................................... 19
Gambar 2.11 Tingkat Ketahanan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana ...... 23
Gambar 2.12 Ketahanan Sebagai Kesatuan Kerja Yang Integral ........................ 24
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian ..................................................................... 27
Gambar 3.2 Bagan Alur Analisa ......................................................................... 29
Gambar 3.3 Teknik Analisa Weighted Overlay .................................................. 34
Gambar 3.4 Delapan Elemen Ketahanan............................................................. 37
Gambar 3.5 Sistem Rating Dan Skala Pada CCR ............................................... 39
Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian ..................................................................... 41
Gambar 4.2 Peta Kerentanan Berdasarkan Ketinggian Daratan .......................... 43
Gambar 4.3 Peta Kerentanan Berdasarkan Kelerengan Daratan ......................... 45
Gambar 4.4 Peta Kerentanan Berdasarkan Jarak Dari Garis Pantai .................... 46
Gambar 4.5 Peta Kerentanan Berdasarkan Jarak Dari Badan Sungai ................. 48
Gambar 4.6 Peta Kerentanan Terhadap Tsunami ................................................ 50
Gambar 4.7 Peta Kerentanan Infrastruktur Terhadap Tsunami ........................... 52
Gambar 4.8 Pesisir Desa Tumpakrejo ................................................................. 54
Gambar 4.9 Pesisir Desa Sindurejo ..................................................................... 54
Gambar 4.10 Pesisir Desa Gajahrejo ................................................................... 55
Gambar 4.11 Jumlah Responden Berdasarkan Umur .......................................... 56
Gambar 4.12 Jumlah Responden Berdasarkan Gender ....................................... 57
Gambar 4.13 Jumlah Responden Berdasarkan Status ......................................... 57
Gambar 4.14 Jumlah Responden Berdasarkan Pekerjaan ................................... 57
Gambar 4.15 Diagram Ketahanan Untuk Masyarakat Pesisir Kecamatan
Gedangan .............................................................................................................. 59

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penelitian sebelumnya tentang kerentanan wilayah dan ketahanan


masyarakat terhadap tsunami ............................................................................ 25
Tabel 3.1 Alat dan Bahan ................................................................................. 28
Tabel 3.2 Skor dan bobot tiap parameter ......................................................... 31
Tabel 3.3 Kelas kerentanan tsunami................................................................. 33
Tabel 3.4 Nilai kuesioner ................................................................................. 38
Tabel 4.1 Presentase dan Luas Wilayah Penelitian .......................................... 42
Tabel 4.2 Luas kelas kerentanan berdasarkan ketinggian daratan.................... 44
Tabel 4.3 Luas kelas kerentanan berdasarkan wilayah lereng.......................... 45
Tabel 4.4 Luas kelas kerentanan berdasarkan jarak dari garis pantai .............. 47
Tabel 4.5 Luas kelas kerentanan berdasarkan jarak dari sungai....................... 49
Tabel 4.6 Luas kelas kerentanan ...................................................................... 50
Tabel 4.7 Penilaian Parameter Kerentanan ...................................................... 53
Tabel 4.8 Jumlah sampel untuk tiap strata ....................................................... 56
Tabel 4.9 Nilai indeks ketahanan untuk tiap elemen ketahanan....................... 58
Tabel 4.10 Indikator elemen ketahanan............................................................ 59
Tabel 4.11 Rekomendasi Mitigasi .................................................................... 60

xi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah negara Indonesia berada antara 6ᵒ LU ̶ 11ᵒ LS dan 95ᵒ ̶ 141ᵒ BT.
Posisi wilayah negara Indonesia yang terletak di khatulistiwa menyebabkan
wilayah Indonesia ini beriklim tropis. Namun disamping itu, ada beberapa kondisi
dari letak wilayah Indonesia yang menjadikan wilayah Indonesia ini rawan bencana
(Munir, 2014). Geologis pulau-pulau di Indonesia ada pada jalur penumjaman
lempeng bumi, diantaranya penunjaman Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng
Benua Eurasia yang berada di sepanjang pantai bagian barat Pulau Sumatera hingga
pantai bagian selatan Pulau Jawa hingga ke timur sampai Kepulauan Nusa
Tenggara. Dengan terdapatnya proses penunjaman lempeng bumi ini menyebabkan
Kepulauan Indonesia terdapat banyak gunung api, terutama di wilayah Sumatera,
Jawa sampai Nusa Tenggara (Nur, 2010). Posisi ini yang menjadikan wilayah
negara Indonesia sangat rawan akan bencana alam yaitu bencana gempa bumi,
dalam skala rendah maupun tinggi. Penunjaman lempeng yang keras dan diikuti
dengan gempa yang bersumber dari perairan laut akan menimbulkan potensi
bencana tsunami.
Tsunami adalah salah satu bencana yang selalu mengancam masyarakat
yang bertempat tinggal di wilayah pesisir. Meskipun jarang terjadi, akan tetapi daya
hancurnya yang besar menjadikan bencana alam ini patut untuk diperhitungkan.
Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005), daerah di negara
Indonesia yang rawan akan bencana tsunami meliputi 21 daerah, yaitu: Nangroe
Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung-Banten,
Jawa Tengah bagian selatan, Jawa Timur bagian selatan, Bali, NTB, NTT, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak-
Yapen, Balikpapan, Sekurau, Palu, Talaud, dan Kendari (Putranto, 2006).
Bencana tsunami bukan menjadi hal yang baru bagi masyarakat Indonesia.
Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2018) telah terjadi 177
kejadian bencana tsunami di Indonesia terhitung dari tahun 1629 hingga tahun 2018
dan 8 diantaranya merupakan bencana tsunami besar yang menimbulkan banyak
kerusakan dan banyak korban jiwa. Delapan kejadian tersebut diantaranya; 1)

1
Tsunami SULTENG, terjadi tahun 1968, disebabkan oleh gempa dengan magnitudo
7,3 SR, dan menyebabkan 200 orang tewas dan rumah-rumah hancur; 2) Tsunami
Sumba, terjadi tahun 1977, disebabkan oleh gempa bermagnitudo 7 SR dan
gelombang air dengan tinggi 8 meter, mengakibatkan banyak kerusakan dan
korban jiwa; 3) Tsunami Flores, yang terjadi pada tahun 1992, disebabkan oleh
gempa dengan magnitudo 7,5 SR diikuti gelombang air pasang yang menjalar
hingga 300 m ke tengah dan timur Pulau Flores, NTT, menyebabkan 1.300 orang
meninggal, 500 orang tidak ditemukan dan banyak bangunan runtuh; 4) Tsunami
Banyuangi yang terjadi pada tahun 1994, disebabkan oleh gempa bermagnitudo 5,9
SR dan gelombang setinggi 7 meter dengan sumber gempa terletak antara 225 km
di selatan Malang atau di Samudera Hindia, menyebabkan 61 jiwa tewas, 213
rumah runtuh, dan 187 perahu nelayan rusak parah; 5) Tsunami Kepulauan Banggai
yang terjadi tahun 2000, dipicu oleh gempa tektonik dengan magnitudo 6,5 SR dan
gelombang setinggi 3 meter, menyebabkan 46 jiwa tewas dan meruntuhkan rumah-
rumah penduduk; 6) Tsunami Aceh, terjadi tahun 2004, disebabkan gempa dengan
magnitudo 9,3 SR dan tinggi gelombang 35 meter, tsunami Aceh merupakan
tsunami yang terbesar yang pernah menerjang wilayah Indonesia sehingga jadi
salah satu bencana internasional, tidak sekedar menghancurkan Aceh, namun juga
menghancurkan pesisir Sumatera bagian barat hingga menuju wilayah Sri Lanka
dan Semenanjung India, tsunami Aceh telah menyebabkan banyaknya korban jiwa
yaitu lebih dari 160.000 jiwa; 7) Tsunami Pangandaran yang terjadi padatahun
2006, disebabkan oleh gempa bermagnitudo 8 SR, menyebabkan 125 perahu
nelayan rusak, dan menghancurkan TPI (tempat pelelangan ikan) di Karangduwur;
8) Tsunami di Palu dan Donggala yang masih segar diingatan, terjadi di penghujung
tahun 2018, disebabkan oleh gempa dengan magnitudo 7,4 SR, dan menyebabkan
384 korban jiwa, 540 orang luka-luka serta kerusakan-kerusakan di daerah tersebut.
Berdasarkan penjabaran diatas, salah satu wilayah yang berpotensi terjadi
bencana tsunami adalah pesisir selatan Jawa, satu diantaranya yaitu pesisir selatan
Malang. Kabupaten Malang adalah salah satu kabupaten yang terletak di selatan
Pulau Jawa. Daerah bagian selatan Kabupaten Malang umumnya dikenal dengan
sebutan “Pantai Selatan Malang” merupakan gugusan pantai yang memiliki
pemandangan yang sangat indah, tidak heran jika hampir seluruh pantai yang ada

2
di Kabupaten Malang telah dikelola pemerintah daerah sebagai obyek wisata.
Kecamatan Gedangan adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Malang yang
memiliki wilayah pesisir. Kecamatan Gedangan memiliki kurang lebih 7 pantai
yang kini telah dikelola pemerintah dan masyarakat sekitar untuk menjadi obyek
wisata. Jumlah kepadatan penduduknya mencapai 493 jiwa/km2 (Kecamtan
Gedangan dalam Angka, 2018).
Kondisi kawasan pesisir Kecamatan Gedangan yang menghadap langsung
ke Samudera Hindia mempunyai potensi rawan akan bencana tsunami, perlu adanya
studi mengenai tingkat kerentanan dan ketahanan masyarakat pesisir Kecamatan
Gedangan terhadap bencana tsunami. Studi tersebut dilakukan dalam bentuk upaya
mitigasi guna meminimalisir dampak dari bencana. Perumusan upaya mitigasi
diharapkan dapat menjadi pendoman dalam mengantisipasi bila terjadi bencana
tsunami di wilayah pesisir Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang.

1.2 Rumusan Masalah


Kawasan pesisir adalah kawasan yang tingkat pemanfaatannya tinggi,
namun disamping itu, wilayah pesisir adalah wilayah rentan bencana. Salah satu
bencana besar yang mengancam wilayah pesisir adalah bencana tsunami. Tsunami
bisa datang tiba-tiba, oleh sebab itu perlu adanya upaya mitigasi bencana tsunami
agar meminimalisir dampak yang ditimbulkan, serta sebagai bentuk kesiapan
masyarakat pesisir dalam menghadapi tsunami. Sehingga dirumuskan sebagai
berikut:
1. Faktor apa saja yang berpengaruh teradap kerentanan bencana tsunami di
wilayah pesisir Kecamatan Gedangan Kabupaten Malang?
2. Bagaimana gambaran tingkat kerentanan pesisir Kecamatan Gedangan
dengan pengaplikasian SIG?
3. Bagaimana gambaran tingkat ketahanan masyarakat pesisir Kecamatan
Gedangan dalam menghadapi bencana tsunami?

1.3 Batasan Masalah


Studi ini menggunakan pendekatan spasial yang menitikberatkan pada
faktor yang mempengaruhi kerentanan pesisir Kecamatan Gedangan dan
menganalisis tingkat ketahanan masyarakat pesisir Kecamatan Gedangan dalam
menghadapi bencana tsunami dengan pengaplikasian metode pemetaan dan

3
kuesioner. Metode pemetaan kerentanan bencana tsunami mengacu pada metode
Hadi dan Damayanti (2017) dan metode kuesioner mengacu pada metode CCR
(Coastal Community Resilience) yang dikemukakan oleh NOAA (National
Oceanic & Atmospheric Administration) dan disponsori oleh USAID (United States
Agency for International Development).

1.4 Tujuan
Adapun tujuan dari skripsi ini adalah :
1. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan
bencana tsunami di wilayah pesisir Kecamatan Gedangan, Kabupaten
Malang;
2. Melakukan pemetaan untuk menggambarkan tingkat kerentanan
bencana tsunami di wilayah pesisir Kecamatan Gedangan, Kabupaten
Malang;
3. Menganalisis tingkat ketahanan masyarakat pesisir Kecamatan
Gedangan dalam menghadapi bencana tsunami.

1.5 Manfaat
Adapun manfaat dari skripsi ini adalah :
1. Memeberikan informasi kepada masyarakat pesisir Kecamatan
Gedangan tentang upaya penanganan dini bencana tsunami;
2. Memberikan informasi tentang pemetaan kawasan pesisir Kecamatan
Gedangan yang rentan terhadap bencana tsunami.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Bencana
Bencana merupakan peristiwa alam atau non alam yang senantiasa
mengancam kehidupan masyarakat, disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam,
ataupun faktor manusia. Bencana dapat menyebabkan jatuhnya korban jiwa,
lingkungan yang rusak, kerugian harta dan benda, serta menyebabkan dampak
psikologis yang buruk bagi masyarakat (Undang-Undang No. 24 Tahun 2007).
Bencana dapat dibagi jadi beberapa macam, menurut UU RI No. 24 Tahun
2007, yaitu:
- Bencana alam yaitu bencana yang disebabkan oleh aktivitas alam
diantaranya yaitu kekeringan, angin topan, tanah longsor, gempa bumi,
tsunami, dan gunung meletus;
- Bencana non alam yaitu bencana yang disebabkan oleh peristiwa non alam
diantaranya yaitu epidemi, wabah penyakit, kegagalan teknologi, dan gagal
modernisasi;
- Bencana sosial yaitu bencana yang disebabkan oleh peristiwa konflik sosial
antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Bencana dipicu oleh faktor-faktor diantaranya kondisi geografis, geologi,
iklim ataupun faktor lain misalnya keragaman sosial, budaya dan politik. Bencana
bisa saja disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) ataupun oleh aktivitas
manusia (man-made disaster). Beberapa faktor yang dapat menimbulkan bencana
menurut Rustan dan Firdaus (2011) diantaranya:
- Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya yang disebabkan oleh aktivitas
manusia (man-made disaster), menurut United Nations International
Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi
bahaya geologi (geologycal hazards), bahaya hidrometeorologi
(hydrometeorologycal hazards), bahaya biologi (biologycal hazards),
bahaya teknologi (technologycal hazards), dan penurunan kualitas
lingkungan (enviromental degradation);
- Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur, dan
elemen di dalam kota/kawasan yang berisiko terjadi bencana;
- Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat.

5
Secara geologis, pulau-pulau di negara Indonesia terletak pada jalur
penunjaman lempeng bumi, yaitu penunjaman Lempeng Bumi Samudra Indo-
Australia dengan Lempeng Bumi Benua Eurasia yang memanjang dari pantai
bagian barat Pulau Sumatera sampai pantai bagian selatan Jawa terus hingga ke
Nusa Tenggara (Gambar 2.1). Terdapatnya proses penunjaman lempeng bumi ini
menjadikan pulau-pulau di Indonesia memiliki banyak gunung api utamanya di
daerah Pulau Sumatera, Jawa hingga Nusa Tenggara (Nur, 2010) . Kondisi ini lah
yang menyebabkan wilayah di Indonesia rawan akan bencana gempa bumi dan
tsunami.

Sumber: BNPB (2017)


Gambar 2.1 Pulau-pulau di Indonesia Terletak Di Zona Interaksi 3 Lempeng
Kerentanan merupakan suatu kondisi masyarakat yang ditentukan oleh
faktor ekonomi, lingkungan, fisik, dan sosial, yang dapat meningkatkan ketidak
mampuan untuk menghadapi sebuah bencana. Pada beberapa tempat, tsunami
menjadi ancaman yang bisa mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerugian besar,
sedangkan pada tempat lainnya dengan skala dan kekuatan yang sama, tsunami
mungkin tidak menyebakan banyak korban jiwa dan kerugian yang besar. Hal ini
dikarenakan pada lokasi ini tsunami menerjang bangunan atau infrastruktur yang
telah ramah akan bencana, atau bisa juga karena kondisi masyarakat di daerah
tersebut telah memiliki pengetahuan akan bencana yang lebih baik (ISDR, 2004).

