Anda di halaman 1dari 72

ETNOBOTANI JELUTUNG (Dyera costulata (Miq).

Hook F) PADA
MASYARAKAT SUKU ANAK DALAM DI HUTAN PT RESTORASI
EKOSISTEM INDONESIA (PT REKI), JAMBI

RAHILA JUNIKA TANJUNGSARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Etnobotani Jelutung


(Dyera costulata (Miq.) Hook F) pada Masyarakat Suku Anak Dalam di Hutan PT
Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), Jambi adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

Rahila Junika Tanjungsari


E351140246
RINGKASAN

RAHILA JUNIKA TANJUNGSARI. Etnobotani Jelutung (Dyera costulata


(Miq.) Hook F) pada Masyarakat Suku Anak Dalam di Hutan PT Restorasi
Ekosistem Indonesia (PT REKI), Jambi. Dibimbing oleh ERVIZAL AM. ZUHUD
dan ISKANDAR ZULKARNAIN SIREGAR.

Jelutung (Dyera costulata) merupakan native spesies yang berasal dari


Sumatera dan Kalimantan. Jelutung memiliki banyak kegunaan, kegunaan utama
dari jelutung adalah getahnya sebagai bahan baku industri. Suku Anak Dalam
pernah memanfaatkan jelutung di PT-REKI. Populasi jelutung di habitat alaminya
telah mengalami penurunan serta pasar jelutung sudah tidak menjanjikan lagi.
Usaha-usaha yang dilakukan masih belum banyak didokumentasikan termasuk
aspek etnobotani, kondisi populasi serta tempat tumbuh yang sesuai. Oleh karena
itu dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk (1) mengidentifikasi etnobotani
jelutung (Dyera costulata) oleh Suku Anak Dalam (SAD), Jambi yang meliputi
nilai budaya, pemanfaatan atau penggunaan, budidaya, dan pengelolaan jelutung
(2) menduga potensi populasi jelutung (Dyera costulata) dan ekologi jelutung
meliputi kondisi tanah, suhu dan kelembaban, sebaran spasial jelutung dan
asosiasi interspesifik jelutung, dan keanekaragaman tumbuhan disekitarnya.
Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2015 di hutan PT REKI,
Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Metode pengumpulan data yaitu dilakukan
dengan wawancara kepada masyarakat SAD dan analisis vegetasi pada plot
pengamatan seluas 2 ha. Analisis data mengenai etnobotani jelutung dilakukan
secara deskriptif. Analsis data vegetasi dilakukan dengan menggunakan kerapatan
relatif, Indeks Shanon-Wiener, Indeks Margaleff, Indeks Evenness, Indeks
Morisita, dan Indeks Jaccard.
Hasil penelitian menunjukaan bahwa, saat ini masyarakat SAD di hutan PT
REKI tidak lagi menyadap jelutung dikarenakan pasar jelutung yang tidak ada dan
tidak menjanjikan lagi. Jelutung (Dyera costulata) memiliki kegunaan sebagai
obat bisul dan sakit gigi, bahan baku papan, dan getahnya sebagai komoditi
ekonomi. Masyarakat SAD memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai
ekologi, pemanfaatan, pengolahan, hingga pemasaran jelutung.
Kondisi tegakan jelutung di alam dalam kategori kondisi tidak baik. Hal ini
dikarenakan kurva spesies tidak menunjukkan kurva J terbalik. Anakan jelutung
jumlahnya sedikit sehingga mengancam keberadaan populasi. Jelutung dapat
tumbuh pada suhu 23oC -28oC dan kondisi tanahyang termasuk dalam kategori pH
sangat rendah dan miskin hara.Kekayaan spesiestingkat pohon lebih tinggi dari
tiap tingkat pertumbuhan lainnya.Berdasarkan perhitungan Indeks Morisita
sebaran spasial tumbuhan jelutung adalah merata. Jelutung berasosiasi dengan
Antidesma cuspidatum dengan indeks asosiasi Jaccard sebesar 0.2308.
Berdasarkan informasi etnobotani dan ekologi, diusulkan strategi konservasi
jelutung yang dapat dilakukan adalah konservasi bersama masyarakat SAD,
agroforestri jelutung, dan perbaikan pemasaran getah jelutung. Dengan begitu
jelutung (Dyera costulata) dapat di konservasi dan berkontribusi bagi lingkungan
(ekologi), sosial, dan ekonomi masyarakat SAD yang berkelanjutan.

Kata kunci: jelutung, konservasi, Suku Anak Dalam (SAD)


SUMMARY

RAHILA JUNIKA TANJUNGSARI. Ethnobotany of Jelutung (Dyera


costulata (Miq.) Hook F) on Suku Anak Dalam at forest PT REKI, Jambi.
Supervised by ERVIZAL AM. ZUHUD and ISKANDAR ZULKARNAIN
SIREGAR.

Jelutung (Dyera costulata (Miq.) Hook. F) is a native species from Sumatra


and Borneo and it has various benefit. Suku Anak Dalam is one of the traditional
community that was utilized jelutung in forest PT REKI. The main use of jelutung
is the latex as industrial raw materials. Jelutung population in natural habitat has
decreased and the latex is no longer available in market. Jelutung conservation
effort were ethnobotany aspect, and population and habitat characteristic not yet
documented. The objectives of this research were (1) identify ethnobotany
jelutung (Dyera costulata) by Suku Anak Dalam (SAD), contains cultural value,
utilization or use, cultivation and management jelutung (2) estimate the potential
population jelutung (Dyera costulata) and ecology jelutung include ground
conditions , temperature and humidity, spatial distribution jelutung, interspecific
associations jelutung, plant diversity around jelutung habitat.
The study was conducted in May-June 2015 at forest PT REKI, Batanghari
district, Jambi. Data were collected by interview and vegetation analysis using
sample plot of 2 ha. Data analysis of ethnobotany used deskriptive analysis.
Vegetation data analysis used relative density, Shanon-Wiener index, Margaleff
index, Evenness index, Morisita index, and Jaccard index.
Results in ethnobotany aspect showed that nowadays, SAD community is
not tapping for commercial purpose due to latex markets in Jambi dropped. SAD
people used jelutung’s timber as raw materials for furniture. Mostly SAD people
used latex to treat abscess, toothache, and as economic commodity. SAD
community have traditional knowledge and skill about ecology, utilization,
management, and processing of jelutung.
Jelutung stand condition in forest PT REKI indicate unpleasant condition,
because it was not following J-curve. No many seedling jelutung in forest, so the
population are threatened. Jelutung can grow in temperature condition 23oC -28oC
and soil condition that are low pH and poor of nutrient. Species richness tree level
was higher than the growth rate of the other. Based on Morisita index, spatial
distribution of jelutung is uniform. Jelutung associating with Antidesma
cuspidatumand Jaccard index of0.2308.
Based on study about ethnobotany and ecology of jelutung, formulated
conservation strategies of jelutung were conservation with SAD community,
agroforestry of jelutung and improve regulation jelutung markets in Jambi.
Jelutung of the study could be used to local conservation and management for
sustainable used.So that, jelutung can be conserved and contibute for
environment, social and economic of SAD community.

Keywords : conservation, jelutung, Suku Anak Dalam


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ETNOBOTANI JELUTUNG (Dyera costulata (Miq). Hook F) PADA
MASYARAKAT SUKU ANAK DALAM DI HUTAN PT RESTORASI
EKOSISTEM INDONESIA (PT REKI), JAMBI

RAHILA JUNIKA TANJUNGSARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS
PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-
Nya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yangdilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2015 ini ialah Etnobotani
Jelutung (Dyera costulata (Miq.) Hook F) pada Masyarakat Suku Anak Dalam di
Hutan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ervizal AM. Zuhud
MS dan Bapak Prof Dr Ir Iskandar Z. Siregar M.For.Sc selaku pembimbing dan
telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
CRC 990, M. Adlan Ali, S.Hut, M. Ahda Agung Arifian, S.Hut, Bang Gatot
Mandarsih, Pak Uda Sakirman, Staff dan seluruh karyawan PT REKI, ayah, ibu,
dan keluarga, sahabat perjuangan Fasttrack 47, dan sahabat KVT 2013 atas segala
doa, kasih sayang, dan dukungannya.
Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016

Rahila Junika Tanjungsari


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Alur Pikir Penelitian 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Jelutung (Dyera costulata) 4
Sosio - budaya Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) 6
3 METODE 10
Lokasi dan Waktu Penelitian 10
Alat dan Bahan 10
Jenis Data yang Dikumpulkan 10
Metode Pengumpulan Data 11
Analisis Data 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17
Etnobotani Jelutung oleh Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) 17
Potensi Populasi Jelutung di Hutan PT REKI 26
Pengetahuan Mengenai Ekologi Jelutung 28
Upaya Konservasi dan Pengembangan Jelutung di Hutan PT REKI 35
5 SIMPULAN DAN SARAN 39
Simpulan 39
Saran 40
DAFTAR PUSTAKA 41
LAMPIRAN 47
RIWAYAT HIDUP 58
DAFTAR TABEL

1 Wilayah penyebaran Batin Sembilan 8


2 Jenis data yang dikumpulkan 11
3 Tabel kontingensi asosiasi antar spesies 16
4 Demografi masyarakat SAD di PT REKI tahun 2013 17
5 Ciri morfologi jelutung berdasarkan pengetahuan masyarakat SAD 18
6 Sifat tanah tempat tumbuh jelutung 28
7 Unsur hara mikro tanah pada tempat tumbuh jelutung 29
8 Kerapatan tertinggi tumbuhan tiap tingkat pertumbuhan 31
9 Perhitungan indeks Morisita 33
10 Asosiasi jelutung dengan spesies tumbuhan dominan 35
11 Nilai Index Prioritas Konservasi Lokal 35

DAFTAR GAMBAR

1 Alur pikir penelitian 3


2 a. Daun b. Bunga c. Penampang dalam bunga d. Buah 4
3 Peta sebaran jelutung (Dyera spp.) di Asia Tenggara 5
4 Ekspor getah jelutung ke Amerika Serikat tahun 1924 – 1961 6
5 Silsilah asal-usul Batin Sembilan 7
6 Peta Lokasi Penelitian 10
7 Bentuk dan ukuran plot analisis vegetasi 12
8 Persentase pemanfaatan jelutung 19
9 (a) Eurycoma longifolia (b) Scaphium macropodum (c) Dialium indum
(d) Aquilaria microcarpa 21
10 Pola sadapan jelutung 23
11 Diagram alir pengolahan getah jelutung tahu 24
12 Proses pemasakan getah jelutung press 24
13 Alur perdagangan getah jelutung 25
14 Potensi jelutung 26
15 Sebaran kelas diameter pohon jelutung 27
16 Data suhu, kelembaban, dan curah hujan Provinsi Jambi 2014-2015 30
17 Indeks kekayaan spesies 32
18 Indeks keanekaragaman 32
19 Indeks kemerataan spesies 33
20 Sebaran titik jelutung 34
21 Rancangan alur perdagangan getah jelutung di PT REKI 39
DAFTAR LAMPIRAN

1 Tabulasi INP tingkat semai 47


2 Tabulasi INP tingkat pancang 49
3 Tabulasi INP tingkat tiang 50
4 Tabulasi INP tingkat pohon 52
5 Daftar tumbuhan pangan yang dimanfaatkan 54
6 Daftar tumbuhan obat yang dimanfaatkan 55
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jelutung (Dyera costulata) termasuk famili Apocynaceae yang merupakan


tumbuhan spesies lokal yang tersebar secara alami di Sumatera dan Kalimantan.
Jelutung merupakan spesies pohon yang memiliki banyak kegunaan. Jelutung
menghasilkan getah (latex) yang digunakan sebagai bahan baku permen karet,
isolator kabel (Sofiyuddin et al. 2012) dan bahan campuran softdrink. Kayu
jelutung memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Sofiyuddin et al. 2012). Kayu
jelutung dimanfaat sebagai bahan baku kayu lapis, pembuatan kertas, industri
pensil, peti kemas, moulding, papan tulis, perabot rumah dan lain sebagainya
(Arlanda et al. 2004). Selain itu, ekstrak daun jelutung mengandung antioksidan
(Subhadhirasakul et al. 2003), sebagai analgesik dan mengandung bahan kimia
potensial quercetin sebagai hypoallergenic, anticancer, antiosteoporosis,
antiinflammatory, antispasmodic, dan antihepatotoxyc (Reanmongkol et al.
2002). Jelutung darat (Dyera costulata) dapat berperan sebagai penghambat alergi
(Kouji et al. 1992). Akar dari jelutung darat (Dyera costulata) merupakan bagian
utama tumbuhan yang dapat mengabsorbsi tembaga (Cu) yang mengkontaminasi
tanah (Majid et al. 2012).
Suku Anak Dalam (SAD) merupakan masyarakat lokal yang sampai saat ini
masih hidup di hutan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), Provinsi
Jambi. Masyarakat SAD telah lama memanfaatkan jelutung terutama getahnya
yang bernilai ekonomi. Getah jelutung sejak tahun 1905 tercatat telah menjadi
barang komoditi dunia dan telah diimpor ke Amerika Serikat (Holt 1938 diacu
dalam Williams 1963). Menurut Williams (1963) Kalimantan dan Sumatera
merupakan wilayah penting dari produksi getah jelutung. Provinsi Jambi
merupakan salah satu provinsi yang pernah mensuplai getah jelutung untuk
perdagangan dunia. Getah jelutung dari Provinsi Jambi di Impor ke Singapura dan
Amerika Serikat (Sofiyudin et al. 2012). Pasokan getah dari Provinsi Jambi ini
diperoleh, salah satunya dari masyarakat SAD yang tersebar di wilayah Jambi.
Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat lokal dalam skala kecil dapat
berperan dalam perdagangan getah dunia.
Permasalahan yang terjadi saat ini adalah, produksi getah jelutung di Jambi
terhenti sejak tahun 2008 (Tata et al. 2015a ; Sofiyudidin et al. 2012). Pasar
terbuka jelutung yang sudah tidak ada lagi menyebabkan masyarakat SAD tidak
memanfaatkan jelutung lagi. Hal tersebut dapat menyebabkan nilai manfaat dari
jelutung menurun dalam pandangan masyarakat dan terputusnya pengetahuan
lokal yang diturunkan ke generasi berikutnya. Selain itu, permasalahan lainnya
adalah tegakan jelutung di hutan sudah sulit ditemukan karena adanya perubahan
fungsi lahan menjadi hutan tanaman industri, kebun sawit, dan kebun karet.
Menurut Sofiyudin dan Janudianto (2013) eksploitasi hutan menyebabkan pohon
jelutung hanya tersisa di hutan lindung.
Permasalahan yang berkaitan dengan jelutung meliputi pasar jelutung yang
sudah tidak ada lagi dan populasi jelutung yang kian menurun mengharuskan
dilakukannya upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Usaha-usaha yang
dilakukan masih belum banyak didokumentasikan termasuk aspek etnobotani,
2

kondisi populasi serta tempat tumbuh yang sesuai. Oleh karena itu dilakukan
penelitian ini dengan tujuan untuk mengidentifikasi etnobotani jelutung (Dyera
costulata) oleh Suku Anak Dalam (SAD), Jambi yang meliputi nilai budaya,
pemanfaatan atau penggunaan, budidaya, dan pengelolaan jelutung (Dyera
costulata), menghitung potensi populasi jelutung (Dyera costulata) dan
karakteristik habitatnya dan merumuskan strategi konservasi di PT REKI.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:


1. Mengidentifikasi etnobotani jelutung (Dyera costulata) oleh Suku Anak Dalam
(SAD), Jambi yang meliputi nilai budaya, pemanfaatan atau penggunaan,
budidaya, dan pengelolaan jelutung (Dyera costulata).
2. Menduga potensi populasi jelutung (Dyera costulata) dan ekologi jelutung
meliputi kondisi tanah, suhu dan kelembaban, sebaran spasial jelutung dan
asosiasi interspesifik jelutung, dan keanekaragaman tumbuhan disekitarnya.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah menyediakan data dan informasi yang
dapat berguna terkait potensi dan cara pemanfaatan jelutung (Dyera costulata)
serta nilai guna dan manfaat keanekaragaman spesies tumbuhan di habitat
Jelutung berdasarkan pengetahuan dan kearifan tradisional masyarakat Suku Anak
Dalam. Data dan informasi ini dapat menjadi dasar dan bahan pertimbangan
dalam konservasi dan manajemen PT REKI yang berbasis partisipasi masyarakat
lokal melalui pengembangan pelestarian dan pemanfaatan jelutung (Dyera
costulata) dan keanekaragaman spesies tumbuhan lokal yang bernilai guna
ekonomi bagi masyarakat Suku Anak Dalam.

Alur Pikir Penelitian

Keberhasilan konservasi sumberdaya alam tidak terlepas dari keterlibatan


masyarakat yang berinteraksi dengan sumberdaya alam. Masyarakat lokal yang
telah lama hidup dan berinteraksi dengan alam memiliki pengetahuan dan kearifan
tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karena itu, pelibatan
masyarakat dalam upaya konservasi baik untuk dilakukan dalam rangka
mendorong berhasilnya upaya konservasi.
Konsep Tri Stimulus Amar Konservasi merupakan konsep mengenai
pendorong utama sikap dan aksi konservasi dari pelaku konservasi. Stimulus yang
dimaksud adalah sebagai pendorong kuat kepada sikap dan perilaku masyarakat
untuk terwujudnya aksi konservasi secara kongkrit di lapangan (Amzu 2007).
Uraian ketiga stimulus tersebut yaitu:
1. Stimulus alamiah. Nilai kebenaran yang berasal dari alam, hal-hal yang
diperlukann untuk keberlanjutan sumberdaya alam sesuai dengan
bioekologinya.
2. Stimulus manfaat. Manfaat bagi manusia seperti, manfaat obat, manfaat
ekonomi, manfaat biologis/ekologis dan lainnya.
3. Stimulus religius. Nilai-nilai kebaikan, terutama nilai-nilai agama, kerelaan,
keikhlasan, kepuasan batin, dan lainnya.
3

Aspek ekologi merupakan kajian penting dalam konservasi spesies.


Disamping itu, masyarakat juga termasuk komponen yang berinteraksi dengan
lingkungan, khususunya masyarakat yang di dalam dan sekitar hutan. Masyarakat
lokal di manapun memiliki pengetahuan mengenai lingkungannya. Menurut
Marten (1986) secara garis besar kearifan tradisional terdiri dari dua kategori yaitu
pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi yang terdapat pada cerita
rakyat atau upacara ritual budaya dan yang kedua adalah pengetahuan berdasarkan
pengalaman empiris yang dialami masyarakat. Informasi yang dikumpulkan oleh
individu dapat menjadi pengetahuan yang dimiliki oleh anggota kelompok lainnya
seiring berjalannya waktu. Pola yang lebih besar yaitu pengetahuan sosial bersama
dapat menyediakan kerangka kontekstual dimana pengamatan empiris individu
dapat diartikan dan diterjemahkan ke dalam pengetahuan (Marten 1986).
Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat SAD Bathin Sembilan akan
dijadikan pendekatan untuk konservasi jelutung. Alur pikir penelitian tersebut
disajikan pada Gambar 1:

Potensi Jelutung (Dyera costulata)

Manfaat: Ancaman
1. Kayu: bahan pensil, 1. Populasi menurun
papan dll 2. Kebakaran hutan
2. Getah: bahan baku 3. Pasar tidak ada
industri lagi
3. Daun: obat

Upaya Konservasi

Ekologi Etnobotani

Tri stimulus Amar Konservasi

Alamiah/ekologi: Manfaat: Religius/rela:


 Potensi populasi  Pemanfaatan oleh SAD  Nilai-nilai
 Kondisi  Pengetahuan budaya
vegetasi/ biotik Pengolahan oleh SAD masyarakat
 Kondisi abiotik  Pengetahuan yang terkait
dengan
(tanah, iklim) Pengelolaan oleh SAD
jelutung

Gambar 1 Alur pikir penelitian


4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Jelutung (Dyera costulata)

Menurut Burkill (1935) jelutung memiliki berbagai nama lokal. Di


Semenanjung Malaya dan Kalimantan jelutung disebut juga jelutong atau
jeluntong. Di Borneo juga jelutung biasa disebut pantung. Di Sumatera disebut
dengan labuwai dan melabuwai. Jelutung darat (Dyera costulata) disebut juga
jelutong daun lebar, jelutong pipit, dan jelutong daun merah. Getah dari jelutung
biasa disebut getah jelutung atau getah susu. Taksonomi dari kedua spesies
tersebut adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Apocynales
Family : Apocynaceae
Genus : Dyera
Spesies : Dyera costulata
Menurut Boer dan Ella (2001) perbedaan Dyera costulata dan Dyera
polyphylla yaitu pohon Dyera costulata memiliki tinggi sampai 65 m, tinggi bebas
cabang kurang lebih mencapai 30 m, diameter pohon dapat mencapai 250 cm,
kulit batang kehitaman, daun berbentuk bulat panjang sampai obovate atau
menyempit. Sedangkan, pohon Dyera polyphylla dapat mencapai tinggi sampai 35
m, bentuk batang lurus, diameter mencapai 95 cm, kulit batang keputih-putihan,
daun berbentuk spatulate-elliptical, akar lutut pneumatophore (Middleton dan
Edinburgh 2007).

Sumber: Flora Malesiana, Ser. I, Vol. 18 (2007)


Gambar 2 a. Daun b. Bunga c. Penampang dalam bunga d. Buah

Sebaran jelutung di dunia hanya tersebar di Peninsular Malaysia, Sumatera


dan Borneo (Williams 1963). Jelutung menyebar pada berbagai tempat di dunia
yaitu di Thailand, Malaysia, dan Singapura. Di Indonesia jelutung menyebar di
Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Aceh, Kalimantan Tengah,
5

Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi (Arlanda et al. 2004).


Penyebaran jelutung di dunia yang terbatas ini menjadikan Indonesia berpotensi
tinggi untuk menjadi produsen getah jelutung untuk seluruh dunia. Di Sumatera
sentra produksi getah jelutung tersebar di Jambi, Riau, dan Palembang, sedangkan
di Kalimantan di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan
Selatan. Menurut Williams (1963) Kalimantan dan Sumatera merupakan wilayah
penting dari produksi getah jelutung. Dahulu, sebelum industri karet (Hevea
brasilliensis) marak, jelutung merupakan sumber karet dari perdagangan dunia,
jelutung yang diekspor dari Indonesia dijual dengan nama “Dead Borneo” atau
“Pontianak (Burkill 1935; Williams 1963).

Keterangan: = Dyera costulata = Dyera lowii syn Dyera polyphylla


Sumber: Williams (1963)
Gambar 3 Peta sebaran jelutung (Dyera spp.) di Asia Tenggara
Getah jelutung sejak tahun 1920-an digunakan untuk bahan baku permen
karet dan tahun 1940-an, getah jelutung telah menggantikan posisi lateks yang
digunakan untuk permen karet yang berasal dari pohon Achras sapota yang
berasal dari Amerika Tengah. Berkembangnya industri permen karet berpengaruh
signifikan terhadap produksi untuk memenuhi permintaan getah jelutung
(Sofiyudin dan Janudianto 2013).
Menurut Holt (1938) yang diacu dalam Williams (1963), impor getah
jelutung yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada periode 1905–1919
merupakan puncak produksi dunia dari getah jelutung, dalam beberapa tahun
produksi getah dapat mencapai 50 000 000 pounds. Ekspor getah jelutung ke
Amerika Serikat mengalami penurunan yang signifikan sejak tahun 1957.
Penurunan produksi getah jelutung dapat disebabkan oleh hilangnya areal
produktif dalam memproduksi getah, setelah lama dieskploitasi, persaingan antara
hutan alam dan hutan tanaman, dan terutama adanya pengembangan sumber
6

penghasil getah lain, khususnya di Amerika Tropis (Williams 1963). Ekspor getah
jelutung dari tahun 1924-1961 ke Amerika Serikat disajikan pada Gambar 4.
9000
8000
7000
Jumlah getah (ton)

6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
1924 1925 1926 1927 1928 1929 1930 1931 1932 1933 1957 1958 1959 1960 1961
Sumber: Burkill (1935); Williams (1963)
Gambar 4 Ekspor getah jelutung ke Amerika Serikat tahun 1924 – 1961

Jelutung yang berasal dari wilayah Malaya memiliki reputasi baik di pasaran
dan telah memegang harga tertinggi daripada produksi dari negara lain, terutama
Borneo dan Sarawak (Burkill 1935). Ekspor getah jelutung dari Indonesia rata-
rata sekitar 3600 ton tiap tahunnya selama periode 1988-1993, tetapi ekspor
tahunan berfluktuasi secara tajam antara 1200-6500 ton (Boer dan Ella 2001).
Provinsi Jambi memiliki sejarah pasar jelutung di Indonesia. Berdasarkan data
BPS Jambi yang dikutip dalam Tata et al. (2015a) menunjukkan bahwa produksi
getah jelutung pada tahun 1985 hingga tahun 2007. Tahun 1989 dan tahun 1999
produksi getah jelutung di Provinsi Jambi menunjukkan angka yang paling besar
sepanjang 19 tahun. Menurut Sofiyudin dan Janudianto (2013) produksi getah
jelutung di Jambi mengalami penurunan sejak dua dekade terakhir. Produksi
jelutung dari hutan alam berhenti pada tahun 2007, sedangkan penyadap
dilaporkan berhenti menyadap getah jelutung dari hutan sejak tahun 2006 setelah
peraturan nasional mengenai pajak untuk pemungutan hasil hutan bukan kayu
dikeluarkan (Tata et al. 2015a).

Sosio - budaya Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD)

Masyarakat adat Batin Sembilan yang oleh pemerintah dinamakan Suku


Anak Dalam, masyarakat sendiri menamakan komunitas ini dengan sebutan kubu.
Ada juga yang menyebut mereka dengan sebutan ‘orang rimbo’. Suku Anak
Dalam atau Batin Sembilan adalah masyarakat asli marginal yang berada di
Provinsi Jambi yang menyebar di beberapa kabupaten yaitu Batanghari, Muaro
Jambi dan Sarolangun. Menurut sejarah, masyarakat Batin Sembilan merupakan
keturunan raja kerajaan Pagaruyung. Sejarah masyarakat Suku Anak
Sejarahnya raja dari kerajaan Pagaruyung memerintahkan putranya
Pangeran Bagas Gayur untuk bersemedi untuk keselamatan dan kejayaan kerajaan
Pagaruyung. Selama semedinya Pangeran Bagas Gayur bertemu dengan seorang
wanita yang diberi nama Puteri Berdarah Putih. Pangeran Bagas Gayur memohon
kepada raja untuk menikahi Puteri Berdarah Putih. Raja menikahkan Pangeran
Bagas Gayur dengan Puteri Berdarah Putih. Pangeran tidak memenuhi
7

kewajibannya untuk bersemedi, raja pun mengusir Pangeran Bagas Gayur. Setelah
keluar dari istana, Pangeran Bagas Gayur dan Puteri Berdarah Putih mengubah
nama mereka menjadi Serompak dan Siceren. Dari penikahannya Serompak dan
Siceren memiliki seorang anak perempuan yang diberi nama Bayan Lais. Bayan
Lais kemudian menikah dengan saudagar dari Kerajaan Mataram Hindu yaitu
Meruhum Sungsang Romo. Bayan Lais dan Meruhun Sungsang Romo memiliki
anak Pangeran Nagosari yang memiliki anak bernama Raden Ontar.
Menurut legenda Pangeran Nagosari atau Sikulup mencari ayahnya
Meruhun Sungsang Romo dan dibekali dua telur angsa oleh ibunya Bayan Lais.
Sejarahnya angsa tersebut bertelur. Bersamaan dengan bertelurnya angsa tersebut,
terdapat meriam, keris, dan gong. Meriam tersebut bernama Setimbang Jambi,
keris bernama Keris Seginjai, gong bernama Gung Gung Larangan dan tempat
terjadinya peristiwa tersebut dinamakan Angso Duo.
Raden Ontar yang merupakan anak dari Pangeran Nagosari memiliki anak
bejumlah sembilan yaitu Singo Jabo, Singo Pati, Singo Inu, Singo Besak, Singo
Laut, Singo Delango, Singo Melango, Singo Anom. Kesembilan anak Raden
Ontar ini mewarisi dan memiliki kekuasaan anak sungai yang disebut Batin.
Sungai tersebut diantaranya, Sungai Jangga, Sungai Semusir, Sungai Bahar,
Sungai Bulian, Sungai Telisak, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Sekamis
dan Burung Hantu. Sehingga nama Batin Sembilan memiliki arti sembilan anak
sungai. Zaman Kerajaan Melayu pada saat masa-masa penjajahan Belanda
masyarakat ini melarikan diri kedalam hutan karena tidak mau dijajah. Sehingga
masyarakat Suku Anak Dalam hingga sekarang berdiam di dalam hutan dengan
memegang aturan-aturan adat. Berikut silsilah keturunan masyarakat Batin
Sembilan. Silsilah Suku Bathin Sembilan menurut Sukmareni (2015) disajikan
pada Gambar 5:
Serompak
(Bagas Gayur dari Pagarurung) Siceren
(Putri Pinang Masak/ Puteri Berdarah
Putih dari Sarolangun)

Putri Bayan Lais Meruhun Sungsang Romo

Sikulup
(Pangeran Nagosari) Putri Bungsu

Raden Ontar Sri Gemayar dari Air Hitam

Singo Singo Singo Singo Singo Singo Singo Singo Singo


Jaya Laut Besak Patih Jabo Anu Gemalo Menggalo Dilago

Gambar 5 Silsilah asal-usul Batin Sembilan (Sukmareni 2015)


8

Wilayah kekuasaan sembilan anak sungai tersebut merupakan wilayah


sebaran masyarakat Batin Sembilan atau masyarakat Suku Anak Dalam di Jambi.
Sukmareni (2015) menyatakan sebuah ungkapan terkait batas-batas wilayah Suku
Anak Dalam atau Batin Sembilan. Ungkapan tersebut sebagai berikut:

“Mulai dari muaro batin semak ilir batang sampe ke Olak Gedong
melako intan, menuju ulu Panerokan, Melintas di Kesung Batu
menitih pematang beliung patah sampai ke batas Palembang menuju
batin bahar. Melintas ke lubuk udang tergantung menuju ke bakal
petas menitih pematang tulung batin sikamis turun sampai batin
pemusiran. Melintas meuju batin jangga turun lalu ke batin jebak laju
ke ilir batang melintas ulu sungai ringin menuju batas rambahan ilir
tibo ke muaro batin semak. Batin singoan seberang batang batin
singoan darisungai rambutan lalu ke jalan babat menuju bukit bucu
melintas pematang ulu sungai rengas sampai ke batu tetedeng ilir
menuju ulu sangkilan sampai ke sungai meranti ilir sampai batin
singoan.”

Ungkapan diatas memaparkan mengenai aliran anak sungai yang menjadi


wilayah kekuasaan Batin Sembilan di masa lalu. Wilayah tersebut secara
administratif saat ini menyebar di Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi,
dan Kabupaten Sarolangun (Tabel 1).

Tabel 1 Wilayah penyebaran Batin Sembilan


Nama Batin Desa Kabupaten
Jebak Jebak, Tanjung Maruo Batanghari
Jangga Jangga Baru, Terentang Baru, Butang
Baru, Meranti Baru
Bahar Pelempang, Nyogan, Bungku, Tanjung Muaro Jambi,
Lebar, Sungai Landai Rantau Harapan, Batanghari
Marga, Bukit Subur, talang Bukit, Tri
Jaya, Berkah Jaya, Markanding, Tanjung
Harapan, Pompa Air
Bulian Singkawang, Batin, Sungkai, Petajin, Batanghari
Kilangan, Bajubang, Sridadi, Muara
Bulian
Telisak Lamban Sigatal, Sepintun Sarolangun
Sekamis Lubuk Napal Sarolangun
Pemusiran Pemusiran Sarolangun
Burung Sarolangun
Muara Ketalo
Hantu
Singoan Muara Singoan Batanghari
Sumber: Sukmareni (2015)

Uraian mengenai masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) yang dikutip dari
website Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yaitu Anonim (2012)
menguraikan bahwa masyarakat SAD hidup secara berkelompok, tetapi
keberadaan kelompok ini tidak dibatasi oleh wilayah tempat tinggal tertentu.
9

Mereka bebas untuk tinggal bersama dengan kelompok lain. Masyarakat SAD
tidak mudah pindah kelompok atau pemimpin mereka yaitu, Tumenggung, hal
tersebut dikarenakan terdapat hukum adat yang mengatur apabila akan berpindah
atau berganti kelompok. Kecenderungan masyarakat SAD yaitu pihak laki-laki
akan mengikuti kelompok dari istrinya apabila terjadi perkawinan antar kelompok.
karena ada hukum adat yang mengatur bagaimana aturan berganti kelompok.
Susunan organisasi sosial pada masyarakat SAD yaitu:
1. Tumenggung
2. Wakil Tumenggung
3. Depati
4. Menti
5. Mangku
6. Anak Dalam
7. Debalang Batin
8. Tengganas/ Tengganai

Pemilihan pemimpin masyarakat SAD berdasarkan pengajuan Tumenggung


sebelumnya dan telah disetujui oleh masyarakat adat. Apabila sebagian besar telah
menyetujui, maka orang tersebut dapat menjabat sebagai pemimpin dan disahkan
melalui upacara dalam pertemuan adat. Jabatan Tumenggung masih dibatasi oleh
jabatan lainnya. Seperti jabatan Tengganas yang dapat membatalkan keputusan
Tumenggung. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat SAD mengenal demokrasi
yang sehat.
Menurut Rahman (2013) kelompok SAD berpindah tempat dari satu lokasi
ke lokasi yang lain yang ditanami tanaman setahun, misalnya ubi-ubian. Peristiwa
perpindahan masyarakat SAD ini disebut mengelana (nomad). Gerakan pindah
tersebut lumrah bagi masyarakat SAD ketika ada anggota keluarga yang
meninggal. Perpindahan yang disebabkan karena kematian salah satu anggota
keluarga tersebut disebut dengan melangun. Perpindahan tersebut tidak hanya
dilakukan oleh anggota keluarga saja tetapi juga warga sekampung. Kedua bentuk
melangun dan mengelana bagi masyarakat SAD umumnya masih berada dalam
wilayah hukum adat mereka. Batas wilayah tersebut mencakup sembilan lembah
dan sungai dalam kabupaten Batanghari dan sekitarnya (Rahman 2013).
Interaksi SAD dengan lingkungan lokal yaitu interaksi dengan hutan dan
sungai. Menurut Rahman (2013) bagi masyarakat SAD hutan merupakan sumber
penghasilan dalam bentuk uang, energi sebagai alat membuat huma dan makanan.
Dalam bentuk uang SAD memungut hasil hutan untuk diperjualbelikan. Dalam
bentuk energi, SAD membakar hutan untuk ladang atau huma. Dalam bentuk
makanan, hasil hutan dapat berbentuk protein, karbohidrat, dan bermacam-macam
mineral yang berasal dari buah-buahan dan daun-daunan.
Masyarakat SAD juga memiliki ladang dan kebun getah. Masyarakat
menanam tanaman tahunan bagi untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Masyarakat
SAD juga mengambil getah-getah dari hutan yang bernilai ekonomi. Getah yang
biasanya dikumpulkan oleh masyarakat yaitu getah balam merah, getah jelutung,
getah sundik, jernang, dan balambuai (Rahman 2013).
10

3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) Jambi


yaitu di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Kawasan ini merupakan kawasan
hutan sekunder areal restorasi ekosistem. Secara geografis areal PT REKI wilayah
Jambi berada diantara 103° 7’ 55” -103° 27’ 39” Bujur Timur dan 2° 2’ 16” – 2°
21’ 14” Lintang Selatan.Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2015. Peta
lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6:

Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya:


1. Peta wilayah PT REKI Jambi
2. Peralatan inventarisasi sumberdaya hutan yaitu, tally sheet, meteran gulung
fiberglass 50 m, meteran jahit Butterfly ukuran 150 cm, kompas, GPS Garmin
62x, thermometer, alat tulis, kamera.
3. Peralatan dan bahan pembuatan herbarium yaitu, kertas koran, alkohol 70%,
kantong plastik, dan label.
4. Perlengkapan wawancara yaitu tape recorder Sony, panduan wawancara, dan
alat tulis.
Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data utama dalam penelitian yang digunakan untuk menjawab
11

tujuan penelitian. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Jenis data yang dikumpulkan
Cara Pengumpulan
No Jenis Data Variabel Sumber Data
Data
1 Etnobotani 1. Karakteristik 1. Wawancara Masyarakat
jelutung masyarakat SAD 2. Observasi lapang SAD
2. Pengetahuan morfologi
3. Pemanfaatan jelutung
4. Pemanfaatan hasil hutan
lain
5. Cara menyadap
6. Pengolahan getah
7. Perdagangan getah
8. Budaya dan
kepercayaan
2 Potensi dan 1. Jumlah individu 1. Analisis vegetasi Pengukuran
ekologi jelutung 2. Pengukuran di lapangan
jelutung 2. Diameter dan tinggi faktor abiotik
pohon jelutung
3. Faktor abiotik (tanah,
suhu, kelembapan)
4. Komposisi spesies
5. Keragaman spesies
6. Sebaran spasial jelutung
7. Asosiasi tumbuhan
jelutung

Metode Pengumpulan Data

Etnobotani jelutung oleh Suku Anak Dalam (SAD)


Data etnobotani jelutung oleh masyarakat Suku Anak Dalam dikumpulkan
dengan cara sebagai berikut:
a. Wawancara semi terstruktur dengan penggunakan panduan wawancara
kepada masyarakat SAD. Wawancara dengan menggunakan kuesioner yang
telah dirancang dan sesuai dengan tujuaanya untuk mendapatkan informasi
yang khas dan dapat dipercaya dara sampel masyarakat yang terpilih
(Cunningham 2001). Teknik pengambilan sampling dilakukan secara
purposive sampling berdasarkan informasi awal kepada masyarakat yang
pernah menyadap jelutung.Wawancara kepada masyarakat yang memiliki
pengetahuan secara rinci mengenai topik penelitian dapat dilakukan untuk
mengambil data etnobotani (Cunningham 2001). Data etnobotani
dikumpulkan berdasarkan pendekatan konsep tri-stimulus amar konservasi.
Konsep tri-stimulus amar konservasi merupakan konsep stimulus atau
pendorong masyarakat dalam melakukan konservasi. Konsep tri-stimulus
amar konservasi tersebut antara lain stimulus alamiah, stimulus manfaat, dan
stimulus religius (Amzu 2007).
12

b. Observasi lapang dilakukan untuk mengetahui cara pemanenan getah jelutung


oleh masyarakat SAD dilapangan. Observasi lapang dilakukan dengan cara
mengikuti dan mengamati masyarakat SAD dalam pemanenan getah jelutung.

Potensi dan ekologi jelutung (Dyera costulata)


Data mengenai potensi populasi dan bioekologi jelutung dilakukan dengan
analisis vegetasi, pengukuran komponen fisik lingkungan seperti suhu,
kelembaban, dan kondisi tempat tumbuh. Selanjutnya dilakukan pembuatan
herbarium untuk mengidentifikasi spesimen tumbuhan.

Analisis vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan dengan membuat petak tunggal berukuran 2 ha.
Menurut Kusuma (2007) luas plot contoh optimal untuk pengukuran
keanekaragaman tumbuhan adalah untuk tingkat pancang 1 600 m2 dan untuk
tingkat pohon sebesar 12 800 m2.Terdapat 50 plot dalam satu petak tunggal
dengan ukuran masing-masing 20 m2. Ukuran 20 m x 20 m untuk pengamatan
tingkat pohon, ukuran 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, 5 m x 5 m untuk pancang
dan 2 m x 2 m untuk semai (Soerianegara dan Indrawan 2002). Peletakan petak
ukur dilakukan secara purposive sampling, yaitu petak ukur diletakkan di lokasi
ditemukannya jenis jelutung (Dyera costulata). Data yang dicatat yaitu potensi
jelutung (jumlah, jenis, diameter, tinggi) dan seluruh tumbuhan yang berada
dalam petak tersebut meliputi jenis, jumlah, tinggi dan diameter untuk tingkat
tiang dan pohon. Bentuk petak ukur disajikan pada Gambar 7.

10
0
m

100 m

Gambar 7 Bentuk dan ukuran plot analisis vegetasi


Pembuatan herbarium
Pembuatan herbarium dilakukan untuk menidentifikasi spesies tumbuhan
yang belum teridentifikasi di lapangan. Bagian tumbuhan yang d
Pembuatan herbarium dilakukan pada spesies tumbuhan yang belum
teridentifikasi di lokasi penelitian. Pengumpulan spesimen dilakukan dengan
mengambil bagian-bagian tumbuhan yang dapat dijadikan kunci identifikasi,
seperti daun, ranting, bunga, dan buah. Menurut Onrizal (2009) langkah-langkah
pembuatan herbarium adalah:
a. Pengambilan spesimen herbarium. Bagian tumbuhan uang diambil adalah
ranting lengkap dengan daunnya, bunga dan buah (jika ada).
13

b. Contoh spesimen herbarium tersebut dipotong dengan panjang disesuaikan


dengan ukuran tumbuhan, dengan menggunakan gunting.
c. Spesimen herbarium kemudian dimasukkan ke dalam kertas koran dan diberi
label. Label berisi keterangan mengenai nomor koleksi, nama lokal, lokasi
pengumpulan spesimen dan nama pengumpul/kolektor.
d. Spesimen herbarium diletakan di atas koran dan disemprot dengan alkohol
70%, lalu disusun didalam plastik dan di siram kembali menggunakan alkohol
70% sampai basah. Setelah itu tutup dengan rapat plastik dengan isolasi.
e. Setelah dilakukan perlakuan di lapangan, dilakukan pengeringan. Seluruh
spesimen dari lapangan dikeluarkan dari plastik dan kertas koran. 5-10
spesimen diapit dalam sasak ukuran 50 x 35 cm, untuk buah-buahan besar
dipisah, dimasukkan kantong, dan diberi label. Pengovenan dilakukan dengan
suhu ± 65oC, ± selama 4 hari.
f. Selanjutnya pelabelan yang berisi keterangan tumbuhan untuk keperluan
identifikasi lebih lanjut.
Faktor abiotik habitat jelutung
Faktor abiotik yang diukur dari habitat jelutung (Dyera costulata.) adalah
faktor iklim, tanah, ketingggian dan kemiringan tempat. Faktor kondisi iklim yaitu
kondisi suhu diukur dengan menggunakan thermometer drywet serta mengukur
kelembapan pada plot pengamatan. Pengambilan data kondisi fisik dan kimia
tanah yaitu dengan cara mengambil sampel tanah pada plot pengamatan. Sampel
tanah diuji di Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. Data
ketinggian atau kemiringan tempat dilakukan dengan menggunakan GPS.

Analisis Data

Etnobotani jelutung (Dyera costulata)


Pemanfaatan jelutung dianalisis secara deskriptif dengan menjabarkan
bentuk atau kearifan lokal lainnya dalam pemanfaatan jelutung baik keperluan
pangan, obat dan lain sebagainya. Data juga dianalisis mengunakan Index
Prioritas Konservasi Lokal (IPKL) yang dimodifikasi dari Oliveira et al. (2007)
Albuquerque et al. (2009) berdasarkan kriteria Use Diversity (UD), Local Use
(LU), Relative Density (RD), dan Nilai masing-masing parameter adalah 10
sehingga nilai maksimal IPKL adalah 30. IPKL menggunakan persamaan berikut:

IPKL= US + LU + RD

Potensi dan Bioekologi Jelutung (Dyera costulata)


a. Struktur dan Komposisi Vegetasi
Menurut Soerianegara dan Indrawan (2002) formula matematika yang dapat
digunakan dalam perhitungan analisis vegetasi, termasuk tumbuhan bawah adalah
sebagai berikut:

Jumlah individu setiap spesies


Kerapatan (K) = (ind ha-1 )
luas seluruh petak
Kerapatan suatu spesies
Kerapatan Relatif (KR) = x 100%
Kerapatan seluruh spesies
14

b. Pola Sebaran Spasial Jelutung (Dyera costulata)


Penentuan pola sebaran spasial tumbuhan jelutung (Dyera costulata)
diukur melalui Indeks Morisita. Rumus ini digunakan untuk menentukan pola
penyebaran spesies tumbuhan yang meliputi penyebaran merata (uniform),
mengelompok (clumped), dan acak (random). Adapun rumus Morisita menurut
Morisita (1959) adalah sebagai berikut:

∑ xi 2 - ∑ xi
Iδ=n
(∑xi )2 -∑xi
Keterangan:
Iδ = Derajat penyebaran Morisita
n = Jumlah petak ukur
∑ xi 2 = Jumlah kuadrat dari total individu suatu spesies pada suatu komunitas
∑x𝑖 = Jumlah total individu suatu spesies pada suatu komunitas.

Selanjutnya dilakukan uji Chi-square, dengan rumus:


a. Derajat Keseragaman

X2 0.975 -n+ ∑xi


Mu=
∑xi -1
Keterangan:
X20.975 = Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 97.5%
∑xi = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i
n = Jumlah petak ukur

b. Derajat Pengelompokan

𝑋 2 0.025 -n+∑xi
Mc=
∑xi -1
Keterangan:
X20.025= Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 2.5%
∑xi = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i
n = Jumlah petak ukur Standar derajat Morisita
Standar derajat Morisita (Ip) dihitung dengan empat rumus sebagai berikut:
1. Bila Iδ≥Mc> 1.0, maka dihitung:
Iδ-Mc
Ip=0.5+0.5( )
n-Mc
2. Bila Mc>Iδ ≥ 1.0, maka dihitung:
Iδ-1
Ip=0.5 ( )
Mc-1

3. Bila 1.0> Iδ>Mu, maka dihitung:


Iδ-1
Ip=-0.5( )
Mu-1
15

4. Bila 1.0> Mu>Iδ, maka dihitung:


Iδ - 1
Ip = -0.5 + 0.5 ( )
Mu - 1
Perhitungan nilai Ip akan menunjukkan pola penyebaran spesies tumbuhan
yang dominan dalam suatu komunitas. Nilai dan pola penyebaran spesies tersebut
adalah sebagai berikut:

Ip = 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran acak (random)


Ip > 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran mengelompok (clumped)
Ip < 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran merata (uniform).

c. Keanekaragaman Spesies Tumbuhan


1. Kekayaan Spesies
Kekayaan spesies tumbuhan diukur dengan menggunakan Indeks
Margaleff. Menurut Kusuma (2007), Indeks Margaleff merupakan ukuran
keanekaragaman yang lebih responsive dan sensitive terhadap perubahan jumlah
spesies. Indeks Margaleff menggunakan persamaan sebagai berikut:
𝑆−1
D=
ln 𝑁
Keterangan:
D = Indeks Kekayaan Margaleff
S = Jumlah Spesies
N = Jumlah individu

2. Keanekaragaman Spesies
Keanekaragaman spesies tumbuhan dapat dihitung dengan menggunakan
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Menurut Magurran (1988)
penghitungan indeks ini dengan rumus:
s s
ni ni
H' = ∑(pi ln pi ) = ∑ [( ) ln ( )]
N N
𝑖=1 𝑖=1

Keterangan :
H’ = Indeks keragaman Shannon-Wiener
ni = Jumlah individu spesies
N = Jumlah individu seluruh spesies
S = Jumlah spesies

3. Kemerataan Spesies
Tingkat kemerataan ditunjukkan oleh indeks kemerataan spesies (Evenness).
Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu di dalam spesies.
Menurut Ludwig dan Reynolds (1988) indeks ini dapat dihitung dengan rumus:
E=H' / ln S
Keterangan :
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon
16

S = Jumlah spesies
E = Indeks kemerataan spesies (Evenness)

d. Asosiasi Spesies
Asosiasi spesies dapat dapat didefinisikan sebagai tingkat ketergantungan
suatu spesies terhadap spesies lainnya dalam melangsungkan kehidupannya atau
tingkat seringnya dua spesies atau lebih menggunakan sumberdaya yang sama.
Asosiasi antar dua spesies dilihat dari present dan absent spesies pada plot
pengamatan dengan menggunakan tabel kontingensi berikut:
Tabel 3 Tabel kontingensi asosiasi antar spesies

Dyera costulata
Spesies X Jumlah
Ada Tidak ada
Ada A b a+b
Tidak Ada C d c+d
Jumlah a+c b+d N

Frekuensi harapan (Ei) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(𝑎 + 𝑏)(𝑎 + 𝑐) (𝑐 + 𝑑)(𝑎 + 𝑐)
𝐸(𝑎)= 𝐸(𝑐)=
𝑁 𝑁
(𝑎 + 𝑏)(𝑏 + 𝑑) (𝑐 + 𝑑)(𝑏 + 𝑑)
𝐸(𝑏)= 𝐸(𝑑)=
𝑁 𝑁

Asosiasi pohon jelutung (Dyera costulata) dengan spesies lainnya diukur


melaluli perhitungan uji hipotesis chi-square sebagai berikut:

Hipotesis pada uji chi-square


H0 : Tidak terdapat asosiasi antar dua spesies
H1 : Terdapat asosiasi antardua spesies

(𝑂𝑖 − 𝐸𝑖)2
𝜒2= ∑
𝐸𝑖
Keterangan:
Oi = Frekuensi data hasil Observasi
Ei = Frekuensi harapan

Kriteria uji statistic chi-square


Jika 𝜒 2 hitung ≤ 𝜒 2 0.05 maka terima H0
Jika 𝜒 2 hitung >𝜒 2 0.05 maka tolak H0

Tingkat asosiasi dari dua spesies diukur dengan menggunakan Indeks


Jaccard (Ludwig dan Reynold 1988) dengan rumus sebagai berikut:
𝑎
𝐽𝐼 =
√𝑎 + 𝑏 + 𝑐
17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Etnobotani Jelutung oleh Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD)

Karakteristik masyarakat SAD di Hutan PT REKI


Kawasan hutan PT REKI merupakan kawasan IUPHHK-RE. Kawasan ini
merupakan kawasan hutan alam sekunder dataran rendah eks-areal HPH PT
Asialog dan eks-areal HPH PT Inhutani V. Kawasan ini ditetapkan melalui
Menteri Kehutanan Nomor : 327/Menhut-II/2010 tanggal 25 Mei 2010 bahwa
kepada PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) diberikan hak untuk
mengelola areal IUPHHK-RE pada areal seluas 46 385 ha yang berlokasi di
wilayah Provinsi Jambi. Lokasi areal tersebut saat ini termasuk dalam wilayah
Kebupaten Sarolangun dan Kabupaten Batanghari. Berdasarkan jumlah luas
kawasan hutan yang dimohon adalah ± 49 185 ha sebagian besar arealnya
merupakan eks-areal HPH PT Asialog yakni seluas ± 40 705 ha dan sisanya
seluas ± 8 480 ha adalah eks-areal HPH PT Inhutani V.
Masyarakat SAD yang tinggal di kawasan hutan PT REKI telah tinggal
sejak kawasan masih dikelola oleh HPH PT Asialog sekitar tahun 1969. Data
mengenai etnobotani jelutung SAD diperoleh dari 15 responden masyarakat SAD
yang berpengalaman menyadap jelutung. Responden yang diwawancarai
seluruhnya berjenis kelamin laki-laki dengan selang umur 25 – 75 tahun.
Pekerjaan reponden bervariasi, tetapi pekerjaan dominan adalah petani dan
pekerja di perusahaan sawit PT Asiatic yang berdekatan dengan kawasan PT
REKI. Demografi masyarakat SAD pada tahun 2013 di kawasan PT REKI terdiri
dari 90 KK dengan 378 jiwa. Masyarakat SAD yang berpengalaman menyadap
jelutung memiliki pengetahuan tradisional dalam mengelola dan memanfaatkan
jelutung. Demografi masyarakat adat Suku Anak Dalam di Kawasan PT REKI
disajikan pada Tabel 4:
Tabel 4 Demografi masyarakat SAD di PT REKI tahun 2013
Populasi
Nama Kelompok/Pemukiman
Rumah Tangga Orang Rata-Rata
Alif 6 27 4.5
Amir 20 76 3.8
Basri 5 21 3.5
Gelinding 1 5 5
Mitrazone 20 95 4.7
Simpang Macan Dalam 21 79 3.7
Simpang Macan Luar 13 54 4.1
Tanding 4 21 5.2
Jumlah 90 378 4.3
Sumber: Dokumen PT REKI (2013)

Pola hidup Suku Anak Dalam selalu berpindah-pindah di dalam hutan


sehingga tidak dapat diketahui pasti jumlah dan lokasi pemukimannya.
Masyarakat Anak Dalam adalah masyarakat yang berpindah-pindah ke berbagai
lokasi untuk berkebun atau berladang, berburu satwa, meramu obat-obatan,
18

berkebun atau berladang yang dilakukan dengan sistem perladangan berpindah


dengan siklus tertentu (Setyowati 2003).
Menurut PT REKI (2012) diduga suku Anak Dalam ini hidup di hulu-hulu
sungai Meranti, Kapas, dan Lalan, karena daerah ini cukup terisolasi dan kondisi
hutannya relatif masih cukup terjaga dengan baik. Ditemukan tujuh titik lokasi
Suku Anak Dalam di dalam areal restorasi ekosistem yaitu di Kelompok hutan
Hulu Sungai Kandang di bagian Utara dan Timur laut sebanyak 3 titik dan di
bagian Barat lokasi yakni di kelompok hutan hulu Sungai Lalan dan di Kelompok
hutan Sungai Badak sebanyak 4 titik. Bahasa dan adat istiadat yang digunakan
warga desa-desa sekitar areal lokasi restorasi ekosistem adalah adat istiadat
melayu Jambi, sedangkan agama yang mereka anut sebagian besar adalah agama
Islam.

Pengetahuan mengenai morfologi jelutung


Masyarakat SAD memiliki pengetahuan mengenai morfologi jelutung.
Karakteristik luar yang nampak dari pohon jelutung dapat digunakan untuk
mengenali pohon jelutung di hutan. Berdasarkan wawancara terhadap masyarakat
SAD pohon jelutung memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Tabel 5 Ciri morfologi jelutung berdasarkan pengetahuan masyarakat SAD

Bagian Bentuk Ukuran Warna Bau khas Rasa


Batang Silindris, Besar Kelabu Tidak ada Tidak ada
bervariasi (diameter kehitaman
lurus atau dapat
bengkok mencapai
300 cm)
Daun Panjang dan Hijau Tidak ada Tidak ada
lebar, ujung
daun
melebar
Bunga - Kecil Putih Tidak ada Tidak ada
Buah Lonjong Besar Hijau, - -
coklat
apabila
sudah
matang
Akar - - - - -
Getah Cair - Putih Tidak ada Tidak ada
Keterangan: - : tidak tahu/tidak teridentifikasi

Masyarakat SAD mengenal dua jenis jelutung yaitu jelutung rawa atau
jelutung payau dan jelutung darat atau jelutung kapur. Dua jenis jelutung dapat
dibedakan secara mudah dari bentuk daunnya. Jelutung darat memiliki daun lebih
lebar, daun lebih tipis dan ujung daun meruncing. Selain perbedaan dari bagian
daun, masyarakat SAD membedakan jelutung dari batangnya. Jelutung rawa
memiliki batang hitam, daun halus, kulit kayu keras sedangkan jelutung darat
batangnya memiliki bercak putih dan kulit kayu lembut/lunak serta tumbuh di
daerah rawa atau payau. Jumlah getah yang dihasilkan oleh jelutung darat dan
19

jelutung rawa relatif sama, tetapi tekstur jelutung rawa lebih encer karena
mengandung banyak air. Masyarakat SAD tidak memilih-milih jenis jelutung
mana yang sering disadap, masyarakat menyamakan kedua jenis jelutung yaitu
jelutung rawa dan jelutung darat dalam hal pemilihan pohon yang akan disadap.
Masyarakat SAD di PT REKI memiliki pengetahuan untuk mengenali
pohon jelutung di alam dan dapat membedakan dua jenis jelutung berdasarkan
morfologi pohon jelutung. Mengenali karakteristik morfologi jelutung dialam
bermanfaat bagi masyarakat untuk membedakan pohon yang memiliki getah yang
banyak. Tata et al. (2015a) juga mengungkapkan bahwa penyadap jelutung dapat
mengenali pohon jelutung yang menghasilkan getah melimpah berdasarkan
morfologi kulit batang dan tunas muda. Karakteristik tersebut yaitu tunas muda
yang berwarna merah dan kulit batang tipis yang kehitam-hitaman dan lunak
sampai agak kasar.

Pengetahuan mengenai pemanfaatan jelutung


Masyarakat SAD di PT REKI memanfaatkan jelutung secara subsisten dan
komersial. Pemanfaatan subsisten yang dilakukan oleh masyarakat SAD adalah
untuk obat dan pemanfaatan kayu, tetapi pemanfaatan tersebut persentasenya
lebih rendah apabila dibandingkan dengan pemanfaatan jelutung secara komersial.
Dahulu, jelutung dimanfaatkan getahnya untuk menjadi komoditi yang bernilai
ekonomi. Persentase pemanfaatan jelutung oleh masyarakat SAD disajikan pada
Gambar 8.

Komoditas ekonomi

Perkakas/papan Daun
Getah
Kayu
Obat

0 20 40 60 80 100

Gambar 8 Persentase pemanfaatan jelutung


Kayu jelutung dapat digunakan sebagai bahan baku perkakas dan perabotan
rumah biasanya digunakan untuk salon (speaker), meja, lemari. Kayu jelutung
tidak dapat digunakan sebagai konstruksi rumah karena kayu yang cepat lapuk.
Kayu jelutung bisa dimanfaatkan sebagai papan tetapi kayu jelutung tidak cukup
bagus untuk papan rumah karena lunak dan mudah dimakan oleh kumbang yang
melubangi kayu. Menurut Williams (1963) kayu jelutung tidak cocok digunakan
untuk tujuan konstruksi, karena kayu jelutung tidak kuat, daya tahan yang rendah,
rentan terhadap serangan kumbang penggerek dan khususnya rentan terhadap
rayap jika kontak dengan tanah.
Beberapa responden menyebutkan bahwa jelutung bisa dijadikan sebagai
obat. Getah jelutung dapat digunakan sebagai obat sakit gigi dan bisul. Getah
langsung dioleskan ke bisul yang sakit. Hal tersebut sama dengan kelompok
masyarakat SAD di Taman Nasional Bukit Duabelas yang menjelaskan bahwa
getah jelutung dapat mengobati bisul dengan cara dioleskan langsung pada bisul
(Andhika 2015). Daun jelutung juga dapat digunakan sebagai obat. Ekstrak daun
jelutung mengandung antioksidan (Subhadhirasakul et al. 2003), sebagai
20

analgesik dan mengandung bahan kimia potensial quercetin sebagai


hypoallergenic, anticancer, antiosteoporosis, antiinflammatory, antispasmodic,
dan antihepatotoxyc (Reanmongkol et al. 2002).
Saat ini, seluruh responden sudah tidak lagi menyadap jelutung untuk
kebutuhan komersial. Alasan tidak menjual lagi getah jelutung karena pasarnya
yang tidak ada lagi. Hal tersebut disebabkan karena tidak ada yang membeli getah
jelutung. Selain itu, harga jelutung yang murah dan berfluktuatif menjadikan
masyarakat tidak lagi menyadap jelutung, Padahal biaya opersional penjualan
jelutung cukup besar. Penyebab lainnya adalah adanya komoditi lain yang
menggantikan jelutung sebagai komoditi utama seperti rotan. Masyarakat SAD
juga memiliki pekerjaan lain seperti bekerja di perkebunan kelapa sawit sehingga
tidak menyadap lagi jelutung. Masyarakat juga sangat jarang memanfaatkan
jelutung sebagai obat dan untuk kebutuhan perkakas. Sehingga pemanfaatan
jelutung oleh masyarakat SAD di PT REKI sangat rendah.
Stimulus manfaat dari jelutung sudah tidak dirasakan lagi oleh masyarakat
SAD, menyebakan terjadinya perubahan pandangan masyarakat terhadap jelutung.
Padahal masyarakat SAD merupakan masyarakat tradisional yang dari skala kecil
yang berperan dalam perdagangan getah dunia. Masyarakat SAD sejak dahulu
menilai jelutung dari sisi ekonomi. Sehingga apabila nilai ekonominya hilang
maka nilai manfaat jelutung bagi masyarakat telah menurun.

