Anda di halaman 1dari 26

1

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN


ABSISI DAUN
(Pengaruh AIA Terhadap Proses Absisi Daun
Pada Tumbuhan Miana (Coleus sp.))

Oleh :
Dinda Dwi Pratiwi
Pendidikan Biologi A 2016
16030204036

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2018
2

A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh AIA terhadap proses absisi pada daun tumbuhan Miana
(Coleus sp.)?

B. Tujuan Percobaan
Adapun tujuan pada percobaan ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan pengaruh AIA terhadap proses absisi pada daun
tumbuhan Miana (Coleus sp).

C. Hipotesis
Berdasarkan permasalahan diatas, hipotesis pada percobaan kali ini yang dapat
disimpulkan yaitu :
Ho : Tidak ada pengaruh AIA terhadap proses absisi pada daun tumbuhan
Miana (Coleus sp).
Ha : Ada pengaruh AIA terhadap proses absisi pada daun tumbuhan Miana
(Coleus sp).

D. Kajian Pustaka
1. Morfologi dan klasifikasi Tumbuhan Miana (Coleus sp.)

Gambar 1. Morfologi tumbuhan Miana (Coleus sp.)

Daun miana atau yang biasa disebut dengan tanaman iler menurut
Lisdawati (2008) mempunyai nama ilmiah (Coleus benth). Tanaman ini
tergolong ke dalam famili Lamiaceae, yaitu tumbuhan liar yang terdapat di
ladang atau di kebun-kebun sebagai tanaman hias. Berbatang basah yang
3

tingginya mencapai 1 meter. Daunnya berbentuk segitiga atau bentuk bulat


telur dengan warna yang sangat bervariasi, dari warna hijau hingga merah
keungu-unguan dan mempunyai tepi yang beringgit. Pada saat dewasa atau
tanaman ini mempunyai bunga yang berwarna merah atau ungu atau kuning.
Tumbuhan Miana (Coleus sp.) pada umumnya terbagi atas tanaman obat
yaitu Coleus amboinicus Lour. dan tanaman hias yaitu Coleus blumei warna
ungu atau hijau dan warna merah. Disamping itu, tumbuhan coleus sp. juga
mengandung senyawa flavonoid (Soni dan Singhai, 2012; Khattak et al., 2013),
sebagai antioksidan (Surya et al., 2013). Selain sebagai tanaman obat, coleus
banyak dikenal masyarakat sebagai tanaman hias seperti tanaman pot, tanaman
penutup tanah, dan tanaman pagar (Werdiningsih, 2007; Lestari dan Kencana,
2008). Daya tarik utama coleus terletak pada warna daun yang terang,
keragaman bentuk dan keragaman fenotipik lainnya yang berhubungan dengan
nilai estetika.
Tumbuhan Miana memiliki batang herba, tegak atau berbaring pada
pangkalnya dan merayap tinggi berkisar 30-150 cm, dan termasuk kategori
tumbuhan basah yang batangnya mudah patah. Daun tunggal, helaian daun
berbentuk hati, pangkal membulat atau melekuk menyerupai benuk jantung
dan setiap tepiannya dihiasi oleh lekuk-lekuk tipis yang bersambungan dan
didukung tangkai daun dengan panjang tangkai 3-4 cm yang memiliki warna
beraneka ragam dan ujung meruncing dan tulang daun menyirip berupa alur.
Batang bersegi empat dengan alur yang agak dalam pada masing-masing
sisinya, berambut, percabangan banyak, berwarna ungu kemerahan.
Permukaan daun agak mengkilap dan berambut halus panjang dengan panjang
7-11 cm, lebar 3-6 cm berwarna ungu kecoklatan sampai ungu kehitaman.
Bunga berbentuk untaian bunga bersusun, muncul pada pucuk tangkai batang
berwarna putih, merah dan ungu.
Tumbuhan Miana memiliki aroma bau yang khas dan rasa yang agak
pahit, sifatnya dingin. Buah keras berbentuk seperti telur dan licin. Jika seluruh
bagian diremas akan mengeluarkan bau yang harum. kandungan kimia sebagai
berikut: daun dan batang mengandung minyak atsiri, fenol, tannin, lemak,
phytosterol, kalsium oksalat, dan peptik substances. Komposisi kandungan
4

kimia yang bermanfaat antara lain juga alkaloid, etil salisilat, metal eugenol,
timol karvakrol, mineral (Dalimartha, 2008). Untuk memperbanyak tumbuhan
ini dilakukan dengan cara setek batang dan biji (Yuniarti, 2008).
Dari sistem sistematika (taksonomi), tumbuhan Miana dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Dicotylendonae
Ordo : Solanales
Family : Lamiaceae
Genus : Coleus
Speies : Coleus atropurpureus Benth.

Tumbuhan ini dikenal masyarakat Indonesia dengan nama daerah yaitu:


si gresing (batak), adang-adang (Palembang), miana, plado (sumbar), jawer
kotok (sunda), iler, kentangan (jawa), ati-ati, saru-saru (bugis), majana
(Madura) (Dalimartha, 2008).

2. Senesensi
Senesensi adalah proses penuaan pada organ tumbuhan yang menuju ke
arah kematian. Senesensi adalah proses hormonal yang dikendalikan oleh zat
pengatur tumbuhan (ZPT), yaitu asam absisat (abscissic acid atau ABA) dan
etilen. Keberadaan dua hormone ini dalam suatu tanaman memicu terjadinya
senesensi yang dapat salah satunya diindikasikan oleh proses pengguguran
daun atau absisi daun. Daun yang rontok pada musim gugur, matinya
tumbuhan annual (tumbuhan 1 tahun) setelah berbunga, dan juga matinya
jaringan xilem setelah mengalami kematangan merupakan contoh senesensi.
Ciri-ciri terjadinya Senesensi dapat ditemukan pada morfologi dan
perubahan di dalam organ atau seluruh tubuh tanaman. Keadaan seperti ini
diikuti oleh meningkatnya abscission serta daun dan buah berguguran dari
batang pokok. Begitu pula pertumbuhan dan pigmentasi warna hijau berubah
menjadi warna kuning, yang akhirnya buah dan daun terlepas dari batang
pokok.
5

