Anda di halaman 1dari 38

PROPOSAL PENELITIAN

RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR


PENGARUH FAKTOR BIOTIK DAN ABIOTIK TERHADAP JUMLAH
INDIVIDU CINENEN PISANG (Orthotomus sutorius)
DI HUTAN PENDIDIKAN WANAGAMA I

Oleh:
KELOMPOK 6
Farah Fadlilah (20/461992/KT/09375)
Irfani Inas Andyna Putri P. (20/462004/KT/09387)
Muhammad Daffa Rizka Ramadhan (20/462021/KT/09404)
Tegar Pradita Putra (20/462062/KT/09445)
Wahyu Dwi Arifiyani (20/462068/KT/09451)

LABORATORIUM PENGELOLAAN SATWA LIAR


DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius)
2.1.1 Klasifikasi
2.1.2 Morfologi
2.1.3 Perilaku
2.1.4 Persebaran
2.2 Habitat
2.2.1 Faktor Biotik
2.2.1.1 Struktur dan Kerapatan Vegetasi
2.2.1.2 Tutupan Tajuk Tajuk
2.2.1.3 Tumbuhan Bawah
2.2.1.4 Volume Daun
2.2.1.5 Kepadatan Semak
2.2.1.6 Tinggi Pohon
2.2.2 Faktor Abiotik
2.2.2.1 Suhu dan Kelembapan
2.2.2.2 Ketinggian dan Kelerangan
2.2.2.3 Air
BAB III LANDASAN TEORI
3.1 Landasan Teori
3.2. Hipotesis

i
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Pengambilan Data
4.2 Alat dan Bahan
4.2.1 Alat di Lapangan
4.2.2 Bahan di Lapangan
4.3 Metode Pengambilan Data
4.3.1 Jumlah Individu Burung Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius)
4.3.2. Faktor Biotik
4.3.2.2 Tutupan Tajuk dan Tumbuhan Bawah
4.3.2.3 Volume Daun
4.3.2.4 Kepadatan semak
4.3.2.5 Tinggi Pohon
4.3.3. Faktor Abiotik
4.3.3.1 Suhu dan kelembaban
4.3.3.2 Kelerengan
4.3.3.3 Ketinggian
4.3.3.4 Jarak dari sumber air
4.3.4. Desain Sampling
4.4. Metode Analisis
4.4.1 Jumlah Individu Burung
4.4.2. Faktor Biotik
4.4.2.1 Struktur dan Kerapatan Vegetasi
4.4.2.2 Tutupan Tajuk dan Tumbuhan Bawah
4.4.2.3 Volume Daun
4.4.2.4 Kepadatan semak
4.4.2.5 Tinggi pohon
4.4.3. Faktor Abiotik
4.4.3.1 Suhu dan kelembaban
4.4.3.2 Kelerengan
4.4.3.3 Ketinggian lokasi

i
4.4.3.4 Jarak dari sumber air
4.4.4 Analisis Statistik
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hutan merupakan suatu kawasan yang didominasi oleh tumbuhan berkayu yang
membentuk iklim mikro di area tersebut. Hutan memiliki manfaat yang sangat besar bagi
kehidupan makhluk hidup dan lingkungan di sekitarnya. Menurut Undang-Undang Pokok
Kehutanan No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan merupakan satu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam alam lingkungannya, yang satu dan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Hutan Wanagama I terletak di Desa Banaran, Kecamatan Playen, Kab. Gunung Kidul,
Yogyakarta. Kawasan Hutan Wanagama I terletak di perbukitan dengan ketinggian rata-rata
120 mdpl dengan batuan induk kapur (karst) (Sancayaningsih dan Margawati, 2009).
Spesies yang mudah ditemui di kawasan hutan adalah burung. Burung merupakan
bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan
maupun penurunan keanekaragaman jenisnya. Burung memiliki banyak manfaat dan fungsi
bagi manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung (Lekipiou dan Nanlohy, 2018)).
Burung memiliki peranan penting dari segi penelitian, pendidikan, serta untuk kepentingan
rekreasi dan pariwisata. Hutan Pendidikan Wanagama I menjadi salah satu habitat satwa
liar yaitu burung. Menurut Purnomo dan Usmadi (2012), di Kawasan Hutan Pendidikan
Wanagama I memiliki 33 jenis burung yang berasal dari 23 famili termasuk di dalamnya
jenis burung insektivora. Tingginya keanekaragaman spesies burung di suatu wilayah
didukung oleh tingginya keanekaragaman habitat karena menentukan ketersediaan satwa
liar burung. Secara umum habitat berfungsi sebagai tempat untuk mencari makan, minum,
istirahat, dan berkembang biak (Alikodra, 1990).
Analisis komponen biotik dan abiotik terutama pada burung di dalam ekosistem
penting dilakukan agar diketahui respon biologi terhadap perubahan lingkungan akibat
adanya degradasi kualitas lingkungan. Magurran (1983) mengatakan bahwa analisis
struktur komunitas dapat memberikan gambaran komposisi atau keanekaragaman suatu
komunitas sehingga dapat diperkirakan keadaan komunitas tersebut. Penyebaran burung

1
tidak terbatas pada areal suaka alam, tetapi hampir ada di berbagai tempat. Burung akan
lebih nyaman tinggal di suatu tempat bila terpenuhi tuntutan hidupnya, seperti habitat yang
mendukung dan aman dari gangguan (Hernowo (1985) dalam Syafrudin (2011)). Burung
menjadi salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan yang
terjadi antara spesies yang ada dalam suatu ekosistem. (Cody, 1998 dalam Riefani, 2018).
Beberapa jenis burung mampu hidup pada berbagai tipe habitat yang berbeda karena
mempunyai kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang ditempatinya.
Hutan Pendidikan Wanagama I awalnya merupakan tanah kritis yang mulai dibangun
sejak tahun 1966 (Soeseno, 2004). Wanagama dibentuk dalam sistem petak dalam
memudahkan pengelolaannya. Petak-petak di Wanagama I semuanya memiliki perbedaan
dalam hal kondisi lingkungannya. Hutan Pendidikan Wanagama I merupakan hutan yang
menjadi habitat bagi satwa liar dengan berbagai jenis vegetasi di dalamnya. Terdapat 4 tipe
habitat yang dianalisis berdasarkan faktor-faktor vegetasi tiap tipe penggunaan lahan oleh
Ghozali (2006), yaitu tipe agroforestry, tipe semak belukar, tipe hutan tua dengan tanaman
keras, dan tipe hutan muda dengan sistem campuran (Purnomo, dkk. 2012). Beragam
vegetasi berupa pepohonan yang dapat tumbuh di wilayah Hutan Pendidikan Wanagama I
ini memperbesar potensi hutan sebagai area yang sesuai bagi beberapa jenis burung yang
membutuhkan dahan atau ranting untuk hinggap atau bahkan menetap, salah satunya adalah
cinenen pisang.
Muttaqin dkk. (2016) menyatakan bahwa jenis burung cinenen aktif bergerak di
sekitar benalu dan mencari mencari buah dan sari bunga benalu. Burung yang termasuk ke
dalam keluarga Sylviidae ini biasa membangun sarang pada rerumputan maupun semak
dengan ketinggian mencapai 1500 meter di atas permukaan tanah (Arifin dkk., 2020).
MacKinnon (2010) pun mengatakan bahwa burung cinenen pisang tinggal di semak bawah
dan bersembunyi di dalam kerimbunannya. Oleh sebab itu, Burung cinenen pisang relatif
lebih sering beraktivitas di semak rendah dan permukaan tanah untuk mencari makanan
(MacKinnon, dkk. 2010). Burung cinenen pisang ini lebih menyukai hutan terbuka
(MacKinnon, 2010).
Menurut hasil inventarisasi yang dilakukan Subeno (2022) Hutan Pendidikan
Wanagama I dalam persebaran Cinenen Pisang masih belum merata antar petak, perbedaan

