Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

PERANAN MUSUH ALAMI


DALAM PENGENDALIAN HAMA

Oleh :

Nadya Dewi Kirana ( 1606541099 )


I Komang Budiartamaysa (1606541100)
I Putu Arya Wijaya ( 1606541103)

KONSENTRASI PERLINDUNGAN TANAMAN


PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum yang
berjudul “Peranan Musuh Alami Dalam Pengendalian Hama”. Pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan
saran, arahan, dan motivasi sehingga usulan laporan praktikum ini dapat penulis
selesaikan dengan baik dan semoga laporan ini dapat memberikan manfaat kepada
kita semua terlebih bagi mahsiswa yang mengerjakan laporan praktikum ini.
Laporan praktikum ini dibuat untuk menyesesaikan tugas dari mata kuliah
Pengendalian Hayati pada Konsentrasi Perlindungan tanaman program studi
agroekoteknologi semester VII
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
penulis harapkan untuk penyempurnaan laporan kelompok kami yang mengerjakan
laporan praktikum ini.

Denpasar, 15 Desember 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

Cover ............................................................................................................ i

Kata pengantar ............................................................................................ 1

Daftar Isi ...................................................................................................... 2

BAB I .......................................................................................................... 3

PENDAHULUAN ...................................................................................... 3

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 3

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 4

1.3 Tujuan Praktikum .................................................................................. 4

BAB II .......................................................................................................... 5

2.1 Pengendalian Hayati .............................................................................. 5

2.2 Pendekatan dlam pengendalian hayati ................................................... 6

2.3 Karakteristik Parasitoid dan Predator .................................................... 9

BAB III ....................................................................................................... 11

3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 11

3.2 Alat Dan Bahan ..................................................................................... 11

3.3 Metode .................................................................................................. 11

BAB IV ....................................................................................................... 13
Hasil Dan Pembahasan ................................................................................ 13

BAB V PENUTUP ...................................................................................... 16


LAMPIRAN ................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 18

2
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Penegndalian hayati sebagai komponen utama PHT pada dasarnya adalah


pemaanfatan dan penggunaan musuh alami untuk menggendalikan populasi hama
yang merugikan. Pengendalian hayati sangat dilatar belakangi oleh sebagai
pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh
pengandalian dan kesemimbangan ekosistem. Musuh alami yang terdiri dari
parasitoid, predator dan patogen merupakan pengendalian alami utama hama yang
bekerja secara (terkait kepadatan populasi) sehingga tidak dapat dilepaskan dari
kehidupan dan perkembangbiakan hama.

Serangga predator merupakan serangga yang memangsa atau memakan


serangga lain. Keberadaannya sangat penting terutama bagi manusia sebagai musuh
alami berbagai jenis hama sehingga bias mengendalian populasi hama tersebut tanpa
campur tangan manusia. Karna itulah serangga predator banyak di teliti untuk upaya
pengendalian hayati. Peningkatan populasi inang akan ditanggapi secara numeric
yaitu dengan meningkatnya jumlah predator dan respon fungsional di harapkan
jumlah inang akan berkembang.

Respon fungsional predator merupakan faktor yang mengatur dinamika


populasi antara predator-mangsa. Hal ini menggambarkan dimana prodator
membunuh mangsanya dengan demikian dapat menentukan efisiensi dari predator
dalam mengatur populasi mangsa. Tanggap pungsional juga memberikan deskripsi
kuantitatif perilaku predator ketika bertemu mangsanya dengan kepadatan yang
berbeda dan salah satu kunci komponen dalam pemilihan agen pengendalian biologis.

Interaksi antara predator dan mangsa memainkan peran penting dalam bentuk
distribusi spasial organisme dikomunitas biologi. Teori terbaru telah
mempertimbangkan strategi pilihan habitat yang optimal bagi predator dan mangsa
yang berintraksi secara nyata. Hal itu bias adaptif bagi predator untuk menilai dan
menanggapi kualiats sumber daya yang dikomsumsi oleh mangsanya. Agregasi

3
predator dalam menanggapi kepadatan mangsa berkembang dari tindakan kolektif
individu predator, dimana prilaku mencari makan biasanya sangat dipengaruhi oleh
tingkat dan sifat bertemu mangsa. Memahami hubungan antara predator dan mangsa
adalah tujuan utama dalam ekologi dan salah satu komponen hubungan predator dan
mangsa adalah tingkat makan dari predator pada mangsa.