Pengetahuan pemanfaatan hasil hutan lain


Masyarakat SAD juga memanfaatkan hasil hutan lainnya seperti tumbuhan
obat dan tumbuhan pangan. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh tumbuhan
obat yang biasa digunakan oleh masyarakat SAD sebanyak 55 spesies tumbuhan.
Disamping itu, tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh masyarakat SAD
adalah sebanyak 40 spesies. Spesies tumbuhan obat yang bisa digunakan oleh
masyarakat SAD adalah pasak bumi (Eurycoma longifolia) yang digunakan untuk
mengobati demam kuro (malaria). Kandungan kimia dari pasak bumi yaitu zat-zat
eurikomlakton, laurikolakton A, B, dihidroeurikomalakton, eurikomanon,
eurikomanol, benzowi-non, sterol, saponin dan asam lemak sterol ester (Adriyanti
et al. 2014). Selain pasak bumi, tumbuhan lainnya yang berasal dari hutan yang
dimanfaatkan oleh masyarakat SAD adalah kulit kayu dari pohon berumbung
(Calophyllum pulcherrimum) yang bermanfaat untuk mengobati demam, buah
dari pohon merpayang (Scaphium macropodum) untuk mengobati panas dalam.
Penelitian Somboonpanyakul et. al (2006) terhadap kandungan kimia terhadap
buah Scaphium scaphigerum, menunjukkan bahwa buah Scaphium scaphigerum
yang diekstrak berisi karbohidrat (62%) tinggi, monosakarida konstituen utama
yaitu arabinosa, galaktosa dan rhamnose dengan asam uronic, glukosa dan xilosa.
Tumbuhan pangan yang banyak diambil dari hutan adalah jenis buah-
buahan seperti buah tampoi (Baccaurea macrocarpa). Buah tampoi ini mirip
dengan buah menteng. Masyarakat SAD mengkonsumsi buah tampoi sebagai
makanan pelengkap. Buah tampoi atau tampui atau di Kalimantan disebut buah
kapul dimanfaatkan juga oleh masyarakat. Menurut Akhmadi dan Sumarmiyati
(2015) termasuk dalam buah indigenous, dianggap sebagai buah pinggiran dan
manfaat nutrisi di dalamnya dianggap kurang penting. Selain tampoi, buah lain
yang dimanfaatkan oleh masyarakat SAD adalah durian hutan (Durio griffithii),
cempedak (Artocarpus integer), keranji (Dialium indum) dan lain-lain. Makanan
21

pokok masyarakat SAD biasanya adalah padi dan umbi-umbian yang ditanam di
kebun campuran yang mereka buat di dekat rumahnya.
Kawasan PT REKI juga memiliki hasil hutan bukan kayu yang potensial
dan belum dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu gaharu (Aquilaria microcarpa).
Disisi lain masyarakat telah memanfaatkan jernang (Daemonorops Sp.) karena
memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Masyarakat menjual jernang dalam keadaan
basah maupun dalam keadaan yang telah dioleh dalam bentuk serbuk. Harga
jernang yang telah diolah menurut masyarakat dapat mencapai Rp 1 000 000,-.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 9 (a) Eurycoma longifolia (b) Scaphium macropodum (c) Dialium indum
(d) Aquilaria microcarpa
Pengetahuan mengenai penyadapan getah jelutung
Mayarakat SAD menyadap jelutung di dalam hutan yang dilakukan di pagi
hari, sekitar jam 6.00-10.00. Sama halnya dengan kegiatan menyadap jelutung di
wilayah Tanjung Jabung yaitu, dimulai pada pukul 06.00 (Tata et al. 2015a).
Kegiatan menyadap getah jelutung harus dilakukan di pagi hari, karena getah
jelutung akan keluar sedikit jika kegiatan menyadap dilakukan siang hari.
Menyadap jelutung dilakukan secara individu dan dilakukan dengan memulai
menyadap dari pohon yang paling ujung atau jauh, kemudian kembali ke awal
jalur rintis. Sehingga, biasanya masyarakat membuat pondok dalam hutan dan
bermalam di pondok tersebut saat kegiatan menyadap jelutung berlangsung,
karena jarak ke lokasi penyadapan dapat mencapai 3 km dari pondok yang di
hutan.
Menyadap jelutung dapat dilakukan setiap hari, tetapi dalam rentang waktu
satu minggu kegiatan menyadap tidak dilakukan selama satu hari untuk
22

memulihkan kondisi pohon dan agar getah jelutung mudah keluar. Selama masa
istirahat tersebut merupakan waktu untuk memulihkan kulit batang jelutung (Tata
et al. 2015a), tetapi menurut Williams (1963) dalam beberapa kejadian, kematian
jelutung masih saja bisa terjadi. Hal tersebut dikarenakan kayu jelutung dapat
dengan mudah diserang hama penggerek batang dan jamur yang dapat
meyebabkan produksi getah jelutung berangsur menurun.
Setiap orang SAD memiliki wilayah masing-masing untuk menyadap
jelutung yang tidak bertumpang tindih dengan wilayah orang SAD lainnya.
Kepemilikan pohon jelutung tidak secara individu, melainkan bersifat komunal.
Walaupun tidak terdapat aturan adat yang mengikat, masyarakat SAD memiliki
kearifan dalam kegiatan menyadap jelutung. Hak klaim pohon jelutung yang akan
disadap yaitu berdasarkan penemuan pertama pohon jelutung. Kemudian
masyarakat membuat jalur-jalur rintisan untuk menemukan individu pohon
jelutung lainnya yang akan disadap. Jumlah pohon yang akan disadap tergantung
pada kelimpahan jelutung yang terdapat pada jalur rintisan. Masyarakat SAD
dalam sehari bisa menyadap 20-40 pohon jelutung. Williams (1963) bahkan
menyebutkan bahwa penyadap jelutung dapat menyadap pohon jelutung setiap
harinya sekitar 50 pohon. Cara-cara penentuan lokasi dan pemilihan pohon
jelutung yang dilakukan oleh masyarakat SAD di PT REKI sama dengan kegiatan
menyadap jelutung di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Menurut
Tata et al. (2015a) penyadap tradisional di Tanjung Jabung Barat memiliki aturan
terhadap kepemilikan pohon jelutung. Setiap penyadap memiliki hak klaim secara
individu dalam pembuatan jalur rintis dan jumlah pohon dalam jalur rintis yang
akan disadap. Jumlah jalur yang menjadi jalur rintisan jelutung antara 10-16 jalur
atau antara 10-40 jalur. Jumlah tersebut berdasarkan pada kepadatan pohon
jelutung di hutan dan jumlah penyadap dalam kelompok.
Alat yang digunakan pisau sadap khusus jelutung, lebih besar dari pisau
sadap karet. Menurut masyarakat SAD, dahulu alat yang digunakan untuk
menyadap jelutung adalah menggunakan parang atau golok. Menurut Williams
(1963) alat yang digunakan untuk menyadap jelutung adalah dengan
menggunakan “parang”, yaitu pisau besar dan panjang.
Teknik menyadap jelutung yang dilakukan oleh masyarakat yaitu, pada
bagian belakang alur sadapan tidak boleh saling bertemu atau terputus. Hal
tersebut dikarenakan, jika pada bagian belakang terputus atau saling bertemu
dapat menyebabkan pohon jelutung mati. Setiap pohon jelutung dibuat 2-5 alur
atau plat sadapan. Getah ditampung di jirigen berukuran 20 liter atau plastik, dulu
tempat menampung getah menggunakan bambu atau menggunakan daun nipah.
Cara mengangkut getah dipikul dengan menggunakan tali yang disebut dengan
galas.
Hasil getah jelutung bervariasi, tergantung dari ukuran pohon dan cara
menyadap jelutung. Masyarakat SAD menyadap pohon jelutung secara tradisional
dengan menggunakan pisau jelutung membentuk pola sadapan seperti huruf V
(Gambar 10). Sama halnya dengan yang dilaporkan oleh Bastoni (2014) dan
Williams (1963), teknik penyadapan getah tradisional dengan cara membuat
sayatan pada kulit batang pohon yang membentuk huruf V pada ketinggian 4 kaki
dengan besar sudut 45°. Satu pohon jelutung bisa menghasilkan 1 kg dengan
produktivitas getah 20-30 kg/ hari dari 20-30 pohon jelutung dengan membuat 2-5
alur sadapan pada setiap pohon. Menurut masyarakat semakin besar diameter
23

pohon maka akan semakin banyak getah yang dihasilkan. Hasil uji Pearson
Correlation terdapat hubungan antara diameter pohon jelutung dengan hasil getah
(P=0.05, sig=0.026).
Masyarakat SAD tidak memperhatikan metode dan arah sadap ketika
menyadap jelutung untuk menghasilkan getah yang banyak. Masyarakat hanya
menyadap pohon jelutung dengan metode pola V saja yang diperoleh secara turun
temurun. Padahal menurut (Waluyo et al. 2012) perbedaan metode sadap
berpengaruh sangat nyata terhadap produksi getah, sedangkan arah sayatan (ke
atas dan bawah) dan interaksi antara metode sadap dengan arah sayatan tidak
mempengaruhi produksi getah. Tasman (1999) diacu dalam Bastoni (2014) juga
menjelaskan bahwa penyadapan getah jelutung yang terbaik dilakukan pada
pohon dengan diameter di atas 25 cm, periode sadap 2 hari, dan sudut bidang
sadap 45o, mengahsilkan rata-rata getah sebesar 1.37ton/ha/tahun dengan
penurunan riap diameter pohon jelutung akibat sadapan rata-rata sebesar 0.34
cm/tahun.

Gambar 10 Pola sadapan jelutung


Pengetahuan proses pengolahan getah jelutung
Masyarakat SAD melakukan proses pengolahan getah setelah getah hasil
sadapan dikumpulkan. Setelah getah terkumpul, getah dimasak (dikentalkan) di
pondok sebelum di jual. Masyarakat SAD mengenal dua jenis getah jelutung yang
sudah diolah atau dimasak, yaitu jelutung tahu dan jelutung balam. Kedua jenis
getah jelutung ini dibedakan berdasarkan cara memasak atau proses pengentalan
getah dan bentuk akhir dari proses pengentalan getah. Disebut jelutung tahu
karena bentuk jelutung hasil olahan berbentuk balok seperti tahu.
Proses pemasakan jelutung tahu dilakukan dengan cara menuangkan getah
hasil sadapan pada papan kayu berbentuk segiempat. Setelah getah dituangkan
kedalam papan, getah dicampur dengan cuka (asam asetat) getah yang berfungsi
untuk mengentalkan getah. Satu dirijen getah jelutung dicampur dengan satu loki
cuka. Setelah dicampur dengan cuka, getah kemudian diaduk hingga getah
menjadi kental. Kemudian getah yang telah kental disiram dengan air panas
kemudian digilas dengan menggunakan botol agar permukaan getah padat dan
rata. Getah yang dihasilkan berbentuk balok dengan tekstur yang lunak dan
mudah rusak (Gambar 11).
24

Pencetakan Pencampuran
di papan getah dan Pengadukan Pengentalan
segi empat acetic acid

Penekanan Pemasakan

Gambar 11 Diagram alir pengolahan getah jelutung tahu


Sama halnya dengan yang diungkapakan Tata et al. (2015a), bahwa getah
jelutung sebelum dijual diproses terlebih dahulu yaitu, pengentalan (coagulation),
pemasakan (boiling), dan penekanan (pressing). Satu liter getah ditambahkan 5
gram asetic acid untuk menggumpalkan getah. Getah digumpalkan dan dibentuk
menjadi kubik sampai satu malam, kemudian dicampur dengan air panas untuk
meningkatkan proses pembekuan. Setelah itu, balok-balok getah ditekan
menggunakan botol atau pipa silindris untuk membuang air dalam balok getah.
Kemudian getah siap dijual kepada tengkulak.
Getah jelutung balam atau getah masak press dimasak di atas tungku api.
Getah yang sudah terkumpul dimasukkan kedalam panci kemudian di campur
cuka, air dari kulit batang pohon tampoi (Baccaurea macrocarpa), dan sedikit air.
Getah diaduk hingga rata dan mengental. Setelah getah mengental, getah diangkat
dari panci kemudian diinjak-injak sebanyak 3 kali agar getah menjadi padat dan
getah dibentuk seperti oval. Getah jelutung balam ini memiliki tekstur yang keras
dan berwarna kemerahan karena dicampur dengan kulit batang pohon tampoi
(Baccaurea macrocarpa). Getah jelutung balam apabila dibanting tidak akan
pecah. Getah jelutung sebanyak 20 liter apabila dimasak menjadi jelutung akan
menghasilkan 30 kg getah olahan, sedangkan jelutung pres atau balam menyusut
menjadi 10 kg atau 6 kg. Kualitas dan kuantitas produk bergantung pada spesies
jelutung, umur pohon, variasi musim, kondisi cuaca saat menyadap, dan
ketelitiaan saat pengentalan getah. (Williams 1963). Proses pemasakan jelutung
press atau balam disajikan pada Gambar 12.

Pencampuran getah dengan Pemasakan Pencampuran


kulit batang Baccaurea di atas getah dan
macrocarpa tungku api asetic acid

Getah
Penekanan Pengentalan Pengadukan
dibentuk

Gambar 12 Proses pemasakan getah jelutung press


Setelah getah jelutung dimasak, getah jelutung tahu maupun jelutung
pres/balam disimpan di dalam sungai. Getah ditambatkan menggunakan tali atau
rotan pada samping sungai. Getah jelutung tahu apabila mengandung banyak
25

kadar air getah akan tenggelam di dasar sungai, sedangkan getah yang
mengandung sedikit kandungan air akan melayang di sungai. Penyimpanan ini
dilakukan sebelum getah jelutung dijual.

Pengetahuan mengenai perdagangan getah jelutung


Perdagangan getah jelutung meliputi tingkat desa sampai tingkat provinsi.
Getah jelutung yang dikumpulkan dari hutan kemudian melalui proses pengolahan
dan penyimpanan terlebih dahulu sebelum dijual. Setelah getah diolah dan
disimpan, getah. mengumpulkan getah jelutung pada tingkat desa di kawasan PT
REKI yaitu Desa Bungku untuk diangkut bersamaan dalam satu kendaraan untuk
dijual. Hal ini bertujuan agar biaya transportasi tidak terlalu tinggi bagi masing-
masing penyadap. Getah kemudian dijual ke pengepul (tokeh) di beberapa daerah
di Provinsi Jambi. Alur perdagangan getah jelutung disajikan pada Gambar 13.
Peran masyarakat SAD dalam perdagangan getah jelutung berhenti sampai
penjualan getah pada pengepul. Dari tingkat provinsi inilah getah di impor ke
negara-negara lain. Getah jelutung diekspor kebeberapa tujuan negara, yaitu
Singapuram Prancis, dan Jepang (Harun 2015). Negara terpenting bagi ekspor
getah jelutung adalah Singapura, yang mengolah getah jelutung yang berkadar air
rendah dan menjadi balok-balok berukuran tertentu untuk diekspor kembali ke
Eropa dan Amerika Serikat.

Pengumpulan Pengepul
Hutan Pengolahan Penyimpanan di tingkat tingkat
desa provinsi

Gambar 13 Alur perdagangan getah jelutung


Penjualan getah jelutung dulu yang dilakukan oleh masyarakat SAD masih
bergantung pada keberadaan tokeh atau pengepul. Masyarakat tidak dapat
menjual getah jika tidak ada pengepul. Bahkan apabila tokeh meninggal dunia
masyarakat SAD tidak mencari alternatif lain untuk menjual getah.
Ketergantungan masyarakat terhadap pengepul menyebabkan harga tawar
ditentukan oleh pengepul. Masyarakat sulit menentukan harga tawar yang lebih
tinggi sehingga keuntungan yang didapatkan akan rendah. Oleh karena itu perlu
adanya peningkatan kapasitas masyarakat terhadap pengolahan getah jelutung
agar menghasilkan getah jelutung yang berkualitas tinggi, sehingga dalam proses
tawar menawar masyarakat dapat menawar dengan harga yang tinggi.
Pendampingan masyarakat terhadap kegiatan jual beli kepada masyarakat harus
dilakukan, sehingga masyarakat tidak dibohongi dengan monopoli harga getah
dipasaran. Permasalahan utama mengenai jelutung saat ini terletak pada pasar
jelutung di Jambi yang sudah tidak beroperasi lagi. Penyadap jelutung enggan
melakukan penyadapan getah jelutung dikarenakan pasar jelutung yang tidak ada
lagi. Masyarakat SAD lebih memilih mencari rotan, jernang, dan hasil hutan
lainnya.
Masyarakat SAD tidak lagi meyadap jelutung sejak tahun 2010-2011.
Sehingga menyebabkan produksi getah jelutung di Jambi semakin menurun
hingga pada akhirnya produksi getah jelutung di Jambi terhenti sejak tahun 2008
(Tata et al. 2015a ; Sofiyudidin et al. 2012). Di Provinsi Kalimantan Tengah pun
26

yang masih terdapat kegiatan jual beli getah jelutung, menurut Harun (2015)
kondisi pengelolaan getah jelutung belum dilaksanakan secara optimal yang
diindikasikan dengan margin pemasaran yang belum efisien dan keuntungan di
tingkat petani yang masih rendah.

Budaya dan kepercayaan terkait jelutung


Masyarakat SAD melakukan upaya konservasi secara pasif yaitu dengan
cara tidak menebang pohon jelutung. Pohon jelutung yang masih produktif atau
tidak produktif lagi, tidak akan ditebang oleh masyarakat. Apalagi apabila
jelutung dihinggapi sialang, maka pohon jelutung mutlak tidak boleh ditebang,
apabila ditebang akan melanggar adat dan harus membayar denda. Dendanya
berupa denda kain, yaitu kain putih dan kain hitam sepanjang pohon yang
ditebang serta uang. Pohon sialang yaitu pohon yang dihinggapi oleh madu,
kepemilikannya berdasarkan orang yang pertama kali menemukannya, sementara
rotan dan jernang kepemilikannya adalah komunal yaitu milik bersama.
Masyarakat Batin Sembilan juga mengetahui sebaran dan masa panen Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) serta cara berburu satwa yang masih dijumpai di Hutan
Harapan (Silalahi tahun tidak diketahui).
Tidak ada aturan adat mengenai pembagian lahan untuk menyadap jelutung.
Setiap masyarakat SAD boleh menyadap jelutung dimana pun yang belum
disadap oleh orang lain. Nilai budaya masyarakat SAD terhadap jelutung memang
tidak terlalu nyata. Masyarakat menilai jelutung dari manfaat ekonominya. Setelah
pasar jelutung tidak ada lagi, masyarakat tidak lagi berinteraksi secara intensif
dengan jelutung, tetapi nilai-nilai budaya walaupun kecil harus tetap
dipertahankan.

