Anda di halaman 1dari 21

PROPOSAL PENELITIAN

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI HUTAN MANGROVE YANG


BERKELANJUTAN DAN TERPADU BERBASIS MASYARAKAT, DI
KECAMATAN MEPANGA, KABUPATEN PARIGI MOUTONG

Oleh :

Mega Wulandari
Stb. F23118002

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TADULAKO
2021
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

Kata Pengantar

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
dengan karunianya kami dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian terkait
“Pengelolaan Kawasan Konservasi Hutan Mangrove Yang Berkelanjutan Dan Terpadu
Berbasis Masyarakat, Di Kecamatan Mepanga, Kabupaten Parigi Moutong” untuk
memenuhi tugas metode penelitian . Kami mengucapkan terimakasih banyak atas bantuan
yang telah diberikan oleh dosen penanggungjawab dan dosen pengampu mata kuliah ini,
yang telah membimbing kami hingga proposal ini dapat terselesaikan. Tak lupa juga kami
ucapkan terimakasih banyak kepada pihak-pihak lain yang telah mendukung kami dalam
pengerjaan proposal ini. Kepada orang tua dan teman-teman yang selalu memberikan
semangat sehingga proposal ini dapat terselesaikan dengan baik.

Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan proposal ini,


karena itu kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk proposal ini, semoga isi dari proposal
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Palu, 22 Mei 2021

Penyusun

Mega Wulandari

i
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

Daftar Isi

Daftar Isi.....................................................................................................................................................i
BAB IPENDAHULUAN.............................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................................................ 1
B. Fokus Penelitian............................................................................................................................................ 3
C. Rumusan Masalah......................................................................................................................................... 4
D. Tujuan Penelitian.......................................................................................................................................... 4
E. Manfaat Penelitian........................................................................................................................................ 5
BAB II STUDI KEPUSTAKAAN...............................................................................................................6
A. Kajian Teori....................................................................................................................................6
1. Karakteristik Wilayahh Pesisir............................................................................................................ 6
2. Ekosistem Mangrove............................................................................................................................... 9
3. Konservasi Hutan Mangrove.............................................................................................................. 11
B. Kerangka Pikir............................................................................................................................................. 16
BAB III METODE PENELITIAN...........................................................................................................18
A. Jenis Penelitian............................................................................................................................................ 18
B. Tempat Penelitian...................................................................................................................................... 18
C. Instrumen Penelitian................................................................................................................................. 18
D. Sampel Sumber Data Penelitian........................................................................................................... 19
E. Teknik Pengumpulan Data...................................................................................................................... 19
F. Teknik Analisis Data.................................................................................................................................. 19
BAB IV JADWAL PENELITIAN.............................................................................................................23
A. Jadwal Penelitian........................................................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................24

ii
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

Daftar Tabel

Tabel III. 1 Standar Baku Kerusakan Hutan Mangrove.........................................................................20


Tabel III. 2 Kriteria Nilai Keanekaragaman Jenis Vegetasi Mangrove..................................................21
YTabel IV. 1 Jadwal Kegiatan…………………………………………………………………………………….
…….23

iii
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wilayah pesisir umumnya memiliki kompleksitas yang tinggi, baik secara ekonomi
maupun secara ekologi (Bengen, 2004). Berbagai ragam bentuk aktivitas masyarakat
dalam memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dibidang perekonomian seperti
budidaya ikan dan udang ditambak, budidaya rumput laut, budidaya kepiting,
pariwisata, industry, pemukiman, perhubungan dan berbagai aktivitas lainnya. Aktivitas
masyarakat diwilayah pesisir ini cenderung menimbulkan dampak yang kurang baik
terhadap keberlanjutan ekologi diwilayah pesisir terutama ekosistem hutan mangrove.

Hutan mangrove mempunyai karakteristik yang unik dibandingkan dengan


formasi hutan lainnya. Keunikan hutan tersebut terlihat dari habitat tempat hidupnya,
juga keanekaragaman flora, yaitu: Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, dan tumbuhan
lainnya yang mampu bertahan hidup disalinitas air laut, dan fauna yaitu kepiting, ikan,
jenis Molusca, dan lain-lain. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis yang sangat
penting bagi kawasan pesisir yaitu sebagai pelindung garis pantai, mencegah intrusi air
laut, sebagai habitat berbagai jenis burung, dan lain-lain (Kustanti, 2011).

