FEBRIANGGA HARMAWAN
FEBRIANGGA HARMAWAN
E14080068
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK
ABSTRACT
Febriangga Harmawan
NRP E14080068
Menyetujui:
Dosen Pembimbing,
Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Hutan
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Penulis
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI
PRAKATA ......................................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................ 2
1.3 Manfaat Penelitian ......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3
2.1 Hutan Rawa Gambut ..................................................................... 3
2.2 Pemanenan ..................................................................................... 5
2.3 Tegakan Tinggal ............................................................................ 6
BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 8
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 8
3.2 Obyek dan Alat Penelitian ............................................................. 8
3.3 Batasan Masalah Penelitian .......................................................... 8
3.4 Metode Penelitian .......................................................................... 8
3.4.1 Metode Kerja ...................................................................... 8
3.4.2 Data Primer ......................................................................... 9
3.4.3 Data Sekunder .................................................................... 10
3.5 Pengolahan Data .......................................................................... 10
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .................................... 13
4.1 Kondisi Fisik dan Administrasi .................................................... 13
4.2 Luas Efektif .................................................................................. 14
4.3 Aksesibilitas .................................................................................. 15
4.4 Topografi dan Kelerengan ............................................................ 15
4.5 Geologi dan Tanah ........................................................................ 15
4.6 Iklim dan Intensitas Hujan ............................................................. 17
4.7 Hidrologi ........................................................................................ 18
4.8 Tipe Hutan dan Penutupan Lahan ................................................ 18
iv
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah menghitung tingkat kerusakan tegakan tinggal
akibat kegiatan pemanenan kayu di hutan rawa gambut.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai seberapa
besar kerusakan tegakan tinggal yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu dan
menjadi masukan bagi kepentingan pengelolaan hutan alam yang lestari dan
berkelanjutan dengan meminimalkan kerusakan tegakan tinggal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
yang berlokasi di lahan gambut, diketahui bahwa populasi 10 jenis pohon bernilai
ekonomis tinggi dan jenis yang dilindungi dengan diameter ≥ 20 cm rata-rata 21
pohon/ha dengan volume rata-rata 30,94 m3/ha. Diantara ke-10 jenis pohon
tersebut terdapat 67,83%-nya adalah Ramin (Gonystylus bancanus Kurz).
Berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan alami pohon-pohon bernilai
ekonomis tersebut, maka “Wise Use of Tropical Peatland” hendaknya tidak lagi
harus dipaksa untuk melakukan perubahan yang justru mengakibatkan munculnya
permasalahan baru yang berdampak negatif bagi manusia dan lingkungan (Limin
2006).
Pengelolaan lahan gambut perlu dilakukan dengan sangat hati-hati karena
lahan ini sangat mudah mengalami degradasi. Untuk itu diperlukan inovasi
teknologi yang tepat, sehingga lahan dapat tetap berproduksi secara optimal dan
tingkat emisi serta kerusakan lingkungan lainnya dapat diminimalkan. Oleh
karena itu, penting untuk menghimpun informasi ilmu pengetahuan serta
teknologi pengelolaan lahan gambut yang berhubungan dengan aspek fisik,
ekonomi maupun sosial, agar lahan gambut dapat dimanfaatkan secara bijaksana
(Nurida et al. 2011).
Berdasarkan tingkat kematangannya gambut dibedakan menjadi gambut
fibrik yaitu gambut yang belum melapuk, gambut hemik yaitu gambut yang
tingkat pelapukannya setengah melapuk dan gambut saprik yaitu gambut yang
tingkat pelapukannya sudah lanjut. Berdasarkan kedalamannya, gambut dibedakan
menjadi gambut dangkal (50-100 cm), gambut sedang (100-200 cm), gambut
dalam (200-300 cm), dan gambut sangat dalam (>300 cm). Gambut saprik
mempunyai kemampuan menyimpan air lebih kecil, tetapi mempunyai
kemampuan daya pegang air (water holding capacity) yang lebih kuat dibanding
gambut hemik atau fibrik, dan sebaliknya. Oleh karena itu gambut fibrik
mempunyai risiko kekeringan lebih besar dibandingkan gambut hemik atau
saprik. Gambut tebal lebih banyak didominasi gambut fibrik-hemik, sebaliknya
gambut dangkal dan tipis lebih banyak didominasi gambut saprik (Nurida et al.
