Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Mina Laut Indonesia

Vol. 03 No. 12 Sep 2013

(164 176)

ISSN : 2303-3959

Studi Kesesuaian Jenis untuk Perencanaan Rehabilitasi Ekosistem Mangrovedi Desa


Wawatu Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan
Study of Species Suitability for Mangrove Rehabilitation Planning in Wawatu, North Moramo,
South Konawe
Al Fajar*), Dedy Oetama**), dan Alirman Afu***)
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas Halu Oleo
Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232
e-mail*asalmemang@yahoo.co.id**dedyoetama@yahoo.com***alirmanotsudari@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove dan mengetahui kesesuaian
jenis mangrove yang sesuai untuk perencanaan rehabilitasi ekosistem mangrove di Desa Wawatu
Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan.Stasiun penelitian ditentukan secara purposive
dan dibagi dalam 3 stasiun berdasarkan karakteristik lingkungan pada lokasi.Metode pengambilan data
kondisi ekosistem mangrove dilakukan dengan menggunakan transek garis dan transek kuadrat.
Ekosistem mangrove Desa Wawatu berada dalam kondisi rusak dengan tingkat kerapatan pohon <
1000 pohon/ha. Pengukuran parameter fisika kimia perairan dan substrat dilakukan secara langsung di
lokasi penelitian. Hasil analisis parameter fisika kimia air dan substrat selama penelitian diperoleh;
kecepatan arus (0,03-0,06 m/s), salinitas (33,67-34,22 ppt), pH air (7,56-7,89), pH substrat (6,9-7,4),
tipe substrat (lempung berpasir dan lempung berdebu). Kawasan mangrove yangdapat dijadikan
sebagai area rehabilitasi memiliki luas 25.817,46 m2 dengan jumlah pohon yang dapat ditanam 25.817
pohon dalam jarak 1x1 m. Jenis mangrove yang sesuai dan dapat tumbuh di pesisir Desa Wawatu
adalah Rhyzophora stylosa,R. mucronata, R. apiculata, Sonneratia alba, S. caesiolais dan Avicennia
marina.
Kata Kunci: Ekosistem mangrove, kesesuaian jenis, rehabilitasi, Desa Wawatu

Abstract
This research was aimed to know the condition of mangrove ecosystem and suitability of mangrove
species for rehabilitation planning inWawatu, North Moramo South Konawe. Station was determined
purposively and divided into 3 stations based on environmental characteristics. Data collection
methods were conducted using line and squares transectes. Mangrove ecosystem in Wawatu had been
degraded (density < 1000 tree/ha). The result of measurement of physical and chemistry parameters of
waterand substrate during the study showed that current velocity (0.03 to 0.06 m/s), salinity(33.6734.33 ppt), pH (7.56 to 7.89), substrate pH (6.9 to 7.4), substrate type (sandy loam and clay dust).
Mangrove area which could be changed into mangrove rehabilitation area was 25.817,46 m2. Amount
of trees which could be planted was 25.817 trees in 1 x 1 m. The suitable species were Rhizopora
stylosa, R. mucronata, R. apiculata, Sonneratia alba, S. caesiolais, and Avicennia marina.
Key Words: Mangrove ecosystem, suitability of species, Wawatu Village
Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan
lautan sangat besar.Potensi tersebut tersebar
diseluruh
ekosistem
pesisir
dan
lautnya.Ekosistem pesisir yang menjadi salah
satu daerah dengan sumberdaya alam yang
melimpah tersebut adalah ekosistem mangrove.
Ekosistem mangrove adalah sebuah
ekologi yang berhubungan dengan kumpulan
keragaman taksonomi pohon dan semak-semak
yang sering dijumpai pada daerah pasang surut
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO

dan menempati sistem yang besar sepanjang


perairan pesisir yang dangkal, estuary dan delta
yang mana masih dipengaruhi oleh pasang, serta
kondisi air yang bersalinitas dan oleh hujan.
(Prabhakaran
dan
Kavitha
2012;
Shah dkk., 2007). Hutan mangrove atau yang
sering disebut hutan bakau merupakan sebagian
wilayah ekosistem pantai yang mempunyai
karakter unik dan khas, dan memiliki potensi
kekayaan hayati (Mulyadi dkk., 2006).
Ekosistem mangrove memiliki nilai
ekonomi dan ekologi yang besar serta signifikan
(Shah dan Kamaruzaman, 2007). Secara umum
164

ekosistem mangrove merupakan habitat penting


tumbuhan hijau yang memiliki peranan penting
dalam melindungi tambak dari pasang air,
menghilangkan polutan dan juga diketahui
sebagai tempat penyedia makanan, pemeliharaan,
pemijahan, penetasan, asuhan dari organisme
akuatik (Ponnambalam dkk., 2012).
Kondisi mangrove saat ini benar-benar
dalam proses kemunduran. Tingginya tekanan
populasi, konversi mangrove ke pertanian dan
produksi garam, industri tambang, industrialisasi
pesisir dan urbanisasi, dan konversi pesisir ke
pertambakan menjadi penyebab utama degradasi
ekosistem mangrove adalah (Vaiphasa dkk.,
2006; Macinthos dkk., 2002). Degradasi
ekosistem mangrove dapat berdampak pada
fungsi fisik, ekologi dan ekonomi (Saparinto
2007).Salah satu upaya konservatif untuk
mengembalikan fungsi hutan mangrove yang
mengalami degradasi kepada kondisi yang
dianggap baik dan mampu mengemban fungsi
fisik, ekologis dan ekonomis adalah dengan
melakukan kegiatan rehabilitasi ekosistem
mangrove (Bengen, 1999).
Sulawesi Tenggara sebagai salah satu
provinsi di Indonesia memiliki potensi mangrove
yang dapat menunjang sektor perikanan dalam
mendukung
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat. Salah satu daerah yang memiliki
ekosistem mangrove di wilayah Kabupaten
Konawe Selatan adalah Desa Wawatu yang
terletak di pesisir Kecamatan Moramo Utara.
Kondisi ekosistem mangrove yang kini
semakin
memprihatinkan
tentu
dapat
mempengaruhi kehidupan khususnya bagi
masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya di
daerah tersebut sebagai tempat mencari nafkah.
Selain itu,Kerusakan ekosistem mangrove di
pesisir Desa Wawatu dikhawatirkan dapat
menimbulkan dampak yang buruk bagi
kelestarian ekosistem mangrove itu sendiri.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka
studi mengenai kesesuaian lahan ekosistem
mangrove untuk perencanaan rehabilitasi di Desa
Wawatu perlu untuk dilakukan agar dapat
diketahui kondisi dan karakteristik lingkungan
mangrove yang ada di Desa Wawatu.Selain itu,
dapat pula diketahui kesesuaian lahan yang ada
terhadap syarat-syarat pertumbuhan mangrove
sebagai salah satu komponen penting dalam
penentuan suatu kawasan rehabilitasi mangrove
sehingga dapat dilakukan suatu bentuk
pengelolaan yang bersifat konservatif sebagai
salahsatu
upaya
untuk
mendukung
pengembangan program pengelolaan sumberdaya
pesisir yang berkelanjutandi Desa Wawatu

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO

Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe


Selatan.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari
bulan Mei-November 2012 dan bertempat di
PesisirDesaWawatu Kecamatan Moramo Utara
Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi
Tenggara.
Penentuan
stasiun
pengamatan
ditentukansecara
purposive
berdasarkan
karasteristik atau kondisi lingkungan disekitar
ekosistem mangrove dan ditetapkan sebanyak 3
stasiun pengamatan. Stasiun pengamatan yang
dipilih adalah daerah ekosistem mangrove
dengan kondisi lingkungan disekitarnya yang
berbeda dan kemudian koordinat dari titik
tersebut ditentukan dengan mengunakan GPS.
1.

Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian


ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer terdiri dari parameter fisik dan kimia
perairan serta substrat, sedangkan data sekunder
terdiri dari data administrasi yang diambil dari
kantor desa setempat, data iklim yang diambil
dari BPPS Kabupaten Konawe Selatan,
wawancara langsung dengan masyarakat
setempat serta berbagai informasi yang berkaitan
dengan ekosistem mangrove di pesisir Desa
wawatu Kecamatan Moramo Utara Kabupaten
Konawe Selatan.
2.

Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan data paremeter fisika kimia


perairan dan substrat dilakukan sebanyak 3 kali
dengan rentang waktu 7 hari.Pengukuran
parameter fisik dan kimia dilakukan dengan
mengambil sampel air permukaan pada setiap
stasiun pengamatan.dilakukan secara langsung di
lapangan. sedangkantekstur dan kandungan hara
substrat dianalisis di laboratorium Kimia Analitik
FMIPA Universitas Halu Oleo.
Pengambilan data ekosistem mangrove
dilakukan menggunakan metode Transect Line
Plot (TLP) dengan pertimbangan bahwa metode
ini dapat memberikan data yang akurat dan
representatif mengenai beberapa aspek dan
struktur karakteristik dari hutan mangrove
meskipun
menggunakan
peralatan
yang
sederhana. Pada penelitian ini, luas plot yang
digunakan adalah 20 x 20 m dengan jarak antar
plot yaitu 50 m. Jarak antar plot yang mencapai
50 m ditetapkan agar setiap plot dapat mewakili
zonasi ekosistem yang ada. Adapun data yang
dikumpulkan
untuk
mengetahui
kondisi
ekosistem mangrove yaitu indeks nilai penting
165

(INP), kerapatan jenis (Di), kerapatan relatif


jenis-i (RDi), frekuensi jenis (Fi), frekuensi
relatif jenis (RF),penutupan jenis atau dominasi
Jenis (Ci) dan dominansi relatif jenis atau
penutupan relatif jenis (RCi).
3.

Analisis Kesesuaian Lahan

Klasifikasi tingkat kerusakan mangrove


dilakukan
dengan
menyesuaikan
tingkat
kerapatan mangrove yang diperoleh dengan baku
mutu kriteria kerusakan ekosistem mangrove.
Dalam penelitian ini setiap nilai kerapatan dibagi
dalam tiga kriteria yaitu, baik (sangat padat),
sedang dan rusak (sangat jarang) seperti pada
Tabel 1.
Untuk menentukan nilai dari kerapatan
suatu ekosistem mangrove, dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Selain itu, dilakukan pula analisis untuk


mengetahui pengaruh atau peranan (nilai
penting) suatu jenis mangrove dalam komunitas
khususnya yang berada di daerah pesisir Desa
wawatu. Untuk menentukan nilai penting dari
suatu jenis mangrove, dapat dilakukan dengan
mengunakan rumus sebagai beriukut :
INP = RDi + RFi + RCi
Dimana :
INP =
RDi =
RFi =
RCi =

Indeks nilai penting ;


Kerapatan Relatif Jenis-i ;
Persentase frekuensi relatif jenis-I ;
Persentase dominansi relatif ;

Untuk menentukan kesesuaian lahan yang ada


terhadap beberapa jenis mangrove, dilakukan
analisis kesesuaian lahan dengan cara
membandingkan
dan
mencocokkan
data
parameter
lingkungan
yang
diperoleh
dengan
Di = ni /A
kesesuaian jenis-jenis mangrove terhadap
Dimana :
parameter lingkungan berdasarkan pustaka
Di = Kerapatan spesies ke-i ;
acuan. Adapun kesesuaian vegetasi mangrove
ni = Jumlah total individu spesies-i ;
terhadap beberapa parameter lingkungan
A = Luas area total pengambilan contoh ;
berdasarkan pustaka acuan dapat dilihat pada
Tabel 2 :
Tabel 1. Baku mutu kriteria tingkat kerusakan ekosistem mangrove
Kriteria tingkat kerusakan
Sangat padat
Baik
Sedang
Rusak
Jarang

Penutupan (%)
> 75
>50-<75
< 50

Kerapatan (Pohon/ha)
> 1500
1000-1500
< 1000

Tabel 2. Kesesuaian vegetasi mangrove terhadap beberapa parameter lingkungan berdasarkan pustaka
acuan
No.

pH
Salinitas
Peraira
(ppt)
n
*
**

Jenis

1.

Rhizophora mucronata

4-35

6-9

2.

R. sylosa

4-35

6-9

3.

R. apiculata

4-35

6-9

4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Bruguiera parviflora
B. sexangula
B. gymnorrhiza
Sonneratia alba
S. caseolaris
Xylocarpus granatum
Heritiera littoralis
Lumnitzera racemosa
Nypa fruticans

4-35
4-35
4-35
4-35
4-35
4-35
4-35
4-35
4-35

6-9
6-9
6-9
6-9
6-9
6-9
6-9
6-9
6-9

13. Avicennia spp.

4-35

6-9

14. Aegiceras spp.


15. Ceriops spp.
16. Excoecaria spp.

4-35
4-35
4-35

6-9
6-9
6-9

Keterangan :

*
**

Substrat
***
Berpasir, berdebu, liat berdebu
Koral, Berpasir, lempung berpasir,
liat berdebu
Koral, Berpasir, lempung berpasir,
liat berdebu
Berpasir, liat berdebu
Berpasir, berdebu, liat berdebu, liat
Berpasir, berdebu, liat berdebu
Koral, Berpasir, lempung berpasir,
Koral, Berpasir, lempung berpasir,
Berpasir, berdebu, liat berdebu, liat
Berpasir, berdebu, liat berdebu, liat
Berebu sampai liat berdebu
Berpasir, berdebu, liat berdebu, liat
Koral, Berpasir, lempung berpasir,
berdebu, liat berdebu
Berrpasir, berdebu, liat berdebu
Berdebu, liat berdebu, liat
Berpasir, berdebu, liat berdebu, liat

: Djohan (2010)
: Onrizal dan Kusmana (2008)

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO

***
****

pH
Frekuensi
Substrat Penggenangan
****
***
6-7

20 hari/bln

6-7

20 hari/bln

6-7

20 hari/bln

6-7
6-7
6-7
6-7
6-7
6-7
6-7
6-7
6-7

10-19 hari/bln
10-19 hari/bln
10-19 hari/bln
20 hari/bln
20 hari/bln
9 hari/bln
9 hari/bln
Bbrp kali/thn
Tergenang musiman

