Anda di halaman 1dari 6

Senesensi adalah proses penuaan pada organ tumbuhan yang menujuke arah kematian.

Senesensi adalah proses hormonal yang dikendalikan oleh zat pengatur tumbuhan (ZPT), yaitu
asam absisat (abscissic acid atau ABA) dan etilen. Keberadaan dua hormone ini dalam
suatu tanaman memicu terjadinya senesensi yang dapat salah satunya diindikasikan oleh proses
pengguguran daun atau absisi daun. Secara etimologis, absisi berasal dari ab yang artinya “jauh”
dan scindere yang artinya “memotong”. Proses absisi ini mengacu pada gugurnya satu atau lebih
bagian organ tanaman, seperti daun, buah, bunga, atau biji. Tumbuhan akan mengalami absisi pada
organ yang tidak lagi dibutuhkan untuk membantunya bertahan hidup secara efektif sekaligus
meningkatkan produktifitas (Salisbury, 1992), misalnya
absisi daun saat musim gugur, absisi bunga untuk kepentingan polinasia taupun absisi buah untuk
pemencaran biji. Tumbuhan evergreen, seperti Gymnospermae umumnya menggugurkan
daunnya secara teratur sedangkan tumbuhan semusim menggugurkan daunnya sebelum musim
dingin.
Kehilangan daun pada setiap musim gugur merupakan suatu adaptasi untuk menjaga agar
tumbuhan yang berganti daun, selama musim dingin
tetap hidup ketika akar tidak bisa mengabsorpsi air dari tanah yang membeku. Sebelum daun itu
mengalami absisi, beberapa elemen essensial diselamatkan dari daun yang mati, dan disimpan di
dalam sel parenkhim batang. Nutrisi ini dipakai lagi untuk pertumbuhan daun pada musim semi
berikutnya. Warna daun pada musim gugur, merupakan suatu kombinasi dari warna pigmen merah
yang baru dibuat selama musim gugur, dan karnakarotenoid yang berwarna kuning dan orange,
yang sudah ada di dalam daun, tetapi kelihatannya berubah karena terurainya klorofil yang
berwarna hijau tua pada musim gugur. Ketika daun pada musim gugur rontok, maka titik tempat
terlepasnya daun merupakan suatu lapisan absisi yang berlokasi dekat dengan pangkal tangkai
daun.
Sel parenkim berukuran kecil dari lapisan ini mempunyai dinding sel yang sangat
tipis, dan tidak mengandung sel serat di sekeliling jaringan pembuluhnya. Lapisan absisi
selanjutnya melemah, ketika enzimnya menghidrolisis polisakarida di dalam dinding sel.
Akhirnya dengan bantuan angin, terjadi suatu pemisahan di dalam lapisan absisi. Sebelum
daun itu jatuh, selapisan gabus membentuk suatu berkas pelindung di samping lapisan
absisi dalam ranting tersebut untuk mencegah patogen yang akan menyerbu bagian
tumbuhan yang ditinggalkannya Absisi diatur oleh perubahan keseimbangan etilen dan
auksin. Lapisan absisi dapat dilihat disini sebagai suatu lapisan vertikal pada pangkal
tangkai daun. Setelah daunnya gugur, suatu lapisan pelindung dari gabus, menjadi bekas
tempelan daun yang membantu mencegah serbuan patogen. Suatu perubahan
keseimbangan etilen dan auksin, mengontrol absisi. Daun yang tua, menghasilkan semakin
sedikit auksin; yang menyebabkan sel lapisan absisi lebih sensitif terhadap etilen. Pada saat
pengaruh etilen terhadap lapisan absisi kuat, maka sel itu memproduksi enzim, yang
mencerna sellulose dan komponen dinding sel lainnya.
1. Etilen dan Permeablitas Membran
Etilen adalah senyawa yang larut di dalam lemak sedangkan memban dari sel
terdiri dari senyawa lemak. Oleh karena itu etilen dapat larut dan menembus ke dalam
membran mitokondria. Apabila mitochondria pada fase pra klimakterik diekraksi
kemdian ditambah etilen, ternyata terjadi pengembangan volume yang akan
meningkatkan permeablitas sel sehingga bahan-bahan dari luar mitochondria akan dapat
masuk. Dengan perubahan-perubahan permeabilitas sel akan memungkinkan interaksi
yang lebih besar antara substrat buah dengan enzim-enzim pematangan.

