Anda di halaman 1dari 8

PENGENDALIAN PENYAKIT TUMBUHAN

Nama : Muhammad Rifqi A.


NIM : B1J013138
Rombongan : IV
Kelompok :3
Asisten : Iyam Nursiyami Rohmah

LAPORAN PRAKTIKUM FITOPATOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015
III. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah cawan petri, tabung
reaksi, erlenmeyer, pipet tetes, pipet ukur, penggaris, dan spidol.
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah media PDA,
fungisida uji, isolat patogen uji, chloramphenicol, dan streptomycin.

B. Metode
1ml 1ml 1ml 1ml 1ml 1ml

Akuades steril 9ml 10-1 9ml 10-2 9ml 10-3 9ml 10-4 9ml 10-5 9ml 10-6 200ml
10ml akuades
Isolat T. steril
Pembuatan Inokulum T. harzianum
harzianum hasil
peremajaan
divortex

Pembuatan pelet

+ +

TKP 1000gr + TBP 50gr


600ml akuades 200ml suspensi
(Sterilisasi dalam oven)
steril T. harzianum
80oC 24 jam

Dihomogenkan
hingga kalis

Cetak dengan
alat giling

Dikeringkan
dalam oven 40oC
24 jam
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanaman dikatakan sakit bila ada perubahan seluruh atau sebagian organ-organ
tanaman yang menyebabkan terganggunya kegiatan fisiologis sehari-hari. Secara
singkat penyakit tanaman adalah penyimpangan dari keadaan normal (Pracaya,
2003). Suatu tanaman dapat dikatakan sehat atau normal jika tanaman tersebut dapat
menjalankan fungsi-fungsi fisiologis dengan baik, sepertipembelahan dan
perkembangan sel, pengisapan air dan zat hara, fotosintesis dan lain-lain. Gangguan
pada proses fisiologis atau fungsi-fungsi tanaman dapat menimbulkan penyakit.

Ir. Pracaya. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya : Depok

Persyaratan kualitas produk pertanian akan menjadi lebih ketat kaitannya dengan
pemakaian pestisida sintetik. Salah satu alternatif upaya peningkatan kuantitas dan
kualitas produk pertanian dapat dilakukan dengan pemanfaatan agen hayati
(biopestisida) sebagai pengganti pestisida sintetik yang selama ini telah diketahui
banyak berdampak negatif dalam mengendalikan penyakit-penyakit tanaman. Seperti
terbunuhnya mikroorganisme bukan sasaran, membahayakan kesehatan dan
lingkungan. Berdasarkan keadaan ini maka eksplorasi dan skrining agen hayati pada
keanekaragaman hayati yang kita punya harus dilakukan dalam rangka untuk
menemukan sumberdaya genetik baru yang berpotensi sebagai agen pengendalian
hayati penyakit tanaman yang ramah lingkungan (Purwantisari dan Hastuti, 2009).

Penggunaan jamur antagonis sebagai agen hayati harus dalam bentuk formulasi yang
tepat dengan bahan yang mudah tersedia. Efektifitas agensia hayati harus
diformulasikan agar menstabilkan. Beberapa laporan menyebutkan bahwa P.
fluorescens, Gliocladium dan Trichoderma telah diformulasikan dalam bentuk cair,
tepung dan kompos. Perkembangbiakan Trichoderma spp. akan terjadi bila hifa
jamur mengadakan kontak dengan bahan organik seperti kompos, bekatul atau beras
jagung. Jamur menguntungkan tersebut dapat bertahan selama 3 bulan jika disimpan
dalam kulkas atau sebulan di suhu kamar pada medium beras jagung yang telah
difermentasi. Sedangkan bahan yang dapat dibuat sebagai pengemas antara lain talk
dan kaolin. (Purwantisari dan Hastuti, 2009).
Purwantisari, S. dan Hastuti, R.B. 2009. Uji Antagonisme Jamur Patogen
Phytophthora infestans Penyebab Penyakit Busuk Daun dan Umbi Tanaman Kentang
Dengan Menggunakan Trichoderma spp. Isolat Lokal. BIOMA 11(1): 24-32.

