DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
Luthfi Ramdani Yusuf. E34103015. Studi Keanekaragaman Jenis Reptil
pada Beberapa Tipe Habitat Di Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo
Propinsi Jambi. Dibawah Bimbingan: (1) Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si
dan (2) Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.
Penelitian mengenai reptil di Indonesia pada umumnya dilakukan pada
kawasan yang dilindungi. Belum ada penelitian reptil di Indonesia yang dilakukan
di areal eks-HPH. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun dan membandingkan
keanekaragaman jenis reptil pada beberapa tipe habitat di Eks-HPH PT RKI
Kabupaten Bungo Propinsi Jambi.
Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2007 di Blok Kemarau dan
Blok Pelepat Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo Propinsi Jambi. Metode yang
digunakan adalah pengamatan langsung atau Visual Encounter Survey (VES) pada
jalur (Heyer et al. 1994) pada pukul 08.00-11.00 WIB dan 20.00-23.00 WIB
selama 3 hari berturut-turut. Dilakukan juga pengamatan diluar jalur dan
pemasangan kail berumpan untuk menangkap kura-kura. Data reptil yang
dijumpai pada jalur yang dianalisis dengan menggunakan indeks kekayaan (Dmg),
kemerataan (evenness), peluang perjumpaan (PP).
Suhu udara di lokasi penelitian pada siang hari berkisar antara 20-32oC dan
malam hari 20 26oC. Suhu air rata-rata adalah 22,68 oC. Kelembaban berkisar
antara 36 - 83 %. Ketinggian berkisar antara 375 501 mdpl.
Kekayaan jenis reptil yang dijumpai adalah 31 jenis dari 9 suku. Semua jenis
tersebut merupakan catatan baru untuk kawasan Eks-HPH PT RKI. Tidak ada
jenis reptil yang endemik Sumatera yang dijumpai. Kekayaan jenis tersebut
merupakan 5,20 % dari kekayaan reptil di Indonesia. Kekayaan tertinggi dan
jumlah jenis terbanyak terdapat pada hutan primer dan terendah pada tanah
terbuka. Lebih tingginya keanekaragaman jenis reptil yang dijumpai di hutan
primer daripada di kebun dan tanah terbuka diduga karena hutan primer memiliki
struktur habitat yang lebih beragam daripada habitat lainnya sehingga mampu
menyediakan kebutuhan pakan, shelter dan cover lebih baik. Total jenis yang
dijumpai pada jalur adalah 20 jenis dan sebelas lainnya ditemukan diluar jalur.
Terdapat 2 jenis reptil yang termasuk kategori terancam/vulnerable IUCN dan
appendik II CITES (ATCN 2004) yaitu kura-kura punggung datar (Notochelys
platynota) dan bulus (Amyda cartilaginea).
SUMMARY
Luthfi Ramdani Yusuf. E34103015. Study of Reptile Diversity on Several
Habitat Types in Ex-Forest Concession PT RKI Bungo Regency Jambi
Province. Under supervision of (1) Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si and
(2) Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.
Most of research about reptile in Indonesia were implemented at protected
areas. In ex-forest concessions in Indonesia, there has been no research about
reptiles potential biodiversity. This research aimed to compile and compare
reptile diversity in several habitat types in ex-forest concession PT RKI Bungo
Regency, Jambi.
The study was implemented on July-August 2007 at Kemarau and Pelepat
Block in ex-forest concession PT RKI Bungo Regency, Jambi. The data was
collected by Visual Encounter Survey (VES) in transects (Heyer et al. 1994), at
08.00-11.00 WIB and 20.00-23.00 WIB. observation outside the transects, and
using turtles trap. Collected data was analyzed by species richness index (Dmg),
evenness index (E) and encounter opportunity (PP).
Level of air temperature on research field ranged from 20 to 32oC ine the
daytime and range from 20 to 26oC in the night, while water average temperature
is 22,68 oC. Elevation ranged from 375 to 501 meter up sea level. Relative
humidity ranged from 36 to 83 %.
There were 31 species from 9 families of reptiles recorded at ex-forest
concession PT RKI. All species were new records for the area. There is no
endemic species founded. The species richness represents 5,20% of Indonesian
reptiles. Highest species richness (Dmg) was recorded in primary forest, while the
lowest was in land-cleared area. Primary forest has more varied vegetation and
food supply, shelter and cover compared to other habitats. More varied habitats
structur more diversed wildlife inside (Kreb 1978). Total number of species
recorded inside the transect are 20 species, while 11 species were recorded outside
the transect. There were two species categorized as Vulnerable in IUCN and
Appendix II CITES which are the Broad-backed terrapin (Notochelys platynota)
and Southeast Asian Soft-shelled turtle (Amyda cartilaginea).
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Studi
Keanekaragaman Jenis Reptil Pada Beberapa Tipe Habitat Di Eks-HPH PT RKI
Kabupaten Bungo Propinsi Jambi adalah benar-benar karya saya sendiri dengan
bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah
pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa
NIM
: E34103015
Menyetujui:
Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke
khadirat ALLAH SWT atas rahmat, nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Studi Keanekaragaman Jenis
Reptil Pada Beberapa Tipe Habitat Di Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo
Propinsi Jambi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
bawah bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Yanto Santosa,
DEA.
PT Rimba Karya Indah (PT RKI) berkedudukan di Jambi dan bergerak
dibidang HPH untuk jangka waktu 20 tahun terhitung sejak tanggal 12 Januari
1987. Terdapat beberapa wilayah pengelolaan PT RKI yang berbatasan langsung
dan merupakan bagian dari wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat. Sejak tahun
1999 PT RKI tidak melakukan kegiatannya lagi. Sampai saat ini pengelolaannya
dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat bersama masyarakat.
Kawasan ini belum memiliki data mengenai keanekaragaman jenis reptil.
Penelitian mengenai keanekaragaman jenis reptil pada beberapa tipe habitat di
kawasan Eks-HPH RKI perlu dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman dan
membandingkannya pada setiap tipe habitat. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi data awal dan masukan bagi pemerintah dalam mengelola kawasan dan
manajemen masyarakat sekitar kawasan di Eks-HPH PT RKI. Penelitian ini
diharapkan menjadi pembuka penelitian-penelitian mengenai reptil terutama pada
kawasan HPH atau eks-HPH lainnya.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna dan
tidak tertutup kemungkinan masih terdapat ketidaksesuaian baik dalam penyajian
isi materi maupun tata bahasa maupun dalam hasil yang diperoleh sebagai akibat
dari belum optimalnya usaha dan musim yang kurang tepat selama penelitian.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Bogor, Januari 2008
Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 11 Juni 1984 dari
pasangan Drs. Ahmad Yusuf dan Hj. Nok Dodoh Jubaedah
sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 1990
penulis memulai pendidikan di TK Tunas Kartini Ciamis dan
pada tahun 1991 memulai pendidikan dasar di SD Negeri
Singandaru II. Pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN I
Kawali kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri I Ciamis. Pada tahun
2003 penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa pada Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Ujian Saringan Masuk IPB (USMI).
Selama menjalani pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif di
beberapa kegiatan kemahasiswaan antara lain HIMAKOVA (Himpunan
Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata) sebagai ketua periode
2005-2006,
Kelompok
Pemerhati
Herpetofauna-HIMAKOVA,
IFSA
iii
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyampaikan terimakasih yang tulus dan penghargaan yang
setinggi-setingginya kepada Papah dan Mamah, adiku Irsyad Ilyasi, Neng Rima
Duana, seluruh keluarga besar H Komar dan H Endang Suharlan, kedua dosen
pembimbing skripsi yaitu Dr.Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr.Ir. Yanto
Santosa, DEA, dan juga kepada dosen penguji Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc.
dan Ir. Iwan Hilwan, MS.
Lembaga pemerintah: Dinas Kehutanan Propinsi Jambi (Pak Ohen), Dinas
Kehutanan Kabupaten Bungo (A Iman, Bang Dendi, Mba Dwi, Mba Ikeu), BMG
Sultan Thaha Jambi, BKSDA Bungo (Pak Ikawa), TNKS (Bang Simbolon, Pak
Donal, Pak Firdaus, Pak Tabrani, Pak Saksi, Pak Ijo), LIPI (Dra Hellen Kurniati,
Amir Hamidy M.Si, Mumpuni M.Si), Kepala Desa dan BPD Renah Sungai Ipuh
(Pak Ilyas, Pak Hasan dan keluarga), Kepala Desa Batu Kerbau (Pak Taphrizal
dan Keluarga).
Lembaga/Organisasi bukan pemerintah: Amphibian Specialist Group dari
IUCN yang memberikan dana penelitian Amphibian Seed Grant atas nama Boby
Darmawan yang mana memungkinkan penelitian ini juga berjalan, Wetland
International, MHS Team (Bang Agung, Bang Nata, Bang Charlie, Bang Alex,
Anto, Pak Sutis, dll), Komunitas Sengked (Syakur, Dudi, Firman, Kurdi, dll),
KSHE KOMODO (Boy, Gilang, Rambo, Imran, Deden, Didik, Bilal, Yuyun,
Ayu, Tri, Munif, Tyaz), Tim P3H Indramayu (Ruri, Reren, Adi dll), Tim PKLP
TN Meru Betiri (Topo, Joko, Ade, Santi, Veron), KPH HIMAKOVA, Frog Team
(Mbae Ririn, TNeneng, AWempy, Mba Inggar, Om Yazid, Reza, Lubis, Dian,
Feri, Rima), KPAP KSHE (Bu Evan, Bu Fifi, Pak Acu, Bu Ratna dll).
Perorangan: Keluarga Ardiansyah Putra dan Keluarga Ardiansyah (Kota
Jambi), Keluarga Endang Bunyamin S.H (Palembang), Bang Thamrin, Bang
Ishak, Bang Muslim, Babeh Muhtar, Kakak-kakak kelasku TRika, TCinde,
AUdi, TGaluh, TDiajeng, KHerdi, AIki Ucup (36), Mas Insan, teman-teman
terbaik (Manda, Yulis, Wina, Akhlis, Deni, Hilman, Agung, Riza, Gigin, Yuli,
Yus, Riani, Rika, Eva, Amel, Vina, Shinta, Endah).
Semoga semua kebaikan bapak, ibu, dan sahabat, dibalas dengan yang
terbaik oleh Allah SWT, amin.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
RIWAYAT HIDUP................................................................................................. ii
UCAPAN TERIMAKASIH................................................................................... iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL.................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ viii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Tujuan ..................................................................................................... 2
1.3 Manfaat ................................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Bio-ekologi Reptil................................................................................. 3
2.1.1 Testudines (Kura-kura) ................................................................... 4
2.1.2 Squamata (Kadal dan Ular)............................................................ 5
2.1.3 Habitat Reptil .................................................................................. 6
2.2
2.3
vi
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Daftar kekayaan jenis reptil diseluruh jalur menurut tipe habitatnya ........... 26
7.
8.
9.
vii
DAFTAR GAMBAR
No.
1.
Halaman
Peta sebaran plot pengamatan keanekaragaman jenis reptil
di Eks-HPH PT RKI..................................................................................... 10
2.
3.
4.
Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b) tipe
habitat hutan primer ..................................................................................... 20
5.
Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b) tipe
habitat hutan sekunder ................................................................................. 20
6.
Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b) tipe
habitat kebun karet ....................................................................................... 21
7.
Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b) tipe
habitat kebun sawit....................................................................................... 22
8.
Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b) tipe
habitat tanah terbuka .................................................................................... 23
9.
12.
13.
14.
Dendrogram kesamaan jenis reptil pada jalur pengamatan setiap tipe habitat
di Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo....................................................... 28
15.
16.
viii
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1.
2.
3.
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reptil merupakan salah satu bagian dari kekayaan hayati Indonesia dengan
tingkat endemisitas yang tinggi. Indonesia memiliki 600 jenis (WCMC 1992) dari
7427 jenis reptil yang terdapat di dunia (Obst 1998) dan 150 jenis merupakan
jenis yang endemik (WCMC 1992). Pulau Sumatera memiliki 300 jenis reptil dan
amfibi
dan
23%
diantaranya
merupakan
jenis
endemik
(Conservation
menjadi tempat hidup untuk beberapa jenis reptil. Selain itu beberapa wilayah
pengelolaan PT RKI berbatasan langsung dan sebagian kawasannya merupakan
kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (Sarbi 2000). Hal ini diduga akan
mempengaruhi keanekaragaman reptil diantara kedua wilayah tersebut. Kegiatankegiatan konversi hutan primer yang masih tersisa menjadi perkebunan dan
perladangan dengan cara pembakaran yang tidak teratur dapat menjadi ancaman
pada keberadaan dan keanekaragaman reptil di wilayah tersebut.