2011).
5
2.2 Pemanenan
Pemanenan kayu adalah suatu rangkaian kegiatan untuk mengubah kayu
menjadi sortimen-sortimen kayu dan memindahkannya ke tempat tujuan akhir
yang diinginkan, pemanenan kayu meliputi beberapa kegiatan seperti:
penebangan, pembagian batang, penyaradan, pemuatan dan pengangkutan serta
kegiatan pembongkaran (Elias 1994).
Kegiatan pemanenan kayu menentukan kesuksesan dan kegagalan
pengelolaan hutan secara lestari dalam jangka panjang karena hal tersebut
merupakan hal yang paling dominan dalam manajemen hutan secara keseluruhan.
Ilmu dan teknologi di bidang pemanenan kayu hingga saat ini telah mengalami
berbagai perkembangan, hal ini sebagai konsekuensi perubahan pendekatan
manajemen hutan dari prinsip kelestarian hasil kepada prinsip pembangunan hutan
lestari. Menurut Elias (2002b) arah perkembangan pemanenan kayu tersebut
adalah meliputi pengertian pemanenan kayu yang mengalami perluasan yang lebih
menekankan pada perencanaan sebelum pemanenan, supervisi teknik dan
pencegahan kerusakan lebih lanjut; usaha memperpendek rantai tahapan
pemanenan kayu; menerapkan sistem pemanenan kayu sesuai dengan klasifikasi
fungsional lapangan di bidang kehutanan; mengintegrasikan pengolahan kayu
primer ke dalam tahapan pemanenan kayu; penciptaan peralatan pemanenan kayu
dengan perhatian ditekankan pada keunggulan produktivitas tinggi, keunggulan
biaya, menekan kerusakan lingkungan dan meningkatkan keselamatan kerja.
Tahapan kegiatan pemanenan kayu dibedakan menjadi empat komponen yaitu:
1. Penebangan, yaitu mempersiapkan kayu seperti menebang pohon serta
memotong kayu sesuai dengan ukuran batang untuk disarad.
2. Penyaradan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari tempat penebangan ke
tepi jalan angkutan.
3. Pengangkutan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari hutan ke tempat
penimbunan atau pengolahan kayu.
4. Penimbunan, yaitu usaha untuk menyimpan kayu dalam keadaan baik sebelum
digunakan atau dipasarkan, dalam keadaan ini termasuk pemotongan ujung-
ujung kayu yang pecah atau kurang rata sebelum ditimbun.
6
METODE PENELITIAN
4. Penyaradan
a. Menghitung jumlah dan jenis pohon yang rusak pada setiap plot akibat
penyaradan.
b. Menghitung bentuk kerusakan pohon seperti pada kegiatan
penebangan.
c. Menghitung persentase kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan
penyaradan.
3.4.3 Data Sekunder
Data sekunder yang diambil adalah data kondisi umum, data kondisi
tegakan sebelum dilakukan kegiatan penebangan, peta kawasan pengusahaan hutan
dan daftar nama/jenis pohon yang berada di kawasan IUPHHK-HA PT. Diamond
Raya Timber.
3.5 Pengolahan Data
Menurut Elias (2008), kerusakan tegakan tinggal ditetapkan dengan dua cara
yaitu :
1. Berdasarkan populasi pohon dalam petak, yaitu pembagian antara jumlah
pohon yang rusak setelah pemanenan kayu dengan jumlah pohon sebelum
penebangan dikurangi dengan jumlah pohon yang ditebang.
2. Berdasarkan tingkat keparahan kerusakan tegakan tinggal dengan
menggunakan kriteria yang terjadi pada individu pohon.
