Hook F) PADA
MASYARAKAT SUKU ANAK DALAM DI HUTAN PT RESTORASI
EKOSISTEM INDONESIA (PT REKI), JAMBI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ETNOBOTANI JELUTUNG (Dyera costulata (Miq). Hook F) PADA
MASYARAKAT SUKU ANAK DALAM DI HUTAN PT RESTORASI
EKOSISTEM INDONESIA (PT REKI), JAMBI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-
Nya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yangdilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2015 ini ialah Etnobotani
Jelutung (Dyera costulata (Miq.) Hook F) pada Masyarakat Suku Anak Dalam di
Hutan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ervizal AM. Zuhud
MS dan Bapak Prof Dr Ir Iskandar Z. Siregar M.For.Sc selaku pembimbing dan
telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
CRC 990, M. Adlan Ali, S.Hut, M. Ahda Agung Arifian, S.Hut, Bang Gatot
Mandarsih, Pak Uda Sakirman, Staff dan seluruh karyawan PT REKI, ayah, ibu,
dan keluarga, sahabat perjuangan Fasttrack 47, dan sahabat KVT 2013 atas segala
doa, kasih sayang, dan dukungannya.
Semoga penelitian ini bermanfaat.
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Alur Pikir Penelitian 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Jelutung (Dyera costulata) 4
Sosio - budaya Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) 6
3 METODE 10
Lokasi dan Waktu Penelitian 10
Alat dan Bahan 10
Jenis Data yang Dikumpulkan 10
Metode Pengumpulan Data 11
Analisis Data 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17
Etnobotani Jelutung oleh Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) 17
Potensi Populasi Jelutung di Hutan PT REKI 26
Pengetahuan Mengenai Ekologi Jelutung 28
Upaya Konservasi dan Pengembangan Jelutung di Hutan PT REKI 35
5 SIMPULAN DAN SARAN 39
Simpulan 39
Saran 40
DAFTAR PUSTAKA 41
LAMPIRAN 47
RIWAYAT HIDUP 58
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Latar Belakang
kondisi populasi serta tempat tumbuh yang sesuai. Oleh karena itu dilakukan
penelitian ini dengan tujuan untuk mengidentifikasi etnobotani jelutung (Dyera
costulata) oleh Suku Anak Dalam (SAD), Jambi yang meliputi nilai budaya,
pemanfaatan atau penggunaan, budidaya, dan pengelolaan jelutung (Dyera
costulata), menghitung potensi populasi jelutung (Dyera costulata) dan
karakteristik habitatnya dan merumuskan strategi konservasi di PT REKI.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah menyediakan data dan informasi yang
dapat berguna terkait potensi dan cara pemanfaatan jelutung (Dyera costulata)
serta nilai guna dan manfaat keanekaragaman spesies tumbuhan di habitat
Jelutung berdasarkan pengetahuan dan kearifan tradisional masyarakat Suku Anak
Dalam. Data dan informasi ini dapat menjadi dasar dan bahan pertimbangan
dalam konservasi dan manajemen PT REKI yang berbasis partisipasi masyarakat
lokal melalui pengembangan pelestarian dan pemanfaatan jelutung (Dyera
costulata) dan keanekaragaman spesies tumbuhan lokal yang bernilai guna
ekonomi bagi masyarakat Suku Anak Dalam.
Manfaat: Ancaman
1. Kayu: bahan pensil, 1. Populasi menurun
papan dll 2. Kebakaran hutan
2. Getah: bahan baku 3. Pasar tidak ada
industri lagi
3. Daun: obat
Upaya Konservasi
Ekologi Etnobotani
2 TINJAUAN PUSTAKA
penghasil getah lain, khususnya di Amerika Tropis (Williams 1963). Ekspor getah
jelutung dari tahun 1924-1961 ke Amerika Serikat disajikan pada Gambar 4.
9000
8000
7000
Jumlah getah (ton)
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
1924 1925 1926 1927 1928 1929 1930 1931 1932 1933 1957 1958 1959 1960 1961
Sumber: Burkill (1935); Williams (1963)
Gambar 4 Ekspor getah jelutung ke Amerika Serikat tahun 1924 – 1961
Jelutung yang berasal dari wilayah Malaya memiliki reputasi baik di pasaran
dan telah memegang harga tertinggi daripada produksi dari negara lain, terutama
Borneo dan Sarawak (Burkill 1935). Ekspor getah jelutung dari Indonesia rata-
rata sekitar 3600 ton tiap tahunnya selama periode 1988-1993, tetapi ekspor
tahunan berfluktuasi secara tajam antara 1200-6500 ton (Boer dan Ella 2001).
