Anda di halaman 1dari 13

Penerapan Metode Evaluasi Kesempatan Restorasi (MEKAR)

di Pantai Ratu, Gorontalo

Ledy Mutmainnnah, Melisa Ahmad, Arlinda Widyasari, Dian Alfiani, Regina Eka Cahyani Sabriyanto Hamidun,
Nining dan Yuli Astuti
Program Studi Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Gorontalo
Jl. Prof. Dr. Ing. B. J. Habibie, Tilongkabila
Email: mutmainnahledy@gmail.com

ABSTRAK

Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 27% dari luas mangrove di dunia dan 75%
dari luas mangrove di Asia Tenggara. Namun demikian sebagian besar ekosistem mangrove
telah mengalami degradasi antara lain akibat penebangan liar dan pembuatan tambak. Tak
terkecuali di tempat terpencil seperti di wilayah Banggai Kepulauan. Penelitian ini bertujuan
untuk meemperoleh rekomendasu untuk mengembalikan fungsionalitas ekologi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui metode evaluasi kesempatan restorasi
(MEKAR) di Pantai Ratu, Tenilo Gorontalo. Hasil Penelitian menunjukkan rekomendasi
untuk dapat terlaksananya restorasi antara lain melakukan (a) menyelenggarakan lokakarya
validasi, (b) menguji kesesuaian yang dirasakan antara opsi-opsi kelembagaan dan kebijakan
strategis dengan pemerintahan di daerah, (c) mengidentifikasi opsi keuangan untuk
melaksanakan kesempatan restorasi, (d) Menentukan model-model bisnis untuk pendanaan,
(e) Mencari sektor swasta, sektor publik, investasi dan komunitas donor/penyumbang dan (f)
dari rekomendasi meuju pelaksanaan.
Kata Kunci : MEKAR, Restorasi, Degradasi

