Oleh :
Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat
tinggi, mencakup jenis-jenis Herpetofauna. Menurut Russell dalam Tropika (1999), Indonesia
termasuk dalam negara Megadiversity. Indonesia memiliki tidak kurang dari 16%
keanekaragaman Herpetofauna di dunia (Duellman and Trueb, 1986). Indonesia
menempati peringkat ketiga sebagai negara yang memiliki kekayaan jenis reptil paling
tinggi di dunia, lebih dari 600 jenis reptil terdapat di Indonesia (Findua et al., 2016).
Herpetofauna berasal dari kata herpeton yaitu binatang melata. Sebelum ilmu
taksonomi berkembang maju, amfibi dan reptil dimasukkan menjadi satu kelompok
hewan karena diangap sama-sama melata. Dengan berkembangnya ilmu, mereka kini
menjadi dua kelompok terpisah. Kedua kelompok ini masuk ke dalam satu bidang yaitu
ilmu herpetologi karena mereka mempunyai cara hidup dan habitatnya yang hampir
serupa, sama-sama satwa vertebrata ektotermal (membutuhkan sumber panas eksternal),
serta metode untuk pengamatan dan koleksi yang serupa. ( Usrini dkk,2008.)
Reptil merupakan kelompok hewan ectothermic, yaitu hewan yang suhu tubuhnya
sangat tergantung pada suhu lingkungan di sekitarnya. Keanekaragaman jenis reptil yang
tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi, karena
dalam komunitas terjadi interaksi yang tinggi pula. Indonesia memiliki tiga dari keempat
ordo di dalam kelas Reptilia, yaitu Ordo Testudinata, Squamata dan Crocodilia (Ario A,
2013). Kelas Reptilia mencakup jenis kadal dan ular. Dua kelompok hewan reptil ini
secara umum hidupnya dekat dengan air, mereka sering sekali ditemukan di dalam dan di
sekitar sungai (Zug, 1993; Pough dkk., 1998; Cogger dan Zweifel, 2003). Beberapa jenis
ular dan kadal hidup pada pepohonan dan tanah di tepian sungai.
Keberadaan reptil memiliki berbagai fungsi ekologis yang sangat penting. Sifat peka
terhadap lingkungan yang dimiliki reptil (Alikodra, 1990), dapat menjadikan satwa ini
sebagai indikator kerusakan lingkungan (Subeno, 2018). Apabila di suatu ekosistem
terjadi penurunan populasi herpetofauna secara drastis, maka akan mempengaruhi jumlah
organisme lain yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem khususnya dalam
rantai makanan (Findua dkk, 2016). Penyebaran reptil ditentukan oleh banyaknya cahaya
matahari pada suatu habitat. Sebagaimana yang dikemukakan Halliday and Alder (2000),
sebagai hewan ektotermal reptil mampu menempati berbagai macam tipe habitat, mulai
dari dataran rendah hingga daerah pegunungan. Berbeda dengan amfibi, reptil tidak
terlalu bergantung terhadap sumber air karena reptil tidak perlu menjaga kulitnya agar
tetap lembab (James, 2005), oleh karena itu menurut Mistar (2008), bahwa jenis-jenis
reptil dapat ditemukan di daerah terkering sekalipun, seperti di gurun.
Kawasan Hutan Pendidikan Wanagama I (HPW I) dikelola dan dijadikan sebagai
hutan pendidikan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. HPW I terletak di
desa Banaran, Kecamatan Playen, Kab. Gunung Kidul, Yogyakarta. Kawasan HPW
Iterletak di perbukitan dengan ketinggian rata-rata 120 m dpl dengan batuan induk kapur
(karst). Sejak tahun 1964, dilakukan penghijauan kembali hutan Wanagama, sekarang
terdapat lebih dari 65 jenis kayu dan ratusan jenis herba (Sancayaningsih dan Margawati,
2009). Menurut Purnomo (2012), di kawasan HPW I, terdapat 4 tipe habitat berbeda,
yaitu tipe agroforestri, tipe semak belukar, hutan tua dengan sistem monokultur, dan
hutan muda dengan sistem polikultur. Keanekaragaman tipe habitat ini berpengaruh pada
kualitas dan sumberdaya yang diperlukan bagi satwa. Dengan pengelolaan bersama
masyarakat, letak kawasan yang berdampingan dengan pemukiman, dan pemanfaatan
sebagai wisata edukasi pada beberapa wilayah, maka terdapat kemungkinan kerusakan
habitat satwa yang ada. Hal ini disebabkan karena adanya aktivitas masyarakat dalam
kawasan hutan seperti bertani, mencari pakan ternak, dan kegiatan berwisata.