Adanya peningkatan kandungan IAA pada tumbuhan kemungkinan


disertai dengan peningkatan kandungan sitokinin sehingga interaksi kedua
hormon tersebut mampu memperlambat terjadinya senesensi. Hormon
tumbuhan mempunyai peran utama dalam meregulasi proses senesensi. Arteca
(1996) menyatakan bahwa sitokinin, auksin dan giberelin umumnya terlibat
dalam proses regulasi senesensi. Meskipun tidak banyak dilaporkan mampu
menunda senesensi seperti halnya sitokinin.
Menurut Ateca (1996) dalam Andriawan (2010) bahwa pemberian pupuk
hayati terbukti mampu memperlambat senesensi daun dan meningkatkan
kandungan hormon auksin dan sitokinin, dimana aktivitas keduanya mampu
menunda proses regulasi yang menyebabkan terjadinya senesensi pada daun.
Berkurangnya jumlah daun yang mengalami senesensi menyebabkan total luas
daun yang aktif melakukan fotosintesis menjadi lebih besar sehingga
berpengaruh terhadap peningkatan produksi tanaman.
Selama proses penuaan, pada tingkat sel terjadi penyusutan struktur dan
rusaknya membran seluler. Tipe-tipe penuaan (Senesensi) yang dijumpai
dalam tumbuhan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Senesensi yang meliputi keseluruhan tubuh tanaman (overall Senesence).
Akar dan bagian tanaman di atas tanah mati semua Tanaman mati sesudah
menyelesaikan semua. satu siklus kehidupannya.
b. Senesensi yang meliputi hanya bagian tanaman di atas tanah (top
Senesence).Bagian tanaman di atas tanah mati, sedangkan bagian tanaman
yang berada di dalam tanah tetap hidup
c. Senesensi yang meliputi hanya daun–daunnya (Deciduous Senesence).
Tanaman menggugurkan semua daun-daunnya, sementara organ tanaman
lain tetap hidup. Contohnya seperti pohon jati dan ketapang pada musim
kemarau.
d. Senesensi yang meliputi hanya daun-daun yang terdapat di bagian bawah
suatu tanaman (Progessive Senesence).Tanaman hanya menggugurkan
daun-daunnya yang terdapat di bagian bawah saja (daun–daun yang tua),
sedangkan daun-daun yang lebih atas dan organ tanaman lain tetap hidup.
6

3. Faktor Terjadinya Senesensi


a. Aspek Metabolik Penuaan
Pada tahap sel, penuaan berjalan dengan terjadinya penyusutan
struktur dan rusaknya membrane subseluler. Di duga bahwa vakuola
bertindak sebagai lisosom, mengeluarkan enzim-enzim hidrolitik yang
akan mencerna materi sel yang tidak diperlukan lagi. Penghancuran
tonoplas telah menyebabkan enzim-enzim hidrolitik dibebaskan kedalam
sitoplasma. Sementara itu bagian dalam struktur kloroplas dan mitokondria
mengalami penyusutan sebelum membran luarnya dirusak. Rupanya proses
degradasi yang terjadi pada organel, dimulainya sama seperti yang terjadi
pada sel.
Perubahan yang jelas telah terjadi pada metabolisme dan kandungan
dalam organ yang mengalami penuaan. Telah terjadi pengurangan DNA,
RNA, protein, ion-ion anorganik dan berbagai macam nutrient organic.
Fotosintesis berkurang sebelum senesen dimulai dan ini mungkin
disebabkan menurunnya permintaan akan hasil fotosintesis. Segera setelah
itu klimakterik dalam respirasi terlihat, dan nitrogen terlarut meningkat
sebagai akibat dirombaknya protein.
b. Pengaruh hormon
Sitokinin dapat menghilangkan atau memperlambat proses penuaan.
Mekanisme kerja sitokinin dalam proses ini masih belum jelas, tetapi ada
petunjuk dari percobaan Mothes yang menunjukkan bahwa setetes
sitokinin yang diberikan pada daun, telah menyebabkan terjadinya
mobilisasi nutrien organik dan anorganik menuju ke daerah sekitar daun
yang diberi sitokinin. Tapi masih belum jelas, apakah peningkatan nutrisi
sebagai penyebab langsung permudaan kembali (rejuvenation) atau
sitokinin penyebab terjadinya beberapa peristiwa yang menghasilkan
permudaan kembali dan mobilisasi nutrisi.
Tidak semua tumbuhan memberikan respon terhadap hormon yang
sama. Sitokinin lebih efektif dalam menahan penuaan pada tumbuhan
basah, sedangkan giberelin lebih efektif menahan senesen pada Taraxacum
officinale dan Fraxinus. Kadar giberelin endogen akan turun dengan cepat
7

