SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.5 Hipotesa
Adapun hipotesa atau dugaan sementara dalam penelitian ini, adalah
sebagai berikut:
1. Wilayah pesisir Kabupaten Surabaya memiliki nilai kesesuaian lahan
mangrove.
2. Tingkat kesesuaian lahan mangrove berdasarkan subtrat, salinitas, suhu dan
jenis mangrove di Kabupaten Surabaya dinilai sesuai
3. Sistem Informasi Geografis (SIG) mampu memadukan penggunaan lahan
dengan kesesuaian lahan mangrove di Kabupaten Surabaya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mangrove
2.1.1 Pengertian Mangrove
Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan
komunitas suatu tumbuhan. Ada juga yang menyebutkan bahwa mangrove berasal
dari kata mangro, yaitu nama umum untuk Rhizopora mangle di Suriname
(Purnobasuki, 2005)
(Suryono, 2015) menambahkan bahwa mangrove adalah penghubung
antara daratan dan lautan di kawasan pesisir tropis dan subtropis dengan kekhasan
tumbuhan dan hewan yang hidup di kawasan mangrove. Keunikan ini tidak
terdapat pada kawasan lain, karena sebagian besar hewan dan tumbuhan yang
hidup berasosiasi disana khas perairan estuari yang mampu beradatasi pada
kisaran salinitas yang cukup luas.
Mangrove ialah suatu tempat yang bergerak karena adanya pembentukan
tanah lumpur serta daratan yang terjadi secara terus-menerus, sehingga perlahan-
lahan berubah menjadi semi daratan. Berbagai definisi mangrove sebenarnya
mempunyai arti yang sama yakni formasi hutan daerah tropika serta sub-
tropikayang ada di pantai rendah dan tenang, berlumpur, dan memperoleh
pengaruh dari pasang surutnya air laut. Ciri mangrove ini utamanya mampu
berada pada keadaan salin dan tawar, tidak terpengaruhi iklim (Tefarani &
Martuti, 2019).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa
mangrove adalah suatu ekosistem yang terdiri dari gabungan komponen daratan
dan komponen laut, dimana termasuk di dalamnya flora dan fauna yang hidup
saling bergantung satu dengan yang lainnya. Keberadaan mangrove memberikan
fungsi ekologis dalam hal memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan
laut, membantu dalam perputaran karbon, sebagai tempat perkembangbiakan dan
pembesaran bagi beberapa spesiesikan, serta tempat suplai benih untuk industri
perikanan masyarakat pesisir
2.1.2 Fungsi Mangrove
Hutan mangrove memiliki peranan yang penting di lingkungan pesisir,
terdapat fungsi hutan mangrove yakni fungsi fisik, ekologi, biologi, dan ekonomi
(Mustika, Kustanti, & Hilmanto, 2017) sebagai berikut;
1. Fungsi Fisik
Fungsi fisik mangrove, yaitu daya adaptasi morfologi akar yang kokoh
dan elastis mampu berperan sebagai pelindung daratan atau penahan gangguan
fisik seperti angin dan ombak, dan pencegah intrusi air laut ke daratan sehingga
air sumur air sumur disekitarnya menjadi lebih tawar. Sebagaimana menurut
(Purnamawati, Dewantoro, Sandri, & Vatria, 2007) fungsi fisik akar mangrove
yang kekal mampu meredahkan pengaruh gelombang, menjaga ke stabilan garis
pantai, menahan intrusi air laut, melindungi pantai dari abrasi, dan angin topan
laut.
2. Fungsi Ekologi
Fungsi ekologi hutan mangrove sebagai sumber plasma nutfah
menyediakan area pemijahan (spawning ground), asuhan (nursery ground),
mencari makan (feeding ground), sarang (nesting ground), dan istirahat (resting
ground) untuk sebagian biota antara lain burung pantai, ikan, udang, kepiting,
reptil dan mamalia (Habibi & Satria, 2011). Sifat timbal balik yang dimiliki
makhluk hidup di ekosistem mangrove sangat kompleks menurut (Eddy, Iskandar,
Ridho, & Mulyana, 2019) salah satunya dilihat dari akar nafas mangrove dapat
menjaga ekosistem dan menyediakan substrat yang cukup, pohon bakau dan
tajuknya menyediakan habitat penting bagi burung, mamalia, serangga, dan reptil,
bagian di akarnya hidup berbagai jenis tunicates, spons, alga, dan bivalvia.
Sedangkan ruang antara akar membentuk habitat bagi hewan motil seperti ikan,
udang dan kepiting.
3. Fungsi Biologi
Fungsi biologi mangrove membantu proses daun ketika gugur, pohon
mangrove memiliki daun ketika tua akan jatuh kepermukaan air, daun tua ini
disebut serasah, nantinya akan terdekomposisi, dibantu oleh marobentos
kemudian serasah akan menjadi ukuran yang lebih kecil, selanjutnya proses
biologi dilakukan oleh bakteri dan fungi sebagai dekomposer untuk mengurai
kembali menjadi partikel lebih kecil dan mengeluarkan enzim yang akan
menguraikan bahan organic menjadi protein. Fungsi biologi lainnya hutan
mangrove juga menjadi kawasan kawasan bertelur atau berkembangbiak beberapa
biota laut seperti udang, ikan, kerang, kepiting dan lebah hutan. Fungsi proses
biologikimiawi yang terjadi pada ekosistem hutan mangrove menurut (Warpur,
2016) sebagai penyerap polutan, khususnya bahan organic sebagai sumber energi
bagi ekosistem perairan hutan mangrove, tempat terjadinya daur ulang yang
menghasilkan oksigen, dan penyerapan karbon dioksida, dan sebagai tempat
pengolah bahan-bahan limbah industri. Hutan mangrove memproduksi nutrisi
untuk memenuhi unsur-unsur mikro dan makro makhluk hidup perairan laut,
memproses perputaran karbon, nitrogen dan sulfur.
4. Fungsi Ekonomi
Bila dilihat dari aspek sosial ekonomi, hutan mangrove yang berada
disekitar pesisir dan dipulau-pulau kecil sangat bermanfaat bagi penduduk yang
mendiami karena ekosistem hutan mangrove merupakan sumber daya yang
memiliki nilai jual, seperti menjual hasil tangkapan seafood, penyedia keperluan
rumah tangga hingga industri, misalnya sebagai bahan baku kayu bakar, kayu
pondasi, kayu pembuatan kertas, bahan baku penyamak kulit dan juga sebagai
bahan baku kayu pelapis. Menurut (Rusdianti & Sunito, 2012) ekosistem
mangrove sebagai sumber mata pencarian, mengelolah bijak kawasan
pertambakan, sumber bahan kayu untuk kerajinan bangunan, kayu beserta kulit
pohon yang diolah menjadi (arang, obat dan makanan), tempat wisata alam, objek
pendidikan dan penelitian. Namun akibat kerakusan manusia fungsi ekonomi
disalah gunakan oleh masyarakat. Menurut (Niapele & Hasan, 2017) pemanfaatan
hutan mangrove untuk kebutuhan manusia perlu dimanfaatkan dengan bijaksana
dapat karena memberikan kesejahteraan serta meningkatkan kesadaran untuk
memperhatikan aspek kelestariannya, sehingga nilai manfaat yang di peroleh
relatif stabil, terlestarikan dan berkelanjutan hingga anak cucu
2.2 Elevasi Lahan
Kemiringan lereng/elevasi dapat difahami sebagai suatu permukaan tanah
yang miring dan yang membentuk sudut tertentu terhadap suatu bidang horizontal.
Lereng secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu lereng alami dan lereng
buatan. Lereng alami terbentuk secara alamiah yang biasanya terdapat di daerah
pegunungan, sedangkan lereng buatan dibentuk oleh manusia dan biasanya untuk
keperluan konstruksi, seperti tanggul sungai, bendungan tanah, tanggul jalan
kereta api, dan sebagainya. Dalam aplikasinya, faktor lereng sering digunakan
sebagai faktor penentu dalam analisis (Afwilla, Tjahjono, & Gandasasmita, 2015).
Hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan rehabilitasi atau
penanaman mangrove adalah memhamai kondisi hidrologi tempat mangrove
ditanam seperti ketinggian substrat. Stiap spesias dari mengrove memiliki
kemampuan tumbuh pada ketinggian substrat yang berbeda-beda spesies, selain
itu pertumbuhan tiap spesies mangrove juga bergantung pada besarnya
paparanterhadap genangan air pasang (Brown, 2006).
2.2.1 Parameter Kesesuaian Lahan Mangrove
Vegetasi mangrove dalam pertumbuhanya terdapat parameter lingkungan
dan kehidupan yang mendukung untuk pertumbuhan mangrove, parameter-
parameter tersebut bisa berupa parameter biofisik ataupun kimia. Untuk penelitian
kali ini parameter yang digunakan untuk melakukan penilaian kesesuaian lahan
mangrove adalah parameter biofisik yakni elevasi lahan, jenis mangrove, substrat,
salinitas dan suhu. Menurut (Brown, 2006) tingkat elevasi dan jenis substrat
adalah hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan penanaman mangrove,
banyaknya jenis mangrove yang tumbuh juga bisa dijasikan parameter untuk
melakukan penanaman mangrove. Sedangkan menurut Kementrian Lingkungan
Hidup nomor 51 tahun 2004 parameter fisika dan kimia yang diperhatikan dalam
penanaman mangrove adalah parameter salinitas dan suhu.
2.2.2 Substrat Dasar
Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada substrat berupa pasir, lumpur
atau batu karang. Namun paling banyak ditemukan adalah di daerah pantai
berlumpur, laguna, delta sungai, dan teluk atau estuaria. Lahan yang terdekat
dengan air pada areal hutan mangrove biasanya terdiri dari lumpur dimana lumpur
diendapkan. Tanah ini biasanya terdiri dari kira-kira 75% pasir halus, sedangkan
kebanyakan dari sisanya terdiri dari pasir lempung yang lebih halus lagi. Lumpur
tersebut melebar dari ketinggian rata-rata pasang surut sewaktu pasang berkisar
terendah dan tergenangi air setiap kali terjadi pasang sepanjang tahun.
2.2.3 Salinitas
Ketersediaan air tawar dan konsentrasi salinitas mengendalikan efisiensi
metabolik dari ekosistim mangrove. Spesies mangrove memiliki mekanisme
adaptasi terhadap salinitas yang tinggi, dimana kelebihan salinitas akan
dikeluarkan melalui kelenjar garam atau dengan cara menggugurkan daun yang
terakumulasi garam. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh
berkisar antara 10-300/00. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju
pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi
penggenangan. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan
dalam keadaan pasang. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air laut
(Kusmana, 1995).
2.2.4 Suhu
Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan
khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun
perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi proses fisiologi
yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Suhu merupakan salah satu
faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran
organisme (Effendi, 2003). Menurut (Zamroni, 2008) tumbuhan mangrove
akanmengugurkanASdaun segarnya di bawah suhu optimum dan menghentikan
produksi daun baru apabila suhu lingkungan di atas suhu optimum.
Mangrove tumbuh subur pada daerah tropis dengan suhu udara lebih dari
200C dengan kisaran perubahan suhu udara rata-rata kurang dari 5 0C. Jenis
Avicennia lebih mampu mentoleransi kisaran suhu udara dibanding jenis
mangrove lainnya. Mangrove tumbuh di daerah tropis dimana daerah tersebut
sangat dipengaruhi oleh curah hujan yang mempengaruhi tersedianya air
tawarAyang diperlukan mangrove. Suhu berperan penting dalam
prosesAfisiologis (fotosintesis dan respirasi). Produksi daun baru
AvicenniaAmarina terjadi pada suhu 18-200C dan jika suhu lebih tinggi maka
produksiAmenjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops sp., Excocaria sp. Dan
Lumnitzera sp. Tumbuh optimal pada suhu 26-280C, Bruguiera sp. Tumbuh
optimal pada suhu 270C, dan Xylocarpus sp. Tumbuh optimal pada suhu 21-26 0C
(Kusmana, 1995).