Cara pengandalian ramah lingkungan yang telah mendapat perhatian dan


dikembangkan untuk menanggulangi serangan organisme pengganggu tanaman
(OPT) adalah dengan pengendalian hayati. Pengendalian hayati diartikan sebagai
penggunaan musuh alami, yaitu predator, predasi diasumsikan salah satu faktor biotik
untuk mengurangi populasi serangga hama dan telah menjadi perhatian banyak orang
dalam program pengendalian serangga hama untuk mengurangi penggunan
insektisida.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana kemampuan predasi predator Aphis spp ?

1.3 Tujuan Praktikum


Untuk mengetahui kemampuan predasi predator Aphis spp
Untuk mengetahui siklus atau daur hidup dari Aphis sp.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pengendalian Hayati


Pengendalian hayati adalah pengurangan atau penekanan populasi serangga
hama dengan cara memanfaatkan musuh alaminya. Perbedaan prinsif antara
pengendalian hayati (biological control) dan pengendalian alamiah (natural control)
adalah bahwa pada pengendalian hayati musuh alami diusahakan oleh manusia untuk
digalakkan sebagai alat pengendalian, sedangkan pada pengendalian secara alamiah
(natural control) musuh alami tidak diusahakan oleh manusia tetapi diatur oleh alam.
Menurut Untung (1996), pengendalian hayati merupakan strategi pengelolaan hama
yang dilakukan secara sengaja dengan memanfaatkan atau memanipulasi musuh
alami untuk menurunkan atau menekan populasi hama.

De Bach pada tahun 1964 telah mengkaji semantik dari istilah pengendalian
hayati. Dia menyatakan bahwa istilah pengendalian hayati merujuk pada fenomena
alamiah, suatu bidang studi atau suatu taktik pengendalian yang memanipulasi
musuh alami. Dalam kaitannya dengan pendapat tersebut, DeBach memberikan
batasan pengandalian hayati sebagai berikut: “Pengendalian hayati adalah kegiatan
parasitoid, predator, dan patogen dalam memelihara kerapatan populasi organisme
lain pada kerapatan rata-rata yang lebih rendah daripada kerapatan jika musuh alami
tersebut tidak ada”. Dari batasan tersebut pengendalian hayati merupakan kegiatan
oleh faktor biotik saja, yaitu parasitoid, predator dan patogen dalam memelihara
kerapatan populasi organisme lain, sedangkan pada pengendalian alami kegiatan
tersebut dilakukan baik oleh faktor biotik maupun abiotik. Pengendalian alami terjadi
tidak hanya oleh musuh alami saja tetapi juga karena bekerjanya faktor ekosistem
lainnya, seperti suhu, kelembaban, curah hujan, makanan dan faktor abiotik lainnya.
Dengan demikian, batasan pengendalian hayati berbeda dengan pengendalian alami.
Batasan pengendalian hayati yang dinyatakan oleh DeBach di atas merupakan
batasan yang banyak diikuti hingga saat ini. Namun, ada juga ahli lain yang

5
berpendapat bahwa pengendalian hayati memiliki pengertian yang lebih luas
mencakup penggunaan varietas tahan hama, pengendalian melalui pemandulan dan
manipulasi genetik. Batasan pengendalian hayati menurut DeBach di atas tidak
satupun yang merujuk pada pengertian ekonomi. Dengan demikian, penurunan
dalam kerapatan populasi berapapun karena musuh alami menunjukkan bahwa
pengendalian hayati tersebut telah terjadi. Penurunan kerapatan populasi tersebut
tidak harus mencapai kerapatan di bawah ambang ekonomi. Pengendalian hayati
dapat dikelompokkan sebagai pengendalian hayati sempurna dan parsial.
Pengendalian hayati sempurna menyebabkan penurunan populasi hama hingga di
bawah ambang ekonomi, sedangkan pengendalian hayati parsial penurunan populasi
hama tetapi hamanya masih di atas ambang ekonomi.