6
Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil cenderung rentan terhadap bencana
alam dan memiliki ekosistem yang rapuh (Kely et.al, 2004). Adapun faktor
penyebab kerentanan bencana, yaitu:
1. Exposure atau berhadapan langsung dengan samudera luas sebagai area
terbuka (open acces);
2. Ukuran yang kecil (smalless) yaitu memiliki konsekuensi eratnya hubungan
antar ekosistem sehingga rentan secara ekologis;
3. Pertemuan empat lempeng tektonik besar (mega plate);
4. Terdiri dari sekitar 500 gunung api, yang mana 128 gunung api masih aktif.
Kajian kerentanan kawasan pesisir adalah bagian dari strategi pengelolaan
wilayah pesisir yang terintegrasi. Hal ini menandakan bahwa kajian kerentanan
yang terintegrasi antara aspek sosial-ekonomi dan biologi-fisik hendaknya
memberikan kontribusi bagi pengelolaan dan perencanaan wilayah pesisir yang
berkelanjutan. Manajemen kawasan pesisir dapat membantu meningkatkan
ketahanan dan mengurangi dampak perubahan iklim terhadap penduduk dan
infrastrukturnya (Suprapto, 2016).

2.2 Tsunami
Kata tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu ”tsu” pelabuhan/laut dan
”nami” yang artinya gelombang. Menurut Nahak (2014) definisi tsunami adalah
gelombang air laut yang dipicu oleh gangguan misalnya patahan lempeng bumi,
meletusnya gunung api yang berada dibawah lautan, letusan (exploison) yang
terjadi dekat dengan permukaan laut, gempa bumi, tanah longsor, dan jatuhnya
benda langit (meteor).
Pergerakan secara vertikal pada kerak bumi menyebabkan dasar laut
bergerak turun atau naik secara tiba-tiba. Menyebabkan gangguan keseimbangan
air laut yang ada di atasnya. Hal tersebut menyebakan munculnya aliran energi air
laut, dimana ketika energi tersebut sampai di daerah pantai akan menjadi
gelombang pasang besar yang menyebabkan terbentuknya tsunami (Subardjo dan
Ario, 2015).
Nur (2010) juga mengartikan bahwa tsunami merupakan gelombang air laut
yang masuk ke dalam pelabuhan. Jika di laut lepas misalnya muncul gelombang air
laut setinggi 8 meter akan tetapi ketika memasuki wilayah pelabuhan yang

7
daerahnya menyempit tinggi gelombang air laut naik menjadi 30 meter, sehingga
menyebabkan terjadinya tsunami. Tsunami umumnya terjadi ketika gempa terletak
di dasar laut dengan gerakan vertikal yang besar. Tsunami bisa juga terjadi apabila
letusan gunung berapi di lautan atau terjadi longsoran di lautan.
Tsunami adalah gelombang panjang yang tidak dispersif, mengalami
refraksi, defraksi dan shoaling (Nahak, 2014).
a. Tidak Dispersif
Energi gelombang terbawa oleh gelombang dengan kecepatan sama
dengan gelombangnya sehingga energi gelombang hampir tidak berkurang
selama perjalanannya.
b. Refraksi
Refraksi terjadi karena gelombang berbelok sebab gelombang
berjalan pada kedalaman yang tidak rata, yang akhirnya terjadi perubahan
tinggi gelombang dan menyebabkan energi gelombang dapat menyebar atau
berkumpul. Proses refraksi tersebut dapat dilihat pada (Gambar 2.2).

Sumber: Nahak (2014)


Gambar 2.2 Proses Refraksi
c. Defraksi
Gelombang menyebar (defraksi) ke daerah yang lebih luas karena
tertahan, hal ini menyebabkan daerah yang terlindung masih mungkin
terkena serangan. Proses defraksi gelombang tsunami tersebut dapat dilihat
pada (Gambar 2.3).

8
Sumber: diacu Nahak (2014)
Gambar 2.3 Defraksi Gelombang Tsunami
d. Shoaling
Jika energi gelombang tidak berkurang terhadap gesekan dengan
dasar laut, maka pada kedalaman kecil kecepatan (C) juga kecil sehingga
panjang gelombang (L) pun mengecil. Pada kedalaman kecil, gelombang
lebih pendek, sehingga jika energi konstan gelombang harus lebih tinggi.
e. Refleksi
Gelombang tsunami dapat memantulkan (refleksi) energinya jika
membentur sesuatu bidang yang keras sehingga dapat mengenai bidang di
depannya. Proses refleksi gelombang tsunami dapat dilihat pada (Gambar
2.4).

Sumber: diacu Nahak (2014)


Gambar 2.4 Refleksi Gelombang Tsunami
f. Run Up
Gelombang tsunami sering kali mengalami run up, oleh karena itu
daerah dataran tinggi masih mungkin terkena dampak tsunami. Untuk
menghitung run up dari gelombang tsunami dapat dilakukan dengan melihat
grafik hubungan antara Ru/H atau Rd/H terhadap angka irrabaren.

9
2.3 Bencana Tsunami di Wilayah Pesisir
Pesisir merupakan wilayah peralihan antara lautan dan daratan. Menurut
Idris (2005), jika dilihat dari garis pantainya (coastline), maka daerah pesisir
mempunyai dua batas (boundaries), yaitu: batas sejajar dengan garis pantai
(longshore) dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore). Daerah
pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan antara ekosistem laut dan
darat. Selain kaya akan sumberdaya alam, pesisir juga rentan sekali akan perubahan
akibat aktivitas manusia dan bencana alam (Dahuri et.al, 1996).

Sumber: https://www.m.detik.com
Gambar 2.5 Rekam Jejak Tsunami Di Indonesia
Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang mengancam atau
mengganggu kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor non alam maupun
faktor alam yang dapat menyebabkan kerusakan hingga korban jiwa (Baeda et.al,
2015). Adapun pemicu bencana di daerah pesisir salah satu diantaranya yaitu
tsunami. Tsunami adalah istilah yang asalnya dari bahasa Jepang yaitu “tsu” yang
berarti gelombang, dan “nami” yang berarti pelabuhan, oleh karena itu dapat ditarik
kesimpulan bahwa tsunami merupakan gelombang pasang yang menerjang
pelabuhan. Tsunami merupakan pindahnya kolom perairan yang dipicu oleh
berubahnya permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Permukaan laut yang
berubah tersebut dapat dipicu oleh gempa yang pusatnya berada di dasar laut,
letusan gunung api dasar laut, ataupun hantaman meteor ke laut. Berdasarkan data

10
dari BNPB telah terjadi 177 kejadian tsunami di negara Indonesia sejak tahun 1629
hingga tahun 2018 (Gambar 2.5). Penyebab tsunami di wilayah Indonesia
umumnya oleh gempa tektonik di dasar laut.
Gelombang tsunami berbeda dengan gelombang air laut pada biasanya yang
memiliki sifat periodik yang dihasilkan dari gelombang pasang surut atau gaya
gesek angin. Gelombang yang bangkit akibat pergerakan angin menggerakkan air
laut hanya dibagian permukaan. Lain halnya dengan gelombang tsunami yang
menggerakkan seluruh kolom perairan (Diposaptono dan Budiman, 2005).
Perbedaan gelombang tsunami dan gelombang air laut tersebut dapat dilihat pada
(Gambar 2.6) dibawah ini.

Sumber: https://www.bankjim.com
Gambar 2.6 Perbedaan Antara Tsunami Dan Gelombang Ombak Biasa
Palung yang memanjang dari barat Pulau Sumatera hingga selatan Pulau
Jawa adalah daerah yang sangat rawan terhadap gempa dikarenakan wilayah
tersebut berpotensi terjadinya proses geseran lempeng benua. Gempa ini sangat
mungkin berpotensi memicu terjadinya tsunami yang dapat menerjang wilayah
pantai bagian barat dan pantai bagian selatan Pulau Jawa dikarenakan dekat dengan
titik sumber terjadinya gempa di dasar laut (Hartoko dan Helmi, 2005).
Daratan pantai yang landai adalah tempat yang berpotensi terkena bencana
tsunami. Tempat berlabuhnya nelayan juga merupakan pantai yang cenderung
landai dan cenderung menyempit sehingga memungkinkan tempat tinggal warga
pesisir rawan akan bencana tsunami. Tempat-tempat seperti itu memiliki topografi
garis pantai yang yang cenderung menyempit sehingga mengakibatkan terjadinya
akumulasi energi gelombang tsunami. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian
tentang daerah yang rawan akan bencana tsunami.

11
2.4 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tsunami
Di Indonesia telah terjadi 177 kejadian bencana tsunami besar dan kecil
sejak tahun 1629 hingga tahun 2018. Sumber pembangkit terjadinya tsunami yang
yaitu 90% diakibatkan oleh aktivitas gempa tektonik, 9% diakibatkan aktivitas
vulkanik dan 1% diakibatkan oleh longsoran tanah di danau dan laut ataupun
longsor yang berasal dari daratan dan masuk ke perairan (Baeda, 2015). Dilihat dari
sumber terjadinya, gempa tektonik berpotensi menimbulkan tsunami. Hal yang
sangat memiliki potensi menyebabkan tsunami yaitu:
a. Gempa bumi yang terjadi di laut;
b. Pusat gempa berada di kedalaman < 60 km;
c. Gempa berkekuatan > 6,0 Skala Richer;
d. Pensesaran tergolong sesar naik atau sesar turun;
e. Tsunami yang terjadi di Samudera Hindia.

Sumber: http://tyarimasspict.blogspot.com
Gambar 2.7 Gerak Konvergen, Divergen Dan Transform
Gempa tektonik ialah gerakan-gerakan retakan yang menghasilkan gerak
vertikal massa batuan. Ketika kejadian tersebut terjadi maka akan menghasilkan
perubahan permukaan laut berupa puncak dan lembah gelombang laut. Terjadinya
gempa bumi tektonik mula-mula dua lempeng bumi yang berbatasan bergerak
relatif. Gesekan kedua lempeng tersebut bersifat elastis dan menimbulkan energi
yang dinamakan dengan energi elastik. Energi elastik tersebut menyebabkan
terbentuknya pegunungan, lembah, gunung api dan tsunami yang ada di bidang
batas lempeng bumi tersebut. Batas lempeng adalah wilayah yang tektoniknya

12
sangat aktif. Batas-batas lempeng itu terdiri dari konvergen, divergen dan
singgungan yang dapat dilihat pada (Gambar 2.7) (Diposaptono dan Budiman,
2005).
Zona konvergen memiliki ciri-ciri gerak kedua lempeng yang mendekat.
Gerakan menukik lempeng samudera ke bawah lempeng benua. Lempeng-lempeng
tersebut mempunyai ketebalan antara 60-90 km dan bergerak dengan kecepatan
yang beragam antara 7-20 cm per tahun. Ada duajenis zona konvergen yaitu jenis
tumbukan jika gerak lempeng saling mendekati dan jenis subduksi jika kedua
lempeng bertumbukan. Energi elastik yang berasal dari aktivitas tektonik ini, jika
dikondisi tertentu energi yang terkumpul yang ditahan oleh batuan sudah tak bisa
ditahan lagi sehingga dilepas berbentuk gelombang elastik yang menjalar ke segala
arah dan biasa dinamakan gempa. Gempa terjadi di zona sesar, zona bukaan dan
zona subduksi. Gempa akan mengahasikan tsunami ketika terjadi di dasar laut,
gempa dengan kedalaman <60 km, kekuatan gempa >6,0 SR dan geseran gempa
bumi tergolong sesar naik atau sesar turun. Proses terjadinya tsunami yang
diakibatkan gempa bumi tektonik dapat dilihat pada (Gambar 2.8).

Sumber: BNPB (2017)


Gambar 2.8 Proses Terjadinya Tsunami Yang Disebabkan Oleh Gempa Tektonik
Tanah longsor juga merupakan penyebab umum terjadinya tsunami.
Longsoran yang terjadi baik dari dalam kolom perairan ataupun dari daratan yang
masuk ke dalam kolom perairan juga dapat membentuk terjadinya tsunami.
Longsoran tanah yang terjadi dapat diakibatkan oleh gempa atau aktivitas gunung
berapi. Masuknya partikel-partikel vulkanik yang masuk ke dalam perairan secara

13
tiba-tiba dan dengan jumlah yang besar akan mengakibatkan terganggunya
kestabilan di dalam perairan sehingga dapat memicu terbentuknya gelombang besar
yang menuju ke daratan dan menyebabkan terjadinya bencana tsunami
(Diposaptono dan Budiman, 2005). Proses terjadinya tsunami akibat longsoran
tersebut dapat dilihat pada (Gambar 2.9).

Sumber: www.bbc.com
Gambar 2.9 Proses Terjadinya Tsunami Akibat Longsoran Sedimen
2.5 Faktor Kerentanan Bencana Tsunami
Kerentanan muncul sebagai konsep untuk memahami resiko bencana dan
untuk mengembangkan strategi risiko bencana. Kerentanan merupakan tingkat
suatu sistem yang mudah terkena bencana dan tidak dapat menanggulanginya.
Menurut Triutomo et.al (2007) kerentanan adalah kondisi masyarakat yang
memiliki ketidakmampuan dalam menghadapi bencana. Tingkat kerentanan
ditinjau dari aspek fisik, aspek sosial dan aspek ekonomi.
Salah satu sumber bencana yang dapat menagancam wilayah pesisir yaitu
bencana tsunami. Tsunami dibentuk oleh beberapa faktor penyebab di atas
kemudian menjalar ke segala arah dari titik sumber penyebabnya. Gelombang
tsunami dapat menjalar ribuan kilometer dari titik pusat gempa apabila

14
kecepatannya tinggi. Kecepatan yang tinggi diakibatkan oleh besarnya energi
gelombang sehingga dapat menerjang ke segala arah yang dilalui saat melewati
pesisir. Tingkat kerentanan tsunami dipengaruhi beberapa faktor dibawah ini:
a. Jarak dari sumber penyebaab tsunami
Daerah yang jaraknya jauh dari sumber tsunami akan menyebabkan
daerah itu memiliki tingkat kerentanan yang semakin kecil dan tsunami
yang menjalar ke daerah tersebut akan semakin lama. Daerah ini
mempunyai waktu agar dapat melakukan evakuasi dan kerugiannya dapat
diminimalisir.
b. Morfologi dasar laut daerah pantai
Kecepatan tsunami akan menurun secara drastis ketika gelombang
mulai mendekati pantai, hal tersebut menunjukkan bahwa morfologi dasar
laut daerah pantai dapat memberi pengaruh perilaku gelombang tsunami
yang melewatinya dan perbukitan yang berada di lepas pantai dapat
memfokuskan energi tsunami (Mukaryanti, 2005). Pengaruh dari
menurunnya pantai secara tajam akan mampu memperkecil energi
gelombang tsunami yang menghepas menuju ke arah pantai.
c. Elevasi lereng bawah laut
Lander (2003) memaparkan masalah ancaman sesar Mentawai yang
mengarah ke perairan di selatan Jawa Barat. Diketahui bahwa di Samudera
Hindia bagian selatan Pulau Jawa terdapat Palung Jawa yang sangat curam
dengan ketnggian lereng 2500 kilometer. Bila terjadi gempa di patahan
Mentawai yang masih tergolong aktif, hal tersebut dapat mengganggu
kestabilan lereng dan mengakibatkan longsoran sedimen yang masuk ke
kolom perairan sehingga menimbulkan bencana tsunami.
d. Bentuk garis pantai
Perbukitan lepas pantai, teluk, inlet, sungai, pulau-pulau dan kanal-
kanal pengendalian banjir dapat memberi pengaruh yang bisa
menyebabkan gelombang mengalami refleksi yang memfokuskan energi
gelombang tsunami terkumpul pada cekungan dan meningkatkan tinggi
gelombang tsunami yang mendekati pantai.