Hutan mangrove di Indonesia tersebar di beberapa provinsi di berbagai gugusan


kepulauan. Luasan hutan mangrove di Indonesia lebih kurang 3,7 juta hektar yang
merupakan hutan mangrove terluas yang ada di Asia dan bahkan di dunia (Kementerian
Kehutanan, 2013). Menurut Cifor (2012), luas hutan mangrove di Indonesia telah
mengalami penurunan 30-50% dalam pada setengah abad terakhir ini karena
pembangunan daerah pesisir, perluasan pembangunan tambak, abarasi air laut, dan
penebangan yang berlebihan.

Pesisir pantai Kabupaten Parigi Moutong memiliki panjang 472 Km dengan tipe
morfologi pantai yang relatif landai dan tak banyak berteluk. Dengan posisi pantai

1
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

terletak di bagian dalam Teluk Tomini menyebabkan perairan laut sekitar wilayah
Kabupaten Parigi Moutong relatif lebih tenang dibandingkan dengan wilayah laut
sekitar mulut Teluk Tomini.

Mangrove di wilayah pantai Kabupaten Parigi Moutong tersebar meluas di


sebelah utara dan selatan. Di sebelah utara, mangrove tumbuh pada tipe habitat yang
landai, tersedimentasi, atau berupa kolam yang sudah dibatasi endapan pasir di sebelah
laut yang memiliki ketinggian di atas capaian air laut saat pasang tertinggi. Lokasi
sebelah laut yang lebih banyak terendam, berpasir halus dan lumpur tebal umumnya
didominasi oleh Rhizophora spp. Di bagian tengah Rhizophora spp. hadir bersama
dengan B. gymnorrhiza. Dekat daratan yang hanya dijangkau air laut saat pasang tinggi
umumnya didominasi oleh C. tagal. Beberapa spesis lainnya seperti Xylocarpus sp., dan
H. littoralis sering hadir di lokasi seperti ini tetapi dalam jumlah yang tidak banyak.
Tempat-tempat yang berbatasan dengan daratan dan hanya dijangkau air laut saat
pasang tertinggi, biasanya bersubstrat keras, ditumbuhi oleh berbagai spesies mangrove
terutama S. hydropillacea, A. aureum, A. illicifolius, A. corniculatum (Dinas Lingkungan
Hidup Kabupaten Parigi Moutong, 2020) .

Khusus untuk Kecamatan Mepanga, terdapat kawasan hutan mangrove seluas


73.20 ha. Dengan kondisi mangrove masuk dalam indicator baik dan sedang. Luas
kawasan mangrove yang tergolong baik adalah seluas 58.48 ha, sementara yang
tergolong dalam kondisi sedang seluas 14.72 ha. Secara umum kondisi mangrove di
Kecamatan Mepanga masih dalam kondisi baik. Namun dalam hal luasan, lahan hutan
mangrove mengalami degradasi, hal ini dikarenakan beberapa faktor diantaranya alih
fungsi lahan, perubahan penggunaan lahan dan juga pertambahan jumlah penduduk
menjadi salah satu faktor pendukung terdegradasinya luas kawasan mangrove.

Meskipun saat ini kondisi kawasan hutan mangrove tergolong dalam kondisi
baik, pengelolaan kawasan hutan mangrove, tetap diperlukan. Agar kondisi ini terus
terjaga bahkan menjadi lebih baik lagi. Hal ini di karenakan keberadaan ekosistem
mangrove di Kecamatan Mepanga sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi
masyarakat disekitarnya. Mata pencaharian penduduk sehari-hari di Kecamatan

2
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

Mepanga sangat bervariasi. Selain sebagai pegawai pemerintah dan swasta, masyarakat
di Kecamatan Mepanga juga bekerja sebagai nelayan, pedagang, petani dan juga buruh
(BPS, Kecamatan Mepanga Dalam Angka, 2018). Kondisi sosial ekonomi yang beragam
ini merupakan potensi besar dalam melestarikan ekosistem mangrove, karena secara
umum masyarakat tidak terlalu menggantungkan perekonomiannya pada ekosistem
mangrove. Dalam hal ini masyarakat banyak memanfaatkan nilai ekologis keberadaan
ekosistem mangrove terutama dalam mencegah abrasi pantai. Besarnya manfaat
ekosistem mangrove bagi masyarakat di Kecamatan Mepanga, baik secara ekologis
maupun ekonomis, dapat menumbuhkan semangat dan motivasi untuk melestarikan
ekosistem mangrove.