6-7

20 hari/bln

6-7
6-7
6-7

2-19 kali/tahun
4-19 kali/tahun
2-19 kali/tahun

: Kusmana dkk., (2003)


: LPPM (1998) dalam Sadat (2004)

166

Hasil
Penelitian ini dilakukan pada ekosistem
mangrove di pesisir Desa Wawatuyang
merupakan salah satu daerah yang berada dalam
wilayah administrasi Kabupaten Konawe Selatan
Provinsi Sulawesi Tenggara.Luas wilayah Desa
Wawatu 22,50 km2 dengan rata-rata ketinggian
mencapai 11 m dari permukaan laut dan
kemiringan lahan < 150. Wilayah Desa Wawatu
berjarak 5,1 km dari Ibu Kota Kecamatan dan

berjarak 33 km dari ibu kota Provinsi Sulawesi


Tenggara serta dapat ditempuh melalui jalur
darat selama 45 menit.Ditinjau dari aspek
geografis,
Kecamatan
Moramo
Utara
mempunyai batas-batas administrasi wilayah
yaitu sebelah utara berbatasan dengan Desa
Tanjung Tiram, sebelah selatan berbatasan
dengan Desa Mata Wawatu, sebelah Timur
berbatasan dengan Kecamatan Laonti dan
sebelah Barat berbatasan dengan Kota Kendari.

Tabel 3. Hasil pengukuran ekosistem mangrove


Jenis Pohon
Rhyzophora stylosa
Sonneratia alba
R. Mucronata
Xilocarpus granatum
Ceriops decandra
Brugueira gymnorhiza
Avicennia marina
Jumlah

Ni
(Jumlah pohon)
79
33
21
12
6
4
1
156

Dari tabel di atas dapat dilihat hasil


pengukuran ekosistem yang menunjukkan
bahwa terdapat 6 jenis pohon yang ditemukan
pada areal pengukuran seluas 0,24 ha dengan
jumlah tingkat kerapatan mencapai 650
pohon/ha. Berdasarkan kriteria baku kerusakan
mangrove(Tabel 1),kondisi ekosistem mangrove
tersebut termasuk dalam kondisi jarang atau
rusak.

D
Kerapatan Jenis
(pohon/ha)
329,167
137,500
87,500
50,080
25
16,667
4,167
650

INP
Indeks Nilai Penting
110,543
91,514
36,891
19,175
18,540
16,017
7,320
300

Pengukuran indeks nilai penting


menunjukkan bahwa R. stylosa merupakan jenis
pohon dengan nilai penting paling tinggi yaitu
mencapai nilai 110,543.Hal ini menunjukkan
bahwa R. stylosa merupakan jenis mangrove
dengan peranan yang cukup besar terhadap
komunitas mangrove di kawasan tersebut.

Tabel 4. Hasil pengukuran parameter lingkungan di pesisir Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Parameter
Kecepatan arus
Kemiringan alas
Frekuensi genangan
Salinitas
pH air
pH substrat
Tekstur substrat
Nitrogen (N-total)
P2O5 (P-tersedia)
K2O5 (P-tersedia)

Satuan
m/dtk
0

Hari/bulan
Ppt
%
Ppm
mg/100g

Hasil pengukuran parameter-parameter


lingkungan menunjukkan bahwa lingkungan
pesisir Desa Wawatu tidak memiliki perbedaan
yang mencolok.Meskipun terdapat sungai yang
terletak diantara stasiun II dan III, hal tersebut
tidak
mempengaruhi kondisi
khususnya
parameter fisika-kimia perairan. Kondisi
tersebut terjadi karena sungai yang ada
mengalami kekeringan karena curah hujan yang

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO

Hasil pengamatan
0,034-0,065
10
24-27
33,67-34,22
7,56-7,89
6,9-7,4
Lempung berpasir-lempung berdebu
0.33-0,35
11,195-14,785
0,020-0,022

sangat rendah khususnya pada saat pengambilan


data dilakukan.Selain faktor sungai, tidak ada
lagi faktor-faktor lain yang menjadi pembeda
antara stasiun pengamatan kecuali aktifitas
manusia yang berada disekitar stasiun
pengamatan.
Adapun hasil pengukuran parameter
lingkungan di pesisir Desa wawatu disajikan
dalam Gambar 1, 2, 3,4 dan 5.

167

Kecepatan Arus (m/s)

0.09
0.08
0.07
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0.00
I

II

III

Stasiun

200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
16
.0
17 7
.0
18 7
.0
19 7
.0
20 7
.0
21 7
.0
22 7
.0
23 7
.0
0.0 7
7
1.0
7
2.0
7
3.0
7
4.0
7
5.0
7
6.0
7
7.0
7
8.0
7
9.0
10 7
.07
11
.0
12 7
.0
13 7
.0
14 7
.0
15 7
.0
16 7
.07

MSL (cm)

Gambar 1.Diagram hasil pengukuran kecepatan arus.

Waktu (Pukul)

Gambar 2. Grafik pasang surut


36

Salinitas (ppt)

35
34
33
32
31
30
I

II
Stasiun

III

Gambar3.Diagram hasil pengukuran salinitas.


8.5

pH Air

8.0
7.5
7.0
6.5
I

II
Stasiun

III

Gambar 4. Diagram hasil pengukuran pH air.

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO

168

pH Substrat

7.8
7.6
7.4
7.2
7.0
6.8
6.6
6.4
6.2
I

II
Stasiun

III

Gambar 5. Diagram hasil pengukuran pH substrat.


Gambar
1
menunjukkan
bahwa
kecepatan arus di pesisir Desa Wawatu berkisar
antara 0,034-0,065 m/s dimana kecepatan arus
terendah terjadi pada stasun II sedangkan
kecepatan arus tertinggi terjadi pada stasiun III.
Adapun kecepatan arus pada stasiun I yaitu
0,034 m/s. Gambar 2 menjelaskan bahwa terjadi
2 kali pasang dan dua kali surut dimana surut
terendah terjadi pada pukul 08.07 WITA dan
pasang terstinggi terjadi pada pukul 01.07.
Gambar 3 menunjukkan bahwa salinitas
pada tiap stasiun selama penelitian berkisar
antara 33,67-34,22 ppt dimana salinitas tertinggi
diperoleh di stasiun I dengan nilai salinitas
mencapai 34,22 ppt. Adapun salinitas pada
stasiun II dan III, diperoleh nilai salinitas yaitu
33,67 ppt.
Dari gambar 4 dan 5 dapat diketahui
kisaran rata-rata nilai pH air dan pH pada
substrat. Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai pH
air pada tiap stasiun selama penelitian berkisar
antara 7,56-7,89., dimana pH tertinggi
ditemukan pada stasiun III dengan nilai
mencapai 7, 89 dan pH terendah ditemukan pada
stasiun II dengan nilai 7,56. pH air pada stasiun I
mencapai nilai 7,56 atau berada diantara nilai pH
di stasiun I dan III. Pada gambar 5, dapat
diketahui bahwa rata-rata nilai pH substrat pada
tiap stasiun selama penelitian berkisar antara
6,9-7,4., dimana pH susbstrat tertinggi terdapat
pada stasiun II dengan nilai mencapai angka 7,4.
Adapun nilai pH substrat terendah diperoleh
pada stasiun III dengan nilai pH yaitu 6,9. pH
susbstrat pada stasiun I mencapai angka 7,07.
Adapun tekstur substrat sperti yang
tersaji dalam Tabel 4 menunjukkan bahwa
tekstur substrat pada tiap staiun pengamatan
terdiri dari lempung berpasir hingga lempung
berdebu.
Pada
Tabel
4,
diterangkan
pulakandungan hara yang terdapat pada substrat
masing - masing satasiun. Berdasarkan tabel
tersebut, dapat diketahui bahwa hasil
pengukuran kandungan hara pada substrat yang
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO

beradadi
area
perencanaan
rehabilitasi
menunjukkan bahwa kandungan N-total berkisar
antara 0,35-0,33%, P-tersedia berkisar antara
11,195-14,785 dan K-tersedia berkisar antara
0,022-0,020 mg/100 g.
Pembahasan
1. Iklim (Curah Hujan, Suhu Udara dan
Kecepatan Angin)
Desa Wawatu termasuk dalam wilayah
Kecamatan Moramo Utara memiliki data iklim
yang masih terkait dengan data iklim Kabupaten
Konawe Selatan.Secara umum, curah hujan di
Kabupaten Konawe Selatan tahun 2011
mencapai 2.427 mm dalam 204 Hari Hujan
(HH). Berdasarkan data yang diperoleh dari
Pangkalan Udara Wolter Monginsidi selama
tahun 2011 suhu udara maksimum 32 0C dan
minimum 21 0C. Kecepatan angin pada
umumnya berjalan normal yaitu disekitar 4
m/sec. Penyinaran matahari selama tahun 2011
di Desa Wawatu mencapai 56,67% (Badan
Pusat Statistik Kabupaten Konawe Selatan,
2012).
Keadaan
iklim
Desa
Wawatu
(Kabupaten Konawe Selatan secara umum)
merupakan iklim yang cocok dan sesuai dengan
kehidupan mangrove. Hal ini sesuai dengan
Kusmana dkk.,(2003) yang menyatakan bahwa
mangrove dapat tumbuh subur di daerah dengan
curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun dan
kisaran intensitas cahaya optimal untuk
pertumbuhan mangrove adalah 3000-3800
kkl/m2/hari serta suhu yang baik untuk
pertumbuhan mangrove tidak kurang dari 20 0C
dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5
0
C kecuali di Afrika Timur yang memiliki
perbedaan musiman mencapai 10 0C.
1.

Kondisi Ekosistem Mangrove

Kondisi vegetasi Mangrove di Desa


Wawatu tergolong dalam kondisi jarang (rusak).
Hal ini dapat dilihat dari hasil pengukuran
169

ekosistem yang menunjukkan bahwa jumlah


pohon dalam tiap hektar hanya mencapai 650
pohon/ha. Berdasarkan kriteria baku kerusakan
mangrove, kondisi ini termasuk dalam kriteria
rusak.Hasil pengukuran indeks nilai penting
menunjukkan bahwa R. stylosa merupakan jenis
pohon dengan nilai penting paling tinggi yaitu
mencapai nilai 110,543. Hal ini terjadi karena
pada transek yang berada di stasiun II dan III
hanya terdapat mangrove jenis R. stylosa. Nilai
penting yang mencapai 110,543 menunjukkan
bahwa R. stylosa merupakan jenis mangrove
dengan peranan yang cukup besar terhadap
komunitas mangrove di kawasan tersebut. Hal
ini sesuai dengan Tuwo (2011) yang menyatakan
bahwa indeks nilai penting menggambarkan
peran suatu jenis mangrove pada komunitas
mangrove yang ada. Makin tinggi nilai indeks
nilai penting suatu jenis mangrove terhadap jenis
lainnya, makin tinggi pula peranan suatu jenis
mangrove pada komunitas tersebut.
2. Parameter Fisika-Kimia Perairan
Salah satu aspek yang sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove
adalah faktor fisik dan kimia pada
perairan.Dalam penelitian ini ada 5 parameter
yang diamati yaitu arus,kemiringan alas, pasang
surut (frekuensi genangan), salinitas, dan pH
air.Kelima parameter diatas memiliki pengaruh
terhadap vegetasi mangrove.Adapun penjelasan
dari tiap-tiap parameter yang diamati dapat
dilihat dibawah ini.
a.

Kecepatan Arus

Hasil pengukuran rata-rata kecepatan


arus menunjukkan bahwa pada masing-masing
stasiun pengamatan kecepatan arus tidak jauh
berbeda. Hal ini terjadi karena kondisi perairan
pada dua stasiun tersebut juga tidak jauh
berbeda. Kecepatan arus paling tinggi terdapat
pada stasiun III dengan nilai rata-rata mencapai
0,066 m/s sedangkan kecepatan arus terendah
terdapat pada stasiun II yang rata-rata kecepatan
arusnya hanya mencapai 0,033 m/s. Adapun
rata-rata kecepatan arus pada stasiun I berada
pada angka 0,042 m/s. Perbedaan kecepatan arus
yang tidak begitu besar pada masing-masing
stasiun disebabkan karena pada saat pengukuran,
keberadaan angin sangatlah kurang dan sungai
yang bermuara pada perairan desa hanya
memberi pengaruh yang amat kecil. Ini sesuai
dengan
pendapat
Nontji
(2001)
yang
menyatakan bahwa arus dapat disebabkan oleh
tiupan angin, perbedan densitas air laut dan
gerakan pasang surut.

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO

Kecepatan arus pada masing-masing


stasiun tergolong lambat (tenang). Hal ini sesuai
dengan
kriteria
kecepatan
arus
yang
dikemukakan oleh Masson (1981) bahwa
kecepatan arus yang kurang dari 0,1 m/s
tergolong sangat lambat. Kondisi arus yang
tenang pada lokasi penelitian sangat mendukung
bagi kehidupan mangrove. Ini sesuai dengan
Kusmana (2003) yang menyatakan bahwa
mangrove akan tumbuh pada lokasi yang
arusnya tenang.
b. Kemiringan Alas
Hasil pengukuran kemiringan alas pada
tiap stasiun menunjukkan adanya keseragaman
tipe topografi pada daerah pantai di lokasi
penelitian. Berdasarkan hasil pegukuran,
kemiringan alas pada stasiun I, II dan III berada
pada kemiringan 10 (2,2%) dan tergolong
sebagai daerah yang landai. Kondisi topografi
yang landai ini sesuai dengan pernyataan
Darmawijaya (1999) yang menyatakan bahwa
tanah dengan kemiringan 1-3% merupakan tanah
yang dianggap datar.Kemiringan alas atau
topografi mempengaruhi distribusi dan lebar
hutan mangrove.Ini sesuai dengan Kusmana
(2003) menyatakan bahwa topografi dapat
mempengaruhi komposisi spesies, distribusi
spesies dan lebar hutan mangrove.
c.