2. Etilen dan Aktivitas ATP-ase


Etilen mempunai peranan dalam merangsang aktivitas ATP-ase dalam
penyediaan energi yang dibutuhkan dalam metabolisme. ATP-ase adalah suatu enzim
yang diperlukan dalam pembuatan energi dari ATP yang ada dalam buah. Adapun
reaksinya adalah sebagai berikut:
ATP ---------------- ADP + P + Energi
ATP-ase

3. Etilen sebagai “Genetic Derepression”


Pada reaksi biolgis ada dua faktor yang mengontrol jalannya reaksi. Yang pertama
adalah “Gene repression” yang menghambat jalannya reaksi yang berantai untuk dapat
berlangsung terus. Yang kedua adalah “Gene Derepression” yaitu faktor yang dapat
menghilangkan hambatan tersebut sehingga reaksi dapat berlangsung. Selain itu etilen
mempengaruhi proses-proses yang tejadi dalam tanaman termasuk dalam buah, melalui
perubahan pada RNA dan hasilya adalah perubahan dalam sintesis protein yang diatur
RNA sehingga pola-pola enzim-enzimnya mengalami perubahan pula.
4. Interaksi Etilen dengan Auxin
Di dalam tanaman etilen mengadakan interaksi dengan hormon auxin. Apabila
konsentrasi auxin meningkat maka produksi ethylen pun akan meningkat pula. Peranan
auxin dalam pematangan buah hanya membantu merangsang pembentukan etilen, tetapi
apabila konsentrasinya etilen cukup tinggi dapat mengakibatkan terhambatnya sintesis
dan aktivitas auxin.
5. Produksi dan Aktivitas Etilen
Pembentukan etilen dalam jaringan-jaringan tanaman dapat dirangsang oleh
adanya kerusakan-kerusakan mekanis dan infeksi. Oleh karena itu adanya kerusakan
mekanis pada buah-buahan yang baik di pohon maupun setelah dipanen akan dapat
mempercepat pematangannya. Penggunaan sinar-sinar radioaktif dapat merangsang
produksi etilen. Pada buah Peach yang disinari dengan sinar gama 600 krad ternyata
dapat mempercepat pembentukan etilen apabila dibeika pada saat pra klimakterik, tetapi
penggunaan sinar radioaktif tersebut pada saat klimakterik dapat menghambat produksi
etilen. Produksi etilen juga dipengaruhi oleh faktor suhu dan oksigen. Suhu rendah
maupun suhu tinggi dapat menekan produk si etilen. Pada kadar oksigen di bawah
sekitar 2 % tidak terbentuk etilen, karena oksigen sangat diperlukan. Oleh karena itu suhu
rendah dan oksigen renah dipergunakan dalam praktek penyimpanan buahbuahan,
karena akan dapat memperpanjang daya simpan dari buah-buahan tersebut. Aktivitas
etilen dalam pematangan buah akan menurun dengan turunnya suhu, misalnya pada
Apel yang disimpan pada suhu 30C, penggunaan etilen dengan konsentrasi tinggi tidak
memberikan pengaruh yang jelas baik pada proses pematangan maupun pernafasan.
Pada suhu optimal untuk produksi dan aktivitas etilen pada buah tomat dan apel adalah
320C, untuk buah-buahan yang lain suhunya lebih rendah.
KmnO4 (Kalium permanganat) merupakan senyawa yang memiliki sifat sebagai oksidator
yang kuat. Senyawa ini digunakan sebagai bahan penunda kematangan karena kemampuannya
mengoksidasi ethylene yang merupakan hormon pematangan menjadi ethylene glikol. Apabila
KMnO4 dimasukan kedalam kemasan pisang maka dapat menambah umur simpan pisang selama
2 minggu. Preparasi komersial zat penyerap ethylene adalah purafil (KMnO4 alkaslis dengan
silikat) produksi Marbon Chemical Company ternyata mampu menyerap seluruh C2H4 yang
dikeluarkan buah pisang yang disimpan dalam kantong poliethylene tertutup rapat. Penciptakan
kemasan yang bebas ethylene, KmnO4 sebagai senyawa penyerap ethylene dimasukan kedalam
kemasan untuk membentuk kemasan aktif. Kontak langsung dengan KMnO4 dengan komoditas
pertanian sangat tidak direkomendasikan. Selain itu, sifat bahan penyerap KmnO4 juga dapat
menyulitkan pengaplikasian dalam teknologi pengemasan aktif (Kusumo, 1990).
pengguguran daun pada setiap musim gugur yang diawali dengan terjadinya perubahan
warna, kemudian daun mengering dan gugur adalah juga merupakan proses penuaan. Warna pada
daun yang akan gugur merupakan kombinasi pigmen-pigmen baru yang dibentuk pada musim
gugur, kemudian pigmen-pigmen yang telah terbentuk tersebut tertutup oleh klorofil. Daun
kehilangan warna hijaunya pada musim gugur karena daun-daun tersebut berhenti mensintesis
pigmen klorofil. Peranan etilen dalam memacu gugurnya daun lebih banyak diketahui daripada
peranannya dalam hal perubahan warna daun yang rontok dan pengeringan daun. Pada saat daun
rontok, bagian pangkal tangkai daunnya terlepas dari batang. Daerah yang terpisah ini disebut
lapisan absisi yang merupakan areal sempit yang tersusun dari sel-sel parenkima berukuran kecil
dengan dinding sel yang tipis dan lemah. Setelah daun rontok, daerah absisi membentuk parut/luka
pada batang. Sel-sel yang mati menutupi parut untuk membantu melindungi tumbuhan terhadap
patogen. 33 Gugurnya daun dipacu juga oleh faktor lingkungan, termasuk panjang hari yang
pendek pada musim gugur dan suhu yang rendah. Rangsangan dari faktor lingkungan ini
menyebabkan perubahan keseimbangan antara etilen dan auxin. Auxin mencegah absisi dan tetap
mempertahankan proses metabolisme daun, tetapi dengan bertambahnya umur daun jumlah etilen
yang dihasilkan juga akan meningkat. Sementara itu, sel-sel yang mulai menghasilkan etilen akan
mendorong pembentukan lapisan absisi. Selanjutnya etilen merangsang lapiasan absisi terpisah
dengan memacu sintesis enzim yang merusak dinding-dinding sel pada lapisan absisi. Gugur daun
pada musim gugur merupakan adaptasi tumbuhan untuk mencegah kehilangan air melalui
penguapan pada musim salju karena pada saat itu akar tidak mampu menyerap air pada tanah yang
membeku.
Biosintesis Etilen
Tempat sintesis etilen terjadi pada jaringan atau organ tanaman yang sedang mengalami
senescence (tissues undergoing senescence) atau mengalami penuaan atau pada
jaringan/organ/tanaman yang mengalami cekaman (stres). Sumber etilen dapat berasal dari : (1)
hasil pembakaran tidak sempurna senyawa yang tidak sempurna yang kaya karbon, batubara,
minyak bumi, dan gas alam; (2) komponen asap yang dikeluarkan oleh kendaraan bermo tor dan
industri yang memakai bahan bakar gas; (3) iluminasi gas penerangan rumah atau jalan raya; dan
(4) dihasilkan oleh tanaman dengan bahan dasar asam amino methionin (Salisbury, 1992). Sampai
saat ini biosintesis etilen tergolong paling lengkap diketahui diantara biosintesis semua hormon
tanaman yang lain. Precursornya adalah asam amino methionine. Biosintesis etilen terjadi di dalam
jaringan tanaman 34 yaitu terjadi perubahan dari asam amino methionine atas bantuan cahaya dan
FMN (Flavin Mono Nucleotide) menjadi methionel. Senyawa tersebut mengalami perubahan atas
bantuan cahaya dan FMN menjadi etilene, methyl disulphide, formic acid. Skema biosintesisnya
seperti pada Gambar 20-22. Berdasarkan skematik biosintesis tersebut, produksi etilen dipengaruhi
: 1. Auxin akan meningkatkan etilen karena dapat merubah SAM ke ACC. 2. Sikloheksamine dan
rhizobitoksin akan menghambat produksi etilen. 3. Stres akibat suhu yang tinggi, kekeringan, dan
banjir, serta pelukaan akan meningkatkan produksi etilen. 4. ABA juga meningkatkan produksi
etilen. 5. Keadaan an aerob akan menghambat produksi etilen. Etilen adalah satu-satunya
fitohormon dalam bentuk gas karena itu pergerakan di dalam tanaman maupun ke luar dari
tanaman dengan cara difusi. Walaupun setiap organ tanaman/jaringan tanaman berkontak dengan
etilen pada konsentrasi yang fisiologis aktif, tidak semua organ/jaringan responsif terhadap etilen.
Target site mungkin tergantung pada fase perkembangan tertentu dari tanaman atau lingkungan
yang tertentu seperti keadaan anaerobic dan suhu. Kenyataan ini didapat dengan menelusuri jalur
biosintesa dari etilen. Senyawa-senyawa intermediate yang memegang kunci dalam biosintesa
etilen adalah ACC dan pembentukan ACC tergantung dari enzim sintesa jika enzim ini tidak ada
atau berada dalam bentuk inaktif maka ACC dan etilen tidak terbentuk. Jadi target cell untuk etilen
adalah sel-sel dimana terdapat cukup ACC untuk pembentukan etilen. ACC yang cukup ini didapat
dari enzim-enzim dalam sel tersebut yang aktif membuat ACC atau ACC ditranslokasi dari sel-sel
sekitar ke sel-sel yang bersangkutan. Menurut konsep ini tiap-tiap sel sanggup membuat etilen
(Sponsel, 1955).
ACC = 1-amino cyclopropane-1-carboxyclic acid
Adomet = s-adenosyl-L-methionine
AEC = 1-amino-2-ethylcyclopropane-1-carboxylic acid
AOA = amino-oxy acetic acid
AVG = aminoethoxy-vynilglycine
EFE = etilen forming enzyme (ACC oxidase)
KMB = -keto--methylthiobutiric acid
MACC = N-malonylaminocyclopropane-1-carboxcylic acid
MTA = 5-methylthioadenosine
MTR = 5-methilthioribose
MTR-1-P = 5-methylthioribose-1-phosphate
SDS-page= sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis

Kusumo, S. 1990. Zat Pengatur Tumbuhan Tanaman. Jakarta (ID) : Yasaguna.


Salisbury, F.,B., C.W. Ross. 1992. Plant Physiology 4th Edition. Terjemahan Lukman DR, Sumaryono.
Fisiologi tumbuhan. Jidid III. Perkembangan tumbuhan dan fisiologi lingkungan. Bandung:
Penerbit ITB Bandung. 343 hlm.
Sponsel, V.M. 1995. The Biosynthesis and metabolism of gibberellins in higher plants. p.66-92. In. Davies
PJ. (Eds.). Plant hormones. Physiology, biochemistry and molecular biology. 2th edition.
Netherlands: Kluwer Academic Publishers. 833 hlm.
Salisbury, F. B. & Ross, C. W. 1992. Plant Physiology. Wadsworth Publishing co, California.

Anda mungkin juga menyukai