PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan mangrove sering disebut sebagai hutan bakau atau hutan payau
(mangrove forest atau mangrove swamp forest) sebuah ekosistem yang terus
ekosistem khas wilayah pesisir, ekosistem mangrove memiliki banyak fungsi dan
membantu mengurangi dampak bencana alam seperti tsunami dan angin topan
(Nurdin et al., 2015). mangrove juga berperan sebagai penyerap karbon dan dapat
dekomposisi serasah (Giesen et al., 2007; Setiawan, 2013). Senyawa aktif pada
Hendrawan et al., 2015). Selain itu mangrove juga berperan sebagai biofilter
mangrove merupakan kawasan non budidaya yang menjadi kawasan suaka alam
hayati dan cagar alam. Kawasan hutan mangrove di Kota Balikpapan saat ini
kondisinya masih baik kurang lebih 2,160 Ha (SLHD Kota Balikpapan, 2015).
2
yaitu : Nypa Fruticans, Rhyzophora mucronata dan Rhyzophora stylosa pada sisi
daratan pesisir teluk, kemudian Sonneratia alba dan Avicennia alba pada sisi ke
arah laut. Luasan mangrove yang telah direhabilitasi selama tahun 2002-2004 di
mangrove sebesar 5,12% dari tahun 2013 seluas 2.298,73 Ha menjadi 2.422,83 Ha
2015)
dalam memantau kondisi ekosistem mangrove. Oleh karena itu diperlukan suatu
kesamaan nilai spektral tiap piksel. Informasi tematik dari hasil klasifikasi citra
perlu dinilai akurasi dengan melakukan uji akurasi (Danoedoro, 2012). Salah satu
faktor yang mempengaruhi akurasi dari hasil klasifikasi adalah resolusi spasial
citra. Citra dengan resolusi spasial tinggi umumnya memiliki akurasi overall yang
3
satelit dapat dilakukan dengan cara interpretasi citra secara digital menggunakan
sifat penting mangrove yaitu, mempunyai zat hijau daun (klorofil) dan tumbuh di
daerah pesisir (Waas dan Nababan, 2010). Sifat optik klorofil sangat khas yaitu
bahwa klorofil menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan kuat spektrum
Salah satu upaya untuk mengetahui kondisi mangrove baik secara spasial
pada kawasan Mangrove Center Graha Indah Kota Balikpapan maka perlu
monitoring lahan merupakan alat penting yang dapat menyatukan data menjadi
database yang sangat berguna bagi seorang perencana dalam melakukan evaluasi
ataupun monitoring (Lillesand dan Kiefer, 1997). Oleh karena itu, dilakukan
4
B. Tujuan
mangrove pada kawasan Mangrove Center Graha Indah Kota Balikpapan dan
menganalisis hubungan antara nilai NDVI mangrove dari citra satelit SPOT 7
C. Manfaat
selanjutnya. Data dan informasi yang didapat diharapkan bisa digunakan dalam
kegiatan konservasi hutan mangrove. Selain itu hasil penelitian dapat bermanfaat
A. Hutan Mangrove
1. Pengertian Mangrove
beradaptasi dan tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1992). Hutan mangrove
merupakan suatu ekosistem hutan yang unik yang berperan sebagai penyambung
(interface) antara ekosistem daratan dan ekosistem lautan. Bagi daerah pantai,
sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang didominasi oleh
menginvasi dan tumbuh di lingkungan air laut. Hutan mangrove disebut juga
vloedbosh, hutan pasang surut, hutan payau, rawa-rawa payau atau hutan bakau.
Istilah yang sering digunakan adalah hutan mangrove atau hutan bakau. Bakau
kearah daratan. Hutan mangrove di daerah tropis relatif homogen. Pada ekosistem
al., 2002) :
Heritiera.
mangrove dengan rawa air tawar tumbuh tegakan Nypa fruticans, diikuti
malaccensis.
organik, salinitas, dan air tanah. Karakter tanah itu sendiri dipengaruhi oleh
tinggi relatif air laut, erosi dan pengendapan sedimen, pengaruh gelombang atau
pasang surut dan air tawar yang masuk ke daerah mangrove, suplai sedimen dari
ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground) dan tempat berlindung
bagi organisme kecil dari predator. Beberapa fungsi dan manfaat hutan mangrove
makanan.
dan udang.
satwa lain.