Berdasarkan populasi pohon dalam petak, kerusakan tegakan tinggal dapat
dikelompokan sebagai berikut: kerusakan ringan (besarnya kerusakan tegakan
tinggal <25 %), kerusakan sedang (25-50 %) dan kerusakan berat (>50 %).
Persentase kerusakan ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon
yang rusak akibat kegiatan pemanenan dengan jumlah pohon yang ada di dalam
areal tersebut sebelum pemanenan dikurangi jumlah pohon yang dipanen.
11
Beberapa kerusakan yang terjadi pada individu pohon (Elias 2008) yaitu :
1. Tingkat kerusakan berat
a. Patah batang.
b. Pecah batang.
c. Roboh, tumbang atau miring dengan sudut <45% dengan permukaan
tanah
d. Rusak tajuk (>50% tajuk rusak), juga didasarkan atas banyaknya
cabang permukaan tajuk yang patah.
e. Luka batang/rusak kulit (>½ keliling pohon atau 300-600 cm kulit
mengalami kerusakan).
f. Rusak banir/akar (>½ banir atau perakaran rusak/terpotong).
2. Tingkat kerusakan sedang
a. Rusak tajuk (30-50% tajuk rusak atau 1/6 bagian tajuk mengalami
kerusakan).
b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling rusak atau 150-300 cm kulit
rusak).
c. Rusak banir/akar (1/3-1/2 banir/akar rusak atau terpotong).
d. Condong atau miring (pohon miring membentuk sudut > 45% dengan
permukaan tanah)
3. Tingkat kerusakan ringan
a. Rusak tajuk (<30% tajuk rusak)
b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling pohon rusak dan panjang luka
< 1,5 m atau kerusakan sampai kambium dengan lebar >5 cm, lebih
kurang sepanjang garis sejajar sumbu longitudinal dari batang).
c. Rusak banir/akar (<¼ banir rusak atau perakaran terpotong).
Kerusakan dihitung berdasarkan persentase jumlah pohon yang rusak
terhadap jumlah pohon yang seharusnya tinggal dan sehat. Untuk menghitung
kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan dan penyaradan kayu,
digunakan rumus (Sukanda 1995) :
12
R
K x %
P Q
Keterangan : K = Tingkat kerusakan tegakan tinggal (%)
R = Jumlah pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm yang
mengalami kerusakan (pohon/ha)
P = Jumlah pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm ke atas
sebelum penebangan (pohon/ha)
Q = Jumlah pohon yang ditebang (pohon/ha)
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
a. Provinsi Riau
b. Kabupaten/kota Rokan Hilir dan Kota Dumai
Sumber: Rencana karya pengelolaan hutan produksi lestari PT. Diamond Raya Timber, 2010.
14
15
4.3 Aksesibilitas
Areal kerja PT. Diamond Raya Timber berada di Kabupaten Rokan Hilir
dan Kota Dumai, dimana basecamp terletak di Sei Senepis (termasuk wilayah
administrative Kota Dumai) yang berjarak ± 245 km dari Pekanbaru atau ± 48 km
dari Dumai. Basecamp dapat dicapai dari Pekanbaru menggunakan jalan darat
menuju Dumai, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan speedboat. Waktu
tempuh secara keseluruhan dari Pekanbaru ke Sei Senepis sekitar ± 5 jam (PT.
DRT 2010).
4.4 Topografi dan Kelerengan
Keadaan topografi areal IUPHHK-HA PT. DRT terdiri dari dataran rendah
pantai dan dataran dengan ketinggian 2–8 meter di atas permukaan laut yang pada
umumnya merupakan daerah lahan basah tergenang air (rawa). Tinggi genangan
air bervariasi tergantung pada musim, tinggi pasang air laut dan curah hujan yang
berkisar antara pergelangan kaki sampai pinggang orang dewasa. Areal HPH PT
Diamond Raya Timber seluruhnya adalah areal datar yaitu lereng A (0–8 %),
karena hutannya berupa daerah rawa (PT. DRT 2010).
4.5 Geologi dan Tanah
Berdasarkan peta satuan lahan dan tanah PPT dan Agroklimat, Bogor (1990)
lembar Dumai dan Bagan Siapiapi (0817 dan 0818) formasi geologi areal hutan
IUPHHK PT DRT terdiri dari sedimen aluvium tersier dan kuarter. Formasi
tersier menempati daerah antiklinarium yang ditempati daerah telisa (Tmt).
Formasi telisa dicirikan oleh batu-batu lumpur kelabu bergamping dengan sedikit
sisipan batu gamping dan dan busa gamping. Kandungan deposit bahan tambang
di areal kerja IUPHHK-HA PT DRT sampai saat ini belum diketahui (PT. DRT
2010).
Formasi kuarter ditempati formasi endapan permukaan muda (Ph) dan
endapan permukaan tua (Qp). Endapan permukaan tua merupakan daerah basah
(basin) dan daerah kering (upland). Endapan permukaan muda (Qp) didominasi
oleh bahan organik berupa kubah gambut dan hanya sebagian kecil terbentuk dari
lempung yang membentuk aluvial sungai (PT. DRT 2010).
Fisiografi di areal IUPHHK-HA PT. DRT berdasarkan Buku Satuan Lahan
dan Tanah Lembar Dumai, dikelompokkan ke dalam 3 grup yaitu Grup Kubah
16
Gambut, Grup Aluvial, dan Grup Marin. Grup Kubah Gambut mendominasi areal
ini, yang berkembang dari endapan organik permukaan muda (Ph) dan tua (Qp).
Secara umum ketebalan gambut makin tebal jika makin jauh dari sungai.
Ketebalan gambut bisa melebihi 3 m di bagian pinggir dan dapat mencapai
maksimum 8 m di bagian tengah-selatan. Terdapat pula sedikit tanah Gley,
Aluvial, dan Podsolik (PT. DRT 2010).
Grup Aluvial berkembang dari endapan Aluvial sungai dan menempati jalur
aliran sungai. Grup Aluvial ditandai dengan adanya pasang surut. Dataran banjir
dari sungai bermeander terutama membentuk rawa belakang yang luas dan selalu
jenuh air (PT. DRT 2010).
Secara umum di seluruh kawasan DAS Rokan terdapat sembilan jenis tanah
dengan luasan yang bervariasi. Beberapa jenis tanah menurut klasifikasi tanah
Soil Taxonomy (USDA) dan Pusat Penelitian dan Agroklimat secara lengkap
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Tipe tanah di sekitar DAS Rokan
Tipe tanah
Kode Tekstur
USDA PULSIT TANAH
Bf.6 Hidraquents Glei Humus
Bf.4.5 Tropaquens Glei Humus
Lempung
Bf.4.3 Sulfaquens Glei Humus
Bf.5.5 Tropasaprists Glei Humus
Bf.4.4 Pasir berlempung Sulfaquens Glei Humus
Au.1.1.3 Lempung berpasir, batu Tropaquens Glei Humus
sedimen
Bf.4.6 Lempung Tropaquens Glei Humus
D.2.1.2 Bahan organik Tropahemists Organosol
D.2.1.3 Bahan organik Tropahemists Organosol
17
karena kebakaran. Kondisi tanah hutan rawa gambut yang sangat sensitif ini
menyebabkan perlindungan terhadap kandungan air tanah menjadi sangat penting
untuk menghindarkan terjadinya bahaya kebakaran dan dampak ikutannya (PT.
DRT 2010).
4.6 Iklim dan Intensitas Hujan
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) areal kerja IUPHHK-
HA PT. DRT termasuk ke dalam tipe A dengan nilai Q = 10,10 %. Curah hujan
per tahun 2358 mm, sedangkan curah hujan bulanan rata-rata berkisar 51,32–
301,06 mm/bln, curah hujan tertinggi jatuh pada bulan November (301.66 mm)
dan Desember (253,40 mm). Curah hujan terendah jatuh pada bulan Maret (51.33
mm) dan Juli (73,80 mm). Rata-rata hari hujan adalah 12 hari/bulan, hari hujan
tertinggi jatuh pada bulan November (14 hari/bulan) dan terendah pada bulan
Februari (3,30 hari/bulan) (PT. DRT 2010).
