Anda di halaman 1dari 27

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN MANGROVE DI KABUPATEN

SURABAYA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengembangan pelabuhan sebagai proyek perluasan pelabuhan dan juga
pembangunan kawasan perindustrian, maupun pemukiman menyebabkan kawasan
pesisir menjadi sangat potensial untuk dikembangkan namun juga dapat
mengancam keberadaan mangrove di pesisir. Mangrove merupakan salah satu
ekosistem yang menjadi penopang kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove
mempunyai fungsi ekologi, lingkungan dan ekonomi. Fungsi ekologis hutan
mangrove diantaranya berperan sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan,
tempat pemijahan dan perkembangbiakan bagi berbagai macam biota, menyerap
limbah, mencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya. Fungsi lingkungan hutan
mangrove diantaranya dapat dapat menjadi penahan abrasi, penahan amukan
angin taufan, dan tsunami. Sedangkan fungsi ekonomis antara lain; sebagai
penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan lain-lain.
Melihat akan banyaknya fungsi dan peran hutan mangrove dalam lingkungan
pesisir dan nilai ekonomis yang dimiliki oleh hutan mangrove mengakibatkan
kawasan hutan mangrove menjadi sasaran lahan aktivitas yang bersifat eksploitatif
yang akan berdampak terhadap keberadaan hutan mangrove itu sendiri.
Analisa peruntukan lahan yang tepat agar peruntukan lahan sesuai
dengan kondisi fisik lahan sangat diperlukan. Pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya cenderung tidak berkelanjutan, oleh karena itu perlu dilakukan kajian
pengelolaan guna mencari solusi bagi pemanfaatan sumberdaya yang
berkelanjutan tapi tetap menghargai karakteristik pengolahannya. Kesesuaian
lahan merupakan gambaran tingkat kecocokan lahan untuk tujuan peruntukan
lahan tertentu dari kumpulan penentuan variabel-variabel pada kelas kesesuaian
lahan yang dianalisis sebelumnya. Karakteristik fisik sebagai faktor penting dalam
melakukan analisis kesesuaian lahan dalam kaitannya dengan perencanaan
pembangunan suatu wilayah sehingga diketahui sesuai tidaknya bagi peruntukan
tertentu (Andina & Taufik, 2015).
Salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki kawasan hutan mangrove
adalah wilayah Kabupaten Surabaya. Kabupaten Surabaya terdiri dari beberapa
kecamatan dimana terdapat lahan mangrove yang diantaranya berada di
Kecamatan Rungkut, Mulyorejo dan Kenjeran. Menurut data UNAIR News
(2019) penilaian Kawasan Lindung Mangrove di Surabaya merupakan bagian
penting dari Rencana Tata Ruang Kota Surabaya 2009-2029 karena merupakan
ruang terbuka hijau kota Surabaya. Peraturan formal di Indonesia membawa
proporsi ruang terbuka hijau perkotaan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia pada UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menetapkan
minimal 30% ruang terbuka hijau kota dari total area kota dan proporsi ruang
terbuka hijau publik di wilayah perkotaan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh)
persen dari total luas kota. Menurut Bappeko (2016), persentase area Pamurbaya
adalah 7,48%, yaitu 2.504 hektar dan luas kota Surabaya 33.451 hektar.
Kawasan mangrove harus ditentukan sebagai kawasan lindung mangrove
untuk mendukung pembangunan berkelanjutan Kabupaten Surabaya. Penentuan
kawasan lindung mangrove didasarkan pada Peraturan Kota Surabaya No 12
tahun 2014 (Sebelumnya peraturan nomor 3 tahun 2007). Kawasan lindung
mangrove memberikan perlindungan pada skala lokal di wilayah sekitar atau skala
kota dan berfungsi sebagai daerah resapan air, pencegahan banjir, erosi, dan untuk
melindungi ekosistem di daerah tersebut. Penentuan kawasan bertujuan untuk
melestarikan potensi dan sumber daya alam, mencegah terjadinya kerusakan
lingkungan, dan menghindari berbagai usaha dan/atau kegiatan di kawasan lahan
yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Kerusakan ekosistem mangrove
juga terjadi di Surabaya diketahui bahwa kondisi 40% atau sekitar 400 hektar
hutan bakau di wilayah Surabaya dalam kondisi rusak (Respati, 2013). Ada garis
pantai bakau sepanjang 29,8 km di wilayah Surabaya, sekarang hanya 8,7 km
vegetasi bakau yang ditumbuhi dengan ketebalan tidak lebih dari 50 meter. Ini
sangat berbeda dengan situasi di tahun 1990-an, di mana ketebalan hutan bakau
bisa lebih dari 50 meter dan mereka tumbuh di sepanjang garis pantai di Surabaya.
Kondisi seperti itu membuat kualitas lingkungan di Surabaya menurun
karena semakin sedikit area hutan bakau, akibatnya akan semakin banyak erosi.
Menurut (Olaniyi, Abdullah, Ramli, & Alias, 2012), hutan bakau yang
mendominasi lokasi-lokasi pantai menunjukkan erosi yang lebih sedikit
dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak memiliki vegetasi. Masalah lain
yang terkait dengan daerah tersebut adalah bahwa beberapa lahan Kawasan
lindung mangrove telah dimiliki oleh masyarakat sejak lama. Mereka
menggunakan kawasan konservasi tersebut untuk akuakultur. Konversi ekosistem
mangrove menjadi tambak udang mungkin telah memperoleh laba jangka pendek
dengan mengorbankan produktivitas jangka panjang
Penurunan tingkat kerapatan mangrove merupakan salah satu indikasi
bahwa wilayah tersebut perlu untuk dilakukan rehabilitasi mangrove. Berdasarkan
pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 121 Tahun 2012 tentang
rehabilitasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pasal 2 ayat 2, menyebutkan
bahwa rehabilitasi wajib dilakukan ketika pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil mengakibatkan kerusakan ekosistem atau populasi, yang melampaui
kriteria kerusakan ekosistem atau populasi. Kriteria kerusakan ekosistem atau
populasi sendiri kemudian diperjelas dalam pasal 3 ayat 2, yang mengemukakan
bahwa kriteria kerusakan ekosistem atau populasi ditentukan berdasarkan
kerusakan fisik, kerusakan kimiawi dan kerusakan hayati. Berdasarkan Peraturan
Presiden tersebut kerusakan yang terjadi pada ekosistem Mangrove, Lamun
ataupun terumbu karang dapat berupa penurunan luasan ekosistem, Sehingga
wajib untuk rehabilitasi.
Salah satu upaya mengatasi permasalahan ini adalah dengan melakukan
perencanaan rehabilitasi hutan mangrove. Sebagai langkah awal dalam
perencanaan rehabilitasi hutan mangrove, diperlukan suatu analisis tentang
kesesuaian lahan tumbuh mangrove agar nantinya bisa ditentukan upaya
perehabilitasianya. Sehingga perlu untuk mengkaji tentang “Analisis Kesesuaian
Lahan Mangrove Di Kabupaten Surabaya”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan
masalah yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tingkat kesesuaian lahan untuk mangrove di Kabupaten Surabaya?
2. Bagaimana hubungan antara subtrat, salinitas, suhu dan jenis mangrove
terhadap kesesuaian lahan untuk mangrove di Kabupaten Surabaya?
3. Bagaimana fungsi SIG dalam kajian kesesuaian lahan untuk mangrove di
Kabupaten Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya,
penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk menganalisa tingkat kesesuaian lahan mangrove di kawasan pesisir
Kabupaten Surabaya.
2. Untuk menilai kesesuaian lahan untuk mangrove berdasarkan subtrat,
salinitas, suhu dan jenis mangrove di Kabupaten Surabaya.
3. Untuk menerapkan fungsi SIG dalam kajian kesesuaian lahan mangrove di
Kabupaten Surabaya.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai salah satu sumber data untuk
mengetahui tentang nilai parameter lingkungan untuk lahan rehabilitasi mangrove
dan nilai tingkat kesesuaian lahan pesisir Kabupaten Surabaya untuk
merehabilitasi mangrove, agar nantinya diharapkan bisa bermanfaat sebagai data
acuan bagi pemerintah, stakeholder dan masyarakat untuk perencanaan tindakan
rehablitasi mangrove yang tepat dan optimal di wilayah pesisir Kabupaten
Surabaya.