Provinsi Jambi memiliki sejarah pasar jelutung di Indonesia. Berdasarkan data
BPS Jambi yang dikutip dalam Tata et al. (2015a) menunjukkan bahwa produksi
getah jelutung pada tahun 1985 hingga tahun 2007. Tahun 1989 dan tahun 1999
produksi getah jelutung di Provinsi Jambi menunjukkan angka yang paling besar
sepanjang 19 tahun. Menurut Sofiyudin dan Janudianto (2013) produksi getah
jelutung di Jambi mengalami penurunan sejak dua dekade terakhir. Produksi
jelutung dari hutan alam berhenti pada tahun 2007, sedangkan penyadap
dilaporkan berhenti menyadap getah jelutung dari hutan sejak tahun 2006 setelah
peraturan nasional mengenai pajak untuk pemungutan hasil hutan bukan kayu
dikeluarkan (Tata et al. 2015a).
kewajibannya untuk bersemedi, raja pun mengusir Pangeran Bagas Gayur. Setelah
keluar dari istana, Pangeran Bagas Gayur dan Puteri Berdarah Putih mengubah
nama mereka menjadi Serompak dan Siceren. Dari penikahannya Serompak dan
Siceren memiliki seorang anak perempuan yang diberi nama Bayan Lais. Bayan
Lais kemudian menikah dengan saudagar dari Kerajaan Mataram Hindu yaitu
Meruhum Sungsang Romo. Bayan Lais dan Meruhun Sungsang Romo memiliki
anak Pangeran Nagosari yang memiliki anak bernama Raden Ontar.
Menurut legenda Pangeran Nagosari atau Sikulup mencari ayahnya
Meruhun Sungsang Romo dan dibekali dua telur angsa oleh ibunya Bayan Lais.
Sejarahnya angsa tersebut bertelur. Bersamaan dengan bertelurnya angsa tersebut,
terdapat meriam, keris, dan gong. Meriam tersebut bernama Setimbang Jambi,
keris bernama Keris Seginjai, gong bernama Gung Gung Larangan dan tempat
terjadinya peristiwa tersebut dinamakan Angso Duo.
Raden Ontar yang merupakan anak dari Pangeran Nagosari memiliki anak
bejumlah sembilan yaitu Singo Jabo, Singo Pati, Singo Inu, Singo Besak, Singo
Laut, Singo Delango, Singo Melango, Singo Anom. Kesembilan anak Raden
Ontar ini mewarisi dan memiliki kekuasaan anak sungai yang disebut Batin.
Sungai tersebut diantaranya, Sungai Jangga, Sungai Semusir, Sungai Bahar,
Sungai Bulian, Sungai Telisak, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Sekamis
dan Burung Hantu. Sehingga nama Batin Sembilan memiliki arti sembilan anak
sungai. Zaman Kerajaan Melayu pada saat masa-masa penjajahan Belanda
masyarakat ini melarikan diri kedalam hutan karena tidak mau dijajah. Sehingga
masyarakat Suku Anak Dalam hingga sekarang berdiam di dalam hutan dengan
memegang aturan-aturan adat. Berikut silsilah keturunan masyarakat Batin
Sembilan. Silsilah Suku Bathin Sembilan menurut Sukmareni (2015) disajikan
pada Gambar 5:
Serompak
(Bagas Gayur dari Pagarurung) Siceren
(Putri Pinang Masak/ Puteri Berdarah
Putih dari Sarolangun)
Sikulup
(Pangeran Nagosari) Putri Bungsu
“Mulai dari muaro batin semak ilir batang sampe ke Olak Gedong
melako intan, menuju ulu Panerokan, Melintas di Kesung Batu
menitih pematang beliung patah sampai ke batas Palembang menuju
batin bahar. Melintas ke lubuk udang tergantung menuju ke bakal
petas menitih pematang tulung batin sikamis turun sampai batin
pemusiran. Melintas meuju batin jangga turun lalu ke batin jebak laju
ke ilir batang melintas ulu sungai ringin menuju batas rambahan ilir
tibo ke muaro batin semak. Batin singoan seberang batang batin
singoan darisungai rambutan lalu ke jalan babat menuju bukit bucu
melintas pematang ulu sungai rengas sampai ke batu tetedeng ilir
menuju ulu sangkilan sampai ke sungai meranti ilir sampai batin
singoan.”
Uraian mengenai masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) yang dikutip dari
website Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yaitu Anonim (2012)
menguraikan bahwa masyarakat SAD hidup secara berkelompok, tetapi
keberadaan kelompok ini tidak dibatasi oleh wilayah tempat tinggal tertentu.
9
Mereka bebas untuk tinggal bersama dengan kelompok lain. Masyarakat SAD
tidak mudah pindah kelompok atau pemimpin mereka yaitu, Tumenggung, hal
tersebut dikarenakan terdapat hukum adat yang mengatur apabila akan berpindah
atau berganti kelompok. Kecenderungan masyarakat SAD yaitu pihak laki-laki
akan mengikuti kelompok dari istrinya apabila terjadi perkawinan antar kelompok.
karena ada hukum adat yang mengatur bagaimana aturan berganti kelompok.
Susunan organisasi sosial pada masyarakat SAD yaitu:
1. Tumenggung
2. Wakil Tumenggung
3. Depati
4. Menti
5. Mangku
6. Anak Dalam
7. Debalang Batin
8. Tengganas/ Tengganai
3 METODE
Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data utama dalam penelitian yang digunakan untuk menjawab
11
tujuan penelitian. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Jenis data yang dikumpulkan
Cara Pengumpulan
No Jenis Data Variabel Sumber Data
Data
1 Etnobotani 1. Karakteristik 1. Wawancara Masyarakat
jelutung masyarakat SAD 2. Observasi lapang SAD
2. Pengetahuan morfologi
3. Pemanfaatan jelutung
4. Pemanfaatan hasil hutan
lain
5. Cara menyadap
6. Pengolahan getah
7. Perdagangan getah
8. Budaya dan
kepercayaan
2 Potensi dan 1. Jumlah individu 1. Analisis vegetasi Pengukuran
ekologi jelutung 2. Pengukuran di lapangan
jelutung 2. Diameter dan tinggi faktor abiotik
pohon jelutung
3. Faktor abiotik (tanah,
suhu, kelembapan)
4. Komposisi spesies
5. Keragaman spesies
6. Sebaran spasial jelutung
7. Asosiasi tumbuhan
jelutung
Analisis vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan dengan membuat petak tunggal berukuran 2 ha.
Menurut Kusuma (2007) luas plot contoh optimal untuk pengukuran
keanekaragaman tumbuhan adalah untuk tingkat pancang 1 600 m2 dan untuk
tingkat pohon sebesar 12 800 m2.Terdapat 50 plot dalam satu petak tunggal
dengan ukuran masing-masing 20 m2. Ukuran 20 m x 20 m untuk pengamatan
tingkat pohon, ukuran 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, 5 m x 5 m untuk pancang
dan 2 m x 2 m untuk semai (Soerianegara dan Indrawan 2002). Peletakan petak
ukur dilakukan secara purposive sampling, yaitu petak ukur diletakkan di lokasi
ditemukannya jenis jelutung (Dyera costulata). Data yang dicatat yaitu potensi
jelutung (jumlah, jenis, diameter, tinggi) dan seluruh tumbuhan yang berada
dalam petak tersebut meliputi jenis, jumlah, tinggi dan diameter untuk tingkat
tiang dan pohon. Bentuk petak ukur disajikan pada Gambar 7.
10
0
m
100 m
Analisis Data
IPKL= US + LU + RD
∑ xi 2 - ∑ xi
Iδ=n
(∑xi )2 -∑xi
Keterangan:
Iδ = Derajat penyebaran Morisita
n = Jumlah petak ukur
∑ xi 2 = Jumlah kuadrat dari total individu suatu spesies pada suatu komunitas
∑x𝑖 = Jumlah total individu suatu spesies pada suatu komunitas.
b. Derajat Pengelompokan
𝑋 2 0.025 -n+∑xi
Mc=
∑xi -1
Keterangan:
X20.025= Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 2.5%
∑xi = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i
n = Jumlah petak ukur Standar derajat Morisita
Standar derajat Morisita (Ip) dihitung dengan empat rumus sebagai berikut:
1. Bila Iδ≥Mc> 1.0, maka dihitung:
Iδ-Mc
Ip=0.5+0.5( )
n-Mc
2. Bila Mc>Iδ ≥ 1.0, maka dihitung:
Iδ-1
Ip=0.5 ( )
Mc-1
2. Keanekaragaman Spesies
Keanekaragaman spesies tumbuhan dapat dihitung dengan menggunakan
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Menurut Magurran (1988)
penghitungan indeks ini dengan rumus:
s s
ni ni
H' = ∑(pi ln pi ) = ∑ [( ) ln ( )]
N N
𝑖=1 𝑖=1
Keterangan :
H’ = Indeks keragaman Shannon-Wiener
ni = Jumlah individu spesies
N = Jumlah individu seluruh spesies
S = Jumlah spesies
3. Kemerataan Spesies
Tingkat kemerataan ditunjukkan oleh indeks kemerataan spesies (Evenness).
Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu di dalam spesies.
Menurut Ludwig dan Reynolds (1988) indeks ini dapat dihitung dengan rumus:
E=H' / ln S
Keterangan :
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon
16
S = Jumlah spesies
E = Indeks kemerataan spesies (Evenness)
d. Asosiasi Spesies
Asosiasi spesies dapat dapat didefinisikan sebagai tingkat ketergantungan
suatu spesies terhadap spesies lainnya dalam melangsungkan kehidupannya atau
tingkat seringnya dua spesies atau lebih menggunakan sumberdaya yang sama.
Asosiasi antar dua spesies dilihat dari present dan absent spesies pada plot
pengamatan dengan menggunakan tabel kontingensi berikut:
Tabel 3 Tabel kontingensi asosiasi antar spesies
Dyera costulata
Spesies X Jumlah
Ada Tidak ada
Ada A b a+b
Tidak Ada C d c+d
Jumlah a+c b+d N
(𝑎 + 𝑏)(𝑎 + 𝑐) (𝑐 + 𝑑)(𝑎 + 𝑐)
𝐸(𝑎)= 𝐸(𝑐)=
𝑁 𝑁
(𝑎 + 𝑏)(𝑏 + 𝑑) (𝑐 + 𝑑)(𝑏 + 𝑑)
𝐸(𝑏)= 𝐸(𝑑)=
𝑁 𝑁
(𝑂𝑖 − 𝐸𝑖)2
𝜒2= ∑
𝐸𝑖
Keterangan:
Oi = Frekuensi data hasil Observasi
Ei = Frekuensi harapan
Masyarakat SAD mengenal dua jenis jelutung yaitu jelutung rawa atau
jelutung payau dan jelutung darat atau jelutung kapur. Dua jenis jelutung dapat
dibedakan secara mudah dari bentuk daunnya. Jelutung darat memiliki daun lebih
lebar, daun lebih tipis dan ujung daun meruncing. Selain perbedaan dari bagian
daun, masyarakat SAD membedakan jelutung dari batangnya. Jelutung rawa
memiliki batang hitam, daun halus, kulit kayu keras sedangkan jelutung darat
batangnya memiliki bercak putih dan kulit kayu lembut/lunak serta tumbuh di
daerah rawa atau payau. Jumlah getah yang dihasilkan oleh jelutung darat dan
19
jelutung rawa relatif sama, tetapi tekstur jelutung rawa lebih encer karena
mengandung banyak air. Masyarakat SAD tidak memilih-milih jenis jelutung
mana yang sering disadap, masyarakat menyamakan kedua jenis jelutung yaitu
jelutung rawa dan jelutung darat dalam hal pemilihan pohon yang akan disadap.
Masyarakat SAD di PT REKI memiliki pengetahuan untuk mengenali
pohon jelutung di alam dan dapat membedakan dua jenis jelutung berdasarkan
morfologi pohon jelutung. Mengenali karakteristik morfologi jelutung dialam
bermanfaat bagi masyarakat untuk membedakan pohon yang memiliki getah yang
banyak. Tata et al. (2015a) juga mengungkapkan bahwa penyadap jelutung dapat
mengenali pohon jelutung yang menghasilkan getah melimpah berdasarkan
morfologi kulit batang dan tunas muda. Karakteristik tersebut yaitu tunas muda
yang berwarna merah dan kulit batang tipis yang kehitam-hitaman dan lunak
sampai agak kasar.
Komoditas ekonomi
Perkakas/papan Daun
Getah
Kayu
Obat
0 20 40 60 80 100
pokok masyarakat SAD biasanya adalah padi dan umbi-umbian yang ditanam di
kebun campuran yang mereka buat di dekat rumahnya.
Kawasan PT REKI juga memiliki hasil hutan bukan kayu yang potensial
dan belum dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu gaharu (Aquilaria microcarpa).
Disisi lain masyarakat telah memanfaatkan jernang (Daemonorops Sp.) karena
memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Masyarakat menjual jernang dalam keadaan
basah maupun dalam keadaan yang telah dioleh dalam bentuk serbuk. Harga
jernang yang telah diolah menurut masyarakat dapat mencapai Rp 1 000 000,-.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 9 (a) Eurycoma longifolia (b) Scaphium macropodum (c) Dialium indum
(d) Aquilaria microcarpa
Pengetahuan mengenai penyadapan getah jelutung
Mayarakat SAD menyadap jelutung di dalam hutan yang dilakukan di pagi
hari, sekitar jam 6.00-10.00. Sama halnya dengan kegiatan menyadap jelutung di
wilayah Tanjung Jabung yaitu, dimulai pada pukul 06.00 (Tata et al. 2015a).
Kegiatan menyadap getah jelutung harus dilakukan di pagi hari, karena getah
jelutung akan keluar sedikit jika kegiatan menyadap dilakukan siang hari.
Menyadap jelutung dilakukan secara individu dan dilakukan dengan memulai
menyadap dari pohon yang paling ujung atau jauh, kemudian kembali ke awal
jalur rintis. Sehingga, biasanya masyarakat membuat pondok dalam hutan dan
bermalam di pondok tersebut saat kegiatan menyadap jelutung berlangsung,
karena jarak ke lokasi penyadapan dapat mencapai 3 km dari pondok yang di
hutan.
Menyadap jelutung dapat dilakukan setiap hari, tetapi dalam rentang waktu
satu minggu kegiatan menyadap tidak dilakukan selama satu hari untuk
22
memulihkan kondisi pohon dan agar getah jelutung mudah keluar. Selama masa
istirahat tersebut merupakan waktu untuk memulihkan kulit batang jelutung (Tata
et al. 2015a), tetapi menurut Williams (1963) dalam beberapa kejadian, kematian
jelutung masih saja bisa terjadi. Hal tersebut dikarenakan kayu jelutung dapat
dengan mudah diserang hama penggerek batang dan jamur yang dapat
meyebabkan produksi getah jelutung berangsur menurun.
Setiap orang SAD memiliki wilayah masing-masing untuk menyadap
jelutung yang tidak bertumpang tindih dengan wilayah orang SAD lainnya.
Kepemilikan pohon jelutung tidak secara individu, melainkan bersifat komunal.
Walaupun tidak terdapat aturan adat yang mengikat, masyarakat SAD memiliki
kearifan dalam kegiatan menyadap jelutung. Hak klaim pohon jelutung yang akan
disadap yaitu berdasarkan penemuan pertama pohon jelutung. Kemudian
masyarakat membuat jalur-jalur rintisan untuk menemukan individu pohon
jelutung lainnya yang akan disadap. Jumlah pohon yang akan disadap tergantung
pada kelimpahan jelutung yang terdapat pada jalur rintisan. Masyarakat SAD
dalam sehari bisa menyadap 20-40 pohon jelutung. Williams (1963) bahkan
menyebutkan bahwa penyadap jelutung dapat menyadap pohon jelutung setiap
harinya sekitar 50 pohon. Cara-cara penentuan lokasi dan pemilihan pohon
jelutung yang dilakukan oleh masyarakat SAD di PT REKI sama dengan kegiatan
menyadap jelutung di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Menurut
Tata et al. (2015a) penyadap tradisional di Tanjung Jabung Barat memiliki aturan
terhadap kepemilikan pohon jelutung. Setiap penyadap memiliki hak klaim secara
individu dalam pembuatan jalur rintis dan jumlah pohon dalam jalur rintis yang
akan disadap. Jumlah jalur yang menjadi jalur rintisan jelutung antara 10-16 jalur
atau antara 10-40 jalur. Jumlah tersebut berdasarkan pada kepadatan pohon
jelutung di hutan dan jumlah penyadap dalam kelompok.
Alat yang digunakan pisau sadap khusus jelutung, lebih besar dari pisau
sadap karet. Menurut masyarakat SAD, dahulu alat yang digunakan untuk
menyadap jelutung adalah menggunakan parang atau golok. Menurut Williams
(1963) alat yang digunakan untuk menyadap jelutung adalah dengan
menggunakan “parang”, yaitu pisau besar dan panjang.
Teknik menyadap jelutung yang dilakukan oleh masyarakat yaitu, pada
bagian belakang alur sadapan tidak boleh saling bertemu atau terputus. Hal
tersebut dikarenakan, jika pada bagian belakang terputus atau saling bertemu
dapat menyebabkan pohon jelutung mati. Setiap pohon jelutung dibuat 2-5 alur
atau plat sadapan. Getah ditampung di jirigen berukuran 20 liter atau plastik, dulu
tempat menampung getah menggunakan bambu atau menggunakan daun nipah.
Cara mengangkut getah dipikul dengan menggunakan tali yang disebut dengan
galas.
Hasil getah jelutung bervariasi, tergantung dari ukuran pohon dan cara
menyadap jelutung. Masyarakat SAD menyadap pohon jelutung secara tradisional
dengan menggunakan pisau jelutung membentuk pola sadapan seperti huruf V
(Gambar 10). Sama halnya dengan yang dilaporkan oleh Bastoni (2014) dan
Williams (1963), teknik penyadapan getah tradisional dengan cara membuat
sayatan pada kulit batang pohon yang membentuk huruf V pada ketinggian 4 kaki
dengan besar sudut 45°. Satu pohon jelutung bisa menghasilkan 1 kg dengan
produktivitas getah 20-30 kg/ hari dari 20-30 pohon jelutung dengan membuat 2-5
alur sadapan pada setiap pohon. Menurut masyarakat semakin besar diameter
23
pohon maka akan semakin banyak getah yang dihasilkan. Hasil uji Pearson
Correlation terdapat hubungan antara diameter pohon jelutung dengan hasil getah
(P=0.05, sig=0.026).
Masyarakat SAD tidak memperhatikan metode dan arah sadap ketika
menyadap jelutung untuk menghasilkan getah yang banyak. Masyarakat hanya
menyadap pohon jelutung dengan metode pola V saja yang diperoleh secara turun
temurun. Padahal menurut (Waluyo et al. 2012) perbedaan metode sadap
berpengaruh sangat nyata terhadap produksi getah, sedangkan arah sayatan (ke
atas dan bawah) dan interaksi antara metode sadap dengan arah sayatan tidak
mempengaruhi produksi getah. Tasman (1999) diacu dalam Bastoni (2014) juga
menjelaskan bahwa penyadapan getah jelutung yang terbaik dilakukan pada
pohon dengan diameter di atas 25 cm, periode sadap 2 hari, dan sudut bidang
sadap 45o, mengahsilkan rata-rata getah sebesar 1.37ton/ha/tahun dengan
penurunan riap diameter pohon jelutung akibat sadapan rata-rata sebesar 0.34
cm/tahun.
Pencetakan Pencampuran
di papan getah dan Pengadukan Pengentalan
segi empat acetic acid
Penekanan Pemasakan
Getah
Penekanan Pengentalan Pengadukan
dibentuk
kadar air getah akan tenggelam di dasar sungai, sedangkan getah yang
mengandung sedikit kandungan air akan melayang di sungai. Penyimpanan ini
dilakukan sebelum getah jelutung dijual.
Pengumpulan Pengepul
Hutan Pengolahan Penyimpanan di tingkat tingkat
desa provinsi
yang masih terdapat kegiatan jual beli getah jelutung, menurut Harun (2015)
kondisi pengelolaan getah jelutung belum dilaksanakan secara optimal yang
diindikasikan dengan margin pemasaran yang belum efisien dan keuntungan di
tingkat petani yang masih rendah.
Pemanfaatan jelutung yang sangat rendah saat ini diikuti dengan populasi
jelutung dialam yang kian menurun. Pengamatan potensi populasi jelutung
(Dyeracostulata) dilakukan dengan membuat petak pengamatan seluas 2 ha. Pada
petak pengamatan jumlah individu jelutung yang ditemukan berjumlah 23
individu. Individu jelutung pada setiap tingkat pertumbuhan dihitung yaitu semai,
pancang, tiang dan pohon. Hasil dari pengamatan dilapangan disajikan pada
Gambar 14.
6 4.5
4
4
Ind.ha-1
2
1
2
0
Semai Pancang Tiang Pohon
Tingkat Pertumbuhan
26
20 24
21
15
10
11
5 7 2 1
0
20-40 40-60 60-80 80-100 100-120 120-140 160-170
Kelas Diameter (cm)
Tanah
Jelutung dapat tumbuh dimana saja tidak terpengaruh topografi dan jenis
tanah yang spesifik, sehingga masyarakat SAD dapat menemukan jelutung
dimana saja, kecuali pohon jelutung rawa yang dapat ditemui di daerah rawa atau
payau. Tekstur tanah tempat tumbuh jelutung biasanya agak berpasir. Hal tersebut
dibuktikan dengan hasil uji laboratorium terhadap tekstur tanah. Tekstur tanah
tempat tumbuh jelutung didominasi oleh pasir dibandingkan dengan debu dan
liatnya. Pada pengukuran ke-1 dan ke-2 tekstur tanah tempat tumbuh jelutung
kandungan pasir lebih tinggi daripada kandungan debu dan liat, tetapi pada
pengukuruan ke-3 tekstur tempat tumbuh jelutung kandungan liat lebih tinggi
dibandingkan kandungan pasir dan debu (Tabel 6). Hal tersebut dikarenakan
pengukuran ke-3 sampel tanah yang diambil di lokasi yang dekat dengan sungai,
sehingga kadar liatnya lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan pasir dan
debu. Hal tersebut sama dengan yang diungkapkan (Arlanda et. al 2014) yang
menyatakan bahwa tekstur tanah tempat tumbuh jelutung biasanya agak berpasir.
Tabel 6 Sifat tanah tempat tumbuh jelutung
Sifat tanah/No
1 2 3
sampel
Sifat fisik
Pasir (%) 43.54 48.41 14.28
Debu (%) 32.47 26.34 41.43
Liat (%) 23.99 25.25 44.29
Sifat kimia
pH H20 3.70SR 3.90 SR 3.60 SR
C-org (%) 6.03ST 3.30T 3.65T
N – Total (%) 0.31S 0.13R 0.19R
P-HCl 53.33T 43.34T 50.00T
Ca 0.18R 0.14R 0.86R
Mg 0.60R 0.12SR 0.14SR
K 0.44S 0.08SR 0.13R
Na 0.39R 0.20R 0.21R
KTK 17.51S 7.15R 8.85R
Keterangan: SR= Sangat Rendah R=Rendah S=Sedang T=Tinggi ST=Sangat Tinggi
29
Sampel ke-
Unsur Hara Mikro Satuan
1 2 3
Al me/100g 4.48 3.92 3.73
H me/100g 0.19 0.36 0.37
Fe ppm 39.98 33.12 39.49
Cu ppm 0.75 0.55 0.41
Zn ppm 3.62 2.11 0.61
Mn ppm 11.86 4.04 1.99
Suhu
Suhu dan kelembaban tempat tumbuh jelutung juga dianalisis, karena pada
pengaruh iklim terhadap vegetasi padakondisi dan tumbuh di lokasi tertentu lebih
berpengaruh dibandingkan dengan pengaruh tanah (Setiawan 2009). Suhu harian
tempat jelutung tumbuh berdasarkan pengukuran di lapangan adalah berkisar 23oC
-28oC. Berdasarkan data yang diperoleh dari data online BMKG, selama setahun
terakhir suhu rata-rata dari wilayah Provinsi Jambi adalah berkisar antara 25oC -
28oC dengan kelembaban berkisar 77 % - 89 %. Suhu dan kelembaban tersebut
biasanya terdapat pada lokasi dataran rendah. Jelutung yang ditemukan di
kawasan PT REKI berada pada ketinggian 100 mdpl. Habitat yang cocok jelutung
yaitu di dataran rendah (0-100 mdpl) atau hutan penggunungan yang mencapai
300 mdpl (Arlanda et al. 2014).
Distribusi curah hujan bulanan tertinggi adalah pada bulan November dan
Desember, karena pada bulan tersebut curah hujan diatas 300 mm, sedangkan
curah hujan terendah adalah pada bulan Februari, Juni, Juli, Agustus, dan
September, karena curah hujan pada bulan tersebut kurang dari 60 mm (Gambar
16). Distribusi curah hujan paling tinggi adalah pada bulan Oktober-Maret dan
curah hujan terendah adalah pada bulan April-September. Terdapat anomali pada
bulan Februari, karena curah hujan menjadi sangat rendah diantara periode musim
30
hujan. Setelah itu curah hujan menjadi tinggi kembali pada bulan Maret dan April.
Hal tersebut dikarenakan perubahan iklim yang sedang terjadi akhir-akhir ini.
100 600
RH (%) CH (mm)
90
T°C 500
80
70 400
60
50 300
40
30 200 CH (mm)
20 T °C
100
10 RH (%)
0 0
Sumber: dataonline.bmkg.go.id
Gambar 16 Data suhu, kelembaban, dan curah hujan Provinsi Jambi 2014-2015
Menurut masyarakat SAD getah jelutung lebih banyak dihasilkan pada
musim hujan dibandingkan pada musim kemarau. Sama halnya dengan yang
diungkapkan Indrayanti (2014), rata-rata curah hujan yang tinggi akan
menghasilkan getah jelutung yang tinggi pula. Perubahan distribusi curah hujan
yang tidak menentu akan menyebabkan berfluktuasinya hasil getah jelutung yang
diperoleh. Disamping itu, Sucianti (2015) menyatakan bahwa curah hujan
merupakan unsur iklim yang fluktuasinya tinggi dan memiliki pengaruh yang
cukup signifikan terhadap produksi tanaman.
K
Nama ilmiah Famili Jumlah KR (%)
(ind.ha-1)
Semai
Baccaurea racemosa Phyllantaceae 73 3 650 10.6
Actinodaphne diversifolia Lauraceae 54 2 700 7.8
Antidesma cuspidatum Lauraceae 47 2 350 6.8
Pancang
Syzygium acuminatissimum Myrtaceae 62 496 11.1
Rhodamnia cinerria Myrtaceae 34 272 6.1
Popowia pisocarpa Anonnaceae 33 264 5.9
Tiang
Meliosma nitida Sabiaceae 32 64 22.2
Baccaurea racemosa Euphorbiaceae 10 20 6.9
Gynotroches axillaris Rhizophoraceae 7 14 4.9
Pohon
Glochidion sp Phyllanthaceae 25 12,5 7.2
Meliosma nitida Sabiaceae 18 9 5.2
Scaphium macropodum Malvaceae 15 7.5 4.3
Keterangan: K=Kerapatan KR=Kerapatan relatif
Pohon
Pertumbuhan
Tingkat Tiang
Pancang
Semai
0,00 5,00 10,00 15,00
Gambar 17 Indeks kekayaan spesies
2. Keanekaragaman spesies
Berdasarkan hasil analisis vegetasi, tingkat keanekaragaman spesies tiap
tingkat pertumbuhan bervariasi. Tingkat pertumbuhan semai nilai
keanekaragaman spesies (H’) adalah 3.60. Keanekaragaman spesies tingkat
pertumbuhan pancang adalah sebesar 3.69. Keanekaragam spesies tingkat
pertumbuhan tiang adalah sebesar 3.37 dan keanekaragaman spesies tingkat
pertumbuhan pohon adalah sebesar 4.00. Kenekaragaman spesies tumbuhan di
kasawasan PT REKI termasuk dalam kategori tinggi dengan nilai yang bervariasi.
Tingginya keanekaragaman spesies pada suatu tempat dipengaruhi berbagai
faktor, misalkan faktor iklim, tanah, topografi, intensitas cahaya, dan
keanekaragaman tumbuhan lainnya. Kawasan PT REKI merupakan kawasan
hutan tropika dataran rendah yang memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi.
Menurut Ewusie (1990), keanekaragaman spesies yang tinggi pada hutan tropika
disebabkan karena spesies tropika dapat lebih toleransi terhadap relung ekologi
yang tumpang tindih pada beragama kondisi lingkungan mikro pada habitat
tropika terutama di dalam hutan, tersedianya sumberdaya yang tinggi, banyaknya
pemangsaan dan parasitisme dalam lingkungan tropika cenderung membatasi
berlimpahnya spesies tertentu.
Pertumbuhan
Pohon
Tingkat
Tiang
Pancang
Semai
2,80 3,00 3,20 3,40 3,60 3,80 4,00
Pertumbuhan Pohon
Tingkat
Tiang
Pancang
Semai
Ið Mu Mc Ip Sebaran
Jelutung 0.8928 4.0317 -1.4921 -0.5176 Merata
Ið : Derajat penyebaran Morisita Mc : Derajat pengelompokan
Mu : Derajat keseragaman Ip : Standar derajat Morisita
Jelutung tiap tingkat pertumbuhan yaitu semai, pancang, tiang, dan pohon
berdasarkan titik GPS menyebar secara merata (Gambar 20), tetapi terdapat titik
jelutung dimana semai, pancang, tiang dan pohon banyak ditemukan. Hal tersebut
disebabkan pernah adanya pemanenan biji jelutung pada titik atau lokasi tersebut.
Pemanenan biji yang dilakukan menyebabkan biji banyak jatuh dibawah pohon
induknya. Padahal secara alami biji jelutung menyebar dengan bantuan angin
34
(anemokori) karena ukuran biji yang kecil dan ringan menyebabkan anakan
jelutung tumbuh jauh dari pohon induk.
Pohon jelutung tumbuh menyebar di hutan sekunder tinggi, hutan sekunder
rendah, sekitar semak. Pohon jelutung yang tumbuh di sekitar semak biasanya
tumbuh didekat jalan yang banyak di tumbuhi semak. Jelutung juga beberapa
tumbuh di lokasi dekat dengan sungai. Sebaran titik jelutung pada berbagai
tingkat pertumbuhan disajikan pada Gambar 20.
Indeks
No Nama Lokal E (a)
a X hitung Asosiasi
Asosiasi
1 Baccaurea racemosa 4.08
5 0.737 Tidak ada 0
2 Palaquium gutta 1.92
3 1.015 Tidak ada 0
3 Popowia pisocarpa 3.36
4 0.315 Tidak ada 0
4 Gynotroches axillaris 1.32
2 0.510 Tidak ada 0
5 Miliosma nitida 3.96
2 3.242 Tidak ada 0
6 Rhodamnia cinerria 2.64
1 2.067 Tidak ada 0
Syzygium
7 4.26 2.922 Tidak ada 0
acuminatissimum
8 Antidesma cuspidatum 3.126 6.294 Ada 0.2308
9 Shorea ovalis 3.243 0.044 Tidak ada 0
10 Scaphium macropodum 2.42 0.280 Tidak ada 0
spesies harus dilindungi karena kerentanan yang besar atau kecil, berhubungan
dengan beberapa kriteria yang berhubungan dengan ancaman over eksploitasi
(Albuquerque et al. 2008). Sehingga berdasarkan hal tersebut perlu adanya upaya
untuk konservasi dan pengembangan jelutung yang berkelanjutan di PT-REKI.
tetapi langsung kepada pengelola PT REKI. Hal itu bisa dilakukan juga pada
getah jelutung. Untuk skala kecil di PT REKI masyarakat SAD bisa menjual hasil
getah jelutung ke PT REKI, karena harga getah dapat terjaga dan masyarakat SAD
tidak mengeluarkan banyak biaya untuk mengangkut getah menuju Kota Jambi.
Sehingga alur perdagangan getah jelutung dapat dipotong menjadi seperti pada
Gambar 21.
Penjualan ke
Hutan Pengolahan Penyimpanan Pengelola PT
REKI
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Indrayanti L, Marsoem SN, Prayitno TA, Supryo H. 2014. Growth rate and latex
yield of lime jelutung (Dyera lowii Hook) that growing at ten peat thickness.
Advances in Environmental Biology. 8(5): 1881-1889
Kouji S, Kazuo Hosomi, Tsutomu Arakawa, Masayoshi Uzawa, Yoshio Ito,
Yoshimasa Saburi. 1992. Isolation and Characterization of an Allergy Inhibitor
from the Jelutong, Dyera costulata Hook. f., Bioscience, Biotechnology, and
Biochemistry, 56(6): 975-975, DOI: 10.1271/bbb.56.975.
Krebs CJ. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. New York (US): Harper & Row.
Kusuma S. 2007. Penentuan bentuk dan luas plot contoh optimal pengukuran
keanekaragaman spesies tumbuhan pada ekosistem hutan hujan dataran rendah:
studi kasus di Taman Nasional Kutai [thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and
Computing. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Magurran AE. 1998. Measuring Biological Diversity. Malden (US): Blackwell.
Majid NM, Islam MM, Rauf, Abdul R. 2012. Evaluation of Jelutong ('Dyera
cotulata') as a phytoremediator to uptake copper (Cu) from contaminated soils.
Australian Journal of Crop Science. 6(2):369-374.
Marten GG, Brosius PJ, Lovelace GW. 1986. Ethnoecology: an approach to
understanding traditional agriculture knowledge. Dalam Traditional
Agriculture in Southeast Asia: A Human Ecology Persfective. Colorado (US):
Westview Press.
Mayasari A, Kinho J, Suryawan A. 2012. Asosiasi eboni (Diospyros spp.) dengan
jenis-jenis pohon dominan di Cagar Alam Tangkoko Sulawesi Utara. Info BPK
Manado. 2(1):55-72.
Middleton DJ, Edinburgh. 2007. Apocynaceae subfamilies Rauvolfioideae and
Apocynoideae. Flora Malesiana. 1(18):1– 452
Morisita M. 1959. Measuring of the dispersion of individuals and analysis of the
distributional patterns. Biology. 2(4):215-233.
Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Tokyo (JP): Toppan Co. Ltd.
Oliveira RLC, Lins Neto EMF, Araujo EL, Albuquerque UP. 2007. Conservation
priorities and population structure of woody medicinal plants in an area of
Caatinga vegetation (Pernambuco State, NE Brazil). Environ Monit Assess.
132:189–206.
Onrizal. 2009. Bahan ajar pembuatan herbarium dan pengenalan jenis pohon.
Medan (ID): Departemen Kehutanan USU.
Rahman AMA. 2013. Membangun Kembali Dunia Baru Indonesia. Bogor (ID):
IPB Press.
Reanmongkol W, Poungsawai C, Subhadhirasakul S, Wiparat C, Pairat C. 2002.
Antinociceptive activity of Dyera costulata extract in experimental animals.
Songklanakarin J. Sci. Technol. 24(2):227-234.
[PT REKI]. PT Restorasi Ekosistem Indonesia. 2012. Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada
Hutan Produksi Periode Tahun 2011-2020 Kabupaten Batanghari dan
Kabupaten Sarolangun. Jambi (ID): PT Restorasi Ekosistem Indonesia.
Setiawan E. 2009. Kajian hubungan unsur iklim terhadap produktivitas cabe jamu
(Piper retrofractum Vahl) di Kabupaten Sumenep. Agrovigor. 2(1):1-7.
43
LAMPIRAN
46
47
RIWAYAT HIDUP