8
tambak silvofishery.
disebabkan oleh dua faktor utama yaitu secara alami dan secara buatan. Secara
alami kerusakan diakibatkan gangguan alam seperti angin topan dan badai yang
disebabkan oleh campur tangan manusia misalnya konversi lahan menjadi tambak
makanan.
untuk memperoleh informasi atau data mengenai kondisi fisik suatu benda atau
objek, target, sasaran maupun daerah dan fenomena tanpa menyentuh atau kontak
sensor yang secara fisik berada jauh dari benda atau objek yang disebut sensor
jauh. Untuk itu digunakan sistem pemancar (transmitter) dan penerima (receiver).
Ilmu disini mengambarkan ilmu yang diperlukan baik dalam konsep, perolehan
data maupun pengolahan data yang tepat dan baik serta sesuai dengan tujuan
perolehan data. Data yang diperoleh pada umumnya berbentuk keruangan atau
Data atau informasi yang diperoleh berupa gambaran yang berbasis digital
yang biasa disebut citra. Citra digital merupakan model dua dimensi dari objek
10
Sumber energi utama berasal dari energi radiasi matahari, dengan panjang
radiasi matahari ada yang ditangkap langsung secara alami, ada yang melalui
Objek atau target adalah benda, fenomena atau yang akan diindera dengan
sensor jauh.
dicover oleh sensor. Informasi yang diperoleh sesuai dengan sifat fisik atau
karakteristik objek.
5) Sensor (receiver).
Sensor merupakan materi yang sesuai dengan sifat fisik atau karakteristik
elektromagnetik.
area secara teliti dan rinci. Hal ini akan menghemat waktu dan biaya dalam
Satelit melewati suatu area pada permukaan bumi hampir selalu tepat pada
waktu lokal yang sama. Hal ini menyebabkan kita dapat melakukan
sistem optik yang sama. Beberapa dari bagian panjang gelombang memiliki
informasi penting yang tidak dapat di tangkap oleh indera manusia atau
kamera biasa. Hal ini menyebabkan kita dapat membuat tumpang tindih
komposit.
data dalam jumlah besar dapat diperoses dan dianalisis dengan melalui
bantuan komputer
daun dan kandungan uap air. Kurva pantulan spektral vegetasi dapat dilihat pada
Gambar 2.
pantulan spektral yang sangat berbeda dari jenis tutupan lahan lainnya seperti
tanah, air dan tanah kosong. Spektrum vegetasi memiliki dua band penyerapan
klorofil utama yaitu saluran biru dan merah yang disebabkan pigmen seperti
klorofil a, klorofil b dan β-karoten, yang berada di lapisan atas dari daun (palisade
dekat, yang disebabkan oleh hamburan di lapisan yang lebih dalam dari daun
Klemas, 2011).
absorsi yang kuat pada 450 nm dan 670 nm dan reflektansi tinggi berada di
spektrum penyerapan air yang terkandung dalam daun (Purkis dan Klemas, 2011).
sangat dipengaruhi oleh serapan air. Tingkat serapan energi oleh vegetasi pada
panjang gelombang inframerah tengah merupakan fungsi dari jumlah total air
dalam daun dan ini ditentukan oleh persentase kandungan air dan ketebalan daun.
tetapi sedikit menyerap spektrum tersebut. Sebagian dari radiasi inframerah dekat
yang diteruskan ke bagian bawah daun akan kembali dipantulkan oleh permukaan
Amran, 1999).
