Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Perpaduan Pengendalian Hayati dan Insektisida pada Hama


Tanaman

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Teknologi Pengendalian Hama dan Penyakit
Tanaman

Disusun Oleh:
Kelompok 1 Kelompok 3

Kelas E
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Perpaduan Pengendalian Hayati dan Insektisida untuk Mengendalikan Hama pada Tanaman.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen mata kuliah Teknologi Pengendalian
Hama dan Penyakit Tanaman yang telah memberikan tugas kepada kami sehingga kami
dapat lebih paham akan materi yang di ajarkan dan dibahas, dan telah kami selesaikan
dengan sebaik-baiknya. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna sebagai penambah
wawasan dan pemahaman tentang mengendalikan hama tanaman secara hayati dan
menggunakan insektisida. Namun kami menyadari bahwa manusia tidak ada yang sempurna
di dunia ini. Oleh karena itu sangatlah penting adanya kritik dan saran agar kami dapat
memperbaiki kesalahan pada makalah yang kami buat untuk masa yang akan datang.
Semoga makalah yang kami buat dapat dengan mudah dipahami oleh siapapun yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan, atau
terdapat penulisan yang salah.

Jatinangor, tanggal bulan tahun

Kelompok 1 dan Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................ 1
1.2 Tujuan ..................................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................. 3
2.1 Pengendalian Hama secara Hayati ........................................................................................ 3
2.2 Pengendalian Hama secara Kimiawi ...................................................................................... 4
2.3 Pengendalian Hama Terpadu ................................................................................................. 4
2.4 Hama pada Tanaman Kakao .................................................................................................. 7
2.4.1 Penggerek Buah Kakao (PBK) Conopomorpha cramerella ............................................ 7
2.4.2 Kepik Penghisap Buah (Helopeltis spp.) ........................................................................ 8
2.5 Perpaduan Pengendalian Hama pada Tanaman Kakao secara Hayati dan Insektisida ....... 9
BAB III PENUTUP................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................. 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap mahluk hidup menjadi penyusun dan pelaku terbentuknya suatu komunitas
yang mampu mengatur dirinya sendiri secara alami sehingga terjadi keseimbangan numerik
antara semua unsur penyusun komunitas. Setiap aktifitas organisme dalam komunitasnya
selalu berinteraksi dengan aktifitas organisme lain dalam suatu keterikatan dan
ketergantungan yang rumit yang menghasilkan komunitas yang stabil. Interaksi antar
organisme tersebut dapat bersifat antagonistik, kompetitif, atau bersifat positif seperti
simbiotik. (Untung, 2006).
Menurut Flint L. M dan Van den Bosch. R, (2000). Ekosistem adalah kesatuan
komunitas bersama-sama dengan sistem abiotik yang mendukungnya. Sebagai contoh
adalah ekosistem pertanian sawah dibentuk oleh komonitas makluh hidup bersama-sama
dengan tanah, air, udara dan unsur-unsur fisik lain yang terdapat di sawah tersebut. Konsep
ekosistem, seperti konsep biofer menekankan hubungan dan saling ketergantungan yang
tetap antara faktorfaktor hidup dan tak hidup di setiap lingkungan.
Dalam kurun waktu tertentu ekosistem alami dapat menjaga sifat-sifatnya dengan
cukup konstan, terutama karena desakan-desakan yang dibuat oleh lingkungan fisik
bersama sama dengan lingkungan timbal balik baik intra maupun antarspesies. Salah satu
mekanisme tersebut adalah predasi (peristiwa mangsamemangsa). Sifat mangsa-memangsa
tersebut akan terus berlangsung dalam kehidupan dan dalam ekositem dan disebut dengan
rantai makanan. Rantai makanan tersebut akan berlangsung sepanjang masa, antara
herbivora (pemakan tanaman) dan karnivora (musuh alami). Tanaman juga disebut dengan
produsen dan pemakan produsen disebut sebagai konsumen.
PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT
yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka
pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sebagai
sasaran teknologi PHT adalah : 1) produksi pertanian mantap tinggi, 2) Penghasilan dan
kesejahteraan petani meningkat, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras

1
secara ekonomi tidak merugikan dan 4) Pengurangan resiko pencemaran Lingkungan akibat
penggunaan pestisida yang berlebihan (Anonim, 2004).
Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan
pengendalian hama secara konvensional, yang sangat utama dalam manggunakan pestisida.
Kebijakan ini mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani yang tidak tepat dan
berlebihan, dengan cara ini dapat meningkatkan biaya produksi dan mengakibatkan dampak
samping yang merugikan terhadap lingkungan dan kesehatan petani itu sendiri maupun
masyarakat secara luas.
Akhir-akhir ini disadari bahwa pemakaian pestisida, khususnya pestisida sintetis
ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan produksi
pertanian, terselubung bahaya yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri, bahaya pestisida
semakin nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan pestisida yang tidak
bijaksana. Kerugian berupa timbulnya dampak buruk penggunaan pestisida
Pestisida berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia, (2). Pestisida
berpengaruh buruk terhadap kualitas lingkungan, dan (3). Pestisida meningkatkan
perkembangan populasi jasad penganggu tanaman.
Akhir-akhir ini musuh alami tersebut makin berkurang dan jarang untuk dapat
ditemui lagi, sebagai misal ada beberapa jenis spesies burung, dan juga serangga yang
dikenal sebagai pengendali alami hama serangga, saat ini sulit diketemukan dan mungkin
saja sedang menuju kepunahan. Penyebab salah satunya adalah akibat pengaruh buruk
pestisida terhadap lingkungan, yang tercemar melalui rantai makanan. Memadukan
pengendalian hayati dan pestisida merupakan salah sau cara untuk menanggulangi
permaslaahan ini.

1.2 Tujuan

Mengetahui pengendalian hayati sebagai pengedalian yang ramah lingkungan, efektif,


dan efisien
Mengetahui perpaduan antara pengendalian hayati dengan agen bikontrol dan pestisida
yang efektif untuk mengendalikan hama pada tanaman.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengendalian Hama secara Hayati

Anonim (2002), menyatakan bahwa pengendalian hayati adalah pengendalian


serangga hama dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya
(agen pengendali biologi), seperti predator, parasit dan patogen. Pengendalian hayati adalah
suatu teknik pengelolaan hama dengan sengaja dengan memanfaatkan/memanipulasikan
musuh alami untuk kepentingan pengendalian, biasanya pengendalian hayati akan dilakukan
perbanyakan musuh alami yang dilakukan dilaboratorium. Musuh alami sebagai bagian dari
agroekosistem memiliki peranan menentukan dalam pengaturan dan pengendalian populasi
hama. Dilihat dari fungsinya musuh alami dapat dikelompokkan menjadi parasitoid, predator
dan patogen.

Kelompok serangga dalam kehidupan diserang banyak patogen atau penyakit yang
berupa virus, bakteri, protozoa, jamur, riketzia dan nematoda. Ini merupakan macam
patogenik yang dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati.

Menurut Jumar (2000). Pengendalian hayati memiliki keuntungan yaitu : (1). Aman
artinya tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan keracunan pada manusia dan
ternak, (2). Tidak menyebabkan resistensi hama, (3). Musuh alami bekerja secara selektif
terhadap inangnya atau mangsanya, dan (4). Bersifat permanen untuk jangka waktu panjang
lebih murah, apabila keadaan lingkungan telah setabil atau telah terjadi keseimbangan
antara hama dan musuh alaminya.

Selain keuntungan pengendalian hayati juga terdapat kelemahan atau kekurangan


seperti : (1). Hasilnya sulit diramalkan dalam waktu yang singkat, (2). Diperlukan biaya yang
cukup besar pada tahap awal baik untuk penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan
prasarana, (3). Dalam hal pembiakan di laboratorium kadang-kadang menghadapi kendala
karena musuh alami menghendaki kondisi lingkungan yang khusus dan (4). Teknik aplikasi
dilapangan belum banyak dikuasai.

3
2.2 Pengendalian Hama secara Kimiawi

Pengendalian hama secara kimiawi merupakan upaya pengendalian pertumbuhan


hama tanaman menggunakan pestisida, yaitu zat kimia pembasmi hama tanaman. Pestisida
terdiri atas insektisida, larvasida, fungisida, dan algasida. Pestisida juga diartikan sebagai
substansi kimia dan bahan lain yang mengatur dan atau menstimulir pertumbuhan tanaman
atau bagian-bagian tanaman.

Sesuai konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), penggunaan pestisida ditujukan


bukan untuk memberantas atau membunuh hama, namun lebih dititikberatkan untuk
mengendalikan hama sedemikian rupa hingga berada dibawah batas ambang ekonomi atau
ambang kendali. Telah disadari bahwa pada umumnya pestisida merupakan bahan
berbahaya yang dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan manusia dan
kelestarian lingkungan hidup. Namun demikian, pestisida juga memberikan manfaat,
sehingga pestisida banyak digunakan dalam pembangunan di berbagai sektor, termasuk
pertanian. Memperhatikan manfaat dan dampak negatifnya, maka pestisida harus dikelola
dengan cara sebaik-baiknya sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
dengan dampak negatif yang sekecil-kecilnya.

Permasalahan yang terjadi sekarang, petani semakin cenderung menggunakan


pengendalian hama dan penyakit dengan cara kimiawi yakni dengan pestisida. Hal ini
disebabkan karena kurangnya pengetahuan petani akan interaksi tanaman dan musuh-
musuh alaminya. (Tobing, dkk. 2001)

2.3 Pengendalian Hama Terpadu

Konsep PHT muncul sebagai tindakan koreksi terhadap kesalahan dalam


pengendalian hama yang dihasilkan melalui pertemuan panel ahli FAO di Roma tahun 1965.
Di Indonesia, konsep PHT mulai dimasukkan dalam GBHN III, dan diperkuat dengan
Keputusan Presiden No. 3 tahun 1986 dan undang-undang No. 12/1992 tentang sistem
budidaya tanaman, dan dijabarkan dalam paket Supra Insus, PHT menjadi jurus yang
dianjurkan. Adapun tujuan PHT adalah meningkatkan pendapatan petani, memantapkan
produktifitas pertanian, mempertahankan populasi hama tetap pada taraf yang tidak
merugikan tanaman, dan mempertahankan stabilitas ekosistem pertanian.
4
Filosofi pengendalian hama menyangkut tiga dasar pokok pengendalian perangkat
lunak (soft control), satu dasar pokok pengendalian perangkat keras (hard control), dan
lintasan kritis (critical path). Tiga dasar pokok pengendalian dengan perangkat lunak adalah
kultur teknis, varietas unggul, dan musuh alami. Satu dasar pokok perangkat keras adalah
pengendalian langsung dengan membunuh hama berdasar nilai ambang ekonomi yang
merupakan lintasan kritis pemandu pengendalian perangkat keras.
Dasar filosofi tersebut kemudian dijabarkan dalam taktik-taktik pengendalian yang
disesuaikan dengan masalahnya. Taktik pengendalian dengan tanaman inang tahan paling
banyak digunakan. Keuntungan penggunaan tanaman inang tahan dalam pengendalian
hama adalah bersifat permanen dalam beberapa hal atau persisten untuk jangka waktu
yang lama, kompatibel dengan taktik atau metode pengendalian lainnya, selaras dengan
sistem ekologi dan lingkungan, selaras dengan upaya peningkatan produksi secara ekonomi,
aman, efektif, dan mudah diadopsi.
Taktik kultur teknis (cultural control atau ecological management) adalah taktik
memanipulasi lingkungan untuk membuat ketidakcocokan hama pada suatu lingkungan
dengan cara mengganggu siklus reproduktif, mengeliminasi makanan, dan membuat
lingkungan lebih cocok untuk perkembangan musuh alami. Walaupun sudah tergolong tua,
metode kultur teknis masih efektif menekan tingkat serangan hama dan diterima luas dalam
implementasi teknologi PHT. Tujuan akhir dari taktik kultur teknis adalah menemukan link
yang lemah dari siklus musiman hama sehingga hama tidak berkembang. Taktik
pengendalian hayati sebagai isu lingkungan berskala internasional mempunyai keunggulan
yaitu dapat bersifat permanen dalam mempertahankan populasi hama pada tingkat yang
aman, tidak mencemari lingkungan, ekonomis, dan kompatibel dengan teknik pengendalian
lainnya. Namun demikian, teknik pengendalian hayati dalam implementasinya tidak dapat
mengatasi setiap masalah hama.
Taktik pengendalian yang banyak dipakai saat ini adalah penggunaan insektisida
manakala usaha dengan taktik yang telah disebutkan di atas tidak berhasil. Oleh karena itu,
insektisida kimia tampaknya masih diperlukan meskipun penggunaannya harus dibatasi.
Dari segi substansial, PHT adalah suatu sistem pengendalian hama dalam konteks
hubungan antara dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama, menggunakan
berbagai teknik yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama tetap berada di bawah
ambang kerusakan ekonomi. Dalam konsep PHT, pengendalian hama berorientasi kepada

5
stabilitas ekosistem dan efisiensi ekonomi serta sosial. Dengan demikian, pengendalian
hama dan penyakit harus memperhatikan keadaan populasi hama atau patogen dalam
keadaan dinamik fluktuasi disekitar kedudukan kesimbangan umum dan semua biaya
pengendalian harus mendatangkan keuntungan ekonomi yang maksimal. Pengendalian
hama dan penyakit dilaksanakan jika populasi hama atau intensitas kerusakan akibat
penyakit telah memperlihatkan akan terjadi kerugian dalam usaha pertanian. Penggunaan
pestisida merupakan komponen pengendalian yang dilakukan, jika; (a) populasi hama telah
meninggalkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu dalam waktu singkat menekan
populasi hama, (b) komponen-komponen pengendalian lainnya tidak dapat berfungsi secara
baik, dan (c) keadaan populasi hama telah berada di atas Ambang Ekonomi (AE), yaitu batas
populasi hama telah menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada biaya pengendalian.
Karena itu secara berkelanjutan tindakan pemantauan atau monitoring populasi hama dan
penyakit perlu dilaksanakan.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, PHT tidak lagi
dipandang sebagai teknologi, tetapi telah menjadi suatu konsep dalam penyelesaian
masalah lapangan. Konsep PHT digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu konsep PHT
teknologi dan PHT ekologi. Tujuan dari PHT teknologi adalah untuk membatasi penggunaan
insektisida sintetis dengan memperkenalkan konsep ambang ekonomi sebagai dasar
penetapan pengendalian hama. Pendekatan ini mendorong penggantian pestisida kimia
dengan teknologi pengendalian alternatif, yang lebih banyak memanfaatkan bahan dan
metode hayati, termasuk musuh alami, pestisida hayati, dan feromon. Dengan cara ini,
dampak negatif penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan dapat dikurangi.
Konsep PHT ekologi berangkat dari perkembangan dan penerapan PHT dalam sistem
pertanian di tempat tertentu. Dalam hal ini, pengendalian hama didasarkan pada
pengetahuan dan informasi tentang dinamika populasi hama dan musuh alami serta
keseimbangan ekosistem. Berbeda dengan konsep PHT teknologi yang masih menerima
teknik pengendalian hama secara kimiawi berdasarkan ambang ekonomi, konsep PHT
ekologi cenderung menolak pengendalian hama dengan cara kimiawi.
Pengendalian dengan cara insektisida, banyak dampak yang ditimbulkan diantaranya
resistensi dan resurjensi serangga. Jika dilakukan pengendalian terpadu dengan hayati,
maka keberadaan musuh alami dan organisme lain yang bukan sasaran dapat terancam.
Insektisida golongan organofosfat, karbamat, dan piretroid sintetis berpengaruh negatif

6
terhadap musuh alami wereng dan penggerek batang, yaitu laba-laba (Lycosa sp.),
Cyrtorhinus sp., Coccinella sp., Paederus sp., Ophionea sp.), serta parasitoid wereng coklat
dan penggerek. Insektisida formulasi butiran mempunyai efek yang lebih rendah dan lambat
dibandingkan dengan formulasi cairan, tetapi karbofuran 3% sangat toksik terhadap
Cyrtorhinus sp. karena pengaruh uap insektisida secara langsung terhadap populasi
Cyrtorhinus sp. (Mukidjo 1979; Sumantri 1988). Penggunaan insektisida pada tanaman kubis
dapat memengaruhi aktivitas perkembangan dan peran parasitoid hama Plutella xylostella,
yaitu Diadegma semiclausum dan P. xylostella (Sastrosiswojo 1992). Insektisida golongan
karbamat, organofosfat, dan sintetik piretroid dapat menurunkan populasi serangga
penyerbuk (Elaeidobius kamerunicus) pada tanaman kelapa sawit, berkisar antara 80-90%
(Pardede et al.1996). Fention berpengaruh negatif terhadap parasitoid pengisap buah lada
(Anastatus piperis, Hadronatus sp., dan Ooencyrtus malayensis) (Laba et al. 2000). Pestisida
berspektrum luas dapat membunuh hama sasaran, parasitoid, predator, hiperparasit, serta
makhluk bukan sasaran seperti lebah, serangga penyerbuk, cacing, dan serangga pemakan
bangkai (Oka 1995). Insektisida profenofos, endosulfan, dan siflutrin berpengaruh negatif
terhadap populasi musuh alami H. armigera pada tanaman kapas, antara lain Paederus sp.,
Camphyloma sp., Chrysopa sp., dan laba-laba (Nurindah dan Subiyakto 1993).

2.4 Hama pada Tanaman Kakao

2.4.1 Penggerek Buah Kakao (PBK) Conopomorpha cramerella


PBK, Conopomorpha cramerella (Famili Gracillariidae: Ordo Lepidoptera) menyerang
tanaman kakao hampir di seluruh daerah utama penghasil kakao di Indonesia. Hama ini
menyerang buah yang masih muda sampai dengan buah yang sudah masak. Serangan hama
ini dapat menyebabkan penurunan produksi buah kakao hingga lebih dari 80% dan relatif
sulit dikendalikan. Selain menurunkan produksi serangan hama ini juga menyebabkan
kualitas biji menjadi rendah (Lim, 1992; Anshary, 2003). Pada tahun 2000 dilaporkan bahwa
serangan hama ini mencapai 60.000 hadengan kehilangan hasil sebesar Rp
405.643.680.000,-/tahun Penyebaran hama PBK di Sulawesi dimulai di Sulawesi Tengah
pada tahun 1991 kemudian menyebar ke seluruh areal pertanaman kakao di Sulawesi.
Tahun 1995, hama ini mulai ditemukan di Sulawesi Tenggara (Suwondo, 2001).

7
Stadium yang menimbulkan kerusakan dari hama ini adalah berupa larva/ulat
(Gambar 1 A dan B) yang menyerang buah kakao berukuran 3 cm sampai menjelang masak.
Larva merusak buah dengan memakan daging buah, membuat saluran ke biji menyebabkan
biji saling melekat (Gambar 1 B dan C), berwarna kehitaman, ukuran mengecil dan
berukuran kecil sehingga kualitas biji menjadi rendah.

Gambar 1. Larva (A); Imago penggerek buah kakao (C.cramerella) (B); Gejala serangan hama
PBK pada buah kakao: penampilan buah dari luar, warna buah tidak merata (C); dan
penampilan buah terserang yang dibelah (D).

2.4.2 Kepik Penghisap Buah (Helopeltis spp.)


Selain PBK, hama yang sering dijumpai pada pertanaman kakao adalah Helopeltis
spp. (Famili Miridae: Ordo Hemiptera). Helopeltis spp. merupakan salah satu hama utama
kakao yang banyak dijumpai hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Jenis Helopeltis yang
menyerang tanaman kakao diketahui lebih dari satu spesies, yaitu H. antonii, H. theivora
dan H. Claviver (Karmawati et al., 2010). Stadium yang merusak dari hama ini adalah nimfa
(serangga muda) dan imagonya. Nimfa dan imago menyerang buah muda dengan cara
menusukkan alat mulutnya ke dalam
jaringan, kemudian mengisap cairan di
dalamnya. Sambil mengisap cairan,
kepik tersebut juga mengeluarkan
cairan yang bersifat racun yang dapat

mematikan sel-sel jaringan yang ada di Gambar 2. Gejala serangan Helopeltis spp. Pada
buah kakao (kiri) dan imago H. theivora (kanan)
sekitar tusukan. Selain buah, hama ini
juga menyerang pucuk dan daun muda.
Serangan pada buah muda akan menyebabkan terjadinya bercak yang akan bersatu
sehingga kulit buah menjadi retak, buah menjadi kurang berkembang dan menghambat

8
pekembangan biji. Serangan pada buah tua menyebabkan terjadinya bercak-bercak cekung
berwarna coklat muda, yang selanjutnya akan berubah menjadi kehitaman (Gambar 2).
Serangan pada daun menyebabkan daun timbul bercak-bercak berwarna coklat atau
kehitaman. Sedangkan serangan pada pucuk menyebabkan terjadinya layu, kering dan
kemudian mati.

2.5 Perpaduan Pengendalian Hama pada Tanaman Kakao secara Hayati dan Insektisida
Pengendalian hama pada tanaman kakao dapat juga dilakukan dengan menggunakan
jamur B. bassiana. Isolat yang digunakan adalah Bby 725 dengan dosis 25-50 gram
spora/ha. Penyemprotan jamur B. bassiana sebaiknya dilakukan pada buah kakao muda
dengan dosis 50-100gram spora/ha sebanyak 5 kali. Dengan penyemprotan ini Helopeltis
akan mati setelah 2-5 hari Sulistyowati et al (2003). Untuk mengendalikan Helopeltis spp.,
umumnya petani maupun perkebunan besar menggunakan perpaduan antara agen hayati
dan insektisida kimia, serta pestisida nabati.
Cendawan entomopatogen sangat potensial mengendalikan serangga hama
tanaman kakao seperti Helopeltis spp. dan PBK. Bioinsektisida cendawan entomopatogen
memiliki kelebihan dalam keamanan penggunaannya. Cendawan ini memiliki spektrum
inang dari yang sangat luas seperti Metharizium anisopliae sampai yang sangat sempit dan
spesifik seperti Aschersonia spp., yang hanya menyerang lalat putih (Malsam et al. 1997).
Beberapa kelebihan lain penggunaan produk bioinsektisida cendawan
entomopatogen yaitu memiliki kemampuan untuk memperbanyak diri sehingga petani
pengguna tidak perlu membelinya secara berkala. Produk ini juga memiliki keunggulan dari
segi kesehatan karena sifatnya yang spesifik pada serangga tertentu. Selain itu cendawan
entomopatogen aman terhadap tanaman pertanian dan manusia. Kekurangan dari
penggunaan cendawan entomopatogen ialah ketahanannya yang kurang di lapangan.
Penggunaan cendawan ini mungkin tidak dapat bertahan sampai menyerang serangga inang
karena faktor seperti adanya hujan yang dapat menghanyutkan spora cendawan sebelum
sempat menempel pada kutikula inang.
Beberapa jenis agens hayati berupa cendawan diketahui efektif terhadap hama PBK
antara lain Beauveria bassiana, Spicaria sp. Fusarium sp. Verticilium sp., Acrostalagmus sp.
dan Penicillium sp. (Sulistyowati, 2002) dan Paecilomyces fumosoroseus (Nugraha et al.,
2010). Sedangkan untuk Helopeltis spp. cendawan yang diketahui efektif yaitu Beauveria
bassiana dan Spicaria sp. (Balai Proteksi Tanaman Perkebunan, 2007).
9
Pestisida nabati merupakan senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan yang
digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan berupa hama dan
penyakit tumbuhan maupun tumbuhan pengganggu (gulma). Pestisida nabati merupakan
hasil ekstraksi bagian dari tumbuhan baik dari daun, bunga, buah, biji atau akar. Biasanya
bagian tumbuhan tersebut mengandung senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki
sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu.
Beberapa pestisida nabati yang dapat digunakan untuk mengendalikan PBK dan
Helopeltis spp. antara lain daun tembakau sirih hutan, biji/daun mimba, umbi gadung, biji
srikaya/nona sebrang daun gamal, dan biji jarak. Daun suren (Toona sureni) dan Tithonia
(Tithonia diversifolia) juga dapat digunakan untuk mengendalikan Helopeltis spp. pada
kakao. Daun suren (Toona sureni) yang mengandung piretrin, dapat merusak system syaraf,
juga mampu mengendalikan Helopeltis spp. sedang daun, kulit batang dan akar Tithonia
diversifolia mengandung saponin, polyferol dan Flavonoid (Arnety et al., 2006 dalam
Waisanjani, 2011)

10
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Pengendalian hama pada tanaman kakao dapat dikendalikan dengan perpaduan


antara pemanfaatan agen hayati dan bioinsektisida. Agen hayati yang digunakan yaitu jamur
B. bassiana, sedangkan bioinsektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan PBK dan
Helopeltis spp. adalah Metharizium anisopliae, dan pestisida nabati yang dapat digunakan
antara lain daun tembakau sirih hutan, biji/daun mimba, umbi gadung, biji srikaya/nona
sebrang daun gamal, dan biji jarak. Daun suren (Toona sureni) dan Tithonia (Tithonia
diversifolia) juga dapat digunakan untuk mengendalikan Helopeltis spp.

11
DAFTAR PUSTAKA

Anshary, A. 2003. Potensi klon kakao tahan penggerek buah Conopomorpha cramerella
dalam pengendalian hama terpadu. Risalah Simposium Nasional penelitian PHT
Perkebunan Rakyat. Bogor, 17-18 September 2002. Pp. 177-186.
Ardana.I.K., Karmawati dan W. Rumini. 2010. Pengendalian hama tanaman perkebunan
dengan biopestisida jarak pagar. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Perkebunan 2010,
Jakarta, 12-14 November 2010 h. 67-71.
Flint L. M dan Van den Bosch. R. 2000. Pengendalian Hama Terpadu, Sebuah Pengantar.
Kanisius: Yogyakarta
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta: Jakarta.
Karmawati, E., Z. Mahmud, M. Syakir, J. Munarso, K. Ardana dan Rubiyo. 2010. Budidaya dan
Pasca Panen Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 92 hal.
Karmawati, E. 2010. Pengendalian hama Helopeltis spp pada tanaman jambu mete
berdasarkan ekologi; Strategi dan implementasinya. Pengembangan Inovasi Pertanian
3 (2) : 102-119.
Malsam O, Kilian M, Hain R, Berg D. 1997. Biological Control. Di dalam: Anke T, editor.
Fungal Biotechnology. Weinhem: Chapman dan Hall.
Nugraha, I., G. Kusumawardhani dan A.R. Fitriani, 2010. Potensi cendawan entomopatogen
di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. 8 hal.
Rukmana.R. dan Sugandi. 2002. Hama Tanaman dan Teknik Pengendaliaanya. Kanisius:
Yogyakarta.
Sulistyowati, E., Y.D. Junianto, Sri-Sukamto, S. Wiryadiputra, L. Winarto dan N. Primawati.
2003. Analisis status penelitian dan pengembangan PHT pada pertanaman kakao.
Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor, 17-18
September 2002. Pp. 161-176.
Suwondo, 2001. Upaya pengendalian hama PBK di Sulawesi Tenggara. Pertemuan Teknis
Pengendalian Hama PBK. Kendari.
Untung. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press:
Yoyakarta.
Waisanjani, W. 2011. Efektivitas ekstrak daun suren (Toona sureni) dan Tithonia diversifolia)
dalam pengendalian hama buah kakao.Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
http://balitpa.litbang.deptan.go.id diakses pada tanggal 9 Oktober 2016, pukul 08.26, di
Jatinangor.

12

Anda mungkin juga menyukai