Anda di halaman 1dari 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/339433724

Nilai Ekonomi Keanekaragaman Hayati Pesisir dan Laut Indonesia

Article · October 2019

CITATIONS READS

0 2,266

6 authors, including:

Yudi Wahyudin Agus Ramli


Universitas Djuanda Bogor Agricultural University
88 PUBLICATIONS   118 CITATIONS    10 PUBLICATIONS   4 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Novit Rikardi Donny Suhartono


Bogor Agricultural University Researcher Association on Marine and Fisheries Social Ecological System (RAMFiS…
7 PUBLICATIONS   1 CITATION    1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Valuing Ecosystem Services in Indonesia View project

Community Based Management and Development View project

All content following this page was uploaded by Yudi Wahyudin on 22 February 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


NILAI EKONOMI KEANEKARAGAMAN HAYATI PESISIR DAN
LAUT INDONESIA (The Economic Value of Coastal and Marine
Biodiversity in Indonesia)

Yudi Wahyudin 1)3)5), Dadan Mulyana 1)4), Agus Ramli 1), Novit Rikardi 1),
Donny Suhartono2), Arif Trihandoyo Kesewo1)
1) Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB University, Bogor - INDONESIA
2) Perkumpulan Peneliti Sistem Sosial Ekologi Kelautan dan Perikanan, Bogor - INDONESIA
3) Jurusan Akuakultur, Fakultas Pertanian, Universitas Djuanda, Bogor - INDONESIA
4) Fakultas Kehutanan, IPB University, Bogor - INDONESIA
5) Dosen Tamu STIT Insan Kamil, Bogor – INDONESIA
Jurnal Pendidikan Insan Kamil Al Ihya
Korespondensi: yudi.wahyudin@pksplipb.or.id

Oktober 2019 ABSTRAK


Volume 2 Nomor 2
Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian singkat tentang nilai ekonomi keanekaragaman
hayati pesisir dan laut di Indonesia. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati
pesisir dan laut yang melimpah. Keanekaragaman hayati pesisir dan laut diantaranya adalah
ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Luas mangrove Indonesia pada tahun tahun
2016 tercatat seluas 3.668.345,60 hektar, sedangkan ekosistem lamun 474.920,93 hektar dan
ekosistem terumbu karang mencapai sebesar 2.424.721,23 hektar. Nilai kekayaan
keanekaragaman hayati Indonesia pada tahun 2016 diperkirakan mencapai sebesar Rp. 1.353,55
triliun, terdiri atas kekayaan keanekaragaman hayati mangrove sebesar Rp.340,46 triliun,
ekosistem lamun sebesar Rp. 76,29 triliun dan ekosistem terumbu karang sebesar Rp. 935,80
triliun. Nilai ini dapat dikatakan sebagai nilai minimal yang dapat diberikan, dikarenakan
perkembangan teknik dan model penilaian jasa ekosistem masih akan terus berkembang untuk
menjadi lebih detail dalam melakukan penilaian ekonomi jasa ekosistem di masa mendatang.

Kata Kunci: keanekaragaman haya , nilai ekonomi, mangrove, lamun, terumbu karang,
pesisir dan laut

ABSTRACT

The purpose of this study is to conduct a brief study of the economic value of coastal and
marine biodiversity in Indonesia. Indonesia has an abundance of coastal and marine
biodiversity. Coastal and marine biodiversity include mangrove, seagrass and coral reef
ecosystems. The total area of Indonesian mangroves in 2016 was 3,668,345.60 hectares, while
the seagrass ecosystem was 474,920.93 hectares and the coral reef ecosystem reached
2,424,721.23 hectares. The value of Indonesia's biodiversity wealth in 2016 is estimated to
reach IDR 1,353.55 trillion, consisting of a wealth of mangrove biodiversity of IDR 340.46
trillion, seagrass ecosystems of IDR 76.29 trillion and coral reef ecosystems amounting to IDR
935.80 trillion. This value can be said to be the minimum value that can be given, because the
Alamat : development of techniques and models for valuing ecosystem services will continue to develop
Jl. Aria Suryalaga to be even more detailed in conducting economic valuation of ecosystem services in the future.

Kp. Batutapak, Kel. Pasirjaya, Keywords: biodiversity, economic value, mangrove, seagrass, coral reefs, coastal and marine
Kec. Bogor Barat, Kota Bogor, ---
16119 Diterima 20 Oktober 2019; Direvisi 27 Oktober 2019; Diterbitkan 30 Oktober 2019

Sitasi:
Wahyudin Y, D Mulyana, A Ramli, N Rikardi, D Suhartono, AT Kesewo . 2019. Nilai Ekonomi
Telepon : 02518632109 Keanekaragaman Hayati Pesisir dan Laut Indonesia. Jurnal Cendekia Ihya Vol.2 No.2,
Fax : 02517529272 Oktober 2019, ISSN 2623-0453 (media-CD), halaman 37-51.
Homepage :
https://www.facebook.com/Jurnal-
Cendekia-Ihya-2292609480811294/
Email :
jurnalcendekiaihya@gmail.com
37

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424


Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

PENDAHULUAN capital, Kh), seperti misalnya tenaga kerja,


pengetahuan/keahlian, keterampilan, dan
Indonesia yang terdiri dari 17.480 pulau dan sebagainya; serta (iii) kapital alam (natural
merupakan negara kepulauan terbesar di resources, Kn), seperti misalnya sumberdaya
dunia, dengan garis pantai 95.000 km dan alam pulih (renewable resources) dan
merupakan yang terpanjang kedua di dunia sumberdaya alam tidak pulih (non-renewable
setelah Kanada, dimana 2/3 wilayah negaranya resources), sehingga secara matematis, total
merupakan lautan, dikenal sebagai negara persediaan kapital (total capital stock, K)
dengan “mega biodiversity”. Oleh karena itu, merupakan pertambahan dari ketiga kapital
tidaklah mengherankan bilamana Indonesia tersebut (Simanjuntak, 2003; Wahyudin,
dapat dianggap sebagai jantung 2017).
keanekaragaman hayati dunia, termasuk
keanekaraman hayati pesisir dan lautnya Keanekaragaman hayati merupakan bagian
(Wahyudin dan Mahipal, 2013). Salah satu dari keberadaan sumberdaya yang
ekosistem pesisir dan laut utama yang berdasarkan kategori penggunaannya
menandai Indonesia sebagai jantung merupakan sumberdaya alam (natural
keanekaragaman hayati dunia adalah, resources). Keanekaragaman hayati dalam
keberadaan terumbu karang Indonesia di konteks ini mempunyai manfaat yang besar
jantung terumbu karang dunia, yang dikenal bagi kesejahteraan manusia, baik dalam
sebagai “coral triangle”. konteks ekologi, sosial maupun ekonomi
(Wahyudin et al., 2016; 2018). Besarnya
Sumberdaya dapat diklasifikasikan menjadi 3 hubungan keanekaragaman hayati terhadap
(tiga) kelas sumberdaya berdasarkan kesejahteraan manusia ini menunjukkan
penggunaannya, yaitu sumberdaya alam bahwa keanekaragaman hayati merupakan hal
(natural resources), sumberdaya kultural penting yang harus dikelola secara optimal dan
(cultural resources) dan sumberdaya manusia berkelanjutan agar tetap dapat memberikan
(human resources), dimana pembagiannya manfaat kesejahteraan manusia secara
didasarkan atas 3 (tiga) faktor produksi yang berkelanjutan (Adrianto et al., 2007;
umum digunakan dalam bahasa ekonomi, Wahyudin, 2017; Wahyudin et al., 2018).
yaitu lahan (land), kapital (capital) dan tenaga
kerja (labor) (Cariacy-Wantrup, 1968). Pada
prinsipnya, sumberdaya alam, buatan, dan KEANEKARAGAMAN HAYATI PESISIR DAN
manusia mempunyai kepentingan yang sama LAUT
dalam analisis ekonomi, karena masing-masing
sumberdaya juga memiliki nilai yang dapat Keanekaragaman hayati atau biological
dihitung (tangible). Barang yang diproduksi diversity (sering disebut dengan biodiversity)
oleh produsen dan yang dibutuhkan konsumen adalah istilah untuk menyatakan tingkat
pada suatu periode pemanfaatan berbatas keanekaragaman sumber daya alam hayati
waktu dan hal ini menyebabkan beberapa yang meliputi kelimpahan maupun
alasan keterbatasan, sehingga dapat penyebaran. Keanekaragaman hayati adalah
disimpulkan bahwa pada dasarnya semua variabilitas di antara organisme hidup yang
sumberdaya (alam, buatan, manusia) mencakup keragaman dalam dan antar spesies
mempunyai keterkaitan dan saling dan keragaman dalam dan antar ekosistem
berhubungan satu sama lainnya (Wahyudin, (Mahipal, 2018). Keanekaragaman hayati
2017). adalah sumber dari banyak barang yang dapat
disediakan ekosistem, seperti makanan dan
Kapital dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bentuk, sumberdaya genetik, dan perubahan dalam
yaitu (i) kapital buatan manusia (man made keanekaragaman hayati dapat mempengaruhi
capital, Km) seperti misalnya mesin, jalan, pasokan jasa ekosistem. Ekosistem adalah
jembatan, kapal laut, pelabuhan, dan suatu unit ekologis yang terdiri dari komponen
sebagainya; (ii) kapital manusia (human biotik dan abiotik yang saling berinteraksi, dan

