Ledy Mutmainnnah, Melisa Ahmad, Arlinda Widyasari, Dian Alfiani, Regina Eka Cahyani Sabriyanto Hamidun,
Nining dan Yuli Astuti
Program Studi Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Gorontalo
Jl. Prof. Dr. Ing. B. J. Habibie, Tilongkabila
Email: mutmainnahledy@gmail.com
ABSTRAK
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 27% dari luas mangrove di dunia dan 75%
dari luas mangrove di Asia Tenggara. Namun demikian sebagian besar ekosistem mangrove
telah mengalami degradasi antara lain akibat penebangan liar dan pembuatan tambak. Tak
terkecuali di tempat terpencil seperti di wilayah Banggai Kepulauan. Penelitian ini bertujuan
untuk meemperoleh rekomendasu untuk mengembalikan fungsionalitas ekologi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui metode evaluasi kesempatan restorasi
(MEKAR) di Pantai Ratu, Tenilo Gorontalo. Hasil Penelitian menunjukkan rekomendasi
untuk dapat terlaksananya restorasi antara lain melakukan (a) menyelenggarakan lokakarya
validasi, (b) menguji kesesuaian yang dirasakan antara opsi-opsi kelembagaan dan kebijakan
strategis dengan pemerintahan di daerah, (c) mengidentifikasi opsi keuangan untuk
melaksanakan kesempatan restorasi, (d) Menentukan model-model bisnis untuk pendanaan,
(e) Mencari sektor swasta, sektor publik, investasi dan komunitas donor/penyumbang dan (f)
dari rekomendasi meuju pelaksanaan.
Kata Kunci : MEKAR, Restorasi, Degradasi
PENDAHULUAN
Luas penyebaran mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan, berdasarkan data
Ditjen BPDASPS, dari 9.3 juta ha pada tahun 1999 menjadi 3.7 juta ha pada tahun 2010. Dari
data tersebut, degradasi ekosistem mangrove rata-rata sebesar 0.5 juta ha per tahun. Ekosistem
mangrove yang rusak tersebut perlu segera dipulihkan agar dapat berfungsi kembali
sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu perlu adanya suatu pedoman agar kegiatan pemulihan
fungsi kawasan tersebut dapat berjalan secara efisien dan efektif. Hutan mangrove merupakan
vegetasi yang tersusun atas pohon dan semak yang toleran terhadap garam yang hidup di zona
pasang surut di wilayah pesisir tropis dan subtropis (Strauch et al., 2012).
Menurut Anwar (2006), ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis,
tetapi labil. Bersifat kompleks dikarenakan ekosistemnya dipenuhi oleh vegetasi dan sekaligus
habitat bagi beraneka ragam satwa dan biota perairan.Sifat dinamis ditunjukkan dengan
kemampuannya untuk dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi mengikuti
perubahan habitat alaminya.Kondisinya yang mudah rusak akibat gangguan dan sulit untuk
dipulihkan kembali menunjukkan sifat labil dari ekosistem ini.
Selain itu menurut Ritohardoyo (2011), hutan mangrove sebagai ekosistem utama
pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir memiliki fungsi antara lain sebagai
pelindung kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dari gempuran ombak, abrasi pantai dan
intrusi air laut; mempertahankan keberadaan spesies hewan laut dan vegetasi; berfungsi sebagai
pengendali sedimentasi; penyedia bahan baku untuk manusia dalam berproduksi, seperti kayu,
arang, bahan pangan, bahan kosmetik, bahan pewarna, penyamak kulit dan sumber pakan
ternak.
Hutan mangrove memiliki fungsi strategis sebagai penyambung dan penyeimbang
ekosistem darat dan laut, dimana tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat
atau laut melalui mangrove (Zamroni, 2008).
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir
yang memiliki fungsi ekologisyang penting. Walaupun hutan mangrove memiliki banyak
fungsi penting di wilayah pesisir namun sering kali pemanfaatan yang berlebihan dan tidak
berorientasi pada keberlanjutan telah menyebabkan degradasi terhadap ekosistem hutan
mangrove. Penyebab utama degradasi hutan mangrove di dunia adalah akibat pengaruh
antropogenik berupa aktivitas pertanian, perkebunan, tambak ikan dan udang, pembangunan
pemukiman, penebangan kayu (legal logging dan illegal logging), pencemaran, pertambangan
dan tambak garam.Oleh karena itu peran serta masyarakat lokal sangat diperlukan dalam upaya
mengontrol laju penggunaan hutan mangrove. Disamping itu, masyarakat lokal yang hidup di
wilayah pesisir merupakan ujung tombak dalam merestorasi kawasan hutan mangrove karena
mereka membutuhkan keberadaan hutan mangrove yang lestari serta memiliki kearifan lokal
yang telah teruji. Fungsi ekologis dan ekonomis ekosistem hutan mangrove dapat dipelihara
melalui peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian, sehingga tercapai
optimalisasi dan keberlanjutan pengelolaan kawasan tersebut. Peran masyarakat tersebut harus
pula didukung oleh peran pemerintah, LSM dan peneliti/akademisi (Eddy, 2019).
Selain itu, menurut Mukherjee et al, (2014), Restorasi terhadap hutan mangrove yang
telah terdegradasi tidak mudah dilakukan, karena disamping membutuhkan biaya yang besar
dan tenaga, juga dibutuhkan waktu yang lama. membagi restorasi hutan mangrove berdasarkan
waktu, yaitu jangka panjang (>20 tahun) dan jangka pendek (<20 tahun). Hasil yang diperoleh
dari penelitian ini bahwa degradasi akibat kegiatan pembangunan oleh manusia, baik di negara
maju (Highly Developed Countries) maupun negara berkembang (Less Developed Countries),
merupakan kerusakan utama yang membutuhkan waktu restorasi >20 tahun. Untuk itu,
sebelum terjadi kerusakan yang lebih besar terhadap kawasan hutan mangrove, maka perlu
dilakukan usaha restorasi. Masyarakat lokal yang hidup di wilayah pesisir merupakan ujung
tombak dalam melakukan restorasi hutan mangrove. Disamping mereka membutuhkan
keberadaan hutan mangrove yang lestari untuk memenuhi kebutuhan, mereka juga memiliki
kearifan lokal yang telah teruji sekian lama dalam menjaga keberlanjutan kawasan tersebut.
MEKAR dirancang untuk memberikan masukan analitis yang sesuai dengan kebijakan
sub-nasional dan proses operasional seperti pengembangan program kerja terkait dengan
strategi REDD+ nasional, program aksi adaptasi nasional, strategi keanekaragaman hayati dan
rencana aksi nasional, atau permintaan untuk bantuan pembangunan. Selain itu MEKAR sering
kali akan mampu mengisi informasi yang belum lengkap terkait prioritas kebijakan nasional
lainnya seperti pengembangan desa, keamanan pangan, atau pasokan energi. Sebagian besar
tipe kebijakan ini cenderung mengabaikan potensi lahan terdegradasi atau lahan dengan
pengelolaan yang kurang optimal.
Di antara berbagai manfaat yang dapat diberikan oleh RENTANG, penyerapan dan
penyimpanan karbon merupakan dua manfaat yang semakin penting. Pemulihan lahan yang
terdegradasi dan terdeforestasi telah diketahui dapat secara signifikan meningkatkan jumlah
karbon di tanah dan vegetasi yang direhabilitasi. Kenyataan bahwa hasil serapan karbon ini
mendatangkan manfaat ekonomi dan mata pencaharian nyata untuk masyarakat menjadikan
RENTANG sebagai pilihan yang menarik bagi masyarakat lokal serta menjadi cara yang
efektif untuk menyerap karbon dan membantu memperlambat perubahan iklim. Dengan
membantu meredakan tekanan terhadap hutan yang ada, RENTANG juga turut membantu
mencegah pelepasan karbon yang tersimpan di dalam ekosistem hutan.
METODE
Metode yang dipakai dalam artikel ini mengacu pada panduan MEKAR (Metode
Evaluasi Kesempatan Restorasi). Panduan yang digunakan mampu mengarahkan serta
memaksimalkan segala jenis upaya-upaya yang dibutuhkan dalam proses perencanaan restorasi
yang akan dilakukan pada suatu kawasan. MEKAR dilaksanakan dalam tiga fase, yaitu
Fase 1 : Persiapan dan perencanaan
Fase 2 : Pengumpulan dan analisis data
Fase 3 : Hasil dan Rekomendasi
Metode Evaluasi Kesempatan Restorasi (MEKAR) memproduksi masukan analitikan
yang relevan terhadap kebijakan penggunaan lahan secara nasional dan provinsial. Seringkali
mampu untuk mengisi informasi yang kurang yang terkait dengan prioritas-prioritas nasional
dan provinsi, seperti pengembangan pedesaan, ketahanan pangan dan suplay energi.
Mengembangkan sebuah aplikasi yang bertahap dan berulang dari sebuah serial analisis untuk
mengidentifikasi peluang-peluang (kesempatan2) restorasi yang terbaik.
Contoh Pola penanaman. Sebelum penanaman (kiri), dan setelah penanaman umur 2 tahun
(kanan)
3. Sistem Penanaman
Sistem penanaman di dalam kawasan konservasi bekas tambak diterapkan dengan sistem
jalur. Tujuannya adalah untuk mempermudah monitoring terhadap jumlah tanaman yang sudah
ditanam pada areal restorasi tersebut.
4. Penentuan Jenis Tanaman
Penentuan jenis tanaman pada prinsipnya diharapkan sama dengan jenis pohon yang
terdapat pada ekosistem hutan alam yang ada di dekat areal restorasi. Dalam pelaksanaan
restorasi memprioritaskan jenis-jenis kunci seperti pohon sarang dan pakan satwa untuk
pembentukan ekosistem. Penanaman dilakukan secara multikultur (penanaman campuran
dengan beberapa jenis). Jumlah jenis tanaman disarankan paling sedikit 50 % dari ekosistem
hutan alam yang ada di dekat areal restorasi; dengan komposisi jenis pionir (50%) dan
klimaks(50%)
Berikut ini adalah pola restorasi dengan penanaman :
a. Pembangunan Persemaian
Persemaian yang dilaksanakan dalam restorasi adalah berupa persemaian
sementara. Lokasi persemaian dipilih dari lokasi yang menpunyai syarat sebagai
berikut:
1) Lokasi terkena pasang surut /dekat dengan sumber air
2) Tersedia tenaga kerja.
3) Lokasi terletak dekat dengan areal penanaman.
4) Terhindar dari gangguan satwa.
5) Terletak pada areal yang terbuka.
6) Luas areal disesuaikan dengan jumlah bibit yang diperlukan.
Kegiatan pembangunan antara lain:
1) Persiapan lahan untuk persemaian
2) Pembuatan bedeng tabur dan bedang sapih
3) Pembuatan naungan
4) Pembuatan jaringan penyiraman
Foto 15. Contoh gambar Kondisi persemaian pada waktu pasang. Dilihat dari luar persemaian
(kiri); dan di dalam persemaian (kanan).
b. Penanaman
Hal yang perlu diperhatikan pada waktu penanaman adalah sebagai berikut:
1) Menyeleksi bibit yang sehat.
2) Bibit yang akan ditanam sudah berdaun 4 untuk jenis propagul dan sudah memiliki
tinggi +50 cm untuk bibit dari biji.
3) Pengangkutan bibit ke lokasi restorasi harus dilakukan secara hati-hati
4) dan menggunakan alat yang cocok agar bibit tidak rusak.
5) Waktu penanaman dilakukan pada awal musim hujan cukup stabil.
c. Pemeliharaan
d. Monitoring
1) Melakukan monitoring setiap minggu terhadap pekerjaan Pokja.
2) Secara berkala melakukan pertemuan dengan Pokja sekurang- kurangnya satu bulan
sekali.
3) Secara berkala melakukan pertemuan dengan pengelola sekurang-kurangnya satu bulan
sekali.
4) Laporan teknis (hasil monitoring, hasi pertemuan dengan Pokja, dan hasil pertemuan
dengan pengelola) bersama laporan keuangan dibuat dan disampaikan setiap bulan
kepada pengelola.
5) Membuat dan menyampaikan laporan kegiatan akhir tahun kepada pengelola setiap
tahun.
FASE 2 : Pengumpulan dan Analisis Data
1. Penentuan Prioritas intervensi restorasi oleh pemangku kepentingan
1. Pengumpulan data yang relevan
2. Survey pemangku kepentingan
Harapan Stakeholders dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir
Pemanfaatan kawasan pesisir Pantai ratu memiliki karakteristik yang khas dan tidak
bisa digeneralisir. Pesisir pantai dengan pemanfaatan dari kegiatan pariwisata lebih
menonjol dari kegiatan perikanan mempunyai landing place dan tambatan perahu.
Pengembangan pantai tipe ini sudah sesuai dengan kebijakan Pemerintah Daerah yang
memasukkan dalam kelompok KSPI. Permasalahan di kawasan pesisir terjadi ketika
pemanfaatan kegiatan pariwisata dan perikanan sama-sama tinggi.
Tabel : Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Kawasan
Kategori
Pemangku Pemangku
Peranan/Role Posisi/ Position
No kepentingan/ Kepentingan/
Stakeholders Stakeholders
Category
Dinas Kelautan Otoritas daerah yang melindungi Kunci/Key Koordinator
dan Perikanan/ keutuhan wilayahnya, mengelola , implementator
Agency of kelautan, sumberdaya ikan, dan fasilitator
Marine and wilayah pesisir, untuk
1. Fisheries peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat dan
pemberdayaan kelompok
nelayandalam penangkapan
ikan/Regional
Dinas Otoritas daerah yang melakukan Kunci/Key Koordinator
Pariwisata/ pembinaan, pengelolaan, dan , implementator
Agency of pengembangan objek dan daya fasilitator
tourism tarik wisata, sarana pendukung
wisata, pembinaan, pelestarian,
2.
dan pengembangan nilai- nilai
budaya di wilayahnya, dan
pemberdayaan pokdarwis dalam
pengembangan
pariwisata/Regional/Regional
Kelompok Lembaga masyarakat
Sadar W i s a t sebagaisalah satu “unsur
Utama/Main
a / To u r i s m penggerak”dalam mendukung Fasilitator/
3. (Primer/
Conscious terciptanya lingkungan dan facilitator
Primary)
Group suasana yang kondusif, serta
memiliki kepedulian dalam
mengembangkan kepariwisataan
di daerahnya/
Pemerintah Otoritas yang berwenang Pendukung/ Fasilitator/
Desa/ Village mengatur, melayani, dan Support facilitator
Government mengelola hak dan kewajiban (Sekunder/
4. warga masyarakat di wilayah Secondary)
administrasinya untuk
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa pesisir/
Tokoh Kelompok aktifitas masyarakat Pendukung/ Fasilitator/
Masyarakat/ yang mengontrol ketaatan Support facilitator
5.
Community aturan dan kearifan lokal di (Sekunder/
Elders lingkungan setempat/ Secondary)
KESIMPULAN
MEKAR adalah kerangka yang sangat komprehensif dan responsif untuk Restorasi
Landsekap Hutan. Input2 utama dari ROAM adalah keterlibatan parapihak dan merasa
memiliki dalam tahapan2 MEKAR : Persiapan dan perencanaan, pengumpulan data dan
analisis dan validasi hasil. Sedangkan Output Kunci dari ROAM adalah Implementasi FLR dan
penerapan dalam kebijakan dan perundangan/legislasi Pendanaan terbuka (Unlocking finance).
Hasil Rekomendasi antara lain (a) menyelenggarakan lokakarya validasi, (b) menguji
kesesuaian yang dirasakan antara opsi-opsi kelembagaan dan kebijakan strategis dengan
pemerintahan di daerah, (c) mengidentifikasi opsi keuangan untuk melaksanakan
kesempatan restorasi, (d) Menentukan model-model bisnis untuk pendanaan, (e) Mencari
sektor swasta, sektor publik, investasi dan komunitas donor/penyumbang dan (f) dari
rekomendasi meuju pelaksanaan.
Referensi:
Ariftia, R. I., Qurniati, R., dan Hernawati, Kecamatan Labuhan Maringgai
S. (2014). Nilai Ekonomi Total Kabupaten Lampung Timur. Jurnal
Hutan Mangrove Desa Margasari Sylva Lestari, 2 (3), 19-28.
Anwar, C. dan Gunawan, H. 2006. Peranan Memanfaatkan Citra Sentinel-2
Ekologis dan Sosial Ekonomis Dengan Menggunakan Metode
Hutan Mangrove dalam Hybrid Di Pesisir Selatan kabupaten
Mendukung Pembangunan Wilayah Sampang. Program Manajemen
Pesisir. Prosiding Ekspose Hasil- Sumberdaya Perairan, Universitas
hasil Penelitian: Konservasi dan Trunojoyo Madura. Bangkalan
Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Madura. Prosiding Seminar
Hal: 23-34. Nasional Kelautan dan Perikanan
Eddy, Syaiful, dkk. 2019. Restorasi hutan IV.
mangrove terdegradasi berbasis Mukherjee, N., Sutherland, W.J., Khan,
masyarakat local. Program Studi M.N.I., Berger, U., Schmitz, N.,
Biologi, FMIPA. Universitas Guebas, F.D. dan Koedam, N. 2014.
Sriwijaya. Jurnal Indobiosains. Vol Using Expert Knowledge and
1. No 1. Modeling to Define Mangrove
Godari, A., & Ghiyasi, S. (2014). Economic Composition, Functioning, and
Evaluation of Delfard Region by Threats and Estimate Time Frame
Travel Cost Method. J. Appl. for Recovery. Ecology and
Environ. Biol. Sci., 4 (3), 273-277. Evolution, 4(11): 2247-2262.
Indriyanti, M.D., Fahrudin, A., dan Osmaleli. (2013). Analisis Ekonomi dan
Setiobudiandi, I. 2015. Penilaian Kebijakan Pengelolaan Ekosistem
Jasa Ekosistem Mangrove di Teluk Mangrove Berkelanjutan di Desa
Blanakan, Kabupaten Subang. Pabean Udik, Kabupaten
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Indramayu. Tesis. Bogor: IPB.
(JIPI). 20 (2), 91-96. Pagiola, S. (2005). Assessing the efficiency
IUCN dan WRI, 2014. Pedoman Metode of payments for environmental
Evaluasi Kesempatan Restorasi services programs: A framework for
(MEKAR): Mengkaji kesempatan analysis. Washington: World Bank.
restorasi hutan dan bentang lahan Ritohardoyo, S. dan Ardi, G.B. 2011.
pada tingkat nasional atau sub- Arahan Kebijakan Pengelolaan
nasional. Pedoman (Edisi Uji Hutan mangrove: Kasus Pesisir
Coba). Gland, Swiss: IUCN Kecamatan Teluk Pakedai,
Jaafar, M., & Maideen, S. A. (2012). Kabupaten Kubu Raya, Propinsi
Ecotourism Related Products and Kalimantan Barat. Jurnal Geografi,
Activities, and the Economic 8(2): 83-94.
Sustainability of Small and Medium Strauch, A.M., Cohen, S. dan Ellmore, G.S.
Island Chalets. Tourism 2012. Environmental Influences on
Management, 33, 683-691. the Distribution of Mangroves on
Jala & Nandagiri, L. (2015). Evaluation of Bahamas Island. Journal of
Economic Value of Pilikula Lake Wetlands Ecology, 6:16-24.
Using Travel Cost and Contingent Zamroni, Y. dan Rohyani, I.S. 2008.
Valuation Methods. Aquatic Litterfall Production of Mangrove
Procedia, 4, 1315-1321. Forest in the Beach Waters of Sepi
Muhsoni, Farid, Firman. 2018. Estimasi Bay, West Lombok, Biodiversitas,
Karbon Mangrove Dengan 9(4): 284-287.