Anda di halaman 1dari 60

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan mangrove sering disebut sebagai hutan bakau atau hutan payau

(mangrove forest atau mangrove swamp forest) sebuah ekosistem yang terus

menerus mengalami tekanan pembangunan (Ghuffran, 2012). Sebagai suatu

ekosistem khas wilayah pesisir, ekosistem mangrove memiliki banyak fungsi dan

manfaat dalam menunjang keberlangsungan ekosistem lain yang terkait.

Ekosistem mangrove berperan penting dalam menstabilkan garis pantai dan

membantu mengurangi dampak bencana alam seperti tsunami dan angin topan

(Nurdin et al., 2015). mangrove juga berperan sebagai penyerap karbon dan dapat

menghasilkan bahan organik penyuplai makanan bagi organisme melalui

dekomposisi serasah (Giesen et al., 2007; Setiawan, 2013). Senyawa aktif pada

mangrove dapat digunakan sebagai bahan antibakteri (Sahoo et al., 2012;

Hendrawan et al., 2015). Selain itu mangrove juga berperan sebagai biofilter

pencemar air (Kardiana dan Irsadi, 2014).

Wilayah pesisir Kota Balikpapan merupakan salah satu wilayah yang

memiliki ekosistem mangrove. Kawasan hutan mangrove Kota Balikpapan

tersebar di sepanjang Teluk Balikpapan hingga kawasan pesisir timur Balikpapan.

Berdasarkan Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan 2005-2015, kawasan

mangrove merupakan kawasan non budidaya yang menjadi kawasan suaka alam

hayati dan cagar alam. Kawasan hutan mangrove di Kota Balikpapan saat ini

mencapai 3.031,95 Ha. Hutan mangrove di sepanjang pesisir Balikpapan yang

kondisinya masih baik kurang lebih 2,160 Ha (SLHD Kota Balikpapan, 2015).
2

Kawasan pesisir Teluk Balikapapan dapat ditemukan beberapa jenis mangrove

yaitu : Nypa Fruticans, Rhyzophora mucronata dan Rhyzophora stylosa pada sisi

daratan pesisir teluk, kemudian Sonneratia alba dan Avicennia alba pada sisi ke

arah laut. Luasan mangrove yang telah direhabilitasi selama tahun 2002-2004 di

kawasan pesisir Balikapapan Barat dan Timur seluas 29 Ha (Balikpapan Barat ±

28 Ha dan Balikpapan Timur ± 1 Ha). Diketahui terjadi peningkatan luas tutupan

mangrove sebesar 5,12% dari tahun 2013 seluas 2.298,73 Ha menjadi 2.422,83 Ha

dengan presentase tutupan berkisar antara 2% – 70% (SLHD Kota Balikpapan,

2015)

Mangrove merupakan ekosistem yang rentan sehingga memerlukan

pemantauan yang terus menerus untuk mendeteksi berbagai ancaman seperti

kegiatan manusia dan bencana alam. Kesulitan di lapangan merupakan kendala

dalam memantau kondisi ekosistem mangrove. Oleh karena itu diperlukan suatu

teknologi dan metode yang tepat dalam melakukan pemantauan terhadap

ekosistem mangrove, dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh.

Teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu metode yang banyak

digunakan untuk memantau kondisi suatu wilayah melalui teknik klasifikasi.

Klasifikasi bertujuan untuk menurunkan informasi tematik dengan cara

mengelompokkan piksel-piksel ke dalam suatu kelas atau kategori berdasarkan

kesamaan nilai spektral tiap piksel. Informasi tematik dari hasil klasifikasi citra

perlu dinilai akurasi dengan melakukan uji akurasi (Danoedoro, 2012). Salah satu

faktor yang mempengaruhi akurasi dari hasil klasifikasi adalah resolusi spasial

citra. Citra dengan resolusi spasial tinggi umumnya memiliki akurasi overall yang
3

lebih tinggi (Akar et al., 2016).

Selain teknik klasifikasi, pemantauan vegetasi mangrove dengan data citra

satelit dapat dilakukan dengan cara interpretasi citra secara digital menggunakan

indeks vegetasi. Indeks vegetasi yang biasa digunakan adalah Normalized

Difference Vegetation Index (NDVI). Prinsip kerja NDVI adalah dengan

mengukur tingkat intensitas kehijauan yang mana intensitas kehijauan berkorelasi

dengan tingkat kerapatan tajuk vegetasi (Ardiansyah dan Buchori, 2014).

Pemantauan vegetasi mangrove menggunakan citra satelit berdasarkan atas dua

sifat penting mangrove yaitu, mempunyai zat hijau daun (klorofil) dan tumbuh di

daerah pesisir (Waas dan Nababan, 2010). Sifat optik klorofil sangat khas yaitu

bahwa klorofil menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan kuat spektrum

infra merah dekat (Pranata et al., 2016).

Salah satu upaya untuk mengetahui kondisi mangrove baik secara spasial

maupun temporal adalah dengan menggunakan sistem penginderaan jauh. Untuk

mengetahui secara keseluruhan penutupan kanopi pada kawasan hutan mangrove

pada kawasan Mangrove Center Graha Indah Kota Balikpapan maka perlu

dilakukan monitoring pada daerah tersebut. Dengan memperhatikan hal tersebut

maka diperlukan data-data spasial kawasan pesisir yang berguna dalam

pemanfaatan dan pengelolaaan sumberdaya dan ruang di kawasan pesisir yang

direncanakan secara berkelanjutan. Penggunaan teknologi SIG dalam metode

monitoring lahan merupakan alat penting yang dapat menyatukan data menjadi

database yang sangat berguna bagi seorang perencana dalam melakukan evaluasi

ataupun monitoring (Lillesand dan Kiefer, 1997). Oleh karena itu, dilakukan
4

penelitian tentang kerapatan tutupan kanopi mangrove pada kawasan Mangrove

Center Graha Indah Kota Balikpapan.

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kerapatan tutupan kanopi

mangrove pada kawasan Mangrove Center Graha Indah Kota Balikpapan dan

menganalisis hubungan antara nilai NDVI mangrove dari citra satelit SPOT 7

dengan nilai tutupan kanopi mangrove di lapangan.

C. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penelitian

selanjutnya. Data dan informasi yang didapat diharapkan bisa digunakan dalam

kegiatan konservasi hutan mangrove. Selain itu hasil penelitian dapat bermanfaat

bagi pengembangan teknologi kelautan khususnya dalam lingkup informasi

kelautan di perairan Balikpapan, Kalimantan Timur.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan Mangrove

1. Pengertian Mangrove

Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk

menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang dinominasi oleh

beberapa spesies pohon-pohon khas dan mempunyai kemampuan untuk

beradaptasi dan tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1992). Hutan mangrove

merupakan suatu ekosistem hutan yang unik yang berperan sebagai penyambung

(interface) antara ekosistem daratan dan ekosistem lautan. Bagi daerah pantai,

hutan mangrove memiliki fungsi penting baik fungsi produksi, fungsi

perlindungan maupun fungsi pelestarian (DepHut, 2005).

Menurut Setyawan et al., (2002), hutan mangrove atau mangal merupakan

sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang didominasi oleh

pohon dan semak tumbuhan bunga (Angiospermae) terestrial yang dapat

menginvasi dan tumbuh di lingkungan air laut. Hutan mangrove disebut juga

vloedbosh, hutan pasang surut, hutan payau, rawa-rawa payau atau hutan bakau.

Istilah yang sering digunakan adalah hutan mangrove atau hutan bakau. Bakau

sendiri merupakan nama pepohonan anggota genus Rhizophora.

Ekosistem mangrove didominasi oleh tumbuhan dari jenis Rhizophora,

Avicennia, Bruguiera, dan Sonneratia. Selain itu, pada ekosistem mangrove

ditemui tumbuhan jenis Ceriops, Xylocarpus, Acrostichum, Lumnitzera,

Aegiceras, Scyphyphora, dan Nypa (Tuwo, 2011).


6

2. Zonasi Hutan Mangrove

Zonasi mangrove adalah distribusi tumbuhan secara horizontal dari pantai

kearah daratan. Hutan mangrove di daerah tropis relatif homogen. Pada ekosistem

alami tumbuhan mangrove membentuk zonasi yaitu sebagai berikut (Setyawan et

al., 2002) :

1) Zona luar yang terbuka didominasi Avicennia dan Sonneratia, diikuti

Rhizophora pada bagian sedikit agak dalam

2) Zona tengah didominasi Bruguiera gymnorrhiza, Xylocarpus dan

Heritiera.

3) Zona dalam didominasi Bruguiera cylindrica, Scyphiphora

hydrophyllacea, dan Lumnitzera.

4) Zona transisi didominasi Cerbera manghas. Pada perbatasan hutan

mangrove dengan rawa air tawar tumbuh tegakan Nypa fruticans, diikuti

Cyperus portulacastrum, Fimbristylis ferruginea, Scirpus litoralis dan S.

malaccensis.

Faktor pembentuk zonasi adalah karakter tanah berupa kandungan bahan

organik, salinitas, dan air tanah. Karakter tanah itu sendiri dipengaruhi oleh

kondisi topografi pantai. Kondisi topografi pantai berpengaruh terhadap variasi

tinggi relatif air laut, erosi dan pengendapan sedimen, pengaruh gelombang atau

pasang surut dan air tawar yang masuk ke daerah mangrove, suplai sedimen dari

lahan atas, bioturbasi, dan akumulasi humus (Tuwo, 2011).