1.5 Hipotesa
Adapun hipotesa atau dugaan sementara dalam penelitian ini, adalah
sebagai berikut:
1. Wilayah pesisir Kabupaten Surabaya memiliki nilai kesesuaian lahan
mangrove.
2. Tingkat kesesuaian lahan mangrove berdasarkan subtrat, salinitas, suhu dan
jenis mangrove di Kabupaten Surabaya dinilai sesuai
3. Sistem Informasi Geografis (SIG) mampu memadukan penggunaan lahan
dengan kesesuaian lahan mangrove di Kabupaten Surabaya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangrove
2.1.1 Pengertian Mangrove
Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan
komunitas suatu tumbuhan. Ada juga yang menyebutkan bahwa mangrove berasal
dari kata mangro, yaitu nama umum untuk Rhizopora mangle di Suriname
(Purnobasuki, 2005)
(Suryono, 2015) menambahkan bahwa mangrove adalah penghubung
antara daratan dan lautan di kawasan pesisir tropis dan subtropis dengan kekhasan
tumbuhan dan hewan yang hidup di kawasan mangrove. Keunikan ini tidak
terdapat pada kawasan lain, karena sebagian besar hewan dan tumbuhan yang
hidup berasosiasi disana khas perairan estuari yang mampu beradatasi pada
kisaran salinitas yang cukup luas.
Mangrove ialah suatu tempat yang bergerak karena adanya pembentukan
tanah lumpur serta daratan yang terjadi secara terus-menerus, sehingga perlahan-
lahan berubah menjadi semi daratan. Berbagai definisi mangrove sebenarnya
mempunyai arti yang sama yakni formasi hutan daerah tropika serta sub-
tropikayang ada di pantai rendah dan tenang, berlumpur, dan memperoleh
pengaruh dari pasang surutnya air laut. Ciri mangrove ini utamanya mampu
berada pada keadaan salin dan tawar, tidak terpengaruhi iklim (Tefarani &
Martuti, 2019).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa
mangrove adalah suatu ekosistem yang terdiri dari gabungan komponen daratan
dan komponen laut, dimana termasuk di dalamnya flora dan fauna yang hidup
saling bergantung satu dengan yang lainnya. Keberadaan mangrove memberikan
fungsi ekologis dalam hal memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan
laut, membantu dalam perputaran karbon, sebagai tempat perkembangbiakan dan
pembesaran bagi beberapa spesiesikan, serta tempat suplai benih untuk industri
perikanan masyarakat pesisir
2.1.2 Fungsi Mangrove
Hutan mangrove memiliki peranan yang penting di lingkungan pesisir,
terdapat fungsi hutan mangrove yakni fungsi fisik, ekologi, biologi, dan ekonomi
(Mustika, Kustanti, & Hilmanto, 2017) sebagai berikut;
1. Fungsi Fisik
Fungsi fisik mangrove, yaitu daya adaptasi morfologi akar yang kokoh
dan elastis mampu berperan sebagai pelindung daratan atau penahan gangguan
fisik seperti angin dan ombak, dan pencegah intrusi air laut ke daratan sehingga
air sumur air sumur disekitarnya menjadi lebih tawar. Sebagaimana menurut
(Purnamawati, Dewantoro, Sandri, & Vatria, 2007) fungsi fisik akar mangrove
yang kekal mampu meredahkan pengaruh gelombang, menjaga ke stabilan garis
pantai, menahan intrusi air laut, melindungi pantai dari abrasi, dan angin topan
laut.
2. Fungsi Ekologi
Fungsi ekologi hutan mangrove sebagai sumber plasma nutfah
menyediakan area pemijahan (spawning ground), asuhan (nursery ground),
mencari makan (feeding ground), sarang (nesting ground), dan istirahat (resting
ground) untuk sebagian biota antara lain burung pantai, ikan, udang, kepiting,
reptil dan mamalia (Habibi & Satria, 2011). Sifat timbal balik yang dimiliki
makhluk hidup di ekosistem mangrove sangat kompleks menurut (Eddy, Iskandar,
Ridho, & Mulyana, 2019) salah satunya dilihat dari akar nafas mangrove dapat
menjaga ekosistem dan menyediakan substrat yang cukup, pohon bakau dan
tajuknya menyediakan habitat penting bagi burung, mamalia, serangga, dan reptil,
bagian di akarnya hidup berbagai jenis tunicates, spons, alga, dan bivalvia.
Sedangkan ruang antara akar membentuk habitat bagi hewan motil seperti ikan,
udang dan kepiting.
3. Fungsi Biologi
Fungsi biologi mangrove membantu proses daun ketika gugur, pohon
mangrove memiliki daun ketika tua akan jatuh kepermukaan air, daun tua ini
disebut serasah, nantinya akan terdekomposisi, dibantu oleh marobentos
kemudian serasah akan menjadi ukuran yang lebih kecil, selanjutnya proses
biologi dilakukan oleh bakteri dan fungi sebagai dekomposer untuk mengurai
kembali menjadi partikel lebih kecil dan mengeluarkan enzim yang akan
menguraikan bahan organic menjadi protein. Fungsi biologi lainnya hutan
mangrove juga menjadi kawasan kawasan bertelur atau berkembangbiak beberapa
biota laut seperti udang, ikan, kerang, kepiting dan lebah hutan. Fungsi proses
biologikimiawi yang terjadi pada ekosistem hutan mangrove menurut (Warpur,
2016) sebagai penyerap polutan, khususnya bahan organic sebagai sumber energi
bagi ekosistem perairan hutan mangrove, tempat terjadinya daur ulang yang
menghasilkan oksigen, dan penyerapan karbon dioksida, dan sebagai tempat
pengolah bahan-bahan limbah industri. Hutan mangrove memproduksi nutrisi
untuk memenuhi unsur-unsur mikro dan makro makhluk hidup perairan laut,
memproses perputaran karbon, nitrogen dan sulfur.
4. Fungsi Ekonomi
Bila dilihat dari aspek sosial ekonomi, hutan mangrove yang berada
disekitar pesisir dan dipulau-pulau kecil sangat bermanfaat bagi penduduk yang
mendiami karena ekosistem hutan mangrove merupakan sumber daya yang
memiliki nilai jual, seperti menjual hasil tangkapan seafood, penyedia keperluan
rumah tangga hingga industri, misalnya sebagai bahan baku kayu bakar, kayu
pondasi, kayu pembuatan kertas, bahan baku penyamak kulit dan juga sebagai
bahan baku kayu pelapis. Menurut (Rusdianti & Sunito, 2012) ekosistem
mangrove sebagai sumber mata pencarian, mengelolah bijak kawasan
pertambakan, sumber bahan kayu untuk kerajinan bangunan, kayu beserta kulit
pohon yang diolah menjadi (arang, obat dan makanan), tempat wisata alam, objek
pendidikan dan penelitian. Namun akibat kerakusan manusia fungsi ekonomi
disalah gunakan oleh masyarakat. Menurut (Niapele & Hasan, 2017) pemanfaatan
hutan mangrove untuk kebutuhan manusia perlu dimanfaatkan dengan bijaksana
dapat karena memberikan kesejahteraan serta meningkatkan kesadaran untuk
memperhatikan aspek kelestariannya, sehingga nilai manfaat yang di peroleh
relatif stabil, terlestarikan dan berkelanjutan hingga anak cucu
2.2 Elevasi Lahan
Kemiringan lereng/elevasi dapat difahami sebagai suatu permukaan tanah