Pasang Surut (Frekuensi Genangan)

Perairan Desa Wawatu memiliki tipe


pasang surut ganda campuran (semi diurnal).Hal
ini sesuai dengan Whitten, etal (2002) yang
menyatakan bahwa pasang surut di sekitar
Sulawesi diklasifikasikan sebagai pasang surut
campuran yang berlaku semi diurnal.Pasang
tertinggi terjadi pada pukul 01.07 sedangkan
surut terendah terjadi pada pukul 08.07 WITA.
Nilai pasang tertinggi dan surut terendah
menunjukkan bahwa perbedaan muka air (mean
sea level) antara pasang tertingi dan surut
terendah mencapai angka 173 cm.
Hasil pengukuran lama dan frekuensi
genangan pada tiap stasiun menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan
lama dan frekuensi
genangan pada stasiun I dan III yang tergenang
27 hari/bulan dengan stasiun II yang hanya
tergenang selama 24 hari/bulan.
Hasil pengukuran frekuensi genangan
yang berkisar antara 24-27 hari dalam waktu
sebulan dan terjadi secara terus menerus
memberi
gambaran
mengenai
kondisi
lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan
mangrove khususnya pada masing-masing
stasiun pengamatan. Hal ini sesuai dengan
Dahuriet al (2004) dalam Warongan (2009)
170

yang menyatakan bahwa mangrove dapat


tumbuh dan berkembang secara maksimum
dalam kondisi dimana terjadi penggenangan dan
sirkulasi air permukaan yang terjadi secara terus
menerus sehingga dapat meningkatkan pasokan
oksigen dan nutrient.

yang menyatakan bahwa umumnya perairan


alami mempunyai pH berkisar antara 6,5-9.
LPPM (1998) dalam Sadat (2004) menyatakan
bahwa ekosistem mangrove dapat tumbuh
dengan baik di perairan yang memiliki kisaran
pH antara 6,0-9,0.

d. Salinitas

3. Parameter Fisika-Kimia Substrat

Hasil pengukuran rata-rata salinitas di


tiap stasiun menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang mencolok.Stasiun dengan ratarata nilai salinitas tertinggi berada pada stasiun I
dengan nilai rata-rata mencapai 34,222 ppt. Hal
tersebut terjadi karena pada stasiun ini tidak
terdapat sungai. Pada stasiun II dan III, rata-rata
nilai salinitas berada pada angka yang sama
yaitu 33,667 ppt. Hal ini terjadi karena pada
kedua stasiun tersebut terdapat sungai yang
setidaknya memberi pengaruh pada salinitas
perairan di sekitarnya. Berdasarkan hasil
pengukuran, kondisi salinitas pada masingmasing stasiun menunjukkan nilai yang tinggi
dan tidak jauh berbeda.kondisi salinitas yang
tinggi dipengaruhi oleh cuaca yang cerah dan
curah hujan yang sangat rendah pada saat
pengukuran dilakukan. Hal ini sesuai dengan
Nontji (1984) menyatakan bahwa sebaran
salinitas di laut dipengaruhi oleh pola sirkulasi
air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai.
Salinitas pada masing-masing stasiun
merupakan kisaran salinitas yang baik untuk
pertumbuhan mangrove.Ini sesuai dengan
Djohan (2010) yang menyatakan bahwa
ekosistem mangrove hidup diperairan payau
yang memiliki kisaran salinitas sepanjang tahun
antara 4-35 ppt. Selanjutnya Kusmana dkk.,
(2003) menyatakan bahwa tumbuhan mangrove
tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas
10-30 ppt namun beberapa spesies dapat tumbuh
di daerah dengan salinitas sangat tinggi.

Parameter fisika-kimia substrat yang


diamati pada penelitian ini yaitu pH susbstrat,
tekstur substrat dan kandungan hara terutama
N,P dan K pada substrat.Adapun penjelasan dari
tiap-tiap parameter yang diamati dapat dilihat
dibawah ini.

e. pH Air
Hasil pengukuran pH air pada tiap
stasiun menunjukkan adanya kemiripan kondisi
perairan ditinjau dari aspek derajat keasaman
(pH) air.Kondisi pH pada masing-masing stasiun
tergolong netral karena berada pada kisaran pH
netral.Rata-rata nilai pH air tertinggi terdapat
pada stasiun III yang mencapai angka 7,889
sedangkan rata-rata nilai pH air yang terendah
terdapat pada stasiun II dengan nilai 7,556.
Adapun rata-rata nilai pH air pada stasiun I
berada pada angka
7,667. Nilai derajat
keasaman (pH) air tersebut menunjukkan bahwa
kondisi
lingkungan
pada
tiap
stasiun
pengamatan masih memiliki kisaran pH perairan
yang normal. Hal ini sesuai dengan Boyd (1988)
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO

a. pH Substrat
Hasil pengukuran pH pada substrat di
masing-masing lokasi pengamatan berada
dikisaran pH normal.Kisaran rata-rata nilai pH
yang tertinggi terdapat pada stasiun II yang
mencapai angka 7,4 dan rata-rata nilai pH yang
terendah terdapat pada stasiun III yaitu 6,9.
Adapun stasiun II memiliki nilai diantara nilai
pH pada stasiun I dan III yaitu berada pada
angka 7,1.
Jika dibandingkan dengan nilai pH pada
perairan, pH substrat memiliki angka yang
sedikit lebih rendah.Hal ini terjadi karena pada
saat pengukuran, substrat di masing-masing
stasiun tidak digenangi oleh air.Menurunnya
nilai pH pada substrat saat tidak tergenang air
terjadi karena adanya pengaruh dari faktorfaktor seperti suhu, kandungan oksigen terlarut
(DO), dan kation serta adanya anion dalam
perairan (Askornkoae dan Wattayakorn, 1987
dalam Sadat, 2004).Kisaran rata-rata nilai pH
susbtrat di masing-masing stasiun. Kondisi pH
substrat pada masing-masing stasiun yang hanya
berkisar antara 6,9-7,4 berada pada kategori
normal dan masih sesuai untuk pertumbuhan
mangrove. Hal ini sesuai dengan Onrizal dan
Kusmana (2008) yang menyatakan bahwa pH
tanah dengan kisaran nilai antara 6-7 merupakan
pH yang sesuai untuk pertumbuhan mangrove.
b. Tekstur Substrat
Hasil
analisis
di
laboratorium
menunjukkan bahwa tipe substrat pada lokasi
penelitian berupa lempung berpasir hingga
lempung berdebu. Tipe substrat pada stasiun I
dan II adalah lempung berpasir.Sedangkan tipe
substrat stasiun III yaitu lempung berdebu.Pada
area yang dianggap dapat menjadi area
rehabilitasi, pengukuran substrat pada daerah
tersebut menunjukkan bahwa kedua area itu
memiliki tipe substrat lempung berpasir.Tipe
substrat pada tiap stasiun dan daerah yang
171