B. Tujuan

Tujuan acara praktikum kali ini adalah untuk mengetahui efektifitas uji
dalam mengendalikan penyakit dan mengetahui dosis fungisida uji yang paling
efektif dalam mengendalikan penyakit.
II. TELAAH PUSTAKA

Perkembangan penyakit tanaman dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu patogen, inang,
dan tanaman. Faktor lingkungan yang memengaruhi perkembangan penyakit antara
lain adalah suhu, kelembapan udara, curah hujan, dan sinar matahari. Suhu di atas
15oC di sekitar tanaman kopi menghambat perkembangan penyakit. Hujan berperan
dalam meningkatkan kelembapan sehingga cocok bagi perkecambahan uredospora
dan penyebaran jamur. Sinar matahari langsung ke permukaan daun menghambat
proses perkecambahan uredospora dan memperpanjang periode inkubasi penyakit
karat daun (Mahfud, 2012).
Prinsip PHT (Pengendalian Hama Terpadu) adalah mempertimbangkan aspek
ekologis dan ekonomis sehingga komponen PHT yang dikembangkan tidak merusak
lingkungan, tetapi dapat memanipulasi lingkungan menjadi kurang cocok bagi
perkembangan penyakit dan secara ekonomis menguntungkan. Memerhatikan prinsip
PHT, efektivitas, dan permasalahan dalam penerapannya, komponen PHT yang
berpeluang dikembangkan di perkebunan rakyat adalah praktik kultur teknis
(Mahfud, 2012).
Mahfud, M.C. 2012. Teknologi dan strategi pengendalian penyakit karat daun untuk
meningkatkan produksi kopi nasional. Pengembangan Inovasi Pertanian 5(1): 44-57.
Sifat antagonis jamur Trichoderma sp telah diteliti sejak lama. Inokulasi
Trichoderma harzianum ke dalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang
menyerang di pesemaian, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang
dihasilkan jamur ini yang dapat diisolasi dari biakan yang ditumbuhan di dalam petri.
Spesies lain dari jamur ini telah diketahui bersifat antagonistik atau parasitik
terhadap jamur patogen tular tanah yang banyak menimbulkan kerugian pada
tanaman pertanian. Tahun 1972, Well dan kawan-kawan melaporkan bahwa dengan
pemberian inokulum Trichoderma harzianum dengan perbandingan inokulum dengan
tanah 1 10 v/v dapat mengendalikan penyakit busuk batang dan busuk akar yang
disebabkan oleh jamur Sclerotium rolfsii. Pada tahun 1975, Backman, Rodrigues-
Kabana mengembangkan penelitian tentang pemanfaatan inokulum jamur antagonis
ini yang dicampurkan dengan tanah diatomae yang dilumuri larutan tetes (molase) 10
% untuk membantu pertumbuhan Trichoderma harzianum. Inokulum jamur ini
ternyata dapat mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh Sclerotium rolfsii di
lapangan dengan butiran tanah diatomae sebanyak 140 kg/ha sebagai inokulum, yang
hasilnya sebanding dengan perlakuan yang menggunakan pestisida kimia (Sinner cit
Hinggis,1985)
Sinner cit Hinggis,1985. Mikrobiologi Umum. Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Trichoderma spp. selain bersifat antagonis terhadap patogen tular tanah juga mampu
menginduksi ketahanan tanaman terhadap berbagai penyakit dan meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Keberhasilan penggunaan Trichoderma spp. untuk
pengendalian penyakit tanaman baik di rumah kaca, pada pembibitan maupun di
lapangan telah banyak dilaporkan. Nurbailis (2008) telah melakukan penelitian
tentang pengendalian penyakit Fusarium sp. pada tanaman tomat dengan
menggunakan jamur Trichoderma spp. di rumah kaca (Pulungan et al., 2014).
Pulungan, M.H. Lahmuddin L., Fatimah Z., dan Zaida F. 2014. Uji efektifitas
Trichoderma harzianum dengan formulasi granular ragi untuk mengendalikan
penyakit jamur akar putih (Rigidoporus microporus (Swartz: fr.) van Ov) pada
tanaman karet di pembibitan. Jurnal Online Agroekoteknologi 2(2): 497-512
Nurbailis. 2008. Karakterisasi mekanisme Trichoderma sp. indigenus rizosfir pisang
untuk penge- ndalian Fusarium oxysporum f. sp. cubense penyebab penyakit layu
Fusarium pada tanaman pisang. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas
Andalas. Padang.
Hal ini menunjukkan bahwa peranan jamur antagonis sebagi contoh jamur potensi
jamur Trichoderma yang merupakan jamur antagonis yang bersifat preventif bagi
tanaman. Hal ini sesuai dengan literatur Harman (1998) yang menyatakan bahwa
Potensi jamur Trichoderma sebagai jamur antagonis yang bersifat preventif terhadap
serangan penyakit tanaman telah menjadikan jamur tersebut semakin luas digunakan
oleh petani dalam usaha pengendalian organisme pengganggu tumbuhan
(Suwahyono dan Wahyudi .2005).
Suwahyono dan Wahyudi (2005) .yang menyatakan bahwa Trichoderma merupakan
jamur saprofit yang hidup di dalam tanah, serasah dan kayu mati. Dalam kompetisi
trichoderma mempunyai kemampuan memperebutkan sumber makanan atau di
sekitar perakaran tanaman menghasilkan enzim β 1.3 glukanase dan kitinase.
Suwahyono dan Wahyudi (2005) Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di
Indonesia. Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Harman (1998). Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University.
Yogyakarta.
B. Pembahasan

Pengendalian Hama Terpadu adalah teknologi pengendalian hama yang didasarkan


prinsip ekologis dengan menggunakan berbagai teknik pengendalian yang sesuai
antara satu sama lain sehingga populasi hama dapat dipertahankan di bawah jumlah
yang secara ekonomik tidak merugikan serta mempertahankan kesehatan lingkungan
dan menguntungkan bagi pihak petani (Oka, 1994).
Oka, N. I. 1994. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia,
UGM Press, Yogyakarta.
Untung (1993) mendefinisikan PHT sebagai pengendalian hama yang menggunakan
semua teknik dan metode yang sesuai dalam cara-cara yang seharmonis mungkin
dalam mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang menyebabkan
kerusakan ekonomi di dalam lingkungan dari dinamika populasi spesies hama yang
bersangkutan. Pengendalian hama terpadu tidak hanya terbatas sebagai teknologi
pengendalian hama yang berusaha memadukan berbagai teknik pengendalian
termasuk pengendalian secara kimiawi yang merupakan alternatif terakhir, tetapi
mempunyai makna yang lebih mendasar lagi. PHT adalah suatu konsep ekologi,
falsafah, cara berpikir, cara pendekatan berdasar pada konsep, ekonomi dan budaya
dengan menitipberatkan pada potensi alami seperti musuh alami, cuaca serta
menempatkan manusia sebagai pengambil keputusan dalam pengelolaan
usahataninya.
Untung K. 1993. Konsep Pengendalian Hama Terpadu, Andi Offset. Yogyakarta.
Agensia hayati meliputi organisme dan substansi yang dihasilkan yang dapat
digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu yang merugikan. Salah satu
jenis biopestisida adalah biofungisida berbahan aktif mikroorganisma sel jamur
antagonis Trichoderma spp, yaitu fungisida penghambat pertumbuhan kapang
patogen penyebab penyakit tanaman budidaya yang diharapkan efektif
mengendalikan serangan kapang patogen Phytophthora infestans tanaman kentang
serta aman bagi tanaman budidaya sebagai tanaman bukan sasaran. Jamur antagonis
Trichoderma spp dapat diisolasi dari tanah lokal, termasuk jamur selulolitik sejati
karena mampu menghasilkan komponen selulase secara lengkap (Purwantisarib et
al., 2008).
Jamur-jamur antagonis tanah isolat lokal seperti Trichoderma spp dilaporkan
mempunyai aktivitas antagonisme yang kuat terhadap jamur patogen dengan
mekanisme hiperparasitismenya dan antibiosisnya sehingga efektif menghambat
pertumbuhan kapang patogen tanaman dengan mendegradasi dinding selnya.
Dinding sel kapang patogen menjadi rusak keudian mati melalui aktivitas enzim
kitinasenya. Beberapa enzim kitinolitiknya hanya toksik pada kapang patogen
penyebab penyakit tanaman budidaya tetapi namun tidak pada mikroorganisma lain
dalam tanah dan tumbuhan inang (Purwantisarib et al., 2008).

Anda mungkin juga menyukai