15
Husrin et.al (2015) memaparkan jika tsunami yang menjalar ke
daerah pantai yang menyempit dan dangkal, tingginya akan berubah sesuai
dengan berubahnya lebar dan/atau perubahan kedalaman. Tsunami
mempunyai ketinggian yang kecil dibandingkan panjang gelombang
selama penjalaran dari sumbernya dan dapat mengalami peningkatan
ketinggian saat melewati pantai yang sempit dan dangkal. Umumnya
daerah pesisir Indonesia memiliki teluk yang berasosiasi dengan tanjung
serta muara sungai yang sangat banyak dan berderet satu sama lain hingga
terlihat seperti gigi gergaji. Kondisi tersebut menjadikan daerah pesisir
memiliki tingkat kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan daerah
lainnya.
e. Sungai dan kanal pengendalian banjir
Sungai dan kanal pengendali banjir dapat memberi banyak pengaruh
terhadap rambatan gelombang tsunami. Tsunami yang merambat melalui
kanal akan menyebabkan kerusakan yang lebih berat karena akan semakin
mendorong tsunami untuk menerjang lebih jauh ke arah daratan (Baeda,
2015). Muara sungai yang dekat dengan muara sungai lainnya dapat
menyebabkan rambatan tsunami akan semakin cepat (Ikawati, 2005).
f. Topografi daratan pesisir
Landai dan terjalnya morfologi pantai memberi pengaruh terhadap
jangkauan tsunami yang menghempasnya. Jika pantai memiliki daratan
yang landai maka tsunami dapat menjangkau hingga beberapa kilometer
yang masuk ke arah daratan, sedangkan untuk pantai yang daratannya
terjal, tsunami tidak terlalu jauh masuk ke arah daratan sebab sebagian
tsunami akan tertahan dan dipantulka kembali ke arah laut. Selain itu
tsunami yang menerjang ke daerah pantai yang sempit dan dangkal maka
akan mengalami proses yang lengkap. Proses ini meliputi shoaling,
refraksi, difraksi dan refleksi (Diposaptono dan Budiman, 2005).
g. Elevasi daratan pesisir
Jika makin tinggi letak suatu daerah maka akan semakin terhindar
dari dampak gelombang tsunami. Gelombang tsunami dengan tinggi 20 m
yang pernah memporak-porandakan Aceh, berdasarkan kriteria ketinggian

16
Aceh dibagi dalam 3 zona yaitu zona sangat bahaya yaitu ketinggian 7 m,
zona berbahaya yaitu ketinggian 7-10 m, zona cukup aman yaitu ketinggian
12-25 m dan zona aman yaitu ketinggian di atas 25 m (Kurniawati, 2016).
h. Ekosistem pesisir
Pada daerah pesisir, mangrove memiliki sistem perakaran yang
mampu meredam ombak, arus dan menahan sedimen. Hasil penelitian
Prasetya (2001) menyatakan bahwa efektivitas mangrove sebagai peredam
tsunami sangat berguna. Mangrove dengan ketebalan 200 m, kerapatan 30
pohon/100 m2 serta diameter 15 m ternyata mampu meredam 50%
gelombang tsunami (Diposaptono dan Budiman, 2005).
i. Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk merupakan hal mutlak dalam penilaian
kerentananbencana. Hal ini disebabkan oleh semakin padatnya daerah yang
rentan terhadap bencana, maka akan semakin rentan pula penduduk yang
ada di daerah tersebut dan tentunya akan berdampak pula terhadap
kerentananwilayah tersebut (Miladan, 2009).

2.6 Mitigasi Bencana


Mitigasi merupakan rangkaian upaya mengurangi risiko bencana, melalui
pembangunan ataupun penyadaran serta peningkatan kemampuan dalam
menghadapi bencana (UU No. 24 Tahun 2007). Rangkaian uapaya mitigasi bencana
umumnya merupakan siklus yang saling terkait dari kegiatan utama yang meliputi
analisis bahaya (hazard), mitigasi bencana, rehabilitasi dan rekonstruksi
(Diposaptono dan Budiman, 2005).
Upaya mitigasi merupakan tindakan untuk mengenalkan tentang risiko
bencana kepada masyarakat. Pengenalan yang dilakukan berupa berbagai
ancaman/kerawanan yang ada di daerahnya, bagaimana upaya untuk mengurangi
ancaman kerentanan yang dimiliki serta meningkatkan kemampuan masyarakat
dalam menghadapi kerentanan yang ada. Mitigasi juga merupakan tindakan
prefentif/pencegahan maupun kesiapsiagaan ketika terjadi bencana. Dalam hal ini
mitigasi yang dilakukan bersifat struktural ataupun non struktural. Upaya mitigasi
struktural sekiranya akan diarahkan melalui metode perlindungan buatan dan
metode perlindungan alami. Sedangkan upaya mitigasi non struktural melalui

17
penyediaan peta daerah rawan dan rentan bencana, relokasi daerah rawan bencana,
tata ruang/tata guna lahan, informasi publik/penyuluhan dan penegakan hukum
(Diposaptono dan Budiman, 2005).

2.7 Pengaplikasian SIG


Sistem Informasi Geografis adalah sistem informasi dengan basis komputer
yang diperuntukkan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis
(Arif, 2016). Sedangkan menurut Baja (2012) SIG adalah suatu sistem handal yang
digunakan secara efektif dalam berbagai keperluan analisis dan pengambilan
keputusan spasial. Selain itu SIG dapat juga dikatakan sebagai suatu sistem
berbasisi komputer yang didesain untuk mengumpulkan, mengolah, manipulasi,
dan menampilkan informasi spasial (keruangan).
SIG merupakan alat bantu yang sangat efektif, aktraktif, komprehensif
dalam memfisualisasikan dunia nyata terkait masalah spasial. SIG memiliki
kemampuan untuk mengintegrasikan data spasial maupun atribut-atributnya dan
mempresentasikan unsur-unsur permukaan bumi dalam warna, bentuk dan simbol-
simbol (Koniyo, 2013).
Sedangkan menurut Arif (2016) SIG merupakan suatu media yang gunanya
untuk mewakili model input dan output dari suatu geospasial alam. Namun SIG
yang ada tidak mengkomodir model dinamis. Jaringan perangkat keras dan lunak
yang dapat menujukkan operasi-operasi dimulai dari perencanaan, pengamatan dan
pengumpulan data, kemudian untuk penyimpanan dan analisis data, termasuk
penggunaan informasi yang diteruskan kedalam beberapa proses (Baharuddin,
2016).
Untuk mewujudkan dunia nyata kedalam lingkup digital, maka model harus
dibuat efektif tapi masih mencirikan fenomena dunia nyata. Pemilihan model yang
efektif berdampak pada proses operasi, kebutuhan analisis serta keluaran yang
dihasilkan (Arif, 2016). Secara umum, presepsi manusia mengenai bentuk
representasi entity spasial adalah konsep raster dan vektor. Dengan demikian, data
spasial direpresentasikan dalam basis data raster dan vektor (Baharuddin, 2016).
Menurut Koniyo (2013), SIG dapat digolongkan kedalam beberapa subsistem
sebagaimana yang dapat dilihat pada (Gambar 2.10).

18
Manipulasi Data

Data Input SIG Data Output

Pengolahan Data

Sumber: Koniyo (2013)


Gambar 2.10 Subsistem Sistem Informasi Geografis
Hajar (2006) menjelaskan bahwa data SIG serta pengolahannya didasarkan
pada sumber masukan data yaitu:
a. Data indera berupa hasil klasifikasi serta interpretasi (berbentuk digital
serta dengan berbasis raster, cakupannya luas, waktu pengumpulan
singkat, dapat berupa multiresolusi, multitemporal, multiband, dan
multisensor);
b. Peta (berbentuk non-digital serta dengan basis vektor);
c. Data survey dan data statistik dengan tahap pengolahan masukan serta
pembenaran data, simpanan pengorganisasian data, pemrosesan serta
penyajian data, transformasi data serta interaksi dengan pengguna (input
query).
Sistem Informasi Geografis (SIG) berguna dalam memetakan berbagai
informasi karakteristik area, baik dalam ruang ataupun waktu. Informasi spasial
dapat menghasilkan informasi lingkungan yang berguna baik di area dengan skala
yang kecil atau besar. Pada mitigasi, SIG diperuntukkan untuk mengolah data yang
ukurannya besar yang diperlukan untuk membuat prakira adanya risiko ataupun
bahaya yang mampu berpotensi menjadi bencana (Sembiring, 2007).
Pengembangan SIG dapat menunjang kegiatan pembangunan dan
perencanaan wilayah dan kota. Sistem informasi geografis menyediakan platform
dalam memperoleh data serta memanajemen informasi dalam rangka mitigasi
bencana. Citra satelit serta elevasi digital berguna sebagai layer didalam SIG

19
mitigasi dan kombinasi dengan geodata serta data tematik yang berbeda
(Kurniawati, 2016).
Salah satu kegunaan SIG dalam perencanaan wilayah dan kota yakni
digunakan sebagai alat analisis dalam menentukan daerah risiko bencana. Dalam
hal ini, SIG akan membantu dalam proses analisis yang dilakukan hingga
mengarahkan pada suatu arahan perencanaan berdasarkan analisis spasial yang
dilakuakan. Sistem Informasi Geografis dapat pula diperuntukkan untuk berbagai
macam dalam fase pencegahannya (Kurniawati, 2016). Berdasarkan kondisi
tersebut tentunya SIG berfungsi sebagai alat dalam menganalisis risiko bencana
baik berupa kerentanan dan kerawanan bencana sebagai upaya mitigasi.
Basis data SIG berguna untuk menyampaikan informasi lokasi bencana, tipe
bencana, waktu kejadian, analisa hubungan antara keruangan serta temporal dari
kejadian bencana (Kurniawati, 2016). Hal ini berkaitan dengan bencana tsunami
menyebabkan adanya kerentanan di beberapa daerah pesisir.
Pemetaan tingkat risiko tsunami harus dilakukan dengan pendekatan
multikriteria sesuai dengan daerah kajian. Oleh karena itu, diperlukan suatu
perangkat analisis yang tepat untuk membuat peta tersebut. Sistem informasi
geografis merupakan perangkat yang memiliki kemampuan untuk
memvisualisasikan tingkat risiko tsunami. Salah satu metode aplikasi SIG yang
sering digunakan saat ini adalah metode Cell Based Modelling (CBM). Analisis
sopasial pada data raster dasar dari CBM, sehingga luasan area hasil analisis
dengan metode ini cukup akurat karena tidak mengalami generalisasi (ESRI, 2002).
Pemetaan ancaman tsunami didasarkan pada bentuk lahan dan kedekatan
dengan garis pantai. Asumsi yang digunakan adalah semua bentuk lahan yang
prosesnya dipengaruhi aktifitas gelombang laut dan kemiringan lerengnya yang
datar atau landai merupakan area yang paling rawan terkena bencana tsunami
(Yudhicara, 2008).

2.8 Ketahanan Masyarakat


Menurut Monica dan Mardwi (2014) resilience atau ketahanan adalah
kemampuan manusia untuk mengahadapi, mengatasi dan kuat pada saat
menghadapi rintangan dan hambatan. Menurut Laporan keempat IPCC, ketahanan
merupakan kemampuan suatu sistem untuk mengatasi gangguan atau kapasitas

20
untuk dapat beradaptasi terhadap tekanan dan perubahan yang terjadi di lingkungan.
Menurut Dodman (2009) definisi ketahanan yaitu suatu proses yang
memungkinkan masyarakat tidak hanya mampu menghadapi gangguan tetapi juga
mampu menghadapi tantangan yang dapat memperburuk kehidupan dan
memfasilitasi lebih banyak tindakan untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat. Hal ini berarti masyarakat diharapkan memiliki kemampuan untuk
menghadapi gangguan ataupun tekanan dengan melakukan adaptasi untuk
meningkatkan ketahanan sosial ekonomi. Pengertian ketahanan diatas, maka
ketahanan memiliki empat komponen penting yaitu adaptasi, respon, organisir diri
dan pembelajaran yang dapat diambil (Sapirstein, 2007).
Ketahanan yang baik dapat dicapai apabila masyarakat memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam menghadapi gangguan yang terjadi.
Berdasarkan teori Obrist (2010) ketahanan memiliki beberapa tingkatan yaitu
tingkatan terendah yaitu individu dapat melaksanakan ketahanan dengan cara
mempelajari kemampuan untuk menghadapi gangguan; tingkat menengah yaitu
komunitas sosial atau masyarakat mempunyai hubungan kekerabatan yang erat
sehingga dapat melakukan kerjasama untuk menghadapi bencana secara bersama-
sama dan tingkatan tertinggi adalah adanya intervensi pemerintah dalam membuat
kebijakan sehingga dapat membantu masyarakat dalam menghadapi gangguan yang
terjadi di lingkungan permukiman.
Ketahanan masyarakat terhadap bencana dapat diukur dengan dua
pendekatan, yaitu; 1) Pendekatan dari atas, yang mencakup kajian iklim dan cuaca,
kajian keruangan seperti penggunaan tanah, kondisi topografi, jenis tanah, geologi,
dan lain-lain; 2) Pendekatan dari bawah, dilakukan dengan menggali kearifan-
kearifan lokal yang telah turun-temurun beradaptasi dengan kondisi lingkungannya.
Menggunakan metode-metode partisipatif kearifan lokal dapat digali dalam rangka
merangkum pengetahuan mengenai masyarakat bertahan dengan kondisi
lingkungan baik fisik wilayah, iklim maupun terkait mata pencahariannya. Metode
ini dianggap mampu merangkum pengetahuan tradisional yang telah dijalankan
oleh masyarakat secara turun-temurun. Sejalan dengan hal tersebut Baldacchino
(2008) menyatakan bahwa kajian tentang pulau-pulau kecil dan wilayah
perairannya yang disebut sebagai nissology- seyogyanya dilakukan secara induktif

21
bertolak dari pandangan masyarakat pulau dan situasi lingkunganan kehidupannya.
Hal ini menguatkan pentingnya pemahaman dan analisis secara induktif dari dalam
pulau (sudut pandang masyarakat pulau) ke luar pulau (berupa kenampakan
konfigurasi visual dan spasial). Pendekatan tersebut diperlukan pada saat analisis
eksplanatif-rasional, sampai dengan analisis interpretatif-eksploratif untuk
penemuan makna-makna di balik konfigurasi visual dan spasial. Meskipun
demikian Baldacchino mengakui bahwa hibriditas penggunaan dua arah pandangan
pada proses penelitian, membutuhkan waktu yang panjang. Pendapat di atas
mengungkapkan bahwa dua arah perspektif pada pende-katan penelitian merupakan
metode yang ideal. Apabila terdapat keterbatasan maka perspektif dari dalam pulau
secara induktif seharusnya menjadi prioritas.
Menurut Twigg 2007, resilience atau ketahanan memiliki tiga arti yaitu:
a. Kapasitas untuk menyerap tekanan atau kekuatan-kekuatan yang
menghancurkan, melalui perlawanan atau adaptasi;
b. Kapasitas untuk mengelola, atau mempertahankan fungsi-fungsi dan
struktur-struktur dasar tertentu, selama kejadian mendatangkan
malapetaka;
c. Kapasitas untuk memulihkan diri atau “melenting balik” setelah suatu
kejadian.
Masyarakat tahan bencana meliputi; 1) Kapasitas komunitas untuk
mengurangi resiko/stress/kerusakan melalui mitigasi ataupun adaptasi; 2) Kapasitas
untuk mempertahankan fungsi-fungsi dasar dan struktur di dalam keadaan bencana;
3) Kapasitas untuk memulihkan diri pasca kejadian bencana. Hal tersebut meliputi
ketahanan/resiliensi yang tercipta karena kapasitas masyarakat maupun karakter
yang mendukung ketahanan masyarakat (Twigg, 2007).