38
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424


Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

antara komponen komponen tersebut terjadi vegetasi mangrove merupakan prasyarat


pengambilan dan perpindahan energi, daur untuk memahami semua aspek struktur dan
materi, dan produktivitas. Data fungsi mangrove, sebagaimana kondisi
keanekaragaman hayati bisa didapatkan biogeografi, konservasi dan manajemennya
melalui kegiatan eksplorasi. (Jayatissa et al., 2002)

Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove di Indonesia umumnya


terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok
Istilah mangrove merupakan perpaduan kecil, sebagian besar terletak di Irian (Papua)
bahasa Melayu manggi-manggi dan bahasa Mangrove di Jawa, Sumatra, Sulawesi,
Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya Kalimantan dan Irian sudah terpengaruh
sama-sama berarti Avicennia (api-api), kegiatan pembangunan, sedangkan di Maluku
pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab dan Nusa Tenggara relatif masih alami. Di
yang banyak mengidentifikasi manfaat obat Indonesia mangrove tumbuh pada berbagai
tumbuhan mangrove (Jayatissa et al., 2002). substrat seperti lumpur, pasir, terumbu karang
Sedang menurut MacNae (1968) kata dan kadang-kadang pada batuan, namun
mangrove merupakan perpaduan bahasa paling baik tumbuh di pantai berlumpur yang
Portugis mangue (tumbuhan laut) dan bahasa terlindung dari gelombang dan mendapat
Inggris grove (belukar), yakni belukar yang masukan air sungai.
tumbuh di tepi laut. Kata ini dapat ditujukan
untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan Tumbuhan mangrove di Sumatera, Kalimantan
atau komunitas (Wibowo dan Suyanto, 1997). dan Sulawesi dapat mencapai tinggi 50 m
dengan diameter 50 cm, meski umumnya
Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah hanya setinggi 25 m dengan diameter 18 cm
komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub- (Soemodihardjo dan Ishemat, 1989).
tropis yang didominasi tumbuhan bunga Keragaman spesies pada setiap lokasi berbeda-
terestrial berhabitus pohon dan semak yang beda, di seluruh Indonesia jumlah tumbuhan
dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan mangrove sekitar 47 spesies (Anonim, 1997).
pasang surut dengan salinitas tinggi (MacNae, Informasi lain menyatakan jumlahnya lebih
1968; Chapman, 1976; Tomlinson, 1986; dari 37 spesies (Soemodihardjo dan Ishemat,
Nybakken, 1993; Kitamura et al., 1997). Dalam 1989) atau 45 spesies (Spalding et al., 1997).
bahasa Indonesia hutan mangrove disebut Spesies utama berasal dari genera Avicennia,
juga hutan pasang surut, hutan payau, Rhizophora, Sonneratia, Bruguiera, Ceriops,
rawarawa payau atau hutan bakau. Istilah yang Excoecaria, Heritiera, Lumnitzera, Nypa,
sering digunakan adalah hutan mangrove atau Xylocarpus, dan Aegiceras (Soemodihardjo dan
hutan bakau (Kartawinata, 1979). Namun Sumardjani, 1994).
untuk menghindari kesalahan literasi
dianjurkan penggunaan istilah mangrove Ekosistem Lamun
karena bakau adalah nama generik anggota
genus Rhizophora (Widodo, 1987). Lamun (seagrass) adalah satu-satunya
kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang
Komunitas mangrove tersusun atas tumbuhan, terdapat di lingkungan laut. Lamun (seagraas)
hewan dan mikroba, namun tanpa hadirnya adalah satu– satunya tumbuhan berbunga
tumbuhan mangrove komunitas ini tidak dapat yang hidup secara tetap di lingkungan perairan
disebut ekosistem mangrove (Jayatissa et al., pantai dan merupakan kunci dalam peranan
2002). Vegetasi mangrove berperan besar ekologis (den Hartog, 1970).
dalam ekologi ekosistem ini, dimana
tumbuhan mangrove mayor merupakan Padang lamun merupakan suatu ekosistem
penyusun utamanya (Lugo dan Snedaker, yang sangat penting dalam wilayah pesisir
1974; Hamilton dan Snedaker, 1984; karena memiliki keanekaragaman hayati
Tomlinson, 1986). Identifikasi komposisi tinggi, sebagai habitat yang baik bagi beberapa

39

SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

biota laut (spawning, nursery dan feeding bisa berasal dari aktivitas pembangunan di
ground) dan merupakan ekosistem yang tinggi wilayah pesisir yaitu reklamasi pantai,
produktivitas organiknya (Nontji, 2002). pembangunan pelabuhan, pembuatan jeti,
Ekosistem lamun (seagrass) adalah salah satu pemukiman penduduk, aliran permukaan,
komponen penting sebagai penyusun kesatuan industri dan perubahan garis pantai
ekosistem pesisir bersama dengan mangrove (Duarte,2002; Wahyudin, 2017).
dan terumbu karang (de la Torre-Castro, 2006).
Ekosistem Terumbu Karang
Di perairan Indonesia lamun umumnya
tumbuh di daerah pasang surut dan sekitar Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem
pulau-pulau karang (Nienhuis et al., 1989). laut dangkal yang dibangun oleh biota
Tumbuh pada substrat dengan dasar lumpur, penghasil kapur (terutama karang). Karang
pasir berlumpur, pasir dan pecahan karang . merupakan hewan dari Filum Coelenterata,
Terdapat 15 jenis lamun di perairan Indonesia, Kelas Anthozoa (Scleractinia). Terdapat dua
yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga. Jenis jenis karang, yaitu karang keras dan karang
lamun yang dapat dijumpai adalah 12 jenis, lunak. Karang keras bersimbiosis dengan alga
yaitu: Enhalus acoroides, Cymodocea Zooxanthellae, suatu organisme ber-sel satu
rotundata, C. serrulata, Halophila decipiens, H. yang membutuhkan sinar matahari untuk
ovalis, H. minor, H. spinulosa, Haludole fotosintesis dan mentransfer 95% makanan
pinifolia, Halodule uninervis, Syringodium yang diproduksi untuk karang, sementara
isoetifolium, Thalassia hemprichii, dan zooxanthellae mendapatkan perlindungan dan
Thalassodendron ciliatum (Wahyudin, 2017). nutrient dari karang (Miththapala, 2008).
Tiga jenis lainnya, yaitu Halophila sulawesii Simbiosis mutualisme ini menghasilkan
merupakan jenis lamun baru yang ditemukan endapan kapur (CaCO3) yang dalam waktu
oleh Kuo (2007). lama kemudian membentuk terumbu.
Sehingga karang keras disebut juga sebagai
Lamun merupakan salah satu ekosistem yang karang pembuat terumbu.
paling produktif di suatu perairan dan dikenal
sebagai ekosistem laut yang penting (den Terumbu karang hanya seluas 0,02% (250.000
Hartog, 1970; Philips & Menez, 1988; Fortes, km2) dari permukaan laut dunia (Moritz et al.,
1990; Wahyudin, 2017) antara lain sebagai 2018). Terumbu karang di dunia dapat
penyedia makanan, tempat berlindung ditemukan di daerah tropis (30° Utara - 30°
beberapa jenis ikan dan krustasea komersial Selatan), pada kedalaman kurang dari 100 m
penting (Pioneer et al., 1989; Gray et al., 1996; dan perairan yang hangat (25 - 29°C)
Dahuri et al., 1996; Wahyudin et al., 2016, (Miththapala, 2008). Di Indonesia yang
Wahyudin, 2017). Selain itu, lamun juga merupakan negara tropis, terumbu karang
mempunyai fungsi ekologi sebagai perangkap dapat ditemukan hampir di semua daerah.
sedimen (sediment trap), mengurangi erosi Diperkirakan Indonesia memiliki luas terumbu
pantai (abration), melestarikan produksi karang sebesar 2,5 juta hektar. Total kekayaan
perikanan, menyokong tingginya jenis karang keras Indonesia mencapai 569
keanekaragaman dan jenis-jenis biota laut jenis atau 67% dari 845 total spesies karang
(Dahuri et al., 1996; Wahyudin et al., 2016, dunia (Giyanto et al., 2017).
Wahyudin, 2017).
Terumbu karang di Indonesia tersebar dari
Beberapa ancaman kerusakan terhadap lamun Sabang sampai Merauke namun dalam
yang terjadi di Indonesia, menurut (Cullen, kelimpahan yang tidak merata. Daerah timur
2007) diantaranya karena pemanfaatan dan Indonesia memiliki jenis karang paling banyak
pemasangan jaring tancap ikan yang permancn dibandingkan dengan daerah Indonesia bagian
dan alat tangkap perikanan yang bersifat barat. Hal ini karena daerah timur Indonesia
merusak (Marba & Duarte, 1997; Seddon et al., perairannya relatif lebih jernih. Hal ini berbeda
2000). Ancaman yang bersifat merusak juga dengan daerah indonesia bagian barat yang

40
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

memiliki banyak sungai sehingga perairannya DISTRIBUSI KEANEKARAGAMAN HAYATI


lebih keruh dan salinitas yang tidak stabil. PESISIR DAN LAUT DI INDONESIA

Sebagai ekosistem yang sangat bernilai, Metode dan referensi dalam menghitung luas
terumbu karang juga merupakan ekosistem mangrove sangat beragam, sehingga luasan
yang sangat rentan terhadap perubahan yang dihasilkan juga berbeda. Spalding et al.
lingkungan. Tekanan yang dialami ekosistem (1997) menggunakan metode remote sensing
terkumbu karang semakin meningkat seiring menyatakan luas mangrove dunia adalah 18,1
dengan bertambahnya jumlah penduduk dan juta hektar. Hal yang berbeda dinyatakan oleh
aktivitias masyarakat di wilayah pesisir. Saenger et al. (1983), luas mangrove di dunia
Umumnya 76% terumbu karang dunia sudah adalah sekitar 16,9 hektar. Menurut FAO
terancam akibat akumulasi tekanan baik dari (1982), mangrove yang dimiliki Indonesia
lokal maupun global (Kaufman et al., 2011). adalah yang terluas di dunia, dimana dari 15,9
Tekanan lokal antara lain overfishing, juta hektar sekitar 27 persen atau 4,25 juta
penebangan hutan, pembangunan wilayah hektar ada di Indonesia (Dahuri et al., 1996).
pesisir dan polusi lainnya yang bersumber dari
daratan. Sedangkan tekanan global seperti Lamun merupakan tumbuhan berbunga
perubahan iklim, pangasaman laut, naiknya (angiospermae) yang terdiri dari daun dan
permukaan air laut dan meningkatnya seludang, batang menjalar yang biasanya
variabilitas badai yang dapat merukan disebut rimpang (rhizome), dan akar yang
terumbu karang (Kaufman et al., 2011). tumbuh pada bagian rimpang yang hidup
terendam baik di perairan laut dangkal dan
Terumbu karang Indonesia pun tidak luput dari estuari. Terdapat 13 jenis lamun yang tersebar
tekanan ini, penangkapan ikan yang di hampir seluruh perairan Indonesia, dengan
berlebihan, praktek penangkapan ikan yang perkiraan luas 30.000 km2 (Nienhuis, 1993) dan
merusak, sedimentasi dan pencemaran yang Kuo (2007) dalam Rahmawati et al. (2014).
berasal dari daratan telah merusak terumbu
karang. Hasil penelitian dari LIPI dapat Indonesia dengan iklim tropisnya merupakan
diketahui bahwa kondisi terumbu karang di ekosistem yang sangat baik bagi pertumbuhan
Indonesia didominasi oleh kategori jelek terumbu karang. Hal ini menjadikan Indonesia
(36,18%). Terumbu kategori cukup sebesar sebagai negara yang memiliki terumbu karang
34,3%, terumbu kategori baik 22,96% dan terluas dan terbanyak jenisnya di dunia. Luas
terumbu kategori sangat baik 6,56% (Hadi et terumbu karang di perairan laut Indonesia
al., 2018). lebih dari 75.000 km2 atau sebesar 14 persen
dari luas total terumbu karang dunia (Dahuri,
Ekosistem terumbu karang merupakan 1996).
ekosistem yang sangat penting karena paling
produktif dan paling kaya akan Proses terbentuknya terumbu karang
keanekaragaman hayati (Burke et al., 2011) membutuhkan waktu jutaan tahun. Terumbu
serta menyediakan berbagai macam jasa karang di Indonesia diperkirakan terbentuk
(Miththapala, 2008). Ekosistem terumbu sejak 450 tahun yang lalu. Keragaman jenis
karang merupakan rumah bagi hampir 30% terumbu karang di Indonesia cukup tinggi. Dari
biota laut. (Moritz et al., 2018). Wilkinson total 800 jenis terumbu karang di dunia, 60
tahun 2004 (dalam Miththapala, 2008) persen berada di Indonesia. Namun sampai
menyatakan hampir 500 juta penduduk, baik saat ini baru teridentifikasi 480 jenis terumbu
langsung maupun tidak langsung bergantung karang. Dari jenis terumbu karang tersebut
pada terumbu karang untuk kehidupan, mata tersebut, 60 persen berada di bagian timur
pencaharian dan sumberdaya lainnya. Indonesia (Arini, 2013).
Disebutkan bahwa, 1 km2 terumbu karang yang
baik, dapat menghasilkan 15 ton ikan dan hasil Berdasarkan data yang ada pada buku Statistik
laut lainnya setiap tahun (Dahuri et al., 1996). Sumberdaya Pesisir dan Laut di Indonesia

41

SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

Tahun 2016, tercatat bahwa luas masing- JASA EKOSISTEM DAN NILAI EKONOMI
masing ekosistem mangrove, lamun dan KEANEKARAGAMAN HAYATI PESISIR DAN
terumbu karang di Indonesia berturut-turut LAUT
seluas 3,67 juta hektar, 0,47 juta hektar dan
2,42 juta hektar. Sebaran dan distribusi
Jasa Ekosistem
lengkap dari masing-masing ekosistem pesisir
dan laut di masing-masing provinsi di Indonesia
Mulai tahun 1970, para ekonom dunia sedikit
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
tersentak dan baru menyadari akan
pentingnya memasukkan
Tabel 1. Sebaran dan distribusi lengkap dari masing-masing komponen sumberdaya alam
ekosistem pesisir dan laut di masing-masing provinsi di dan lingkungan dalam
Indonesia tahun 2016 perhitungan ekonomi
Luas area (ha)
No Provinsi (Wahyudin, 2017). Terlebih
Mangrove Lamun Terumbu karang
1 Aceh 58,985.57 223.03 14,689.70 bilamana perhitungan
2 Sumatera Utara 175,428.04 172.20 111,899.80 tersebut menjadi dasar acuan
3 Sumatera Barat 43,186.71 598.85 36,693.27 pembuatan kebijakan publik
4 Riau 175,607.64 1.20 yang berkenaan dengan upaya
5 Jambi 12,255.62 - menginternalisasi
6 Sumatera Selatan 394,163.72 13.00
eskternalitas produksi barang
7 Bengkulu 2,269.45 252.83 6,138.52
8 Lampung 17,110.00 710.00 2,189.50 dan jasa untuk pemenuhan
9 Kep. Bangka Belitung 93,330.32 13,055.24 81,551.14 keinginan dan kebutuhan
10 Kepulauan Riau 21,375.00 11,489.60 278,815.41 manusia. Tahun 1970 ini juga
11 DKI Jakarta 207.29 5,000.00 menjadi titik tolak
12 Jawa Barat 27,218.36 802.00 7,533.70 perkembangan ilmu ekonomi
13 Jawa Tengah 21,119.01 120.18 761.56
menuju suatu paradigma
14 DI Yogyakarta 40.10 5,100.00
15 Jawa Timur 84,624.56 3,405.72 649,973.36 ekonomi baru melalui apa
16 Banten 928.90 1,039.50 2,034.00 yang disebut ekonomi
17 Bali 2,225.75 1,316.00 8,836.71 sumberdaya dan lingkungan.
18 Nusa Tenggara Barat 19,149.00 32,224.00 19,399.00 Adalah seorang bernama
19 Nusa Tenggara Timur 16,579.85 15,933.34 142,479.63 Cirinacy Wantrup (1968) yang
20 Kalimantan Barat 149,344.19 29,345.50 72,559.82
mencetuskan bagaimana
21 Kalimantan Tengah 33,844.08 210.00 35,586.00
22 Kalimantan Selatan 105,038.98 204.22 13,179.18 pentingnya melirik komponen
23 Kalimantan Timur 360,819.26 782.78 84,518.57 sumberdaya dan lingkungan
24 Kalimantan Utara 90.67 sebagai bagian perhitungan
25 Sulawesi Utara 12,306.29 7,691.40 28,938.80 ekonomi.
26 Sulawesi Tengah 24,733.59 34,821.26 87,018.69
27 Sulawesi Selatan 40,226.30 6,264.70 116,437.80
Wahyudin et al. (2016)
28 Sulawesi Tenggara 67,111.40 10,615.14 32,625.30
29 Gorontalo 17,304.84 1,195.00 menyebutkan bahwa ekonomi
30,243.75
30 Sulawesi Barat 725.42 3,242.39 sumberdaya dan lingkungan
7,783.72
31 Maluku 53,301.85 9,698.25 ini telah menjadi salah satu
58,917.18
32 Maluku Utara 35,441.00 6,609.00 111,724.05
bagian yang tidak terpisahkan
33 Papua Barat 453,395.00 281,589.00 139,096.00
dengan model pengelolaan
34 Papua 1,148,948.51 1,309.80 232,892.20
Indonesia 3,668,345.60 474,920.93
sumberdaya
2,424,721.23
alam dan
Sumber: Statistik Sumberdaya Pesisir dan Laut, KKP (2016); Wahyudin lingkungan, misalnya
(2017). bagaimana pemerintah
membuat suatu peraturan
Sebaran ekosistem mangrove, lamun dan untuk melakukan proteksi
terumbu karang selengkapnya dapat dilihat sumberdaya dan meminimalisasi dampak
pada peta yang dapat dilihat pada Gambar 1. lingkungan melalui apa yang disebut biaya
eksternalitas.

42
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

Gambar 1. Peta sebaran ekosostem mangrove, lamun, dan terumbu karang di Indonesia

Biaya eksternalitas ini dapat dibebankan diakibatkan oleh aktivitas manusia yang
kepada siapa saja yang melakukan aktivitas menjadi pemicunya.
(individu, kelompok, perusahaan, dsb) yang
berpotensi mensuplai dampak negatif Fenomena eksternalitas juga terjadi di sekitar
terhadap kelestarian sumberdaya dan daya wilayah pesisir dan laut, seperti misalnya
dukung lingkungan. Dalam hal ini, biaya kematian massal ikan di sekitar teluk dan
eksternalitas bukan semata dijadikan sebagai perairan laut artisanal yang merupakan
suatu syarat yang harus dipenuhi untuk dampak dari banyaknya limbah domestik dan
melegalkan suatu aktivitas, melainkan harus industri yang kemudian menjadi pemicu
benar-benar diturunkan untuk meminimalisasi blooming algae yang pada gilirannya
dampak lingkungan yang ditimbulkan dari ”meracuni” kualitas perairan dan membuat
pelaksanaan suatu aktivitas. biota yang berada di sekitarnya menjadi
terdegradasi. Selain itu, munculnya beberapa
Eksternalitas memang akan selalu menjadi kegiatan reklamasi pantai yang dilakukan oleh
bagian yang tidak terpisahkan dari suatu berbagai pengembang dengan menggunakan
aktivitas, mulai dari lingkungan yang terkecil material urugan dari pasir laut yang kemudian
seperti rumah tangga sampai kepada skala berdampak terhadap timbulnya abrasi yang
aktivitas nasional, seperti industri global dan mengancam kehidupan dan penghidupan
sebagainya. Persoalan eksternalitas baru-baru masyarakat pesisir dan pulau kecil di beberapa
ini menelan korban jiwa dan menangguk wilayah di Indonesia.
kerugian ekonomi dan sosial yang cukup besar,
seperti misalnya kebakaran hutan, longsor, Selain itu, kasus-kasus tumpahan minyak juga
dan banjir, merupakan salah satu dampak telah memberikan dampak yang relatif negatif
turunan dari adanya eksternalitas yang bagi ekosistem pesisir dan laut yang pada
gilirannya juga akan berdampak pada

43

SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat baku, stabilisasi tepi pantai, perlindungan dari
yang menjadikan wilayah pesisir dan laut banjir dan badai, pengaturan aliran air, kualitas
sebagai sumber kehidupan dan penghidupan air, pengendali penyakit manusia, pengolahan
masyarakat, terutama penangkapan dan limbah, stok karbon, regulasi dan siklus
budidaya laut. Kerusakan lingkungan yang nutrien, habitat, produksi primer, pendidikan
diakibatkan oleh kasus tumpahan minyak dan ilmu pengetahuan, wisata, estetika dan
menyebabkan kemampuan ekosistem untuk rekreasi (Tabel 2).
menyediakan jasa ekosistem yang bermanfaat
bagi manusia juga terganggu dan tentu saja Tabel 2. Definisi dan manfaat jasa ekosistem
pada gilirannya akan menggangu Jasa
No Definisi
kesejahteraan manusia. Ekosistem
1 Air Air yang diberikan oleh siklus air,
Oleh karena itu, penting kiranya menjadikan iklim, topografi, ekologi dan
geologi dari sistem alam.
penilaian sumberdaya alam dan lingkungan
2 Makanan Biomassa untuk dikonsumsi oleh
menjadi bagian yang seharusnya tidak
manusia yang disediakan oleh
dipisahkan dari suatu upaya pengelolaan jejaring suatu organisme laut dan
wilayah untuk pembagunan berkelanjutan. fungsi dari suatu ekosistem laut.
Salah satunya adalah dengan menghitung nilai 3 Bahan Bahan biologis yang digunakan
kerusakan lingkungan sebagai biaya yang harus untuk obat-obatan, bahan bakar,
diantisipasi dan diminimalisasi agar dan bangunan.
pembangunan yang dilakukan tidak menjadi 4 Stabilisasi Menjaga keseimbangan garis
aktivitas yang di satu sisi “membangun” suatu Tepian Pantai pantai.
wilayah dan di sisi lain “menghancurkan” 5 Perlindungan Mitigasi atau redaman efek
wilayah lainnya. Banjir dan angin, gelombang, dan air banjir
Badai bagi masyarakat di wilayah hilir.
6 Pengaturan Retensi dan penyimpanan air
Penilaian sumberdaya oleh agen perencanaan
Aliran Air tawar.
yang lebih cenderung berfokus pada kegunaan
7 Kualitas air Menyaring dan melakukan
yang diharapkan (expected use), dimana pemurnian air.
sumberdaya diterjemahkan berdasarkan 8 Pengendalian Ekosistem yang tidak terganggu
pertimbangan teknologi dan kelembagaan Penyakit tetap dapat mengontrol dan
sosial sesuai latar belakang masing-masing Manusia mengendalikan organisme yang
agen, maka dapatlah disebut bahwa dapat menyebabkan penyakit
sumberdaya “Ex Ante” sedang pada manusia.
dipertimbangkan dan untuk analisis ekonomi 9 Pengolahan Detoksifikasi atau penyerapan
konservasi, maka hal ini menjadi sangat Limbah kontaminan alami atau buatan
signifikan (Cariacy-Wantrup, 1968). manusia.
10 Stok Karbon Penangkapan dan penyimpanan
jangka panjang karbon
UNEP mendefinisikan jasa ekosistem sebagai
merupakan bagian dari siklus
manfaat yang diperoleh manusia dari karbon global. Daerah aliran
ekosistem, termasuk didalamnya penyediaan sungai memainkan peran penting
layanan seperti makanan dan air, jasa dalam stabilisasi iklim.
pengaturan banjir dan pengendalian penyakit, 11 Regulasi dan Pengaturan transfer nutrisi dari
layanan budaya seperti spiritual, rekreasi, dan Siklus satu tempat ke tempat lain.
manfaat budaya, dan jasa penunjang seperti Nutrien Transformasi nutrisi sangat
siklus hara, yang menjaga kondisi lahan untuk penting, terutama agar nutrisi
kehidupan di bumi (United Nations yang tidak dapat digunakan
Environment Programme, 1993). Earth dapat ditransformasi menjadi
bentuk nutrisi yang dapat
Economics mendefinisikan jasa ekosistem
digunakan.
sebagai manfaat yang dapat diperoleh
12 Habitat Menyediakan kebutuhan siklus
manusia dari suatu ekosistem, termasuk dan tempat kehidupan
diantaranya manfaat air, makanan, bahan tumbuhan dan hewan.

44
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

Jasa dengan tipologi nilai ekonomi total (TEV), yang


No Definisi
Ekosistem terdiri atas nilai kegunaan (use value) dan nilai
13 Produktivitas Memperbaiki produktivitas non kegunaan (non use value). Nilai kegunaan
primer karbon oleh tanaman serta terdiri atas nilai kegunaan langsung (direct use
memberikan dasar bagi semua value), nilai kegunaan tidak langsung (indirect
rantai makanan darat dan laut.
use value), dan nilai pilihan (option value),
14 Pendidikan Ekosistem adalah subjek bagi
sedangkan nilai non kegunaan terdiri atas nilai
dan Ilmu banyak penelitian ilmiah dan
Pengetahuan pendidikan publik, baik sebagai pewarisan (bequest value) dan nilai
pengetahuan dasar maupun keberadaan (existence value).
untuk memahami kontribusi
fungsi ekosistem untuk Tabel 3. Definisi nilai sumberdaya sesuai
kesejahteraan manusia. tipologi nilai ekonomi total
15 Pariwisata Peran eksplisit dari ekosistem No Tipologi Nilai Definisi
pada pariwisata adalah bahwa I. Use Value (UV)
dengan ketersediaan tanah utuh Direct Nilai ekonomi yang diperoleh dari
dan tidak terganggu serta 1. use value pemanfaatan langsung dari
bentang laut yang panjang dapat (DUV) sebuah ekosistem/sumberdaya
menjadi tempat unruk bermain Indirect Nilai ekonomi yang diperoleh dari
dan menarik wisatawan untuk 2. use value pemanfaatan tidak langsung dari
datang berlibur. (IUV) sebuah ekosistem/sumberdaya
16 Estetika Peran yang dimainkan adalah Nilai ekonomi yang diperoleh dari
keindahan alam dan digunakan Option potensi pemanfaatan langsung
untuk menarik perhatian orang 3. value maupun tidak langsung dari
agar dapat hidup, bekerja dan (OV) sebuah ekosistem/sumberdaya di
menciptakan sesuatu di suatu masa mendatang
daerah. II. Non Use Value (NUV)
17 Rekreasi Kontribusi fitur ekosistem seperti Nilai ekonomi yang diperoleh dari
keanekaragaman hayati dan Bequest
manfaat pelestarian
mengendalikan air bersih dapat 1. value
ekosistem/sumberdaya untuk
menarik perhatian orang untuk (BV)
kepentingan generasi masa depan
terlibat dalam kegiatan rekreasi Nilai ekonomi yang diperoleh dari
tersebut. sebuah persepsi bahwa
Sumber: Batker (2003); Costanza et al. (1997, Existence keberadaan (existence) dari
2014); de Groot et al. (2002, 2012); 2. value sebuah ekosistem/sumberdaya
Wahyudin et al. (2016). (XV) itu ada, terlepas dari apakah
ekosistem/sumberdaya tersebut
Nilai Ekonomi Keanekaragaman Hayati dimanfaatkan atau tidak
Pesisir dan Laut Sumber: Barton (1994); Adrianto (2006); Adrianto
et al. (2007); Wahyudin (2017).
Wilayah pesisir dan laut umumnya mempunyai
tiga ekosistem utama yang saling berinteraksi, Costanza et al. (1997) menyatakan bahwa jasa
yaitu ekosistem terumbu karang, padang ekosistem adalah layanan dari sistem ekologi
lamun dan hutan mangrove (Wahyudin, 2011). dan stok modal alam yang menghasilkan
Ketiga ekosistem tersebut masing-masing barang dan jasa yang sangat penting untuk
memberikan manfaat ekonomi dan ekologi fungsi sistem pendukung kehidupan bumi.
(Wahyudin, 2016). Manfaat ekonomi yang Jasa ekosistem berkontribusi terhadap
dapat diperoleh merupakan manfaat yang kesejahteraan manusia, baik secara langsung
secara langsung ternilai (direct use value), maupun tidak langsung, dan karena itu
sedangkan manfaat ekologi merupakan merupakan bagian dari nilai ekonomi total
manfaat yang dapat diperoleh akan tetapi bumi. Nilai ekonomi dari 17 jasa ekosistem
nilainya bersifat tidak langsung (non use value) untuk 16 bioma yang dilakukan Costanza et al.
(Adrianto et al., 2007). Tabel 3 menunjukkan (1997) didasarkan atas penelitian yang telah
tentang definisi nilai sumberdaya sesuai diterbitkan dan dari beberapa perhitungan asli
yang dilakukan sendiri. Untuk seluruh biosfer,

45

SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

nilai (yang sebagian besar berada di luar pasar) Nilai


diperkirakan berada di kisaran US $ 16-54 Ekonomi
Jenis
triliun per tahun, dengan rata-rata US $ 33 No Rata-rata Sumber
Ekosistem
triliun per tahun. Karena sifat ketidakpastian, (Rp juta/
ha/tahun)
maka nilai ini harus dianggap sebagai estimasi
Fitrawati (2001);
minimum (Costanza et al., 1997; 2014).
Alfian (2004); PKSPL-
IPB (2005); Ariyanto
Mayoritas nilai jasa ekosistem diidentifikasi (2007);
dengan menggunakan pendekatan non pasar. BBPSE KKP (2009);
Jasa pengaturan gas diperkirakan mencapai PKSPL-IPB (2012);
3 Mangrove 92.81
sebesar US $ 1.3 triliun per tahun, jasa Siregar (2012);
pengaturan gangguan/tekanan mencapai US $ Wahyudin &
1.8 triliun per tahun, jasa pengolahan limbah Adrianto (2012);
mencapai US $ 2.3 triliun per tahun dan jasa Wahyuni (2013);
siklus nutrisi mencapai sebesar US $ 1.7 triliun PKSPL-IPB (2013);
Osmaleli (2014)
per tahun. 63% dari nilai estimasi
Wahyudin &
disumbangkan oleh sistem laut dan pesisir, 4 Mutiara 13.52
Adrianto (2012)
dimana sistem laut menyumbang nilai Wahyudin &
ekonomi sebesar US $ 20.9 triliun per tahun 5 Pantai 12,758.26
Adrianto (2012)
dan sistem pesisir menyumbang sebesar US $ PKSPL-IPB (2005);
10.6 triliun per tahun. Adapun sisanya sebesar PKSPL-IPB (2012);
38% berasal dari nilai taksiran dari sistem Wahyudin &
6 Perairan 7.39
terestrial, terutama dari hutan, yaitu mencapai Adrianto (2012);
sebesar US $ 4.7 triliun per tahun dan lahan Adrianto et al.
basah mencapai sebesar US $ 4.9 triliun per (2015)
tahun. PKSPL-IPB (2005);
PKSPL-IPB (2012);
Rumput
7 21.90 Wahyudin &
Nilai ekonomi keanekaragaman hayati pesisir laut
Adrianto (2012);
dan laut berdasarkan hasil iteratif dari Wahyudin (2013)
berbagai literatur cukup memberikan Situmorang (2004);
gambaran seberapa besar nilai potensi jasa PKSPL-IPB (2005);
ekosistem yang ada di sekitar wilayah pesisir Andalita (2006);
dan laut Indonesia. Tabel 4 berikut ini adalah Terumbu Leslahulu (2008);
8 385.94
hasil estimasi nilai ekonomi ekosistem karang Putrantomo (2010);
menurut jenisnya berdasarkan hasil olahan PKSPL-IPB (2012);
nilai dari berbagai literatur. Wahyudin &
Adrianto (2012)
Sumber: Wahyudin (2017).
Tabel 4. Hasil estimasi nilai ekonomi
sumberdaya menurut jenisnya
Nilai
Ekonomi NILAI KEKAYAAN KEANEKARAGAMAN
Jenis
No Rata-rata Sumber HAYATI PESISIR DAN LAUT INDONESIA
Ekosistem
(Rp juta/ DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
ha/tahun) PENGELOLAAN YANG DIPERLUKAN
Ladang Wahyudin &
1 2.68
garam Adrianto (2012)
Tabel 4 menyebutkan bahwa nilai ekonomi
PKSPL-IPB (2000); Al
Hadad (2012);
rata-rata ekosistem mangrove, lamun dan
PKSPL-IPB (2012); terumbu karang berturut-turut sebesar Rp.
2 Lamun 160.64 98,81 juta per hektar per tahun, Rp. 160,64
Adrianto et al.
(2013); Adrianto et juta per hektar per tahun dan sebesar Rp.
al. (2014) 385,94 juta per hektar per tahun, maka dengan
luas ekosistem mangrove Indonesia pada

46
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

tahun tahun 2016 tercatat seluas 3.668.345,60 Kekayaan


No Provinsi
hektar, ekosistem lamun mencapai 474.920,93 (Rp. Triliun)
hektar dan ekosistem terumbu karang seluas 27 Sulawesi Selatan 49.68
2.424.721,23 hektar, kekayaan 28 Sulawesi Tenggara 20.53
keanekaragaman hayati pesisir dan laut 29 Gorontalo 13.47
Indonesia pada tahun 2016 dapat diestimasi 30 Sulawesi Barat 3.59
31 Maluku 29.24
mencapai sebesar Rp. 1.353,55 triliun, terdiri
32 Maluku Utara 47.47
atas kekayaan keanekaragaman hayati
33 Papua Barat 141.00
mangrove sebesar Rp. 340,46 triliun,
34 Papua 196.73
ekosistem lamun sebesar Rp. 76,29 triliun dan Indonesia 1,352.55
ekosistem terumbu karang sebesar Rp. 935,80
triliun. Nilai ini dapat dikatakan sebagai nilai
Tabel 5 menunjukkan bahwa Jawa Timur pada
minimal yang dapat diberikan, dikarenakan
tahun 2016 merupakan provinsi yang memiliki
perkembangan teknik dan model penilaian jasa
kekayaan keanekaragaman hayati pesisir dan
ekosistem masih akan terus berkembang laut tertinggi (Rp. 259,25 triliun) di Indonesia,
untuk menjadi lebih detail dalam melakukan diikuti Papua (Rp. 196,73 triliun) dan Papua
penilaian ekonomi jasa ekosistem di masa Barat (Rp. 141,00 triliun). Nilai ini tentu saja
mendatang (Costanza et al., 1997; 2014). dapat berubah seiring perubahan luasan dan
Tabel 5 berikut ini adalah kekayaan karakteristik keanekaragaman hayati yang
keanekaragaman hayati pesisir dan laut terdapat di dalamnya. Oleh karena itu,
menurut provinsi di Indonesia tahun 2016. diperlukan suatu kebijakan komprehensif,
integratif, adaptif dan akomodatif agar
Tabel 5. Kekayaan keanekaragaman hayati kekayaan keanekaragaman hayati ini dapat
pesisir dan laut menurut provinsi di dipertahankan serta tetap dapat memberikan
Indonesia tahun 2016 manfaat bagi kesejahteraan masyarakat pesisir
Kekayaan
No Provinsi dan pulau kecil khususnya dan rakyat
(Rp. Triliun)
Indonesia pada umumnya.
1 Aceh 11.18
2 Sumatera Utara 59.50
3 Sumatera Barat 18.27 Tantangan dan ancaman bagi keanekaragaman
4 Riau 16.30 hayati pesisir dan laut merupakan hal yang
5 Jambi 1.14 harus diperhatikan dan dimitigasi agar
6 Sumatera Selatan 36.59 kekayaan alam Indonesia tetap terjaga dan
7 Bengkulu 2.62 memberikan manfaat bagi kesejahteraan
8 Lampung 2.55 masyarakat pesisir dan pulau kecil khususnya
9 Kepulauan Bangka Belitung 42.23 dan rakyat Indonesia pada umumnya.
10 Kepulauan Riau 111.44 Beberapa ancaman dan tantangan
11 DKI Jakarta 1.95 pengelolaan yang perlu diperhatikan
12 Jawa Barat 5.56 diantaranya dibagi menjadi dua, yaitu akibat
13 Jawa Tengah 2.27 bencana alam (natural hazard) yang memang
14 DI Yogyakarta 1.97 merupakan faktor eksternal dan sangat sulit
15 Jawa Timur 259.25 dihindari, kendatipun dapat dimitigasi,
16 Banten 1.04
terutama dalam konteks minimalisasi dampak
17 Bali 3.83
kerugian yang dapat ditimbulkan. Adapun
18 Nusa Tenggara Barat 14.44
ancaman dan tantangan yang memungkinkan
19 Nusa Tenggara Timur 59.09
20 Kalimantan Barat 46.58
untuk dilakukan mitigasi penuh adalah yang
21 Kalimantan Tengah 16.91 diakibatkan oleh ulah manusia (human
22 Kalimantan Selatan 14.87 hazards), diantaranya adalah pencemaran,
23 Kalimantan Timur 66.23 reklamasi pantai, penggunaan alat tangkap
24 Kalimantan Utara 0.03 yang merusak (bom, racun, dll), alih fungsi
25 Sulawesi Utara 13.55 lahan, kerusakan lahan dan sumberdaya, serta
26 Sulawesi Tengah 41.47 berbagai hal yang berkaitan dengan kesalahan

47

SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

manajemen dan atau kesalahan teknologi ditentukan apakah dia berhasil mengelola
penanganan lingkungan hidup yang tidak tepat kekayaannya dengan baik dan benar melalui
serta lemahnya penegakan hukum lingkungan perbandingan nilai aset sumberdaya alam dan
hidup, kendati beberapa kasus lingkungan lingkungan yang di awal periode menjabat
hidup telah banyak diselesaikan, baik melalui kepala daerah hingga di akhir periode jabatan
pengadilan maupun di luar pengadilan yang diembannya. Dengan model seperti ini,
(Mahipal dan Wahyudin, 2019). maka kebijakan yang kontra produktif dengan
keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan
Rekomendasi kebijakan pengelolaan diharapkan dapat dimitigasi, terlebih bilamana
keanekaragaman hayati yang perlu model seperti ini dijadikan ukuran ada
dirumuskan diantaranya adalah penegakan tidaknya potensi kerugian negara dan atau
hukum lingkungan hidup yang bersifat daerah dalam kurun waktu tertentu.
sistematis, terstruktur dan masif dengan
melibatkan berbagai kalangan yang terkait
dengan kasus yang ditangani. Saat ini, yang PENUTUP
perlu dikedepankan adalah bagaimana
lingkungan hidup (termasuk keanekaragaman Indonesia memiliki kekayaan alam dan
hayati pesisir dan laut) dapat lingkungan yang besar dan melimpah.
direstorasi/dipulihkan dengan segera tanpa Keanekaragaman hayati pesisir dan laut
menunggu penyelesaian sengketa terlebih merupakan salah satu aset kekayaan negara
dahulu. Artinya bahwa pemerintah dapat yang perlu dikelola secara optimal dan
menyiapkan dana restorasi yang nantinya akan berkelanjutan. Nilai kekayaan
diklaimkan kepada pihak yang melakukan keanekaragaman hayati pesisir dan laut
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan Indonesia dapat diestimasi minimal mencapai
hidup. sebesar Rp. 1.353,55 triliun. Nilai ini tentu saja
memberikan konsekuensi akan pentingnya
Rekomendasi berikutnya adalah diperlukan upaya untuk dapat dipertahankan. Oleh
pedoman baku yang dapat dijadikan sandaran karena itu, diperlukan rekomendasi kebijakan
hukum akan pentingnya penanggulangan pengelolaan keanekaragaman hayati yang
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dilakukan secara responsif, antisipatif dan
hidup secara responsif dan antisipatif. Artinya adaptif.
bahwa kejadian yang dianggap dapat
menimbulkan dampak negatif yang masif dan Beberapa kebijakan yang direkomendasikan
irreversible harus segera ditangani agar tidak diantaranya adalah (i) penegakan hukum
menimbulkan dampak turunan yang mungkin lingkungan hidup yang dilakukan secara
akan jauh lebih besar kerugiannya. sistematis, terstruktur dan masif; (ii) adanya
pedoman baku penanggulangan pencemaran
Perlu dilakukan perhitungan nilai kekayaan dan atau kerusakan lingkungan hidup yang
sumberdaya alam dan lingkungan yang responsive dan antisipatif; dan (iii) menjadikan
menyeluruh sebagai bagian upaya pencegahan nilai aset sumberdaya alam dan lingkungan
munculnya kebijakan yang kontra produktif sebagai instrumen keberhasilan tata kelola
dengan keanekaragaman hayati. Bilamana kepala daerah di dalam mengelola
setiap daerah di Indonesia memiliki nilai keanekaragaman hayati.
kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan
yang selalu dimutakhirkan setiap tiga tahun
sekali, sehingga akan dapat ditentukan sistem DAFTAR PUSTAKA
akuntansi sumberdaya alamdan lingkungan
sebagai salah satu alat ukur keberhasilan Adrianto L, T Kusumastanto, A Pratomo, Dhewani, Y
kepala daerah di dalam mengelola asset dan Wahyudin. 2014. Valuasi Keterkaitan Sistem Sosial
kekayaan alam dan lingkungannya. Seorang Ekologi Ekosistem Lamun dan Perikanan di
kepala daerah pada setiap periode dapat Kabupaten Bintan. Unpublished. Bogor Agricultural
University.

48
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

Adrianto L, T Kusumastanto, A Samosir, Y Wahyudin, H Services and Natural Capital. Nature, 387, 253-
Malikusworo. 2013. Pemodelan Valuasi Keterkaitan 260.
Ekosistem Lamun di Pulau Bintan. Laporan Hasil Costanza R., de Groot R., Sutton P., van der Ploeg S.,
Penelitian BOPTN. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Anderson S.J., Kubiszewski I., Farber S., Turner
Adrianto L. 2006. Pengenalan Konsep dan Metodologi R.K. 2014. Changes in the global value of
Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. ecosystem services. Global Environmental
Bogor: PKSPL IPB, 74 pp. Change, 26, 152–158.
Adrianto L., Fahrudin A., Wahyudin Y. 2007. Konsepsi Cullen-Unsworth, L, N Mtwana, J Paddock, S Baker, L
Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. McKenzie, dan R Unsworth. 2014. Seagrass
Modul Pelatihan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Meadows Globally as a Coupled Social-Ecological
Pesisir dan Lautan. Bogor: PKSPL IPB. System: Implications for Human Wellbeing. Marine
Al Haddad MS. 2012. Valuasi Ekonomi Lamun di Pulau Pollution Bulletin, 83, 387-397.
Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., Sitepu, M.J. 1996.
Maluku Utara. Thesis of Graduated School IPB of Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan
Natural Resources and Environmental Economics. lautan secara terpadu (cetakan pertama). Jakarta:
Bogor Agricultural University. PT. Pradnya Paramita.
Allamah, D.D. 2016. Struktur Komunitas Lamun Di de Groot R.S., Wilson M.A., Boumans, R.M.J. 2002. A
Pantai Sindangkerta Kecamatan Cipatujah Typology for the Classification, Description and
Kabupaten Tasikmalaya. Abstract Valuation of Ecosystem Functions, Goods and
Anwar, J. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gajah Services. Ecological Economics, 41(2002), 393-408.
Mada Universitu Press. Yogyakarta. PII: S0921-8009(02)00089-7.
Barbier, E.B., Sathirathai, S., 2001. Valuing Mangrove de Groot R., Brander L., van der Ploeg S., Costanza R.,
Conservation in Southern Thailand. Contemporary Bernard F., Braat L., Christie M., Crossman N.,
Economic Policy. 19 (2) 109–122. Ghermandi A., Hein L., Hussain S., Kumar P.,
Barton, D. 1994. Economic Factors and Valuation of McVittie A., Portela R., Rodriguez L.C., ten Brink P.,
Tropical Coastal Resources. Bergen: Senter fuer van Beukering P.. 2012. Global Estimates of the
Miljo-Og Ressursstudier, Universiteit I Bergen, Value of Ecosystems and their Services in Monetary
Norway. Units. Ecosystem Services, 1 (2012), 50-61.
Batker, D. 2003. Ecosystem Service Valuation (ESV). Available at
Retrieved February 20, 2014. http://dx.doi.org/10.1016/j.ecoser.2012.07.005.
http://www.eartheconomics.org/Page24.aspx de la Torre-Castro, M. 2006. Humans and Seagrass in
Bosire, J.O., Dahdouh-Guebas, F., Jayatissa, L.P., East Africa - A Socialecological System Approach.
Koedam, N., Lo Seen, D., Nitto, Di D. 2005. How Stockholm: Department of Systems Ecology,
Effective were Mangroves as a Defense Against the Stockholm University.
Recent Tsunami? Current Biology Vol. 15 R443-R447. den Hartog, C. 1970. The Sea-grasses of the World.
Bowen, Jennifer L., Valiela, Ivan, York, Joanna K. 2001. Amsterdam, North Holland: Verdhandelingen der
Mangrove Forests: One of the World's Threatened Koninklijke Nederlandse Akademie van
Major Tropical Environments. Bio Science 51:10, Wetenschappen, afd. Natuurkunde, Reek 2.
807–815. Erawan T.S, Kasmara H, Mayawatle B. 2017. Kondisi
Burke, L., Kathleen R., Mark S., Allison P. 2011. Reef at terumbu karang dan struktur komonitas karang
Risk Revisited. World Resources Institute. perairan kabupaten karawang provinsi Jawa Barat
Washington. DC. Fortes, M. 1991. Seagrass-Mangrove Ecosystem
Cariacy-Wantrup, S. 1968. Resource Conservation: Management - a Key to Marine Coastal
Economic and Policies (3rd Ed. ed.). Berkeley: Conservation in the Asian Region. Marine Pollution
Division of Agricultural Sciences, University of Bulletin, 23, 113-116.
California. Giyanto., Abrar M., Hadi, T.A., Budiyanto, A., Hafizt, M.,
Chapman VJ. 1975. Mangrove Vegetation. Germany: Salatalohy, A., and Iswari, M.Y. 2017. Status
Cramer and Vaduz Terumbu Karang Indonesia. Jakarta: Puslit
Conservation International. 2008. Economic Value of Oseanografi – LIPI.
Coral Reefs, Mangroves and Seagrass; A Global Gufronah RR, Cecep K dan Omo R. 2015. Komposisi Jenis
Compilation. Center for Applied Biodiversity Science, Dan Struktur Hutan Mangrove Di Pulau Sebuku,
Conservation International. Arlington, VA, USA. Kalimantan Selatan. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian
Costanza R., dArge R., de Groot R., Farber S., Grasso Bogor
M., Hannon B., Limburg K., Naeem S., O’Neill R.V., Hadi, T.A., Giyanto, Prayudha B., Hafizt M., Budiyanto A.,
Paruelo J., Raskin R.G., Sutton P., van den Belt M. Suharsono. 2018. Status Terumbu Karang Indonesia.
1997. The Value of the World's Ecosystem Jakarta: Puslit Oseanografi – LIPI.

49

SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

Hamilton, S. 2013. Assessing the Role of Commercial Mangrove Information Center. 2009. Nipah. Bali:
Aquaculture in Displacing Mangrove Forest. Bulletin Denpasar
of Marine Science 89(2): 585-601. Massó i Alemán, S., C. Bourgeois, W. Appeltans, B.
Hanley N and White B. 2014. Incentivizing the Provision Vanhoorne, N. De Hauwere, P. Stoffelen, A.
of Ecosystem Services. International Review of Heaghebaert & F. Dahdouh-Guebas, 2010. The
Environmental and Resource Economics 7: 299-331. ‘Mangrove Reference Database and
Hartati S.T dan Rahman A. 2016. Kesehatan terumbu Herbarium’. Plant Ecology and Evolution 143(2): 225-
karang dan struktur komunitas ikan di perairan 232.
pantai pangandaran, jawa Barat. Bawal Widya Riset MEA (Millenium Ecosystem Assessment). 2003.
Perikanan Tangkap Ecosystem and Human Well Being - Framework for
Hogarth, Peter J. (1999). The Biology of Mangroves. Assessment. World Resources Institute Island
Oxford University Press, Oxford. ISBN 0-19-850222- Inpress, Washington.
2. Miththapala, S (2008). Coral Reefs. Coastal Ecosystems
http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/beritabaru/118- Series (Vol 1) pp 1-36 + iii. Colombo, Sri Lanka:
tabel-luas-kawasan-konservasi. Diakses 13 Maret Ecosystems and Livelihoods Group Asia, IUCN.
2017. Moritz C, Vii J, Lee Long W, Tamelander J, Thomassin A,
Jayatissa, L. P., Dahdouh-Guebas, F. & Koedam, N. Planes S (editors). (2018) Status and Trends of Coral
(2002). "A review of the floral composition and Reefs of the Pacific. Global Coral Reef Monitoring
distribution of mangroves in Sri Lanka". Botanical Network.
Journal of the Linnean Society 138: 29–43. Munfarida I., 2018. Evaluasi Status dan Konservasi
Jin-Eong, Ong. 2004. The Ecology of Mangrove Padang Lamun di Pesisir Kabupaten Garut, Provinsi
Conservation and Management. Hydrobiologia. Jawa Barat. Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan
295:1-3, 343–351. Universitas Hang Tuah
Johnstone IM, dan Frodin DF. 1982. Mangroves of the Murray, M.R., Zisman, S.A., Furley, P.A., Munro, D.M.,
papuan subregion. J Bio an Eco of New Gui. 513-528 Gibson, J., Ratter, J., Bridgewater, S., Mity, C.D., and
Kaufman L, Sandin S, Sala E, Obura D, Rohwer F, and C.J. Place. 2003. "The Mangroves of Belize: Part 1.
Tschirky T. 2011. Coral Health Index (CHI): measuring Distribution, Composition and Classification." Forest
coral community health. Science and Knowledge Ecology and Management 174: 265–279
Division, Conservation International, Arlington; VA, Nienhuis, P. 1993. Structure and Functionning of
USA Indonesia Seagrass Ecosystem. In M. Moosa, H. de
Kuenzer, C., Bluemel, A., Gebhardt, S., Vo Quoc, T. & Iongh, H. Blaauw, & M. Morimarna (Ed.), Proceeding
Dech, S., 2011. Remote Sensing of Mangrove International Seminar on Coastal Zone
Ecosystems: A Review. Remote Sensing 3(5): 787- Management of Small Island Ecosystem, April 7-9,
928. 1993. (pp. 82-86). Ambon: LIPI.
Kuo, J and A McComb. 1989. Seagrass Taxonomy, Noor YR, Khazali M, dan Suryadiputra INN. 1999.
Structure and Development. (A. A.W.D. Larkum, A. Panduan Pengenalan Mangrove Indonesia. Bogor:
McComb, & S. Shepherd, Eds.) Amsterdam: Elsevier. PKA/WI-IP
Kusmana C, Onrizal dan Sudarmadji. 2003.Mangrove di Plaziat, J.C., et al. (2001). "History and biogeography of
Teluk Bintuni, Papua. Indonesia: Fakultas Kehutanan the mangrove ecosystem, based on a critical
IPB dan PT Bintuni Utama Murni Wood Industries reassessment of the paleontological
Laranisa S. 2016 Struktur terumbu karang di pantai record". Wetlands Ecology and Management 9 (3):
sindangkerta kecamatan cipatujah kabupaten pp. 161–179.
tasikmalaya, jawa barat. Pribadi R. 1998. The Ecology of Mangrove Vegetation in
LIPI. 2018. Status Padang Lamun Indonesia 2018 Bintuni Bay, Irian Jaya, Indonesia [Disertasi].
Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistical Ecology. New Skotlandia: University of Stirling
York: John Wiley and Sons. Pribadi, T.D.K., Nurdiana, R., Rosada, K.K. 2017.
MacNae W. 1968. A general account of the fauna and Asosiasi Makroalga dengan Gastropoda Pada Zona
flora of mangrove swamps and forests in the Indo- Intertidal Pantai Pananjung Pangandaran. Jurnal
West-Pacific Region. J Adv Mar Bio. 6: 73-270 Biodjati, 2 (2), Hal 107-114
Magurran AE. 1998. Ecological Diversity and Its Richad PW. 1964. The Tropical Rain Forest: An Ecological
Measurement. London: Croom Helm Ltd. Studi. Cambridge University Press. London.
Mahipal, Wahyudin Y. 2019. Kajian Hukum Penerapan Ridho T.S, Hartoko A., Subiyanto. 2015.
Penilaian Lingkungan Hidup di Wilayah Pesisir Keanekaragaman Dan Struktur Komunitas Ikan Di
Indonesia. Jurnal Cendekia Ihya, 2 (1), 43-55. Pantai Sancang Kabupaten Garut. Prosiding
Available at SSRN: Seminar Nasional Pendidikan Biologi 2015
https://ssrn.com/abstract=3432085.

50
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
Wahyudin et al (2019) Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2

Saenger, Peter (2002). Mangrove Ecology, Silviculture, Wahyudin Y, Mahipal. 2013. Strategi Pembangunan
and Conservation. Kluwer Academic Publishers, Negara Kepulauan (Strategic Development for
Dordrecht. ISBN 1-4020-0686-1. Archipelago State). Wawasan Tridharma: Majalah
Sato, Gordon; Riley, Robert; et al. Growing Mangroves Ilmiah Kopertis Wilayah IV, 25 (6). Available at
With The Potential For Relieving Regional Poverty SSRN: https://ssrn.com/abstract=2250952.
And HungerWETLANDS, Vol. 25, No. 3 – September Wahyudin Y, T Kusumastanto, L Adrianto, dan Y
2005 Wardiatno. 2016. Jasa Ekosistem Lamun untuk
Setiawati T., Alifah M., Mutaqin A.Z., Nurzaman M., Kesejahteraan Manusia. Purwokerto: Omni-
Irawan B., Budiono R. 2018. Studi Morfologi Akuatika. 12 (3): 29-46, 2016 ISSN: 1858-3873.
Beberapa Jenis Lamun di Pantai Timur Dan Pantai http://dx.doi.org/10.20884/1.oa.2016.12 .3.122.
Barat, Cagar Alam Pangandaran. Jurnal Pro-Life Wahyudin Y. 2007. Nilai Ekonomi Sumberdaya
Volume 5 Nomor 1, Maret 2018. Rumput Laut Alam (An Economic Value of the
Simanjuntak, SM. 2013. Economic Sustainable Natural Seaweed Resources). Available at SSRN:
Development. Bogor, West Java, Indonesia: https://ssrn.com/abstract=1678973 or
Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika IPB. http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1678973.
Soerianegara I dan Indrawan A. 2016. Ekologi Hutan. Wahyudin Y. 2013. Nilai Sosial Ekonomi Rumput Laut:
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Studi Kasus Kecamatan Tanimbar Selatan dan
Soerianegara I. 1971. Characteristics and classification of Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi
mangrove soils of Java. J Rim Indones. 16: 141-150 Maluku. Majalah Ilmiah Globe, 15 (1). Available at
Spalding, Mark; Kainuma, Mami and Collins, Lorna SSRN: http://ssrn.com/abstract=2407287.
(2010) World Atlas of Mangroves Earthscan, Wahyudin Y. 2016. Potensi Bisnis Kelautan di Negara
London, ISBN 978-1-84407-657-4; 60 maps showing Maritim Poros Dunia untuk Kesejahteraan Rakyat
world-wide mangrove distribution Indonesia. Agrimedia, 21 (1), 17-23. Available at
Teas, H. J. (1983). Biology and Ecology of Mangroves. W. https://www.researchgate.net/publication/316716
Junk Publishers, The Hague. ISBN 90-6193-948-8. 862.
Tomlinson, Philip B. (1986). The Botany of Mangroves. Wahyudin Y. 2011. Karakteristik sumberdaya pesisir dan
Cambridge University Press, Cambridge, ISBN 0-521- laut kawasan Teluk Pelabuhanratu, Kabupaten
25567-8. Sukabumi, Jawa Barat. PKSPL-IPB, Bogor,
UNEP (United Nations Environment Programme). 2008. Bonorowo Wetlands 1 (1): 19-32.
Ecosystem Services. Retrieved September 9 (2019), Wahyudin, Y. 2017. Kajian Keterkaitan Sistem
from In: The Economics of Ecosystems and Sosial-Ekologi Lamun dalam Meningkatkan Nilai
Biodiversity. Ekonomi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pesisir
http://www.teebweb.org/resources/ecosystem- Timur Pulau Bintan. [Disertasi], Bogor : Institut
services/. Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana, Program
Van Steenis CGGJ. 1958. Ecology of Mangroves. Dalam: Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika.
Van Steenis CGGJ, Flora Malesiana, Series I. 431-441 244 hal.
Vo Quoc, T., Kuenzer, C., Vo Quang, M., Moder, F., and https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/925
N. Oppelt, 2012. "Review of Valuation Methods for 06.
Mangrove Ecosystem Services". Journal of Ecological Wahyudin, Y. 2017. Kajian Valuasi Ekonomi Sumberdaya
Indicators, 23: 431-446 Pesisir dan Laut Akibat Tumpahan Minyak di
Vo Quoc, T., Oppelt, N., Leinenkugel, P. & Kuenzer, C., Kabupaten Bintan.
2013. Remote Sensing in Mapping Mangrove Warne, K. (February 2007). "Forests of the
Ecosystems - An Object-based Approach. Remote Tide". National Geographic pp. 132–151
Sensing 5(1): 183-201. Whitmore TC. 1984. Tropical Rain Forest of The Far East.
Wahyudin Y, Adrianto L. 2012. Analisis Ekonomi Ed ke-2. Oxford: Oxford University Press.
Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Selat Lombok Wibowo P dan Suyatno N. 1997. An Overview of
(Economic Analysis of Natural Resources and Indonesia Wetland Sites-Included in Wetland
Environment in Lombok Strait). PKSPL-IPB Working Database. Bogor: Wetland International-PHPA.
Paper Volume 3, Number 1, January 2012. Available
at SSRN: https://ssrn.com/abstract=2166187 or
http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2166187.
Wahyudin Y, Kusumastanto T, Adrianto L, Wardiatno Y.
2018. A Social Ecological System of Recreational
Fishing in the Seagrass Meadow Conservation Area
on the East Coast of Bintan Island, Indonesia.
Ecological Economics, 148 (2018), 22–35. Available
at https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2018.01.013.

51

SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai