Anda di halaman 1dari 7

PERANAN FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP SEBARAN

KELELAWAR

Muthia Dara Alifvira B1A016013


Adib Ramadani B1A016093

TUGAS TERSTRUKTUR BIOGEOGRAFI

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ekosistem yang secara fisik mantap memungkinkan tercapainya
komunitas klimaks dalam suksesi sehingga terjadi penimbunan keragaman
biologi yang tinggi, sedangkan ekosistem yang berubah karena suatu
gangguan akan mengalami suksesi kembali (suksesi sekunder), sehingga
komunitasnya jauh dari kondisi klimaks (Saputra et al., 2016).
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tinggi yang mencakup
keanekaragaman flora, fauna dan mikroba (Primack et al., 1998). Tingginya
keanekaragaman hayati ini dikarenakan wilayah Indonesia yang terletak di
daerah tropik, memiliki berbagai macam tipe habitat, serta berbagai isolasi
sebaran berupa laut atau pegunungan (Noerdjito dan Maryanto, 2005). Salah
satu keanekaragaman hayati yang mencakup fauna adalah kelas mamalia, yaitu
khususnya kelelawar.
Indonesia merupakan negara yang secara biogeografis menjadi pertemuan
antara dua daerah pembagian hewan di dunia, yaitu daerah oriental dan
Australia. Kondisi tersebut menyebabkan jumlah dan keanekaragaman spesies
satwa liar di Indonesia sangat beragam dan terdistribusi pada berbagai tipe
habitat dan ekosistem. Indonesia memiliki sekitar 205 jenis kelelawar atau
sebanyak 21% dari total jenis kelelawar di dunia. Sembilan family dari jenis-
jenis ini termasuk dalam 52 marga. Kesembilan family ini adalah Pteropodidae,
Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae, Hipposideridae,
Emballonuridae, Rhinopomatidae, dan Molossidae (Suryanto, 2001)
B. Rumusan Masalah
Kelelawar hidup pada beberapa tipe habitat seperti goa, hutan alami,
hutan buatan, dan perkebunan. Kelelawar mempunyai banyak alternatif dalam
memilih tempat bertengger. Kebanyakan jenis kelelawar dari pemakan buah
umumnya memilih tempat bertengger untuk tidur pada pohon-pohon yang
tergolong besar, sebaliknya beberapa jenis kelelawar yang umumnya pemakan
serangga lebih banyak memilih tempat berlindung pada lubang-lubang
batang pohon, celah bambu, maupun goa (Cobert dan Hill, 1992).
Menurut Suyanto (2001), keberadaan kelelawar ini sangat penting bagi
kehidupan masyarakat di Indonesia karena peranannya sebagai pemencar biji
buah-buahan (jambu air, jambu biji, kenari, keluwih, sawo, duwet, keruing,
cendana, dan lain-lain), sebagai penyerbuk bunga tumbuhan yang bernilai
ekonomi (petai, durian, bakau, kapuk, randu, dan lain-lain), sebagai
pengendali hama serangga, sebagai penghasil pupuk dan tambang fosfat di goa-
goa, dan sebagai objek wisata.
Namun sangat disayangkan bahwa akhir-akhir ini banyak jenis
kelelawar yang populasinya menurun, dan bahkan ada jenis-jenis tertentu
yang terancam punah. Ancaman paling besar terhadap kelelawar adalah
kehilangan habitat. Masyarakat awam bahkan cenderung menganggap kelelawar
sebagai hama. Asumsi ini tak lepas dari aktivitas kelelawar yang sering
memakan buah-buahan dari tanaman budidaya, sehingga kelelawar banyak
ditangkap dan dibunuh. Hal ini menyebabkan populasi kelelawar di alam
semakin berkurang (Saputra et al., 2016).

C. Tujuan
Untuk mengetahui beberapa faktor biotik maupun abiotik yang
berpengaruh terhadap sebaran kelelawar.
II. PEMBAHASAN

Pola penyebaran kelelawar dapat digunakan sebagai bio-indikator kondisi


lingkungannya. Hal ini disebabkan karena jenis kelelawar tertentu mempunyai posisi
dan fungsinya masing masing dalam ekosistem (Maharadatunkamsi, 2017).
Keragaman kelelawar yang tertangkap pada ekosistem hutan jauh pemukiman
berbeda secara signifian dengan keragaman kelelawar pada ekosistem pantai
dekat dan jauh pemukiman. Demikian juga keragaman kelelawar pada ekosistem
non hutan jauh pemukiman, ditemukan berbeda secara signifikan dengan
keragaman pada ekosistem pantai dekat pemukiman (Nurwidayati & Nurjana, 2018).
Kelelawar merupakan hewan berdarah panas (termoregulasi), dimana
suhu yang stabil dan cocok untuk kelelawar tidak terlalu dingin dan tidak
terlalu panas (Saputra et al., 2016). Kelelawar memiliki batas toleransi suhu
lingkungan terhadap suhu tubuhnya. Setiap jenis kelelawar memiliki kisaran
suhu yang berbeda-beda terhadap tempat bertenggernya. Sebagian kelelawar
bertengger pada suhu udara antara 26,67-32,22°C. Suhu, kelembaban, curah
hujan, dan ketinggian memberi pengaruh terhadap keanekaragaman dan
persebaran jenis kelelawar (Nurwidayati & Nurjana, 2018).
Kecepatan angin yang tinggi akan mempengaruhi keberadaan kelelawar di
dalam gua. Kelelawar akan menghindari angin yang yang kencang karena akan
menganggu pada saat bertengger. Kondisi kelembaban yang tinggi lebih disukai oleh
kelelawar. Menurut Baudinete et al. (1994) membran petagium (sayap) kelelawar
tersusun atas lapisan kulit tipis yang sangat peka pada kekeringan. Hal ini
menyebabkan kelelawar yang mempunyai membran petagium tipis memilih lokasi
sarang yang lembab, sedangkan yang memiliki membran petagium tebal mampu
bersarang di lokasi gua yang cenderung kering
Ketersediaan tumbuhan sebagai pakan bagi kelelawar sangat bervariasi
secara temporal sepanjang tahun yang dipengaruhi oleh masa pembungaan dan
pembuahan tumbuhan tersebut terutama di daerah tropis. Pada saat musim kering
tumbuhan akan berbunga dan pada musim penghujan tumbuhan akan berbuah
(Nurwidayati & Nurjana, 2018). Dalam mencari makan kelelawar mempunyai
kemampuan terbang dari tempat bertenggernya hingga sejauh 60 km (Asriadi,
2010).
Muller et al (2007), menyatakan pada saat terang bulan ,kelelawar cenderung
takut terhadap sergapan predator dan saat hujan, kelelawar cenderung untuk
berteduh atau tetap di sarang. Selain itu, menurut Elangovan (2001) cahaya
dari bulan purnama sangat berpengaruh terhadap aktivitas kelelawar, kegiatan
mencari makan kelelawar berbanding terbalik dengan cahaya bulan, dimana
kegiatan mencari makan sangat minim ketika bulan purnama.
Selain faktor abiotik, terdapat pula faktor biotik lainnya adalah aktifitas
manusia. Banyak manusia atau pemburu yang mengganggu serta memburu hewan
dan tidak memburu kelelawar secara langsung, namun kebisingan yang
ditimbulkannya akibat suara senapan ataupun aktivitas di hutan sangat
mengganggu populsi kelelawar. Menurut Altringham (1996), kelelawar sangat
peka terhadap kebisingan, karena kebanyakan jenis kelelawar mempunyai alat
pendengaran yang sangat sensitif sebagai adaptasi dari aktifitas hidupnya di malam
hari.
III. PENUTUP

Faktor biotik maupun abiotik yang berpengaruh terhadap sebaran kelelawar


diantaranya habitat, suhu, kelembaban, curah hujan, cahaya dari bulan purnama
sangat berpengaruh terhadap aktivitas kelelawar, ketersediaan tumbuhan sebagai
pakan, dan ketinggian memberi pengaruh terhadap keanekaragaman dan
persebaran jenis kelelawar.
DAFTAR REFERENSI

Altringham, J. D. 1996. Bats Biology and Behavior. Oxford University Press. New
York.
Asriadi, Amin. 2010. Kelimpahan, sebaran, dan keaekaragaman jeis kelelawar
(Chiroptera) pada beberapa goa dengan pola pengelolaan berbeda di kawasan
karst Gombng, Jawa Tengah. [skripsi].
Baudinette, RV, Wlls, RT, Sanderson, KJ dan Clark, B, 1994, Microclimate
conditions in maternity caves of the bent-wing bat Miniopterus schreibersii:
an attempt restoration of a former maternity site, Wildl, Res, vol. 21, hal.
607-619
Elangovan, V. and Marimuthu, G. (2001), Effect of moonlight on the foraging
behavior of a megachiropteran bat cynopterus sphinx. Journal of Zoology,
253: 347-350.
Maharadatunkamsi, M. (2017). Pengaruh Habitat dan Ketinggian Tempat Terhadap
Sebaran Kelelawar di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Jurnal
Biologi Indonesia, 8(2).
Muller, B. Steven, M. Goodman & Peichl, L. (2007) Cone Photoreceptor
diversity in the retnas of fruit bats (Megachiroptera). Brain, Behaviour
and Evolution 70: 90-105. Munich-German.
Noerdjito dan Maryanto, I (Eds). 2005. Kriteria Jenis Hayati Yang Harus
dilindungi oleh dan untuk Masyarakat Indonesia. LIPI dan Icraf. Bogor.
Nurwidayati, A., & Nurjana, M. A. (2018). Pengaruh Perbedaan Ekosistem dan
Faktor Lingkungan terhadap Keragaman Jenis Kelelawar di Kabupaten Tojo
Una-Una dan Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Vektor
Penyakit, 12(2), 57-66.
Primack, R . B., J. Supriatma., M. Indrawan, dan P. Kramadibrata.1998. Biologi
Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Saputra, Y., Sukandar, P., & Suryanda, A. (2016). Studi Keanekaragaman Jenis
Kelelawar (Chiroptera) Pada Beberapa Tipe Ekosistem Di Camp Leakey
Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (Tntp), Kalimantan
Tenga. Bioma, 12(1), 53-58.
Suyanto A. Seri Panduan Lapangan : Kelelawar Di Indonesia.; 2001.

Anda mungkin juga menyukai