Oleh karena itu, program pemberdayaan dan kebijakan pemerintah sangat


diperlukan dalam pengelolaan kawasan konservasi hutan mangrove di Kecamatan
Mepanga. Dalam pengelolaan kawasan konservasi hutan mangrove ini diperlukan
peran serta berbagai pihak, mulai dari masyarakat, stakeholder/swasta dan juga
pemerintah untuk meningkatan kepedulian terhadap kelestarian ekosistem mangrove.
Sehingga dengan adanya peran serta semua pihak dalam pengelolaan konservasi hutan
mangrove dapat meningkatkan kelestarian lingkungan, khususnya lingkungan pesisir.
Juga peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kehidupan sosial ekonomi tanpa
merusak lingkungan. Dengan peningkatan kesadaran dan kepedulian terhadap
lingkungan yang sedemikian rupa, maka pengelolaan kawasan konservasi hutan
mangrove yang berkelanjutan dan terpadu dapat dicapai.

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka fokus penelitian ini adalah
sebagai berikut:

1. Struktur dan komposisi vegetasi hutan mangrove di Kecamatan Mepanga


2. Program pemberdayaan dalam pengelolaan kawasan konservasi mangrove
di Kecamatan Mepanga
3. Dimensi sosial dan keberagaman kearifan lokal di Kecamatan Mepanga

3
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

4. Hubungan antara kelestarian hutan mangrove dengan partisipasi, dimensi


sosial dan kearifan lokal masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan
hutan mangrove di Kecamatan Mepanga.

C. Rumusan Masalah
Pengelolaan kawasan hutan mangrove sangat penting, karena besarnya manfaat
ekosistem mangrove, baik secara ekologi maupun ekonomi bagi masyarakat di kawasan
pesisir Kecamatan Mepanga. Mempertimbangkan betapa besarnya manfaat ekosistem
mangrove bagi kehidupan masyarakat, maka penelitian ini dilakukan kajian tentang:

1. Bagaimana struktur dan komposisi vegetasi hutan mangrove di Kecamatan


Mepanga?
2. Bagaimana program pemberdayaan dalam pengelolaan kawasan konservasi
mangrove di Kecamatan Mepanga?
3. Bagaimana dimensi sosial dan keberagaman kearifan lokal di Kecamatan
Mepanga?
4. Bagaimana hubungan antara kelestarian hutan mangrove dengan partisipasi,
dimensi sosial dan kearifan lokal masyarakat dalam mengelola dan
memanfaatkan hutan mangrove di Kecamatan Mepanga?

D. Tujuan Penelitian
Mengacu pada permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka tujuan yang
ingin dicapai pada penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi hutan mangrove di


Kecamatan Mepanga.
2. Untuk mengetahui program pemberdayaan dalam pengelolaan kawasan
konservasi mangrove di Kecamatan Mepanga.
3. Untuk mengetahui dimensi sosial dan keberagaman kearifan lokal di
Kecamatan Mepanga.
4. Untuk mengetahui hubungan antara kelestarian hutan mangrove dengan
partisipasi dimensi sosial dan kearifan lokal masyarakat dalam mengelola
dan memanfaatkan hutan mangrove di Kecamatan Mepanga.

4
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, baik dari segi
teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan alternative


yang dapat dipilih dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi
hutan mangrove yang berkelanjutan dan terpadu mengingat ekosistem hutan
mangrove memiliki manfaat yang besar sebagai zona penyangga di kawasan
pesisir.

2. Manfaat Praktis
a. Menjadi bahan perbandingan apabila ada penelitian yang sama sebagai
referensi peneliti yang akan datang.
b. Diharapkan bisa menjadi masukan untuk pemerintah, masyarakat atau
instansi terkait dalam pengambilan kebijakan terkait pengelolaan dan
pemanfaatan kawasan konservasi hutan mangrove, serta mengoptimalkan
hubungan antara kelestarian hutan mangrove dengan partisipasi, dimensi
sosial dan kearifan lokal masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan
hutan mangrove, sehingga tercipta sebuah model yang dapat dijadikan
percontohan bagi masyarakat di wilayah pesisir lain dalam mengelola
kawasan hutan mangrove.

5
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

BAB II

STUDI KEPUSTAKAAN

A. Kajian Teori
1. Karakteristik Wilayahh Pesisir

a. Definisi Wilayah Pesisir


Menurut Direktorat Pesisir dan Lautan (2009), wilayah pesisir merupakan
pertemuan antara darat dan laut, dimana wilayah daratannya masih dipengaruhi oleh
dinamika lautan seperti intrusi air laut dan wilayah perairan lautnya masih dipengaruhi
oleh dinamika daratan seperti terjadinya sedimentasi, aliran air tawar, dan lain
sebagianya yang dipengaruhi oleh kehidupan manusia di darat. Berdasarkan Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, mendefinisikan wilayah pesisir
(coastal zone) adalah wilayah peralihan ekosistem darat dan laut yang saling
mempengaruhi dimana kearah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga
dari wilayah laut itu untuk kabupaten/kota dan kearah darat batas administrasi
kabupaten/kota. Wilayah laut adalah ruang laut yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administrative dan atau aspek fungsional.

Menurut Bengen (2004), wilayah pesisir merupakan suatu lingkup wilayah yang
memiliki kompleksitas tinggi dalam aktivitas. Kompleksitas aktivitas ekonomi yang
terdapat di wilayah pesisir berupa kegiatan perikanan, pariwisata, pemukiman dan
perhubungan. Komplesitas yang tinggi diwilayah pesisir dikarenakan; (1) penentuan
wilayah pesisir baik kearah darat maupun kearah laut sangat bervariasi tergantung
karakteristik lokal kawasan tersebut, (2) adanya keterkaitan ekologis (hubungan
fungsional) baik antar ekosistem didalam kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut
lepas, (3) sumber daya wilayah pesisir memiliki berbagai jenis sumber daya dan jasa
lingkungan, sehingga menghadirkan berbagai pemanfaatan sumber daya pesisir yang
dapat menimbulkan berbagai konflik kepentingan antar sektor dan pembangunan, (4)

6
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

secara sosial ekonomi wilayah pesisir biasa dihuni oleh lebih dari satu kelompok
masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda, (5) adanya sifat common property
dari sumber daya pesisir yang dapat mengakibatkan ancaman terhadap sumber daya
tersebut, (6) sistem sosial budaya masyarakat pesisir memiliki ketergantungan
terhadapa fenomena alam.

b. Potensi Sumber Daya Alam Pesisir


Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan
(interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumber daya alam
dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya (Clark, 1996). Kekayaan ini mempunyai daya
tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumber daya alam tersebut
dan mendorong berbagai instansi terkait untuk meregulasi pemanfaatannya.

Menurut Kusumatanto et al. (2006), potensi sumber daya pesisir dan laut terdiri
dari (1) potensi sumber daya perikanan berupa sumberdaya perikanan tangkap dan
perikanan budidaya; (2) potensi sumberdaya energy dan mineral berupa minyak, gas
timah, perak, emas, pasir kuarsa, pasir besi, posporit, kromit, methan dan lain
sebagainya; (3) potensi perhubungan laut; dan (4) potensi wisata bahari.

Berbagai ragam sumber daya hayati pesisir yang penting dan dapat diperbaharui
adalah hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, rumput laut, dan perikanan.
Hutan mangrove adalah kawasan yang unik yang merupakan peralihan antara
komponen darat dan laut, yang berisi vegetasi laut dan perikanan pesisir yang tumbuh
didaerah pantai dan sekitar muara sungai selain dari formasi hutan pantai. Vegetasi ini
secara teratur digenangi oleh air laut serta dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasi
mangrove dicirikan oleh jenis-jenis tanaman bakau (Rhizoporha spp), api-api (Avicennia
spp), prepat (Sonneratia spp) dan tinjang (Brugulera spp). Indonesia merupakan negara
yang memiliki luas mangrove terluas di dunia. Pada tahun 2005 diperkirakan luas
mangrove di Indonesia 3,062,300 ha atau 19% dari luas hutan mangrove di dunia (FAO,
2007). Dan di Kabupaten Parigi Moutong luas hutan mangrove berkisar 1.729 ha (Dinas
Lingkungan Hidup Kabupaten Parigi Moutong, 2020).