7

3. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

Habitat mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground)

bagi organisme dan sebagai tempat mengasuh dan membesarkan (nursery

ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground) dan tempat berlindung

bagi organisme kecil dari predator. Beberapa fungsi dan manfaat hutan mangrove

dapat dikelompokkan sebagai berikut (Irwanto, 2008) :

1) Manfaat dan fungsi secara fisik yaitu :

a. Menjaga agar garis pantai tetap stabil.

b. Melindungi pantai dan sungai dari bahaya erosi dan abrasi.

c. Menahan badai/angin kencang dari laut.

d. Menahan hasil proses penimbunan lumpur, sehingga memungkinkan

terbentuknya lahan baru.

e. Menjadi wilayah penyangga, serta berfungsi menyaring air laut

menjadi air daratan yang tawar.

f. Mengolah limbah beracun, penghasil O2 dan penyerap CO2.

2) Manfaat dan fungsi secara biologi yaitu :

a. Menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan

penting bagi plankton, sehingga penting pula bagi keberlanjutan rantai

makanan.

b. Tempat memijah dan berkembang biaknya ikan-ikan, kerang, kepiting

dan udang.

c. Tempat berlindung, bersarang dan berkembang biak dari burung dan

satwa lain.
8

d. Sumber plasma nutfah & sumber genetik.

e. Merupakan habitat alami bagi berbagai jenis biota.

3) Manfaat dan fungsi secara ekonomi yaitu :

a. Penghasil kayu bakar, arang, bahan bangunan.

b. Penghasil bahan baku industri : pulp, tanin, kertas, tekstil, makanan,

obat-obatan, kosmetik, dll.

c. Penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, bandeng melalui pola

tambak silvofishery.

d. Tempat wisata, penelitian & pendidikan.

4. Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove

Menurut Nybakken (1992), kerusakan hutan mangrove umumnya

disebabkan oleh dua faktor utama yaitu secara alami dan secara buatan. Secara

alami kerusakan diakibatkan gangguan alam seperti angin topan dan badai yang

dapat merusak dan memporak-porandakan ekosistem mangrove. Selain itu, iklim

kering berkepanjangan dapat menyebabkan akumulasi garam dalam tanaman yang

dapat mengakibatkan kematian. Sedangkan kerusakan mangrove secara buatan

disebabkan oleh campur tangan manusia misalnya konversi lahan menjadi tambak

dan penebangan untuk pemanfaatan kayu dari hutan mangrove. Kegiatan

reklamasi dan tempat pembuangan sampah di kawasan mangrove dapat

menyebabkan polusi dan kamatian mangrove.

Menurut Tuwo (2011), berpendapat bahwa kerusakan hutan mangrove

dapat menimbulkan banyak dampak sebagai berikut :


9

1) Kerusakan hutan mangrove dapat menyebabkan peningkatan laju intrusi

air laut kearah daratan.

2) Alih fungsi areal hutan mangrove menjadi daerah pertambakan dapat

menyebabkan meningkatnya masa genangan air sehingga menjadi tempat

yang baik untuk berkembangbiaknya populasi nyamuk.

3) Penebangan pohon mangrove untuk keperluan kayu bakar dan pembuatan

arang menyebabkan terganggunya salah satu fungsi ekosistem mangrove

sebagai penyerap logam berat sehingga tidak masuk ke dalam jaringan

makanan.

B. Teknologi Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh secara umum didefinisikan sebagai ilmu-teknik-seni

untuk memperoleh informasi atau data mengenai kondisi fisik suatu benda atau

objek, target, sasaran maupun daerah dan fenomena tanpa menyentuh atau kontak

langsung dengan benda atau target. Dalam memperoleh informasi digunakan

sensor yang secara fisik berada jauh dari benda atau objek yang disebut sensor

jauh. Untuk itu digunakan sistem pemancar (transmitter) dan penerima (receiver).

Ilmu disini mengambarkan ilmu yang diperlukan baik dalam konsep, perolehan

data maupun pengolahan data yang tepat dan baik serta sesuai dengan tujuan

perolehan data. Data yang diperoleh pada umumnya berbentuk keruangan atau

spasial sehingga dalam pengolahannya memerlukan tampilan yang serasi, menarik

dan mudah dimengerti (Soenarmo, 2009).

Data atau informasi yang diperoleh berupa gambaran yang berbasis digital

yang biasa disebut citra. Citra digital merupakan model dua dimensi dari objek
10

berupa kenampakan nyata dipermukaan bumi yang diperoleh melalui proses

perekaman pantulan (reflectance), pancaran (emittance), ataupun hamburan balik

(backscatter) gelombang elektromagnetik dengan sensor optik-elektronik yang

terpasang pada suatu wahana (flatform) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Sistem penginderaan jauh (Danoedoro, 2012)

Soenarmo (2009) mengemukakan bahwa konsep dasar penginderaan jauh

didasarkan pada 5 (lima) unsur utama yaitu :

1) Sumber energi (transmitter)

Sumber energi utama berasal dari energi radiasi matahari, dengan panjang

gelombang yang berbeda-beda (spektrum elektromagnetik). Sumber energi

radiasi matahari ada yang ditangkap langsung secara alami, ada yang melalui

penapisan untuk memperoleh panjang gelombang yang sesuai dengan sifat

dan karakteristik objek.

2) Gelombang elektromagnetik datang

Gelombang elektromagnetik datang, merambat menembus atmosfer,

merupakan perantara yang menyampaikan energi ke objek, dengan panjang

gelombang yang unik untuk setiap objek.


11

3) Objek atau target

Objek atau target adalah benda, fenomena atau yang akan diindera dengan

sensor jauh.

4) Gelombang elektromagnetik pantul dan hambur (emisi)

Terjadi setelah gelombang elektromagnetik datang mengenai objek, sebagian

diserap dan ditransmisikan, sebagian lagi dipantulkan dan dihamburkan.

Gelombang elektromagnetik yang dipantulkan dan dihamburkan kemudian

dicover oleh sensor. Informasi yang diperoleh sesuai dengan sifat fisik atau

karakteristik objek.

5) Sensor (receiver).

Sensor merupakan materi yang sesuai dengan sifat fisik atau karakteristik

objek yang di indera. Tipe sensor sesuai dengan tipe gelombang

elektromagnetik.

Menurut Sutanto (1986), teknik penginderaan jauh memiliki beberapa

keunggulan jika dibandingkan dengan survei lapangan sebagai berikut :

1) Memberikan gambaran yang sinoptik (Synoptic Value)

Informasi yang diberikan oleh citra sangat berguna dalam mengorganisasikan

sebuah penelitian dilapangan. Citra dapat memberikan gambaran umum suatu

area secara teliti dan rinci. Hal ini akan menghemat waktu dan biaya dalam

penelusuran data yang besar sebelum melakukan suatu penelitian.

2) Peliputan bersifat global (Worlwide Coverage)

Area peliputan penginderaan jauh bersifat gelobal, meliputi wilayah daratan

dan perairan dangkal pada permukaan bumi yang diamati.


12

3) Peliputan yang berulang (Repetitive Coverage)

Informasi atau data yang diperoleh dengan penginderaan jauh bersifat

temporal, sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk kegiatan monitoring.

4) Keseragaman waktu (Uniformity Over Time)

Satelit melewati suatu area pada permukaan bumi hampir selalu tepat pada

waktu lokal yang sama. Hal ini menyebabkan kita dapat melakukan

pemantauan suatu target dengan iluminasi cahaya yang relatif sama.

5) Analisis berbagai panjang gelombang (Multispectal Analisys)

Data yang diperoleh serentak dalam beberapa panjang gelombang melalui

sistem optik yang sama. Beberapa dari bagian panjang gelombang memiliki

informasi penting yang tidak dapat di tangkap oleh indera manusia atau

kamera biasa. Hal ini menyebabkan kita dapat membuat tumpang tindih

beberapa saluran/band, sehingga dapat membentuk suatu kombinasi citra

komposit.

6) Analisis Digital (Gigital Analysis)

Data perekaman melalui penginderaan jauh berbentuk digital, sehingga untuk

data dalam jumlah besar dapat diperoses dan dianalisis dengan melalui

bantuan komputer

C. Penginderaan Jauh Untuk Vegetasi

Beberapa aplikasi dari penginderaan jauh telah diterapkan dibidang

pertanian dan kehutanan. Penggunaan penginderaan jauh untuk vegetasi

digunakan untuk memperkirakan kondisi tanaman, prediksi usia dan kematangan

tanaman, pemetaan penanaman hutan, dan tingkat kerusakan tanaman. Dengan


13

keberadaan klorofil pada tanaman dapat terdeteksi oleh gelombang

elektromagnetik cahaya tampak dan inframerah dekat. Gambar 2 menampilkan

pantulan spektral dari berbagai jenis objek berdasarkan panjang gelombang

(Purkis dan Klemas, 2011).

Pantulan spektral vegetasi sangat bervariasi terhadap panjang gelombang.