Suhu udara rata-rata di areal kerja IUPHHK-HA PT. DRT hampir merata
sepanjang tahun yaitu berkisar antara 250–270 C. Demikian juga kelembaban nisbi
bulannya yaitu antara 79–90 %. Rata-rata kecepatan angin berkisar antara 8–21
km/jam. Belum pernah dilaporkan adanya angin puting beliung. Arah angin yang
umum adalah :
a. Timur Laut : Desember - Maret
b. Tenggara : April, Mei, Juli, September
c. Selatan : Juni, Agustus
d. Barat Laut : November
e. Barat Daya : Oktober
Pada umumnya, presipitasi mencukupi dan tersebar dengan baik guna
mengurangi resiko kebakaran hutan. Namun demikian, iklim yang luar biasa dapat
terjadi berkaitan dengan el nino yang menyebabkan musim kemarau panjang
sehingga meningkatkan resiko kebakaran hutan dari aktifitas kerja masyarakat
lokal sekitar batas hutan. PT. DRT telah memiliki prosedur pencegahan kebakaran
dan pemadamannya yang terdapat dalam (SOP-4PH-09).
18
4.7 Hidrologi
Areal kerja IUPHHK-HA PT. DRT terletak di bagian timur DAS Sungai
Rokan dengan beberapa sungai yang mengalir ke bagian barat dan selatan, utara
dan timur (Selat Malaka). Sungai-sungai yang mengalir ke bagian barat-selatan
yang bermuara ke Sungai Rokan adalah : Pasir Besar, Agar, Labuhan Tangga
Besar, Labuhan Tangga Kecil, dan Bantayan. Sungai-sungai yang utara dan timur
yang bermuara di Selat Malaka adalah Serusa, Pematang Nibung, Nyamuk,
Sinaboi, Teluk Dalam, Sinepis Besar, dan Sinepis Kecil. Sedangkan sungai yang
mengalir dari bagian Selatan ke arah Utara adalah sungai Sekusut.
Air pada genangan rawa berwarna coklat tua yang keluar dari tanah gambut.
Pelumpuran yang terjadi sangat sedikit, kecuali yang dekat aliran ke Sungai
Rokan dimana lumpur terbentuk pada saat pasang sangat tinggi dan masamasa
banjir sungai Rokan. Hal ini disebabkan karena sebelumnya telah terjadi konversi
wilayah hutan dalam jumlah besar pada bagian hulu dan praktek pembuatan jalan
yang tidak baik. Dengan demikian strategi untuk mempertahankan hutan alam di
bagian hulu sungai Rokan menjadi sangat penting.
Kondisi sungai Rokan memungkinkan untuk membuat log pond pada bagian
yang cukup dalam sepanjang sisi timur. Kedalaman sungai Rokan dipengaruhi
oleh pasang surut air laut.
4.8 Tipe Hutan dan Penutupan Vegetasi
Terdapat dua tipe utama ekosistem hutan di dalam areal kerja IUPHHKHA
PT. DRT, yaitu (1) Hutan Rawa Gambut dan (2) Hutan Mangrove. Diantara kedua
tipe tersebut terdapat daerah peralihan yang disebut daerah ekoton.
Tipe ekosistem hutan rawa gambut di areal IUPHHK-HA PT. DRT
termasuk tipe gambut pantai yang terletak di daerah depresi antara sungai Rokan
dan Selat Malaka. Berdasarkan asosiasi vegetasi terdapat tiga asosiasi vegetasi
hutan rawa gambut dari mulai gambut dangkal sampai gambut dalam. Masing-
masing asosiasi egetasi diberi nama menurut jenis pohon komersil yang dominan,
yaitu :
19
20
21
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 5 Kerapatan pohon sebelum pemanenan tiap kelas diameter dan jumlah
pohon yang ditebang
Kelas diameter Pohon yang
Rata-rata
Plot 10-19 cm 20-29 cm 30-39 cm 40-49 cm ≥ 50 cm ditebang
N V N V N V N V N V N V N V
1 313 29,28 79 27,21 23 18,45 17 27,46 15 45,02 75 24,57 19 45,06
2 296 25,74 121 40,66 24 18,53 16 25,56 14 41,77 79 25,38 15 40,00
3 242 18,95 64 19,99 13 10,78 14 20,42 11 40,63 57 18,46 14 39,80
4 225 17,79 69 24,93 40 33,86 21 32,29 17 66,51 62 29,23 15 47,35
5 293 25,76 59 19,41 32 28,88 18 28,27 22 75,22 71 29,59 20 55,58
6 223 22,39 113 38,45 33 27,8 18 30,61 12 30,48 67 24,96 16 37,96
Rata-rata 265 23,32 84 28,44 28 23,05 17 27,44 15 49,94 410 152,18 17 44,29
Keterangan : N = pohon/ha
3
V = m /ha
350
300
250
Pohon/ha
200
150
100
50
0
10‐19 cm 20‐29 cm 30‐39 cm 40‐49 cm > 50 cm
Kelas diameter
Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6
Keterangan : N = pohon/ha
V = m3/ha
Tabel 8 Persentase tingkat dan tipe kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari
10 cm akibat penebangan
Tingkat kerusakan
Tipe Rata-rata Persentase
kerusakan Ringan Sedang Berat (%)
N V N V N V N V
Rusak tajuk 3 3,87 6 3,44 2 1,22 1,85
Pecah batang 4 2,63 1 0,44 0,82
Patah batang 215 33,72 36 5,62 44,24
Rusak kulit 46 9,86 28 5,60 120 2,03 14 2,92 17,70
Miring 65 15,54 11 2,59 13,37
Roboh 98 25,65 16 4,28 20,16
Rusak banir 9 3,60 2 0,60 1,85
Rata-rata 10 2,89 17 4,10 55 10,67 81 17,66
Persentase 11,93 20,37 67,70
Keterangan : N = pohon/ha
V = m3/ha
Tipe kerusakan yang sering terjadi akibat kegiatan penebangan adalah patah
batang. Tipe kerusakan patah batang termasuk kedalam tingkat kerusakan berat.
Hal ini sesuai dengan Elias (2008) yang menyatakan bahwa tipe kerusakan patah
batang, pecah batang, roboh, tumbang atau miring dengan sudut <45° dengan
permukaan tanah, rusak tajuk (>50% tajuk rusak), luka batang/rusak kulit (>½
keliling pohon), dan rusak banir/akar (>½ banir atau perakaran rusak/terpotong)
merupakan tingkat kerusakan berat. Tingkat kerusakan yang paling tinggi terjadi
adalah tingkat kerusakan berat sebanyak 55 pohon/ha atau sebesar 10,67 m3/ha
atau sebesar 67,70 %, kemudian kerusakan sedang sebanyak 17 pohon/ha atau
sebesar 4,10 m3/ha atau sebesar 20,37%, serta kerusakan ringan sebanyak 10
pohon/ha atau sebesar 2,89 m3/ha atau sebesar 11,93%.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Indriyati (2010) di PT. Salaki
Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat yang menyatakan bahwa kerusakan
tertinggi akibat penebangan terdapat pada kategori kerusakan berat, tetapi jumlah
pohon/ha dan persentase yang berbeda. Jumlah pohon/ha dan persentase tingkat
kerusakan berat pada penelitian ini sebanyak 55 pohon/ha atau sebesar 67,70%,
sedangkan pada penelitian Indriyati (2010) sebanyak 63 pohon/ha atau sebesar
67,74%. Perbedaan jumlah pohon/ha dan persentase kerusakan berat ini
disebabkan oleh perbedaan kerapatan pohon, intensitas penebangan, dan batas
diameter pohon contoh yang diukur.
28
tersebut roboh. Mengaitkan kabel slink pada ujung pohon sejajar dengan arah
penyaradan merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi
kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan secara mekanis, terutama bentuk
kerusakan seperti roboh (PT. DRT 2010).
Tabel 9 Persentase tingkat dan tipe kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari
10 cm akibat penyaradan
Tingkat kerusakan
Tipe Rata-rata Persentase
Ringan Sedang Berat
kerusakan (%)
N V N V N V N V
Rusak tajuk 0 0,00 0,00
Pecah batang 0 0,00 0,00
Patah batang 31 6,10 5 1,02 6,40
Rusak kulit 26 10,22 9 2,37 6 3,18 7 2,63 8,47
Miring 29 4,72 5 0,79 5,99
Roboh 162 33,79 27 5,63 33,47
Rusak banir 2 0,32 0,33 0,05 0,41
Ditebang 219 29,41 37 4,90 45,25
Rata-rata 5 1,76 6 1,18 70 12,08 81 15,02
Persentase 5,79 7,85 86,36
Keterangan : N = pohon/ha
V = m3/ha
Tipe kerusakan ditebang dan roboh ini termasuk ke dalam tingkat kerusakan
berat. Besarnya tingkat kerusakan berat, sedang dan ringan akibat penyaradan ini
berturut-turut adalah 86,36% atau sebanyak 70 pohon/ha atau sebesar 12,08
m3/ha, 7,85% atau sebanyak 6 pohon/ha atau sebesar 1,18 m3/ha dan 5,79% atau
sebanyak 5 pohon/ha atau sebesar 1,76 m3/ha. Hal ini berbeda dengan penelitian
Rohidayanti (2012) yang menyatakan bahwa tingkat kerusakan ringan merupakan
tingkat kerusakan yang sering terjadi yaitu sebesar 53,49% dari total pohon yang
rusak. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sistem pemanenan, pada penelitian
Rohidayanti (2010) sistem penyaradannya tidak didominasi oleh kerusakan berat
seperti pada penelitian ini, pada penelitian ini terdapat tipe kerusakan berat seperti
roboh akibat sistem penyaradan mekanis dan ditebang akibat sistem penyaradan
manual. Pada penelitian Rohidayanti (2010) sistem penyaradannya menggunakan
bulldozer yang menggunakan winching. Dengan menggunakan winching gerakan
bulldozer menjadi lebih minim. Selain itu, ada juga perencanaan jalan sarad untuk
menghindari tegakan yang rapat.
30
batas diameter pohon contoh yang diukur dan sistem penyaradan. Pada penelitian
Rohidayanti (2012) diameter pohon contoh yang diukur adalah lebih besar dari 20
cm sehingga kerusakan tegakan tinggal yang dihitung menjadi lebih sedikit, lalu
sistem penyaradan dengan bulldozer yang menggunakan winching. Dengan
menggunakan winching gerakan bulldozer menjadi lebih minim. Selain itu, ada
juga perencanaan jalan sarad untuk menghindari tegakan yang rapat.
(besarnya kerusakan tegakan tinggal <25 %), kerusakan sedang (25-50 %) dan
kerusakan berat (>50 %).
Potensi tegakan tinggal setelah pemanenan perlu dikaji untuk penyelamatan
pohon muda dari jenis komersil agar tidak tejadi penurunan produksi pada siklus
tebang berikutnya. Pada Tabel 12 terlihat bahwa tegakan sisa untuk tingkat tiang
(diameter 10 cm sampai dengan 19 cm) adalah sebanyak 148 pohon/ha yang
terdiri dari 46 pohon/ha jenis komersil dan 101 pohon/ha jenis non komersil dan
tingkat pohon (diameter lebih dari atau sama dengan 20 cm) adalah sebanyak 84
pohon/ha yang terdiri dari 42 pohon/ha jenis komersil dan 42 pohon/ha jenis non
komersil.