2.9 Coastal Community Resilience Guide


Coastal Community Resilience Guide (US-IOTWS, 2007) atau Panduan
Ketahanan Masyarakat Pesisir merupakan sebuah inisiatif dari program United
States - Indian Ocean Tsunami Warning System (US-IOTWS) yang diadakan oleh
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan disponsori oleh
United States Agency International Development (USAID). NOAA merupakan
sebuah badan federal milik Amerika Serikat yang lingkup kerjanya difokuskan pada

22
monitoring dan penanganan terhadap kondisi kelautan dan keadaan dalam atmosfer
bumi, dalam penelitian ini, kaitannya dengan bencana tsunami adalah usaha-usaha
untuk mengidentifikasi, mempersiapkan, dan pemulihan terhadap bencana dan
dampak yang ditimbulkan oleh bencana Tsunami (Gambar 2.11).

Sumber: US-IOTWS 2007


Gambar 2.11 Tingkat Ketahanan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana
Pengkajian CCR merupakan sebuah pendekatan yang dilakukan sebagai
suatu usaha kolaboratif dan partisipatif dengan masyarakat pesisir, instansi
pemerintah nasional dan lokal, LSM, sektor swasta, dan stakeholder kunci lainnya
untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, dan kesempatan untuk meningkatkan
ketahanan terhadap bencana, baik ditingkat lokal maupun nasional. Pendekatan
secara integral (Gambar 2.12) ini dapat digunakan secara sistematis untuk
menentukan program yang tepat untuk meningkatkan ketahanan masyarakat pesisir
disuatu daerah. Konsep ketahanan masyarakat pesisir diaplikasikan untuk
mengurangi risiko dari bahaya pesisir dengan tujuan menghindari bencana dan
mempercepat pemulihan jika terjadi bencana. Dengan ketahanan tersebut,
masyarakat pesisir dapat dengan mudah beradaptasi dengan perubahan melalui
pengalaman dan pelajaran dari bencana sebelumnya.

23
Sumber: US-IOTWS 2007
Gambar 2.12 Ketahanan Sebagai Kesatuan Kerja Yang Integral

24
Tabel 2.1 Penelitian sebelumnya tentang kerentanan wilayah dan ketahanan
masyarakat terhadap tsunami
No Penulis/Peneliti Tahun Data yang Digunakan Metode Hasil
1. Gersanandi, Petrus 2013 - Citra satelit Landsat - Metode studi kasus - Peta kerentanan
Subardjo, Agus Provinsi Sumatera - Metode Cell Based wilayah terhadap
Anugroho DS Barat perekaman tahun Modelling yang tsunami di pesisir
2010 resolusi 30 meter terdapat dalam Provinsi Sumatera
- Data Digital Elevation Software ArcGIS 9.3 Barat yang terdiri
Model (DEM) – dari 3 (tiga) kelas
SRTM Provinsi yaitu kelas
Sumatera Barat kerentanan tinggi,
- Data hasil verifikasi di kelas kerentanan
lapangan (real world) sedang dan kelas
- Peta Rupabumi kerentan rendah
Provinsi Sumatera
Barat skala 1:250.000
publikasi
BAKOSURTANAL
tahun 2001
- Data Demografi
Provinsi Sumatera
Barat tahun 2010,
publikasi Badan Pusat
Statistik daerah
Provinsi Sumatera
Barat
2. Octavian Suprapto, 2016 - Data yang diambil dari - Metode observasi - Tingkat Kerentanan
Syawaludin A lapangan dan data - Analisis karakteristik di kecamatan
Harahap dan Titin yang didapat dari fisik pesisir Pakenjeng,
Herawati intansi tertentu atau Mekarmukti,
hasil dari unduhan Cikelet, dan
Pamengpeuk
- Faktor kerentanan
yaitu banyaknya
alih fungsi lahan di
kawasan tersebut
3. Fakhri Hadi dan 2017 - Data garis pantai - Untuk menaksir - Adapun faktor yang
Astrid Damayanti diperoleh dari website tingkat bahaya paling berpengaruh
tanahair.indonesia.go.i tsunami dilakukan yaitu jarak dari garis
d dengan skala dengan menggunakan pantai serta
1:50.000 teknik overlay atau ketinggian
- Data ketinggian dan pertampalan terhadap - Permukiman di
wilayah lereng peta-peta tematik Kota Pariaman
diperoleh dari - Pertampalan atau didominasi oleh
pengolahan Citra overlay tersebut tingkat keterpaparan
ASTER (The dilakukan dengan sedang hingga
Advanced Spaceborne menggunakan metode tinggi terhadap
Thermal Emission and skoring dan tsunami.
Reflection Radiometer) pembobotan
GDEM (Global Digital - Penentuan wilayah
Elevation Model) yang permukiman yang
diunduh di terpapar oleh tsunami
https://earthexplorer.us dengan meng-overlay
gs.gov/ peta bahaya dengan
- Data sungai diperoleh peta permukiman
dengan melakukan menggunakan metode
digitasi dari Citra skoring dan
Google Earth tahun pembobotan
2017
- Data permukiman
diperoleh dengan
melakukan digitasi dari
Citra Digital Globe
tahun 2015 yang
disediakan ESRI
sebagai Basemap pada
Software ArcMap 10.1
4. Elsa Monica. M dan 2014 - Pengambilan anggota - Metode kuantitatif - Faktor-faktor yang
Mardwi Rahdriawan sample dari populasi dengan analisis cross menyebabkan
dilakukan secara acak tabulation dengan masyarakat

25
No Penulis/Peneliti Tahun Data yang Digunakan Metode Hasil
di XII RW di teknik sampling memiliki keinginan
Kelurahan Bandarharjo simple random untuk bertahan yaitu
sampling jenis pekerjaan
masyarakat, jumlah
pendapatan
masyarakat dan
jenis rumah
- Adaptasi yang
dilakukan berupa
peninggian lantai
bangunan rumah
dan perbaikan
bangunan rumah
- Bagi masyarakat
yang rentan
melakukan adaptasi
dapat melakukan
adaptasi dengan
membuat tanggul di
depan rumah
sehingga air rob
tidak masuk ke
dalam rumah
5. Rahmi Amin Ishak, 2016 - Sampel ditentukan - Metode penelitian - Iden-tifikasi dan
Nurmaida Amri, Ria 32% dari 123 KK (410 survei dengan analisis aspek fisik
Wikantari dan jiwa) yang bermukim pendekatan deskriptif bangunan dan
Imriyanti di Pulau Saugi, yaitu kualitatif, mencakup lingkungan,
sebanyak 40 KK analisis deskriptif- menunjukkan
sebagai responden spasial (ruang arsi-tek- bahwa ketahanan
tural) menggunakan bencana di Pulau
teknik mapping and Saugi cenderung
overlay dan analisis rendah, bangunan
deskriptif-formal hunian tidak
(bentuk arsitek-tural) memiliki penguatan
menggunakan teknik struktur dan
sketsa dan gambar konstruksi
berdasarkan hasil bangunan, serta
observasi-partisipasi, pengu-atan khusus
wawan-cara dan pada infrastruktur
kuesioner tapak, lansekap dan
- Analisis eksplanatif- lingkungan
interpretatif untuk - Identifikasi aspek
menjelaskan dan non fisik, penduduk
menafsirkan makna umumnya cukup
yang terungkap dari memiliki penge-
analisis sebelumnya tahuan tentang jenis
bencana alam, serta
sadar dan waspada
terhadap resiko
bencana di Pulau
Saugi
6. Wismu Alga 2013 - Data kuesioner yang - Metode penilaian - Hasil pengolahan
Mahendra, Haryo didapatkan dari 100 ketahanan masyarakat data hasil survey,
Dwito Armono dan orang responden pesisir pada penelitan diketahui bahwa
Kriyo Sambodho ini menggunakan elemen yang
kuisioner dan memiliki nilai
wawancara dengan resilience index
metode sampling kurang dari standar
berupa stratified dan dan perlu ditinjau
purposive sampling lebih dalam adalah
elemen risk
knowledge
(pengetahuan
tentang risiko)
dengan nilai 2,57,
elemen warning and
evacuation (sistem
peringatan dan
evakuasi) dengan
nilai 2,63.

26
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Lingkup wilayah dalam penelitian ini adalah Desa Tumpakrejo, Desa
Sindurejo, dan Desa Gajahrejo Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang (Gambar
3.1). Luas daerah tersebut secara berurutan yaitu Desa Tumpakrejo dengan luas
2494 Ha, Desa Sindurejo dengan luas 1898,9 Ha, dan Desa Gajahrejo dengan luas
1903 Ha. Kecamatan Gedangan terletak diantara 112,3521—122,3945 bujur timur
dan 8,2231—8,1448 lintang selatan. Kecamatan Gedangan berjarak sekitar 27 km
dari ibukota Kabupaten Malang. Luas Kecamatan Gedangan sebesar 130,55 km2
atau sekitar 4,38% dari luas total Kabupaten Malang dengan kepadatan
penduduknya 406 jiwa/km2 (Kecamatan Gedangan dalam Angka 2018). Jumlah
desa yang ada di Kecamatan Gedangan sejumlah 8 desa yaitu; Desa Gajahrejo, Desa
Gedangan, Desa Girimulyo, Desa Segaran, Desa Sidodadi, Desa Sindurejo, Desa
Sumberejo, dan Desa Tumpakrejo. Metode yang digunakan adalah pengolahan data
sekunder berupa data parameter dan pengolahan data primer berupa kuesioner.

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian

27
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat
dalam (Tabel 3.1), yaitu:
Tabel 3.1 Alat dan Bahan
No Nama Alat dan Bahan Fungsi
1. Data garis pantai dan badan Untuk menentukan jarak dari garis
sungai pantai dan jarak dari badan sungai
2. Citra ASTER (The Advanced Untuk menentukan ketinggian dan
Spaceborne Thermal Emission wilayah lereng
and Reflection Radiometer)
GDEM (Global Digital
Elevation Model)
3. Software ArcGis 10.2 Untuk mengolah data parameter
sekunder
4. Kuesioner Untuk mengolah data primer

3.3 Alur Penelitian


Parameter-parameter kerentanan yang digunakan adalah jarak dari garis
pantai, ketinggian, wilayah lereng, serta jarak dari sungai. Parameter tersebut
kemudian dioverlay untuk menaksir tingkat bahaya tsunami di daerah tersebut.
Overlay dilakukan dengan metode skoring dan pembobotan. Data ketinggian dan
wilayah lereng diperoleh dari pengolahan Citra ASTER (The Advanced Spaceborne
Thermal Emission and Reflection Radiometer) GDEM (Global Digital Elevation
Model) yang diunduh di https://earthexplorer.usgs.gov/ . Selain itu, data jarak dari
sungai dan jarak dari garis pantai diperoleh dengan mengunduh data peta RBI
Kabupaten Malang di https://tanahair.indonesia.go.id/ dengan skala 1:25.000.
Sedangkan untuk data primer ketahanan masyarakat dengan melakuakan kuesioner
yang merujuk pada metode CCR yang dikemukakan oleh NOAA (National
Oceanic & Atmospheric Administration), disponsori oleh USAID (United States
Agency for International Development) dan termasuk dalam program US-IOTWS
(U.S. – Indian Ocean Tsunami Warning System). Seluruh hasil pengolahan
parameter kerentanan dan ketahanan masyarakat mengahasilkan data kerentanan
wilayah dan ketahanan masyarakat pesisir Kecamatan Gedangan, Kabupaten
Malang. Alur penelitian ini dapat dilihat pada (Gambar 3.2).

28
Pesisir
Kecamatan
Gedangan

Jarak dari Jarak dari


Ketinggian Wilayah lereng Kuesioner
garis pantai sungai

Kerentanan Ketahanan
wilayah masyrakat

Zona Kerentanan Wilayah dan


Ketahanan Masyarakat Pesisir
Kecamatan Gedangan,
Kabupaten Malang

Gambar 3.2 Bagan Alur Analisa


3.4 Pengolahan Data
3.4.1 Kerentanan
Adapun parameter-parameter kerentanan yang digunakan menurut Hadi dan
Damayanti (2017) diolah sebagai berikut:
1. Jarak dari garis pantai
Peta Rupa Bumi Kabupaten Malang yang telah diunduh kemudian
diolah menggunakan aplikasi ArcGIS 10.2 dengan tool buffer yang dapat
menggambarkan kelas jarak dari garis pantai. Semakin dekat wilayah
dengan garis pantai makan daerah tersebut akan lebih rawan terkena
paparan tsunami. Pada saat terjadi tsunami gelombang air akan semakin
tinggi begitu mendekati pantai dan akan menghancurkan daerah yang
berada didekat bibir pantai.
2. Ketinggian daratan
Data DEM yang telah diunduh kemudian diolah dengan
menggunakan bantuan ArcGIS 10.2. Informasi ketinggian diperoleh dengan
menganalisis spasial permukaan daratan berdasarkan ketinggian. Informasi
tersebut selanjutnya dilakukan reklasifikasi. Reklasifikasi bertujuan untuk

29
mengkelaskan masing-masing parameter berdasarkan kriteria yang
dibutuhkan terkait dengan tingkat kerawanan tsunami. Informasi yang
diperoleh dari reklasifikasi adalah kelas ketinggian daratan. Hasil peta
ketinggian daratan, ketinggian yang sangat rendah menyebabkan wilayah
tersebut menjadi wilayah yang rentan terhadap tsunami karena tsunami akan
leluasa untuk dapat masuk jauh ke daratan. Selain itu dengan ketinggian
yang sangat rendah, akan menyebabkan kesulitan dalam proses evakuasi
secara horizontal pada saat tsunami datang. Perbedaan warna dalam peta
ketinggian daratan merepresentasikan kepekaan kelas ketinggian daratan
terhadap tsunami.
3. Wilayah lereng
Wilayah lereng didapat dengan menggunakan data DEM yang
kemudian diolah menggunakan tool slope di aplikasi ArcGIS 10.2 sehingga
menggambarkan kelerengan daratan di daerah penelitian. Informasi
kelerengan diperoleh dengan menganalisis spasial permukaan daratan
berdasarkan kelerengan. Selanjutnya dilakukan reklasifikasi, reklasifikasi
bertujuan untuk mengkelaskan masing-masing parameter berdasarkan
kriteria yang dibutuhkan terkait dengan tingkat kerawanan tsunami.
Informasi yang diperoleh dari reklasifikasi adalah kelas kelerengan daratan.
Daerah yang memiliki kelerengan yang rendah akan lebih rawan terkena
paparan tsunami dibandingkan dengan daerah yang memiliki kelerengan
yang tinggi. Dengan kelerengan yang rendah akan memudahkan air bah
tsunami untuk menjangkau daerah yang lebih luas. Lain halnya jika daerah
memiliki daerah yang curam atau bertebing akan menghambat tsunami
untuk menjangkau daerah yang luas karena terhalang oleh tebing.
4. Jarak dari sungai
Peta rupabumi Kabupaten Malang diolah menggunakan aplikasi
ArcGIS 10.2 dengan tool buffer yang dapat menggambarkan kelas jarak dari
badan sungai. Semakin dekat wilayah dengan badan sungai makan daerah
tersebut akan lebih rawan terkena tsunami. Pada saat terjadi tsunami badan
air laut di pantai dan sungai akan naik dan menerjang daerah-daerah yang
ada di sekitarnya.

30
Alur pikir dalam penelitian ini yaitu penentuan tingkat bahaya tsunami.
Untuk menaksir tingkat bahaya tsunami dilakukan dengan menggunakan teknik
overlay atau pertampalan terhadap peta-peta tematik seperti peta jarak dari garis
pantai, wilayah ketinggian, wilayah lereng, serta jarak dari sungai. Pertampalan
atau overlay tersebut dilakukan dengan menggunakan metode skoring dan
pembobotan. Untuk skor dan bobot tiap paramaternya dapat dilihat pada (Tabel
3.2). Setelah dilakukan penentuan tingkat bahaya tsunami, selanjutnya dilakukan
penentuan wilayah permukiman yang rentan terpapar oleh tsunami dengan meng-
overlay peta parameter kerentanan menggunakan metode skoring dan pembobotan.