Keanekaragaman jenis merupakan salah satu variabel yang berguna bagi
tujuan manajemen pengelolaan dalam konservasi. Perubahan dalam kekayaan
jenis dapat digunakan untuk memprediksi dan mengevaluasi respon komunitas
tersebut terhadap kegiatan manajemen (Nichols et al. 1998). Kegiatan penelitian
dan eksplorasi keanekaragaman jenis reptil pada suatu wilayah yang baru
merupakan kegiatan awal bagi kegiatan penelitian reptil selanjutnya.
1.2 Tujuan
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menyusun
dan
membandingkan
2.
3.
4.
buatan atau di bawah lapisan tanah, serasah untuk ditetaskan. Suhu inkubasi
berbeda pada setiap jenis (Halliday dan Adler 2000).
Menurut Savage (1998) reptil memiliki taksonomi sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub-filum
: Vertebrata
Kelas
: Reptilia
Sub Kelas
: Eureptilia
Super Ordo
Ordo
Obst (1998) menyebutkan bahwa reptil terdiri dari 64 famili, sekitar 987
genus dengan 7.427 spesies (Tabel 1). Indonesia memiliki tiga ordo yaitu:
Testudines, Squamata dan Crocodylia. Tuatara (Ordo Rhynchocephalia)
merupakan reptil primitif yang terdiri dari 1 jenis dan hanya terdapat di Selandia
Baru (OShea dan Halliday 2001).
Tabel 1. Pengelompokan jenis pada kelas reptilia.
Ordo
Crocodilia
Rhynchocephalia
Squamata
Testudinata
Sub-ordo
3 (Amphisbaenia, Serpentes, Sauria)
2
Family
3
1
48
12
Genus
8
1
888
90
Spesies
23
2
7152
250
Reptil ini merupakan satwa yang masih sulit untuk bisa diketahui umurnya.
Beberapa jenis kura-kura misalnya, bisa mencapai umur lebih dari 100 tahun
(McLaren dan Rotundo 1985).
2.1.1 Testudines (Kura-kura)
Salah satu ordo dari reptil ini adalah testudines atau testudinata, yang dalam
bahasa lainnya adalah turtles dan tortoise, dalam bahasa Indonesia adalah kurakura (Obst 1998). Kura-kura berbeda dengan reptil lainnya, yaitu memiliki organ
pelindung seperti perisai yang dinamakan karapas dan plastron. Karapas
menempel menutupi punggung kura-kura dan plastron yang menutupi perut kurakura. Perisai ini terdiri dari sisik yang merupakan lapisan epidermis yang
termodifikasi. Ukuran kura-kura berkisar dari 11-185 cm. Bentuk dan struktur
perisai terdiri dari dua macam yaitu perisai yang keras dan perisai yang lunak.
(Halliday dan Adler 2000).
Testudines mencakup jenis yang hidup di laut, perairan darat, maupun darat.
Testudines mewakili sekitar 4% dari seluruh jenis reptil di dunia (Halliday dan
Adler 2000). Kura-kura air tawar cenderung bersifat omnivora, dan kura-kura
darat merupakan herbivora (OShea dan Halliday 2001). Kura-kura terkadang
melakukan pergantian sisiknya (McLaren dan Rotundo 1985). Kura-kura dikenal
sebagai hewan yang lambat, sedangkan penyu dapat berenang hingga kecepatan
32 km/jam (Goin dan Goin 1971). Suhu inkubasi menentukan laju perkembangan
telur dan juga jenis kelamin kura-kura. Semakin tinggi suhu inkubasi maka bayi
yang menetas akan berkelamin betina, dan pada suhu yang lebih rendah akan
berkelamin jantan. Suhu inkubasi berbeda pada setiap jenis (Halliday dan Adler
2000).
2.1.2 Squamata (Kadal dan Ular)
Menurut Bauer (1998), ordo Squamata dibagi lebih lanjut menjadi tiga subordo, yaitu: Sauria/Lacertilia atau kadal; Amphisbaenia; dan Serpentes/Ophidia
atau ular. Kadal merupakan kelompok terbesar dalam reptil. Kadal terdiri dari
3.751 jenis dalam 383 genus dan 16 famili, atau 51% dari seluruh jenis reptil
(Halliday dan Adler 2000); (OShea dan Halliday 2001). Amphisbaenia terdiri
dari 4 famili dan dibagi menjadi 21 genus dan 140 jenis, atau sekitar 2% dari
seluruh reptil. Ular atau Serpentes terdiri dari 2,389 jenis, 471 genus, 11 famili
atau sekitar 42% dari seluruh jenis reptil (Halliday dan Adler 2000).
Tidak banyak kadal yang total ukuran panjangnya melebihi 1 kaki (30 cm)
dan lebih sedikit lagi kadal yang ukurannya melebihi 1 meter (Bauer 1998). Sama
halnya dengan jenis reptil lain, kadal memiliki beragam bentuk, ukuran dan
warna. Ukuran Snout-Vent Length (SVL) kadal berkisar dari 1,5-145 cm, tetapi
sebagian besar berkisar antara 6-20 cm (Halliday dan Adler 2000).
Berbeda dengan reptil-reptil yang lain, ular tidak memiliki kaki, kelopak
mata, atau telinga eksternal. Seluruh tubuhnya tertutup oleh sisik (OShea dan
Halliday 2001). Jumlah, bentuk dan penataan sisik pada ular dapat digunakan
untuk identifikasi jenis (Mattison 1992). Panjang tubuh ular berkisar dari yang
terpendek yaitu kurang dari 15 cm (famili Anomalepididae) sampai yang
visual
(misalnya
Kadal
Iguana), penciuman
(olfactory)
dengan
merupakan bagian yang sangat penting pada habitat reptil karena berperan dalam
membedakan karakteristik setiap habitat dan mempengaruhi ciri-ciri fisik suatu
lingkungan. Pada areal hutan, pepohonan berperan sebagai pengendali iklim
mikro, pengatur suhu dan kelembaban (Goin dan Goin 1971).
Primack
et
al.
(1998)
mengatakan
bahwa
komposisi
Selanjutnya
komunitas
dan
habitat ideal untuk ular, tetapi seekor ular jenis Agkistrodon himalayanus pernah
ditemukan pada ketinggian 4,900 m dpl (Mattison 1992).
2.2 Pemanfaatan Reptil dan Ancaman Konservasinya
Sebagian jenis reptil telah dimanfaatkan oleh manusia sejak dulu untuk
berbagai tujuan seperti: pengobatan tradisional, hewan peliharaan dan produksi
kulit (Cox et al. 1998). Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang dalam
perdagangan satwaliar terutama burung, reptil hidup maupun kulit reptil itu
sendiri dan koral tetapi belum tersedia suatu hasil analisa yang menyeluruh
tentang perdagangan tersebut (Iskandar dan Erdelen 2006). Indonesia merupakan
salah satu negara pengekspor satwaliar dan produk-produk lanjutannya dalam
jumlah yang cukup besar (Nash 1993, diacu dalam Iskandar dan Erdelen 2006).
Negara yang menjadi target ekspor salah satu produk satwaliar tersebut yaitu
daging kura-kura adalah Cina karena negara ini merupakan konsumen utama
daging kura-kura di dunia (Gibbons et al. 2000).
Sampai dengan tahun 1999, Dirjen PHKA mencatat sebanyak 161 spesies
kulit reptil dari Indonesia yang diperdagangkan ke luar negeri, sedangkan
sejumlah 54 jenis diantaranya diperdagangkan dalam bentuk kulit, daging, karapas
dan bentuk jadi (Soehartono dan Madiastuti 2003).
Faktor-faktor yang menjadi ancaman besar terhadap kelestarian reptil yaitu
semakin tingginya tingkat konversi dan kerusakan lahan, terutama di Pulau
Sumatera. Hutan dataran rendah Sumatera menyusut sangat drastis, dan
diperkirakan akan habis pada tahun 2010 bersama dengan hutan dataran rendah
Kalimantan. Laju kerusakan hutan tersebut terutama disebabkan oleh alih fungsi
lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) untuk
pulp dan kertas. Hal tersebut menjadi ancaman pada keanekaragaman hayati
Sumatera khususnya reptil (Iskandar dan Erdelen 2006). Menurut Gaulke et al.
1998 diacu dalam Iskandar dan Erdelen 2006) diketahui bahwa di area kebun
sawit di Sumatera Utara tidak ditemukan satwaliar yang habitat aslinya berasal
dari hutan. Kondisi demikian menegaskan bahwa konversi hutan alam menjadi
kawasan agroforestry akan menyebabkan kepunahan terhadap kebanyakan jenis
yang awalnya berada di areal tersebut (Iskandar dan Erdelen 2006).
2.3
Ukuran
Keanekaragaman
Mempengaruhinya
Jenis
dan
Faktor-faktor
yang
10
11
yang digunakan dalam pengambilan data reptil diantaranya: alat penangkap ular,
alat suntik, alkohol 70%, buku panduan lapang (field guide) reptil: (Snake of
Sumatera, Snake of Malaya, Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini,
Snake and The Other Reptiles of Peninsular Malaysia, Singapore and Thailand),
headlamp, baterai, jam, kapas, kamera digital, kantung spesimen, kaliper, kertas
label, benang, kail, spidol permanen, tempat spesimen, timbangan (30 gram, 100
gram, 12.500 gram) dan tongkat kayu. Alat untuk mengukur faktor lingkungan
yaitu: thermohigrometer otomatis, thermometer air raksa, Stop watch, bola
pingpong, busur derajat dan meteran. Dokumentasi, pencatatan, pengolahan data
dan pembahasan menggunakan alat-alat seperti: kamera digital, kamera SLR,
film, alat tulis, tally sheet, dan seperangkat komputer.
3.3 Jenis Data
Jenis data yang diambil pada penelitian terdiri dari data primer yang
merupakan data biologi dan ekologi reptil, meliputi: nama jenis, jumlah individu
tiap jenis, jenis kelamin, bobot tubuh, SVL (snout vent length) atau panjang dari
moncong hingga tulang ekor, panjang ekor, waktu perjumpaan, aktivitas, posisi
horizontal dan vertikal dalam jalur pengamatan, dan substrat saat ditemukan. Data
habitat yang diambil yaitu: kondisi cuaca, suhu air, suhu dan kelembaban udara,
substrat dasar perairan, rata-rata lebar air, rata-rata kedalaman badan air,
ketinggian (mdpl), dan vegetasi. Sedangkan data sekunder yang diambil adalah
kondisi umum lokasi penelitian dan curah hujan.
3.4 Pengumpulan data
Pengambilan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu: pengamatan
dengan metode Visual Encounter Survey (VES) (Heyer et al. 1994) pada jalur
akuatik (perairan) dan terestrial (darat), pengamatan diluar plot dan pemasangan
perangkap/kail untuk kura-kura. Metode Visual Encounter Survey (VES)
merupakan salah satu metode yang efektif untuk survei herpetofauna di hutan
hujan (Doan 2003).
Langkah-langkah pengambilan data reptil yang dilakukan meliputi pra
pengamatan, pengumpulan spesimen, pengukuran dan identifikasi spesimen, dan
preparasi spesimen. Dalam kegiatan pra pengamatan dilakukan penentuan lokasi
pengamatan dan pembuatan jalur darat sepanjang 800 m dan jalur perairan
12
13
20 m
2m
5m
S 1
lnN
ni
ni
N ln N
14
H'
ln S
PP =
ni
t
PP = peluang perjumpaan
ni = jumlah ind jenis ke-i
t = waktu pengamatan
Pembuatan dendrogram dengan program Minitab 14 dengan rumusan ward
analisis
vegetasi
15
Frekuensi
Dominasi
16
PT Rimba Karya Indah (PT RKI) berdiri pada tanggal tanggal 8 Desember
1983, dan disahkan Menteri Kehakiman RI melalui Surat Keputusan No. C21143-HT
01.0.1TH.1984.
Perusahaan
bergerak
dibidang
HPH
dan
Menurut klasifikasi iklim dari Schmidt & Ferguson, areal kerja HPH PT
RKI termasuk kedalam tipe iklim A yang berarti daerah basah, dengan vegetasi
hutan hujan tropis, dan bulan kering rata-rata 0,0-0,5 bulan. Berdasarkan data dari
17
BMG Jambi, curah hujan rata-rata di lokasi penelitian dari dua tahun sebelumnya
adalah 2345,5 mm/tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 92 hari hujan tiap
tahunnya dan khusus bulan Juli-Agustus memiliki 3-9 hari hujan.
Suhu udara di areal ini termasuk relatif sedang dengan suhu rata-rata
bulanan sebesar 27,9 C. Kelembaban udara termasuk tinggi dengan kelembaban
berkisar antara 77 - 97% dengan rata-rata 94% (Sarbi 2000). Berdasarkan
pengukuran faktor-faktor lingkungan (suhu, kelembaban, ketinggian) di seluruh
plot pengamatan, suhu udara berkisar antara 20 - 32oC pada siang hari dan
berkisar 20 - 26 oC pada malam hari. Suhu air rata-rata adalah 22,68
C.