2.2.5 Jenis Mangrove
Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis
yang tinggi dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis terdiri atas 89 jenis
pohon, 5 jenis palem, 14 jenis liana, 44 spesies epifit, dan 1 jenis sikas. Namun
demikian, hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan spesifik hutan
mangrove. Tumbuhan spesifik tersebut diantaranya jenis tumbuhan sejati atau
dominan yang termasuk ke dalam empat famili, yaitu Rhizhophoraceae
(Rhizhophora, Bruguiera, Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae
(Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus) (Matan, Marsono, & Ritohardoyo ,
2010).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
No Alat Kegunaan
1 Buku Identifikasi Untuk mengidentifkasi jenis mangrove
2 Buku dan pena Untuk mencatat data yang telah diperoleh
3 Handphone Sebagai dokumentasi
4 GPS Untuk menentukan koordinat stasiun
5 Sekop kecil Sebagai alat untuk mengambil substrat
6 Refraktometer Untuk mengukur salinitas
7 Oven dan Sieve net Sebagai penganalisa butiran sedimen
8 Kertas label Untuk penanda sampel
9 Plastik sampel Sebagai wadah penampung sampel
1. Studi Pendahuluan
2. Perumusan Masalah Persiapan
3. Pengajuan Proposal
1. Subtrat
2. Salinitas (fisika
dan kimia) Peta DEM
3. Suhu
4. Jenis Mangrove
Pengolahan data
Analisis
Pelakukan penilaian tingkat
kesesuaian lahan
Selesai
wj=
[ n−rj+1
∑ ( n−rp+ 1 ) ]
Keterangan :
wj = Bobot parameter
n = Jumlah parameter
rj = Posisi rangking
rp = parameter (p = 1,2,3...n)
Setelah semua parameter telah didapatkan skor maka selanjutnya
akan dilakukan penilaian untuk menentukan kesesuaian lahan mangrove.
Tabel 3.8 Matriks Kesesuaian Lahan Konservasi Hutan Mangrove
No Parameter Bobot S1 S2 S3 N Ket
1 Ketebalan 20 >500 >200-500 50-200 <200 Nilai
mangrove skor:
(m) Kelas
2 Kerapatan 20 >15-25 >10-15 5-10 <5 S1: 3
mangrove Kelas
(100m2) S2: 2
3 Jenis 10 >5 3-5 1-2 0 Kelas
Mangrove S3: 1
4 Kealamiahan 10 Alami Alami Lahan Buatan Kelas
dengan rehabi- N: 0
tambahan litasi Nilai
5 Obyek biota 10 >4 3-4 2 Salah Maks:
(jumlah jenis satu 300
biota) biota
6 Substrak 5 Lumpur Pasir Pasir Berbatu
dasar berpasir berlumpur
7 Kemiringan 5 <10 10-25 >25- >45
45
8 Jarak dari 5 <0,5 >0,5-1 >1-2 >2
sungai
9 Pasang surut 5 0-1 >1-2 >2-5 >5
(m)
10 pH 5 6-7 5-<6 dan 4-<5 <4 dan
>7-8 dan >9
>8-9
11 Kecepatan 5 <0,3 0,3 – 0,4 0,41- >0,5
arus (m/dt) 0,5
Sumber : (Hutabarat, Yulianda, Fahrudin, & Harteti, 2009), (Khomsin, 2005)
Kemudian ketika nilai persentase skor kesesuaian lahan maka akan
dapat dilakukan penentuan kategori berdasarkan persentase interval
kesesuaian yang disajikan pada tabel 3.9
Tabel 3.9 Nilai kesesuaian lahan
Interval Nilai
Kategori %Interval Kesesuaian
Kesesuaian
1 S1 (Sangat sesuai) 75 – 100
2 S2 (Sesuai) 50 – 75
3 S3 (Sesuai bersyarat) 25 – 50
4 N (Tidak Sesuai) < 25
Sumber: (Utojo, Pirzan, Tarunamulia, & Pantjara, 2004)
DAFTAR PUSTAKA