D. Indeks Vegetasi
lain yang berkaitan dengan kerapatan seperti biomassa, Leaf Area Indeks (LAI),
15
Berdasarkan hal tersebut, karakteristik suatu objek yang diamati dapat diketahui
merah. Algoritma NDVI dapat dinyatakan sebagai berikut (Purkis dan Klemas,
2011) :
di mana, R adalah saluran merah dan NIR adalah saluran inframerah dekat.
Rentang nilai yang diperoleh oleh NDVI adalah antara -1 dan +1. Hanya
nilai-nilai positif sesuai dengan zona bervegetasi, dan semakin tinggi indeks maka
semakin besar kandungan klorofil dari obyek yang diamati. Sedangkan untuk nilai
negatif, dihasilkan oleh pantulan yang lebih tinggi pada saluran merah
dibandingkan dengan saluran inframerah dekat. Hal ini disebakan karena obyek
16
yang diamati berupa daerah awan, salju, tanah gundul dan batu. Pada Gambar 3
memantulkan cahaya tampak merah lebih sedikit dari pada saluran inframerah
E. Kerapatan Tajuk
atau liana yang berada di atas permukaan tanah yang menempel pada batang
utama. Tajuk adalah bagian dari kanopi yang membentuk menjadi atap hutan.
Estimasi kerapatan tajuk dilakukan dengan mengambil data foto secara vertikal
SPOT 7 adalah satelit satelit luas dengan resolusi tinggi yang dibangun
dan dioperasikan oleh Airbus Defense dan Space mengambil alih sebagian besar
SPOT 6 diluncurkan pada 6 September 2012 dan SPOT 7 pada 30 Juni 2014
sebelumnya, khususnya SPOT 5 yang diluncurkan pada tahun 2002. Gambar citra
dengan resolusi tinggi dan diopersikan di luar angkasa. Sistem satelit SPOT terdiri
yaitu, kontrol dan pemograman satelit, produksi citra, dan distribusinya. SPOT
oleh Spot Image yang terletak di Prancis. Sistem ini dibentuk olen CNES (Biro
Luar Angkasa milik Prancis) pada tahun 1978. Tujuan dibentuk SPOT adalah
oseanografi.
Satelit SPOT 7 dibangun untuk misi sepuluh tahun yang menampilkan dua
mencapai resolusi dua meter dalam pankromatik dan delapan meter dalam mode
multispektral yang mencakup pita spektral yang terlihat dan hampir inframerah.
SPOT 7, berdasarkan AstroSat-250, berukuran 1,55 kali 1,75 kali 2,70 meter
subsistem. Salah satu fitur paling kritis dari platform satelit adalah penggunaan
cepat untuk penargetan ulang yang cepat. Instrumen yang ada pada citra spot
Instrumen ini mencakup lima band - band pankromatik 450 hingga 750
nanometer dan empat band multispektral termasuk biru (450-520 nm), hijau (530-
600 nm), merah (620-690 nm) dan inframerah dekat (760-890 nm). Teleskop ini
mencakup pijakan darat 20 Kilometer dan satelit memiliki bidang +/- 35 derajat
(800 km) saat dimiringkan di sekitar titik nadir untuk pemantauan acara. NAOMI
pada SPOT 7 dapat memberikan gambar pankromatik pada resolusi dua meter di
meter.
dikumpulkan dalam strip tanah panjang 1.000 Kilometer. Pencitraan strip juga
dimungkinkan dan SPOT 7 dapat memperoleh beberapa strip di area target dalam
sekali lintasan dengan panjang strip hingga 600 Kilometer. Pencitraan strip
mosaik di mana satelit memperoleh beberapa strip gambar dari area yang
berdekatan juga dimungkinkan untuk mencakup area target persegi panjang 300 x
21
330 Kilometer dalam sekali lintasan. Untuk pencitraan biasa, SPOT 7 akan
SPOT 7 juga dapat mengumpulkan gambar stereo dan tri-stereo dalam satu
pass. Data dirujuk secara geografis menggunakan sistem otomatis yang beroperasi
beroperasi dalam orbit melingkar pada 695 Kilometer pada kemiringan 98,2
derajat. Satelit akan dipindahkan ke konstelasi dengan satelit SPOT 5 dan SPOT 6
bumi dengan waktu peninjauan kembali yang cepat dan waktu respons cepat
terdiri dari CGS (Control Ground Segment) dan EGS – (Exploitation Ground
Segment). Pembagian kerja antara dua komponen ini sangat jelas - CGS bertugas
berkala, merencanakan manuver orbital dan menerima rencana misi dari EGS.