2.2 Pendekatan Dalam Pengendalia Hayati

 Introduksi
Pengendalian hayati klasik umumnya dilakukan dengan pendekatan
introduksi. Introduksi musuh alami dilakukan apabila hama yang akan
dikendalikan itu merupakan hama yang eksotik yang berasal dari negeri
lain atau tempat lain. Namun, saat ini tidak menutup kemungkinan
introduksi musuh alami dilakukan untuk mengendalikan hama “pribumi”
atau lokal. Introduksi dilakukan dengan cara mengimpor atau
memasukkan musuh alami dari negeri lain. Karena introduksi melibatkan
hubungan antar dua negara, maka introduksi umumnya dilakukan pada
level pemerintah. Misalnya, Departemen Pertanian, Republik Indonesia
pada bulan Agustus 1986 memasukkan predator kutu loncat lamtoro,
Curinus coeruleus Mulsant (Coleoptera: Coccinellidae) dari Hawaii
untuk mengendalikan kutu loncat, Heteropsylla cubana Crawford
(Homoptera: Psyllidae) yang menyerang lamtoro di Indonesia. Prosedur
introduksi telah dikemukakan oleh van den Bosch et al. (1985) ada
delapan, yaitu identifikasi spesies hama eksotik, penenetuan habitat asli
hama eksotik, agen importasi, eksplorasi musuh alami, karantina,

6
pembiakan masal, kolonisasi dan evaluasi musuh alami. Prosedur
introduksi musuh alami secara lengkap akan diuraikan pada bab
berikutnya.
 Augmentasi
Augmentasi dilakukan apabila musuh alami itu tidak cukup efektif
atau tidak efektif pada waktu tertentu. Augmentasi bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan musuh alami dalam mengendalikan hama.
Augmentasi dilakukan dengan cara menambahkan musuh alami melalui
pelepasan. Augmentasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu inokulasi
dan inundasi. Inokulasi adalah pelepasan sejumlah kecil musuh alami
pada saat populasi hama masih rendah, biasanya pada awal musim tanam.
Musuh alami ini diharapkan dapat berkembangbiak sehingga
keturunannya mampu mengendalikan hama selama musim tanam.
Inokulasi ini diharapkan permanen keberadaannya di lapangan. Sasaran
inokulasi adalah mempertahankan populasi hama tetap berada di bawah
tingkat yang merugikan secara ekonomi.
Berbeda dengan inokulasi, inundasi merupakan pelepasan musuh
alami dalam jumlah besar dengan tujuan musuh alami tersebut langsung
dapat menurunkan populasi hama dengan segera sampai tingkat yang
tidak merugikan. Musuh alami ini digunakan sebagai insektisida biologis
(bioinsecticide). Pada inundasi, tidak ada maksud supaya musuh alami itu
berkembangbiak dan dapat menetap terus. Karena hasil pengendalian
inundasi ini lebih bersifat sesaat, maka pada satu musim tanam pelepasan
perlu diulang beberapa kali. Hal ini berbeda dengan inokulasi yang
biasanya hanya memerlukan satu kali pelepasan. Hama yang sesuai
dikendalikan secara augmentasi memiliki ciri berikut, hama tersebut tidak
memungkinkan dikendalikan secara konservasi, hama sulit dikendalikan
atau terlalu mahal dikendalikan dengan metode lain, hama tersebut tidak
dapat dikendalikan secara kimiawi karena akan berdampak pada residu,
resistensi dan resurjensi, dan hama yang selalu menimbulkan kerugian

7
hanya satu atau dua jenis saja. Musuh alami yang sesuai untuk kegiatan
augmentasi harus memenuhi ciri, yaitu musuh alami yang dilepaskan
harus mampu berkembangbiak dan menyebar di pertanaman. Selain itu,
musuh alami mudah dibiakkan secara masal, lebih memilih hama sasaran
daripada inang atau mangsa alternatif, dan kepridian yang tinggi. Di
Indonesia, salah satu jenis musuh alami sejak tahun 1984 digunakan
dalam inokulasi adalah Sturmiopsis inferens Towns (Diptera: Tachinidae)
yang merupakan parasitoid penggerek tebu raksasa, Phragmatoecia
parvipuncta Hamps (Lepidoptera: Cossidae). Trichogramma merupakan
parasitoid yang paling umum digunakan untuk inundasi dalam
mengendalikan hama dari golongan Lepidoptera.
 Konservasi
Lingkungan hama dan musuh alaminya dapat dimanipulasi untuk
meningkatkan kehidupan dan dampak musuh alami yang sudah ada. Cara
ini disebut juga sebagai metode konservasi. Jadi, konservasi merupakan
usaha untuk memanfaatkan musuh alami yang sudah ada di lapangan atau
pertanaman dengan cara memanipulasi lingkungan sedemikian rupa agar
perannya dalam menekan populasi hama dapat ditingkatkan. Manipulasi
lingkungan dapat dilakukan dengan cara pengembangan teknik bercocok
tanam yang sesuai, penyediaan sumber daya pakan bagi musuh alami,
inang alternatif, sinkronisasi fenologi hama dan musuh alami,
pengendalian pesaing biologi, modifikasi praktek bercocok tanam, dan
mengurangi gangguan dan kematian musuh alami. Musuh alami sering
lebih memilih habitat yang berbeda dari tanaman pokok yang diusahakan.
Menanam tanaman sela dalam bentuk barisan dapat menyediakan habitat
yang sesuai bagi musuh alami. Musuh alami biasanya lebih beragam di
habitat pertanaman tumpangsari dibandingkan monokultur. Pertanaman
tumpangsari menyediakan berbagai alternatif habitat. Kebanyakan imago
parasitoid memerlukan nektar, embun madu atau serbuk sari untuk
melengkapi siklus hidupnya. Musuh alami yang bersifat generalis

8
biasanya akan mencari inang lain bila inang atau mangsa utamanya tidak
tersedia. Residu pestisida dapat membunuh musuh alami termasuk fase
yang tidak terbunuh pada saat aplikasi.

2.3 Karakteristik Parasitoid dan Predator

 Parasitoid
Parasitoid adalah serangga yang hidup sebagai parasit pada atau di
dalam serangga atau artropoda lainnya. Parasitoid bersifat parasitik pada
fase larva atau pradewasa, sedangkan pada fase imago atau dewasa hidup
bebas tidak terikat pada serangga inangnya. Parasitoid dewasa hidup dari
mengisap nektar, embun madu, air, meskipun kadang-kadang juga
mengisap cairan tubuh serangga inang. Parasitoid berbeda dengan parasit
karena parasitoid memiliki inang dari golongan takson yang sama, yaitu
serangga atau artropoda lainnya, sedangkan parasit memarasit takson yang
berbeda, misalnya lalat mengisap darah sapi. Ukuran parasitoid relatif
besar dibandingkan ukuran inang, dan tidak pernah pindah inang selama
perkembangannya. Parasitoid dapat menyerang setiap instar inang,
meskipun instar dewasa yang paling jarang terparasit. Sebagian besar
parasitoid tergolong dalam ordo Hymenoptera dan Diptera. Ordo
Hymenoptera yang terbanyak mengandung parasitoid berasal dari famili
Ichneumonidae dan Braconidae, sedangkan pada ordo Diptera, famili
Tachinidae yang semua spesiesnya hidup sebagai parasitoid. Contoh
spesies parasitoid terkenal adalah Trichogramma sp. yang dapat
memarasit telur berbagai jenis Lepidoptera dan Diadegma semiclausum
yang hanya memarasit larva Plutella xylostella.
 Predator
Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memangsa
atau memakan binatang lainnya. Predator berasal dari kelompok serangga,
laba-laba, tungau, dan vertebrata. Kalau parasitoid selama perkembangan
dari telur sampai menjadi imago hanya membutuhkan satu serangga inang,

