Anda di halaman 1dari 52

 

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN


KAYU DI PT. DIAMOND RAYA TIMBER, PROVINSI RIAU

FEBRIANGGA HARMAWAN

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
 

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN


KAYU DI PT. DIAMOND RAYA TIMBER, PROVINSI RIAU

FEBRIANGGA HARMAWAN
E14080068

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
 

ABSTRAK

FEBRIANGGA HARMAWAN. E14080068. Kerusakan Tegakan Tinggal


Akibat Pemanenan Kayu di PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau. Di
Bawah Bimbingan UJANG SUWARNA.
Dalam kegiatan pemanfaatan hutan rawa gambut, tidak terlepas pada
kegiatan pemanenan hutan. Adapun dampak dari kegiatan pemanenan yaitu dapat
mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal yang mengancam kelestarian hutan.
Walaupun pemanenan kayu dilaksanakan dengan hati-hati, kerusakan tegakan
tinggal tersebut sulit dihindarkan. Kerusakan tegakan tinggal adalah kerusakan
yang terjadi pada bagian tegakan yang sebenarnya tidak termasuk dalam rencana
untuk dipanen pada saat dilakukan pemanenan. Penelitian ini bertujuan untuk
menghitung tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan kayu di
hutan rawa gambut. Metode penelitian ini berupa pengukuran tingkat kerusakan
pohon setelah penebangan dan penyaradan pada 6 plot contoh masing-masing
seluas 1 ha. Persentase dan tingkat kerusakan pohon dihitung dengan
membandingkan jumlah kerusakan pohon setelah pemanenan dengan jumlah
pohon sebelum pemanenan. Hasil penelitian menunjukan tipe-tipe kerusakan yaitu
rusak tajuk, rusak kulit, rusak banir, patah batang, pecah batang, miring, roboh
dan ditebang. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemaenan di PT. Diamond Raya
Timber termasuk dalam kategori sedang, yaitu sebesar 41,14%. Persentase
kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan sebesar 20,61% dan persentase
kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan sebesar 20,53%.

Kata kunci: kerusakan tegakan tinggal, pemanenan kayu, penebangan, penyaradan


 

ABSTRACT

FEBRIANGGA HARMAWAN. E14080068. Residual Stand Damage Caused


by Timber Harvesting in Diamond Raya Timber Forest Company, Riau
Province. Supervised by UJANG SUWARNA.
In the activities of the utilization of the peat swamp forests, not separated in
the harvesting of the forest activities. As for the impact of harvesting activities
which could result in damage to the forest was living that threaten the
sustainability of the forest. Although timber harvesting is carried out carefully,
damage the difficult lives residual stands are avoided. Residual stand damage to
the forest lived is happening on the part of the forest which is actually not
included in plans for harvested at the time of harvesting is done. This research
aims to quantify residual stand damage caused by wood harvesting in peat swamp
forest. The method of the research is to measure the stand damage after felling and
skidding operation at 6 sample plot which 1 hectare in each plot. The percentage
and the level of tree damage were calculated through comparing the number of
tree damage after logging with the number of tree before logging. The result of the
study showed that the type of damage was crown damage, bark injury, buttress
root damage, broken stem and fell. Residual stand damage caused by harvesting in
Diamond Raya Timber forest company include medium damage, it was 41,14%.
The percentage of stand damage caused by felling was 20,61% and the percentage
of stand damage caused by skidding was 20,53%.

Keywords: felling, residual stand damage, skidding, wood harvesting


 

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kerusakan Tegakan


Tinggal Akibat Pemanenan Kayu di PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau
adalah benar karya saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Febriangga Harmawan
NRP E14080068
 

Judul Skripsi : Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu di


PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau
Nama : Febriangga Harmawan
NIM : E14080068

Menyetujui:
Dosen Pembimbing,

Ujang Suwarna S.Hut, MSc. F


NIP. 19720512 199702 1 001

Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS


NIP : 19630401 199403 1 001

Tanggal Lulus :
 

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis ucapkan puji dan syukur kehadirat


Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat
Pemanenan Kayu di PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau. Penulis
menyadari bahwa karya ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan berbagai pihak.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Bapak Deni Hamdani dan Ibu Neneng Jenarsih,
kakakku Tety Septiawaty serta adikku Arlintania Agustianawaty yang telah
memberikan dukungan moral dan material serta kasih sayang.
2. Bapak Ujang Suwarna S.Hut, M.Sc. F selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan, motivasi, dan bimbingan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
3. Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc selaku dosen penguji dari Departemen
Silvikultur dalam ujian komprehensif.
4. Dr. Nining Puspaningsih. Msi selaku ketua sidang dalam ujian komprehensif.
5. Segenap pimpinan dan staf pegawai PT. Diamond Raya Timber, Bapak Surya
Agung, Bapak Rudi Hartanto, Bapak Wahyu, Mbak Mita, Mas Pewe, Mas
Dede, Bang Iwan serta seluruh karyawan PT. Diamond Raya Timber.
6. Keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB dan Manajemen Hutan 45.
7. Nurus Sa’adah atas semangat dan motivasinya.
8. Untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penelitian dan
penyelesaian skripsi ini.

Bogor, Februari 2013

Penulis
 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 Februari 1990 sebagai anak


kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Deni Hamdani dan Ibu Neneng
Jenarsih. Pada tahun 1995 penulis memulai pendidikan formal di TK Pasundan
Isteri Bogor dan lulus pada tahun 1996. Selanjutnya pada tahun 1996 penulis
melanjutkan jenjang pendidikan ke SDN Batutulis 2 Bogor lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan ke SLTPN 7 Bogor dan lulus
pada tahun 2005. Selanjutnya pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikan ke SMAN 3 Bogor dan lulus pada tahun 2008. Kemudian pada tahun
2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) dengan mayor Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 2010 penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan
(P2EH) di Baturaden dan Cilacap. Pada tahun 2011 penulis melakukan Praktek
Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi. Pada bulan
Februari sampai dengan bulan April 2012 penulis melakukan kegiatan Praktek
Kerja Lapang (PKL) dan Penelitian di IUPHHK PT. Diamond Raya Timber,
Provinsi Riau. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi
kemahasiswaan yaitu sebagai anggota Bidang Olahraga dan Seni Badan Eksekutif
Mahasiswa tahun 2009-2010, anggota Forest Management Student Club (FMSC),
Unit Kegiatan Mahasiswa Futsal Institut Pertanian Bogor. Selain itu penulis
pernah menjadi asisten praktikum Ekologi Hutan pada tahun 2010, Pemanenan
Hutan pada tahun 2011dan Praktek Pengelolaan Hutan pada tahun 2012.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu di PT.
Diamond Raya Timber, Provinsi Riau dibimbing oleh Bapak Ujang Suwarna
S.Hut, M.Sc. F.
iii
 

DAFTAR ISI

PRAKATA ......................................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................ 2
1.3 Manfaat Penelitian ......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3
2.1 Hutan Rawa Gambut ..................................................................... 3
2.2 Pemanenan ..................................................................................... 5
2.3 Tegakan Tinggal ............................................................................ 6
BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 8
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 8
3.2 Obyek dan Alat Penelitian ............................................................. 8
3.3 Batasan Masalah Penelitian .......................................................... 8
3.4 Metode Penelitian .......................................................................... 8
3.4.1 Metode Kerja ...................................................................... 8
3.4.2 Data Primer ......................................................................... 9
3.4.3 Data Sekunder .................................................................... 10
3.5 Pengolahan Data .......................................................................... 10
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .................................... 13
4.1 Kondisi Fisik dan Administrasi .................................................... 13
4.2 Luas Efektif .................................................................................. 14
4.3 Aksesibilitas .................................................................................. 15
4.4 Topografi dan Kelerengan ............................................................ 15
4.5 Geologi dan Tanah ........................................................................ 15
4.6 Iklim dan Intensitas Hujan ............................................................. 17
4.7 Hidrologi ........................................................................................ 18
4.8 Tipe Hutan dan Penutupan Lahan ................................................ 18
iv
 

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 22


5.1 Kegiatan Pemanenan Kayu ........................................................... 22
5.2 Kerapatan Awal Plot Penelitian .................................................... 22
5.3 Kerusakan Tegakan Tinggal ........................................................ 24
5.3.1 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan................ 24
5.3.2 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penyaradan ............... 28
5.3.3 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan dan
Penyaradan .......................................................................... 31
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 34
6.1 Kesimpulan .................................................................................... 34
6.2 Saran .............................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 35
LAMPIRAN ........................................................................................................ 37
v
 

DAFTAR TABEL

1. Kerusakan tegakan tinggal berdasarkan jumlah populasi ............................. 7


2. Batas-batas areal kerja IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber ................ 13
3. Peruntukan areal di kawasan IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber ......
........................................................................................................................ 14
4. Tipe tanah di sekitar DAS Rokan .................................................................. 16
5. Kerapatan pohon sebelum pemanenan tiap kelas diameter dan jumlah
pohon yang ditebang ...................................................................................... 23
6. Tipe kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm akibat
penebangan tiap plot penelitian...................................................................... 25
7. Jumlah kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm akibat
penebangan tiap kelas diameter berdasarkan tipe kerusakan ......................... 25
8. Persentase tingkat dan tipe kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari
10 cm akibat penebangan ............................................................................... 27
9. Persentase tingkat dan tipe kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari
10 cm akibat penyaradan................................................................................ 29
10. Jumlah pohon rusak dan persentase kerusakan akibat penyaradan tiap
plot penelitian................................................................................................. 30
11. Persentase kerusakan pohon berdiameter lebih dari 10 cm akibat
penebangan dan penyaradan .......................................................................... 31
12. Tegakan sisa jenis komersil dan non komersil............................................... 32
13. Jumlah tegakan sisa setelah kegiatan pemanenan .......................................... 33
vi
 

DAFTAR GAMBAR

1. Letak IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber .......................................... 14


2. Kerapatan pohon tiap kelas diameter sebelum pemanenan ........................... 24
3. Kerapatan pohon tiap kelas diameter setelah pemanenan .............................. 33
vii
 