EGS merencanakan target yang akan dicitrakan oleh satelit dan menerima semua
misi per hari yang memungkinkan waktu respons cepat dan penugasan tepat
Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juli 2019 yang meliputi studi
literatur, survei awal lokasi, pengambilan data lapangan, pengolahan data, analisi
Selatan. Stasiun pengamatan lapangan ditentukan melalui data citra satelit dan
Dalam penelitian ini alat yang digunakana berupa perangkat keras dan
1. Alat
Alat pada penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu perangkat keras dan
Perangkat keras
1) Laptop, kegunaan sebagai alat untuk mengolah data citra dan data
koordinat di lapangan.
6 X 6 m di lapangan.
5) Alat Tulis, kegunaan sebagai alat untuk mencatat data yang diperoleh
di lapangan.
lapangan.
Perangkat lunak
pembuatan peta.
24
2. Bahan
Data Citra Satelit SPOT 7 akusisi 3 Maret 2019 diperoleh dari LAPAN
Parepare.
C. Metode Penelitian
pada buku (Noor et al., 2012), tutupan kanopi mangrove (LIPI, 2014).
Penentuan ukuran petak pada penelitian ini mengikuti resolusi spasial citra
tinggi dada serta serta posisi kamera menghadap lurus ke langit (Gambar 7). Titik
Indonesia, penerapannya mudah dan menghasilkan data yang lebih akurat. Teknis
citra SPOT 7.
d. Mengidentifikasi nama - nama spesies mangrove dari tiap - tiap spesies yang
D. Prosedur Penelitian
pengumpulan data, proses pengolahan dan analisis data, dan hasil . Diagram alur
Studi literatur
Citra Spot 7
Koreksi
Atmosfer
Koreksi
Geometrik
Pemotongan Citra
Komposit Citra
Klasifikasi Supervised
Data Lapangan
Transformasi
Titik Koordinat
NDVI
Jenis Mangrove
Tutupan Kanopi
Peta NDVI
Analisis korelasi
dan regresi
E. Pengolahan Citra
1. Koreksi Atmosfer
parameter atmosfer dalam proses koreksi. termasuk faktor musim, dan kondisi
memperbaiki gangguan atmosfer seperti kabut tipis, asap, dan lain-lain. Metode
pada citra akibat gangguan atmosfer). Jika tidak ada atmosfer, objek bewarna
gelap atau biasanya berupa air dan banyangan awan seharusnya memiliki nilai
piksel 0, apabila pada objek tersebut tidak bernilai 0 maka nilai tersebut adalah
bias.