Jalur Pengamatan
Hutan Primer Akuatik
Hutan Primer Terestrial
Hutan Sekunder Akuatik
Hutan Sekunder Terestrial
Kebun Karet Akuatik
Kebun Karet Terestrial
Kebun Sawit Akuatik
Kebun Sawit Terestrial
Tanah terbuka Akuatik
Tanah terbuka Terestrial
Altitude
(mdpl)
RH
rata-rata (%)
375
375
534
534
472
472
501
501
411
411
76.50
76.00
77.83
76.17
65.92
65.00
68.25
63.50
69.25
69.00
Suhu udara
rata-rata (C)
Siang Malam
22.30
22.30
24.20
23.40
23.42
22.83
23.00
21.33
23.50
23.27
24.20
22.30
25.50
22.92
24.08
23.58
24.50
23.30
24.50
23.30
Suhu air
rata-rata
(C)
22.17
20.63
23.50
22.94
24.09
Topografi
datar
berbukit
datar
sedang
datar
datar
datar
datar
datar
datar
Areal kerja HPH PT RKI mempunyai topografi bervariasi dari datar sampai
sangat curam dengan ketinggian bervariasi dari 190 mdpl hingga 1.670 mdpl.
Tanah di areal HPH PT RKI ini terdiri dari Podsolik Merah Kuning (PMK) seluas
26.350 ha (30,29%), Organosol seluas 35.006 ha (40,24%), Latosol seluas 16.052
ha (18,44%), Litosol seluas 9.099 ha (10,46%) dan Aluvial seluas 493 ha (0,57%)
(Sarbi 2000). Adapun sungai-sungai yang mengalir di daerah ini antara lain S.
Batang Tebo, S. Pelepat, S. Tabir dan S. Kemarau, merupakan sungai yang cukup
terjal dengan substrat dasar pasir dan batu (Sarbi 2000).
Tabel 3. Karakteristik Sungai dan Kecepatan Arus di Areal HPH PT RKI (Sarbi
2000)
No
1
2
3
4
Sungai
Batang Tebo
Pelepat
Tabir
Kemarau
Lebar
(m)
20-25
15-20
10-20
15-20
Kedalaman
(m)
2-8
2-5
0,5-5
0,5-5
Panjang
(km)
37,50
74,25
49,75
Kecepatan Aliran
(m/dtk)
0,693
0,133
0,318
0,558
Debit
(m3/dtk)
78.000
8.125
13.125
26.857
18
grandiflora),
durian
hutan
indicus). Beberapa jenis burung yang dilindungi seperti elang hitam (Ichtinaetus
malayensis), elang rawa timur (Circus spilonotus), elang ular (Spilornis cheela),
enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), caladi batu (Meiglyptes tristis), pecukpadi hitam (Phalacrocorax sulcirostris), Pelatuk kundang (Reinwardtipicus
validus), dan kuau raja (Argusianus argus). Jenis-jenis reptili yang dilindungi
diantaranya: biawak abu-abu (Varanus nebulanus), labi-labi (Chitra indica), kurakura (Orlitia bornensis), ular hijau (Chondropython viridis), dan sanca bodo
(Phyton molurus) (Sarbi 2000).
4.5. Kondisi Habitat Di Lokasi Penelitian
19
Habitat hutan primer yang menjadi lokasi pengambilan data adalah Hutan
Adat Desa Batu Kerbau yang diasumsikan sebagai kondisi awal sebelum
terjadinya penebangan oleh PT RKI. Hutan adat tersebut merupakan habitat
berhutan dengan komposisi vegetasi alami, dengan strata tajuk lengkap, heterogen
dan dilindungi adat sehingga sangat terjaga dari perusakan. Semua tipe habitat
tersebut mengalami perlakuan yang berbeda-beda oleh manusia dan memiliki
intensitas interaksi yang beragam dengan manusia.
Pada awal beroperasinya HPH PT RKI, hutan primer yang terdapat pada
kawasan ini seluas 17.745 ha (Sarbi 2000). Hutan Adat Desa Batu Kerbau
diasumsikan sebagai habitat hutan primer yang terdapat di kawasan Eks-HPH PT
RKI dengan luas hanya 472 ha. Areal hutan ini relatif lebih terjaga karena
dilindungi oleh adat masyarakat setempat sejak tahun 1988. Bersama WARSI
sebagai fasilitator, pada bulan Juli 2000 masyarakat Desa Batu Kerbau sepakat
untuk bersama-sama mengukur dan memetakan hutan adat desa Batu Kerbau.
Berdasarkan hasil pemetaan dan berbagai pertemuan yang dilakukan, maka
lahirlah Piagam Kesepakatan Masyarakat Adat Desa Batu Kerbau Untuk
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Gambar 3. Aturan adat yang mengatur pengelolaan Hutan Adat Desa Batu
Kerbau.
Jarak Hutan Adat ini dari pemukiman penduduk Desa Batu Kerbau sekitar 3
kilometer dan bisa ditempuh dalam 1 jam perjalanan penduduk setempat.Untuk
mencapai pemukiman Desa Batu Kerbau diperlukan waktu sekitar 4-5 jam dari
Muara Bungo dan hanya dihari-hari tertentu mobil tersebut ada. Sulitnya
transportasi dan tidak banyak orang yang memahami kawasan Hutan Adat Desa
Batu Kerbau menyebabkan hanya satu tipe habitat di Blok Pelepat yang diambil
20
datanya. Terdapat air terjun tujuh tingkat dengan nama lokal Telun Tujuh. yang
letaknya sekitar 200 meter dari camp. Satwaliar yang dijumpai secara langsung
dan tidak langsung di diantaranya: anak beruang madu (Helarctos malayanus),
enggang gading (Buceros sp), tapir (Tapirus indicus), siamang dan babi hutan
(Sus sp).
Gambar 4. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b)
tipe habitat hutan primer.
Hutan sekunder merupakan habitat yang telah mengalami penebangan, tetapi
belum dimanfaatkan untuk tujuan tertentu sehingga dibiarkan mengalami proses
suksesi sekunder. Walaupun merupakan habitat berhutan dan memiliki komposisi
vegetasi yang beragam, habitat hutan sekunder yang menjadi lokasi penelitian ini
tidak/belum dilindungi oleh adat sehingga lebih terbuka terhadap interaksi dengan
manusia. Luas hutan sekunder sampai tahun 2000 adalah 27.250 hektar (Sarbi
2000). Jarak terdekat dari desa terdekat Desa Renah Sungai Ipuh adalah 20 km.
Jalan sarad bekas kegiatan HPH PT RKI masih terlihat cukup jelas, tetapi hanya
kendaraan tertentu yang bisa sampai lokasi.
Gambar 5. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b)
tipe habitat hutan sekunder.
21
Di sekitar camp habitat hutan sekunder terdapat beberapa satwaliar lain yang
dijumpai secara langsung dan tidak langsung. Pada radius 30 meter dari tenda
peneliti, ditemukan jejak Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dari 2
individu yang berbeda. Selain itu, cukup banyak juga ditemukan juga jejak tapir
(Tapirus indicus) dan bulu burung kuau (Argusianus argus). Satwa yang dijumpai
langsung dilokasi adalah tikus hutan, tupai, simpai, napu (Tragulus sp) dan
beberapa jenis burung seperti: gagak hutan (Corvus enca), srigunting (Dicrurus
sp), perenjak (Prinia sp), cipoh (Aegithina sp) dan elang hitam (Ictinaetus
malayensis).
Habitat kebun merupakan habitat dengan komposisi vegetasi yang seragam
dan memiliki intensitas interaksi dengan manusia yang lebih tinggi. Sedangkan
areal tanah terbuka (land clearing) merupakan habitat yang memiliki vegetasi
minimal bahkan tidak ada sebagai akibat penebangan dan pembakaran yang
kemudian didiamkan untuk beberapa minggu sehingga ditumbuhi oleh alangalang dan tanaman perintis lainnya.
Semenjak HPH PT RKI tidak beroperasi lagi, penduduk mendapatkan jatah
lahan HPH tersebut dari pemerintah dengan luas 2 hektar untuk setiap kepala
keluarga. Dinas Kehutanan Bungo dan ICRAF memberikan rekomendasi dan
bantuan bibit karet untuk ditanam di lahan pembagian tersebut. Sehingga sampai
sekarang sebagian besar penduduk memanfaatkan lahannya untuk ditanami karet.
Luas total habitat kebun karet yang terdapat di Eks-HPH RKI belum diketahui
dengan pasti. Luas habitat kebun karet yang menjadi lokasi pengambilan data
sekitar 8 hektar
Gambar 6. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b)
tipe habitat kebun karet.
22
Terdapat beberapa rumpun bambu dan banyak terlihat sisa-sisa pohon yang
telah ditebang dan lapuk. Kebun karet yang menjadi lokasi penelitian berbatasan
dengan kebun karet lain yang berbeda kepemilikan. Kapling yang satu dengan
yang lain dibatasi oleh resam dan tepus. Umur tegakan karet berbeda-beda antara
kebun yang berdekatan. Jalur akuatik terletak di tepian kebun karet dan
merupakan aliran air dengan lebar 0,6 8,3 meter dan kedalaman maksimum 50
cm. Substrat jalur akuatik terdiri dari pasir, kerikil, batu, dan lumpur. Kondisi dan
kualitas air masih baik. Satwaliar yang dijumpai di kebun karet diantaranya:
Rangkong (Bucheros sp), Gagak hutan (Corvus enca) babi hutan (Sus sp), beruk,
rusa sambar (Cervus unicolor) dan kancil (Tragulus sp).
Habitat kebun sawit di areal Eks-HPH PT RKI terletak di Blok Kemarau
dengan luasnya hanya 2 hektar. Habitat kebun sawit yang menjadi jalur penelitian
berbatasan langsung dengan kebun karet. Sawit pada jalur pengamatan terestrial
berumur 6 - 7 tahun dan ditanam dengan jarak tanam 10 x 10 m. Tinggi total tajuk
berkisar antara 4 8 meter. Terdapat sekitar 10 % dari luas areal tersebut ditanami
pinang dan kopi diantara sawit-sawit tersebut. Pada beberapa sisi yang berbatasan
langsung dengan perairan, terdapat tanaman semak seperti resam dan tepus.
Kedalaman maksimum danau ini sekitar 2-5 meter dengan substrat lumpur dan
tumpukan organik dari tumbuhan-tumbuhan air yang telah membusuk. Kondisi
dan kualitas air masih baik. Satwaliar yang dijumpai langsung secara baik hanya
terlihat atau hanya terdengar diantaranya: Rangkong (Bucheros sp), Gagak hutan
(Corvus enca), Landak (Hystrix sp), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Gambar 7. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b)
tipe habitat kebun sawit.
23
Gambar 8. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b)
tipe habitat tanah terbuka.
Jalur pengamatan akuatik habitat ini merupakan sebuah rawa dengan
diameter sekitar 80 meter dan kelilingnya hanya 310 meter. Kedalaman
maksimum danau ini sekitar 2-3 meter dengan substrat lumpur dan tumpukan
organik yang membusuk. Kondisi air di rawa terlihat kehijauan, tetapi terlihat
jernih pada bagian aliran keluarnya. Kualitas air masih baik dengan pH netral (7)
dan merupakan air yang selalu digunakan untuk minum, mandi dan keperluan
rumah tangga lainnya. Terdapat beberapa pohon yang masih berdiri tetapi dililiti
oleh tanaman yang merambat. Tanaman yang dominan menutupi perairan adalah
pandan-pandanan, sedangkan vegetasi yang menutupi sekelilingnya adalah:
semak, tepus, pisang hutan, karet dan tanaman belukar lainnya. Satwaliar yang
dijumpai langsung sangat sedikit, hanya terdapat satwa-satwa domestikasi yang
dipelihara oleh pemilik ladang.
24
Kekayaan jenis reptil yang dijumpai dilokasi penelitian adalah 31 jenis dari
9 suku, yaitu Agamidae, Gekkonidae, Lacertidae, Scincidae (kelompok bunglon,
cicak,
kadal);
Colubridae,
Elapidae,
Viperidae
(kelompok
ular),
dan
Ordo
Sub-ordo
Sauria / Lacertilia
Squamata
Serpentes / Ophidia
Testudinata
Famili
Agamidae
Gekkonidae
Lacertidae
Scincidae
Colubridae
Elapidae
Viperidae
Geoemydidae
Trionychidae
9
Marga
5
3
1
3
10
1
1
1
1
26
Jenis
8
4
1
3
11
1
1
1
1
31
Daftar jenis reptil yang dijumpai di lokasi penelitian ditampilkan pada tabel
5 dan deskripsi setiap jenis disajikan pada lampiran 1.