selama senesen pada daun. Auksin (IAA dan 2,4-D) dapat menghalangi
senesen pada tumbuhan tertentu. Etilen adalah hormon yang secara jelas
merangsang kuat senesen pada banyak jaringan.
Beberapa faktor luar dapat menghambat atau mempercepat terjadinya
senescence, misalnya :
1) Penaikan suhu, keadaan gelap, kekurangan air dapat mempercepat
terjadinya senescence daun.
2) Penghapusan bunga atau buah akan menghambat senescence
tumbuhan.
3) Pengurangan unsur-unsur hara dalam tanah, air, penaikan suhu,
berakibat menekan pertumbuhan tanaman yang berarti mempercepat
senescence.
Proses penuaan daun dimulai pada tanaman umur 44 hari yang ditandai
dengan menurunnya kandungan klorofil. Pada umur ini diduga terjadi
perubahan warna daun dari umur daun muda dengan warna lebih terang ke
warna daun yang lebih tua (lebih hijau).
4. Absisi Daun
Absisi adalah suatu proses yang terjadi secara alami yaitu pemisahan
bagian atau organ tanaman, seperti daun, bunga, buah atau batang.Secara
etimologis, absisi berasal dari ab yang artinya “jauh” dan scindere yang artinya
“memotong”. Proses absisi ini mengacu pada gugurnya satu atau lebih bagian
organ tanaman, seperti daun, buah, bunga, atau biji. Tumbuhan akan
mengalami absisi pada organ yang tidak lagi dibutuhkan untuk membantunya
bertahan hidup secara efektif sekaligus meningkatkan produktivitas (Salisbury,
1992), misalnya absisi daun saat musim gugur, absisi bunga untuk kepentingan
polinasi ataupun absisi buah untuk pemencaran biji. Faktor alami yang terjadi
dalam proses absisi yaitu panas, dingin, kekeringan dimana faktor-faktor
tersebut akan berpengaruh terhadap absisi.
Absisi daun pada Coleus sp. dipengaruhi oleh aktivitas hormon yang
berperan dalam senesensi tumbuhan yaitu Asam absisat dan etilen. Berlawanan
dengan etilen dan ABA, tumbuhan juga memiliki hormon pertumbuhan yang
berpengaruh dalam merangsang atau memperhambat pertumbuhan yaitu
8

auksin. ABA endogen lebih efektif menggugurkan daun dibandingkan ABA


eksogen (Milborrow dalam Salisbury dan Ross, 1992:347) dengan mekanisme
reduksi jumlah klorofil, RNA, protein, dan enzim sehingga konstituen bahan
organik yang dibutuhkan dialihkan ke organ lain. Akibat kompetisi dan
degradasi bahan organik yang dibutuhkan sebagai senyawa pembangun, yaitu
protein dan katalisnya yang berupa enzim, tangkai daun mengalami deteriorasi
dan akhirnya gugur.
Salah satu bagian tanaman yang mengalami penuaan adalah daun. Bagian
daun memiliki umur terbatas, daun yang tua akan berubah warna lagi menjadi
kekuning-kuningan dan akhirnya merah kecoklatan, lalu daun akan gugur.
Gugur daun, bunga dan buah melibatkan interaksi antara auksin, etilen,
sitokinin, dan asam absisat. Walaupun demikian, pemacuan pertumbuhan,
tahap awal pertumbuhan akar liar, dan banyak efek auksin lainnya tampaknya
tak bergantung pada produksi etilen. Hanya pada beberapa bagian tumbuhan
tertentu, dan hanya bila konsentrasi auksin cukup tinggi, maka produksi etilen
berperan cukup besar pada efek tertentu auksin (Salisbury, Frank B dan Ross,
Cleon W, 1995).
Proses menggugurkan daun akan diikuti oleh perubahan warna daun.
Warna daun yang gugur akan berbeda dengan daun yang masih segar (kondisi
optimal). Kondisi yang terjadi pada saat pengguguran daun adalah ketersediaan
air tanah yang berada pada level rendah (Anonim b, 2011). Penguapan air yang
terjadi tidak seimbang dengan kemampuan penyerapan air oleh akar.
Pengguguran daun dilakukan tanaman sebagai adaptasi untuk mencegah
kehilangan air yang berlebih dan membantu daur ulang zat-zat makanan.
Kondisi tersebut dapat diamati pada musim kemarau pada jenis tanaman
tertentu. Ketersediaan air penting dalam proses fotosintesis, dengan
berkurangnya air maka fotosintesis akan terhambat, sehingga yang terjadi
adalah air terus menguap dan klorofil berkurang. Akibatnya warna daun
berubah menjadi kuning, kecoklatan dan akhirnya gugur.
Dalam tubuh tumbuhan, auksin terdapat dalam berntuk AIA atau asam
indol asetat yang terdiri atas cincin benzena aromatis dan gugus karboksil (-
9

COOH) (Salisbury, 1992). Mekanisme struktural terjadinya absisi adalah


sebagai berikut :
a. Kekurangan Klorofil
Reduksi jumlah klorofil pada daun akibat paparan sinar matahari
menyebabkan daun menguning. Berkurangnya jumlah pigmen hijau daun
turut memegang peran dalam proses absisi
b. Mekanisme Kimiawi
Tumbuhan menghasilkan beberapa oksigen reaktif, misalnya
hydrogen peroksida (H2O2), akibat tekanan biotik dan abiotik, termasuk
sinar UV, temperatur rendah, pathogen, parasit, ataupun salinitas yang
tinggi. Produksi hidroksil radikal ini akan menyebabkan gangguan
homeostasis pada metabolism seluler dan perusakan dinding sel
(Sakamoto, 2008).
c. Pengaruh Hormon
Auksin sebagai hormon tumbuh (disebut juga AIA atau asam indol
asetat) dan etilen berpengaruh terhadap regulasi sinyal absisi. Dua senyawa
ini bekerja dalam mekanisme yang sinergis. Saat AIA menurun, fluks AIA
yang menuju zona absisi berkurang. Berkurangnya suplai AIA ini
menyebabkan zona absisi menjadi sensitif terhadap etilen.
Saat tumbuhan terkonsentrasi pada hormon etilen, gen
mengekspresikan enzim selulose dan poligalakturonase yang berfungsi
mendegradasi dinding sel. Enzim yang mengaktifkan etilen ini ditemukan
berada dalam area promoter (Sakamoto, 2008). Hormon asam absisat yang
diyakini menstimulasi absisi terbukti tidak memegang peranan dominan
dalam proses ini
Mengenai hubungan antara absisi dengan zat tumbuh auksin, Addicot
Etall, 1955:65 mengemukakan bahwa absisi akan terjadi apabila jumlah
auksin yang ada di daerah proksimal sama atau lebih dari jumlah auksin
yang terdapat didaerah distal. Tetapi apabila junlah auksin berada di daerah
distal lebih besar dari daerah proksimal maka tidak akan terjadi absisi.
Dengan kata lain proses absisi ini akan terlambat. Teori lain (Biggs dan
Leopold 1957, 1958) menerangkan bahwa pengaruh auxin terhadap absisi
10

ditentukan oleh konsentrasi auxin itu sendiri. Konsentrasi auxin yang tinggi
akan menghambat terjadinya absisi, sedangkan auxin dengan konsentrasi
rendah akan mempercepat terjadinya absisi.
Teori terakhir ditentukan oleh Robinstein dan Leopold (1964) yang
menerangkan bahwa respon absisi pada daun terhadap auksin dapat dibagi
ke dalam dua fase jika perlakuan auksin diberikan setelah auksin terlepas.
Fase pertama, auksin akan menghambat absisi dan fase kedua auksin
dengan konsentrasi yang sama akan mendukung terjadinya absisi. Menurut
Alex Comport (1956) dalam Leopold (1961) "Senesensi" adalah suatu
penurunan kemampuan tumbuh (viability) disertai dengan kenaikan
vulnerability suatu organisme. Namun di dalam tanaman, istilah ini
diartikan; menurunnya fase pertumbuhan (growth rate) dan kemampuan
tumbuh (vigor) serta diikuti dengan kepekaan (susceptibility) terhadap
tantangan lingkungan, penyakit atau perubahan fisik lainnya.
5. Daerah Absisi

Daerah absisi (abscission zone) merupakan daerah antara dua organ yang
terisi dengan jaringan khusus yang berfungsi unutk memisahkan kedua organ
tersebut. Daerah semacam ini antara lain terdapat pada pangkal tangkai daun
dan pangkal gagang bunga sehingga bila tiba waktunya daun dan bunga mudah
rontok. Tempat lepasnya daun pada tumbuhan biasanya terjadi pada bagian
pangkal daunya, karena pada bagian ini terdapat suatu lekukan dan juga
terdapat lapisan sel-sel khusus yang memang sudah disiapkan untuk proses
penguguran daun. Sel sel tersebut sering disebut sebagai zona absisi. Pektinase
dan selulase dirangsang pembentukannya pada sel-sel di daerah absisi, dan
akan melarutkan lamela tengah dinding yang melintang tadi, sehingga tangkai
11

daun lepas. Setelah daun rontok, daerah absisi membentuk parut luka pada
batang. Sel-sel yang mati menutupi parut untuk membantu melindungi
tumbuhan terhadap patogen.
Daerah absisi terdiri atas lapisan pemisah dan lapisan pelindung. Pada
lapisan pemisah tersebut terjadi pelepasan daun yang sebenarnya. Pada daerah
ini merupakan bagian terlemah dari tangkai daun. Setelah daun menjadi
dewasa, maka daerah absisi menjadin nyata dan terjadi lekukan dangkal di luar
dan di daerah absisi ini terjadi perubahan warna epidermis. Diameter berkas
vaskuler di daerah absisi mengalami pereduksian. Kolenkim tidak ada dan
sklerenkim menjadi lemah atau tidak ada sama sekali. Sel-sel parenkim absisi
mempunyai sitoplasma yang lebih padat
Auksin mencegah absisi dan tetap mempertahankan proses metabolisme
daun, tetapi dengan bertambahnya umur daun jumlah etilen yang dihasilkan
juga akan meningkat. Sementara itu, sel-sel yang mulai menghasilkan etilen
akan mendorong pembentukan lapisan absisi. Selanjutnya etilen merangsang
lapisan absisi terpisah dengan memacu sintesis enzim yang merusak dinding-
dinding sel pada lapisan absisi. Selama konsentrasi auksin yang lebih tinggi
dipertahankan di helai daun, pengguguran dapat ditunda namun penuaan
menyebabkan penurunan tingkat auksin pada organ tersebut dan konsentrasi
etilen mulai meningkat.

Daun yang terletak paling bawah dari suatu tanaman atau daun paling tua
akan segera gugur. Hal ini disebabkan karena daun paling tua berada paling
bawah, dimana cahaya matahari tidak dapat mengenai seluruh permukaan daun
karena terhalang oleh daun di atasnya. Akibatnya, daun paling tua tidak dapat
12

melakukan fotosintesis dengan baik, dan selanjutnya akan segera gugur.


Sebelum gugur, daun paling tua segera mengirimkan semua unsur hara yang
dimiliki ke daun di atasnya atau terjadi transfer unsur hara. Hal ini juga akan
dilakukan oleh daun-daun berikutnya setelah tua dan sebelum gugur
(Sakamoto, 2008).
Gugurnya daun dipacu juga oleh faktor lingkungan, termasuk panjang hari
yang pendek pada musim gugur dan suhu yang rendah. Rangsangan dari faktor
lingkungan ini menyebabkan perubahan keseimbangan antara etilen dan
auksin. Gugur daun pada musim gugur merupakan adaptasi tumbuhan untuk
mencegah kehilangan air melalui penguapan pada musim salju karena pada
saat itu akar tidak mampu menyerap air pada tanah yang membeku. Bagi
tumbuhan, gugurnya daun ini berguna untuk membuang organ yang tidak
berguna yang mungkin sebagai sumber infeksi yang potensial dan pada
beberapa spesies untuk memberi tempat bagi daun baru yang akan tumbuh
pada musim berikutnya (Vidy, 2009:20).
6. Sintesis dan Inaktivasi
Absisi disintesis melalui asam mevalonat pada jalur sintesis asopren.
Kebanyakan sintesis absisi berlangsung di daun dan buah xantoksin yang
berperan seperti absisi. Absisi dapat di non-aktifkan dengan cara diikatkan
pada glukosa atau diubah menjadi asam faseat dan senyawa serupa.
Pada dasarnya absisi berperan sebagai penghambat pertumbuhan dan
gugurnya daun dan buah. Juga memicu terjadinya dormansi pada tumbuhan.
Absisi mudah ditransport ke semua jaringan. Efek hambatan absisi terhadap
perkecambahan merupakan antagonis giberelin. Diduga absisi berperan
menghambat sintesis protein, melalui aktivitas enzim ribonuklease yang
memecah RNA. Jika RNA berkurang karena diuraikan oleh rebonuklease,
sintesis protein akan terhambat.
Absisi berperan pada menutupnya stomata, terbukti dari fakta bahawa
tumbuhan yang kurang air akan membentuk absisi dan stomata menutup.
Analisis terhadap meristem dorman menunjukkan kadar absisi dan kadar
giberelin rendah, sebaliknya bila kuncup yang sedang tumbuh kembali setelah
13

dorman akan menunjukkan kenaikan kadar giberelin dan penurunan kadar


absisidicot.
7. Hormon Auksin
Hormon nabati yang paling dulu dikenal dan paling banyak diteliti
termasuk ke dalam kelompok auksin. Auksin adalah merupakan salah satu dari
zat pengatur tumbuh yang didefinisikan sebagai senyawa yang dicirikan oleh
kemampuannya dalam mendukung terjadinya perpanjangan sel (cell
elongation) pada pucuk dengan struktur kimia dicirikan oleh adanya indole ring
(Abidin, 1983).
Auksin adalah salah satu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses
pertumbuhan dan perkembangan (growth and development) suatu
tanaman. Kata Auksin berasal dari bahasa Yunani auxein yang berarti
meningkatkan. Sebutan ini digunakan oleh Frits Went (1962) untuk senyawa
yang belum dapat dicirikan tetapi diduga sebagai penyebab terjadinya
pembengkokan koleoptil kearah cahaya (Yox, 2008).
Auksin bukan hanya terbentuk pada pucuk yang sedang tumbuh tetapi juga
pada daerah lain termasuk beberapa yang terlibat pada tahap reproduksi,
misalnya serbuk sari, buah, dan biji. Salah satu gejala yang terkenal yang
diperantarai, setidak-tidaknya sebagian oleh auksin ialah dormansi ujung.
Akar lateral seperti halnya kuncup lateral juga dipengaruhi oleh auksin dan
pemakaian zat-zat ini dari luar sangat mendorong pembentukan akar lateral.
Penggunaan praktis yang sangat penting gejala ini adalah dalam menggalakkan
pembentukan akar pada perbanyakan tanaman dengan setek. Salah satu hasil
utama penyerbukan bunga adalah peningkatan kandungan auksin dalam bakal
buah. Pemberian auksin sintetik telah lama dikenal untuk mendorong proses
yang sama tanpa penyerbukan dan menghasilkan buah tanpa biji (Loveless,
1991).
Pengaruh auksin terhadap berbagai aspek perkembangan tumbuhan
(Heddy, 1989), yaitu:
a. Pemanjangan Sel
IAA atau auksin lain merangsang pemanjangan sel, dan juga akan berakibat
pada pemanjangan koleoptil dan batang. Distribusi IAA yang tidak merata
14

dalam batang dan akar menimbulkan pembesaran sel yang tidak sama
disertai dengan pembengkokan organ. Sel-sel meristem dalam kultur kalus
dan kultur organ juga tumbuh berkat pengaruh IAA. Auksin pada
umumnya menghambat pemanjangan sel-sel jaringan akar.
b. Tunas ketiak
IAA yang dibentuk pada meristem apikal dan ditranspor ke bawah
menghambat perkembangan tunas ketiak (lateral). Jika meristem apikal
dipotong, tunas lateral akan berkembang.
c. Absisi daun
Daun akan terpisah dari batang jika sel-sel pada daerah absisi mengalami
perubahan kimia dan fisik. Proses absisi dikontrol oleh konsentrasi IAA
dalam sel-sel sekitar atau pada daerah absisi.
d. Aktivitas Kambium
Auksin merangsang pembelahan sel dalam daerah kambium.
e. Tumbuh akar
Dalam akar, pengaruh IAA biasanya mengahambat pemanjangan sel,
kecuali pada konsentrasi yang sangat rendah.

Di dalam jaringan yang tumbuh aktif terdapat dua macam auksin, yaitu
auksin bebas yang dapat berdifusi, dan auksin terikat yang tak dapat berdifusi.
Dengan pelarut seperti eter dapat dipisahkan kedua macam auksin tersebut.
Auksin yang terikat merupakan pusat dari kegiatan hormon di dalam sel,
sedangkan auksin bebas adalah kelebihan di dalam keseimbangannya. Maka
auksin yang terikat adalah zat yang aktif di dalam proses pertumbuhan
(Kusumo, 1984). Hasil penelitian terhadap metabolisme auksin menunjukkan
bahwa konsentrasi auksin di dalam tanaman berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi
IAA (Abidin, 1983) adalah :

a. Sintesis auksin.
b. Pemecahan auksin.
c. Inaktifnya IAA sebagai akibat proses pemecahan molekul.
15

E. Variabel Penelitian
Adapun variabel penelitian pada percobaan ini adalah :
1. Variabel manipulasi : Letak pemotongan lamina, pemberian lanolin dan
pemberian lanonin + AIA.
2. Variabel kontrol : Jenis dan jumlah tumbuhan, kondisi tumbuhan, media
tanam, waktu pemotongan lamina, dan konsentrasi
IAA.
3. Variabel respon : Kecepatan gugurnya tangkai daun tumbuhan Miana.

F. Definisi Operasional Variabel


1. Variabel manipulasi merupakan variabel yang sengaja dimanipulasi dalam
suatu kondisi tertentu yang berpengaruh pada perubahan variabel yang lain
yakni variabel respon. Variabel manipulasi pada percobaan ini adalah letak
pemotongan lamina, pemberian lanolin dan pemberian lanonin + AIA. Pada
percobaan ini, letak pemotongan lamina dapat dilakukan dengan dua perlakuan
yang berbeda yaitu pada satu pasang lamina paling bawah dan tepat di atas
lamina yang paling bawah yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh letak
pasang lamina yang mengalami gugur terlebih dahulu. Adapun pemberian
olesan lanolin dan pemberian olesan lanolin + AIA pada bekas potongan
lamina pada tumbuhan Miana yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh
perlakuan yang berbeda dalam pemberian lanonin dan lanolin + AIA pada
tumbuhan Miana.
2. Variabel kontrol merupakan variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan
sehingga pengaruh variabel terhadap variabel yang diamati tidak dipengaruhi
oleh faktor luar yang tidak diteliti. Variabel kontrol dalam percobaan ini adalah
jenis dan jumlah tumbuhan, kondisi tumbuhan, media tanam, waktu
pemotongan lamina, dan konsentrasi IAA. Pada jenis dan jumlah tumbuhan
yang digunakan dalam percobaan ini adalah Tumbuhan Miana (Coleus sp)
sebanyak 2 buah pot. Untuk kondisi tumbuhan yang digunakan sama, dengan
memperhatikan jumlah lamina dan tinggi tumbuhan. Media tanam yang
digunakan adalah pot untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan Miana.
Pemotongan lamina dilakukan pada waktu yang sama yaitu pada hari senin, 20
16

April 2018. Hal ini bertujuan agar waktu tidak mempengaruhi hasil percobaan.
Dan konsentrasi IAA yang digunakan sebanyak 1 ppm.
3. Variabel respon merupakan variabel yang berubah sebagai hasil akibat dari
perubahan variabel manipulasi. Variabel respon pada percobaan ini adalah
kecepatan gugurnya tangkai daun pada tumbuhan Miana setelah perlakuan
pemberian lanolin dan lanolin + IAA. Kecepatan dapat dilihat dari waktu
dengan dilakukan pengamatan tiap hari dan pencatatan waktu terjadi gugurnya
tangkai daun.

G. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Pot 2 buah
b. Pisau 1 buah
c. Kertas Label Secukupnya
2. Bahan
a. Tumbuhan Miana (Coleus sp)
dalam kondisi yang sama 2 buah
b. Lanolin Secukupnya
c. 4 ml AIA 1 ppm dalam 100 gram lanolin Secukupnya
17

H. Rancangan Percobaan

Mengambil dua buah pot tumbuhan Coleus sp.

Memotong satu pasang lamina yang terletak paling bawah pada pot 1dan dan lamina
yang terletak tepat di atas lamina paling bawah pada pot 2.

Mengolesi bekas potongan tersebut, yang satu dengan lanolin, sedang yang lain
dengan 1 ppm AIA dalam lanolin dan memberi tanda agar tidak tertukar

Mengamati tiap hari dan mencatat waktu gugurnya tangkai-tangkai daun


tersebut
18

I. Langkah Kerja

Mengambil dua buah tumbuhan Miana (Coleus sp)

Pot 1 Pot 2

Memotong satu Memotong satu pasang


pasang lamina yang lamina yang terletak
terletak paling bawah tepat diatas lamina yang
paling bawah

Mengolesi bekas potongan tersebut, yang satu dengan lanolin,


sedang yang lain dengan 1 ppm AIA dalam lanolin.

Memberi tanda agar tidak tertukar

Mengamati tiap hari dan mencatat waktu gugurnya tangkai-


tangkai daun tersebut

Membandingkan perbedaan waktu gugurnya daun tanaman


Coleus sp.
19

J. Rancangan Tabel Pengamatan


Berdasarkan hasil pengamatan pada percobaan yang telah dilakukan tentang
pengaruh AIA terhadap proses absisi pada daun tumbuhan Miana (Coleus sp),
maka diperoleh data yang dapat disajikan dalam bentuk sebagai berikut :
1. Tabel
Tabel 1. Pengaruh AIA terhadap absisi daun pada tumbuhan Miana (Coleus sp)
Tumbuhan Coleus sp. Hari ke-
ke-

1 2 3 4 5 6 7

Coleus sp. 1 I - √ - - - - -
(Duduk daun 1)
II - - √ - - - -

Coleus sp. 2 I - - - - √ - -
(Duduk daun 2)
II - - - - - - √

2. Histogram
8

6
Hari ke-

4 Tangkai daun 1
Tangkai daun 2
3

0
Coleus sp. 1 Coleus sp. 2
Tumbuhan Coleus sp.

Gambar 1. Histogram pengaruh AIA terhadap absisi daun pada tumbuhan


Miana (Coleus sp.)
20

K. Rencana Analisis Data


Berdasarkan data hasil percobaan yang telah dilakukan tentang pengaruh AIA
terhadap absisi daun pada tumbuhan Miana (Coleus sp.) dengan menggunakan dua
pot tumbuhan Coleus sp. dalam kondisi sama baik tinggi dan jumlah daunnya,
sehingga dapat diketahui bahwa pada tumbuhan tersebut mengalami perbedaan
waktu absisi daun yang diberi perlakuan yang berbeda. Indikasi proses absisi daun
ini ditandai dengan gugurnya tangkai daun yang laminanya telah dipatahkan
sehingga ujungnya dapat diolesi dengan larutan sesuai perlakuan, terhitung sejak
waktu dimana tangkai tersebut diberi dua perlakuan yang berbeda. Perlakuan
tersebut diantaranya yaitu pemberian lanolin dan pemberian campuran lanolin +
AIA.
Pada pot 1, satu pasang lamina yang terletak paling bawah yang telah
dipotong kemudian diolesi lanolin menyebabkan daun gugur dalam waktu yang
lebih cepat yaitu pada hari ke-2 setelah pengolesan. Sedangkan yang diolesi
dengan AIA dalam lanolin menyebabkan daun gugur dalam waktu yang lebih
lambat yaitu pada hari ke-3.
Pada pot 2, satu pasang lamina yang terletak tepat diatas lamina yang paling
bawah yang telah dipotong kemudian diolesi lanolin menyebabkan daun gugur
dalam waktu yang lebih cepat yaitu pada hari ke-5 setelah pengolesan. Sedangkan
pada lamina yang diolesi dengan AIA dalam lanolin menyebabkan daun gugur
dalam waktu yang lebih lambat yaitu pada hari ke-7.
Dari analisis data diatas dapat diketahui perbedaan waktu absisi daun tersebut
dari kedua pot menunjukkan bahwa lamina yang diolesi campuran AIA dalam
lanolin gugur dalam waktu yang lebih lambat daripada lamina yang hanya diolesi
lanolin. Perbandingan antara lamina paling bawah dan lamina nomor 2 dari bawah
menunjukkan bahwa lamina paling bawah mengalami pengguguran daun yang
lebih cepat daripada lamina nomor dua dari bawah. Hal ini menunjukkan semakin
tua daun, maka semakin cepat terjadi proses absisi daun. Apabila kedua pot
dibandingkan, maka pot 1 mengalami pengguguran daun yang lebih cepat dari pot
2.
21

L. Diskusi
Adakah perbedaan waktu gugurnya daun pada percobaan saudara? Jelaskan
pendapat saudara disertai dengan teori yang mendukung.
Jawaban :
Pada percobaan yang telah kami lakukan, dapat diketahui terdapat perbedaan
waktu gugurnya daun dengan menggunakan dua buah pot tumbuhan Miana
(Coleus sp.) dan diberikan perlakuan yang berbeda yaitu pemberian lanolin dan
pemberian AIA dan lanolin. Pada tangkai daun yang diolesi dengan lanolin waktu
gugurnya lebih cepat daripada tangkai daun yang diolesi dengan lanolin + AIA.
Hal ini disebabkan karena bagian pangkal tangkai daun yang diolesi dengan lanolin
akan membentuk daerah absisi (Milborrow dalam Salisbury dan Ross, 1992:347).
Daerah ini merupakan bagian yang terlemah dan diameter berkas pengangkut lebih
kecil dari bagian lain, tidak mengandung kolenkim maupun sklerenkim (sebagai
jaringan penguat) sehingga lamela tengahnya larut yang mengakibatkan tangkai
daun dapat putus atau gugur.
Putus atau gugurnya tangkai daun pada daerah absisi yang tidak mengalami
penebalan oleh lignin, suberin, dan selulosa serta dipicu oleh angin atau karena
berat dari jaringan itu sendiri. Selain itu, disebabkan karena lanolin merupakan
salah satu campuran zat yang sifatnya sama dengan ABA dan etilen yaitu
mempercepat penuaan prematur pada sel organ yang akan gugur, termasuk daun.
Pada tangkai daun yang diolesi dengan lanolin + AIA waktu gugurnya tangkai
daun lebih lama daripada tangkai daun yang diolesi dengan lanolin saja karena
AIA atau auksin menghalangi induksi ABA.
Hal ini dapat diindikasikan bahwa hormon AIA menghambat proses
pengguguran tangkai daun. Selain hormon yang berpengaruh pada proses
pengguguran daun, letak atau posisi daun juga berpengaruh yaitu tangkai daun
yang terletak paling bawah atau daun paling tua gugur lebih dahulu daripada
tangkai daun yang letaknya di atas daun terbawah atau ke-2 dari bawah. Hal ini
disebabkan karena daun paling tua berada paling bawah, dimana cahaya matahari
tidak dapat mengenai seluruh permukaan daun karena terhalang oleh daun di
atasnya. Akibatnya, daun paling tua tidak dapat melakukan fotosintesis dengan
baik, dan selanjutnya akan segera gugur (Sakamoto, 2008). Sehingga absisi daun
22

pada Coleus sp. Ini dipengaruhi oleh aktivitas hormon yang berperan dalam
senesensi tumbuhan yaitu Asam absisat dan etilen.

M. Hasil Analisis Data


Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan dalam tabel dan grafik diatas,
dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan waktu terjadinya pengguguran tangkai
daun atau peristiwa absisi pada tumbuhan Miana (Coleus sp). Peristiwa tersebut
terjadi karena adanya perlakuan yang berbeda antara lain yaitu dalam pemberian
lanolin dan IAA + lanolin pada lamina yang telah dipotong pada masing-masing
pot. Pemotongan Lamina Coleus sp. bertujuan untuk menghentikan produksi
auksin alami, yaitu AIA yang dihasilkan oleh pelepasan gugus amino dan gugus
karboksil akhir dari rantai triphtofan. Enzim yang paling aktif diperlukan untuk
mengubah tripthofan menjadi AIA terdapat di jaringan muda seperti meristem
pucuk, daun, serta buah yang sedang tumbuh. Dengan memotong lamina,
diasumsikan bahwa produksi auksin endogen terhenti, sehingga auksin eksogen
yang diberikan dalam campuran lanolin pada perlakuan ke-dua dapat berpengaruh
secara signifikan dan reliabel terhadap kecepatan absisi daun Coleus sp.
Penggunaan lanolin dalam eksperimen ini berguna untuk menutup luka akibat
pemotongan lamina daun sehingga jaringan yang terbuka tidak diinfeksi oleh
bakteri. Lanolin merupakan substansi lilin berwarna kuning yang disekresikan oleh
kelenjar sebaseous dari hewan berbulu wool, misalnya domba domestik.
Pemberian lanolin juga diyakini tetap memungkinkan jaringan untuk melakukan
difusi atau pertukaran udara (Barnett, 1986). Efek perlindungan dan penutupan
luka oleh lanolin dapat bertahan dalam lima hari berturut-turut dalam area olesan
4 mg/cm-2 (Hoppe, 1999) yang mana jangka waktu perlindungan ini sangat
memadai untuk proses absisi daun Coleus sp. yang membutuhkan waktu 4 hari
untuk semua perlakuan yang diberikan.
Selain itu pada percobaan ini, dapat diketahui bahwa hormon AIA
berpengaruh terhadap peristiwa absisi pada daun Coleus sp. yaitu menghambat
atau memperlambat proses absisi. AIA merupakan hormone auksin dan sifat dari
auksin adalah mengatur berbagai proses pertumbuhan antara lain kecepatan
23

pertumbuhan, pembentukan akar, dormansi, pembentukan bunga, penentuan jenis


kelamin bunga, gerak tropi dan lain-lain.

Perlakuan pertama pada pot 1 maupun pot 2, yaitu pengolesan lanolin,


menghasilkan proses absisi yang lebih cepat karena tidak ada penghambat bagi
aktivitas kerja hormon asam absisat (ABA) dan etilen. ABA yang berperan dalam
eksperimen ini adalah ABA endogen yang dihasilkan melalui peruraian
karotenoid tertentu (40 karbon) yang ada di plastid dan diangkut secara mudah
melalui xilem atau floem dan juga sel-sel parenkim di luar berkas pembuluh. ABA
endogen lebih efektif menggugurkan daun dibandingkan ABA eksogen
(Milborrow dalam Salisbury dan Ross, 1992:347) dengan mekanisme reduksi
jumlah klorofil, RNA, protein, dan enzim sehingga konstituen bahan organik yang
dibutuhkan dialihkan ke organ lain. Akibat kompetisi dan degradasi bahan organik
yang dibutuhkan sebagai senyawa pembangun, yaitu protein dan katalisnya yang
berupa enzim, tangkai daun mengalami deteriorasi dan akhirnya gugur.
Hal ini dapat diindikasikan bahwa hormon AIA menghambat proses
pengguguran tangkai daun. Selain hormon yang berpengaruh pada proses
pengguguran daun, letak atau posisi daun juga berpengaruh yaitu tangkai daun
yang terletak paling bawah atau daun paling tua gugur lebih dahulu daripada
tangkai daun yang letaknya di atas daun terbawah atau ke-2 dari bawah. Daun
yang terletak paling bawah dari suatu tanaman atau daun paling tua akan segera
gugur. Hal ini disebabkan karena daun paling tua berada paling bawah, dimana
cahaya matahari tidak dapat mengenai seluruh permukaan daun karena terhalang
oleh daun di atasnya. Akibatnya, daun paling tua tidak dapat melakukan
fotosintesis dengan baik, dan selanjutnya akan segera gugur. Sebelum gugur, daun
paling tua segera mengirimkan semua unsur hara yang dimiliki ke daun di atasnya
atau terjadi transfer unsur hara. Hal ini juga akan dilakukan oleh daun-daun
berikutnya setelah tua dan sebelum gugur (Sakamoto, 2008).
Adapun Teori lain (Biggs dan Leopold 1957, 1958) menerangkan bahwa
pengaruh auxin terhadap absisi ditentukan oleh konsentrasi auxin itu sendiri.
Konsentrasi auxin yang tinggi akan menghambat terjadinya absisi, sedangkan
auxin dengan konsentrasi rendah akan mempercepat terjadinya absisi.
24

Teori terakhir ditentukan oleh Robinstein dan Leopold (1964) yang


menerangkan bahwa respon absisi pada daun terhadap auksin dapat dibagi ke
dalam dua fase jika perlakuan auksin diberikan setelah auksin terlepas. Fase
pertama, auksin akan menghambat absisi dan fase kedua auksin dengan
konsentrasi yang sama akan mendukung terjadinya absisi. .

N. Kesimpulan

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan tentang pengaruh AIA terhadap


proses absisi pada daun tumbuhan Miana (Coleus sp), dapat disimpulkan bahwa
AIA berpengaruh dalam menunda atau menghambat proses absisi daun. Absisi
daun akan tertunda atau terhambat apabila jumlah auksin yang berada di daerah
distal lebih besar daripada jumlah auksin yang berada di daerah proksimal. Dan
terdapat perbedaan waktu gugurnya tangkai daun yaitu pada tangkai daun yang
diberi lanolin saja mengalami absisi lebih cepat daripada tangkai daun yang diberi
dengan lanolin + AIA. Dan tangkai daun paling bawah mengalami absisi paling
cepat dibandingkan dengan tangkai kedua dari bawah. Adapun hormon yang
berperan dalam proses absisi yaitu asam absisat dan etilen. Jika konsentrasi auksin
yang tinggi akan menghambat terjadinya absisi, sedangkan auksin dengan
konsentrasi rendah akan mempercepat terjadinya absisi.

O. Daftar Pustaka
Andriawan. I. 2010. Efektivitas Pupuk Hayati Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah
(Oryza sativa). Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian.
IPB. (Tidak publikasi).
Arteca RN .1996. Plant Growth Subtances : Principles and Applications. New
York : Chapman & Hall.
Dalimartha, Setiawan. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Jilid 5. Jakarta: PT Pustaka.
Khattak, M.M.A.K., M. Taher, S. Abdulrahman, I.A. Bakar, R. Damanik, A.
Yahaya. 2013. Anti-bacterial and anti-fungal activity of coleus leaves
consumed as breast-milk stimulant. J. Nutr. Food Sci. 43:582-590.
Lestari, G., I.P. Kencana. 2008. Galeri Tanaman Hias Landskap. Penebar
Swadaya. Jakarta.
25

Lisdawati, V., 2008, Karakterisasi Daun Miana (Plectranthus scutellariodes (L.)


Bth.) Dan Buah Sirih (Piper betle L.) secara Fisiko Kimia dari Ramuan
Lokal Anti Malaria daerah Sulawesi Utara. Media Litbang Kesehatan
Volume XVIII No. 4
Sallisbury dan Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung: ITB Press.
Sasmitamihardja, Dardjat dan Arbasyah Siregar. 1996. Fisiologi Tumbuhan.
Bandung: ITB Press.
Soni, H., A.K. Singhai. 2012. Recent updates on the genus coleus: a review. Asian.
J. Pharm. Clin. Res. 2:12- 17.
Surya, A., C. Jose, H.Y. Teruna. 2013. Studi aktivitas antioksidan dari ekstrak
methanol dan etil asetat pada daun bangun-bangun. J. Ind. Chem. Acta 4:12-
16.
Werdiningsih, H. 2007. Kajian penggunaan tanaman sebagai alternatif pagar
rumah. Enclosure. 6:32-39.
Yuniarti, T. 2008. Ensiklopedia Tananman Obat Tradisional. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: MedPress.
26

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai