Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN

PENGARUH AIA TERHADAP PROSES ABSISI DAUN Coleus sp.

Disusun Oleh :

LUTPITA AMILIYA A’YUN

18030244039

BIOLOGI E 2018

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI

2019
A. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam praktikum ini adalah
1. Bagaimana pengaruh AIA terhadap proses absisi pada daun Coleus sp?

B. Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dalam praktikum ini adalah
1. Untuk mengetahui pengaruh AIA terhadap proses absisi pada daun
Coleus sp.

C. Hipotesis
Adapun hipotesis dalam praktikum ini adalah
Ha : Terdapat pengaruh AIA terhadap proses absisi pada daun Coleus
sp.
Ho : Tidak terdapat pengaruh AIA terhadap proses absisi pada daun
Coleus sp.

D. Kajian Pustaka
1. Coleus sp.
Coleus sp. atau iler memiliki batang yang tegak dan merayap
dengan tinggi berksiar 30—150 cm, mempunyai penampang batang
berbentuk segiempat. Daun tanaman iler berbentuk hati dan pada
setiap tepi daun dihiasi oleh jorong-jorong atau lekuk-lekuk tipis
yang bersambungan dan didukung oleh tangkai daun dan memiliki
warna yang beraneka ragam. Bunganya berbentuk untaian bunga
bersusun dan muncul pada pucuk tangkai batang. Coleus sering
tumbuh liar di pematang sawah, atau di tepi-tepi jalan. Namun, ada
juga yang sengaja menanamnya sebagai tanaman hias atau tanaman
pagar. Tanaman ini tumbuh subur di daerah dataran rendah sampai
ketinggian 1500 m di atas permukaan laut (dpI.) Tanaman iler
mengandung senyawa kimia yang bermanfaat di antaranya: alkaloid,
etil salisilat, metil eugenol timol, karvalenol dan mineral (Salisbury,
1995).
2. Senesensi dan Absisi
Senesensi adalah proses penuaan pada organ tumbuhan yang
menuju ke arah kematian. Senesensi adalah proses hormonal yang
dikendalikan oleh zat pengatur tumbuhan (ZPT), yaitu asam absisat
(abscissic acid atau ABA) dan etilen. Keberadaan dua hormone ini
dalam suatu tanaman memicu terjadinya senesensi yang dapat salah
satunya diindikasikan oleh proses pengguguran daun atau absisi
daun. Secara etimologis, absisi berasal dari ab yang artinya “jauh”
dan scindere yang artinya “memotong”. Proses absisi ini mengacu
pada gugurnya satu atau lebih bagian organ tanaman, seperti daun,
buah, bunga, atau biji. Tumbuhan akan mengalami absisi pada organ
yang tidak lagi dibutuhkan untuk membantunya bertahan hidup
secara efektif sekaligus meningkatkan produktivitas (Salisbury,
1992), misalnya absisi daun saat musim gugur, absisi bunga untuk
kepentingan polinasi dan reproduksi, ataupun absisi buah untuk
pemencaran biji. Tumbuhan evergreen, seperti Gymnospermae,
umumnya menggugurkan daunnya secara teratur sedangkan
tumbuhan semusim menggugurkan daunnya sebelum musim dingin.
Daerah absisi terdiri atas lapisan pemisah dan lapisan pelindung.
Pada lapisan pemisah tersebut terjadi pelepasan daun yang
sebenarnya. Pada daerah ini merupakan bagian terlemah dari tangkai
daun. Setelah daun menjadi dewasa, maka daerah absisi menjadin
nyata dan terjadi lekukan dangkal di luar dan di daerah absisi ini
terjadi perubahan warna epidermis. Diameter berkas vaskuler di
daerah absisi mengalami pereduksian. Kolenkim tidak ad dan
sklerenkim menjadi lemah atau tidak ada sama sekali. Sel-sel
parenkim absisi mempunyai sitoplasma yang lebih padat.
Sebelum daun gugur terjadi lapisan pemisah pada daerah
pengguguran tersebut. Lapisan pemisah berlanjut melintasi sel-sel
parenkim di dalam berkas vaskuler. Sel-sel parenkim di tempat
tersebut membelah menjadi sel yang leih kecil, pipih, mengandung
tepung dan plasmanya kental. Di daerah ini unsure-unsur xilem dan
floem serta sel-sel mati lainnya telah rusak secara mekanik. Sebelum
daun benar-benar gugur, silosis dan getah menyumbat terutama sel-
sel pengangkut primer pada berkas vaskuler, namun pengangkutan
tetap dipertahankan melalui unsure-unsur sekunder sehingga daun
tetap segar dan tidak layu sampai pada akhirnya pemisahan tersebut
sempurna. Segera sebelum pengguguran daun, dinding luar dan
lamella tengah sel-sel penyusun lapisan pemisah menjadi bergelatin
dan pada akhir sebelum daun gugur gelatin tadi hancur dan terlarut.
Akibat pelarutan substansi antar sel dan dinding sel luar, maka sel-
sel menjadi renggang dan lepas antara satu dengan yang lain.
Akhirnya, daun hanya diperkuat oleh unsure-unsur vaskuler yang
segera putus akibat tenaga mekanis atau gravitasi, sehingga tangkai
daun akan terputus karena angin dan berat daunnya sendiri yang
mengakibatkan pemisahan daun dari batang (Salisbury, 1992).

Gambar 1. Daerah absisi


Pada daerah pemisahan terbentuklah leaf scar. Scar
terbentuk karena terjadi penimbunan substansi yang melindungi
permukaan baru tersebut dari kerusakan, infeksi dan kehilangan air.
Substansi ini terdapat di bawah lapisan pemisah dalam sel-sel yang
berupa suberin dan lignin. Lapisan pemisah yang tersisa di abtang
akan membentu lapian pelindung, dapat berupa jaringan pelindung
primer atau pelindung sekunder berupa periderm. Di bawah lapisan
pelindung primer kemudian diendapkan suberin dan lignin sebagai
penghalang keluarnya air dan masuknya infeksi penyakit. Lapisan
sekunder ini bersambungan dengan periderm batang. Lapisan
pelindung primer dan lapisan pelindung sekunder digunakan sebagai
penutup luka akibat tangkai daun yang gugur.
Daun yang terletak paling bawah dari suatu tanaman atau
daun paling tua akan segera gugur. Hal ini disebabkan karena daun
paling tua berada paling bawah, dimana cahaya matahari tidak dapat
mengenai seluruh permukaan daun karena terhalang oleh daun di
atasnya. Akibatnya, daun paling tua tidak dapat melakukan
fotosintesis dengan baik, dan selanjutnya akan segera gugur.
Sebelum gugur, daun paling tua segera mengirimkan semua unsur
hara yang dimiliki ke daun di atasnya atau terjadi transfer unsure
hara. Hal ini juga akan dilakukan oleh daun-daun berikutnya setelah
tua dan sebelum gugur. Gugurnya daun juga dipicu oleh faktor
lingkungan, termasuk panjang hari yang pendek pada musim gugur
dan suhu yang rendah. Rangsangan dari faktor lingkungan ini
menyebabkan perubahan keseimbangan antara etilen dan auksin.
Auksin mencegah absisi dan tetap mempertahankan proses
metabolisme daun, tetapi dengan bertambahnya umur daun jumlah
etilen yang dihasilkan juga akan meningkat. Sedangkan etilen sangat
berperan dalam proses pengguguran daun. Sel-sel yang mulai
menghasilkan eilen akan mendorong pembentukan lapisan absisi.
Selanjutnya etilen akan merangsang lapisan absisi terpisah dengan
memacu sintesis enzim yang merusak dinding-dinding sel pad
lapisan absisi. Gugur daun pada musim gugur merupakan adaptasi
tumbuhan untuk mencegah kehilangan air melalui penguapan pada
musim salju karena pada saat itu akar tidak mampu menyerap air
pada tanah yang membeku (Salisbury, 1995).
Berikut merupakan faktor-faktor yang mempengaaruhi daun
menurut Sakamoto, 2008:
a. Kekurangan Klorofil
Reduksi jumlah klorofil pada daun akibat paparan sinar matahari
menyebabkan daun menguning. Berkurangnya jumlah pigmen
hijau daun turut memegang peran dalam proses absisi.
b. Mekanisme Kimiawi
Tumbuhan menghasilkan beberapa oksigen reaktif, misalnya
hydrogen peroksida (H2O2), akibat tekanan biotik dan abiotik,
termasuk sinar UV, temperature rendah, pathogen, parasit,
ataupun salinitas yang tinggi. Produksi hidroksil radikal ini akan
menyebabkan gangguan homeostasis pada metabolism seluler
dan perusakan dinding sel.
c. Pengaruh Hormon
Auksin sebagai hormon tumbuh (disebut juga AIA atau asam
indol asetat) dan etilen berpengaruh terhadap regulasi sinyal
absisi. Dua senyawa ini bekerja dalam mekanisme yang sinergis.
Saat AIA menurun, fluks AIA yang menuju zona absisi
berkurang. Berkurangnya suplai AIA ini menyebabkan zona
absisi menjadi sensitif terhadap etilen.
Saat tumbuhan terkonsentrasi pada hormon etilen, gen
mengekspresikan enzim selulose dan poligalakturonase yang
berfungsi mendegradasi dinding sel. Enzim yang mengaktifkan
etilen ini ditemukan berada dalam area promoter. Hormon asam
absisat yang diyakini menstimulasi absisi terbukti tidak
memegang peranan dominan dalam proses ini.
3. Hormon Tumbuh (Auksin)
Ahli biologi tumbuhan telah mengidentifikasi 5 tipe utama
ZPT (zat pengatur tumbuh tanaman) yaitu auksin, sitokinin,
giberelin, asam absisat dan etilen. Tiap kelompok ZPT dapat
menghasilkan beberapa pengaruh yaitu kelima kelompok ZPT
mempengaruhi pertumbuhan, namun hanya auksin yang memiliki
fungsi utama dalam mempengaruhi pertambahan panjang batang,
pertumbuhan, diferensiasi, percabangan akar, perkembangan buah,
dominansi apikal, fototropisme dan geotropisme. Istilah auksin
diberikan pada sekelompok senyawa kimia yang memiliki fungsi
utama mendorong pemanjangan kuncup yang sedang berkembang.
Beberapa auksin dihasikan secara alami oleh tumbuhan, misalnya
IAA (indoleacetic acid), PAA (Phenylacetic acid), 4-chloroIAA (4-
chloroindole acetic acid) dan IBA (indolebutyric acid) dan beberapa
lainnya merupakan auksin sintetik, misalnya NAA (napthalene
acetic acid), 2,4 D (2,4 dichlorophenoxyacetic acid) dan MCPA (2-
methyl-4 chlorophenoxyacetic acid) (Kusumo, 1984).
Istilah auksin juga digunakan untuk zat kimia yang
meningkatkan perpanjangan koleoptil; walaupun demikian, auksin
pada kenyataannya mempunyai fungsi ganda pada
Monocotyledoneae maupun pada Dicotyledoneae. Auksin alami
yang berada di dalam tumbuhan, adalah asam indol asetat
(IAA=Indol Asetic Acid), akan tetapi, beberapa senyawa lainnya,
termasuk beberapa sintetisnya, mempunyai aktivitas seperti auksin
(Kusumo, 1984).

4. Macam-macam Auksin
Secara terminologis, auksin berasal dari bahasa Yunani
αυξανω (“auxano”) yang berarti tumbuh atau meningkat. Auksin
adalah hormon yang pertama kali ditemukan, yaitu oleh ilmuwan
Belanda, Frits Went (Salisbury, 1995). Berdasarkan proses
pembuatannya, auksin dapat digolongkan menjadi dua kelompok,
yaitu auksin alami dan auksin sintetis.

Gambar 2. Struktur molekul auksin


1. Auksin Alami
Auksin alami yang berada di dalam tumbuhan, adalah asam indol
asetat (AIA, dalam bahasa Inggris disebut IAA=Indol-3-Asetic
Acid). AIA adalah auksin yang bekerja paling efektif pada tumbuhan
yang utuh/lengkap. Dalam larutan, molekul AIA yang terdiri dari
sebuah cincin aromatis dan satu gugus karboksil (Taiz dan Zeiger,
1998), bersifat labil, sehingga AIA tidak digunakan secara komersial
sebagai regulator pertumbuhan tanaman. Auksin alami lainnya
adalah chloroindole-3-acetic acid (4-Cl-IAA), phenylacetic acid
(PAA), dan indole-3-butyric acid (IBA). Nama auksin digunakan
khususnya terhadap IAA. Walaupun auksin merupakan hormon
tumbuhan pertama yang ditemukan, namun masih banyak yang
harus dipelajari tentang transduksi sinyal auksin dan tentang regulasi
biosintesis auksin. Kenyataan sekarang mengemukakan bahwa
auksin diproduksi dari asam amino triptopan di dalam ujung tajuk
tumbuhan.
2. Auksin Sintetik
Beberapa auksin analog sintetik adalah NAA (1-naphtalaeneacetic
acid) dan 2,4 D (2.4 dicholorophenoxy acetic acid).
a. NAA (1-naphtalaeneacetic acid)
NAA atau 1-naphtalaeneacetic acid (baca: asa adalah
senyawa organik dengan rumus kimia C10H7CH2CO2H.
NAA berwujud padat, tidak berwarna, dan dapat larut
dalam pelarut organik. Berdasarkan struktur molekulnya,
NAA tersusun atas naftalena dan gugus metilkarboksilyang
berikatan pada atom C nomor 1 (lihat gambar 2). NAA
adalah fitohormon dalam kelompok auksin yang banyak
digunakan untuk menstimulasi perakaran pada produk-
produk hortikultura serta pertumbuhan organ vegetatif.
NAA banyak dimanaaftkan dalam bidang kultur jaringan
tumbuhan (Taiz dan Zeiger, 1998).
b. 2,4 D (2.4 dicholorophenoxy acetic acid)
2,4 D atau 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid adalah pestisida
atau herbisida yang umum digunakan dalam pengendalian
rumput liar. 2,4 D adalah fotohormon sintetik yang termasuk
ke dalam auksin. Karenanya, 2,4 D umumnya sering
digunakan dalam laboratorium dan media kultur jaringan
tumbuhan. Senyawa ini dikembangkan oleh Judah Hirsch
Quastel pada tahun 1946 selama Perang Dunia II. Kemudian
2,4 D mulai diproduksi secara komersial sebagai herbisida
selektif, karena senyawa ini membunuh tumbuhan dikotil
(berkeping dua) dan meningkatkan produksi tumbuhan
Graminae, seperti gandum, jagung, padi, sorghum, dan lain-
lain (Taiz dan Zeiger, 1998).
Gugurnya daun dipacu juga oleh faktor lingkungan, termasuk
panjang hari yang pendek pada musim gugur dan suhu yang rendah.
Rangsangan dari faktor lingkungan ini menyebabkan perubahan
keseimbangan antara etilen dan auksin. Auksin mencegah absisi dan tetap
mempertahankan proses metabolisme daun, tetapi dengan bertambahnya
umur daun jumlah etilen yang dihasilkan juga akan meningkat. Sementara
itu, sel-sel yang mulai menghasilkan etilen akan mendorong pembentukan
lapisan absisi. Selanjutnya etilen merangsang lapisan absisi yang terpisah
dengan memacu sintesis enzim yang merusak dinding-dinding sel pada
lapisan absisi.
Proses pencernaan dinding, yang disertai dengan tekanan akibat
pertumbuhan yang tidak imbang antara sel proksimal yang membesar dan
sel distal yang menua di zona absisi, mengakibatkan pematahan. Selama
konsentrasi auksin yang lebih tinggi dipertahankan di helai daun,
pengguguran dapat ditunda namun penuaan menyebabkan penurunan
tingkat auksin pada organ tersebut dan konsentrasi etilen mulai meningkat.
Etilen, zat pemacu pengguguran yang terkuat dan tersebar luas diberbagai
organ tumbuhan dan pada banyak spesies tumbuhan menyebabkan
pembesaran sel dan menginduksi sintesis serta sekresi hidrolase pengurai
dinding sel. Ini akibat efeknya pada transkripsi, sebab jumlah molekul
mRNA yang menjadikan hidrolase (paling tidak selulase) meningkatkan
sekali setelah diberi perlakuan etilen.
Di dalam jaringan yang tumbuh aktif terdapat dua macam auksin,
yaitu auksin bebas yang dapat berdifusi, dan auksin terikat yang tak dapat
berdifusi. Dengan pelarut seperti eter dapat dipisahkan kedua macam auksin
tersebut. Auksin yang terikat merupakan pusat dari kegiatan hormon di
dalam sel, sedangkan auksin bebas adalah kelebihan di dalam
keseimbangannya. Maka auksin yang terikat adalah zat yang aktif di dalam
proses pertumbuhan (Kusumo, 1984).

E. Variabel Penelitian
1. Variabel manipulasi : Pemberian AIA dan pemberian AIA +
lanolin
2. Variabel kontrol : Jenis tanaman (Coleus sp.), Kondisi
tanaman, Jumlah lamina, Media tanam,
Letak lamina, Konsentrasi AIA.
3. Variabel respon : Waktu pengguguran tangkai daun

F. Definisi Operasional Variabel


Variabel manipulasi pada praktikum ini adalah adalah perlakuan yang
diberikan pada tanaman daun Coleus sp. Dengan cara diolesi lanolin dan
diolesi 1 ppm AIA + Lanolin. Terdapat dua perlakuan yaitu pada perlakuan
pertama dipotong satu pasang lamina yang terletak paling bawah kemudian
mengolesi bekas ptongan tersebut dengan lanolin, sedang yang lain dengan
1 ppm AIA + lanolin. Pada perlakuan kedua dipotong satu pasang lamina
yang terletak tepat di atas lamina yang paling bawah, kemudian mengolesi
bekas ptongan tersebut dengan lanolin, sedang yang lain dengan 1 ppm AIA
+ lanolin.
Kedua, variabel kontrol yaitu Jenis tanaman (Coleus sp.), Kondisi
tanaman, Jumlah lamina, Media tanam, Letak lamina, Konsentrasi AIA.
Terakhir adalah variabel respon, variable respon pada praktikum ini
adalah waktu gugurnya tangkai daun. Hal ini diperoleh dengan cara
mengamati setiap hari dan mencatat gugurnya tangkai-tangkai daun
tersebut,kemudian dilihat perbedaan waktu yang terjadi.

G. Alat dan Bahan


 Alat
1. Pisau/ cutter 1 buah
2. Label Secukupnya

 Bahan
1. pot tanaman Coleus sp. 2 pot
yang kondisinya sama
2. AIA 1 ppm dalam lanolin (4 mL Secukupnya
AIA dicampur 100 gram lanolin)
3. Lanolin Secukupnya

H. Rancangan Percobaan

Dipotong satu Dipotong satu Diolesi bekas


pasang lamina pasang lamina potongan dengan
yang terletak tepat di atas lamina lanolin, dan 1
paling bawah pada paling bawah pada ppm AIA dalam
pot 1. pot 2. lanolin.

Adakah perbedaan Diamati setiap Diberi tanda agar


waktu gugurnya hari dan catat tidak tertukar.
daun pada waktu gugurnya
tangkai-tangkai
percobaan.
daun tersebut.

I. Langkah Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan.
2. Mengambil 2 buah pot tanaman Coleus sp. kemudian melakukan
kegiatan berikut, yaitu:
a. Pot 1: memotong satu pasang lamina yang terletak paling bawah
b. Pot 2: memotong satu pasang lamina yang terletak tepat di atas
lamina paling bawah
2. Mengolesi satu tangkai bekas potongan lamina dengan lanolin dan
tangkainya dengan 1 ppm AIA dalam lanolin.
3. Memberi tanda pada tangkai-tangkai tersebut agar tidak tertukar.
4. Mengamati waktu gugurnya tangkai daun.
5. Mencatat perbedaan waktu gugurnya daun pada dua pot tersebut.

J. Rancangan Tabel pengamatan


Tabel 1. Waktu absisi daun dengan lanolin dan AIA dalam lanolin
tanaman Coleus sp.

Absisi pada hari ke-


Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7

Lanolin
A
AIA dalam Lanolin

Lanolin
B
AIA dalam Lanolin

K. Rencana Analisis Data


-

L. Hasil Analisis Data


Tabel 1. Waktu absisi daun dengan lanolin dan AIA dalam lanolin
tanaman Coleus sp.

Absisi pada hari ke-


Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7

A Lanolin -  - - - - -
AIA dalam Lanolin - -  - - - -

Lanolin - - -  - - -
B
AIA dalam Lanolin - - - -  - -

 Analisis

Berdasarkan tabel hasil pengamatan diatas dapat diketahui bahwa


terdapat pengaruh pemberian hormon AIA terhadap proses absisi pada daun
Coleus sp.
Pada tangkai daun pot 1 yang diolesi lanolin menunjukkan proses absisi
yang lebih cepat yaitu pada hari ke-2, sedangkan tangkai daun yang diolesi
AIA + lanolin menunjukkan proses absisi pada hari ke-3.
Pada tangkai daun pot 2 yang diolesi lanolin menunjukkan proses absisi
lebih cepat dibandingkan dengan yang diolesi AIA + lanolin yaitu pada hari
ke-4, sedangkan pada tangkai daun yang diolesi AIA + lanolin proses absisi
terjadi pada hari ke-5.
Dengan demikian berdasarkarkan data yang diperoleh, dapat diketahui
bahwa ada pengaruh hormon AIA terhadap proses absisi pada daun yaitu
tangkai yang diolesi lanolin lebih cepat mengalami absisi dibandingkan
dengan tangkai yang diolesi lanolin+AIA.

 Pembahasan

Berdasarkan praktikum yang telah kami lakukan, Coleus sp. Yang


diberikan dua perlakuan berbeda, yaitu 1) diolesi lanolin, dan 2) diolesi
campuran 1 ppm AIA dalam lanolin (yang diperoleh dari 4 mL AIA yang
dilarutkan dalam 100 gram lanolin) untuk diketahui kecepatan absisi
daunnya.
Absisi daun merupakan salah satu gejala senesensi (senescence) atau
penuaan yang merupakan proses hormonal yang dikendalikan fitohormon
berupa asam absisat (ABA) dan etilen. Gejala absisi yang diamati dalam
percobaan ini adalah gugurnya tangkai daun yang laminanya telah dipotong
sehingga ujungnya dapat diolesi dengan dua treatment di atas. Absisi adalah
suatu proses secara alami terjadinya pemisahan bagian/organ tanaman dari
tanaman, seperti ; daun, bunga, buah atau batang.Menurut Addicot (1964)
dalam proses absisi ini faktor alami seperti ; dingin, panas, kekeringan, akan
berpengaruh terhadap absisi. Dalam hubungannya dengan hormon tumbuh,
maka mungkin hormon ini akan mendukung atau menghambat proses
tersebut. Di dalam proses absisi (absisi), akan terjadi perubahan-perubahan
metabolisme dalam dinding sel dan perubahan secara kimia dari pektin
dalam midle lamella. Pembentukan lapisan absisi (absisi layer), kadang-
kadang diikuti oleh susunan cell division proximal. Disini sel-sel baru akan
berdiferensiasi ke dalam periderm dan membentuk suatu lapisan pelindung
(Weaver, 1972).
Mengenai hubungan antara absisi dengan zat tumbuh auksin, Addicot
et al (1955) mengemukakan sbb: Absisi akan terjadi apabila jumlah auksin
yang ada di daerah proksimal (proximal region) sama atau lebih dari jumlah
auksin yang terdapat di daerah distal (distal region). Tetapi apabila jumlah
auksin yang berada di daerah distal lebih besar dari daerah proximal, maka
tidak akan terjadi absisi. Dengan kata lain proses absisi ini akan terlambat.
Teori lain (Biggs dan Leopold 1957, 1958) menerangkan bahwa pengaruh
auksin terhadap bscission ditentukan oleh konsentrasi auksin itu sendiri.
Konsentrasi auksin yang tinggi akan menghambat terjadinya absisi,
sedangkan auksin dengan konsentrasi rendah akan mempercepat terjadinya
bscission.Teori terakhir dikemukakan oleh Robinstein dan Leopold (1964)
yang menerangkan bahwa respon absisi pada daun terhadap auksin dapat
dibagi kedalam dua fase jika perlakuan auksin diberikan setelah daun
terlepas. Fase pertama, auksin akan menghambat absisi, dan fase kedua
auksin dengan konsentrasi yang sama akan mendukung terjadinya absisi(J.
Senescence). Menurut Alex Comport (1956) dalam Leopold (1961)
"senescence" adalah suatu penurunan kemampuan tumbuh (viability)
disertai dengan kenaikan vulnerability suatu organisme. Namun di dalam
tanaman, istilah ini diartikan; menurunnya fase pertumbuhan (growth rate)
dan kemampuan tumbuh (vigor) serta diikuti dengan kepekaan
(susceptibility) terhadap tantangan lingkungan, penyakit atau perubahan
fisik lainnya. Ciri dari fenomena ini selalu diikuti dengan kematian
(Weaver, 1972).
Adapun pemotongan lamina pada percobaan ini bertujuan untuk
menghentikan produksi auksin alami, yaitu AIA, yang dihasilkan oleh
pelepasan gugus amino dan gugus karboksil akhir dari rantai triphtofan.
Enzim yang paling aktif diperlukan untuk mengubah tripthofan menjadi
AIA terdapat di jaringan muda seperti meristem pucuk, daun, serta buah
yang sedang tumbuh. Dengan memotong lamina, diasumsikan bahwa
produksi auksin endogen terhenti, sehingga auksin eksogen yang diberikan
dalam campuran lanolin pada treatment ke-dua dapat berpengaruh secara
signifikan dan reliabel terhadap kecepatan absisi daun Coleus sp.
Penggunaan lanolin dalam percobaan ini berguna untuk menutup luka
akibat pemotongan lamina daun sehingga jaringan yang terbuka tidak
diinfeksi oleh bakteri. Lanolin merupakan substansi lilin berwarna kuning
yang disekresikan oleh kelenjar sebaseous dari hewan berbulu wool,
misalnya domba domestik. Pemberian lanolin juga diyakini tetap
memungkinkan jaringan untuk melakukan difusi atau pertukaran udara
(Barnett, 1986). Efek perlindungan dan penutupan luka oleh lanolin dapat
bertahan dalam lima hari berturut-turut dalam area olesan 4 mg/cm-2 yang
mana jangka waktu perlindungan ini sangat memadai untuk proses absisi
daun Coleus sp. yang membutuhkan waktu 4 hari untuk semua treatment
yang diberikan.
Pada pot 1, yang mana lamina yang dipotong adalah lamina dari tangkai
yang terletak paling bawah, tangkai daun yang diolesi lanolin gugur pada
hari pertama sementara tangkai daun yang diolesi campuran AIA dalam
lanolin gugur lebih lambat, yaitu pada hari ke-tiga. Hal yang serupa terjadi
pada pot 2, yang mana lamina yang dipotong adalah lamina dari tangkai
yang terletak nomor dua dari bawah (atau lamina di atas lamina paling
bawah), tangkai daun yang diolesi lanolin gugur pada hari ke-dua sementara
tangkai daun yang diolesi campuran AIA dalam lanolin gugur lebih lambat,
yaitu pada hari ke-empat.
Berdasarkan data dari tabel analisis di atas, hormon AIA berpengaruh
terhadap peristiwa absisi pada daun Coleus sp. yaitu menghambat atau
memperlambat proses absisi. Treatment pertama pada pot 1 maupun pot 2,
yaitu pengolesan lanolin, menghasilkan proses absisi yang lebih cepat
karena tidak ada penghambat bagi aktivitas kerja hormon asam absisat
(ABA) dan etilen. Seperti yang telah disebutkan di atas, kedua hormon
tersebut bertanggung jawab terhadap senesensi, termasuk proses absisi
daun.
ABA yang berperan dalam percobaan ini adalah ABA endogen yang
dihasilkan melalui peruraian karotenoid tertentu (40 karbon) yang ada di
plastid dan diangkut secara mudah melalui xilem atau floem dan juga sel-
sel parenkim di luar berkas pembuluh. ABA endogen lebih efektif
menggugurkan daun dibandingkan ABA eksogen (Salisbury dan Ross,
1995) dengan mekanisme reduksi jumlah klorofil, RNA, protein, dan enzim
sehingga konstituen bahan organik yang dibutuhkan dialihkan ke organ lain.
Akibat kompetisi dan degradasi bahan organik yang dibutuhkan sebagai
senyawa pembangun, yaitu protein dan katalisnya yang berupa enzim,
tangkai daun mengalami deteriorasi dan akhirnya gugur.
Mekanisme pengguguran tangkai daun pada treatment pertama
sebenarnya lebih dipengaruhi oleh etilen ketimbang ABA. Efek etilen dalam
absisi daun lebih dramatis dibandingkan ABA (Salisbury, 1992: 348). Saat
proses absisi berlangsung, maka titik tempat terlepasnya daun merupakan
suatu lapisan absisi yang berlokasi dekat dengan pangkal tangkai daun. Sel
parenkhim berukuran kecil dari lapisan ini mempunyai dinding sel yang
sangat tipis, dan tidak mengandung sel serat di sekeliling jaringan
pembuluhnya. Lapisan absisi selanjutnya melemah, ketika enzimnya
menghidrolisis polisakarida di dalam dinding sel. Akhirnya dengan bantuan
angin, terjadi suatu pemisahan di dalam lapisan absisi. Sebelum daun itu
jatuh, selapisan gabus membentuk suatu berkas pelindung di samping
lapisan absisi dalam ranting tersebut untuk mencegah patogen yang akan
menyerbu bagian tumbuhan yang ditinggalkannya.
Perlakuan ke-dua pada pot 1 dan pot 2, yang pengolesan AIA 1 ppm
dalam lanolin, menghasilkan proses absisi yang lebih lambat karena adanya
AIA yang mempunyai aktivitas yang berlawanan terhadap ABA. Apabila
ABA dan etilen menstimulasi absisi daun, maka auksin menunda atau
memperlambat proses absisi tersebut. Auksin dalam percobaan ini adalah
AIA atau asam indol asetat, yang merupakan auksin alami tetapi diberikan
secara eksogen pada Coleus sp. yang dijadikan subjek penelitian. Pada
konsentrasi rendah, yang mana pada percobaan ini adalah 4 mL AIA 1 ppm
dalam 100 gram lanolin, auksin dapat menghambat pembentukan etilen dan
transpor prekursornya di dalam tubuh tumbuhan. Auksin juga menghambat
pembentukan lapisan absisi, yang mana enzim penghidrolisis polisakarida,
yaitu selulase dan pektinase, mencerna dinding sel pada lapisan ini,
sehingga secara tidak langsung AIA berperan dalam penghambatan proses
absisi daun (Beck,2010)
Berdasarkan uraian di atas, maka data penelitian dari kedua pot, yaitu
pot 1 (lamina paling bawah) dan pot 2 (lamina nomor dua dari bawah),
mendukung teori yang menyatakan bahwa AIA menunda atau
memperlambat proses absisi daun.

M. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah di lakukan dapat di simpulkan
bahwa AIA berpengaruh dalam menunda atau menghambat proses absisi
daun . absisi daun akan terhambat atau tertunda apabila jumlah auksin yang
berada di daerah distal lebih besar dari jumlah auksin di daerah proksimal.

N. Daftar Pustaka
Barnett. (1988). Teaching Reading in a Foreign Language. ERIC Digest.
Beck, Charles. 2010. An Introduction to Plant Struktur and Development.
University of Michigan: Cambrige University Press
Kamoto, Toshihiro., Kotera, Akihiko., dkk. 2003. Application of Wavelet
Analysis to The Multi-Temporal MODIS Data for Detecting Rice
Phenology. Jepang: National Institute for Agro-Environmenal
Sciences.
Kusumo, 1984. Zat Pengatur Tumbuh. CV Yasaguna. Jakarta
Salisbury, B. Frank. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Bandung: ITB Press.
Salisbury, F. B dan C.W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3.
Terjemahan oleh Diah R. Lukman dan Sumaryono, 1995. Penerbit
ITB: Bandung
Taiz, L. and E. Zeiger. 1998. Plant Physiology 2nd ed. Sinauer Associates.
Inc. Publ. Massachucetts
Weaver, R.J., 1972. Plant Growth Substances in Agriculture.

O. Lampiran
Gambar Keterangan

Pengecekkan tanaman Coleus sp A


pada hari ke-2 gugur pada bagian
yang diolesi lanolin.
Gambar Keterangan

Pengecekkan tanaman Coleus sp A


pada hari ke-5 gugur semua pada
kedua bagian

Pengecekkan tanaman Coleus sp B


pada hari ke-5 telah gugur semua
pada kedua bagian

Anda mungkin juga menyukai