Tabel 5. Daftar jenis reptil yang dijumpai diseluruh plot penelitian
Jenis
SERPENTES (ular)
Aplopeltura boa
Boiga drapiezii
Bungarus flaviceps
Dendrelaphis pictus
Enhydris alternans*)
Gongylosoma baliodeirus*)
Lycodon subcinctus
Pareas carinatus
Psammodynastes pictus
Psammodynastes
Rhabdophis chrysargos*)
Rhabdophis subminiatus
Hutan
Primer
Hutan
Sekunder
Kebun
Sawit
Kebun
Karet
Tanah
terbuka
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
1
1
1
1
1
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
2
0
0
0
0
0
0
1
1
1
2
1
2
1
2
2
1
1
1
25
Tabel 5. (lanjutan) Daftar jenis reptil yang dijumpai diseluruh plot penelitian
Jenis
Hutan
Primer
Hutan
Sekunder
SERPENTES (ular)
Parias hageni
1
0
SAURIA (kadal, bunglon, cicak)
Acanthosaura armata
1
0
Aphaniotis fusca
2
0
Bronchocela cristatella
1
0
Cyrtodactylus consubrinus
0
3
Cyrtodactylus marmoratus
14
8
Dasia olivacea*)
0
0
Draco sp*)
0
0
Draco melanopogon
4
0
Draco quinquefasciatus
2
0
Eutropis multifasciata
3
21
Gekko smithii*)
0
0
Gonocephalus
0
1
chamaeleontinus
Gonocephalus grandis
0
0
Hemidactylus frenatus*)
0
0
Lipinia vittigera*)
0
0
Takydromus sexlineatus*)
0
0
TESTUDINATA (kura-kura)
Amyda cartilaginea*)
0
1
Notochelys platynota*)
1
0
Total jenis
11
11
Total Individu
31
40
Keterangan: * dijumpai di luar jalur di plot penelitian
Kebun
Sawit
Kebun
Karet
Tanah
terbuka
1
0
0
0
7
0
1
0
0
3
1
0
1
1
0
1
1
0
0
0
1
1
0
0
3
0
0
0
0
0
0
11
0
2
3
5
3
30
1
1
4
2
39
2
0
2
0
1
4
2
1
0
0
0
0
0
4
4
1
1
0
0
10
19
0
0
11
15
0
0
4
17
1
1
122
26
tertangkap oleh penduduk di Sungai Batang Tebo, tidak jauh dari jalur
pengambilan data pada habitat hutan sekunder. Terdapat beberapa jenis yang
memiliki perilaku sangat menarik salah satunya adalah Apolpeltura boa yang
melingkarkan tubuh secara bersusun ketika dipegang ekornya (Gambar 9).
Lokasi Jalur
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Kebun Karet
Kebun Sawit
Tanah terbuka
Suku
5
4
4
5
3
Marga
9
6
7
6
3
Jenis
10
8
7
6
3
Individu
27
26
11
10
15
Kekayaan tertinggi dan jumlah jenis terbanyak terdapat pada hutan primer
dan terendah pada tanah terbuka (Gambar 10).
3.00
Nilai Indeks
2.50
2.73
2.50
2.00
2.17
2.15
1.50
1.00
0.74
0.50
0.00
Hutan
Primer
kekayaan jenis
Hutan
Sekunder
Tanah
Terbuka
Tipe Habitat
27
Pada jalur akuatik dijumpai 15 jenis reptil dan pada jalur terestrial dijumpai
14 jenis (Gambar 11).
25
perolehan jenis
20
Aquatik
15
Terestrial
10
Total
5
0
1
9 10 11 12 13 14 15
pengulangan pengamatan
Gambar 11. Kurva akumulasi jenis reptil pada jalur akuatik dan terestrial.
Habitat hutan primer mempunyai kemungkinan penemuan jenis baru yang
lebih besar daripada tipe habitat lainnya (Gambar 12).
12
perolehan jenis
10
Ht.Primer
Ht.Sekunder
Karet
Sawit
Tanah Terbuka
2
0
1
ulangan
Kemerataan jenis tertinggi terdapat pada kebun karet dan terendah pada
Nilai Indeks
0.91
0.84
0.75
0.76
0.66
Hutan
Primer
Kemerataan
Hutan
Kebun
Sekunder
Karet
Tipe Habitat
Kebun
Sawit
Tanah
Terbuka
28
2
3
5
4
2
1
4
1
3
1
1
2
1
1
3
1
1
30
3
39
108
Jalur Perjumpaan
2
3
3
2
1
1
1
1
2
1
1
2
1
1
3
1
1
6
1
8
10
PP
0.007
0.011
0.018
0.014
0.007
0.004
0.014
0.004
0.011
0.004
0.004
0.007
0.004
0.004
0.011
0.004
0.004
0.093
0.011
0.096
0.328
Beberapa jenis reptil yang dijumpai di jalur penelitian terestrial pada habitat
berhutan (HT) sama dengan beberapa jenis yang dijumpai di jalur akuatiknya
(HA), dan jenis-jenis tersebut terlihat sangat berbeda dengan jenis-jenis yang
dijumpai pada kedua jalur di habitat tanah terbuka (TT dan TA) (Gambar 14).
Gambar 14. Dendrogram kesamaan jenis reptil pada jalur penelitian setiap tipe
habitat di Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo
29
Semi arboreal
Terestrial
Semi akuatik
Akuatik
Diurnal
Acanthosaura armata
Aphaniotis fusca
Bronchocela cristatella
Dasia olivacea
Draco Sp
Draco melanopogon
Draco quinquefasciatus
Gonocephalus chamaeleontinus
Gonocephalus grandis
Lipinia vittigera
Takydromus sexlineatus
Gongylosoma baliodeirus
Eutropis multifasciata
Rhabdophis chrysargos
Rhabdophis subminiatus
-
Nokturnal
Dendrelaphis pictus
Hemidactylus frenatus
Gekko smithii
Cyrtodactylus consubrinus
Cyrtodactylus marmoratus
Aplopeltura boa
Parias hageni
Pareas carinatus
Boiga drapiezi
-i
Psammodynastes pictus
Psammodynastes pulverulentus
Lycodon subcinctus
Bungarus flaviceps
Enhydris alternans
Notochelys platynota
Amyda cartilaginea
30
Penyebaran Terbatas
Amyda cartilaginea
Aplopeltura boa
Boiga drapiezii
Bungarus flaviceps
Cyrtodactylus consubrinus
Dasia olivacea
Draco sp
Draco melanopogon
Draco quinquefasciatus
Enhydris alternans
Gonocephalus chamaeleontinus
Gonocephalus grandis
Gongylosoma baliodeirus
Lipinia vittigera
Lycodon subcinctus
Notochelys platynota
Parias hageni
Psammodynastes pulverulentus
Rhabdophis chrysargos
Rhabdophis subminiatus
Takydromus sexlineatus
Penyebaran Luas
Aphaniotus puscus
Acanthosaura armata
Bronchocela cristatella
Cyrtodactylus marmoratus
Dendrelaphis pictus
Eutrophis multifasciata
Gekko smithii
Hemidactylus frenatus
Pareas carinatus
Psammodynastes pictus
31
32
langsung dengan perairan, terdapat tanaman semak seperti resam dan tepus. Jalur
pengamatan akuatik habitat ini merupakan sebuah danau dengan diameter sekitar
50 meter. Kedalaman maksimum danau ini sekitar 2-5 meter.Vegetasi yang
menutupi sekeliling danau adalah semak, pinang dan pisang hutan.
Jalur penelitian pada tanah terbuka terletak pada ketinggian 411 mdpl.
Secara umum topografinya bergelombang. Dua sisi habitat ini berbatasan dengan
kebun karet, satu sisi berbatasan dengan hutan sekunder dan satu sisi depan
berbatasan dengan jalan sarad. Masih terdapat 3 5 pohon lagi yang tersisa.
Terlihat sudah mulai ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan perintis, seperti alangalang. Jalur pengamatan akuatik habitat ini merupakan sebuah rawa dengan
diameter sekitar 80 meter dan kelilingnya hanya 310 meter. Kedalaman
maksimum danau ini sekitar 2-3 meter. Tanaman yang dominan menutupi
perairan
adalah
pandan-pandanan,
sedangkan
vegetasi
yang
menutupi
sekelilingnya adalah: semak, tepus, pisang hutan, karet dan tanaman belukar
lainnya.
5.2
5.2.1
Pembahasan
Kekayaan Jenis
33
jenis reptil yang lebih tinggi daripada tanah terbuka karena habitat tanah terbuka
tidak memiliki salah satu komponen utama suatu habitat yaitu pelindung (cover)
yang cukup. Penutupan tajuk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
keanekaragaman (Goin dan Goin 1971).
Pada jalur penelitian hutan primer tercatat 36 jenis pohon dan pada hutan
sekunder 18 jenis pohon. Variasi pohon pada hutan primer dan sekunder tersebut
diduga berpengaruh terhadap variasi relung, pakan, mangsa, dan pemilihan
sarang. Semakin beraneka ragam struktur habitat maka semakin beraneka ragam
satwaliarnya (Kreb 1978). Sebaliknya variasi relung, pakan, mangsa dan sarang
lebih sedikit pada habitat kebun dan tanah terbuka, karena kebun terdiri dari
tanaman yang seragam dan tanah terbuka yang tidak memiliki vegetasi. Struktur
vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung (Alikodra 2002), yang
digunakan oleh jenis-jenis reptil untuk tempat persembunyian (hiding cover).
Dalam pergerakannya, kadal atau cicak terbang (Draco sp) membutuhkan
ketinggian untuk bisa melayang dan meluncur ke pohon lain yang lebih rendah.
Variasi strata pohon dan rapatnya vegetasi pada hutan primer diduga
memudahkan Draco melanopogon dan Draco quinquefasciatus untuk bergerak
dari satu pohon ke pohon yang lain atau bersembunyi dan melarikan diri dari
pemangsanya.
Parias
hageni,
Boiga
drapiezii,
Psammodynastes
pulverulentus,
consubrinus dijumpai pada lipatan kulit kayu atau lubang pada batang pohonpohon berukuran besar. Cyrtodactylus marmoratus dijumpai sebanyak 14 individu
pada berbagai substrat di hutan primer, misalnya: di tanah, semai, ranting
pancang, banir pohon, permukaan batang, lubang batang, kayu yang lapuk, dan
akar yang melintang. Di hutan sekunder dijumpai 8 individu, kebun sawit 7
individu, kebun karet 1 dan di tanah terbuka tidak dijumpai.
34
merupakan
daerah/habitat
peralihan
(ekoton).
Daerah
ekoton
35
ekoton karena pada kedua sisi berbatasan langsung dengan kebun karet dan
ditanami oleh tanaman tumpangsari misalnya pinang dan pepaya. Selain karet
terdapat pohon-pohon lain yang ditanam diantara karet itu sendiri misalnya:
pinang (Areca pinanga) dan kopi (Coffea robusta). Pohon-pohon lain yang
terdapat di habitat karet diantaranya: jambu (Psidium guajava), sirsak (Annona
cover yang lebih baik. Alikodra (2002) menyatakan bahwa kuantitas dan kualitas
pakan dapat mempengaruhi kesejahteraan satwa, sehingga kekurangan pakan
dapat menyebabkan satwa berpindah (migrasi), terutama satwa ektotermal seperti
reptil yang pergerakannya sangat dipengaruhi oleh suhu. Pemencaran menuju
habitat lain terjadi karena adanya perubahan keberadaan makanan dan keadaan
lingkungan yang kurang baik di habitat asal. Perubahan yang drastis dalam waktu
yang lama pada suatu lingkungan menyebabkan perubahan populasi secara
permanen (Goin dan Goin 1971).
Perlu diingat bahwa penelitian ini lebih banyak dilakukan di bagian barat
kawasan eks-HPH (Blok Kemarau) dibandingkan dengan bagian timur (Blok
Pelepat) yang hanya mengambil satu titik. Oleh karena itu, ada kemungkinan
terdapatnya jenis-jenis lain yang belum dijumpai karena jumlah titik penelitian
belum seimbang di dua blok tersebut atau karena areal sampling terlalu kecil
dibandingkan dengan luas total eks-HPH. Kendala utama dalam penelitian ini
adalah kurangnya alat transportasi dan tidak adanya pemandu untuk wilayah Blok
Pelepat.
Lebih dari 50 % hari penelitian selama pengambilan data merupakan hari
hujan. Perjumpaan jenis menjadi tidak optimal, karena pada hari hujan reptil-reptil
tersebut tidak memperoleh intensitas panas yang cukup untuk membantu
metabolismenya. Padahal reptil sangat memerlukan suhu yang cukup untuk proses
36
Kemerataan Jenis
37
38
5.2.3
Peluang Perjumpaan
vittigera dan Dasia olivacea) karena hampir seluruh aktifitasnya dilakukan pada
pohon hingga tajuk pohon (Cox et al. 1998). Draco sp bukan merupakan jenis
baru tapi jenis yang dijumpai tetapi tidak tertangkap, sehingga tahapan identifikasi
tidak bisa dilanjutkan sampai tingkat jenis.
Perolehan jenis yang dijumpai pada penelitian ini relatif lebih banyak
dibandingkan dengan penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya oleh
Sudrajat (2001) di Sumatera Selatan sebanyak 27 jenis, HIMAKOVA (2004) di
daerah Pemerihan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebanyak 13 jenis dan
HIMAKOVA (2006) di Seksi Konservasi Wilayah I Way Kanan Taman Nasional
Way Kambas sebanyak 12 jenis, tetapi lebih sedikit dari Endarwin (2006) yang
menemukan 51 jenis reptil di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Lebih banyaknya perolehan jenis di TNBBS disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu: Taman Nasional merupakan kawasan dengan kondisi hutan yang
relatif lebih terjaga daripada Eks-HPH, TNBBS memiliki lebih banyak variasi
ketinggian dari 0 1964 mdpl (DITJEN PHKA 2007), lokasi survai yang lebih
banyak dan menyeluruh serta total usaha (effort) dan waktu penelitian satu bulan
lebih lama daripada penelitian di Eks-HPH PT RKI.
39
Beberapa reptil yang tercatat dalam Sarbi (2000) tidak sesuai dengan bukubuku acuan identifikasi dan distribusi reptil. Biawak abu-abu mempunyai nama
latin Varanus nebulosus Gray, 1831 dan keberadaannya di Pulau Sumatera masih
dipertanyakan (Iskandar 2001). Semua jenis dari marga Chondropython hanya
terdapat di Papua New Guinea dan Kepulauan Aru (Rooij 1917) dan tidak
terdapat nama jenis C leichardtii. Perolehan jenis reptil dalam penelitian ini yang
lebih banyak daripada yang dilakukan Sarbi (2000). Hal ini diduga karena usaha
(effort) yang dilakukan lebih banyak daripada TIM ICA. Total usaha yang
dilakukan oleh 2-3 pengamat tiap jalur dalam penelitian ini adalah 280 jam.
5.2.4
Kesamaan Jenis
Jalur terestrial (HT) dan akuatik (HA) pada habitat berhutan terlihat
memiliki kesamaan jenis reptil yang dijumpai (Gambar 14), karena selain jarak
yang tidak jauh, struktur dan komposisi vegetasinya tidak jauh berbeda.
Perjumpaan reptil pada jalur akuatik (KA) pada habitat kebun terlihat lebih
memiliki kesamaan dengan jalur-jalur pada habitat berhutan daripada dengan jalur
terestrial pada habitat kebun itu sendiri, sedangkan jalur terestrial (KT) pada
habitat kebun terlihat memiliki kesamaan dengan jalur-jalur pada habitat tanah
terbuka (TT dan TA). Hal ini diduga karena faktor jarak antara tipe habitat dan
jarak antara setiap jalur, terutama antara tanah terbuka dengan kebun karet yang
lebih berdekatan daripada dengan habitat lainnya. Lokasi terjauh dari keempat
lokasi habitat lainnya adalah hutan primer di Hutan Adat Desa Batu Kerbau.
Perbedaan jenis-jenis yang dijumpai antara jalur habitat berhutan dengan
jalur habitat tanah terbuka diduga disebabkan oleh perbedaan suhu, kelembaban,
penutupan vegetasi habitat dan adanya invasi (pemencaran). Suhu rata-rata pada
habitat tanah terbuka (23,90 oC ) lebih tinggi dari pada suhu pada habitat berhutan
(22,85 oC). Kelembaban relatif rata-rata pada habitat berhutan adalah 76,63%,
sedangkan pada habitat tanah terbuka 69,13% dan pernah mencapai kelembaban
terendah yaitu 36%. Sebagai satwa ectothermal, reptil sangat tergantung pada
suhu lingkungan yang ideal untuk metabolisme tubuhnya (Halliday dan Adler
2000), sehingga perubahan suhu menyebabkan jenis-jenis tertentu mencari habitat
yang suhunya sama dengan habitat sebelumnya.
40
41
aktifitasnya pada pohon. Tiga jenis merupakan reptil semi-arboreal yaitu yang
melakukan sebagian aktifitasnya pada pohon dan sebagian lagi dipermukaan
tanah. Tiga jenis lainnya merupakan reptil terestrial, yaitu yang hampir seluruh
aktifitasnya dilakukan dipermukaan tanah (lantai hutan). Sebanyak tiga jenis
merupakan reptil yang hampir seluruh aktifitasnya dilakukan dipinggir atau
disepanjang sisi perairan (semi-akuatik), sedangkan jenis yang sebagian besar atau
seluruh aktifitasnya dilakukan di dalam air (akuatik) ditemukan sebanyak tiga
jenis (Tabel 8).
Berdasarkan penyebarannya, jenis-jenis reptil yang dijumpai di seluruh plot
penelitian dikelompokan menjadi jenis yang penyebarannya terbatas (dijumpai
hanya di satu plot/tipe habitat) ada 21 jenis, dan jenis yang penyebarannya luas
(dijumpai di lebih dari satu plot/tipe habitat) ada 10 jenis. Jenis yang
penyebarannya paling luas adalah Eutropis multifasciata. Menurut Cox et al
(1998) kadal kebun ini merupakan jenis reptil yang memiliki penyebaran luas.
5.2.6
Reptil merupakan salah satu bagian dari tingginya kekayaan hayati yang
dimiliki Indonesia (Iskandar dan Erdelen 2006) yang bisa diambil manfaatnya. Di
dalam Gibbons et al. (2000) disebutkan manfaat yang bisa diambil dari reptil
diantaranya untuk bahan makanan, obat-obatan tradisional, hewan peliharaan. Di
berbagai tempat di Indonesia reptil digunakan sebagai pemberantas hama. Bagianbagian yang diperdagangkan yaitu kulit (Yuwono 1998), daging dan reptil hidup
sebagai peliharaan (Madiastuti dan Suhartono 2003).
Pengambilan langsung dari alam merupakan salah satu ancaman terhadap
kelangsungan hidup reptil di Indonesia, terutama kura-kura yang sangat sensitif
apabila diambil dari alam, karena kelompok kura-kura memiliki resiko kematian
telur dan anakan yang tinggi dan memerlukan waktu yang lama untuk bisa
berepropduksi (TRAFFIC Southeast Asia 2001). Di sekitar lokasi penelitian tidak
dijumpai kegiatan pemanfaatan dan reptil yang dimanfaatkan secara langsung oleh
penduduk sekitar hutan. Menurut informasi dari BKSDA Kabupaten Bungo, ada 1
pihak yang sudah mendapat ijin menjalankan usaha perdagangan yang terkait
dengan reptil, yaitu daging labi-labi dan kulit ular (Python reticulatus dan Python
42
curtus), dan kulit biawak (Varanus salvator). Masih terdapat pihak-pihak lain
yang melakukan usaha serupa tapi belum mendapat izin dari BKDSA.
Di areal Eks-HPH PT RKI, sebagian kawasan hutan dikonversi menjadi
lahan perkebunan terutama karet. Keadaan ini bisa menjadi salah satu ancaman
terhadap kelestarian satwaliar terutama reptil, karena mengubah struktur dan
komposisi yang heterogen (berhutan) menjadi homogen (monokultur). Kegiatan
konversi tersebut menyebabkan timbulnya habitat baru yang sangat berbeda dari
sebelumnya dan diduga menyebabkan pergeseran dari kelompok-kelompok reptil
yang menyukai habitat bervegetasi campuran menjadi kelompok reptil yang
menyukai habitat yang lebih terbuka dengan vegetasi seragam.
Pemerintah harus mau dan mampu membimbing masyarakat yang berladang
di Eks-HPH PT RKI dengan menggunakan teknologi dan keilmuan terbaru dunia
kehutanan dalam hal manajemen pembukaan lahan yang ramah lingkungan,
sehingga tidak menimbulkan kebakaran hutan sekitarnya yang menyebabkan
semakin cepat dan semakin luas habitat reptil yang hilang dan rusak.
43
Jumlah jenis reptil yang tercatat Eks-HPH PT RKI yaitu 31 jenis dari 9 suku
(Agamidae, Gekkonidae, Lacertidae, Scincidae, Colubridae, Elapidae, Viperidae,
Geoemydidae dan Trionychidae). Pada jalur di habitat hutan primer dijumpai 10
jenis, hutan sekunder 8 jenis, kebun karet 7 jenis, kebun sawit 6 jenis dan lahan
kosong 3 jenis. Kekayaan jenis tertinggi terdapat pada habitat hutan primer dan
kekayaan jenis terendah terdapat pada tanah terbuka. Habitat yang paling tinggi
kemerataan jenisnya yaitu habitat kebun karet dan yang paling rendah
kemerataanya adalah tanah terbuka. Hal ini menunjukan bahwa habitat berhutan
atau habitat dengan vegetasi yang heterogen terutama yang masih alami
merupakan habitat ideal bagi sebagian besar jenis reptil di Eks-HPH PT RKI.
Sebaliknya, tanah terbuka sebagai akibat dari pembukaan lahan (land clearing),
merupakan habitat yang kurang ideal bagi kehidupan reptil.
6.2. Saran
44
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas
Kehutanan.
[ATCN] Asian Turtle Conservation Network. 2004. Amendments to Appendices I
and II of the Convention. http://www.asianturtlenetwork.org/library/laws
and CITES.htm [12 Januari 2008].
Bauer AM . 1998. Di dalam: Cogger HG, Zweifel RG, editor. Encyclopedia of
Reptiles and Amphibians. San Fransisco: Fog City Press.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi. Edisi ke-5 Jilid 3. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Cogger HG, Zweifel RG. 2003. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. San
fransisco: Frog City Press.
Conservation International. 2001. Ecosystem Profile Sumatera Sundaland.
http://www.conservationinternational.com/full_strategy%20CI.xml.htm [10
Mei 2007]
Cox MJ, Dijk P van, Nabhitabhata J, Thirakhupt K. 1998. A Photographic Guide
to Snakes and Other Reptiles of Peninsular Malaysia, Singapore and
Thailand. London, Sidney, Singapore: New Holland Publishers Ltd.
David P, Vogel G. 1997. The Snakes of Sumatra. Frankfurt: Bekros CZ Brno.
[DITJEN PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
2007. 50 Taman Nasional di Indonesia. Bogor: Sub Direktorat Informasi
Konservasi Alam.
Doan TM. 2003. Which Methods Are Most Effective for Surveying Rain Forest
Herpetofauna. Journal of Herpetology. (37) 1: 72-81.
Duellman WE, Heatwole H. 1998. Di dalam: Cogger HG, RG Zweifel, editor.
Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. San Fransisco: Fog City Press.
Endarwin W. 2006. Studi Keanekaragaman Reptil Pada Struktur Hutan Berbeda
Studi Kasus Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Propinsi Lampung
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Gaulke M, Abel F, Erdelen W, Fritz U. 1998. Notes on the Herpetofauna of North
Sumatra. Hamadryad 23(1):78-82.
Gibbons JW, Scott DE, Ryan TJ, Buhlmann KA, Tuberville TC, Metts BS,
Greene JL, Mills T, Leiden Y, Poppy S, Winne CT. 2000. The Global
Decline of Reptiles Dj vu Amphibians. Bioscience. (50) 8: 653-666.
Goin CJ, Goin OB. 1971. Introduction to Herpetology. San Francisco: WH
Freeman and Company.
Grzimek B. 1975. Encyclopedia of Ecology. Melbourne: Van Nostrand Reinhold
Company.
Halliday T, Adler K. 2000. The Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. New
York: Facts on File Inc.
45
Helvoort B van. 1981. Bird Population in The Rural Ecosystem of West Java.
Netherlands: Nature Conservation Departement.
Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS. 1994.
Measuring and Monitoring Biological Diversity Standard Methods for
Amphibians. Washington: Smithsonian Institution Press.
[HIMAKOVA-IPB] Himpunan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Institut Pertanian Bogor. 2004. Laporan Studi Konservasi Lingkungan
(SURILI) 2004: Eksplorasi Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan Sebagai Bio-indikator Kesehatan Hutan. Laporan
Kegiatan. Bogor: Himpunan Mahasiswa Jurusan Konservasi Sumberdaya
Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan.