Pantulan spektral vegetasi sangat dipengaruhi oleh pigmentasi, struktur internal

daun dan kandungan uap air. Kurva pantulan spektral vegetasi dapat dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2. Kurva pantulan spektral vegetasi (Purkis dan Klemas, 2011)


Berdasarkan kandungan klorofil yang terdapat pada vegetasi, memiliki

pantulan spektral yang sangat berbeda dari jenis tutupan lahan lainnya seperti

tanah, air dan tanah kosong. Spektrum vegetasi memiliki dua band penyerapan

klorofil utama yaitu saluran biru dan merah yang disebabkan pigmen seperti

klorofil a, klorofil b dan β-karoten, yang berada di lapisan atas dari daun (palisade

parenkim). Sebaliknya, pantulan yang kuat pada panjang gelombang inframerah


14

dekat, yang disebabkan oleh hamburan di lapisan yang lebih dalam dari daun

(mesofil spons). Kemampuan inframerah dekat untuk menembus jauh ke dalam

kanopi daun berguna untuk memperkirakan biomassa tanaman (Purkis dan

Klemas, 2011).

Gambar 2 menunjukkan bahwa kandungan klorofil pada daun memiliki

absorsi yang kuat pada 450 nm dan 670 nm dan reflektansi tinggi berada di

inframerah dekat (700-1,200 nm). Dalam gelombang inframerah dekat, vegetasi

menampilkan tiga fitur penyerapan yang dapat berhubungan langsung dengan

spektrum penyerapan air yang terkandung dalam daun (Purkis dan Klemas, 2011).

Pantulan spektral vegetasi pada panjang gelombang inframerah tengah

sangat dipengaruhi oleh serapan air. Tingkat serapan energi oleh vegetasi pada

panjang gelombang inframerah tengah merupakan fungsi dari jumlah total air

dalam daun dan ini ditentukan oleh persentase kandungan air dan ketebalan daun.

Banyaknya lapisan daun juga berpengaruh terhadap pantulan spektral vegetasi.

Daun hijau banyak memantulkan dan meneruskan spektrum inframerah dekat,

tetapi sedikit menyerap spektrum tersebut. Sebagian dari radiasi inframerah dekat

yang diteruskan ke bagian bawah daun akan kembali dipantulkan oleh permukaan

daun di bawahnya sehingga terjadi multiplikasi pantulan (Hoffer, 1984 dalam

Amran, 1999).

D. Indeks Vegetasi

Indeks vegetasi adalah suatu bentuk transformasi spektral yang diterapkan

citra multispektral untuk menampilkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek

lain yang berkaitan dengan kerapatan seperti biomassa, Leaf Area Indeks (LAI),
15

konsentrasi klorofil dan sebagainya. Indeks vegetasi merupakan suatu

transformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran sekaligus, dan

menghasilkan citra baru yang lebih representatif dalam menyajikan fenomena

vegetasi (Danoedoro, 2012).

Menurut Purkis dan Klemas (2011) kebanyakan indeks vegetasi

memanfaatkan saluran merah dan saluran inframerah dekat pada citra.

Berdasarkan hal tersebut, karakteristik suatu objek yang diamati dapat diketahui

melalui analisis nilai-nilai indeks vegetasi. Model algoritma pada transformasi

indeks vegetasi yang digunakan yaitu NDVI (Normalized Difference Vegetation

Index). NDVI merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik

pengurangan citra (Danoedoro, 2012).

Pada analisis studi mangrove menggunakan citra dilakukan berdasarkan

hasil perhitungan NDVI menggunakan saluran inframerah dekat dan saluran

merah. Algoritma NDVI dapat dinyatakan sebagai berikut (Purkis dan Klemas,

2011) :

di mana, R adalah saluran merah dan NIR adalah saluran inframerah dekat.

Rentang nilai yang diperoleh oleh NDVI adalah antara -1 dan +1. Hanya

nilai-nilai positif sesuai dengan zona bervegetasi, dan semakin tinggi indeks maka

semakin besar kandungan klorofil dari obyek yang diamati. Sedangkan untuk nilai

negatif, dihasilkan oleh pantulan yang lebih tinggi pada saluran merah

dibandingkan dengan saluran inframerah dekat. Hal ini disebakan karena obyek
16

yang diamati berupa daerah awan, salju, tanah gundul dan batu. Pada Gambar 3

algoritma NDVI menunjukkan bahwa vegetasi dengan kandungan klrofil tinggi

memantulkan cahaya tampak merah lebih sedikit dari pada saluran inframerah

dekat (Purkis dan Klemas, 2011).

Gambar 3. Penerapan algoritma NDVI pada vegetasi dengan kandungan klorofil


tinggi dan rendah (Purkis dan Klemas, 2011)

E. Kerapatan Tajuk

Tajuk merupakan keseluruhan bagian tumbuhan, terutama pohon, perdu,

atau liana yang berada di atas permukaan tanah yang menempel pada batang

utama. Tajuk adalah bagian dari kanopi yang membentuk menjadi atap hutan.

Estimasi kerapatan tajuk dilakukan dengan mengambil data foto secara vertikal

dengan menggunakan kamera. Persentase kerapatan tanjuk menggunakan lensa

kamera dapat dilihat pada Gambar 4.


17

Gambar 4. Estimasi kerapatan tajuk menggunakan lensa kamera (Badan Informasi


Geospasial, 2014)
F. Karakteristik Citra Satelit SPOT 7

SPOT 7 adalah satelit satelit luas dengan resolusi tinggi yang dibangun

dan dioperasikan oleh Airbus Defense dan Space mengambil alih sebagian besar

Spot Image setelah dukungan pemerintah terhadap program SPOT dihentikan.

SPOT 6 diluncurkan pada 6 September 2012 dan SPOT 7 pada 30 Juni 2014

adalah satelit yang identik, berdasarkan bus satelit AstroSat-250 dan

menggunakan muatan paypal NAOMI (New AstroSat Optical Modular

Instrument) untuk memperoleh citra optik untuk memastikan kontinuitas data

SPOT, dibangun berdasarkan pengalaman yang diperoleh melalui misi

sebelumnya, khususnya SPOT 5 yang diluncurkan pada tahun 2002. Gambar citra

SPOT 7 dapat dilihat pada Gambar 5.


18

Gambar 5. Citra Satelit SPOT 7 (http://www.intelligence-airbusds.com)


SPOT merupakan sistem satelit observasi bumi yang mencitra secara optis

dengan resolusi tinggi dan diopersikan di luar angkasa. Sistem satelit SPOT terdiri

dari serangkaian satelit dan stasiun pengontrol dengan cakupan kepentingan

yaitu, kontrol dan pemograman satelit, produksi citra, dan distribusinya. SPOT

yang merupakan singkatan dari Satellite Pour l’Observtion de la Terre dijalankan

oleh Spot Image yang terletak di Prancis. Sistem ini dibentuk olen CNES (Biro

Luar Angkasa milik Prancis) pada tahun 1978. Tujuan dibentuk SPOT adalah

1) Untuk meningkatkan pengetahuan dan pengelolaan kebumian melalui

eksplorasi sumber daya bumi.

2) Mendeteksi dan meramalkan fenomena-fenomena klimatologi dan

oseanografi.

3) Mengawasi aktivitas manusia dan fenomena alam.

Satelit SPOT 7 dibangun untuk misi sepuluh tahun yang menampilkan dua

kamera NAOMI untuk mencakup pijakan darat 60 Kilometer, 120 km


19

menggunakan pencitraan mosaik single-pass. Secara keseluruhan, satelit dapat

mencapai resolusi dua meter dalam pankromatik dan delapan meter dalam mode

multispektral yang mencakup pita spektral yang terlihat dan hampir inframerah.

SPOT 7, berdasarkan AstroSat-250, berukuran 1,55 kali 1,75 kali 2,70 meter

dengan massa lepas landas 720 kilogram. Platform Astrosat-250 menggunakan

pendekatan modular dan menyediakan arsitektur toleran satu kesalahan di semua

subsistem. Salah satu fitur paling kritis dari platform satelit adalah penggunaan

Control Moment Gyros yang memungkinkan satelit melakukan manuver sikap

cepat untuk penargetan ulang yang cepat. Instrumen yang ada pada citra spot

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Instrumen Citra Satelit Spot 7

Satu instrumen yang terbuat dari dua teleskop


Sistem Optik korsch identik, masing-masing dengan bukaan
200 mm
Berat peluncuran 720 kg (termasuk 60 kg untuk muatan dan 80
Sensor utama 2kgxpropelan)
NAOMI
Badan: ~ 1,55 m x 1,75 m x 2,7 m
Ukuran satelit
Luas sayap bentang surya: 5,4 m2
 Rangkaian susunan PAN: 28.000 piksel
Detektor
 Perakitan array MS: 4 x 7000 piksel
Pankromatik : 0.450-0.745 mm
Biru : 0.450-0.520 mm
Hijau : 0.530-0.590 mm
Pita Spektral
Merah : 0.625-0.695 mm
Inframerah dekat: 0.760-0.890 mm
5 band selalu diperoleh secara bersamaan.
Ground Sampling Distance  Pankromatik : 2.2m
20

(nadir)  Multispektral : 8.8 m


Swath 60 km di nadir
Rentang Dinamis saat Akuisisi 12 bits di nadir
 35 m CE 90 without GCP within a 30°
viewing angle cone
Spesifikasi Akurasi Lokasi
 10 m CE 90 for Ortho products where
Refrence 3D is available
Tingkat Tautan Telemetri
X-band channel – 300 MB / second
Instrumen
Sumber : (http://www.intelligence-airbusds.com)

Instrumen ini mencakup lima band - band pankromatik 450 hingga 750

nanometer dan empat band multispektral termasuk biru (450-520 nm), hijau (530-

600 nm), merah (620-690 nm) dan inframerah dekat (760-890 nm). Teleskop ini

mencakup pijakan darat 20 Kilometer dan satelit memiliki bidang +/- 35 derajat

(800 km) saat dimiringkan di sekitar titik nadir untuk pemantauan acara. NAOMI

pada SPOT 7 dapat memberikan gambar pankromatik pada resolusi dua meter di

permukaan tanah sementara citra multispektral akan mencapai resolusi enam

meter.