yang miring dan yang membentuk sudut tertentu terhadap suatu bidang horizontal.
Lereng secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu lereng alami dan lereng
buatan. Lereng alami terbentuk secara alamiah yang biasanya terdapat di daerah
pegunungan, sedangkan lereng buatan dibentuk oleh manusia dan biasanya untuk
keperluan konstruksi, seperti tanggul sungai, bendungan tanah, tanggul jalan
kereta api, dan sebagainya. Dalam aplikasinya, faktor lereng sering digunakan
sebagai faktor penentu dalam analisis (Afwilla, Tjahjono, & Gandasasmita, 2015).
Hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan rehabilitasi atau
penanaman mangrove adalah memhamai kondisi hidrologi tempat mangrove
ditanam seperti ketinggian substrat. Stiap spesias dari mengrove memiliki
kemampuan tumbuh pada ketinggian substrat yang berbeda-beda spesies, selain
itu pertumbuhan tiap spesies mangrove juga bergantung pada besarnya
paparanterhadap genangan air pasang (Brown, 2006).
2.2.1 Parameter Kesesuaian Lahan Mangrove
Vegetasi mangrove dalam pertumbuhanya terdapat parameter lingkungan
dan kehidupan yang mendukung untuk pertumbuhan mangrove, parameter-
parameter tersebut bisa berupa parameter biofisik ataupun kimia. Untuk penelitian
kali ini parameter yang digunakan untuk melakukan penilaian kesesuaian lahan
mangrove adalah parameter biofisik yakni elevasi lahan, jenis mangrove, substrat,
salinitas dan suhu. Menurut (Brown, 2006) tingkat elevasi dan jenis substrat
adalah hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan penanaman mangrove,
banyaknya jenis mangrove yang tumbuh juga bisa dijasikan parameter untuk
melakukan penanaman mangrove. Sedangkan menurut Kementrian Lingkungan
Hidup nomor 51 tahun 2004 parameter fisika dan kimia yang diperhatikan dalam
penanaman mangrove adalah parameter salinitas dan suhu.
2.2.2 Substrat Dasar
Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada substrat berupa pasir, lumpur
atau batu karang. Namun paling banyak ditemukan adalah di daerah pantai
berlumpur, laguna, delta sungai, dan teluk atau estuaria. Lahan yang terdekat
dengan air pada areal hutan mangrove biasanya terdiri dari lumpur dimana lumpur
diendapkan. Tanah ini biasanya terdiri dari kira-kira 75% pasir halus, sedangkan
kebanyakan dari sisanya terdiri dari pasir lempung yang lebih halus lagi. Lumpur
tersebut melebar dari ketinggian rata-rata pasang surut sewaktu pasang berkisar
terendah dan tergenangi air setiap kali terjadi pasang sepanjang tahun.
2.2.3 Salinitas
Ketersediaan air tawar dan konsentrasi salinitas mengendalikan efisiensi
metabolik dari ekosistim mangrove. Spesies mangrove memiliki mekanisme
adaptasi terhadap salinitas yang tinggi, dimana kelebihan salinitas akan
dikeluarkan melalui kelenjar garam atau dengan cara menggugurkan daun yang
terakumulasi garam. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh
berkisar antara 10-300/00. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju
pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi
penggenangan. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan
dalam keadaan pasang. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air laut
(Kusmana, 1995).
2.2.4 Suhu
Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan
khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun
perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi proses fisiologi
yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Suhu merupakan salah satu
faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran
organisme (Effendi, 2003). Menurut (Zamroni, 2008) tumbuhan mangrove
akanmengugurkanASdaun segarnya di bawah suhu optimum dan menghentikan
produksi daun baru apabila suhu lingkungan di atas suhu optimum.
Mangrove tumbuh subur pada daerah tropis dengan suhu udara lebih dari
200C dengan kisaran perubahan suhu udara rata-rata kurang dari 5 0C. Jenis
Avicennia lebih mampu mentoleransi kisaran suhu udara dibanding jenis
mangrove lainnya. Mangrove tumbuh di daerah tropis dimana daerah tersebut
sangat dipengaruhi oleh curah hujan yang mempengaruhi tersedianya air
tawarAyang diperlukan mangrove. Suhu berperan penting dalam
prosesAfisiologis (fotosintesis dan respirasi). Produksi daun baru
AvicenniaAmarina terjadi pada suhu 18-200C dan jika suhu lebih tinggi maka
produksiAmenjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops sp., Excocaria sp. Dan
Lumnitzera sp. Tumbuh optimal pada suhu 26-280C, Bruguiera sp. Tumbuh
optimal pada suhu 270C, dan Xylocarpus sp. Tumbuh optimal pada suhu 21-26 0C
(Kusmana, 1995).
2.2.5 Jenis Mangrove
Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis
yang tinggi dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis terdiri atas 89 jenis
pohon, 5 jenis palem, 14 jenis liana, 44 spesies epifit, dan 1 jenis sikas. Namun
demikian, hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan spesifik hutan
mangrove. Tumbuhan spesifik tersebut diantaranya jenis tumbuhan sejati atau
dominan yang termasuk ke dalam empat famili, yaitu Rhizhophoraceae
(Rhizhophora, Bruguiera, Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae
(Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus) (Matan, Marsono, & Ritohardoyo ,
2010).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi tempat penelitian ini dilakukan adalah bertempat di Kabupaten
Surabaya, Provinsi Jawa Timur yang terpetak pada kawasan pesisir daerah
Kabupaten Surabaya pada 3 tempat, yaitu Kelurahan Wonorejo, Kecamatan
Rungkut, Kelurahan Kejawan Putih Tambak, Kecamatan Mulyorejo dan
Kelurahan Bulak Banteng, Kecamatan Kenjeran. Penelitian ini dimulai pada bulan
Januari sampai dengan Juni 2022. Analisa data dilakukan di Laboraturium
Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
Penentuan titik batas pengambilan sampel penelitian didasarkan pada
peta persebaran daerah mangrove di Kabupaten Surabaya yang membentang dari
timur ke utara. Titik sampel diambil dari 3 lokasi berbeda di tiap daerahnya yaitu
di Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Kelurahan Kejawan Putih Tambak,
Kecamatan Mulyorejo dan Kelurahan Bulak Banteng, Kecamatan Kenjeran.
Adapun peta lokasi penelitian berikut ini:
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian baik alat untuk
pengambilan data lapangan maupun alat penunjang pengolahan data dapat dilihat
pada tabel 3.1
Tabel 3. 1 Alat yang digunakan dalam penelitian