Selain itu, menurut penelitian Subeno (2018), penelitian herpetofauna yang ada saat
ini masih terbatas dilakukan di kawasan konservasi yang ada di Pulau Jawa bagian barat.
Keberadaan data herpetofauna di kawasan konservasi wilayah Jawa bagian tengah dapat
dibilang masih minim. Di Jawa Tengah, penelitian herpetofauna masih terbatas di
Gunung Slamet bagian selatan dan timur (Riyanto 2010; Riyanto & Trilaksono 2012
dalam Mumpuni 2014), Gunung Merapi (Epilurahman 2008), dan Gunung Merbabu
(Subeno et al. 2010). Penelitian mengenai keanekaragaman herpetofauna khususnya kelas
reptilia di HPW I belum banyak dilakukan sehingga data yang dihasilkan diharapkan
dapat bermanfaat sebagai data sekunder untuk penelitian selanjutnya dan sebagai acuan
pengelolaan HPW I.
1.2 Rumusan Masalah
HPW I merupakan kawasan hutan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan UGM.
Pengelolaan HPW I … dilakukan dengan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
dengan pola agroforestri tanaman … di bawah tegakan hutan alam.
2.2 Keanekaragaman
2.3 Herpetofauna
Herpetofauna dapat dibagi menjadi dua kelas yaitu kelompok reptil dan amfibi.
Herpetofauna merupakan bagian dari keanekaragaman hayati penyusun ekosistem yang
dapat hidup di daratan, perairan hingga arboreal. Sebagai salah satu komponen penting
dalam ekosistem, herpetofauna berperan penting dalam menjaga keseimbangan
ekosistem, yaitu pada rantai makanan (Kusrini, 2003).
Amfibi dan reptil masuk dalam satu bidang kajian ilmu herpetologi karena sama-
sama merupakan satwa vertebrata poikiloterm, dianggap mempunyai habitat dan cara
hidup yang hampir serupa, serta metode untuk pengamatan dan koleksi yang sama
(Kusrini, et al., 2008). Amphibia merupakan... . Sedangkan, reptilia merupakan hewan
bertulang belakang yang seluruh tubuhnya dilindungi oleh sisik yang berasal dari zat
kitin (Yanuarefa, 2012). Amphibia dan Reptilia menempati habitat yang hampir sama
dengan berada pada sungai, kolam air, kayu lapuk, genangan dan serasah daun. (Kusrini,
2007).
2.3 Reptil
Reptil berasal dari kata reptum yang berarti melata. Berdasarkan kata tersebut
diketahui bahwa reptil merupakan kelompok hewan bertulang belakang yang melata.
Seluruh tubuh reptil tertutupi oleh sisik yang berasal dari zat tanduk. Fungsi sisik yang
menutupi seluruh tubuh reptil adalah untuk mencegah kehilangan panas (Zug, 1993).