SPOT 7 dapat menggunakan sistem kontrol sikap gesitnya untuk

mendukung berbagai mode pengamatan. Satelit ini mampu memperoleh banyak

adegan di area lokal hingga 11 adegan masing-masing 60 kali 60 Kilometer dapat

dikumpulkan dalam strip tanah panjang 1.000 Kilometer. Pencitraan strip juga

dimungkinkan dan SPOT 7 dapat memperoleh beberapa strip di area target dalam

sekali lintasan dengan panjang strip hingga 600 Kilometer. Pencitraan strip

mosaik di mana satelit memperoleh beberapa strip gambar dari area yang

berdekatan juga dimungkinkan untuk mencakup area target persegi panjang 300 x
21

330 Kilometer dalam sekali lintasan. Untuk pencitraan biasa, SPOT 7 akan

menggunakan sudut nadir hingga 35 derajat yang juga memungkinkan satelit

untuk mendukung waktu kunjungan cepat dalam sehari.

SPOT 7 juga dapat mengumpulkan gambar stereo dan tri-stereo dalam satu

pass. Data dirujuk secara geografis menggunakan sistem otomatis yang beroperasi

pada akurasi 10 hingga 20 meter setelah kalibrasi. SPOT 7 direncanakan

beroperasi dalam orbit melingkar pada 695 Kilometer pada kemiringan 98,2

derajat. Satelit akan dipindahkan ke konstelasi dengan satelit SPOT 5 dan SPOT 6

serta satelit Pleiades 1A dan 1B untuk membangun sebuah konstelasi pengamatan

bumi dengan waktu peninjauan kembali yang cepat dan waktu respons cepat

terhadap target peluang.

SPOT 7 menggunakan Segmen Kontrol Tanah yang disederhanakan yang

terdiri dari CGS (Control Ground Segment) dan EGS – (Exploitation Ground

Segment). Pembagian kerja antara dua komponen ini sangat jelas - CGS bertugas

memimpin satelit, memantau kesehatannya, melakukan operasi pemeliharaan

berkala, merencanakan manuver orbital dan menerima rencana misi dari EGS.

EGS merencanakan target yang akan dicitrakan oleh satelit dan menerima semua

data yang di-downlink oleh wahana antariksa untuk pemrosesan, distribusi ke

pelanggan dan pengarsipan. SPOT 7 mendukung hingga enam pembaruan rencana

misi per hari yang memungkinkan waktu respons cepat dan penugasan tepat

waktu dengan pengiriman cepat produk data setelah akuisisi.


III. METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juli 2019 yang meliputi studi

literatur, survei awal lokasi, pengambilan data lapangan, pengolahan data, analisi

data dan penyusunan laporan hasil penelitian. Pengambilan data lapangan

dilakukan pada kawasan Mangrove Center Graha Indah Kota Balikpapan,

Provinsi Kalimantan Timur.

Pengolahan data citra satelit SPOT 7 dan analisis data dilakukan di

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Parepare, Sulawesi

Selatan. Stasiun pengamatan lapangan ditentukan melalui data citra satelit dan

berdasarkan informasi masyarakat setempat dengan mempertimbangan kondisi di

lapangan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Peta lokasi penelitian


23

B. Alat dan Bahan

Dalam penelitian ini alat yang digunakana berupa perangkat keras dan

perangkat dan perangkat lunak.

1. Alat

Alat pada penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu perangkat keras dan

perangkat lunak yaitu :

 Perangkat keras

1) Laptop, kegunaan sebagai alat untuk mengolah data citra dan data

lapangan hingga membuat laporan.

2) GPS, Kegunaan sebagai alat untuk menentukan dan mendapatkan titik

koordinat di lapangan.

3) Kamera (GoPro), kegunaan sebagai alat untuk mendokumentasikan

selama kegiatan di lapangan.

4) Tali, kegunaan sebagai alat untuk membatasi/atau membuat garis plot

6 X 6 m di lapangan.

5) Alat Tulis, kegunaan sebagai alat untuk mencatat data yang diperoleh

di lapangan.

6) Kapal, kegunaan sebagai alat trasnformasi untuk ground check

lapangan.

 Perangkat lunak

1) Envi 5.3, kegunaan sebagai software pengolahan data.

2) ArcGIS 10.3, kegunaan sebagai software pengolahan data dan

pembuatan peta.
24

3) ImageJ, kegunaan sebagai software pengolahan data.

4) Google Earth Pro, kegunaan sebagai sofware pengolahan data.

5) Microsoft Exel 2010, kegunaan sebagai pengolahan data sheet.

6) Microsoft Word 2010, kegunaan sebagai penulisan laporan.

2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

 Data Citra Satelit SPOT 7 akusisi 3 Maret 2019 diperoleh dari LAPAN

Parepare.

 Data lapangan berupa titik koordinat yang diperoleh dari GPS.

C. Metode Penelitian

Data lapangan meliputi titik koordinat, jenis spesies mangrove merujuk

pada buku (Noor et al., 2012), tutupan kanopi mangrove (LIPI, 2014).

Pengambilan sampel mangrove dilakukan menggunakan metode purposive

sampling. Pengambilan data tutupan kanopi mangrove menggunakan sampel plot,

plot dilakukan dengan mengambil sampel mangrove berdasarkan perhitungan

pada suatu area/plot (Badan Informasi Geospasial, 2014).

Penentuan ukuran petak pada penelitian ini mengikuti resolusi spasial citra

yang digunakan 6 x 6 m untuk citra satelit SPOT 7. Persentase tutupan kanopi

mangrove dihitung dengan metode hemisperichal photography. Pengambilan

tutupan kanopi menggunakan lensa kamera dengan titik pengambilan gambar

ditempatkan ditengah plot pengamatan. Posisi pengambilan gambar sejajar dengan

tinggi dada serta serta posisi kamera menghadap lurus ke langit (Gambar 7). Titik

pengambilan foto sebanyak 27 titik, ilustrasi pengambilan foto pada plot


25

penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Ilustrasi metode hemisperichal photography untuk mengukur tutupan


kanopi mangrove (Dharmawan dan Pramudji, 2014)
Teknik ini masih cukup baru digunakan pada hutan mangrove di

Indonesia, penerapannya mudah dan menghasilkan data yang lebih akurat. Teknis

pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

a. Membangun plot sesuai resolusi citra yang digunakan, yaitu 6 x 6 m untuk

citra SPOT 7.

b. Plot 6 x 6 m diambil 1 titik pemotretan.

c. Posisi kamera disejajarkan dengan tinggi dada peneliti/tim pengambil foto,

serta tegak lurus/menghadap lurus ke langit.

d. Mengidentifikasi nama - nama spesies mangrove dari tiap - tiap spesies yang

terdapat pada plot daerah sampling dengan pengamatan secara visual,

menghitung jumlah individu pohon setiap jenis mangrove dan mengambil

gambar tutupan kanopi. Jenis yang tidak diketahui di lapangan dipotong

dahan, daun, bunga dan buahnya untuk selanjutnya diidentifikasi di

laboratorium dengan berpedoman pada buku identifikasi mangrove Panduan

Pengenalan Mangrove di Indonesia (Noor et al., 2012).


26

D. Prosedur Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tahap prosedur yang dimulai dari

pengumpulan data, proses pengolahan dan analisis data, dan hasil . Diagram alur

penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

Studi literatur

Citra Spot 7

Koreksi
Atmosfer

Koreksi
Geometrik

Pemotongan Citra

Komposit Citra

Klasifikasi Supervised

Data Lapangan
Transformasi
Titik Koordinat
NDVI
Jenis Mangrove
Tutupan Kanopi
Peta NDVI

Analisis korelasi
dan regresi

Peta kerapatan tutupan kanopi mangrove

Gambar 8. Diagram alur penelitian


27

E. Pengolahan Citra

1. Koreksi Atmosfer

Koreksi atmosfer merupakan salah satu algoritma koreksi radiometrik

yang relatif baru. Koreksi ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai

parameter atmosfer dalam proses koreksi. termasuk faktor musim, dan kondisi

iklim di lokasi perekaman citra misalnya tropis, sub-tropis, dan lain-lain

(Ekadinata et al., 2008). Kelebihannya adalah pada kemampuannya untuk

memperbaiki gangguan atmosfer seperti kabut tipis, asap, dan lain-lain. Metode

yang digunakan adalah Dark Object Substraction (DOS).

Prinsip metode DOS adalah memperbaiki nilai radiometrik (pixelvalue

pada citra akibat gangguan atmosfer). Jika tidak ada atmosfer, objek bewarna

gelap atau biasanya berupa air dan banyangan awan seharusnya memiliki nilai

piksel 0, apabila pada objek tersebut tidak bernilai 0 maka nilai tersebut adalah

bias.

2. Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik merupakan koreksi citra penginderaan jauh yang

disebabkan oleh distorsi spasial objek yang terekam disesuaikan dengan koordinat

di permukaan bumi (real world coordinate), dilakukan dengan menggunakan

metode transformasi koordinat polynomial orde satu. Penyesuaian proyeksi

dilakukan sesuai dengan system proyeksi UTM, dengan menggunakan titik

kontrol medan (GCP, Ground Control Point) yang koordinatnya ditentukan dari

lapangan dan google earth. Transformasi koordinat orde satu mensyaratkan


28

minimal 3 titik kontrol GCP. Namun semakin banyak titk kontrol maka hasil yang

diperoleh pun akan semakin baik.

GCP (Ground Control Point) atau titik control tanah adalah proses

penandaan lokasi yang berkoordinat berupa sejumlah titik yang diperlukan untuk

kegiatan mengkoreksi data dan memperbaiki keseluruhan citra. GCP terdiri atas

koordinat x dan y, yang terdiri atas koordinat sumber dan koordinat

referensi.lokasi ideal untuk pengambilan GCP adalah sudut jalan, perempatan

jalan, perpotongan jalan pedestrian, kawasan yang memiliki warna menyolok,

persimpangan rel dengan jalan dan bangunan yang mudah diidentifikasi atau

dikenal (Darmawan, 2008).

Proses selanjutnya adalah interpolasi nilai spektral bagi masing-masing

pixel. Interpolasi nilai pixel yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses

resampling tetangga terdekat. Proses ini dipilih karena tidak merubah nilai pixel

yang bersangkutan, melainkan hanya mengambil kembali nilai dari pixel terdekat

yang telah tergeser keposisi yang baru. Dalam hal ini proses koreksi Geometrik

dilakukan dengan mentransformasikan posisi setiap piksel yang ada di citra

terhadap posisi obyek yang sama di permukaan bumi dengan memakai beberapa

titik control tanah (Sukojo dan Kustarto, 2002).

3. Pemotongan Citra (Cropping)

Pemotongan citra (cropping) dilakukan untuk membatasi daerah penelitian

sehingga memudahkan analisis pada komputer. Selain itu, pemotongan citra akan

mengurangi kapasitas memori sehingga memudahkan pada proses pengolahan

data citra tersebut.


29

4. Komposit citra

Komposit citra adalah citra baru hasil dari penggabungan 3 saluran yang

mampu menampilkan keunggulan dari saluran-saluran penyusunnya (Sigit, 2011).

Digunakan komposit citra ini dikarenakan oleh keterbatasan mata yang kurang

mampu dalam membedakan gradasi warna dan lebih mudah memahami dengan

pemberian warna. Pada citra multispektral yang terdiri dari banyak saluran,

apabila hanya menampilkan satu saluran saja maka citra yang dihasilkan

merupakan gradasi rona.

5. Klasifikasi citra

Klasifikasi citra merupakan suatu proses penyusunan, pengurutan, atau

pengelompokan suatu piksel dalam beberapa kelas berdasarkan suatu kriteria atau

kategori obyek. Setiap piksel yang terdapat dalam setiap kelas diasumsikan

memiliki karakteristik yang homogen (Prahasta, 2008). Tujuan proses klasifikasi

adalah untuk mengekstrak pola-pola spektral yang terdapat di dalam citra.

Klasifikasi terbimbing (supervised classification) merupakan proses

pengelompokkan piksel pada citra menjadi beberapa kelas tertentu dengan

berdasarkan pada statistik sampel piksel (training) atau region of interrest

ditentukan oleh pengguna sebagai piksel acuan, yang selanjutnya digunakan oleh

komputer sebagai dasar melakukan klasifikasi. Sampel piksel yang baik memiliki

rerata keterpisahan yang baik antar tiap kelasnya.

Klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini adalah klasifikasi

terbimbing dengan metode maximum likelihood classification (MLC). Metode

MLC adalah metode yang paling populer dalam klasifikasi data citra
30

penginderaan jauh. Pengkelas kemiripan maksimum (maximum likelihood)

mengevaluasi secara kuantitatif varian maupun korelasi pola tanggapan kategori

spektral ketika mengklasifikasi piksel yang tidak dikenal (Prahasta, 2008).

6. Indeks vegetasi

Indeks vegetasi digunakan untuk memperoleh informasi mengenai

kerapatan, biomassa, dan tingkat kehijauan (Prahasta, 2008). Indeks vegetasi yang

digunakan pada penelitian ini adalah Normalized Difference Vegetation Index

(NDVI). Nilai indeks vegetasi ini dihitung sebagai rasio antara band NIR (Near

Infrared Radiation) dengan band merah (red) pada spektrum gelombang

elektromagnetik (Waas dan Nababan, 2010). Nilai NDVI berkisar antara -

1(minus) hingga 1 (positif), hal ini disebabkan oleh band NIR memantulkan kuat

gelombang elektromagnetik sedangkan band red sangat sedikit dipantulkan

(Pujiono et al., 2013). Kedua band ini dipilih karena hasil ukurnya dipengaruhi

oleh penyerapan klorofil daun. Persamaan indeks vegetasi NDVI (Rouse et al.,

1974) sebagai berikut:

( NIR−red)
NDVI =
(NIR+ red)
dimana:

NIR = band 4 pada citra SPOT 7

Red = band 3 pada citra SPOT 7

Vegetasi yang sehat ditandai dengan nilai NDVI yang tinggi. Sebaliknya,

non-vegetasi seperti badan air diwakili dengan nilai NDVI negatif karena

penyerapan elektromagnetik oleh air (Pujiono et al., 2013). Nilai NDVI yang

mewakili vegetasi berada pada rentang 0.1 hingga 0. 7, nilai NDVI di atas 0.7
31

menunjukkan tingkat kesehatan dari tutupan vegetasi yang lebih baik (Prahasta,

2008).

Transformasi NDVI akan menghasilkan citra baru dengan nilai -1 sampai

1. Citra hasil transformasi NDVI kemudian diklasifikasi menjadi 3 kelas untuk

memisahkan antara badan air, non vegetasi, dan vegetasi. Kelas vegetasi

kemudian dikelaskan kembali berdasarkan kerapatannya menjadi 3 kelas.

Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai NDVI seperti aktivitas fotosintesis

pada tumbuhan, jumlah tutupan tumbuhan, biomasa, kelembaban tumbuhan,

tanah, dan tanaman yang kurang sehat (stress).

F. Analisis Data

1. Persentase tutupan kanopi mangrove

Analisis ini adalah pemisahan piksel langit dan tutupan vegetasi, sehingga

persentase jumlah piksel tutupan vegetasi mangrove dapat dihitung dalam analisis

gambar biner (Chianucci et al., 2014). Analisis dilakukan terhadap foto hasil

pemotretan dengan menggunakan perangkat lunak ImageJ. Foto hasil pengukuran

lapangan kemudian diubah menjadi format 8 bit sehingga pada data foto format

nilainya menjadi 0 sampai 255. Foto yang sudah diubah ke format 8 bit kemudian

dipisahkan antara tutupan kanopi dan langit menggunakan tools threshold pada

perangkat lunak ImageJ. Nilai 0 merupakan piksel langit dan nilai 255 merupakan

piksel tutupan kanopi mengrove, kemudian dianalisis menggunakan rumus (LIPI,

2014):
% tutupan mangrove = P255 / ΣP x 100%
dimana:

P255 = piksel bernilai 255


32

ΣP = Jumlah seluruh piksel

Hasil analisis kerapatan dan persen tutupan kanopi mangrove digunakan

untuk menggambarkan status kondisi hutan mangrove berdasarkan (Dephut,

2005) dan Keputusan mentri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004 pada Tabel

2.

Tabel 2. Status kondisi hutan mangrove

No Kriteria Penutupan Kanopi(%) NDVI


1. Jarang <50% -1,0 ≤ NDVI ≤ 0,32
.
2. Sedang 50 - 69% 0,33 ≤ NDVI ≤ 0,42
3. Lebat 70 - 100% 0,43 ≤ NDVI ≤ 1,00
Sumber : (DepHUT. 2005)

2. Analisis hubungan antara persentase tutupan kanopi dengan NDVI

Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis korelasi (r).

Analisis korelasi dimaksudkan untuk mengetahui derajat keeratan hubungan

antara variabel (x) yang berisi nilai tutupan kanopi mangrove dengan variabel (y)

yang berisi nilai indeks vegetasi NDVI. Ukuran kekuatan pengaruh dapat dilihat

pada Tabel 3.

Tabel 3. Tabel hubungan korelasi dan kekuatan huhungan koefisien korelasi

No. Interval nilai Kekuatan hubungan


1 r =00 Tidak ada
2 0.00 < r ≤0.20 Sangat rendah atau sangat lemah
3 0.20 < r ≤0.40 Rendah atau lemah, tapi pasti
4 0.40 < r ≤0.70 Cukup berarti atau sedang
5 0.70 < r ≤0.90 Tinggi atau kuat
6 0.90 < r <0.10 Sangat tinggi atau sangat kuat
7 r =1.00 Sempurna
33

Sumber : (Misbahuddin dan Hasan, 2013)

Kriteria hubungan korelasi dan kekuatan hubungan Koefisien korelasi (r)

diperoleh dari rumus :


n n n
n ∑ x i y i− ∑ x i ∑ y i
i=1 i=1 i=1
r=

√∑
n
n x 2i −¿ ¿ ¿
i=1

Dimana

r = koefisien korelasi

n = banyaknya pasangan data X dan Y

Σxi = total jumlah dari variabel X

Σyi = total jumlah dari variabel Y

Σxi2 = total jumlah kuadrat dari variabel X

Σyi2 = total jumlah kuadrat dari variabel Y

Σxiyi = total jumlah hasil perkalian dari variabel X dan variabel Y

Hasil penelitian Latuamury et al., (2013) menyatakan indeks vegetasi

NDVI dari analisis citra Landsat ETM+ berkorelasi signifikan dengan kerapatan

tajuk pada umur tanaman tertentu. Kerapatan vegetasi dan NDVI memiliki

hubungan yang searah, semakin tinggi nilai kerapatan vegetasi yang diperoleh

maka semakin tinggi juga nilai NDVI dan sebaliknya, bila kerapatan vegetasi

rendah akan diperoleh nilai NDVI yang rendah.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Balikpapan merupakan salah satu kota yang terletak di pesisir timur

Kalimantan yang langsung berbatasan dengan Selat Makassar. Kota Balikpapan

merupakan kota terbesar kedua di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Menurut

letak astronomis Kota Balikpapan berada di antara 1,0 LS – 1,5 LS dan 116,5 BT

– 177,5 BT dengan luas wilayah sekitar 503,3 km2 dengan batas-batas wilayah

sebagai berikut :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara

 Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar

 Di sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Makassar

 dan di sebelah Barat berbatasan dengan Penajam Paser Utara

Sejarah Mangove Center Graha Indah Kota Balikpapan, pada tahun 2000

terjadi penebangan mangrove untuk tambak ikan. Dampak penebangan mangrove

penyebab terjadinya bencana alam, angin puting beliung berdampak ke 300 rumah

warga di Graha Indah serta banjir rob dari Teluk Sombar. Rusaknya hutan

mangrove serta timbulnya bencana alam membuat Bapak Agus Bei mulai

melakukan penanaman mangrove dari tahun 2001. Penanaman mangrove bukan

perkara mudah, tanpa pengetahuan bibit mangrove sering mati atau hanyut

terbawa air laut. Bapak Agus Bei belajar secara otodidak memperhatikan proses

mangrove di alam memang tidak mudah. Setelah berulang kali mencoba Bapak

Agus Bei mengetahui kunci utama adalah memastikan kualitas bibit, pemilihan

lokasi penanaman, hinga perawatan mangrove.


35

Bibit berasal dari buah tua atau propagu, penanaman bibit mangrove

ditopang dengan kayu yang kokoh agar tidak hanyut. Perawatan mangrove dengan

cara membersikan dari sampah plastik yang akan mengganggu pertumbuhan bibit

mangrove dan pemasangan jaring sampah. Hanya jenis mangrove tertentu yang

ditanam, jenis rhizophora mucronata merupakan jenis yang kuat, tahan terhadap

suhu yang ekstrim, kemampuan akar yang kuat dapat merangkap sedimen dan biji

jenis mangrove yang lain ikut terperangkap kemudian tumbuh secara alami.

Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) bejanji untuk mengusahakan 1.000

bibit mangrove, semangat semakin tumbuh untuk melakukan penanaman

mangrove. Pulihnya ekosistem mangrove mendatangkan kembali primata

endemik Kalimantan, bekantan adalah hewan asli endemik Pulau Kalimantan

yang hampir punah.

Dengan luas sekitar 150 hektare, bukanlah hal mudah untuk menjaga hutan

yang berumur sekitar 18 tahun tersebut. Sehingga terbentuk Kelompok

Masyarakat Pengawas (Pokmaswas Sonneratia). Meski awal berdirinya dipenuhi

oleh berbagai rintangan, akhirnya pada tanggal 21 Juli 2010 diresmikan oleh Wali

Kota kala itu masih dijabat oleh H. Imdad Hamid, SE. Dengan jumlah anggota 20

anggota aktif dan 200 anggota pasif. Bapak Agus Bei memperoleh Piala Kalpataru

untuk kategori perintis lingkungan tahun 2017 dari presiden Indonesia. Kegiatan

warga di Mangrove Center Graha Indah kota Balikpapan seperti pemandu wisata,

wirausaha, nelayan, penyewaan kapal untuk pemancingan ikan. Mangrove Center

Graha Indah Kota Balikpapan juga terbuka bagi mahasiswa melakukan penelitian

atau PKL.
36

B. Pengolahan Citra

1. Koreksi atmosferik

Koreksi atmosferik dilakukan untuk menghilangkan gangguan atmosfer

(atmospheric correction) pada saat perekaman yang mengakibatkan adanya

hamburan atmosfer (path radiance). Hamburan atmosfer bervariasi menurut

panjang gelombang, yakni semakin besar panjang gelombang maka semakin kecil

hamburan yang dihasilkan (Amran et al., 2012).

2. Koreksi geometrik

Koreksi geometrik yang dilakukan dengan menggunakan sistem proyeksi UTM

(Universal Transverse Mercator) melalui pembuatan titik GCP (Ground Control

Point). Titik koordinat GCP yang digunakan dalam koreksi geometrik untuk citra

SPOT 7 disajikan pada Lampiran 1 Hasil dari koreksi geometrik yang dilakukan

menghasilkan citra terkoreksi dengan RMSError (Root Mean Square Error) pada

citra SPOT 7 akuisisi 3 Maret 2019 sebesar 0.322121 meter. Nilai RMSError yang

diperoleh memenuhi syarat ketelitian baku, karena memenuhi persyaratan

pemetaan karena lebih kecil dari 0,5.

3. Pemotongan citra (Cropping)

Citra SPOT 7 yang telah dikoreksi atmosferik dan koreksi geometrik

selanjutnya dilakukan pemotongan citra pada batas wilayah penelitian yaitu Kota

Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur. Data scane citra SPOT 7 mencakup

wilayah yang luas sehingga dilakukan pemotongan citra. Pemotongan citra

bertujuan untuk memfokuskan kajian pada daerah penelitian dan untuk


37

mempercepat dalam pengolahan data citra.. Hasil pemotongan citra dapat dilihat

pada Gambar 9.

(
a) (b)
Gambar 9. Pemotongan citra (a) sebelum (b) sesudah
4. Komposit citra

Komposit citra dilakukan untuk mempermudah interpretasi citra

penginderaan jauh. Susunan komposit warna minimal memiliki band inframerah

dekat (NIR) untuk mempertajam penampakan unsur vegetasi (LAPAN 2015).

Citra SPOT 7 memiliki 4 band, sehingga tidak banyak komposit band RGB yang

dapat dibentuk untuk mempertajam visualisasi mangrove. Citra SPOT 7 memiliki

resolusi spasial 6 meter yang merupakan citra beresolusi tinggi. Komposit True

color pada citra SPOT 7 dengan susunan RGB 321 yaitu : band merah, band hijau,

dan band biru. Visualisasi mangrove pada citra SPOT 7 menggunakan komposit

false color dengan susunan RGB 431 yaitu band inframerah dekat, band merah

dan band biru. Hasil komposit citra SPOT 7 dapat dilihat pada Gambar 10.
38

(a) (b)
Gambar 10. Hasil komposit citra (a) komposit RGB 321 true color (b)
komposit RGB 431 false color.
5. Klasifikasi citra

Klasifikasi citra merupakan proses pengelompokan piksel ke dalam kelas

tertentu. Klasifikasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah klasifikasi

terbimbing (Supervised classification) yang membagi kelas objek berdasarkan

nilai piksel sampel tiap kelas. Klasifikasi terbimbing dilakukan dengan

menggunakan metode kemiripan maksimum (Maximum likelihood). Secara

statistik, metode maximum likelihood berdasar pada perhitungan kemiripan setiap

piksel dengan asumsi bahwa objek homongen selalu menampilkan histogram

yang terdistribusi normal. Pada metode ini, piksel dikelaskan sebagai objek

tertentu karena bentuk, ukuran dan orientasi sampelnya.

Klasifikasi terbimbing dilakukan dengan menentukan training area atau

daerah contoh sebelum dilakukan klasifikasi. Pembuatan training area dilakukan

pada komposit citra dengan RGB 431 dan menyebar secara merata. Pembuatan

training area yang benar akan mempengaruhi kualitas hasil klasfikasi. Tujuan
39

klasifiksi adalah untuk memisahkan mangrove, selanjutnya untuk proses

transformasi NDVI.

6. Transformasi NDVI

Transformasi NDVI untuk mengetahui tutupan kanopi mangrove

berdasarkan pantulan dari daun mangrove. Pemisahan mangrove dan

nonmangrove dilakukan sebelum transformasi NDVI. NDVI diperoleh dari

perhitungan antara band 4 (Nir Infrared) dan band 3 (Red) pada citra SPOT 7.

Hasil transformasi NDVI dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Transformasi NDVI


Citra hasil transformasi NDVI kemudian dikelaskan menjadi 3 kelas,

pembagian kelas untuk mengetahui kerapatan tutupan kanopi mangrove jarang,

sedang dan lebat. Dasar dari pembagian kelas mengacu Pedoman inventarisasi dan

identifikasi lahan kritis mangrove bahwa (Departemen Kehutanan, 2005).

C. Persentase Tutupan Kanopi Mangrove

Pengukuran persentase tutupan kanopi dilakukan pada 27 titik sampel

lapangan menggunakan metode hemispherichal photograph dan dianalisis


40

menggunakan perangkat lunak ImageJ. Gambar 12 menunjukkan contoh analisis

persentase tutupan kanopi mangrove menggunakan perangkat lunak ImageJ.

53%

71%

85%

(a) (b)
Gambar 12. Persentase tutupan kanopi menggunakan perangkat lunak ImageJ (a)
Foto tutupan kanopi asli, (b) Foto kanopi pemisahan nilai piksel
langit dan tututpan kanopi mangrove.
Pada plot 6 x 6 m diambil 1 foto, hasil dari analisis foto tutupan kanopi

mangrove digunakan untuk menentukan kelas persentase tutupan kanopi

mangrove yaitu kelas jarang, kelas sedang dan kelas lebat. Dasar dari pembagian

kelas mengacu Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove


41

(Departemen Kehutanan, 2005). Titik ground check persentase tutupan kanopi

mangrove dapat dilihat pada Gambar 13.

G
42

Penentuan titik ground check disesuaiakan dengan kodisi di lapangan dengan

menggunakan metode purposive sampling.


43

D. Jenis Mangrove

Hasil pengamatan di Mangrove Center Kota Balikapapan ditemukan 12

jenis mangrove sejati yaitu : Acrostichum aureum, Acrostichum speciosum,

Avivennia alba, Avicennia lanata, Bruguiera parviflora, Ceriops tagal,

Lumnitzera littorea, Osbornia octodonta, Rhizophora apiculata, Rhizophora

mucronata, Scyphiphora hydrophyllacea dan Sonneratia alba. Jenis mangrove di

Mangrove Center Graha Indah Kota Balikpapan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Jenis Mangrove di Mangrove Center Graha Indah Kota Balikpapan.

No. Familia Nama ilmiah


1. Pteridaceae Acrostichum aureum
2. Pteridaceae Acrostichum speciosum
3. Avicenniaceae Avivennia alba
4. Avicenniaceae Avicennia lanata
5. Rhizophoraceae Bruguiera parviflora
6. Rhizophoraceae Ceriops tagal
7. Combretaceae Lumnitzera littorea
8. Myrtaceae Osbornia octodonta
9. Rhizophoraceae Rhizophora apiculata
10. Rhizophoraceae Rhizophora mucronata
11. Rubiaceae Scyphiphora hydrophyllacea
12. Lythraceae Sonneratia alba
Berdasarkan hasil pengamatan, mangrove terdapat 8 famili, jumlah pohon

dapat dilihat pada Gambar 14. Plot yang digunakan berukuran 6 x 6 m disesuakan

dengan resolusi citra SPOT 7. Grafik jumlah pohon dapat dilihat pada Gambar 14.
Jenis Mangrove pada kawasan Mangrove Center Graha Indah
Kota Balikpapan
25

Acrostichum aureum
20
Acrostichum speciosum
Avicennia alba
Jumlah pohon per plot

Avicennia lanata
15 Bruguiera parviflora
Ceriops tagal
Lumnitzera littorea
Osbornia octodonta
10 Rhizophora apiculata
Rhizophora mucronata
Scyphiphora hydrophyllacea
Sonneratia alba
5

0
1

Titik Ground Check

Gambar 14. Grafik jumlah pohon pada setiap titik ground check
Spesies mangrove dominan yang ditemukan pada kawasan Mangrove

Center Graha Indah Kota Balikpapan yang mendominasi terbesar secara berurutan

adalah Rhizophora apiculata dengan jumlah pohon sebanyak 221 pohon, Ceriops

tagal dengan julah pohon 97 pohon dan Scyphiphora hydrophyllacea sebanyak 33

pohon. Mangrove jenis Rhizophora apiculata mendominasi karena buah dari

mangrove tersebut tergolong mudah untuk tumbuh serta sistem perakarannya

yang kuat.

E. Hubungan antara nilai NDVI dengan tutupan kanopi mangrove

Regresi antara persentase tutupan kanopi dengan NDVI pada citra SPOT 7

menghasilkan persamaan regresi y = 0,0077x + 0,1396 dengan koefisien korelasi

(R²) sebesar 0,8914 atau 89,14%. Apabila ditinjau dari kriteria hubungan korelasi

pada (Gambar 15) maka korelasi nilai NDVI dengan tutupan kanopi mangrove

termasuk korelasi kuat. Koefisien determinasi (R2) menandakan adanya

keterikatan antara tutupan kanopi dan NDVI sebesar 89,14% pada citra SPOT 7.

Semakin lebat tutupan kanopi semakin tinggi nilai NDVI. Grafik hubungan nilai

NDVI dan tutupan kanopi mangrove disajikan pada Gambar 15.


46

Gambar 15. Grafik hubungan nilai NDVI dengan tutupan kanopi mangrove

Hasil analisis korelasi sejalan dengan yang dilakukan Green et al. (1998)

menggunakan metode Leaf Area Index (LAI) untuk pengambilan data lapangan

dan NDVI dari citra SPOT XS mendapatkan koefisien determinasi (R 2) sebesar

0.74. Umarhadi dan Syarif (2017) membandingkan akurasi pemetaan kerapatan

kanopi mangrove menggunakan index vegetasi menggunakan citra Sentinel 2-A

dengan besar hubungan korelasi 81.657%. Kresnabayu et al. (2018) di Estuari

Perancak Kabupaten Jembrana-Bali dengan besar hubungan r=0.929. Hendrawan

et al. (2018) di Pulau Sebatik Provinsi Kalimantan Utara dengan besar hubungan

r= 0.85 menggunakan citra satelit SPOT 6 yang artinya tutupan kanopi berkorelasi

dengan nilai NDVI.

F. Estimasi kerapatan tutupan kanopi mangrove pada kawasan Mangrove

Center Graha Indah Kota Balikpapan

Estimasi kerapatan tutupan kanopi mangrove dilakukan untuk mengetahui


47

persentase kerapatan tutupan kanopi mangrove pada seluruh kawasan Mangrove

Center Graha Indah Kota Balikpapan. Estimasi kerapatan tutupan kanopi

mangrove menggunakan persamaan. Persamaan diketahui bahwa (y) merupakan

nilai NDVI dan (x) merupakan tutupan kanopi mangrove. Agar dapat

menghasilkan peta kerapatan tutupan kanopi mangrove, maka diukur

menggunakan persamaan berikut :

Tutupan kanopi = (NDVI – 0,1396) / 0,0077

Dari persamaan di atas menghasilkan peta persentase tutupan kanopi pada seluruh

kawasan Mangrove Center Graha Indah Kota Balikpapan. Hasil tersebut

kemudian dikelaskan berdasarkan status kondisi hutan mangrove pada (Tabel 2)

yaitu : kriteria jarang (< 50%), kriteria sedang (50-70%), dan kriteria lebat (70-

100%). Peta kerapatan tutupan kanopi mangrove pada kawasan Mangrove Center

Graha Indah Kota Balikpapan dapat dilihat pada Gambar 16.


Gambar 16. Peta kerapatan tutupan kanopi mangrove pada kawasan Mangrove Center Graha Indah Kota Balikpapan
Peta kerapatan tutupan kanopi mangrove kemudian dibagi menjadi 3

kriteria berdasarkan Status kondisi hutan mangrove pada (Tabel 2). Berdasarkan

peta kerapatan tutupan kanopi mangrove dapat disimpulkan mangrove di bagian

hulu kondisinya masih tergolong lebat sedangkan di bagian hilir kondisi

mangrove kurang lebat. Hal tersebut dikarenakan sampah plastik yang menutupi

substrat mangrove. Tumpahan minyak pada bulan April 2018 menyebabkan

banyak mangrove yang mati di Teluk Balikpapan serta penanaman mangrove

masih terfokuskan di daerah hulu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi kerapatan tutupan kanopi

mangrove pada kawasan Mangrove Center Graha Indah Kota Balikpapan dalam

kondisi baik.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan

sebagai berikut :

1. Kerapatan tutupan kanopi mangrove pada kawasan Mangrove Center

Graha Indah Kota Balikpapan berdasarkan hasil penelitian berkisar antara

45,6545 - 85,5987. Nilai kerapatan tutupan kanopi mangrove pada

kawasan MCGI Kota Balikpapan tergolong dalam kondisi baik.

2. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa

koefisien korelasi antara NDVI dengan tutupan kanopi pada citra SPOT 7

sebesar 89,14%. Hubungan tutupan kanopi dengan NDVI memiliki

hubungan yang positif dan termasuk korelasi kuat.

B. Saran

Adapun saran yang dapat dipaparkan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Perlu di lakukan penelitian selanjutnya untuk mengetahui kondisi

mangrove pada kawasan Mangrove Center Graha Indah Kota Balikpapan.

Penelitian selanjutnya disarankan menggunakan metode klasifikasi yang

lebih baik untuk mengetahui nilai kerapatan tutupan kanopi mangrove

yang lebih baik.

2. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat Kota

Balikpapan untuk menjaga kebersihan lingkungan khususnya di bagian

hilir sungai.
51

DAFTAR PUSTAKA

Akar A, Gökalp E, Akar Ö, Yılmaz V. 2016. Improving classification accuracy of


spectrally similar land covers in the rangeland and plateau areas with a
combination of WorldView-2 and UAV images. Geo Intern.1–14.
doi: 10.1080/10106049.2016.1178816\

Amran, M., A., 1999. Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh Untuk Inventarisasi
Hutan Mangrove. Laboratorium Inderaja dan Sistem Informasi Kelautan.
Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Amran, M., A., Muhiddin, A., H., Yasir, I., Selamat, M., B., dan Niartiningsih, A.,
2012. Kondisi Ekosistem Mangrove di Pulau Pannikiang Kabupaten Barru.
Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Ardiansyah DM, Buchori I. 2014. Pemanfaatan citra satelit untuk penentuan lahan
kritis mangrove di Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Geoplan. 1(1):1–12.

[BIG] Badan Informasi Geospasial. 2014. Pedoman Teknis Pengumpulan dan


Pengolahan Data Geospasial Mangrove, Cibinong

Chianucci F, Chiavetta U, Cutini A. 2014. The estimation of canopy attributes


from digital cover photography by two different image analysis methods.
IForest. 7(4):255–259. doi:10.3832/ifor0939-007

Danoedoro P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Andi


Offset.Yogyakarta.

Darmawan, S. 2008. Perkembangan Teknologi GeoInformasi di Indonesia: Global


Positioning System (GPS), Remote Sensing (RS) dan Sistem Informasi
Geografis (SIG). Bandung: ITB Press.

Departemen Kehutanan, 2005. Pedoman Inventarisasai dan Identifikasi Lahan


Kritis Mangrove. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial. Jakarta.

Dharmawan, I., W., E., dan Pramudji, 2014. Panduan Monitoring Status
Ekosistem Mangrove. COREMAP - CTI. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta.

Ekadinata, A. Dewi, S. Hadi, D P. 2008. Sistem Informasi Geografis dan


Penginderaan Jauh Menggunakan ILWIS Open Source
52

Ghufran, M. dan Kordi, K.M. 2012. Ekosistem Mangrove: potensi, fungsi, dan
pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta.

Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Scholten L. 2007. Mangrove Guidebook for


Southeast Asia. FAO and Wetland Internasional.

Green EP, Clark CD, Mumby PJ, Edwards AJ, Ellis AC. 1998. Remote sensing
techniques for mangrove mapping. Intern J Remote Sens. 19(5):935–956.
doi:10.1080/014311698215801.

Hendrawan, Zuraida I, Pamungkas BF. 2015. aktifitas antibakteri ekstrak metanol


Xylocarpus granatum dari pesisir Muara Badak. J Perikan Trop. 20(2):15–
22.

Hendrawan, Gaol JL, Susilo SB. 2018. Studi kerapatan dan perubahan tutupan
mangrove menggunakan citra satelit di Pulau Sebatik Kalimantan Utara.
Journal of Tropical Marine Science and Technology Vol. 10 No. 1, Hlm.
99-109, April 2018
doi: http://dx.doi.org/10.29244/jitkt.v10i1.18595

Irwanto. 2008. Hutan mangrove dan manfaatnya. Diperoleh pada Juli 2019 dari
https://irwanto.info/files/manfaat_hutan_mangrove.pdf.

Kardiana NT, Irsadi A. 2014. Peranan Mangrove Sebagai Biofilter Pencemaran


Air Wilayah Tambak Bandeng Tapak Semarang. J Manus Lingk. 21(2):188–
194.

Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup No 201 Tahun 2004 tentang Kriteria
Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.

Kresnabayu IMP, Putra IDNN, Suteja Y. 2018. Kerapatan hutan mangrove


berbasis data penginderaan jauh di estuari Perancak Kabupaten Jembrana-
Bali. J Marin and Aquat Scien. 4(1):31–37.

[LAPAN] Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. 2015. Pedoman


Pengolahan Data Penginderaan Jauh Landsat 8 Untuk Mangrove.

Latuamury B, Gunawan T, Suprayogi S. 2013. Hubungan antara indeks vegetasi


NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan koefisien resesi
baseflow pada beberapa subdas Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. J Teknologi Sains. 2(2):71–158.

[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2014. Panduan Monitoring Status


Ekosistem Mangrove. Jakarta.

Lillesand, T., M., and Kiefer, R., W., 1997. Remote Sensing and Image
53

Interpretation. New York

Misbahuddin dan Hasan, Iqbal. 2013. Analisis Data Penelitian dengan Statistik.
PT Bumi Aksara. Jakarta.
Nybakken, J., W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan.
Edisi II. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Noor YR, Khazali M, Suryadiputra IN. 2012. Panduan Pengenalan Mangrove di


Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor.

Nurdin N, Akbar M, Patittingi F. 2015. Dynamic of mangrove cover change with


anthropogenic factors on small island, Spermonde Archipelago. Proc. of
SPIE. 9638:1–11. doi:10.1117/12.2194645.

Pujiono E, Kwak DA, Lee WK, Kim SR, Lee JY, Lee SH, Park T, Kim MI. 2013.
RGB-NDVI color composites for monitoring the change in mangrove area
at the Maubesi Nature Reserve, Indonesia. F Scien Technolog. 9(4):171–
179.
Purkis, S., and Klemas, V., 2011. Remote Sensing and Global Environmental
Change. Publishing Wiley-Backwell.
Prahasta E. 2008. Remote Sensing: Praktis Penginderaan Jauh dan Pengolahan
Citra Dijital dengan Perangkat Lunak ER Mapper. Informatika. Bandung.

Pranata R, Patendean A, Yani A. 2016. analisis sebaran dan kerapatan mangrove


menggunakan citra Landsat 8 di Kabupaten Maros. J Sains Pend Fisika.
12(1):88–95.

Rouse JW, Haas RH, Schell JA, Deering DW. 1974. Monitoring vegetation
systems in the Great Plains with ERTS. Remote Sens Cent. 20:309-317.

Sahoo G, Mulla NSS, Ansari ZA, Mohandass C. 2012. Antibacterial activity of


mangrove leaf extracts against human pathogens. Indian J Pharmac scienc.
74(4):348–351. doi:10.4103/0250-474X.107068.

Setiawan H. 2013. Status ekologi hutan mangrove pada berbagai tingkat


ketebalan. JPKW. 2(2):104–120.

Setyawan, A., D., Susilowati, A., dan Sutarno, 2002. Biodiversitas Genetik,
Spesies dan Ekosistem Mangrove di Jawa Petunjuk Praktikum Biodiversitas
: Studi Kasus Mangrove.Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Sigit, Agus Anggoro. 2011. Pemanfaatan Tekonologi Penginderaan Jauh dan


54

Sistem Informasi Geografis untuk Pendugaan Potensi Peresapan Air DAS


Wedi Kabupaten Klaten-Boyolali, Tesis. Fakultas Geografi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

[SLHD] Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Balikpapan. 2015. Laporan Status
Lingkungan Hidup Derah Kota Balikpapan.

Soenarmo, S., H., 2009. Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi
Geografis Untuk Bidang Ilmu Kebumiaan. Penetbit ITB Bandung.

Sukojo, BM dan Kustarto, H. 2002. Perbaikan Geometrik Trase Jaringan Jalan


dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis. Jurnal Makara, Sains. Vol 6(3): 136-141.

Sutanto, 1986. Penginderaan Jauh, Jilid I dan II. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

Tuwo, A. 2011. Pengolahan Ekowisata Pesisir dan Laut. Penerbit Brilian


Internasional. Surabaya.

Umarhadi D, Syarif, A. 2017 Regression model accuracy comparison on


mangrove canopy density mapping. Intern Confer on Scien and Techn.
2(7):1–10.

Waas HJ, Nababan B. 2010. Pemetaan dan analisis index vegetasi mangrove di
pulau Saparua, Maluku Tengah. JITKT. 2(1):50–58.

http://www.intelligenceairbusds.com/files/pmedia/edited/
r18072_9_spot_6_technical_sheet.pdf
55

LAMPIRAN
56

Lampiran 1. Gambar hasil penentuan Ground Control Point(GCP)

Gambar 17. Titik Ground Control Point

Gambar 18. Root Mean Square (RMS) Error


57

Lampiran 2. Klasifikasi Maximum Likelihood Clasification

Gambar 19. Proses pembuatan ROI

Gambar 20. Hasil klasifikasi Maximum Likelihood Clasification


58

Lampiran 3. Dokumentasi ground check

Gambar 21. Persiapan alat ground Gambar 22. Menuju lokasi penelitian
check

Gambar 23. Pemasangan plot

Gambar 24. Pengambilan foto tutupan Gambar 25. Pengambilan titik


kanopi koordinat

Gambar 26. Foto bersama pembimbing lapangan dan pengelolah Mangrove


Center Graha Indah Kota Balikpapan
59

Lampiran 4. Jenis-jenis mangrove

Gambar 27. Acrostichum aureum Gambar 28. Acrostichum speciosum

Gambar 29. Avicennia alba Gambar 30. Avicennia lanata

Gambar 31. Bruguiera parviflora Gambar 32. Ceriops tagal

Gambar 33. Lumnitzera littorea Gambar 34. Osbornia octodonta


60

Gambar 35. Rhizophora apiculata Gambar 36. Rhizophora mucronata

Gambar 37. Scyphiphora hydrophyllacea Gambar 38. Sonneratia alba

Gambar 39. Mangrove yang mati akibat sampah plastik dan tumpahan minyak

Anda mungkin juga menyukai