No Alat Kegunaan
1 Buku Identifikasi Untuk mengidentifkasi jenis mangrove
2 Buku dan pena Untuk mencatat data yang telah diperoleh
3 Handphone Sebagai dokumentasi
4 GPS Untuk menentukan koordinat stasiun
5 Sekop kecil Sebagai alat untuk mengambil substrat
6 Refraktometer Untuk mengukur salinitas
7 Oven dan Sieve net Sebagai penganalisa butiran sedimen
8 Kertas label Untuk penanda sampel
9 Plastik sampel Sebagai wadah penampung sampel

3.3 Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode survei yang dimana dilakukan
dengan survey menggunakan pendekatan kualitatif di lapangan dan bertujuan
untuk mendapatkan data penelitian secara riil dan mendeskripsikan kondisi
wilayah secara nyata serta analisis sampel tanah di laboraturium. Metode Sistem
Informasi Geografis (SIG) yang digunakan untuk mengolah data kemampuan
lahan di daerah penelitian.
Metode survei juga dilakukan untuk mengumpulkan data primer yang
akan digunakan sevagai acuan kemampuan lahan seperti pH tanah, kedalaman
efektif, drainase tanah, kemiringan tanah, batuan, dan tekstur tanah. Sedangkan
pengumpulan data sekunder dilakukan dengan pengambilan data dari Dinas
Pertanian Kabupaten Surabaya seperti kemiringan lereng, peta tata guna lahan
mangrove, dan curah hujan.

