Anda di halaman 1dari 81

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS REPTIL

PADA BEBERAPA TIPE HABITAT


DI EKS-HPH PT RKI KABUPATEN BUNGO
PROPINSI JAMBI

LUTHFI RAMDANI YUSUF

DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS REPTIL


PADA BEBERAPA TIPE HABITAT
DI EKS-HPH PT RKI KABUPATEN BUNGO
PROPINSI JAMBI

LUTHFI RAMDANI YUSUF

Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

RINGKASAN
Luthfi Ramdani Yusuf. E34103015. Studi Keanekaragaman Jenis Reptil
pada Beberapa Tipe Habitat Di Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo
Propinsi Jambi. Dibawah Bimbingan: (1) Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si
dan (2) Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.
Penelitian mengenai reptil di Indonesia pada umumnya dilakukan pada
kawasan yang dilindungi. Belum ada penelitian reptil di Indonesia yang dilakukan
di areal eks-HPH. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun dan membandingkan
keanekaragaman jenis reptil pada beberapa tipe habitat di Eks-HPH PT RKI
Kabupaten Bungo Propinsi Jambi.
Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2007 di Blok Kemarau dan
Blok Pelepat Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo Propinsi Jambi. Metode yang
digunakan adalah pengamatan langsung atau Visual Encounter Survey (VES) pada
jalur (Heyer et al. 1994) pada pukul 08.00-11.00 WIB dan 20.00-23.00 WIB
selama 3 hari berturut-turut. Dilakukan juga pengamatan diluar jalur dan
pemasangan kail berumpan untuk menangkap kura-kura. Data reptil yang
dijumpai pada jalur yang dianalisis dengan menggunakan indeks kekayaan (Dmg),
kemerataan (evenness), peluang perjumpaan (PP).
Suhu udara di lokasi penelitian pada siang hari berkisar antara 20-32oC dan
malam hari 20 26oC. Suhu air rata-rata adalah 22,68 oC. Kelembaban berkisar
antara 36 - 83 %. Ketinggian berkisar antara 375 501 mdpl.
Kekayaan jenis reptil yang dijumpai adalah 31 jenis dari 9 suku. Semua jenis
tersebut merupakan catatan baru untuk kawasan Eks-HPH PT RKI. Tidak ada
jenis reptil yang endemik Sumatera yang dijumpai. Kekayaan jenis tersebut
merupakan 5,20 % dari kekayaan reptil di Indonesia. Kekayaan tertinggi dan
jumlah jenis terbanyak terdapat pada hutan primer dan terendah pada tanah
terbuka. Lebih tingginya keanekaragaman jenis reptil yang dijumpai di hutan
primer daripada di kebun dan tanah terbuka diduga karena hutan primer memiliki
struktur habitat yang lebih beragam daripada habitat lainnya sehingga mampu
menyediakan kebutuhan pakan, shelter dan cover lebih baik. Total jenis yang
dijumpai pada jalur adalah 20 jenis dan sebelas lainnya ditemukan diluar jalur.
Terdapat 2 jenis reptil yang termasuk kategori terancam/vulnerable IUCN dan
appendik II CITES (ATCN 2004) yaitu kura-kura punggung datar (Notochelys
platynota) dan bulus (Amyda cartilaginea).

SUMMARY
Luthfi Ramdani Yusuf. E34103015. Study of Reptile Diversity on Several
Habitat Types in Ex-Forest Concession PT RKI Bungo Regency Jambi
Province. Under supervision of (1) Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si and
(2) Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.
Most of research about reptile in Indonesia were implemented at protected
areas. In ex-forest concessions in Indonesia, there has been no research about
reptiles potential biodiversity. This research aimed to compile and compare
reptile diversity in several habitat types in ex-forest concession PT RKI Bungo
Regency, Jambi.
The study was implemented on July-August 2007 at Kemarau and Pelepat
Block in ex-forest concession PT RKI Bungo Regency, Jambi. The data was
collected by Visual Encounter Survey (VES) in transects (Heyer et al. 1994), at
08.00-11.00 WIB and 20.00-23.00 WIB. observation outside the transects, and
using turtles trap. Collected data was analyzed by species richness index (Dmg),
evenness index (E) and encounter opportunity (PP).
Level of air temperature on research field ranged from 20 to 32oC ine the
daytime and range from 20 to 26oC in the night, while water average temperature
is 22,68 oC. Elevation ranged from 375 to 501 meter up sea level. Relative
humidity ranged from 36 to 83 %.
There were 31 species from 9 families of reptiles recorded at ex-forest
concession PT RKI. All species were new records for the area. There is no
endemic species founded. The species richness represents 5,20% of Indonesian
reptiles. Highest species richness (Dmg) was recorded in primary forest, while the
lowest was in land-cleared area. Primary forest has more varied vegetation and
food supply, shelter and cover compared to other habitats. More varied habitats
structur more diversed wildlife inside (Kreb 1978). Total number of species
recorded inside the transect are 20 species, while 11 species were recorded outside
the transect. There were two species categorized as Vulnerable in IUCN and
Appendix II CITES which are the Broad-backed terrapin (Notochelys platynota)
and Southeast Asian Soft-shelled turtle (Amyda cartilaginea).

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Studi
Keanekaragaman Jenis Reptil Pada Beberapa Tipe Habitat Di Eks-HPH PT RKI
Kabupaten Bungo Propinsi Jambi adalah benar-benar karya saya sendiri dengan
bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah
pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2008

Luthfi Ramdani Yusuf


NRP E34103015

Judul Skripsi

: Studi Keanekaragaman Jenis Reptil Pada Beberapa Tipe


Habitat Di Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo Propinsi
Jambi

Nama Mahasiswa

: Luthfi Ramdani Yusuf

NIM

: E34103015

Menyetujui:
Komisi Pembimbing
Ketua,

Anggota,

(Dr.Ir.Yanto Santosa, DEA)


NIP. 131 430 800

(Dr.Ir.Mirza Dikari Kusrini, MSi)


NIP. 131 878 493

Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

(Dr.Ir. Hendrayanto, M.Agr)


NIP. 131 578 788

Tanggal lulus:

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke
khadirat ALLAH SWT atas rahmat, nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Studi Keanekaragaman Jenis
Reptil Pada Beberapa Tipe Habitat Di Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo
Propinsi Jambi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
bawah bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Yanto Santosa,
DEA.
PT Rimba Karya Indah (PT RKI) berkedudukan di Jambi dan bergerak
dibidang HPH untuk jangka waktu 20 tahun terhitung sejak tanggal 12 Januari
1987. Terdapat beberapa wilayah pengelolaan PT RKI yang berbatasan langsung
dan merupakan bagian dari wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat. Sejak tahun
1999 PT RKI tidak melakukan kegiatannya lagi. Sampai saat ini pengelolaannya
dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat bersama masyarakat.
Kawasan ini belum memiliki data mengenai keanekaragaman jenis reptil.
Penelitian mengenai keanekaragaman jenis reptil pada beberapa tipe habitat di
kawasan Eks-HPH RKI perlu dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman dan
membandingkannya pada setiap tipe habitat. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi data awal dan masukan bagi pemerintah dalam mengelola kawasan dan
manajemen masyarakat sekitar kawasan di Eks-HPH PT RKI. Penelitian ini
diharapkan menjadi pembuka penelitian-penelitian mengenai reptil terutama pada
kawasan HPH atau eks-HPH lainnya.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna dan
tidak tertutup kemungkinan masih terdapat ketidaksesuaian baik dalam penyajian
isi materi maupun tata bahasa maupun dalam hasil yang diperoleh sebagai akibat
dari belum optimalnya usaha dan musim yang kurang tepat selama penelitian.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Bogor, Januari 2008
Penulis

ii

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 11 Juni 1984 dari
pasangan Drs. Ahmad Yusuf dan Hj. Nok Dodoh Jubaedah
sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 1990
penulis memulai pendidikan di TK Tunas Kartini Ciamis dan
pada tahun 1991 memulai pendidikan dasar di SD Negeri
Singandaru II. Pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN I
Kawali kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri I Ciamis. Pada tahun
2003 penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa pada Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Ujian Saringan Masuk IPB (USMI).
Selama menjalani pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif di
beberapa kegiatan kemahasiswaan antara lain HIMAKOVA (Himpunan
Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata) sebagai ketua periode
2005-2006,

Kelompok

Pemerhati

Herpetofauna-HIMAKOVA,

IFSA

(International Forestry Student Association), PMGC (Paguyuban Mahasiswa


Galuh Ciamis) sebagai ketua periode 2005-2006, Koperasi Mahasiswa (KOPMA)
IPB dan Tim KS-Beriman IPB 2006 dalam mengevaluasi kebersihan dan
kenyamanan kampus IPB Darmaga. Selain aktif di kampus, penulis aktif di luar
kampus yaitu di DAMAS (Daya Mahasiswa Sunda) Kota Bogor.
Penulis telah mengikuti beberapa praktek dan kegiatan lapangan
diantaranya: SURILI-HIMAKOVA (Studi Konservasi Lingkungan) di Taman
Nasional Betung Kerihun Propinsi Kalimantan Barat dan Taman Nasional Way
Kambas Propinsi Lampung, Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di
CA Kamojang-CA Leuweung Sancang Kabupaten Garut dan Perhutani KPH
Indramayu, Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Meru Betiri
Kabupaten Jember-Banyuwangi.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul Studi Keanekaragaman Jenis Reptil Pada Beberapa Tipe
Habitat di Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo Propinsi Jambi dibawah
bimbingan Dr.Ir Mirza D Kusrini, MSi dan Dr.Ir.Yanto Santosa, DEA.

iii

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyampaikan terimakasih yang tulus dan penghargaan yang
setinggi-setingginya kepada Papah dan Mamah, adiku Irsyad Ilyasi, Neng Rima
Duana, seluruh keluarga besar H Komar dan H Endang Suharlan, kedua dosen
pembimbing skripsi yaitu Dr.Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr.Ir. Yanto
Santosa, DEA, dan juga kepada dosen penguji Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc.
dan Ir. Iwan Hilwan, MS.
Lembaga pemerintah: Dinas Kehutanan Propinsi Jambi (Pak Ohen), Dinas
Kehutanan Kabupaten Bungo (A Iman, Bang Dendi, Mba Dwi, Mba Ikeu), BMG
Sultan Thaha Jambi, BKSDA Bungo (Pak Ikawa), TNKS (Bang Simbolon, Pak
Donal, Pak Firdaus, Pak Tabrani, Pak Saksi, Pak Ijo), LIPI (Dra Hellen Kurniati,
Amir Hamidy M.Si, Mumpuni M.Si), Kepala Desa dan BPD Renah Sungai Ipuh
(Pak Ilyas, Pak Hasan dan keluarga), Kepala Desa Batu Kerbau (Pak Taphrizal
dan Keluarga).
Lembaga/Organisasi bukan pemerintah: Amphibian Specialist Group dari
IUCN yang memberikan dana penelitian Amphibian Seed Grant atas nama Boby
Darmawan yang mana memungkinkan penelitian ini juga berjalan, Wetland
International, MHS Team (Bang Agung, Bang Nata, Bang Charlie, Bang Alex,
Anto, Pak Sutis, dll), Komunitas Sengked (Syakur, Dudi, Firman, Kurdi, dll),
KSHE KOMODO (Boy, Gilang, Rambo, Imran, Deden, Didik, Bilal, Yuyun,
Ayu, Tri, Munif, Tyaz), Tim P3H Indramayu (Ruri, Reren, Adi dll), Tim PKLP
TN Meru Betiri (Topo, Joko, Ade, Santi, Veron), KPH HIMAKOVA, Frog Team
(Mbae Ririn, TNeneng, AWempy, Mba Inggar, Om Yazid, Reza, Lubis, Dian,
Feri, Rima), KPAP KSHE (Bu Evan, Bu Fifi, Pak Acu, Bu Ratna dll).
Perorangan: Keluarga Ardiansyah Putra dan Keluarga Ardiansyah (Kota
Jambi), Keluarga Endang Bunyamin S.H (Palembang), Bang Thamrin, Bang
Ishak, Bang Muslim, Babeh Muhtar, Kakak-kakak kelasku TRika, TCinde,
AUdi, TGaluh, TDiajeng, KHerdi, AIki Ucup (36), Mas Insan, teman-teman
terbaik (Manda, Yulis, Wina, Akhlis, Deni, Hilman, Agung, Riza, Gigin, Yuli,
Yus, Riani, Rika, Eva, Amel, Vina, Shinta, Endah).
Semoga semua kebaikan bapak, ibu, dan sahabat, dibalas dengan yang
terbaik oleh Allah SWT, amin.

iv

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
RIWAYAT HIDUP................................................................................................. ii
UCAPAN TERIMAKASIH................................................................................... iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL.................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ viii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Tujuan ..................................................................................................... 2
1.3 Manfaat ................................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Bio-ekologi Reptil................................................................................. 3
2.1.1 Testudines (Kura-kura) ................................................................... 4
2.1.2 Squamata (Kadal dan Ular)............................................................ 5
2.1.3 Habitat Reptil .................................................................................. 6

2.2

Pemanfaatan Reptil dan Ancaman Konservasinya ............................... 8

2.3

Ukuran Keanekaragaman Jenis dan Faktor-faktor


yang Mempengaruhinya........................................................................ 9

BAB III. METODE


3.1 Lokasi dan Waktu ................................................................................ 10
3.2 Alat dan Bahan..................................................................................... 10
3.3 Jenis Data ............................................................................................. 11
3.4 Pengumpulan Data ............................................................................... 11
3.5 Analisis Data ........................................................................................ 13
BAB IV. KONDISI UMUM
4.1 Sejarah.................................................................................................. 16
4.2 Letak dan Luas ..................................................................................... 16
4.3 Kondisi Fisik ........................................................................................ 16
4.4 Kondisi Biologi .................................................................................... 18

4.5 Kondisi Habitat Di Lokasi Penelitian .................................................. 18


BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian .................................................................................... 24
5.1.1 Kekayaan Jenis............................................................................ 24
5.1.2 Kemerataan Jenis ........................................................................ 27
5.1.3 Peluang Perjumpaan.................................................................... 28
5.1.4 Kesamaan Jenis .......................................................................... 28
5.1.5 Ritme Aktifitas dan Penyebaran ................................................. 29
5.1.6 Kondisi Jalur Penelitian .............................................................. 30
5.2 Pembahasan.......................................................................................... 32
5.2.1 Kekayaan Jenis............................................................................ 32
5.2.2 Kemerataan Jenis ........................................................................ 36
5.2.3 Peluang Perjumpaan.................................................................... 38
5.2.4 Kesamaan Jenis .......................................................................... 39
5.2.5 Ritme Aktifitas dan Penyebaran ................................................. 40
5.2.6 Pemanfaatan Reptil dan Ancaman Konservasinya ..................... 41
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 43
6.2 Saran..................................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 44
LAMPIRAN.......................................................................................................... 48

vi

DAFTAR TABEL
No.

Halaman

1.

Pengelompokan jenis pada kelas reptilia ........................................................ 4

2.

Kondisi fisik seluruh jalur pengambilan data di lokasi penelitian. .............. 17

3.

Karakteristik sungai dan kecepatan arus di areal HPH PT RKI.................... 18

4.

Perjumpaan reptil diseluruh plot penelitian .................................................. 24

5.

Daftar jenis reptil yang dijumpai diseluruh plot penelitian........................... 24

6.

Daftar kekayaan jenis reptil diseluruh jalur menurut tipe habitatnya ........... 26

7.

Peluang perjumpaan (PP) reptil diseluruh jalur penelitian ........................... 28

8.

Ritme aktifitas reptil yang teramati............................................................... 29

9.

Penyebaran reptil yang teramati di lokasi penelitian. ................................... 30

vii

DAFTAR GAMBAR
No.
1.

Halaman
Peta sebaran plot pengamatan keanekaragaman jenis reptil
di Eks-HPH PT RKI..................................................................................... 10

2.

Contoh unit analisis vegetasi dengan cara jalur ........................................... 13

3.

Aturan yang mengatur pengelolaan Hutan Adat Desa Batu Kerbau............ 19

4.

Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b) tipe
habitat hutan primer ..................................................................................... 20

5.

Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b) tipe
habitat hutan sekunder ................................................................................. 20

6.

Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b) tipe
habitat kebun karet ....................................................................................... 21

7.

Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b) tipe
habitat kebun sawit....................................................................................... 22

8.

Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b) tipe
habitat tanah terbuka .................................................................................... 23

9.

Apolpeltura boa, melingkarkan tubuhnya ketika dipegang ........................... 26

10. Indeks kekayaan jenis (Dmg) setiap tipe habitat.......................................... 26


11.

Kurva akumulasi jenis reptil pada jalur akuatik dan terestrial..................... 27

12.

Kurva penambahan jenis reptil setiap tipe habitat ....................................... 27

13.

Indeks kemerataan (E) setiap tipe habitat ................................................... 27

14.

Dendrogram kesamaan jenis reptil pada jalur pengamatan setiap tipe habitat
di Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo....................................................... 28

15.

Dendrogram kesamaan jenis reptil di Eks-HPH PT RKI dengan TNBBS,


TNWK dan Sumsel ...................................................................................... 29

16.

Gonocephalus chamaeleontinus (juvenile) yang merupakan jenis yang


dijumpai di Eks-HPH PT RKI, TNBBS, TNWK dan Sumsel. .................... 40

viii

DAFTAR LAMPIRAN
No.

Halaman

1.

Deskripsi Jenis Reptil yang terdapat di Eks-HPH PT RKI ........................... 48

2.

Daftar Jenis Reptil Pada 4 Lokasi di Sumatera............................................. 60

3.

Hasil penghitungan Indeks Nilai Penting...................................................... 62

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reptil merupakan salah satu bagian dari kekayaan hayati Indonesia dengan
tingkat endemisitas yang tinggi. Indonesia memiliki 600 jenis (WCMC 1992) dari
7427 jenis reptil yang terdapat di dunia (Obst 1998) dan 150 jenis merupakan
jenis yang endemik (WCMC 1992). Pulau Sumatera memiliki 300 jenis reptil dan
amfibi

dan

23%

diantaranya

merupakan

jenis

endemik

(Conservation

International 2001). Beberapa penelitian tentang reptil di Sumatera telah


memberikan catatan-catatan baru, misalnya Sudrajat (2001) menemukan 27 jenis
reptil di Sumatera Selatan, dan Endarwin (2006) menemukan 51 jenis reptil di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. David dan Vogel (1996) menyatakan
terdapat 127 jenis ular yang tersebar di Pulau Sumatera. Menurut Sarbi (2000)
keanekaragaman jenis satwaliar di HPH PT RKI adalah 95 jenis, dan dua dari
empat jenis reptil yang tercatat adalah jenis yang dilindungi.
Pengetahuan mengenai reptil dan perhatian terhadap reptil di Indonesia
masih kurang. Hal ini terlihat dari belum banyaknya informasi dan penelitian di
Indonesia yang khusus mengkaji reptil. Selain itu, penelitian-penelitian yang
dilakukan pada umumnya berada di kawasan konservasi seperti Taman Nasional,
sedangkan pada areal eks-HPH (Hak Pengusahaan Hutan) belum pernah
dilakukan. Suatu areal bekas HPH diduga telah mengalami kehilangan sebagian
potensi tumbuhan dan satwaliarnya. Kegiatan penebangan yang dilakukan HPH
menyebabkan berkurangnya luasan penutupan hutan. Hal itu berarti berkurang
pula tempat hidup alami untuk reptil. Gibbons et al (2000) menyatakan bahwa
berkurangnya luasan penutupan hutan merupakan salah satu ancaman utama
terhadap kelangsungan hidup reptil yang dapat menyebabkan kepunahan.
PT RKI (Rimba Karya Indah) merupakan salah satu contoh kegiatan hak
pengusahaan hutan (HPH). HPH PT RKI sudah tidak melakukan kegiatannya
sejak 1999. Pengelolaan areal Eks-HPH PT RKI yang dilakukan oleh Dinas
Kehutanan setempat bersama masyarakat menyebabkan kawasan tersebut secara
umum terbagi menjadi beberapa tipe habitat yaitu: habitat berhutan (hutan primer
dan hutan sekunder), habitat kebun (kebun karet dan kebun sawit), dan habitat
hutan yang baru dibuka (tanah terbuka). Perbedaan habitat tersebut diduga akan

menjadi tempat hidup untuk beberapa jenis reptil. Selain itu beberapa wilayah
pengelolaan PT RKI berbatasan langsung dan sebagian kawasannya merupakan
kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (Sarbi 2000). Hal ini diduga akan
mempengaruhi keanekaragaman reptil diantara kedua wilayah tersebut. Kegiatankegiatan konversi hutan primer yang masih tersisa menjadi perkebunan dan
perladangan dengan cara pembakaran yang tidak teratur dapat menjadi ancaman
pada keberadaan dan keanekaragaman reptil di wilayah tersebut.
Keanekaragaman jenis merupakan salah satu variabel yang berguna bagi
tujuan manajemen pengelolaan dalam konservasi. Perubahan dalam kekayaan
jenis dapat digunakan untuk memprediksi dan mengevaluasi respon komunitas
tersebut terhadap kegiatan manajemen (Nichols et al. 1998). Kegiatan penelitian
dan eksplorasi keanekaragaman jenis reptil pada suatu wilayah yang baru
merupakan kegiatan awal bagi kegiatan penelitian reptil selanjutnya.
1.2 Tujuan
Penelitian

ini

bertujuan

untuk

menyusun

dan

membandingkan

keanekaragaman jenis reptil pada beberapa tipe habitat di Eks-HPH PT RKI.


1.3 Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi:
1.

Data awal keanekaragaman jenis reptil di Eks-HPH PT RKI.

2.

Data pendukung dalam rangka repartiasi Eks-HPH PT RKI menjadi bagian


dari Taman Nasional Kerinci Seblat.

3.

Masukan bagi pemerintah dan masyarakat Kabupaten Bungo dalam kegiatan


pemanfaatan dan pengelolaan reptil.

4.

Pembuka untuk penelitian-penelitian reptil di eks-HPH lainnya.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Bio-ekologi Reptil
Reptil adalah hewan bertulang belakang yang bersisik dan bernapas dengan
paru-paru. Ciri utama reptil adalah tubuhnya yang ditutupi dengan sisik-sisik rata
atau berduri yang berfungsi untuk mengatur sirkulasi air melalui kulitnya. Tidak
seperti ikan, sisik reptil tidak saling terpisah. Sisik-sisik tersebut tersusun dari
protein yang disebut keratin. Pada manusia, keratin ini merupakan protein
penyusun kuku jari tangan dan kaki (McLaren dan Rotundo 1985). Tidak terdapat
rambut atau bulu pada reptil (Grzimek 1975). Reptil termasuk satwa ektotermal
karena memerlukan sumber panas eksternal untuk melakukan kegiatan
metabolismenya. Pada daerah yang terkena sinar matahari yang cukup, reptil
sering dijumpai berjemur pada pagi hari untuk mencapai suhu badan yang
dibutuhkan (Halliday dan Adler 2000).
Warna kulit beragam, dari warna yang menyerupai lingkungannya sampai
warna yang membuat reptil mudah terlihat. Semua reptil tidak memiliki telinga
eksternal. Pada sebagian besar reptil terdapat perbedaan antara jantan dan betina
pada ukuran dan bentuk, maupun warna tubuh dewasa (Halliday dan Adler 2000).
Pada beberapa jenis reptil terdapat tulang-tulang kecil yang hampir muncul di
permukaan kulit lidah yang merupakan salah satu organ yang penting bagi
kebanyakan reptil untuk mendeteksi dan menangkap mangsanya (Cogger dan
Zweifel 2003). Sedangkan organ-organ dalam reptil tidak jauh berbeda dengan
hewan bertulang belakang lainnya. Namun, reptil mampu beradaptasi lebih baik
daripada amfibi ketika berada di darat. Hal ini bisa dilihat dari posisi alat
geraknya. Kaki pada kebanyakan reptil lebih melengkung kebawah, sehingga
tubuhnya tidak menyentuh tanah dan kemudian bisa bergerak lebih cepat dan
leluasa (McLaren dan Rotundo 1985).
Hampir semua reptil adalah ovipar atau bertelur, dan sebagian lagi
ovovivipar. Reptil dapat bersifat ovipar maupun ovovivipar walaupun termasuk
dalam genus yang sama. Perbedaan sifat tersebut dapat ditemukan juga pada jenis
yang sama, pada dua populasi berbeda (Goin dan Goin 1971). Proses pembuahan
sel telur oleh sperma pada reptil terjadi secara internal. Reptil betina
meninggalkan telurnya yang bercangkang dan disembunyikan dalam lubang

buatan atau di bawah lapisan tanah, serasah untuk ditetaskan. Suhu inkubasi
berbeda pada setiap jenis (Halliday dan Adler 2000).
Menurut Savage (1998) reptil memiliki taksonomi sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Sub-filum

: Vertebrata

Kelas

: Reptilia

Sub Kelas

: Eureptilia

Super Ordo

: Lepidosauria, Testudines, Archosauria

Ordo

: Testudines, yaitu kura-kura; Squamata, yaitu kadal, ular,


dan amphisbaenia; Rhynchocephalia, yaitu tuatara dan
Crocodylia, yaitu buaya.

Obst (1998) menyebutkan bahwa reptil terdiri dari 64 famili, sekitar 987
genus dengan 7.427 spesies (Tabel 1). Indonesia memiliki tiga ordo yaitu:
Testudines, Squamata dan Crocodylia. Tuatara (Ordo Rhynchocephalia)
merupakan reptil primitif yang terdiri dari 1 jenis dan hanya terdapat di Selandia
Baru (OShea dan Halliday 2001).
Tabel 1. Pengelompokan jenis pada kelas reptilia.
Ordo
Crocodilia
Rhynchocephalia
Squamata
Testudinata

Sub-ordo
3 (Amphisbaenia, Serpentes, Sauria)
2

Family
3
1
48
12

Genus
8
1
888
90

Spesies
23
2
7152
250

Reptil ini merupakan satwa yang masih sulit untuk bisa diketahui umurnya.
Beberapa jenis kura-kura misalnya, bisa mencapai umur lebih dari 100 tahun
(McLaren dan Rotundo 1985).
2.1.1 Testudines (Kura-kura)
Salah satu ordo dari reptil ini adalah testudines atau testudinata, yang dalam
bahasa lainnya adalah turtles dan tortoise, dalam bahasa Indonesia adalah kurakura (Obst 1998). Kura-kura berbeda dengan reptil lainnya, yaitu memiliki organ
pelindung seperti perisai yang dinamakan karapas dan plastron. Karapas
menempel menutupi punggung kura-kura dan plastron yang menutupi perut kurakura. Perisai ini terdiri dari sisik yang merupakan lapisan epidermis yang
termodifikasi. Ukuran kura-kura berkisar dari 11-185 cm. Bentuk dan struktur

perisai terdiri dari dua macam yaitu perisai yang keras dan perisai yang lunak.
(Halliday dan Adler 2000).
Testudines mencakup jenis yang hidup di laut, perairan darat, maupun darat.
Testudines mewakili sekitar 4% dari seluruh jenis reptil di dunia (Halliday dan
Adler 2000). Kura-kura air tawar cenderung bersifat omnivora, dan kura-kura
darat merupakan herbivora (OShea dan Halliday 2001). Kura-kura terkadang
melakukan pergantian sisiknya (McLaren dan Rotundo 1985). Kura-kura dikenal
sebagai hewan yang lambat, sedangkan penyu dapat berenang hingga kecepatan
32 km/jam (Goin dan Goin 1971). Suhu inkubasi menentukan laju perkembangan
telur dan juga jenis kelamin kura-kura. Semakin tinggi suhu inkubasi maka bayi
yang menetas akan berkelamin betina, dan pada suhu yang lebih rendah akan
berkelamin jantan. Suhu inkubasi berbeda pada setiap jenis (Halliday dan Adler
2000).
2.1.2 Squamata (Kadal dan Ular)
Menurut Bauer (1998), ordo Squamata dibagi lebih lanjut menjadi tiga subordo, yaitu: Sauria/Lacertilia atau kadal; Amphisbaenia; dan Serpentes/Ophidia
atau ular. Kadal merupakan kelompok terbesar dalam reptil. Kadal terdiri dari
3.751 jenis dalam 383 genus dan 16 famili, atau 51% dari seluruh jenis reptil
(Halliday dan Adler 2000); (OShea dan Halliday 2001). Amphisbaenia terdiri
dari 4 famili dan dibagi menjadi 21 genus dan 140 jenis, atau sekitar 2% dari
seluruh reptil. Ular atau Serpentes terdiri dari 2,389 jenis, 471 genus, 11 famili
atau sekitar 42% dari seluruh jenis reptil (Halliday dan Adler 2000).
Tidak banyak kadal yang total ukuran panjangnya melebihi 1 kaki (30 cm)
dan lebih sedikit lagi kadal yang ukurannya melebihi 1 meter (Bauer 1998). Sama
halnya dengan jenis reptil lain, kadal memiliki beragam bentuk, ukuran dan
warna. Ukuran Snout-Vent Length (SVL) kadal berkisar dari 1,5-145 cm, tetapi
sebagian besar berkisar antara 6-20 cm (Halliday dan Adler 2000).
Berbeda dengan reptil-reptil yang lain, ular tidak memiliki kaki, kelopak
mata, atau telinga eksternal. Seluruh tubuhnya tertutup oleh sisik (OShea dan
Halliday 2001). Jumlah, bentuk dan penataan sisik pada ular dapat digunakan
untuk identifikasi jenis (Mattison 1992). Panjang tubuh ular berkisar dari yang
terpendek yaitu kurang dari 15 cm (famili Anomalepididae) sampai yang

terpanjang (10) m dengan berat 250 kg (Anakonda / Eunectes murinus) (Shine et


al. 1998). Sebagian besar ular berukuran antara 45-200 cm, dan 10-20% dari
panjang tersebut adalah panjang ekor (Mattison 1992).
Semua ular adalah karnivora. Mereka mencari mangsa menggunakan
lidahnya yang dapat mendeteksi partikel-partikel kimia di udara. Beberapa jenis
memiliki sensor panas untuk mendeteksi keberadaan mangsa. Sebagian besar jenis
ular membunuh mangsa dengan melilitnya, dan jenis lain dengan racun/bisanya.
Ular berbisa memiliki taring untuk mengeluarkan bisa pada mangsanya. Taring
tersebut terletak pada bagian belakang rahang atas atau pada bagian depan rahang
(OShea dan Halliday 2001). Ular dan Kadal selalu melakukan pergantian
kulitnya secara berkala (Mattison 1992).
Beberapa jenis ular melakukan pertahanan dengan berpura-pura mati bila
sedang terancam. Beberapa jenis ular dan dua jenis kadal dari genus Heloderma
melakukannya dengan racun atau bisa. Mabuya sp dan beberapa jenis lain
melakukannya dengan caudal autotomy atau melepaskan ekornya (OShea dan
Halliday 2001). Betina dari beberapa jenis kadal Eumeces sp dan ular python
diketahui melakukan penjagaan terhadap telurnya (Goin dan Goin 1971). Dalam
berkomunikasi dengan sesama jenis atau satwa lainnya, reptil melakukannya
secara

visual

(misalnya

Kadal

Iguana), penciuman

(olfactory)

dengan

mengeluarkan zat feromon (misalnya ular), dan secara audio/vokal (misalnya


tokek) (Cogger dan Zweifel 1998).
2.1.3 Habitat Reptil
Menurut Alikodra (2002) habitat satwaliar adalah suatu kesatuan dari faktor
fisik maupun biotik yang digunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak
satwaliar. Sedangkan Odum (1971) mengartikan habitat suatu individu sebagai
tempat dimana individu tersebut hidup. Definisi lain dinyatakan oleh Goin dan
Goin (1971) bahwa habitat tidak hanya menyediakan kebutuhan hidup suatu
organisme melainkan tentang dimana dan bagaimana satwa tersebut dapat hidup.
Matisson (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
hubungan mahluk hidup dengan lingkungannya adalah suhu, panas, cahaya
matahari dan kelembaban. Penyebaran reptil di dunia dipengaruhi oleh jumlah
cahaya matahari pada daerah tersebut (Halliday dan Adler 2000). Pepohonan

merupakan bagian yang sangat penting pada habitat reptil karena berperan dalam
membedakan karakteristik setiap habitat dan mempengaruhi ciri-ciri fisik suatu
lingkungan. Pada areal hutan, pepohonan berperan sebagai pengendali iklim
mikro, pengatur suhu dan kelembaban (Goin dan Goin 1971).
Primack

et

al.

(1998)

mengatakan

bahwa

komposisi

Selanjutnya

komunitas

dan

keanekaragaman jenis reptil lebih tinggi pada dataran rendah dibandingkan


dengan dataran tinggi dan kelimpahan jenis reptil semakin berkurang dengan
bertambahnya ketinggian.
Sudrajat (2001) membagi habitat herpetofauna di Sumatera Selatan
berdasarkan ada dan tidaknya modifikasi lingkungan yang disebabkan oleh
manusia maupun yang terjadi secara alami, diantaranya: hutan primer, hutan
bekas tebangan, camp/bekas camp, jalan sarad, bekas kebun, kebun karet, sawah
dan pemukiman. Reptil dapat hidup didalam dan dipermukaan tanah, celah-celah
batu, di bawah puing-puing, hingga tajuk pohon, padang rumput, gurun pasir,
rawa, danau, sungai dan laut (Duellman dan Heatwole 1998).
Di Indonesia terdapat sekitar 39 jenis kura-kura yang dibedakan menurut
habitatnya yang terdiri dari: 6 jenis penyu, 6 jenis labi-labi, 2 jenis baning (kurakura darat) dan 25 jenis kura-kura air tawar (Iskandar 2000). Penyu hidup di laut
dan hanya naik ke pantai untuk bertelur. Kura-kura dan labi-labi terdiri dari jenis
akuatik dan semi-akuatik yang hidup pada daerah perairan tawar. Baning atau
kura-kura darat hidup sepenuhnya di darat (Halliday dan Adler 2000).
Kadal hidup pada berbagai habitat. Jenis terestrial hidup di pepohonan
maupun di dalam tanah. Jenis-jenis lain merupakan semi-akuatik (Halliday dan
Adler 2000). Kulit kadal yang impermeable disertai kemampuan untuk
menyimpan air menyebabkan kadal dapat hidup di daerah gurun (Mattison 1992).
Sebagian besar ular merupakan jenis terestrial. Jenis ular yang paling berbisa
merupakan ular air yang hidup di laut. Selain itu ada juga jenis ular yang hidup di
air perairan tawar dan pada pepohonan (Halliday dan Adler 2000). Hutan tropis
memiliki keanekaragaman jenis ular yang lebih banyak dibandingkan dengan
hutan temperat karena penetrasi cahaya matahari dan suhu yang lebih rendah pada
hutan temperat. Daerah pegunungan dengan temperatur yang ekstrim bukan

habitat ideal untuk ular, tetapi seekor ular jenis Agkistrodon himalayanus pernah
ditemukan pada ketinggian 4,900 m dpl (Mattison 1992).
2.2 Pemanfaatan Reptil dan Ancaman Konservasinya
Sebagian jenis reptil telah dimanfaatkan oleh manusia sejak dulu untuk
berbagai tujuan seperti: pengobatan tradisional, hewan peliharaan dan produksi
kulit (Cox et al. 1998). Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang dalam
perdagangan satwaliar terutama burung, reptil hidup maupun kulit reptil itu
sendiri dan koral tetapi belum tersedia suatu hasil analisa yang menyeluruh
tentang perdagangan tersebut (Iskandar dan Erdelen 2006). Indonesia merupakan
salah satu negara pengekspor satwaliar dan produk-produk lanjutannya dalam
jumlah yang cukup besar (Nash 1993, diacu dalam Iskandar dan Erdelen 2006).
Negara yang menjadi target ekspor salah satu produk satwaliar tersebut yaitu
daging kura-kura adalah Cina karena negara ini merupakan konsumen utama
daging kura-kura di dunia (Gibbons et al. 2000).
Sampai dengan tahun 1999, Dirjen PHKA mencatat sebanyak 161 spesies
kulit reptil dari Indonesia yang diperdagangkan ke luar negeri, sedangkan
sejumlah 54 jenis diantaranya diperdagangkan dalam bentuk kulit, daging, karapas
dan bentuk jadi (Soehartono dan Madiastuti 2003).
Faktor-faktor yang menjadi ancaman besar terhadap kelestarian reptil yaitu
semakin tingginya tingkat konversi dan kerusakan lahan, terutama di Pulau
Sumatera. Hutan dataran rendah Sumatera menyusut sangat drastis, dan
diperkirakan akan habis pada tahun 2010 bersama dengan hutan dataran rendah
Kalimantan. Laju kerusakan hutan tersebut terutama disebabkan oleh alih fungsi
lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) untuk
pulp dan kertas. Hal tersebut menjadi ancaman pada keanekaragaman hayati
Sumatera khususnya reptil (Iskandar dan Erdelen 2006). Menurut Gaulke et al.
1998 diacu dalam Iskandar dan Erdelen 2006) diketahui bahwa di area kebun
sawit di Sumatera Utara tidak ditemukan satwaliar yang habitat aslinya berasal
dari hutan. Kondisi demikian menegaskan bahwa konversi hutan alam menjadi
kawasan agroforestry akan menyebabkan kepunahan terhadap kebanyakan jenis
yang awalnya berada di areal tersebut (Iskandar dan Erdelen 2006).

2.3

Ukuran
Keanekaragaman
Mempengaruhinya

Jenis

dan

Faktor-faktor

yang

Konsep ukuran keanekaragaman jenis dibedakan atas tiga ukuran yang


dikenal secara umum yaitu kekayaan jenis (species richness), heterogenitas
(heterogenity), dan kemerataan (evenness) (Magurran 1988). Kekayaan jenis
adalah jumlah jenis yang menetap dalam suatu komunitas, bukan jenis imigran
musiman (Kreb 1978). Pada tingkat yang sederhana, keanekaragaman jenis
didefinisikan sebagai jumlah jenis yang ditemukan pada suatu komunitas
(Primack et al. 1998). Ukuran keanekaragaman jenis ini ditentukan berdasarkan
struktur kerapatan atau kelimpahan individu dari setiap jenis yang teramati
(Magurran 1988). Pengukuran keanekaragaman merupakan dugaan atas jenisjenis penting pada suatu komunitas berdasarkan atas jumlah, biomassa, cover dan
produktivitas. Indeks kekayaan jenis Margalef merupakan ukuran nisbah
keanekaragaman yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi dan memiliki
kemampuan membandingkan yang baik serta proses penghitungan yang cukup
sederhana (Magurran 1988). Keragaman jenis tidak hanya berarti kekayaan atau
banyaknya jenis, tetapi juga kemerataan (evenness) dari kelimpahan individu
setiap jenis (Odum 1971). Kemerataan jenis (evenness) merupakan suatu konsep
yang menunjukan derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap jenis
(Santosa 1995)
Helvoort (1981) menjelaskan bahwa keanekaragaman berhubungan dengan
banyaknya jenis dan jumlah individu tiap jenis sebagai komponen penyusun
komunitas. Oleh karena itu keanekaragaman jenis menyangkut dua hal yaitu
kekayaan dan sebaran keseragaman. Terdapat enam faktor yang saling berkaitan
yang menentukan naik turunnya keragaman jenis suatu komunitas, yaitu: waktu,
heterogenitas, ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan lingkungan dan
produktivitas (Krebs 1978). Menurut Campbell (2004) faktor-faktor yang
mempengaruhi keanekaragaman dalam komunitas alamiah meliputi: ketersediaan
energi, heterogenitas habitat, spesialisasi relung dan interaksi populasi. Menurut
Goin dan Goin (1971) faktor yang mempengaruhi keanekaragaman yaitu:
kecocokan terhadap suhu, kelembaban, penutupan tajuk dan formasi tanah.

10

BAB III. METODE


3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2007 di Blok Kemarau dan
Blok Pelepat, Eks-HPH PT RKI (Rimba Karya Indah) Kabupaten Bungo, Propinsi
Jambi. Penentuan tipe habitat didasari oleh komposisi vegetasi. Pembagian habitat
mengacu pada Peta Keadaan Hutan HPH PT RKI tahun 1988 dengan skala
1:400.000 (Sarbi 2000) dan berdasarkan pengecekan langsung dilapangan.
Habitat-habitat tersebut terdiri dari habitat dengan komposisi vegetasi berhutan
atau heterogen yaitu hutan primer dan hutan sekunder, habitat dengan komposisi
vegetasi tanaman perkebunan atau homogen yaitu kebun karet dan kebun sawit,
serta habitat dengan komposisi yang minimal bahkan tidak ada vegetasi yaitu
tanah terbuka.

Sumber: Laboratorium Analisis Lingkungan DKSH Fahutan-IPB

Gambar 1. Peta sebaran plot pengamatan keanekaragaman jenis reptil di Eks-HPH


PT RKI
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat dan bahan
untuk pembuatan plot pengamatan, pengambilan data biologi reptil, pengukur
faktor lingkungan, dan dokumentasi serta pencatatan. Alat pembuatan plot
pengamatan diantaranya: GPS, kompas, meteran (50 m) dan pita. Alat dan bahan

11

yang digunakan dalam pengambilan data reptil diantaranya: alat penangkap ular,
alat suntik, alkohol 70%, buku panduan lapang (field guide) reptil: (Snake of
Sumatera, Snake of Malaya, Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini,
Snake and The Other Reptiles of Peninsular Malaysia, Singapore and Thailand),
headlamp, baterai, jam, kapas, kamera digital, kantung spesimen, kaliper, kertas
label, benang, kail, spidol permanen, tempat spesimen, timbangan (30 gram, 100
gram, 12.500 gram) dan tongkat kayu. Alat untuk mengukur faktor lingkungan
yaitu: thermohigrometer otomatis, thermometer air raksa, Stop watch, bola
pingpong, busur derajat dan meteran. Dokumentasi, pencatatan, pengolahan data
dan pembahasan menggunakan alat-alat seperti: kamera digital, kamera SLR,
film, alat tulis, tally sheet, dan seperangkat komputer.
3.3 Jenis Data
Jenis data yang diambil pada penelitian terdiri dari data primer yang
merupakan data biologi dan ekologi reptil, meliputi: nama jenis, jumlah individu
tiap jenis, jenis kelamin, bobot tubuh, SVL (snout vent length) atau panjang dari
moncong hingga tulang ekor, panjang ekor, waktu perjumpaan, aktivitas, posisi
horizontal dan vertikal dalam jalur pengamatan, dan substrat saat ditemukan. Data
habitat yang diambil yaitu: kondisi cuaca, suhu air, suhu dan kelembaban udara,
substrat dasar perairan, rata-rata lebar air, rata-rata kedalaman badan air,
ketinggian (mdpl), dan vegetasi. Sedangkan data sekunder yang diambil adalah
kondisi umum lokasi penelitian dan curah hujan.
3.4 Pengumpulan data
Pengambilan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu: pengamatan
dengan metode Visual Encounter Survey (VES) (Heyer et al. 1994) pada jalur
akuatik (perairan) dan terestrial (darat), pengamatan diluar plot dan pemasangan
perangkap/kail untuk kura-kura. Metode Visual Encounter Survey (VES)
merupakan salah satu metode yang efektif untuk survei herpetofauna di hutan
hujan (Doan 2003).
Langkah-langkah pengambilan data reptil yang dilakukan meliputi pra
pengamatan, pengumpulan spesimen, pengukuran dan identifikasi spesimen, dan
preparasi spesimen. Dalam kegiatan pra pengamatan dilakukan penentuan lokasi
pengamatan dan pembuatan jalur darat sepanjang 800 m dan jalur perairan

12

(sungai) 400 m. Kemudian menentukan titik awal jalur, koordinat dan


ketinggiannya dengan menggunakan GPS. Selanjutnya menandai jalur dengan
memasang pita berwarna pada setiap 10 meter dimulai dari titik 0 sampai selesai.
Pengamatan dan pengumpulan spesimen pada setiap jalur dilaksanakan pada
siang hari (08.00-11.00 WIB) dan malam hari (20.00-23.00 WIB) selama 3 hari
berturut-turut. Pengamatan difokuskan pada sarang atau persembunyian reptil
seperti: tepi sungai, lubang pohon, dibawah kayu lapuk, dibawah batu, dibawah
serasah, celah-celah akar dan kulit pohon serta pada semak dan pohon yang masih
berdiri. Untuk menemukan labi-labi dilakukan pemasangan kail berumpan di
sungai dan melakukan pengecekan secara berkala. Pengamatan juga dilakukan
diluar jalur pengamatan dan hasilnya tidak dimasukan dalam penghitungan
keanekaragaman, hanya dicatat dalam daftar jenis reptil.
Reptil yang tertangkap diukur dan diidentifikasi. Untuk jenis-jenis yang
hanya dijumpai dan tidak tertangkap (atau berdasarkan penuturan masyarakat)
dilakukan pencatatan mengenai nama jenis (bila memungkinkan sampai spesies,
namun bila tidak hanya sampai genus) penamaan jenis menggunakan sistem
penamaan The EMBL reptile database oleh Uetz (2004), lokasi, substrat dan nama
penangkap/informan. Sedangkan informasi yang dikumpulkan dari jenis yang
tertangkap adalah nama jenis, jenis kelamin, ukuran Snout Vent Length (SVL),
bobot tubuh, lokasi pada saat perjumpaan dan aktivitas. Penentuan nama jenis
dilakukan berdasarkan buku panduan lapang yang dibawa. Jenis-jenis yang sudah
umum atau dapat diidentifikasi di lapang tidak dilakukan pengawetan spesimen.
Dari penelitian ini hanya ada 10 spesimen dari jenis-jenis yang belum dapat
diidentifikasi di lapang yang diawetkan dengan alkohol 70%. Koleksi spesies
yang telah dipreparasi kemudian diidentifikasi kembali di Laboratorium
Herpetofauna Balitbang Zoologi Puslitbang Biologi-LIPI Cibinong, Bogor.
Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan dengan menggunakan
termohigrometer otomatis setiap hari pada siang serta malam hari untuk
mendapatkan suhu dan kelembaban rata-rata. Pengukuran suhu air dilakukan
dengan menggunakan termometer raksa selama 5 menit dibawah permukaan air.
Analisis vegetasi dilakukan pada habitat berhutan yaitu hutan primer dan
hutan sekunder. Pengukuran dilakukan dengan membuat petak ukur berukuran 20

13

m x 20 m yang terbagi menjadi empat bagian pengukuran yaitu: 2 m x 2 m untuk


semai dan tumbuhan bawah, 5 m x 5 m untuk pancang, 10 m x 10 m untuk tiang,
dan 20 m x 20 m untuk pohon (Soerianegara dan Indrawan 1987). Kemudian
dilanjutkan sebanyak 10 petak (Gambar 2).
10 m

20 m

2m
5m

Gambar 2. Contoh unit analisis vegetasi dengan cara jalur


3.5 Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan dihubungkan dengan
keanekaragaman spesies yang ditemukan. Data reptil yang ditemukan pada jalur
dianalisis dengan menggunakan rumus-rumus meliputi: kekayaan jenis Margalef
(Dmg), kemerataan jenis (evenness), peluang perjumpaan (PP). Analisis data
keanekaragaman reptil, analisis vegetasi, pembuatan kurva hasil analisis dan
perhitungan menggunakan program Microsoft Excel, dendrogram menggunakan
program Minitab, dan Programs for Ecological Methodology Charles J Krebs
2003 2nd ed. Data reptil dari luar jalur masuk dalam daftar jenis.
Kekayaan jenis (Species Richness) diukur dengan Indeks Kekayaan Jenis
Margalef. Nilai indeks digunakan untuk mengetahui kekayaan jenis dalam suatu
komunitas.
Dmg =

S 1
lnN

Dmg= Indeks Kekayaan Jenis Margalef


N = individu semua jenis
S = jenis yang ditemukan
Nilai H ini digunakan dalam rumus untuk menghitung indeks kemerataan
H' =

ni

ni

N ln N

H = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener


ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah individu seluruh jenis

14

Kemerataan jenis (Evenness) dihitung untuk mengetahui derajat kemerataan


jenis pada lokasi penelitian dan digunakan sebagai indikator adanya gejala
dominasi antara setiap jenis dalam suatu komunitas.
E=

H'
ln S

E = Indeks kemerataan jenis


H = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
S = Jumlah jenis yang ditemukan
Indeks Kekayaan jenis Jackknife
(n 1)
S =s+
(k )
n
S = indeks kekayaan jenis Jackknife
s = total jumlah jenis yang teramati
n = banyaknya unit contoh
k = jumlah jenis yang unik (yang hanya ditemukan pada satu unit contoh)

keragaman dari nilai dugaan (S), dihitung dengan rumus:


k2
n 1
2
ver ( S ) =
( j fj )
n
n
Var(S) = keragaman dugaan Jackknife untuk kekayaan jenis
fj = jumlah jenis contoh dimana ditentukan j jenis unik (j = 1,2,3,,s)

Peluang perjumpaan dihitung untuk mengetahui peluang melihat satwa dalam 1


jam. Nilai peluang diketahui dengan membagi jumlah individu jenis ke-I dengan
waktu pengamatan.

PP =

ni
t

PP = peluang perjumpaan
ni = jumlah ind jenis ke-i
t = waktu pengamatan
Pembuatan dendrogram dengan program Minitab 14 dengan rumusan ward

linkage dan absolute correlation coefisien distance. Hasil

analisis

vegetasi

dijelaskan pada BAB IV Kondisi Umum. Data vegetasi dianalisis dengan


menghitung indeks nilai penting (INP). Rumus yang dipergunakan yaitu:
Kerapatan

K = Jumlah pohon suatu jenis


Luas contoh
KR = Kerapatan suatu jenis
Kerapatan seluruh jenis

15

Frekuensi

F = Jumlah plot yang ditemukan suatu jenis


Jumlah seluruh jenis
FR = Frekuensi suatu jenis
Frekuensi seluruh jenis

Dominasi

D = Jumlah bidang dasar suatu jenis


Luas contoh
DR = Dominasi suatu jenis
Dominasi seluruh jenis

Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR

16

BAB IV. KONDISI UMUM


4.1 Sejarah

PT Rimba Karya Indah (PT RKI) berdiri pada tanggal tanggal 8 Desember
1983, dan disahkan Menteri Kehakiman RI melalui Surat Keputusan No. C21143-HT

01.0.1TH.1984.

Perusahaan

bergerak

dibidang

HPH

dan

memperdagangkan hasilnya untuk jangka waktu 20 tahun terhitung sejak tanggal


12 Januari 1987 (Sarbi 2000). Sejak tahun 1999 HPH PT RKI sudah tidak
beroperasi lagi dan dibatalkan sebagai HPH oleh SK Pembatalan No 455/MenhutII/2004 tanggal 25 November 2004. Sekarang pengelolaan areal tersebut berada
dibawah wewenang Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bungo. Setiap
kepala keluarga di desa sekitar kawasan mendapatkan lahan seluas 2 hektar untuk
diolah dan sebagian besar ditanami karet atau sawit.
4.2 Letak dan Luas

Luas areal yang diusahakan PT RKI adalah 87.000 hektar. Berdasarkan


status fungsi hutan berdasarkan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) dan hasil
paduserasi TGHK-RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) tahun 1996,
sebagian besar areal kerja HPH PT RKI berfungsi sebagai hutan produksi dan
sebagian lainnya bukan hutan produksi (Sarbi 2000). Berdasarkan administrasi
pemerintahan, Unit-I termasuk dalam Kecamatan Tanah Tumbuh dan Rantau
Pandan, Kabupaten Bungo Tebo serta Kecamatan Muara Bungo dan Kecamatan
Tabir, Kabupaten Sarolangun Bangko. Berdasarkan fungsi hutan menurut TGHK
areal pada Unit-I sebagian besar berfungsi sebagai Hutan Produksi tetap (HP)
seluas 32.610 hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 14.395 hektar, dan
Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 4.495 hektar. Menurut RTRWP, seluas
22.155 hektar merupakan HPT, 14.955 hektar hutan produksi tetap, 3.160 hektar
kawasan budidaya pertanian dan non pertanian, 10.150 hektar Taman Nasional
Kerinci Seblat dan 1.080 hektar hutan lindung (Sarbi 2000).
4.3 Kondisi Fisik

Menurut klasifikasi iklim dari Schmidt & Ferguson, areal kerja HPH PT
RKI termasuk kedalam tipe iklim A yang berarti daerah basah, dengan vegetasi
hutan hujan tropis, dan bulan kering rata-rata 0,0-0,5 bulan. Berdasarkan data dari

17

BMG Jambi, curah hujan rata-rata di lokasi penelitian dari dua tahun sebelumnya
adalah 2345,5 mm/tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 92 hari hujan tiap
tahunnya dan khusus bulan Juli-Agustus memiliki 3-9 hari hujan.
Suhu udara di areal ini termasuk relatif sedang dengan suhu rata-rata
bulanan sebesar 27,9 C. Kelembaban udara termasuk tinggi dengan kelembaban
berkisar antara 77 - 97% dengan rata-rata 94% (Sarbi 2000). Berdasarkan
pengukuran faktor-faktor lingkungan (suhu, kelembaban, ketinggian) di seluruh
plot pengamatan, suhu udara berkisar antara 20 - 32oC pada siang hari dan
berkisar 20 - 26 oC pada malam hari. Suhu air rata-rata adalah 22,68

C.

Kelembaban berkisar antara 36 - 83 %. Kelembaban terendah tercatat pada habitat


tanah terbuka dan tertinggi pada habitat hutan sekunder.
Tabel 2. Kondisi fisik seluruh jalur pengambilan data di lokasi penelitian.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Jalur Pengamatan
Hutan Primer Akuatik
Hutan Primer Terestrial
Hutan Sekunder Akuatik
Hutan Sekunder Terestrial
Kebun Karet Akuatik
Kebun Karet Terestrial
Kebun Sawit Akuatik
Kebun Sawit Terestrial
Tanah terbuka Akuatik
Tanah terbuka Terestrial

Altitude
(mdpl)

RH
rata-rata (%)

375
375
534
534
472
472
501
501
411
411

76.50
76.00
77.83
76.17
65.92
65.00
68.25
63.50
69.25
69.00

Suhu udara
rata-rata (C)
Siang Malam
22.30
22.30
24.20
23.40
23.42
22.83
23.00
21.33
23.50
23.27
24.20
22.30
25.50
22.92
24.08
23.58
24.50
23.30
24.50
23.30

Suhu air
rata-rata
(C)
22.17
20.63
23.50
22.94
24.09

Topografi
datar
berbukit
datar
sedang
datar
datar
datar
datar
datar
datar

Areal kerja HPH PT RKI mempunyai topografi bervariasi dari datar sampai
sangat curam dengan ketinggian bervariasi dari 190 mdpl hingga 1.670 mdpl.
Tanah di areal HPH PT RKI ini terdiri dari Podsolik Merah Kuning (PMK) seluas
26.350 ha (30,29%), Organosol seluas 35.006 ha (40,24%), Latosol seluas 16.052
ha (18,44%), Litosol seluas 9.099 ha (10,46%) dan Aluvial seluas 493 ha (0,57%)
(Sarbi 2000). Adapun sungai-sungai yang mengalir di daerah ini antara lain S.
Batang Tebo, S. Pelepat, S. Tabir dan S. Kemarau, merupakan sungai yang cukup
terjal dengan substrat dasar pasir dan batu (Sarbi 2000).
Tabel 3. Karakteristik Sungai dan Kecepatan Arus di Areal HPH PT RKI (Sarbi
2000)
No
1
2
3
4

Sungai
Batang Tebo
Pelepat
Tabir
Kemarau

Lebar
(m)
20-25
15-20
10-20
15-20

Kedalaman
(m)
2-8
2-5
0,5-5
0,5-5

Panjang
(km)
37,50
74,25
49,75

Kecepatan Aliran
(m/dtk)
0,693
0,133
0,318
0,558

Debit
(m3/dtk)
78.000
8.125
13.125
26.857

18

4.4 Kondisi Biologi

Di areal kerja HPH PT RKI terdapat beberapa jenis tumbuhan yang


dilindungi yaitu: jelutung (Dyera costulata), durian (Durio zibethinus), keruing
(Dipterocarpus grandiflorus), manggis hutan (Garcinia hombroniana), rambutan
hutan (Nephelium lappaceum), asam hutan (Tamarindus indica), kedondong
(Nothopanax fruticosum), petai hutan (Parkia speciosa) dan terap (Artocarpus

elastica). Jenis pohon eksotik diantaranya: akasia mangium (Acacia mangium)


dan sengon (Paraseriantes falcataria). Hutan primer dan hutan bekas tebangan
didominasi oleh suku Dipterocarpaceae, yaitu jenis meranti (Shorea sp), meranti
merah (Shorea leprosula), meranti putih (Shorea bracteolata), keruing
(Dipterocarpus

grandiflora),

durian

hutan

(Durio zibethinus), mersawa

(Anisoptera marginata) dan nyatoh (Palaquium rostratum) (Sarbi 2000).


Di HPH PT RKI tercatat 95 jenis satwaliar (41 dilindungi) yang terdiri atas
15 jenis mamalia (9 dilindungi), 76 jenis burung (30 dilindungi) dan 4 jenis reptil
(2 dilindungi). Mamalia besar yang berada di HPH PT RKI terutama pada Unit-I
merupakan sasaran perlindungan penting dari pengelolaan TNKS. Jenis-jenis
tersebut diantaranya: harimau sumatera (Panthera tigris sumatrensis) beruang
madu (Helarctos malayanus), macan kumbang (Panthera pardus, Kambing hutan
(Capricornus sumatraensis), sambar (Cervus unicolor), Ungko (Hylobates agilis)
(Hylobates agilis) siamang (Symphalangus syndactilus) dan Tapir (Tapirus

indicus). Beberapa jenis burung yang dilindungi seperti elang hitam (Ichtinaetus
malayensis), elang rawa timur (Circus spilonotus), elang ular (Spilornis cheela),
enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), caladi batu (Meiglyptes tristis), pecukpadi hitam (Phalacrocorax sulcirostris), Pelatuk kundang (Reinwardtipicus

validus), dan kuau raja (Argusianus argus). Jenis-jenis reptili yang dilindungi
diantaranya: biawak abu-abu (Varanus nebulanus), labi-labi (Chitra indica), kurakura (Orlitia bornensis), ular hijau (Chondropython viridis), dan sanca bodo
(Phyton molurus) (Sarbi 2000).
4.5. Kondisi Habitat Di Lokasi Penelitian

Penjelasan setiap habitat di lokasi penelitian diperoleh dari pengamatan


langsung pada saat penelitian ditambah dengan wawancara bersama masyarakat
maupun petugas dinas kehutanan setempat.

19

Habitat hutan primer yang menjadi lokasi pengambilan data adalah Hutan
Adat Desa Batu Kerbau yang diasumsikan sebagai kondisi awal sebelum
terjadinya penebangan oleh PT RKI. Hutan adat tersebut merupakan habitat
berhutan dengan komposisi vegetasi alami, dengan strata tajuk lengkap, heterogen
dan dilindungi adat sehingga sangat terjaga dari perusakan. Semua tipe habitat
tersebut mengalami perlakuan yang berbeda-beda oleh manusia dan memiliki
intensitas interaksi yang beragam dengan manusia.
Pada awal beroperasinya HPH PT RKI, hutan primer yang terdapat pada
kawasan ini seluas 17.745 ha (Sarbi 2000). Hutan Adat Desa Batu Kerbau
diasumsikan sebagai habitat hutan primer yang terdapat di kawasan Eks-HPH PT
RKI dengan luas hanya 472 ha. Areal hutan ini relatif lebih terjaga karena
dilindungi oleh adat masyarakat setempat sejak tahun 1988. Bersama WARSI
sebagai fasilitator, pada bulan Juli 2000 masyarakat Desa Batu Kerbau sepakat
untuk bersama-sama mengukur dan memetakan hutan adat desa Batu Kerbau.
Berdasarkan hasil pemetaan dan berbagai pertemuan yang dilakukan, maka
lahirlah Piagam Kesepakatan Masyarakat Adat Desa Batu Kerbau Untuk
Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Gambar 3. Aturan adat yang mengatur pengelolaan Hutan Adat Desa Batu
Kerbau.
Jarak Hutan Adat ini dari pemukiman penduduk Desa Batu Kerbau sekitar 3
kilometer dan bisa ditempuh dalam 1 jam perjalanan penduduk setempat.Untuk
mencapai pemukiman Desa Batu Kerbau diperlukan waktu sekitar 4-5 jam dari
Muara Bungo dan hanya dihari-hari tertentu mobil tersebut ada. Sulitnya
transportasi dan tidak banyak orang yang memahami kawasan Hutan Adat Desa
Batu Kerbau menyebabkan hanya satu tipe habitat di Blok Pelepat yang diambil

20

datanya. Terdapat air terjun tujuh tingkat dengan nama lokal Telun Tujuh. yang
letaknya sekitar 200 meter dari camp. Satwaliar yang dijumpai secara langsung
dan tidak langsung di diantaranya: anak beruang madu (Helarctos malayanus),
enggang gading (Buceros sp), tapir (Tapirus indicus), siamang dan babi hutan
(Sus sp).

Foto: Luthfi R Yusuf

Foto: Luthfi R Yusuf

Gambar 4. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b)
tipe habitat hutan primer.
Hutan sekunder merupakan habitat yang telah mengalami penebangan, tetapi
belum dimanfaatkan untuk tujuan tertentu sehingga dibiarkan mengalami proses
suksesi sekunder. Walaupun merupakan habitat berhutan dan memiliki komposisi
vegetasi yang beragam, habitat hutan sekunder yang menjadi lokasi penelitian ini
tidak/belum dilindungi oleh adat sehingga lebih terbuka terhadap interaksi dengan
manusia. Luas hutan sekunder sampai tahun 2000 adalah 27.250 hektar (Sarbi
2000). Jarak terdekat dari desa terdekat Desa Renah Sungai Ipuh adalah 20 km.
Jalan sarad bekas kegiatan HPH PT RKI masih terlihat cukup jelas, tetapi hanya
kendaraan tertentu yang bisa sampai lokasi.

Foto: Boby Darmawan

Foto: Boby Darmawan

Gambar 5. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b)
tipe habitat hutan sekunder.

21

Di sekitar camp habitat hutan sekunder terdapat beberapa satwaliar lain yang
dijumpai secara langsung dan tidak langsung. Pada radius 30 meter dari tenda
peneliti, ditemukan jejak Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dari 2
individu yang berbeda. Selain itu, cukup banyak juga ditemukan juga jejak tapir
(Tapirus indicus) dan bulu burung kuau (Argusianus argus). Satwa yang dijumpai
langsung dilokasi adalah tikus hutan, tupai, simpai, napu (Tragulus sp) dan
beberapa jenis burung seperti: gagak hutan (Corvus enca), srigunting (Dicrurus

sp), perenjak (Prinia sp), cipoh (Aegithina sp) dan elang hitam (Ictinaetus
malayensis).
Habitat kebun merupakan habitat dengan komposisi vegetasi yang seragam
dan memiliki intensitas interaksi dengan manusia yang lebih tinggi. Sedangkan
areal tanah terbuka (land clearing) merupakan habitat yang memiliki vegetasi
minimal bahkan tidak ada sebagai akibat penebangan dan pembakaran yang
kemudian didiamkan untuk beberapa minggu sehingga ditumbuhi oleh alangalang dan tanaman perintis lainnya.
Semenjak HPH PT RKI tidak beroperasi lagi, penduduk mendapatkan jatah
lahan HPH tersebut dari pemerintah dengan luas 2 hektar untuk setiap kepala
keluarga. Dinas Kehutanan Bungo dan ICRAF memberikan rekomendasi dan
bantuan bibit karet untuk ditanam di lahan pembagian tersebut. Sehingga sampai
sekarang sebagian besar penduduk memanfaatkan lahannya untuk ditanami karet.
Luas total habitat kebun karet yang terdapat di Eks-HPH RKI belum diketahui
dengan pasti. Luas habitat kebun karet yang menjadi lokasi pengambilan data
sekitar 8 hektar

Foto: Luthfi R Yusuf

Foto: Luthfi R Yusuf

Gambar 6. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b)
tipe habitat kebun karet.

22

Terdapat beberapa rumpun bambu dan banyak terlihat sisa-sisa pohon yang
telah ditebang dan lapuk. Kebun karet yang menjadi lokasi penelitian berbatasan
dengan kebun karet lain yang berbeda kepemilikan. Kapling yang satu dengan
yang lain dibatasi oleh resam dan tepus. Umur tegakan karet berbeda-beda antara
kebun yang berdekatan. Jalur akuatik terletak di tepian kebun karet dan
merupakan aliran air dengan lebar 0,6 8,3 meter dan kedalaman maksimum 50
cm. Substrat jalur akuatik terdiri dari pasir, kerikil, batu, dan lumpur. Kondisi dan
kualitas air masih baik. Satwaliar yang dijumpai di kebun karet diantaranya:
Rangkong (Bucheros sp), Gagak hutan (Corvus enca) babi hutan (Sus sp), beruk,
rusa sambar (Cervus unicolor) dan kancil (Tragulus sp).
Habitat kebun sawit di areal Eks-HPH PT RKI terletak di Blok Kemarau
dengan luasnya hanya 2 hektar. Habitat kebun sawit yang menjadi jalur penelitian
berbatasan langsung dengan kebun karet. Sawit pada jalur pengamatan terestrial
berumur 6 - 7 tahun dan ditanam dengan jarak tanam 10 x 10 m. Tinggi total tajuk
berkisar antara 4 8 meter. Terdapat sekitar 10 % dari luas areal tersebut ditanami
pinang dan kopi diantara sawit-sawit tersebut. Pada beberapa sisi yang berbatasan
langsung dengan perairan, terdapat tanaman semak seperti resam dan tepus.
Kedalaman maksimum danau ini sekitar 2-5 meter dengan substrat lumpur dan
tumpukan organik dari tumbuhan-tumbuhan air yang telah membusuk. Kondisi
dan kualitas air masih baik. Satwaliar yang dijumpai langsung secara baik hanya
terlihat atau hanya terdengar diantaranya: Rangkong (Bucheros sp), Gagak hutan
(Corvus enca), Landak (Hystrix sp), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).

Foto: Luthfi R Yusuf

Foto: Luthfi R Yusuf

Gambar 7. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b)
tipe habitat kebun sawit.

23

Habitat tanah terbuka (land clearing) adalah suatu lahan bervegetasi


campuran yang beberapa minggu sebelumnya baru dibuka dengan cara ditebang
kemudian dibakar untuk ditanami karet. Luas habitat tanah terbuka di sekitar jalur
pengambilan data sekitar 4-5 hektar dan terletak pada ketinggian 411 mdpl.
Secara umum topografi habitat ini adalah bergelombang. Dua sisi habitat ini
berbatasan dengan kebun karet, satu sisi berbatasan dengan hutan sekunder dan
satu sisi depan berbatasan dengan jalan sarad. Masih terdapat 3 5 pohon lagi
yang tersisa. Pada beberapa sisi, terlihat sudah mulai ditumbuhi oleh jenis-jenis
tumbuhan perintis, seperti alang-alang.

Foto: Luthfi R Yusuf

Foto: Luthfi R Yusuf

Gambar 8. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan terestrial (a) dan akuatik (b)
tipe habitat tanah terbuka.
Jalur pengamatan akuatik habitat ini merupakan sebuah rawa dengan
diameter sekitar 80 meter dan kelilingnya hanya 310 meter. Kedalaman
maksimum danau ini sekitar 2-3 meter dengan substrat lumpur dan tumpukan
organik yang membusuk. Kondisi air di rawa terlihat kehijauan, tetapi terlihat
jernih pada bagian aliran keluarnya. Kualitas air masih baik dengan pH netral (7)
dan merupakan air yang selalu digunakan untuk minum, mandi dan keperluan
rumah tangga lainnya. Terdapat beberapa pohon yang masih berdiri tetapi dililiti
oleh tanaman yang merambat. Tanaman yang dominan menutupi perairan adalah
pandan-pandanan, sedangkan vegetasi yang menutupi sekelilingnya adalah:
semak, tepus, pisang hutan, karet dan tanaman belukar lainnya. Satwaliar yang
dijumpai langsung sangat sedikit, hanya terdapat satwa-satwa domestikasi yang
dipelihara oleh pemilik ladang.

24

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Kekayaan Jenis

Kekayaan jenis reptil yang dijumpai dilokasi penelitian adalah 31 jenis dari
9 suku, yaitu Agamidae, Gekkonidae, Lacertidae, Scincidae (kelompok bunglon,
cicak,

kadal);

Colubridae,

Elapidae,

Viperidae

(kelompok

ular),

dan

Geoemydidae, Trionychidae (kelompok bulus dan kura-kura) (Tabel 4). Semua


jenis tersebut merupakan catatan baru (new record) untuk kawasan eks-HPH PT
Rimba Karya Indah, Kabupaten Bungo Propinsi Jambi.
Tabel 4. Perjumpaan reptil diseluruh plot penelitian.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Ordo

Sub-ordo
Sauria / Lacertilia

Squamata
Serpentes / Ophidia
Testudinata

Famili
Agamidae
Gekkonidae
Lacertidae
Scincidae
Colubridae
Elapidae
Viperidae
Geoemydidae
Trionychidae
9

Marga
5
3
1
3
10
1
1
1
1
26

Jenis
8
4
1
3
11
1
1
1
1
31

Daftar jenis reptil yang dijumpai di lokasi penelitian ditampilkan pada tabel
5 dan deskripsi setiap jenis disajikan pada lampiran 1.
Tabel 5. Daftar jenis reptil yang dijumpai diseluruh plot penelitian
Jenis
SERPENTES (ular)
Aplopeltura boa
Boiga drapiezii
Bungarus flaviceps
Dendrelaphis pictus
Enhydris alternans*)
Gongylosoma baliodeirus*)
Lycodon subcinctus
Pareas carinatus
Psammodynastes pictus
Psammodynastes
Rhabdophis chrysargos*)
Rhabdophis subminiatus

Hutan
Primer

Hutan
Sekunder

Kebun
Sawit

Kebun
Karet

Tanah
terbuka

0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0

0
0
0
0
1
0
0
1
1
1
1
1

1
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0

0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0

0
0
0
1
0
2
0
0
0
0
0
0

1
1
1
2
1
2
1
2
2
1
1
1

25

Tabel 5. (lanjutan) Daftar jenis reptil yang dijumpai diseluruh plot penelitian
Jenis

Hutan
Primer

Hutan
Sekunder

SERPENTES (ular)
Parias hageni
1
0
SAURIA (kadal, bunglon, cicak)
Acanthosaura armata
1
0
Aphaniotis fusca
2
0
Bronchocela cristatella
1
0
Cyrtodactylus consubrinus
0
3
Cyrtodactylus marmoratus
14
8
Dasia olivacea*)
0
0
Draco sp*)
0
0
Draco melanopogon
4
0
Draco quinquefasciatus
2
0
Eutropis multifasciata
3
21
Gekko smithii*)
0
0
Gonocephalus
0
1
chamaeleontinus
Gonocephalus grandis
0
0
Hemidactylus frenatus*)
0
0
Lipinia vittigera*)
0
0
Takydromus sexlineatus*)
0
0
TESTUDINATA (kura-kura)
Amyda cartilaginea*)
0
1
Notochelys platynota*)
1
0
Total jenis
11
11
Total Individu
31
40
Keterangan: * dijumpai di luar jalur di plot penelitian

Kebun
Sawit

Kebun
Karet

Tanah
terbuka

1
0
0
0
7
0
1
0
0
3
1

0
1
1
0
1
1
0
0
0
1
1

0
0
3
0
0
0
0
0
0
11
0

2
3
5
3
30
1
1
4
2
39
2

0
2
0
1

4
2
1
0

0
0
0
0

4
4
1
1

0
0
10
19

0
0
11
15

0
0
4
17

1
1
122

Berdasarkan informasi dari masyarakat Desa Sungai Ipuh diketahui terdapat


jenis-jenis reptil yang sering mereka jumpai di lokasi penelitian tetapi tidak
dijumpai pada saat penelitian. Jenis-jenis reptil tersebut yaitu: Python reticulatus
(Bungo: ular sawo), Python curtus (Bungo: ular gedang), dan Varanus sp (Bungo:
biawak punggur). Selain itu, tidak dijumpai satupun dari empat jenis yang tercatat
dalam Sarbi (2000) yaitu biawak abu-abu (Varanus nebulanus), labi-labi (Chitra

indica), kura-kura (Orlitia bornensis), ular hijau (Chondrophyton leichardtii), dan


sanca bodo (Phyton molurus).
Dijumpai dua jenis reptil yang termasuk kategori rawan/vulnerable IUCN
dan appendik II CITES (ATCN 2004) yaitu kura-kura punggung datar
(Notochelys platynota) dan bulus (Amyda cartilaginea). Tokek hutan (Gekko

smithii) dan cicak rumah (Hemidactylus frenatus) sama-sama dijumpai di pondok


(rumah) warga di kebun sawit dan kebun karet. Labi-labi (Amyda cartilaginea)

26

tertangkap oleh penduduk di Sungai Batang Tebo, tidak jauh dari jalur
pengambilan data pada habitat hutan sekunder. Terdapat beberapa jenis yang
memiliki perilaku sangat menarik salah satunya adalah Apolpeltura boa yang
melingkarkan tubuh secara bersusun ketika dipegang ekornya (Gambar 9).

Gambar 9. Apolpeltura boa, melingkarkan tubuhnya ketika dipegang


Keseluruhan jenis reptil yang dijumpai diseluruh jalur penelitian sebanyak
20 jenis dan sebelas jenis lainnya dijumpai di luar jalur penelitian.
Tabel 6. Daftar kekayaan jenis reptil diseluruh jalur menurut tipe habitatnya
No
1
2
3
4
5

Lokasi Jalur
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Kebun Karet
Kebun Sawit
Tanah terbuka

Suku
5
4
4
5
3

Marga
9
6
7
6
3

Jenis
10
8
7
6
3

Individu
27
26
11
10
15

Kekayaan tertinggi dan jumlah jenis terbanyak terdapat pada hutan primer
dan terendah pada tanah terbuka (Gambar 10).
3.00

Nilai Indeks

2.50

2.73
2.50

2.00

2.17

2.15

1.50
1.00
0.74

0.50
0.00
Hutan
Primer
kekayaan jenis

Hutan
Sekunder

Kebun Karet Kebun Sawit

Tanah
Terbuka

Tipe Habitat

Gambar 10. Indeks kekayaan jenis (Dmg) setiap tipe habitat.

27

Pada jalur akuatik dijumpai 15 jenis reptil dan pada jalur terestrial dijumpai
14 jenis (Gambar 11).
25

perolehan jenis

20
Aquatik

15

Terestrial
10

Total

5
0
1

9 10 11 12 13 14 15

pengulangan pengamatan

Gambar 11. Kurva akumulasi jenis reptil pada jalur akuatik dan terestrial.
Habitat hutan primer mempunyai kemungkinan penemuan jenis baru yang
lebih besar daripada tipe habitat lainnya (Gambar 12).
12

perolehan jenis

10
Ht.Primer

Ht.Sekunder

Karet
Sawit

Tanah Terbuka

2
0
1

ulangan

Gambar 12. Kurva penambahan jenis reptil setiap tipe habitat


5.1.2 Kemerataan Jenis

Kemerataan jenis tertinggi terdapat pada kebun karet dan terendah pada

Nilai Indeks

tanah terbuka (Gambar 13).


1.00
0.90
0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00

0.91
0.84
0.75

0.76
0.66

Hutan
Primer
Kemerataan

Hutan
Kebun
Sekunder
Karet
Tipe Habitat

Kebun
Sawit

Tanah
Terbuka

Gambar 13. Indeks kemeratan jenis (E) setiap tipe habitat.

28

5.1.3. Peluang Perjumpaan

Peluang perjumpaan reptil pada jalur penelitian di Eks-HPH PT RKI adalah


rendah. Hanya dua jenis yang banyak dan mudah dijumpai (Tabel 7)
Tabel 7. Peluang perjumpaan (PP) reptil diseluruh jalur penelitian.
Jenis
Acanthosaura armata
Aphaniotis fusca
Bronchocela cristatella
Draco melanopogon
Draco quinquefasciatus
Gonocephalus chamaeleontinus
Gonocephalus grandis
Boiga drapiezii
Dendrelaphis pictus
Lycodon subcinctus
Psammodynastes pulverulentus
Psammodynastes pictus
Rhabdophis subminiatus
Aplopeltura boa
Pareas carinatus
Parias hageni
Bungarus flaviceps
Cyrtodactylus marmoratus
Cyrtodactylus consubrinus
Eutropis multifasciata

2
3
5
4
2
1
4
1
3
1
1
2
1
1
3
1
1
30
3
39
108

Jalur Perjumpaan
2
3
3
2
1
1
1
1
2
1
1
2
1
1
3
1
1
6
1
8
10

PP
0.007
0.011
0.018
0.014
0.007
0.004
0.014
0.004
0.011
0.004
0.004
0.007
0.004
0.004
0.011
0.004
0.004
0.093
0.011
0.096
0.328

5.1.4 Kesamaan Jenis

Beberapa jenis reptil yang dijumpai di jalur penelitian terestrial pada habitat
berhutan (HT) sama dengan beberapa jenis yang dijumpai di jalur akuatiknya
(HA), dan jenis-jenis tersebut terlihat sangat berbeda dengan jenis-jenis yang
dijumpai pada kedua jalur di habitat tanah terbuka (TT dan TA) (Gambar 14).

Gambar 14. Dendrogram kesamaan jenis reptil pada jalur penelitian setiap tipe
habitat di Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo

29

Beberapa jenis reptil yang dijumpai pada jalur penelitian di Eks-HPH PT


RKI sama dengan beberapa jenis yang dijumpai di Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan, Taman Nasional Way Kambas, dan Sumatera Selatan (Gambar 15).

Gambar 15. Dendrogram kesamaan jenis reptil di Eks-HPH PT RKI dengan


TNBBS, TNWK dan Sumsel.
5.1.5 Ritme Aktifitas dan Penyebaran

Berdasarkan ritme aktifitas dan penyebarannya, reptil yang dijumpai


dikelompokan menjadi beberapa kelompok yaitu: kelompok nokturnal, diurnal,
arboreal, semi-arboreal, terestrial, semi-akuatik dan akuatik (Tabel 8), penyebaran
terbatas dan penyebaran luas (Tabel 9).
Tabel 8. Ritme akifitas reptil yang teramati
Ritme aktifitas
Arboreal

Semi arboreal
Terestrial
Semi akuatik
Akuatik

Diurnal
Acanthosaura armata
Aphaniotis fusca
Bronchocela cristatella
Dasia olivacea
Draco Sp
Draco melanopogon
Draco quinquefasciatus
Gonocephalus chamaeleontinus
Gonocephalus grandis
Lipinia vittigera
Takydromus sexlineatus
Gongylosoma baliodeirus
Eutropis multifasciata
Rhabdophis chrysargos
Rhabdophis subminiatus
-

Nokturnal
Dendrelaphis pictus
Hemidactylus frenatus
Gekko smithii
Cyrtodactylus consubrinus
Cyrtodactylus marmoratus
Aplopeltura boa
Parias hageni
Pareas carinatus
Boiga drapiezi
-i
Psammodynastes pictus
Psammodynastes pulverulentus
Lycodon subcinctus
Bungarus flaviceps
Enhydris alternans
Notochelys platynota
Amyda cartilaginea

30

Tabel 9. Penyebaran reptil yang teramati di lokasi penelitian.


No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Penyebaran Terbatas
Amyda cartilaginea
Aplopeltura boa
Boiga drapiezii
Bungarus flaviceps
Cyrtodactylus consubrinus
Dasia olivacea
Draco sp
Draco melanopogon
Draco quinquefasciatus
Enhydris alternans
Gonocephalus chamaeleontinus
Gonocephalus grandis
Gongylosoma baliodeirus
Lipinia vittigera
Lycodon subcinctus
Notochelys platynota
Parias hageni
Psammodynastes pulverulentus
Rhabdophis chrysargos
Rhabdophis subminiatus
Takydromus sexlineatus

Penyebaran Luas
Aphaniotus puscus
Acanthosaura armata
Bronchocela cristatella
Cyrtodactylus marmoratus
Dendrelaphis pictus
Eutrophis multifasciata
Gekko smithii
Hemidactylus frenatus
Pareas carinatus
Psammodynastes pictus

5.1.6. Kondisi Jalur Penelitian

Di seluruh plot/jalur penelitian, suhu udara berkisar antara 20 - 32oC pada


siang hari dan berkisar 20 26 oC pada malam hari. Suhu air rata-rata adalah
22,68 oC. Suhu rata-rata pada jalur habitat berhutan pada siang hari 23,23 oC dan
malam 22,47 oC, pada habitat kebun 24,32 oC pada siang hari dan 23,03 oC pada
malam hari, sedangkan pada habitat tanah terbuka berkisar antara 24,50 oC pada
siang hari dan 23,30 oC pada malam hari. Kelembaban berkisar antara 36 - 83 %.
Kelembaban terendah tercatat pada habitat tanah terbuka dan tertinggi pada
habitat hutan sekunder. Kelembaban relatif rata-rata pada habitat berhutan adalah
76,63%, pada habitat kebun 65,67% dan pada habitat tanah terbuka 69,13%.
Jalur pada hutan primer terletak pada ketinggian 375 mdpl. Kondisi
topografi pada jalur terestrial sepanjang 800 meter relatif naik dengan kemiringan
rata-rata mencapai 45o. Dari titik 0 dampai 500 m, kemiringan rata-ratanya 45o,
150 meter kemudian mulai landai sekitar 10o-30o dan 100 meter terakhir mendatar
dan sedikit menurun. Ketebalan serasah pada jalur terestrial berkisar antara 0-3,5
cm. Topografi relatif lebih landai pada jalur aquatik sepanjang 400 meter dengan
kemiringan berkisar antara 5 o15 o. Penutupan tajuk rapat dan vegetasi sangat
beragam dan dijumpai 36 jenis pohon pada jalur penelitian. Jenis vegetasi yang
mendominasi yaitu batang skepung, kasainggang, tembalun dan meranti putih

31

(Shorea bracteolata) dengan INP berturut-turut sebesar 28,63%; 26,64%; 23,25%


dan 23,11%. Dua pohon meranti putih (Shorea bracteolata) merupakan pohon
dengan tinggi total mencapai lebih dari 50 meter, diameter lebih dari 120 meter
dan luasan tajuknya menutupi area 300 meter persegi.
Jalur pada hutan sekunder terletak pada ketinggian 534 mdpl dengan
topografi yang relatif naik dengan kemiringan sekitar 15%. Ketebalan serasah
pada jalur terestrial berkisar antara 0-2 cm. Penutupan tajuk pada jalur
pengamatan hutan sekunder cukup rapat. Salah satu pohon terbesar adalah
melangir (Shorea balangiran) dengan diameter 63 cm. Sebanyak 18 jenis pohon
dijumpai di sepanjang jalur penelitian. Jenis vegetasi yang sangat dominan pada
jalur pengamatan yaitu kayu mara (Macaranga triloba) dengan INP sebesar
51,82%, melangir (Shorea balangiran) dengan INP 47,39%. Pada tingkat semai
dan pancang, meranti (Shorea sp) sangat dominan dengan INP tertinggi mencapai
50% pada tingkat pancang dan 29,69% pada tingkat semai.
Jalur penelitian pada kebun karet terletak pada ketinggian 472 mdpl.
Tegakan karet pada jalur pengamatan terestrial berumur 9 tahun dan ditanam
dengan jarak tanam 4 x 4, 4 x 5 m hingga 6 x 6 meter. Rata-rata pohon karet
berdiameter 19-21 cm dengan tinggi total mencapai 12 meter. Penutupan tajuk
bervariasi dari jarang hingga rapat, dengan ketebalan serasah berkisar 1-6 cm.
Diantara pohon karet tersebut ada beberapa petak yang ditanami kopi (Coffea sp)
dan beberapa bagian lain ditanami pinang (Areca catechu). Jenis pohon lain yang
terdapat disekitar jalur diantaranya: pohon nangka (Arthocarpus heterophilus) dan
jambu (Eugenia sp). Jalur akuatik di kebun karet merupakan aliran air dengan
lebar 0,6 8,3 meter dan kedalaman maksimum 50 cm yang berada di tepian
kebun karet. Vegetasi yang menutupi sepanjang aliran air terdiri dari karet,
nangka, tepus, pisang hutan, dan pakis. Topografi habitat kebun karet ini relatif
datar, tetapi pada jarak tertentu terdapat beberapa penurunan.
Jalur penelitian pada kebun sawit terletak pada ketinggian 501 mdpl. Secara
umum topografi habitat ini adalah datar. Sawit pada jalur pengamatan terestrial
berumur 6 - 7 tahun dan ditanam dengan jarak tanam 10 x 10 m. Tinggi total tajuk
berkisar antara 4 8 meter. Sekitar 10 % dari luas areal tersebut ditanami pinang
dan kopi diantara sawit-sawit tersebut. Pada beberapa sisi yang berbatasan

32

langsung dengan perairan, terdapat tanaman semak seperti resam dan tepus. Jalur
pengamatan akuatik habitat ini merupakan sebuah danau dengan diameter sekitar
50 meter. Kedalaman maksimum danau ini sekitar 2-5 meter.Vegetasi yang
menutupi sekeliling danau adalah semak, pinang dan pisang hutan.
Jalur penelitian pada tanah terbuka terletak pada ketinggian 411 mdpl.
Secara umum topografinya bergelombang. Dua sisi habitat ini berbatasan dengan
kebun karet, satu sisi berbatasan dengan hutan sekunder dan satu sisi depan
berbatasan dengan jalan sarad. Masih terdapat 3 5 pohon lagi yang tersisa.
Terlihat sudah mulai ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan perintis, seperti alangalang. Jalur pengamatan akuatik habitat ini merupakan sebuah rawa dengan
diameter sekitar 80 meter dan kelilingnya hanya 310 meter. Kedalaman
maksimum danau ini sekitar 2-3 meter. Tanaman yang dominan menutupi
perairan

adalah

pandan-pandanan,

sedangkan

vegetasi

yang

menutupi

sekelilingnya adalah: semak, tepus, pisang hutan, karet dan tanaman belukar
lainnya.
5.2
5.2.1

Pembahasan
Kekayaan Jenis

Kekayaan jenis reptil yang tercatat di Eks-HPH PT RKI merupakan 5,20 %


dari total kekayaan jenis reptil yang terdapat di Indonesia, walaupun tidak terdapat
jenis yang endemik Pulau Sumatera. Kurva menunjukan perolehan jenis reptil
yang dijumpai selama penelitian relatif sudah stabil (Gambar 11). Hasil penemuan
pada penelitian ini menunjukan kisaran yang tidak terlalu jauh dari pendugaan
kekayaan jenis menggunakan rumus pendugaan Jacknife yaitu perkiraan kekayaan
jenis yang ada di lokasi tersebut adalah 30 jenis dan masih bisa terus bertambah
karena terletak antara 21 sampai dengan 39, dengan standar deviasi (selang
kepercayaan) 95% dan jumlah jenis unik yang dapat dijumpai disetiap tipe habitat
sebanyak 12 jenis.
Kekayaan jenis reptil yang dijumpai di habitat berhutan, terutama hutan
primer lebih tinggi daripada tipe habitat kebun dan tanah terbuka karena hutan
primer lebih beranekaragaman struktur habitatnya sehingga memiliki kemampuan
lebih baik dalam menyediakan kebutuhan hidup berbagai jenis reptil, misalnya
pakan, shelter dan cover. Habitat kebun karet dan kebun sawit memiliki kekayaan

33

jenis reptil yang lebih tinggi daripada tanah terbuka karena habitat tanah terbuka
tidak memiliki salah satu komponen utama suatu habitat yaitu pelindung (cover)
yang cukup. Penutupan tajuk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
keanekaragaman (Goin dan Goin 1971).
Pada jalur penelitian hutan primer tercatat 36 jenis pohon dan pada hutan
sekunder 18 jenis pohon. Variasi pohon pada hutan primer dan sekunder tersebut
diduga berpengaruh terhadap variasi relung, pakan, mangsa, dan pemilihan
sarang. Semakin beraneka ragam struktur habitat maka semakin beraneka ragam
satwaliarnya (Kreb 1978). Sebaliknya variasi relung, pakan, mangsa dan sarang
lebih sedikit pada habitat kebun dan tanah terbuka, karena kebun terdiri dari
tanaman yang seragam dan tanah terbuka yang tidak memiliki vegetasi. Struktur
vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung (Alikodra 2002), yang
digunakan oleh jenis-jenis reptil untuk tempat persembunyian (hiding cover).
Dalam pergerakannya, kadal atau cicak terbang (Draco sp) membutuhkan
ketinggian untuk bisa melayang dan meluncur ke pohon lain yang lebih rendah.
Variasi strata pohon dan rapatnya vegetasi pada hutan primer diduga
memudahkan Draco melanopogon dan Draco quinquefasciatus untuk bergerak
dari satu pohon ke pohon yang lain atau bersembunyi dan melarikan diri dari
pemangsanya.

Parias

hageni,

Boiga

drapiezii,

Psammodynastes

pulverulentus,

Psammodynastes pictus dan Pareas carinatus dijumpai sedang menunggu


mangsanya pada daun yang lebar dan pada ranting suatu tanaman tingkat pancang
dengan ketinggian sekitar 1,5 2 meter diatas permukaan tanah. Ukuran batang
suatu pancang memudahkan ular-ular tersebut untuk mencapai posisi yang
diinginkan dan berpindah ke pancang yang lain. Pada kebun sawit dan kebun
karet, pancang-pancang tersebut jarang ditemukan. Semua individu Cyrtodactylus

consubrinus dijumpai pada lipatan kulit kayu atau lubang pada batang pohonpohon berukuran besar. Cyrtodactylus marmoratus dijumpai sebanyak 14 individu
pada berbagai substrat di hutan primer, misalnya: di tanah, semai, ranting
pancang, banir pohon, permukaan batang, lubang batang, kayu yang lapuk, dan
akar yang melintang. Di hutan sekunder dijumpai 8 individu, kebun sawit 7
individu, kebun karet 1 dan di tanah terbuka tidak dijumpai.

34

Jenis Gekko smithii dan Hemidactylus frenatus hanya dijumpai di rumah


ladang penduduk di habitat kebun. Kedua jenis tersebut diduga merupakan jenisjenis dari suku Gekkonidae yang memiliki keterkaitan dengan tempat tinggal
manusia karena serangga-serangga di sekitar dan di dalam rumah ladang tersebut
merupakan makanannya (Goin dan Goin 1971).
Struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung (Alikodra
2002), yang digunakan oleh jenis-jenis reptil untuk tempat penyesuaian terhadap
perubahan suhu (thermal cover). Beberapa jenis memiliki karakteristik suhu
tertentu dalam keberhasilan penetasan telurnya, misalnya kura-kura Notochelys

platynota. Halliday dan Adler (2000) menjelaskan bahwa suhu inkubasi


menentukan laju perkembangan telur dan jenis kelamin kura-kura atau TSD
(Temperature Sex Determination). Semakin tinggi suhu inkubasi maka anakan
yang menetas akan berkelamin betina, dan pada suhu yang lebih rendah akan
berkelamin jantan. Suhu inkubasi berbeda pada setiap jenis. Rapatnya vegetasi
pada habitat berhutan vegetasi akan mempengaruhi intensitas sinar matahari yang
masuk dan sampai ke lantai hutan (Alikodra 2002). Keadaan ini berkaitan erat
dengan kemudahan reptil terutama jenis bunglon misalnya Gonocephalus grandis
dalam berkamuflase dan menemukan mangsanya atau Dasia olivacea melarikan
diri dari pemangsanya.
Faktor lain yang mempengaruhi kekayaan jenis di habitat kebun karet dan
sawit yaitu kondisi kebun yang menjadi lokasi penelitian tidak seperti kebun karet
dan sawit pada umumnya. Lantai kebun karet dan sawit jarang sekali dibersihkan
sehingga ditumbuhi semak, sehingga menjadi habitat bagi pakan reptil yaitu
serangga, reptil kecil, amfibi, mamalia kecil dan lain-lain. Jalur penelitian pada
habitat kebun karet dan sawit berbatasan dengan masyarakat tumbuhan lain
sehingga

merupakan

daerah/habitat

peralihan

(ekoton).

Daerah

ekoton

memberikan kemudahan pada satwaliar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,


terutama makanan (Alikodra 2002).
Perjumpaan jenis pada jalur akuatik (perairan) lebih banyak daripada jalur
terestrial (darat). Jalur perairan (akuatik) pada kebun karet, tidak hanya
merupakan ekoton yang membatasi kebun karet dengan tegakan hutan
disebelahnya, tetapi juga memiliki kondisi yang alami. Kebun sawit merupakan

35

ekoton karena pada kedua sisi berbatasan langsung dengan kebun karet dan
ditanami oleh tanaman tumpangsari misalnya pinang dan pepaya. Selain karet
terdapat pohon-pohon lain yang ditanam diantara karet itu sendiri misalnya:
pinang (Areca pinanga) dan kopi (Coffea robusta). Pohon-pohon lain yang
terdapat di habitat karet diantaranya: jambu (Psidium guajava), sirsak (Annona

muricata) dan nangka (Artocarphus heterophyllus). Pemilik kebun karet hanya


datang satu kali dalam seminggu untuk mengambil getah, dan pemilik kebun
sawit datang satu kali dalam sebulan sehingga hal ini diduga tidak mengganggu
keberadaan satwaliar.
Sedikitnya jenis reptil yang dijumpai di habitat tanah terbuka diduga karena
pembersihan lahan (land clearing) dengan cara dibakar menyebabkan sebagian
reptil berpindah ketempat lain (migrasi) untuk mendapatkan pakan, shelter dan

cover yang lebih baik. Alikodra (2002) menyatakan bahwa kuantitas dan kualitas
pakan dapat mempengaruhi kesejahteraan satwa, sehingga kekurangan pakan
dapat menyebabkan satwa berpindah (migrasi), terutama satwa ektotermal seperti
reptil yang pergerakannya sangat dipengaruhi oleh suhu. Pemencaran menuju
habitat lain terjadi karena adanya perubahan keberadaan makanan dan keadaan
lingkungan yang kurang baik di habitat asal. Perubahan yang drastis dalam waktu
yang lama pada suatu lingkungan menyebabkan perubahan populasi secara
permanen (Goin dan Goin 1971).
Perlu diingat bahwa penelitian ini lebih banyak dilakukan di bagian barat
kawasan eks-HPH (Blok Kemarau) dibandingkan dengan bagian timur (Blok
Pelepat) yang hanya mengambil satu titik. Oleh karena itu, ada kemungkinan
terdapatnya jenis-jenis lain yang belum dijumpai karena jumlah titik penelitian
belum seimbang di dua blok tersebut atau karena areal sampling terlalu kecil
dibandingkan dengan luas total eks-HPH. Kendala utama dalam penelitian ini
adalah kurangnya alat transportasi dan tidak adanya pemandu untuk wilayah Blok
Pelepat.
Lebih dari 50 % hari penelitian selama pengambilan data merupakan hari
hujan. Perjumpaan jenis menjadi tidak optimal, karena pada hari hujan reptil-reptil
tersebut tidak memperoleh intensitas panas yang cukup untuk membantu
metabolismenya. Padahal reptil sangat memerlukan suhu yang cukup untuk proses

36

metabolismenya (Mattison 2005). Sehingga diduga beberapa jenis reptil tersebut


lebih memilih bersembunyi dan kemudian bersitirahat pada saat hujan, sehingga
lebih sulit untuk dijumpai.
5.2.2

Kemerataan Jenis

Kemerataan tinggi di kedua habitat kebun disebabkan oleh jumlah individu


setiap jenis reptil yang dijumpai sedikit dan hampir sama, yaitu rata-rata hanya
dijumpai satu individu. Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama,
maka komunitas tersebut mempunyai nilai kemerataan yang maksimum (Santosa
1995). Pada jalur di hutan primer terdapat jenis yang dijumpai jauh lebih banyak
dari jenis lainnya yaitu Cyrtodactylus marmoratus, dan pada jalur di hutan
sekunder dan tanah terbuka adalah kadal kebun (Eutropis multifasciata).
Dominasi Eutropis multifasciata pada jalur di habitat tanah terbuka menyebabkan
kemerataan pada habitat tanah terbuka paling rendah daripada habitat lainnya.
Dominasi kadal kebun di habitat tanah terbuka karena kadal kebun memiliki
kemampuan adaptasi yang lebih baik daripada jenis reptil lainnya, ditunjukan
dengan jenis pakannya yang beragam bahkan memakan sisa-sisa makanan
manusia. Kadal kebun banyak dijumpai habitat tanah terbuka yaitu habitat yang
baru diratakan (land clearing). Hal ini diduga karena adanya keterkaitan dengan
keberadaan rumah ladang dan aktifitas manusia yang menyisakan makanan yang
kemudian dimanfaatkan oleh kadal kebun. Menurut Cox et al (1998) kadal kebun
ini merupakan jenis reptil yang memakan berbagai jenis invertebrata dan dapat
berasosiasi disekitar tempat tinggal manusia.
Seperti fauna pada umumnya, reptil bergantung pada mahluk hidup lainnya
sebagai sumber makanan (Goin dan Goin 1971). Hampir semua jenis reptil yang
dijumpai merupakan karnivora. Reptil karnivora mendapatkan energinya dengan
cara memakan hewan lain. Jenis-jenis reptil yang dijumpai di kebun karet dan
sawit memiliki pakan yang lebih khusus. Pada umumnya ular pemakan keong
(slug eaters) seperti Apolpeltura boa bergantung pada satu sumber makanan yaitu
keong (Goin dan Goin 1971) dan cicak-cicakan seperti Cyrtodactylus

marmoratus. Pada jalur dijumpainya Apolpeltura boa tidak dijumpai individu


keong, dan mangsa lain seperti cicak-cicakan dijumpai dalam jumlah sedikit.
Sedikitnya sumber pakan pada habitat kebun sawit untuk jenis Lycodon

37

subcinctus dan di kebun karet untuk Psammodynastes pictus diduga menjadi


faktor yang menyebabkan jenis-jenis ular tersebut tidak banyak dijumpai.
Jenis-jenis reptil yang dijumpai memiliki kepadatan yang rendah dan relung
(niche) jenis-jenis tersebut hanya berada di salah satu tipe habitat. Campbell
(2004), menjelaskan bahwa kondisi tersebut merupakan cara untuk mengurangi
persaingan antar individu sehingga memperoleh pembagian sumberdaya yang
lebih baik. Selain persaingan antar individu dalam satu jenis, persaingan bisa
terjadi antar jenis yang berbeda. Pada jalur di habitat kebun karet diduga terjadi
persaingan antara dua jenis kadal arboreal yaitu Dasia olivacea dan Lipinia

vittigera karena makanannya secara umum sama yaitu bermacam-macam


invertebrata dan terlihat pada pohon yang sama. Persaingan bisa juga terjadi
antara kelompok bunglon (Agamidae) yaitu: Broncochela cristatella, Aphaniotis

fusca dan Gonocephalus grandis.


Banyaknya individu jenis Cyrtodactylus marmoratus di hutan primer,
menunjukan cukupnya daya dukung lingkungan (carrying capacity) terhadap jenis
tersebut dan juga jenis reptil lain yang merupakan pemangsanya, misalnya Boiga

drapiezii. Sebaliknya, sedikitnya individu jenis Cyrtodactylus marmoratus dan


jenis-jenis lainnya yang dijumpai di habitat kebun karet, kebun sawit dan pada
tanah terbuka yang tidak dijumpai satupun menunjukan kurangnya daya dukung
lingkungan terhadap jenis-jenis tersebut.
Sedikitnya jumlah individu setiap jenis yang dijumpai pada habitat kebun
dan tidak dijumpainya jenis-jenis ular berukuran besar seperti Python reticulatus
(Bungo: ular sawo) dan Python curtus (Bungo: ular gedang) tersebut bisa
disebabkan oleh dua hal yaitu: belum optimalnya usaha (effort) dalam
pengumpulan data karena perbedaan musim dan keberhasilan pencarian, namun
hal yang yang patut dicurigai adalah kemungkinan telah hilangnya kedua jenis ini
di areal penelitian karena pemanenan. Jenis-jenis tersebut justru dijumpai di salah
satu usaha dagang (UD) yang terdapat di Kabupaten Bungo. Sementara di lokasi
penelitian, jenis ular yang dijumpai adalah ular berukuran kecil yang tidak
dipanen untuk kulit maupun daging atau darahnya.

38

5.2.3

Peluang Perjumpaan

Peluang perjumpaan reptil pada jalur penelitian sebesar 0,328 individu/jam,


artinya untuk dapat menemukan satu individu reptil di eks-HPH PT RKI
diperlukan penelitian dengan waktu minimal 4 jam. Jenis yang memiliki peluang
perjumpaan cukup besar yaitu: kadal kebun (Eutropis multifasciata) 0,096 ind/jam
dan cicak hutan (Cyrtodactylus marmoratus) 0,093 ind/jam yang artinya untuk
menemukan satu individu dari jenis tersebut perlu dilakukan penelitian minimal
11 jam.
Menemukan individu-individu dari kelompok ular dan kelompok bunglon
relatif lebih mudah daripada individu dari kelompok kadal pohon (arboreal)
seperti Lipinia vittigera dan Dasia olivacea, serta kura-kura, karena beberapa ular
dan bunglon (Acanthosaura armata, Aphaniotis fusca, Broncochela cristatella)
yang dijumpai memiliki pewarnaan yang kontras dengan substratnya setelah
terkena cahaya senter. Sedangkan jenis yang sulit dijumpai yaitu kadal (Lipinia

vittigera dan Dasia olivacea) karena hampir seluruh aktifitasnya dilakukan pada
pohon hingga tajuk pohon (Cox et al. 1998). Draco sp bukan merupakan jenis
baru tapi jenis yang dijumpai tetapi tidak tertangkap, sehingga tahapan identifikasi
tidak bisa dilanjutkan sampai tingkat jenis.
Perolehan jenis yang dijumpai pada penelitian ini relatif lebih banyak
dibandingkan dengan penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya oleh
Sudrajat (2001) di Sumatera Selatan sebanyak 27 jenis, HIMAKOVA (2004) di
daerah Pemerihan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebanyak 13 jenis dan
HIMAKOVA (2006) di Seksi Konservasi Wilayah I Way Kanan Taman Nasional
Way Kambas sebanyak 12 jenis, tetapi lebih sedikit dari Endarwin (2006) yang
menemukan 51 jenis reptil di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Lebih banyaknya perolehan jenis di TNBBS disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu: Taman Nasional merupakan kawasan dengan kondisi hutan yang
relatif lebih terjaga daripada Eks-HPH, TNBBS memiliki lebih banyak variasi
ketinggian dari 0 1964 mdpl (DITJEN PHKA 2007), lokasi survai yang lebih
banyak dan menyeluruh serta total usaha (effort) dan waktu penelitian satu bulan
lebih lama daripada penelitian di Eks-HPH PT RKI.

39

Beberapa reptil yang tercatat dalam Sarbi (2000) tidak sesuai dengan bukubuku acuan identifikasi dan distribusi reptil. Biawak abu-abu mempunyai nama
latin Varanus nebulosus Gray, 1831 dan keberadaannya di Pulau Sumatera masih
dipertanyakan (Iskandar 2001). Semua jenis dari marga Chondropython hanya
terdapat di Papua New Guinea dan Kepulauan Aru (Rooij 1917) dan tidak
terdapat nama jenis C leichardtii. Perolehan jenis reptil dalam penelitian ini yang
lebih banyak daripada yang dilakukan Sarbi (2000). Hal ini diduga karena usaha
(effort) yang dilakukan lebih banyak daripada TIM ICA. Total usaha yang
dilakukan oleh 2-3 pengamat tiap jalur dalam penelitian ini adalah 280 jam.
5.2.4

Kesamaan Jenis

Jalur terestrial (HT) dan akuatik (HA) pada habitat berhutan terlihat
memiliki kesamaan jenis reptil yang dijumpai (Gambar 14), karena selain jarak
yang tidak jauh, struktur dan komposisi vegetasinya tidak jauh berbeda.
Perjumpaan reptil pada jalur akuatik (KA) pada habitat kebun terlihat lebih
memiliki kesamaan dengan jalur-jalur pada habitat berhutan daripada dengan jalur
terestrial pada habitat kebun itu sendiri, sedangkan jalur terestrial (KT) pada
habitat kebun terlihat memiliki kesamaan dengan jalur-jalur pada habitat tanah
terbuka (TT dan TA). Hal ini diduga karena faktor jarak antara tipe habitat dan
jarak antara setiap jalur, terutama antara tanah terbuka dengan kebun karet yang
lebih berdekatan daripada dengan habitat lainnya. Lokasi terjauh dari keempat
lokasi habitat lainnya adalah hutan primer di Hutan Adat Desa Batu Kerbau.
Perbedaan jenis-jenis yang dijumpai antara jalur habitat berhutan dengan
jalur habitat tanah terbuka diduga disebabkan oleh perbedaan suhu, kelembaban,
penutupan vegetasi habitat dan adanya invasi (pemencaran). Suhu rata-rata pada
habitat tanah terbuka (23,90 oC ) lebih tinggi dari pada suhu pada habitat berhutan
(22,85 oC). Kelembaban relatif rata-rata pada habitat berhutan adalah 76,63%,
sedangkan pada habitat tanah terbuka 69,13% dan pernah mencapai kelembaban
terendah yaitu 36%. Sebagai satwa ectothermal, reptil sangat tergantung pada
suhu lingkungan yang ideal untuk metabolisme tubuhnya (Halliday dan Adler
2000), sehingga perubahan suhu menyebabkan jenis-jenis tertentu mencari habitat
yang suhunya sama dengan habitat sebelumnya.

40

Apabila perjumpaan jenis reptil di Eks-HPH PT RKI dibandingkan dengan


perjumpaan reptil di TNBBS (Himakova 2004 dan Endarwin 2006), TNWK
(Himakova 2006) dan Sumatera Selatan (Sudrajat 2001), maka tidak terlihat
kesamaan yang cukup berarti diantara keempat lokasi tersebut (Gambar 15).
Tercatat 14 jenis reptil yang sama dengan reptil yang dijumpai TNBBS, enam
jenis reptil yang sama dengan reptil yang dijumpai di Sumatera Selatan dan lima
jenis reptil yang sama dengan reptil yang dijumpai di TNWK (Lampiran 2).

Foto: Luthfi R Yusuf

Gambar 16. Gonocephalus chamaeleontinus (juvenile) yang merupakan jenis yang


dijumpai di Eks-HPH PT RKI, TNBBS, TNWK dan Sumsel
Kesamaan jenis antara Eks-HPH PT RKI dengan TNBBS diduga disebabkan
beberapa kemiripan diantaranya: letak geografis habitat HPH PT RKI yang masih
termasuk kedalam deretan Pegunungan Bukit Barisan, kondisi iklim yang sama
yaitu tipe A, topograpi yang mirip yaitu 0-1964 mdpl di TNBBS (DITJEN PHKA
2007) dan 190-1.670 mdpl di PT RKI (Sarbi 2000). Lokasi pengambilan data
reptil di Sumatera Selatan ada di tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Musi
Banyuasin, Kabupaten Lahat dan Kabupaten Musi Rawas. Ketiga kabupaten
tersebut masih termasuk kedalam deretan Pegunungan Bukit Barisan, sehingga
terdapat kesamaan jenis reptil dengan Eks-HPH PT RKI. Kondisi fisik Eks-HPH
PT RKI jauh berbeda dengan TNWK yang merupakan kawasan dengan kondisi
iklim tipe B dan variasi ketinggian hanya 0-50 mdpl (DITJEN PHKA 2007). Hal
demikian menyebabkan paling rendahnya kesamaan jenis antara keduanya.
5.2.5

Ritme Aktifitas dan Penyebaran

Berdasarkan ritme aktifitasnya, reptil yang dijumpai dikelompokan menjadi


beberapa kelompok yaitu: kelompok nokturnal adalah jenis reptil yang aktif pada
malam hari dijumpai sebanyak 16 jenis, dan kelompok diurnal adalah jenis reptil
yang aktif pada siang hari dijumpai sebanyak 15 jenis. Berdasarkan tempatnya,
sebanyak 19 jenis merupakan reptil arboreal yaitu yang melakukan hampir seluruh

41

aktifitasnya pada pohon. Tiga jenis merupakan reptil semi-arboreal yaitu yang
melakukan sebagian aktifitasnya pada pohon dan sebagian lagi dipermukaan
tanah. Tiga jenis lainnya merupakan reptil terestrial, yaitu yang hampir seluruh
aktifitasnya dilakukan dipermukaan tanah (lantai hutan). Sebanyak tiga jenis
merupakan reptil yang hampir seluruh aktifitasnya dilakukan dipinggir atau
disepanjang sisi perairan (semi-akuatik), sedangkan jenis yang sebagian besar atau
seluruh aktifitasnya dilakukan di dalam air (akuatik) ditemukan sebanyak tiga
jenis (Tabel 8).
Berdasarkan penyebarannya, jenis-jenis reptil yang dijumpai di seluruh plot
penelitian dikelompokan menjadi jenis yang penyebarannya terbatas (dijumpai
hanya di satu plot/tipe habitat) ada 21 jenis, dan jenis yang penyebarannya luas
(dijumpai di lebih dari satu plot/tipe habitat) ada 10 jenis. Jenis yang
penyebarannya paling luas adalah Eutropis multifasciata. Menurut Cox et al
(1998) kadal kebun ini merupakan jenis reptil yang memiliki penyebaran luas.
5.2.6

Pemanfaatan Reptil dan Ancaman Konservasinya

Reptil merupakan salah satu bagian dari tingginya kekayaan hayati yang
dimiliki Indonesia (Iskandar dan Erdelen 2006) yang bisa diambil manfaatnya. Di
dalam Gibbons et al. (2000) disebutkan manfaat yang bisa diambil dari reptil
diantaranya untuk bahan makanan, obat-obatan tradisional, hewan peliharaan. Di
berbagai tempat di Indonesia reptil digunakan sebagai pemberantas hama. Bagianbagian yang diperdagangkan yaitu kulit (Yuwono 1998), daging dan reptil hidup
sebagai peliharaan (Madiastuti dan Suhartono 2003).
Pengambilan langsung dari alam merupakan salah satu ancaman terhadap
kelangsungan hidup reptil di Indonesia, terutama kura-kura yang sangat sensitif
apabila diambil dari alam, karena kelompok kura-kura memiliki resiko kematian
telur dan anakan yang tinggi dan memerlukan waktu yang lama untuk bisa
berepropduksi (TRAFFIC Southeast Asia 2001). Di sekitar lokasi penelitian tidak
dijumpai kegiatan pemanfaatan dan reptil yang dimanfaatkan secara langsung oleh
penduduk sekitar hutan. Menurut informasi dari BKSDA Kabupaten Bungo, ada 1
pihak yang sudah mendapat ijin menjalankan usaha perdagangan yang terkait
dengan reptil, yaitu daging labi-labi dan kulit ular (Python reticulatus dan Python

42

curtus), dan kulit biawak (Varanus salvator). Masih terdapat pihak-pihak lain
yang melakukan usaha serupa tapi belum mendapat izin dari BKDSA.
Di areal Eks-HPH PT RKI, sebagian kawasan hutan dikonversi menjadi
lahan perkebunan terutama karet. Keadaan ini bisa menjadi salah satu ancaman
terhadap kelestarian satwaliar terutama reptil, karena mengubah struktur dan
komposisi yang heterogen (berhutan) menjadi homogen (monokultur). Kegiatan
konversi tersebut menyebabkan timbulnya habitat baru yang sangat berbeda dari
sebelumnya dan diduga menyebabkan pergeseran dari kelompok-kelompok reptil
yang menyukai habitat bervegetasi campuran menjadi kelompok reptil yang
menyukai habitat yang lebih terbuka dengan vegetasi seragam.
Pemerintah harus mau dan mampu membimbing masyarakat yang berladang
di Eks-HPH PT RKI dengan menggunakan teknologi dan keilmuan terbaru dunia
kehutanan dalam hal manajemen pembukaan lahan yang ramah lingkungan,
sehingga tidak menimbulkan kebakaran hutan sekitarnya yang menyebabkan
semakin cepat dan semakin luas habitat reptil yang hilang dan rusak.

43

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan

Jumlah jenis reptil yang tercatat Eks-HPH PT RKI yaitu 31 jenis dari 9 suku
(Agamidae, Gekkonidae, Lacertidae, Scincidae, Colubridae, Elapidae, Viperidae,
Geoemydidae dan Trionychidae). Pada jalur di habitat hutan primer dijumpai 10
jenis, hutan sekunder 8 jenis, kebun karet 7 jenis, kebun sawit 6 jenis dan lahan
kosong 3 jenis. Kekayaan jenis tertinggi terdapat pada habitat hutan primer dan
kekayaan jenis terendah terdapat pada tanah terbuka. Habitat yang paling tinggi
kemerataan jenisnya yaitu habitat kebun karet dan yang paling rendah
kemerataanya adalah tanah terbuka. Hal ini menunjukan bahwa habitat berhutan
atau habitat dengan vegetasi yang heterogen terutama yang masih alami
merupakan habitat ideal bagi sebagian besar jenis reptil di Eks-HPH PT RKI.
Sebaliknya, tanah terbuka sebagai akibat dari pembukaan lahan (land clearing),
merupakan habitat yang kurang ideal bagi kehidupan reptil.
6.2. Saran

Penelitian lanjutan sebaiknya dilaksanakan di areal yang belum diteliti


secara menyeluruh yaitu di Blok Pelepat. Hasil survai lanjutan bisa dimanfaatkan
untuk melengkapi data jenis reptil di eks-HPH PT RKI.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan atau BKSDA setempat segera melakukan
penelitian lanjutan mengenai aspek-aspek lain dari reptil, misalnya pemanfaatan
atau perdagangan reptil di sekitar eks-HPH RKI dan Kabupaten Bungo untuk
mengawasi bentuk dan jalur pemanfaatan reptil dari dan ke wilayah Kabupaten
Bungo, terutama pemanfaatan yang belum mendapat izin.
Dalam pengelolaan Eks-HPH PT RKI, sebaiknya Dinas Kehutanan dan
Perkebunan dan BKSDA Kabupaten Bungo memberikan penyuluhan atau
pendidikan lingkungan sejak dini terhadap anak-anak sekolah mengenai reptil dan
satwaliar lainnya, dan penyuluhan masyarakat mengenai cara pembukaan lahan
atau hutan yang baik supaya tidak menimbulkan dampak yang lebih besar
terhadap kelangsungan hidup reptil.

44

DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas
Kehutanan.
[ATCN] Asian Turtle Conservation Network. 2004. Amendments to Appendices I
and II of the Convention. http://www.asianturtlenetwork.org/library/laws
and CITES.htm [12 Januari 2008].
Bauer AM . 1998. Di dalam: Cogger HG, Zweifel RG, editor. Encyclopedia of
Reptiles and Amphibians. San Fransisco: Fog City Press.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi. Edisi ke-5 Jilid 3. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Cogger HG, Zweifel RG. 2003. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. San
fransisco: Frog City Press.
Conservation International. 2001. Ecosystem Profile Sumatera Sundaland.
http://www.conservationinternational.com/full_strategy%20CI.xml.htm [10
Mei 2007]
Cox MJ, Dijk P van, Nabhitabhata J, Thirakhupt K. 1998. A Photographic Guide
to Snakes and Other Reptiles of Peninsular Malaysia, Singapore and
Thailand. London, Sidney, Singapore: New Holland Publishers Ltd.
David P, Vogel G. 1997. The Snakes of Sumatra. Frankfurt: Bekros CZ Brno.
[DITJEN PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
2007. 50 Taman Nasional di Indonesia. Bogor: Sub Direktorat Informasi
Konservasi Alam.
Doan TM. 2003. Which Methods Are Most Effective for Surveying Rain Forest
Herpetofauna. Journal of Herpetology. (37) 1: 72-81.
Duellman WE, Heatwole H. 1998. Di dalam: Cogger HG, RG Zweifel, editor.
Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. San Fransisco: Fog City Press.
Endarwin W. 2006. Studi Keanekaragaman Reptil Pada Struktur Hutan Berbeda
Studi Kasus Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Propinsi Lampung
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Gaulke M, Abel F, Erdelen W, Fritz U. 1998. Notes on the Herpetofauna of North
Sumatra. Hamadryad 23(1):78-82.
Gibbons JW, Scott DE, Ryan TJ, Buhlmann KA, Tuberville TC, Metts BS,
Greene JL, Mills T, Leiden Y, Poppy S, Winne CT. 2000. The Global
Decline of Reptiles Dj vu Amphibians. Bioscience. (50) 8: 653-666.
Goin CJ, Goin OB. 1971. Introduction to Herpetology. San Francisco: WH
Freeman and Company.
Grzimek B. 1975. Encyclopedia of Ecology. Melbourne: Van Nostrand Reinhold
Company.
Halliday T, Adler K. 2000. The Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. New
York: Facts on File Inc.

45

Helvoort B van. 1981. Bird Population in The Rural Ecosystem of West Java.
Netherlands: Nature Conservation Departement.
Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS. 1994.
Measuring and Monitoring Biological Diversity Standard Methods for
Amphibians. Washington: Smithsonian Institution Press.
[HIMAKOVA-IPB] Himpunan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Institut Pertanian Bogor. 2004. Laporan Studi Konservasi Lingkungan
(SURILI) 2004: Eksplorasi Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan Sebagai Bio-indikator Kesehatan Hutan. Laporan
Kegiatan. Bogor: Himpunan Mahasiswa Jurusan Konservasi Sumberdaya
Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan.
[HIMAKOVA-IPB] Himpunan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Institut Pertanian Bogor. 2006. Laporan Studi Konservasi Lingkungan
(SURILI) 2006: Eksplorasi Keanekaragaman Hayati Flora Fauna serta Nilai
Budaya Masyarakat Lokal untuk Pengembangan Ekowisata di Taman
Nasional Way Kambas, Propinsi Lampung. Laporan Kegiatan. Bogor:
Himpunan Mahasiswa Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan.
Iskandar DT. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini. Bandung:
PALMedia Citra.
Iskandar DT, Colijn E. 2001. A Checklist of Southeast Asian and New Guinean
Reptiles Part I Serpentes. Jakarta: Binamitra.
Iskandar DT, Erdelen WR. 2006. Conservation of amphibians and reptiles in
Indonesia: Issues and problems. Amphibian and Reptile Conservation 4(1):
60-93.
Krebs CJ. 1978. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. Ecological Methodology. New York: Harper and Row
Publisher.
Magnusson WE. 1998. Di dalam: Cogger HG, Zweifel RG, editor. Encyclopedia
of Reptiles and Amphibians. San Fransisco: Fog City Press.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey:
Princeton University Press.
Mardiastuti A, Soehartono T. 2003. Di dalam: Kusrini MD, Mardiastuti A, Fitri
A, editor. Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. 131-144. Bogor:
Indonesian Reptile and Amphibian Trade Association (IRATA).
Mattison C. 1992. Snakes of The World. New York: Facts on File Inc.
Mattison C. 2005. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Singapore: The
Brown Reference Group plc.
McLaren JE, Rotundo L. 1985. Health Biology. Massachusetss: D.C Heath and
Company.

46

Nichols JD, Boulinier TJE, Hines KH, Pollock, Sauer JR. 1998. Estimating rates
of local species extinction, colonization and turnover in animal
communities. Ecological Application 8 (4): 1213-1225.
Obst FJ. 1998. Di dalam: Cogger HG, Zweifel RG, editor. Encyclopedia of
Reptiles and Amphibians. San Fransisco: Fog City Press.
Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Philadelphia: WB Saunders
Company.
OShea M, Halliday T. 2001. Reptiles and Amphibians. London: Dorling
Kindersley.
Primak, Richard B, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi
Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rooij ND. 1915. The Reptiles of The IndoAustralian Archipelago: Lacertilia.
Chelonia, Emydosauria. Leiden: E J Brill Ltd.
Rooij ND. 1917. The Reptiles of The IndoAustralian Archipelago: Ophidia.
Leiden: E J Brill Ltd.
Santosa Y. 1995. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Satwaliar. Bogor: Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Tidak dipublikasikan.
Sarbi. 2000. Laporan Pemeriksaan HPH (Independent Concession Audits) PT
Rimba Karya Indah Propinsi Jambi. Bogor: PT Moerhani Lestari dan
Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Departemen Kehutanan.
Savage JM. 1998. Di dalam: Cogger HG, Zweifel RG, editor. Encyclopedia of
Reptiles and Amphibians. San Fransisco: Fog City Press.
Shine R, Ambariyanto, Harlow PS, Mumpuni. 1998. Ecological traits of
commercially harvested water monitors, varanus salvator, in northern
sumatra. Wildlife Research 25: 437-447.
Shine R, Ambariyanto, Harlow PS, Mumpuni. 1999. Ecological attributes of two
commercially-harvested python species in northern sumatra. Journal of
Herpetology 33: 249-257.
Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia.
Jakarta: Japan International Cooperation Agency (JICA).
Soerianegara I, Indrawan A. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor. Lab. Ekologi
Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Sudrajat. 2001. Keanekaragaman dan Ekologi Herpetofauna (Reptil dan Amfibi)
di Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.
TRAFFIC Southeast Asia. 2001. An Overview of the Trade in live South-east
Asian Freshwater Turtles. AC17 Inf 7.
Tweedy MWF. 1983. The Snakes of Malaya. Singapore: Singapore National
Printers Ltd.

47

Uetz P. 2004. The EMBL reptile database. http://www.reptile-database.org/dbinfo/taxa.htm [3 Februari 2008]


[WCMC] World Conservation Monitoring Centre. 1992. Global Diversity: Status
of the Earth's Living Resources. London: Chapman dan Hall.
Yuwono FB. 1998. Di dalam: Erdelen W, editor. Conservation Trade and
Sustainable Use of Lizards and Snakes in Indonesia-Mertensiella 7:9-15.
Germany: Reinbach.

48

Lampiran 1. Deskripsi Jenis Reptil yang terdapat di Eks-HPH PT RKI


A. Agamidae
Jenis-jenis yang termasuk dalam famili Agamidae meliputi: jenis-jenis cicak terbang dan
jenis-jenis bunglon. Hampir seluruh Agamidae aktif di siang hari untuk memangsa serangga dan
binatang lain yang lebih kecil. Hampir semua jenis dalam famili merupakan reptil yang bertelur
dan hidup secara arboreal dan terrestrial. Kepala tersusun atas sisik-sisik kecil yang berbeda
ukurannya, sedangkan sisik pada perut berukuran lebih besar. Pada beberapa marga terdapat duri
yang panjang di belakang kepala, leher dan sebagian punggungnya. Beberapa jenis lain pada
marga yang berbeda memiliki semacam selaput berwarna pada tenggorokannya. Ekornya tidak
mudah patah dan dapat tumbuh kembali apabila telah patah. Warna tubuhnya dapat dengan mudah
berubah dan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Mata kecil dengan pupil bulat dan
telinganya bisa tampak jelas atau tidak. Gigi pada mulutnya memiliki ukuran yang berbeda-beda.
1. Acanthosaura armata Gray, 1827
Nama Inggris: Armored Pricklepane
Deskripsi: Jenis Acanthosaura memiliki tubuh yang
padat, keras, ditutupi sisik-sisik yang beragam
ukurannya. tympanum (telinga) kelihatan jelas dan
hampir sama lebarnya dengan ukuran matanya ketika
terbuka. Terdapat duri-duri yang cukup panjang di
belakang kepala, leher dan disebagian panjang
punggungnya. Sisik bibir atas berjumlah 10-12, dan
sisik bibir bawahnya tersusun dari 12-15 sisik. Panjang
ekornya hampir sama dengan satu setengah kali
Foto: LUTHFI R YUSUF
panjang kepala dan tubuhnya. Pewarnaan tubuhnya
dapat berubah-ubah (coklat, kehitaman, hijau dengan corak tertentu). Individu yang ditemukan di
lokasi penelitian ini berwarna coklat dengan corak, dan SVL nya 108,40 mm-, ekornya 147,65
mm, dengan berat 42 gram.
Habitat: Jenis ini mudah ditemukan pada malam hari ketika sedang tidur di sebuah batang kecil
suatu pohon, terutama di hutan hujan tropis.
Penyebaran Regional: Thailand selatan, Malaysia dan Sumatera.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini dijumpai di Hutan Primer Desa Batu Kerbau Blok
Pelepat, dan Kebun Sawit Blok Kemarau.
2. Aphaniotis fusca Peters, 1864
Nama Inggris: Dusky Earless Agama
Deskripsi: Sepintas mirip dengan anakan Calotes atau
kadal terbang. tympanum (telinga) tidak kelihatan,
moncong membulat, kepala tersusun oleh sisik-sisik
yang meruncing. Bibir atas dan bawah terdiri dari 8
buah sisik. Sisik ventral lebih besar dari pada sisik
dorsal. Ekor bulat dan panjang. Kaki belakang panjang
dan ramping dan mencapai moncongnya. Jari ke-tiga
pada kaki belakang sama panjangnya dengan jari kelima. SVL maksimum 70 mm dan ekornya 220 mm.
Foto: LUTHFI R YUSUF
Individu jenis ini yang ditemukan di HPH PT RKI
berukuran: SVL 38-55,55 mm dan ekor 83,50-136,00 mm.
Habitat: Jenis ini ditemukan pada ranting atau tangkai daun, terutama di bawah naungan di habitat
tidak terganggu dan hutan hujan.
Penyebaran Regional: Thailand selatan, Semenanjung Malaysia, Singapura, Sumatera,
Kalimantan dan Kepulauan Natuna.
Penyebaran di HPH PT RKI: Hutan Adat (Hutan Primer) Desa Batu Kerbau Blok Pelepat dan
Kebun Karet Blok Kemarau.

49

3. Bronchocela cristatella Kuhl, 1820


Nama Inggris: Green Crested Lizard
Deskripsi: Jenis bunglon yang termasuk Bronchocela
memiliki kepala yang panjang, kaki yang panjang dan
ramping, dan ekor yang panjang; Kepala tersusun atas
sisik-sisik yang kecil dan meruncing dan semakin besar
disekitar supraokular; tympanum (telinga) besar, bibir
atas dan bawah tersusun atas 9 sisik. Tubuhnya kasar
dan kompak serta tersusun atas sisik-sisik yang kecil
dan meruncing. Sisik perut lebih besar dan lebih
Foto: LUTHFI R YUSUF
meruncing. Kaki belakang bisa menyentuh mata.
Pewarnaan tubuhnya tergantung keadaan dan substrat.
Jika stress maka warnanya dapat berubah menjadi coklat atau abu-abu. Jika dalam keadaan
normal, warnanya dominan hijau. Panjang SVL-nya mencapai 130 mm dan panjang ekornya 580
mm. Dua individu jenis ini yang ditemukan di HPH PT RKI berukuran: SVL 36,20 dan 87,80 mm
dan panjang ekor 133,00 dan 285,55 mm; beratnya 2,25 dan 14,50 gram.
Habitat: Bunglon ini lebih menyukai areal hutan yang tidak terganggu, tetapi ditemukan juga di
taman dan kebun sekitar pemukiman.
Penyebaran Regional: Thailand selatan, Malaysia, Singapura, Filipina dan Indonesia (Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Halmahera, Ternate).
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini ditemukan di hutan primer/hutan adat Desa Batu Kerbau
Blok Pelepat, kebun karet dan lahan kosong Blok Kemarau.
4. Draco melanopogon Boulenger, 1887
Nama Inggris: Black-barbed Flying Dragon
Deskripsi: Kadal terbang ini merupakan salah satu
kadal terkecil; memiliki kepala yang kecil; moncong
lebih pendek daripada diameter orbit; tympanum
(telinga) terlihat jelas; jantan mudah dapat dikenali
dengan adanya kantung panjang berwarna kuning pada
tenggorokannya; patagium berwarna hitam dengan alur
bintik-bintik kuning.
Sisik perut halus, meruncing dan seragam; panjang ekor
Foto: BOBY DARMAWAN
sekitar 1,75 kali panjang kepala hingga tubuhnya.
Panjang tubuhnya mencapai 85 mm dan panjang ekor 240 mm. Dua individu jenis ini yang
ditemukan dan bisa diukur di HPH PT RKI berukuran: SVL 73,45 dan 78,95 mm; dan panjang
ekor 139,15 dan 148,40 mm; dan beratnya 4,5 dan 6 gram.
Habitat: Jenis ini sering terlihat pada batang dan kanopi pohon. Kadal ini adalah satwa arboreal
dan lebih memilih hutan dataran rendah dan sedang sampai ketinggian 800 mdpl.
Penyebaran Regional: Thailand selatan, Malaysia, Singapura, Indonesia (Sumatera, Kep Natuna,
Kalimantan)
Penyebaran di HPH PT RKI: Hanya ditemukan di hutan primer/adat Desa Batu Kerbau Blok
Pelepat.
5. Draco quinquefasciatus Hardwicke & Gray, 1827
Nama Inggris: Five-lined Flying Dragon
Deskripsi: Jenis ini mudah dikenali dengan memiliki
corak yang khas pada permukaan atas patagium yang
belang hitam-oranye, terdapat titik-titik putih pada strip
hitamnya. Kepala kecil dan bersisik kecil, tympanum
(telinga) ditutupi sisik kecil yang sama ukurannya.
Terdapat 11 hingga 15 sisik pada bibir atasnya. Panjang
kaki belakang mencapai sikut kaki depan. SVL
mencapai 110 mm dan ekornya 270 mm. Individu jenis
ini yang ditemukan di HPH PT RKI berukuran: SVL
Foto: BOBY DARMAWAN
101,85 mm dan ekor 176,30 mm, dengan berat 12,75
gram.

50

Habitat: Jenis ini ditemukan pada malam hari pada sebuah batang pohon (1,5 m dari permukaan
tanah). Secara umum habitat jenis ini adalah hutan hujan dataran rendah, terutama rawa.
Penyebaran Regional : Malaysia (serawak), Indonesia (Sumatera, Singkep, Kalimantan).
Penyebaran di HPH PT RKI: : Jenis ini hanya ditemukan di Hutan Primer (Hutan adapt) Desa
Batu Kerbau Blok Pelepat.
6. Gonocephalus chamaeleontinus Laurenti, 1768
Nama Inggris: Chameleon Anglehead Lizard
juv
Deskripsi: Sama dengan jenis bunglon lainnya, baik
jantan atau betina pada jenis ini bisa berubah warna
menjadi hijau, cokelat, kemerahan dan hitam, tapi
ukuran tubuh betina lebih kecil; Sisik penyusun
perutnya halus dan lebih besar daripada sisik punggung;
tympanum (telinga) jelas, sisik bibir atas berjumlah 10
12, dan sisik bibir bawah berjumlah 11 -14. Tubuhnya
cukup keras dan kaku; ekor lebih keras, kaku dan
warnanya terdiri dari warna terang dan gelap. Setelah
Foto: LUTHFI R YUSUF
dewasa, terlihat jelas duri pada nukal menyambung
dengan dorsal dan lebih tinggi daripada dorsal; Kaki panjang dan ramping; jari keempat lebih
panjang daripada jari ke-tiga. Panjang tubuhnya mencapai 170 mm dan ekor 450 mm. Sedangkan
individu jenis ini yang ditemukan di HPH PT RKI masih anakan dan berukuran: tubuh (SVL)
49,80 mm dan ekor 74,80 mm, dengan berat 4 gram.
Habitat: Bunglon ini merupakan satwa diurnal dan arboreal pada hutan hujan yang masih alami;
lebih menyukai batang pohon yang tidak terlalu besar disekitar aliran sungai.
Penyebaran Regional: Malaysia, Indonesia (Sumatera, Kep Mentawai, Kep Natuna, Jawa).
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di Hutan Sekunder (Hutan adat) Blok
Kemarau.
7. Gonocephalus grandis Gray, 1845
Nama Inggris: Great Anglehead Lizard
Deskripsi: Tympanum (telinga) terlihat jelas, kira-kira
sebesar matanya. Sisik-sisik kepala kecil dan
meruncing, sisik bibir atas dan bawah berjumlah 10 -13.
Sisik dorsal sangat kecil dan seragam. Sedangkan sisik
ventral lebih besar dan halus. Panjang ekor sekitar dua
setengah kali panjang kepala hingga tubuhnya atau
bahkan lebih. Kaki belakang panjang dan hampir
menyentuh mata. Jari ketiga dan keempat sama
panjangnya. Pada saat dewasa, terdapat duri-duri yang
Foto: LUTHFI R YUSUF
bersambungan di belakang kepala dan leher. Ketika
tidur, warna kulit berubah menjadi kecoklatan dengan tanda-tanda hitam pada punggung dan
bintik-bintik berwarna pucat. Ketika stress, warnanya menjadi hijau pada jantan dan coklat
kemerahan pada betina dan anakan. Betina lebih kecil dari jantan. SVL mencapai 160 mm dan
ekor 550 mm. Individu jenis ini yang ditemukan di HPH PT RKI berukuran: SVL 62,35 mm dan
ekor 187,50 mm, dengan berat 9,5 gram.
Habitat: Jenis ini ditemukan pada ranting pohon dan menyukai daerah sekitar aliran air yang tidak
terganggu.
Penyebaran Regional: Thailand selatan, Malaysia, Sumatera dan Kalimantan.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di jalur akuatik habitat kebun karet Blok
Kemarau.
juv

B. Colubridae
Colubridae merupakan suku yang terdiri dari banyak sub-suku dan jenis. Sebagian besar
merupakan ular tidak berbisa dan sebagian lagi memiliki bisa walaupun bisanya tidak mematikan
manusia. Semua jenis memiliki gigi yang kuat dan beberapa ukurannya lebih panjang dan besar
dan terletak di belakang rahang atas, yang kemudian disebut taring belakang.

51

Sub famili : Colubrinae


7. Boiga drapiezii Boie, 1827
Nama Inggris: White-spotted Cat Snake
Deskripsi: Ular yang cantik ini memiliki dua tahapan
pewarnaan tubuhnya. Pertama, didominasi warna hijau
keabu-abuan dengan belang hijau gelap, cokelat
kemerahan, dan merah muda, sementara kepalanya
dominan warna hijau tua. Kedua, tubuh didominasi
warna cokelat, belang-belang lebih gelap dan cokelat
muda. Tubuh memanjang ramping, kepala tampak jelas,
mata besar dengan pupil vertikal. Sisik pada bibir atas
berjumlah 8; sisik ketiga dan kelima menyentuh mata.
Foto: LUTHFI R YUSUF
Panjang totalnya bisa mencapai 210 cm. Individu jenis
ini yang ditemukan di HPH PT RKI berukuran: SVL 564,50 mm dan ekor 187,50 mm, dengan
berat 13,75 gram.
Habitat: Jenis ini menyukai daerah yang lembab di hutan hingga ketinggian 1.100 mdpl. Ditemui
pada malam hari sedang melilit pada sebuah ranting-ranting pancang.
Penyebaran Regional: Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia (Kep Mentawai, Kep
Natuna, Sumatera, Jawa dan Kalimantan) dan Filipinas.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di Hutan Primer (Hutan adapt) Desa
Batu Kerbau Blok Pelepat.
8. Dendrelaphis pictus Gmelin, 1789
Nama Inggris: Common, Painted Bronzeback
Deskripsi: Ular jenis ini sangat khas sekali dengan
pewarnaan perunggu pada kepala dan bagian atas
tubuhnya, serta garis putih kekuningan dan garis hitam
pada bagian samping. Perutnya berwarna kuning atau
hijau muda. Tetapi dalam keadaan terancam pewarnaan
berubah, terdapat bintik-bintik biru pada tubuhnya.
Sisik pada bibir atas berjumlah 8 10 dan sisik ke 4-5
menyentuh mata. Panjang total bisa mencapai 143 cm.
Habitat: Jenis ini bersifat arboreal sering ditemukan
Foto: LUTHFI R YUSUF
pada ranting atau semak, aktif pada malam hari.
Habitatnya beragam dari yang datar hingga berbukit sampai ketinggian 1.300 mdpl.
Penyebaran Regional: Hampir diseluruh hutan tropis Asia dan Indonesia (Kep.Mentawai,
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi hinnga Halmahera).
Penyebaran di HPH PT RKI: Kebun karet dan lahan kosong Blok Kemarau.
9. Gongylosoma baliodeirus BOIE, 1827
Nama Inggris: -Boies Smooth Snake
Deskripsi: Secara umum, tubuh ular ini berwarna
coklat gelap, terdapat tanda-tanda hitam yang
membatasi belang/bagian yang berwarna terang (putih
atau kekuningan), tubuh ramping tapi tidak terlalu
memanjang, panjang tubuhnya bisa mencapai mencapai
30-35 cm. Tubuh bagian atas berwarna coklat; perutnya
berwarna oranye atau merah muda. Sisik anal terbagi
dua; sisik ekor berpasangan; sisik bibir atas berjumlah 7
(sisik ketiga dan keempat menyentuh mata). Individu
Foto: LUTHFI R YUSUF
jenis ini yang ditemukan di HPH PT RKI berukuran:
SVL 263,00 mm dan ekor 118,00 mm, dengan berat 10,75 gram.
Habitat: Jenis ini sering ditemukan secara tidak sengaja di siang hari di lantai hutan, bergerak
melintas jalan menuju blok hutan lain. Jadi, jenis ini merupakan ular yang diurnal dan terestrial,
terutama pada lantai hutan yang berserasah dan lembab.
Penyebaran Regional: Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di sekitar habitat lahan kosong Blok
Kemarau.

52

10. Lycodon subcinctus Reinwardt, 1827


Nama Inggris: Malayan Banded Wolf Snake
Deskripsi: Ular ini mengalami perubahan pewarnaan
dan corak tubuh berdasarkan usia. Anakan memiliki 20
belang berwarna putih, semakin bertambah usia
semakin berkurang. Pada saat dewasa berwarna cokelat
tua atau hitam dan terdapat warna putih putus-putus
pada leher. Sisik analnya terbagi dua, sisik bibir atas
berjumlah 8 dan sisik ke-3,4,5 menyentuh mata;
panjang tubuh bisa mencapai 118 cm.
Habitat: Ular ini bersifat nokturnal dan hidup secara
Foto: BOBY DARMAWAN
terrestrial pada areal hutan sampai ketinggian 1.770
mdpl.
Penyebaran Regional: China, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia (Sumatera, Jawa, Lombok,
Nias, Mentawai)
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di kebun sawit Blok Kemarau.
Sub famili : Homalopsinae
11. Enhydris alternans Reuss, 1834
Nama Inggris: Reuss Water Snake
Deskripsi: Tubuhnya tersusun atas sisik-sisik yang
kecil dan halus. Panjang maksimum mencapai 50 cm.
Rostral lebih lebar daripada Individu jenis ini yang
ditemukan di HPH PT RKI berukuran: SVL 186 mm
dan ekor 34 mm, dengan berat 7 gram. Jumlah sisik
ventral 133, sisik sub-caudal 89 berpasangan, sisik anal
terbagi dua, sisik bibir atas 8-9 (5-6 menyentuh mata).
Habitat: Jenis ini ditemukan ketika sedang bergerak
pada rerumputan tidak jauh dari aliran air pada areal
Foto: LUTHFI R YUSUF
hutan dataran rendah hingga sedang terutama daerah
pesisir.
Penyebaran Regional: Malaysia (Sarawak), Indonesia (Jawa, Sumatra, Bangka-Belitung)
Penyebaran di HPH PT RKI: ditemukan di hutan sekunder Blok Kemarau.
Sub famili : Natricinae
12. Psammodynastes pulverulentus Boie, 1827
Nama Inggris: Common Mock Viper
Deskripsi: Kepala jelas dan berbentuk segitiga, tetapi
tidak berbahaya; mata besar dan pupil vertikal. Secara
umum tubuhnya bulat dan sisiknya halus. Warna
punggungnya cokelat dan kemerahan; perutnya
berwarna cokelat terang atau merah muda; corak pada
tubuhnya bervariasi; sisik anal tidak terbagi, sisik ekor
berpasangan, sisik pada bibir atas berjumlah 8 (sisik ke3,4,5) menyentuh mata, panjang tubuhnya bisa
mencapai 600 mm. Individu jenis ini yang ditemukan di
HPH PT RKI berukuran: SVL 400 mm dan ekor 100
Foto: BOBY DARMAWAN
mm, dengan berat 25 gram.
Habitat: Jenis ini merupakan reptil yang hidup secara terestrial dan aktif pada malam hari, tetapi
kadang naik pada tanaman yang tidak terlalu tinggi dan menunggu mangsa. Secara umum
habitatnya adalah hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan sampai ketinggian 1500 mdpl.
Penyebaran Regional: China, Asia Selatan, Asia Tenggara, Indonesia (Sumatera, Kep Mentawai,
Kep Riau, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Komodo, Sulawesi, Kep Togean, Alor,
Lomben).
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di Hutan Sekunder Blok Kemarau.

53

13. Psammodynastes pictus Gnther, 1858


Nama Inggris: Painted Mock Viper
Deskripsi: Bagian atas kepala berwarna pucat,
terutama sisik parietal dan pada bagian temporalnya.
Diatas bibir yang berwarna kuning, terdapat bagian
yang berwarna cokelat dari moncong, mata hingga ke
leher. Pada bagian atas tubuhnya, terdapat garis
vertebral berwarna coklat kehitaman selebar lima sisik
yang terdiri dari titik-titik berpasangan yang berwarna
kuning. Perutnya berwarna kuning dengan bintik-bintik
hitam yang berpola seperti dua garis lateral. Bibir
Foto: BOBY DARMAWAN
bagian atas terdiri dari 8 sisik, dan sisik ke 3,4 dan 5
menyentuh mata. Sisik ke-tiga pada bibir bagian bawah berukuran besar, tidak terpisah dari sisik
dagu dan hanya dibatasi oleh mental groove. Ukuran panjang totalnya tidak pernah melebihi 50
cm. Dua individu yang ditemukan di lokasi penelitian ini ukuran panjang SVL nya 224,50 dan 235
mm-, ekornya 62,50 dan 74 mm, dengan berat 4,80 dan 8,00 gram.
Habitat: Ular ini memilih lokasi sekitar aliran air sebagai tempat hidupnya, dan sering
memanfaatkan kayu/batang pohon yang jatuh melintang dipermukaan air untuk menangkap
mangsanya.
Penyebaran Regional: Indonesia (Sumatera, Jawa, Simeulue, Kep.Bangka Belitung, Kep.Riau,
Kalimantan), Malaysia, Brunei Darussalam dna Singapura.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini ditemukan di habitat hutan sekunder dan di habitat kebun
karet Blok Kemarau.
14. Rhabdophis chrysargos Schlegel, 1837
Nama Inggris: Specklebelly Keelback
Deskripsi: Kepala berwarna coklat tua atau hitam;
punggungnya berwarna cokelat kehijauan; terdapat
bintik-bintik berwarna merah terang yang membentuk
suatu pola; tubuhnya bulat dan ramping; perutnya putih
kekuningan dan terdapat bintik-bintik hitam; warna
kuning pada bibir dibatasi oleh warna hitam hingga
kebelakang kepala menyambung seperti cincin; sisiksisik penyusun tubuhnya runcing; sisik bibir atas
berjumlah 9 (terkadang 8), ada 2 atau gigi yang lebih
Foto: BOBY DARMAWAN
besar dari gigi yang lain; panjang tubuhnya bisa
mencapai 800 mm. Individu yang ditemukan di lokasi penelitian ini ukuran panjang SVL nya 371
mm-, ekornya 124 mm, dengan berat 14,75 gram.
Habitat: Pola hidup ular ini adalah diurnal (aktif siang hari) dan terestrial (dipermukaan tanah).
Secara umum tempat hidupnya mulai dari hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan sampai
ketinggian 1.700 mdpl.
Penyebaran Regional: Asia Tenggara, Hainan, Filipina, Indonesia (Sumatera, Kep.Mentawai,
Kalimantan, Jawa, Bali, Flores, Sulawesi dan Ternate).
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di Hutan Sekunder Blok Kemarau.
Sub famili : Pareatinae
15. Aplopeltura boa Boie, 1828

Foto: LUTHFI R YUSUF

Nama Inggris: Blunt-headed Tree/Slug Snake


Deskripsi: Tubuh ular ini sangat ramping, sisik
vertebralnya lebih besar dari sisik dorsal. Warna
tubuhnya ada yang kekuningan, keabu-abuan atau
cokelat gelap dengan titik-titik lebih gelap. Kepalanya
pendek, tumpul dan besar. Bibirnya berwarna putih dan
matanya berukuran besar. Sisik pada bibir atas tidak
menyentuh mata karena dibatasi oleh sisik sub-okular.
Sisik anal tidak terbagi dua. Ukuran panjang tubuhnya
bisa mencapai 840 mm. Individu yang ditemukan di

54

lokasi penelitian ini ukuran panjang SVL nya 760 mm-, ekornya 260 mm, dengan berat 14,00
gram.
Habitat: Ular yang makanan utamanya adalah siput, keong dan kadal ini hidup secara arboreal
dan tersebar luas hingga mencapai ketinggian 1.300 mdpl.
Penyebaran Regional: Myanmar, Brunei, Thailand selatan, Malaysia, Indonesia (Nias, Sumatera,
Bangka, Kep Natuna, Kalimantan, Jawa) dan Filipina.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya dijumpai di habitat kebun sawit Blok Kemarau.
16. Pareas carinatus Boie, 1830
Nama Inggris: Keeled Slug Snake
Deskripsi: Tubuh berwarna cokelat dan terdapat titiktitik hitam atau garis gelap yang melintang
vertebralnya. Sisik vertebral lebih besar. Terdapat tanda
hitam dan jelas menyerupai tanda X melintas dari
belakang mata hingga kuduknya. Sisik ke 7 hingga 9
pada bibir bagian atas tidak menyentuh mata dan
terpisah oleh sisik sub-okular. Panjang totalnya bisa
mencapai 600 mm atau lebih. Individu yang ditemukan
di lokasi penelitian ini ukuran panjang SVL nya 530
Foto: BOBY DARMAWAN
mm-, ekornya 146 mm, dengan berat 8,25 gram.
Habitat: Jenis ini aktif pada malam hari secara arboreal dan lebih mudah ditemukan di daerah
yang lembab dan sekitar perairan di hutan tropis dataran rendah, hutan tropis pegunungan, dapat
juga beradaptasi dengan perkebunan dan pemukiman.
Penyebaran Regional: Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok), Cina, Kamboja,
Vietnam, Thailand, Laos dan Myanmar.
Penyebaran di HPH PT RKI: Pareas carinatus ini ditemukan di habitat hutan sekunder di Blok
Kemarau dan hutan adat/primer Desa Batu Kerbau Blok Pelepat.
C. Viperidae
Viperidae merupakan suku yang paling jelas, semuanya dipastikan berbisa karena memiliki taring
yang panjang di bagian depan rahangnya. Suku ini bisa dikenali dengan bentuk kepala yang
segitiga dan pupil vertikal.
sub famili : Crotalinae
17. Parias hageni Lidth de Jeude, 1886 (Trimeresurus hageni)
Nama Inggris: Indonesian / Hagens Pit-viper
Deskripsi: Kepala berbentuk segitiga dan tubuhnya
berwarna hijau; terdapat garis putih melintang dari
kepala hingga ekor; terdiri dari bintik-bintik berwarna
pink yang memanjang dari sepanjang tubuhnya, dan
ekornya berwarna kemerahan. Jenis ini sangat
berbahaya karena mempunyai bisa yang kuat. Ukuran
panjang tubuh ular ini bisa dugi ka 960 mm.
Habitat: Ular yang bersifat arboreal dan diurnal, pada
habitat hutan dataran rendah sampai ketinggian 1000
Foto: BOBY DARMAWAN
mdpl.
Penyebaran Regional: Thailand, Semenanjung Malaysia, Indonesia (Nias, Kep Mentawai, P
Batu, Simeuleu, Sumatera dan Bangka)
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di Hutan Primer (Hutan adat) Desa Batu
Kerbau Blok Pelepat.
D. Gekkonidae
Gekkonidae adalah famili dalam kelas reptilia yang lebih dikenal terdiri dari cicak-cicak
kecil dan tokek. Ukuran tubuh tokek merupakan ukuran terbesar dalam famili ini. Beberapa jenis
cicak terkelompokan lagi karena memiliki bagian tubuh yang unik diantaranya pada telapak kaki,
sehingga memudahkan pergerakan walaupun dipermukaan yang licin. Jarinya dilengkapi kukukuku yang tajam untuk berjalan di permukaan yang kasar. Tubuhnya terdiri dari sisik-sisik yang

55

halus. Pada jantan, keberadaan pori-pori pada paha dan preanal bukan merupakan kepastian. Mata
memiliki pupil vertikal. Pada beberapa jenis, memutuskan ekor merupakan suatu hal yang harus
dan mudah dilakukan untuk alasan keselamatan. Setelah putus, ekor dapat dengan cepat tumbuh
kembali. Keluarga cicak dan tokek ini hidup pada habitat yang beragam. Makanan utama semua
jenis ini adalah serangga dan mangsa lain yang lebih kecil. Sebagian besar merupakan satwa
diurnal dan bersifat arboreal serta mampu mengeluarkan suara yang bermacam-macam. Semua
jenis mengeluarkan telur dan menetaskannya dalam sarang. Biasanya mengeluarkan dua telur
dalam satu kali bertelur.
18. Cyrtodactylus marmoratus Kuhl, 1831
Nama Inggris: Marbled Bow-fingered Gecko
Deskripsi: Ukuran kepala besar dan keras; moncong
meruncing; dahi cekung; tympanum berbentuk oval,
miring dan ukurannya sekitar sepertiga diameter
matanya; Kepala terdiri dari sisik-sisik granular dan
sisik tersebut membesar pada moncong; nostril dibatasi
oleh rostral; Sisik bibir atas berjumlah 12 dan bibir
bawah berjumlah 10. Sisik pada dagu terdiri dari dua
atau tiga pasang. Tubuh memanjang dan terdiri dari
sisik-sisik granular yang kecil dan halus. Sisik ventral
Foto: LUTHFI R YUSUF
kecil dan halus. Jantan terdiri dari 12 -13 pori preanal
menyerupai bentuk (V) dan 4-6 pori femoral. Ekor panjang dan bulat. Kaki-kaki memanjang dan
kuat serta ukuran telapak lebih lebar. Panjang kepala dan tubuhnya bisa mencapai 76 mm dan
ekornya 72 mm. Individu-individu yang ditemukan di lokasi penelitian ini ukuran panjang SVL
nya berkisar antara 53,30-86,50 mm-, ekornya 47,00-73,60 mm, dengan berat 3-8 gram.
Habitat: Cicak ini merupakan satwa nocturnal dan bersifat arboreal, tapi terkadang ditemui
dibalik batu. Pernah dijumpai di bawah lantai kayu pada rumah lading penduduk.
Penyebaran Regional: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Papua, Malaysia, PNG, sampai Pulau
Chrismast.
Penyebaran di HPH PT RKI: Dijumpai di 4 tipe habitat, yaitu hutan primer/adat Desa Batu
Kerbau Blok Pelepat; hutan sekunder, kebun sawit dan kebun karet di Blok Kemarau.
19. Cyrtodactylus consubrinus Peters, 1871
Nama Inggris: Peters Bow-fingered Gecko
Deskripsi: Kepala besar dan keras; moncong tidak
meruncing; dahi cekung; tympanum (telinga) oval dan
vertikal serta berukuran kecil; Sisik pada bibir atas
berjumlah 10-13 dan bibir bawah berjumlah 10-12 sisik.
Tubuh memanjang dan terdiri dari sisik-sisik halus dan
berjumlah sekitar 65-70 memanjang di perut bagian
tengah. Berwarna hitam dengan garis-garis berwarna
putih tidak beraturan atau krem; Pada masa
pertumbuhan bagian yang berwarna gelap kemudian
Foto: LUTHFI R YUSUF
memudar pada bagian tengahnya; dan pada saat
dewasanya terlihat mempunyai tepi berwarna hitam pada garis krem atau mempunyai bintik coklat
pada ujung tubuhnya. Ekornya bulat dan kakinya memanjang dan sangat kuat dengan cakar yang
tajam. Memiliki panjang tubuh SVL sebesar 120 mm dan panjang total tubuh sebesar 280 mm.
Individu-individu yang ditemukan di lokasi penelitian ini ukuran panjang SVL nya berkisar antara
105,30-120 mm-, ekornya 141,75-170 mm, dengan berat 28,50-40 gram.
Habitat: Jenis ini hidup pada batang-batang pohon besar, berbanir dan berlubang, terutama
tunggak-tunggak pohon yang telah tumbang dan lapuk di hutan hujan dataran rendah dan pada
ketinggian sedang.
Penyebaran Regional: Thailand selatan, Malaysia, Sumatra, Borneo hingga Singkep.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di hutan sekunder Blok Kemarau.

56

20. Gekko smithii Gray, 1842


Nama Inggris: Smiths Green-eyed Gecko
Deskripsi: Berbeda dengan tokek lain dalam suku
Geckonidae, tokek ini memiliki mata yang berwarna
hijau; Tubuhnya berwarna cokelat keabu-abuan dan
mampu mencapai ukuran besar dan panjang tubuhnya
bisa mencapai 16 cm, sedangkan panjang totalnya bisa
30 cm. Terdapat alur bintik-bintik berwarna putih pada
punggung hingga ekor; suara yang dikeluarkan sangat
berbeda dengan tokek lain yaitu ket ket....ket ket ket...
Empat jari terluar memiliki cakar yang kuat, sedangkan
jari terdalam tidak bercakar. Individu jenis ini yang
Foto: LUTHFI R YUSUF
ditemukan di HPH PT RKI berukuran: SVL 146,30 mm
dan ekor 117,00 mm, dengan berat 73,80 gram.
Habitat: Tokek ini merupakan satwa nokturnal dan arboreal (pada pohon dan lubang pohon),
mampu beradaptasi dengan habitat yang sedikit terganggu dan habitat manusia.
Penyebaran Regional: Thailand selatan, Malaysia, Singapura dan Indonesia hingga Kepulauan
Andaman.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini ditemukan di Kebun Sawit dan Kebun Karet Blok
Kemarau.
21. Hemidactylus frenatus Schlegel, 1836
Nama Inggris: Common House Gecko, Chichak
Deskripsi: Ciri utama yaitu terdapat alur-alur duri pada
setiap sisi ekornya; moncong lebih panjang daripada
jarak mata dengan telinga. Dahi cekung dan telinga
bulat sangat kecil. Kepala tersusun dari sisik granular
yang kecil, sisik paling besar pada moncong. Nostril
dibatasi oleh rostral. Sisik pada bibir atas berjumlah 1012 dan bibir bawah berjumlah 8-10. Ekor bulat dan
tersusun oleh sisik-sisik yang sangat kecil. Jari yang
Foto: LUTHFI R YUSUF
paling dalam panjangnya kurang dari setengah panjang
jari kedua. Pewarnaan umum coklat dengan beragam
kepekatan dan alur/corak berwarna kehitaman yang seragam. Mata lebar dan pupil vertikal.
Panjang SVL mencapai 60 mm dan panjang total 130 mm.
Habitat: Cicak ini merupakan satwa nokturnal tapi terkadang sore juga sudah kelihatan dan
kedengaran suara khasnya. Jenis ini makanan utamanya adalah serangga kecil, sehingga sering
menunggu mangsanya tersebut di dinding dekat lampu.
Penyebaran Regional: Indo-China, Peninsular Malaysia, Sumatra.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di Kebun Sawit Blok Kemarau.
E. Scincidae
Scincidae merupakan suku dalam kelas reptilia yang terdiri dari 1300 jenis. Suku ini
memiliki bentuk yang simpel; lembut/halus; kepala tersusun atas sisik-sisik yang simetris; lidah
datar; pupil mata bulat; tympanum (telinga) jelas tertutupi oleh sisik; tubuh yang fleksibel; kaki
kecil dan bahkan tidak memiliki kaki sama sekali; kebanyakan kadal dalam suku ini melakukan
sebagian besar aktifitasnya diatas permukaan tanah (terestrial), sebagian hidup diantara serasah
dan tanah, sebagian lagi hidup dalam tanah dan bahkan ada yang hidup secara arboreal. Sebagian
aktif di siang hari; sebagian ovipar dan lainnya ovovivipar.

57

22. Dasia olivacea Gray, 1839


Nama Inggris: Olive Dasia atau Olive Tree Skink
Deskripsi: Kadal jenis ini hampir mirip dengan jenis
dari marga Mabuia, tetapi memiliki moncong yang
lebih meruncing dan berprilaku arboreal; tympanum
(telinga) sangat kecil; sisik perut (ventral) lebih kecil
daripada punggung (dorsal), panjang ekor sekitar satu
sepertiga kali panjang tubuhnya. Secara umum warna
tubuh pada bagian atas adakah cokelat dan bagian
bawah hijau dengan bintik-bintik hitam pada bagian
punggung (dorsal) menyusun alur melintang putusFoto: LUTHFI R YUSUF
putus; dan kaki-kakinya kuat. Ukuran SVL (panjang
tubuh) mencapai 110 mm dan panjang total 270 mm. Individu jenis ini yang ditemukan di HPH PT
RKI berukuran: SVL 93,35 mm dan ekor 164,00 mm, dengan berat 34,50 gram.
Habitat: Kadal ini aktif disiang hari (diurnal) dan menghabiskan sebagian besar waktunya pada
tajuk-tajuk pohon. Jenis ini lebih menyukai hutan pesisir pada pulau-pulau kecil dan tipe hutan
lainnya.
Penyebaran Regional: Thailand, Malaysia, Singapore, Indonesia (Sumatera, Nias, Singkep, Kep
Natuna, Kalimantan dan Jawa) dan Filipina.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di Kebun Karet Blok Kemarau.
23. Eutropis multifasciata Kuhl, 1820
Nama Inggris: Many-lined Sun Skink
Deskripsi: Kadal ini bisa mencapai ukuran besar dan
cukup berat; biasanya terdapat 5 atau 7 garis kehitaman
pada punggungnya yang berwarna perunggu; terkadang
ditemui individu yang berwarna oranye pada sisi kirikanan tubuhnya; panjang ekornya kurang dari dua kali
panjang tubuhnya; moncong pendek; tympanum
(telinga)bulat dan cukup besar; terdapat sepasang sisik
nukal; sisik kelima pada bibir atas dibawah mata
ukurannya paling besar; kaki kuat; ukuran panjang
Foto: LUTHFI R YUSUF
tubuhnya bisa mencapai 130 mm dan panjang ekor 220
mm. Individu-individu jenis ini yang ditemukan di HPH PT RKI mencapai ukuran: SVL 75,40
mm dan ekor 137,00 mm, dengan berat 14,50 gram.
Habitat: Kadal ini mudah ditemukan pada pagi hari ketika sedang berjemur di bebatuan atau
batang pohon untuk menyerap sinar matahari, terutama dekat pinggiran sungai, di lantai hutan dan
mampu beradaptasi dengan pemukiman manusia.
Penyebaran Regional: Jenis ini umum dan mudah ditemui karena memiliki penyebaran yang luas
dari wilayah Asia Selatan, Asia Tenggara sampai Papua New Guinea.
Penyebaran di HPH PT RKI: Kadal ini ditemukan disemua lokasi atau tipe habitat baik Blok
Kemarau atau Blok Pelepat di Eks-HPH PT RKI.
24. Lipinia vittigera Boulenger, 1894

Foto: LUTHFI R YUSUF

rendah hingga pegunungan.

Nama Inggris: Banded Lipinia atau Sipora Striped


Skink
Deskripsi: Kadal ini memiliki tubuh yang kecil dan
ramping; dengan mudah dikenali karena terdapat garis
kuning pada punggungnya yang berwarna hitam;
ekornya berwarna oranye atau merah menyala; panjang
tubuhnya hanya mencapai 42 mm dan ukuran
maksimum ekornya 56 mm.
Habitat: Kadal ini merupakan kadal yang bersifat
arboreal sejati dan beraktifitas pada siang hari di batang
dan tajuk-tajuk pohon yang tidak jauh dari aliran sungai
atau tempat-tempat lembab lainnya, dari hutan dataran

58

Penyebaran Regional: Jenis ini memiliki penyebaran yang luas hampir diseluruh daratan di Asia
Tenggara.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di kebun karet Blok Kemarau.
F. Lacertidae
Secara umum kadal yang termasuk suku ini berukuran kecil, ramping dan memiliki ekor
yang panjang. Kepala terlihat jelas; sisik punggung granular; sisik ventral lebih besar, terdapat
pori-pori pada femoral tungkai belakang. Kadal jenis ini hidup di tanah, batu dan lubang untuk
mengintai serangga dan makanan lainnya.
25. Takydromus sexlineatus Daudin, 1802
Nama Inggris: Asian Grass Lizard atau Six-striped
Long-tailed Lizard
Deskripsi: Kadal jenis ini memiliki ukuran kecil;
tubuhnya ramping; Ekornya bulat dan sangat panjang
mencapai 6 kali panjang tubuhnya dan fungsinya
supaya tidak tergelincir atau jatuh ketika bergerak dari
satu tangkai ke tangkai lainnya; Sisik ventral dan pada
ekor besar dan meruncing; Kepala meruncing; rostral
berbentuk lima sisi; sisik loreal ada dua; tubuh
memanjang dan berwarna coklat kehijauan, diselingi
Foto: LUTHFI R YUSUF
dua buah garis bewarna hijau terang dilapisi garis
hitam, kemudian bagian tengah ke bagian bawah tubuhnya berwarna hijau muda terang. Bibir atas
terdiri dari 7 sisik, dan bibir bawah 5 sisik. Kaki dan jarinya panjang. Panjang tubuhnya bisa
mencapai 65 mm dan ekornya 360 mm. Individu jenis ini yang ditemukan di HPH PT RKI
berukuran: SVL 60,15 mm dan ekor 245 mm, dengan berat 6,25 gram.
Habitat: Jenis ini menyukai area yang berumput, semak belukar, rumpun bambu karena
pewarnaan tubuhnya bisa berkamuflase di substratnya tersebut. Kadal ini merupakan satwa diurnal
yang bisa hidup hingga ketinggian 1.500 mdpl, banyak ditemukan di areal pertanian.
Penyebaran Regional: Asia Tenggara, Indonesia (Sumatera, Kalimantan dan Jawa).
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di kebun sawit Blok Kemarau.
G. Geoemydidae (Kura-kura air tawar)
Geoemydidae merupakan suku kura-kura air tawar. Suku ini memiliki anggota terbanyak di
Indonesia. Kebanyakan berukuran sedang (200-300 mm), tapi ada yang mencapai 1000 mm.
Secara umum, kura-kura air tawar melakukan hampir semua aktifitasnya di air, tetapi ada beberapa
yang sering terlihat di darat. Jenis yang di dapat di lokasi penelitian yaitu Notochelys platinota.
26. Notochelys platynota Gray, 1834
Nama Inggris: Malayan Flat-Shelled Turtle
Deskripsi: Jenis ini mudah dikenali karena memiliki
ciri yang berbeda dengan terrapin lainnya, yaitu
penambahan jumlah sisik vertebral pada karapasnya
sehingga berjumlah enam dan terkadang tujuh. Karapas
lebar dan rata/datar sepanjang bagian posterior. Pada
masa anakan, karapasnya berwarna hijau terang dan
terdapat titik-titik hitam pada sisik marginalnya.
Plastronnya berwarma oranye-merah dan tidak dan
/atau hanya bisa digerakan ketika telah dewasa. Garis
Foto: LUTHFI R YUSUF
kuning dari belakang mata hingga leher; pada kaki-kaki
terdapat sisik yang renggang, dan pada ekornya pendek ada bintik-bintik merah; cakar panjang;
jari berselaput, kaki depan terdiri dari 5 jari dan kaki belakang 4 jari. Panjang carapas (CL) bisa
mencapai 400 mm. Individu yang ditemukan di lokasi penelitian berjenis kelamin betina,
berukuran SCL/snout carapace length 105,50 mm, dan beratnya sekitar 200 gram. Sisik vertebral
7, sisik marginal 11 pasang, costal 4 pasang, sisik nukal 1, sisik sub-caudal 1 pasang.
Habitat: Kura-kura jenis ini hidup di aliran air yang masih jernih berarus deras ataupun sedang,
terutama di hutan hujan. Buah-buahan, daun-daunan, siput, ikan dan udang adalah makanannya.
Penyebaran Regional: Thailand, Malaysia, Sumatra, Kalimantan, Bangka dan Jawa.

59

Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini hanya ditemukan di Hutan Primer (Hutan adapt) Desa
Batu Kerbau Blok Pelepat.
H. Trionychidae (Labi-labi)
Trionychidae merupakan suku labi-labi yang kebanyakan adalah karnivora. Suku ini
memiliki perisai yang sebagian besar terdiri dari tulang rawan. Perisainya yang khas tersebut
menjadi pembeda dengan suku lainnya. Pada beberapa jenis, kaki belakangnya dapat
disembunyikan dibalik katub perisai. Leher dan ekornya relatif panjang. Lubang hidung lebih
panjang. Rahangnya kuat dan geliginya keras. Tempat yang disukainya adalah dasar sungai dan
danau.
27. Amyda cartilaginea Boddaert, 1770
Nama Inggris: Black-rayed Soft-shelled Turtle atau
Asiatic Softshell Turtle
Deskripsi: Ciri utama dari jenis ini adalah adanya alur
bintil-bintil pada sisi anterior depannya; Perisainya
ditutupi kulit dan merupakan tulang rawan; Warna
perisainya beragam dari hitam, cokelat, jingga hingga
abu-abu, dan titik kuning menjadikan motif/alur
tertentu; Matanya kecil, lubang hidungnya terletak di
ujung belalai; Bibirnya tebal; Kaki berselaput penuh
dan memiliki cakar. Bagian perut berwarna putih dan
pucat keabu-abuan. Ukuran perisainya bisa mencapai 100 cm.
Habitat Regional: Jenis ini merupakan jenis yang akuatik, hampir seluruh aktivitas dilakukan di
air. Termasuk ketika waktunya bertelur, jenis ini mendekat dengan badan air untuk meletakan
telurnya.
Penyebaran Regional: Asia Tenggara kecuali Filipina.
Penyebaran di HPH PT RKI: Jenis ini banyak ditemukan di sungai Batang Tebo tidak jauh dari
habitat sekunder Blok Kemarau. Individu ini diperoleh penulis dari penduduk yang berhasil
mendapat bulus ini di sungai yang masih termasuk area penelitian.
Foto: LUTHFI R YUSUF

Penamaan dan Penulisan deskripsi ini menggunakan acuan atau buku: The EMBL reptile
database Uetz (2004), Snake of Malaya (Tweedie, 1983), Snake of Sumatera (David dan Vogel
1997), The Reptiles Of The Indo-Australian Archipelago: Lacertilia, Chelodina, Emydosauria
(Rooij 1915), The Reptiles Of The Indo-Australian Archipelago: Ophidia (Rooij 1917), A
Photographic Guide to Snakes and Other Reptiles of Peninsular Malaysia, Singapore and
Thailand (Cox et al. 1998), Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini (Iskandar 2000), A
Checklist of Southeast Asian and New Guinean Reptiles Part I Serpentes (Iskandar dan Colijn
2001).

60

Lampiran 2. Daftar Jenis Reptil Pada 4 Lokasi di Sumatera


Nama Jenis Reptil
Acanthosaura armata
Ahaetulla fasciolata
Ahaetulla prasina
Amphiesma petersii
Amyda cartilaginea
Aphaniotus puscus
Aplopeltura boa
Astenodipsas malaccanus
Boiga dendrophila melanota
Boiga drapiezii
Boiga jaspidea
Boiga nigriceps
Broncochella cristatella
Bungarus candidus
Bungarus flaviceps
Calamaria schlegeli
Calotes sp
Calotes versicolor
Crocodyllus porosus
Cyclemis dentata
Cyclemys oldhami
Cyrtodactylus cf fumosus
Cyrtodactylus consubrinus
Cyrtodactylus marmoratus
Cyrtodactylus quadrilineatus
Cyrtodactylus sp.
Dasia olivacea
Dendrelaphis caudolineatus
Dendrelaphis pictus
Dendrelaphis striatus
Dogania subplana
Draco fimbriatus
Draco melanopogon
Draco quinquefasciatus
Draco Sp1
Draco Sp2
Draco Sp3.
Draco sumatranus
Draco taeniopterus
Draco volans
Elaphe flaviolineata
Enhydris alternans
Gecko monarcus
Gecko smithii
Gekko gecko
Gongylosoma baliodeirus
Gonocephalus chamaeleontinus
Gonocephalus grandis
Gonocephalus klosi
Gonocephalus liogaster

TNBBS

TNWK

SumSel

PT RKI Bungo

61

Lampiran 2. (lanjutan)
Nama Jenis Reptil
Gonyosoma oxycephalum
Hemidactylus frenatus
Hemidactylus garnotti
Heosemys spinosa
Homalopsis buccata
Lipinia vitigera
Lycodon subcinctus
Eutropis multifasciata
Eutropis quinquecarinata
Eutropis rudis
Eutropis rugifera
Eutropis sp.
Manouria emys
Naja sp
Notochelys platinota
Pareas carinatus
Pareas laevis
Pareas malaccanus
Pareas vertebralis
Psammodynastes pictus
Psammodynastes pulverulentus
Pseudocalotes tympanistriga
Pseudorabdion longiceps
Ptyas korros
Ptychozoon kuhli
Python reticulatus
Rhabdophis conspicilatus
Rhabdophis crysargus
Rhabdophis subminiatus
Taxydromus sexlineatus
Trimeresurus hageni
Trimeresurus puniceus
Trimeresurus sumatranus
Typhlops lineatus
Varanus rudicollis
Varanus salvator
Xenochrophis trianguligera
Xenopeltis unicolor

TNBBS

TNWK

SumSel

PT RKI Bungo

62

Lampiran 3. Hasil Penghitungan Indeks Nilai Penting


INP pohon di habitat hutan sekunder
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Nama jenis
Nama Latin
Balam
Palaquium sp
Bandotan
Ageratum conyzoides
Gundi
Jambu-jambu
Kurrimia paniculata
Kayu Mara
Macaranga triloba
Kayu Pasak
Baccaurea javanica
Kayu sisik
Kedondong Hutan Spondias sp
Kubung
Medang Kuning
Litsea firma
Melangir
Shorea balangiran
Melangir batu
Shorea sp
Meranti
Shorea sp
Pening-pening
Senggeris
X1. sp
X2. sp
X3. sp
Total

Lbds
0.07
0.13
0.11
0.11
0.68
0.34
0.17
0.07
0.56
0.42
1.03
0.09
0.37
0.45
0.08
0.06
0.45
0.07
5.25

K
2.5
2.5
2.5
2.5
35
7.5
5
2.5
25
10
25
2.5
7.5
10
2.5
2.5
2.5
5
152.5

KR
1.64
1.64
1.64
1.64
22.95
4.92
3.28
1.64
16.39
6.56
16.39
1.64
4.92
6.56
1.64
1.64
1.64
3.28
100

F
0.1
0.1
0.1
0.1
0.7
0.2
0.2
0.1
0.7
0.4
0.5
0.1
0.3
0.3
0.1
0.1
0.1
0.2
4.4

FR
2.27
2.27
2.27
2.27
15.91
4.55
4.55
2.27
15.91
9.09
11.36
2.27
6.82
6.82
2.27
2.27
2.27
4.55
100

K
2.5
2.5
2.5
2.5
2.5
7.5
2.5
20

KR
1.43
1.43
1.43
1.43
1.43
4.29
1.43
11.4

D
0.17
0.33
0.27
0.27
1.70
0.85
0.43
0.17
1.40
1.05
2.58
0.21
0.93
1.13
0.20
0.14
1.13
0.18
13.11

DR
1.26
2.52
2.05
2.05
12.96
6.48
3.24
1.26
10.68
8.01
19.64
1.63
7.05
8.58
1.53
1.09
8.64
1.33
100

INP
5.17
6.43
5.96
5.96
51.82
15.95
11.07
5.17
42.98
23.66
47.39
5.54
18.79
21.95
5.44
5.00
12.56
9.16
300

INP pohon di habitat hutan primer


No.
1
2
3
4
5
6
7
8

Nama jenis
Anak Mersawa
Bakeh
Bakil
B. Ageh
B. Buah Kampuy
B. Konggo Merah
B. Lalan
B. Skepung

Nama Latin
Anisoptera sp
Artocarpus anisopnylla
Pterocarpus indica
-

Lbds
0.07
0.09
0.07
0.10
0.07
0.27
0.07
0.74

F
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.3
0.1
0.6

FR
1.72
1.72
1.72
1.72
1.72
5.17
1.72
10.3

D
0.18
0.23
0.18
0.24
0.18
0.67
0.17
1.85

DR
0.65
0.83
0.65
0.89
0.65
2.46
0.61
6.86

INP
3.80
3.99
3.81
4.04
3.81
11.92
3.76
28.63

63

Lampiran 3. (lanjutan)
No.
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36

Nama jenis
B. Ulai Rimbo
Bayur
Betung
Kartuko
Kasainggang
Kawang
K Arang
K Balik Angin
K Batang Lintang Tanggo
K Etung
K Kelat Padi
K Pisang
K Sekubung
K Ubi
Kedondong Pipit
Kelukup
Letung
Medang
Mempayang
Meranti
Meranti merah
Meranti Putih
Mersawa
Rambutan Hutan
Sembahyang Kunyi
Tembalun
Tembalun Bungo
Tero
Total

Nama Latin
Pterospermum javanicum
Pometia sp
Cynodon dactylon
Cratoxylon sp
Mallotur paniculata
Lucuma malacensis
Spondias sp
Shorea eximia
Litsea firma
Shorea sp
Shorea lepidota
Shorea bracteolata
Anisoptera marginata
Nephelium lappaceum
-

Lbds
0.08
0.27
0.15
0.19
1.21
0.07
0.10
0.16
0.10
0.06
0.35
0.08
0.21
0.11
0.06
0.10
0.71
0.25
0.64
0.14
0.05
2.00
0.42
0.09
0.20
0.84
0.64
0.06
10.79

K
2.5
5
2.5
2.5
15
2.5
2.5
2.5
2.5
2.5
5
2.5
7.5
2.5
2.5
2.5
10
7.5
5
5
2.5
5
10
2.5
2.5
15
2.5
2.5
175

KR
1.43
2.86
1.43
1.43
8.57
1.43
1.43
1.43
1.43
1.43
2.86
1.43
4.29
1.43
1.43
1.43
5.71
4.29
2.86
2.86
1.43
2.86
5.71
1.43
1.43
8.57
1.43
1.43
100

F
0.1
0.2
0.1
0.1
0.4
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.2
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.3
0.2
0.1
0.2
0.1
0.1
0.4
0.1
0.1
0.4
0.1
0.1
5.8

FR
1.72
3.45
1.72
1.72
6.90
1.72
1.72
1.72
1.72
1.72
3.45
1.72
1.72
1.72
1.72
1.72
5.17
3.45
1.72
3.45
1.72
1.72
6.90
1.72
1.72
6.90
1.72
1.72
100

D
0.19
0.68
0.36
0.47
3.01
0.18
0.25
0.40
0.25
0.15
0.88
0.20
0.53
0.28
0.15
0.25
1.78
0.63
1.60
0.35
0.13
5.00
1.05
0.23
0.50
2.10
1.60
0.15
26.99

DR
0.70
2.50
1.34
1.75
11.17
0.65
0.93
1.48
0.93
0.56
3.24
0.74
1.95
1.02
0.56
0.93
6.58
2.32
5.93
1.30
0.46
18.53
3.89
0.83
1.85
7.78
5.93
0.56
100

INP
3.85
8.81
4.50
4.90
26.64
3.80
4.08
4.63
4.08
3.71
9.55
3.89
7.96
4.17
3.71
4.08
17.46
10.05
10.51
7.60
3.62
23.11
16.50
3.99
5.01
23.25
9.08
3.71
300

64

Lampiran 3. (lanjutan)
INP semai di habitat hutan sekunder
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Nama jenis
Aer-aer
Bandetan
Belimbing
Girut
Jambu
Jambu-jambu
Kayu sisik
Kedondong
Medang
Meranti
Mindri Hutan
Pakis
Pasak
Pasang
Perlig lapur
Plangeh
Rotan
Selaginela
Tepus
Total

PLOT
1
4
2
4
1
5
1
1
1
4
1
2
3
1
1
1
1
1
3

ind
1
7
9
18
2
8
2
1
1
23
4
6
10
1
2
1
2
5
17
120

K
250
1750
2250
4500
500
2000
500
250
250
5750
1000
1500
2500
250
500
250
500
1250
4250
30000

KR
0.83
5.83
7.50
15.00
1.67
6.67
1.67
0.83
0.83
19.17
3.33
5.00
8.33
0.83
1.67
0.83
1.67
4.17
14.17
100

F
0.1
0.4
0.2
0.4
0.1
0.5
0.1
0.1
0.1
0.4
0.1
0.2
0.3
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.3
3.8

FR
2.63
10.53
5.26
10.53
2.63
13.16
2.63
2.63
2.63
10.53
2.63
5.26
7.89
2.63
2.63
2.63
2.63
2.63
7.89
100

INP
3.46
16.36
12.76
25.53
4.30
19.82
4.30
3.46
3.46
29.69
5.96
10.26
16.23
3.46
4.30
3.46
4.30
6.80
22.06
200

INP semai di habitat hutan primer


o
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Nama jenis
Burahol
Gadung
Girut
Kasai
Konggo Merah
Malin-malin
Medang
Meranti
Pakis
Paku
Pinang-pinang
Plangeh
Plangeh putih
Pule
Rotan
Selaginela
Stawar
Tepus

plot
1
1
9
3
1
1
1
2
3
2
1
1
1
1
4
1
1
1

ind
1
1
20
18
1
1
1
2
3
5
1
1
1
3
4
1
1
1
66

K
250
250
5000
4500
250
250
250
500
750
1250
250
250
250
750
1000
250
250
250
16500

KR
1.52
1.52
30.30
27.27
1.52
1.52
1.52
3.03
4.55
7.58
1.52
1.52
1.52
4.55
6.06
1.52
1.52
1.52
100

F
0.1
0.1
0.9
0.3
0.1
0.1
0.1
0.2
0.3
0.2
0.1
0.1
0.1
0.1
0.4
0.1
0.1
0.1
3.5

FR
2.86
2.86
25.71
8.57
2.86
2.86
2.86
5.71
8.57
5.71
2.86
2.86
2.86
2.86
11.43
2.86
2.86
2.86
100

INP
4.37
4.37
56.02
35.84
4.37
4.37
4.37
8.74
13.12
13.29
4.37
4.37
4.37
7.40
17.49
4.37
4.37
4.37
200

65

Lampiran 3. (lanjutan)
INP pancang di habitat sekunder
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Nama jenis
Aer-aer
Bandetan
Belimbing
Belimbing Hutan
Gundi
Jambu
Jambu-jambu
Kayu Mara
Medang
Meranti
Rong-rong
Trentang

plot
1
4
1
1
1
1
1
2
1
5
1
1

ind
2
7
1
4
1
1
2
2
1
8
2
1
32

K
80
280
40
160
40
40
80
80
40
320
80
40
1280

KR
6.25
21.88
3.13
12.50
3.13
3.13
6.25
6.25
3.13
25.00
6.25
3.13
100

F
0.1
0.4
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.2
0.1
0.5
0.1
0.1
2

FR
5
20
5
5
5
5
5
10
5
25
5
5
100

INP pancang di habitat hutan primer


No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Nama jenis
Arang
Aro
Bandetan
Batang Skepung
Bendo
Burahol
Gundi
Jambu-jambu
Jelatang
Jelutung
Kandi
Kasai
Kayu Balik Angin
Keling-keling
Mano
Medang
Melinjo hutan
Meranti
Plangeh Putih
Pulut
Rambai
Rambutan hutan
Rengse
Tara
Tempreh Padi

K
80
200
40
80
40
120
80
40
120
120
120
200
120
80
40
40
40
480
40
40
40
40
40
40
40
2320

KR
3.45
8.62
1.72
3.45
1.72
5.17
3.45
1.72
5.17
5.17
5.17
8.62
5.17
3.45
1.72
1.72
1.72
20.69
1.72
1.72
1.72
1.72
1.72
1.72
1.72
100.00

F
0.2
0.2
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
0.1
0.2
0.1
0.1
0.4
0.3
0.2
0.1
0.1
0.1
0.5
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
4

FR
5.00
5.00
2.50
2.50
2.50
5.00
5.00
2.50
5.00
2.50
2.50
10.00
7.50
5.00
2.50
2.50
2.50
12.50
2.50
2.50
2.50
2.50
2.50
2.50
2.50
100.00

INP
8.45
13.62
4.22
5.95
4.22
10.17
8.45
4.22
10.17
7.67
7.67
18.62
12.67
8.45
4.22
4.22
4.22
33.19
4.22
4.22
4.22
4.22
4.22
4.22
4.22
200.00

INP
11.25
41.88
8.13
17.50
8.13
8.13
11.25
16.25
8.13
50.00
11.25
8.13
200

66

Lampiran 3. (lanjutan)
INP tiang di habitat hutan sekunder
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Nama jenis
Aer-aer
Bandetan
Belimbing Hutan
Kayu Mara
Kubung
Medang Kuning
Meranti
Pasak
Plangeh
X3. sp

lbds
0.041
0.048
0.063
0.206
0.081
0.023
0.069
0.028
0.015
0.048

K
20
30
30
100
30
10
50
10
10
20
310

KR
6.45
9.68
9.68
32.26
9.68
3.23
16.13
3.23
3.23
6.45
100

F
20
20
30
50
30
10
40
10
10
10
230

FR
8.70
8.70
13.04
21.74
13.04
4.35
17.39
4.35
4.35
4.35
100

KR
3.70
7.41
7.41
3.70
3.70
3.70
7.41
3.70
3.70
7.41
3.70
3.70
25.93
3.70
3.70
3.70
3.70
100

F
10
20
20
10
10
10
20
10
10
10
10
10
50
10
10
10
10
240

D
0.41
0.48
0.63
2.06
0.81
0.23
0.69
0.28
0.15
0.48
6.22

DR
6.59
7.72
10.13
33.12
13.02
3.70
11.09
4.50
2.41
7.72
100

INP
21.74
26.09
32.85
87.12
35.74
11.27
44.61
12.08
9.99
18.52
300

INP tiang di habitat hutan primer


No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Nama jenis
Aer-aer
Aro
Asem-asem
Bakil
Bandetan
Bendo
Kasai
Kayu Balik Angin
Kayu Mara
Kedondong
Ketapang
Medang
Meranti
Meranti merah
Pasung
Semantung
Slasa

lbds
0.025
0.036
0.035
0.028
0.011
0.020
0.038
0.020
0.009
0.038
0.025
0.011
0.134
0.018
0.018
0.015
0.018

K
10
20
20
10
10
10
20
10
10
20
10
10
70
10
10
10
10
270

FR
4.17
8.33
8.33
4.17
4.17
4.17
8.33
4.17
4.17
4.17
4.17
4.17
20.83
4.17
4.17
4.17
4.17
100

D
0.25
0.36
0.35
0.28
0.11
0.20
0.38
0.20
0.09
0.38
0.25
0.11
1.34
0.18
0.18
0.15
0.18
5.01

DR
5.08
7.19
6.99
5.59
2.26
4.01
7.59
4.01
1.90
7.59
5.08
2.26
26.7
3.53
3.53
3.07
3.53
100

INP
12.95
22.93
22.73
13.46
10.13
11.89
23.33
11.89
9.77
19.17
12.95
10.13
73.53
11.40
11.40
10.94
11.40
300

Anda mungkin juga menyukai