Satwa reptil terdiri dari 48 famili, sekitar 905 genus dengan 6.574 spesies telah
teridentifikasi (Halliday dan Adler, 2000). Diketahui bahwasannya Ordo dari Kelas
Reptilia yang dulu memiliki jumlah yang begitu banyak, akan tetapi kini hanya tersisa 4
ordo. Reptil terbagi dalam 4 ordo yaitu ordo Rhyncocephalia (Tuatara), Crocodylia
(Buaya), Testudinata (Kura-kura dan penyu), Squamata (Ular dan kadal). Di Indonesia
dapat dijumpai 3 dari 4 Ordo, yaitu Squamata, Testudinata, dan Crocodilia.
a. Agamidae
Famili ini memiliki ciri badan pipih, tubuh ditutupi sisik bentuk bintil atau yang
tersusun seperti genting, demikian pula dengan kepalanya penuh tertutup sisik. Tipe
gigi acrodont. Pada Draco volans memiliki pelebaran tulang rusuk dengan lipatan
kulit. Habitatnya di pohon dan semak (Pough et al., 1998). Persebaran Agamidae
meliputi Afrika, Asia dan Australia. Pada tiap benua tersebut, Agamidae memiliki
bentuk dan ukuran tubuh yang sangat beragam. Sebagian besar Agamidae memiliki
ukuran menengah (6-12 cm SVL).
b. Scincidae
Ciri umum dari familia ini adalah badannya tertutup oleh sisik sikloid yang berukuran
sama besar. Bagian kepala tertutupi oleh sisik yang besar dan simetris. Lidahnya tipis
dengan papilla yang berbentuk seperti belah ketupat dan tersusun seperti genting.
Tipe giginya pleurodont. Matanya memiliki pupil yang membulat dengan kelopak
mata yang jelas. Ekornya panjang dan rapuh (Zug, 1993). Contoh spesies famili ini
adalah Mabouya multifasciata.
c. Varanidae
Ciri dari familia ini adalah badannya yang besar dengan sisik yang bulat di bagian
dorsalnya sedang di bagian ventral sisik melintang dan terkadang terdapat lipatan kulit
di bagian leher dan badannnya. Lehernya panjang dengan kepala yang tertutup oleh
sisik yang berbentuk polygonal. Lidahnya panjang bercabang dan tipe giginya
pleurodont. Pupil matanya bulat dengan kelopak dan lubang telinga yang nyata.
Anggota famili ini yang terkenal adalah komodo (Varanus komodoensis). Panjangnya
dapat lebih dari 3 meter. Komodo persebarannya terbatas di beberapa pulau kecil di
Nusa Tenggara (Zug, 1993).
d. Lacertidae
Familia ini terdiri lebih dari 20 genera dengan jumlah spesies lebih dari 200.
Perawakan kadal ini memiliki tubuh yang memanjang dengan kepala yang
mengerucut, ekor dengan ketebalan sedang yang panjang dan tungkai yang
berkembang dengan baik. Sisik kepala besar-besar dan seragam, sisik granuler pada
bagian dorsal leher, sisik ventral yang melebar dan sisik dorsal seringkali berlunas.
Susunan sisik pada Lacertidae hampir mirip dengan susunan sisik pada Teiidae,
meskipun pada Lacertidae ukuran sisiknya lebih kecil. SVL biasanya kurang dari 9
cm, akan tetapi ada beberapa spesies yang memiliki SVL melebihi 15 cm (Lacerta
lepida). Semua Lacertidae, kecuali Lacerta vivipara, berkembangbiak secara ovipar.
Genus yang dapat ditemukan di Indonesia adalah Takydromus (Zug, 1993).
e. Gekkonidae
Gekkonidae banyak ditemukan di iklim yang hangat. Ciri khusu yang dimiliki yakni
kemampuan vokalasasi ketika bersosialisasi dengan gecko yang lain. Matanya dilapisi
membran transparan yang dibersihkan dengan cara dijilat sehingga kebanyakan gecko
tidak mempunyai kelopak mata. Banyak spesies anggota Gekkonidae yang memiliki
jari khusus yang termodifikasi untuk memudahkannya memanjat permukaan vertikal
maupun melewati langit-langit dengan mudah. Kebanyakan Gecko berwarna gelap
namun ada pula yang berwarna terang. Beberapa spesies memiliki kemampuan
mengubah warna kulitnya untuk membaur dengan lingkungannya ataupun dengan
temperatur lingkungannya (mimikri). Beberapa spesies dapat melakukan
parthenogenesis dan juga beberapa spesies betina dapat berkembang biak tanpa
pembuahan (Zug, 1993).