3.4 Tahapan Penelitian Penelitian


Beberapa tahapan dalam penelitian ini disajikan dengan flowcart yang
ditampilkan pada gambar 3.1.
Mulai

1. Studi Pendahuluan
2. Perumusan Masalah Persiapan
3. Pengajuan Proposal

1. Penentuan lokasi sampling


2. Pengambilan data lapangan
3. Pengolahan data Pelaksanaan

Data Primer Data Sekunder

1. Subtrat
2. Salinitas (fisika
dan kimia) Peta DEM
3. Suhu
4. Jenis Mangrove

1. Mengukur sanilitas, suhu,


menentukan jenis sedimen, Menentukan nilai elevasi lahan
2. Menentukan jenis mangrove

Pengolahan data

Analisis
Pelakukan penilaian tingkat
kesesuaian lahan

Kesimpulan dan saran

Selesai

Gambar 3.2 Tahapan Penelitian


3.4.1 Tahap persiapan
Pada tahap persiapan berisi pengumpulan data sekunder berupa studi
pustaka yang berhubungan dengan kondisi lokasi penelitian dan studi pustaka
untuk data pendukung tentang analisa kesesuaian lahan mangrove. Pada tahap
persiapan juga dilakukan penentuan topik penelitian dengan menentukan rumusan
masalah yang kemudian dibuat dalam bentuk proposal penelitian.
3.4.2 Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan berupa penentuan stasiun , pengumpulan data
lapangan dan pengolahan data.
1. Penentuan Lokasi Sampling
Teknik penentuan stasiun sampling pada penelitian kali ini adalah
menggunakan teknik purposive sampling yakni menentukan stasiun sampling
secara acak dengan mempertimbangkan wilayah atau stasiun yang
memungkinkan untuk dilakukan rehabilitasi mangrove. Dalam penelitian ini
terdapat 27 titik lokasi sampling yang terbagi menjadi 3 lokasi, yaitu:
Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Kelurahan Kejawan Putih
Tambak, Kecamatan Mulyorejo dan Kelurahan Bulak Banteng, Kecamatan
Kenjeran.
2. Pengambilan dan Pengolahan Data
Tahap ini merupakan tahapan pengukuran parameter biofisik
lingkungan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penentuan
kesesuaian lahan rehabilitasi mangrove. Parameter-parameter yang diukur
untuk menentukan nilai kesesuaian merupakan parameter yang
memperngaruhi pertumbuhan mangrove yang meliputi data elevasi lahan,
salinitas, suhu, substrat dan jenis vegetasi mangrove. Prosedur dalam
pengambilan data tersebut adalah sebagai berikut :
a. Elevasi lahan
Untuk mendapatkan data elevasi lahan dilakukan pengukuran
dengan memanfaatkan peta DEM (Digital Elevation Model) yang
didapatkan pada situs internet (tanahair.indonesia.go.id) yang merupakan
situs kepemilikan dari Badan Informsi Geospasial (BIG).
Peta yang didapatkan merupakan peta yang menunjukkan lokasi
stasiun sampling yakni Kecamatan Tongas. Apabila telah mendapatkan
peta tersebut, selanjutnya akan dilakukan pengolahan dengan software
pengolahan data penginderaan jauh ArcGis 10.5 untuk dapat diketahui
tingkat elevasi lahan pada tiap stasiun pengambilan sampel.
b. Jumlah jenis mangrove
Pengumpulan data jumlah jenis mangrove dilakukan dengan
melakukan pengamatan secara langsung pada lokasi pengamatan,
mangrove jenis apa saja yang tumbuh di sekitar lokasi pengamatan
kemudian dicatat jumlah jenisnya. Untuk mengetahui jenis mangrove
dilakukan pengamatan ciri fisik dari pohon mangrove yakni dari daun,
akar, maupun buahnya.
c. Substrat
Pengumpulan data jenis substrat sedimen dilakukan dengan
mengambil sampel sedimen pada tiap-tiap stasiun sampling dengan
menggunakan sekop kecil. Sampel sedimen yang berhasil didapatkan
kemudian disimpan pada palstik sampel dan dinamai sesuai dengan stasiun
lokasi pengambilan sampel yang kemudian akan dianalisis di
Laboratorium Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Adapun metode yang dilakukan dalam menganalisis sampel
sedimen adalah dengan menggunakan metode pengayakan kering.
Menurut (Bakri, 2018), dalam menganalisis ukuran butiran sedimen
dengan menggunakan metode pengayakan kering langkah pertama yang
dilakukan adalah dengan menimbang sedimen yang sebelumnya telah
dimasukkan kedalam oven selama 2x24 jam pada suhu 105 0C sebanyak
100 gram dengan menggunakan timbangan analitik.
Sedimen yang telah dilakukan penimbangan kemudian diayak
dengan menggunakan sieve net dalam beberapa ukuran (meshsize) yang
berbeda yakni 2mm, 1mm, 0,5mm, 0,125mm dan 0,063mm. Setiap fraksi
sedimen yang tertahan pada setiap ayakan kemudian ditimbang dan
diklasifikasikan presentase butirannya menggunakan rumus persamaan
sebagai berikut :
Berat hasil ayakan
%Berat Sedimen= ×100 %
Berat total hasil ayakan
Sampel sedimen yang telah melalui proses pengayakan kering
kemudian diklasifikasikan dengan menggunakan acuan skala Wenworth
yang disajikan pada tabel 3.2.
Tabel 3. 2 Skala struktur tanah Wenwort

Diameter Butir (mm) Kelas Ukuran/Butir


1–2 Very Coarse Sand (pasir sangat kasar)
0,5-1 Coarse sand (pasir kasar)
0,25-0,5 Medium sand (pasir sedang)
0,125-0,25 Fine sand (pasir halus)
0,625-0,125 Very fine sand (pasir sangat halus)
0,002-0,00625 Silt (debu/lanau)
Sumber : (Bakri, 2018)
d. Salinitas
Pengambilan data salinitas menggunakan alat bantu ukur
Refraktometer yang cara menggunakanya adalah dengan mengambil
sampel air yang ada dititk lokasi sampling dan meletakkanya diatas wadah
kaca pengukuran pada refraktometer yang sebelumnya telah dikalibrasi
terlebih dahulu dan kemudian mencatat hasil pengukuranya yang tertera
pada skala refraktometer. Adapun cara penggunaan Salinity Refraktometer
adalah :
1) Buka pelat yang terletak di dekat ujung miring refraktoometer.
Refraktometer tangan mempunyai satu ujung bulat yang membuka
untuk melihat, dan satu ujung miring. Pegang refraktometer sehingga
permukaan yang miring terletak di atas alat, dan carilah pelat kecil di
dekat bagian itu yang dapat digeser ke salah satu sisi.
2) Tuangkan beberapa tetes cairan ke dalam prisma yang telah terbuka.
Gunakan pipet untuk mengambil sebagian cairan yang ingin Anda
ukur. Tuangkan cairan ke dalam prisma transparan yang terbuka saat
Anda menggeser pelat refraktometer. Tuangkan cairan hingga melapisi
seluruh permukaan prisma.
3) Tutup pelat refraktometer dengan hati-hati. Tutup prisma sekali lagi
dengan mengembalikan pelat ke posisi awalnya. Komponen alat
refraktometer berukuran kecil dan sangat peka. Jangan paksa prisma
masuk jika sedikit tertahan, namun, goyangkan ke depan dan belakang
dengan jari hingga dapat bergeser dengan lancar kembali.
4) Lihat ke dalam refraktometer untuk melihat hasil pembacaan salinitas.
Lihat ke dalam ujung bulat refraktometer. Seharusnya akan terlihat
satu angka skala atau lebih. Skala salinitas umumnya bertanda 0/00
yang berarti "bagian per seribu", dari 0 di dasar skala hingga 50 di
ujungnya. Carilah ukuran salinitas pada garis pertemuan bagian putih
dan biru.
5) Lap prisma dengan kain lembut dan lembap. Setelah mendapatkan
hasil pengukuran yang dibutuhkan, buka pelat refraktometer kembali,
dan gunakan kain lembut dan sedikit lembap untuk mengelap prisma
hingga bersih dari sisa tetesan cairan. Air yang tersisa dalam prisma
atau membasahi refraktometer dapat menyebabkan kerusakan.
e. Suhu
Tahap pengumpulan data pengukuran suhu air pada ekosistem
mangrove dilakukan dengan menggunakan termometer. Cara
pengukuranya adalah diaplikasikan dengan mencelupkanya ke dalam
perairan pada stasiun sampling yang telah ditentukan, dalam pengkuran
suhu selain mencatat nilai suhu yang ada pada perairan tersebut juga
mecatat waktu dan lokasi mengambilan data suhu. Adapun cara
penggunaan thermometer untuk mengukur suhu air:
1) Siapkan termometer
2) Celupkan termometer ke dalam air pada ekosistem mangrove secara
langsung
3) Tunggu hingga penunjuk nilai di termometer sudah tidak bergerak
4) Setelah selesai membaca nilai suhu air. Skala suhu umumnya bertanda
o
(derajat).
3.4.3 Analisis Data
Penilaian kesesuaian parameter dilakukan pada tiap stasiun sampling
yang telah berhasil didapatkan datanya, sedangkan klasifikasi penilaian tiap
parameternya diklasifikasikan kedalam 4 kelas yaitu sangat sesuai, sesuai, sesuai
bersyarat, dan tidak sesuai, kelas sangat sesuai akan diberi skor 4, kategori sesuai
diberi skor 3, kelas sesuai bersyarat diberi skor 2 dan kelas tidak sesuai dibei skor
1. Adapun acuan kriteria kesesuaian parameter lingkungan adalah sebagai
berikut :
1. Elevasi lahan
Acuan kesesuaian mengacu pada kriteria yang dikemukakan oleh
(Brown, 2006).
Tabel 3.3 Kriteria kesesuaian elevasi lahan