Tabel 3.2 Skor dan bobot tiap parameter


Parameter Kelas Skor Bobot
Jarak dari Garis Pantai (m) 0-500m 5 30
501-1000m 4 30
1001-1500m 3 30
1501-3000m 2 30
>3000m 1 30
Ketinggian (m) <10m 5 30
11-25m 4 30
26-50m 3 30
51-100m 2 30
>100m 1 30
Wilayah Lereng (%) 0-2% 5 25
3-5% 4 25
6-15% 3 25
16-40% 2 25
>40% 1 25
Jarak dari Sungai (m) 0 – 100m 5 15
101 – 200m 4 15
201-300m 3 15
301-500m 2 15
>500m 1 15
Sumber : Hadi dan Damayanti (2017)
Pembuatan matrik ditentukan dengan pembobotan dan skoring. Pemberian
skor dimaksudkan untuk menilai faktor pembatas pada setiap parameter. Pemberian
bobot untuk setiap parameter dalam kajian ini berkisar dari 15—30 dan pemberian
skor dalam kisaran 1—5 yang menunjukkan kelas tingkat kerentanan tsunami.
Parameter kerentanan yang digunakan (Tabel 3.2) dikelompokkan ke dalam lima
kategori kerentanan yaitu sangat tinggi (R5), tinggi (R4), sedang (R3), rendah (R2),
dan sangat rendah (R1) (Faiqoh et.al, 2013). Hasil akhir dari perkalian bobot dan

31
skor dimasukkan dalam kategori kerentanan. Nilai tiap kelas didasarkan pada
perhitungan rumus berikut (Muzaki, 2008) :

N = ∑ 𝐵𝑖 𝑥 𝑆𝑖 ..............(1)
dimana:
N = Total bobot nilai
Bi = Bobot untuk parameter ke-i
Si = Skor kelas pada parameter ke-i
I = Parameter ke-i
Perhitungan analisis tumpang susun merupakan perkalian antara bobot
dengan skor pada empat parameter disetiap selnya. Perkalian bbot dan skor
kemudian menghasilkan total bobot nilai (N) untuk setiap parametrnya. Nilai
tersebut digunakan untuk menentukan selang kelas tingkat kerentanan. Perhitungan
selang kelas tiap kerlas diperoleh dari jumlah perkalian nilai maksimum (Nmax) tiap
bobot dikali skor, kemudian dikurangi jumlah perkalian nilai minimumnya (Nmin)
yang selanjutnya dibagi lima (5) sesuai dengan jumlah parameter yang digunakan.
Data yang sudah diolah dianalisis menggunakan analisis spasial deskriptif. Analisis
ini menggambarkan atau mendeskripsikan bagaimana persebaran wilayah bahaya
tsunami di daerah penelitian secara spasial atau keruangan. Rumus perhitungan
selang kelas dapat dilihat sebagai berikut (Muzaki, 2008):

∑(𝐵𝑖 𝑥 𝑆𝑖) max − ∑(𝐵𝑖 𝑥 𝑆𝑖) 𝑚𝑖𝑛


𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 (𝐿) = … . (2)
𝑛

dimana:
L = Lebar selang kelas
N = Jumlah kelas parameter
Berdasarkan perhitungan rumus diatas (2), diperoleh nilai lebar selang kelas
sebesar 95 dengan nilai Nmax sebesar 500 dan nilai Nmin sebesar 25. Nilai tingkat
kerentanan rendah (R1) didapatkan dari nilai Nmin yaitu 25 ditambah dengan lebar
selang kelas yaitu 95. Nilai kerentanan rendah (R2) didapatkan dari selang kelas
maksimum R1 yaitu 120 ditambah dengan 95. Begitupun seterusnya untuk nilai
kerentanan R3, R4 dan R5. Penentuan kelas kerentanan ditampilkan dalam (Tabel
3.3) berikut:

32
Tabel 3.3 Kelas kerentanan tsunami
Kelas Kerentanan Selang Kelas
1 Sangat rendah 25—120
2 Rendah 121—216
3 Sedang 217—312
4 Tinggi 313—408
5 Sangat tinggi 409—504

Pada pemetaan kerentanan, overlay merupakan proses yang penting untuk


menentukan tingkat kerentanan suatu daerah. Overlay adalah teknik untuk
menempatkan grafis satu peta di atas grafis peta yang lain dan menampilkan
hasilnya pada komputer atau dalam sebuah plot. Overlay juga dapat diartikan
sebagai teknik menampalkan suatu peta digital pada peta digital yang lain beserta
atribut-atributnya dan menghasilkan peta gabungan keuanya yang didalamnya
berisi infomasi dari kedua peta tersebut.
Teknik overlay dalam pemetaan sangat beragam, salah satunya yang
digunakan pada penelitian ini yaitu teknik weighted overlay. Weighted overlay
merupakan analisis spasial dengan menggunakan beberapa peta yang berkaitan
dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan. Alat analisis yang
digunakan yaitu Geographic Information System (GIS) (Chandra dan Rima, 2013).
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survey. Proses
penentuan kesesuaian kawasan tersebut dilakuakn dengan menggunakan operasi
spasial dengan memanfaatkan aplikasi SIG. Operasi spasial tersebut merupakan
operasi tumpang susun (overlay), dalam prosesnya operasi tumpang susun adalah
suatu proses penyatuan data spasial dan merupakan salah satu fungsi efektif dalam
SIG yang digunakan dalam analisa analisa keruangan. Sedangkan metode yang
digunakan adalah weighted overlay (ESRI, 2007). Teknik analisa weighted overlay
dapat dilihat pada (Gambar 3.3).

33
Faktor
Kerentanan

Jarak Dari Wilayah Jarak Dari


Ketinggian
Garis Pantai Lereng Sungai

Bobot Skor Bobot Skor Bobot Skor Bobot Skor

Total Skor Total Skor Total Skor Total Skor

Overlay
Tingkat
Kerentanan

Sangat Sangat
Tinggi Sedang Rendah
Tinggi Rendah

Gambar 3.3 Teknik Analisa Weighted Overlay


3.4.2 Ketahanan Masyarakat
Faktor yang menyebabkan banyaknya korban jiwa serta kerugian harta
benda ketika terjadi bencana adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai
bencana dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Maka perlu dilakuakannya
studi mengenai ketahanan masyarakat pesisir Kecamatan Gedangan, Kabupaten
Malang terhadap bencana tsunami. Metode Coastal Community Resilience (CCR)
adalah metode yang dilakukan untuk mengetahui ketahanan masyarakat dalam
menghadapi bencana. Metode CCR dikemukakan oleh NOAA (National Oceanic
& Atmospheric Administration), disponsori oleh USAID (United States Agency for
International Development) dan termasuk dalam program US-IOTWS (U.S. –
Indian Ocean Tsunami Warning System). Elemen-elemen ketahanan masyarakat
didapatkan dari data-data lapang yang langsung didapatkan dengan kuesioner dan
wawancara. Metode CCR meninjau setiap elemen ketahanan dan pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya, delapan elemen CCR yaitu (Gambar 3.4) (Mahendra et.al,
2013) :
1. Governance (Pemerintahan)
Pemerintah berperan memberikan fasilitas dan memeberikan
kondisi yang memungkinkan bagi masyarakat pesisir untuk menahan dan
menghindari bencana, bangkit kembali dari bencana dan mampu
beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Pemerintah menyediakan

34
pengarahan dan fasilitas sehingga ketahanan masyarakat pesisir dapat
dikembangkan dan ditingkatkan dari waktu ke waktu melalui berbagai
intervensi pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta dalam bidang
pembangunan masyarakat, peneglolaan pesisir dan manajemen Bencana.
2. Society and Economy (Sosial dan ekonomi)
Kehidupan sosial dan ekonomi menjadi unsur penting dari
ketahanan karena terdapat hubungan langsung antara kegiatn ekonomi
(pasar dan perdagangan) dan kehidupan sosial (budaya, keluarga, rekreasi).
Perubahan dalam perekonomian lokal dan regional seperti industri dan
lapangan kerja baru, atau teknologi manufaktur memilki dampak positif dan
negatif pada individu dan masyarakat terhadap aspek harapan hidup,
pekerjaan, kesejahteraan, dan kualitas hidup. Demikian pula budaya
masyarakat, struktur keluarga, dan peran gender mempengaruhi kegiatan
ekonomi. Aspek sosial, budaya, dan kondisi ekonomi memberikan
lingkungan yang kondusif bagi kemandirian sebuah komunitas.
3. Coastal Resource Management (Pengelolaan sumberdaya pesisir)
Wilayah pesisir memberikan berbagai macam sumberdaya yang
berharga dan berkelanjutan bagi masyarakat. Sumberdaya tersebut antara
lain sumber makanan yang terpercaya, pembangunan ekonomi melalui
pemanfaatan sumberdaya yang terbarukan, transportasi, perlindungan dari
bahaya pesisir (badai, banjir, tsunami, erosi, polusi, dll), serta konservasi
keanekaragaman hayati (pariwisata berbasis alam dan obat-obatan baru
yang potensial). CRM menjadi sumber ketahanan masyarakat dalam hal
makanan, sumberdaya, ekonomi, dan lingkungan yang penting bagi
kehidupan dan perlindungan dari bencana alam.
4. Land Use and Structural Design (Penggunaan dan desain struktural)
Manajemen penggunaan lahan dan desain struktur adalah elemen
penting dari CCR karena jika diterapkan secara efektif, aspek-aspek tersebut
memungkinkan masyarakat bertahan dari bencana tsunami dan bencana
pesisir lainnya. Dengan pengelolaan lahan yang jauh dari daerah yang
rentan dan mengembangkan wilayah yang tidak terlalu rawan bahaya

35
bencana pesisir, masyarakat dapat mengurangi risiko dari dampak bencana
terhadap individu dan matapencaharian mereka.
5. Risk Knowledge (Pengetahuan resiko)
Penegtahuan tentang risiko adalah landasan untuk membangun
sebuah komunitas yang tangguh dalam menghadapi bencana. Masyarakat
tidak dapat mengelola dan meningkatkan ketahanan jika tidak mengetahui
risiko apa yang akan dihadapi. Pengetahuan yang komprehensif tentang
risiko terhadap bahaya yang dihadapi memungkinkan masyarakat untuk
beradaptasi dalam mengurangi dampak dari bencana, serta dapat dengan
mudah menahn guncangan bahaya yang terjadi dan lebih cepat untuk
bangkit setelah terjadi bencana.
6. Warning and Evacuation (Peringatan dan evakuasi)
Sistem peringatan dan prosedur evakuasi dapat memberikan
kesempatan pada masyarakat untuk secara signifikan mengurangi risiko
dengan mengambil tindakan yang cepat dan tepat untuk mengurangi
dampak bencana. Sebuah respon yang efektif terhadap suatu bahaya yang
akan datang akan dapat mengurangi dampak bencana dengan memindahkan
penduduk dari daerah yang berbahaya. Sistem peringatan dan evakuasi
terdiri dari tiga bagian penting, yaitu sistem peringatan dini, rencana
evakuasi, dan pemberian informasi kepada masyarakat secara efektif.
7. Emergency Response (Respon darurat)
Respon darurat yang efektif memungkinkan pesisir menjadi lebih
tangguh lagi untuk menahan dampak bencana. Mekanisme dan perencanaan
respon darurat juga dapat memberikan dasar bagi masyarakat untuk bengkit
kembali dengan cepat dari dampak bencana. Saat terjadi bencana, prosedur
respon darurat yang efektif dapat mengurangi korban jiwa dan membantu
mengurangi waktu dan investasi yang diperlukan untuk pemulihan
masyarakat pasca bencana.
8. Disaster Recovery (Pemulihan bencana)
Pemulihan benccana merupakan elemen penting dari CCR karena
memberi peluang bagi masyarakat untuk belajar dari pengalaman akibat
bencana dan dapat mengambil tindakan untuk mengurangi risiko. Pada

36
periode tepat setelah bencana terjadi menyediakan banyak kesempatan
untuk menerapkan strategi untuk mengurangi dampak bencana yang
potensial. Agar proses pemulihan bencana berhasil dalam membangun
ketahanan masyarakat, harus dilakuakan pendekatan-pendekatan yang
mencakup unsur-unsur penting lainnya dari CCR dan sepenuhnya
mengintegrasikannya dalam manajemen bencana, pengembangan
masyarakat, dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Jika upaya yang
dilakukan terfokus pada kegiatan pemulihan yang tidak terkoordinasi
dengan tiga aspek tersebut, proses pemulihan bencana dapat menghasilkan
sebuah komunitas yang lebih rentan dan kurang tangguh dari sebelumnya.

Sumber: US-IOTWS 2007


Gambar 3.4 Delapan Elemen Ketahanan
Media yang digunakan berupa kuesioner dan wawancara. Kuesioner yang
dilakukan menggunakan pendekatan scoring (penilaian numerik) untuk
mengevaluasi secara kuantitatif dari masing-masing pertanyaan dalam kuisioner
yang diberikan. Skor yang ditampilkan dalam kuesioner dimulai dari angka 1
hingga angka 5, ditampilkan dalam (Tabel 3.4).

37
Tabel 3.4 Nilai kuesioner
Definisi Penilaian Nilai
Sangat Tidak Setuju 1
Tidak Setuju 2
Cukup Setuju 3
Setuju 4
Sangat Setuju 5

Hasil kuesioner kemudian dihitung menggunakan rumus dibawah ini untuk


mendapatkan hasil index ketahanan. Hasil index ketahanan yang kurang dari
standar (3,00) perlu adanya peninjauan kembali. Rumus Resilience Index (RI)
menurut Pradana (2012) adalah sebagai berikut:
∑𝑚
𝑗=0((𝑃𝑗 𝑥 5) + (𝑄𝑗 𝑥 4) + (𝑅𝑗 𝑥 3) + (𝑆𝑗 𝑥 2) + (𝑇𝑗 𝑥 1)
𝑅. 𝐼. (𝑧) =
𝑚𝑥𝑛

Keterangan :
R.I.(z) = resilience index pada elemen ketahanan (z)
P = jumlah jawaban “sangat setuju” (5)
Q = jumlah jawaban “setuju” (4)
R = jumlah jawaban “cukup setuju” (3)
S = jumlah jawaban “tidak setuju” (2)
T = jumlah jawaban “sangat tidak setuju” (1)
j = jumlah pertanyaan pada elemen ketahanan (z)
n = jumlah responden
m = maksimum jumlah pertanyaan
Sistem ratting/nilai (Gambar 3.5) berfungsi sebagai pembanding kondisi
saat ini yang digambarkan oleh hasil penilaian CCR dengan kondisi yang
diinginkan untuk tiap elemen ketahanan. Pendekatan scoring (penilaian numerik)
dengan skor dari 0 sampai 5 dilakuakan untuk mengevaluasi secara kuantitatif dari
masing-masing pertanyaan dalam kuesioner yang diberikan. Dilakukan proses
kuesioner dan wawancara karena penilaian CCR membutuhkan informasi dan data
untuk membandingkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, status ketahanan
masyarakat dengan kondisi yang diinginkan masing-masing elemen ketahanan.