2
jumlahnya terlihat pada saat musim kemarau dan penghujan. Sebaran cinenen pisang di
Hutan Pendidikan Wanagama I pada petak 5, 13, 14, 16 tidak dijumpai satu individu pun,
pada petak 7 di temukan 3 ekor individu cinenen pisang, pada petak 6 ditemukan 5 ekor
individu cinenen pisang, pada petak 17 ditemukan 3 ekor individu cinenen pisang, dan
pada petak 18 hanya ditemui 1 ekor individu cinenen pisang. Perbedaan jumlah jenis
burung yang ditemukan diduga dipengaruhi oleh kondisi vegetasi dan lingkungan, dimana
menurut Wiens (1989) menyatakan bahwa struktur vegetasi dan lingkungan merupakan
salah satu kunci kekayaan jenis burung pada tingkat lokal.
Ketidakmerataan sebaran bisa jadi dikarenakan fungsi habitat yang berbeda antar
petak. Dari banyaknya Petak di Hutan Pendidikan Wanagama I, tidak semua dapat ditemui
individu cinenen pisang. Hal itu disebabkan karena lokasi yang disukai cinenen pisang
memiliki kriteria sendiri yang dapat diketahui faktor biotik dan abiotik antar petak yang
mempengaruhi preferensi habitat cinenen pisang. Salah satu faktor tersebut adalah adanya
keberhasilan suksesi di Hutan Pendidikan Wanagama I membuat habitat bagi fauna
termasuk arthropoda tanah menjadi melimpah sehingga bisa dijadikan makanan burung
(Muhibbuddin, Tatag, Wuri, 2019). Strata tajuk yang merata dari bawah hingga ke atas
dengan keragaman jenis pohon tinggi memungkinkan cinenen pisang dapat hinggap dari
satu pohon ke pohon lain. (Partasasmita, 2017). Semakin terpenuhi kebutuhan satwa,
keberadaannya semakin melimpah. Dengan demikian, perlu diketahui mengenai faktor
biotik dan abiotik yang mempengaruhi jumlah individu cinenen pisang (Orthotomus
sutorius) di Hutan Pendidikan Wanagama I.

1.2. Rumusan Masalah


Kawasan Hutan Pendidikan Wanagama I yang terdiri dari sistem petak dengan tipe
vegetasi yang beragam memiliki peluang yang sangat besar untuk ditempati oleh berbagai
jenis satwa sebagai habitatnya. Salah satu spesies yang hidup dan tinggal di Hutan
Pendidikan Wanagama I adalah cinenen pisang. Namun, tidak semua Petak di Hutan
Pendidikan Wanagama I dapat ditemui individu cinenen pisang. Artinya, disini terdapat
ketidakmerataan populasi individu dari cinenen pisang di Hutan Pendidikan Wanagama I
yang disebabkan oleh perbedaan faktor biotik dan abiotik antar petak yang mempengaruhi

3
preferensi habitat cinenen pisang. Semakin terpenuhi kebutuhan satwa, keberadaannya pun
semakin melimpah.
Berdasarkan permasalahan tersebut, dapat diperoleh pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana estimasi jumlah individu cinenen pisang (Orthotomus sutorius) yang
ditemukan di Hutan Pendidikan Wanagama I?
2. Bagaimana kondisi faktor biotik dan abiotik di Hutan Pendidikan Wanagama I?
3. Bagaimana pengaruh faktor biotik dan abiotik yang ada di Hutan Pendidikan
Wanagama I terhadap jumlah individu cinenen pisang (Orthotomus sutorius).

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka diperoleh tujuan dari penelitian yaitu
terdiri dari:
1. Mengetahui estimasi jumlah individu cinenen pisang (Orthotomus sutorius) yang
ditemukan di Hutan Pendidikan Wanagama I
2. Mengetahui kondisi faktor biotik dan abiotik di Hutan Pendidikan Wanagama I
3. Mengetahui pengaruh faktor biotik dan abiotik yang ada di Hutan Pendidikan
Wanagama I terhadap jumlah cinenen pisang (Orthotomus sutorius)

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan membawa manfaat berupa:
1. Bagi khalayak umum : menambah wawasan mengenai kondisi faktor biotik dan abiotik
yang berpengaruh terhadap jumlah individu cinenen pisang (Orthotomus sutorius).
2. Bagi peneliti: memberikan informasi terbaru mengenai cinenen pisang (Orthotomus
sutorius) dan sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya.
3. Bagi pengelola: menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pengelola dalam
pengelolaan habitat satwa liar khususnya mengenai cinenen pisang (Orthotomus
sutorius) di Hutan Pendidikan Wanagama I.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius)


2.1.1. Klasifikasi
Klasifikasi dari burung cinenen pisang (Orthotomus sutorius) adalah
sebagai berikut (IUCN, 2018):
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Ordo : Passeriformes
Familia : Sylviidae
Genus : Orthotomus
Species : Orthotomus sutorius
2.1.2. Morfologi
Burung ini mempunyai badan berukuran kecil yang diselimuti bulu
berwarna kuning tua. Pada saat proses berkembang biak, cinenen pisang jantan
mempunyai ekor tengah yang lebih panjang (MacKinnon, 1992). Menurut
pengamatan MacKinnon (1992), burung ini memiliki mahkota berwarna
merah-karat, perut putih, ekor panjang dan sering ditegakkan. Dahi dan mahkota
berwarna merah-karat, alis kekuningan, kekang dan sisi kepala keputih-putihan,
tengkuk keabu-abuan. Iris berwarna kuning tua pucat, paruh atas hitam, paruh
bawah merah jambu pucat dan kaki merah jambu. Burung jantan memiliki ekor
yang lebih panjang dibandingkan dengan betinanya (MacKinnon, 1992).

5
Gambar 1. Burung Cinenen Pisang
2.1.3. Perilaku
Cinenen pisang relatif lebih sering beraktivitas di semak rendah dan
permukaan tanah untuk mencari makanan. (MacKinnon dkk., 2010). Burung
Cinenen memiliki pola suara yang diulang-ulang yaitu “chwee-o, chi-up,
chee-rup" (Perrins, 1993). Betina dari cinenen pisang akan bertelur 3 hingga 4 ekor
dalam sekali kawin, dan kedua induk akan merawat anaknya bersama-sama.
Burung Cinenen biasanya melakukan terbang pendek dan rendah (Perrins, 1993).
Menurut Arifin (2020), burung cinenen membangun sarangnya pada rerumputan
maupun semak dengan ketinggian sampai 1,5 meter diatas permukaan tanah.
Sarangnya membentuk bola kecil yang dianyam dari rerumputan maupun serat
tumbuhan (Kamal, 2016). Burung ini akan mengitari ekornya secara terus-menerus
disaat ia sedang ingin kawin. Jenis burung ini dapat beradaptasi dengan baik oleh
manusia dan wilayah perkotaan yaitu dengan cara berkolonisasi. Si jantan sering
menggerak-gerakkan bulu ekornya saat sedang berkicau riang. Walaupun
ukurannya kecil, famili Sylviidae memiliki kicauan yang nyaring dan indah
(Mulyani dkk., 2020).
Burung cinenen pisang memiliki tubuh yang mungil sehingga mampu
bergerak lincah di antara ranting-ranting dari pohon ke pohon dan bersembunyi di
dalam kerimbunan (Firmandi dkk., 2014). Cinenen pisang ini memiliki kebiasaan
mengunjungi hutan terbuka, hutan sekunder, dan pekarangan (Mackinnon, 2010).
Saat tidur, kepala cinenen pisang tidak terlihat, posisinya membulat seperti bola
pingpong. Menurut MacKinnon (1988), makanan utama dari burung ini adalah

6
serangga berukuran kecil, seperti laba-laba dan ulat. Jati merupakan merupakan
tempat berbagai jenis hama serangga, antara lain ulat Dichorocis punctiferalis dan
Pagyda salvalis, serta jenis serangga Gargara carinata, Gargara flavocarinata,
Gargara pulchella, dan Leptocentrus vicarius (Irwanto 2006). Keberhasilan
suksesi di Wanagama membuat habitat bagi fauna termasuk arthropoda tanah
menjadi melimpah sehingga bisa dijadikan makanan burung (Muhibbuddin, Tatag,
Wuri, 2019). Oleh sebab itu, Burung Cinenen Pisang relatif lebih sering
beraktivitas di semak rendah dan permukaan tanah untuk mencari makanan
(MacKinnon, dkk. 2010).
2.1.4. Persebaran
Di Indonesia burung ini terdapat di Pulau Jawa. Sementara di Asia
persebarannya tergolong luas, selain di Indonesia juga tersebar di Sri Lanka,
Malaysia, Bhutan, Pakistan, India, Myanmar, Bangladesh, Thailand dan Kamboja
(Barooah dan Sarma, 2016). Menurut hasil inventarisasi yang dilakukan Subeno
pada tahun (2022) di Hutan Pendidikan Wanagama I pada musim kemarau ditemui
12 individu cinenen pisang dan pada musim penghujan ditemui 63 individu
cinenen pisang. Salah satu tipe ekosistem yang digunakan oleh Burung Cinenen
adalah hutan tanaman (Alikodra, 2002) yang merupakan bentuk habitat baru yang
berbeda dengan kondisi sebelumnya. Menurut Arifin (2020), burung ini kerap
berada di kawasan yang terbuka, kawasan semak-semak, hutan sekunder, maupun
tepi sawah.

2.2.Habitat
Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik fisik
maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup
serta berkembang biak satwa liar (Alikodra, 1990). Burung merupakan satwa liar yang
memiliki kemampuan hidup hampir pada semua tipe habitat, dari kutub sampai gurun,
dari hutan konifer sampai hutan tropis, dari sungai, rawa-rawa sampai lautan. Burung
mempunyai mobilitas yang tinggi dan kemampuan beradaptasi terhadap berbagai tipe
habitat yang luas (Welty, 1982). Menurut Soendjoto dkk. (2014), habitat yang terdiri atas
komponen biotik dan abiotik berperan menyediakan pakan secara berkelanjutan, baik dari

7
kuantitas maupun kualitas, serta menyediakan ruang yang nyaman bagi avifauna untuk
dapat mengekspresikan segala aktivitasnya (bermain, bersarang, berkembang biak, dan
beristirahat). Sebagian besar populasi burung ditemukan pada daerah yang pakan
alaminya melimpah (Elfidasari dan Junardi, 2006; Widodo, 2009; Warsito dan Bismark,
2010; Soendjoto, dkk., 2014). Kelimpahan pakan menjamin keberlangsungan
pemeliharaan anak burung (Imanuddin dan Mardiastuti, 2007; Soendjoto, dkk., 2014).
Burung cinenen pisang merupakan jenis burung yang menetap. Kebanyakan jenis
burung ini dapat hidup di wilayah hutan gugur, semak belukar, hutan mangrove, lahan
terbuka dan kebun. Jenis Burung Cinenen ini akan aktif saat mencari makan dan
melompat dari satu pohon ke pohon lain untuk mencari serangga. Biasanya dapat
dijumpai secara berpasangan. Jenis burung ini dapat beradaptasi dengan baik oleh
manusia dan wilayah perkotaan yaitu dengan cara berkolonisasi (Perrins, 1993).
Muttaqin dkk. (2016) menyatakan bahwa jenis burung cinenen aktif bergerak di
sekitar benalu dan mencari mencari buah dan sari bunga benalu. Burung yang termasuk
ke dalam keluarga Sylviidae ini biasa membangun sarang pada rerumputan maupun
semak dengan ketinggian mencapai 1500 meter di atas permukaan tanah (Arifin dkk.,
2020). MacKinnon (2010) pun mengatakan bahwa burung cinenen pisang tinggal di
semak bawah dan bersembunyi di dalam kerimbunannya. Keberhasilan suksesi di
Wanagama membuat habitat bagi fauna termasuk arthropoda tanah menjadi melimpah
sehingga bisa dijadikan makanan burung (Muhibbuddin, Tatag, Wuri, 2019). Oleh sebab
itu, Burung cinenen pisang relatif lebih sering beraktivitas di semak rendah dan
permukaan tanah untuk mencari makanan (MacKinnon, dkk. 2010). Burung cinenen
pisang ini lebih menyukai hutan terbuka (MacKinnon, 2010). Berdasarkan karakteristik
habitat tersebut, Hutan Pendidikan Wanagama I cukup untuk lokasi di mana jenis burung
cinenen ini dapat ditemukan. Jika dilihat dari aspek habitat tersebut, terdapat beberapa
komponen faktor biotik dan faktor abiotik dalam habitat yang berpengaruh terhadap
keberadaan dan kelangsungan hidup dari cinenen pisang pada suatu kawasan, yaitu
kerapatan vegetasi, tutupan tajuk dan tumbuhan bawah, penutupan volume daun,
kepadatan semak, tinggi pohon, suhu dan kelembaban, kelerengan, ketinggian, dan jarak
dari sumber air.

8
2.2.1. Faktor Biotik
Faktor biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup di
bumi, baik manusia, tumbuhan maupun hewan yang secara garis besar dibagi
menjadi tiga kelompok yaitu, produsen, konsumen dan dekomposer (Irwan, 2014).
Kondisi lingkungan biotik dapat dilihat dari kondisi habitatnya, yaitu kondisi
vegetasi tempat burung ini bersarang, beristirahat, mencari makan,
berkembangbiak dan lainnya (Dewi dkk., 2007). Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi keberadaan burung adalah sebagai berikut:
2.2.1.1.Kerapatan Vegetasi
Struktur tegakan menunjukkan sebaran umur dan atau kelas diameter
serta kelas tajuk (Daniel dkk., 1995 dalam Junaedi dkk., 2015). Struktur
tegakan ini terdiri dari struktur vertikal dan struktur horizontal. Untuk
mengetahui struktur vertikal, setiap individu pohon dalam petak ukur akan
dikelompokkan berdasarkan kelas tinggi atau lapisan stratum, sedangkan
struktur horizontal dicari dengan mengelompokkan setiap individu
berdasarkan kelas diameternya (Onrizal dkk., 2005) dengan kerapatannya dan
berdasarkan pola penyebaran individu jenis yang ada di suatu wilayah. Pola
penyebaran individu jenis yang dimaksud adalah tingkat pertumbuhan pohon,
yaitu semai, pancang, tiang, dan pohon.
Struktur dan kerapatan vegetasi sangat berpengaruh terhadap segala
aspek kehidupan, salah satunya pada perubahan penutupan lahan hutan. Jika
vegetasi memiliki tingkat kerapatan yang rendah, maka akan menyebabkan
hilangnya serasah hutan, karena tidak ada lagi bagian-bagian vegetasi hutan
yang terdapat diatas lahan. Tidak adanya pohon dan serasah tentu menjadi
sebuah hambatan terhadap limpasan permukaan (surface runoff) menjadi kecil
dan air akan mengalir lebih cepat menuju alur sungai (Latuamury dkk., 2013).
Struktur dan kerapatan vegetasi yang tinggi pada permukaan tanah hutan akan
membuat serangga yang ada tidak ikut hanyut sehingga dapat dimakan oleh
cinenen pisang. Petak-petak di Hutan Pendidikan Wanagama memiliki struktur
dan kerapatan vegetasi yang beragam. Menurut Putra (2011), petak 5 terdiri

9
dari beberapa hutan tanaman, petak 6 didominasi gamal dan akasia dengan
banyak tumbuhan bawah, petak 7 memiliki banyak secang dan perimbun,
petak 13 memiliki banyak tumbuhan bawah dan pohon dengan tajuk yang
rapat, petak 14 terdiri dari beberapa tanaman pertanian dengan beberapa jenis
pohon dan rerumputan, petak 16 didominasi secang dan rumput, serta petak 18
didominasi tanaman pertanian dan beberapa pohon dengan dengan kerapatan
jarang.
2.2.1.2.Tutupan Tajuk
Tutupan tajuk merupakan proporsi lantai hutan yang tertutup oleh
adanya proyeksi vertikal dari tajuk pohon (Jennings dkk., 1999). Menurut
Wisnubudi (2009) keterbukaan tajuk mempengaruhi banyaknya jenis burung
yang ditemukan, semakin terbuka tutupan tajuknya maka semakin banyak
burung yang akan ditemukan dibandingkan dengan habitat yang tajuknya rapat
dan tertutup. Burung cinenen pisang ini lebih sering mengunjungi hutan
terbuka (MacKinnon, 2010). Pada kondisi tutupan tajuk yang ideal, tumbuhan
bawah akan berubah menjadi biomassa lebih cepat dari pada pohon.
Perubahan biomassa yang cepat ini merupakan komponen penting dalam
pembentukan serasah tahunan yang akan berubah menjadi tanah (Nilsson &
Wardle 2005). Petak-petak di Wanagama memiliki tutupan tajuk yang
bervariasi. Petak 5 tutupan tajuknya didominasi hutan tanaman, petak 6 dan 7
lahannya relatif tertutup meski ada sebagian yang terbuka, petak 13
didominasi pohon dengan tajuk yang rapat, petak 14 dan 18 memiliki lahan
yang relatif terbuka karena didominasi tanaman pertanian, serta petak 18 juga
lahannya relatif terbuka karena didominasi secang dan rerumputan (Putra,
2011). Menurut Supraptomo (2006) dalam Purnomo dkk (2010), tutupan tajuk
di Hutan Pendidikan Wanagama I secara berturut-turut didominasi oleh pohon
kayu putih, akasia, mahoni, jati, dan gliriside.
2.2.1.3.Tumbuhan Bawah
Tumbuhan bawah merupakan vegetasi dasar yang terdapat di bawah
tegakan hutan kecuali permudaan pohon hutan, yang terdiri dari rerumputan,

10
herba dan semak belukar (Hilwan dan Masyrafina, 2015). Dalam stratifikasi
hutan hujan tropika, tumbuhan bawah menempati stratum D yakni lapisan
perdu dan semak serta lapisan tumbuhan penutup tanah pada stratum E
(Soerianegara dan Indrawan, 2008). Keberadaan tumbuhan bawah di lantai
hutan berperan sebagai penyedia unsur hara bagi tanah, pengendali erosi,
sumber plasma nutfah, sumber obat-obatan, dan sebagai tempat tinggal dari
beberapa satwa hutan (Siswanto dkk., 2021). Burung cinenen akan aktif
bergerak di tumbuhan bawah yang rimbun (MacKinnon, 2010). Menurut
Supraptomo (2006) dalam Purnomo dkk (2010), tutupan tumbuhan bawah di
Hutan Pendidikan Wanagama I secara berturut-turut didominasi oleh rumput
waderan, kirinyuh, dan alang-alang.
2.2.1.4.Volume Daun
Daun merupakan organ terpenting bagi tumbuhan dalam
melangsungkan hidupnya. Menurut Indriyanto (2006), volume daun adalah
susunan vertikal dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Unit
pengelolaan Hutan Wanagama I yang berupa petak-petak secara signifikan
menghasilkan keragaman tipe vegetasi yang berbeda-beda (Purnomo, 2010).
Burung cinenen pisang lebih menyukai hutan terbuka dan akan aktif bergerak
di semak bawah yang rimbun (MacKinnon, 2010). Jadi, dengan volume daun
yang jarang pun cocok untuk habitat cinenen pisang.
2.2.1.5.Kepadatan Semak
Kepadatan merupakan jumlah individu per unit area atau unit volume.
Semak mempunyai fungsi ekologis yang penting dalam ekosistem hutan, antara
lain adalah sebagai tempat habitat burung, serangga, dan satwa lainnya.
Vegetasi semak biasanya cepat berkembang di areal dimana cahaya matahari
sudah dapat menerobos masuk sampai ke lantai hutan (Eka Putri dan Erna
Heryanti, 2015). Burung cinenen akan aktif bergerak di semak bawah yang
rimbun (MacKinnon, 2010). Menurut Purnomo dan Usmadi (2012), Hutan
Pendidikan Wanagama I memiliki beberapa tipe vegetasi, salah satunya semak

11
belukar. Semak ini tumbuh karena tidak ada vegetasi yang secara spesifik
ditanam pada lahan yang ada.
2.2.1.6.Tinggi pohon
Kekayaan suatu spesies burung dipengaruhi oleh beberapa faktor salah
satunya adalah tinggi pohon (Bes Kardes dkk., 2018). Menurut Parish dkk.
(1995), jumlah dan tinggi pohon, tipe penggunaan lahan serta padatnya vegetasi
sangat mempengaruhi kekayaan dan kelimpahan beberapa spesies burung.
Muttaqin dkk. (2016) menyatakan bahwa jenis burung cinenen aktif bergerak di
sekitar benalu dan mencari mencari buah dan sari bunga benalu. Salah satu
vegetasi pohon di Hutan Pendidikan Wanagama I, yakni Jati, memiliki tinggi
sekitar 9-17 meter (Afafi dkk., 2022).
2.2.2. Faktor Abiotik
Faktor abiotik merupakan komponen lingkungan yang terdiri atas bukan
makhluk hidup atau segala sesuatu yang tidak bernyawa (Irwan, 1992).
Faktor-faktor lingkungan dapat mempengaruhi keberadaan burung seperti
distribusi atau persebaran burung, kelimpahan spesies, keberhasilan reproduksi,
dan perilaku satwa (Sutherland, 2004). Faktor-faktor abiotik berpengaruh pada
kebutuhan kehidupan burung untuk tumbuh dan berkembang, tanpa tercukupi
kebutuhan faktor abiotiknya suatu spesies burung tidak akan bertahan lama di
suatu wilayah (Campbell, 2008), termasuk juga spesies cinenen pisang yang
dimungkinkan memiliki kebutuhan-kebutuhan terhadap faktor-faktor abiotik
tertentu.
2.2.2.1.Suhu dan Kelembaban
Suhu merupakan salah satu faktor yang mengatur proses kehidupan
organisme (Krebs 1978 dalam Suwarti dkk., 2018). Suhu berperan dalam
membantu proses reproduksi dalam menghasilkan bunga dan buah, sehingga
dapat mempengaruhi ketersedian pakan dan kondisi vegetasi. Suhu udara
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sinar matahari, kondisi permukaan
tanah, air, angin yang berpengaruh pada cuaca di suatu wilayah (Kartasapoetra
2012 dalam Suwarti dkk., 2018).

12
Kelembaban udara merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi
kondisi atau keadaan cuaca dan iklim di suatu wilayah tertentu. Selain itu,
kelembaban juga menjadi salah satu faktor ekologis yang berpengaruh
terhadap aktivitas organisme seperti penyebaran, keragaman harian,
keragaman vertikal dan horizontal (Umar, 2006). Meningkatnya suhu udara di
suatu daerah akan menyebabkan satwa seperti burung membutuhkan tempat
bernaung.
Menurut Gunawan dan Permana (2018), pada habitat burung
kelembaban minimum yang sesuai sekitar 80%, sedangkan kelembaban
maksimum sekitar 84%. Suhu yang ada di kawasan Hutan Wanagama I pada
beberapa petak yang ada cukup tinggi, maka peranan tajuk sangat membantu
untuk berlindung agar terhindar dari sengatan sinar matahari secara langsung
(Putra, 2013). Menurut Indrioko dkk. (2008), kawasan Hutan Wanagama I,
memiliki rerata suhu 27,7 derajat celcius dan rerata kelembaban 80-90 %.
2.2.2.2.Ketinggian dan kelerengan
Ketinggian tempat mempengaruhi perubahan suhu udara. Semakin
tinggi kedudukan suatu tempat, temperatur udara di tempat tersebut akan
semakin rendah, begitu juga sebaliknya semakin rendah kedudukan suatu
tempat, temperatur udara akan semakin tinggi. Ketinggian tempat menentukan
jenis 10 burung yang hidup ditempat tersebut karena ketinggian yang berbeda
akan menghasilkan kondisi fisik dan kimia yang berbeda (Yanti dkk., 2015).
Hutan Pendidikan Wanagama I memiliki ketinggian berkisar antara 115-205
mdpl dengan topografi yang beragam, mulai dari datar, berbukit-bukit, hingga
berlereng (Nurjanto, dkk., 2016).
Kelerengan menunjukkan besarnya sudut lereng dalam persen atau
derajat. Lereng berkaitan dengan intensitas cahaya yang dapat diterima oleh
suatu daerah. Lereng yang mengarah ke kutub jauh lebih lembab dan lebih
sejuk daripada yang mengarah ke khatulistiwa atau equator. Lereng yang
menghadap ke timur terkena pengaruh matahari pagi, dan lebih terlindung dari
pengaruh angin barat daya dan angin barat selama bagian siang hari yang

13
terpanas. Cahaya penting untuk hidup burung mengingat burung merupakan
hewan berdarah panas yang harus menjaga kestabilan suhu tubuh (Arsyad,
2000). Menurut Ernawati (2016), sebagian besar kawasan di Hutan Pendidikan
Wanagama I memiliki kelerengan 30%.
2.2.2.3.Air
Air merupakan faktor penting bagi ketersediaan sumberdaya dan
kebutuhan burung untuk hidup dan reproduksi (Rahayuningsih dkk., 2010).
Satwa membutuhkan air untuk proses metabolisme. Kebutuhan air untuk satwa
bervariasi, sehingga ketersediaan air pada suatu habitat akan mempengaruhi
kondisi habitat secara langsung maupun tidak langsung (Rita dan
Ratnaningsih., 2017). Setiap jenis satwa memiliki kebutuhan air yang
berbeda-beda (Paiman dkk., 2018). Di Wanagama, terdapat Sungai Oyo yang
merupakan salah satu sumber air yang mengalir sepanjang tahun (Ernawati,
2016).