[HIMAKOVA-IPB] Himpunan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Institut Pertanian Bogor. 2006. Laporan Studi Konservasi Lingkungan
(SURILI) 2006: Eksplorasi Keanekaragaman Hayati Flora Fauna serta Nilai
Budaya Masyarakat Lokal untuk Pengembangan Ekowisata di Taman
Nasional Way Kambas, Propinsi Lampung. Laporan Kegiatan. Bogor:
Himpunan Mahasiswa Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan.
Iskandar DT. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini. Bandung:
PALMedia Citra.
Iskandar DT, Colijn E. 2001. A Checklist of Southeast Asian and New Guinean
Reptiles Part I Serpentes. Jakarta: Binamitra.
Iskandar DT, Erdelen WR. 2006. Conservation of amphibians and reptiles in
Indonesia: Issues and problems. Amphibian and Reptile Conservation 4(1):
60-93.
Krebs CJ. 1978. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. Ecological Methodology. New York: Harper and Row
Publisher.
Magnusson WE. 1998. Di dalam: Cogger HG, Zweifel RG, editor. Encyclopedia
of Reptiles and Amphibians. San Fransisco: Fog City Press.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey:
Princeton University Press.
Mardiastuti A, Soehartono T. 2003. Di dalam: Kusrini MD, Mardiastuti A, Fitri
A, editor. Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. 131-144. Bogor:
Indonesian Reptile and Amphibian Trade Association (IRATA).
Mattison C. 1992. Snakes of The World. New York: Facts on File Inc.
Mattison C. 2005. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Singapore: The
Brown Reference Group plc.
McLaren JE, Rotundo L. 1985. Health Biology. Massachusetss: D.C Heath and
Company.
46
Nichols JD, Boulinier TJE, Hines KH, Pollock, Sauer JR. 1998. Estimating rates
of local species extinction, colonization and turnover in animal
communities. Ecological Application 8 (4): 1213-1225.
Obst FJ. 1998. Di dalam: Cogger HG, Zweifel RG, editor. Encyclopedia of
Reptiles and Amphibians. San Fransisco: Fog City Press.
Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Philadelphia: WB Saunders
Company.
OShea M, Halliday T. 2001. Reptiles and Amphibians. London: Dorling
Kindersley.
Primak, Richard B, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi
Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rooij ND. 1915. The Reptiles of The IndoAustralian Archipelago: Lacertilia.
Chelonia, Emydosauria. Leiden: E J Brill Ltd.
Rooij ND. 1917. The Reptiles of The IndoAustralian Archipelago: Ophidia.
Leiden: E J Brill Ltd.
Santosa Y. 1995. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Satwaliar. Bogor: Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Tidak dipublikasikan.
Sarbi. 2000. Laporan Pemeriksaan HPH (Independent Concession Audits) PT
Rimba Karya Indah Propinsi Jambi. Bogor: PT Moerhani Lestari dan
Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Departemen Kehutanan.
Savage JM. 1998. Di dalam: Cogger HG, Zweifel RG, editor. Encyclopedia of
Reptiles and Amphibians. San Fransisco: Fog City Press.
Shine R, Ambariyanto, Harlow PS, Mumpuni. 1998. Ecological traits of
commercially harvested water monitors, varanus salvator, in northern
sumatra. Wildlife Research 25: 437-447.
Shine R, Ambariyanto, Harlow PS, Mumpuni. 1999. Ecological attributes of two
commercially-harvested python species in northern sumatra. Journal of
Herpetology 33: 249-257.
Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia.
Jakarta: Japan International Cooperation Agency (JICA).
Soerianegara I, Indrawan A. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor. Lab. Ekologi
Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Sudrajat. 2001. Keanekaragaman dan Ekologi Herpetofauna (Reptil dan Amfibi)
di Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.
TRAFFIC Southeast Asia. 2001. An Overview of the Trade in live South-east
Asian Freshwater Turtles. AC17 Inf 7.
Tweedy MWF. 1983. The Snakes of Malaya. Singapore: Singapore National
Printers Ltd.
47
48
49
50
Habitat: Jenis ini ditemukan pada malam hari pada sebuah batang pohon (1,5 m dari permukaan
tanah). Secara umum habitat jenis ini adalah hutan hujan dataran rendah, terutama rawa.
Penyebaran Regional : Malaysia (serawak), Indonesia (Sumatera, Singkep, Kalimantan).
Penyebaran di HPH PT RKI: : Jenis ini hanya ditemukan di Hutan Primer (Hutan adapt) Desa
Batu Kerbau Blok Pelepat.
6. Gonocephalus chamaeleontinus Laurenti, 1768
Nama Inggris: Chameleon Anglehead Lizard
juv
Deskripsi: Sama dengan jenis bunglon lainnya, baik
jantan atau betina pada jenis ini bisa berubah warna
menjadi hijau, cokelat, kemerahan dan hitam, tapi
ukuran tubuh betina lebih kecil; Sisik penyusun
perutnya halus dan lebih besar daripada sisik punggung;
tympanum (telinga) jelas, sisik bibir atas berjumlah 10
12, dan sisik bibir bawah berjumlah 11 -14. Tubuhnya
cukup keras dan kaku; ekor lebih keras, kaku dan
warnanya terdiri dari warna terang dan gelap. Setelah
Foto: LUTHFI R YUSUF
dewasa, terlihat jelas duri pada nukal menyambung
dengan dorsal dan lebih tinggi daripada dorsal; Kaki panjang dan ramping; jari keempat lebih
panjang daripada jari ke-tiga. Panjang tubuhnya mencapai 170 mm dan ekor 450 mm. Sedangkan
individu jenis ini yang ditemukan di HPH PT RKI masih anakan dan berukuran: tubuh (SVL)
49,80 mm dan ekor 74,80 mm, dengan berat 4 gram.
Habitat: Bunglon ini merupakan satwa diurnal dan arboreal pada hutan hujan yang masih alami;
lebih menyukai batang pohon yang tidak terlalu besar disekitar aliran sungai.
Penyebaran Regional: Malaysia, Indonesia (Sumatera, Kep Mentawai, Kep Natuna, Jawa).
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di Hutan Sekunder (Hutan adat) Blok
Kemarau.
7. Gonocephalus grandis Gray, 1845
Nama Inggris: Great Anglehead Lizard
Deskripsi: Tympanum (telinga) terlihat jelas, kira-kira
sebesar matanya. Sisik-sisik kepala kecil dan
meruncing, sisik bibir atas dan bawah berjumlah 10 -13.
Sisik dorsal sangat kecil dan seragam. Sedangkan sisik
ventral lebih besar dan halus. Panjang ekor sekitar dua
setengah kali panjang kepala hingga tubuhnya atau
bahkan lebih. Kaki belakang panjang dan hampir
menyentuh mata. Jari ketiga dan keempat sama
panjangnya. Pada saat dewasa, terdapat duri-duri yang
Foto: LUTHFI R YUSUF
bersambungan di belakang kepala dan leher. Ketika
tidur, warna kulit berubah menjadi kecoklatan dengan tanda-tanda hitam pada punggung dan
bintik-bintik berwarna pucat. Ketika stress, warnanya menjadi hijau pada jantan dan coklat
kemerahan pada betina dan anakan. Betina lebih kecil dari jantan. SVL mencapai 160 mm dan
ekor 550 mm. Individu jenis ini yang ditemukan di HPH PT RKI berukuran: SVL 62,35 mm dan
ekor 187,50 mm, dengan berat 9,5 gram.
Habitat: Jenis ini ditemukan pada ranting pohon dan menyukai daerah sekitar aliran air yang tidak
terganggu.
Penyebaran Regional: Thailand selatan, Malaysia, Sumatera dan Kalimantan.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di jalur akuatik habitat kebun karet Blok
Kemarau.
juv
B. Colubridae
Colubridae merupakan suku yang terdiri dari banyak sub-suku dan jenis. Sebagian besar
merupakan ular tidak berbisa dan sebagian lagi memiliki bisa walaupun bisanya tidak mematikan
manusia. Semua jenis memiliki gigi yang kuat dan beberapa ukurannya lebih panjang dan besar
dan terletak di belakang rahang atas, yang kemudian disebut taring belakang.
51
52
53
54
lokasi penelitian ini ukuran panjang SVL nya 760 mm-, ekornya 260 mm, dengan berat 14,00
gram.
Habitat: Ular yang makanan utamanya adalah siput, keong dan kadal ini hidup secara arboreal
dan tersebar luas hingga mencapai ketinggian 1.300 mdpl.
Penyebaran Regional: Myanmar, Brunei, Thailand selatan, Malaysia, Indonesia (Nias, Sumatera,
Bangka, Kep Natuna, Kalimantan, Jawa) dan Filipina.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya dijumpai di habitat kebun sawit Blok Kemarau.
16. Pareas carinatus Boie, 1830
Nama Inggris: Keeled Slug Snake
Deskripsi: Tubuh berwarna cokelat dan terdapat titiktitik hitam atau garis gelap yang melintang
vertebralnya. Sisik vertebral lebih besar. Terdapat tanda
hitam dan jelas menyerupai tanda X melintas dari
belakang mata hingga kuduknya. Sisik ke 7 hingga 9
pada bibir bagian atas tidak menyentuh mata dan
terpisah oleh sisik sub-okular. Panjang totalnya bisa
mencapai 600 mm atau lebih. Individu yang ditemukan
di lokasi penelitian ini ukuran panjang SVL nya 530
Foto: BOBY DARMAWAN
mm-, ekornya 146 mm, dengan berat 8,25 gram.
Habitat: Jenis ini aktif pada malam hari secara arboreal dan lebih mudah ditemukan di daerah
yang lembab dan sekitar perairan di hutan tropis dataran rendah, hutan tropis pegunungan, dapat
juga beradaptasi dengan perkebunan dan pemukiman.
Penyebaran Regional: Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok), Cina, Kamboja,
Vietnam, Thailand, Laos dan Myanmar.
Penyebaran di HPH PT RKI: Pareas carinatus ini ditemukan di habitat hutan sekunder di Blok
Kemarau dan hutan adat/primer Desa Batu Kerbau Blok Pelepat.
C. Viperidae
Viperidae merupakan suku yang paling jelas, semuanya dipastikan berbisa karena memiliki taring
yang panjang di bagian depan rahangnya. Suku ini bisa dikenali dengan bentuk kepala yang
segitiga dan pupil vertikal.
sub famili : Crotalinae
17. Parias hageni Lidth de Jeude, 1886 (Trimeresurus hageni)
Nama Inggris: Indonesian / Hagens Pit-viper
Deskripsi: Kepala berbentuk segitiga dan tubuhnya
berwarna hijau; terdapat garis putih melintang dari
kepala hingga ekor; terdiri dari bintik-bintik berwarna
pink yang memanjang dari sepanjang tubuhnya, dan
ekornya berwarna kemerahan. Jenis ini sangat
berbahaya karena mempunyai bisa yang kuat. Ukuran
panjang tubuh ular ini bisa dugi ka 960 mm.
Habitat: Ular yang bersifat arboreal dan diurnal, pada
habitat hutan dataran rendah sampai ketinggian 1000
Foto: BOBY DARMAWAN
mdpl.
Penyebaran Regional: Thailand, Semenanjung Malaysia, Indonesia (Nias, Kep Mentawai, P
Batu, Simeuleu, Sumatera dan Bangka)
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di Hutan Primer (Hutan adat) Desa Batu
Kerbau Blok Pelepat.
D. Gekkonidae
Gekkonidae adalah famili dalam kelas reptilia yang lebih dikenal terdiri dari cicak-cicak
kecil dan tokek. Ukuran tubuh tokek merupakan ukuran terbesar dalam famili ini. Beberapa jenis
cicak terkelompokan lagi karena memiliki bagian tubuh yang unik diantaranya pada telapak kaki,
sehingga memudahkan pergerakan walaupun dipermukaan yang licin. Jarinya dilengkapi kukukuku yang tajam untuk berjalan di permukaan yang kasar. Tubuhnya terdiri dari sisik-sisik yang
55
halus. Pada jantan, keberadaan pori-pori pada paha dan preanal bukan merupakan kepastian. Mata
memiliki pupil vertikal. Pada beberapa jenis, memutuskan ekor merupakan suatu hal yang harus
dan mudah dilakukan untuk alasan keselamatan. Setelah putus, ekor dapat dengan cepat tumbuh
kembali. Keluarga cicak dan tokek ini hidup pada habitat yang beragam. Makanan utama semua
jenis ini adalah serangga dan mangsa lain yang lebih kecil. Sebagian besar merupakan satwa
diurnal dan bersifat arboreal serta mampu mengeluarkan suara yang bermacam-macam. Semua
jenis mengeluarkan telur dan menetaskannya dalam sarang. Biasanya mengeluarkan dua telur
dalam satu kali bertelur.