f. Dibamidae
Dibamidae memiliki ukuran tubuh yang kecil (5-10 cm SVL), tubuh memanjang,
hampir seperti kadal tak bertungkai di daerah Indomalaysia (Genus Dibamus terdiri
dari 9 spesies) dan Meksiko (Anelytropsis, 1 spesies). Sisiknya halus, berkilau jika
terkena cahaya dan habitatnya fossorial. Mata berukuran kecil terletak di bawah sisik
kepala. Tungkai depan dan gelang bahu tidak ada, tungkai belakang tereduksi menjadi
sisik penutup yang kecil. Dibamus merupakan hewan yang menempati lantai hutan
dan membutuhkan tanah yang lembab. Perkembangbiakan mungkin dengan
ovovivipar (Zug, 1993).
Sub ordo Serpentes memiliki Ciri khusus yaitu seluruh anggotanya tidak bertungkai
(tungkai mereduksi), dari ciri-ciri ini dapat diketahui bahwa semua jenis ular termasuk
dalam subordo ini. Dikarenakan ada juga Lacertilia yang tak bertungkai, untuk
membedakannya secara morfologi dapat dilihat dengan adanya kelopak mata dan
lubang telinga. Sedangkan fungsi pelindung mata digantikan oleh sisik transparan
yang menutupinya. Berbeda dengan anggota Ordo Squamata yang lain, pertemuan
tulang rahang bawahnya dihubungkan dengan ligamen elastis (Zug, 1993). Berikut
adalah beberapa famili sub ordo Serpentes di Indonesia :
a. Typhlodae
Biasa dikenal sebagai ular buta dikarenakan memiliki mata yang mereduksi.
Kepalanya bulat, dengan ekor yang pendek dan terdapat sisik yang mengalami
penanduka di ujungnya. Secara keseluruhan badan berbentuk bulat dan panjangnya
hanya mencapai kurang lebih 30 cm. Hidupnya di bawah tanah, di serasah, atau
meliang. Genus yang paling dikenal adalah Genus Typhlops, Xenotyphlops,
Acutotyphlops dan lain-lain. Terdiri dari 6 genus dengan 240 spesies. Umumya
ditenukan di daerah tropis di Asia, Afrika, dan Amerika (Zug, 1993).
b. Boidae
Boidae merupakan familia ular pembelit, habitatnya biasanya arboreal. Dengan
persebaran di Columbia, Suriname, Bolivia, Argentina, dan Asia. Pembuluh darah dan
organ pernafasannya masih primitif, memiliki sisa tungkai belakang yang vestigial.
Moncongnya dapat digerakkan. Tipe giginya aglypha. Familia ini memiliki genus
diantaranya Acrantophis, Boa, Candoia, Corallus, Epicrates, Eryx, Eunectes,
Gongylophis, dan Sanzinia (Pough et al., 1998).
c. Pythonidae
Keseluruhan anggota dari familia merupakan ular yang tidak berbisa. Beberapa
mengelompokkannya sebagai subfamilia dari Boidae yaitu Pythonidae. Perbeedaan
Pythonidae dari Boidae yaitu mereka punya gigi di bagian premaxilla, semacan tulang
kecil di bagian paling depan dan tengah dari rahang atas. Habitat di daerah hutan
hujuan Tropis. Merupakan ular yang tercatat mampu mencapai ukuran paling besar 10
m (Python reticulatus). Familia ini terdiri dari 3 genera (Python, Moreliadan
Aspidites) dengan lebih dari 30 spesies habitatnya meliputi Afrika dan Indoaustralia
(Zug, 1993).
d. Elapidae
Merupakan famili yang berbisa dan banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis.
Terdiri dari 62 genus dengan 280 spesies yang telah teridentifikasi. Dibagi menjadi 2
subfamilia yaitu Elapinae dan Hydrophiinae. Biasanya memiliki gigi bisa tipe
proteroglypha dengan bisa tipe neurotoxin. Pupil mata membulat karena merupakan
hewan diurnal. Familia ini dapat mencapai ukuran 6 m (Ophiophagus hannah) dan
fertilisasi secara ovipar namun adapula yang ovovivipar (Pough etal., 1998).
e. Viperidae
Ular-ular dari familia ini memiliki gigi tipe solenoglypha dengan bisa jenis
haemotoxin. Familia ini kebanyakan merupakan ular terran yang hidup di gurun.
Namun ada pula yang hidup di daerah tropis. Tersebar hampir di seluruh
duniaKebanyakan anggota familianya merupakan hewan yang ovovivipar dan
beberapa ada yang ovipar. Subfamilia yang ada di Indonesia adalah Crotalinae yang
terdiri dari 18 genus dan 151 spesies (Pough et al., 1998).
f. Colubridae
Ciri khusus yang dimiliki familia antara lain adalah sisik ventralnya sangat
berkembang dengan baik, melebar sesuai dengan lebar perutnya. Kepalanya biasanya
berbentuk oval dengan sisik-sisik yang tersusun dengan sistematis. Ekor umumnya
silindris dan meruncing. Familia ini meliputi hampir 2/3 dari spesies ular di dunia.
Kebanyakan anggota Famili Colubridae tidak berbisa. Beberapa spesies ada yang
memiliki bisa tetapi efeknya tidak mematikan bagi manusia. Gigi bisanya tipe
proteroglypha dengan atau haemotoxin. Terdiri dari 320 genera dengan jumlah
spesies lebih dari 1700 dan tersebar luas di dunia (Pough et al., 1998).
g. Acrochordidae
Merupakan ular akuatik dan memiliki sisik yang sangat kecil, berlunas dengan jelas
sehingga tekstur kulitnya sangat kasar. Kulitnya agak longgar atau kendur. Ular ini
hampir sama sekali tidak mampu untuk bergerak di darat. Ekor dari ular ini sedikit
memipih. Memiliki jaringan penutup yang terletak di dalam mulut berfungsi untuk
menutup choane, sehingga tidak memiliki valvular nostril seperti ular akuatik lainnya.
h. Xenopeltidae
Xenopeltidae merupakan ular peliang, ular nokturnal di hutan hujan tropis dengan
ukuran sedikit yang melebihi 1 meter. Sisik dorsal biasanya hitam atau sangat gelap.
Sisik ular ini dapat berkilau jika terkena cahaya. Familia ini mempunyai lapisan
pigmen yang gelap di bagian bawah permukaan tiap sisiknya yang menambah terang
kilauannya. Banyak ditemukan di Cina Selatan sampai Asia Tenggara. Terdiri dari
satu genus dengan satu spesies yang masih ada (Pough et al., 1998).
2.4.2 Sub-ordo Lacertilia
2.5 Persebaran
Menurut Halliday and Alder (2000) penyebaran reptil ditentukan oleh banyaknya
cahaya matahari pada suatu habitat. Halliday and Alder juga menambahkan, sebagai
hewan ektotermal reptil mampu menempati berbagai macam tipe habitat, mulai dari
dataran rendah hingga daerah pegunungan. Berbeda dengan amfibi, reptil tidak terlalu
bergantung terhadap sumber air karena reptil tidak perlu menjaga kulitnya agar tetap
lembab (James, 2005), oleh karena itu menurut Mistar (2008), bahwa jenis-jenis reptil
dapat ditemukan di daerah terkering sekalipun, seperti di gurun.
2.6 Habitat
Habitat suatu individu dapat didefinisikan sebagai tempat dimana individu tersebut
hidup (Odum, 1971). Sedangkan Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat satwa liar
dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari faktor fisik maupun biotik yang saling
berinteraksi untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Sebaran herpetofauna di dunia
sangat luas dan dapat ditemukan kecuali di benua Antartika. Herpetofauna menempati
habitat mulai dari tepi pantai, laut, sungai, hutan dataran rendah sampai pegunungan
(Mistar, 2008). Menurut Iskandar (1998), sebaran herpetofauna di Indonesia juga cukup
luas mulai dari Sumatera hingga Papua. Iskandar and Walter (2006) menyatakan dari
jumlah total herpetofauna yang ada di dunia, sebanyak 16% diantaranya ada di
Indonesia.
Komposisi dan struktur vegetasi tiap petak Hutan Pendidikan Wanagama I sangat
beragam sesuai dengan sistem pengelolaan yang dilakukan. Berbagai jenis pohon telah
ditanam dengan pola homogen maupun heterogen yang merupakan kombinasi dari
sistem agroforestry teknik tumpangsari. Tumpangsari merupakan teknik pengelolaan
lahan dengan menanam jenis tanaman pokok berupa jati (Tectona grandis) dan beberapa
tanaman palawija. Jati terus berkembang di HPW I sehingga pada tahun 1989 Pangeran
Charles dari Kerajaan Inggris menanam satu jenis jati yang kemudian dikenal di seluruh
dunia (Suseno 2004).
Kehidupan herpetofauna tidak terlepas dari faktor biotik dan abiotik yang digunakan
untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya (Alikodra, 2002). Faktor biotik adalah
faktor yang meliputi semua makhluk hidup di bumi, baik tumbuhan maupun hewan
(Rafida, 2018). Faktor biotik seperti kerapatan vegetasi dan penutupan tajuk
memengaruhi suatu spesies secara langsung pada aspek ruang bergerak, sumber pakan,
dan tempat berlindung serta berpengaruh secara tidak langsung terhadap ketersediaan
sumber air bagi satwa.
Penyebaran amfibi dan reptil sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari yang mencapai
daerah tersebut (Halliday & Adler 2000).
Di Wanagama…
Struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung, yang digunakan oleh jenis-
jenis reptil untuk tempat penyesuaian terhadap perubahan suhu (thermal cover), sehingga
hilangnya vegetasi menyebabkan juga hilangnya sumber pakan dan tempat berlindung bagi
reptil. Beberapa tipe vegetasi dan kondisi fisik yang mendukung sebagai habitat berbagai
jenis flora. Faktor-faktor tersebut menjadi pendukung terhadap tingginya keanekaragaman
Reptil (Yuniar dkk., 2014).
Di Wanagama…
Faktor abiotik merupakan komponen lingkungan yang terdiri atas bukan makhluk
hidup atau segala sesuatu yang tidak bernyawa dan merupakan faktor baik fisik maupun
kimia yang menggambarkan keadaan karakteristik dari lingkungan (Irwan, 1992). Secara
kimia, faktor geologi seperti tanah, mineral, batu dan secara fisik seperti suhu, angin, air,
sinar matahari didefinisikan sebagai faktor abiotik. Fakta abiotik juga termasuk cahaya,
tingkat keasaman (pH), Kelembaban, suhu dan semua komponen organik dan anorganik dari
ekosistem. Faktor-faktor lingkungan dapat memengaruhi keberadaan Herpotofauna.
2.7.2 Ketinggian
Setiap hutan memiliki tipe vegetasi dan ketinggian tempat yeng berbeda-beda.
Tipe vegetasi dengan bentuk penutupan lahan dan ketinggian suatu wilayah
kecenderungan akan memberikan pengaruh terhadap jenis dan perilaku satwa yang
dijumpai (MacArthur & Connell 1966).
Reptil gmn…
2.7.3 Kelerengan
Wanagama gmn…
2.7.4 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor abiotik yang dapat memengaruhi kehidupan
makhluk hidup (Zug dan Kaiser, 2013). Hutan Pendidikan Wanagama I terletak di
desa Banaran, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Kawasan
Hutan Wanagama terletak di perbukitan dengan ketinggian rata-rata 120 dpl. Suhu
udara berkisar antara 25 – 29̊ C dengan curah hujan tahunan rata-rata 1500 – 2000
mm (Sancayaningsih dan Margawati, 2009). Kisaran suhu optimum bagi kelas reptilia
terutama jenis kadal yaitu 27°C-310°C. Kelembaban udara sangat berpengaruh
terhadap kehidupan herpetofauna. Tingkat Kelembaban udara optimal bagi reptilia
untuk jenis-jenis kadal yaitu 70%-90% (Zug dan Kaiser, 2013).
2.7.5 Kelembaban
2.7.8
BAB III
LANDASAN TEORI
Reptilia Ordo Squamata (kadal dan ular) merupakan salah satu komponen yang
penting dalam ekosistem dan juga kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia, ular
bermanfaat sebagai predator alami bagi rodensia yang memakan padi. Dengan adanya
ular, populasi tikus (rodensia) dapat dikendalikan. Sedangkan kadal bermanfaat sebagai
predator dari jenis serangga tertentu. Indonesia memiliki beraneka ragam jenis ular dan
kadal. Iklim Indonesia yang tropis menjadikannya cocok untuk habitat berbagai macam
kadal dan ular. Kadal dan ular yang beragam tersebut tersebar di beberapa daerah di
Indonesia sesuai dengan kondisi tempatnya.
Persebaran Ordo Squamata di suatu daerah berbeda dengan yang ada di daerah
lainnya tergantung kondisi lingkungan dan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut
meliputi kelembaban, pepohonan, semak-semak, dan populasi serangga. Kelembaban
tertentu akan mempengaruhi persebaran spesies. Pada kondisi tempat yang lembab
cenderung lebih mudah menemukan spesies kadal dan ular.
Habitat merupakan tempat spesies tertentu untuk hidup dan berkembang biak.
Lingkungan yang menguntungkan bagi suatu spesies untuk dapat makan dan
bereproduksi biasanya merupakan habitat suatu spesies tersebut.
Letak Hutan Pendidikan Wanagama I sangat dekat dengan pemukiman warga, Oleh
sebab itu, penelitian mengenai persebaran reptilia ordo squamata perlu dilakukan karena
sebagian anggota ordo ini berbisa dan berpotensi membahayakan masyarakat. Dengan
mengetahui keanekaragamannya, diharapkan data yang diperoleh pengelola akan dapat
lebih
3.2 Hipotesis
Berdasarkan urgensi penelitian mengenai Herpetofauna Kelas Reptilia di HPW I
maka diperoleh hipotesis sebagai berikut:
H0 : Persebaran Ordo Squamata di Hutan Pendidikan Wanagama I tidak merata
Ha : Persebaran Ordo Squamata di Hutan Pendidikan Wanagama I merata
METODE PENELITIAN
Pengambilan data dilakukan saat siang sampai sore hari pada pukul 06.30 - 16.30.
Penelitian dilakukan pada pagi hari dan sore hari karena sebagian besar anggota kelas
reptilia khususnya kadal aktif pada pagi hari dan sore hari pada saat matahari tidak
terlalu terik.
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode Kuadrat Sampling.
Metode ini digunakan dengan menelusuri plot kuadrat yang sudah ditentukan secara
sistematis di lokasi-lokasi yang akan diambil datanya. Ukuran yang jelas membuat
data yang dihasilkan dari metode ini cukup lengkap dan dapat dianalisis dengan
berbagai teknik analisis. Penerapan metode ini juga mudah di lapangan dan biaya
pelaksanaanya relatif rendah. Namun metode ini juga memiliki keterbatasan
diantaranya hanya dapat digunakan untuk jenis tertentu serta hanya dapat diterapkan
pada kondisi topografi yang datar (Tamnge, 2013).
Metode kuadrat ini dilakukan pada pagi sampai sore hari di wilayah HPW I yang
berukuran kurang lebih seluas 622,25 ha. Dengan pengambilan lokasi berukuran 37,3
ha yang mewakili 10% luas kawasan. Jarak antar kuadrat 200 m dengan lebar (...) x
(...) m, sehingga diperoleh jumlah kuadrat (...) kuadrat. Untuk data lokasi,
pengambilan data dilakukan dengan mengambil koordinat ditemukan satwa
menggunakan GPS yaitu dengan menggunakan fitur marking.
Data biotik abiotik belum ditambahin bro. Selain itu, data keadaan lokasi
pengambilan data juga diambil seperti suhu dan Kelembaban.
Keterangan :
nΣ x 2
X2= ( )N
−N
Nilai x2hitung itu selanjutnya dibandingkan dengan x2tabel dengan derajat bebas (df
= n–1). Jika x2hitung lebih besar dari x2tabel maka penyebarannya acak dan jika x2hitung lebih
besar dari x2tabel maka penyebarannya seragam (Soegianto dalam Wahyudi, 2010).
program Mapsource, kemudian save dengan cara klik “File” →“Save As” →
beri nama filenya ditempat yang kita inginkan → pada kolom save as type
Data GPS yang telah tersimpa dalam bentuk“.gpx” kemudia diubah formatnya
menjadi forma “.shp” dengan menggunaka program Global Mapper, yaitu melalui
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Buka program Global Mapper kemudian klik tools “Open Your Own Data
Files” kemudian buka data “.gpx” tadi kemudian “Open”
klik “File” →“Export Format Vektor” → pilih format vektor yang kita
dengan bentuknya, jika bentuknya adalah point makan ceklis pada kolom
Data GPS yang telah tersimpan dalam bentuk “.shp” kemudian dioverlaykan
dalam bentuk peta dengan menggunakan program ArcGis 10, yaitu melalui
langkahlangkah sebagai berikut :
1. Panggil semua data yang akan dioverlaykan ke dalam peta yaitu dengan
menggunakan tools “Add Data”. Pastikan semuanya sudah dalam bentuk
“.shp”
2. Point satwa diberi keterangan nama satwa untuk membedakan satwa pada
peta. Adapun cara memberi keterangan pada satwa adalah dengan terlebih
dahulu membuat “Add Field” pada “Attribute Table” point pohon tersebut
field yang baru dibuat tadi → “Stop Editing” → jika editing telah selesai.
3. Agar Titik Koordinat berbentuk degrees minutes seconds maka pada layer
kolom layer pilih file yang ingin diberi titik koordinat → klik “Specify”
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan
IPB.
Cogger HG & Zweifel R. 2003. Encyclopedia of Reptiles & amphibians: A
Comprehensive Illustrated Guide by International Experts (Third Edition). San
Francisco. USA: Fog City Press.
Halliday TR, Adler K. 2000. The Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. New York:
Facts on File.
Iskandar DT and WR Erdelen. 2006. Conservation of amphibians and reptiles in
Indonesia: Issue and problems. Amphibian and Reptile Conservation 4(1): 60-93.
Iskandar, D.T. 1998. Seri Panduan Lapangan Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang. Biologi
LIPI: Bogor.
James, M.G. 2005. Summary of Reptile Biology and Physiology. Animal Legal &
Historical Center.
Kusrini MD. 2003. Predicting the Impact of the Frog Leg Trade In Indonesia: An
Ecological View of the Indonesian Frog Leg Trade, Emphasizing Javanese Edible
Frog Species. Dalam: Kusrini MD, Mardiastuti A dan Harvey T 2003 Konservasi
Amfibi dan Reptil di Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Kusrini MD. 2008. Pedoman Penelitian dan Survei Amfibi di Alam. Bogor. IPB
Mistar, 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Cetakan Pertama.
The Gibbon Foundation dan PILI-NGO Movement: Bogor.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. Philadelphia. W. B. Shounders Company Ltd.
Pough, F. H, et. al. 1998. Herpetology. New Jersey: Prentice-Hall,Inc.
Yanuarefa MF, Hariyanto G, Utami J. 2012. Buku Panduan Lapang Herpetofauna (Amfibi
dan Reptil) Taman Nasional Alas Purwo. Banyuwangi: Taman Nasional Alas
Purwo.
Wahyudi, D. 2008. Distribusi dan Kerapatan Edelweis di Taman Nasional Bromo
Tengger. Malang: UIN Press.
Zug, G. R. 1993. An Introduction Biology of Amphibians and Reptiles. Academic. Press.
San Diego. California.
Zug, GR., Vitt, LJ., dan Caldwell, JP. 2001. Herpetology: An Introductory Biology of
Amphibians and Reptiles. Second Edition. USA: Academic Press.