Parameter Batas Nilai Kriteria


Elevasi (m) 0 - 0,05 4 Sangat sesuai
0,05 - 0,55 3 Sesuai
0,55 - 0,78 2 Sesuai bersyarat
< 0 atau > 0,78 1 Tidak sesuai
Sumber : (Brown, 2006)
2. Jumlah vegetasi mangrove
Tingkat kesesuaian jumlah jenis vegetasi mangrove menggunakan
kriteria dari (Dahuri, 2003).
Tabel 3.4 Kriteria jumlah jenis mangrove
Parameter Batas Nilai Kriteria
Jenis mangrove > 5 Jenis 4 Sangat sesuai
2 - 4 Jenis 3 Sesuai
1 Jenis 2 Sesuai bersyarat
0 1 Tidak sesuai
Sumber : (Dahuri, 2003)
3. Substrat
Parameter jenis substrat menggunakan kriteria jenis substrat yang
dikemukakan oleh (Barkey, 1990).
Tabel 3.5 Kriteria jenis substrat

Parameter Batas Nilai Kriteria


Substrat Lumpur 4 Sangat sesuai
Pasir berlumpur 3 Sesuai
Pasir-pasir 2 Sesuai bersyarat
Kerikil 1 Tidak sesuai
Sumber : (Barkey, 1990)
4. Salinitas
Parameter kesesuaian nilai salinitas menggunakan kriteria dari
(Kusmana, 1995).
Tabel 3.6 Kriteria nilai salinitas
Parameter Batas Nilai Kriteria
Salinitas (0/00) 20 – 30 4 Sangat sesuai
10 – 20 3 Sesuai
30 – 37 2 Sesuai bersyarat
< 9 atau > 38 1 Tidak sesuai
Sumber : (Kusmana, 1995)
5. Suhu
Kesesuaian parameter nilai suhu menggunakan kriteria dari
(Kusmana, 1995).
Tabel 3. 7 Kriteria nilai suhu

Parameter Batas Nilai Kriteria


Suhu (0C) 26 – 28 4 Sangat sesuai
21 – 26 3 Sesuai
18 – 20 2 Sesuai bersyarat
< 18 dan > 28 1 Tidak sesuai
Sumber : (Kusmana, 1995)
Pemberian bobot pada tiap parameter terlebih dahulu dilakukan
sebelum bisa mendapatkan nilai skor kesesuaian. Nilai bobot diberikan
terhadap tiap parameter berdasarkan posisi rangking parameter. Adapun dalam
menentukan bobot tiap parameter diperoleh dengan menggunakan rumus
persamaan dari (Utojo, Pirzan, Tarunamulia, & Pantjara, 2004) pada
persamaan 3.2 sebagai berikut.

wj=
[ n−rj+1
∑ ( n−rp+ 1 ) ]
Keterangan :
wj = Bobot parameter
n = Jumlah parameter
rj = Posisi rangking
rp = parameter (p = 1,2,3...n)
Setelah semua parameter telah didapatkan skor maka selanjutnya
akan dilakukan penilaian untuk menentukan kesesuaian lahan mangrove.
Tabel 3.8 Matriks Kesesuaian Lahan Konservasi Hutan Mangrove
No Parameter Bobot S1 S2 S3 N Ket
1 Ketebalan 20 >500 >200-500 50-200 <200 Nilai
mangrove skor:
(m) Kelas
2 Kerapatan 20 >15-25 >10-15 5-10 <5 S1: 3
mangrove Kelas
(100m2) S2: 2
3 Jenis 10 >5 3-5 1-2 0 Kelas
Mangrove S3: 1
4 Kealamiahan 10 Alami Alami Lahan Buatan Kelas
dengan rehabi- N: 0
tambahan litasi Nilai
5 Obyek biota 10 >4 3-4 2 Salah Maks:
(jumlah jenis satu 300
biota) biota
6 Substrak 5 Lumpur Pasir Pasir Berbatu
dasar berpasir berlumpur
7 Kemiringan 5 <10 10-25 >25- >45
45
8 Jarak dari 5 <0,5 >0,5-1 >1-2 >2
sungai
9 Pasang surut 5 0-1 >1-2 >2-5 >5
(m)
10 pH 5 6-7 5-<6 dan 4-<5 <4 dan
>7-8 dan >9
>8-9
11 Kecepatan 5 <0,3 0,3 – 0,4 0,41- >0,5
arus (m/dt) 0,5
Sumber : (Hutabarat, Yulianda, Fahrudin, & Harteti, 2009), (Khomsin, 2005)
Kemudian ketika nilai persentase skor kesesuaian lahan maka akan
dapat dilakukan penentuan kategori berdasarkan persentase interval
kesesuaian yang disajikan pada tabel 3.9
Tabel 3.9 Nilai kesesuaian lahan

Interval Nilai
Kategori %Interval Kesesuaian
Kesesuaian
1 S1 (Sangat sesuai) 75 – 100
2 S2 (Sesuai) 50 – 75
3 S3 (Sesuai bersyarat) 25 – 50
4 N (Tidak Sesuai) < 25
Sumber: (Utojo, Pirzan, Tarunamulia, & Pantjara, 2004)
DAFTAR PUSTAKA