38
Sumber: Pradana (2012)
Gambar 3.5 Sistem Rating Dan Skala Pada CCR
Keterangan:
5 = Memuaskan (81—100% deskripsi tolak ukur terpenuhi)
4 = Sangat Baik (61—80% deskripsi tolak ukur terpenuhi)
3 = Baik (41—60% deskripsi tolak ukur terpenuhi)
2 = Cukup (21—40% deskripsi tolak ukur terpenuhi)
1 = Kurang (1—20% deskripsi tolak ukur terpenuhi)
0 = Kondisi tidak ada
Metode penilaian ketahanan masyarakat pesisir pada penelitian ini
menggunakan kuesioner dan wawancara dengan metode sampling berupa stratified
sampling dan purposive sampling. Menurut Prijana (2005), stratified sampling
lebih presisi dalam penentuan respondennya, karena tiap strata dianggap memiliki
populasi sendiri dan analisis tiap stratanya dapat dilakuakan tanpa harus survey
ulang. Elemen ketahanan yang ada, akan diadaptasi menjadi beberapa pertanyaan
yang dapat digunakan sebagai instrumen survey untuk memantau kapasitas
ketahanan. Sedangkan metode purposive sampling dilakuakan dengan pengambilan
sampel dengan cara menetapkan ciri-ciri khusus yang sesuai dengan tujuan
penelitian sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian.
Jumlah populasi di Desa Gajahrejo, Sindurejo dan Tumpakrejo berjumlah
21.538. Kemudian dalam penentuan jumlah respondennya dilakukan perhitungan
dengan teknik Slovin. Berikut merupakan rumus slovin (Sugiyono, 2011):

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑒 2 )

39
Keterangan:
n = Jumlah responden
N = Ukuran populasi
e = Persentase kelonggaran ketelitian kesalahan pengambilan sampel yang
masih bisa di tolerir; e=0,1
Dengan ketentuan Slovin sebagai berikut:
Nilai e = 0,1 (10%) untuk populasi jumlah besar
Nilai e = 0,2 (20%) untuk populasi jumlah kecil
Jadi rentang sampel yang diambil dari teknik Slovin adalah antara 10—20% dari
populasi
Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 21.538 jiwa sehingga
persentase kelonggaran yang digunakan adalah 10% dan hasil perhitungan dapat
dibulatkan untuk mencapai kesesuaian. Maka untuk mengetahui jumlah sampel
penelitian dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut:

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑒 2 )
21.538
𝑛=
1 + 21.538 (0,12 )
𝑛 = 99,24; dibulatkan menjadi 100 responden

Berdasarkan perhitungan diatas didapatkan hasil responden sebesar 100


orang responden dari total populasi di Desa Tumpakrejo, Desa Sindurejo dan Desa
Gajahrejo sebesar 21.538 jiwa.

40
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Wilayah
Kecamatan Gedangan adalah salah satu dari 33 kecamatan yang ada di
Kabupaten Malang yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Jarak pusat
kecamatan ke pusat Kota Malang ±48 km, sedangkan jarak dengan pusat
pemerintahan Kabupaten Malang di Kepanjen ±27 km. Luas wilayah Kecamatan
Gedangan secara keseluruhan adalah sekitar 130,55 km2 atau sekitar 4,39% dari
total luas wilayah Kabupaten Malang sebesar 2.977,05 km2 (Kabupaten Malang
dalam Angka 2018)

Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian


Kecamatan Gedangan yang memiliki luas 130,55 km2 terdiri oleh delapan
desa yaitu desa Gajahrejo, Gedangan, Girimulyo, Segaran, Sidodadi, Sindurejo,
Sumberejo, dan Tumpakrejo. Desa di Kecamatan Gedangan yang memiliki wilayah
pesisir adalah desa Sindurejo, Tumpakrejo dan Gajahrejo (Gambar 4.1). Luas tiap
daerah berbeda-beda seperti ditunjukkan pada (Tabel 4.1). Kecamatan ini secara
geografis terletak pada koordinat 8,2231—8,1448 LS dan 112,3512—122,3945
BT. Wilayah pesisir ini dibatasi oleh:

41
Sebelah Utara : Kecamatan Pagelaran
Sebelah Timur : Kecamatan Sumbermanjing Wetan
Sebelah Barat : Kecamatan Bantur
Sebelah Selatan : Samudera Hindia

Tabel 4.1 Presentase dan Luas Wilayah Penelitian


No Desa Luas Wilayah (Ha) Persentase (%)
1. Sindurejo 1.898,9 30,16
2. Tumpakrejo 2.494 39,61
3. Gajahrejo 1.903 30,23
Jumlah 6.295,9 100
Sumber: Kabupaten Malang dalam Angka 2018

4.2 Faktor Kerentanan Wilayah


4.2.1 Ketinggian Daratan
Pemetaan tingkat ketinggian daratan di wilayah pesisir Kecamatan
Gedangan ditampilkan dalam Gambar 4.2. Pemetaan tingkat kerentanan
berdasarkan ketinggian daratan dibagi menjadi lima kategori yaitu kerentanan
sangat tinggi (<10 m), kerentanan tinggi (11—25 m), kerentanan sedang (26—50
m), kerentanan rendah (51—100 m), dan kerentanan sangat rendah (>100 m).
Pada (Gambar 4.1) dapat dilihat bahwa wilayah pesisir Kecamatan
Gedangan yang meliputi tiga desa yaitu Desa Tumpakrejo, Desa Sindurejo, dan
Desa Gajahrejo memiliki ketinggian daratan yang berbeda-beda. Namun secara
keseluruhan, ketiga desa tersebut memiliki ketinggian daratan yang tidak jauh
berbeda antara desa satu dengan desa lainnya.

42
Gambar 4.2 Peta Kerentanan Berdasarkan Ketinggian Daratan
Hasil dari pemetaan ini mengasumsikan bahwa ketinggian daratan yang
kerang dari 10 m dikategorikan dalam kerentanan yang sangat tinggi. Dapat dilihat
bahwa Desa Tumpakrejo yang memiliki panjang garis pantai yang paling pendek
diantara dua desa lainnya memilki tingkat kerentanan yang sangat tinggi di
sepanjang garis pantainya. Hal tersebut menandakan bahwa sepanjang garis pantai
di Desa Tumpakrejo memiliki ketinggian daratan yang landai. Analisa tersebut
sesuai dengan keadaan lapang dimana deretan pantai di Desa Tumpakrejo
merupakan pantai berpasir yang memiliki ketinggian daratan yang rendah.
Sedangkan di pesisir Desa Sindurejo dan Desa Gajahrejo dikategorikan dalam
kerentanan sangat tinggi dan kerentanan tinggi, dimana pada survey lapang didapati
deretan pantai berpasir dan pantai bertebing pada daerah tersebut. Luasan tingkat
kerentanan ketiga desa tersebut bedasarkan ketinggian daratannya ditampilkan pada
(Tabel 4.2).
Menurut Oktariadi (2009), daerah yang memiliki elevasi rendah, maka
tingkat kerentanannya terhadap tsunami akan semakin besar. Soleman et.al (2012)
juga menyebutkan bahwa, daerah yang rawan terhadap tsunami adalah daerah-
daerah yang memiliki ketinggian atau elevasi yang rendah. Daratan yang memiliki

43
elevasi yang rendah adalah daratan yang elevasinya kurang dari 25 m. Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat diasumsikan bahwa seluruh wilayah pesisir Kecamatan
Gedangan rawan terhadap bencana tsunami karena sepanjang pesisirnya memiliki
ketinggian antara 0 sampai 25 m diatas permukaan laut.

Tabel 4.2 Luas kelas kerentanan berdasarkan ketinggian daratan


Persentase
No Tingkat Kerentanan Ketinggian (m) Luas (Ha)
(%)
1 Sangat tinggi <10 m 487 5,13 %
2 Tinggi 11-25 m 476 5,01 %
3 Sedang 26-50 m 971 10,22 %
4 Rendah 51-100 m 1.305 13,73 %
5 Sangat rendah >100 m 6.264 65,91 %
Total 9.504 100 %

4.2.2 Wilayah Lereng


Wilayah lereng adalah ukuran kemiringan daratan (kecuraman) relatif
terhadap bidang datar. Wilayah lereng (slope) dinyatakan dalam (ᵒ) atau persen (%).
Pada pennelitian kali ini, wilayah lereng (slope) dinyatakan dalam persen (%). Hasil
pemetaan wilayah lereng (slope) ditampilkan pada (Gambar 4.3). Wilayah lereng
(slope) dibagi lima kategori kerentanan yaitu kerentanan sangat tinggi (0—2%),
kerentanan tinggi (3—5%), kerentanan sedang (6—15%), kerentanan rendah (16—
40%), dan kerentanan sangat rendah (>40%).
Wilayah desa pesisir Kecamatan Gedangan di dominasi oleh wilayah lereng
yang termasuk dalam kategori kerentanan rendah, yaitu dengan kemiringan 16-
40%. Pada wilayah dekat pantai di Desa Tumpakrejo didominasi oleh kerentanan
lereng kategori tinggi hingga sangat tinggi, yaitu dengan kemiringan 0-5%.
Sedangankan pada wilayah dekat pantai di Desa Sindurejo termasuk dalam kategori
kerentanan tinggi hingga sangat tinggi di sebagian wilayah dan kategori sedang
hingga rendah di sebagian wilayah yang lain. Berbeda halnya dengan Tumpakrejo,
wilayah dekat pantai di Desa Gajahrejo yang memiliki garis pantai yang paling
panjang dibandingkan dengan dua desa lainnya didominasi oleh tingkat kerentanan
sedang hingga rendah yaitu dengan kemiringan 6-40%. Sehingga dapat
diasumsikan bahwa di daerah tersebut terdiri dari bukit, tebing atau dataran tinggi.

44
Gambar 4.3 Peta Kerentanan Berdasarkan Kelerengan Daratan
Wilayah lereng mempengaruhi kerentanan wilayah pesisir terhadap terpaan
bencana tsunami. Ketika peristiwa bencana tsunami datang, wilayah yang memiliki
pantai yang terjal tidak akan mudah terkena paparan tsunami. Air bah tsunami yang
datang tidak akan jauh memasuki dartan dan kemudian akan dipantulkan kembali
oleh tebing yang berada di dekat pantai. Sedangkan pada daerah yang memiliki
pantai yang landai akan sangat rawan terkena paparan tsunami. Posisi daratan yang
landai dan mendekati datar menyebabkan air bah tsunami dapat leluasa masuk ke
daratan hingga berkilo-kilo meter dan menghancurkan semua yang dilewatinya
(Subarjo dan Ario, 2015). Luasan daerah rentan berdasarkan kelerengannya
ditampilkan pada (Tabel 4.3) dibawah ini.

Tabel 4.3 Luas kelas kerentanan berdasarkan wilayah lereng


Persentase
No Tingkat Kerentanan Kelerengan (%) Luas (Ha)
(%)
1 Sangat tinggi 0-2% 189,87 2%
2 Tinggi 3-5% 662,72 6,98 %
3 Sedang 6-15% 3.465,28 36,48 %
4 Rendah 16-40% 4.813,38 50,68 %
5 Sangat rendah >40% 367,06 3,86 %
Total 9.498,32 100 %

45
4.2.3 Jarak dari Garis Pantai
Tsunami merupakan salah satu bencana alam yang bersifat merusak, perlu
adanya kawasan penyangga atau buffer zone dalam penataan ruang. Pada penelitian
ini penataan ruang deengan menerapkan kawasan penyangga pada lokasi penelitian
dilakuakan dengan membuat jarak dari garis pantai. Pembuatan jarak dari garis
pantai dilakukan untuk mengetahui wilayah mana yang aman dan rawan terkena
bencana ketika tsunami.

Gambar 4.4 Peta Kerentanan Berdasarkan Jarak Dari Garis Pantai


Jarak dari garis pantai dibagi menjadi lima kategori kerentanan yaitu
kerentanan sangat tinggi (0—500 m), kerentanan tinggi (501—1000 m), kerentanan
sedang (1001—1500 m), kerentanan rendah (1501—3000 m), dan kerentanan
sangat rendah (>3000 m). Jarak dari garis pantai atau biasa disebut sempadan pantai
merupakan daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan
bentuk dan kondisi fisik pantai yang berjarak minimal 100 m dari bibir pantai.
Seperti pada (Gambar 4.4) menunjukkan tingkat kerentanan wilayah berdasarkan
jarak dari garis pantai. Menurut Diposaptono dan Budiman (2006), semakin dekat
suatu wilayah terhadap laut makan akan semakin tinggi tingkat kerentanan dan
resiko wilayah tersebut terhadap tsunami.

46
Berdasarkan pengamatan di lapang menunjukkan bahwa pemukiman
masyarakat pesisir di Kecamatan Gedangan berjarak 50—100 m dari bibir pantai.
Pemukiman yang mayoritas berada di pesisir berdiri diatas pantai berpasir yang
sangat rentan terhadap tsunami. Kurangnya hutan pantai atau sabuk pantai (green
belt) sebagai benteng pertahanan wilayah pesisir jika terjadi tsunami semakin
meningkatkan tingkat kerentanan wilayah pesisir di kecamatan Gedangan. oleh
karena itu perlu adanya penataan ruang yang baik untuk mengurangi resiko dampak
jika terjaditsunami. Luas tingkat kerentanan berdasarkan jarak dari garis pantai
adalah sebagai berikut (Tabel 4.4).

Tabel 4.4 Luas kelas kerentanan berdasarkan jarak dari garis pantai
Persentase
No Kerentanan Jarak (m) Luas (Ha)
(%)
1 Sangat Tinggi 0-500 598,89 6,3 %
2 Tinggi 501-1.000 535,82 5,6 %
3 Sedang 1.001-1.500 522,29 5,5 %
4 Rendah 1.501-3.000 1.483,41 15,6 %
5 Sangat rendah >3.000 6.366,68 67%
Total 9.507,11 100 %

4.2.4 Jarak dari Badan Sungai


Jarak dari sungai (sempadan sungai) juga merupakan parameter yang sangat
penting terhadap penetuan resiko bencana tsunami. Jarak dari sungai atau sempadan
sungai minimal berjarak 50 m dari badan sungai kanan dan kiri sepanjang aliran
sungai. Pada penelitian ini menggunakan sempadan pantai yang berjarak 100 m dari
badan sungai. Tsunami yang melewati sungai pada umumnya mengalami kerusakan
parah. Tsunami yang melewati daerah yang sempit seperti sungai akan
menyebabkan peningkatan kecepatan dan ketinggian muka air yang disebabkan
oleh debit massa air yang sama harus menjalar melalui celah yang sempit dalam
waktu yang bersamaan (Pedersen and Glimsdal 2010). Pemetaan jarak dari sungai
ditampilkan pada (Gambar 4.5).
Dapat dilihat pada gambar bahwa wilayah pesisir Kecamtan Gedangan yang
mencakup Desa Tumpakrejo, Desa Sindurejo dan Desa Gajahrejo memilki dua
sungai besar yaitu Sungai yang berada di barat Desa Tumpakrejo dan satu sungai
lagi berada di sebelah timur Desa Gajahrejo. Daerah tersebut memiliki tingkat

47
kerentanan yang sangat tinggi terhadap tsunami karena daerah tersebut terdapat dua
sungai besar yang dekat dengan muaranya dan berhadapan langsung dengan
Samudera Hindia. Kondisi itulah yang menyebabkan daerah tersebut sangat rentan
terhadap tsunami. Saat limpasan air bah tsunami masuk ke daratan, jika jarak antara
kedua sungai dekat makan akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah yang
disebabkan oleh akumulasi energi gelombang tsunami dan massa air (Pedersen dan
Glimsdal, 2010). Hal tersebut akan mengakibatkan air bah tsunami dapat masuk ke
daratan lebih jauh pada daerah yang dekat sungaidi bandingkan dengan daerah yang
jauh dari sungai (Mardiyanto B et.al, 2013). Oleh karena itu, penempatan area
pemukiman padat penduduk dan area ekonomi penting sebaiknya dibangun pada
jarak yang relatif jauh dari sungai yaitu sekitar >500 m. Luas daerah kerentanan
berdasarkan jarak dari garis pantai dapat dilihat pada (Tabel 4.5).