18. Cyrtodactylus marmoratus Kuhl, 1831
Nama Inggris: Marbled Bow-fingered Gecko
Deskripsi: Ukuran kepala besar dan keras; moncong
meruncing; dahi cekung; tympanum berbentuk oval,
miring dan ukurannya sekitar sepertiga diameter
matanya; Kepala terdiri dari sisik-sisik granular dan
sisik tersebut membesar pada moncong; nostril dibatasi
oleh rostral; Sisik bibir atas berjumlah 12 dan bibir
bawah berjumlah 10. Sisik pada dagu terdiri dari dua
atau tiga pasang. Tubuh memanjang dan terdiri dari
sisik-sisik granular yang kecil dan halus. Sisik ventral
Foto: LUTHFI R YUSUF
kecil dan halus. Jantan terdiri dari 12 -13 pori preanal
menyerupai bentuk (V) dan 4-6 pori femoral. Ekor panjang dan bulat. Kaki-kaki memanjang dan
kuat serta ukuran telapak lebih lebar. Panjang kepala dan tubuhnya bisa mencapai 76 mm dan
ekornya 72 mm. Individu-individu yang ditemukan di lokasi penelitian ini ukuran panjang SVL
nya berkisar antara 53,30-86,50 mm-, ekornya 47,00-73,60 mm, dengan berat 3-8 gram.
Habitat: Cicak ini merupakan satwa nocturnal dan bersifat arboreal, tapi terkadang ditemui
dibalik batu. Pernah dijumpai di bawah lantai kayu pada rumah lading penduduk.
Penyebaran Regional: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Papua, Malaysia, PNG, sampai Pulau
Chrismast.
Penyebaran di HPH PT RKI: Dijumpai di 4 tipe habitat, yaitu hutan primer/adat Desa Batu
Kerbau Blok Pelepat; hutan sekunder, kebun sawit dan kebun karet di Blok Kemarau.
19. Cyrtodactylus consubrinus Peters, 1871
Nama Inggris: Peters Bow-fingered Gecko
Deskripsi: Kepala besar dan keras; moncong tidak
meruncing; dahi cekung; tympanum (telinga) oval dan
vertikal serta berukuran kecil; Sisik pada bibir atas
berjumlah 10-13 dan bibir bawah berjumlah 10-12 sisik.
Tubuh memanjang dan terdiri dari sisik-sisik halus dan
berjumlah sekitar 65-70 memanjang di perut bagian
tengah. Berwarna hitam dengan garis-garis berwarna
putih tidak beraturan atau krem; Pada masa
pertumbuhan bagian yang berwarna gelap kemudian
Foto: LUTHFI R YUSUF
memudar pada bagian tengahnya; dan pada saat
dewasanya terlihat mempunyai tepi berwarna hitam pada garis krem atau mempunyai bintik coklat
pada ujung tubuhnya. Ekornya bulat dan kakinya memanjang dan sangat kuat dengan cakar yang
tajam. Memiliki panjang tubuh SVL sebesar 120 mm dan panjang total tubuh sebesar 280 mm.
Individu-individu yang ditemukan di lokasi penelitian ini ukuran panjang SVL nya berkisar antara
105,30-120 mm-, ekornya 141,75-170 mm, dengan berat 28,50-40 gram.
Habitat: Jenis ini hidup pada batang-batang pohon besar, berbanir dan berlubang, terutama
tunggak-tunggak pohon yang telah tumbang dan lapuk di hutan hujan dataran rendah dan pada
ketinggian sedang.
Penyebaran Regional: Thailand selatan, Malaysia, Sumatra, Borneo hingga Singkep.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di hutan sekunder Blok Kemarau.
56
57
58
Penyebaran Regional: Jenis ini memiliki penyebaran yang luas hampir diseluruh daratan di Asia
Tenggara.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di kebun karet Blok Kemarau.
F. Lacertidae
Secara umum kadal yang termasuk suku ini berukuran kecil, ramping dan memiliki ekor
yang panjang. Kepala terlihat jelas; sisik punggung granular; sisik ventral lebih besar, terdapat
pori-pori pada femoral tungkai belakang. Kadal jenis ini hidup di tanah, batu dan lubang untuk
mengintai serangga dan makanan lainnya.
25. Takydromus sexlineatus Daudin, 1802
Nama Inggris: Asian Grass Lizard atau Six-striped
Long-tailed Lizard
Deskripsi: Kadal jenis ini memiliki ukuran kecil;
tubuhnya ramping; Ekornya bulat dan sangat panjang
mencapai 6 kali panjang tubuhnya dan fungsinya
supaya tidak tergelincir atau jatuh ketika bergerak dari
satu tangkai ke tangkai lainnya; Sisik ventral dan pada
ekor besar dan meruncing; Kepala meruncing; rostral
berbentuk lima sisi; sisik loreal ada dua; tubuh
memanjang dan berwarna coklat kehijauan, diselingi
Foto: LUTHFI R YUSUF
dua buah garis bewarna hijau terang dilapisi garis
hitam, kemudian bagian tengah ke bagian bawah tubuhnya berwarna hijau muda terang. Bibir atas
terdiri dari 7 sisik, dan bibir bawah 5 sisik. Kaki dan jarinya panjang. Panjang tubuhnya bisa
mencapai 65 mm dan ekornya 360 mm. Individu jenis ini yang ditemukan di HPH PT RKI
berukuran: SVL 60,15 mm dan ekor 245 mm, dengan berat 6,25 gram.
Habitat: Jenis ini menyukai area yang berumput, semak belukar, rumpun bambu karena
pewarnaan tubuhnya bisa berkamuflase di substratnya tersebut. Kadal ini merupakan satwa diurnal
yang bisa hidup hingga ketinggian 1.500 mdpl, banyak ditemukan di areal pertanian.
Penyebaran Regional: Asia Tenggara, Indonesia (Sumatera, Kalimantan dan Jawa).
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di kebun sawit Blok Kemarau.
G. Geoemydidae (Kura-kura air tawar)
Geoemydidae merupakan suku kura-kura air tawar. Suku ini memiliki anggota terbanyak di
Indonesia. Kebanyakan berukuran sedang (200-300 mm), tapi ada yang mencapai 1000 mm.
Secara umum, kura-kura air tawar melakukan hampir semua aktifitasnya di air, tetapi ada beberapa
yang sering terlihat di darat. Jenis yang di dapat di lokasi penelitian yaitu Notochelys platinota.
26. Notochelys platynota Gray, 1834
Nama Inggris: Malayan Flat-Shelled Turtle
Deskripsi: Jenis ini mudah dikenali karena memiliki
ciri yang berbeda dengan terrapin lainnya, yaitu
penambahan jumlah sisik vertebral pada karapasnya
sehingga berjumlah enam dan terkadang tujuh. Karapas
lebar dan rata/datar sepanjang bagian posterior. Pada
masa anakan, karapasnya berwarna hijau terang dan
terdapat titik-titik hitam pada sisik marginalnya.
Plastronnya berwarma oranye-merah dan tidak dan
/atau hanya bisa digerakan ketika telah dewasa. Garis
Foto: LUTHFI R YUSUF
kuning dari belakang mata hingga leher; pada kaki-kaki
terdapat sisik yang renggang, dan pada ekornya pendek ada bintik-bintik merah; cakar panjang;
jari berselaput, kaki depan terdiri dari 5 jari dan kaki belakang 4 jari. Panjang carapas (CL) bisa
mencapai 400 mm. Individu yang ditemukan di lokasi penelitian berjenis kelamin betina,
berukuran SCL/snout carapace length 105,50 mm, dan beratnya sekitar 200 gram. Sisik vertebral
7, sisik marginal 11 pasang, costal 4 pasang, sisik nukal 1, sisik sub-caudal 1 pasang.
Habitat: Kura-kura jenis ini hidup di aliran air yang masih jernih berarus deras ataupun sedang,
terutama di hutan hujan. Buah-buahan, daun-daunan, siput, ikan dan udang adalah makanannya.
Penyebaran Regional: Thailand, Malaysia, Sumatra, Kalimantan, Bangka dan Jawa.
59
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di Hutan Primer (Hutan adapt) Desa
Batu Kerbau Blok Pelepat.
H. Trionychidae (Labi-labi)
Trionychidae merupakan suku labi-labi yang kebanyakan adalah karnivora. Suku ini
memiliki perisai yang sebagian besar terdiri dari tulang rawan. Perisainya yang khas tersebut
menjadi pembeda dengan suku lainnya. Pada beberapa jenis, kaki belakangnya dapat
disembunyikan dibalik katub perisai. Leher dan ekornya relatif panjang. Lubang hidung lebih
panjang. Rahangnya kuat dan geliginya keras. Tempat yang disukainya adalah dasar sungai dan
danau.
27. Amyda cartilaginea Boddaert, 1770
Nama Inggris: Black-rayed Soft-shelled Turtle atau
Asiatic Softshell Turtle
Deskripsi: Ciri utama dari jenis ini adalah adanya alur
bintil-bintil pada sisi anterior depannya; Perisainya
ditutupi kulit dan merupakan tulang rawan; Warna
perisainya beragam dari hitam, cokelat, jingga hingga
abu-abu, dan titik kuning menjadikan motif/alur
tertentu; Matanya kecil, lubang hidungnya terletak di
ujung belalai; Bibirnya tebal; Kaki berselaput penuh
dan memiliki cakar. Bagian perut berwarna putih dan
pucat keabu-abuan. Ukuran perisainya bisa mencapai 100 cm.
Habitat Regional: Jenis ini merupakan jenis yang akuatik, hampir seluruh aktivitas dilakukan di
air. Termasuk ketika waktunya bertelur, jenis ini mendekat dengan badan air untuk meletakan
telurnya.
Penyebaran Regional: Asia Tenggara kecuali Filipina.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini banyak ditemukan di sungai Batang Tebo tidak jauh dari
habitat sekunder Blok Kemarau. Individu ini diperoleh penulis dari penduduk yang berhasil
mendapat bulus ini di sungai yang masih termasuk area penelitian.
Foto: LUTHFI R YUSUF
Penamaan dan Penulisan deskripsi ini menggunakan acuan atau buku: The EMBL reptile
database Uetz (2004), Snake of Malaya (Tweedie, 1983), Snake of Sumatera (David dan Vogel
1997), The Reptiles Of The Indo-Australian Archipelago: Lacertilia, Chelodina, Emydosauria
(Rooij 1915), The Reptiles Of The Indo-Australian Archipelago: Ophidia (Rooij 1917), A
Photographic Guide to Snakes and Other Reptiles of Peninsular Malaysia, Singapore and
Thailand (Cox et al. 1998), Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini (Iskandar 2000), A
Checklist of Southeast Asian and New Guinean Reptiles Part I Serpentes (Iskandar dan Colijn
2001).
60
TNBBS
TNWK
SumSel
PT RKI Bungo
61
Lampiran 2. (lanjutan)
Nama Jenis Reptil
Gonyosoma oxycephalum
Hemidactylus frenatus
Hemidactylus garnotti
Heosemys spinosa
Homalopsis buccata
Lipinia vitigera
Lycodon subcinctus
Eutropis multifasciata
Eutropis quinquecarinata
Eutropis rudis
Eutropis rugifera
Eutropis sp.
Manouria emys
Naja sp
Notochelys platinota
Pareas carinatus
Pareas laevis
Pareas malaccanus
Pareas vertebralis
Psammodynastes pictus
Psammodynastes pulverulentus
Pseudocalotes tympanistriga
Pseudorabdion longiceps
Ptyas korros
Ptychozoon kuhli
Python reticulatus
Rhabdophis conspicilatus
Rhabdophis crysargus
Rhabdophis subminiatus
Taxydromus sexlineatus
Trimeresurus hageni
Trimeresurus puniceus
Trimeresurus sumatranus
Typhlops lineatus
Varanus rudicollis
Varanus salvator
Xenochrophis trianguligera
Xenopeltis unicolor
TNBBS
TNWK
SumSel
PT RKI Bungo
62
Nama jenis
Nama Latin
Balam
Palaquium sp
Bandotan
Ageratum conyzoides
Gundi
Jambu-jambu
Kurrimia paniculata
Kayu Mara
Macaranga triloba
Kayu Pasak
Baccaurea javanica
Kayu sisik
Kedondong Hutan Spondias sp
Kubung
Medang Kuning
Litsea firma
Melangir
Shorea balangiran
Melangir batu
Shorea sp
Meranti
Shorea sp
Pening-pening
Senggeris
X1. sp
X2. sp
X3. sp
Total
Lbds
0.07
0.13
0.11
0.11
0.68
0.34
0.17
0.07
0.56
0.42
1.03
0.09
0.37
0.45
0.08
0.06
0.45
0.07
5.25
K
2.5
2.5
2.5
2.5
35
7.5
5
2.5
25
10
25
2.5
7.5
10
2.5
2.5
2.5
5
152.5
KR
1.64
1.64
1.64
1.64
22.95
4.92
3.28
1.64
16.39
6.56
16.39
1.64
4.92
6.56
1.64
1.64
1.64
3.28
100
F
0.1
0.1
0.1
0.1
0.7
0.2
0.2
0.1
0.7
0.4
0.5
0.1
0.3
0.3
0.1
0.1
0.1
0.2
4.4
FR
2.27
2.27
2.27
2.27
15.91
4.55
4.55
2.27
15.91
9.09
11.36
2.27
6.82
6.82
2.27
2.27
2.27
4.55
100
K
2.5
2.5
2.5
2.5
2.5
7.5
2.5
20
KR
1.43
1.43
1.43
1.43
1.43
4.29
1.43
11.4
D
0.17
0.33
0.27
0.27
1.70
0.85
0.43
0.17
1.40
1.05
2.58
0.21
0.93
1.13
0.20
0.14
1.13
0.18
13.11
DR
1.26
2.52
2.05
2.05
12.96
6.48
3.24
1.26
10.68
8.01
19.64
1.63
7.05
8.58
1.53
1.09
8.64
1.33
100
INP
5.17
6.43
5.96
5.96
51.82
15.95
11.07
5.17
42.98
23.66
47.39
5.54
18.79
21.95
5.44
5.00
12.56
9.16
300
Nama jenis
Anak Mersawa
Bakeh
Bakil
B. Ageh
B. Buah Kampuy
B. Konggo Merah
B. Lalan
B. Skepung
Nama Latin
Anisoptera sp
Artocarpus anisopnylla
Pterocarpus indica
-
Lbds
0.07
0.09
0.07
0.10
0.07
0.27
0.07
0.74
F
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.3
0.1
0.6
FR
1.72
1.72
1.72
1.72
1.72
5.17
1.72
10.3
D
0.18
0.23
0.18
0.24
0.18
0.67
0.17
1.85
DR
0.65
0.83
0.65
0.89
0.65
2.46
0.61
6.86
INP
3.80
3.99
3.81
4.04
3.81
11.92
3.76
28.63
63
Lampiran 3. (lanjutan)
No.
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
Nama jenis
B. Ulai Rimbo
Bayur
Betung
Kartuko
Kasainggang
Kawang
K Arang
K Balik Angin
K Batang Lintang Tanggo
K Etung
K Kelat Padi
K Pisang
K Sekubung
K Ubi
Kedondong Pipit
Kelukup
Letung
Medang
Mempayang
Meranti
Meranti merah
Meranti Putih
Mersawa
Rambutan Hutan
Sembahyang Kunyi
Tembalun
Tembalun Bungo
Tero
Total
Nama Latin
Pterospermum javanicum
Pometia sp
Cynodon dactylon
Cratoxylon sp
Mallotur paniculata
Lucuma malacensis
Spondias sp
Shorea eximia
Litsea firma
Shorea sp
Shorea lepidota
Shorea bracteolata
Anisoptera marginata
Nephelium lappaceum
-
Lbds
0.08
0.27
0.15
0.19
1.21
0.07
0.10
0.16
0.10
0.06
0.35
0.08
0.21
0.11
0.06
0.10
0.71
0.25
0.64
0.14
0.05
2.00
0.42
0.09
0.20
0.84
0.64
0.06
10.79
K
2.5
5
2.5
2.5
15
2.5
2.5
2.5
2.5
2.5
5
2.5
7.5
2.5
2.5
2.5
10
7.5
5
5
2.5
5
10
2.5
2.5
15
2.5
2.5
175
KR
1.43
2.86
1.43
1.43
8.57
1.43
1.43
1.43
1.43
1.43
2.86
1.43
4.29
1.43
1.43
1.43
5.71
4.29
2.86
2.86
1.43
2.86
5.71
1.43
1.43
8.57
1.43
1.43
100
F
0.1
0.2
0.1
0.1
0.4
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.2
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.3
0.2
0.1
0.2
0.1
0.1
0.4
0.1
0.1
0.4
0.1
0.1
5.8
FR
1.72
3.45
1.72
1.72
6.90
1.72
1.72
1.72
1.72
1.72
3.45
1.72
1.72
1.72
1.72
1.72
5.17
3.45
1.72
3.45
1.72
1.72
6.90
1.72
1.72
6.90
1.72
1.72
100
D
0.19
0.68
0.36
0.47
3.01
0.18
0.25
0.40
0.25
0.15
0.88
0.20
0.53
0.28
0.15
0.25
1.78
0.63
1.60
0.35
0.13
5.00
1.05
0.23
0.50
2.10
1.60
0.15
26.99
DR
0.70
2.50
1.34
1.75
11.17
0.65
0.93
1.48
0.93
0.56
3.24
0.74
1.95
1.02
0.56
0.93
6.58
2.32
5.93
1.30
0.46
18.53
3.89
0.83
1.85
7.78
5.93
0.56
100
INP
3.85
8.81
4.50
4.90
26.64
3.80
4.08
4.63
4.08
3.71
9.55
3.89
7.96
4.17
3.71
4.08
17.46
10.05
10.51
7.60
3.62
23.11
16.50
3.99
5.01
23.25
9.08
3.71
300
64
Lampiran 3. (lanjutan)
INP semai di habitat hutan sekunder
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Nama jenis
Aer-aer
Bandetan
Belimbing
Girut
Jambu
Jambu-jambu
Kayu sisik
Kedondong
Medang
Meranti
Mindri Hutan
Pakis
Pasak
Pasang
Perlig lapur
Plangeh
Rotan
Selaginela
Tepus
Total
PLOT
1
4
2
4
1
5
1
1
1
4
1
2
3
1
1
1
1
1
3
ind
1
7
9
18
2
8
2
1
1
23
4
6
10
1
2
1
2
5
17
120
K
250
1750
2250
4500
500
2000
500
250
250
5750
1000
1500
2500
250
500
250
500
1250
4250
30000
KR
0.83
5.83
7.50
15.00
1.67
6.67
1.67
0.83
0.83
19.17
3.33
5.00
8.33
0.83
1.67
0.83
1.67
4.17
14.17
100
F
0.1
0.4
0.2
0.4
0.1
0.5
0.1
0.1
0.1
0.4
0.1
0.2
0.3
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.3
3.8
FR
2.63
10.53
5.26
10.53
2.63
13.16
2.63
2.63
2.63
10.53
2.63
5.26
7.89
2.63
2.63
2.63
2.63
2.63
7.89
100
INP
3.46
16.36
12.76
25.53
4.30
19.82
4.30
3.46
3.46
29.69
5.96
10.26
16.23
3.46
4.30
3.46
4.30
6.80
22.06
200
Nama jenis
Burahol
Gadung
Girut
Kasai
Konggo Merah
Malin-malin
Medang
Meranti
Pakis
Paku
Pinang-pinang
Plangeh
Plangeh putih
Pule
Rotan
Selaginela
Stawar
Tepus
plot
1
1
9
3
1
1
1
2
3
2
1
1
1
1
4
1
1
1
ind
1
1
20
18
1
1
1
2
3
5
1
1
1
3
4
1
1
1
66
K
250
250
5000
4500
250
250
250
500
750
1250
250
250
250
750
1000
250
250
250
16500
KR
1.52
1.52
30.30
27.27
1.52
1.52
1.52
3.03
4.55
7.58
1.52
1.52
1.52
4.55
6.06
1.52
1.52
1.52
100
F
0.1
0.1
0.9
0.3
0.1
0.1
0.1
0.2
0.3
0.2
0.1
0.1
0.1
0.1
0.4
0.1
0.1
0.1
3.5
FR
2.86
2.86
25.71
8.57
2.86
2.86
2.86
5.71
8.57
5.71
2.86
2.86
2.86
2.86
11.43
2.86
2.86
2.86
100
INP
4.37
4.37
56.02
35.84
4.37
4.37
4.37
8.74
13.12
13.29
4.37
4.37
4.37
7.40
17.49
4.37
4.37
4.37
200
65
Lampiran 3. (lanjutan)
INP pancang di habitat sekunder
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Nama jenis
Aer-aer
Bandetan
Belimbing
Belimbing Hutan
Gundi
Jambu
Jambu-jambu
Kayu Mara
Medang
Meranti
Rong-rong
Trentang
plot
1
4
1
1
1
1
1
2
1
5
1
1
ind
2
7
1
4
1
1
2
2
1
8
2
1
32
K
80
280
40
160
40
40
80
80
40
320
80
40
1280
KR
6.25
21.88
3.13
12.50
3.13
3.13
6.25
6.25
3.13
25.00
6.25
3.13
100
F
0.1
0.4
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.2
0.1
0.5
0.1
0.1
2
FR
5
20
5
5
5
5
5
10
5
25
5
5
100
Nama jenis
Arang
Aro
Bandetan
Batang Skepung
Bendo
Burahol
Gundi
Jambu-jambu
Jelatang
Jelutung
Kandi
Kasai
Kayu Balik Angin
Keling-keling
Mano
Medang
Melinjo hutan
Meranti
Plangeh Putih
Pulut
Rambai
Rambutan hutan
Rengse
Tara
Tempreh Padi
K
80
200
40
80
40
120
80
40
120
120
120
200
120
80
40
40
40
480
40
40
40
40
40
40
40
2320
KR
3.45
8.62
1.72
3.45
1.72
5.17
3.45
1.72
5.17
5.17
5.17
8.62
5.17
3.45
1.72
1.72
1.72
20.69
1.72
1.72
1.72
1.72
1.72
1.72
1.72
100.00
F
0.2
0.2
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
0.1
0.2
0.1
0.1
0.4
0.3
0.2
0.1
0.1
0.1
0.5
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
4
FR
5.00
5.00
2.50
2.50
2.50
5.00
5.00
2.50
5.00
2.50
2.50
10.00
7.50
5.00
2.50
2.50
2.50
12.50
2.50
2.50
2.50
2.50
2.50
2.50
2.50
100.00
INP
8.45
13.62
4.22
5.95
4.22
10.17
8.45
4.22
10.17
7.67
7.67
18.62
12.67
8.45
4.22
4.22
4.22
33.19
4.22
4.22
4.22
4.22
4.22
4.22
4.22
200.00
INP
11.25
41.88
8.13
17.50
8.13
8.13
11.25
16.25
8.13
50.00
11.25
8.13
200
66
Lampiran 3. (lanjutan)
INP tiang di habitat hutan sekunder
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Nama jenis
Aer-aer
Bandetan
Belimbing Hutan
Kayu Mara
Kubung
Medang Kuning
Meranti
Pasak
Plangeh
X3. sp
lbds
0.041
0.048
0.063
0.206
0.081
0.023
0.069
0.028
0.015
0.048
K
20
30
30
100
30
10
50
10
10
20
310
KR
6.45
9.68
9.68
32.26
9.68
3.23
16.13
3.23
3.23
6.45
100
F
20
20
30
50
30
10
40
10
10
10
230
FR
8.70
8.70
13.04
21.74
13.04
4.35
17.39
4.35
4.35
4.35
100
KR
3.70
7.41
7.41
3.70
3.70
3.70
7.41
3.70
3.70
7.41
3.70
3.70
25.93
3.70
3.70
3.70
3.70
100
F
10
20
20
10
10
10
20
10
10
10
10
10
50
10
10
10
10
240
D
0.41
0.48
0.63
2.06
0.81
0.23
0.69
0.28
0.15
0.48
6.22
DR
6.59
7.72
10.13
33.12
13.02
3.70
11.09
4.50
2.41
7.72
100
INP
21.74
26.09
32.85
87.12
35.74
11.27
44.61
12.08
9.99
18.52
300
Nama jenis
Aer-aer
Aro
Asem-asem
Bakil
Bandetan
Bendo
Kasai
Kayu Balik Angin
Kayu Mara
Kedondong
Ketapang
Medang
Meranti
Meranti merah
Pasung
Semantung
Slasa
lbds
0.025
0.036
0.035
0.028
0.011
0.020
0.038
0.020
0.009
0.038
0.025
0.011
0.134
0.018
0.018
0.015
0.018
K
10
20
20
10
10
10
20
10
10
20
10
10
70
10
10
10
10
270
FR
4.17
8.33
8.33
4.17
4.17
4.17
8.33
4.17
4.17
4.17
4.17
4.17
20.83
4.17
4.17
4.17
4.17
100
D
0.25
0.36
0.35
0.28
0.11
0.20
0.38
0.20
0.09
0.38
0.25
0.11
1.34
0.18
0.18
0.15
0.18
5.01
DR
5.08
7.19
6.99
5.59
2.26
4.01
7.59
4.01
1.90
7.59
5.08
2.26
26.7
3.53
3.53
3.07
3.53
100
INP
12.95
22.93
22.73
13.46
10.13
11.89
23.33
11.89
9.77
19.17
12.95
10.13
73.53
11.40
11.40
10.94
11.40
300