Tabel 12 Tegakan sisa jenis komersil dan non komersil
Jumlah pohon sebelum pemanenan Jumlah pohon setelah pemanenan
(pohon/ha) (pohon/ha)
Plot 10-19 cm > 20 cm 10-19 cm > 20 cm
K NK K NK K NK K NK
1 113 200 70 64 78 126 42 42
2 82 214 84 91 52 108 54 68
3 63 179 40 62 37 102 21 35
4 62 163 100 47 32 102 50 26
5 82 211 88 43 52 112 41 20
6 67 156 83 93 27 57 42 62
Rata-rata 78 187 78 67 46 101 42 42
300
250
Pohon/ha
200
150
100
50
0
10-19 cm 20-19 cm 30-39 cm 40-49 cm > 50 cm
Kelas diameter
Sebelum pemanenan Setelah pemanenan
4.1 Kesimpulan
Tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan kayu di
IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber adalah sebesar 41,14% dari total pohon
berdiameter lebih besar dari 10 cm yang rusak yang termasuk dalam tingkat
kerusakan sedang. Kerusakan sebesar 41,14% atau sebanyak 162 pohon/ha terdiri
dari kerusakan akibat kegiatan penebangan sebesar 20,61% atau sebanyak 81
pohon/ha dan akibat kegiatan penyaradan sebesar 20,53% atau sebanyak 81
pohon/ha. Jumlah tegakan sisa setelah kegiatan pemanenan sebanyak 231
pohon/ha atau sebesar 74,57 m3/ha.
4.2 Saran
Perlu diperhatikan dan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan
logfisher pada sistem penyaradan mekanis. Dampak dari sistem penyaradan
mekanis ini adalah terhadap tegakan tinggal dan keterbukaan hutan menjadi lebih
besar.
DAFTAR PUSTAKA
Aryanto D. 1995. Kerusakan Mekanis dan Biologis pada Tegakan Tinggal Akibat
Pemanenan Kayu di PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur [skripsi]. Bogor:
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Departemen Kehutanan. 1990. Pedoman dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sistem
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengusahaan Hutan.
Elias. 1994. Akibat pemanenan kayu terhadap kerusakan mekanis dan biologis
tegakan tinggal di hutan alam tropika tanah kering di areal HPH PT. Kiani
Lestari, Kalimantan Timur. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB.
Bogor.
Elias. 2002a. Reduced Impact Logging. Buku I. Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Bogor: IPB Press.
Elias. 2002b. Reduce Impact Logging. Buku 2. Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Bogor: IPB Press
Elias. 2008. Pembukaan Wilayah Hutan. Bogor: IPB Press.
Indriyati IN. 2010. Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Hutan di PT.
Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor:
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Istomo, Komar TE, Tata MHL, Sumbayak ESS, Ramha A. 2010. Evaluasi Sistem
Silvikultur Hutan Rawa Gambut di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Kurniawan M. 2002. Kerusakan Tegakan Tinggal dan Keterbukaan Areal Akibat
Penebangan dan Penyaradan di PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau
[skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Limin SH. 2006. Pemanfaatan Lahan Gambut dan Permasalahannya.
http://webdocs.alterra.wur.nl/internet/peatwise/docs/phase3/Reports/Pema
nfaatan%20lahan%20gambut%20dan%20permasalahannya.pdf. [25
Desember 2012]
Muhdi. 2000. Studi Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu
Konvensional dan RITH di PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat
[tesis]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Mujijat A dan Hermansyah. 2005. Praktek pengelolaan dan pelestarian ramin
(Gonystylus bancanus) di PT. Diamond Raya Timber. Prosiding Semiloka
Nasional Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam bekerjasama
dengan ITTO PPD 87/03 Rev.2(F).
Nasution AK. 2003. Keterbukaan Areal dan Kerusakan Kerusakan Tegakan
Tinggal Akibat Kegiatan Penebangan dan Penyaradan di PT. Austral
Byna, Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
36