Anda di halaman 1dari 11

PROPOSAL PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA

KEANEKARAGAMAN TAKSON SERANGGA TANAH DI


TWA JERING MENDUYUNG, BANGKA BARAT

BIDANG KEGIATAN
PKM PENELITIAN

Diusulkan oleh:
Rico Maruli; 2031411043; 2014
Hardina; 2031411022; 2014
Tegar Dwi Santoso; 2031511029;2015

UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG


PANGKALPINANG
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bangka Belitung merupakan salah satu dari 34 provinsi di Indonesia
memiliki berbagai jenis ekosistem hutan yang berpotensi dan menyimpan
keanekaragaman macam jenis flora dan fauna. Bangka Belitung memiliki
kawasan hutan seluas ± 657.510 Ha diantaranya kawasan hutan konservasi
(Menlhk RI 2016). Adanya kegiatan pembukaan lahan secara berlebihan oleh
aktivitas masyarakat demi kepentingan pribadi atau kelompok menyebabkan
angka luas lahan kritis di Bangka Belitung semakin tinggi. Berdasarkan demikian,
upaya perlindungan terhadap kawasan hutan diarahkan sebagai hutan konservasi
sangat penting dilakukan dengan bertujuan untuk mempertahankan eksistensi dan
pelestarian keanekaragaman hayati, serta peranannya sebagai penyangga
kehidupan agar dapat terus berlangsung (DISHUT BABEL 2015).
Taman Wisata Alam (TWA) Jering Menduyung merupakan salah satu hutan
kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA) yang ada di
Bangka Belitung yang ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi oleh Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena potensi daya tarik wisata alamnya,
kekhasan formasi flora fauna, dan memiliki 3 jenis ekosistem utama yang
berpotensi (Perda Kab. Babar 2014). Namun, adanya perubahan-perubahan
ketetapan fungsi kawasan konservasi hingga ditetapkan sebagai TWA Jering
Menduyung menyebabkan keanekaragaman jenis yang terancam punah kawasan
dimana kawasan hutan tersebut tidak utuh dan alami lagi (Mnlh RI 2016).
Beranekaragamnya kondisi suatu lingkungan maka semakin beranekaragam sifat-
sifat fauna yang hidup di dalamnya (Irwan 2003). Adanya perbedaan jenis
ekosistem dan perubahan fungsi hutan di TWA Jering Menduyung diduga
berpengaruh terhadap perbedaan tingkat keanekaragaman jenis dan persebaran
fauna di kawasan tersebut salah satunya serangga tanah.
Serangga tanah merupakan serangga yang hidup di permukaan tanah
maupun di dalam tanah (Suin 2006). Aktivitas serangga tanah perombak pada
permukaan dan dalam tanah berperan penting dalam memperbaiki sifat fisik
tanah, mempercepat proses perombakan bahan organik, siklus nitrogen, dan
pengambilan nutrien di dalam tanah yang dibutuhkan bagi tumbuhan (Ruslan
2009; Syaufina et al. 2007). Beberapa kelompok serangga tanah seperti rayap
(isoptera), semut (formicidae), jangkrik (Gryllidae), dan orong orong
(Gryllotalpidae) yang sebagian besar hidupnya di dalam tanah bertelur dan
melakukan metarmorfosis di dalam tanah berperan dalam melapukkan bahan-
bahan organik, menggemburkan tanah, dan memperkaya bahan organik tanah
(Sutedjo & Kartasapoetra 2005). Namun, keberadaan keberlangsungan hidup
serangga tanah di hutan sangat tergantung oleh adanya struktur tanah, kelembaban
tanah, kandungan hara, suhu tanah, dan cahaya (Rahmawaty 2000). Selain itu
ketersediaan energi dan unsur hara bagi serangga tanah menjadikan
keberlangsungan dan aktivitas serangga tanah akan berlangsung baik (Ruslan
2009). Tingkat keanekaragaman serangga tanah yang tinggi menunjukkan daerah
lingkungan optimum dan memiliki kompleksitas yang tinggi (Soegianto 1994
diacu dalam Sari 2014). Berdasarkan demikian, keberadaan keanekaragaman
serangga tanah pada suatu ekosistem dapat dijadikan sebagai bioindikator
kesehatan lingkungan.
Informasi mengenai keanekaragaman dan pola penyebaran serangga tanah
di kawasan hutan alami dengan berbagai ekosistem bervariasi menarik untuk
diteliti, sementara informasi mengenai kualitas lingkungan pada tiga ekosistem
TWA Jering Menduyung dapat dijadikan data ilmiah sebagai bahan evaluasi
kebijakan pemerintah dalam menanggapi kondisi kawasan konservasi tersebut.
Penelitian mengenai keanekaragaman serangga tanah di ekosistem hutan alami
provinsi kepulauan Bangka Belitung sudah pernah dilakukan diantaranya
Soffiyana (2013) mengenai keanekaragaman taksa dan peran serangga tanah di
padang sapu-sapu, Dusun Pejem, Desa Gunung Pelawan, Wisma (2014) mengenai
keanekaragaman semut (Hymenoptera: Formicidae) di Padang sapu-sapu, Dusun
Pejem, Bangka. Namun, penelitian mengenai keanekaragaman takson dan peran
serangga tanah di tiga ekosistem berbeda kawasan hutan alami TWA Jering
Menduyung belum pernah dilaporkan, sehingga penelitian ini penting untuk
dilakukan.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mendata dan membandingkan
keanekaragaman takson serangga tanah di ekosistem hutan mangrove, hutan
dataran rendah, dan pesisir pantai TWA Jering Menduyung, Desa Air
Menduyung, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dilakukan penelitian ini adalah digunakan sebagai parameter
pembanding mengenai keberlangsungan ekologi tanah yang paling baik
berdasarkan keanekaragaman serangga tanah dan parameter fisika kimia tanah,
memperkaya referensi ilmiah bagi peneliti selanjutnya danpengetahuan pelajar,
dan sebagai bahan evaluasi bagi kebijakan pemerintah dan masyarakat terkait
kondisi ekosistem di TWA Jering Menduyung, Desa Air Menduyung, Kecamatan
Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Umum Serangga Tanah


Serangga tanah merupakan organisme tanah yang terdapat di dalam tanah
yang banyak menggandung bahan organik (sisa tanaman) berperan selain dapat
melapukan bahan-bahan organik, juga dapat menggemburkan tanah, memperkaya
kandungan bahan organik dalam tanah, dan dapat memproduksi udara bersih
(Soetedjo & Kartasapoetra 2010). Setiap jenis serangga tanah akan memberikan
respon terhadap perubahan lingkungan yang tergantung dari stimulasi
(rangsangan) yang diterima serangga. Respon yang nantinya diberikan serangga
tanah akan mengindikasikan perubahan dan tingkat pencemaran yang terjadi di
lingkungan tersebut diaman respon yang diberikan dapat bersifat sangat sensitif
atau pun resisten (Arief 2001). Sejumlah kelompok serangga seperti semut, rayap
memberikan respon yang khas terhadap tingkat kerusakan hutan sehingga
memiliki potensi sebagai spesies indikator untuk mendeteksi perubahan
lingkungan akibat konversi hutan oleh manusia yang sekaligus menjadi indikator
kesehatan hutan (Jones & Eggleton 2000).
Berdasarkan perilaku makan serangga tanah dalam perannya di ekosistem
dapat dikelompokkan menjadi fitofagus, entomofagus, dan patogen (Hadi 2009).
Serangga fitofagus adalah serangga pemakan tumbuhan, pemakan perakaran, dan
pemakan kayu sepeti larva Lepidoptera, Scarabidae, Gryllidae, Isoptera. Serangga
entomofagus adalah serangga predator dan parasit seperti famili Carabidae dan
Staphylinidae (predator), dan Mymaridae (Parasit). Serangga saprofagus terdiri
atas banyak ordo, namun sebagian besar termasuk dalam ordo Isoptera,
Coleoptera, dan Blattaria (Borror et al. 1996).
2.2Takson Serangga Tanah
Serangga tanah berperan penting dalam suatu ekosistem sehingga banyak
penelitian yang dilakukan baik dari segi taksonomi, ekologi, keanekaragaman,
bahkan hingga tingkat analisis DNA. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, diketahui ordo-ordo serangga tanah yang umum
ditemukan terdapat 15 ordo diantaranya : Blattaria, Coleoptera, Collembola,
Dermaptera, Diptera, Hemiptera, Hymenoptera, Isoptera, Lepidoptera, Orthoptera,
Psocoptera, Thricoptera, Thysanoptera, Thysanura, dan Zoraptera ( Rizali et al
2002; Wulandari et al 2005; Ruslan 2009; Nurhaidi & Widiana 2009; Patang
2010; Patang 2011; Sabu et al 2011; Febriawan 2012). Adapun famili-famili dari
serangga tanah yang umum ditemukan terdapat sebanyak 53 famili yang
diantaranya Acrididae, Anthocoridae, Aphididae, Blaberidae, Blattidae,
Calliphoridae, Carabidae, Cecidomylidae, Chrysomelidae, Cicadellidae,
Culicidae, Curcilionidae, Entomobrydae, Eurytomidae, Eulophidae, Forficulidae,
Formicidae, Gryllidae, Hypogasturydae, Isotomidae, Ixodidae, Japygidae,
Lepidopsocidae, Miiridae, Muscidae, Mutilidae, Mymaridae, Mycetophylidae,
Nitidulidae, Phalacridae, Phlaeothripidae, Phoridae, Pselaphidae, Psychodidae,
Psyllipsocidae, Ptilodactylidae, Rhagionidae, Scarabaeidae, Sciaridae,
Scolytidae, Smintarhridae, Staphylinidae, Tenebrionodae, Termitidae, Tetrigidae,
Thripidae ( Nurhaidi & Widiana 2009; Patang 2010; Patang 2011; Febriawan
2012). Meskipun dalam klasifikasi terbaru salah satu ordo serangga tanah telah
dipisahkan dari kelas Insecta dan membentuk kelas baru seperti Collembola serta
familinya Entomobrydae, Hypogasturydae, Isotomidae, Smintarhridae.
2.3 Peran Serangga Tanah
Menurut Setiadi (1989), serangga berperan penting di dalam ekosistem
sebagai perombak bahan organik yang tersedia bagi tumbuhan hijau. Nutrisi
tanaman yang berasal dari berbagai residu tanaman akan mengalami proses
perombakan sehingga berbentuk humus sebagai sumber nutrisi bagi tanah.
Serangga pemakan bahan organik yang mambusuk, membantu merubah zat-zat
yang membusuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Sebagian besar serangga
yang hidup di dalam tanah memankan peran penting dalam memperbaiki
kesuburan tanah yaitu tanah tersebut diterobos sedemikian rupa sehingga tanah
menjadi lebih mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi
dan tubuh-tubuh serangga yang mati (Rahmawaty 2004). Tarumingkeng (2000),
menyebutkan dalam suatu habitat hutan hujan tropika diperkirakan dengan hanya
memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap) peranannya
dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis dari hewan vertebrata.
Serangga tanah berukuran makro seperti semut dan rayap berperan
langsung terhadap pengolahan bahan-bahan organik, meningkatkan jumlah dan
kestabilan air tanah, meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah, memperbaiki
aerasi tanah dan penetrasi akar ke dalam tanah, dan meningkatkan aktivitas
mikroba tanah. Serangga tanah berukuran sedang dan kecil seperti kutu-kutu
tanah selain berperan dalam meningkatkan bahan organik tanah namun juga
berperan dalam menjalin hubungan antara bakteri dan cendawan tanah (Breure
2004). Coelman et al. (1983), menyatakan serangga tanah berukuran mikro
mempunyai dampak yang paling besar dalam proses dekomposisi pada lantai
hutan dan berperan penting terhadap biodiversitas pada ekosistem hutan, serta ikut
berperan dalam jaring-jaring makanan. Serangga tanah makro berdampak
langsung terhadap struktur tanah misalnya pada semut dan rayap yang berperan
penting dalam melakukan pergerakan di tanah dengan membalikkan lapisan tanah
di bawah menjadi di permukaan atas tanah.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2017 – April 2018 (Tabel 1).
Pengambilan sampel serangga tanah dilakukan pada tiga ekosistem berbeda yaitu
ekosistem hutan mangrove, hutan dataran rendah, dan hutan pantai di TWA Jering
Menduyung, Desa Air Menduyung, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten
Bangka Barat (Gambar 1). Identifikasi serangga tanah dilakukan di Laboratorium
Entomologi, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI-Cibinong.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis, kertas label, botol
sampel, karpet, cangkul, cawan petri, corong Barlese, gelas piala 250 mL, Global
Positioning System (GPS), kantung belacu, karet gelang, mikroskop cahaya,
mikroskop stereo, mistar, oven, pinset, perangkap sumuran (PSM), ring sampel,
sarung tangan, soil tester, termometer, termohigrometer, timbangan analitik, roll
meter, dan kamera digital. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah
alkohol 96%, dan gliserin.
3.3 Cara Kerja
Survei pendahuluan
Dalam penelitian ini dilakukan dengan diawali survei pendahuluan untuk
mengetahui kondisi lapangan pada tiga ekosistem di TWA Jering Menduyung
yaitu ekosistem hutan dataran rendah, hutan pesisir pantai, dan hutan mangrove.
Kondisi lapangan yang diketahui nantinya dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk melakukan penentuan titik lokasi pemasangan perangkap,
waktu pemasangan perangkap, dan pengukuran data lingkungan.
Pengukuran faktor lingkungan, fisika, kimia tanah, ketebalan serasah, dan bulk
density
Pengukuran faktor lingkungan, fisika, kimia tanah, dan bulk density
dilakukan pada pagi dan sore hari setiap pemasangan perangkap dan pengambilan
sampel serangga tanah. Dalam penelitian ini faktor lingkungan yang diukur adalah
suhu udara, kelembaban udara, intensitas cahaya, dan ketebalan serasah.
Pengukuran fisika tanah adalah suhu permukaan tanah dan dalam tanah (5 cm),
bulk density, sementara pengukuran kimia tanah adalah pH tanah. Pengukuran
bulk density dilakukan dengan cara membagi berat kering tanah dengan volume
tanah.
Pengambilan sampel serangga tanah

Keterangan : = Perangkap sumuran (PSM)


= Jarak antar plot 10 m
= Panjang transek 100 m
= Plot 10 cm x 10 cm untuk PCT

Gambar 2 Skema jalur pengambilan sampel serangga tanah dengan metode PSM
dan PCT ukuran plot 10 cm x 10 cm kedalaman 5 cm
Pengambilan sampel serangga tanah pada ekosistem hutan dataran rendah,
hutan pesisir pantai, dan hutan mangrovedi TWA Jering Menduyung digunakan
metode perangkap sumuran (PSM) dan pencuplikan contoh tanah (PCT). Metode
PSM digunakan untuk mendapatakan serangga yang beradadi permukaan tanah
dan metode PCT digunakan untuk mendapatkan serangga di dalam tanah yang
tidak tercuplikdengan menggunakan perangkap sumuran (Rahmawaty 2008).
Pengambilan serangga tanahdengan menggunakan metode PSM dan PCT
dilakukan di sepanjang jalur transek 100 meter. Sepuluh PSM dipasang dengan
jarak masing-masing 10 meter selama 3x24 jam setiap ekosistem. Perangkap
berupa gelas plastik (diameter mulut 7 cm, diameter dasar 5 cm, tinggi 10 cm)
yang telah diisi alkohol 96% setinggi 3 cm dengan ditetesi 1-2 gliserin bertujuan
untuk mengurangi terjadinya penguapan (Suhardjono et al. 2012).
Setiap PSM dilakukan penggalian tanah dengan kedalaman sesuai ukuran
kedalaman gelas plastik hingga permukaan atas gelas sejajar dengan permukaan
tanah. Pada atas PSM diberi peneduh berupa karpet yang telah dipotong melebihi
ukuran gelas plastik dan tiang penyangga menggunakan kayu kecil untuk
menghindari masuknya sampah dan air hujan. Sampel serangga tanah yang
didapat kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel berisi alkohol 96% dengan
diberi kertas label untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium.
Sementara itu, pengambilan sampel serangga tanah menggunakan metode
PCT dengan ukuran plot 10 cm x 10 cm dengan kedalaman tanah 5 cm sebanyak
10 cuplikan di sepanjang jalur transek 100 meter dengan jarak masing-masing
cuplikan 10 meter. Serangga tanah yang didapat dari metode PCT dipilah atau
dipisahkan dari serasah dan tanah dengan menggunakan modifikasi corong
Barlese (Suhardjono et al. 2012; Rahmawaty 2000). Khusus untuk pemasangan
perangkap pada ekosistem mangrove, durasi pemasangan PSM hingga
pengambilan sampel serangga tanah dilakukan sesuai waktu pasang surut air laut
namun jumlah total waktu pemasangan tetap selama 3x24 jam. Waktu
pemasangan PSM dan pengambilan sampel dilakukan saat air mulai surut sampai
air sebelum pasang. Hal ini untuk menghindari masuknya air laut ke dalam
perangkap yang dapat mempengaruhi atau merusak hasil sampel serangga tanah
yang terperangkap dalam gelas plastik PSM.
Identifikasi serangga tanah
Identifikasi serangga tanah dilakukan di Laboratorium Entomologi, Bidang
Zoologi LIPI. Identifikasi didasarkan pada morphospesies sampai famili.
Referensi yang digunakan sebagai acuan identifikasi yaitu Borror dan Delong
(1954), Jaques (1994), Lewis dan Taylor (1973), Wenyin et al. (2000), dan
peneliti di Laboratorium Bidang Zoologi LIPI.
Analisis Data
Dalam penelitian ini, terdapat analisis data yang dilakukan yaitu :
Indeks Keanekaragaman Shannon – Wiener (Magurran 1988 dalam Syaufina et
al. 2007) :
H’ = -∑ Pi In Pi
Pi = ni /N
Keterangan : H = Indeks keanekaragaman Shanon -Wiener
ni = Jumlah individu famili ke i
N = Jumlah total individu famili yang didapat
H’>1 = Rendah
1<H>3 = Sedang
H>3 = Tinggi
Indeks Kekayaan Margallef (Richness Index) :
𝑆−1
R=
ln 𝑁
Keterangan : R = Indeks kekayaan Margallef
S = Jumlah famili yang ditemukan di suatu area
N = Jumlah total individu
R>4,0 = Rendah
2,5<R>4,0 = Sedang
R>4,0 = Tinggi
Indeks Kemerataan (Evennes Index) (Magurran 1988 dalam Syaufina et al. 2007):
𝐻′
𝐸′ =
ln(𝑠)

Keterangan : 𝐸 ′ = Indeks kemerataan


𝐻 ′ = Indeks keanekaragaman Shanon -Wiener
S = Jumlah individu famili yang didapat di suatu area
𝐸 ′ = Mendekati 0 kemerataan rendah, adanya dominasi famili lain
𝐸 ′ = Mendekati 1 kemerataan spesies tinggi
BAB 4
BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN
4.1 Ringkasan Anggaran Biaya

No Jenis Pengeluaran Biaya (Rp)


1 Peralatan Penunjang 3.730.000,-
2 Bahan Habis Pakai 61.000,-
3 Perjalanan 6.600.000,-
4 Lain-lain 1.500.000,-
Jumlah (Rp) 11.891.000,-

4.2 Jadwal Kegiatan

No Jenis Kegiatan Bulan


1 2 3 4 5
1 Persiapan Penelitian
2 Kegiatan dilapang
3 Identifikasi Spesimen
4 Penyusunan Laporan
BAB 5
DAFTAR PUSTAKA
Arief, M. 2001. Keanekaragaman Ekosistem. Cahaya Ilmu. Bandung.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Terjemahan Partosoedjono Edisi VI. Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Breure AM. 2004. Soil Biodiversity: Measurements, Indicators, Threats and Soil
Functions. http://www.soilace.com/pdf/pon2004/8.Breure.pdf [Diakses tanggal 15
Oktober 2017].
Coleman DC, Crossley DA, Hendrix PF. 1983. Fundamentals of Soil Ecology.
Elsevier Academic Press. California.
[DISHUT BABEL] Dinas Kehutanan Kepulauan Bangka Belitung. 2015. Statistik
Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2015. Dinas Kehutanan
Kepulauan Bangka Belitung. Pangkalpinang.
Febriawan, A. 2012. Keragaman dan Kelimpahan Serangga Tanah di Hutan
Sancang. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia, Depok.
Hadi M. 2009. Biologi Serangga Entomologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Irwan, Z.D. 2003. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasinya: Ekosistem
Komunitas dan Lingkungan. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Jones TJ, Eggleton P. 2000. Sampling Termite Assemblages in Tropical Forests :
Testing Rapid Biodiversity Assesment Protocol. Journal of Applied Ecology. 37:
191-20.
[Menlh RI 2016] Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
2016. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor SK.580/Menlhk/Setjen/PLA.2/7/2016. Sekretariat Jenderal Kementerian
Lingkungan Hidup. Jakarta.
Nurhaidi, Widiana R. 2009. Komposisi Arthropoda Permukaan Tanah di Kawasan
Penambangan Batubara di Kecamatan Talawi Sawahlunto. Saintek. 1(2): 1-11.
Patang, F. 2010. Keanekaragaman Takson Serangga dalam Tanah pada Areal
Hutan Bekas Tambang Batubara PT. Mahakam Sumber Jaya Desa Separi Kutai
Kartanegara. Bioprospek. 7(1): 80-89.
Patang, F. 2011. Berbagai Kelompok Serangga Tanah yang Tertangkap di
Hutan Koleksi Kebun Raya UNMUL Samarinda dengan Menggunakan 5 Macam
Larutan. Mulawarman Scientific. 10(2): 139-142.
[Perda Kab. Babar] Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat. 2014. Peraturan
Daerah Kabupaten Bangka Barat Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Bangka Barat Tahun 2014-2034. Sekretaris Derah.
Bangka Barat.
Rahmawaty. 2000. Keanekaragaman Serangga Tanah dan Perannya pada
Komunitas Rhizophora spp. dan Komunitas Ceriops Tagal di Taman Nasional
Rawa Aopa Watimohai Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Rahamawaty. 2004. Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah di Kawasan Hutan
Wisata Alam Sibolangi Desa Sibolangit Kecamatan Sibolangit Kabupaten Daerah
Tingkat II Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara. Sumatera Utara.
Rizali A, Buchori D, Triwidodo H. 2002. Keanekaragaman Serangga pada Lahan
Persawahan-Tepian Hutan: Indikator Kesehatan Lingkungan. Hayati. 9(2): 41-48.
Ruslan, H. 2009. Komposisi dan Keanekaragaman Serangga Permukaan Tanah
pada Habitat Hutan Homogen dan Heterogen di Pusat Penelitian Konservasi Alam
(PPKA) Bodobogol, Sukabumi, Jawa Barat. Vis Vitalis. 02(1): 43-53.
Sabu TK, Shiju RT, Vinod KV, Nithya S. 2009. A Comparison of the Pitfall Trap,
Winkler Extractor and Barlese Funnel for Sampling Ground-Dweeling
Arthropoda in Tropical Montane Cloud Forest. Journal of Insect Science.
11(28):1-19.
Sari, M. 2014. Identifikasi Serangga Dekomposer di Permukaan Tanah Hutan
Tropis Dataran Rendah: Studi Kasus di Arboretum KomplekKampus UNILAK
dengan Luas 9,2 Ha. Bio Lectura. 2(1): 63-72.
Sutedjo, Kartasapoetra. 2010. Keanekaragaman Serangga Tanah. Pustaka Utama.
Jakarta.
Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antara
Universitas Bioteknologi IPB. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soffiyana, N. 2013. Keanekaragaman Takson dan Peran Serangga Tanah Padang
Sapu-Sapu Dusun Pejem Desa Gunung Pelawan Bangka. Skripsi. Universitas
Bangka Belitung, Pangkalpinang.
Suhardjono YR, Deharveng L, Bedos A. 2012. Biologi Ekologi Klasifikasi
Collembola. Vegamedia. Cibinong.
Suin M. 2006. Ekologi Hewan Tanah. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Sutedjo MM, Kartasapoetra AG. 2005. Pengantar Ilmu Tanah. PT Rineka Cipta.
Jakarta.
Syaufina L, Haneda NF, Buliyansih A. 2007. Keanekaragaman Arthropoda Tanah
di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Media Konservasi. 12(2): 57-66.
Tarumingkeng, RC. 2000. Serangga dan Lingkungan.
www.tumoutou.net/serangga [Diakses tanggal 11 Oktober 2017].
Wisma. 2014. Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Padang
Sapu-Sapu Dusun Pejem Bangka. Skripsi. Universitas Bangka Belitung,
Pangkalpinang.
Wulandari, S, Sugiarto, Wiryanto. 2002. Pengaruh Keanekaragaman Mesofauna
dan Makrofauna Tanah terhadap Dekomposisi Bahan Organik Tanaman di Bawah
Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria). Bioteknologi. 4(1): 20-27.

Anda mungkin juga menyukai