PENDAHULUAN
Luas penyebaran mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan, berdasarkan data
Ditjen BPDASPS, dari 9.3 juta ha pada tahun 1999 menjadi 3.7 juta ha pada tahun 2010. Dari
data tersebut, degradasi ekosistem mangrove rata-rata sebesar 0.5 juta ha per tahun. Ekosistem
mangrove yang rusak tersebut perlu segera dipulihkan agar dapat berfungsi kembali
sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu perlu adanya suatu pedoman agar kegiatan pemulihan
fungsi kawasan tersebut dapat berjalan secara efisien dan efektif. Hutan mangrove merupakan
vegetasi yang tersusun atas pohon dan semak yang toleran terhadap garam yang hidup di zona
pasang surut di wilayah pesisir tropis dan subtropis (Strauch et al., 2012).
Menurut Anwar (2006), ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis,
tetapi labil. Bersifat kompleks dikarenakan ekosistemnya dipenuhi oleh vegetasi dan sekaligus
habitat bagi beraneka ragam satwa dan biota perairan.Sifat dinamis ditunjukkan dengan
kemampuannya untuk dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi mengikuti
perubahan habitat alaminya.Kondisinya yang mudah rusak akibat gangguan dan sulit untuk
dipulihkan kembali menunjukkan sifat labil dari ekosistem ini.
Selain itu menurut Ritohardoyo (2011), hutan mangrove sebagai ekosistem utama
pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir memiliki fungsi antara lain sebagai
pelindung kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dari gempuran ombak, abrasi pantai dan
intrusi air laut; mempertahankan keberadaan spesies hewan laut dan vegetasi; berfungsi sebagai
pengendali sedimentasi; penyedia bahan baku untuk manusia dalam berproduksi, seperti kayu,
arang, bahan pangan, bahan kosmetik, bahan pewarna, penyamak kulit dan sumber pakan
ternak.
Hutan mangrove memiliki fungsi strategis sebagai penyambung dan penyeimbang
ekosistem darat dan laut, dimana tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat
atau laut melalui mangrove (Zamroni, 2008).
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir
yang memiliki fungsi ekologisyang penting. Walaupun hutan mangrove memiliki banyak
fungsi penting di wilayah pesisir namun sering kali pemanfaatan yang berlebihan dan tidak
berorientasi pada keberlanjutan telah menyebabkan degradasi terhadap ekosistem hutan
mangrove. Penyebab utama degradasi hutan mangrove di dunia adalah akibat pengaruh
antropogenik berupa aktivitas pertanian, perkebunan, tambak ikan dan udang, pembangunan
pemukiman, penebangan kayu (legal logging dan illegal logging), pencemaran, pertambangan
dan tambak garam.Oleh karena itu peran serta masyarakat lokal sangat diperlukan dalam upaya
mengontrol laju penggunaan hutan mangrove. Disamping itu, masyarakat lokal yang hidup di
wilayah pesisir merupakan ujung tombak dalam merestorasi kawasan hutan mangrove karena
mereka membutuhkan keberadaan hutan mangrove yang lestari serta memiliki kearifan lokal
yang telah teruji. Fungsi ekologis dan ekonomis ekosistem hutan mangrove dapat dipelihara
melalui peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian, sehingga tercapai
optimalisasi dan keberlanjutan pengelolaan kawasan tersebut. Peran masyarakat tersebut harus
pula didukung oleh peran pemerintah, LSM dan peneliti/akademisi (Eddy, 2019).
Selain itu, menurut Mukherjee et al, (2014), Restorasi terhadap hutan mangrove yang
telah terdegradasi tidak mudah dilakukan, karena disamping membutuhkan biaya yang besar
dan tenaga, juga dibutuhkan waktu yang lama. membagi restorasi hutan mangrove berdasarkan
waktu, yaitu jangka panjang (>20 tahun) dan jangka pendek (<20 tahun). Hasil yang diperoleh
dari penelitian ini bahwa degradasi akibat kegiatan pembangunan oleh manusia, baik di negara
maju (Highly Developed Countries) maupun negara berkembang (Less Developed Countries),
merupakan kerusakan utama yang membutuhkan waktu restorasi >20 tahun. Untuk itu,
sebelum terjadi kerusakan yang lebih besar terhadap kawasan hutan mangrove, maka perlu
dilakukan usaha restorasi. Masyarakat lokal yang hidup di wilayah pesisir merupakan ujung
tombak dalam melakukan restorasi hutan mangrove. Disamping mereka membutuhkan
keberadaan hutan mangrove yang lestari untuk memenuhi kebutuhan, mereka juga memiliki
kearifan lokal yang telah teruji sekian lama dalam menjaga keberlanjutan kawasan tersebut.
MEKAR dirancang untuk memberikan masukan analitis yang sesuai dengan kebijakan
sub-nasional dan proses operasional seperti pengembangan program kerja terkait dengan
strategi REDD+ nasional, program aksi adaptasi nasional, strategi keanekaragaman hayati dan
rencana aksi nasional, atau permintaan untuk bantuan pembangunan. Selain itu MEKAR sering
kali akan mampu mengisi informasi yang belum lengkap terkait prioritas kebijakan nasional
lainnya seperti pengembangan desa, keamanan pangan, atau pasokan energi. Sebagian besar
tipe kebijakan ini cenderung mengabaikan potensi lahan terdegradasi atau lahan dengan
pengelolaan yang kurang optimal.
Di antara berbagai manfaat yang dapat diberikan oleh RENTANG, penyerapan dan
penyimpanan karbon merupakan dua manfaat yang semakin penting. Pemulihan lahan yang
terdegradasi dan terdeforestasi telah diketahui dapat secara signifikan meningkatkan jumlah
karbon di tanah dan vegetasi yang direhabilitasi. Kenyataan bahwa hasil serapan karbon ini
mendatangkan manfaat ekonomi dan mata pencaharian nyata untuk masyarakat menjadikan
RENTANG sebagai pilihan yang menarik bagi masyarakat lokal serta menjadi cara yang
efektif untuk menyerap karbon dan membantu memperlambat perubahan iklim. Dengan
membantu meredakan tekanan terhadap hutan yang ada, RENTANG juga turut membantu
mencegah pelepasan karbon yang tersimpan di dalam ekosistem hutan.
METODE
Metode yang dipakai dalam artikel ini mengacu pada panduan MEKAR (Metode
Evaluasi Kesempatan Restorasi). Panduan yang digunakan mampu mengarahkan serta
memaksimalkan segala jenis upaya-upaya yang dibutuhkan dalam proses perencanaan restorasi
yang akan dilakukan pada suatu kawasan. MEKAR dilaksanakan dalam tiga fase, yaitu
Fase 1 : Persiapan dan perencanaan
Fase 2 : Pengumpulan dan analisis data
Fase 3 : Hasil dan Rekomendasi
Metode Evaluasi Kesempatan Restorasi (MEKAR) memproduksi masukan analitikan
yang relevan terhadap kebijakan penggunaan lahan secara nasional dan provinsial. Seringkali
mampu untuk mengisi informasi yang kurang yang terkait dengan prioritas-prioritas nasional
dan provinsi, seperti pengembangan pedesaan, ketahanan pangan dan suplay energi.
Mengembangkan sebuah aplikasi yang bertahap dan berulang dari sebuah serial analisis untuk
mengidentifikasi peluang-peluang (kesempatan2) restorasi yang terbaik.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Fase 1 : Persiapan dan Perencanaan
1. Penentuan area restorasi
Rencana kegiatan restorasi di susun berdasarkan data hasil survey, digunakan dalam
menentukan pola restorasi, sistem penanaman, jenis tanaman, jadwal kegiatan, dan rencana
anggaran ditetapkan.
2. Pemilihan Pola Restorasi
Pola rancangan restorasi digunakan untuk mendapatkan hasil yang efektif dan efisien. Pola
rancangan di sesuaikan dengan suksesi alam, atau dengan penunjang suksesi alam, atau dengan
pengkayaan tanaman atau penanaman. Dengan data hasil survey, maka pada restorasi pantai
ratu digunakan pola penanaman.
Pola penanaman adalah pola yang di gunakan dalam restorasi Apabila tumbuhan mangrove
berkayu yang tingginya > 1 m atau diameter > 2 cm berjumlah <200 batang per Ha.

Contoh Pola penanaman. Sebelum penanaman (kiri), dan setelah penanaman umur 2 tahun
(kanan)
3. Sistem Penanaman
Sistem penanaman di dalam kawasan konservasi bekas tambak diterapkan dengan sistem
jalur. Tujuannya adalah untuk mempermudah monitoring terhadap jumlah tanaman yang sudah
ditanam pada areal restorasi tersebut.
4. Penentuan Jenis Tanaman
Penentuan jenis tanaman pada prinsipnya diharapkan sama dengan jenis pohon yang
terdapat pada ekosistem hutan alam yang ada di dekat areal restorasi. Dalam pelaksanaan
restorasi memprioritaskan jenis-jenis kunci seperti pohon sarang dan pakan satwa untuk
pembentukan ekosistem. Penanaman dilakukan secara multikultur (penanaman campuran
dengan beberapa jenis). Jumlah jenis tanaman disarankan paling sedikit 50 % dari ekosistem
hutan alam yang ada di dekat areal restorasi; dengan komposisi jenis pionir (50%) dan
klimaks(50%)
Berikut ini adalah pola restorasi dengan penanaman :
a. Pembangunan Persemaian
Persemaian yang dilaksanakan dalam restorasi adalah berupa persemaian
sementara. Lokasi persemaian dipilih dari lokasi yang menpunyai syarat sebagai
berikut:
1) Lokasi terkena pasang surut /dekat dengan sumber air
2) Tersedia tenaga kerja.
3) Lokasi terletak dekat dengan areal penanaman.
4) Terhindar dari gangguan satwa.
5) Terletak pada areal yang terbuka.
6) Luas areal disesuaikan dengan jumlah bibit yang diperlukan.
Kegiatan pembangunan antara lain:
1) Persiapan lahan untuk persemaian
2) Pembuatan bedeng tabur dan bedang sapih
3) Pembuatan naungan
4) Pembuatan jaringan penyiraman

Foto 15. Contoh gambar Kondisi persemaian pada waktu pasang. Dilihat dari luar persemaian
(kiri); dan di dalam persemaian (kanan).
b. Penanaman
Hal yang perlu diperhatikan pada waktu penanaman adalah sebagai berikut:
1) Menyeleksi bibit yang sehat.
2) Bibit yang akan ditanam sudah berdaun 4 untuk jenis propagul dan sudah memiliki
tinggi +50 cm untuk bibit dari biji.
3) Pengangkutan bibit ke lokasi restorasi harus dilakukan secara hati-hati
4) dan menggunakan alat yang cocok agar bibit tidak rusak.
5) Waktu penanaman dilakukan pada awal musim hujan cukup stabil.

c. Pemeliharaan
d. Monitoring
1) Melakukan monitoring setiap minggu terhadap pekerjaan Pokja.
2) Secara berkala melakukan pertemuan dengan Pokja sekurang- kurangnya satu bulan
sekali.
3) Secara berkala melakukan pertemuan dengan pengelola sekurang-kurangnya satu bulan
sekali.
4) Laporan teknis (hasil monitoring, hasi pertemuan dengan Pokja, dan hasil pertemuan
dengan pengelola) bersama laporan keuangan dibuat dan disampaikan setiap bulan
kepada pengelola.
5) Membuat dan menyampaikan laporan kegiatan akhir tahun kepada pengelola setiap
tahun.
FASE 2 : Pengumpulan dan Analisis Data
1. Penentuan Prioritas intervensi restorasi oleh pemangku kepentingan
1. Pengumpulan data yang relevan
2. Survey pemangku kepentingan
Harapan Stakeholders dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir
Pemanfaatan kawasan pesisir Pantai ratu memiliki karakteristik yang khas dan tidak
bisa digeneralisir. Pesisir pantai dengan pemanfaatan dari kegiatan pariwisata lebih
menonjol dari kegiatan perikanan mempunyai landing place dan tambatan perahu.
Pengembangan pantai tipe ini sudah sesuai dengan kebijakan Pemerintah Daerah yang
memasukkan dalam kelompok KSPI. Permasalahan di kawasan pesisir terjadi ketika
pemanfaatan kegiatan pariwisata dan perikanan sama-sama tinggi.
Tabel : Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Kawasan
Kategori
Pemangku Pemangku
Peranan/Role Posisi/ Position
No kepentingan/ Kepentingan/
Stakeholders Stakeholders
Category
Dinas Kelautan Otoritas daerah yang melindungi Kunci/Key Koordinator
dan Perikanan/ keutuhan wilayahnya, mengelola , implementator
Agency of kelautan, sumberdaya ikan, dan fasilitator
Marine and wilayah pesisir, untuk
1. Fisheries peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat dan
pemberdayaan kelompok
nelayandalam penangkapan
ikan/Regional
Dinas Otoritas daerah yang melakukan Kunci/Key Koordinator
Pariwisata/ pembinaan, pengelolaan, dan , implementator
Agency of pengembangan objek dan daya fasilitator
tourism tarik wisata, sarana pendukung
wisata, pembinaan, pelestarian,
2.
dan pengembangan nilai- nilai
budaya di wilayahnya, dan
pemberdayaan pokdarwis dalam
pengembangan
pariwisata/Regional/Regional
Kelompok Lembaga masyarakat
Sadar W i s a t sebagaisalah satu “unsur
Utama/Main
a / To u r i s m penggerak”dalam mendukung Fasilitator/
3. (Primer/
Conscious terciptanya lingkungan dan facilitator
Primary)
Group suasana yang kondusif, serta
memiliki kepedulian dalam
mengembangkan kepariwisataan
di daerahnya/
Pemerintah Otoritas yang berwenang Pendukung/ Fasilitator/
Desa/ Village mengatur, melayani, dan Support facilitator
Government mengelola hak dan kewajiban (Sekunder/
4. warga masyarakat di wilayah Secondary)
administrasinya untuk
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa pesisir/
Tokoh Kelompok aktifitas masyarakat Pendukung/ Fasilitator/
Masyarakat/ yang mengontrol ketaatan Support facilitator
5.
Community aturan dan kearifan lokal di (Sekunder/
Elders lingkungan setempat/ Secondary)

3. Peta yang sudah tersedia


4. Literatur Ilmiah
5. Menugaskan pembuatan peta secara khusus

2. Pemetaan Geospasial Kesempatan Restorasi


1. Mengidentifikasi kawasan utama yang berpotensi restorasi di dalam kawasan wisata
pantai ratu
a. Kawasan mangrove
b. Kawasan pesisir pantai ratu
c. Kawasan bukit firdaus

2. Menempatkan kawasan tersebut ke dalam kategori (misalnya, berdasarkan tipe upaya


restorasi seperti skala luas, mosaik, perlindungan) atau berdasarkan prioritas (tinggi,
sedang, rendah).
Katagori tipe upaya restorasi:
a. Kawasan mangrove (Skala perlindungan)
b. Kawasan pesisir pantai ratu (Skala Mozaik)
c. Kawasan bukit firdaus (skala luas)
Katagori berdasarkan prioritas:
a. Kawasan manggrove (Tinggi)
b. Kawasan pesisir pantai ratu (sedang)
c. Kawasan bukit firdaus (tinggi)
3. Melakukan penilaian intervensi restorasi mana yang paling tepat untuk kawasan
tersebut (seperti misalnya, agroforestri di daerah dengan kelerengan curam,
regenerasi alami lahan berhutan).
a. Kawasan manggrove: Restorasi dengan cara regenerasi alami
b. Kawasan pesisir pantai ratu : peningkatan pengelolaan
c. Kawasan bukit firdaus : agroforestri lahan miring
3.Valuasi ekonomi (biaya-manfaat) restorasi
Konsep yang mendasari
Penyusunan valuasi ekonomi sumber daya alam dan lingkungan ini bertujuan untuk
dapat memberikan data dan informasi dari aspek ekonomi dalam pengambilan keputusan
terhadap opportunity cost dari upaya pemanfaatan suatu kawasan secara benar dalam prespektif
nilai ekonomi lingkungan. Nilai ekonomi (economic value) dari suatu barang atau jasa diukur
dengan menjumlahkan kehendak untuk membayar (willingness to pay) dari banyak individu
terhadap barang atau jasa yang dimaksud. Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk
memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari
sudut pandang masyarakat.
Kabupaten Gorontalo merupakan salah satu kabupaten diprovinsi Gorontalo yang telah
lama terbentuk, yang menyebabkan kegiatan pembangunan berkembang pesat yang dimana hal
tersebut dapat memberikan pengaruh nyata terhadap kondisi sumber daya alam dan
lingkungan. Dampak tersebut memberikan pengaruh yang signifikan pada aspek ekonomi,
sehingga adanya valuasi ekonomi sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi sebuah
bentuk kegiatan yang penting untuk dilakukan.
Pantai Ratu memiliki daya tarik yang belum dikembangkan secara maksimal. Daya
tarik tersebut antara lain adalah faktor alam seperti udara yang masih rendah polusi, pantai
dengan pasir putih, terdapatnya penginapan, wisata kuliner, dan lain-lain. Kegiatan penilaian
(valuasi) yang dilakukan di Pantai Ratu bisa memberikan manfaat dalam kaitannya dengan
pembangunan infrastruktur di wilayah jalur selatan, di antaranya jalan jalur lintas Selatan yang
di dalamnya termasuk wilayah sekitar Pantai Ratu. Hal ini sepatutnya diberikan perhatian yang
lebih karena proyek pembangunan jalan jalur lintas Selatan yang tengah berjalan ini
kemungkinan akan memberikan nilai tambah bagi pengembangan Pantai Ratu, karena
pembangunan infrastruktur ini sedikit banyak ke depannya akan meningkatkan wisatawan yang
berkunjung ke Pantai Ratu, yang kemudian nilai tambah tersebut dapat tergambar dalam
surplus komsumen.
Sebagai salah satu objek wisata, Pantai Ratu memberikan manfaat dalam bidang
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, antara lain peningkatan cadangan devisa negara dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di samping manfaat dalam bidang ekonomi, terdapat
permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan Pantai Ratu, antara lain permasalahan akses
jalan, dan pembabatan pohon yang ada di gunung sekitar pantai Ratu yang akan berpengaruh
pada lingkungan dan keidahan dari Pantai Ratu. Oleh karena itu, perlu dilakukan optimalisasi
pengelolaan aset Pantai Ratu , yang salah satunya dari optimalisasi aset yang belum diketahui,
yaitu estimasi nilai ekonomi Pantai Ratu. Mengingat perannya yang penting maka eksistensi
wisata Pantai Ratu harus ditingkatkan dan dikembangkan agar mendatangkan keuntungan
ekonomi yang besar di masa depan.
Pantai Ratu termasuk tempat umum yang tentunya merupakan fasilitas publik, akan
menjadi penting untuk dilaksanakannya valuasi ekonomi. Keindahan landskap wilayah pantai
Ratu yang dimanfaatkan sebagai objek wisata merupakan salah satu jenis jasa lingkungan yang
dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar. Nilai ekonomi diperoleh melalui
skema pembayaran jasa lingkungan oleh siapa saja yang mendapatkan manfaat dari jasa
lingkungan tersebut. Menurut Pagiola (2005), dasar teori ekonomi dari pembayaran jasa
lingkungan secara konseptual sebenarnya sederhana yaitu beneficiary pays atau penerima
manfaat yang membayar. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Indonesia telah diatur
dalam UU No. 32 tahun 2009 mengenai Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
Pada dasarnya pembayaran jasa lingkungan merupakan skema yang bertujuan merestorasi dan
melindungi ketersediaan barang dan jasa lingkungan yang berkelanjutan serta biaya yang lebih
efisien dalam jangka waktu yang lama.
Nilai ekonomi sumber daya alam yang menawarkan keindahan alam atau lanskap, pada
umumnya bersifat non-market atau tidak dapat diperdagangkan (Jala, 2015; Godari dan
Ghiyasi, 2014; Jaafar dan Maideen, 2012). Untuk mengestimasi nilai ekonomi dari jasa
lingkungan tersebut harus menggunakan teknik penilaian (valuation) tertentu.
Melakukan estimasi biaya dan manfaat
1) Manfaat Langsung (Direct Use Value)
Manfaat langsung dari ekosistem pantai Ratu di Desa Tenilo meliputi pemanfaatan
hutan terestrial oleh masyarakat setempat sebagai lahan pertanian dan perkebunan,
pemanfaatan ikan dan kepiting, serta kegiatan ekowisata, seperti yang disajikan pada tabel 1
berikut ini:
Tabel 1. Nilai ekonomi manfaat langsung
Uraian Harga Volume Nilai per Ha
pasar produksi (Rp)
Rp/satuan per tahun
Jagung 8.000/kg 97.900 kg 783.200.000
Ubi kayu 5.750/kg 65.000 Kg 373.750.000
Ikan 10.000/kg 1200 Kg 12.000.000
Kepiting 20.000/kg 900 kg 18.000.000
Ekowisata 3.485.000
Jumlah 854.420.000
Berdasarkan hasil perhitungan nilai manfaat langsung dari pantai ratu yang
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian, pemanfaatan ikan, dan ekowisata
diperoleh nilai manfaat sebesar Rp. 854.420.000.
2) Manfaat tidak langsung (Indirect Use Value)
Manfaat tidak langsung terdiri dari manfaat fisik dan manfaat biologi. Manfaat tidak langsung
berupa fisik adalah sebagai pemecah gelombang (breakwater). Adapun perhitungan
berdasarkan pengganti dari pembangunan sabuk pantai (green belt) diacu dari estimasi yang
dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup, yaitu bahwa pembuatan pemecah ombak ukuran
panjang 150 m, lebar 20 m, dan tinggi 5 m dibutuhkan biaya sebesar Rp.2.921.147.000,00,
sehingga untuk pembangunan pemecah gelombang sepanjang garis pantai Di Desa Tenilo yaitu
2000 m dengan daya tahan 20 tahun maka diperoleh nilai sebesar Rp.7.789.725.333,00 per 20
tahun dan jika dirubah dalam satuan ha/tahun menjadi Rp.14.122.055,00/ha/tahun.
Nilai manfaat biologis sebagai tempat pembesaran ikan (nursery ground) melalui
pendekatan produktivitas (productivity approach). Total produksi perikanan laut oleh nelayan
di Desa Tenilo pada tahun 2019 sebesar 1.400 kg dengan nilai produksi sebesar Rp. 17.000.000,
sehingga nilai manfaat biologinya sebesar Rp. 2. 394.366/ha/tahun.
Total nilai manfaat tidak langsung sumberdaya yang ada di pantai Ratu adalah Rp.
16.516.421
3) Manfaat Pilihan (Option Value)
Nilai manfaat pilihan didapatkan dengan mengalikan nilai biodiversity dengan nilai
kurs Rupiah terhadap Dollar pada saat penelitian sebesar Rp 13.123,00. Berdasarkan
perhitungan, maka diperoleh hasil bahwa nilai manfaat pilihan di pantai Ratu adalah sebesar
Rp 3. 734.734,00 /ha/tahun. Luas pantai Ratu 27,58, sehingga nilai manfaat pilihan (option
value) secara keseluruhan. Total manfaat pilihan di pantai Ratu sebesar Rp 3. 734.734,00
/tahun.
4) Manfaat Keberadaan (Existence Value)
Valuasi ekonomi nilai manfaat keberadaan ekosistem mangrove dilihat berdasarkan
kesediaan membayar seseorang (willingness to pay) sebagai bukti kepedulian seseorang untuk
menjaga kualitas lingkungan ekosistem pantai Ratu. Berdasarkan hasil penelitian nilai manfaat
keberadaan dari ekosistem Pantai Ratu di Desa Tenilo dari 146 responden sebesar
Rp.36.647,00/ha/tahun. nilai WTP maksimal Rp.60.000.000,00/tahun, minimal
Rp.24.000,00/tahun dan nilai modus atau yang sering muncul dan sering dibayarkan sebesar
Rp.120.000,00/tahun.
5) Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value)
Pendugaan Total Nilai Ekonomi (TEV) Sumberdaya Mangrove Nilai ini didasarkan
pada hasil identifikasi seluruh jenis manfaat dari sumberdaya Pantai Ratu di Desa Tenilo,
kemudian dilakukan perhitungan terhadap seluruh nilai manfaat tersebut. Rekapitulasi hasil
estimasi seluruh manfaat sumberdaya di Pantai Ratu Desa Tenilo disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Ekonomi Total (NET)
Tipologi Nilai NET
(Rp/Ha/Tahun)
Manfaat 854.420.000.
Langsung
Manfaat Tidak 16.516.421
Langsung
Manfaat 3. 734.734
Pilihan
Manfaat 120.000
Keberadaan
NET 21.225.575

Berdasarkan NET di atas mengindikasikan bahwa ekosistem pantai di lokasi kajian


memiliki nilai sosial ekonomi lebih besar kemudian dikuti oleh nilai manfaat ekologis, hal
serupa juga ditemukan pada penelitian Osmaleli (2013), sedangkan penelitian Ariftia dkk
(2014) dan Indrayanti dkk (2015) memperoleh hasil yang sebaliknya yaitu nilai ekonomi dari
fungsi ekologis lebih besar dibandingkan dengan fungsi sosial ekonominya.
Nilai ekonomi total tersebut mengindikasikan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan
memerlukan penghargaan yang lebih tinggi dan memang menjadi dasar informasi secara
kuantitatif untuk menentukan berbagai pilihan kebijakan, baik kebijakan fiskal maupun
moneter, penyesuaian struktural dan upaya stabilisasi, karena mempunyai dampak terhadap
sektor yang bergantung pada sumberdaya alam.
Adanya perbedaan nilai ekonomi yang terjadi,antara lain disebabkan karena perubahan
nilai tukar rupiah terhadap US$. Berdasarkan nilai manfaat yang diperoleh pada kajian ini dapat
saja berubah pada masa yang akan datang, karena adanya perubahan jenis pemanfaatan,
terutama nilai manfaat langsung yang perhitungannya atas dasar pemanfaatan ekstraktif
sumberdaya hayati yang berlangsung di lokasi penelitian sampai saat ini.
4. Pemodelan Karbon Serta Biaya Manfaatnya
Metode estimasi
Model estimasi karbon mangrove dilakukan dengan menjumlahkan estimasi karbon
biomassa vegetasi (terdiri dari : karbon biomassa pohon, karbon biomassa akar dan karbon
biomassa vegetasi bawah) dan karbon tanah mangrove. Model total dibangun dengan
menjumlahkan model karbon biomassa vegetasi dan model tanah. Hasil dari pemodelan
tersebut ada beberapa skenario model (Muhsoni, Sambah, Mahmudi, Gede, et al., 2018 dalam
Muhsoni, 2018):
1. Model 1 dengan penggabungan antara estimasi karbon biomassa menggunakan indeks
vegetasi NNIP regresi power/geometri dengan estimasi karbon tanah menggunakan regresi
berganda 6 variabel (indeks vegetasi NDRE atau WVVI, kedalaman sedimen (cm),
kerapatan lindak tanah (g cm-3), % C kedalaman 0-15 cm, % C kedalaman 15-50 cm dan
%C kedalaman > 50 cm). Hasil uji % RMSE sebesar 16,12%.
Karbon Mangrove = (280,445188 * ((𝑏𝑎𝑛𝑑8(𝑏𝑎𝑛𝑑8+𝑏𝑎𝑛𝑑4+𝑏𝑎𝑛𝑑3)) ^13,638683)) + (-
3,42587 - 3,44731 * (𝑏𝑎𝑛𝑑8−𝑏𝑎𝑛𝑑5𝑏𝑎𝑛𝑑8+𝑏𝑎𝑛𝑑5) + 0,017952*(kedalaman
sedimen) + 2,817974*(Kerapatan lindak) + 25,45099*(%C kedalaman 0-15cm)
+ 17,43371*(%C kedalaman 15-50 cm) + 50,02014*(%C kedalaman >50cm))
atau
Karbon Mangrove = (280,445188 * ((𝑏𝑎𝑛𝑑8(𝑏𝑎𝑛𝑑8+𝑏𝑎𝑛𝑑4+𝑏𝑎𝑛𝑑3)) ^13,638683)) + (-
3,42587 - 3,44731* (𝑏𝑎𝑛𝑑8𝐴−𝑏𝑎𝑛𝑑5𝑏𝑎𝑛𝑑8𝐴+𝑏𝑎𝑛𝑑5) + 0,017952
*(kedalaman sedimen) + 2,817974*(kerapatan lindak) +25,45099*(%C
kedalaman 0-15cm) + 17,43371*(%C kedalaman 15-50 cm) + 50,02014*(%C
kedalaman >50 cm))
2. Model 2 penggabungan estimasi biomassa menggunakan indeks vegetasi NNIP regresi
power/geometri dengan estimasi karbon tanah menggunakan regresi berganda 3 variabel
(indeks vegetasi VIRRE, kedalaman sedimen, kerapatan lindak tanah). Hasil uji RMSE
sebesar 0,5639 ton/100 m2 dan % RMSE 19,03%.
Karbon Mangrove = (280,445188 * ((𝑏𝑎𝑛𝑑8(𝑏𝑎𝑛𝑑8+𝑏𝑎𝑛𝑑4+𝑏𝑎𝑛𝑑3)) ^13,638683)) +
(3,083467 -1,7259*(𝑏𝑎𝑛𝑑8𝑏𝑎𝑛𝑑5) + 0,016404*(kedalaman sedimen) +
1,528649*(kerapatan lindak))
3. Model 3 penggabungan estimasi biomassa menggunakan indeks vegetasi NNIP regresi
power/geometri dengan estimasi tanah menggunakan 2 variabel (indeks vegetasi yang sesuai
NDRE dan kedalaman sedimen). Hasil uji RMSE sebesar 0,7295 ton/100 m2 dan % RMSE
24,63%.
Karbon Mangrove = (280,445188 * ((𝑏𝑎𝑛𝑑8 (𝑏𝑎𝑛𝑑8+𝑏𝑎𝑛𝑑4+𝑏𝑎𝑛𝑑3)) ^13,638683)) +
(3,346314 - 7,78604 *(𝑏𝑎𝑛𝑑8−𝑏𝑎𝑛𝑑5𝑏𝑎𝑛𝑑8+𝑏𝑎𝑛𝑑5) + 0,020421 *(kedalaman
sedimen))
4. Model 4 penggabungan estimasi karbon biomassa menggunakan persamaan indeks vegetasi
NNIP regresi power/geometri dengan regresi berganda 3 variabel (indeks vegetasi VIRRE,
nilai rata-rata kedalaman sedimen 100,63 cm, nilai rata-rata kerapatan lindak tanah 1,02 g
cm-3) untuk estimasi karbon tanah. Hasil uji RMSE untuk model ini 1,0043 ton/100 m2 dan
% RMSE sebesar 33,89%.
Karbon Mangrove = (280,445188 * ((𝑏𝑎𝑛𝑑8 (𝑏𝑎𝑛𝑑8+𝑏𝑎𝑛𝑑4+𝑏𝑎𝑛𝑑3)) ^13,638683)) +
(3,083467 -1,7259 *(𝑏𝑎𝑛𝑑8𝑏𝑎𝑛𝑑5) + 0,016404 *(rata-rata kedalaman sedimen)
+ 1,528649 *(rata-rata kerapatan lindak))
Estimasi Karbon Mangrove
Model yang paling sesuai dari empat model adalah model keempat. Model keempat tidak
memerlukan data lapang. Model 1 membutuhkan data kedalaman sedimen, kerapatan lindak
dan % C tanah kedalaman 0-15 cm, % C tanah kedalaman 15-50 cm dan % C tanah kedalaman
>50 cm. Model 2 memerlukan data kedalaman sedimen dan kerapatan lindak, sedangkan model
3 membutuhkan data kedalam sedimen. Pada lokasi penelitian di pesisir selatan Sampang pada
penelitian ini karena tidak terdapat data kedalaman sedimen, kerapatan lindak dan % C tanah
maka yang paling sesuai adalah model 4.
Hasil estimasi karbon mangrove di lokasi ini menggunakan metode hybrid dengan
metode 4 mendapatkan karbon biomassa mangrove (pohon, akar dan vegetasi bawah) sebesar
31.944,3 ton (mencapai 9,1%), dengan rata-rata 27,4 ton/ha (gambar 1). Karbon tanah
mangrove sebesar 318.074,6 ton (mencapai 90,9%), dengan rata-rata 272,9 ton/ha (gambar 2).
Total karbon mangrove di pesisir Kabupaten Sampang sebesar 350.018,9 ton dengan rata-rata
300,3 ton/ha (gambar 3). Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Donato et al., (2012) yang menjelaskan bahwa
prosen karbon tanah mangrove dengan kandungan organik tinggi memiliki kedalaman antara
0,5 - 3 m dan memiliki stok karbon sebesar 49–98%.
5. Diagnosis Faktor Kunci Pendukung Restorasi
Kondisi Yang Satus
Tema Faktor Keberhasilan Kunci
Memungkinkan Terkini
Upaya restorasi menghasilkan manfaat ekonomi
Manfaaat Upaya restorasi menghasilkan manfaat sosial
Upaya restorasi menghasilkan manfaat lingkungan
Manfaat restorasi dikomunikasikan secara publik
Memotivasi Kesadartahuan Kesempatan restorasi diidentifikasi
Peristiwa krisis Peristiwa krisis diketahui
Ada peraturan perundangan yang mewajibkan restorasi
Persyaratan legal Peraturan perundangan yang mewajibkan restorasi dipahami
dan ditegakkan secara luas
Kondisi tanah, air dan iklim sesuai untuk restorasi
Tidak ada tumbuhan dan satwa yang dapat menghambat
Kondisi Ekologis restorasi
Benih, bibit atau sumber populasi lokal siap tersedia
Permintaan yang bersaing (seperti misalnya pangan, bahan
bakar) terhadap hutan dan lahan terdegradasi menurun
Kondisi Pasar Tersedia rantai nilai untuk produk-produk hasil lahan
terestorasi
Kepemilikan lahan dan sumber daya alam terjamin
Memungki- Kebijakan yang memengaruhi restorasi telah selaras dan
sejalan
nkan Kondisi Kebijakan Terdapat larangan mengenai pembukaan hutan alam yang
tersisa
Larangan pembukaan hutan ditegakkan
Masyarakat lokal diberdayakan untuk membuat keputusan
mengenai restorasi
Kondisi Sosial Masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat dari upaya
restorasi
Peran dan tanggung jawab upaya restorasi didefinisikan dengan
Kondisi jelas
Kelembagaan Terdapat koordinasi kelembagaan yang efektif
Terdapat “juara pendukung restorasi” pada tingkat nasional/
Kepemimpinan lokal
Ada komitmen politik yang berkelanjutan
Ada pengetahuan restorasi yang relevan di bentang lahan
kandidat restorasi
Pengetahuan Pengetahuan restorasi ditransfer melaui rekan sejawat atau
Implementa penyuluhan
si Rancangan restorasi memiliki dasar teknis dan ketahanan
Rancangan Teknis terhadap iklim
Keuangan dan Insentif positif dan dana restorasi melebihi insentif negative
Insentif Insentif dan dana siap tersedia
Sistem pengawasan kinerja dan evaluasi yang efektif tersedia
Umpan Balik Pencapaian awal dikomunikasikan
Keterangan :
Hijau : Belum sepenuhnya tersedia; Kuning : Tersedia; Merah : tidak tersedia
6. Analisis Keuangan Pendanaan Restorasi
Acuan biaya dibuat 3 (tiga) tingkatan, dibedakan berdasarkan tingkat kesulitannya.
1. Aksesibilitas: Misalnya panjang jarak mempengaruhi kemampuan menyelesaikan
pekerjaan dalam satu hari.
2. Jumlah bulan basah dan bulan kering: Mempengaruhi biaya pemeliharaan
3. Tingkat gangguan baik oleh masyarakat, ternak, maupun alami sepertisatwa, hama,
penyakit, karena memerlukan sosialisasi, monitoring, dsb,

Fase 3 : Hasil Untuk Rekomendasi


1. Menyelenggarakan lokakarya validasi
2. Menguji kesesuaian yang dirasakan antara opsi-opsi kelembagaan dan kebijakan strategis
dengan pemerintahan di daerah
3. Mengidentifikasi opsi keuangan untuk melaksanakan kesempatan restorasi
4. Menentukan model-model bisnis untuk pendanaan
5. Mencari sektor swasta, sektor publik, investasi dan komunitas donor/penyumbang
6. Dari rekomendasi meuju pelaksanaan.

KESIMPULAN
MEKAR adalah kerangka yang sangat komprehensif dan responsif untuk Restorasi
Landsekap Hutan. Input2 utama dari ROAM adalah keterlibatan parapihak dan merasa
memiliki dalam tahapan2 MEKAR : Persiapan dan perencanaan, pengumpulan data dan
analisis dan validasi hasil. Sedangkan Output Kunci dari ROAM adalah Implementasi FLR dan
penerapan dalam kebijakan dan perundangan/legislasi Pendanaan terbuka (Unlocking finance).
Hasil Rekomendasi antara lain (a) menyelenggarakan lokakarya validasi, (b) menguji
kesesuaian yang dirasakan antara opsi-opsi kelembagaan dan kebijakan strategis dengan
pemerintahan di daerah, (c) mengidentifikasi opsi keuangan untuk melaksanakan
kesempatan restorasi, (d) Menentukan model-model bisnis untuk pendanaan, (e) Mencari
sektor swasta, sektor publik, investasi dan komunitas donor/penyumbang dan (f) dari
rekomendasi meuju pelaksanaan.

Referensi:
Ariftia, R. I., Qurniati, R., dan Hernawati, Kecamatan Labuhan Maringgai
S. (2014). Nilai Ekonomi Total Kabupaten Lampung Timur. Jurnal
Hutan Mangrove Desa Margasari Sylva Lestari, 2 (3), 19-28.
Anwar, C. dan Gunawan, H. 2006. Peranan Memanfaatkan Citra Sentinel-2
Ekologis dan Sosial Ekonomis Dengan Menggunakan Metode
Hutan Mangrove dalam Hybrid Di Pesisir Selatan kabupaten
Mendukung Pembangunan Wilayah Sampang. Program Manajemen
Pesisir. Prosiding Ekspose Hasil- Sumberdaya Perairan, Universitas
hasil Penelitian: Konservasi dan Trunojoyo Madura. Bangkalan
Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Madura. Prosiding Seminar
Hal: 23-34. Nasional Kelautan dan Perikanan
Eddy, Syaiful, dkk. 2019. Restorasi hutan IV.
mangrove terdegradasi berbasis Mukherjee, N., Sutherland, W.J., Khan,
masyarakat local. Program Studi M.N.I., Berger, U., Schmitz, N.,
Biologi, FMIPA. Universitas Guebas, F.D. dan Koedam, N. 2014.
Sriwijaya. Jurnal Indobiosains. Vol Using Expert Knowledge and
1. No 1. Modeling to Define Mangrove
Godari, A., & Ghiyasi, S. (2014). Economic Composition, Functioning, and
Evaluation of Delfard Region by Threats and Estimate Time Frame
Travel Cost Method. J. Appl. for Recovery. Ecology and
Environ. Biol. Sci., 4 (3), 273-277. Evolution, 4(11): 2247-2262.
Indriyanti, M.D., Fahrudin, A., dan Osmaleli. (2013). Analisis Ekonomi dan
Setiobudiandi, I. 2015. Penilaian Kebijakan Pengelolaan Ekosistem
Jasa Ekosistem Mangrove di Teluk Mangrove Berkelanjutan di Desa
Blanakan, Kabupaten Subang. Pabean Udik, Kabupaten
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Indramayu. Tesis. Bogor: IPB.
(JIPI). 20 (2), 91-96. Pagiola, S. (2005). Assessing the efficiency
IUCN dan WRI, 2014. Pedoman Metode of payments for environmental
Evaluasi Kesempatan Restorasi services programs: A framework for
(MEKAR): Mengkaji kesempatan analysis. Washington: World Bank.
restorasi hutan dan bentang lahan Ritohardoyo, S. dan Ardi, G.B. 2011.
pada tingkat nasional atau sub- Arahan Kebijakan Pengelolaan
nasional. Pedoman (Edisi Uji Hutan mangrove: Kasus Pesisir
Coba). Gland, Swiss: IUCN Kecamatan Teluk Pakedai,
Jaafar, M., & Maideen, S. A. (2012). Kabupaten Kubu Raya, Propinsi
Ecotourism Related Products and Kalimantan Barat. Jurnal Geografi,
Activities, and the Economic 8(2): 83-94.
Sustainability of Small and Medium Strauch, A.M., Cohen, S. dan Ellmore, G.S.
Island Chalets. Tourism 2012. Environmental Influences on
Management, 33, 683-691. the Distribution of Mangroves on
Jala & Nandagiri, L. (2015). Evaluation of Bahamas Island. Journal of
Economic Value of Pilikula Lake Wetlands Ecology, 6:16-24.
Using Travel Cost and Contingent Zamroni, Y. dan Rohyani, I.S. 2008.
Valuation Methods. Aquatic Litterfall Production of Mangrove
Procedia, 4, 1315-1321. Forest in the Beach Waters of Sepi
Muhsoni, Farid, Firman. 2018. Estimasi Bay, West Lombok, Biodiversitas,
Karbon Mangrove Dengan 9(4): 284-287.

Anda mungkin juga menyukai