7
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

Menurut Djamali (2004), potensi sumber daya alam yang cukup melimpah,
kondisi penduduk, pesatnya pertumbuhan pembangunan diwilayah pesisir dan laut
secara umum menyebabkan terjadinya dua permasalahan utama diwilayah pesisir yaitu:
(1) rendahnya kualitas sumber daya manusia; dan (2) kurangnya informasi
pengembangan sumber daya alam, rendahnya tingkat pendidikan akan berpengaruh
pada rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan. Keadaan ini menyebabkan
kurang berkembangnya diversifikasi usaha dan kurang berkembangnya teknologi pasca
panen sehingga tidak mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. kurangnya
pemahaman dan pengertian masyarakat tentang fungsi dan dan sumberdaya alam hutan
mangrove menyebabkan rendahnya upaya pelestarian terhadap kawasan hutan
mangrove.

c. Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama-sama
mendiami wilayah pesisir, membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait
dengan ketergantungan pada pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan pesisir.
Biasanya mereka bekerja dibidang perikanan, baik sebagai nelayan penangkap ikan
maupun nelayan pengumpul. Menurut Efrizal (2009), pada masyarakat pesisir terdapat
banyak kelompok kehidupan masyarakat diantaranya (1) masyarakat nelayan tangkap;
merupakan kelompok masyarakat pesisir yang mata pecaharian utamanya adalah
menangkap ikan di laut. Kelompok ini dibagi lagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional. Kedua kelompok ini dapat
dibedakan dari jenis kapal atau peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah
tangkapannya. (2) masyarakat nelayan pengumpul; merupakan kelompok masyarakat
pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. (3) masyarakat
nelayan buruh; merupakan kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak dijumpai
dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari masyarakat nelayan berupa kemiskinan
yang selalu membelenggu kehidupan mereka, karena tidak memiliki modal atau
peralatan yang memadai untuk usaha produktif. (4) masyarakat nelayan tambak dan
masyarakat nelayan pengolah.

8
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

2. Ekosistem Mangrove

a. Definisi Ekosistem Mangrove


Mangrove merupakan sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut
pantai. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland,
vloedbosschen, atau juga hutan payau. Oleh masyarakat semua hutan yang terdapat
dipinggir pantai disebut sebagai bakau. Sebenarnya, hutan tersebut lebih tepat
dinamakan hutan mangrove. Istilah 'mangrove' digunakan sebagai pengganti istilah
bakau untuk menghindarkan kemungkinan salah pengertian dengan hutan yang terdiri
atas pohon bakau Rhizophora spp, karena bukan hanya pohon bakau yang tumbuh di
hutan mangrove. Selain bakau, terdapat banyak jenis tumbuhan lain yang hidup pada
hutan mangrove tersebut (LPP Mangrove Indonesia, 2008).

Mangrove memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan vegetasi


hutan lainnya. Perbedaan hutan mangrove dengan vegetasi hutan lainnya berupa (1)
memiliki jenis pohon yang relatif sedikit, (2) memiliki akar tidak beraturan
(pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau
(Rhizophora spp) serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada
(Sonneratia spp) dan pada api-api (Avicennia spp), (3) memiliki biji (propagul) yang
bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora spp
dan (4) memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon (LPP Mangrove Indonesia,
2008).

b. Lingkungan Hidup Ekosistem Mangrove


Daerah-daerah pantai di Indonesia banyak didominasi oleh hutan mangrove yang
tumbuh subur di kawasan intertidal beriklim tropis. Suburnya mangrove di Indonesia
ditunjang oleh kondisi alami Indonesia yang memiliki iklim tropik disertai oleh curah
hujan yang lebat serta sumber lumpur atau sedimen di pantai yang cocok untuk
pertumbuhan mangrove (Sidik et al., 2002). Ada tiga parameter lingkungan utama yang
sangat menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu suplai air
tawar dan salinitas, pasokan nutrien dan stabilitas substrat (Dahuri, 2003).

9
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

Menurut LPP Mangrove Indonesia (2008), mangrove hidup pada habitat yang
unik dengan ciri-ciri (1) tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau
hanya tergenang pada saat pasang pertama, (2) tempat tersebut menerima pasokan air
tawar yang cukup dari darat, (3) daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus
pasang surut yang kuat, dan (4) airnya mempunyai salinitas payau (2 - 22 permil)
hingga asin. Tumbuhan mangrove memiliki daya adaptasi yang cukup tinggi terhadap
lingkungan pesisir disebabkan oleh (1) perakaran yang pendek dan melebar luas dengan
akar penyangga atau tudung akar yang tumbuh dari batang dan dahan sehingga
menjamin kokohnya batang, (2) berdaun kuat dan mengandung banyak air, (3)
mempunyai banyak jaringan internal penyimpan air dan kosentrasi garam yang tinggi.
Beberapa tumbuhan mangrove seperti Avicennia mempunyai kelenjar yang
mengeluarkan garam pada daunnya, sehingga dapat menjaga keseimbangan osmotik.
Tekanan osmotik yang tinggi pada sel daun memungkinkan air laut terbawa keatas
dengan kecepatan transpirasi rendah, sehingga mengurangi kehilangan air akibat
penguapan (Nybakken, 1992).

c. Manfaat Ekosistem Mangrove


Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling
berkorelasi secara timbal balik. Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki peran
dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem daratan
dan lautan yang secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem
keseluruhan. Bagi wilayah pesisir, keberadaan hutan mangrove sebagai jalur hijau di
sepanjang pantai dan muara sungai sangatlah penting. Hutan mangrove berfungsi
sebagai sumber kayu bakar, tempat hidup dan berpijah ikan dan udang serta
mempertahankan lahan budidaya perikanan, pertanian dan pemukiman penduduk yang
berada di belakangnya dari gangguan abrasi, instrusi dan angin laut yang kencang
(Onrizal, 2002).

Para ahli berpendapat bahwa hutan mangrove memiliki fungsi fisik, fungsi
biologi dan fungsi ekonomi. Fungsi fisik dan biologi sering dikatakan sebagai fungsi
ekologis dan selalu mengalami perubahan akibat aktivitas manusia, sedangkan fungsi
ekonomi merupakan fungsi tambahan dalam unsur ekologis yang melibatkan berbagai

10
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam, baik manfaat langsung
maupun manfaat secara tidak langsung. Arief (1994) dan LPP Mangrove (2008), fungsi
hutan mangrove dapat dipandang dari beberapa aspek yaitu aspek biologi, aspek fisika
dan aspek ekonomi. Ditinjau dari aspek biologi, hutan mangrove memiliki fungsi sebagai
(1) tempat pemijahan (spawning ground) dan pertumbuhan pasca larva (nursery
ground) komoditi perikanan bernilai ekonomis tinggi (ikan, kepiting, udang dan kerang),
(2) pelindung berbagai jenis satwa liar seperti monyet, biawak, buaya dan burung, dan
(3) penyerap karbon dan penghasil oksigen yang sangat berguna bagi peningkatan
kualitas lingkungan hidup, (4) tempat terdapatnya sumber makanan dan unsur-unsur
hara. Daun mangrove berfungsi sebagai sumber bahan organik dan sumber pakan
konsumen pertama yaitu pakan cacing, kepiting dan golongan kerang dan keong yang
selanjutnya menjadi sumber makanan bagi konsumen di atasnya sesuai siklus rantai
makanan dalam suatu ekosistem.

3. Konservasi Hutan Mangrove

a. Definisi Konservasi
Didalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.17/MEN/2008
konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan,
pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya
untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya. Selanjutnya dijelaskan bahwa kawasan konservasi adalah bagian
dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai
suatu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara
berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
secara berkelanjutan.

Pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 Tahun 2008, kawasan
konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil dikategorikan atas empat kategori. Pertama,
suaka pesisir dengan kriteria (1) merupakan wilayah pesisir yang menjadi tempat hidup
dan berkembangbiaknya suatu jenis atau sumber daya alam hayati yang khas, unik,
langka dan dikawatirkan akan punah, dan/atau merupakan tempat kehidupan bagi
11
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

jenis-jenis biota migrasi tertentu yang keberadaannya memerlukan upaya perlindungan


atau pelestarian; (2) mempunyai keterwakilan dari satu atau beberapa ekosistem di
wilayah pesisir yang masih asli dan/atau alami; (3) mempunyai luas wilayah pesisir
yang cukup untuk menjamin kelangsungan habitat jenis sumber daya ikan yang perlu
dilakukan upaya konservasi dan dapat dikelola secara efektif; dan (4) mempunyai
kondisi fisik wilayah pesisir yang rentan terhadap perubahan dan/atau mampu
mengurangi dampak bencana.

Kedua, suaka pulau kecil dengan kriteria (1) merupakan pulau kecil yang menjadi
tempat hidup dan berkembangbiaknya suatu jenis atau beberapa sumber daya alam
hayati yang khas, unik, langka dan dikhawatirkan akan punah, dan/atau merupakan
tempat kehidupan, keberadaannya memerlukan upaya perlindungan, dan/atau
pelestarian; (2) mempunyai keterwakilan dari satu atau beberapa ekosistem di pulau
kecil yang masih asli dan/atau alami; (3) mempunyai luas wilayah pulau kecil yang
cukup untuk menjamin kelangsungan habitat jenis sumber daya ikan yang perlu
dilakukan konservasi dan dapat dikelola secara efektif; (4) mempunyai kondisi fisik
wilayah pulau kecil yang rentan terhadap perubahan dan/atau mampu mengurangi
dampak bencana.

Ketiga, taman pesisir dengan kriteria (1) merupakan wilayah pesisir yang
mempunyai daya tarik sumber daya alam hayati, formasi geologi, dan/atau gejala alam
yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pemanfaatan pengembangan ilmu
pengetahuan, penelitian, pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi sumber
daya alam hayati, wisata bahari dan rekreasi; (2) mempunyai wilayah pesisir yang
cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik serta pengelolaan pesisir yang
berkelanjutan; dan (3) kondisi lingkungan disekitarnya mendukung upaya
pengembangan wisata bahari dan rekreasi.

Keempat, taman pulau kecil dengan kriteria (1) merupakan pulau kecil yang
mempunyai daya tarik sumber daya alam hayati, formasi geologi, dan/atau gejala alam
yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pemanfaatan pengembangan ilmu
pengetahuan, penelitian, pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi sumber

12
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

daya alam hayati, wisata bahari dan rekreasi; (2) mempunyai luas pulau kecil/gugusan
pulau dan perairan disekitarnya yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan
daya tarik serta pengelolaan pulau kecil yang berkelanjutan; dan (3) kondisi lingkungan
disekitarnya mendukung pengembangan wisata bahari dan rekreasi.

b. Pengelolaan Kawasan Konservasi


Menurut Widada, Mulyati dan Kobayashi (2006) bahwa pengelolaan kawasan
konservasi dimulai dengan upaya penataan, perencanaan, perlindungan dan
pengamanan, pembinaan habitat dan populasi, pemanfaatan, pemberdayaan dan
peningkatan kesadaran masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola,
koordinasi, monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan konservasi.

Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007, menyatakan


bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil dilaksanakan dengan tujuan
(1) Melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau kecil serta sistem ekologisnya secara
berkelanjutan; (2) Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (3)
Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai
keadilan, kesimbangan, dan keberlanjutan, dan (4) Meningkatkan nilai sosial, ekonomi
dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi kegiatan perencanaan


dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta proses alami
secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 5 UU No. 27 Tahun
2007). Salah satu bentuk pengelolaan yang dapat dilakukan pada ekosistem wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil adalah dengan melakukan konservasi. Menurut Peraturan
Pemerintah No. 60 Tahun 2007 pasal 6 ayat 1, konservasi ekosistem dilakukan melalui
kegiatan (a) Perlindungan habitat dan populasi ikan, (b) Rehabilitasi habitat dan

13
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

populasi ikan, (c) Penelitian dan pengembangan, (d) Pemanfaatan sumber daya ikan dan
jasa lingkungan, (e) Pengembangan sosial ekonomi masyarakat, (f) Pengawasan dan
pengendalian, dan (g) Monitoring dan evaluasi.

Perlindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya


pengelolaan berkelanjutan. Wujud nyata perlindungan dimaksud dapat dilakukan
melalui penetapan suatu kawasan konservasi suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang
pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan seperti ini cukup efektif dilakukan dan
membawa hasil. Upaya perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan
Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan nomor : KB.550/264/kpts/1984
dan nomor: 082/Kpts-II/1984 tanggal 30 April 1984, disebutkan bahwa lebar sabuk
hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama itu dibuat selain dengan
tujuan utama memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga
untuk menyelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove antar
instansi terkait.

Berkaitan dengan perlindungan ekosistem mangrove dengan penentuan kawasan


konservasi seperti diuraikan diatas, perlu dilakukan suatu zonasi terhadap ekosistem
mangrove dengan tujuan pengaturan berbagai bentuk kepentingan terhadap ekosistem
ini. Menurut Aksornkoae (1993), zonasi mangrove merupakan salah satu langkah
pertama untuk pengawasan dan pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan.
Berdasarkan persetujuan internasional terhadap zonasi mangrove, ada tiga zona utama
didalam kawasan hutan hutan mangrove yaitu: (1) Preservation zone (zona
pemeliharaan); merupakan zona yang kaya akan hutan mangrove, tidak terganggu oleh
aktivitas manusia yang menyediakan sumber makanan dan daerah berbiak biota laut.
Zona ini juga melindungi daerah pantai dari angin, badai dan erosi tanah. (2)
Conservation zone (zona perlindungan); merupakan zona dengan hutan mangrove yang
sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari pemerintah, ditebang dan
dibiarkan hutan mangrove tersebut untuk regenerasi. Pada zona ini juga biasa
digunakan sebagai tempat pemancingan oleh masyarakat lokal. (3) Development zone
(zona pengembangan) merupakan zona dengan penutupan mangrove yang sangat kecil

14
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

karena mengalami kerusakan parah dan dibutuhkan penanaman kembali atau


pengelolaan untuk kepentingan lain.

4. Pengelolaan Terpadu , Berkelanjutan dan berbasis Masyarakat


Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk berbagai kepentingan ekonomi dan ekologi, sehingga potensi konflik
pemanfaatan akan menjadi besar apabila tidak dikelola dengan baik, sehingga terjadi
degradasi lingkungan dan sumber daya pesisir. Untuk meminimal konflik pemanfaatan,
diperlukan pengelolaan secara terpadu dari segenap masyarakat, LSM dan instansi
pemerintah terkait (Direktorat Pesisir dan Lautan, 2009). Ada dua faktor utama yang
mendorong diperlukannya pengelolaan pesisir terpadu yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal bersumber dari permasalahan dari dalam wilayah pesisir
seperti konflik ruang, konflik antar kegiatan, pencemaran lingkungan, tsunami dan lain
sebagainya. Faktor eksternal berasal dari luar konteks wilayah pesisir, misalnya
program-program yang bersumber dari dana internasional, baik melalui program
nasional maupun melalui program internasional, seperti melalui dana dari Asian
Development Bank (ADB), program pengelolaan pesisir terpadu dilakukan melalui
mekanisme proyek internasional Marine and coastal resources Manajemen Project
(MCRMP) yang dimulai sejak tahun 2001.

Menurut Dahuri (1996), pada dasarnya pembangunan berkelanjutan merupakan


suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas pada laju
pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumber daya alam yang ada didalamnya. Ambang
batas yang dimaksud tidaklah bersifat mutlak, melainkan merupakan batasan yang
luwes yang tergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan
sumber daya alam serta kemampuan biosfer untuk meneriman dampak kegiatan
manusia.

Konsep pengelolaan lain berupa pengelolaan berbasis ekosistem juga telah


diperkenalkan oleh Meffe et al. (2002) dalam Nugroho (2009) yang menggambarkan
bahwa pada dasarnya pendekatan ini mengintegrasikan antara pemahaman ekologi dan
nilai-nilai sosial ekonomi. Dalam hal ini, tujuan pengelolaan berbasis ekosistem adalah

15
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

memelihara, menjaga kelestarian dan integritas ekosistem, sehingga pada saat yang
sama mampu menjamin keberlanjutan suplai sumber daya untuk kepentingan sosial
ekonomi manusia. Ada 3 pilar yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan
pengelolaan berbasis ekosistem yaitu ekologi, sosial ekonomi dan institusi.

Menurut Tulungen et al. (2002), pengelolaan berbasis masyarakat merupakan


pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah
setempat. Pengelolaan berbasis masyarakat bertujuan untuk melibatkan masyarakat
secara aktif dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan.
Masyarakat mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri,
sehingga yang diperlukan hanyalah dukungan untuk mengelola dan menyadarkan
masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhannya.
Dalam pelaksanaan suatu kegiatan, dukungan pemerintah memegang peranan penting
dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis serta pengambilan keputusan.

B. Kerangka Pikir
Pada penelitian ini, terdapat pola-pola pemikiran untuk memberikan gambaran
tentang pelaksanaan penelitian yang tertuang dalam sebuah kerangka pikir (Gambar
2.1). Diperkirakan peran dan partisipasi masyarakat menjadi kunci utama dalam
pengelolaan kawasan hutan mangrove yang berkelanjutan dan terpadu, di karenakan
setiap program pemberdayaan disesuaikan dengan keberagaman dan kearifan lokal di
Kecamatan Mepanga, Kabupaten Parigi Moutong.

16
Tugas Metode Penelitian/Mega Wulandari/F23118002

17

Anda mungkin juga menyukai