DAFTAR LAMPIRAN

1. Tipe-tipe kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan ................................ 38


2. Gambar areal kerja IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber ..................... 39
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengusahaan hutan produksi pada ekosistem hutan rawa gambut telah lama
dilaksanakan sejak tahun 1970-an dan mulai intensif atau secara besar-besaran
sejak tahun 1980-an, ketika produksi kayu dari hutan hujan dataran rendah mulai
mengalami penurunan (Istomo et al 2010). Hutan rawa gambut merupakan suatu
tipe ekosistem hutan yang tumbuh di atas tumpukan bahan organik. Bahan
organik tersebut berasal dari sisa-sisa tumbuhan (akar, batang, cabang, ranting,
daun, dan lainnya) yang terdekomposisi secara lambat. Hutan rawa gambut
merupakan hutan yang jenuh air dan miskin hara namun hutan rawa gambut
memiliki keanekaragaman jenis yang relatif tinggi. Disamping itu, hutan rawa
gambut merupakan suatu ekosistem yang rentan, dalam artian hutan ini mudah
terganggu/rusak dan sangat sulit untuk kembali lagi seperti kondisi awalnya.
Menyadarai hal tersebut, maka perlu sekali diusahakan upaya-upaya pencegahan
atas segala kemungkinan yang menyebabkan rusaknya hutan ini.
Dalam kegiatan pemanfaatan hutan rawa gambut ini, tidak terlepas pada
kegiatan pemanenan hutan. Kegiatan pemanenan merupakan salah satu cara
memanfaatkan sumber daya hutan bagi kebutuhan hidup manusia, terutama kayu.
Adapun dampak dari kegiatan pemanenan yaitu dapat mengakibatkan kerusakan
tegakan tinggal yang mengancam kelestarian hutan. Walaupun pemanenan kayu
dilaksanakan dengan hati-hati, kerusakan tegakan tinggal tersebut sulit
dihindarkan. Kerusakan tegakan tinggal adalah kerusakan yang terjadi pada
bagian tegakan yang sebenarnya tidak termasuk dalam rencana untuk dipanen
pada saat dilakukan pemanenan. Tipe-tipe kerusakan tegakan tinggal, antara lain :
pohon roboh, pohon berdiri tapi kulit rusak, batang pecah/belah, tajuknya rusak,
dan dapat mengganggu perkembangan pohon atau bahkan tidak dapat tumbuh lagi
ke keadaan normal/semula.
Meminimalkan kerusakan akibat pemanenan kayu harus dilakukan agar
pengelolaan hutan lestari dapat dicapai. Selain itu, potensi tegakan tinggal setelah
pemanenan kayu perlu dikaji untuk penyelamatan pohon-pohon muda, baik itu
dari jenis komersil maupun non komersil agar aspek ekologis dapat dijaga.
2
 

Kondisi baru akibat kegiatan pemanenan hutan harus mencerminkan kerusakan


yang minimal sehingga tegakan tersebut berkemampuan untuk pulih dengan atau
tanpa campur tangan manusia. Dengan demikian memungkinkan untuk dilakukan
kembali pemanenan kayu pada periode tebang berikutnya yang memiliki potensi
minimal sama bahkan lebih besar dari sebelumnya. Pada saat ini cara untuk
meminimalkan kerusakan lingkungan akibat penebangan kayu yang sudah ada
yakni yang dikenal dengan Reduced Impact Logging (RIL). Penerapan RIL di
lahan gambut diharapkan dapat mencapai hasil optimal dan lestari.

1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah menghitung tingkat kerusakan tegakan tinggal
akibat kegiatan pemanenan kayu di hutan rawa gambut.

1.3 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai seberapa
besar kerusakan tegakan tinggal yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu dan
menjadi masukan bagi kepentingan pengelolaan hutan alam yang lestari dan
berkelanjutan dengan meminimalkan kerusakan tegakan tinggal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rawa Gambut


Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan berkisar antara 17 - 21 juta ha.
Data yang akurat mengenai luas lahan gambut sulit ditemui karena terbatasnya
survei dan pemetaan tanah gambut, terutama di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Dengan luasan yang cukup besar yaitu berkisar 9 - 11 % dari luas daratan
Indonesia, maka sulit dihindari pengembangan lahan pertanian ke lahan gambut
ini, seperti di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah (Nurida et al. 2011).
Lahan gambut di Indonesia tersebar di tiga pulau besar, yaitu Sumatera,
Kalimantan, dan Papua. Karakteristik gambut sangat bervariasi tergantung pada
tingkat kematangan dan kesuburannya, kedalaman gambut serta lingkungan
pembentukannya. Oleh karena itu, gambut yang berada di tiga pulau besar itu
agak sedikit berbeda karakteristik sifat kimianya, terkait ada tidaknya bahan
pengkayaan. Gambut yang terbentuk di Pulau Sumatera umumnya mendapat
pengkayaan dari bahan volkan yang berada di bagian atasnya (dari Pegunungan
Bukit Barisan), baik langsung maupun hasil sedimentasi sungai dari bagian
hulunya, sehingga secara umum sifat kimia gambut di Pulau Sumatera relatif lebih
baik dibanding gambut di Kalimantan ataupun Papua (Noor & Mulyani 2011).
Gambut adalah ekosistem yang sangat rentan. Kelalaian dalam
penanganannya akan memberikan dampak balik yang akan sangat merugikan.
Kebakaran gambut yang terjadi berulang adalah merupakan satu contoh dimana
kelalaian akan menyebabkan kerugian yang sangat besar (Noor et al. 2005).
Pemanfaatan lahan gambut untuk tetap dipertahankan sebagai habitat
ratusan spesies tanaman hutan, merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat.
Disamping itu kawasan gambut tetap mampu memberi fungsi ekonomi bagi
masyarakat di sekitarnya (produk kayu dan non kayu) secara berkelanjutan.
Fungsi ekologi hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu, kelembaban udara
dan hidrologi kawasan akan tetap berlangsung sebagai konsekuensi ekosistemnya
tidak berubah. Mempertahankan lahan gambut untuk tetap menjadi habitat jenis
pohon adalah beralasan. Hutan rawa gambut memiliki jenis pohon bernilai
ekonomis tinggi, demikian pula satwa. Berdasarkan data pada salah satu HPH
4
 

yang berlokasi di lahan gambut, diketahui bahwa populasi 10 jenis pohon bernilai
ekonomis tinggi dan jenis yang dilindungi dengan diameter ≥ 20 cm rata-rata 21
pohon/ha dengan volume rata-rata 30,94 m3/ha. Diantara ke-10 jenis pohon
tersebut terdapat 67,83%-nya adalah Ramin (Gonystylus bancanus Kurz).
Berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan alami pohon-pohon bernilai
ekonomis tersebut, maka “Wise Use of Tropical Peatland” hendaknya tidak lagi
harus dipaksa untuk melakukan perubahan yang justru mengakibatkan munculnya
permasalahan baru yang berdampak negatif bagi manusia dan lingkungan (Limin
2006).
Pengelolaan lahan gambut perlu dilakukan dengan sangat hati-hati karena
lahan ini sangat mudah mengalami degradasi. Untuk itu diperlukan inovasi
teknologi yang tepat, sehingga lahan dapat tetap berproduksi secara optimal dan
tingkat emisi serta kerusakan lingkungan lainnya dapat diminimalkan. Oleh
karena itu, penting untuk menghimpun informasi ilmu pengetahuan serta
teknologi pengelolaan lahan gambut yang berhubungan dengan aspek fisik,
ekonomi maupun sosial, agar lahan gambut dapat dimanfaatkan secara bijaksana
(Nurida et al. 2011).
Berdasarkan tingkat kematangannya gambut dibedakan menjadi gambut
fibrik yaitu gambut yang belum melapuk, gambut hemik yaitu gambut yang
tingkat pelapukannya setengah melapuk dan gambut saprik yaitu gambut yang
tingkat pelapukannya sudah lanjut. Berdasarkan kedalamannya, gambut dibedakan
menjadi gambut dangkal (50-100 cm), gambut sedang (100-200 cm), gambut
dalam (200-300 cm), dan gambut sangat dalam (>300 cm). Gambut saprik
mempunyai kemampuan menyimpan air lebih kecil, tetapi mempunyai
kemampuan daya pegang air (water holding capacity) yang lebih kuat dibanding
gambut hemik atau fibrik, dan sebaliknya. Oleh karena itu gambut fibrik
mempunyai risiko kekeringan lebih besar dibandingkan gambut hemik atau
saprik. Gambut tebal lebih banyak didominasi gambut fibrik-hemik, sebaliknya
gambut dangkal dan tipis lebih banyak didominasi gambut saprik (Nurida et al.
2011).
5
 

2.2 Pemanenan
Pemanenan kayu adalah suatu rangkaian kegiatan untuk mengubah kayu
menjadi sortimen-sortimen kayu dan memindahkannya ke tempat tujuan akhir
yang diinginkan, pemanenan kayu meliputi beberapa kegiatan seperti:
penebangan, pembagian batang, penyaradan, pemuatan dan pengangkutan serta
kegiatan pembongkaran (Elias 1994).
Kegiatan pemanenan kayu menentukan kesuksesan dan kegagalan
pengelolaan hutan secara lestari dalam jangka panjang karena hal tersebut
merupakan hal yang paling dominan dalam manajemen hutan secara keseluruhan.
Ilmu dan teknologi di bidang pemanenan kayu hingga saat ini telah mengalami
berbagai perkembangan, hal ini sebagai konsekuensi perubahan pendekatan
manajemen hutan dari prinsip kelestarian hasil kepada prinsip pembangunan hutan
lestari. Menurut Elias (2002b) arah perkembangan pemanenan kayu tersebut
adalah meliputi pengertian pemanenan kayu yang mengalami perluasan yang lebih
menekankan pada perencanaan sebelum pemanenan, supervisi teknik dan
pencegahan kerusakan lebih lanjut; usaha memperpendek rantai tahapan
pemanenan kayu; menerapkan sistem pemanenan kayu sesuai dengan klasifikasi
fungsional lapangan di bidang kehutanan; mengintegrasikan pengolahan kayu
primer ke dalam tahapan pemanenan kayu; penciptaan peralatan pemanenan kayu
dengan perhatian ditekankan pada keunggulan produktivitas tinggi, keunggulan
biaya, menekan kerusakan lingkungan dan meningkatkan keselamatan kerja.
Tahapan kegiatan pemanenan kayu dibedakan menjadi empat komponen yaitu:
1. Penebangan, yaitu mempersiapkan kayu seperti menebang pohon serta
memotong kayu sesuai dengan ukuran batang untuk disarad.
2. Penyaradan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari tempat penebangan ke
tepi jalan angkutan.
3. Pengangkutan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari hutan ke tempat
penimbunan atau pengolahan kayu.
4. Penimbunan, yaitu usaha untuk menyimpan kayu dalam keadaan baik sebelum
digunakan atau dipasarkan, dalam keadaan ini termasuk pemotongan ujung-
ujung kayu yang pecah atau kurang rata sebelum ditimbun.
6
 

Menurut Elias (2002b) kegiatan pemanenan kayu merupakan kegiatan yang


paling dominan dalam kegiatan silvikultur, yang apabila tidak dilaksanakan
dengan terencana dan hati-hati dapat menyebabkan kerusakan lingkungan insitu
(pemadatan tanah, erosi dan kerusakan tegakan tinggal) dan eksitu (perubahan
hidrologi, sedimentasi, penurunan kualitas air sungai dan gangguan terhadap
habitat perairan dan lain-lain).
Sistem pemanenan kayu ditinjau dari derajat mekanisasi dibagi menjadi tiga
macam yaitu sistem manual, sistem semi-mekanis dan sistem mekanis. Sistem
manual dicirikan dengan penggunaan alat-alat pemanenan kayu tradisional yang
melibatkan teknologi sederhana dan umumnya dilaksanakan dengan tenaga
manusia. Sejak dari proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting,
pemotongan batang-batang pohon menjadi ukuran tertentu, penyaradan hasil
penebangan ke TPn serta pengangkutan dilakukan dengan tenaga manusia. Sistem
semi-mekanis merupakan sistem pemanenan kayu yang dilakukan dengan tenaga
manusia namun dengan bantuan mesin-mesin pemanenan kayu. Dalam sistem ini
proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang,
penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara semi-mekanis. Sistem mekanis
merupakan sistem pemanenan kayu dengan menggunakan mesin-mesin
pemanenan kayu dengan teknologi yang lebih maju. Dalam sistem mekanis sejak
dari tahap penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang, serta
penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara mekanis. Sistem ini pada
umumnya diterapkan pada pekerjaan yang berskala besar seperti pemanenan kayu
di hutan alam. Dalam merekayasa sistem dan teknik pemanenan kayu selain aspek
teknis, aspek sosial, ekonomis dan lingkungan juga harus dipertimbangkan
terutama aspek penciptaan lapangan kerja baru (Elias 2002b).
2.3 Tegakan Tinggal
Tegakan tinggal adalah tegakan yang telah dipilih, yang menjadi modal
pengusahaan berikutnya, berisi pohon-pohon binaan dan pohon pendamping.
Pohon binaan adalah pohon yang harus dirawat setelah tebang pilih, yang berupa
pohon-pohon niagawi yang muda dan sehat berdiameter kurang dari diameter
minimum tebangan, dapat berasal dari permudaan alam maupun dari pengayaan
(Departemen Kehutanan 1990).
7
 

Tingkat kerusakan tegakan tinggal di hutan alam tropika dapat dipengaruhi


oleh teknik pemanenan kayu yang digunakan. Menurut Elias (2008) tingkat
kerusakan tegakan tinggal ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah
pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan kayu dengan jumlah pohon yang
ada di dalam areal tersebut sebelum pemanenan dikurangi jumlah pohon yang
dipanen.
Menurut penelitian Elias (2002a), tingkat kerusakan pada pohon
berdiameter lebih besar atau sama dengan 10 cm berkisar antara 9,39%-35,42%
dengan rata-rata 21,96%. Data mengenai kerusakan tersebut dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:
Tabel 1 Kerusakan tegakan tinggal berdasarkan jumlah populasi

∑ Pohon sebelum ∑ pohon ∑ pohon Kerusakan


Tingkat
Plot pemanenan kayu yang yang rusak tegakan
kerusakan
(> 10 cm) dipanen (> 10 cm) tinggal (%)
I 697 6 146 21,13 Ringan
II 748 17 259 35,34 Sedang
II 620 2 58 9,39 Ringan
Sumber: Elias (2002a)

Data kondisi tegakan di PT. DRT, Riau menyebutkan bahwa setelah


dilakukan penebangan rata-rata jumlah pohon berdiameter 40 cm up turun
menjadi 2,08 pohon/ha lebih rendah dibanding kelas diameter 20-39 cm yaitu
sebanyak 3,29 pohon/ha. Kondisi tegakan tinggal setelah penebangan (tegakan
tinggal) menunjukan masih baik dimana penurunan kerapatan rata-rata sebelum
penebangan hanya sebesar 22% untuk semai, 16% untuk pancang, dan 20,3%
untuk tiang (Mujijat & Hermansyah 2005).
Tingkat kerusakan tiang rata-rata di PT. DRT adalah sebanyak 135 tiang/ha
(55,37%). Kerusakan terkecil pada tipe kerusakan roboh sebanyak 4 tiang/ha
(1,15%) dan kerusakan terbesar adalah ditebang untuk bahan jalan sarad sebanyak
30 tiang/ha (87,96%). Tingkat kerusakan pohon rata-rata adalah 39 pohon/ha
(31,06%) dengan intensitas penebangan rata-rata adalah sebanyak 29 pohon/ha
(Kurniawan 2002).
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada petak 456 dan 490 di PT. Diamond Raya
Timber, Sei Senepis, Kabupaten Dumai, Provinsi Riau. Penelitian ini
dilaksanakan pada Bulan Maret sampai dengan April 2012.

3.2 Obyek dan Alat Penelitian


Obyek penelitian adalah kerusakan tegakan tinggal yang terjadi setelah
dilakukan kegiatan penebangan dan penyaradan.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Phiband atau meteran jahit untuk mengukur diameter pohon.
2. Pita meteran untuk mengukur plot.
3. Kompas untuk pembuatan arah plot.
4. Cat dan kuas untuk mengecat patok (batas petak) dan penandaan pohon.
5. Kamera untuk dokumentasi.
6. Suunto Clinometer untuk mengukur ketinggian pohon.
7. Alat-alat bantu lainnya seperti tally sheet serta alat tulis.

3.3 Batasan Masalah Penelitian


Batasan masalah dalam penelitian ini adalah kerusakan pada pohon akibat
kegiatan penebangan dan penyaradan. Pohon yang dimaksud adalah pohon yang
berdiameter lebih besar dari 10 cm.
3.4 Metode Penelitian
3.4.1 Metode Kerja
Langkah awal dalam melaksanakan penelitian ini adalah dengan cara
menentukan secara purposive petak tebang yang akan dilakukan penebangan dan
penyaradan. Petak yang terpilih dibuat plot berukuran 100 m x 100 m sebanyak 6
plot. Pengukuran kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dilakukan
dengan cara pengamatan langsung terhadap vegetasi yang rusak disekitar pohon
yang ditebang. Untuk kerusakan setelah penyaradan dilakukan dengan mengikuti
jalur sarad, baik untuk penyaradan secara manual maupun mekanis.
9

3.4.2 Data Primer


Tahapan kerja yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah :
1. Menentukan plot contoh
a. Observasi lokasi tebangan (melihat peta kerja PT. Diamond Raya
Timber yang masuk dalam RKT (Rencana Kerja Tahunan) yang akan
dilakukan kegiatan penebangan dan penyaradan).
b. Menetapkan plot contoh (sebanyak 6 plot yaitu 3 plot di petak 456 dan
3 plot di petak 490).
2. Inventarisasi pohon pada plot contoh
a. Inventarisasi pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm pada plot
tebangan sebelum dilakukan penebangan dan penyaradan. Mencatat
nama/jenis pohon, tinggi bebas cabang, tinggi total pohon dan
mengukur diameter setinggi dada (1,3 m di atas permukaan tanah).
b. Inventarisasi ulang vegetasi berdiameter lebih besar dari 10 cm pada
plot setelah dilakukan penebangan dan penyaradan untuk mengetahui
kerusakan yang terjadi. Mencatat nama/jenis pohon, tinggi bebas
cabang, tinggi total pohon dan mengukur diameter setinggi dada (1,3
m di atas permukaan tanah).
3. Penebangan
a. Menghitung jumlah dan jenis pohon yang ditebang pada setiap plot.
b. Menghitung jumlah dan jenis pohon yang rusak pada setiap plot akibat
penebangan.
c. Menghitung bentuk kerusakan pohon, berupa:
1. Jenis kerusakan (rusak tajuk, rusak kulit, patah batang, pecah
batang, roboh, miring, dan rusak banir).
2. Menghitung persen (%) kerusakan dengan cara membandingkan
data jumlah pohon sebelum penebangan dengan jumlah pohon
setelah penebangan.
3. Mengkategorikan tingkat kerusakan pohon yaitu kerusakan ringan,
sedang, atau berat.
10

4. Penyaradan
a. Menghitung jumlah dan jenis pohon yang rusak pada setiap plot akibat
penyaradan.
b. Menghitung bentuk kerusakan pohon seperti pada kegiatan
penebangan.
c. Menghitung persentase kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan
penyaradan.
3.4.3 Data Sekunder
Data sekunder yang diambil adalah data kondisi umum, data kondisi
tegakan sebelum dilakukan kegiatan penebangan, peta kawasan pengusahaan hutan
dan daftar nama/jenis pohon yang berada di kawasan IUPHHK-HA PT. Diamond
Raya Timber.
3.5 Pengolahan Data
Menurut Elias (2008), kerusakan tegakan tinggal ditetapkan dengan dua cara
yaitu :
1. Berdasarkan populasi pohon dalam petak, yaitu pembagian antara jumlah
pohon yang rusak setelah pemanenan kayu dengan jumlah pohon sebelum
penebangan dikurangi dengan jumlah pohon yang ditebang.
2. Berdasarkan tingkat keparahan kerusakan tegakan tinggal dengan
menggunakan kriteria yang terjadi pada individu pohon.
Berdasarkan populasi pohon dalam petak, kerusakan tegakan tinggal dapat
dikelompokan sebagai berikut: kerusakan ringan (besarnya kerusakan tegakan
tinggal <25 %), kerusakan sedang (25-50 %) dan kerusakan berat (>50 %).
Persentase kerusakan ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon
yang rusak akibat kegiatan pemanenan dengan jumlah pohon yang ada di dalam
areal tersebut sebelum pemanenan dikurangi jumlah pohon yang dipanen.
11

Beberapa kerusakan yang terjadi pada individu pohon (Elias 2008) yaitu :
1. Tingkat kerusakan berat
a. Patah batang.
b. Pecah batang.
c. Roboh, tumbang atau miring dengan sudut <45% dengan permukaan
tanah
d. Rusak tajuk (>50% tajuk rusak), juga didasarkan atas banyaknya
cabang permukaan tajuk yang patah.
e. Luka batang/rusak kulit (>½ keliling pohon atau 300-600 cm kulit
mengalami kerusakan).
f. Rusak banir/akar (>½ banir atau perakaran rusak/terpotong).
2. Tingkat kerusakan sedang
a. Rusak tajuk (30-50% tajuk rusak atau 1/6 bagian tajuk mengalami
kerusakan).
b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling rusak atau 150-300 cm kulit
rusak).
c. Rusak banir/akar (1/3-1/2 banir/akar rusak atau terpotong).
d. Condong atau miring (pohon miring membentuk sudut > 45% dengan
permukaan tanah)
3. Tingkat kerusakan ringan
a. Rusak tajuk (<30% tajuk rusak)
b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling pohon rusak dan panjang luka
< 1,5 m atau kerusakan sampai kambium dengan lebar >5 cm, lebih
kurang sepanjang garis sejajar sumbu longitudinal dari batang).
c. Rusak banir/akar (<¼ banir rusak atau perakaran terpotong).
Kerusakan dihitung berdasarkan persentase jumlah pohon yang rusak
terhadap jumlah pohon yang seharusnya tinggal dan sehat. Untuk menghitung
kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan dan penyaradan kayu,
digunakan rumus (Sukanda 1995) :
12

R
K x %
P Q
Keterangan : K = Tingkat kerusakan tegakan tinggal (%)
R = Jumlah pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm yang
mengalami kerusakan (pohon/ha)
P = Jumlah pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm ke atas
sebelum penebangan (pohon/ha)
Q = Jumlah pohon yang ditebang (pohon/ha)
 

BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Fisik dan Administrasi


Berdasarkan hasil pengukuran batas IUPHHK-HA sampai bertemunya titik
awal dan akhir yang dilakukan oleh INTAG, yang di-overlay dengan peta
interpretasi potret udara, peta tata guna hutan (TGHK) dan peta rencana tata ruang
provinsi (RTRWP) serta peta interpretasi citra Landsat TM 542 Path/Row 127/59
liputan Januari 1997, luas areal yang dinyatakan sebagai areal IUPHHK-HA PT.
Diamond Raya Timber adalah 90956 ha. Batas-batas geografi dan administrasi
PT. Diamond Raya Timber disajikan dalam Tabel 2 dan letak areal kerja PT.
Diamond Raya Timber dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 2 Batas-batas areal kerja IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber
No Batas Uraian
1 Letak geografis 100º50’ - 101º13’ BT
    001º45’ - 002º18’ LU
2 Batas-batas
  a. Sebelah Utara Selat Malaka dan lahan milik masyarakat
  b. Sebelah Timur Selat Malaka, HTI PT. Ruas Utama Jaya
dan PT. Suntara Gajapati
  c. Sebelah Selatan Perkebunan kelapa sawit PT. Gunung Mas
Raya dan PT. Sindora Seraya serta HTI PT.
Ruas Utama Jaya dan PT. Suntara Gajapati
  d. Sebelah Barat Lahan milik masyarakat dan perkebunan
kelapa sawit PT. Gunung Mas Raya, PT.
Sindora Seraya
3 Kelompok hutan Sei Senepis dan Sei Rokan
4 Letak administrasif
pemerintahan
  a. Provinsi Riau
  b. Kabupaten/kota Rokan Hilir dan Kota Dumai
  c. Kecamatan Sinaboi, Bangko, Batu Hampar, Rimba
Melintang, dan Sungai Sembilan.
5 Administrasi kehutanan

a. Provinsi Riau
b. Kabupaten/kota Rokan Hilir dan Kota Dumai
Sumber: Rencana karya pengelolaan hutan produksi lestari PT. Diamond Raya Timber, 2010.

 
14
 

Gambar 1 Letak areal kerja IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber


4.2 Luas Efektif
PT. Diamond Raya Timber telah menentukan zonasi penggunaan kawasan
melalui proses delineasi tipe hutan menjadi kawasan lindung sebagaimana diatur
dalam peraturan pemerintah (PP No. 32/1992), zona penyangga sungai dan pantai,
kawasan bernilai konservasi tinggi (HCVF). Tabel berikut menyajikan luas
masing-masing peruntukan kawasan di IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber
berdasarkan RKPH, RKUPHHK, dan kondisi terkini dari kawasan hutan. Adapun
distribusi spasial dari peruntukan areal tersebut disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Peruntukan areal di kawasan IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber
Status hutan / peruntukan areal Luas (ha) Persentase
Areal produksi efektif 70438,40 77,40
Areal lindung
• Kawasan lindung gambut (KLG) 4670,28 5,00
• Sempadan pantai 176,88 0,20
• Hutan mangrove dan ekoton 3204,93 3,50
• Sempadan sungai 1880,16 2,10
• KPPN 256,65 0,30
• Kawasan konservasi insitu 1017,97 1,10
• Biodiversity strips 3913,07 4,30
Areal non efektif lainnya
• Kebun benih 496,83 0,50
• PUP 271,87 0,30
• Buffer zone PGM 715,85 0,80
Total 90956,00 100,00
Sumber: Rencana karya pengelolaan hutan produksi lestari PT. Diamond Raya Timber, 2010.

 
15
 

4.3 Aksesibilitas
Areal kerja PT. Diamond Raya Timber berada di Kabupaten Rokan Hilir
dan Kota Dumai, dimana basecamp terletak di Sei Senepis (termasuk wilayah
administrative Kota Dumai) yang berjarak ± 245 km dari Pekanbaru atau ± 48 km
dari Dumai. Basecamp dapat dicapai dari Pekanbaru menggunakan jalan darat
menuju Dumai, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan speedboat. Waktu
tempuh secara keseluruhan dari Pekanbaru ke Sei Senepis sekitar ± 5 jam (PT.
DRT 2010).
4.4 Topografi dan Kelerengan
Keadaan topografi areal IUPHHK-HA PT. DRT terdiri dari dataran rendah
pantai dan dataran dengan ketinggian 2–8 meter di atas permukaan laut yang pada
umumnya merupakan daerah lahan basah tergenang air (rawa). Tinggi genangan
air bervariasi tergantung pada musim, tinggi pasang air laut dan curah hujan yang
berkisar antara pergelangan kaki sampai pinggang orang dewasa. Areal HPH PT
Diamond Raya Timber seluruhnya adalah areal datar yaitu lereng A (0–8 %),
karena hutannya berupa daerah rawa (PT. DRT 2010).
4.5 Geologi dan Tanah
Berdasarkan peta satuan lahan dan tanah PPT dan Agroklimat, Bogor (1990)
lembar Dumai dan Bagan Siapiapi (0817 dan 0818) formasi geologi areal hutan
IUPHHK PT DRT terdiri dari sedimen aluvium tersier dan kuarter. Formasi
tersier menempati daerah antiklinarium yang ditempati daerah telisa (Tmt).
Formasi telisa dicirikan oleh batu-batu lumpur kelabu bergamping dengan sedikit
sisipan batu gamping dan dan busa gamping. Kandungan deposit bahan tambang
di areal kerja IUPHHK-HA PT DRT sampai saat ini belum diketahui (PT. DRT
2010).
Formasi kuarter ditempati formasi endapan permukaan muda (Ph) dan
endapan permukaan tua (Qp). Endapan permukaan tua merupakan daerah basah
(basin) dan daerah kering (upland). Endapan permukaan muda (Qp) didominasi
oleh bahan organik berupa kubah gambut dan hanya sebagian kecil terbentuk dari
lempung yang membentuk aluvial sungai (PT. DRT 2010).
Fisiografi di areal IUPHHK-HA PT. DRT berdasarkan Buku Satuan Lahan
dan Tanah Lembar Dumai, dikelompokkan ke dalam 3 grup yaitu Grup Kubah

 
16
 

Gambut, Grup Aluvial, dan Grup Marin. Grup Kubah Gambut mendominasi areal
ini, yang berkembang dari endapan organik permukaan muda (Ph) dan tua (Qp).
Secara umum ketebalan gambut makin tebal jika makin jauh dari sungai.
Ketebalan gambut bisa melebihi 3 m di bagian pinggir dan dapat mencapai
maksimum 8 m di bagian tengah-selatan. Terdapat pula sedikit tanah Gley,
Aluvial, dan Podsolik (PT. DRT 2010).
Grup Aluvial berkembang dari endapan Aluvial sungai dan menempati jalur
aliran sungai. Grup Aluvial ditandai dengan adanya pasang surut. Dataran banjir
dari sungai bermeander terutama membentuk rawa belakang yang luas dan selalu
jenuh air (PT. DRT 2010).
Secara umum di seluruh kawasan DAS Rokan terdapat sembilan jenis tanah
dengan luasan yang bervariasi. Beberapa jenis tanah menurut klasifikasi tanah
Soil Taxonomy (USDA) dan Pusat Penelitian dan Agroklimat secara lengkap
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Tipe tanah di sekitar DAS Rokan
Tipe tanah
Kode Tekstur
USDA PULSIT TANAH
Bf.6 Hidraquents Glei Humus
Bf.4.5 Tropaquens Glei Humus
Lempung
Bf.4.3 Sulfaquens Glei Humus
Bf.5.5 Tropasaprists Glei Humus
Bf.4.4 Pasir berlempung Sulfaquens Glei Humus
Au.1.1.3 Lempung berpasir, batu Tropaquens Glei Humus
sedimen
Bf.4.6 Lempung Tropaquens Glei Humus
D.2.1.2 Bahan organik Tropahemists Organosol
D.2.1.3 Bahan organik Tropahemists Organosol

Pembukaan wilayah hutan secara besar-besaran dan konversi untuk


penggunaan lain ditambah pembuatan parit-parit drainase (kanalisasi) di kawasan
dengan kondisi tanah tersebut dapat menyebabkan keringnya tanah gambut. Tanah
gambut yang kering dapat menjadi sumber bahan bakar yang menyebabkan
kebakaran pada musim kemarau (PT. DRT 2010).
Mempertahankan kondisi hutan secara alami dan menghindarkan sistem
kanalisasi sangat penting untuk menghindari kemungkinan terjadinya kerusakan

 
17
 

karena kebakaran. Kondisi tanah hutan rawa gambut yang sangat sensitif ini
menyebabkan perlindungan terhadap kandungan air tanah menjadi sangat penting
untuk menghindarkan terjadinya bahaya kebakaran dan dampak ikutannya (PT.
DRT 2010).
4.6 Iklim dan Intensitas Hujan
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) areal kerja IUPHHK-
HA PT. DRT termasuk ke dalam tipe A dengan nilai Q = 10,10 %. Curah hujan
per tahun 2358 mm, sedangkan curah hujan bulanan rata-rata berkisar 51,32–
301,06 mm/bln, curah hujan tertinggi jatuh pada bulan November (301.66 mm)
dan Desember (253,40 mm). Curah hujan terendah jatuh pada bulan Maret (51.33
mm) dan Juli (73,80 mm). Rata-rata hari hujan adalah 12 hari/bulan, hari hujan
tertinggi jatuh pada bulan November (14 hari/bulan) dan terendah pada bulan
Februari (3,30 hari/bulan) (PT. DRT 2010).
Suhu udara rata-rata di areal kerja IUPHHK-HA PT. DRT hampir merata
sepanjang tahun yaitu berkisar antara 250–270 C. Demikian juga kelembaban nisbi
bulannya yaitu antara 79–90 %. Rata-rata kecepatan angin berkisar antara 8–21
km/jam. Belum pernah dilaporkan adanya angin puting beliung. Arah angin yang
umum adalah :
a. Timur Laut : Desember - Maret
b. Tenggara : April, Mei, Juli, September
c. Selatan : Juni, Agustus
d. Barat Laut : November
e. Barat Daya : Oktober
Pada umumnya, presipitasi mencukupi dan tersebar dengan baik guna
mengurangi resiko kebakaran hutan. Namun demikian, iklim yang luar biasa dapat
terjadi berkaitan dengan el nino yang menyebabkan musim kemarau panjang
sehingga meningkatkan resiko kebakaran hutan dari aktifitas kerja masyarakat
lokal sekitar batas hutan. PT. DRT telah memiliki prosedur pencegahan kebakaran
dan pemadamannya yang terdapat dalam (SOP-4PH-09).

 
18
 

4.7 Hidrologi
Areal kerja IUPHHK-HA PT. DRT terletak di bagian timur DAS Sungai
Rokan dengan beberapa sungai yang mengalir ke bagian barat dan selatan, utara
dan timur (Selat Malaka). Sungai-sungai yang mengalir ke bagian barat-selatan
yang bermuara ke Sungai Rokan adalah : Pasir Besar, Agar, Labuhan Tangga
Besar, Labuhan Tangga Kecil, dan Bantayan. Sungai-sungai yang utara dan timur
yang bermuara di Selat Malaka adalah Serusa, Pematang Nibung, Nyamuk,
Sinaboi, Teluk Dalam, Sinepis Besar, dan Sinepis Kecil. Sedangkan sungai yang
mengalir dari bagian Selatan ke arah Utara adalah sungai Sekusut.
Air pada genangan rawa berwarna coklat tua yang keluar dari tanah gambut.
Pelumpuran yang terjadi sangat sedikit, kecuali yang dekat aliran ke Sungai
Rokan dimana lumpur terbentuk pada saat pasang sangat tinggi dan masamasa
banjir sungai Rokan. Hal ini disebabkan karena sebelumnya telah terjadi konversi
wilayah hutan dalam jumlah besar pada bagian hulu dan praktek pembuatan jalan
yang tidak baik. Dengan demikian strategi untuk mempertahankan hutan alam di
bagian hulu sungai Rokan menjadi sangat penting.
Kondisi sungai Rokan memungkinkan untuk membuat log pond pada bagian
yang cukup dalam sepanjang sisi timur. Kedalaman sungai Rokan dipengaruhi
oleh pasang surut air laut.
4.8 Tipe Hutan dan Penutupan Vegetasi
Terdapat dua tipe utama ekosistem hutan di dalam areal kerja IUPHHKHA
PT. DRT, yaitu (1) Hutan Rawa Gambut dan (2) Hutan Mangrove. Diantara kedua
tipe tersebut terdapat daerah peralihan yang disebut daerah ekoton.
Tipe ekosistem hutan rawa gambut di areal IUPHHK-HA PT. DRT
termasuk tipe gambut pantai yang terletak di daerah depresi antara sungai Rokan
dan Selat Malaka. Berdasarkan asosiasi vegetasi terdapat tiga asosiasi vegetasi
hutan rawa gambut dari mulai gambut dangkal sampai gambut dalam. Masing-
masing asosiasi egetasi diberi nama menurut jenis pohon komersil yang dominan,
yaitu :

 
19
 

1. Asosiasi Terentang (Campnosperma auriculata) - Pulai (Alstonia


pneumathophra) pada ketebalan gambut < 3 m - 2 m)
2. Asosiasi Balam (Palaquium obovatum) - Meranti Batu (Shorea
uliginosa) pada ketebalan gambut 3 - 6 m, dan
3. Asosiasi Ramin (Gonystylus bancanus) - Suntai (Palaquium
dasyphillum) pada ketebalan gambut > 6 m.
Tipe ekosistem hutan mangrove di dalam areal kerja IUPHHK-HA PT. DRT
terletak di pantai Utara–Timur yang berbatasan dengan Selat Malaka. Pada lokasi
tersebut Semenanjung Bagan Siapiapi yang landai dengan banyak muara sungai-
sungai terbentuk habitat berlumpur yang dipengaruhi pasang surut air laut yang
sesuai dengan pertumbuhan hutan mangrove. Lebar jalur hutan mangrove di
lokasi tersebut bervariasi antara 200 - 800 m. Zonasi hutan mangrove dari arah
laut, meliputi asosiasi Sonneratia–Rhizophora spp. yang disusul oleh asosiasi
Xylocarpus-Bruguiera spp., sedangkan arah tepi sungai dimulai dengan Nipah
(Nypa fruticans), Xylocarpus granatum sampai Bruguiera cylindrica di bagian
tengah. Jenis Tumu (Bruguiera cylindrica) termasuk jenis yang komersial dan
dominan, denan diameter mencapai 30-40 cm yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan arang. Terdapat juga beberapa areal tak berhutan dan belukar.
Ramin diatur secara khusus berdasarkan daftar spesies yang termasuk dalam
CITES Appendix II (Annotation #1). Peraturan di Indonesia tentang Pemanfaatan
dan Peredaran Kayu Ramin SK No. 1613/Kpts-II/2001 mensyaratkan bahwa
hutan harus dikelola berdasarkan kelestarian hasil dengan kuota pemanenan
tahunan diatur oleh Tim Terpadu Ramin (LIPI dan Departemen Kehutanan).
a. Keanekaragaman Flora
Keanekaragaman flora dan fauna di areal kerja IUPHHK-HA PT. DRT
berkaitan dengan keberadaan hutan dan tipe habitat, yaitu hutan rawa gambut dan
hutan mangrove. Di areal hutan yang belum ditebang pada tingkat kedalaman
gambut yang berlokasi di 9 PSP dengan luas areal masing-masing 0,20 Ha,
menunjukkan bahwa pada tingkat pohon (diameter > 20 cm) jumlah spesies
berkisar antara 30-36 spesies, sedangkan jumlah total spesies pohon dalam
penelitian ini adalah 38 spesies. Spesies pohon yang dominan pada kedalaman
gambut 4-5 m adalah Jambu-jambu (Eugenia sp. 43 %), sementara pada

 
20
 

kedalaman gambut 6-7 m didominasi oleh Ramin (Gonystilus bancanaus, INP


32%).
Pada tingkat pancang, hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa jumlah
spesies pada tiap petak ukur berkisar antara 20-22 spesies. Spesies dominan pada
kedalaman gambut 2-3 m adalah Balam (Palaquium obovatum, IVI 25 %), spesies
dominan pada kedalaman gambut 4-5 m adalah Jambu-jambu (Eugenia sp., INP
25 %), dan pada kedalaman gambut 6-7 m adalah Pasir-pasir (Urandra
secundiflora, IVI 23 %).
Pada tingkat semai, jumlah spesies rata-rata pada tiap petak ukur berkisar
antara 17 – 18 spesies. Spesies dominan pada kedalaman gambut 2 – 3 m adalah
Pasir-pasir (Urandra secundiflora, IVI 26 %), pada kedalaman gambut 4 – 5 m
adalah Milas (Parasternon urophyllum, IVI 32 %), dan pada kedalaman gambut 6
– 7 m adalah Jambu-jambu (Eugenia sp., IVI 28 %).
Spesies pohon yang dikategorikan sebagai pohon komersil diantaranya
adalah Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti Batu (Shorea uliginosa), Meranti
Bunga (Shorea teysmanniana), Durian Burung (Durio carinatus), Suntai
(Palaquium obovatum), Bintangur (Calophyllum soulattri), Geronggang
(Cratoxylon arborescens), Punak (Tetramerista glabra), Jangkang (Xylopia
malayana), Pisang-pisang (Mezzetia parviflora), dan Kelat (Eugenia sp.).
Spesies non pohon (tumbuhan bawah, semak, epifit, dan liana) yang
terdapat di areal kerja PT. DRT terdiri dari hampir 10 spesies tumbuhan bawah
dan hampir 10 spesies epifit, liana, dan semak. Spesies tumbuhan bawah yang
dominan adalah Palma dari spesies Palas (Liquala pimula) dan Salak Hutan
(Zalacca conferta). Kedua spesies tumbuhan tersebut ditemukan sebagai
tumbuhan dominan dan rapat, mencapai tinggi 2–4 m. di hutan yang padat dengan
Palas dan Salak Hutan, jarang ditemukan adanya anakan pohon atau
regenerasinya.
Tumbuhan bawah yang seringkali ditemukan di lantai hutan primer adalah
Pandan (Pandanus sp.), tumbuhan merambat (Rhaphidophora minor), Kadaka
(Asplenium nidus), Anggrek (Dendrobium salaccensis), dan Kantung Semar
(Nepenthes spp.). Spesies Paku-pakuan yang mendominasi areal bekas tebangan
adalah Neprolepsis radicans dan Stenochlaena palustris.

 
21
 

Daftar spesies tumbuhan yang terdapat di areal kerja IUPHHK-HA PT.


DRT dapat dikategorikan sebagai spesies komersil tebang dan spesies lain yang
terdiri atas kategori sebagai pohon, herba/semak, epifit, liana, dan palma.
b. Keanekaragaman Fauna
Keanekaragaman satwa telah dievaluasi berdasarkan hasil pemantauan yang
dilakukan oleh staf pemantau dan pengelola PT. DRT. Ditemukan sekitar 10
spesies mamalia dan 58 spesies burung. Untuk mamalia, berdasarkan niche
ekologi baik secara vertikal maupun horizontal, spesies Ungko (Hylobates agilis)
dikategorikan sebagai umbrella species sementara Harimau Sumatera (Panthera
tigris sumatrae) sebagai flag species.
Hasil pemantauan satwa liar pada tahun 2003 ditemukan 38 spesies satwa
liar (mamalia, burung, dan reptil). Spesies yang sering ditemukan adalah babi
hutan (Sus barbatus), Kangkareng (Antrococeros malayanus), Makaka Ekor
Panjang (Macaca fascicularis), dan Ungko (Hylobates agilis). Berdasarkan
informasi pekerja hutan, Harimau Sumatera pernah ditemukan 2 ekor. Beruang
Madu (Helartus malayanus) ditemukan ketika sedang memanjat pohon.
Khusus untuk burung, pemantauan yang dilakukan pada tahun 2003
menemukan 16 spesies. Spesies yang sering ditemukan adalah Elang Jambul
(Accipiter trivirgatus), Elang Rawa (Circus aeroginosus), Kangkareng
(Antrococeros malayanus), Murai Daun (Chloropsis venusta), dan Rangkong
(Buceros rhinoceros) (PT. DRT 2010).

 
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kegiatan Pemanenan Kayu


Kegiatan pemanenan di IUPHHK PT. Diamond Raya Timber terdiri dari
kegiatan penebangan, pembagian batang, penyaradan, dan pengangkutan. Sistem
pemanenan yang digunakan di IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber adalah
sistem pemanenan mekanis dan sistem pemanenan manual.
Penebangan dilakukan regu tebang yang terdiri dari satu orang operator
chainsaw dengan dibantu oleh dua orang helper. Sistem pembayaran untuk regu
tebang berdasarkan sistem kubikasi. Chainsaw yang digunakan untuk kegiatan
penebangan ini adalah chainsaw jenis STIHL 070 dengan panjang bilah 90 cm
buatan Jerman. Jam kerja regu tebang adalah 6 jam/hari. Sebelum penebangan
dilakukan regu tebang memeriksa apakah pohon yang akan ditebang adalah pohon
yang ada label Tree Marking (TM), kondisi anakan sekitarnya sedikit, dan mudah
disarad. Selanjutnya arah rebah harus dikuasai oleh operator chainsaw agar
kerusakan tegakan tinggal dan kerusakan terhadap pohon yang ditebang dapat
diminimalisasi.
IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber menggunakan dua sistem
penyaradan, yaitu penyaradan secara manual dan penyaradan secara mekanis.
Penyaradan secara manual adalah proses pengeluaran kayu dari dalam hutan
dengan cara ditarik dengan menggunakan kuda-kuda (ongkak), sedangkan sistem
penyaradan secara mekanis adalah proses pengeluaran kayu dari dalam hutan
dengan menggunakan alat berat (logfisher) yang ditarik kabel kabel slink.

5.2 Kerapatan Awal Plot Penelitian


Penelitian ini melakukan dua kali inventarisasi, yaitu inventarisasi tegakan
sebelum pemanenan dan inventarisasi tegakan setelah pemanenan. Inventarisasi
tegakan sebelum pemanenan dilakukan untuk mengetahui jumlah kerapatan pohon
dan jumlah pohon yang ditebang. Inventarisasi tegakan setelah pemanenan
dilakukan untuk mengetahui kerusakan tegakan tinggal yang terjadi akibat
pemanenan. Kerapatan pohon sebelum pemanenan tiap kelas diameter dan jumlah
pohon yang ditebang disajikan pada Tabel 5.
23
 

Tabel 5 Kerapatan pohon sebelum pemanenan tiap kelas diameter dan jumlah
pohon yang ditebang
Kelas diameter Pohon yang
Rata-rata
Plot 10-19 cm 20-29 cm 30-39 cm 40-49 cm ≥ 50 cm ditebang
N V N V N V N V N V N V N V
1 313 29,28 79 27,21 23 18,45 17 27,46 15 45,02 75 24,57 19 45,06
2 296 25,74 121 40,66 24 18,53 16 25,56 14 41,77 79 25,38 15 40,00
3 242 18,95 64 19,99 13 10,78 14 20,42 11 40,63 57 18,46 14 39,80
4 225 17,79 69 24,93 40 33,86 21 32,29 17 66,51 62 29,23 15 47,35
5 293 25,76 59 19,41 32 28,88 18 28,27 22 75,22 71 29,59 20 55,58
6 223 22,39 113 38,45 33 27,8 18 30,61 12 30,48 67 24,96 16 37,96
Rata-rata 265 23,32 84 28,44 28 23,05 17 27,44 15 49,94 410 152,18 17 44,29
Keterangan : N = pohon/ha
3
V = m /ha

Kerapatan pohon berdiameter lebih dari besar 10 cm pada Tabel 5 adalah


410 pohon/ha atau sebesar 152,18 m3/ha. Rata-rata pohon yang tebang adalah 17
pohon/ha atau sebesar 44,29 m3/ha. Potensi tertinggi berdasarkan jumlah pohon
terdapat pada plot 2 sebesar 79 pohon/ha dan potensi terendah terdapat pada plot 3
sebesar 57 pohon/ha, sedangkan potensi tertinggi berdasarkan volume terdapat
pada plot 5 sebesar 29,59 m3/ha dan potensi terendah terdapat pada plot 3 sebesar
18,46 m3/ha. Rata-rata jumlah dan volume pohon diameter 10-19 cm adalah 265
pohon/ha atau sebesar 23,32 m3/ha, diameter 20-29 cm adalah 84 pohon/ha atau
sebesar 28,44 m3/ha, diameter 30-39 cm adalah 28 pohon/ha atau sebesar 23,05
m3/ha, diameter 40-49 cm adalah 17 pohon/ha atau sebesar 27,44 m3/ha, dan
diameter lebih besar atau sama dengan 50 cm adalah 15 pohon/ha atau sebesar
49,94 m3/ha.
Pada Tabel 5 terlihat bahwa jumlah pohon/ha dan volume/ha bervariasi,
tetapi ada kecenderungan bahwa semakin besar diameter pohon, kerapatannya
semakin kecil. Semakin besar kelas diameter pohon, potensi volumenya semakin
besar (Muhdi 2000). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5, rata-rata kerapatan
tegakan terbesar terdapat pada kelas diameter 10-19 cm, potensi jumlah pohonnya
cenderung semakin menurun dengan bertambahnya ukuran kelas diameter.
Berdasarkan volume/ha, potensi tegakan pada kelas diameter lebih besar atau
sama dengan 50 cm menpunyai potensi volume yang lebih besar dibanding kelas
diameter lainnya.
24
 

350

300

250
Pohon/ha

200

150

100

50

0
10‐19 cm 20‐29 cm 30‐39 cm 40‐49 cm > 50 cm
Kelas diameter
Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6

Gambar 2 Kerapatan pohon tiap kelas diameter sebelum pemanenan


Gambar 2 menunjukan struktur tegakan hutan sebelum pemanenan dengan
jumlah pohon/ha yang semakin berkurang dari kelas diameter kecil ke kelas
diameter besar, sehingga bentuk kurva yang pada umumnya dicirikan oleh jumlah
sebarannya menyerupai huruf “J” terbalik, dengan jumlah pohon/ha tertinggi
berada pada diameter kecil yaitu pada kelas diameter 10-19 cm. Secara umum
struktur tegakan pada lokasi penelitian menunjukkan karakteristik menyerupai
huruf “J” terbalik, sehingga dapat dikatakan kondisi hutan tersebut masih normal.

5.3 Kerusakan Tegakan Tinggal


5.3.1 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan
Kegiatan penebangan dapat menimbulkan kerusakan pada tegakan tinggal.
Kerusakan tegakan tinggal tersebut terjadi karena tertimpanya tegakan disekitar
pohon yang ditebang. Ada beberapa tipe kerusakan menurut Elias (2008), tipe-tipe
kerusakan tegakan tinggal antara lain adalah rusak tajuk, rusak kulit, patah batang,
pecah batang, miring, roboh, dan rusak banir.
25
 

Tabel 6 Tipe kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm akibat


penebangan tiap plot penelitian
Plot
Tipe Rata-rata
1 2 3 4 5 6
Kerusakan
N V N V N V N V N V N V N V
Rusak tajuk 1 0,66 1 1,45 4 3,59 2 1,20 1 0,41 2 1,22
Pecah batang 2 1,81 2 0,82 1 0,44
Patah batang 46 6,77 54 7,58 22 3,43 23 4,22 22 3,03 48 8,69 36 5,62
Rusak kulit 12 3,56 19 2,74 24 4,57 11 2,87 20 3,75 14 2,92
Miring 12 3,01 13 1,69 4 3,10 14 3,65 7 0,67 15 3,42 12 2,59
Roboh 16 2,78 10 1,97 10 2,67 10 2,05 19 7,79 33 8,39 16 4.28
Rusak banir 1 0,50 2 0,44 5 2,53 1 0,13 3 0,60

Rata-rata 13 2,59 16 2,68 9 2,23 13 3,01 11 3,02 20 4,13 81 17,66

Keterangan : N = pohon/ha

V = m3/ha

Tabel 6 menyajikan tipe kerusakan yang sering terjadi akibat penebangan


adalah patah batang sebanyak 36 pohon/ha atau sebesar 5,62 m3/ha. Patah batang
adalah tipe kerusakan yang seluruh bagian pembentuk tajuknya hilang. Kerusakan
tipe ini diakibatkan adanya cabang atau batang pohon lain menimpa bagian
pembentuk tajuk dengan keras (Aryanto 1995).
Berdasarkan plot penelitian, kerusakan tertinggi terdapat pada plot 6 yaitu
sebanyak 20 pohon/ha atau sebesar 4,13 m3/ha dan kerusakan terendah terdapat
pada plot 3 yaitu sebanyak 9 pohon/ha atau sebesar 2,23 m3/ha. Plot 3 merupakan
plot dengan jumlah pohon yang rusak paling kecil, hal ini dikarenakan intensitas
penebangannya kecil sehingga kerusakan yang ditimbulkannya pun kecil. Hal ini
juga dapat disebabkan karena pola penyebaran pohon yang jauh dari pohon yang
ditebang, sehingga kerusakan yang ditimbulkan tidak terlalu banyak.
Tabel 7 Jumlah kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm akibat
penebangan tiap kelas diameter berdasarkan tipe kerusakan
Diameter Rata-rata
Tipe
20-29 30-39 40-49
Kerusakan 10-19 cm ≥ 50 cm N V
cm cm cm
Rusak tajuk 2 6 1 2 1,22
Pecah batang 3 1 1 0,44
Patah batang 167 43 5 36 5,62
Rusak kulit 58 15 11 2 14 2,92
Miring 46 13 4 2 11 2,59
Roboh 61 29 6 2 16 4,29
Rusak banir 3 4 2 2 0,60
Rata-rata 56 18 6 1 0 81 17,66
Keterangan : N = pohon/ha
V = m3/ha
26
 

Tabel 7 menunjukan semakin bertambahnya diameter maka kerusakan yang


ditimbulkannya pun semakin kecil bahkan tidak ada. Kerusakan pohon paling
tinggi akibat penebangan terdapat pada kelas diameter 10-19 cm yaitu sebanyak
56 pohon/ha dan tidak terjadi kerusakan pada kelas diameter lebih besar atau sama
dengan 50 cm. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah pohon pada kelas diameter
10-19 cm, sesuai dengan Indriyati (2010) yang menyatakan bahwa sebaran kelas
diameter dengan jumlah pohon tertinggi mempunyai peluang rusaknya pohon
lebih besar.
Hasil penelitian ini diperoleh data, dari kegiatan penebangan sebesar 44,29
m3/ha menyebabkan terjadinya kerusakan sebesar 17,66 m3/ha. Hal ini berarti
bahwa setiap penebangan 1 m3/ha menyebabkan terjadinya kerusakan sebesar
0,40 m3/ha. Rata-rata intensitas penebangan sebanyak 17 pohon/ha menyebabkan
kerusakan sebanyak 81 pohon/ha. Hal ini berarti bahwa setiap penebangan 1
pohon/ha menyebabkan kerusakan pada pohon berdiamater lebih besar dari 10 cm
sebesar 5 pohon/ha. Hasil penelitian ini lebih rendah bila dibanding dengan
penelitian Nasution (2003) di PT. Austral Byna yaitu setiap menebang 1 pohon/ha
menyebabkan terjadinya kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm
sebanyak 26 pohon/ha. Perbedaan hasil ini dapat disebabkan kurangnya
keterampilan operator chainsaw dalam menentukan arah rebah sehingga pohon
yang ditebang rebah ke lokasi yang terdapat banyak tegakan tinggalnya, lalu pada
penelitian Nasution (2003) kegiatan penebangan belum menerapkan sistem RIL.
Besarnya persentase tingkat dan tipe kerusakan pohon berdiameter lebih
besar dari 10 cm akibat penebangan disajikan pada Tabel 8.
27
 

Tabel 8 Persentase tingkat dan tipe kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari
10 cm akibat penebangan
Tingkat kerusakan
Tipe Rata-rata Persentase
kerusakan Ringan Sedang Berat (%)
N V N V N V N V
Rusak tajuk 3 3,87 6 3,44 2 1,22 1,85
Pecah batang 4 2,63 1 0,44 0,82
Patah batang 215 33,72 36 5,62 44,24
Rusak kulit 46 9,86 28 5,60 120 2,03 14 2,92 17,70
Miring 65 15,54 11 2,59 13,37
Roboh 98 25,65 16 4,28 20,16
Rusak banir 9 3,60 2 0,60 1,85
Rata-rata 10 2,89 17 4,10 55 10,67 81 17,66
Persentase 11,93 20,37 67,70
Keterangan : N = pohon/ha
V = m3/ha
Tipe kerusakan yang sering terjadi akibat kegiatan penebangan adalah patah
batang. Tipe kerusakan patah batang termasuk kedalam tingkat kerusakan berat.
Hal ini sesuai dengan Elias (2008) yang menyatakan bahwa tipe kerusakan patah
batang, pecah batang, roboh, tumbang atau miring dengan sudut <45° dengan
permukaan tanah, rusak tajuk (>50% tajuk rusak), luka batang/rusak kulit (>½
keliling pohon), dan rusak banir/akar (>½ banir atau perakaran rusak/terpotong)
merupakan tingkat kerusakan berat. Tingkat kerusakan yang paling tinggi terjadi
adalah tingkat kerusakan berat sebanyak 55 pohon/ha atau sebesar 10,67 m3/ha
atau sebesar 67,70 %, kemudian kerusakan sedang sebanyak 17 pohon/ha atau
sebesar 4,10 m3/ha atau sebesar 20,37%, serta kerusakan ringan sebanyak 10
pohon/ha atau sebesar 2,89 m3/ha atau sebesar 11,93%.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Indriyati (2010) di PT. Salaki
Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat yang menyatakan bahwa kerusakan
tertinggi akibat penebangan terdapat pada kategori kerusakan berat, tetapi jumlah
pohon/ha dan persentase yang berbeda. Jumlah pohon/ha dan persentase tingkat
kerusakan berat pada penelitian ini sebanyak 55 pohon/ha atau sebesar 67,70%,
sedangkan pada penelitian Indriyati (2010) sebanyak 63 pohon/ha atau sebesar
67,74%. Perbedaan jumlah pohon/ha dan persentase kerusakan berat ini
disebabkan oleh perbedaan kerapatan pohon, intensitas penebangan, dan batas
diameter pohon contoh yang diukur.
28
 

5.3.2 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penyaradan


Terdapat dua sistem penyaradan di IUPHHK-HA PT. Diamond Raya
Timber yaitu penyaradan secara manual dan penyaradan secara mekanis. Untuk
sistem penyaradan secara manual, kerusakan terjadi akibat pembuatan jalan
ongkak. Kerusakan terjadi disepanjang rintisan jalan ongkak yang direncanakan
dan disekitar jalan ongkak tersebut. Kerusakan disekitar jalan ongkak tersebut
dikarenakan bila bahan jalan ongkak tersebut tidak mencukupi maka bahan jalan
ongkak tersebut diambil disekitar jalan ongkak tersebut di dalam hutan. Untuk
sistem penyaradan secara mekanis, kerusakan tegakan tinggal terjadi akibat dari
logfisher track dan pada saat penarikan kayu oleh kabel slink.
Tipe kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan tidak jauh berbeda
dengan tipe kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan. Namun, pada tipe
kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan ini, terdapat tipe kerusakan berupa
ditebang. Tipe kerusakan akibat ditebang ini akibat dari kegiatan penyaradan
secara manual. Pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm sengaja ditebang karena
terkena rintisan jalan ongkak serta untuk bahan jalan ongkak tersebut.
Tabel 9 menunjukan persentase tingkat dan tipe kerusakan pohon
berdiameter lebih besar dari 10 cm akibat penyaradan. Tipe kerusakan tertinggi
yang terjadi akibat penyaradan manual adalah ditebang sebanyak 37 pohon/ha
atau sebesar 4,90 m3/ha atau dengan persentase sebesar 45,25%. Pohon
berdiameter lebih besar dari 10 cm ditebang karena terkena jalan ongkak yang
telah direncanakan, serta untuk bahan jalan ongkak tersebut. Tentu saja ini tidak
dapat dihindari walaupun jalan sarad pada penyaradan secara manual ini telah
direncanakan terlebih dahulu. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk
meminimalisasi kerusakan akibat penyaradan manual terutama bentuk kerusakan
seperti ditebang adalah memperpendek jalan sarad dan menghubungkan jalan
sarad dengan jalan sarad yang sudah ada (PT. DRT 2010).
Tipe kerusakan roboh sering terjadi juga akibat dari penyaradan secara
mekanis yaitu sebanyak 27 pohon/ha atau sebesar 5,63 m3/ha dengan persentase
sebesar 33,47%,. Tipe kerusakan roboh ini terjadi karena saat pohon yang disarad
oleh kabel slink tersangkut pada pohon lain, sehingga pohon lain tersebut
mengalami tarikan yang kuat dan tidak mampu lagi berdiri sehingga pohon
29
 

tersebut roboh. Mengaitkan kabel slink pada ujung pohon sejajar dengan arah
penyaradan merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi
kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan secara mekanis, terutama bentuk
kerusakan seperti roboh (PT. DRT 2010).
Tabel 9 Persentase tingkat dan tipe kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari
10 cm akibat penyaradan
Tingkat kerusakan
Tipe Rata-rata Persentase
Ringan Sedang Berat
kerusakan (%)
N V N V N V N V
Rusak tajuk 0 0,00 0,00
Pecah batang 0 0,00 0,00
Patah batang 31 6,10 5 1,02 6,40
Rusak kulit 26 10,22 9 2,37 6 3,18 7 2,63 8,47
Miring 29 4,72 5 0,79 5,99
Roboh 162 33,79 27 5,63 33,47
Rusak banir 2 0,32 0,33 0,05 0,41
Ditebang 219 29,41 37 4,90 45,25
Rata-rata 5 1,76 6 1,18 70 12,08 81 15,02
Persentase 5,79 7,85 86,36
Keterangan : N = pohon/ha
V = m3/ha
Tipe kerusakan ditebang dan roboh ini termasuk ke dalam tingkat kerusakan
berat. Besarnya tingkat kerusakan berat, sedang dan ringan akibat penyaradan ini
berturut-turut adalah 86,36% atau sebanyak 70 pohon/ha atau sebesar 12,08
m3/ha, 7,85% atau sebanyak 6 pohon/ha atau sebesar 1,18 m3/ha dan 5,79% atau
sebanyak 5 pohon/ha atau sebesar 1,76 m3/ha. Hal ini berbeda dengan penelitian
Rohidayanti (2012) yang menyatakan bahwa tingkat kerusakan ringan merupakan
tingkat kerusakan yang sering terjadi yaitu sebesar 53,49% dari total pohon yang
rusak. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sistem pemanenan, pada penelitian
Rohidayanti (2010) sistem penyaradannya tidak didominasi oleh kerusakan berat
seperti pada penelitian ini, pada penelitian ini terdapat tipe kerusakan berat seperti
roboh akibat sistem penyaradan mekanis dan ditebang akibat sistem penyaradan
manual. Pada penelitian Rohidayanti (2010) sistem penyaradannya menggunakan
bulldozer yang menggunakan winching. Dengan menggunakan winching gerakan
bulldozer menjadi lebih minim. Selain itu, ada juga perencanaan jalan sarad untuk
menghindari tegakan yang rapat.
30
 

Jumlah pohon rusak dan persentase kerusakan tegakan tinggal akibat


kegiatan penyaradan tiap plot dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Jumlah pohon rusak dan persentase kerusakan akibat penyaradan tiap
plot penelitian
Jumlah pohon yang Jumlah pohon yang Persen
Kerapatan pohon kerusakan
Plot disarad rusak
pohon
N V N V N V (%)
1 447 147,42 19 45,06 62 7,93 14,49
2 471 152,26 15 40,00 81 11,77 17,76
3 344 110,77 14 39,80 79 9,95 23,94
4 372 175,38 15 47,35 72 20,42 20,17
5 424 177,54 20 55,58 113 22,53 27,97
6 399 149,73 16 37,96 77 17,51 20,10
Rata-rata 410 152,18 17 44,29 81 15,02 20,53
Keterangan : N = pohon/ha
V = m3/ha

Kerusakan paling tinggi terdapat pada plot 5 sebanyak 113 pohon/ha


dengan volume sebesar 22,35 m3/ha dan paling rendah terdapat pada plot 1
sebanyak 62 pohon/ha dengan volume sebesar 7,93 m3/ha. Kerusakan paling
tinggi terdapat pada plot 5 dikarenakan jumlah pohon yang disarad paling tinggi
yaitu 20 pohon/ha, hal tersebut menyebabkan kegiatan penyaradan menjadi lebih
banyak sehingga kerusakan yang ditimbulkannya pun menjadi tinggi. Tetapi
jumlah penyaradan tidak selalu berbanding lurus dengan kerusakan yang
ditimbulkan, hal ini terlihat pada plot 3 dan plot 1. Pada plot 3 jumlah pohon yang
disarad adalah 14, lalu pada plot 1 jumlah pohon yang disarad adalah 19, tetapi
kerusakan yang ditimbulkan lebih banyak pada plot 3 daripada plot 1. Hal ini
dipengaruhi oleh kerapatan dan pola penyebaran pohon pada tiap plot penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dari kegiatan penyaradan sebesar
44,29 m3/ha menyebabkan terjadinya kerusakan sebesar 15,02 m3/ha. Hal ini
berarti bahwa setiap penyaradan 1 m3/ha menyebabkan terjadinya kerusakan
sebesar 0,34 m3/ha. Rata-rata pohon yang disarad adalah 17 pohon/ha
menyebabkan kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm sebanyak 81
pohon/ha. Hal ini berarti bahwa setiap penyaradan 1 pohon/ha menyebabkan
kerusakan sebanyak 5 pohon/ha. Hasil ini lebih tinggi dibanding dengan
penelitian Rohidayanti (2012) yang menunjukan hasil setiap menyarad 1 pohon/ha
menyebabkan kerusakan sebanyak 0,92 pohon/ha. Perbedaan ini disebabkan oleh
31
 

batas diameter pohon contoh yang diukur dan sistem penyaradan. Pada penelitian
Rohidayanti (2012) diameter pohon contoh yang diukur adalah lebih besar dari 20
cm sehingga kerusakan tegakan tinggal yang dihitung menjadi lebih sedikit, lalu
sistem penyaradan dengan bulldozer yang menggunakan winching. Dengan
menggunakan winching gerakan bulldozer menjadi lebih minim. Selain itu, ada
juga perencanaan jalan sarad untuk menghindari tegakan yang rapat.

5.3.3 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan dan Penyaradan


Besarnya persentase kerusakan tegakan tinggal yang diakibatkan oleh
kegiatan penebangan dan penyaradan disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Persentase kerusakan pohon berdiameter lebih dari 10 cm akibat
penebangan dan penyaradan
Jumlah Jumlah pohon yang rusak Kerusakan (%)
Jumlah pohon
pohon
sebelum Total
yang Penebangan Penyaradan Penebangan Penyaradan
pemanenan (%)
ditebang (pohon/ha) (pohon/ha) (%) (%)
(pohon/ha)
Plot (pohon/ha)
(e ) (f) (g)
(a) (b) (c ) (d) e=c/(a- f=d/(a-
g=e+f
b)*100% b)*100%
1 447 19 78 62 18,22 14,49 32,71
2 471 15 93 81 20,39 17,76 38,16
3 344 14 56 79 16,97 23,94 40,91
4 372 15 75 72 21,01 20,17 41,18
5 424 20 66 113 16,34 27,97 44,31
6 399 16 118 77 30,81 20,10 50,91
Rata-
410 17 81 81 20,61 20,53 41,14
rata

Persentase kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm akibat


penebangan dan penyaradan sebesar 41,14% atau sebanyak 162 pohon/ha terdiri
dari kerusakan akibat penebangan sebesar 20,61% atau sebanyak 81 pohon/ha dan
kerusakan akibat penyaradan sebesar 20,53% atau sebanyak 81 pohon/ha.
Kerusakan sebesar 41,14% terdiri dari 44,41% untuk tingkat tiang (diameter 10
cm sampai dengan 19 cm) dan 34,33% untuk tingkat pohon (diameter lebih dari
atau sama dengan 20 cm), yang ditetapkan berdasarkan perbandingan antara
jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan terhadap jumlah pohon yang
ada di dalam areal tersebut sebelum pemanenan dikurangi jumlah pohon yang
dipanen (Elias 2008). Kerusakan sebesar 41,14% termasuk kerusakan sedang, hal
ini sesuai dengan Elias (2008) yang menyatakan bahwa kerusakan ringan
32
 

(besarnya kerusakan tegakan tinggal <25 %), kerusakan sedang (25-50 %) dan
kerusakan berat (>50 %).
Potensi tegakan tinggal setelah pemanenan perlu dikaji untuk penyelamatan
pohon muda dari jenis komersil agar tidak tejadi penurunan produksi pada siklus
tebang berikutnya. Pada Tabel 12 terlihat bahwa tegakan sisa untuk tingkat tiang
(diameter 10 cm sampai dengan 19 cm) adalah sebanyak 148 pohon/ha yang
terdiri dari 46 pohon/ha jenis komersil dan 101 pohon/ha jenis non komersil dan
tingkat pohon (diameter lebih dari atau sama dengan 20 cm) adalah sebanyak 84
pohon/ha yang terdiri dari 42 pohon/ha jenis komersil dan 42 pohon/ha jenis non
komersil.
Tabel 12 Tegakan sisa jenis komersil dan non komersil
Jumlah pohon sebelum pemanenan Jumlah pohon setelah pemanenan
(pohon/ha) (pohon/ha)
Plot 10-19 cm > 20 cm 10-19 cm > 20 cm
K NK K NK K NK K NK
1 113 200 70 64 78 126 42 42
2 82 214 84 91 52 108 54 68
3 63 179 40 62 37 102 21 35
4 62 163 100 47 32 102 50 26
5 82 211 88 43 52 112 41 20
6 67 156 83 93 27 57 42 62
Rata-rata 78 187 78 67 46 101 42 42

Mengacu pada pedoman Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia


(TPTI) harus tersedia minimal 75 batang/hektar untuk tingkat tiang dan 25
batang/hektar untuk tingkat pohon jenis komersial dan sehat yang tersebar merata
(Departemen Kehutanan 1993). Keadaan tegakan sisa jenis komersil pada Tabel
12 untuk tingkat pohon maka telah memenuhi syarat pedoman TPTI namun untuk
tingkat tiang belum memenuhi karena masih kurang dari persyaratan yang
ditetapkan. Kekurangan tegakan sisa jenis komersil pada tingkat tiang ini dapat
diatasi dengan melakukan kegiatan penanaman pengayaan pada areal yang
kekurangan tegakan tersebut yang nantinya diharapkan akan tumbuh sebagai
pengganti dari pohon yang telah mati akibat kegiatan pemanenan kayu.
33
 

Tabel 13 Jumlah tegakan sisa setelah kegiatan pemanenan


Jumlah Jumlah pohon yang rusak Jumlah pohon
Jumlah pohon
pohon yang setelah
Plot sebelum pemanenan Penebangan Penyaradan
ditebang pemanenan
N V N V N V N V N V
1 447 147,42 19 45,06 78 15,74 62 7,93 288 78,69
2 471 152,26 15 40,00 93 16,07 81 11,77 282 84,42
3 344 110,77 14 39,80 56 12,91 79 9,95 195 48,11
4 372 175,38 15 47,35 75 21,22 72 20,42 210 86,39
5 424 177,54 20 55,58 66 18,25 113 22,35 225 81,36
6 399 149,73 16 37,96 118 25,82 77 17,51 188 68,44
Rata-rata 410 152,18 17 44,29 81 18,34 81 14,99 231 74,57
Keterangan : N = pohon/ha
V = m3/ha

Rata-rata jumlah tegakan sisa setelah kegiatan pemanenan pada Tabel 13


adalah sebesar 231 pohon/ha atau sebesar 74,57 m3/ha. Tegakan sisa paling tinggi
terdapat pada plot 1 yaitu sebanyak 288 pohon/ha dengan volume sebesar 78,69
m3/ha dan paling rendah terdapat pada plot 6 yaitu sebanyak 188 pohon/ha dengan
volume sebesar 68,44 m3/ha.

300
250
Pohon/ha

200
150
100
50
0
10-19 cm 20-19 cm 30-39 cm 40-49 cm > 50 cm
Kelas diameter
Sebelum pemanenan Setelah pemanenan

Gambar 3 Kerapatan pohon tiap kelas diameter setelah pemanenan


Berdasarkan Gambar 3 struktur tegakan hutan setelah pemanenan sesuai
bentuk umum dari struktur tegakan hutan normal yaitu berbentuk huruf “J”
terbalik. Namun keadaan tegakan tinggal mengalami penurunan jumlah yang
tinggi dengan semakin berkurangnya kelas diameter, hal ini disebabkan dampak
pemanenan dari pohon-pohon yang relatif mempunyai diameter dan tinggi yang
lebih dibanding tegakan tinggal. Oleh karena itu kegiatan penanaman pada areal
setelah pemanenan menjadi prioritas agar kelestarian hutan dapat dipertahankan.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan kayu di
IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber adalah sebesar 41,14% dari total pohon
berdiameter lebih besar dari 10 cm yang rusak yang termasuk dalam tingkat
kerusakan sedang. Kerusakan sebesar 41,14% atau sebanyak 162 pohon/ha terdiri
dari kerusakan akibat kegiatan penebangan sebesar 20,61% atau sebanyak 81
pohon/ha dan akibat kegiatan penyaradan sebesar 20,53% atau sebanyak 81
pohon/ha. Jumlah tegakan sisa setelah kegiatan pemanenan sebanyak 231
pohon/ha atau sebesar 74,57 m3/ha.

4.2 Saran
Perlu diperhatikan dan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan
logfisher pada sistem penyaradan mekanis. Dampak dari sistem penyaradan
mekanis ini adalah terhadap tegakan tinggal dan keterbukaan hutan menjadi lebih
besar.
DAFTAR PUSTAKA

Aryanto D. 1995. Kerusakan Mekanis dan Biologis pada Tegakan Tinggal Akibat
Pemanenan Kayu di PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur [skripsi]. Bogor:
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Departemen Kehutanan. 1990. Pedoman dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sistem
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengusahaan Hutan.
Elias. 1994. Akibat pemanenan kayu terhadap kerusakan mekanis dan biologis
tegakan tinggal di hutan alam tropika tanah kering di areal HPH PT. Kiani
Lestari, Kalimantan Timur. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB.
Bogor.
Elias. 2002a. Reduced Impact Logging. Buku I. Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Bogor: IPB Press.
Elias. 2002b. Reduce Impact Logging. Buku 2. Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Bogor: IPB Press
Elias. 2008. Pembukaan Wilayah Hutan. Bogor: IPB Press.
Indriyati IN. 2010. Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Hutan di PT.
Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor:
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Istomo, Komar TE, Tata MHL, Sumbayak ESS, Ramha A. 2010. Evaluasi Sistem
Silvikultur Hutan Rawa Gambut di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Kurniawan M. 2002. Kerusakan Tegakan Tinggal dan Keterbukaan Areal Akibat
Penebangan dan Penyaradan di PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau
[skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Limin SH. 2006. Pemanfaatan Lahan Gambut dan Permasalahannya.
http://webdocs.alterra.wur.nl/internet/peatwise/docs/phase3/Reports/Pema
nfaatan%20lahan%20gambut%20dan%20permasalahannya.pdf. [25
Desember 2012]
Muhdi. 2000. Studi Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu
Konvensional dan RITH di PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat
[tesis]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Mujijat A dan Hermansyah. 2005. Praktek pengelolaan dan pelestarian ramin
(Gonystylus bancanus) di PT. Diamond Raya Timber. Prosiding Semiloka
Nasional Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam bekerjasama
dengan ITTO PPD 87/03 Rev.2(F).
Nasution AK. 2003. Keterbukaan Areal dan Kerusakan Kerusakan Tegakan
Tinggal Akibat Kegiatan Penebangan dan Penyaradan di PT. Austral
Byna, Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
36
 

Noor M, Mulyani A. 2011. Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Pengembangan


Pertanian di Lahan Gambut. Bogor: Balai Penelitian Tanah.
Noor YR, Herlisah L, Sutaryo D. 2005. Bibliografi Mengenai Gambut dan Topik
Terkait di Indonesia dan Wilayah Sekitarnya. Bogor: Wetlands
International Indonesia-Programme.
Nurida NL, Mulyani A, Agus F. 2011. Pengelolaan Lahan Gambut
Berkelanjutan. Bogor: Balai Penelitian Tanah.
[PT.DRT]. PT. Diamond Raya Timber. 2010. Rencana Karya Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari PT. Diamond Raya Timber. Riau: PT. DRT.
Rohidayanti T. 2012. Kerusakan Tegakan Tinggal dan Potensi Karbon Tersimpan
Akibat Pemanenan Kayu di IUPHHK-HA PT. Indexim Utama,
Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
Sukanda. 1995. Penentuan Faktor Eksploitasi, Limbah Kayu dan Kerusakan
Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dengan Sistem TPTI Studi
Kasus di Areal Kerja HPH PT. Narkata Rimba Kalimantan Timur [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Wayana PA. 2011. Pendugaan Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Kayu
Secara Mekanis Pada Hutan Alam Tropis di IUPHHK PT. Sarmiento
Parakanjta Timber, Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Yudiarto MIM. 1997. Volume dan Klasifikasi Limbah Pemanenan Kayu di PT.
Dexter Kencana Timber, Provinsi Riau [skripsi]. Bogor: Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
38
 

Lampiran 1 Tipe-tipe kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan.

Tipe rusak kulit/batang Tipe pecah batang

Tipe rusak banir Tipe patah batang

Tipe roboh Tipe ditebang


39
 

Lampiran 2 Gambar areal kerja IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber

Anda mungkin juga menyukai