Anda di halaman 1dari 22

MANGROVE

IDENTIFIKASI KERUSAKAN DAN UPAYA REHABILITASI EKOSISTEM


MANGROVE

Diajukan untuk memenuhi Tugas Individu pada Mata Kuliah

Pengantar Ilmu Teknologi dan Kemaritiman

Dosen Pengampu : Tri Yulianto S.Pi., M.PSDA

Disusun Oleh :

Reza Ariyanto (2204020017)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS MARITIM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

TANJUNGPINANG

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia–Nya Karya Ilmiah yang mengangkat sub materi tentang MANGROVE dengan topik
“IDENTIFIKASI KERUSAKAN DAN UPAYA REHABILITASI EKOSISTEM
MANGROVE” ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Adapun
tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas individu dari Bapak Tri
Yulianto S.Pi., M.PSDA, pada Mata kuliah Pengantar Ilmu Teknologi dan Kemaritiman.

Hendaknya kami berharap melalui makalah ini tentunya dapat bermanfaat dan
berguna bagi para pembaca, guna menambah pengetahuan serta wawasan terkait topik yang
akan dibahas.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini masih jauh dari
kata sempurna dan barangkali terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan dari para pembaca, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Tanjungpinang, 12 Juni 2023

Penulis
ABSTRAK

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang mempunyai berbagai keragaman potensi
yang memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, baik manfaat hutan mangrove secara
langsung maupun secara tidak langsung dapat dirasakan oleh masyarakat yang tinggal dekat
kawasan maupun yang tinggal jauh dari kawasan hutan mangrove. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat kerusakan mangrove, mengetahui factor penyebab dari kerusakan
mangrove dan membuat strategi upaya rehabilitasi ekosistem mangrove. Metode penelitian
dilakukan melalui pengamatan dengan seksama. Faktor penyebab kerusakan secara umum
adalah disebabkan oleh factor manusia dan alam. Prioritas utama dalam memperbaiki
kerusakan dan upaya rehabilitasi mangrove diantaranya adalah dengan menjalin kerjasama
yang sinergis antara pelaksanaan program pemerintah dengan keinginan masyarakat lokal
melalui revitalisasi kawasan pesisir akibat abrasi dengan cara penanaman kembali pohon
mangrove ataupun bisa kita kenal dengan Reboisasi.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................

Abstrak .....................................................................................................................

Daftar Isi ..................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................

1.1......................................................................................................................... Latar
Belakang ........................................................................................................
2.1......................................................................................................................... Rumusan
Masalah .........................................................................................................
3.1......................................................................................................................... Tujuan
Penelitian .......................................................................................................
4.1......................................................................................................................... Metode
Penelitan ........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................

2.1......................................................................................................................... Pengertian
Hutan Mangrove ............................................................................................
2.2......................................................................................................................... Jenis
Hutan Mangrove ............................................................................................
2.3......................................................................................................................... Fungsi
dan Manfaat Mangrove .................................................................................
2.4.........................................................................................................................
Pengelolaan Hutan Mangrove .......................................................................
2.5......................................................................................................................... Kebijakan
Ekosistem Mangrove .....................................................................................
2.6......................................................................................................................... Tingkat
Kerusakan Ekosistem Mangrove ...................................................................
2.7......................................................................................................................... Faktor
Penyebab Kerusakan Ekosistem Mangrove ..................................................
2.8.........................................................................................................................
Strategi/Upaya Rehabilitasi Hutan Mangrove
Melalui Kegiatan Reboisasi ..........................................................................

BAB III PENUTUP .................................................................................................

3.1.........................................................................................................................
Kesimpulan....................................................................................................
3.2......................................................................................................................... Saran

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem paling produktif di dunia.
Mereka memperkaya perairan pesisir, menghasilkan produk hutan komersial,
melindungi garis pantai, dan mendukung perikanan pesisir. Hutan mangrove
merupakan tipe hutan yang khas dan tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai
yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah 1
2 pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai di daerah
tropis dan sub tropis (Food and Agriculture Organization /FAO, 2007). Sedangkan
ekosistem Mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan
dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya
didalam habitat Mangrove.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove
terbesar dan memiliki kekayaan hayati yang paling banyak. Menurut (Food and
Agriculture Organization atau FAO tahun 2007, luas ekosistem mangrove di
Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara. Kekhasan ekosistem
mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang yang tertinggi di dunia.
Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan
Papua. Luas hutan mangrove di Indonesia berhasil meningkat hingga pada tahun 2019
di mana luasnya menjadi 3,56 juta hektar. Berarti dengan luas 3,56 hektar mangrove
Indonesia tersebut telah menyumbang 22,6% dari luas total ekosistem mangrove
dunia (Food and Agriculture Organization /FAO, 2007). Karena hingga saat ini luasan
mangrove dunia mencapai 16,53 juta hektar. Data ini dikemukakan oleh Direktur
Lingkungan dan Kebencanaan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan
Investasi Sahat M Pangabean pada Conference of the Parties (COP) 25 Konvensi
Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC).
Keberadaan kawasan hutan mangrove ini mendapatkan ancaman berupa
penurunan luas area mangrove jika tidak dilindungi. Hal ini disebabkan karena adanya
alih fungsi lahan menjadi kawasan tambak dan industri, adanya erosi serta abrasi
pantai karena kenaikan muka air laut.
Wibowo dan Handayani (2006) menjelaskan bahwa dengan semakin
meningkatnya pembangunan yang berorientasi pada aspek ekonomi, seperti konversi
hutan mangrove menjadi area permukiman, kegiatan perikanan tambak, rekreasi, dan
sebagainya telah memberi dampak negatif pada keberadaan ekosistem hutan
mangrove. Dahuri dkk (2001) menambahkan bahwa beberapa kegiatan pembangunan
di wilayah pesisir yang dapat memberikan dampak terhadap kelestarian lingkungan
meliputi pembangunan kawasan permukiman, kegiatan industri, rekreasi dan
pariwisata bahari serta konversi hutan menjadi area pertambakan.

2.1. Rumusan Masalah


Beberapa rumusan masalah yang terdapat, diantaranya :
1) Pemaparan umum terkait pengertian, jenis, fungsi dan manfaat, pengelolaan
hutan mangrove, serta kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove?
2) Seberapa besar tingkat kerusakan pada ekosistem mangrove?
3) Faktor factor apa saja yang menjadi penyebab dari kerusakan ekosistem
mangrove?
4) Bentuk strategi / upaya rehabilitasi dalam menangani kerusakan ekosistem
mangrove tersebut?
3.1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, bertujuan untuk :
1) Mengetahui pengertian, jenis, fungsi dan manfaat, pengelolaan hutan
mangrove, serta kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove
2) Mengetahui seberapa besar tingkat kerusakan pada ekosistem mangrove.
3) Mengetahui faktor factor apa saja yang menjadi penyebab dari kerusakan
ekosistem mangrove.
4) Mengetahui bentuk strategi / upaya rehabilitasi dalam menangani kerusakan
ekosistem mangrove tersebut.

4.1. Metode Penelitian


1.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Kamis 8 Juni 2023, pukul 15:15 Wib s/d Selesai.
Lokasi penelitian tepatnya pada daerah Jembatan Sulaiman Badrul Alamsyah di
Jalan Raya Dompak.

Link Google Maps Lokasi Penelitian:


https://maps.app.goo.gl/7Q4bjMWLd4vXKb2Z6
(Denah Lokasi Penelitian)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hutan Mangrove


Asal kata mangrove tidak diketahui secara jelas dan terdapat berbagai
pendapat mengenai asal usul katanya. Macnae (1968) menyebutkan kata mangrove
merupakan perpaduan antara bahasa portugis Mangue dan bahasa Inggris Grove.
Sementara itu, menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari dari Bahasa
melayu kuno mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia alba
dan masih digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian Timur.

Beberapa ahli mendefinisikan istilah mangrove secara berbeda-beda, namun


pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989)
mendefinisikan mangrove baik secara tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut
maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan
daerah litoral yang khas di daerah tropis dan subtropis yang terlindung (saenger, dkk,
1983). Sementara itu Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai
hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara
sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon
Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lummierra, excoecaria,
Xylocarpus, Aegiceras, Scyphiphora dan Nypa.

Indonesia memiliki ekosistem hutan mangrove (mangrove forest) yang cukup


luas yaitu ± 2,5 juta hektar melebihi Brazil 1,3 juta ha, Nigeria 1,1 juta ha dan
Australia 0,97 juta ha (Noor dkk, 1999 dalam kaunang, 2009). Namun demikian,
kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari
tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 5.209.
543 ha sedangkan pada tahun 1993 menjadi 2,496.185 juta ha, terjadi penurunan
luasan hutan mangrove sekitar 47,92 %. Luas hutan mangrove di Sulawesi Utara pada
tahun 1982 adalah 27.300 ha, namu pada tahun 1993 hanya menjadi 4.833 ha. Terjadi
penurunan sekitar 17,70 (Dahuri, 2001 dalam kaunang, 2009).
Oleh karena itu, perlu adanya pemanfaatan dan upaya konservasi yang
berkelanjutan (sustainable)sehingga akan terhindar dari kepunahan. Ekosistem hutan
mangrove disebut juga dengan hutan pasang surut karena hutan ini secara teratur atau
selalu digenangi air laut, atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan terdapat di
daerah litoral yaitu daerah yang berbatasan dengan darat. Ekosistem hutan juga
disebut ekosistem hutan payau karena terdapat di daerah payau (estuari), yaitu
perairan dengan kadar garam/salinitas antara 0,5 % dan 30 % (Indriyanto, 2006).

Dalam surat keputusan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kehutanan


No. 60/Kpts/DJ/1978, hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat disepanjang
pantai atau muaranya sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Sebagian
masyarakat hutan mangrove disebut juga hutan bakau, namun menurut Khazali
(1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau
merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di hutan mangrove.

Bakau diartikan sebagai komunitas tumbuhan yang menutupi bagian lahan


pasang surut daerah tropika. Populasi tumbuhan yang membentuk komunitas bakau
terdiri dari tak ranggas dan belukar yang tidak mempunyai garis kekerabatan dalam
hal taksonomi. Namun populasi tumbuhan yang tumbuh di daerah tersebut memiliki
beberapa kesamaan dalam hal fisiognomi.

Ciri fisiologi, dan penyesuaian struktur terhadap habitat. Kesamaan morfologi


antara tumbuhan adalah perdaunan yang berwarna. Hijau tua berkilap bersenada,
kesemrawutan dan mempunyai akar udara ( pneumatofora dan kecenderungan vivipar
yang dapat dikatakan menonjol (Ewusie,1990 ) Hutan mangrove merupakan
komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah tropik dan didominasi oleh tumbuhan
yang mempunyai akar napas atau pneumatofora dan mempunyai kemampuan untuk
tumbuh di daerah perairan asin. Jenis tumbuhan yang sering dijumpai dalam
ekosistem mangrove adalah genus Avicennia alba, Sonneratia, Rhizophora, Bruguera,
ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, aegiceras aegiatilis. Snaeda dan conocarpus
(indriyanto,2006).
(Dokumentasi Mangrove)

2.2. Jenis-Jenis Hutan Mangrove


Didunia dikenal banyak jenis mangrove yang berbeda-beda. Tercatat telah
dikenali sebanyak sampai dengan 24 famili dan antara 54 sampai dengan 75 spesies
(Tomlinson, 1986 dan Field,1995). Asia merupakan daera yang paling tingi
keanekaragaman dan jenis mangrovenya. Di Thailand terdapat sebanyak 27 jenis
mangrove, di Ceylon ada 32 jenis, dan terdapat sebanyak 41 jenis di filipina. Di benua
Amerika hanya memiliki sekitar 12 spesies mangrove, sedangkan di Indonesia
disebutkan 9 memiliki sebanyak tidak kurang dari 89 jenis pohon mangrove, atau
paling tidak menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis.

Dari berbagai jenis mangrove tersebut, yang hidup di daerah pasang surut,
tahan air garam dan berbuah vivipar terdapat sekitar 12 famili (Irwanto, 2006). Jenis
mangrove yang banyak ditemukan di Indonesia antara lain adalah jenis api-api
(Avicennia alba sp), bakau (Rhizophora sp.), tanjang (Bruguiera sp.) dan bogem atau
pedada (Sonneratia sp.), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak
dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap,
menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya (Irwanto, 2006).

2.3. Fungsi dan Manfaat Mangrove


Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara daratan dan
lautan yang menjadi mata rantai yang sangat penting dalam pemeliharaan
keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, tempat berlindung dan memijah
berbagai jenis udang, ikan, berbagai biota laut, dan juga merupakan habitat seperti
burung, primate, reptilia, insekta, sehingga secara ekologis dan ekonomis dapat
dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan manusia (Sugandhi, 1993).

Fungsi dan manfaat hutan mangrove dibagi kedalam tiga golongan besar yaitu,
secara fisik, dapat menjaga kestabilan garis pantai, mempercepat perluasan lahan,
melindungi pantai dari tebing sungai, dan mengolah bahan limbah, secara biologis,
merupakan tempat pemijahan dan pembesaran benih-benih ikan, udang dan kerang-
kerangan, tempat bersarang dan mencari makan burung-burung, dan habitat alami
bagi kebanyakan biota, secara ekonomi, merupakan salah satu daerah pesisir yang
cocok untuk tambak, tempat pembuatan garam, rekreasi, dan produksi kayu. (Anwar
et, al. 1984).
Mangrove memiliki fungsi dan manfaat penting bagi darat dan laut. Berikut
fungsi fisik, biologis dan ekonomi :

a) Fungsi Fisik
Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan
lumpur dan perangkap sedimen (bengen,2004). Kerapatan pohon mampu
meredam atau menetralisir peningkatan salinitas,perakaran yang rapat akan
menyerap unsur-unsur yang mengakibatkan meningkatnya salinitas, bentukbentuk
perakaran yang telah beradaptasi terhadap kondisi salinitas tinggi menyebabkan
tingkat salinitas di daerah sekitar tegakan menurut (Arief, 2003). Selain itu akar-
akar mangrove dapat pula menahan adanya pengendapan lumpur yang dibawa
oleh sungai-sungai di sekitarnya, sehingga lahan mangrove dapat semakin luas
tumbuh keluar.

b) Fungsi Biologis
Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding
ground) berbagai jenis ikan, udang dan berbagai jenis biota laut lainnya, penghasil
sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove (bengen, 2004).
Daerah hutan mangrove dapat dihuni bermacam-macam fauna. Hewan-hewan
darat termasuk serangga, kera pemakan daun-daunan yang suka hidup dibawah
naungan pohon – pohonan, ular dan golongan melata lainnya. Hewan laut diwakili
oleh golongan epifauna yang beraneka ragam dimana hidupnya menempel pada
batang – batang pohon dan golongan infauna yang tinggal di dalam lapisan tanah
atau lumpur. Kayu dari pohon mangrove itu sendiri adalah suatu hasil produksi
yang berharga (Hutabarat et,al, 1984).

c) Fungsi Ekonomi
Sebagai sumber bahan bakar dan bangunan, lahan untuk perikanan dan
pertanian serta tempat tersediannya bahan makanan (Arief, 2003). Selanjutnya
nontji (2002) menambahkan bahwa berbagai tumbuhan dari hutan mangrove
dimanfaatkan untuk bermacam keperluan. Produk hutan mangrove antara lain
digunakan untuk kayu bakar, pembuatan arang, bahan penyamak (tanin), perabot
rumah tangga, bahan konstruksi bangunan, obat-obatan dan sebagai bahan untuk
industri kertas.

2.4. Pengelolaan Hutan Mangrove


Tujuan utama pengelolaan hutan, termasuk hutan mangrove, adalah untuk
mempertahankan produktivitas lahan hutan sehingga kelestarian hasil merupakan
tujuan utama pengelolaan hutan, kelestarian produktivitas mempunyai dua arti yaitu
kesinambungan pertumbuhan dan kesinambungan hasil panen. (Dahuri, 2001). Selain
itu keseriusan atau komitmen pemerintah dalam pengelolaan mangrove sangat
menentukan dalam keberlanjutan ekosistem mangrove sehingga untuk itu diperlukan
data penelitian ekologi (Kairo et al 2001).
Data yang dimaksud adalah luas tutupan mangrove dan kerapatan seperti pada
kriteria baku kerusakan mangrove untuk menentukan apakah kondisi mangrove yang
ada masih baik atau sudah harus direhabilitasi. Menurut (Saenger et, al, 1983),
menyatakan pengelolaan hutan mangrove harus berdasarkan filosofi konservasi. Hal
ini sebagai langka awal dan mencegah semakin rusaknya ekosistem hutan mangrove
dan mengoptimumkan konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan
manusia dengan tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi
keanekaragaman flora dan fauna yang hidup di dalamnya.

Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan


mangrove dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana
pengelolaan ini harus dijadwalkan dan dikoordinasi secara resmi di dalam rencana
tata ruang daerah dan rencana tata ruang kabupaten. Rencana-rencana tersebut
disusun berdasarkan survey yang akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang
ada dan aspirasi masyarakat yang perlu dinilai dan didengar melalui komunikasi
langsung dan dipertimbangkan dalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan,
pengertian dan kerjasama dengan masyarakat setempat, maka rencana pengelolaan
tersebut tidak akan berfungsi dengan baik (Alikodra, 1999).

Pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk


kepentingan banyak pihak secara seimbang, sehingga terhindar dari orientasi tunggal
yang sempit dan berjangka pendek Dahuri,et, al, (2001). Pengelolaan multiguna juga
akan membawa jangkauan kegiatan yang beragam sehingga membuka pilihan yang
lebih luas bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove.

2.5. Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove


Kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang mengungkapkan
berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan
informasi yang relawan dengan pengambilan keputusan, sehingga dapat dimanfaatkan
di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah publik (Dunn, 1994).
Sebagai disiplin ilmu terapan, kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan
informasi dan argumen-argumen yang masuk akal melalui tiga bentuk pertanyaan
berikut : nilai yang mencapainya merupakan tolak ukur utama untuk melihat apakah
masalah telah selesai, fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan
nilai-nilai, dan tindakan penerapannya yang menghasilkan pencapaian nilai-nilai.

Dunn (1994), mengemukakan bahwa kebijakan pada dasarnya terdiri dari tiga
elemen yaitu: kebijakan publik (public policies) merupakan rangkaian pilihan yang
saling berhubungan termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat
oleh badan atau pejabat pemerintah, selanjutnya diaplikasikan di berbagai bidang
termasuk kebijakan lingkungan hidup. Definisi dan formulasi masalah kebijakan
sangat tergantung dari keterlibatan para pelaku kebijakan (policy stakeholders), yaitu
individu atau kelompok yang mempunyai andil di dalam formulasi kebijakan, karena
mereka berpengaruh dan dipengaruhi oleh keputusan dan kebijakan pemerintah,
kebijakan lingkungan (policy environment) merupakan konteks khusus dimana
kejadian-kejadian di sekeliling isu-isu kebijakan terjadi dapat dipengaruhi oleh
pembuat kebijakan public, dan kebijakan operasional (policy operation) yang
didasarkan pada suatu pijakan landasan kerja, yang merupakan dasar dari kebijakan
yang ditempuh atau dengan kata lain kebijakan merupakan dasar bagi pelaksanaan
atau pengambilan keputusan.

2.6. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove


Luas dari lahan mangrove di Indonesia bagaikan roller-coster yang naik-turun
seiring dengan pergantian pemerintahan. Data dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial (RPLS) yang diambil melalui Citra Satelit Landsat
dengan metode interpretasi manual pada tahun 2007, mencatat ada 7.758.410 ha lahan
mangrove di seluruh Indonesia. Dua tahun berselang, tepatnya di tahun 2009, terdapat
penurunan signifikan dari luas lahan mangrove yang dicatat oleh Badan Informasi
Geospasial dengan menggunakan citra satelit dan metode yang sama, yakni menjadi
3.244.018 ha lahan mangrove di Indonesia.

Angka ini terus mengalami penurunan signifikan dan kenaikan yang tak jauh,
hingga tahun 2017 berdasarkan Satu Peta Mangrove Indonesia yang menggunakan
metode Citra Satelit Landsat dari Badan Informasi Geospasial dengan metode
interpretasi manual, merilis luas lahan mangrove di seluruh Indonesia menjadi
3.361.216. Di samping itu, National Geographic Indonesia pada tahun 2019
menyebutkan bahwa terdapat 50% wilayah hutan mangrove yang musnah. Penelitian
lebih lanjut menunjukkan bahwa 80% hutan mangrove di Pulau Jawa sudah
mengalami kerusakan dan di Jakarta hanya tersisa 99 hektare kawasan hutan
mangrove yang masik menunjukkan ‘kehidupan’, dari 300 hektare kawasan yang
tersedia. Tak hanya itu, Indonesia juga pernah dikenal sebagai negara dengan lahan
mangrove terbesar di dunia, yakni seluas 3,5 juta hektare atau mewakili 20% dari total
lahan mangrove di dunia. Sayangnya, kini terus mengalami degradasi lahan.

Data terbaru yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Tahun 2021, menyebutkan bahwa total luas hutan mangrove di Indonesia mencapai
3.364.076 Hektare. Dari total tersebut, terdapat 93% hutan mangrove lebat, 5% utan
mangrove sedang, dan 2% hutan mangrove jarang. Sebaran hutan mangrove sendiri
jatuh ke Provinsi Papua dengan total luas hutan mangrove lebat lebih dari 1 juta
hektare. Tampak ada penurunan yang sangat signifikan apabila dibandingkan dengan
lebih dari satu dekade belakangan.

(Dokumentasi Bentuk Kerusakan Pada Ekosistem Mangrove)


2.7. Faktor Penyebab Rusaknya Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove memiliki peran penting dalam perencanaan pesisir. Hutan
mangrove memiliki peran antara lain sebagai peredam gelombang dan angin badai,
menjernihkan air, penahan lumpur dan perangkap sedimen, mencegah abrasi dan
erosi, serta masih banyak peran lainnya. Namun saat ini kondisi hutan mangrove di
pesisir Indonesia dalam keadaan yang memprihatinkan.
Ada 2 faktor besar yang menyebabkan rusaknya hutan mangrove di Indonesia
yaitu faktor manusia dan faktor alam.

a) Faktor manusia, merupakan faktor paling dominan penyebab rusaknya hutan


mangrove. Ekploitasi yang berlebihan dengan melakukan penebangan hutan
mangrove sering dilakukan oleh masyarakat. Selain itu juga dalam hal
pemanfaatan lahan yang berlebihan sehingga sering terjadi membuka lahan baru
dengan memanfaatkan lahan yang ditumbuhi hutan mangrove.

Regulasi-regulasi yang kurang kuat, tumpang tidih dan ketidaksinkronan antar


regulasi membuat hutan mangrove terancam keberlangsungannya. Selain itu
faktor alam memiliki dampak dalam kerusakan hutan mangrove yaitu disebabkan
oleh abrasi dan hama tanaman. Pemanfaatan kawasan hutan mangrove di
Indonesia yang selama ini dikonversi sebagai lahan pertambakan, kenyataannya
telah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap menurunnya luas areal
hutan mangrove di Indonesia, baik itu secara kualitatif maupun kuantitatif.

Permasalahan lain yang terkait dengan rusaknya hutan mangrove adalah


konversi hutan mangrove yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian, lahan
perkebunan, kawasan pemukiman, bangunan dermaga dan berbagai kegiatan
penambangan serta bangunan lainnya yang semakin semarak di kawasan pesisir.
Namun demikian, kontribusinya masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan
dengan kegiatan pertambakan udang dan ikan.

Disamping permasalahan di atas, dampak dari kegiatan pembangunan


dermaga di berbagai wilayah secara tidak langsung akan memicu munculnya
bangunan pertokoan dan pemukiman, sehingga pada akhirnya juga akan semakin
menambah perambahan hutan mangrove. Selanjutnya, dengan berkembangnya
kota dan pemukiman penduduk semakin bertambah tentunya akan menyebabkan
semakin banyak sampah rumah tangga dan berbagai bahan polutan yang dibuang
ke kawasan perairan pesisir.

Oleh karena itu, dengan menurunnya areal hutan mangrove yang cukup drastis
pada beberapa dekade terakhir ini, akan menimbulkan dampak yang cukup rumit
dan sangat kompleks, antara lain adalah terjadinya erosi garis pantai, intrusi air
laut, banjir, menurunnya kualitas perairan dan selanjutnya menyebabkan
menurunnya produksi perikanan.

b) Faktor alam, kerusakan mangrove disebabkan oleh adanya abrasi, kurang


mengindahkan daya dukung lingkungan pantai, serta kurangnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat disekitar pantai tentang ekosistem mangrove secara
ekologis/ekonomis.

2.8. Stragtegi /Upaya Rehabilitasi Hutan Mangrove Melalui Kegiatan


Reboisasi
Rehabilitasi lahan adalah suatu upaya dalam pemulihan dan memperbaiki serta
meningkatkan kondisi lahan sehingga lahan yang rusak dapat difungsikan secara
optimal menjadi lebih baik sehingga media pengaturan tata air, sebagai 16 unsur
melindungi alam dan lingkungannya serta menjadi unsur penghasil (Wahono, 2002)
Reboisasi adalah salah satu upaya mengembalikan sumber daya alam yang juga
termasuk dalam upaya rehabilitasi.

Reboisasi merupakan penanaman kembali (penghijauan) hutan yang telah


hilang keberadaannya. Proses rehabilitasi dan reboisasi hutan bakau yang dimulai dari
proses penanaman, dirawat dan penyulaman. Hal ini dapat dilakukan oleh berbagai
pihak termasuk masyarakat sekitar (Rochani, 2007). Keadaan kawasan hutan bakau
(mangrove) biasanya terancam karena adanya kegiatan perambahan dan eksploitasi
pasir pesisir sehingga perlu adanya kegiatan penghijauan kembali (Antara, 2011).
Reboisasi tersebut bertujuan untuk peningkatan kuantitas penutupan lahan
seoptimal mungkin dan kaya manfaat untuk masyarakat setempat, sehingga tercipta
keselarasan antara fungsi hutan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sebagai
upaya pencegahan terjadinya pengrusakan hutan dan mengembalikan fungsi lahan
kritis. Sehingga diperlukan upaya rehabilitasi (penanaman kembali) hutan dan lahan
yang serius. Definisi lahan kritis yang telah ditetapkan sebagai lahan yang telah
mengalami kerusakan dan kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas
toleransi. Reboisasi (penanaman kembali) juga dilakukan untuk mencegah beberapa
faktor, yaitu:
a) Pencemaran lingkungan
b) Untuk melestarikan hutan
c) Mencegah adanya banjir
d) Mencegah terjadinya global warming

Namun hal tersebut masih belum efektif karena mangrove yang baru ditanam
mudah rusak terkena gelombang laut sehingga dilakukan pembuatan breakwater
(pemecah ombak) yang berfungsi meredam gelombang. Dengan demikian dapat
memberi kesempatan kepada tanaman bakau untuk tumbuh dan berkembang.
Rehabilitasi pada kasus ini memiliki kategori penyelesaian tertentu untuk masing-
masing tingkat kerusakan hutan mangrove. Untuk kategori rusak berat diatasi dengan
pembuatan greenbelt. Sedangkan untuk kerusakan sedang direhabilitasi dengan pola
empang parit. Tambak sistem empang parit pada dasarnya merupakan tambak yang
pelatarannya berada diantara parit, hanya saja pelataran tersebut ditanami oleh
mangrove dan pengairannya diatur dnegan satu buah pintu air.

Pada literatur lain menyebutkan bahwa terkait dengan sebagian besar kondisi
hutan mangrove yang di beberapa pesisir Indonesia yang semakin parah, serta melihat
dengan adanya berbagai peraturan yang telah dicanangkan sebagai payung dalam
pengelolaan hutan mangrove, maka dibuat program kegiatan "pengelolaan dan
rehabilitasi mangrove" yang tepat dan siap atau mudah untuk diterapkan. Adapun
program yang perlu dilkakukan tersebut seyogyanya terdiri dari beberapa komponen,
antara lain adalah sebagai berikut:

a) Membentuk jaringan kerja pengelolaan dan rehabilitasi hutan mangrove di seluruh


Indonesia.
b) Melakukan koordinasi dengan berbagai instansi terkait, baik negeri maupun
swasta (LSM).
c) Mengembangkan Sumber Daya Manusia, dengan cara memberikan kesempatan
training atau sekolah.

Pada beberapa kasus, rehabilitasi hutan mangrove disambut baik oleh


masyarakat kawasan pesisir. Masyarakat juga ikut ambil bagian dalam program
rehabilitasi. Program rehabilitasi perlu direncanakan dengan seksama. Perlu adanya
dukungan dari pihak pemerintah dalam membuat regulasi terkait rehabilitasi
mangrove dan pemberdayaan masyarakat sekitar pesisir. Dengan adanya dukungan
dari kedua pihak tersebut maka program rehabiltasi akan tercapai. Diharapkan dari
program tersebut akan memberikan luaran sebagai berikut :

a) Dapat mewujudkan konservasi sebagai dasar pelestarian hutan mangrove yang


berkaitan dengan aspek perikanan dan ekowisata (ecotourism).
b) Dapat berperan sebagai pusat kegiatan yang bertanggungjawab terhadap
pelestarian hutan mangrove.
c) Mampu mewujudkan pola rehabilitasi dan pengelolaan yang efektiv, sederhana
dan tepat terhadap hutan mangrove.
d) Mampu menghasilkan tenaga (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas dalam
mengelola dan merehabilitasi hutan mangrove.
(Dokumentasi Bersama Para Peneliti)

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan
khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau
kecil, dan merupakan potensi sumber daya alam yang sangat potensial. Hutan
mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan
terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarikan
dan pengelolaannya.Kondisi hutan mangrove pada umumnya memiliki tekanan berat,
sebagai akibat dari tekanan krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Perubahan yang terjadi pada wilayah pesisir dan laut pada umumnya
dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang ada disekitarnya. Tekanan tersebut muncul
dari aktivitas pembangunan seperti pembangunan pemukiman dan aktivitas
perdagangan karena wilayah pesisir paling rentan terhadap perubahan baik secara
alami maupun fisik sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan, salah satunya
adalah ekosistem mangrove.

3.2. Saran
Mangrove merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi
sebagai habitat tempat berkembang biak dan berlindung bagi sumber daya hayati laut
dan harus tetap dipelihara kelestariannya. Dengan semakin meningkatnya kegiatan
pembangunan dapat menimbulkan dampak terhadap kerusakan mangrove, oleh karena
itu perlu dilakukan upaya pengendalian. Salah satu upaya pengendalian untuk
melindungi mangrove dari kerusakan adalah dengan mengetahui adanya tingkat
kerusakan berdasarkan kriteria baku kerusakannya.
Faktor kondisi sosial serta kurangnya pemahaman tentang fungsi dan manfaat
mangrove juga berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem mangrove. Hal ini secara
langsung menimbulkan dampak ekologis yang mengancam 4 kelestarian berbagai
biota pesisir yang menjadikan hutan mangrove sebagai habitat. Oleh karena itu,
perlindungan terhadap Kawasan hutan mangrove perlu untuk terus ditingkatkan
sehingga keberadaan dan kelestarian hutan mangrove sebagai Kawasan lindung tetap
terjaga.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2003. Hutan mangrove fungsi dan manfaatnya. Yogyakarta: Kanisius.

Pramudji. Penanganan Hutan Mangrove Di Kawasan Pesisir Indonesia: Suatu Program Yang
Sangat Mendesak. 2004. sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Rini Novianty, Sukaya Sastrawibawa, Donny Juliandri Prihadi, Universitas Padjadajaran.


Identifikasi Kerusakan dan Upaya Rehabilitasi Ekosistem Mangrove

[KLH]. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara


Lingkungan Hidup Nomor: 201 Tahun 2004 tentang kriteria baku mutu dan pedoman
penentuan kerusakan mangrove. 11hlm.

Anda mungkin juga menyukai