Anda di halaman 1dari 19

POTENSI REGENERASI ALAMI DI HUTAN PENELITIAN

GUNUNG DAHU, LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR JENIS


Shorea pinanga Scheff dan Shorea platyclados Slooten Ex Endert.

ISNA MAULIDAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan tropika dikenal dengan keanekaragaman jenis yang tinggi dengan proses
ekologis yang berjalan secara seimbang dan dinamis. Terbentuknya pola keanekaragaman
dan struktur tegakan hutan, erat hubungannya dengan kondisi lingkungan, baik faktor
biotik maupun abiotik. Dipterocarpaceae, merupakan famili dari spesies pohon dominan
di hutan tropika Malaysia dan Indonesia, secara ekologis dominan dan kayunya bernilai
signifikan secara ekonomi (Subiakto et al. 2016).
Sebaran dan kelimpahan jenis-jenis Dipterocarpaceae di Indonesia semakin
menurun. Kondisi tersebut dikarenakan adanya alih fungsi hutan menjadi fungsi lain dan
juga eksploitasi berlebihan. Penurunan populasi tanpa diimbangi dengan upaya
konservasi, dapat mengakibatkan kepunahan (Wardani dan Susilo 2017). Oleh karena itu,
dibutuhkan upaya konservasi yang tepat untuk menjaga dan melestarikan sumber daya
hutan alam tersebut. Upaya konservasi tersebut dapat dilakukan dengan cara
pembangunan hutan buatan atau hutan tanaman. Hutan tanaman adalah tegakan hutan
yang dibangun dengan cara penanaman dan atau penyemaian dalam proses afforestasi
atau reforestasi (FAO 2001).
Hutan Penelitian Gunung Dahu merupakan hutan tanaman yang memiliki tujuan
sebagai tempat pengujian kemampuan beradaptasi berbagai spesies dari famili
Dipterocarpaceae yang ditanam di luar habitat aslinya untuk menentukan kenaikan
tingkat pertumbuhan, mengungkapkan teknik silvikulturnya baik di pembibitan maupun
di lapangan, dan untuk melakukan strategi konservasi ex-situ spesies di lokasi yang dapat
diandalkan dan aman (Subiakto et al. 2016). Hutan Penelitian Gunung Dahu terletak di
Desa Pabangbon, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor dengan luas sekitar 250 ha.
Hutan penelitian ini dibangun pada tahun 1997 dengan kerjasama Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (kini, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan) dengan KOMATSU, Jepang. Saat ini, kawasan yang telah ditanami jenis-jenis
meranti (dipterokarpa) sebesar ± 160,7 ha yang terdiri dari plot percobaan meranti (± 75
ha) dan plot kebun koleksi dipterokarpa (± 85,7 ha) (KLHK 2013).
Hutan tanaman juga dapat melakukan fungsi regenerasinya secara alami.
Keberadaan Hutan Penelitian Gunung Dahu memberikan manfaatan positif bagi
lingkungan sekitar hutan, baik secara ekologi maupun ekonomi. Pentingnya menjaga
kelestarian Hutan Penelitian Gunung Dahu supaya kondisi lingkungan semakin baik dan
menguntungkan bagi masyarakat sekitar hutan. Kelestarian hutan berkaitan erat dengan
potensi regenerasi alami dalam hutan tersebut.
Pendugaan potensi regenerasi alami pada hutan tanaman ini penting dilakukan,
karena proses regenerasi alami merupakan salah satu faktor yang dapat merubah struktur
tegakan di hutan dari waktu ke waktu. Adanya regenerasi alami juga merupakan indikator
keberhasilan dari konservasi ex-situ jenis tersebut. Shorea pinanga dan Shorea
platyclados merupakan salah satu spesies yang ditanam pada plot uji penanaman di Hutan
Penelitian Gunung Dahu. Pendugaan potensi regenerasi alami pada jenis Shorea pinanga
dan Shorea platyclados penting dilakukan untuk mengetahui keberlanjutan hutan di masa
depan dan keberhasilan konservasi jenis tersebut.
Perumusan Masalah

Permasalahan yang berusaha untuk dicari penyelesaiannya dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana potensi regenerasi alami pada jenis Shorea pinanga dan Shorea
platyclados Di Hutan Penelitian Gunung Dahu ?
2. Faktor-faktor lingkungan apa saja yang mempengaruhi tingkat regenerasi alami pada
jenis Shorea pinanga dan Shorea platyclados Di Hutan Penelitian Gunung Dahu ?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis potensi dan tingkat regenerasi alami Shorea
pinanga dan Shorea platyclados, menganalisis kondisi lingkungan yang mendukung
pertumbuhan Shorea pinanga dan Shorea platyclados, dan membuat peta sebaran anakan
jenis Shorea pinanga dan Shorea platyclados di Hutan Penelitian Gunung Dahu

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi
mengenai regenerasi alami Shorea pinanga dan Shorea platyclados sehingga dapat
menjadi dasar untuk pengelolaan tegakan Shorea pinanga dan Shorea platyclados di
Hutan Penelitian Gunung Dahu. Luaran yang diperoleh dari penelitian ini adalah peta
sebaran regenerasi alami jenis Shorea pinanga petak uji 4 dan 5 serta Shorea platyclados
pada petak uji 15, 24, 20, dan 21e.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah tingkat potensi regenerasi alami Shorea
pinanga dan Shorea platyclados pada petak 4, 5, 15, 20, 21e, dan 24 di Hutan Penelitian
Gunung Dahu, Leuwuliang, Kabupaten Bogor.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2019 di Hutan Penelitian Gunung


Dahu yang secara administrasi pemerintahan terletak di desa Pabangbon, Kecamatan
Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa peta sebaran jenis tanaman
Shorea sp., Global Position System (GPS), roll meter, pita ukur, densiometer, clinometer,
kompas, tally sheet, penggaris, kamera, alat tulis, dan laptop yang dilengkapi dengan
Microsoft Office 2010, Microsoft excel 2010, Software Photoshop. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini berupa tegakan pohon dan semai jenis Shorea pinanga dan Shorea
platyclados di Hutan Penelitian Gunung Dahu.

Prosedur Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan pada areal tegakan Shorea pinanga dan Shorea
platyclados. Data yang diambil di dalam petak pengamatan berupa tinggi semai dan
pancang, jarak semai dan pancang dari pohon induk terdekat, kerapatan tajuk, intensitas
cahaya, elevasi, kelerengan dan tekstur tanah. Data pendukung yang dibutuhkan seperti
jenis tanah, curah hujan dan riwayat pembungaan dan pembuahan, data-data tersebut
menggunakan data sekunder dari Puslitbanghut Bogor.

Penentuan lokasi pengamatan


Plot pengamatan jenis Shorea pinanga berada pada petak nomor 5 dan 24, dan
Shorea platyclados berada pada petak nomor 4, 15, 20, dan 21e. Petak tersebut ditentukan
berdasarkan keberadaan pohon induk yang sedang berbuah atau memiliki riwayat
berbuah. Peta blok tanam di lokasi pengamatan dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai
berikut.

Sumber : Puslitbanghut dengan modifikasi


Gambar 1 Peta lokasi pengambilan data Shorea pinanga dan Shorea platyclados

Metode pengumpulan data


Data yang diambil di dalam plot pengamatan berupa tinggi semai, jumlah semai,
kerapatan tajuk, dan kelerengan. Pengukuran data anakan sesuai dengan nomor pohon
induk pada setiap petak uji pengamatan dilakukan secara urut. Alur pengukuran mengular
mengikuti garis kontur. Pola pengukuran pohon induk dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Layout alur pengambilan data penelitian

Penutupan kanopi
Tutupan kanopi diukur menggunakan alat densiometer. Pengukuran dilakukan
dengan cara meletakkan densiometer pada jarak 30-45 cm dari badan pengukur dan
dengan ketinggian sejajar lengan. Setiap titik pembacaan densiometer pada arah mata
angin yaitu utara, timur, selatan dan barat. Setiap masing-masing kotak dihitung
persentase bayangan langit yang dapat tertangkap pada cermin dengan pembobotan,
terbuka penuh memiliki bobot 4 (100%), bobot 3 (75%), bobot 2 (50%), bobot 1 (25%),
bobot 0 (tidak ada bayangan langit yang bisa dilihat) (Supriyanto dan Irawan 2001).

Kelerangan dan elevasi


Kelerengan diukur menggunakan alat ukur clinometer. Clinometer merupakan alat
sederhana yang digunakan untuk mengukur sudut elevasi yang dibentuk antara garis datar
dengan sebuah garis yang menghubungkan sebuah titik pada garis datar tersebut dengan
titik ujung suatu objek. Elevasi atau ketinggian tempat diukur dengan GPS, data
ketinggian tempat/lokasi akan terekam secara otomatis pada GPS yang aktif dengan
satuan meter di atas permukaan laut.

Tekstur tanah
Pengambilan contoh tanah terganggu ditujukan untuk mengetahui tekstur tanah
pada tegakan. Menurut Wang et al. (2017) pengambilan contoh tanah terganggu
menggunakan bor tanah pada plot berukuran 20x20 m dengan kedalaman 0-20 cm, 20-40
cm, 40-60 cm, dan 60-80 cm. Tanah kemudian dikompositkan dari setiap titik dan
kedalaman. Pengambilan tanah hingga kedalaman 80 cm ditujukan untuk keterwakilan
tanah dari setiap horizon.
Prosedur Analisis Data

Analisis dari data yang diperoleh menggunakan beberapa macam metode analisis.
Data hasil pengukuran di plot pengamatan, diolah dengan cara: 1) pembagian kelas tinggi
anakan, 2) rata-rata keterbukaan kanopi di plot pengamatan, 3) rata-rata intensitas cahaya
yang masuk, 4) rata-rata kelerengan, 5) rata-rata elevasi, dan 6) tekstur tanah.

Pembagian kelas tinggi anakan


Pembagian kelas tinggi berfungsi untuk mengetahui sebaran jumlah anakan yang
berada pada tegakan berdasarkan tingginya. Langkah-langkah dalam pembagian interval
kelas adalah sebagai berikut :
1. Rentang/Range (R).
Rentang (range) suatu perangkat data yang biasanya dilambangkan dengan huruf R
adalah skor terbesar dikurangi skor terkecil. Dirimuskan sebagai berikut :
Range (R) = Data terbesar – data terkecil
2. Panjang Kelas (p)
Cara untuk menentukan panjang kelas dapat menggunakan rumus Sturges : panjang
kelas (p) = 1 + 3.3 log n. Keterangan : (n = jumlah data yang dimiliki).
Umumnya panjang kelas berupa bilangan desimal atau bilangan bulat, sehingga hasil
dari perhitungan dibulatkan.
3. Banyak Kelas.
Banyak kelas (bk) menunjukkan jumlah interval kelas yang diperlukan untuk
mengelompokkan suatu perangkat data. Banyak kelas selalu berbentuk bilangan bulat.
Banyak kelas suatu perangkat data dapat ditentukan dengan rumus :
bk = R/p
4. Interval Kelas
Penyusunan interval kelas diawali dengan menentukan bilangan awal untuk interval
kelas pertama (paling bawah). Bilangan awal ini sebaiknya merupakan kelipatan dari
panjang kelas (p) dan tidak lebih kecil dari skor terkecil dikurangi panjang kelas.
Bilangan awal ini harus sama dengan atau lebih kecil dari skor terkecil (Furqon 2014).

Keterbukaan kanopi
Persentase penutupan kanopi di jalur tanam diukur untuk mengetahui jumlah
radiasi sinar matahari yang masuk ke dalam lantai hutan (Nurhajah 2014). Data hasil
pengukuran selanjutnya dijumlahkan dengan menggunakan rumus:

U +T + S+ B ẋ 1.04
Ti =
4
keterangan:
Ti : Keterbukaan kanopi
TI : Penutupan tajuk
U,T,S,B : Utara, Timur, Selatan, dan Barat
1,04 : Faktor koreksi
Persentase penutupan tajuk (TI) pada masing-masing lokasi dihitung dengan rumus:
TI = 100-Ti (Supriyanto dan Irawan 2001).

Pembuatan peta sebaran anakan


Peta sebaran anakan diolah dengan menggunakan aplikasi Photoshop berdasarkan
data jarak dan azimuth posisi anakan dari pohon induk terdekat yang diperoleh di lapang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian


Secara administratif Hutan Penelitian Gunung Dahu terletak di Desa Pabangbon
Kecamatan Leuwiliang dan Desa Bantar Karet Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
Hutan penelitian ini terletak di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Leuwiliang, Badan
Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Leuwiliang, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)
Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Secara geografis kawasan Hutan
Penelitian (HP) Gunung Dahu terletak pada koordinat 06 o36’30” - 06o37’00” LS dan
106o34’00” - 106o35’30” BT, dengan ketinggian tempat 550-800 m di atas permukaan
laut. Topografi lokasi termasuk miring sampai bergelombang antara 15%–45 %, jenis
tanah latosol, tipe iklim B, kelembaban relatif 80% dengan suhu rata-rata 30 C serta
curah hujan 2.500 – 2.700 mm/tahun (KLHK 2013).
Kawasan Hutan Penelitian Gunung Dahu merupakan kawasan hutan produksi
Perum Perhutani yang dikhususkan sebagai lokasi penelitian dan pengembangan jenis-
jenis tanaman meranti (dipterokarpa). Kawasan yang telah ditanami jenis meranti terbagi
ke dalam dua plot besar yaitu plot percobaan meranti yang terdiri dari jenis Shorea
leprosula dan Shorea selanica; dan plot kebun koleksi dipterokarpa yang terdiri dari 15
jenis tanaman dipterokarpa, antara lain: Shorea leprosula, Shorea selanica, Shorea
platyclados, Shorea javanica, Shorea pinanga, Shorea stenoptera, Shorea ovalis, Shorea
palembanica, Shorea guiso, Shorea macrophylla, Shorea balangeran, Shorea
mecisopteryx, Shorea multiflora, Hopea bancana, dan Anisoptera marginata. Selain itu,
pada Hutan Penelitian Gunung Dahu terdapat juga beberapa jenis tanaman buah seperti
tanaman rambutan, manggis, manga, dan durian (KLHK 2013).

Tabel 1 Lokasi tegakan Shorea pinanga dan Shorea platyclados


No. Luas Tahun
Jenis Letak Astronomis
petak (Ha) Tanam
06° 06’ 27.62” LS dan
05 Shorea pinanga 1.4 1998
106° 57’ 0.8” BT
06° 06’ 19.80” LS dan
24 Shorea pinanga 10.3 2000
106° 56’ 7.0” BT
06° 06’ 26.979” LS dan
04 Shorea platyclados 1.6 1998
106° 57’ 17.77” BT
06° 6’ 22.27” LS dan 106°
15 Shorea platyclados 2.8 1999
56’ 81” BT
06° 06’ 18.21” LS dan
20 Shorea platyclados 2.4 1999
106° 59’ 39.0” BT
06° 06’ 15.71” LS dan
21e Shorea platyclados 0.6 1999
106° 59’ 0.2” BT

Shorea pinanga dan Shorea platyclados ditanam pada plot kebun koleksi dengan
jarak tanam 4x4 m. Secara administrasi kelompok petak 04, 05, 15 dan 24 berada di Desa
Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, sedangkan kelompok petak 20 dan 21e berada di
Desa Pabangbon, Kecamatan Leuwiliang. Masing-masing petak memiliki luasan yang
berbeda, sehingga jumlah pohon yang berada dalam setiap petak pun berbeda. Selain itu,
perbedaan tahun tanam pada setiap petak menyebabkan terjadinya perbedaan
kesempatan waktu mulai berbuah.
Menurut Fitriasari (2011), genus Shorea dapat berbuah setelah pohon berumur 6
tahun. Waktu berbuah dari jenis Shorea spp. tidak teratur sepanjang tahun. Beberapa
laporan menyebutkan bahwa masa berbunga dan berbuah dari jenis Shorea bervariasi
antara 2-6 tahun (Numata et al. 2003). Tegakan pada petak 4 dan 5 saat ini berumur 20
tahun, tegakan pada petak 15, 20, dan 21e berumur 19 tahun, sedangkan petak 24
berumur 18 tahun. Berdasarkan informasi dari pihak Puslitbanghut, Shorea pinanga pada
petak 5 dan 24 sudah memiliki riwayat berbuah sekitar 4 kali, namun untuk kapan musim
berbuahnya belum diketahui secara pasti. Shorea platyclados memiliki frekuensi
berbunga 3‒4 tahun sekali dengan masa berbunga selama 4 bulan yang biasanya terjadi
pada bulan April sampai Juli (Appanah dan Turnbull 1998). Berdasarkan informasi dari
pihak Puslitbanghut, Shorea platyclados pada petak 4 dan 20 hampir setiap tahun
berbuah, sedangkan untuk petak 15 dan 21a baru satu kali berbuah.

Regenerasi Alami Anakan Shorea pinanga dan Shorea platyclados

Hasil pengamatan terhadap anakan Shorea pinanga dan Shorea platyclados di


lapang menunjukkan bahwa regenerasi alami anakan pada jenis tersebut mencapai tingkat
pertumbuhan semai dan pancang. Potensi regenerasi alami Shorea pinanga pada tingkat
semai menunjukkan hasil yang belum optimal, sedangkan potensi regenerasi alami
Shorea platyclados pada tingkat semai menunjukkan hasil yang lebih baik dari Shorea
pinanga. Jumlah semai Shorea pinanga yang ditemukan sebanyak 2 semai, sedangkan
semai Shorea platyclados ditemukan sebanyak 1471 semai. Tinggi semai dipengaruhi
oleh waktu berbuah dari pohon induk asalnya. Tinggi semai yang dijumpai sangat
beragam, berdasarkan interval kelas tinggi terbagi ke dalam 12 kelas seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah semai berdasarkan kelas tinggi


Interval Jumlah anakan Jumlah anakan
Kelas Shorea pinanga Shorea platyclados
No
Tinggi Petak Petak Petak Petak Petak Petak
(cm) 5 24 4 15 20 21e
1 3 – 16 - 0 3 0 14 -
2 16 – 29 - 0 10 0 71 -
3 29 – 42 - 0 23 0 125 -
4 42 – 55 - 0 25 1 174 -
5 55 – 68 - 0 36 0 163 -
6 68 – 81 - 0 36 0 145 -
7 81 – 94 - 0 38 1 102 -
8 94 –107 - 1 58 1 100 -
9 107 – 120 - 1 44 0 78 -
10 120 – 133 - 0 46 0 63 -
11 133 – 146 - 0 31 0 42 -
12 146 – 159 - 0 12 1 28 -
Jumlah 0 2 362 4 1105 0

Tabel 3 Jumlah pancang berdasarkan kelas tinggi


Interval Jumlah anakan Jumlah anakan
Kelas Shorea pinanga Shorea platyclados
No
Tinggi Petak Petak Petak Petak Petak Petak
(cm) 5 24 4 15 20 21e
1 151 – 215 - 0 92 3 143 -
2 215 – 279 - 1 18 2 47 -
3 279 – 343 - 0 21 0 23 -
4 343 – 407 - 0 11 0 7 -
5 407 – 471 - 0 12 0 13 -
6 471 – 535 - 0 5 0 0 -
7 535 – 599 - 0 1 0 0 -
8 599 – 663 - 0 1 0 0 -
9 663 – 727 - 1 1 0 1 -
10 727 – 791 - 0 2 0 0 -
Jumlah 0 2 234 5 164 0

Shorea pinanga
Pertumbuhan semai pada masing-masing petak sangat beragam. Belum adanya
pendataan secara rutin terkait waktu berbunga dan berbuah, menyebabkan tidak dapat
diketahui informasi umur dari semai-semai yang tumbuh. Semai-semai tersebut diduga
berasal dari hasil pembuahan tahun terakhir dari waktu pengamatan. Semai Shorea
pinanga berasal dari pembuahan antara 1 atau 2 tahun yang lalu, sedangkan semai
Shorea platyclados berasal dari hasil pembuahan satu tahun terakhir dari waktu
pengamatan.
Semai Shorea pinanga hanya ditemukan sebanyak 2 semai yaitu pada petak 24 saja,
rendahnya intensitas cahaya yang masuk merupakan faktor penyebab sedikitnya anakan
yang tumbuh pada petak ini. Anakan akan tumbuh secara optimal apabila mendapat
intensitas cahaya matahari yang cukup untuk proses pertumbuhannya (Panjaitan 2013).
Terdapat banyak tumbuhan bawah pada petak 24 yang didominasi oleh jenis paku-pakuan
yang tingginya sudah mencapai lebih dari 1 meter. Kehadiran tumbuhan bawah penting
diperhatikan karena berperan sebagai menghambat pertumbuhan permudaan pohon
(Hilwan et al. 2013). Tumbuhan bawah tersebut menyebabkan persaingan dalam
perebutan ruang tumbuh dan nutrisi. Perlu adanya pembersihan tumbuhan bawah untuk
meningkatkan pertumbuhan dari anakan Shorea pinanga pada petak tersebut.

Gambar 3 Anakan Shorea pinanga di petak 24

Kondisi tumbuhan bawah yang lebat dan serasah yang tebal menyebabkan pada
saat musim berbuah, buah yang jatuh tidak dapat mencapai permukaan tanah dan
akibatnya buah atau biji tidak dapat berkecambah. Hasil pengamatan pada petak 24,
ditemukan buah yang busuk di lantai hutan (Gambar 4). Buah busuk dapat dikarenakan
buah belum masak secara fisiologis atau buah jatuh namun tidak dapat mencapai
permukaan tanah sehingga buah tidak dapat berkecambah dan membusuk karena kondisi
yang lembab. Pembersihan tumbuhan bawah di bawah pohon induk perlu dilakukan,
sehingga buah yang jatuh dapat berkecambah dan memungkinkan diambil sebagai bahan
tanaman atau bibit (Soekotjo 2009).

Gambar 4 Buah Shorea pinanga yang telah busuk

Kondisi yang berbeda dijumpai pada petak tanam 5, dimana pada petak tanam
tersebut tidak ditemukan anakan. Petak 5 ditanam pada tahun 1998 dengan luasan 1.4 ha
dan terdapat 40 pohon induk yang rutin berbuah dan buahnya melimpah. Ketidakadaan
anakan pada petak 5, dikarenakan adanya fungsi pemanfaatan lain, yaitu hampir setengah
dari luasan petak 5 digunakan sebagai area wisata. Regenerasi alami akan sangat optimal
apabila tingkat produksi anakan alam melimpah tanpa ada gangguan baik hama, penyakit
maupun manusia (Fajri dan Fernandes 2015).
Adanya fungsi pemanfaatan sebagai tempat wisata, menyebabkan petak 5
kondisinya terbuka. Biji atau benih Shorea pinanga merupakan benih rekalsitran yang
akan cepat membusuk dan viabilitasnya rendah. Kondisi yang terbuka menyebabkan buah
atau biji yang jatuh ke lantai hutan proses perkecambahannya terhambat. Perkecambahan
buah atau biji Shorea pinanga membutuhkan naungan, yakni mencapai 90% dari sinar
matahari langsung (Soerinegara dan Lemmens 1994). Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa pada petak 5 tidak ditemukan anakan sama sekali, hal tersebut dapat disebabkan
oleh kondisi tegakan yang sangat terbuka sehingga buah atau biji yang jatuh di lantai
hutan tidak dapat berkecambah. Perlu adanya evaluasi terhadap fungsi pemanfaatan lain
pada Hutan Penelitian Gunung Dahu untuk menjaga kelestarian hutan tersebut.

Shorea platyclados
Semai Shorea platyclados lebih banyak daripada Shorea pinanga, yaitu berjumlah
1471 semai. Kondisi lingkungan Hutan Penelitian Gunung Dahu mampu memberikan
stimulus untuk regenerasi Shorea platyclados pada tingkat semai. Shorea platyclados
bersifat adaptif pada daerah dataran tinggi dengan ketinggian 300-1200 m dpl tetapi
mempunyai pertumbuhan yang optimum pada ketinggian 750-1000 m dpl (Hardiwinoto
et al. 2010).
Kondisi habitat yang sesuai menyebabkan produktifitas pohon optimal, sehingga
menghasilkan buah yang melimpah (Gambar 5). Buah yang masak secara fisiologi jatuh
ke lantai hutan dan berkecambah menjadi anakan, sehingga jumlah semai Shorea
platyclados melimpah (Gambar 6) yaitu sebanyak 1471 semai yang tercatat. Anakan jenis
Shorea platyclados memiliki pola sebaran seragam (Istomo dan Afnani 2014),
berdasarkan hasil pengamatan pada petak 20 anakan Shorea platyclados menyebar di
seluruh bagian petak tersebut.

Gambar 5 Pohon induk yang sedang berbuah di petak 20

Gambar 6 Anakan Shorea platyclados di petak 4

Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Regenerasi Alami Jenis Shorea pinanga


dan Shorea platyclados

Faktor lingkungan berpengaruh terhadap kondisi suatu tegakan. Proses regenerasi


alami, khususnya keberadaan semai, pertumbuhannya dipengaruhi oleh faktor lingkungan
seperti intensitas cahaya matahari, suhu, dan kelembaban (Atmoko 2011). Selain itu
topografi/kelerengan dan ketinggian tempat juga mempengaruhi pertumbuhan dari
anakan pohon. Data lapang kondisi faktor lingkungan pada tegakan Shorea pinanga dan
Shorea platyclados dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 4 Kondisi abiotik tegakan


No Elevasi Tekstur Kerapatan Kelerengan
Jenis
Petak (mdpl) Tanah Tajuk (%) (%)
05 Shorea Lempung
803 62.82 50
pinanga liat berpasir
24 Shorea Lempung
873 68.28 35
pinanga liat berpasir
04 Shorea Lempung
803 62.82 50
platyclados liat berpasir
15 Shorea Lempung
853 80.5 40
platyclados liat berpasir
20 Shorea Lempung
728 84.92 40
platyclados berpasir
21e Shorea Lempung
730 84.66 70
platyclados berpasir

Shorea pinanga
Hasil pengamatan di lapang, ketinggian petak tanam Shorea pinanga pada petak
tanam 5 adalah 803 m dpl, sedangkan pada petak 24 berada pada ketinggian 873 m dpl.
Kelerengan yang ada pada petak 5 dominan 50% dan pada petak 24 dominan 35%.
Struktur tanah berupa lempung liat berpasir dan jenis tanahnya latosol coklat kemerahan
(KLHK 2013). Shorea pinanga disebut juga tengkawang yang sebaran alaminya banyak
ditemukan di daerah Kalimantan. Menurut Istomo dan Hidayati (2010), jenis ini biasanya
tumbuh pada tanah latosol pada ketinggian sampai 500 m dpl, pH asam (4.6 – 4.9), dan
KTK cukup baik (16.25 – 19.40). Kondisi aktual di lapang dengan habitat aslinya
berbeda, hal ini menyebabkan pertumbuhan dari tegakannya kurang maksimal dan proses
regenerasi alami dari anakannya sangat rendah. Selain itu, pada petak 24 kondisi
tumbuhan bawah yang tumbuh rapat di bawah tegakan merupakan salah satu faktor
penghambat proses regenerasi anakan.
Adanya pemanfaatan lain pada petak 5 sebagai area wisata juga merupakan faktor
penyebab terganggunya proses regenerasi alami. Regenerasi alami akan sangat optimal
apabila tingkat produksi anakan alam melimpah tanpa ada gangguan baik hama, penyakit
maupun manusia (Fajri dan Fernandes 2015). Secara umum perubahan penggunaan lahan
mengakibatkan perubahan sifat biofisik. Mekanisme perubahan sifat biofisik tanah
dijelaskan Suprayogo et al. (2004), yaitu pada awalnya perubahan penggunaan lahan
merubah ketersediaan serasah sebagai bahan organik tanah. Bahan organik tanah
merupakan pelindung pori makro dan berpengaruh terhadap keberadaan biota tanah yang
membantu proses penyediaan unsur hara tanah. Keberadaan biota tanah mempengaruhi
struktur tanah, dimana struktur tanah mempengaruhi porositas tanah. Porositas tanah
yang buruk menyebabkan kepadatan tanah yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan pada
area terbuka buah atau biji Shorea pinanga tidak dapat berkecambah.
Biji atau benih Shorea pinanga merupakan benih rekalsitran yang akan cepat
membusuk dan viabilitasnya rendah. Kondisi yang terbuka menyebabkan buah atau biji
yang jatuh ke lantai hutan proses perkecambahannya terhambat. Perkecambahan buah
atau biji Shorea pinanga membutuhkan naungan, yakni mencapai 90% dari sinar
matahari langsung (Soerinegara dan Lemmens 1994). Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa pada petak 5 tidak ditemukan anakan sama sekali, hal tersebut dapat disebabkan
oleh kondisi tegakan yang sangat terbuka sehingga buah atau biji yang jatuh di lantai
hutan tidak dapat berkecambah. Perlu adanya evaluasi terhadap fungsi pemanfaatan lain
pada Hutan Penelitian Gunung Dahu untuk menjaga kelestarian hutan tersebut.
Gambar 7 Pembukaan hutan untuk fungsi pemanfaatan lain (wisata) di petak 5

Beberapa Dipterocarpaceae seperti Parashorea dan Shorea (khususnya meranti


merah) tergolong dalam light timber hardwoods yaitu cepat merespon keberadaan cahaya
yang masuk. Beberapa hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa toleransi kebutuhan
cahaya beberapa meranti merah cukup beragam (Effendi 1987). Meranti merah memiliki
kebutuhan cahaya yang tinggi, khususnya dalam fase semai. Shorea pinanga termasuk
dalam golongan meranti merah dan mempunyai karakter light demanding. Kondisi
lingkungan yang tertutup seperti di petak 24 dengan persentase penutupan tajuk 62.28%
menghambat proses pertumbuhan semai, maka pembukaan tajuk sangat diperlukan untuk
menstimulir pertumbuhan anakan Shorea pinanga.

Shorea platyclados
Pengamatan regenerasi alami jenis Shorea platyclados, yaitu pada petak tanam 4,
15, 20, dan 21 e. Hasil pengamatan terhadap anakan Shorea platyclados menunjukkan
bahwa potensi regenerasi alaminya optimal. Terdapat anakan berupa semai dan sebagian
sudah mencapai tingkat pancang yang jumlahnya melimpah. Namun setiap petak tanam
memiliki potensi regenerasi yang berbeda-beda. Anakan Shorea platyclados Slooten ex.
Endert (meranti bukit, meranti gunung, meranti tenam) dalam kawasan HP Gunung Dahu
adalah tumbuh mengelompok pada tempat curam atau tebing bukit. Kondisi kelerengan
dan ketinggiannya berbeda-beda pada setiap petak tanam. Kelerengan berkisar antara 40
– 70%, ketinggian dari 728 hingga 860 m dpl. Struktur tanah berupa lempung liat
berpasir dan lempung berpasir, serta jenis tanahnya latosol coklat kemerahan (KLHK
2013). Shorea platyclados di Sumatera dan semenanjung Malaya pada umumnya tumbuh
alami pada ketinggian 700 – 1.300 m dpl dan kadang-kadang tumbuh di dasar lembah
pegunungan pada ketinggian mulai dari 200 m dpl (Cao et al. 2009). Sementara itu Ng et
al. (2013) menyatakan bahwa di semenanjung Malaysia S. platycados dapat ditemukan
pada ketinggian tempat antara 300–1.200 m dpl.
Anakan paling banyak ditemukan pada petak tanam 20. Kondisi topografi yang
cukup curam menyebabkan pada petak ini aksesbilitasnya rendah, sehingga faktor
gangguan dari manusia juga rendah. Sehingga potensi regenerasi pada petak ini lebih baik
dari petak lainnya. Pohon induk yang berada pada topografi yang miring, pada bagian
lembah jumlah anakannya akan lebih banyak. Hal tersebut dikarenakan, tajuk pohon
Shorea platyclados akan mengikuti kemiringan tempat tumbuhnya. Sehingga buah
mengumpul pada sebagian sisi tajuk, dan ketika sudah masak buah jatuh ke bawah dan
mengumpul, sehingga ketika kondisi lingkungan sesuai buah berubah menjadi semai
yang sangat melimpah.
Kondisi petak 21e tidak jauh berbeda dengan petak 20. Persen penutupan tajuk
sebesar 84.66%, tetapi karena riwayat berbunga dan berbuah pada petak ini baru satu kali
sejak penanaman, sehingga belum ditemukan adanya anakan pada petak tersebut.
Kelerengan pada petak ini sangat curam yaitu mencapai 70%, sehingga masih banyak
ditanami bambu oleh masyarakat. Adanya tanaman bambu menyebabkan penumpukan
serasah yang cukup tebal yaitu 8-12 cm. Selain itu, tumbuhan bawah berupa paku-pakuan
sangat rimbun. Hal tersebut dapat menghambat proses perkecambahan dari biji Shorea
platyclados, karena apabila buah jatuh pada lantai hutan yang serasahnya tebal, maka
buah akan busuk karena kondisi yang lembab sebelum dapat berkecambah.
Petak 21e ditanam pada tahun 1999, dengan luas 0.6 dan hanya terdapat 13 pohon
induk pada petak 21e. Riwayat berbuah pada petak ini baru 1 kali sampai saat ini,
sehingga belum terdapat anakan. Menurut Abdurachman dan Suyana (2010), banyaknya
jumlah semai tidak dipengaruhi oleh jumlah pohon, tetapi dipengaruhi oleh musim buah
dan kemampuan biji untuk berkecambah. Berdasarkan informasi dari pendamping lapang,
petak 21e memiliki riwayat berbuah baru satu kali sampai saat ini, sedangkan pada petak
20 dan 4 riwayat berbuah pohon induknya rutin, hampir setiap tahun dijumpai berbuah.
Hal tersebut yang menjadikan petak 20 dan 4 memiliki jumlah anakan melimpah, berbeda
jauh dengan jumlah anakan pada petak 21e. Kondisi pada petak ini juga menyerupai
hutan alam, tumbuhan bawah yang tumbuh rapat di bawah pohon.
Petak 15 ditanam pada tahun 1999 dengan luas total 2.8 ha dan hanya terdapat 8
pohon induk. Kondisi pada petak ini sama dengan petak 24, dimana hutan yang awalnya
ditanam namun saat ini penampakannnya menyerupai hutan alam. Terdapat banyak
tumbuhan bawah yang didominasi oleh jenis harendong dan paku-pakuan yang tingginya
sudah mencapai lebih dari 1 meter (Gambar 8). Kondisi tumbuhan bawah yang tumbuh
lebat di bawah pohon menyebabkan adanya persaingan dalam mendapatkan cahaya dan
nutrisi. Menurut Uuttera et al. (2000), adanya persaingan dalam mendapatkan cahaya dan
nutrisi menyebabkan terjadinya seleksi alam. Tumbuhan yang cepat meninggi akan tetap
hidup sedangkan yang lambat akan mengalami kematian. Kecepatan pertumbuhan
tumbuhan bawah lebih cepat daripada semai Shorea platyclados. Hasil pengamatan
menunjukkan jumlah tumbuhan bawah yaitu harendong dan paku-pakuan sangat
mendominasi daripada semai Shorea platyclados pada petak 15. Selain itu, terdapat
tumbuhan merambat yang melilit anakan sehingga mengganggu pertumbuhan dari anakan
tersebut.
Gambar 8 Kondisi tumbuhan bawah di petak 15

Berbeda dengan petak 15, tegakan Shorea platyclados pada petak tanam 4
memiliki anakan yang cukup banyak, yaitu 526 anakan. Luas petak 4 adalah 1.6 ha dan
terdapat 27 pohon induk yang rutin berbuah. Namun, pada petak ini terdapat fungsi
pemanfaatan lain seperti pada petak 5 yaitu sebagai area wisata. Kondisi tersebut
menyebabkan gangguan pada proses regenerasi alami, terutama anakan. Faktor yang
menghambat terjadinya regenerasi secara alami karena adanya berbagai tekanan yang
berasal dari kegiatan manusia seperti kebakaran, kehadiran invasi jenis yang dominan,
kehadiran dan ivasi jenis eksotik, kondisi iklim mikro yang tidak sesuai, tanah yang tidak
subur dan tidak adanya bank biji yang memadai (Parrotta et al. 1997). Selama
pengamatan di lapang, ada aktivitas pembabatan tumbuhan bawah termasuk anakan yang
berada pada petak 4. Hal tersebut, merupakan salah satu faktor mpenyebab menurunnya
potensi regenerasi alami. Perlu adanya evaluasi dari pihak Puslitbanghut terhadap
kawasan wisata yang berada pada petak-petak tanam yang seharusnya memiliki potensi
regenerasi yang tinggi.

Gambar 9 Pembasmian tumbuhan bawah/gangguan terhadap anakan di petak 4

Petak 4 memiliki jumlah anakan sebanyak 526 anakan dari total 27 pohon induk.
Berdasarkan tabel 4, pada petak ini memiliki persen penutupan tajuk sebesar 62.82% dan
persen intensitas cahaya masuk sebesar 58.86%. Meskipun intensitas cahaya masuk lebih
dari 50%, namun jumlah anakan yang ditemukan dibawah pohon induk cukup melimpah.
Hal tersebut menandakan bahwa anakan dari jenis Shorea platyclados dapat tumbuh
dengan baik pada tegakan dengan intensitas cahaya rendah hingga sedang. Namun, pada
petak ini terdapat fungsi pemanfaatan lain yaitu sebagai area wisata. Pohon induk nomor
8 hingga 27 berada pada kawasan wisata, terdapat jalan buatan diantara pohon-pohon
induk tersebut. Kondisi iklim dan faktor ketersediaan hara atau nutrisi merupakan faktor
lingkungan yang sangat berperan penting dalam penyebaran anakan. Pola penyebaran
anakan dipengaruhi oleh penyebaran buah, baik melalui air, angin, dan satwa sehingga
setiap jenis pada lokasi yang berbeda pola penyebarannya berbeda pula. Individu akan
mengelompok pada tempat tertentu yang menguntungkan, dimana tidak terdapat
gangguan untuk individu tersebut tumbuh (Pradiastoro 2004).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Potensi regenerasi alami anakan pada tegakan Shorea pinanga di Hutan Penelitian
Gunung Dahu sangat rendah, hanya ditemukan 4 anakan pada 2 petak pengamatan.
Pembukaan tajuk sangat diperlukan untuk menstimulir pertumbuhan anakan Shorea
pinanga. Potensi regenerasi alami anakan pada tegakan Shorea platyclados di Hutan
Penelitian Gunung Dahu sangat tinggi, jumlah anakan melimpah terutama pada petak 20,
yaitu sebanyak 1339 anakan. Total anakan Shorea platyclados yang ditemukan di Hutan
Penelitian Gunung Dahu sebanyak 1874 anakan dari total 4 petak tanam. Intensitas
cahaya tidak berpengaruh nyata pada jumlah anakan. Adanya fungsi pemanfaatan lain
pada petak pengamatan merupakan faktor penghambat proses regenerasi alami dari jenis
Shorea pinanga dan Shorea platyclados. Perlu adanya evaluasi terhadap fungsi
pemanfaatan lain pada Hutan Penelitian Gunung Dahu oleh Puslitbanghut, untuk menjaga
kelestarian hutan tersebut.

Saran

Pengawasan dan penjagaan tegakan HP Gunung Dahu harus dilakukan secara


periodik untuk menjaga kondisi hutan dan mengurangi gangguan terhadap regenerasi dan
pertumbuhan tegakan di HP Gunung Dahu. Jumlah anakan Shorea platyclados yang
melimpah dapat dijadikan sumber cabutan alam untuk pengembangan jenis tersebut di
tempat lain, dengan syarat jumlah yang ditentukan oleh pihak Puslitbanghut.

DAFTAR PUSTAKA

Adurachman, Suyana A. 2010. Potensi dan sebaran semai pada areal bekas tebangan di
PT. Barito Nusantara Indah, Kalimantan Timur. Info Teknis Dipterokarpa 4(1): 1-
8.
Atmoko T. 2011. Potensi regenerasi dan penyebaran Shorea balangeran (Korth.) Burck
di Sumber Benih Saka Kajang, Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian
Dipterokarpa. 5(2): 21–36.
Cao, C, O Gailingt, IZ Siregar, UJ Siregar, and R Finkeldey. 2009. “Genetic Variation in
Nine Shorea Species (Dipeterocarpaceae) in Indonesia Revealed by AFLPs.” Tree
Genetics and Genomes 5: 407–20.
Daniel TJ, Helms JA, Baker FS. 1987. Prinsip-prinsip Silvikultur. Marsono D,
penerjemah; Soeseno OH, editor. Yogyakarta (ID): Gadjahmada University Press.
Terjemahan dari: Principles of Silviculture.
Effendy, M.M. 1987. Respon Pertumbuhan Shorea acuminatissima dan S. leprosula
terhadap Cahaya di Hutan Tropika Humida Kalimantan Selatan. Tesis Program
Pasca sarjana UGM. Yogyakarta (unpublished).
Fajri M, Fernandes A. 2015. Pola pemanenan buah tengkawang (Shorea machrophylla)
dan regenerasi alaminya di kebun masyarakat. Jurnal Penelitian Ekosistem
Dipterokarpa 1(2): 81-88.
FAO. 2001. Global Forest Resources Assessment 2000. Rome. Food and Agricultur
Organization of United Nations.
Fitriasari DA. 2011. Evaluasi hasil studi pengaruh inokulasi fungi ektomikoriza
terhadap respon pertumbuhan bibit Shorea spp. di persemaian [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Furqon. 2014. Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung(ID): Alfabeta.
Hardiwinoto S, Adriana, nurjanto HH, Widiyanto, Dhina F, Priyo E. 2010. Pengaruh
sifat fisika media terhadap kemampuan berakar dan pembentukan akar stek pucuk
Shorea platyclados di PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah. Jurnal
Pemuliaan Tanaman Hutan 4(1): 37-47.
Hilwan I, Mulyana D, Pananjung W. 2013. Keanekaragaman jenis tumbuhan bawah
pada tegakan sengon buto dan trembesi di lahan pasca tambang batubara PT
Kitadin, Embalut, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Jurnal Silvikultur
Tropika 4(1): 6-10.
Istomo, Afnani M. 2014. Potensi dan sebaran jenis meranti (Shorea spp.) pada kawasan
lindung PT. Wana Hijau Pesaguan, Kalimantan Barat. Jurnal Silvikultur Tropika
5(3): 196-205.
Istomo, Hidayati T. 2010. Studi potensi dan penyebaran tengkawang (Shorea spp.) di
Areal IUPHHK-HA PT. Intracawood Manufacturing Tarakan, Kalimantan Timur.
Jurnal Silvikultur Tropika 1(1): 11-17.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 2013. Berita KLHK: Hutan
Penelitian Gunung Dahu [Internet]. [diunduh 2019 Jan 10]. Tersedia pada:
http://puslitbanghut.or.id/index.php/page/hutan-penelitian-gunung-dahu.
Ng, Chin Hong, Chai Ting Lee, Soon Leong Lee, Lee Hong Tnah, and Kevin Kit Siong
Ng. 2013.“Isolation and Characterization of Microsatellite Markers for Shorea
Platyclados (Dipterocarpaceae).”Applications in Plant Sciences 1 (7).doi:10.3732/
apps.1200538.
Numata S, M Yasuda, T Okuda, N Kachi, NSM Noor. 2003. Temporal and spatia
patterns of mass flowerings on the Malay Peninsula. American Journalof Botany
90(7): 1025-1031.
Nurhajah I. 2014. Pertumbuhan Meranti Merah (Shorea leprosula miq.) Pada Sistem
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Areal IUPHHKA-HA PT Sarmiento
Parakantja Timber Kalimantan Tengah. Skripsi. Bogor (ID). Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Panjaitan S. 2013. Pertumbuhan dan komposisi jenis permudaan alam pada rumpang
tebangan di Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Dipterokarpa 7(2): 63-74.
Parrotta JA, Knowles OH, Wunderly JM. 1997. Development of floristic diversity in 10-
years old restoration forest on bouxitte mined site in Amazone. Forest Ecol Manag
99: 21-42.
Pradiastoro A. 2004. Kajian tempat tumbuh alami palahlar gunung (Dipterocarpus
retusus BI) di kawasan hutan lindung Gunung Cakrabuana, Kabupaten Sumedang,
Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indobesia. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan IPB.
Soerianegara IEN, RHMJ Lemmens (eds.). 1994. PROSEA. Plant Resources of South
East Asia 5(1) Timber Trees. Major Commercial Timbers. Bogor (ID): PROSEA.
Subiakto A, Rachmat HH, Sakai C. 2016. Choosing native tree species for establishing
man-made forest: A new perspective for sustainable forest management in changing
world. Biodiversitas 17(2): 620-625.
Suprayogo D, Widianto, Purnomosidi P, Widodo RH, Rusiana F, Aini ZZ, Khasanah N,
Kusuma Z. 2004. Degredasi sifat fisik tanah sebagai akibat alih guna lahan hutan
menjadi sistem kopi monokultur. Jurnal Agrivita 26(1): 60-68.
Supriyanto, Irawan US. 2001. Teknik Pengukuran Penutupan Tajuk dan Pembukaan
Tajuk Tegakan dengan Menggunakan Spherical Densiometer. Bogor (ID):
Laboratorium Silvikultur SEAMEO BIOTROP.
Uuttera J, Tokala T, Maltamo. 2000. Differences in the structure of primary and
managed forest in East Kalimantan. Forest Ecology and Managemenet 129. 63-74.
Wang H, Wang W, Chang SX. 2017. Sampling method and tree-age affect soil organic c
and n contents in larch plantations. Forests (8)28: 1-5.doi:10.3390/f8010028.
Wardani, Susilo. 2017. Evaluasi Keberadaan Shorea platyclados Slooten ex Endert di
Hutan Lindung Bukit Daun. Widyariset 3(2): 151-160.

Anda mungkin juga menyukai