2. Koreksi Geometrik
disebabkan oleh distorsi spasial objek yang terekam disesuaikan dengan koordinat
kontrol medan (GCP, Ground Control Point) yang koordinatnya ditentukan dari
minimal 3 titik kontrol GCP. Namun semakin banyak titk kontrol maka hasil yang
GCP (Ground Control Point) atau titik control tanah adalah proses
penandaan lokasi yang berkoordinat berupa sejumlah titik yang diperlukan untuk
kegiatan mengkoreksi data dan memperbaiki keseluruhan citra. GCP terdiri atas
persimpangan rel dengan jalan dan bangunan yang mudah diidentifikasi atau
pixel. Interpolasi nilai pixel yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses
resampling tetangga terdekat. Proses ini dipilih karena tidak merubah nilai pixel
yang bersangkutan, melainkan hanya mengambil kembali nilai dari pixel terdekat
yang telah tergeser keposisi yang baru. Dalam hal ini proses koreksi Geometrik
terhadap posisi obyek yang sama di permukaan bumi dengan memakai beberapa
sehingga memudahkan analisis pada komputer. Selain itu, pemotongan citra akan
4. Komposit citra
Komposit citra adalah citra baru hasil dari penggabungan 3 saluran yang
Digunakan komposit citra ini dikarenakan oleh keterbatasan mata yang kurang
mampu dalam membedakan gradasi warna dan lebih mudah memahami dengan
pemberian warna. Pada citra multispektral yang terdiri dari banyak saluran,
apabila hanya menampilkan satu saluran saja maka citra yang dihasilkan
5. Klasifikasi citra
pengelompokan suatu piksel dalam beberapa kelas berdasarkan suatu kriteria atau
kategori obyek. Setiap piksel yang terdapat dalam setiap kelas diasumsikan
ditentukan oleh pengguna sebagai piksel acuan, yang selanjutnya digunakan oleh
komputer sebagai dasar melakukan klasifikasi. Sampel piksel yang baik memiliki
MLC adalah metode yang paling populer dalam klasifikasi data citra
30
6. Indeks vegetasi
kerapatan, biomassa, dan tingkat kehijauan (Prahasta, 2008). Indeks vegetasi yang
(NDVI). Nilai indeks vegetasi ini dihitung sebagai rasio antara band NIR (Near
1(minus) hingga 1 (positif), hal ini disebabkan oleh band NIR memantulkan kuat
(Pujiono et al., 2013). Kedua band ini dipilih karena hasil ukurnya dipengaruhi
oleh penyerapan klorofil daun. Persamaan indeks vegetasi NDVI (Rouse et al.,
( NIR−red)
NDVI =
(NIR+ red)
dimana:
Vegetasi yang sehat ditandai dengan nilai NDVI yang tinggi. Sebaliknya,
non-vegetasi seperti badan air diwakili dengan nilai NDVI negatif karena
penyerapan elektromagnetik oleh air (Pujiono et al., 2013). Nilai NDVI yang
mewakili vegetasi berada pada rentang 0.1 hingga 0. 7, nilai NDVI di atas 0.7
31
menunjukkan tingkat kesehatan dari tutupan vegetasi yang lebih baik (Prahasta,
2008).
memisahkan antara badan air, non vegetasi, dan vegetasi. Kelas vegetasi
F. Analisis Data
Analisis ini adalah pemisahan piksel langit dan tutupan vegetasi, sehingga
persentase jumlah piksel tutupan vegetasi mangrove dapat dihitung dalam analisis
gambar biner (Chianucci et al., 2014). Analisis dilakukan terhadap foto hasil
lapangan kemudian diubah menjadi format 8 bit sehingga pada data foto format
nilainya menjadi 0 sampai 255. Foto yang sudah diubah ke format 8 bit kemudian
dipisahkan antara tutupan kanopi dan langit menggunakan tools threshold pada
perangkat lunak ImageJ. Nilai 0 merupakan piksel langit dan nilai 255 merupakan
2014):
% tutupan mangrove = P255 / ΣP x 100%
dimana:
2005) dan Keputusan mentri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004 pada Tabel
2.
Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis korelasi (r).
antara variabel (x) yang berisi nilai tutupan kanopi mangrove dengan variabel (y)
yang berisi nilai indeks vegetasi NDVI. Ukuran kekuatan pengaruh dapat dilihat
pada Tabel 3.