Gambar 4.5 Peta Kerentanan Berdasarkan Jarak Dari Badan Sungai

48
Tabel 4.5 Luas kelas kerentanan berdasarkan jarak dari sungai
Persentase
No Tingkat Kerentanan Jarak (m) Luas (Ha)
(%)
1 Sangat tinggi 0-100 165,06 1,74 %
2 Tinggi 101-200 137,10 1,44 %
3 Sedang 201-300 134,29 1,41 %
4 Rendah 301-500 260,89 2,74 %
5 Sangat rendah >500 8.809,76 92,67 %
Total 9.507,11 100 %

4.2.5 Tingkat Kerentanan


Klasifikasi tingkat kerentanan tsunami di wilayah pesisir Kecamatan
Gedangan dibagi menjadi lima kategori yaitu kerentanan sangat tinggi, kerentanan
tinggi, kerentanan sedang, kerentanan rendah, dan kerentanan sangat rendah.
Kategori kerentanansangat rendah dan kategori rendah mendominasi di ketiga desa.
Wilayah dengan kerentanan rendah berada di bagian utara desa, hal tersebut
dikarenakan bagian utara desa jaraknya jauh dengan pantai, jauh dengan muara
sungai serta ketinggian dan kelerangannya yang tinggi.
Wilayah dengan kategori kerentanan sedang berada pada kisaran 150—300
meter dari bibir pantai. Wilayah tersebut memiliki ketinggian sekitar 25—50 meter
diatas permukaan air laut dan dengan persentase kelerengannya berkisar 5—15%.
Hal tersebutlah yang menyebabkan daerah tersebut termasuk dalam kategori sedang
yang berarti kemungkinan untuk terkena dampak buruk dari bencana tsunami tidak
terlalu besar.
Wilayah dengan kategori kerentanan tiggi hingga kerentanan sangat tinggi
berada pada wilayah yang berjarak sekitar 0—150 meter dari garis pantai. Daerah
tersebut berada sangat dekat dengan pantai dan muara sungai. Lokasi yang sangat
dekat dengan pantai menyebabkan wilayah tersebut akan merasakan dampak yang
paling parah ketika terjadi bencana tsunami. Dengan ketinggian yang berkisar 0—
10 meter dan kelerengan berkisar 0—2% menyebabkan tsunami akan leluasa untuk
masuk ke wilayah tersebut dan menghancurkan segala sesuatu yang dilewatinya.
Keberadaan muara sungai juga akan memberikan dampak yang besar ketika
terjadi tsunami, dimana air bah tsunami akan masuk ke daratan lebih jauh. Terlihat

49
pada (Gambar 4.6) bahwa daerah yang berdekatan dengan muara sungai termasuk
dalam kategori kerentanan tinggi hingga kerentanan sangat tinggi.

Gambar 4.6 Peta Kerentanan Terhadap Tsunami


Tabel 4.6 Luas kelas kerentanan
No Kerentanan Luas (Ha) Persentase (%)
1 Sangat rendah 188,63 1,98 %
2 Rendah 7.470,46 78,33 %
3 Sedang 1.026,63 10,76 %
4 Tinggi 649,72 6,81 %
5 Sangat tinggi 201,38 2,12 %
Total 9.536,84 100 %

Luasan tingkat kerentanan di tiga desa pesisir Kecamatan Gedangan


ditampilkan dalam (Tabel 4.6). Dapat dilihat bahwa wilayah dengan tingkat
kerentanan sangat tinggi memilki luasan sebesar 201,3887 Ha. Tingkat kerentanan
sedang dengan luasan 1.026,638 Ha, serta tingkat kerentanan sangat rendah sebesar
188,6346 Ha. Namun yang paling mendominasi adalah tingkat kerentanan rendah
dengan luasan 7.470,46 Ha. Walaupun luasan tingkat kerentanan sangat tinggi
relatif lebih kecil dari total luas wilayah akan tetapi daerah tersebut merupakan

50
daerah yang dekat dengan rumah penduduk dengan topografi dan kelerengan yang
relatif rendah (0—10 meter) sehingga wilayah tersebut sangat rentan terhadap
bencana tsunami. Oleh karena itu perlu adanya srategi tata ruang dan kebijakan
untuk mengatur hal tersebut agar kerusakan yang ditimbulkan akibat bencana
tsunami tidak terlalu parah dan tidak banyak menelan korban jiwa.
Gelombang tsunami yang menerpa suatu wilayah akan berakibat pada
kerusakan sarana dan prasarana (infrastuktur) penting yang berad di wilayah
tersebut. Pada penelitian ini, untuk mengetahui tingkat kerentanan tsunami terhadap
infrastruktur maka dilakuakan tumpang susun (overlay) peta kerentanan dengan
data infrastruktur di wilayah tersebut. Infrastruktur yang dipetakan antara lain
gedung cagarbudaya, gedung pemerintahan, jembatan, sekolah, sarana ibadah,
pertambangan. Peta kerentanan terhadap infrastruktur ditampilkan dalam Gambar
4.7.
Pada (Gambar 4.7) dapat dilihat bahwa sarana ibadah, pertambangan,
sekolah dan jembatan berada pada daerah yang tergolong dalam kerentanan tinggi
hingga sangat tinggi. Infrastruktur penting di pesisir Kecamatan Gedangan masih
dibangun pada daerah yang masih dekat dengan pantai dan berbatasan langsung
dengan jarak berkisar 500 meter dari bibir pantai. Ketika tsunami terjadi menerpa
wilayah tersebut maka tingkat kerusakan infrastruktur akan tergolong tinggi.
Dampak bencana tsunami berupakerusakan infrastruktur secara langsung (Direct
Damage) yang ditimbulkan oleh terpaan gelombang tsunami. Kerusakan langsung
didefinisikan sebagai kerusakan atau kehilangan fisikal yang dapat dihitung
kuantitasnya, misalnya korban juwa, kerusakan bangunan, lahan perkebunana, dan
lahan pertanian (Julkamean 2008). Penelitian ini tidak menghitung jumlah
(kuantitas) dari kerusakan infrastruktur, penelitian ini hanya melekukan pemetaan
spasial resiko infrastruktur terhadap tsunami. Dengan demikian, hasil pemetaan di
atas diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi para pengambil keputusan
dalam mengambil upaya mitigasi dan strategi tata ruang infrastruktur dan bangunan
yang sesuai dan aman dari bencana tsunami pada daerah tersebut.

51
Gambar 4.7 Peta Kerentanan Infrastruktur Terhadap Tsunami
4.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kerentanan
Tsunami merupakan salah satu bencana alam yang bisa datang secara tiba-
tiba. Penyebab terbentuknya gelombang tsunami dapat dipicu oleh aktivitas
tektonik secara vertikal atau bisa juga disebabkan oleh longsoran aktivitas vulkanik
yang masuk ke dalam kolom perairan.
Kerentanan suatu daerah terhadap bencana tsunami dapat dilihat dari
beberapa faktor yang menyebabkan tsunami dapat terjadi di daerah tersebut
sehingga menimbulkan banyak kerusakan dan korban jiwa. Adapun beberapa faktor
yang mempengaruhi kerentana tsunami adalah jarak dari garis pantai, jarak dari
badan sungai, ketinggian daratan dan kelerengan daratan. Dari beberapa faktor
tersebut terdapat satu atau dua faktor yang paling mempengaruhi tingkat kerentanan
daerah tersebut terhadap tsunami (Tabel 4.7).

52
Tabel 4.7 Penilaian Parameter Kerentanan
Nilai
No. Nama Desa Parameter Bobot Skor
Total
1. Tumpakrejo Ketinggian 30 5 150
Kelerengan 25 5 125
Jarak dari garis 30 5 150
pantai
Jarak dari badan 15 5 75
sungai
2. Sindurejo Ketinggian 30 5 150
Kelerengan 25 5 125
Jarak dari garis 30 5 150
pantai
Jarak dari badan 15 1 15
sungai
3. Gajahrejo Ketinggian 30 5 150
Kelerengan 25 5 125
Jarak dari garis 30 5 150
pantai
Jarak dari badan 15 5 75
sungai

Berdasarkan hasil penilaian parameter diatas dapat dilihat bahwa parameter


yang memiliki total nilai tertinggi di tiga desa tersebut adalah parameter ketinggian
daratan dan jarak dari garis pantai. Sehingga dapat diasumsikan ketika daratan
pesisir semakin rendah/landai, maka akan menyebabkan air bah tsunami dapat
semakin cepat menjangkau ke daratan yang lebih jauh dan lebih luas. Hal tersebut
tentu akan mengakibatkan lebih banyak kerusakan dan korban jiwa. Dan apabila
jarak dari pemukiman atau pusat aktivitas warga berada di daerah yang jaraknya
dekat dengan pantai, maka akan mengakibatkan daerah tersebut makin rawan
terkena dampak dari tsunami. Hal tersebut dikarenakan tsunami akan menyapu
daratan yang dekat dengan pantai menuju ke daratan yang lebih jauh hingga
mencapai jarak yang dapat dijangkaunya.

53
Gambar 4.8 Pesisir Desa Tumpakrejo

Gambar 4.9 Pesisir Desa Sindurejo

54
Gambar 4.10 Pesisir Desa Gajahrejo

Berdasarkan hasil perekaman citra Google Earth dapat dilihat gambaran


pesisir desa Tumpakrejo, Sindurejo dan Gajahrejo. Gambar tersebut dapat dilihat
pada desa Tumpakrejo dan Gajahrejo memiliki wilayah pesisir yang memanjang
dan landai. Hal tersebut sesuai dengan pengamatan lapang yang memperlihatkan
bahwa pantai di dua desa tersebut memiliki karakteristik pantai yang memanjang,
landai dan bersubstrat pasir. Karakteristik pantai seperti ini akan sangat rawan
terkena dampak tsunami. Pesisir yang landai akan memudahkan tsunami untuk
menjangkau daratan yang lebih jauh dan luas dibandingkan dengan pesisir yang
memiliki ketinggian daratan yang tinggi atau bertebing. Selain itu substrat berpasir
juga akan mudah tergerus oleh gelombang tsunami sehingga dapat menghancurkan
segala sesuatu yang berada di atasnya. Sedangkan untuk wilayah pesisir desa
Sindurejo dapat dilihat bahwa wilayah terebut sebagian terdiri dari daratan landai
berpasir dan sebagian lagi merupakan daratan bertebing. Daratan yang bertebing
memiliki kerentanan yang rendah, dimana ketika terjadi tsunami dinding tebing
akan menghalangi tsunami untuk menjangkau wilayah yang lebih jauh dan lebih
luas.

55
4.4 Ketahanan Masyarakat
4.4.1 Gambaran Umum Responden
Penelitian ini menggunakan metode CCR untuk mendapatkan hasil
gambaran ketahanan masyarakat pesisir di tiga desa di Kecamatan Gedangan. Desa
di Kecamatan Gedangan yang memiliki wilayah pesisir yaitu Desa Tumpakrejo,
Desa Sindurejo dan Desa Gajahrejo. Populasi masyarakat di Desa Tumpakrejo
berjumlah 7.248 jiwa dengan rincian 3.681 orang pria dan 3.567 orang wanita. Desa
Sindurejo memiliki jumlah populasi 5.955 jiwa dengan rincian 2.978 orang pria dan
2.977 orang wanita. Sedangkan populasi untuk Desa Gajahrejo memiliki jumlah
populasi yang paling banyak dibandingkan dua desa sebelumnya yaitu berjumlah
8.335 jiwa dengan rincian 4.110 orang pria dan 4.225 orang wanita.
Teknik pengumpulan data dengan metode CCR dilakukan dengan cara
kuesioner dan wawancara karena penilaian CCR membutuhkan informasi dan data
untuk membandingkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, status ketahanan
masyarakat dengan kondisi yang diinginkan dalam masing-masing elemen
ketahanan. Kuesioner yang dilakukan pada penelitian ini melibatkan 80 responden
dengan rincian sebagai berikut (Tabel 4.7):
Tabel 4.8 Jumlah sampel untuk tiap strata
Strata Jumlah Sampel
Pemerintah 7
Swasta 38
Pelajar 7
Masyarakat Pesisir 28

25

20

15

10 20 19 18
11 12
5

0
≤20 21-30 31-40 41-50 >50

Gambar 4.11 Jumlah Responden Berdasarkan Umur

56
60

50

40

30
48
20
32
10

0
laki-laki perempuan

Gambar 4.12 Jumlah Responden Berdasarkan Gender

70

60

50

40

30 61

20

10 19
0
belum menikah sudah menikah

Gambar 4.13 Jumlah Responden Berdasarkan Status

40
35
30
25
20 38
15 28
10
5
7 7
0
pemerintah swasta pelajar masyarakat pesisir

Gambar 4.14 Jumlah Responden Berdasarkan Pekerjaan

57
Grafik yang telah ditampilkan dapat dilihat bahwa pada (Gambar 4.8)
memperlihatkan sebaran responden berdasarkan umur. Grafik tersebut dapat dilihat
bahwa responden didominasi oleh masyrakat yang berumur 20—50 tahun.
Kemudian untuk sebaran gender responden dapat dilihat pada (Gambar 4.9) yang
memperlihatkan bahwa responden laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
responden wanita. Grafik di (Gambar 4.10) dapat dilihat bahwa responden
didominasi oleh masyarakat yang telah berstatus menikah. Hal ini sesuai dengan
wawancara yang telah dilakukan, berdasarkan pernyataan warga sekitar, warga
pesisir yang telah berusia di atas 17 tahun mayoritas sudah berstatus menikah.
Untuk pekerjaan responden dapat dilihat pada (Gambar 4.11). Berdasarkan grafik
tersebut dapat dilihat bahwa responden mayoritas berprofesi sebagai swasta dan
masyarakat pesisir. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil survey di lapang bahwa
masyarakat sekitar mayoritas bekerja swasta seperti membuka bengkel atau toko.
Hal tersebut dikarenakan banyaknya tempat wisata di daerah tersebut yang
memberi peluang mereka untuk berwirausaha. Sedangkan masyarakat pesisir
mayoritas berprofesi sebagai nelayan.

4.4.2 Hasil Survey Masyarakat Pesisir


Hasil penilaian dengan kuesioner, didapatkan hasil berupa resilience index
untuk masing-masing elemen ketahanan masyarakat pesisir Kecamatan Gedangan,
Kabupaten Malang dapat dilihat pada (Tabel 4.8) dengan keterangan indikator
elemen ketahanan yang ditampilkan pada (Tabel 4.9).
Tabel 4.9 Nilai indeks ketahanan untuk tiap elemen ketahanan
Elemen Ketahanan
Desa
A B C D E F G H
Tumpakrejo 2,46 2,94 3,77 2,02 3,42 4,20 4,01 1,56
Sindurejo 2,88 2,81 2,94 2,84 3,18 2,98 3,13 2,87
Gajahrejo 2,51 2,24 3,01 2,67 3,02 2,57 3,26 2,63
Rataan 2,62 2,66 3,24 2,51 3,21 3,25 3,47 2,35
Standar Deviasi 0,23 0,38 0,46 0,43 0,20 0,85 0,48 0,69

58
Tabel 4.10 Indikator elemen ketahanan
Indikator Elemen Ketahanan
A Pemerintah
B Kehidupan Sosial dan Ekonomi
C Manajemen Sumberdaya Pesisir
D Desain Struktur dan Penggunaan Lahan
E Pengetahuan tentang Risiko
F Peringatan dan Evakuasi
G Respon Terhadap Keadaan Darurat
H Pemulihan Setelah Bencana

Nilai Resilience index yang ada, didapatkan resilience diagram (Gambar


4.12) yang nantinya akan dianalisis, pada elemen apa saja yang dinilai masihh
dibawah standar, yang selanjutnya akan diberikan rekomendasi untuk
meningkatkan ketahanan pada elemen tersebut.

A
2,620

H B
2,661
2,363

3,459G C
3,233

2,516
F D
3,236

E
3,203

Gambar 4.15 Diagram Ketahanan Untuk Masyarakat Pesisir Kecamatan Gedangan


Untuk uji validitas, data penelitian dapat dikatakan valid jika r hitung dari
pertanyaan setiap elemen lebih besar dari nilai r tabel. Dengan toleransi (α) sebesar
5% dan responden sebanyak 80, maka diperoleh nilai r tabel sebesar 0,22.
Berdasarkan hasil uji dengan SPSS diketahui bahwa nilai r hitung dari pertanyaan
setiap elemen lebih besar dari nilai r tabel (0,22). Maka, dapat disimpilkan bahwa
masing-masing pertanyaan untuk tiap elemen dalam kuesioner yang digunakan
adalah valid.

59
Untuk uji reliabilitas, data penelitian dapat dikatakan reliabel jika nilai
cronbach’s alpha lebih besar dari 0,6. Berdasarkan hasil uji reliabilitas
menggunakan SPSS didapatkan hasil cronbach’s alpha sebesar 0,765, dimana nilai
tersebut lebih besar dari 0,6. Hasil tersebut dapat dilihat bahwa semua indikator
dalam penelitian adalah reliabel.
Berdasarkan uji validitas dan uji reliabilitas yang dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa kuesioner yang telah digunakan dan data yang diperoleh dalam
penelitian ini layak digunakan dan telah memenuhi validitas dan reabilitas yang
disyaratkan.

4.4.3 Analis dan Rekomendasi


Hasil data indeks ketahanan dan diagram ketahanan yang telah didapat
diketahui bahwa elemen ketahanan yang nilainya masih di bawah standart dan harus
ditinjau kembali adalah elemen Pemerintah dengan nilai 2,62, elemen Kehidupan
Sosial dan Ekonomi dengan nilai 2,66, elemen Desain Struktur dan Penggunaan
Lahan dengan nilai 2,52, dan elemen Pemulihan Setelah Bencana dengan nilai 2,36.
Dapat dilihat bahwa dari delapan elemen ketahanan, lima diantaranya masih
dibawah standart yang perlu adanya peninjauan kembali terhadap elemen ketahanan
tersebut.
Hasil diatas menggambarkan bahwa ketahanan masyarakat di tiga desa
pesisir Kecamatan Gedangan masih tergolong rendah. Maka dari itu perlu adanya
upaya mitigasi untuk mengurangi resiko bencana tsunami dan meningkatkan
ketahanan atau kesiapan masyarakat pesisir dalam menghadapi bencana tsunami
yang bisa datang kapan saja. Berikut adalah beberapa contoh studi kasus mitigasi
bencana stunami di beberapa daerah yang dapat menjadi bahan rekomendasi,
ditampilkan pada (Tabel 4.10).
Tabel 4.11 Rekomendasi Mitigasi
Lokasi Ancaman/Bahaya Strategi Mitigasi
Kabupaten Cilacap • Gempa bumi dan • 2 kali sosialisai mengenai
(Mahendra et.al, tsunami bencana gempa dan tsunami
2013) • 1 kali simulasi tanggap
bencana di wilayah Pantai
Teluk Penyu dan pusat kota
Kecamatan Cilacap Selatan

60
Lokasi Ancaman/Bahaya Strategi Mitigasi
• Pengetahuan tentang gempa
dan tsunami melalui mata
pelajaran di sekolah
• Pemasangan sirine tower
yang diletakkan di kawasan
pantai wisata Widara Ayung
dan 6 masjid sebagai sirine
evakuasi.
• Peta evakuasi yang
disertakan dengan simbol
berwarna yang menandakan
zona daerah berdasarkan
ketinggian gelombangnya.
Kabupaten Pacitan • Tsunami • Telah dilakukan 3 kali
(Pradana, 2012) sosialisasi secara langsung
dan melalui sekolah-
sekolah.
• 2 kali simulasi yang
dilakuakan di Pantai Telang
Ria.
• Perusahaan lokal
mengadakan pendidikan
evakuasi tsunami berupa
pelatihan kepada calon
pegawai dan silabus
perusahaan.
• Sistem muster point yang
terletak di alun-alun Pacitan.
• Dibentuk posko-posko
taktis yang disesuaikan
dengan wilayah dan
tugasnya masing-masing.

61
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan :
1. Parameter kerentanan yang berpengaruh sebanyak tiga parameter, dan satu
parameter kerentanan kurang berpengaruh yaitu, jarak dari badan sungai.
2. Tingkat kerentanan sangat rendah seluas 188,63 Ha, rendah seluas 7.470,46
Ha, sedang seluas 1.026,63 Ha, tinggi seluas 649,72 Ha, dan sangat tinggi
seluas 201,38 Ha.
3. Terdapat empat elemen ketahanan yang masih bernilai di bawah standar (3)
yaitu, elemen pemerintah, kehidupan sosial dan ekonomi, desain struktur
dan penggunaan lahan, dan pemulihan setelah bencana.

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian tentang kerentanan dan ketahanan masyarakat maka
dapat disarankan:
1. Penelitian selanjutnya dapat menambahkan parameter kerentanan yang
dapat memaksimalkan hasil penelitian.
2. Penelitian dapat mengambil jumlah responden yang lebih banyak dengan
nilai e sebesar 0,05.

62
DAFTAR PUSTAKA

Amos, Jonathan. 2018. Tsunami Akibat Longsor Anak Krakatau: Bagaimana


Gunung Api Dapat Jadi Pemicu di https://www.bbc.com (diakses 2 Februari
2019).

Arif, S. 2016. “Model Geospasial Sistem Pendukung Keputusan (Geospatial


Decision Support System) ManajemenLahan Pangan”. Skripsi. Universitas
Hasanuddin Makassar.

Baeda, A. Y., Rachman, T., Umar, H., and Suriamihardja, D.A. 2015. Mitigation
Plan for Tsunami of Seruni Beach Bantaeng. Procedia Earth and Planetary
Science. XIV : 179—185.

Baharuddin. 2016. “Analisis Geospasial Terhadap Konversi Lahan Optimal


Dengan Menggunakan Metode Cellular Automata”. Skripsi. Universitas
Hasanuddin Makassar.

Baja, S. 2012. “Metode Analitik Evaluasi Sumber Daya Lahan”. Skripsi.


Universitas Hasanuddin Makassar.

Baldacchino, G. 2008. Studying Island: On Whose Terms Some Epistemological


and Methodologoical Challenges to the Pursuit of Island Studies. Island
Studies Journal. III (1): 37—56.

Bankjim. 2018. Apa Itu Tsunami, Apa Penyebab, Karakteristik dan Dampak
Tsunami di https://www.bankjim.com (diakses 5 Januari 2019).

BNPB. 2017. Buku Saku Tanggap Tangkas Tangguh Menghadapi Bencana.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Laut Secara terpadu. Jakarta : Penerbit Pradya
Paramita.

Diposaptono, S dan Budiman. 2005. Tsunami. Bogor: Buku Ilmiah Populer.

Diposaptono, S., dan Budiman. 2006. Tsunami. Bogor: Sarana Komunikasi Utama.

Dodman, David. 2009. State of the World into a Warning World. The World Watch
Institute.

Enviromental System Research Institut. 2002. Using ArcGIS Spatial Analyst. New
York: NY.

Hadi, Fakhri dan Astrid Damayanti. 2017. Aplikasi Sig Untuk Pemetaan Zona
Keterpaparan Permukiman Terhadap Tsunami Studi Kasus: Kota
Pariaman, Sumatera Barat. Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi
Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan
Berkelanjutan.

63
Hajar, Moh. 2006. “Pemetaan Tingkat Kerawanan Bencana Tsunami Menggunakan
Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Studi Kasus:
Kota Padang. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Hartoko, A. Dan M. Helmi. 2005. Saatnya Pemda memiliki Peta Rawan Bencana
untuk Wilayah Pesisir. Dalam: P. Cahannar. Bencana Gempa dan tsunami.
Jakarta: penerbit Buku Kompas. Halaman: 104—107.

Husrin, Sameidi., Kelvin, Jaya., Putra, Aprizon., Prihantono, Joko., Cara, Yudhi.,
and Hani, Aditya. 2015. Assessment on the Characteristics and the Damping
Performance of Coastal Forest in Pangandaran After the 2006 Java
Tsunami. Procedia Earth and Planatary Science. XII : 20—30.

Idris, I. 2005. Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management-ICM)


dalam rangka Mitigasi Bencana Tsunami. Dalam : Pelatihan Mitigasi,
Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Bencana Tsunami di Wilayah Pesisir.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Halaman : 1—6.

Ikawati, Y. 2005. Memetakan Ulang NAD Pasca Tsunami. Dalam: P. Cahanar,


Bencana Gempa dan Tsunami. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Halaman:
141—145.

Iqoh, Faiqoh., Johson Lumban Gaol., dan Marisa Mei Ling. 2013. Vulnerability
Level Map of Tsunami Disaster in Pangandaran Beach, West Java.
International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences. X (2): 90 –
103.

ISDR. 2004. Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiatives.
UNISDR. Geneva.

Julkarnaen, D. 2008. Identifikasi Tingkat Resiko Bencana Tsunami Berbasis


Spasial (Studi Kasus: Zona Industri Kota Cilegon). Thesis. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.

Kaly UL., Prat CR., Mitchell J. 2004. The Demonstration Enviromental


Vulnerability Index (EVI) 2004. SOPAC Technical Report 304. UNEP,
Ireland, Italy, New Zealand and Norway. 323 pp.

Kecamatan Gedangan dalam Angka Tahun 2018.

Koniyo, Moh. Hidayat. 2013. Perancangan Pemetaan Tenaga Kesehatan Propinsi


GorontaloMenggunakan Sistem Informasi Geografis. Jurnal Teknik. XI (1):
17—26.

Kurniawati, Risca. 2016. “Pemetaan Tingkat Kerentanan Bencana Tsunami di


Pesisir Kabupaten Jember Jawa Timur”. Skripsi. Universitas Trunojoyo
Madura.

Lander, J. F., Whiteside, L. S., Lockridge, P. A. 2003. Two Decades of Global


Tsunami 1982—2002. Science of Tsunami Hazards. XXI (1): 3—88.

64
Mahendra, Wismu Alga., Haryo Dwito Armono., dan Kriyo Sambodho. 2013. Studi
Analisa Ketahanan Masyarakat Pesisir Cilacap Terhadap Bencana Tsunami.
Jurnal Teknik POMITS. II (1): 1—12.

Mardiyanto, B., Rochaddi, B., Helmi, M. 2013. Kajian Kerentanan Tsunami


Menggunakan Metode Sistem Informasi Geografis di kabupaten Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Journal of Marine Research. II (1): 103—
111.

Miladan, Nur. 2009. Kajian Kerentanan Wilayah Pesisir Kota Semarang Terhadap
Perubahan Iklim. Thesis. Semarang: Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro.

Monica, E. M., Mardwi Rahdriawan. 2014. Ketahanan Masyarakat Menghadapi


Rob Di Kelurahan Bandarharjo, Semarang Utara. Jurnal Teknik PWK. III
(1): 198—208.

Mukaryanti. 2005. Merencanakan Kota Pantai Berbasis Kerentanan terhadap


Tsunami. Dalam: P. Cahanar. Bencana Gempa dan Tsunami. Jakarta: Buku
Kompas. Halaman 125—129.

Munir, Agus Qomaruddin. 2014. Sistem Informasi Geografi Pemetaan Bencana


Alam Menggunakan Google Maps. Jurnal Teknologi Informasi. IX (26):
1—10.

Muzaki, A. A. 2008. Analisis Spasial Kualitas Ekosistem Terumbu Karang sebagai


Dasar Penentuan Kawasan Konservasi Laut Dengan Metode Cell Based
Modelling di Karang Lebar dan Karang Congkak Kepulauan Seribu, DKI
Jakarta. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Nahak, Priska Gardeni., Djunaedi dan Tedi Wonlele. 2014. Studi Perencanaan
Mitigasi Bencana Tsunami di Daerah Wisata Pantai Tablolong. Jurusan
Teknik Sipil, Politeknik Negeri Kupang, Kupang.

Nugroho, R. 2018. BNPB : Indonesia Rawan Tsunami, Sejak 1629 Ada 177
Kejadian di https://m.detik.com (diakses 21 Januari 2019).

Nur, Arief Mustofa. 2010. Gempa Bumi, Tsunami Dan Mitigasinya. Jurnal
Geografi. VII (1): 66—73.

Oktariadi, O. 2009. Penentuan Peringkat Bahaya Tsunami dengan Metode


Analytical Hierarchy Process (Studi Kasus: Wilayah Pesisir Sukabumi).
Jurnal Geologi Indonesia. IV (2): 103—116.

Orbist. 2010. Multi Layered Sosial Resilience: A New Approach is Mitigation


Research. Progress in Development Studies: Sage Publications.

Pedersen, G dan Glimsdal, S. 2010. Coupling of Dispersive Tsunami Propagation


and Shallow Water Coastal Response. The Open Oceanography Journal.
IV: 71—82.

65
Pradana, Yusuf Adi., Kriyo Sambodho., Haryo Dwito Armono. 2012. Studi
Ketahanan Masyarakat Pesisirpacitan Terhadap Bencana Tsunami. Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.

Prasetya, G. S., De Lange W. P., and Healy T. R. 2001. The Makassar Strait
Tsunamigenic Region. Indonesia Natural Hazards. XXIV : 295—307.

Prijana. 2005. Metode Sampling Terapan – untuk Penelitian Sosial. Humaniora,


Bandung.

Putranto, Eka T. 2006. Gempabumi dan Tsunami. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Alam, 5 hlm.

Restiasta, Tiya Rima. 2014. Pergerakan Lempeng (Plate Movement) di


http://tyarimasspict.blogspot.com (diakses 22 Januari 2019).

Rustan, A dan Ferry Firdaus. 2011. Ancaman Bencana dan Kebijakan


Penanganannya di Daerah. Jurnal Borneo Administrator. Vol. 7(1) : 89—
109.

Sapirstein, Guy. Social Resilience. The Forgotten Element in Disaster Reduction.


Organizational Resilience International. Massachusetss.

Sembiring, Kristantus. 2007. Aplikasi Sistem Informasi Penanggulangan Bencana


di Indonesia. Karya Tulis Ilmiah Jurusan Teknik Informatika. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.

Soleman M. K., Fitri Nurcahyani., Sri Lestari Munajati. 2012. Pemetaan


Multirawan Bencana di Provinsi Banten. Jurnal Globe. XIV (1): 46—59.

Subardjo, Petrus dan Raden Ario. 2015. Uji Kerawanan Terhadap Tsunami Dengan
Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Pesisir Kecamatan Kretek, Kabupaten
Bantul, Yogyakarta. Jurnal Kelautan Tropis. Vol. 18(2): 82–97.

Suprapto, Octavian., Syawaludin A Harahap dan Titin Herawati. 2016. Analisis


Kerentanan Fisik Pantai Di Pesisir Garut Selatan Jawa Barat. Jurnal
Perikanan Kelautan. Vol. 7(2): 51—57.

Triutomo, S., Widjaja, B. W., dan Amri, M. R. 2007. Editor Pengenalan


Karakteristik Bencana dan Uapaya Mitigasinya di Indonesia. Edisi II.
Pelaksanaan Harian Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana.
Jakarta: Direktorat Mitigasi BAKORNAS PB.

US-IOTWS. 2007. How Resilient Is Your Coastal Community? – A Guide for


Evaluating Coastal Community Resilience To Tsunamis and Other
Hazards, NOAA Bangkok, Thailand.

Yudhicara. 2008. Kaitan Antara Karakteristik Pantai Provinsi Sumatera Barat


dengan Potensi Kerawanan Tsunami. Jurnal Geologi Indonesia. III (2):
95—106.

66
LAMPIRAN
Dokumentasi penyebaran kuesioner kepada masyarakat

67
68
69

Anda mungkin juga menyukai