14
BAB III

LANDASAN TEORI

3.1 Landasan Teori


Hutan merupakan kesatuan ekosistem dengan berbagai komponen sumber daya
alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Spesies yang mudah ditemui di hutan adalah burung. Burung memiliki banyak
manfaat dari segi ekologi, rekreasi, dan pendidikan. Sebaran burung di salah satu lokasi
biasa dijadikan sebagai tolak ukur kemampuan habitat sebagai tempat tinggal.
Menganalisis faktor biotik dan abiotik burung perlu diketahui dalam memberi gambaran
populasi dan sebarannya. Burung akan lebih nyaman tinggal di suatu tempat yang nyaman
dan terpenuhi kebutuhan hidupnya. Terkadang beberapa burung juga dapat hidup di
berbagai tipe habitat berbeda karena memiliki kemampuan adaptasi dengan lingkungan
yang baik.
Hutan Pendidikan Wanagama I yang dulunya merupakan tanah kritis sekarang
merupakan hutan yang menjadi habitat bagi satwa liar dengan berbagai jenis vegetasi di
dalamnya. Pengelolaan kawasan di Hutan Pendidikan Wanagama I menerapkan sistem
petak untuk memudahkan dalam peruntukan dan pengelolaannya. Dari berbagai petak
tersebut memiliki vegetasi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Beragam vegetasi berupa
pepohonan yang tumbuh di wilayah Hutan Pendidikan Wanagama I juga memperbesar
potensi Hutan Pendidikan Wanagama I sebagai area yang sesuai bagi beberapa jenis
burung yang membutuhkan dahan atau ranting untuk hinggap atau bahkan menetap.
Keragaman habitat ini nantinya dapat mempengaruhi kedatangan cinenen pisang di salah
satu petak tersebut.
Dari data hasil inventarisasi tahun sebelumnya, pada Hutan Pendidikan Wanagama
I diketahui terdapat tidak meratanya persebaran individu cinenen pisang di berbagai petak.
Tidak hanya itu, persebaran individu cinenen pisang juga berbeda pada musim kemarau
dan penghujan. Perbedaan jumlah dan sebaran ini disebabkan oleh kondisi vegetasi dan
lingkungannya karena dua hal itu merupakan kunci kekayaan jenis dalam suatu habitat.

15
Datanganya cinenen pisang di suatu petak juga disebabkan oleh berbagai faktor yang
membuat mereka tertarik untuk tinggal disana.
Fungsi habitat yang berbeda dari petak satu dengan yang lain bisa jadi
menyebabkan sebaran cinenen pisang di Hutan Pendidikan Wanagama I tidak merata.
Lokasi yang disenangi cinenen pisang untuk tinggal memiliki kriteria sendiri sesuai
kebutuhan hidupnya. Salah satu faktor yang menyebabkan kedatangan individu cinenen
pisang di suatu lokasi adalah pakannya. Keberhasilan suksesi Hutan Pendidikan Hutan
Wanagama I membuat serangga menjadi melimpah sehingga menjadi daya tarik bagi
cinenen pisang. Dari satu contoh tersebut, dapat didefinisikan semakin terpenuhi
kebutuhan satwa, peluang kedatangan satwa di suatu petak lebih tinggi. Dengan demikian,
perlu diketahui mengenai faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi jumlah individu
cinenen pisang (Orthotomus sutorius) di Hutan Pendidikan Wanagama I.
3.2 Hipotesis
Pada penelitian ini didapat hipotesis sebagai berikut:
Ho: Jumlah individu burung cinenen pisang (Orthotomus sutorius) di Hutan Pendidikan
Wanagama I tidak dipengaruhi faktor abiotik dan biotik.
Ha: Jumlah individu burung cinenen pisang (Orthotomus sutorius) di Hutan Pendidikan
Wanagama I dipengaruhi faktor abiotik dan biotik.

16
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Pengambilan Data


Pengambilan data dilaksanakan di berbagai petak di Hutan Pendidikan Wanagama I,
Desa Banaran, Kecamatan Playen dan Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul,
Yogyakarta pada tanggal 21-23 Oktober 2022. Menurut Afafi dkk (2022), Hutan
Pendidikan Wanagama secara administratif terletak dalam wilayah Kecamatan Playen dan
Patuk Gunungkidul dan secara geografis terletak antara 75°3’25’’ dan 110°33’3” Bujur
Timur dan antara 7°53’25’’ dan 7°54’52’’ Lintang Selatan. Wanagama terbagi menjadi 6
petak yang membujur dari barat ke timur terdiri dari petak 5, 6, 7, 13, 14, dan 16.

Gambar 2. Hutan Pendidikan Wanagama I


4.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pengambilan data di lapangan di antaranya
adalah :

17
4.2.1. Alat di Lapangan
a. Alat tulis, untuk menulis data yang diperoleh di lapangan.
b. Tally Sheet, sebagai tempat mencatat data yang diperoleh di lapangan.
c. Roll meter, untuk membuat petak ukur di lapangan.
d. Pita meter, untuk mengukur diameter pohon.
e. Density board, untuk mengambil data volume daun.
f. Klinometer, untuk mengukur kelerengan lokasi.
g. Sling-psychrometer, untuk mengukur suhu dan kelembaban.
h. Binokuler, berfungsi untuk mengamati objek yang terletak jauh.
i. GPS, untuk keperluan navigasi di lapangan.
j. Kompas, untuk menentukan arah mata angin.
k. Tabung okuler, untuk mengambil data tutupan tajuk dan tumbuhan bawah.
l. Tongkat sepanjang 1 meter, untuk mengambil data kepadatan semak.
m. Kamera, untuk membantu proses dokumentasi di lapangan.
n. Peta Hutan Pendidikan Wanagama I, untuk membantu menentukan lokasi
pengambilan data di lapangan.
4.2.2. Bahan di Lapangan
a. Individu burung cinenen pisang (Orthotomus sutorius) di Hutan Pendidikan
Wanagama I
b. Faktor biotik burung cinenen pisang (Orthotomus sutorius) meliputi kerapatan
vegetasi, tutupan tajuk, tutupan tumbuhan bawah, volume daun, kepadatan
semak, dan stratifikasi tajuk.
c. Faktor abiotik burung cinenen pisang (Orthotomus sutorius) meliputi suhu,
kelembaban, ketinggian, kelerengan, dan jarak dari sumber air.
4.3. Pengambilan Data
4.3.1. Jumlah Individu Burung Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius)
Pengambilan data jumlah individu burung cinenen pisang dilakukan dengan
menggunakan metode point count. Metode Point Count yaitu suatu plot berbentuk
lingkaran dengan jari-jari 50 meter (Waltert et al. 2005) yang diletakkan secara
sistematis dengan jarak antar titik adalah 200 meter (Sutherland 2004). Pada lokasi

18
pengamatan, yaitu Petak 5 Hutan Pendidikan Wanagama I, akan ditempatkan
sebanyak 13 plot. Pengamat akan berjalan menuju titik dan melakukan pengamatan
terhadap burung berdasarkan pengamatan langsung maupun dari suara yang
terdengar (Bibby et al. 2000; Hostetler dan Martin 2011). Pada setiap titik dilakukan
pengamatan selama 10 menit dengan jarak antar untuk menghindari perhitungan
ulang. Data yang dicatat adalah jenis, jumlah jenis, dan aktivitas.

Gambar 3. Plot Metode Point Count.


4.3.2. Faktor Biotik
4.3.2.1 Kerapatan Vegetasi (Semai, Pancang, Tiang, dan Pohon)
Pada pengambilan data kerapatan vegetasi digunakan pengambilan
data menggunakan metode Nested Sampling. Nested sampling adalah
petak contoh yang berukuran besar mengandung subpetak contoh
yang lebih kecil sesuai dengan tingkat pertumbuhannya (Hotden
dkk., 2014). Pada lokasi pengamatan, yaitu Petak 5 Hutan Pendidikan
Wanagama I, akan ditempatkan petak ukur nested plot secara berseling
sebanyak 13 plot. Pengambilan data dilakukan dengan menjelaskan
tingkat pertumbuhan semai (A) dengan petak ukur berukuran 2x2 m,
tingkat pertumbuhan pancang (B) dengan petak ukur berukuran 5x5 m,
tingkat pertumbuhan tiang (C) dengan petak ukur berukuran 10x10 m,
tingkat pertumbuhan pohon (D) digunakan petak berukuran 20x20 m,
serta jarak antar plot (S) sebesar 20 m (Soerianegara dan Indrawan,
2002). Data yang diambil berupa data jenis, jumlah individu tiap jenis,
diameter, dan tinggi pohon.

19
Gambar 4. Plot Metode Nested Sampling
4.3.2.2 Tutupan Tajuk dan Tumbuhan Bawah
Data tutupan tajuk dan tumbuhan bawah diambil dengan
menggunakan metode Protocol Sampling. Metode protocol sampling
adalah petak ukur berbentuk lingkaran dengan diameter (d) 22,6 m atau
jari-jari (r) 11,3 m (Noon, 1981). Pengamatan dilakukan pada dua arah
garis transek (utara-selatan dan barat-timur). Pada masing-masing
transek, dibuat titik sejumlah 10 sebagai titik pengamatan. Pengamatan
dilakukan dengan melihat keberadaan tajuk atau tumbuhan bawah pada
tabung okuler. Jika terdapat tajuk atau tumbuhan bawah yang menutupi
persilangan benang lebih dari 50% pada tabung okuler, maka pada tally
sheet ditulis “+”. Sedangkan, apabila tidak terdapat tajuk dan tumbuhan
bawah yang menutupi, maka ditulis “-“ (Noon, 1981).

Gambar 5. Desain Protocol sampling

20
Gambar 6. Bentuk tabung okuler
4.3.2.3 Penutupan Volume Daun
Pengambilan data penutupan volume daun dilakukan dengan
menggunakan density board. Pengukuran dilakukan dari ketinggian
yang terbagi ke dalam empat interval yaitu interval satu pada ketinggian
0-0.3 m, interval dua pada ketinggian 0.3-1 m, interval tiga pada
ketinggian 1-2 m, dan interval empat pada ketinggian 2-3 m. Density
board diletakkan pada empat arah mata angin yang dilihat oleh satu
orang pengamat dari jarak 11,3 m atau di titik pusat petak ukur (Noon,
1981). Dari titik pusat tersebut dihitung jumlah kotak tiap interval yang
tertutup oleh vegetasi. Data yang diambil dalam metode ini adalah
jumlah kotak hitam putih pada density board yang tertutup oleh daun.

Gambar 7. Density board

21
4.3.2.4 Kepadatan semak
Kepadatan semak diketahui dengan menggunakan metode shrub
density yang dilakukan dalam plot metode protocol sampling dengan
menggunakan tongkat sepanjang 1 meter. Tongkat dibawa berjalan
secara horizontal dengan ketinggian di bawah 1,5 meter dari dua arah
transek, yakni utara-selatan dan barat-timur. Semak yang terkena
tongkat kemudian dicatat jenis dan jumlahnya (Noon, 1981).

Gambar 8. Shrub density.


4.3.2.5 Tinggi Pohon
Pengambilan data tinggi pohon ditaksir dengan menggunakan
hagameter pada Nested sampling. Alat diukur dengan skala tertentu dan
ditentukan jarak datar dari pohon yang diukur. Kemudian dari titik
tersebut dilakukan pembidikan ke arah ujung dan pangkal pohon. Tinggi
pohon hasil ukur hagameter diperoleh dengan menjumlahkan bacaan
“+” dan bacaan “-” (Ventolo dkk, 2021).

Gambar 9. Tinggi pohon

22
4.3.3. Faktor Abiotik
Faktor abiotik dapat berupa suhu, kelembaban, kelerengan, dan jarak dari
sumber air.
4.3.3.1 Suhu dan kelembaban
Pengambilan data suhu dan kelembaban menggunakan
sling-psychrometer yang dilakukan di titik pusat Protocol Sampling dan
dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Sling psychrometer sering
digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban. Alat tersebut terdiri
dari dua termometer gelas, di mana sensing bulb dari salah satu
termometernya dibungkus kain basah, sehingga dapat mengukur suhu
basah, sedangkan termometer yang lainnya dapat mengukur suhu kering
(Sunandar dkk, 1999). Satuan suhu yang diperoleh berupa (°C).
Sedangkan, satuan kelembaban yang diperoleh berupa (%) yang didapat
dari skala perpotongan antara suhu basah dan suhu kering.
4.3.3.2 Kelerengan
Pengambilan data kelerengan menggunakan alat klinometer dengan
satuan derajat (angka disebelah kiri) atau persen (angka di sebelah
kanan) (Purnama dkk., 2016). Pengukuran dilakukan pada setiap titik
plot pada 4 arah yang berbeda (Utara, Timur, Selatan, Barat). Nilai
kelerengan yang diambil adalah nilai kelerengan terbesar yang
diperoleh. Satuan untuk variabel yaitu persen (%).
4.3.3.3 Ketinggian
Pengambilan data ketinggian lokasi menggunakan GPS (Global
Positioning System) dengan fitur elevation point. Pengukuran langsung
di lapangan menggunakan GPS akan menghasilkan data titik-titik
ketinggian dengan koordinat lokasi-nya (Indarto dan Prasetyo, 2014).
4.3.3.4 Jarak dari sumber air
Pengambilan data jarak dari sumber air menggunakan GPS (Global
Positioning System) dengan menentukan jarak yang disajikan dalam

23
satuan meter dari titik plot pengamatan ke lokasi sumber air, yaitu
sungai oyo.

4.4. Metode Analisis


4.4.1 Jumlah Individu Burung
Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi jenis burung berdasarkan buku
panduan (MacKinnon dkk., 1992 dalam Usmadi dan Purnomo, 2012). Setelah itu,
jumlah individu yang sudah ditemui di setiap plot dihitung dan diakumulasikan
jumlahnya di semua petak, lalu ditabulasikan (Rohiyan, 2014).
4.4.2. Faktor Biotik
4.4.2.1 Kerapatan Vegetasi (Semai, Pancang, Tiang, dan Pohon)
Data struktur vegetasi dianalisis dengan diketahui masing-masing
jumlah dan jenis individu pada tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon
pada tiap plot. Hasil dihitung dan dinyatakan dalam bentuk tabel.
Pengaruh struktur vegetasi (kerapatan vegetasi, jumlah jenis, basal area,
dan strata tajuk) pada tiap tingkatan vegetasi terhadap jumlah individu
cinenen pisang dianalisis menggunakan Regression Analysis (Ghozali
2006). Kerapatan vegetasi dihitung pada masing-masing tingkat
pertumbuhan yaitu semai, pancang, tiang, dan pohon. Setiap jenis
vegetasi dihitung kerapatannya dengan rumus (Alikodra, 1990) :
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑖
● 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑖 = 2𝑥2 𝑚
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑝𝑎𝑛𝑐𝑎𝑛𝑔
● 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑛𝑐𝑎𝑛𝑔 = 5 𝑥 5𝑚
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑡𝑖𝑎𝑛𝑔
● 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑎𝑛𝑔 = 10𝑥10𝑚
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑝𝑜ℎ𝑜𝑛
● 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑝𝑜ℎ𝑜𝑛 = 20𝑥20 𝑚

24
4.4.2.2 Tutupan Tajuk dan Tumbuhan Bawah
Tutupan tajuk dan tumbuhan bawah dihitung dari banyaknya tanda
“+” yang diperoleh pada masing-masing titik pengamatan. Menurut
Noon (1981), data penutupan tajuk dan tumbuhan bawah dihitung
dengan menggunakan rumus:
𝑃
%𝑝𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 = 𝑛
× 100%

Keterangan:
P : jumlah tanda “+” yang diperoleh pada tabung okuler
n : jumlah titik pengamatan
4.4.2.3 Penutupan Volume Daun
Nilai dari volume daun diolah menggunakan rumus (Coulloudon,
1999):
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝 𝑑𝑎𝑢𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙
𝑝𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑢𝑛 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝑎𝑛
× 100%

Keterangan :
● Interval 0-0.3 m : 15 kotak
● Interval 0.3-1 m : 35 kotak
● Interval 1-2 m : 50 kotak
● Interval 2-3 m : 50 kotak
4.4.2.4 Kepadatan semak
Data kepadatan semak dianalisis menggunakan rumus:
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑘
𝑘𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑘 = 2 𝑥 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑜𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑥 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑗𝑎𝑙𝑢𝑟

Keterangan :
Panjang tongkat : 1 meter
Panjang jalur : 22,6 meter
4.4.2.5 Tinggi pohon
Analisis data tinggi pohon dilakukan dengan tabulasi data dan
dijelaskan secara deskriptif.

25
4.4.3. Faktor Abiotik
4.4.3.1 Suhu dan kelembaban
Data suhu dan kelembaban disajikan dalam tabel dan dijelaskan
secara deskriptif kualitatif. Satuan setiap variabel yaitu untuk suhu
menggunakan satuan (°C) dan kelembaban (%).
4.4.3.2 Kelerengan
Data kelerengan disajikan dalam tabel dan dijelaskan secara
kualitatif. Satuan untuk variabel yaitu persen (%).
4.4.3.3 Ketinggian lokasi
Data ketinggian lokasi disajikan dalam tabel dan dijelaskan secara
kualitatif. Satuan untuk variabel yaitu mdpl.
4.4.3.4 Jarak dari sumber air
Data jarak dari sumber air dinyatakan dalam meter (m) dan
disajikan dalam tabel serta dijelaskan secara kualitatif.

4.4.4 Analisis Statistik


Analisis pengaruh faktor abiotik dan biotik dilakukan menggunakan analisis
regresi dengan metode General Linear Model (GLM) (Wijaya, 2009). Analisis regresi
merupakan suatu bentuk analisis statistik yang menggambarkan hubungan antara satu
variabel dependen (terikat) dengan satu atau lebih variabel independen (variabel
penjelas/bebas) (Subandriyo, 2020). Variabel dalam analisis regresi terdiri dari
variabel terpengaruh (dependent) dan variabel mempengaruhi (independent). Jumlah
individu cinenen pisang sebagai variabel dependen (Y) dan faktor biotik-abiotik
sebagai variabel independen (X). Sebelum dilakukan analisis regresi pada kedua
variabel, dilakukan uji saphiro-wilk untuk mengetahui kesesuaian data distribusinya
normal atau tidak normal. Jika data berdistribusi normal, maka dilakukan analisis
regresi linear model multivariate, tetapi jika data tidak normal, maka dilakukan
analisis regresi Generalized Linear Model (GLM). Generalized Linear Model (GLM)
digunakan untuk mengetahui pengaruh dari jenis vegetasi, tutupan tumbuhan bawah,
penutupan tajuk, dan kerapatan vegetasi serta faktor abiotik suhu, kelembaban, dan

26
jarak dari sumber air (Zahro dkk., 2018) terhadap kehadiran burung cinenen pisang di
Hutan Pendidikan Wanagama I. Analisis regresi dilakukan menggunakan software
R-studio. Dilakukan uji regresi linear berganda dengan persamaan sebagai berikut
(Natawiria, 2010):
y = a + b1x1+ b2x2+…..+ b27x27
Keterangan:
y = Variabel dependen (nilai yang diprediksikan)
a = Konstanta (nilai y’ apabila x1, x2…..x27 = 0)
b = Koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan)
x1 dan x2 = Variabel independen

27
DAFTAR PUSTAKA

Afafi, S. N., Supartha, K. I., Fatmawati, H., Sari, N. H. E., Rissaldy, J. D., Al-Husna, F. Y.,
Himawan, F. D., Aulia, M., Ardiansyah, M. B., dan Mulayana, B. 2022. Simpanan
Karbon Tegakan Jati Mega di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Wanagama,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Galam, 2(2): 67-76.

Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan.

Arifin, Z., Ardi, M. W., Dewi, N. K. 2020. Penyusunan Ensiklopedia Berbasis Keanekaragaman
Burung di Kawasan Situs Mangiran Saradan Kabupaten Madiun. Prosiding Seminar
Nasional SIMBIOSISI V, Madiun.

Arsyad. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Barooah, C., dan Sarma, L. 2016. Vertebrates of Assam; a checklist with IUCN status. Assam
Science Technology & Environment Council. India.

Campbell, N. A., dan J. B. Reece. 2008. Biologi Edisi ke 8 Jilid 1. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Coulloudon, B., Eshelman, K., Gianola, J., Habich, N., Hughes, L., Johnson, C., Shaver, P. 1999.
Sampling vegetation attributes: interagency technical reference. Technical Reference.

Djuwantoko, S. A. Pudyatmoko. DW., Setiawan, S. Purnomo, FY. Nurvianto. Laksono dan


YCW. Kusuma. 2007. Studi Keanekaragaman Jenis Burung Terkait Dengan Proses
Suksesi Ekologi Di Suaka Margasatwa Paliyan dan Hutan Pendidikan Wanagama
Kabupaten Gunung Kidul. Prosiding Seminar Nasional Strategi Rehabilitasi Kawasan
Konservasi Di Daerah Padat Penduduk Kasus Pengelolaan Suaka Margasatwa
Paliyan. Yogyakarta: Laboratorium Satwaliar Fakultas Kehutanan UGM.

Eka Putri Azrai1 dan Erna Heryanti. 2015. Biodiversitas Tumbuhan Semak Di Hutan Tropis
Dataran Rendah Cagar Alam Pangandaran, Jawa Barat. Prosiding Semirata MIPA
BKS-PTN Barat Universitas Tanjungpura Pontianak. Hal 403 - 408.

28
Ernawati, J. 2016. Jejak Hijau Wanagama. Jakarta: Deutsche Gesellschaft für Internationale
Zusammenarbeit (GIZ) GmbHm Forests and Climate Change Programme
(FORCLIME).

Firmandi, Hardigaluh, B., Ariyati, E. 2014. Pembuatan Flipbook berdasarkan Keragaman Jenis
Burung Diurnal di Hutan Lindung Gunung Senujuh dan Sekitarnya. Jurnal Pendidikan
dan Pembelajaran, Vol. 3 (4).

Gunawan, A., & Permana, S. 2018. Konsep Desain Ekologis Ruang Terbuka Hijau Di Sudirman
Central Business District (Scbd) Sebagai Habitat Burung. Tataloka, 20(2), 181-194.

Hilwan, I., dan Masyrafina, I. 2015. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah di Gunung
Papandayan Bagian Timur, Garut, Jawa Barat. Jurnal Silvikultur Tropika, 6(2): 119-125.

Hostetler ME, dan Martin BM. 2001. Florida monitoring program: Point count method to
survey birds. http://edis.ifas.ufl.edu/UW140

Hotden., Khairijon., dan Isda, M. N. 2014. Analisis Vegetasi Mangrove Di Ekosistem Mangrove
Desa Tapian Nauli I Kecamatan Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi
Sumatera Utara.

Indarto dan Prasetyo, D. R. 2014. Pembuatan Digital Elevation Model Resolusi 10m dari Peta
RBI dan Survei GPS dengan Algoritma ANUDEM. Jurnal Keteknikan Pertanian, 2(1):
55-63.

Indrioko, S., Naiem M., Danarto S., Winarni W. W., dan Ratnaningrum Y.W.N. 2008. Dinamika
Biologi Reproduksi Beberapa Provenan Cendana (Santalum album
Linn.,SANTALACEAE) di Wanagama I, Gunungkidul. Laporan Penelitian.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.

Irwan, Z. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi. Bumi Aksara. Jakarta.

Irwan, Z. 2014. Prinsip-Prinsip Ekologi: Ekosistem, Lingkungan dan Pelestariannya. Bumi


Aksara. Jakarta.

29
Irwanto. 2006. Penilaian Kesehatan Hutan Tegakan Jati (Tectona grandis) Dan Eucalyptus
(Eucalyptus Pellita) Pada Kawasan Hutan Wanagama I. Sekolah Pascasarjana.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

IUCN. 2018. Orthotomus sutorius. http://www.iucnredlist.org, diakses pada 11 Oktober 2022.

Jennings, S.B., Brown, N.D, and Sheil, D., 1999. Assessing Forest Canopies and Understorey
Illumination: Canopi Closure, Canopi Cover and Other Meassures, Forestry, 72(1):
59-59.

Junaedi, A., Hidayat, A. 2015 Struktur dan Komposisi Vegetasi di Areal Bekas Tebangan
berdasarkan Zone Kelerengan. Jurnal Hutan Tropis, Vol. 3 (1): 91-98.

Kamal, S. 2016. Keanekaragaman Jenis Burung Predator Serangga di Kawasan Hutan Sekunder
Rinon Pulo Aceh. Prosiding Biotik, 4(1).
Latuamury, B., Gunawan, T., dan Suprayogi, S. 2013. Hubungan Antara Indeks Vegetasi NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index) dan Koefisien Resesi Baseflow Pada
Beberapa Sub DAS Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal
Teknosains, 2(2): 71-158.

Lekipiou, P., dan Nanlohy, L. H. 2018. Kelimpahan Dan Keanekaragaman Jenis Burung Di
Hutan Mangrove Kampung Yenanas Kabupaten Raja Ampat. Median, 10(2): 12-19.

MacKinnon, J., Karen P., dan Bas V. B. 1992. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan
Kalimantan. Puslitbang Biologi. LIPI. Jakarta.

MacKinnon, J. 1988. Fields Guide to the Birds of Java and Bali. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

MacKinnon, Jhon., Karen Phillips, dan Bas van Balen. 2010. Burung-burung di Sumatera,
Jawa, Bali dan Kalimantan. Seri Panduan Lapangan. LIPI/Perhimpunan Pelestarian
Burung Liar Indonesia. Bogor.

Magguran, A. E. 1988. Ecological Diversity and its Measurment. Princeton University Press.
New Jersey.

30
Marsono, 1977 Deskripsi Vegetasi dan Tipe-tipe Vegetasi Tropika. Fakultas Kehutanan UGM.
Yogyakarta.

Muhibbuddin Abdillah, Wuri Handayani, Tatag Bagus Putra Prakarsa. 2019. Keanekaragaman
Famili Arthropoda Tanah Di Kawasan Hutan Pendidikan Wanagama Kabupaten gunung
Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Biosilampari:Jurnal Biologi, 1(2): 59 - 64.

Mulyani, Y. A., Iqbal, M. 2020. Burung-burung di Kawasan Sembilang Dangku. ZSL Indonesia

Muttaqin, Z., Budi, S. W., Wasis, B., Siregar, I. Z., Corryanti. 2016. Peranan Burung Sebagai
Agen Penyebaran Benalu pada Jati di Kebun Benih Klonal (KBK) Padangan, Perum
Perhutan. Zoo Indonesia, Vol. 25 (2): 90–106.

Natawiria, Asep Suryana, dan Riduwan. 2010. Statistika Bisnis. Alfabeta. Bandung.

Nilsson MC, Wardle DA. 2005. Understory vegetation as a forest ecosystem driver: Evidence
from the northern Swedish boreal forest. Frontiers in Ecology and the Environment,
3(8): 421–428.

Noon, B.R. 1981. Techniques for sampling avian habitats. pp. 42-52. In: The use of multivariate
statistics in studies of wildlife habitat. Capen, D.E. (ed). U.S. Department of
Agriculture, Forest Service, General Technical Report RM-87. Rocky Mountain Forest
and Range Experiment Station, Fort Collins, CO.
Nurjanto, H.H., Supriyo, H., Widyastuti, S.M., Kabirun, S., Johan, E., & Matsue, N. 2016.
Smectite Under Heavy Clay Soils Development at FRE Wanagama Forest Area.
Malaysian Journal of Soil Science, Vol. 20(3): 1–18.

Onrizal, Kusmana, C., Saharjo, B. H., Handayani, I. P., Kato, T. 2005. Komposisi Jenis dan
Struktur Hutan Kerangas Bekas Kebakaran di Taman Nasional Danau Sentarum,
Kalimantan Barat. Jurnal Biodiversitas, Vol. 6 (4): 263–265.

Parish T, Lakhami KH, Sparks TH. 1995. Modelling the relationship between bird populations
variables and hedgerow and other eld margin attributes. II. Abudance of individual
species and of groups of similar species. Journal of Applied Ecology, 32:362-371. doi:
http://dx.doi.org/10.2307/2405102.

31
Partasasmita, R., Atsaury, Z.I.L.A, dan Husodo, T. (2017). The Use of Forest Canopy by Various
Bird Species in Tropical Forest Montana Zone, The Nature Reserve of Mount Tilu, West
Java, Indonesia. Biodiversitas Journal of Biological Diversity.18, 453-457.

Perrins, C.M. 1993. L’encyclopedie Mondiale Des Oiseaux. Bordas

Purnama, H., Jumani, dan Biantary, M. P. 2016. Inventarisasi Distribusi Tegakan Puspa
(Schima wallichii Korth) Pada Berbagai Tipe Kelerengan Di Kebun Raya Unmul
Samarinda (Krus) Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal AGRIFOR, 15(1): 55-64.

Purnomo, D.W., dan Usmadi, D. 2012. Pengaruh Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam
Menentukan Nilai Konservasi Kawasan Rehabilitasi di Hutan Wanagama I dan
Sekitarnya. Jurnal Biologi Indonesia, 8(2): 255-267.

Putra, M. A. (2011). Studi Keanekaragaman Jenis Burung pada Berbagai Petak Di Wanagama I
Gunung Kidul. Yogyakarta: UGM.

Rahayuningsih, M., Fajar Adi Purnomo., Bambang Priyono. 2010. Keanekaragaman Burung di
Desa Karangasem Kecamatan Wirosari Kabupaten Grobogan Jawa Tengah (Birds
Diversity at Karangasem, Wirosari, Grobogan Regency, Central Java). Jurnal
Biosaintifik, 2(2).

Riefani, M. K. 2018. Komposisi Guild Burung Di Kawasan Rawa Kalang Kabupaten Hulu
Sungai Selatan. Wahana-Bio: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, 10(1): 43-58.
Sancayaningsih, R. P. dan Margawati, R. 2009. Dinamika Tumbuhan Lantai Hutan dan Status
Mikorhiza di Bawah Tegakan Gamal (Gliricidia sepium (Jacq.) Steud.) dan Akasia
(Acacia auriculiformis A. Cunn. Ex Benth.) di Hutan Wanagama I. Fakultas Biologi
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Septiawan, W., Indriyanto, I., dan Duryat, D. 2017. Jenis tanaman, kerapatan, dan stratifikasi
tajuk pada hutan kemasyarakatan kelompok tani rukun makmur 1 di register 30 gunung
tanggamus, lampung. Jurnal Sylva Lestari, 5(2): 88-101.
Siswanto, A. B., Hadinoto, H., dan Azwin, A. 2021. Keanekaragaman dan Kegunaan Tumbuhan
Bawah pada Beberapa Tegakan di Arboretum Balai Penelitian dan Pengembangan

32
Teknologi Serat Tanaman Hutan (BP2TSTH) Kuok. Wahana Forestra: Jurnal
Kehutanan, 16(2): 128-152.
Soendjoto, M. A., Riefani, M. K., dan Zen, M. 2014. Penggunaan Tipe Habitat oleh Avifauna di
Lingkungan PT Arutmin Indonesia – NPLCT, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan
Selatan. Sains & Matematika, 3(1): 19-25
Soerianegara I dan A Indrawan. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi
Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 104 hal.

Soerianegara I dan A Indrawan. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor. Laboratorium Ekologi
Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor

Subandriyo, B. 2020. Analisis Korelasi dan Regresi. Badan Pusat Statistik.

Subeno. 2022. Draft Laporan Inventarisasi Burung Herpet di Wanagama. Tidak dipublikasikan.

Sukandar P., Winarsih, A., & Wijayanti, F. 2015. Komunitas Burung di Pulau Tidung Kecil
Kepulauan Seribu. Jurnal Biologi, 8: 66-76.

Sunandar, H., dan Tjitro, S. 1999. Pengujian, Pengaturan dan Penyeimbangan dalam Sistem
Pengkondisian Udara. Jurnal Teknik Mesin, 1(1): 30-36

Sutherland, W. J., Newton, I., Green, R. I. 2004. Bird ecology and conservation: A Handbook of
Technique. Oxford University Press

Syafrudin D. 2011. Keanekaragaman Jenis Burung pada Beberapa Tipe Habitat di Tambling
Wildlife Nature Conservation (TWNC), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Lampung. Bogor: Biodiversitas Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas
Kehutanan. IPB, 4(1).

Ventolo, Y., Suyanto., dan Nugroho, Y. 2021. Perbedaan Hasil Pengukuran Tinggi Pohon
Menggunakan Alat Ukur Berupa Hagameter dan Clinometer. Jurnal Sylva Scienteae,
4(6): 1015-1020.

WaltertM, BoboKS, SaingeNM, FermonH. 2005. From forest to farmland: Habitat effects on
afrotropical forest bird diversity. Ecological Application, 15(4):1351-1366.

33
Wiens, J. A. The Ecology of Birds Communities (Volume 2, Processes and Variations).
Cambridge University Press, Cambridge (1989).

Wijaya, T. 2009. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Yogyakarta : Universitas Atma
Jaya Yogyakarta.

Yanti, Nova A., Wilson Novarino, dan Rizaldi. 2015. Komunitas Burung Berdasarkan Zonasi
Ketinggian di Gunung Singgalang, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas,
4(1): 38-44

Zaen, M., dan Rita, R. R. N. D. 2018. Analisis Potensi Keanekaragaman Jenis Burung Di Taman
Wisata Alam Suranadi. Jurnal Silva Samalas, 1(1): 70-75.

Zahro, J., Caraka, R. E., dan Herliansyah, R. 2018. Aplikasi Generalized Linear Model pada R.
Innosain. Yogyakarta.

34

Anda mungkin juga menyukai