Afwilla, S. H., Tjahjono, B., & Gandasasmita. (2015). Pemetaan Kemiringan


Lereng berbasis Data Elevasi dan Analisis Hubungan Antara Kemiringan
Lereng dengan Bentuklahan. Intitut Pertanian Bogor,
https://docplayer.info/65412106-Pemetaan-kemiringan-lereng-berbasis-
data-elevasi-dan-analisis-hubungan-antara-kemiringan-lereng-dengan-
bentuklahan-silvia-helga-afwilla.html.
Andina, A. P., & Taufik, M. (2015). Evaluasi Kesesuaian Lahan Peruntukan
Kawasan Permukiman, Industri, Mangrove Wilayah Pesisir Utara
Surabaya Tahun 2010 Dan 2014. Jurnal GEOID Vol. 10 (02), 155-162.
Bakri, M. H. (2018). Distribusi Besar Butir Sedimen Dasar Dan Konsentrasi
Sedimen Tersuspensi Akibat Pengerukan Dan Dampaknya Terhadap
Komunitas Makrozoobentos Di Perairan Sungai Malili Sulawesi Selatan.
Departemen Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan.
Barkey, R. (1990). Mangrove Sulawesi Selatan (Struktur, Fungsi dan Laju
Degradasi, Prosiding seminar Keterpaduan Antara Konservasi dan Tata
Guna Laha Basah di Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan: LIPI.
Brown, B. (2006). Lima Tahap Rehabilitasi Mangrove. Mangrove Action Project
Dan Yayasan Akar Rumput Laut Indonesia. Yogyakarta: Mangrove Action
Project dan.
Dahuri, R. (2003). Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Eddy, S., Iskandar, I., Ridho, M. R., & Mulyana, A. (2019). Restorasi Hutan
Mangrove Terdegradasi Berbasis Masyarakat Lokal. Jurnal Indobiosains.
Vol 1. No. 1, 1-13.
Effendi, H. (2003). Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.
Habibi , I. E., & Satria, A. (2011). Persepsi Pesanggem Mengenai Hutan
Mangrove Dan Partisipasi Pesanggem Dalam Pengelolaan Tambak
Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang Parit. Sodality : Jurnal
Sosiologi, 97-103.
Hutabarat, A., Yulianda, A., Fahrudin, S., & Harteti, K. (2009). Pengelolaan
pesisir dan laut secara terpadu. Pusdiklat Kehutanan Departemen
Kehutanan RI. Bogor: Pusdiklat Kehutanan Departemen Kehutanan RI.
SECEM-Korea International Coorporation Agency.
Khomsin. (2005). tudi perencanaan konservasi kawasan mangrove di pesisir
selatan Kabupaten Sampang dengan teknologi penginderaan jauh dan
sistem informasi geografis. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV.
Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan
Kesejahteraan. Institut Teknologi Sepuluh November, 14-15.
Kusmana, C. (1995). Manajemen hutan mangrove Indonesia. Bogor: IPB Press.
Matan, O., Marsono, D., & Ritohardoyo , S. (2010). Keanekaragaman dan pola
komunitas hutan mangrove di Andai Kabupaten Manokwari. Majalah:
Geografi Indonesia.
Mustika, I. Y., Kustanti, A., & Hilmanto, R. (2017). Kepentingan Dan Peran
Aktor Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Di Desa Pulau Pahawang
Kecamatan Marga Punduh Kabupaten Pesawaran. Jurnal Sylva Lestari
ISSN (print) 2339-0913, 113—127.
Niapele, S., & Hasan, M. H. (2017). Analisis Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Di
Desa Mare Kofo Kota Tidore Kepuluan. Jurnal Ilmiah agribisnis dan
Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Vol. 10 (2) , 7-16.
Olaniyi, A., Abdullah, A., Ramli, M., & Alias, M. (2012). Assessment Of Drivers
Of Coastal Landuse Change In Malaysia. Ocean and Coastal Management
67, 113-123.
Purnamawati, Dewantoro, E., Sandri, & Vatria, B. (2007). Manfaat Hutan
Mangrove Pada Ekosistem pesisir (Studi Kasus di Kalimantan Barat).
Jurnal Media Akuakultur. Vol 2 (1), 156-160.
Purnobasuki, H. (2005). Tinjauan Perspektif Hutan Mangrove. Surabaya:
Airlangga University Press.
Respati, W. (2013). Planning Review: Green City Design Approach for Global
Warming Anticipatory (Surabaya’s Development Plan). International
Review for Spatial Planning and Sustainable Development.1 (3), 4-18.
Rusdianti, K., & Sunito, S. (2012). Konversi Lahan Hutan Mangrove Serta Upaya.
Jurnal Sosiologi Pedesaan, 06 (01), 1-17.
Suryono, C. A. (2015). Ekologi Mangrove Di Segara Anakan Ditinjau dari
Aspek : Kelimpahan dan Distribusi. Jurnal Kelautan Tropis. Vol. 18 (1),
20-27.
Tefarani, R., & Martuti, N. K. (2019). Keanekaragaman Spesies Mangrove dan
Zonasi di Wilayah Kelurahan Mangunharjo Kecamatan Tugu Kota
Semarang. Journal Life Science 8 (1). ISSN 2252-6277, 41-53.
Utojo, A. M., Pirzan, A. M., Tarunamulia, & Pantjara, B. (2004). Identifikasi
kelayakan lokasi lahan budidaya laut di perairan Teluk Saleh, Kabupaten
Dompu Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penilitian Perikanan Indonesia. Vol.
10 (5), 1-18.
Warpur, M. (2016). Struktur Vegetasi Hutan Mangrove dan. Jurnal Biodjati 1(1),
19-26.
Zamroni, Y. (2008). Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk
Sepi, Lombok Barat. Jurnal Biodiversitas. Vol. 9 (4), 284-287.

Anda mungkin juga menyukai