dianggap dapat dijadikan area rehabilitasi masih


dapat menunjang pertumbuhan dan kehidupan
mangrove.Hal ini sesuai dengan Kusmana
(2003) yang menyatakan bahwa mangrove
terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun
berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah
berpasir, koral, tanah berkerikil bahkan tanah
gambut.
c. Kandungan Hara pada Substrat
Kandungan unsur hara memiliki
pengaruh pada setiap jenis tanaman.Pengukuran
kandungan unsur hara pada penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui kandungan N, P
dan K substrat di masing-masing stasiun.Pada
penelitian ini, unsur hara yang menjadi indikator
kesuburan lahan adalah N-total, P2O5 (Ptersedia)
dan
K2O5
(K-tersedia).Untuk
mengetahui nilai atau besarnya jumlah N-total,
P2O5 dan K2O5 yang terkandung dalam substrat,
maka dilakukan analisis di laboratorium.
Hasil
uji
laboratorium
terhadap
kandungan hara pada substrat tidak memiliki
perbedaan yang mencolok. Nilai N-total berkisar
antara 0,33-0,35%, P2O5 berkisar antara 11,195-

14,785 dan K2O5 berkisar antara 0,022-0,020.


Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, nilai Ntotal pada substrat berada pada kategori sedang,
nilai P2O5 (P-tersedia) barada pada kategori
rendah dan nilai K2O5 (K-tersedia) berada pada
kategori sangat rendah. Hal ini sesuai dengan
baku mutu analisis kesuburan tanah menurut
Lembaga Penelitian Tanah (LPT) yang dapat
dilihat dalam Tabel 5.
Secara umum, hasil pengukuran
kandungan hara substrat pada area perencanaan
rehabilitasi menunjukkan tingkat kesuburan
yang rendah.Kondisi ini terjadi karena sampel
substrat berasal dari daerah yang mangrovenya
sangat rusak. Selain itu, subtrat yang menjadi
sampel memiliki kandungan pasir yang tinggi
sehingga menyebabkan kurangnya pengikatan
unsur-unsur pada substrat.Kondisi yang kurang
subur ini kurang baik bagi tumbuhan khususnya
mangrove.Hal ini terjadi karena kekurangan
unsur-unsur penting seperti N, P dan K dapat
mempengaruhi pertumbuhan suatu tanaman. Ini
sesuai dengan Kurniawan (2010) kekurangan
unsur-unsur
hara
dapat
mempengaruhi
pertumbuhan bagi suatu tanaman.

Tabel 5. Baku mutu kesuburan tanah


Sangat
Rendah
Sedang
rendah
1.
N- total (%)
< 0,10
0,10-0,20
0,21-0,50
2.
P2O5 HCl 25% (mg/100 g)
< 10
10-20
20-40
3.
K2O5 HCl 25% (mg/100 g)
< 10
10-20
20-40
Sumber : Lembaga Penelitian Tanah (1980) dalam Siringoringo et al (2000).
No

Parameter sifat tanah

4. Strategi Penanaman Mangrove


a. Luas Daerah yang Dapat Menjadi Area
Rehabilitasi
Program rehabilitasi mangrove umumya
berorientasi kepada konservasi darat dan tidak
perlu berhubungan dengan pilihan mata
pencaharian alternatif atau integrasi manajemen
summberdaya. Pada banyak kasus, mangrove
telah ditanam pada wilayah pertanian darat saat
kondisi sebelum tsunami yang beresiko
lenyap/hilang (Kanagaratnam et al., 2006).
Menurut Stevenson et al., (1999) dalam
Macintoshetal.,
(2002),
Rehabilitasi
dimaksudkan sebagai segala aktivitas, termasuk
pemulihan dan penciptaan habitat, yang
mengubah sistem yang rusak menjadi sebuah
sistem alternatif yang stabil.
Berdasarkan hasil pengukuran langsung
di lokasi penelitian, terdapat beberapa daerah
dipesisir Desa Wawatu yang kondisi ekosistem
mangrovenya telah mengalami kerusakan parah
dan perlu untuk direhabilitasi. Daerah yang
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO

Tinggi
0,51-0,75
40-60
40-60

Sangat
tinggi
> 0,75
> 60
> 60

dapat direhabilitasi tersebut memiliki luas


25817,46 m2. Letak area rehabilitasi tersebut
terbagi menjadi 2 yaitu I berada pada koordinat
0400417,0LS
dan
12203902,8
BT,
0
04 0413,3LS
dan
12203903,9
BT,
0400415,7LS
dan
12203908,6BT,
0400411,3LS dan 12203907,7BT. Area ini
terletak di sebelah utara dermaga Desa Wawatu
atau berada di stasiun I pengamatan dengan luas
19495,67 m2. Daerah ini merupakan area
mangrove yang telah rusak karena ditebang
habis untuk berbagai kepentingan.Area terletak
di dekat galangan kapal yang hingga saat ini
masih berjalan dengan baik.
Area rehabilitasi II terletak pada
koordinat 0400426,8 LS dan 12203906,6 BT,
0400430,8 LS dan 12203906,9 BT,
0400430,8 LS dan 12203908,2 BT,
0400426,8 LS dan 12203908,6 BT. Area ini
terletak di sebelah selatan dermaga Desa
Wawatu atau berada di stasiun II pengamatan
dengan luas area 6321,79 m2. Area ini terletak
sangat dekat dengan perumahan masyarakat dan
172

area pertambakan.Sebagian besar area mangrove


abrasi, menahan lumpur, mencegah intrusi air
pada stasiun ini telah terkonversi menjadi
laut serta memerangkap sedimen.
tambak.Pada area kajian perencanaan kawasan
Jumlah pohon yang dapat ditanam pada
rehabilitasi, meski tidak terkonversi menjadi
area dengan luas mencapai 25.817,46 m2
tambak,
kondisi
mangrovenya
sangat
tergantung tujuan kegitan penanaman. Menurut
memprihatinkan karena telah ditebang habis
Saparinto (2007), kegiatan penanaman dengan
untuk berbagai keperluan.
tujuan menghasilkan arang dan kayu bakar dapat
Pembagian
area
rehabilitasi
ini
dilakukan dengan memberi jarak 0,5 x 0,5 m.
disarankan berdasarkan kondisi terparah dari
Kegiatan penanaman dengan tujuan untuk
ekosistem mangrove yang berada di pesisir Desa
produksi kayu dapat dilakukan dengan memberi
Wawatu.Letak kedua area rehabilitasi yang
jarak tanam 2 x 2 m. Adapun kegiatan dengan
diantarai dermaga dan pemukiman warga dapat
tujuan konservasi, dapat dilakukan penanaman
mendukung kegiatan rehabilitasi ekosistem
dengan jarak 1 x 1 m.
mangrove karena tidak mengganggu kegiatan
Mengingat kondisi ekosistem mangrove
dan jalur transportasi masyarakat.Dermaga yang
yang berada dalam kategori rusak serta kondisi
terletak
diantara
kedua
area
tersebut
pesisir yang rawan terhadap abrasi pantai, maka
memungkinkan warga dapat tetap melakukan
kegiatan penanaman atau rehabilitasi di Desa
aktifitasnya sebagai nelayan tanpa harus
Wawatu sebaiknya dilakukan dengan jarak
terganggu dengan keberadaan ekosistem
tanam 1x1 m.
Menurut Kustanti (2011),
mangrove yang berada di area rehabilitasi.
penanaman mangrove dengan jarak 1x1 m
Area rehabilitasi nantinya diharapkan
dilakukan bila untuk prlindungan pantai.Dengan
dapat memberi manfaat khususnya penahan laju
demikian, lokasi tersebut dapat ditanami
abrasi karena kedua area tersebut berada di
mangrove dengan jumlah 25.817 pohon.
daerah mangrove yang mengalami degradasi
b. Jenis-Jenis Mangrove yang Sesuai
ekosistem paling parah. Adanya area rehabilitasi
Hasil pengukuran kualitas air dan tanah
di daerah tersebut juga dapat mengurangi
untuk melihat kesesuaian jenis mangrove
dampak abrasi yang selama ini menjadi
terhadap kondisi lingkungan menunjukkan
penyebab rusaknya tambak warga khususnya
bahwa pesisir Desa wawatu cocok untuk
yang berada di area II. Ini sesuai dengan
beberapa jenis mangrove. Kesesuaian jenis
Kustanti (2011) yang menyatakan bahwa hutan
mangrove terhadap kondisi lingkungan pesisir
mangrove memiliki peranan penting dalam
Desa Wawatu disajikan dalam Tabel 6.
melindungi pantai dari gelombag besar, angin
kencang dan badai, melindungi pantai dari
Tabel 6. Kesesuaian vegetasi mangrove terhadap kondisi lingkungan pesisir Desa Wawatu
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Jenis
Rhizophora mucronata * 1
R. stylosa* 1
R. apiculata 1
Bruguiera parviflora
B. sexangula
B. gymnorrhiza*
Sonneratia alba* 1
S. caseolaris 1
Xylocarpus granatum*
Heritiera littoralis
Lumnitzera racemosa
Nypa fruticans*
Avicennia spp.* 1
Aegiceras spp.
Ceriops spp.*

16. Excoecaria spp.

Salinitas
(33,6734,22)x

pH Perairan
(7,56-7,89)x

Substrat
(Lempung berpasir lempung berdebu)x

Frekuensi
pH Substrat Penggenangan
(6,9-7,4)x
(24-29
hari/bulan)x

Keterangan :
* = Mangrove yang terdapat di lokasi penelitian;
= Sesuai
x
= Data primer
1
= Jenis Mangrove yang sesuai terhadap seluruh parameter lingkungan yang diamati
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO

173

Setelah data parameter lingkungan di


pesisir Desa Wawatu dianalisis dengan cara
mencocokkan data tersebut terhadap beberapa
parameter lingkungan berdasarkan pustaka acuan
seperti pada Tabel 5, ditemukan beberapa jenis
pohon mangrove yang sesuai dan dapat tumbuh
serta dapat menjadi pilihan dalam pengelolaan
kawasan rehabilitasi mangrove di Desa Wawatu.
Jenis-jenis mangrove tersebut antara lain adalah
R. stylosa, R. mucronata, R. apiculata, S. alba, S.
caesiolaris dan Avicennia sp.
Jenis-jenis mangrove tersebut memiliki
kecocokan pada semua parameter lingkungan
dan dapat dijumpai di Pesisir Desa Wawatu
kecuali
jenis
R.
apiculata
dan
S.
caesiolaris.Meskipun tidak ditemukan di lokasi
penelitian, kedua pohon tersebut masih
memungkinkan untuk ditanam karena memiliki
kecocokan dengan kondisi lingkungan yang ada
di pesisir Desa Wawatu.Khusus jenis Avicennia
spp., jenis pohon yang ditemukan di pesisir Desa
Wawatu adalah Avicennia marina.
Berdasarkan penghitungan indeks nilai
penting,R. stylosa memiliki nilai penting
mencapai 110,543. Hal ini menunjukkan bahwa
R. stylosa merupakan jenis pohon yang paling
sesuai dan memiliki pengaruh atau peranan yang
besar dalam komunitas mangrove di pesisir Desa
Wawatu.Hal ini sesuai dengan Bengen (1999)
menyatakan bahwa nilai penting dapat
memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh
atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove
dalam komunitas mangrove.
Kesesuaian
mangrove
terhadap
parameter lingkungan yang ada tetap menjadi
acuan yang paling utama dalam menentukan
jenis-jenis mangrove yang dapat tumbuh di
pesisir Desa Wawatu.Selain itu, lebar hutan
mangrove yang berbeda di pesisir desa wawatu
mempengaruhi jenis tumbuhan yang terhitung
dalam plot-plot pengukuran.Hal ini disebabkan
karena adanya zonasi yang mengakibatkan
timbulnya perbedaan struktur komunitas yang
berbeda pada hutan mangrove dengan lebar
berbeda.
Dalam kegiatan rehabilitasi kususnya
dipesisir Desa Wawatu, jenis pohon yang dapat
menjadi alternatif penanaman sebagai penahan
abrasi adalah jenis Rhizophora spp. Namun jika
tujuannya rehabilitasi adalah untuk penghijauan,
maka cukup dilakukan penanaman menggunakan
mangrove jenis Avicennia sp. Hal ini sesuai
dengan Kustanti (2011) yang menyatakan bahwa
kegiatan rehabilitasi yang bertujuan untuk
penahan abrasi dapat ditanami jenis Rhizophora
spp. Sedangkan untuk penghijauan, maka dapat
ditanami mangrove jenis Avicennia sp.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO

Penanaman mangrove dalam kegiatan


rehabilitasi sebaiknya tidak dilakukan secara
langsung melainkan ditanam dengan cara
menggunakan anakan khususnya yang berasal
dari persemaian. Hal ini sebaiknya dilakukan
karena penanaman menggunakan bibit dari
persemaian
memiliki
banyak
kelebihan
dibandingkan dengan penanaman secara
langsung
maupun
penanaman
dengan
menggunakan bibit yang berasal dari alam.
Kusmana dkk.,(2003) mengemukakan bahwa
penanaman
secara
langsung
memiliki
keterbatasan waktu yaitu hanya pada musim
berbuah masak dan mudah diganggu oleh
kepiting maupun tritip ketika telah ditanam.
Adapun
keuntungan penanaman
dengan
memakai bibit dari persemaian yaitu cukup
fleksibel dari segi jadwal penanaman, kualitas
bahan tanam lebih mudah diseragamkan,
memiliki peluang keberhasilan yang lebih besar
dan pertumbuhan yang lebih cepat serta cukup
tahan terhadap gangguan hama.
Berdasarkan kondisi areal yang dapat
dijadikan sebagai kawasan rehabilitasi dimana
daerah tersebut merupakan pantai berpasir dan
bukan areal pertambakan, maka sistem
penanaman mangrove yang dapat diaplikasikan
adalah sistem banjar harian.Selain itu, mengingat
kondisi oseanografi di pesisir Desa Wawatu,
maka penanaman di area rehabilitasi sebaiknya
dilakukan pada bulan Desember hingga bulan
Mei (musim barat).Pada musim tersebut, kondisi
perairan Desa Wawatu jauh lebih teduh
dibandingkan musim timur sehingga dapat
memberi kesempatan untuk mangrove untuk
tumbuh dan menjadi tanaman yang cukup kuat
menahan gelombang dan bertahan dengan
kondisi lingkungan yang ada di Pesisir Desa
Wawatu.
Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka
dapat ditarik simpulan bahwa kondisi ekosistem
mangrove di pesisir Desa Wawatu tergolong
dalam kategori kondisi rusak dengan nilai
kerapatan jenis hanya mencapai 650 pohon/ha.
Oleh karena itu, diperlukan kegiatan rehabitasi
untuk mempertahankan dan memperbaiki
kondisi ekosistem di daerah tersebut. Adapun
areal mangrove yang dapat direhabilitasi
memiliki luas 25817,46 m2 dengan jumlah
pohon yang dapat ditanam adalah 25.817 pohon
dalam jarak 1x1 m. Jenis-jenis pohon mangrove
yang sesuai dan dapat tumbuh serta dapat
menjadi pilihan dalam pengelolaan kawasan
rehabilitasi mangrove di Desa Wawatu antara
lain adalah Rhizophora stylosa, R. mucronata, R
174

apiculata, Sonneratia alba, S. caesiolaris dan


Avicennia marina.
Persantunan
Penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
penyelesaian penelitian ini.
Daftar pustaka
Bengen,

D.G. 1999.
Pedoman Teknis
Pengenalan
dan
Pengelolaan
Ekosistem Mangrove.Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan
(PKSPL) IPB, Bogor.55 Hal.
Boyd, C.E., 1988. Water Quality Management
For Pond Fish Cultur. Developments
In Aquaculture And Fisheries
Science, Volume 9. Auburn
University, Alabama .U.S.A. 318 pp.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe
Selatan. 2012. Kecamatan Moramo
Utara
Dalam
Angka.
BPS
Kabupaten Konawe Selatan.
Darmawijaya.
1999.
Klasifikasi
Tanah.
Universitas
Gadjah
Mada.
Yogyakarta.411 Hal.
Djohan, T.S., 2010. Dinamika Kualitas Plankton
Diperairan Ekosistem Hutan Bakau
Segara Anakan Yang Sedang
Berubah. Jurnal Manusia Dan
Lingkungan. 17 (3) : 135-149.
Kanagaratnam, U., A.M. Schwarz, D. Adhuri,
M.M. Dey. 2006. Mangrove
Rehabilitation in the West Coast of
Aceh Issues and Perspectives.
International Journal of WorldFish
Center Quarterly. 29 (3 & 4): 10-18
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201
Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku
dan Pedoman Penentuan Kerusakan
Mangrove.
Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P.
Pamoengkas, C. Wibowo, T.
Tiryana,
A. Triswanto, Yunasfi,
Hamzah, 2003. Teknik Rehabilitasi
Mangrove.
Fakultas Kehutanan
IPB. Bogor. 177 Hal.
Kurniawan, D. 2010. Fungsi Unsur hara makro
(N,
P
dan
K).
http://old.denidi.com/2007/11/fungsi
-unsur-hara-makro-n-p-k.html.
Diakses pada hari Selasa tanggal 13
Maret 2012.
Kustanti, A., 2011. Manajemen Hutan
Mangrove.IPB Press. Bogor. 348
hal.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO

Macintosh, D. J., E. C. Ashton., S. Havanon.


2002. Mangrove Rehabilitation and
Intertidal Biodiversity : a Study in
the Ranong Mangrove Ecosystem,
Thailand. International Journal of
Estuarine, Coastal and Shelf Science
(55) :331345.
Masson, C.F., 1981. Biology Freshwater
Polution.2nd
Edition.Longman
Scientific and technical. New York.
457 Hal
Mulyadi, E., R. Laksmono, D.Aprianti.2006.
Fungsi
Mangrove
Sebagai
Pengendali Pencemar Logam Berat.
Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan 1
(Edisi Khusus) : 33-40
Nontji, A., 1984. Biomassa dan Produktifitas
Fitoplankton di Perairan Teluk
Jakarta Serta Kaitannya dengan
Faktor-Faktor Lingkungan.Disertasi.
Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.241 Hal.
Nontji, A., 2001. Laut Nusantara. Djambatan.
Jakarta. 367 Hal.
Onrizal dan K. Cecep. 2008. Studi Ekologi
Mangrove di Pantai Timur Sumatera
Utara. Jurnal Biodiversitas 9 (1) :
25-29.
Ponnambalam K., L. Chokkalingam., V.
Subramaniam., J. M. Ponniah. 2012.
Mangrove
Distribution
and
Morphology Changes in The
Mullipallam Creek, South Eastern
Coast of India. International Journal
of Conservation Science. 3 (1) : 5160.
Prabhakaran J., D., Kavitha.
2012.
Ethnomedicinal
importance
of
Mangrove species of Pitchavaram.
International Journal of Research in
Pharmaceutical and Biomedical
Sciences. 3 (2) : 611-614
Sadat, A. 2004.Kondisi Ekosistem Mangrove
Berdasarkan Indicator Kualitas
Lingkungan
ean
Pengukuran
Morfometrik Daun Di Way Penet
Kabupaten Lampung Timur Provinsi
Lampung.Skripsi.Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 55 Hal.
Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem
Mangrove.
Dahara
prize.
Semarang. 236 hal.
Shah. A.A., I. Kasawani., J. Kamaruzaman.2007.
Degradation
of
Indus
Delta

175

Mangroves in Pakistan. International


Journal of Geology 3(1):27-34
Shah. A.A., J. Kamaruzaman. 2007. Mangrove
Conservation through Community
Participation in Pakistan: The Case
of Sonmiani Bay. International
Journal of Systems Applications,
Engineering & Development 4 (1) :
75-81
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir
dan Laut ; Pendekatan Ekologi,
Sosial-Ekonomi, Kelembagaan, dan
Sarana
Wilayah.
Brilian
Internasional.Sidoarjo.412 Hal.
Vaiphasa C., A.K., Skidmore, W.F., de Boer. A
Post-classifier
for
Mangrove
Mapping
Using
Ecological
Data.Elsevier.International Journal
of Photogrammetry & Remote
Sensing. 61 (1) : 1-10
Warongan, C., W., A., O. 2009. Kajian Ekologi
Ekosistem
Mangrove
Untuk
Rehabilitasi di Desa Tiwoho
Kecamatan
Wori
Kabupaten
Minahasa Utara Provinsi Sulawesi
Utara.Tesis.IPB. Bogor. 88 hal.
Whitten, T., M. Mustafa., G. S. Henderson.,
2002. The Ecology Of Sulawesi.
Periplus.Editions Ltd. Singapura.754
hal.

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO

176

Anda mungkin juga menyukai