Potensi Populasi Jelutung di Hutan PT REKI

Pemanfaatan jelutung yang sangat rendah saat ini diikuti dengan populasi
jelutung dialam yang kian menurun. Pengamatan potensi populasi jelutung
(Dyeracostulata) dilakukan dengan membuat petak pengamatan seluas 2 ha. Pada
petak pengamatan jumlah individu jelutung yang ditemukan berjumlah 23
individu. Individu jelutung pada setiap tingkat pertumbuhan dihitung yaitu semai,
pancang, tiang dan pohon. Hasil dari pengamatan dilapangan disajikan pada
Gambar 14.
6 4.5
4
4
Ind.ha-1

2
1
2

0
Semai Pancang Tiang Pohon
Tingkat Pertumbuhan

Gambar 14 Potensi jelutung


27

Berdasarkan Gambar 14 dapat terlihat bahwa potensi jelutung di kawasan


hutan dataran rendah PT REKI untuk tingkat semai adalah 4 individu.ha-1, tingkat
pancang adalah 4.5 individu.ha-1, tingkat tiang adalah 1 individu.ha-1, dan tingkat
pohon adalah 2 individu.ha-1. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa potensi
populasi jelutung di PT REKI tidak normal. Hal tersebut dikarenakan kurva
populasi tidak membentuk huruf “J”. Kurva populasi berbentuk huruf “J”
menggambarkan bahwa populasi dalam keadaan stabil, karena semai lebih banyak
dan menurun setiap tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi. Semai yang banyak
daripada tingkat pertumbuhan lainnya dapat menjamin keberlangsungan
regenerasi tumbuhan apabila tidak ada gangguan dari luar. Menurut Tata et al.
(2015) di Jambi menunjukkan pengurangan tegakan jelutung, tetapi masih
terdapat regenerasi dan kesempatan untuk pemulihan kembali kondisi tegakan.
Hasil eksplorasi terhadap pohon jeltung ditemukan 92 pohon dengan
sebaran kelas diameter yang berbeda-beda. Selang diameter pohon jelutung yang
ditemukan adalah 20 cm -164.8 cm. Kelas diameter pohon jelutung paling banyak
adalah kelas diameter 40 cm – 60 cm sebanyak 26 individu (Gambar 15).
Diameter pohon yang ditemukan di Tanjung Jabung Barat jelutung paling besar
yang ditemukan adalah sebesar 46.5 cm sedangkan diameter jelutung terbesar
yang ditemukan di daerah Tanjung Jabung Timur adalah sebesar 61.2 cm (Tata et
al. 2015). Apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Tata et al.
(2015) menunjukkan kondisi pohon jelutung yang berada di kawasan PT REKI
masih tergolong baik. Pohon-pohon jelutung yang memiliki diameter yang besar
dan dalam kondisi yang baik dapat dijadikan pohon induk. Sebaran kelas diameter
pohon jelutung disajikan pada Gambar 15.
30
25
Jumlah individu

26
20 24
21
15
10
11
5 7 2 1
0
20-40 40-60 60-80 80-100 100-120 120-140 160-170
Kelas Diameter (cm)

Gambar 15 Sebaran kelas diameter pohon jelutung


Sebaran diameter jelutung di PT REKI masih mengalami penurunan jumlah
setiap peningkatan diameter. Potensi pohon produktif yang dapat disadap cukup
banyak. Pohon jelutung yang siap sadap adalah pohon jelutung yang memiliki
diameter >15 cm. Pohon jelutung yang memiliki diameter yang besar yaitu >80
cm umumnya memiliki kulit kayu sudah rusak karena sadapan yang tidak benar
sehingga getah yang dihasilkan kurang optimal. Penelitian Tata et al. (2015a)
yang dilakukan di Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur menunjukan
sebaran frekuensi diameter jelutung pada tiga tegakan alam menunjukan bahwa
jelutung dalam kondisi terancam, karena jumlah pohon jelutung lebih sedikit dari
yang diduga. Hal tersebut dikarenakan tingginya eksploitasi kayu dari hutan.
28

Turunnya populasi jelutung di alam khususnya di PT REKI merupakan


tanda bahwa jelutung harus tetap di konservasi. Penurunan populasi dapat
disebabkan karena perambahan hutan dari luar dan kebakaran hutan yang masih
terjadi di PT REKI. Masyarakat SAD tidak mengeksploitasi pohon jelutung
karena pemanfaatan jelutung saat ini sangat rendah. Walaupun masyarakat SAD
sudah tidak intensif lagi memanfaatkan jelutung, populasi jelutung harus tetap
dipertahankan dari kepunahan mengingat jelutung memiliki banyak manfaat. Bisa
saja suatu hari nanti jelutung menjadi komoditas ekonomi dunia yang bernilai
ekonomi tinggi seperti pada waktu yang lalu. Sehingga masyarakat SAD dapat
merasakan kembali manfaat ekonomi dari jelutung.

Pengetahuan Mengenai Ekologi Jelutung

Tanah
Jelutung dapat tumbuh dimana saja tidak terpengaruh topografi dan jenis
tanah yang spesifik, sehingga masyarakat SAD dapat menemukan jelutung
dimana saja, kecuali pohon jelutung rawa yang dapat ditemui di daerah rawa atau
payau. Tekstur tanah tempat tumbuh jelutung biasanya agak berpasir. Hal tersebut
dibuktikan dengan hasil uji laboratorium terhadap tekstur tanah. Tekstur tanah
tempat tumbuh jelutung didominasi oleh pasir dibandingkan dengan debu dan
liatnya. Pada pengukuran ke-1 dan ke-2 tekstur tanah tempat tumbuh jelutung
kandungan pasir lebih tinggi daripada kandungan debu dan liat, tetapi pada
pengukuruan ke-3 tekstur tempat tumbuh jelutung kandungan liat lebih tinggi
dibandingkan kandungan pasir dan debu (Tabel 6). Hal tersebut dikarenakan
pengukuran ke-3 sampel tanah yang diambil di lokasi yang dekat dengan sungai,
sehingga kadar liatnya lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan pasir dan
debu. Hal tersebut sama dengan yang diungkapkan (Arlanda et. al 2014) yang
menyatakan bahwa tekstur tanah tempat tumbuh jelutung biasanya agak berpasir.
Tabel 6 Sifat tanah tempat tumbuh jelutung

Sifat tanah/No
1 2 3
sampel
Sifat fisik
Pasir (%) 43.54 48.41 14.28
Debu (%) 32.47 26.34 41.43
Liat (%) 23.99 25.25 44.29
Sifat kimia
pH H20 3.70SR 3.90 SR 3.60 SR
C-org (%) 6.03ST 3.30T 3.65T
N – Total (%) 0.31S 0.13R 0.19R
P-HCl 53.33T 43.34T 50.00T
Ca 0.18R 0.14R 0.86R
Mg 0.60R 0.12SR 0.14SR
K 0.44S 0.08SR 0.13R
Na 0.39R 0.20R 0.21R
KTK 17.51S 7.15R 8.85R
Keterangan: SR= Sangat Rendah R=Rendah S=Sedang T=Tinggi ST=Sangat Tinggi
29

Selain karakteristik fisik tanah untuk mengetahui kondisi tempat tumbuh


jelutung, diuji juga kondisi kimia tanah. Berdasarkan Tabel 6, parameter pH tanah,
sifat kimia unsur makro tanah dan KTK tanah tersebut menunjukkan bahwa
kondisi tanah tempat tumbuh jelutung memiliki pH yang sangat rendah dan
miskin hara Sehingga jelutung merupakan tumbuhan yang toleran hidup di
kondisi tanah yang sangat asam dan miskin hara.
Selain analisis pada pH tanah, unsur hara makro, dan KTK tanah, dianalisis
juga kandungan unsur hara mikro tanah tempat tumbuh jelutung. Unsur hara
mikro (Fe, Zn, Cu, Mo, Cl dan B) termasuk unsur hara esensial sehingga harus
selalu tersedia bagi tanaman meskipun dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah
sedikit. Karena unsur hara mikro mempunyai fungsi yang spesifik dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta fungsinya tidak dapat digantikan
secara sempurna oleh unsur hara lain (Sudarmi 2013). Unsur hara tanah yang
diukur adalah unsur Al, H, Fe, Cu, Zn, dan Mn. Berdasarkan Tabel 7 dapat terlihat
bahwa unsur besi (Fe) paling banyak terkandung daripada unsur hara mikro
lainnya. Unsur hara mikro tanah tempat tumbuh jelutung disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Unsur hara mikro tanah pada tempat tumbuh jelutung

Sampel ke-
Unsur Hara Mikro Satuan
1 2 3
Al me/100g 4.48 3.92 3.73
H me/100g 0.19 0.36 0.37
Fe ppm 39.98 33.12 39.49
Cu ppm 0.75 0.55 0.41
Zn ppm 3.62 2.11 0.61
Mn ppm 11.86 4.04 1.99

Suhu
Suhu dan kelembaban tempat tumbuh jelutung juga dianalisis, karena pada
pengaruh iklim terhadap vegetasi padakondisi dan tumbuh di lokasi tertentu lebih
berpengaruh dibandingkan dengan pengaruh tanah (Setiawan 2009). Suhu harian
tempat jelutung tumbuh berdasarkan pengukuran di lapangan adalah berkisar 23oC
-28oC. Berdasarkan data yang diperoleh dari data online BMKG, selama setahun
terakhir suhu rata-rata dari wilayah Provinsi Jambi adalah berkisar antara 25oC -
28oC dengan kelembaban berkisar 77 % - 89 %. Suhu dan kelembaban tersebut
biasanya terdapat pada lokasi dataran rendah. Jelutung yang ditemukan di
kawasan PT REKI berada pada ketinggian 100 mdpl. Habitat yang cocok jelutung
yaitu di dataran rendah (0-100 mdpl) atau hutan penggunungan yang mencapai
300 mdpl (Arlanda et al. 2014).
Distribusi curah hujan bulanan tertinggi adalah pada bulan November dan
Desember, karena pada bulan tersebut curah hujan diatas 300 mm, sedangkan
curah hujan terendah adalah pada bulan Februari, Juni, Juli, Agustus, dan
September, karena curah hujan pada bulan tersebut kurang dari 60 mm (Gambar
16). Distribusi curah hujan paling tinggi adalah pada bulan Oktober-Maret dan
curah hujan terendah adalah pada bulan April-September. Terdapat anomali pada
bulan Februari, karena curah hujan menjadi sangat rendah diantara periode musim
30

hujan. Setelah itu curah hujan menjadi tinggi kembali pada bulan Maret dan April.
Hal tersebut dikarenakan perubahan iklim yang sedang terjadi akhir-akhir ini.
100 600
RH (%) CH (mm)
90
T°C 500
80
70 400
60
50 300
40
30 200 CH (mm)
20 T °C
100
10 RH (%)
0 0

Sumber: dataonline.bmkg.go.id
Gambar 16 Data suhu, kelembaban, dan curah hujan Provinsi Jambi 2014-2015
Menurut masyarakat SAD getah jelutung lebih banyak dihasilkan pada
musim hujan dibandingkan pada musim kemarau. Sama halnya dengan yang
diungkapkan Indrayanti (2014), rata-rata curah hujan yang tinggi akan
menghasilkan getah jelutung yang tinggi pula. Perubahan distribusi curah hujan
yang tidak menentu akan menyebabkan berfluktuasinya hasil getah jelutung yang
diperoleh. Disamping itu, Sucianti (2015) menyatakan bahwa curah hujan
merupakan unsur iklim yang fluktuasinya tinggi dan memiliki pengaruh yang
cukup signifikan terhadap produksi tanaman.

Struktur dan komposisi vegetasi di habitat jelutung


Kawasan PT REKI merupakan kawasan hutan sekunder dataran rendah
yang tinggi akan keanekaragaman spesies tumbuhan. Komposisi dan struktur
vegetasi spesies pada plot pengamatan dibedakan berdasarkan tingkat
pertumbuhan yaitu, semai, pancang, tiang dan pohon. Berdasarkan hasil analisis
vegetasi pada plot pengamatan jelutung diperoleh komposisi spesies pada tingkat
semai ditemukan sebanyak 31 famili (69 spesies) dengan famili yang
mendominasi adalah Burseraceae, Dipterocarpaceae, dan Myrtaceae. Tingkat
pertumbuhan pancang ditemukan sebanyak 30 famili (68 spesies) dengan famili
yang mendominasi yaitu, Phyllantaceae. Komposisi spesies pada tingkat tiang
adalah sebanyak 23 famili (47 spesies) dengan famili yang mendominasi adalah
Phyllantaceae dan Sapotaceae. Tingkat pohon ditemukan sebanyak 32 famili (75
spesies) dengan famili yang mendominasi, yaitu Dipterocarpaceae. Komposisi dan
keanekaragaman spesies tumbuhan pada suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor-
faktor lingkungan, yaitu, hara dan mineral, kelembapan, topografi, cahaya
matahari,karakteristik tanah,struktur kanopi, batuan induk, dan sejarah tata guna
lahan (Sofiah et al. 2013). Kerapatan tertinggi pada tiap ingkat pertumbuhan
disajikan pada Tabel 8.
31

Tabel 8 Kerapatan tertinggi tumbuhan tiap tingkat pertumbuhan

K
Nama ilmiah Famili Jumlah KR (%)
(ind.ha-1)
Semai
Baccaurea racemosa Phyllantaceae 73 3 650 10.6
Actinodaphne diversifolia Lauraceae 54 2 700 7.8
Antidesma cuspidatum Lauraceae 47 2 350 6.8
Pancang
Syzygium acuminatissimum Myrtaceae 62 496 11.1
Rhodamnia cinerria Myrtaceae 34 272 6.1
Popowia pisocarpa Anonnaceae 33 264 5.9
Tiang
Meliosma nitida Sabiaceae 32 64 22.2
Baccaurea racemosa Euphorbiaceae 10 20 6.9
Gynotroches axillaris Rhizophoraceae 7 14 4.9
Pohon
Glochidion sp Phyllanthaceae 25 12,5 7.2
Meliosma nitida Sabiaceae 18 9 5.2
Scaphium macropodum Malvaceae 15 7.5 4.3
Keterangan: K=Kerapatan KR=Kerapatan relatif

Kerapatan tumbuhan tingkat semai paling banyak adalah spesies Baccaurea


racemosa sebanyak 3 650 individu.ha-1. Tingkat pancang spesies dengan
kerapatan tertinggi adalah Syzygium acuminatissimum sebesar 496 individu.ha-1.
Tingkat tiang spesies yang memiliki kerapatan paling tinggi adalah Miliosma
nitida sebanyak 64 individu.ha-1dan tingkat pohon kerapatan paling tinggi adalah
Glochidion sp sebesar 12.5 individu.ha-1. Dyera costulata tiap tingkat
pertumbuhan tidak mendominasi. Kerapatan jelutung tiap tingkat pertumbuhan
lebih sedikit dibandingkan dengan kerapatan jenis lainnya. Jelutung pada tingkat
pertumbuhan tiang tidak ditemukan pada plot pengamatan 10 m x 10 m, dalam
luasan 2 ha petak pengamatan hanya ditemukan 2 individu jelutung.

Keanekaragaman spesies tumbuhan


1. Kekayaan spesies
Hasil perhitungan kekayaan spesies dengan menggunakan Indeks Margaleff
untuk tingkat semai adalah 10.86 spesies. Kekayaan spesies tingkat pancang
adalah 11.22 spesies. Kekayaan spesies tingkat tiang adalah sebesar 10.06 spesies
dan kekayaan spesies tingkat pohon adalah 13.69 spesies. Kekayaan spesies untuk
tingkat pohon tinggi dibandingkan dengan kekayaan spesies tiap tingkat
pertumbuhan lainnya. Hal tersebut dikarenakan jumlah spesies dan individu yang
ditemukan untuk tingkat pertumbuhan pohon tinggi. Menurut Ewusie (1990)
hutan tropika memiliki kekayaan spesies pohon yang tinggi dengan corak yang
cenderung seragam. Kekayaan spesies tiap tingkat pertumbuhan disajikan pada
Gambar 17.
32

Pohon

Pertumbuhan
Tingkat Tiang
Pancang
Semai
0,00 5,00 10,00 15,00
Gambar 17 Indeks kekayaan spesies

2. Keanekaragaman spesies
Berdasarkan hasil analisis vegetasi, tingkat keanekaragaman spesies tiap
tingkat pertumbuhan bervariasi. Tingkat pertumbuhan semai nilai
keanekaragaman spesies (H’) adalah 3.60. Keanekaragaman spesies tingkat
pertumbuhan pancang adalah sebesar 3.69. Keanekaragam spesies tingkat
pertumbuhan tiang adalah sebesar 3.37 dan keanekaragaman spesies tingkat
pertumbuhan pohon adalah sebesar 4.00. Kenekaragaman spesies tumbuhan di
kasawasan PT REKI termasuk dalam kategori tinggi dengan nilai yang bervariasi.
Tingginya keanekaragaman spesies pada suatu tempat dipengaruhi berbagai
faktor, misalkan faktor iklim, tanah, topografi, intensitas cahaya, dan
keanekaragaman tumbuhan lainnya. Kawasan PT REKI merupakan kawasan
hutan tropika dataran rendah yang memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi.
Menurut Ewusie (1990), keanekaragaman spesies yang tinggi pada hutan tropika
disebabkan karena spesies tropika dapat lebih toleransi terhadap relung ekologi
yang tumpang tindih pada beragama kondisi lingkungan mikro pada habitat
tropika terutama di dalam hutan, tersedianya sumberdaya yang tinggi, banyaknya
pemangsaan dan parasitisme dalam lingkungan tropika cenderung membatasi
berlimpahnya spesies tertentu.
Pertumbuhan

Pohon
Tingkat

Tiang
Pancang
Semai
2,80 3,00 3,20 3,40 3,60 3,80 4,00

Gambar 18 Indeks keanekaragaman


3. Kemerataan spesies
Berdasarkan Gambar 19 tingkat kemerataan spesies pada tingkat
pertumbuhan semai adalah 0.84. Tingkat kemerataan spesies pada tingkat pancang
adalah sebesar 0.86. Tingkat kemerataan spesies pada tingkat tiang adalah sebesar
0.86 dan tingkat kemerataan spesies pada tingkat pohon adalah sebesar 0.91. Hal
tersebut menunjukkan bahwa penyebaran tumbuhan pada tingkat semai, pancang,
tiang, dan pohon menyebar merata. Tingkat pohon menyebar paling merata
dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan lainnya. Hal tersebut didasarkan pda
pernyataan Krebs (1972) yang menjelaskan nilai indeks kemerataan yang
33

mendekati satu menunjukkan suatu komunitas tumbuhan semakin merata,


sedangkan nilai yang mendekati nol menandakan semakin tidak merata.

Pertumbuhan Pohon
Tingkat
Tiang
Pancang
Semai

0,82 0,84 0,86 0,88 0,90

Gambar 19 Indeks kemerataan spesies

Pola sebaran spasial jelutung (Dyera costulata)


Masyarakat SAD menyatakan bahwa jelutung dapat hidup dimana saja dan
tersebar di berbagai lokasi di PT REKI. Hal tersebut dibuktikan dengan
perhitungan Indeks Morisita yang membuktikan bahwa sebaran spasial tumbuhan
jelutung adalah merata. Sama halnya dengan hasil penelitian Siregar et al. (2016)
yang menyebutkan bahwa pola sebaran spasial jelutung pada habitat alami adalah
merata atau seragam, tetapi pada habitat yang banyak intervensi manusia pola
sebaran jelutung cenderung mengelompok. Sebaran merata memiliki arti bahwa di
berbagai lokasi jelutung dapat ditemukan dengan kondisi lingkungan tertentu.
Pola distribusi memiliki hubungan yang erat dengan kondisi lingkungan. Makhluk
hidup pada suatu lokasi saling bergantung satu sama lain, sehingga tidak
ditentukan hanya berdasarkan kesempatan, apabila terjadi gangguan pada suatu
makhluk hidup atau sebagian faktor lingkungan maka akan mempengaruhi
komunitas secara keseluruhan (Barbour et al. 1987).
Jelutung memiliki biji jelutung yang ringan, saat buah jelutung matang,
buah akan pecah dan biji di dalam buah jelutung akan terbang terbawa angin. Hal
tersebut yang menyebabkan sebaran jelutung seragam atau merata tidak secara
mengelompok. Kondisi demikian dapat terlihat dari semai jelutung yang
ditemukan jauh dari pohon induknya. Apabila seluruh faktor yang berpengaruh
terhadap kehadiran spesies relatif sedikit, maka faktor kesempatan lebih
berpengaruh, dimana spesies yang bersangkutan berhasil hidup di tempat tersebut,
kondisi demikian biasanya menghasilkan pola distribusi (Sofiah et al. 2013).
Perhitungan pola sebaran spasial jelutung disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Perhitungan indeks Morisita

Ið Mu Mc Ip Sebaran
Jelutung 0.8928 4.0317 -1.4921 -0.5176 Merata
Ið : Derajat penyebaran Morisita Mc : Derajat pengelompokan
Mu : Derajat keseragaman Ip : Standar derajat Morisita

Jelutung tiap tingkat pertumbuhan yaitu semai, pancang, tiang, dan pohon
berdasarkan titik GPS menyebar secara merata (Gambar 20), tetapi terdapat titik
jelutung dimana semai, pancang, tiang dan pohon banyak ditemukan. Hal tersebut
disebabkan pernah adanya pemanenan biji jelutung pada titik atau lokasi tersebut.
Pemanenan biji yang dilakukan menyebabkan biji banyak jatuh dibawah pohon
induknya. Padahal secara alami biji jelutung menyebar dengan bantuan angin
34

(anemokori) karena ukuran biji yang kecil dan ringan menyebabkan anakan
jelutung tumbuh jauh dari pohon induk.
Pohon jelutung tumbuh menyebar di hutan sekunder tinggi, hutan sekunder
rendah, sekitar semak. Pohon jelutung yang tumbuh di sekitar semak biasanya
tumbuh didekat jalan yang banyak di tumbuhi semak. Jelutung juga beberapa
tumbuh di lokasi dekat dengan sungai. Sebaran titik jelutung pada berbagai
tingkat pertumbuhan disajikan pada Gambar 20.

Gambar 20 Sebaran titik jelutung


35

Asosiasi intersepesifik jelutung (Dyera costulata)


Masyarakat SAD mengatakan jelutung tumbuh tidak bergantung pada
tumbuhan lain yang ada disekitarnya. Masyarakat hanya menyatakan jelutung
tumbuh dengan spesies pohon berkayu lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa
jelutung tidak memiliki asosiasi interspesifik dengan tumbuhan lainnya. Hasil
perhitungan asosiasi interspesifik jelutung dengan jenis tumbuhan dominan yang
ada di sekitar habitat jelutung menunjukkan bahwa ternyata jelutung berasosiasi
dengan medang kuning (Antidesma cuspidatum) dengan tingkat keeratan sebesar
0.2308. Indeks tersebut menunjukan bahwa tingkat asosiasi atau tingkat keeratan
hubungan antara jelutung dan medang kuning adalah rendah. Menurut Mayasari et
al. (2012) asosiasi mendekati maksimal apabila nilai mendekati 1, sebaliknya
asosiasi akan semakin minimal hingga tidak ada hubungan jika nilai indeks
asosiasi mendekati 0. Menurut Djufri (2002) nilai indeks asosiasi antara 0.48 –
0.23 tergolong asoasiasi rendah. Perhitungan asosiasi disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Asosiasi jelutung dengan spesies tumbuhan dominan

Indeks
No Nama Lokal E (a)
a X hitung Asosiasi
Asosiasi
1 Baccaurea racemosa 4.08
5 0.737 Tidak ada 0
2 Palaquium gutta 1.92
3 1.015 Tidak ada 0
3 Popowia pisocarpa 3.36
4 0.315 Tidak ada 0
4 Gynotroches axillaris 1.32
2 0.510 Tidak ada 0
5 Miliosma nitida 3.96
2 3.242 Tidak ada 0
6 Rhodamnia cinerria 2.64
1 2.067 Tidak ada 0
Syzygium
7 4.26 2.922 Tidak ada 0
acuminatissimum
8 Antidesma cuspidatum 3.126 6.294 Ada 0.2308
9 Shorea ovalis 3.243 0.044 Tidak ada 0
10 Scaphium macropodum 2.42 0.280 Tidak ada 0

Upaya Konservasi dan Pengembangan Jelutung di Hutan PT REKI

Prioritas konservasi lokal dihitung berdasarkan IPKL yang dimodifikasi


(Oliveira et al. 2007; Albuquerque et al. 2009). Berdasarkan hasil perhitungan
IPKL spesies-spesies tumbuhan yang memiliki indeks prioritas konservasi lokal
disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Nilai Index Prioritas Konservasi Lokal

Nama spesies US LU RD IPLK


Dyera costulata 6 10 7 23
Pertusadina multifolia 2 10 10 22
Artocarpus integer 2 10 10 22
Lansium domesticum 4 7 10 21

Berdasarkan perhitungan IPKL jelutung memperoleh nilai tertinggi untuk


dikonservasi secara lokal. Nilai IPLK menggambarkan secara eksplisit bahwa
36

spesies harus dilindungi karena kerentanan yang besar atau kecil, berhubungan
dengan beberapa kriteria yang berhubungan dengan ancaman over eksploitasi
(Albuquerque et al. 2008). Sehingga berdasarkan hal tersebut perlu adanya upaya
untuk konservasi dan pengembangan jelutung yang berkelanjutan di PT-REKI.

Konservasi jelutung bersama masyarakat Suku Anak Dalam


Masyarakat SAD dapat dijadikan sebagai subyek utama pelaku konservasi
jelutung di kawasan PT REKI. Masyarakat dapat melakukan upaya perlindungan,
pengawetan, dan pemanfaatan jelutung dengan pengetahuan tradisional yang telah
lama dimiliki. Kegiatan perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan yang
dilakukan dapat memberikan manfaat baik secara ekologis ataupun secara
ekonomis. Upaya perlindungan dan pengawetan jelutung dapat memberikan
manfaat ekologis, karena jelutung merupakan bagian dari ekologi yang tidak dapat
dipisahkan. Masyarakat melakukan upaya pengawetan dengan cara tidak
menebang pohon jelutung. Kegiatan pemanfaatan yang berkelanjutan terhadap
jelutung terutama getah sebagai komoditi ekonomi merupakan upaya nyata dari
konservasi jelutung. Masyarakat SAD memperoleh manfaat ekonomi dari
penjualan getah jelutung akan secara sadar melakukan konservasi jelutung.
Sehingga masyarakat SAD mampu melakukan konservasi jelutung berdasarkan
pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Pengetahuan dan keterampilan masyarakat SAD kurang mendapatkan
perhatian dalam program-program pembangunan pemerintah. Selain itu,
masyarakat juga tersisihkan dengan adanya alih fungsi lahan oleh perusahaan
yang menyebabkan masyarakat SAD tidak memiliki hutan sebagai tempat tinggal
dan sumber penghidupan lagi. Kawasan PT REKI merupakan salah satu hutan
hujan tropis dataran rendah yang masih tersisa yang menjadi tempat tinggal
masyarakat SAD. Masyarakat lokal mempunyai kapasitas pengetahuan dalam
memanfaatkan sumber daya alam hayati yang tanpa disengaja telah melakukan
konservasi, hanya saja masyarakat tidak mendapatkan kepercayaan dari
pemerintah, sehingga kapasitas pengetahuan lokal tidak dilibatkan dalam
program-program yang dibuat oleh pemerintah (Tambunan 2008).
Masyarakat SAD perlu berpartisipasi dalam pengelolaan jelutung khususnya
dan kawasan PT REKI pada umumnya. Masyarakat diberikan hak-hak mengakses
sumber daya yang ada dan ikut bersama-sama menjaganya dari usaha perambahan
dari pihak luar yang masih terjadi di PT REKI. Konservasi bersama masyarakat
merupakan win-win solution bagi masyarakat SAD dan pengelola kawasan.
Masyarakat hak-haknya menjadi terpenuhi dan pengelola kawasan terbantu
dengan adanya perlindungan dari masyarakat lokal. Partisipasi yang aktif dari
masyarakat lokal dalam pembangunan memungkinkan masyarakat untuk ikut
mengontrol keberlanjutan sumber daya alam di sekitar tempat tinggalnya, karena
sumber daya tersebut merupakan sumber kehidupan masyarakat (Tambunan 2008).
Hal tersebut juga dinyatakan oleh Bolland et al. (2012) bahwa strategi konservasi
hutan yang lebih tangguh dan kuat harus mencakup visi regional dengan jenis
penggunaan lahan yang berbeda di mana kebutuhan sosial dan ekonomi dari
penduduk lokal, serta hak-hak kepemilikan dan kapasitas lokal, diakui.
Pihak PT REKI telah melakukan upaya pembibitan jelutung dengan bibit
yang diambil dari dalam kawasan. Pembibitan yang dilakukan berhasil
menghasilkan bibit jelutung yang nantinya akan di tanam kembali di kawasan PT
37

REKI. Disamping aspek teknik silvikultur yang dilakukan, konservasi jelutung


perlu dilakukan bersama dengan masyarakat dengan meningkatkan kapasitas dan
keahlian masyarakat. Strategi konservasi modern, perlu pemberdayaan kapasitas
pengetahuan lokal, untuk itu pengetahuan lokal dan praktik– praktik tradisional
perlu dilegitimasi sebagai kapasitas yang potensial untuk pembangunan.
Pengetahuan lokal dapat dipandang sebagai substitusi atau komplemen bagi
teknologi modern (Trupp 1989). Prinsip pendampingan pranata lokal, diharapkan
dapat lebih mengarahkan masyarakat untuk bertanggung jawab atas praktik-
praktik yang didasarkan pada pengakomodasian pengetahuan mereka (Tambunan
2008).

Pengembangan agroforestri jelutung


Agroforestri jelutung yang telah banyak dilakukan di beberapa wilayah di
Sumatera dan Kalimantan sebagian besar adalah agroforestri jelutung rawa (Dyera
polyphylla). Di Kalimantan Tengah di Desa Kalampangan agroforestri jelutung
dilakukan dengan mengkombinasikan jelutung dengan tanaman semusim seperti
sawi, kacang tanah, jagung, cabe, daun bawang dan kacang panjang. Di Desa
Tumbang Nusa di Kalimantan Tengah, jelutung rawa dibudidayakan dengan cara
tumpang sari jelutung dengan rambutan dan nenas (Harun 2011). Di Kabupaten
Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan agroforestri jelutung rawa dikombinasikan
dengan ramin. Di Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, agroforestri
jelutung dikombinasikan dengan pinang dan kelapa (Tata et al. 2015b). Harun
(2011) menyatakan bahwa agroforestri jelutung rawa layak dilakukan ditinjau dari
aspek teknis, lingkungan, ekonomi, dan sosial layak dilakukan.
Agroforestri yang dibangun di wilayah HRF PT REKI sebaiknya melibatkan
masyarakat SAD sebagai pelaku utama kegiatan agroforestri. Masyarakat SAD di
kawasan PT REKI telah lama melakukan kegiatan agroforestri. Masyarakat
membangun agroforestri di pekarangan atau di sekitar rumah mereka. Masyarkat
SAD menanam karet (Hevea brasilliensis) dengan tananam pokok mereka, seperti
ubi, singkong, dan padi. Kegiatan agroforestri yang telah dilakukan oleh
masyarakat dapat menjadi wadah dalam agroforestri jelutung. Pihak PT REKI
dapat menjadi fasilitator dalam usaha pengembangan agroforestri. Masyarakat
dapat membangun agroforestri jelutung dengan tanaman pokok yang menjadi
makanan pokok masyarakat SAD, misalnya ubi, singkong, padi, dan lain
sebagainya. Selain dengan tanaman pangan, agroforestri jelutung juga dapat
kombinasikan dengan tanaman yang bernilai ekonomi lainnya, seperti karet
(Hevea brasiliensis), jernang (Daemonorops draco), gaharu (Aquilaria
microcarpa), berbagai jenis tumbuhan obat seperti merpayang (Scaphium
macropodum), berumbung (Calophyllum pulcherrimum) dan hasil hutan lainnya
serta tumbuhan yang berasosiasi dengan jelutung yaitu (Antidesma cuspidatum).
Kegiatan agroforestri jelutung ini merupakan stimulus alamiah yang dapat
mewujudkan sikap konservasi masyarakat SAD terhadap jelutung, karena
masyarakat mengetahui bioekologi jelutung dengan baik. Program agroforestri
dengan menanam tanaman pokok dan bernilai ekonomi yang berasal dari hutan
yang sudah lama dikenal dan berinteraksi dengan masyarakat. Sehingga bisa
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara berkelanjutan sekaligus
terwujudnya konservasi keanekaragaman hayati (Amzu 2007).
38

Pengembangan agroforestri jelutung ditinjau dari segi ekonomi lebih


menguntungkan dibandingkan dengan sistem penggunaan lain. Menurut Suharjito
et al. (2003) sistem produksi agroforestri memiliki kekhasan yaitu 1)
menghasilkan lebih dari suatu macam produk, 2) paling sedikit ditanam satu jenis
tanaman semusim dan satu jenis tanaman tahunan/pohon di lahan yang sama, 3)
produk yang dihasilkan bersifat tangible dan intangible. Masyarakat dapat
menjual hasil dari kebun agroforestri yaitu, getah jelutung dan hasil hutan lainnya
pada pihak PT REKI yang memfasilitasi dalam proses pemasaran. Dengan begitu
masyarakat tidak kesulitan untuk menjual hasil yang diperoleh dengan harga
terjamin dan keberlanjutan pemasaran getah jelutung dan hasil agroforestri
lainnya.
Pengadaan bibit jelutung dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif.
Persemaian PT REKI telah melakukan pembibitan jelutung secara generatif
dengan menggunakan biji. Biji jelutung diunduh secara manual dari pohon-pohon
yang berada di kawasan PT REKI. Biji jelutung yang mudah pecah apabila telah
matang menyebabkan biji jelutung tidak dapat diunduh di lantai hutan.
Pengunduhan biji jelutung dilakukan dengan cara memanjat pohon jelutung. Biji
kemudian disemaikan di dalam bak dan setelah muncul akar dan daun di
pindahkan ke polybag.
Ditinjau dari aspek lingkungan, membangun agroforestri jelutung juga harus
memperhatikan kondisi alamiah habitat tempat tumbuh jelutung. Spesies-spesies
yang terdapat disekitar jelutung dan yang berasosiasi dengan jelutung harus
diperhatikan dalam agroforestri jelutung. Dengan begitu, sistem ekologi secara
alami dapat terjaga.

Membangkitkan pasar getah jelutung


Permasalahan mengenai jelutung saat ini terletak pada pasar jelutung di
Jambi yang sudah tidak beroperasi lagi. Hal tersebut menyebabkan stimulus
manfaat dari jelutung tidak dirasakan lagi oleh masyarakat. Membangkitkan
kembali pasar jelutung memang tidak mudah dilakukan, karena hal tersebut
menyangkut berbagai aspek, terutama hukum supply dan demand. Apabila tidak
ada permintaan pasar dari getah jelutung maka kegiatan supply jelutung tidak akan
terjadi. Tidak ditemukannya pasar jelutung di Jambi mengakibatkan sulitnya
untuk menganalisis pelaku-pelaku yang terlibat dan permasalahan yang terjadi
saat ini di lapangan, tetapi usaha-usaha untuk membangkitkan pasar jelutung perlu
dilakukan.
Posisi masyarakat selama ini dirugikan dengan tidak memiliki daya tawar
harga getah terhadap pengepul yang menyebabkan harga dikendalikan oleh
tengkulak atau pengepul. Masyarakat harus memiliki kemampuan dalam tawar
menawar harga atau berhenti tergantung pada pengepul. Masyarakat juga perlu
diberikan penyuluhan tentang bagaimana menghasilkan getah yang berkualitas.
Getah yang berkualitas tentunya akan menghasilkan harga tawar yang lebih tinggi.
Ketergantungan masyarakat terhadap pengepul dapat diputus dengan cara
tidak menjual getah lagi kepada pengepul. Pengumpulan dan penjualan getah
dapat difasilitasi oleh pengelola di bawah bagian hasil hutan bukan kayu (HHBK)
yang mengurusi HHBK yang berasal dari masyarakat SAD. Bidang HHBK ini
telah menjadi fasilitator pengumpul untuk HHBK rotan yang dikumpulkan oleh
masyarakat SAD. Masyarakat SAD menjual rotan tidak lagi keluar kawasan,
39

tetapi langsung kepada pengelola PT REKI. Hal itu bisa dilakukan juga pada
getah jelutung. Untuk skala kecil di PT REKI masyarakat SAD bisa menjual hasil
getah jelutung ke PT REKI, karena harga getah dapat terjaga dan masyarakat SAD
tidak mengeluarkan banyak biaya untuk mengangkut getah menuju Kota Jambi.
Sehingga alur perdagangan getah jelutung dapat dipotong menjadi seperti pada
Gambar 21.

Penjualan ke
Hutan Pengolahan Penyimpanan Pengelola PT
REKI

Gambar 21 Rancangan alur perdagangan getah jelutung di PT REKI


Pemerintah harus mengawal proses pemasaran jelutung di lapangan, dibuat
dengan membuat aturan-aturan atau kebijakan-kebijakan tertentu yang aplikatif.
Kebijakan yang dapat melindungi penyadap jelutung termasuk masyarakat SAD
dalam hal perdagangan jelutung. Sehingga masyarakat dapat mendapatkan
manfaat yang lebih besar dari sebelumnya. Seperti yang direkomendasikan oleh
Sofiyuddin et al. (2012) yaitu, perlu dipersiapkan oleh dinas terkait suatu
kebijakan dan teknis implementasi mengenai pemasaran dan pengelolaan jelutung
danperlu pengembangan di tingkat provinsi suatu industri pengolahan getah
jelutung karena tersedianya pelaku pasar dan tingginya permintaan jelutung.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Masyarakat SAD di kawasan PT REKI memiliki pengetahuan serta


keterampilan tradisional yang baik mengenai jelutung (Dyera costulata).
Masyarakat SAD dahulu sebagian besar memanfaatkan getah jelutung sebagai
komoditi ekonomi. Hanya sedikit masyarakat SAD memanfaatkan jelutung
untuk kegunaan lainnya. Saat ini, masyarakat SAD tidak lagi menyadap getah
jelutung untuk kepentingan ekonomi. Hal tersebut dikarenakan pasar jelutung
yang sudah tidak ada lagi. Masyarakat SAD masih melakukan konservasi
jelutung secara pasif, yaitu dengan tidak menebang pohon jelutung.
2. Kondisi tegakan jelutung di alam dalam kategori tidak baik. Hal ini
dikarenakan kurva spesies tidak menunjukkan kurva J terbalik. Anakan
jelutung jumlahnya sedikit sehingga mengancam keberadaan populasi.
Jelutung tumbuh pada kondisi suhu berkisar 23oC -28oC dan kelembaban 77 %
- 88 %. Kondisi tanah tempat tumbuh jelutung termasuk kategori pH sangat
rendah dan miskin hara. Jelutung memiliki sebaran spasial merata dan
berasosiasi interspesifik dengan medang kuning (Antidesma cuspidatum).
Keanekaragaman jenis yang tumbuh di sekitar jelutung tergolong tinggi,
didominasi oleh pohon-pohon berkayu.
40

Saran

Perlu adanya penelitian dan analisis mendalam untuk membangkitkan


kembali pasar jelutung baik ditingkat lokal maupun global supaya manfaat
ekonomi dari jelutung bisa dimanfaatkan lagi oleh masyarakat SAD. Peran
pemerintan dan perguruaan tinggi sangat diperlukan untuk peningkatan kapasitas
masyarakat terhadap pengelolaan jelutung serta yang berhubungan dengan pasar
jelutung, hal tersebut dilakukan supaya masyarakat dapat mendapatkan posisi
tawar yang lebih tinggi terhadap harga getah jelutung di pasaran. Pengembangan
agroforestri jelutung dapat dilakukan dengan menanam jelutung dengan tanaman
pokok dan tanaman lainnya berdasarkan hasil penelitian.
41

DAFTAR PUSTAKA

Adriyanti DT, Radjiman, Indriyatno, Wiyono, Fauzie L, Nuradina I. Saraswati R,


Dwiasmoro. 2014. Buku Acuan Umum Tumbuhan Obat Indonesia Jilid IV.
Jakarta (ID): Dian Rakyat.
Akhmadi NR, Sumarmiyati. 2015. Eksplorasi dan karakterisasi buah kapul
(Baccaurea macrocarpa) di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Pros
Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1 (4): 923-929.
Albuquerque UP, Araujo TAS, Ramos MA, Nascimento VT, Lucina RFP,
Monteiro JM, Alencar NL, Araujo EL. 2009. How ethnobotany can aid
conservation: reflections on investigations in the semi-arid region of NE
Brazil. Biodivers Conserv. 18:127-150.
Amzu E. 2007. Sikap masyarakat dan konservasi: suatu analisis Kedawung
(Parkia timoriana (DC) Merr.) sebagai stimulus tumbuhan obat bagi
masyarakat, kasus di Taman Nasional Meru Betiri [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Andhika RR, Hariyadi B, Saudagar F. 2015. Etnobotani penghasil getah oleh
Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas Kabupaten Sarolangun,
Jambi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 20(1):33-38.
Arlanda R, Fazli L, Yanuardie R. 2004. Informasi Singkat Benih Dyera costulata
(Miq.) Hook. BPTH Sumatera.
Barbour GM, JK Busk, WD Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. New York
(US): The Benyamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Bastoni. 2014. Budidaya Jelutung Rawa (Dyera lowii Hook.F). Palembang (ID):
Balai Penelitian Kehutanan Palembang.
Boer E, Ella AB (Editors). 2001. Plant Resources of South-East Asia No.18 Plants
Producing Exudates. Bogor (ID): PROSEA.
Bolland LP, Ellis EA, Guariguata MR, Mallen IR, Yankelevich SN, Garcia VR.
2012. Community managed forest and forest protected areas: an assesment of
their conservation effectiveness across the tropics. Forest Ecology and
Management. 268 (2012) 6–17.
Burkill IH. 1935. A Dictionary of The Economic Products of the Malay Peninsula.
Government of The Straits settlements and Federated Malay States. London
(GB) : Crown Agents of the colonies. 876-883.
Cunningham AB. 2001. Applied Ethnobotany People, Wild Plant Use and
Conservation. London (UK): Earthscan Publication Ltd.
Djufri. 2002. Penentuan pola distribusi, asosiasi, dan interaksi spesies tumbuhan
khususnya padang rumput di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur.
Biodiversitas. 3(1):181-188.
Ewusie JY. 1990. Ekologi Tropika. Tanuwidjaya U, penerjemah. Bandung (ID):
ITB Bandung. Terjemahan dari Element of Tropical Ecology.
Harun MK. 2011. Analisis pengembangan jelutung dengan sistem agroforestri
untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi Di Provinsi Kalimantan Tengah
[thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Harun MK. 2015. Getah jelutung sebagai hasil hutan bukan kayu unggulan di
lahan gambut. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 12 (1):43-57.
42

Indrayanti L, Marsoem SN, Prayitno TA, Supryo H. 2014. Growth rate and latex
yield of lime jelutung (Dyera lowii Hook) that growing at ten peat thickness.
Advances in Environmental Biology. 8(5): 1881-1889
Kouji S, Kazuo Hosomi, Tsutomu Arakawa, Masayoshi Uzawa, Yoshio Ito,
Yoshimasa Saburi. 1992. Isolation and Characterization of an Allergy Inhibitor
from the Jelutong, Dyera costulata Hook. f., Bioscience, Biotechnology, and
Biochemistry, 56(6): 975-975, DOI: 10.1271/bbb.56.975.
Krebs CJ. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. New York (US): Harper & Row.
Kusuma S. 2007. Penentuan bentuk dan luas plot contoh optimal pengukuran
keanekaragaman spesies tumbuhan pada ekosistem hutan hujan dataran rendah:
studi kasus di Taman Nasional Kutai [thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and
Computing. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Magurran AE. 1998. Measuring Biological Diversity. Malden (US): Blackwell.
Majid NM, Islam MM, Rauf, Abdul R. 2012. Evaluation of Jelutong ('Dyera
cotulata') as a phytoremediator to uptake copper (Cu) from contaminated soils.
Australian Journal of Crop Science. 6(2):369-374.
Marten GG, Brosius PJ, Lovelace GW. 1986. Ethnoecology: an approach to
understanding traditional agriculture knowledge. Dalam Traditional
Agriculture in Southeast Asia: A Human Ecology Persfective. Colorado (US):
Westview Press.
Mayasari A, Kinho J, Suryawan A. 2012. Asosiasi eboni (Diospyros spp.) dengan
jenis-jenis pohon dominan di Cagar Alam Tangkoko Sulawesi Utara. Info BPK
Manado. 2(1):55-72.
Middleton DJ, Edinburgh. 2007. Apocynaceae subfamilies Rauvolfioideae and
Apocynoideae. Flora Malesiana. 1(18):1– 452
Morisita M. 1959. Measuring of the dispersion of individuals and analysis of the
distributional patterns. Biology. 2(4):215-233.
Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Tokyo (JP): Toppan Co. Ltd.
Oliveira RLC, Lins Neto EMF, Araujo EL, Albuquerque UP. 2007. Conservation
priorities and population structure of woody medicinal plants in an area of
Caatinga vegetation (Pernambuco State, NE Brazil). Environ Monit Assess.
132:189–206.
Onrizal. 2009. Bahan ajar pembuatan herbarium dan pengenalan jenis pohon.
Medan (ID): Departemen Kehutanan USU.
Rahman AMA. 2013. Membangun Kembali Dunia Baru Indonesia. Bogor (ID):
IPB Press.
Reanmongkol W, Poungsawai C, Subhadhirasakul S, Wiparat C, Pairat C. 2002.
Antinociceptive activity of Dyera costulata extract in experimental animals.
Songklanakarin J. Sci. Technol. 24(2):227-234.
[PT REKI]. PT Restorasi Ekosistem Indonesia. 2012. Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada
Hutan Produksi Periode Tahun 2011-2020 Kabupaten Batanghari dan
Kabupaten Sarolangun. Jambi (ID): PT Restorasi Ekosistem Indonesia.
Setiawan E. 2009. Kajian hubungan unsur iklim terhadap produktivitas cabe jamu
(Piper retrofractum Vahl) di Kabupaten Sumenep. Agrovigor. 2(1):1-7.
43

Setyowati FM. 2003. Hubungan keterikatan masyarakat kubu dengan sumberdaya


tumbuh-tumbuhan di Cagar Biosfer Bukit Duabelas, Jambi. Biodiversitas.
4(1):47-54.
Silalahi M. tahun tidak diketahui. Batin Sembilan dan Hutan Harapan: Restorasi
Ekosistem untuk Siapa?. Fact Sheet Hutan Harapan.
Siregar UJ, Imran MF, Hamzah, Siregar IZ, Finkeldey R. 2016. Distribution and
local adaptation of two indigenous jelutung trees (Dyera costulata and D.
lowii) in Jambi, Indonesia: Implication for allopatric speciation. Procedia
Environmental Sciences. 33:393 – 403.
Soerianegara I, Indrawan A. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Sofiah S, Setiadi D, Widyatmoko D. 2013. Pola penyebaran, kelimpahan dan
asosiasi bambu pada komunitas tumbuhan di Taman Wisata Alam Gunung
Baung Jawa Timur. Berita Biologi. 12(2):239-247.
Sofiyuddin M, Janudianto, Perdana A. 2012. Potensi Pengembangan dan
Pemasaran Jelutung di Tanjung Jabung Barat. Brief No 23. Bogor, Indonesia.
World Agroforestri Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 4p.
Sofiyuddin M, Janudianto. 2013. Jalan panjang domestikasi dan agroforestri
jelutung (Dyera sp). Kiprah Agroforestri 6(2):3-11.
Somboonpanyakul P, Wang Q, Cui W, Barbut S, Jantawat. 2006. Malva nut gum.
(Part I): Extraction and physicochemical characterization. Carbohydrate
Polymers. 64:247–253
Subhadirasakul S, Jankeaw B, Malinee A. 2003. Chemical constituent and
antioxidative activity of the extracts from Dyera costulata leaves. J. Sci.
Technol. 25(3):351-357.
Sudarmi. 2013. Pentingnya unsur hara mikro bagi pertumbuhan tanaman.
Widyatama. 2(22):178-183.
Suharjito D, Sundawati L, Suyanto, Utami SR. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan
Budaya Agroforestri. Bogor (ID): International Centre for Research on
Agroforestry (ICRAF).
Sukmareni. 2015. Buletin Alam Sumatera edisi Januari 2015. Jambi (ID): KKI
WARSI.
Tambunan R. 2008. Perilaku konservasi pada masyarakat tradisional. Jurnal
Harmoni Sosial. 2(2):83-87.
Tata HL, Bastoni, Sofiyuddin M, Mulyoutami E, Perdana A, Janudianto. 2015b.
Jelutung Rawa : Teknik Budidaya dan Prospek Ekonominya. Bogor (ID) :
World Agroforestri Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 62p.
Tata HL, van Noordwijk, Jasnari, Widayati A. 2015a. Domestication of Dyera
polyphylla (Miq.) Steenis in peatland agroforestri system in Jambi, Indonesia.
Agroforest Syst. DOI 10.1007/s10457-015-9837-3.
Utami S, Anggraini I, Sahwalita. 2008. Serangan penyakit daun pada jelutung
darat (Dyera costulata Hook.) dan jelutung rawa (Dyera lowii Hook.) di
Sumatera Selatan. Tekno Hutan Tanaman. 1(1):45 – 52.
Waluyo TK, Wahyudi I, Santosa G. 2012. Pengaruh metode dan arah sadap
terhadap produktivitas getah jelutung hutan tanaman industri. Jurnal Penelitian
Hasil Hutan. 3(4):301-313.
Williams L. 1963. Laticiferous plants of economic importance IV jelutong (Dyera
spp.). Economic Botany. 17(2):110-126.
44
45

LAMPIRAN
46
47

Lampiran 1 Tabulasi INP tingkat semai

Nama Ilmiah K KR (%) F FR (%) INP (%)


Baccaurea racemosa 3650 10.564 0.6 9.646 20.211
Palaquium gutta 1800 5.21 0.1 1.608 6.818
Palaquium sp 1650 4.776 0.02 0.322 5.097
Dacryodes rugosa 100 0.289 0.04 0.643 0.933
Horsfieldia irya 2700 7.815 0.26 4.18 11.995
Balacata bacata 950 2.75 0.1 1.608 4.357
Calophylum pulcerimum 150 0.434 0.04 0.643 1.077
Pometia pinnata 100 0.289 0.04 0.643 0.933
Adina multiflora 100 0.289 0.02 0.322 0.611
Kokoona ochracea 900 2.605 0.18 2.894 5.499
Artocarpus interger 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Artocarpus lokoocha 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Knema laurina 100 0.289 0.04 0.643 0.933
Aquilaria microcarpa 150 0.434 0.04 0.643 1.077
Bellucia pentamera 800 2.315 0.22 3.537 5.852
Dyera costulata 200 0.579 0.08 1.286 1.865
Archidendron bubalinum 150 0.434 0.04 0.643 1.077
Strombosia javanica 850 2.46 0.18 2.894 5.354
Popowia pisocarpa 650 1.881 0.16 2.572 4.454
Gymnotroches axillaris 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Syzygium magnoliifolium 850 2.46 0.18 2.894 5.354
Alangium javanicum 500 1.447 0.16 2.572 4.02
Kayu rotan 100 0.289 0.04 0.643 0.933
Poterandia anisophylla 200 0.579 0.02 0.322 0.9
Rhodamnia cinerria 950 2.75 0.24 3.859 6.608
Syzygium acuminatissimum 250 0.724 0.08 1.286 2.01
Syzygium sp 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Nephelium malaense 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Santiria laevigata 100 0.289 0.04 0.643 0.933
Koompassia malaccensis 500 1.447 0.18 2.894 4.341
Dialium indum 100 0.289 0.02 0.322 0.611
Croton argyratus Blume 1500 4.342 0.26 4.18 8.522
Macaranga hypoleuca 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Diospyros galuca 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Knema latifolia 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Litsea sp 150 0.434 0.04 0.643 1.077
Baccaurea sp 900 2.605 0.22 3.537 6.142
48

Lampiran 1 Tabulasi INP tingkat semai (lanjutan)


Nama Ilmiah K KR (%) F FR (%) INP (%)
Alseodaphne maingai 2350 6.802 0.24 3.859 10.66
Litsea sp 550 1.592 0.16 2.572 4.164
Polyalthia sumatrana 800 2.315 0.16 2.572 4.888
Syzygium sp 150 0.434 0.04 0.643 1.077
Xantophylum obscorum 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Shorea leprosula 1400 4.052 0.12 1.929 5.981
Shorea ovalis 350 1.013 0.12 1.929 2.942
Shorea acuminata 400 1.158 0.02 0.322 1.479
Prashorea sp 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Hopea mangarawan 600 1.737 0.12 1.929 3.666
Scaphium macropodum 700 2.026 0.12 1.929 3.955
Eurycoma longifolia 400 1.158 0.12 1.929 3.087
Stemonorus scorpiodes 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Canarium ovatum 750 2.171 0.18 2.894 5.065
Alstonia sholaris 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Sloanea sigun 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Bouea oppositiflia 150 0.434 0.06 0.965 1.399
Baccaurea javanica 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Nephelum lappaceum 150 0.434 0.04 0.643 1.077
Ansophylea distica 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Calamus sp. 200 0.579 0.08 1.286 1.865
Elaeocarpus sp 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Glochidion sp 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Pelacalyx lobii 600 1.737 0.08 1.286 3.023
Irvinga malayana 750 2.171 0.04 0.643 2.814
Polyalthia stenopetala 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Dillenia excelsa 250 0.724 0.08 1.286 2.01
Dacryodes rostrata 1100 3.184 0.26 4.18 7.364
Dacryodes sp. 50 0.145 0.02 0.322 0.466
Atrocarpus kamendo 350 1.013 0.1 1.608 2.621
Artocarpus elastiscus 100 0.289 0.02 0.322 0.611
Tabernaemontana macrocarpa 400 1.158 0.04 0.643 1.801
Jumlah 34550 100 6.22 100 200
49

Lampiran 2 Tabulasi INP tingkat pancang

Nama ilmiah K KR (%) F FR (%) INP (%)


Baccaurea racemosa 160 3.58 0.24 3.21 6.79
Palaquium sp. 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Dacryodes rugosa 16 0.36 0.04 0.53 0.89
Horsfieldia irya 32 0.72 0.08 1.07 1.79
Balacata bacata 16 0.36 0.04 0.53 0.89
Calophylum pulcerimum 56 1.25 0.04 0.53 1.79
Adina multiflora 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Kokoona ochracea 128 2.87 0.28 3.74 6.61
Artocarpus interger 16 0.36 0.04 0.53 0.89
Knema laurina 48 1.08 0.1 1.34 2.41
Lansium domesticum varr. Duku 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Aquilaria microcarpa Baill. 24 0.54 0.02 0.27 0.81
Bellucia pentamera 96 2.15 0.18 2.41 4.56
Dyera costulata 40 0.90 0.06 0.80 1.70
Archidendron bubalinum 16 0.36 0.04 0.53 0.89
Strombosia javanica 48 1.08 0.12 1.60 2.68
Popowia pisocarpa 264 5.91 0.44 5.88 11.80
Gymnotroches axillaris 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Syzygium magnoliifolium 264 5.91 0.36 4.81 10.73
Alangium javanicum 120 2.69 0.18 2.41 5.09
Miliosma nitida 32 0.72 0.08 1.07 1.79
Poterandia anisophylla 32 0.72 0.04 0.53 1.25
Rhodamnia cinerria 272 6.09 0.36 4.81 10.91
Syzygium acuminatissimum 496 11.11 0.62 8.29 19.40
Syzygium laxyflorum 64 1.43 0.06 0.80 2.24
Syzygium sp 104 2.33 0.16 2.14 4.47
Baccaurea deflxa 144 3.23 0.24 3.21 6.43
Dialium indum 16 0.36 0.04 0.53 0.89
Croton argyratus Blume 104 2.33 0.2 2.67 5.00
Litsea sp 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Garcinia mangostana 16 0.36 0.04 0.53 0.89
Diospyros areolata 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Diospyros galuca 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Knema latifolia 40 0.90 0.08 1.07 1.97
Litsea sp 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Litsea sp 112 2.51 0.24 3.21 5.72
Baccaurea sp 240 5.38 0.34 4.55 9.92
Alseodaphne maingai 208 4.66 0.32 4.28 8.94
Litsea sp 80 1.79 0.16 2.14 3.93
Baccaurea motleyana 8 0.18 0.02 0.27 0.45
50

Lampiran 2 Tabulasi INP tingkat pancang (lanjutan)


Nama Ilmiah K KR (%) F FR (%) INP (%)
Polyalthia sumatrana 120 2.69 0.22 2.94 5.63
Syzygium sp 120 2.69 0.28 3.74 6.43
Xantophylum obscorum 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Shorea guiso 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Shorea leprosula 48 1.08 0.06 0.80 1.88
Shorea ovalis 96 2.15 0.18 2.41 4.56
Shorea acuminata 16 0.36 0.02 0.27 0.63
Hopea mangarawan 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Scaphium macropodum 56 1.25 0.1 1.34 2.59
Myristica sp 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Canarium ovatum 72 1.61 0.1 1.34 2.95
Xylopium stenophytalum 72 1.61 0.14 1.87 3.48
Ocanostachys amentacea 56 1.25 0.12 1.60 2.86
Sloanea sigun 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Bouea oppositiflia 24 0.54 0.06 0.80 1.34
Baccaurea javanica 56 1.25 0.04 0.53 1.79
Nephelum lappaceum 56 1.25 0.08 1.07 2.32
Elaeocarpus sp 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Glochidion sp 16 0.36 0.04 0.53 0.89
Pelacalyx lobii 24 0.54 0.06 0.80 1.34
Polyalthia stenopetala 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Dillenia excelsa 56 1.25 0.1 1.34 2.59
Dacryodes rostrata 56 1.25 0.12 1.60 2.86
Atrocarpus kamendo 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Memecylon garcinoides 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Baccaurea macrocarpa 56 1.25 0.12 1.60 2.86
Baccaurea sumaterana 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Tabernaemontana macrocarpa 8 0.18 0.02 0.27 0.45
Jumlah 4464 100 7.48 100 200

Lampiran 3 Tabulasi INP tingkat tiang


KR FR DR INP
Nama Ilmiah K F D
(%) (%) (%) (%)
Diospyros bornensis 4 1.389 0.04 1.550 0.069 1.665 4.604
Baccaurea racemosa 20 6.944 0.18 6.977 0.254 6.103 20.02
Santiria griffithii 2 0.694 0.02 0.775 0.060 1.435 2.904
Palaquium sp. 8 2.778 0.08 3.101 0.102 2.462 8.340
Palaquium sp. 4 1.389 0.04 1.550 0.067 1.600 4.539
Palaquium gutta 2 0.694 0.02 0.775 0.016 0.377 1.847
Palaquium laeocarpum 2 0.694 0.02 0.775 0.057 1.362 2.832
Palaquium sp 2 0.694 0.02 0.775 0.053 1.277 2.747
51

Lampiran 3 Tabulasi INP tingkat tiang (lanjutan)


KR FR DR INP
Nama Ilmiah K F D
(%) (%) (%) (%)
Calophylum pulcerimum 2 0.694 0.02 0.775 0.057 1.362 2.832
Calophylum solatri 2 0.694 0.02 0.775 0.057 1.362 2.832
Adina multiflora 2 0.694 0.02 0.775 0.027 0.638 2.107
Kokoona ochracea 2 0.694 0.02 0.775 0.016 0.377 1.847
Knema laurina 6 2.083 0.06 2.326 0.095 2.280 6.689
Aporosa benthamiana 4 1.389 0.04 1.550 0.068 1.641 4.581
Lithocarpus bancanus 2 0.694 0.02 0.775 0.027 0.638 2.107
Gymnotroches axillaris 14 4.861 0.14 5.426 0.166 3.989 14.27
Syzygium magnoliifolium 8 2.778 0.08 3.101 0.088 2.109 7.988
Alangium javanicum 2 0.694 0.02 0.775 0.035 0.849 2.319
Miliosma nitida 64 22.222 0.46 17.82 0.939 22.57 62.62
Poterandia anisophylla 6 2.083 0.06 2.326 0.074 1.770 6.179
Syzygium acuminatissimum 12 4.167 0.1 3.876 0.168 4.029 12.07
Syzygium sp 2 0.694 0.02 0.775 0.051 1.222 2.692
Baccaurea deflxa 2 0.694 0.02 0.775 0.022 0.534 2.004
Koompassia malaccensis 4 1.389 0.04 1.550 0.084 2.019 4.959
Croton argyratus Blume 4 1.389 0.04 1.550 0.028 0.677 3.617
Litsea sp 2 0.694 0.02 0.775 0.033 0.793 2.263
Baccaurea sp 2 0.694 0.02 0.775 0.020 0.473 1.943
Alseodaphne maingai 6 2.083 0.06 2.326 0.108 2.603 7.012
Endospermum deadenum 8 2.778 0.08 3.101 0.019 0.457 6.335
Polyalthia sumatrana 6 2.083 0.02 0.775 0.104 2.492 5.350
Syzygium sp 8 2.778 0.08 3.101 0.109 2.620 8.499
Shorea guiso 2 0.694 0.02 0.775 0.044 1.052 2.522
Shorea ovalis 6 2.083 0.06 2.326 0.147 3.541 7.950
Shorea acuminata 2 0.694 0.02 0.775 0.019 0.457 1.926
Hopea mangarawan 2 0.694 0.02 0.775 0.035 0.849 2.319
Pelicingan 2 0.694 0.02 0.775 0.057 1.362 2.832
Macaranga gigantea 6 2.083 0.06 2.326 0.038 0.921 5.330
Parkia speciosa 2 0.694 0.02 0.775 0.016 0.377 1.847
Xylopium stenophytalum 6 2.083 0.04 1.550 0.115 2.771 6.405
Barringtonia macrostaches 2 0.694 0.02 0.775 0.031 0.740 2.209
Glochidion sp 8 2.778 0.08 3.101 0.027 0.638 6.516
Ficus glandulifera 4 1.389 0.04 1.550 0.070 1.679 4.618
Polyalthia stenopetala 10 3.472 0.1 3.876 0.145 3.481 10.82
Dillenia excelsa 4 1.389 0.04 1.550 0.081 1.944 4.883
Dillenia obovata 2 0.694 0.02 0.775 0.025 0.590 2.059
Baccaurea macrocarpa 14 4.861 0.12 4.651 0.226 5.430 14.94
Alstonia angustifolia 2 0.694 0.02 0.775 0.016 0.377 1.847
Jumlah 288 100 2.58 100 4.161 100 300
52

Lampiran 4 Tabulasi INP tingkat pohon


KR INP
Nama ilmiah K F FR (%) D DR (%)
(%) (%)
Diospyros bornensis 1 0.580 0.04 0.645 0.064 0.317 1.542
Baccaurea racemosa 2 1.159 0.08 1.290 0.137 0.680 3.130
Mangifera foetida 2 1.159 0.08 1.290 0.581 2.877 5.327
Palaquium sp. 2 1.159 0.08 1.290 0.349 1.731 4.181
Palaquium gutta 7 4.058 0.26 4.194 1.034 5.125 13.377
Palaquium
4 2.319 0.1 1.613 0.304 1.504 5.436
sumatrana
Palaquium
2 1.159 0.06 0.968 0.122 0.604 2.731
laeocarpum
Pterospermum
0.5 0.290 0.02 0.323 0.017 0.086 0.698
javanicum
Horsfieldia irya 4 2.319 0.14 2.258 0.168 0.833 5.410
Balacata bacata 0.5 0.290 0.02 0.323 0.035 0.175 0.787
Calophylum
1.5 0.870 0.06 0.968 0.135 0.671 2.509
pulcerimum
Adina multiflora 0.5 0.290 0.02 0.323 0.016 0.078 0.690
Kokoona ochracea 2.5 1.449 0.1 1.613 0.564 2.793 5.855
Knema laurina 5.5 3.188 0.16 2.581 0.474 2.347 8.116
Lithocarpus elegan 0.5 0.290 0.02 0.323 0.027 0.136 0.748
Lithocarpus
5 2.899 0.18 2.903 0.569 2.820 8.622
bancanus
Dyera costulata 2 1.159 0.08 1.290 0.945 4.683 7.133
Gymnotroches
2.5 1.449 0.08 1.290 0.183 0.907 3.647
axillaris
Artocarpus nitidus 0.5 0.290 0.02 0.323 0.069 0.343 0.955
Syzygium
3.5 2.029 0.12 1.935 1.133 5.614 9.578
magnoliifolium
Sandoricum koetjape 1.5 0.870 0.06 0.968 0.115 0.569 2.406
Miliosma nitida 9 5.217 0.28 4.516 0.660 3.271 13.004
Poterandia
3.5 2.029 0.14 2.258 0.261 1.291 5.578
anisophylla
Rhodamnia cinerria 0.5 0.290 0.02 0.323 0.025 0.122 0.734
Syzygium
3 1.739 0.1 1.613 0.316 1.564 4.916
acuminatissimum
Syzygium laxyflorum 1 0.580 0.04 0.645 0.142 0.705 1.930
Syzygium sp 2 1.159 0.08 1.290 0.141 0.699 3.148
Baccaurea deflxa 2.5 1.449 0.1 1.613 0.116 0.577 3.639
Mangifera kemanga 0.5 0.290 0.02 0.323 0.389 1.925 2.538
Koompassia
3.5 2.029 0.14 2.258 0.823 4.077 8.364
malaccensis
Santiria laevigata 3 1.739 0.12 1.935 0.468 2.319 5.993
Dialium indum 0.5 0.290 0.02 0.323 0.083 0.411 1.024
Aidia racemosa 0.5 0.290 0.02 0.323 0.016 0.078 0.690
53

Lampiran 4 Tabulasi INP tingkat pohon (lanjutan)


KR INP
Nama ilmiah K F FR (%) D DR (%)
(%) (%)
Kunangan 0.5 0.290 0.02 0.323 0.181 0.897 1.509
Aporos elmeri 0.5 0.290 0.02 0.323 0.055 0.271 0.883
Garcinia mangostana 0.5 0.290 0.02 0.323 0.033 0.164 0.776
Triomma malaccensis 0.5 0.290 0.02 0.323 0.095 0.471 1.083
Knema latifolia 1.5 0.870 0.06 0.968 0.093 0.462 2.299
Terminallia
2 1.159 0.08 1.290 0.214 1.062 3.512
subsphatulata
Litsea noronhae 0.5 0.290 0.02 0.323 0.079 0.394 1.006
Endospermum
0.5 0.290 0.02 0.323 0.071 0.351 0.964
deadenum
Alseodaphne maingai 3.5 2.029 0.14 2.258 0.422 2.092 6.379
Polyalthia sumatrana 0.5 0.290 0.02 0.323 0.055 0.275 0.887
Shorea
3 1.739 0.12 1.935 0.195 0.968 4.642
acuminatissima
Shorea guiso 3.5 2.029 0.12 1.935 0.209 1.034 4.998
Shorea leprosula 5 2.899 0.18 2.903 0.572 2.833 8.634
Shorea ovalis 6 3.478 0.22 3.548 0.829 4.109 11.136
Shorea platycarpa 0.5 0.290 0.02 0.323 0.035 0.175 0.787
Shorea acuminata 4.5 2.609 0.18 2.903 0.740 3.664 9.176
Hopea mangarawan 2 1.159 0.08 1.290 0.112 0.554 3.004
Scaphium
7.5 4.348 0.26 4.194 1.593 7.895 16.436
macropodum
Anisoptera costata 1 0.580 0.04 0.645 0.442 2.191 3.416
Stemonorus
0.5 0.290 0.02 0.323 0.048 0.238 0.851
scorpiodes
Canarium ovatum 3.5 2.029 0.14 2.258 0.350 1.734 6.021
Parkia speciosa 0.5 0.290 0.02 0.323 0.017 0.086 0.698
Dryobalanops
0.5 0.290 0.02 0.323 0.026 0.126 0.739
oblongifoli
Xylopium
2 1.159 0.08 1.290 0.101 0.503 2.953
stenophytalum
Ocanostachys
4.5 2.609 0.16 2.581 0.561 2.781 7.971
amentacea
Podocarpus sp. 2 1.159 0.08 1.290 0.523 2.593 5.043
Barringtonia
0.5 0.290 0.02 0.323 0.033 0.164 0.776
macrostaches
Sloanea sigun 0.5 0.290 0.02 0.323 0.027 0.131 0.744
Bouea oppositiflia 0.5 0.290 0.02 0.323 0.121 0.599 1.211
12.
Glochidion sp 7.246 0.32 5.161 0.190 0.942 13.349
5
Ficus glandulifera 2 1.159 0.08 1.290 0.083 0.412 2.861
54

Lampiran 4 Tabulasi INP tingkat pohon (lanjutan)


KR INP
Nama ilmiah K F FR (%) D DR (%)
(%) (%)
Irvinga malayana 1 0.580 0.04 0.645 0.475 2.353 3.578
Polyalthia
1 0.580 0.04 0.645 0.056 0.280 1.505
stenopetala
Sindora laeocarpa 1.5 0.870 0.06 0.968 0.191 0.944 2.781
Dillenia obovata 0.5 0.290 0.02 0.323 0.033 0.164 0.776
Dacryodes rostrata 4.5 2.609 0.18 2.903 0.043 0.212 5.724
Baccaurea
6 3.478 0.2 3.226 0.349 1.730 8.434
macrocarpa
Memecylon
1 0.580 0.02 0.323 0.050 0.249 1.152
garcinoides
Tempuyang 0.5 0.290 0.02 0.323 0.163 0.809 1.421
Tepinis 0.5 0.290 0.02 0.323 0.023 0.114 0.726
Artocarpus
0.5 0.290 0.02 0.323 0.044 0.217 0.829
elastiscus
Endospermum
2.5 1.449 0.1 1.613 0.167 0.826 3.888
deadenum
172
Jumlah 100 6.2 100 20.18 100 300
.5

Lampiran 5 Daftar tumbuhan pangan yang dimanfaatkan

No Nama Lokal Nama jenis Famili


1 Asam Putaran - -
2 Bacang Mangifera foetida Lour. Anacardiaceae
3 Bedih Balacata bacata Euphorbiaceae
4 Bunut - -
5 Cempedak Artocarpus integer Moraceae
6 Durian Durio zibethinus. Bombacaceae
7 Durian Hutan Durio griffithii Bombacaceae
8 Gadung Dioscorea hispida Dioscoreaceae
9 Jengkol Archidendron jiringa Fabaceae
10 Kabau Archidendron bubalinum Fabaceae
11 Kandis Garcinia parvifolia Clusiaceae
12 Kecak-Kecik - -
13 Kelapa Cocos nucifera Arecaceae
14 Kemang Binjai Mangifera kemanga Anacardiaceae
15 Kemang Haji Mangifera sp. -
16 Keranji Diallium indum Fabaceae
17 Ketepan/ Duku Lansium domesticum Meliaceae
55

Lampiran 5 Daftar tumbuhan pangan yang dimanfaatkan (lanjutan)

No Nama Lokal Nama jenis Famili


18 Kulim Scorodocarpus borneensis Olacaceae
19 Manau Alangium javanicum Alangiceae
20 Manggis Hutan Garcinia sp Clusiaceae
21 Meranas - -
22 Merangan - -
23 Nibung Oncosperma tigillarium Arecaceae
24 Pepaya Carica papaya Caricaceae
25 Petai Parkia speciosa Fabaceae
26 Pisang Hutan Musa balbisiana Musaceae
27 Pitaling Ochanostachys amentacea Olacaceae
28 Poar Amomum cardamomum Zingiberaceae
29 Rambusa Passiflora foetida Passifloraceae
30 Rambutan Hutan Nephelium sp Sapindaceae
32 Sunga - -
33 Tampiat - -
34 Tampoi Baccaurea macrocarpa Euphorbiaceae
35 Tayas
36 Kedondong Canarium patentinervium Burseraceae
37 Tuku Biawak -
38 Tungau
39 Ubi Ipomea batatas
40 Kecapi Sandoricum koetjape Meliaceae

Lampiran 6 Daftar tumbuhan obat yang dimanfaatkan

No Nama Lokal Nama Jenis Famili Manfaat Bagian


Akar
1 Arcangesilia flava Menispermaceae Obat kuning Daun
Kekunyit
Muntah darah,
Imperata
2 Alang-Alang Poaceae berak darah, Daun
cilindrica
diare
Perawatan
3 Ambung - - Daun
melahirkan
Diganggu
4 Balam Palaquium gutta Sapotaceae Batang
makhluk halus
Bambu Obat penyakit
5 Bambusa vulgaris Rebung
Kuning kuning
6 Bedih Balacata bacata Euphorbiaceae Pusing Daun
Androdraphis Demam,
7 Brotowali Lamiaceae Daun
paniculata malaria
Demam, Kulit
8 Brumbung Adina multiflora Rubiaceae
malaria batang
56

Lampiran 6 Daftar tumbuhan obat yang dimanfaatkan (lanjutan)

No Nama Lokal Nama Jenis Famili Manfaat Bagian


Perawatan
9 Brusu Kubu - - Akar
melahirkan
Eusideroxylon
10 Bulian Lauraceae Bisul, deman Biji
zwageri
Nephelium Demam, sakit Getah,
11 Duku Sapindaceae
cuspidatum perut kulit
12 Jahe Zingiber officinale Zingiberaceae Keseleo Rimpang
Daemonorops
13 Jernang Arecaceae Obat luka Getah
draco
14 Kapuk Ceiba petandra Malvaceae Panas dalam Daun
Demam,
15 Kates - - Akar
malaria
Kulit
16 Kayu Aro Ficus variegata Moraceae Luka
kayu
Kayu
17 - - Diare Daun
Mampat
Kulit
18 Kayu Tebung - - Luka
kayu
Buah,
19 Kelapa Cocos nucifera Arecaceae Sipilis
airnya
Kembang
20 - - Obat bersalih Bunga
Tangkol
21 Kipas Kijang - - Pusing Daun
Demam, Kulit
22 Kuduh - -
malaria kayu
Scorodocarpus
23 Kulim Olacaceae Masuk angin Buah
borneensis
Sakit perut,
Curcuma
24 Kunyit Zingiberaceae masuk angin Rimpang
domestica
duduk
25 Laos Alpinia galanga Zingiberaceae Rimpang
26 Lisau - -
Medang
27 - - Batuk Daun
Perawas
28 Melati Jasminum sambac Olacaceae Obat bersalih Bunga
Scaphium Obat panas
29 Merpayang Malvaceae Buah
macropodum dalam
Eurycoma Demam,
30 Pasak Bumi Simaroubaceae Akar
longifolia malaria
Aporosa aurita
31 Pelangas Demam Daun
Miq
Butea Perawatan
32 Peloso Fabaceae Daun
monosperma melahirkan
33 Pepaya Carica papaya Caricaceae Demam Daun
34 Pisang Batu Musa sp Musaceae Panas dalam Batang
Demam,
35 Pulai Alstonia sholaris Apocynaceae malaria, sakit Akar
perut
57

Lampiran 6 Daftar tumbuhan obat yang dimanfaatkan (lanjutan)

No Nama Lokal Nama Jenis Famili Manfaat Bagian


Menurunkan
36 Rambusa Passiflora foetida Passifloraceae Daun
panas
37 Reges - - Sakit perut Getah
Diganggu
38 Rerak Sapindus rerak Sapindaceae Akar
makhluk halus
Dicranopteris
39 Resam Gleicheniaceae Gigit tawon Getah
linearis
Rumput
40 Makan - Pusing Daun
-
Kambing
41 Sakriput - - Obat luka Batang
Caessalpinia Diganggu
42 Secang Fabaceae Batang
sappan makhluk halus
Melastoma
43 Sedudu Melastomaceae Obat luka Daun
malabthricum
44 Selasi - - Obat bersalih Bunga
Blumea
45 Sembung Asteraceae Kembung Daun
balsamifera
46 Siduku Anak Pylanthus niruri Phylantaceae Batuk Daun
Desmodium
47 Sikak Dudu Fabaceae Obat mata Batang
triquetrum
Diganggu
48 Simpe - - Batang
makhluk halus
Kurang nafsu
49 Singkong Manihot utilisima Euphorbiaceae Daun
makan
50 Sirih Piper betle Piperaceae Muntah darah Daun
Sirih
Obat penyakit
51 Hantu/Sirih Piper sp Piperaceae Daun
kuning
Hutan
52 Sirsak Annona muricata Annonacea Muntah darah Daun
Alstonia
53 Tembesu Apocynaceae Malaria Daun
angustifolia
54 Terawas Litsea odorifera Lauracaeae Batuk Daun
55 Wuar - - Luka Daun
58

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 12 Juni 1992. Penulis


merupakan putri pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Yanto Pahroji dan
Ibu Upit Sarimanah. Pendidikan formal ditempuh di SD Negeri 1 Sukasari, SMP
Negeri 2 Cikijing, dan SMA Negeri 2 Majalengka. Tahun 2010 penulis diterima
sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan
Seleksi Masuk IPB). Tahun 2011 penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Tahun
2014 Penulis tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana pada Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika dengan mengikuti program Sinergi S1 –S2
dengan sponsor Fresh Graduate - DIKTI 2014.
Kegiatan-kegiatan yang pernah penulis ikuti selama menjadi mahasiswa IPB
diantaranya adalah mengikuti seminar-seminar tingkat nasional dan internasional.
Peserta Summer Course on Indonesia Ethnomedicine yang bekerja sama dengan
The University of Sidney-Australia. Presenter Speed Talk + Poster dalam acara
Conservation Asia 2016 join meeting Association for Tropical Biology and
Conservation (ATBC) dan Society for Conservation Biology (SCB) di Singapura
29 Juni – 2 Juli 2016. Speaker pada acara The 9th International Conference on
Traditional Forest Knowledge di Bogor 31 Agustus – 2 September 2016. Sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains, penulis melaksanakan
penelitian di Kabupaten Batanghari, Jambi dengan judul “Etnobotani Jelutung
(Dyera costulata (Miq.) Hook F) pada Masyarakat Suku Anak Dalam di Hutan PT
Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) Jambi” dibawah bimbingan Prof Dr Ir
Ervizal A.M. Zuhud, MS dan Prof Dr Ir Iskandar Z. Siregar M.For.Sc.

Anda mungkin juga menyukai