√∑
n
n x 2i −¿ ¿ ¿
i=1
Dimana
r = koefisien korelasi
NDVI dari analisis citra Landsat ETM+ berkorelasi signifikan dengan kerapatan
tajuk pada umur tanaman tertentu. Kerapatan vegetasi dan NDVI memiliki
hubungan yang searah, semakin tinggi nilai kerapatan vegetasi yang diperoleh
maka semakin tinggi juga nilai NDVI dan sebaliknya, bila kerapatan vegetasi
Kota Balikpapan merupakan salah satu kota yang terletak di pesisir timur
letak astronomis Kota Balikpapan berada di antara 1,0 LS – 1,5 LS dan 116,5 BT
– 177,5 BT dengan luas wilayah sekitar 503,3 km2 dengan batas-batas wilayah
sebagai berikut :
Sejarah Mangove Center Graha Indah Kota Balikpapan, pada tahun 2000
penyebab terjadinya bencana alam, angin puting beliung berdampak ke 300 rumah
warga di Graha Indah serta banjir rob dari Teluk Sombar. Rusaknya hutan
mangrove serta timbulnya bencana alam membuat Bapak Agus Bei mulai
perkara mudah, tanpa pengetahuan bibit mangrove sering mati atau hanyut
terbawa air laut. Bapak Agus Bei belajar secara otodidak memperhatikan proses
mangrove di alam memang tidak mudah. Setelah berulang kali mencoba Bapak
Agus Bei mengetahui kunci utama adalah memastikan kualitas bibit, pemilihan
Bibit berasal dari buah tua atau propagu, penanaman bibit mangrove
ditopang dengan kayu yang kokoh agar tidak hanyut. Perawatan mangrove dengan
cara membersikan dari sampah plastik yang akan mengganggu pertumbuhan bibit
mangrove dan pemasangan jaring sampah. Hanya jenis mangrove tertentu yang
ditanam, jenis rhizophora mucronata merupakan jenis yang kuat, tahan terhadap
suhu yang ekstrim, kemampuan akar yang kuat dapat merangkap sedimen dan biji
jenis mangrove yang lain ikut terperangkap kemudian tumbuh secara alami.
Dengan luas sekitar 150 hektare, bukanlah hal mudah untuk menjaga hutan
oleh berbagai rintangan, akhirnya pada tanggal 21 Juli 2010 diresmikan oleh Wali
Kota kala itu masih dijabat oleh H. Imdad Hamid, SE. Dengan jumlah anggota 20
anggota aktif dan 200 anggota pasif. Bapak Agus Bei memperoleh Piala Kalpataru
untuk kategori perintis lingkungan tahun 2017 dari presiden Indonesia. Kegiatan
warga di Mangrove Center Graha Indah kota Balikpapan seperti pemandu wisata,
Graha Indah Kota Balikpapan juga terbuka bagi mahasiswa melakukan penelitian
atau PKL.
36
B. Pengolahan Citra
1. Koreksi atmosferik
panjang gelombang, yakni semakin besar panjang gelombang maka semakin kecil
2. Koreksi geometrik
Point). Titik koordinat GCP yang digunakan dalam koreksi geometrik untuk citra
SPOT 7 disajikan pada Lampiran 1 Hasil dari koreksi geometrik yang dilakukan
menghasilkan citra terkoreksi dengan RMSError (Root Mean Square Error) pada
citra SPOT 7 akuisisi 3 Maret 2019 sebesar 0.322121 meter. Nilai RMSError yang
selanjutnya dilakukan pemotongan citra pada batas wilayah penelitian yaitu Kota
mempercepat dalam pengolahan data citra.. Hasil pemotongan citra dapat dilihat
pada Gambar 9.
(
a) (b)
Gambar 9. Pemotongan citra (a) sebelum (b) sesudah
4. Komposit citra
Citra SPOT 7 memiliki 4 band, sehingga tidak banyak komposit band RGB yang
resolusi spasial 6 meter yang merupakan citra beresolusi tinggi. Komposit True
color pada citra SPOT 7 dengan susunan RGB 321 yaitu : band merah, band hijau,
dan band biru. Visualisasi mangrove pada citra SPOT 7 menggunakan komposit
false color dengan susunan RGB 431 yaitu band inframerah dekat, band merah
dan band biru. Hasil komposit citra SPOT 7 dapat dilihat pada Gambar 10.
38
(a) (b)
Gambar 10. Hasil komposit citra (a) komposit RGB 321 true color (b)
komposit RGB 431 false color.
5. Klasifikasi citra
yang terdistribusi normal. Pada metode ini, piksel dikelaskan sebagai objek
pada komposit citra dengan RGB 431 dan menyebar secara merata. Pembuatan
training area yang benar akan mempengaruhi kualitas hasil klasfikasi. Tujuan
39
transformasi NDVI.
6. Transformasi NDVI
perhitungan antara band 4 (Nir Infrared) dan band 3 (Red) pada citra SPOT 7.
sedang dan lebat. Dasar dari pembagian kelas mengacu Pedoman inventarisasi dan
53%
71%
85%
(a) (b)
Gambar 12. Persentase tutupan kanopi menggunakan perangkat lunak ImageJ (a)
Foto tutupan kanopi asli, (b) Foto kanopi pemisahan nilai piksel
langit dan tututpan kanopi mangrove.
Pada plot 6 x 6 m diambil 1 foto, hasil dari analisis foto tutupan kanopi
mangrove yaitu kelas jarang, kelas sedang dan kelas lebat. Dasar dari pembagian
G
42
D. Jenis Mangrove
dapat dilihat pada Gambar 14. Plot yang digunakan berukuran 6 x 6 m disesuakan
dengan resolusi citra SPOT 7. Grafik jumlah pohon dapat dilihat pada Gambar 14.
Jenis Mangrove pada kawasan Mangrove Center Graha Indah
Kota Balikpapan
25
Acrostichum aureum
20
Acrostichum speciosum
Avicennia alba
Jumlah pohon per plot
Avicennia lanata
15 Bruguiera parviflora
Ceriops tagal
Lumnitzera littorea
Osbornia octodonta
10 Rhizophora apiculata
Rhizophora mucronata
Scyphiphora hydrophyllacea
Sonneratia alba
5
0
1
Gambar 14. Grafik jumlah pohon pada setiap titik ground check
Spesies mangrove dominan yang ditemukan pada kawasan Mangrove
Center Graha Indah Kota Balikpapan yang mendominasi terbesar secara berurutan
adalah Rhizophora apiculata dengan jumlah pohon sebanyak 221 pohon, Ceriops
yang kuat.
Regresi antara persentase tutupan kanopi dengan NDVI pada citra SPOT 7
(R²) sebesar 0,8914 atau 89,14%. Apabila ditinjau dari kriteria hubungan korelasi
pada (Gambar 15) maka korelasi nilai NDVI dengan tutupan kanopi mangrove
keterikatan antara tutupan kanopi dan NDVI sebesar 89,14% pada citra SPOT 7.
Semakin lebat tutupan kanopi semakin tinggi nilai NDVI. Grafik hubungan nilai
Gambar 15. Grafik hubungan nilai NDVI dengan tutupan kanopi mangrove
Hasil analisis korelasi sejalan dengan yang dilakukan Green et al. (1998)
menggunakan metode Leaf Area Index (LAI) untuk pengambilan data lapangan
et al. (2018) di Pulau Sebatik Provinsi Kalimantan Utara dengan besar hubungan
r= 0.85 menggunakan citra satelit SPOT 6 yang artinya tutupan kanopi berkorelasi
nilai NDVI dan (x) merupakan tutupan kanopi mangrove. Agar dapat
Dari persamaan di atas menghasilkan peta persentase tutupan kanopi pada seluruh
yaitu : kriteria jarang (< 50%), kriteria sedang (50-70%), dan kriteria lebat (70-
100%). Peta kerapatan tutupan kanopi mangrove pada kawasan Mangrove Center
kriteria berdasarkan Status kondisi hutan mangrove pada (Tabel 2). Berdasarkan
mangrove kurang lebat. Hal tersebut dikarenakan sampah plastik yang menutupi
mangrove pada kawasan Mangrove Center Graha Indah Kota Balikpapan dalam
kondisi baik.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
sebagai berikut :
koefisien korelasi antara NDVI dengan tutupan kanopi pada citra SPOT 7
B. Saran
Adapun saran yang dapat dipaparkan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :
hilir sungai.
51
DAFTAR PUSTAKA
Amran, M., A., 1999. Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh Untuk Inventarisasi
Hutan Mangrove. Laboratorium Inderaja dan Sistem Informasi Kelautan.
Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Amran, M., A., Muhiddin, A., H., Yasir, I., Selamat, M., B., dan Niartiningsih, A.,
2012. Kondisi Ekosistem Mangrove di Pulau Pannikiang Kabupaten Barru.
Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Ardiansyah DM, Buchori I. 2014. Pemanfaatan citra satelit untuk penentuan lahan
kritis mangrove di Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Geoplan. 1(1):1–12.
Dharmawan, I., W., E., dan Pramudji, 2014. Panduan Monitoring Status
Ekosistem Mangrove. COREMAP - CTI. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta.
Ghufran, M. dan Kordi, K.M. 2012. Ekosistem Mangrove: potensi, fungsi, dan
pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta.
Green EP, Clark CD, Mumby PJ, Edwards AJ, Ellis AC. 1998. Remote sensing
techniques for mangrove mapping. Intern J Remote Sens. 19(5):935–956.
doi:10.1080/014311698215801.
Hendrawan, Gaol JL, Susilo SB. 2018. Studi kerapatan dan perubahan tutupan
mangrove menggunakan citra satelit di Pulau Sebatik Kalimantan Utara.
Journal of Tropical Marine Science and Technology Vol. 10 No. 1, Hlm.
99-109, April 2018
doi: http://dx.doi.org/10.29244/jitkt.v10i1.18595
Irwanto. 2008. Hutan mangrove dan manfaatnya. Diperoleh pada Juli 2019 dari
https://irwanto.info/files/manfaat_hutan_mangrove.pdf.
Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup No 201 Tahun 2004 tentang Kriteria
Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.
Lillesand, T., M., and Kiefer, R., W., 1997. Remote Sensing and Image
53
Misbahuddin dan Hasan, Iqbal. 2013. Analisis Data Penelitian dengan Statistik.
PT Bumi Aksara. Jakarta.
Nybakken, J., W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan.
Edisi II. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Pujiono E, Kwak DA, Lee WK, Kim SR, Lee JY, Lee SH, Park T, Kim MI. 2013.
RGB-NDVI color composites for monitoring the change in mangrove area
at the Maubesi Nature Reserve, Indonesia. F Scien Technolog. 9(4):171–
179.
Purkis, S., and Klemas, V., 2011. Remote Sensing and Global Environmental
Change. Publishing Wiley-Backwell.
Prahasta E. 2008. Remote Sensing: Praktis Penginderaan Jauh dan Pengolahan
Citra Dijital dengan Perangkat Lunak ER Mapper. Informatika. Bandung.
Rouse JW, Haas RH, Schell JA, Deering DW. 1974. Monitoring vegetation
systems in the Great Plains with ERTS. Remote Sens Cent. 20:309-317.
Setyawan, A., D., Susilowati, A., dan Sutarno, 2002. Biodiversitas Genetik,
Spesies dan Ekosistem Mangrove di Jawa Petunjuk Praktikum Biodiversitas
: Studi Kasus Mangrove.Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
[SLHD] Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Balikpapan. 2015. Laporan Status
Lingkungan Hidup Derah Kota Balikpapan.
Soenarmo, S., H., 2009. Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi
Geografis Untuk Bidang Ilmu Kebumiaan. Penetbit ITB Bandung.
Sutanto, 1986. Penginderaan Jauh, Jilid I dan II. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Waas HJ, Nababan B. 2010. Pemetaan dan analisis index vegetasi mangrove di
pulau Saparua, Maluku Tengah. JITKT. 2(1):50–58.
http://www.intelligenceairbusds.com/files/pmedia/edited/
r18072_9_spot_6_technical_sheet.pdf
55
LAMPIRAN
56
Gambar 21. Persiapan alat ground Gambar 22. Menuju lokasi penelitian
check
Gambar 39. Mangrove yang mati akibat sampah plastik dan tumpahan minyak