9
predator membutuhkan banyak mangsa. Predator fase imago juga
memangsa serangga yang sama seperti larvanya. Mangsa predator dapat
berupa telur, larva (nimfa), kepompong atau imago serangga lainnya.
Pada umumnya predator bersifat polifag dari segi mangsanya, meskipun
ada yang relatif spesifik, artinya ia mempunyai preferensi yang tinggi
terhadap satu spesies mangsa. Banyak ordo serangga yang memiliki
spesies yang berperan sebagai predator, misalnya ordo Coleoptera,
Neuroptera, Diptera, Hemiptera, bahkan ada famili yang seluruh atau
hampir seluruh spesiesnya hidup sebagai predator, seperti famili
Carabidae, Mantidae (Dictyoptera, Mantodea), dan Chrysopidae
(Neuroptera). Beberapa contoh spesies predator hama padi yang terkenal
ialah kumbang tanah (Pheropsophus spp.), laba-laba pemburu (Pardosa
pseudoannulata).

10
III. METODOLOGI
1.Waktu dan Tempat
Praktikum lapangan dilaksanakan pada hari senin, 02 Desember 2019 pukul 08.30
WITA - selesai yang bertempat di Desa Kerta, Kecamatan Payangan, Kabupaten
Gianyar dan dilanjutkan di Lab Ilmu Hama Fakultas Pertanian Universitas Udayana.

2. Alat dan Bahan


Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah sebagai
berikut :
1. Alat tulis
2. Gelas Plastik
3. Kain kasa
4. Karet Gelang.
5. Cawan petri

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah sebagai
berikut :
1. Jenis Predator pada tanaman jeruk yang ada di lapangan
2. Jenis Hama pada tanaman jeruk yang ada di lapangan
3. Jurnal Penuntun

3.3 Metode
Adapun metode yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah sebagai berikut
:
Pengambilan Sampel di Lapangan

1. Menentukan unit pengambilan sampel pada praktikum ini dilakukan pada


kebun dengan luas 1 ha untuk pengambilan sampel ditentukan 5 unit titik
sampel dengan luas 1 titik unit sampel seluas 12m x 12 m
2. Melihat dan mengamati jenis hama dan predator pada tanaman jeruk untuk
mempermudah menemukan hama dan predator perhatikan gejala pada
tanaman.
3. Mengambil hama dan predator yang kemudian dimasukkan kedalam plastic
untuk dibawa ke labolatorium.

11
Uji kemampuan predasi predator Aphis spp.
1. Aphis spp. yang telah diambil dari lapang dibawa ke lab
2. Pada satu cawan petri diisi 1 jenis predator tidak diberi makan selama 24 jam.
3. Selanjutnya diberikan 30 Aphis spp.dibuat tiga kali ulangan
4. Diamati kemampuan predator dalam memangsa Aphis spp. dalam 24 jam.

12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1 Hasil
Tingkat Parasitisasi Jumlah
Kelompok Larva
T. scoenobi
Telur Muncul T. Japonicum T. rowani

1 30 11 12
2 22 15 20
3 15 3 15
4 35 5 10

Tingkat Parasitisasi Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi


Kelompok Tingkat Parasitisasi Jumlah
Telur T. Japonicum T. rowani T. scoenobi
1 15.49 0.00 54.55 70.04
2 25.42 47.62 0.00 73.04
3 9.09 0.00 75.00 84.09
4 6.67 22.22 0.00 28.89
Rataan 14.17 17.46 43.18 64.02

Tingkat Predasi Predator M. Pericae

Kelompok Tingkat predasi ( 24 jam ) (%)


Telur Micromus Koksi
1 36.67 36.67
2 30.00 33.33
3 30.00 40.00
4 33.33 36.67
32.50 36.67
Rataan

13
4.2 Pembahasan
Kutu daun merupakan jenis serangga kecil pemakan getah tanaman. Kutu
daun hidup secara berkelompok (koloni), berwarna hitam, coklat atau hijau. Kutu
daun berukuran kecil dan panjangnya antara 1 mili meter sampai 2 mili meter. Kutu
daun merupakan salah satu hama yang paling merusak pada tanaman. Kerusakan
yang mereka buat terhadap tanaman membuat mereka menjadi musuh bagi para
petani.

Kumbang koksi adalah salah satu hewan kecil anggota ordo Coleoptera.
Mereka mudah dikenali karena penampilannya yang bundar kecil dan punggungnya
yang berwarna-warni serta pada beberapa jenis berbintik-bintik. Serangga ini dikenal
sebagai sahabat petani karena beberapa anggotanya memangsa serangga-serangga
hama seperti kutu daun. Walaupun demikian, ada beberapa spesies koksi yang juga
memakan daun sehingga menjadi hama tanaman.

Dari praktikum dapat diketahui bagaimana kemampuan parasitoid telur


penggerek batangpadi dapat di lihat pada tabel hasil, dalam praktikum ini pula tingkat
parasitasi yang paling tinggi adalah T.schoenobi, ysitu berkisar 43, 18 % dan pada
T.japonicum 14,17 % dan T. rowani 17,46 %.

Jumlah yang terdapat pada tabel diatas tidak lebih dari 50% atas telur yang
terkena parasitoid. Adanya beberpa hal yang mungkin mempengaruhi hasil dari
praktikum ini kareana kareana di setiap ulamngan tingkat tidak ditemukan parasitoid
T.schoenobi, dan T. rowani pada telur penggerek batang padi.

Mayoritas dari koksi adalah karnivora yang memakan hewan heawan kecil
penghisap tanaman semisal kutu daun. Larva dan koksi dewasa dari spesies yang
biasanya memakan makanan yang sama. Koksi memakan dengan cara menghisap
cairan tubuh mangsanya. Dan pada bagian kepala terdapat sepasan rahang bawah
untuk membantunya dalam hal memegang mangsa saat melakuakn proses memakan.
Ia lalu menusuk tubuh mangsanya dengan tabung khusus di mulutnya untuk
menyuntikan enzi penvernaan ketubuh mangsanya, lalau menghisap jarinag tubuh

14
mangsanya.yang sudah berbentuk cairan . tingkap predas pada Micromus tasmaniae
dalam 24 jam oleh Micromus adalah 32,50 juamlah ini juga tidak berbda dengan
kumbang koksi 36,67

Hal ini cukup membuktikan tingkat predasi Micromus tasmaniae dan koksi
cukup baik terhadap M. Pericae, kareana dalam waktu 24 jam 1 predator dapat
menyerang sekitar 32-36 % dari jumlah populasi M. Pericae.

15
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Dari praktikum dapat diketahui bagaimana
kemampuan parasitoid telur penggerek batangpadi dapat di lihat pada tabel hasil,
dalam praktikum ini pula tingkat parasitasi yang paling tinggi adalah T.schoenobi,
ysitu berkisar 43, 18 %

5.2 Saran
Dari hasil pembahasan diatasaseharusnya T.schoenobi,dapat digunakan sebagai
musuh alami yang ampuh dan dapat mengurangkan menggunkan pestisida sintetis.

16
LAMPIRAN FOTO

17
DAFTAR PUSTAKA

Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Lestari dengan Konservasi.


Faperta IPB. Bogor.
Sukirno, 1995. Hand Out Teknik Konservasi Tanah. Program Studi Teknik Pertanian
Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

DeBach P, Rosen D. 1991. Biological Control by Natural Enemies. Cambridge


University Press. Cambridge. 440p.

DeBach P. 1964. Biological Control of Insect Pests and Weeds. Chapman and Hall,
Ltd., London. 843 hal.

Untung K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University


Press. Yogyakarta. 273h.

van den Bosch R, Messenger PS, Gitierrez AP. 1985. An Introduction to Biological
Control. Plenum Press. New York and London.

18
19

Anda mungkin juga menyukai