Anda di halaman 1dari 39

Makro Fauna Tanah

BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Di lingkungan Laboratorium Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki potensi keanekaragaman
makro fauna tanah yang variatif, karena memiliki lingkungan yang ditumbuhi oleh pepohonan
( lingkungan bervegetasi pohon ) dan lingkungan yang ditumbuhi oleh rerumputan (lingkungan
bervegetasi rumput).
Keanekaragaman jenis makrofauna tanah ini sangat penting bagi ekosistem di kedua vegetasi
tersebut, karena keanekaragaman makrofauna tanah yang terdapat pada kedua vegetasi tersebut
menentukan kualitas tanah di lahan tersebut.
Mengingat pentingnya peran fauna tanah dalam menjaga keseimbangan ekosistem tanah dan masih
relatif terbatasnya informasi mengenai keberadaan fauna tanah, perlu dieksplorasi potensi fauna
tanah sebagai bioindikator kualitas tanah. Fauna tanah, termasuk di dalamnya serangga tanah,
memiliki keanekaragaman yang tinggi dan masing-masing mempunyai peran dalam ekosistem.
Diharapkan informasi yang didapatkan bisa digunakan sebagai data pendukung dalam pengelolaan
lahan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
I.II. Tujuan
Mengamati keanekaragaman makrofauna tanah di daerah bervegetasi pohon dan daerah bervegetasi
rumput.
Mengetahui nilai indeks kekeanekaragaman dan indeks kesamaan makrofauna tanah di kedua
vegetasi tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah merupakan suatu bagian dari ekosistem terrestrial yang di dalamnya dihuni oleh banyak
organisme yang disebut sebagai biodiversitas tanah. Biodiversitas tanah merupakan diversitas alpha
yang sangat berperan dalam mempertahankan sekaligus meningkatkan fungsi tanah untuk
menopang kehidupan di dalam dan di atasnya. Pemahaman tentang biodiversitas tanah masih sangat
terbatas, baik dari segi taksonomi maupun fungsi ekologinya (Baker, 1998).
Makrofauna tanah merupakan kelompok fauna bagian dari biodiversitas tanah yang berukuran 2 mm
sampai 20 mm (Gorny dan Leszek, 1993). Makrofauna tanah merupakan bagian dari biodiversitas
tanah yang berperan penting dalam perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi. Dalam dekomposisi
bahan organik, makrofauna tanah lebih banyak berperan dalam proses fragmentasi (comminusi) serta
memberikan fasilitas lingkungan (mikrohabitat) yang lebih baik bagi proses dekomposisi lebih lanjut
yang dilakukan oleh kelompok mesofauna dan mikrofauna tanah serta berbagai jenis bakteri dan
fungi. Peran makrofauna tanah lainnya adalah dalam perombakan materi tumbuhan dan hewan yang
mati, pengangkutan materi organik dari permukaan ke dalam tanah, perbaikan struktur tanah, dan
proses pembentukan tanah. Dengan demikian makrofauna tanah berperan aktif untuk menjaga
kesuburan tanah atau kesehatan tanah (Hakim, 1986 ; Adianto, 1993 ; Foth, 1994).
Organisme sebagai bioindikator kualitas tanah bersifat sensitif terhadap perubahan, mempunyai
respon spesifik dan ditemukan melimpah di dalam tanah (Primack, 1998). Salah satu organisme
tanah adalah fauna yang termasuk dalam kelompok makrofauna tanah (ukuran > 2 mm) terdiri dari
milipida, isopoda, insekta, moluska dan cacing tanah (Wood, 1989). Makrofauna tanah sangat besar
peranannya dalam proses dekomposisi, aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara,
bioturbasi dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994). Biomasa cacing tanah telah diketahui
merupakan bioindikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan molekul organik,
kelembaban tanah dan kualitas humus. Rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah dan
dekomposisi bahan organik (Anderson, 1994).
Penentuan bioindikator kualitas tanah diperlukan untuk mengetahui perubahan dalam sistem tanah
akibat pengelolaan yang berbeda. Perbedaan penggunaan lahan akan mempengaruhi populasi dan
komposisi makrofauna tanah (Lavelle, 1994). Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan
penanaman secara monokultur pada sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan terjadinya
penurunan secara nyata biodiversitas makrofauna tanah (Crossley et al., 1992; Paoletti et al., 1992;
Pankhurst, 1994).
Menurut Baker (1998), populasi, biomasa dan diversitas makrofauna tanah dipengaruhi oleh praktek
penggelolaan lahan dan penggunaannya. Sebaliknya, pada lahan terlantar karena kualitas lahannya
tergolong masih rendah menyebabkan hanya makrofauna tanah tertentu yang mampu bertahan
hidup, sehingga diversitas makrofauna tanah baik yang aktif di permukaan tanah maupun di dalam
tanah juga sangat rendah.
Fauna tanah memerlukan persyaratan tertentu untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Struktur dan
komposisi makrofauna tanah sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Makrofauna tanah lebih
menyukai keadaan lembab dan masam lemah sampai netral (Notohadiprawiro, 1998). Hakim dkk
(1986) dan Makalew (2001), menjelaskan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi aktivitas
organisme tanah yaitu, iklim (curah hujan, suhu), tanah (kemasaman, kelembaban, suhu tanah, hara),
dan vegetasi (hutan, padang rumput) serta cahaya matahari.
Cahaya matahari merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi sifat-sifat tumbuhan dan
hewan (Soetjipta, 1992). Tumbuhan dan hewan yang berbeda memiliki kebutuhan akan cahaya, air,
suhu, dan kelembapan yang berbeda (Reinjtjes et al.,1999). Jumar (2000) menyebutkan berdasarkan
responnya terhadap cahaya, makrofauna tanah ada yang aktif pada pagi, siang, sore, dan malam
hari. Sugiyarto (2000) menjelaskan bahwa kebanyakan makrofauna permukaaan tanah aktif di malam
hari. Selain terkait dengan penyesuaian proses metabolismenya, respon makrofauna tanah terhadap
intensitas cahaya matahari lebih disebabkan oleh akitivitas menghindari pemangsaan dari predator.
Dengan pergerakaannya yang umumnya lambat, maka kebanyakan jenis makrofauna tanah aktif atau
muncul ke permukaan tanah pada malam hari.
Bahan organik tanaman merupakan sumber energi utama bagi kehidupan biota tanah, khususnya
makrofauna tanah (Suin, 1997), sehingga jenis dan komposisi bahan organik tanaman menentukan
kepadatannya (Hakim dkk, 1986). Makrofauna tanah umumnya merupakan konsumen sekunder yang
tidak dapat memanfaatkan bahan organik kasar/seresah secara langsung, melainkan yang sudah
dihancurkan oleh jasad renik tanah (Soepardi, 1983).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.I Tempat dan waktu pengamatan


Pengamatan ini di lakukan di lingkungan Pusat Laboratorium Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Waktu pengamatan dilaksanakan pada tanggal 1 April 2010 pukul 09.30-11.30 WIB.
III.II. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini antara lain: botol air mineral ukuran 1,5 liter, fiber glass,
botol koleksi, tali rafia, alat gali, soil tester, termometer dan luxmeter. Baha yang diguakan dalam
praktikum kali ini antara lain: air, detergent dan formalin 4%.
III.III. Cara kerja
Metode yang digunakan pada ptaktikum kali ini menggunakan metode Pit Fall Trap. metode ini
dilakukan dengan cara membuat 5 buah lubang pada tanah sedalam 10 cm yang membentuk
lingkaran yang masing-masing berjarak 1 m. Kemudian kedalamnya dimasukan botol gelas
perangkap yang telah diisi oleh formalini 4% dan larutan detergen sebanyak 50 ml. bagian atas gelas
perangkap ditutup oleh fiberglass setinggi 10 cm dan dibuat agak miring untuk meghindari masuknya
air hujan kedalam lubang perangkap. Perangkap tersebut dipasang selama 7 hari dan dilakukan
prngumpulan sample selama dua hari sekali. Fauna tanah yang terperangkap kemudian dimasukan
kedalam plasti sampel dan dibawa ke Laboratorium untuk keperluan analisis data.
Pada masing masing lubang juga dilakukan pengukuran beberapa faktor variabel lingkungan seperti
intensitas cahaya, kelembaban udara, kelembaban tanah, pH tanah, dan suhu tanah, baik pada
lingkungan bervegetasi pohon maupun pada lingkungan bervegetasi rumput.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kompilasi data makro fauna tanah yang ditemukan di vegetasi rumput

No Taksa individu KR(%) Pi ln Pi Pi.lnPi


1 Hymenoptera 1 151 36.47 0,365 -1,007 -0,367
2 Hymenoptera 2 81 19,56 0,147 -1,917 -0,281
3 Hymenoptera 3 23 5,55 0,055 -2,900 -0,159
4 Hymenoptera 4 28 6,76 0,067 -2,703 -0,181
5 Hymenoptera 5 1 0,24 0,002 -6,214 -0,012
6 Diptera 115 27,7 0,002 -6,214 -0,012
7 Kadal 2 0,48 0,277 -1,283 -0,355
8 Arachnida 1 1 0,24 0,005 -5,298 -0,026
9 Arachnida 2 1 0,24 0,002 -6,214 -0,012
10 Gastropoda 1 0,24 0,002 -6,214 -0,012
11 Homoptera 3 0,72 0,007 -4,960 -0,035
12 Chilopoda 2 0,48 0,005 -5,298 -0,026
13 Scorpionida 1 0,24 0,002 -6,214 -0,012
14 Hirudinea 4 0,96 0,009 -4,710 -0,042
TOTAL 414 100 -1,532
H= 1,532 e = 0,109

Kompilasi data makro fauna tanah yang ditemukan di vegetasi pohon

No Taksa individu KR(%) Pi ln Pi Pi.lnPi


1 Coleoptera 1 1 0,62 0.006 -5,115 -0,030
2 Coleoptera 2 2 1,23 0,012 -4,422 -0,053
3 Hymenoptera 1 23 14,19 0,142 -1,951 -0,277
4 Hymenoptera 2 22 13,58 0,136 -1,995 -0,271
5 Hymenoptera 3 6 3,70 0,037 -3,296 -0,121
6 Hymenoptera 4 28 17,28 0,172 -1,760 -0,302
7 Oligochaeta 3 1,85 0,018 -4,017 -0,072
8 Lepidoptera1 1 0,62 0,006 -5,115 -0,030
9 Lepidoptera 2 2 1,23 0,012 -2,095 -0,053
10 Diptera 1 1 0,62 0,006 -5,115 -0,030
11 Kadal 1 0,62 0,006 -5,115 -0,030
12 Orthoptera 1 0,62 0,074 -5,115 -0,030
13 Acarina 12 7,4 0,074 -2,603 -0,192
14 Diptera 2 56 36,4 0,364 -1,010 -0,367
15 Diplopoda 1 0,62 0.006 -5,115 -0,030
16 Chilopoda 2 1,23 0,012 -4,422 -0,053
TOTAL 162 100 -2,011
H=2,011 e= 1,125

No Faktor fisik Vegetasi pohon Vegetasi rumput


1 Suhu udara awal () 28,83 30,17
2 Suhu udara akhir () 32,00 27,50
3 Kelembaban awal (%) 62,67 31,67
4 Kelembaban akhir (%) 42,67 65, 00
5 Intensitas cahaya awal (klux) 1,75 85,73
6 Intensitas cahaya akhir (klux) 3,26 37,63
7 pH tanah 6,37 6,63
8 Suhu tanah () 27,5 28,67

Pembahasan
Pengamatan kali ini dilakukan dengan menggunakan metode pit fall trap, yaitu dengan membuat
perangkap berupa lubang dari botol mineral sedalam 10 cm yang didalamnya diisi dengan larutan
formalin 4% dan larutan detergen sebanyak 50 ml. Laruta formalin berfungsi sebagai pengawet dari
bagi makrofauna yang terjebak di dalam lubang. Larutan detergen berfungsi sebagai cairan yang
dapat meurunkan tegangan permukaan air, karena terdapat beberapa jenis serangga dapat berdiri
diatas air karena tingginya tegangan permukaan air.
Diversitas makro fauna tanah
Tinggi rendahnya jumlah makrofauna tanah pada pengamatan yang dilakukan ditentukan oleh banyak
faktor diantaranya sumber makanan yang cukup dan kondisi lingkungan yang sesuai. Jumlah individu
makrofauna tanah dari tiga kali pengambilan terdapat perbedaan jenis makrofauna tanah. Hal ini
dapat dipengaruhi oleh berbagi faktor seperti faktor makanan yang melimpah, suhu, pH, dan
lingkungan (habitat) yang tidak sesuai dengan pola kehidupan makrofauna tanah. Menurut Baker
(1998), populasi, biomasa dan diversitas makrofauna tanah dipengaruhi oleh praktek penggelolaan
lahan dan penggunaannya. Pada lahan terlantar karena kualitas lahannya tergolong masih rendah
menyebabkan hanya makrofauna tanah tertentu yang mampu bertahan hidup, sehingga diversitas
makrofauna tanah baik yang aktif di permukaan tanah maupun di dalam tanah juga sangat rendah.
Dari hasil penyortiran semua jebakan di vegetasi rumput, terdapat 414 individu yang dapat
digolongkan dalam sembilan ordo dan spesies terbanyak terdapat pada ordo hymenoptera. Pada
vegetasi pohon terdapat 162 individu yang tercatat dan terbagi dalam sepuluh ordo. Pada vegetasi
pohon ini spesies terbanyak juga berasal dari ordo hymenoptera.
Diversitas makrofauna tanah yang didapat dari beberapa kali penagamatan diperoleh beberapa
spesies dari beberapa ordo. Pada lingkungan bervegetasi rumput terdapat dua ordo yang termasuk
predominan yaitu ordo hymenoptera dan ordo diptera dengan jumlah spesies tebesar didapat dari
ordo hymenoptera. Pada lingkungan bervegetasi pohon ditemukan tiga ordo yang termasuk
predominan yaitu ordo hymenoptera, diptera dan acarina dengan jumlah spesies tertinggi dari
kelompok diptera degan 56 individu.
Pada kedua vegetasi ini total jumlah individu tertinggi adalah jenis semut (ordo hymenoptera). Hal ini
dikarenakan pada kedua vegetasi ini menyadiakan makanan yang berlimpah untuk jenis semut
tersebut. Selain itu, vegetasi seperti ini merupakan habitat yag ideal bagi semut yaitu pepohonan dan
rerumputan. Selain sebagai sumber makanan, bahan organik tanaman juga digunakan sebagai
tempat untuk berlindung dari tekanan lingkungan (Sugiyarto, 2000). Semakin banyak bahan organik
yang tersedia maka jumlah individu makrofauna tanah akan semakin bertambah, karena mampu
melindungi dari tekanan lingkungan baik tingginya suhu lingkungan maupun kemungkinan adanya
predator.
Selain jenis semut, spesies yang total individunya tinggi di kedua vegetasi ini adalah spesies dari ordo
Diptera yaitu nyamuk. Dengan adanya saluran air sebagai tempat bertelur dan rendahnya intensitas
cahaya merupakan lingkungan yang sesuai bagi nyamuk untuk berkembang biak.
Dari hasil perhitungan didapatkan nilai indeks keanekaragaman pada vegetasi pohon lebih tinggi
daripada indeks keanekaragaman pada vegetasi rumput. Untuk nilai indeks kesamaan, pada vegetasi
pohon juga lebih tinggi daripada vegetasi rumput. hal ini menunjukkan bahwa pada vegetasi pohon
makrofauna tanahnya lebih variatif bila dibandingkan dengan makrofauna di vegetasi rumput. Hal ini
dapat dikarenakan pada vegetasi pohon merupakan habitat yang sesuai untuk berbagai makrofauna
tanah. Pada vegetasi pohon menyediakan sumber makanan yang lebih bagi berbagai jenis serangga
dan pepohonan dapat memberi perlindungan lebih daripada di daerah rerumputan bagi sebagian
jenis makrofauna.

Faktor fisik lingkugan


Pada vegetasi pohon dan vegetasi rumput suhu udara awal rata-rata keduanya tidak berbeda jauh
yaitu 28,83 pada vegetasi pohon dan 30,17 pada vegetasi rumput. Hal ini dikarenakan jarak
kedua tempat pengamatan tidak jauh terlalu jauh. Hal yang sama juga terlihat pada hasil pengukuran
untuk suhu akhir, hasilnya juga tidak jauh berbeda.
Suhu tanah rata-rata pada vegetasi rumput dan vegetasi pohon relatif sama, yaitu 28,67 pada
vegetasi rumput dan 27,50 pada vegetasi pohon. Suhu tanah yang relatif lebih rendah terdapat di
kawasan vegetasi pohon. Hal tersebut dikarenakan pada lahan tersebut hampir seluruhnya tertutupi
oleh pepohonan. Penutupan tersebut akan mengurangi evaporasi dan menjaga suhu tanah.
Dari hasil pengukuran pH atau derajat keasaman tanah, di vegetasi pepohonan dan vegetasi rumput
juga meunjukkan hasil yang relatif sama. pH di kedua vegetasi ini cenderung sedikit asam. Pada pH
dalam rentanagan ini banyak makrofauna yang dapat hidup diantaranya cacing tanah. pH ideal untuk
cacing tanah adalah 67,2 (Rukmana, 1999). Untuk jenis semut juga hidup pada kisaran pH tersebut,
meskipun jenis semut dapat hidup pada retang pH lebih tinggi daripada cacing tanah.
Kelembaban udara awal dan akhir di kedua vegetasi menunjukkan perbedaan. Pada kelembaban
udara awal, vegetasi rumput memiliki nilai yang lebih rendah dari vegetasi pohon. Namun pada
pengukuran kelembaban udara akhir, vegetasi rumput memiliki nilai kelembaban udara yang lebih
tinggi daripada vegetasi pohon.
Untuk nilai intensitas cahaya, di vegetasi rerumputan relatif lebih tinggi daripada intensitas cahaya di
vegetasi pohon. Hal ini dikarenakan pada vegetasi rumput cahaya langsung sampai pada lahan
tersebut tanpa ada penghalang. Pada vegetasi pohon cayaya sebagian terhalang oleh pepohonan
sehingga intensitas cahayanya relatif lebih rendah. Umumnya jumlah makrofauna lebih rendah pada
intensitas cahaya yang tinggi, namun pada kedua vegetasi ini makrofauna tanah terlihat lebih toleran
terhadap perbedaan intensitas cahaya.

BAB V
KESIMPULAN
Ordo diptera merupakan makrofauna yang jumlah individunya paling bayak ditemukan di vegetasi
pohon dan di vegetasi rumput
Ordo hymenoptera, diptera dan acarina merupakan ordo predomonan di kedua vegetasi
Nilai indeks keanakaragaman di vegetasi pohon lebih tinggi dari vegetasi rumput
Nilai indeks kesamaan di vegetasi pohon lebih tinggi dari vegetasi rumput

Daftar Isi
Anderson JM. 1994. Functional Attributes of Biodiversity in Landuse System: In D.J. Greenland and I.
Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon
Baker GH. 1998. Recognising and responding to the influences of agriculture and other land use
practices on soil fauna in Australia. App.Soil Ecol. 9,303-310.
Crossley Jr. DA, Mueller BR & Perdue JC. 1992. Biodiversity of microarthopds in agricultural soil:
relations to processes. Agric. Ecosyst. Environ. 40,37-46
Doran JW & Parkin. 1994. Definning and assessing soil quality, IN J.W. Doran D.C. Coleman D.F.
Bezdick and B.A Stewart (eds). Defining Soil Quality for Sustainable Enironment. SSSA Special
Publication 35. SSSA. Madison pp 3 -21
Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Nugroho, M. A. Dika, Go Ban
Hong, H. H. Bailley. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung : Penerbit
Universitas Lampung.
Makalew, A. D. N. 2001. Keanekaragaman Biota Tanah Pada Agroekosistem Tanpa Olah Tanah
(TOT). Makalah Falsafah sains program pasca sarjana /S3. Bogor:IPB.
Notohadiprawiro, T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Primack BR, Supriatna J, Indrawan M. & Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Rukmana R. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Kanisius. Yogyakarta
Suin, N. M. 1997. Ekologi Hewan tanah. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
Wood M. 1989. Soil Biology. Chapman and Hall. New York.
LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI MAKROFAUNA TANAH
20.19 syara

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI DASAR

MAKROFAUNA TANAH

Nama : Sara Fadlah Iq


NIM : 1110095000031
Kelompok : 1 (satu)
Semester : 3/A
Asisten Dosen : Dina Anggraini
Tanggal Praktikum : 19 Oktober 2011
Tanggal Dikumpul : 2 November 2011

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Organisme yang hidup dalam suatu lingkungan masing-


masing memiliki kualitas organisme penghuni di setiap habitat yang
berbeda. Tanah tersusun atas empat bahan yaitu mineral, bahan organik, air.
Selain itu juga terdapat lingkungan tanah yang merupakan lingkungan yang
terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan
dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan
sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup seperti makrofauna
tanah. Makrofauna tanah berperan penting dalam proses-proses ekologis yang
terjadi di dalam tanah, seperti dekomposisi, siklus unsur hara dan agregasi
tanah.

Kehidupan makrofauna tanah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang


merupakantempat hidupnya. Faktor yang memepengaruhi itu
diantaranya pH tanah, temperatur tanah, temperatur udara, kelembaban tanah,
kelembaban udara, intensitas cahaya. Perbedaan kondisi lingkungan
menyebabkan adanya perbedaan jenis makrofauna tanah dan juga yang
mendominasinya. Maka dari itu, peraktikum ini akan membandingkan
makrofauna tanah yang terdapat pada tempat (plot) yang berbeda, yaitu di area
vegetasi dan non vegetasi serta jenis makrofauna tanah diurnal dan noc turnal.

Dalam penyebaran makrofauna tanah lingkungan merupakan suatu


sistem kompleks yang berada diluar individu yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan organisme yang hidup dalam lingkungan masing-masing.
Begitu pula jumlah dan kualitas organisme penghuni di setiap habitat tidak
sama. Perbedaan yang paling mencolok adalah pada ukuran tumbuhan hijau,
karena akan mempengaruhi penyebaran makrofauna disekitarnya. Lingkungan
juga merupakan salah satu bagiannya (Irwan, 1992).

Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode Pitfall


trap merupakan metode yang umum dan sangat sederhana serta cukup efektif
dalam mengetahui keberadaan makrofauna tanah.

1.2. Tujuan Penelitian


Mengumpulkan dan mengkoleksi makrofauna tanah dengan menggunakan
metode perangkap jebakan sumur (pitfall trap).

Mengetahui faktor lingkungan fisik terhadap makrofauna tanah.

Menghitung keanekaragaman dan kelimpahan relatif makrofauna tanah.

Membandingkan keanekaragaman dan kelimpahan relatif jenis-jenis


makrofauna tanah pada komunitas-komunitas yang berbeda.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanah

Tanah merupakan suatu sistem terbuka, artinya sewaktu-waktu tanah itu


dapat menerima tambahan bahan dari luar atau kehilangan bahan-bahan yang
telah dimiliki tanah. Sebagai sistem terbuka, tanah merupakan bagian dari
ekosistem dimana komponen-komponen ekosistem tanah, vegetasi dan hewan
saling memberi dan menerima bahan-bahan yang diperlukan (Hardjowigeno,
2007).
Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan
antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua
lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat
tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya adalah makrofauna
tanah (Hardjowigeno, 2007).

Bagi ekosistem darat, tanah merupakan titik pemasukan sebagian besar


bahan ke dalam tumbuhan melalui akar-akarnya. Tumbuhan menyerap air, nitrat,
fosfat, sulfat, kalium, seng dan mineral esensi lainnya melalui akar-akar
tumbuhan. Dengan semua itu, tumbuhan mengubah karbon dioksida (masuk
melalui stomata daun) menjadi protein, karbohidrat, lemak, asam nukleat dan
vitamin yang dari semuanya itu tumbuhan dan semua heterotrof bergantung
pada suhu dan air dimana tanah merupakan penentu utama dalam produktivitas
bumi (Hardjowigeno, 2007).

2.2 Fauna Tanah dan Macam-macam Hewan Tanah

Fauna tanah merupakan hewan yang hidup di tanah, baik hidup pada
permukaan tanah maupun yang terdapat di dalam tanah. Beberapa fauna tanah
seperti herbivora, ia memakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas akarnya,
tetapi juga hidup dari tumbuh-tumbuhan yang sudah mati. Jika telah mengalami
kematian, hewan-hewan tersebut memberi masukkan bagi tumbuhan yang
masih hidup, meskipun ada pula sebagai kehidupan fauna lain (Irwan, 1992).

Kelompok hewan tanah sangat banyak dan beraneka ragam mulai dari
Protozoa, Rotifera, Nematoda, Annelida, Mollusca, Arthropoda, hingga vertebrata.
Hewan tanah dapat pula dikelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya,
kehadirannya di tanah, habitat yang dipilihnya, dan kegiatan makannya
Berdasarkan ukuran tubuhnya hewan-hewan tersebut dikelompokkan atas
mikrofauna, mesofauna, dan makrofauna. Ukuran mikrofauna berkisar antara 20
sampai dengan 200 mikron, mesofauna antara 200 mikron sampai dengan 1
sentimeter, dan makrofauna lebih dari 1 sentimeter ukurannya (Suin, 1989)

Berdasarkan kehadirannya, hewan tanah terbagi atas kelompok transien,


temporer, periodic, dan permanen. Berdasarkan habitanya, hewan tanah ada
yang digolongkan sebagai epigeon, hemiedafon, dan eudafon. Hewan epigeon
hidup pada lapisan tumbuha-tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon pada
lapisan organic tanah, dan yang eudafon hidup pada tanah lapisan mineral.
Berdasarkan kegiatan makannya hewan tanah ada yang bersifat herbivore,
saprova, fungifora, dan predator (Suin, 1989).

2.3. Makrofauna Tanah

Makrofauna tanah merupakan kelompok hewan- hewan besar penghuni


tanah yang merupakan bagian dari biodiversitas tanah yang berperan penting
dalam memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Dalam dekomposisi
bahan organik, makrofauna tanah lebih banyak berperan dalam proses
fragmentasi serta memberikan fasilitas lingkungan yang baik bagi proses
dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh kelompok mikrofauna tanah serta
berbagai jenis bakteri dan fungi. Peran makrofauna lainnya adalah dalam
perombakan materi tumbuhan dan hewan mati, pengangkutan materi organik
dari permukaan ke tanah, perbaikan struktur tanah dan proses pembentukan
tanah (Irwan, 1992).

Makrofauna tanah mempunyai peran yang sangat beragam di dalam


habitatnya. Pada ekosistem binaan, keberadaan dapat bersifat menguntungkan
maupun merugikan bagi sistem budidaya. Pada satu sisi makrofauna tanah
berperan menjaga kesuburan tanah melalui perombakan bahan organik,
distribusi hara, peningkatan aeresi tanah dan sebagainnya. Tetapi pada sisi lain
juga dapat berperan sebagai hama berbagai jenis tanaman budidaya. Dinamika
populasi berbagai jenis makrofauna tanah tergantung pada faktor lingkungan
yang mendukungnya, baik berupa sumber makanan, kompetitor, predator
maupun keadaan lingkungan fisika-kimia (Irwan, 1992).

Cacing tanah merupakan fauna tanah yang bermanfaat karena dapat


merubah bahan organik kasar menjadi humus. Cacing tanah memakan bahan
organik segar dipermukaan tanah, masuk sambil menyeret sisa-sisa tanaman ke
liangnya, kemudian mengeluarkan kotorannya di permukaan tanah. Adanya
fauna tanah bahan organik kasar yang ada di dalam tanah dapat menjadi humus.
Fauna tanah dapat memperbaiki tata udara tanah dan mengubah kesuburan
tanah serta struktur tanah (Hardjiwigeno ,2007).

2.4. Faktor Lingkungan

Hakim.dkk (1989) dan Makalew menjelaskan bahwa faktor lingkungan


yang dapat mempengaruhi aktifitas organisme tanah yaitu : iklim (curah hujan,
suhu), tanah (suhu tanah, hara, kelembaban tanah, kemasaman) dan vegetasi
(hutan, padang rumput) serta cahaya matahari (intensitas cahaya).

Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat
menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu
tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi
suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari
suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu hari satu
malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan
cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 2006).

Temperatur sangat mempengaruhi aktivitas mikrobial tanah. Aktivitas ini


sangat terbatas pada temperatur di bawah 10C, laju optimum aktifitas biota
tanah yang menguntungkan terjadi pada suhu 18-30C. Nitrifikasi berlangsung
optimum pada temperatur sekitar 30C. Pada suhu diatas 30C lebih banyak
unsur K-tertukar dibebaskan pada temperatur rendah (Hanafiah, 2007).
Pengukuran pH tanah juga sangat di perlukan dalam melakukan penelitian
mengenai makro fauna tanah. Keadaan iklim daerah dan berbagai tanaman yang
tumbuh pada tanahnya serta berlimpahnya mikroorganisme yang mendiami
suatu daerah sangat mempengaruhi keanekaragaman relatif populasi
mikroorganisme. Faktor-faktor lain yang mempunyai pengaruh terhadap
keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme adalah reaksi yang
berlangsung di dalam tanah, kadar kelembaban tanah serta kondisi-kondisi
serasi (Leksono, 2007).

2.5. Kekayaan Jenis (Species Richness)

Kekayaan jenis menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas


yang dipelajari. Untuk menentukannya perlu dilakukan suatu kajian intensif
untuk dapat memperoleh informasi yang tepat mengenai jumlah spesies yang
ada. Semakin banyak jenis spesies yang ada di suatu daerah, semakin tinggi
tingkat kekayaannya.

Maguran (1988) menyatakan bahwa kriteria yang digunakan untuk


menginterpretasikan kemerataan Evenness yaitu :

< 3,5 = kekayaan jenis rendah

3,5 5 = kekayaan jenis sedang

>5 = kekayaan jenis tinggi

2.6. Indeks Keanekaragaman

Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengetahui pengaruh kualitas


lingkungan terhadap komunitas makrofauna tanah. Keanekaragaman spesies
menunjukkan jumlah total proporsi suatu spesies relatif terhadap jumlah total
individu yang ada (Leksono, 2007).

Pengaruh kualitas lingkungan terhadap kelimpahan makrofauna tanah selalu


berbeda-beda tergantung pada makro fauna, karena tiap jenis makrofauna
memiliki adaptasi dan toleransi yang berbeda terhadap habitatnya. Indeks
tersebut digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih rinci tentang
komunitas makrofauna. Indeks keanekaragaman ditemukan oleh Shannon-
Wiener diacu dalam Begen (2000).

Maguran (1988) menyatakan bahwa kriteria yang digunakan untuk


meninterpretasikan keanekaragaman Shannon-Wiener yaitu :

H < 1,5 : keanekaragaman rendah


H 1,5-3,5 : keanekaragaman sedang
H > 3,5 : keanekaragaman tinggi
2.7. Indeks Kemerataan
Indeks kemerataan jenis menunjukkan perataan penyebaran individu
dari jenis-jenis organisme yang menyusun suatu ekosistem. Maguran (1988)
menyatakan bahwa kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan
kemerataan Evenness yaitu :

E < 0,3 : kemerataan rendah


E 0,3 0,6 : kemerataan sedang
E > 0,6 : kemerataan tinggi

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di halaman Pusat Laboratorium Terpadu (PLT)


Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian dilakukan pada
hari Rabu, 19 Oktober 2011 dan dilakukan selama 3 hari.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah alat penggali (sekop,
linggis), gelas plastik (5 buah), patok kayu (20 buah), terpal plastik (5 buah), tali
rafia, botol koleksi, soil tester, thermometer, lux meter. Sedangkan bahan yang
digunakan adalah deterjen, air, alkohol 70%, formalin 4%.

3.3. Cara Kerja


3.3.1. Pitfall Trap

Perangkap jebakan dibuat dengan menggunakan gelas plastik yang


dipasang pada lima titik dengan jarak antar plot 1 meter.

Gambar 1. Susunan perangkap jebak

Tanah kemudian digali hingga gelas plastik sejajar permukaan tanah, lalu
dimasukkan air yang telah dicampurkan dengan deterjan bubuk. Botol plastik
yang sudah terisi air deterjen dimasukkan kedalam masing-masing lima titik.
Kemudian di beri atap berupa terpal plastik agar jebakan terlindung dari air
hujan atau gangguan lain. Dilakukan juga pengukuran faktor fisik lingkungan
awal.

3.3.2. Sampling

Pengambilan sampel digunakan metode Hand Sorting dimana pengambilan


sampel dilakukan setiap hari selama 3 hari pagi dan sore hari. Dan yang diambil
dikumpulkan berdasarkan kesamaan ciri untuk mempermudah melakukan
identifikasi. Pada saat pengambilan sample terakhir dilakukan pengukuran fisik
lingkungan akhir.

3.3.3. Identifikasi Sampel

Sampel yang telah diperoleh kemudian dibawa ke Laboratorium untuk


dilakukan proses identifikasi. Spesimen yang telah ditemukan tersebut
diidentifikasikan berdasarkan kesamaan ciri morfologinya lalu dihitung jumlah
spesimen yang ditemukan.

3.4. Analisis Data

Kelimpahan

relatif (KR)
Kelimpahan Relatif (KR) = x 100%

Indeks

keanekaragaman (Diversity Index)

H = - atau H

Pi =

Keterangan : ni = jumlah individu tiap jenis

N = jumlah individu total

H = Indeks keanekaragaman

Indeks Kemerataan (Evenness Index)

E =

Keterangan : H = Indeks Keanekaragaman


S = Jumlah spesies

E = Indeks Kemerataan

Kekayaan Jenis (Species Richness)

Keterangan : S = Jumlah jenis

N = Jumlah individu total

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengukuran Faktor Fisik Lingkungan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan makrofauna antara lain


intensitas cahaya, kelembaban, pH tanah, dan suhu. Faktor tersebut dapat
mempengaruhi keanekaragaman dan jumlah makrofauna yang terdapat dalam
tanah. Sehingga untuk mengetahuinya diperlukan pengukuran faktor lingkungan
pada awal pengamatan dan akhir pengamatan. Berdasarkan hasil pengukuran
didapatkan data faktor fisik lingkungan adalah sebagai berikut:

Intensitas Kelembaban
pH tanah Suhu (C)
Cahaya (%)
Kelompo
Habitat (klux)
k Tanah Udara Udara Tan

Akhi Akhi Akhi Akhi Akhi


Awal Awal Awal Awal Awal Awal
r r r r r

1 66 6,5 67 74 1 0,5 6,9 7 30,5 27 26


Vegeta
2 2,6 66 68 58 1 1 6,9 7 32 27 28
si
3 68 6,3 64 58 1 1 6,9 7 28 27 27

Rata-rata 45,5 26,2 66 63 1 0,83 6,9 7 30 27 27

Non 4 73,6 63,5 63 74 1 0,5 6,7 7 32 26 31


Vegeta
si 5 29,3 0,15 67 85 1 1 6,9 6 31 26 28

Rata-rata 51,45 31,8 65 79 1 0,75 6,8 6.5 31 26 29

Tabel 1. Pengukuran Faktor Fisik Lingkungan

Tabel 1 diatas menunjukan pengukuran faktor fisik lingkungan pada


daerah vegetasi dan non vegetasi. Didapatkan intensitas cahaya rata-ratanya
diawal dan diakhir pada daerah vegetasi lebih rendah dibandingkan dengan
daerah non vegetasi dikarenakan pada daerah vegetasi banyak pepohonan yang
menghalangi masuknya cahaya sehingga intensitas cahayanya lebih kecil di
banding cahaya pada daerah non vegetasi yang sedikit tanamannya.

Pengukuran kelembaban tanah rata-rata di awal pada daerah vegetasi


lebih tinggi dibandingkan daerah non vegetasi. Hal ini dikarenakan pada lokasi
vegetasi tanahnya banyak mengandung air karena adanya pepohonan besar
yang banyak menampung air, juag sedikit penguapan air karena terhalangi oleh
pohon yang menyebabkan tanah di dareah vegetasi tetap lembab. Namun
kelembaban tanah rata-rata diakhir pada daerah vegetasi lebih rendah daripada
non vegetasi dikarenakan pengukuran akhir dilakukan setelah hujan sehingga
kelembaban tanahnnya lebih tinggi pada daerah non vegetasi.
Pengukuran suhu udara rata-rata awal pada daerah vegetasi dan non
vegetasi tidak jauh berbeda hanya terdapat sedikit perbedaan lebih tinggi di non
vegetasi yaitu 30C untuk vegetasi dan 31C untuk non vegetasi. Hal ini
dikarenakan pada daerah vegetasi ternaungi pohon sehingga suhunya relatif
rendah dan pada daerah non vegetasi suhunya relatif tinggi karena tidak
ternaungi pohon besar. Suhu udara rata-rata diakhir pada daerah non vegetasi
lebih rendah yaitu 26C dibandingkan pada daerah vegetasi yaitu 27C. Hal ini
dikarenakan pengukuran suhu akhir dilakukan setelah hujan turun sehingga suhu
udaranya lebih rendah di daerah non vegetasi tanpa naungan sehingga banyak
air hujannya dan suhu menjadi rendah.

Secara keseluruhan pada pengukuran faktor lingkungan yang dilakukan


diawal dan diakhir tidak mengalami perubahan yang signifikan.

4.2. Spesies Makrofauna di Daerah Vegetasi dan Non Vegetasi

Makrofauna yang hidup di daerah vegetasi dan non vegetasi memiliki


sedikit perbedaan, juga spesies yang hidup dimalam hari (nocturnal) dan yang
hidup pada siang hari (diurnal) juga akan berbeda baik dalam jumlah maupun
jenis spesies. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan spesies dari daerah
vegetasi dan non vegetasi sebagai berikut:

Tabel 2. Spesies di daerah vegetasi dan non vegetasi

Non
Vegetasi
vegetasi
Spesie
Nama Spesies
s Diurna Noctura
Diurnal Noctural
l l

Semut hitam
1 27 9 3 9
besar

Semut merah
2 2 2
besar

3 Nyamuk 3 4 1

4 Drosophila 2 1 3

5 Insecta sp. 2 1 3

Semut hitam
6 103 25 12 4
kecil

7 Ngengat 1 2 4

8 Spesies 8 2
9 spesies 9 1

10 Lalat 1 1

11 Laba-laba besar 1

12 Laba-laba kecil 4 1

13 Spesies 13 1

14 Kumbang 1 1

15 Spesies 15 3

Semut merah
16 19 2
kecil

17 Spesies 17 1

18 Spesies 18 1

19 Spesies 19 1

20 Spesies 20 3

21 Lalat besar 1

22 Spesies 22 1

Jumlah 144 53 51 31

Berdasarkan Tabel 2. spesies yang didapatkan selama pengamatan 3


hari pada daerah vegetasi diurnal didapatkan sebanyak 10 spesies dan jumlah
individu total sebanyak 144 ekor. Individu yang paling banyak didapatkan
adalah semut hitam kecil yaitu 103 ekor pada daerah vegetasi diurnal ini
dikarenakan serangga kecil seperti semut lebih aktif keluar pada siang hari.Pada
daerah vegetasi noctural spesies makrofauna tanah yang didapatkan sebanyak 7
spesies dengan jumlah individu total 53 ekor. Individu yang paling banyak
didapatkan adalah semut hitam kecil yaitu 25 ekor dan individu yang sedikit
ditemukan yaitu drosophila, insecta sp., dan lalat yaitu 1 ekor.

Pada daerah non vegetasi diurnal spesies makrofauna yang banyak


ditemukan adalah semut. Dan pada vegetasi diurnal ini didapatkan lebih banyak
spesies dibandingkan dengan vegetasi. Didapatkan jumlah spesies sebanyak 12
pada non vegetasi diurnal. Hal ini disebabkan banyak makrofauna yang lebih
banyak hidup pada rerumputan terbuka. Terdapat tiga jenis semut pada daerah
non vegetasi (berumput) yaitu semut hitam besar dengan jumlah individu 3 ekor,
semut merah kecil dengan jumlah individu 19 ekor, semut hitam kecil dengan
jumlah individu 12 ekor. Dominannya semut pada daerah non vegetasi
(berumput) dikarenakan sifat semut merupakan predator dan pemakan sisa-sisa
tumbuhan. Wilayah non vegetasi atau berumput merupakan tempat strategis
bagi semut membuat sarang untuk koloninya.secara keseluruhan, jumlah
individu yang didapatkan lebih rendah pada daerah non vegetasi
dibandingkan negetasi. Dan lebih banyak hewan diurnal dari pada nocturnal
seperti semut,isebabkan semut lebih banyak keluar pada siang hari (diurnal)
dibandingkan pada malam hari(noctural) karena serangga merupakan hewan
diurnal begitu juga mamalia, burung dan kadal termasuk hewan diurnal.

4.3. Komunitas Makrofauna Tanah di Daerah Vegetasi Diurnal

Pengamatan makrofauna tanah yang dilakukan pada daerah vegetasi


diurnal didominasi oleh berbagai jenis serangga. Kelimpahan relatif spesies dari
daerah vegetasi diurnal diantaranya adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Komunitas Makrofauna Tanah di Vegetasi Diurnal

Indivi
KR
No Taksa Pi ln Pi Pi x ln Pi
(%)
du

Semut hitam 18,75 0,187


1. 27 -1,673 -0,313
besar % 5

Semut merah 0,013


2. 2 1,39% -4,275 -0,059
besar 9

0,020
3. Nyamuk 3 2,08% -3,872 -0,08
8

0,013
4. Drosophila 2 1,39% -4,275 -0,059
9

0,013
5. Insecta sp. 2 1,39% -4,275 -0,059
9

71,53 0,715
6. Semut hitam kecil 103 -0,335 -0,239
% 3

0,006
7. Ngengat 1 0,69% -4,976 -0,034
9

0,013
8. Sp 8 2 1,39% -4,275 -0,059
9

9. Sp 9 1 0,69% 0,006 -4,976 -0,034


9

0,006
10. Lalat 1 0,69% -4,976 -0,034
9

Individu
144 -0,97

H = 0,97

E = H/ln S =
0,42

1,810

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

laporan ekologi - makro fauna tanah


I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan
lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat
dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya adalah
mesofauna tanah. Tanah dapat didefinisikan sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman
yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Kegiatan biologis seperti
pertumbuhan akar dan metabolisme mikroba dalam tanah berperan dalam membentuk tekstur dan
kesuburannya (Rao, 1994).
Tanah tersusun atas empat bahan utama, yaitu bahan mineral, bahan organic, air dan udara. Bahan-
bahan penyusun tanah tersebut masing-masing berbeda untuk setiap jenis tanah ataupun setiap
lapisan tanah. Pada lapisan atas yang baik untuk pertumbuhan tanaman lahan kering (bukan sawah )
umumnya mengandung 45% (volume) bahan mineral, 5% bahan organic, 20-30% udara dan 20-30%
air.
Fauna tanah adalah fauna yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun yang
terdapat di dalam tanah (Suin,1997). Beberapa fauna tanah, seperti herbivora, sebenarnya memakan
tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas akarnya, tetapi juga hidup dari tumbuh-tumbuhan yang sudah
mati. Jika telah mengalami kematian, fauna-fauna tersebut memberikan masukan bagi tumbuhan
yang masih hidup, meskipun adapula sebagai kehidupan fauna yang lain.(Rahmawati,2004)
Minyak tanah adalah molekul organic yang digukan untuk bahan bakar yng berasal dari minyak bumi.
Minyak bumi terdiri dari hidrokarbon, senyawa hidrogen dan karbon. Komponen kimia dari minyak
bumi dipisahkan oleh proses distilasi, yang kemudian, setelah diolah lagi, menjadi minyak tanah,
bensin, lilin, aspal, dll. Minyak digunakan untuk mendatangkan makro fauna tanah di sekitar tempat
pengamatan dengan bau yang dihasilkan.
Kondisi lingkungan merupakan factor terpenting dalam kehidupan makro fauna tanah termasuk
tempat hidup, seperti PH tanah, kelengasan tana, temperatur, aerasi, jenis tanah, suplai nutrisi,
intensitas cahaya dan semua hal yang berkaitan dengan lingkungan dari makro fauna tanah tersebut.
Perbedaan kondisi lingkungan menyebabkan adanya perbedaan jenis makro fauna tanah dan
makrofauna yang mendominasinya. Maka dari itu, peraktikum ini akan membandingkan makro fauna
tanah yang terdapat pada tempat (plot) yang berbeda, yaitu di bawah vegetasi, di dekat pembuangan
sampah(pembakaran sampah), dan di tempat terbuka. Serta membandingkan kesamaan dan
ketidaksamaan hewan pada tiga tempat tersebut.

I.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis makro fauna tanah yang terdapat pada beberapa
ekosistem, seperti di bawah vegetasi,di tempat terbuka dan di dekat tempat sampah di lingkungan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

II. Tinjauan Pustaka


Makrofauna tanah
Makrofauna tanah adalah hewan-hewan besar (makrofauna) penghuni tanah yang dapat dibedakan
menjadi hewan-hewan pelubang tanah, cacing tanah, arthropoda dan mollusca (gastropoda).
Hewan-hewan besar pelubang tanah seperti tikus, kelinci, kadang-kadang dapat memperbaiki tat
udara tanah dan mengubah kesuburan serta struktur tanah, tetapi hewan-hewan ini juga dapat
menghancurkan dan makan tanaman.
Cacing tanah tersebar di seluruh dunia dan meliputi sekitar 7000 spesies.tiga spesies yang paling
umum adalah: Helodrilus caliginosus ( cacing kebun), Helodrilus foetidus (cacing merah) dan
Lumbricus terrestris. Cacing tanah berguna untuk mengaduk tanah dan memoerbaiki tata udara tanah
sehingga infiltrasi air menjadi lebih baik, dan lebih mudah di tembus akar.
Arthropoda dalam tanah digolongkan ke dalam beberapa family yaitu; Crustaceae (kepiting, lobster,
crayfish- keduanya sejenis udang); Chilopoda(sejenis kelabang-contiped); diplopoda (kaki seribu-
milleped), arachnida (laba-laba, kutu, kalajengking); Insek
(belalang,jangkrik,lebah,kumbang,semut,rayap,lalat)
Kepiting dan lobster(jenis udang dengan sapit yang besar dan kuat seperti kepiting), banyak
ditemukan di daerah rawa-rawapasang surut seperti daerah hutan bakau. Hewan ini membuat
lubang-lubang pada tanah daerah tersebut dan memindahkan tanah tanah bawah ke permukaan
tanah, sehingga membuat gudukan-gudukan setinggi 0.5-1.0 m(lobster mound). Tanah-tanah yang
dipindahkan ke permukaan kadang-kadang banyak mengandung sulfida, sehinnga dipermukaan
teroksidasi menjadi sulfatdan muncul sebagai karatan kuning dari jarosite yang sangat masam. Jenis-
jenis Arthropoda yang lain mempunyai makanan sisa-sisa tumbuhan yang membusukdan
memperbaiki tata udara tanah dengan membuat lubang-lubang kecil pada tanah tersebut, tetapi
banyak pula diantaranya yang bersifat pengganggu karena makan tumbuhan yang hidup
(phytophagoes).
Jenis Mollusca yang hidup di atas tanah yang terpenting adalah bekicot. Hewan-hewan ini makan
sisa-sisa tanaman yang membusuk dan juga makan tanaman hidup.(Sarwono,2007)
Klasifikasi makro fauna tanah berdasarkan bagaimana makrofauna makan, yaitu makro fauna
biofatus dan makro fauna saprofagus. Makro fauna biofagus memekan makhluk-makhluk hidup.
Berdasarkan hal ini makro fauna dibedakan menjadi: 1) karnivora(pemakan hewan),
2)herbivora(pemakan tumbuhan),3) mikrobivora ( pemakan mikroorganisme), 4) omnivora(pemakan
tumbuhan/hewan). Makro fauna saprofagus adalah golongan makro fauna yang memakan bahan
yang telah mati atau sudah lapuk. Berdasarkan hal ini dibedakan menjadi;1)detritivora(pemakan
detritus), 2)cadavericola(pemakan bangkai binatang), 3) kaprofagus(pemakan dung). (lud
waluyo,2007)
Pengelompokan terhadap fauna tanah sangat beragam, mulai dari Protozoa, Rotifera, Nematoda,
Annelida, Mollusca, Arthropoda, hingga Vertebrata. Fauna tanah dapat dikelompokkan atas dasar
ukuran tubuhnya, kehadirannya di tanah, habitat yang dipilihnya dan kegiatan makannya.
Berdasarkan kehadirannya, fauna tanah dibagi atas kelompok transien, temporer, periodik dan
permanen. Berdasarkan habitatnya fauna tanah digolongkan menjadi golongan epigeon, hemiedafon
dan eudafon. Fauna epigeon hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon
pada lapisan organik tanah, dan yang eudafon hidup pada tanah lapisan mineral. Berdasarkan
kegiatan makannya fauna tanah ada yang bersifat herbivora, saprovora, fungifora dan predator (Suin,
1997). Sedangkan fauna tanah berdasarkan ukuran tubuhnya menurut Wallwork (1970), dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu; mikrofauna (20 - 200 ), mesofauna (200 - 1 cm) dan makrofauna
(lebih dari 1 cm). Menurut Suhardjono dan Adisoemarto (1997), berdasarkan ukuran tubuh fauna
tanah dikelompokkan menjadi: (1). mikrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran tubuh <
0.15 mm, seperti: Protozoa dan stadium pradewasa beberapa kelompok lain misalnya Nematoda, (2).
Mesofauna adalah kelompok yang berukuran tubuh 0.16 10.4 mm dan merupakan kelompok
terbesar dibanding kedua kelompok lainnya, seperti: Insekta, Arachnida, Diplopoda, Chilopoda,
Nematoda, Mollusca, dan bentuk pradewasa dari beberapa binatang lainnya seperti kaki seribu dan
kalajengking, (3). Makrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran panjang tubuh > 10.5 mm,
sperti: Insekta, Crustaceae, Chilopoda, Diplopoda, Mollusca, dan termasuk juga vertebrata kecil.
(rahmawati,2004)
Faktor yang mempengaruhi aktivitas organisme tanah:
1) Iklim (curah hujan, suhu, kelembaban dll)
2) Tanah (kemasaman, kelembaban, suhu, hara dll)
3) Vegetasi (hutan, padang rumput, belukar, dll)
4) Keragaman organisme dan bobot biomassa dari organisme sangat besar
Aktivitas organisme tanah dicirikan oleh :
1) Jumlahnya dalam tanah
2) Bobot tiap unit isi atau luas tanah (biomassa)
3) Aktivitas metabolic (Biologi Tanah.http:elisa.Ugm.ac.id)
III. Metodologi
Praktikum ini dilakukan di bawah vegetasi,di tempat terbuka dan di dekat pembakaran/pembuangan
sampah di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Praktikum ini dilakukan pada tanggal 4 April
2008 sampai tanggal 12 April 2008.

Metode Kerja
1. Dipilih 3 plot, yaitu di bawah vegetasi, di tempat terbuka dan di dekat pembakaran/ pembuangan
sampah.
2. Diamati intensitas cahaya, ph, dan suhu pada plot
3. Dibuat lubang pada tanah sesuai ukuran kaleng dan berdiameter sama dengan ukuran kaleng di
masing-masing plot.
4. Dimasukan kaleng ke dalam lubang dengan ketinggian kaleng lebih tinggi 1 cm.
5. Diisi kaleng dengan minyak tanah yang telah dicairkan
6. Dipayungi kaleng dalam tanah menggunakan feber glass dengan 4 buah potongan kayu(2 buah
kayu depan lebih pendek dari kayu belakang.
7. Didiamkan selama 7 hari.
8. Pada hari terakhir diangkat kaleng dan diamati intensitas cahaya, ph dan suhu pada plot.
9. Di identifikasi hewan-hewan didapatkan dan diawetkan di dalam botol koleksi dengan
menggunakan alcohol.
10. Di hitung indeks dominan(c), indeks kesamaan( s), dan indeks diversitas yaitu indeks Shannon
(H) dan indeks evenness (e)
IV. Hasil dan Pembahasan
Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian mengenai Makro Fauna Tanah. Pengujian ini di lakukan
untuk mengetahui jenis-jenis makro fauna tanah yang terdapat pada beberapa ekositem tanah.
Pengujian di lakukan di halaman sekitar UIN Jakarta yang terdiri dari tiga plot, tepatnya di bawah
vegetasi pohon lengkeng(Euphoria longana), dekat tempat pembakaran sampah di parkiran motor,
dan di tempat terbuka samping fakultas sains dan Teknologi.
Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah metode perangkap sumuran( Nooryanto (1987)).
Pada praktikum ini menggunakan minyak tanah. Minyak tanah (wikipedia)adalah molekul organic
yang digukan untuk bahan bakar yng berasal dari minyak bumi. Minyak bumi terdiri dari hidrokarbon,
senyawa hidrogen dan karbon. Komponen kimia dari minyak bumi dipisahkan oleh proses distilasi,
yang kemudian, setelah diolah lagi, menjadi minyak tanah, bensin, lilin, aspal, dll. Minyak digunakan
untuk mendatangkan makro fauna tanah di sekitar tempat pengamatan dengan bau yang dihasilkan.
Pada hari pertama pada pukul 11.00-11.15, suhu plot pertama(vegetasi),kedua(dekat tempat atau
pebakaran sampah) dan plot ketiga(tempat tebuka) masing-masing adalah 32C, 31C dan 29C
sebelum di gali dan 29C,29C dan 28C. PH masing-masing plot adalah 5,8, 6.2 dan 5.2. sedangkan
intensitas cahaya adalah 12 klux,52 klux dan 93.8 klux. Sedangkan pada hari terakhir pukul 11,00-
11.30, suhu pada masing-masing plot adalah 29C,29C, dan 28C sebelum di gali dan 25C, 26C dan
26C sesudah di gali. PH pada masing-masing plot adalah 5.8, 5.8 dan 6. sedangkan intensitas
cahayanya 1,2 lux, 5.37 klux dan 14,83 klux.
Suhu, PH dan intensitas cahaya mempengaruhi kondisi tanah dan makro fauna tanah. Pada suhu
terlalu tinggi, kandungan air tanah menjadi berkurang sehingga jumlah makro fauna tanah akan
sedikit dibanding pada tempat dengan suhu yang tidak tinggi. Namun kandungan air juga tidak boleh
berlebih. Begitu juga intensitas cahaya, intensitas cahaya rendah lebih banyak dihuni oleh makro
fauna di banding dengan tanah yang memiliki intensitas yang lebih tinggi Baik kelebihan dan
kekurangan air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Menurut Sarwono(2007) fungsi air pada
tumbuhan tanaman adalah:
- sebagai unsur hara tanaman
tanaman memerlukan air dari tanah dan CO2 dari udara untuk membentuk gula dan karbohidrat pada
proses fotosintesis
- sebagai pelarut unsure hara.
Unsur hara yang terlarut dalam air diserap oleh akar tanaman dari larutan tersebut.
- sebagai bagian pada sel-sel tanaman.

Makro tanah yang didapatkan pada plot pertama(di bawah vegetasi) adalah tiga semut hitam besar
dan empat semut merah. Sehingga dapat dikatakan makrofauna tanah yang mendominasi adalah
semut merah. Semut merah dan semut hitam terdapat pada family yang sama yaitu Famili
Formicidae. Family formicidae dapat menjadi hama tanaman, malahan di beberapa tempat dapat
menyebabakan gundulnya kawasan di sekeliling sarang. Namun dapat menyebabkan tingginya unsur
hara di sekeliling sarang semut, karena semut menyebabkan tanah-tanah di kawasan menjadi lebih
gelap dan lebih banyak liat. Hal ini terkait dengan translokasi jaringan organic oleh semut ke dalam
tanah, yang kemudian dikonsumsi oleh jamur. Jamur merupakan makanan semut.(Kemas Ali,2003)
Pada plot kedua ditemukan 29 makro fauna tanah, yang terdiri dari 9 semut hitam besar, 1 belalang, 2
jangkrik, 13 kepik, 1 lalat dan 3 copet. Hal ini menunjukan pada plot kedua ditempati oleh bermacam-
macam dari family Insecta dengan didominasi oleh kepik. Tarumingkeng (2000), menyebutkan bahwa
serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), dalam siklus energi memiliki peran sampai 4 kali
lipat bila dibandingkan dengan jenis-jenis vertebrat (Rahmawati,2004).
Pada plot ketiga dtemukan 3 jenis semut(family formicidae) yaitu semut hitam besar,semut hitam kecil
dan semut merah dengan jumlah masing-masing 1, 2 dan 4 dengan demikian yang mendominasi
tempat terbuka adalah semut merah.
Plot pertama, kedua dan ketiga memiliki jenis tanah yang berbeda-beda. Tanah adalah lapisan yang
terlapuk dari kerak bumi di mana organisme dengan produk-produknya berbaur.komponen tanah
terdiri dari yang berlainan. Pertama, adalah materi dari bahan induk yang berkembang dari
substratum batuan geologic tubuh bumi dibawahnya. Kedua, bahan-bahan organic mati dan masih
hidup dari ragam populadi di dalam dan di atas tanah. Ketiga, ialah pori-pori,ruang udara atau cairan
diantara butir tanah yang merupakan larutan cair tanah dan atmosfer tanah.(sambas,2003)
Dari perhitungan yang didapatkan, indeks dominan pada perbandingan plot1,2 dan3 adalah plot 1
dengan indeks 0.509. indeks dominan pada plot 2 dan 3 adalah 0.3144 dan 0.427. indeks dominan
didapatkan bukan karena jumlas spesies yang banyak, tetapi dari keragaman spesies yang ada di
suatu tempat walaupun jumlahnya kecil.
Indek persamaan yang dibandingkan antara plot 1 dengan 2, plot 1 dan 3 dan plot 2 dan 3 masing-
masing adalah 0.25, 0.44 dan 0.4. dan indeks ketidaksamaan pada plot1,2 dan 3 adalah 0.75, 0.44
dan 0.4. hasil ini berarti antara plot 1 dan3 memiliki kesamaan makro fauna tanah yang tinggi di
banding plot lainnya. Dan pada plot kedua, memiliki ketidaksamaan makro fauna tanah yang besar di
banding tempat lainnya.
Indeks sanon yang di dapatkan pada plot 1,2 dan3 masing-masing adalah 0.2959, 0.5952, dan
0.4145. Serta hasil yang di dapatkan dari indeks evennens masimg-masing adalah 0.982, 0.764 dan
0.868.

V. Penutup
V.1 Kesimpulan
Minyak digunakan untuk mendatangkan makro fauna tanah di sekitar tempat pengamatan dengan
bau yang dihasilkan.
Pada suhu terlalu tinggi, kandungan air tanah menjadi berkurang sehingga jumlah makro fauna
tanah akan sedikit dibanding pada tempat dengan suhu yang tidak tinggi
makrofauna tanah yang mendominasi plot pertama (di bawah vegetasi) adalah semut merah.
plot kedua ditempati oleh bermacam-macam dari family Insecta dengan didominasi oleh kepik
mendominasi tempat terbuka adalah semut merah.
indeks dominan didapatkan bukan karena jumlas spesies yang banyak, tetapi dari keragaman
spesies yang ada di suatu tempat walaupun jumlahnya kecil
V.2 Saran
Menambah tempat yang lebih memadai

Daftar Pustaka

Biologi Tanah.http:elisa.Ugm.ac.id/filles/cahyonoagus/2jxcfyxq/biologi%20tanah.ppt
Di ambil: Tanggal12 april 2008 jam 16.00
Hanafiah, Kemas Ali. 2003. Biologi Tanah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Harjowigeno, Sarwono. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademi Pressindo
Minyak Tanah. http: wikipedia/minyak bumi.
Rahmawati .2004. Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah Di Kawasan Hutan Wisata Alam
Sibolangit. http: library.usu.ac.id/dounloud/fp/hutan-rahmawati.d
Waluyo,Lud.2005.Mikro Biologi Lingkungan. Malang:UMM-Press
Wirakusumah,Sambas. 2003. Dasar-Dasar Ekologi. Jakarta : UIP

LAPORAN PRAKTIKUM
EKOLOGI DASAR
MAKROFAUNA TANAH

Nama : Renny Ambar P


NIM : 1110095000021
Kelompok : 1 (satu)
Semester : 3/A
Asisten Dosen : Dina Anggraini
Tanggal Praktikum : 19 Oktober 2011
Tanggal Dikumpul : 2 November 2011
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah tersusun atas empat bahan yaitu mineral, bahan organik, air dan udara. Bahan-
bahan penyusun tanah tersebut jumlahnya masing-masing berbeda untuk setiap jenis atau
lapisan tanah. Di permukaan tanah banyak terdapat makrofauna. Makrofauna tanah berperan
penting dalam proses-proses ekologis yang terjadi di dalam tanah, seperti dekomposisi, siklus
unsur hara dan agregasi tanah.
Kehidupan hewan tanah sangat bergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan
kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah sangat ditentukan keadaan daerah
itu. Dengan perkataan lain keberadaan dan kepadatan suatu populasi suatu jenis hewan tanah
disuatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan abiotik dan
lingkungan biotik (Suin, 2006).
Faktor lingkungan abiotik secara besarnya dapat dibagi atas faktor fisika dan faktor
kimia. Faktor fisika antara lain ialah suhu, kadar air, porositas dan tekstur tanah. Faktor kimia
antara lain adalah salinitas, pH, kadar organik tanah dan unsur-unsur mineral tanah. Faktor
lingkungan abiotik sangat menentukan struktur komunitas hewan-hewan yang terdapat di
suatu habitat. Faktor lingkungan biotik bagi hewan tanah adalah organisme lain yang juga
terdapat di habitatnya seperti mikrofauna, mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan
hewan lainnya. Pada komunitas itu jenis-jenis organisme itu saling berinteraksi satu dengan
yang lainnya. Interaksi itu bisa berupa predasi, parasitisme, kompetisi dan penyakit
(Leksono,2007).
Dalam penyebaran makrofauna tanah lingkungan merupakan suatu sistem kompleks
yang berada diluar individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme
yang hidup dalam lingkungan masing-masing. Begitu pula jumlah dan kualitas organisme
penghuni di setiap habitat tidak sama. Perbedaan yang paling mencolok adalah pada ukuran
tumbuhan hijau, karena akan mempengaruhi penyebaran makrofauna disekitarnya.
Lingkungan juga merupakan salah satu bagiannya (Irwan, 1992).
Metode yang digunakan adalah Pitfall trap merupakan metode yang umum digunakan
dalam mengetahui keberadaan makrofauna tanah. Pitfall trap digunakan karena sangat
sederhana dan cukup efektif dimana memasang perangkap di titik yang telh ditentukan.
1.2. Tujuan Penelitian
Mengumpulkan dan mengkoleksi makrofauna tanah dengan menggunakan metode
perangkap jebakan sumur (pitfall trap).
Menghitung keanekaragaman dan kelimpahan relatif makrofauna tanah.
Membandingkan keanekaragaman dan kelimpahan relatif jenis-jenis makrofauna tanah pada
komunitas-komunitas yang berbeda.
Mengetahui faktor lingkungan fisik terhadap makrofauna tanah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanah
Tanah merupakan suatu sistem terbuka, artinya sewaktu-waktu tanah itu dapat
menerima tambahan bahan dari luar atau kehilangan bahan-bahan yang telah dimiliki tanah.
Sebagai sistem terbuka, tanah merupakan bagian dari ekosistem dimana komponen-
komponen ekosistem tanah, vegetasi dan hewan saling memberi dan menerima bahan-bahan
yang diperlukan (Hardjowigeno, 2007).
Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara
lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan
suatu wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk
hidup, salah satunya adalah makrofauna tanah (Hardjowigeno, 2007).
Bagi ekosistem darat, tanah merupakan titik pemasukan sebagian besar bahan ke
dalam tumbuhan melalui akar-akarnya. Tumbuhan menyerap air, nitrat, fosfat, sulfat, kalium,
seng dan mineral esensi lainnya melalui akar-akar tumbuhan. Dengan semua itu, tumbuhan
mengubah karbon dioksida (masuk melalui stomata daun) menjadi protein, karbohidrat,
lemak, asam nukleat dan vitamin yang dari semuanya itu tumbuhan dan semua heterotrof
bergantung pada suhu dan air dimana tanah merupakan penentu utama dalam produktivitas
bumi (Hardjowigeno, 2007).
2.2. Fauna Tanah
Fauna tanah atau hewan tanah merupakan hewan yang hidup di tanah, baik hidup
pada permukaan tanah maupun yang terdapat di dalam tanah. Beberapa fauna tanah seperti
herbivora, ia memakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas akarnya, tetapi juga hidup dari
tumbuh-tumbuhan yang sudah mati. Jika telah mengalami kematian, hewan-hewan tersebut
memberi masukkan bagi tumbuhan yang masih hidup, meskipun ada pula sebagai kehidupan
fauna lain (Irwan, 1992).
Fauna tanah merupakan salah satu komponen tanah. Kehidupan fauna tanah sangat
tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna
tanah di suatu daerah sangat ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan kata lain,
keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat tergantung
pada faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan abiotik. Fauna tanah merupakan bagian
darai ekosistem tanah, oleh karena itu dalam mempelajari ekologi fauna tanah faktor fisika
dan faktor kimia tanah selalu diukur (Suin, 2006).
Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan cepat bila di tunjang oleh
kegiatan makro fauna tanah. Keberadaan makro fauna tanah di dalam tanah sangat tergantung
pada kegiatan energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan
organik dan biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam
tanah. Dengan ketersediaan energi dan unsur hara bagi makro fauna tanah tersebut, maka
perkembangan dan aktivitas makro fauna tanah akan berlangsung baik dan timbal baliknya
akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah. Dalam sistem tanah, interaksi biota
tanah tampaknya sulit dihindarkan karena biota tanah banyak terlibat dalam suatu jaring-
jaring makanan dalam tanah (Leksono, 2007).
Cacing tanah merupakan fauna tanah yang bermanfaat karena dapat merubah bahan
organik kasar menjadi humus. Cacing tanah memakan bahan organik segar dipermukaan
tanah, masuk sambil menyeret sisa-sisa tanaman ke liangnya, kemudian mengeluarkan
kotorannya di permukaan tanah. Adanya fauna tanah bahan organik kasar yang ada di dalam
tanah dapat menjadi humus. Fauna tanah dapat memperbaiki tata udara tanah dan mengubah
kesuburan tanah serta struktur tanah (Hardjiwigeno ,2007).
2.3. Makrofauna Tanah
Makrofauna tanah merupakan kelompok hewan- hewan besar penghuni tanah yang
merupakan bagian dari biodiversitas tanah yang berperan penting dalam memperbaiki sifat
fisik, kimia dan biologi tanah. Dalam dekomposisi bahan organik, makrofauna tanah lebih
banyak berperan dalam proses fragmentasi serta memberikan fasilitas lingkungan yang baik
bagi proses dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh kelompok mikrofauna tanah serta
berbagai jenis bakteri dan fungi. Peran makrofauna lainnya adalah dalam perombakan materi
tumbuhan dan hewan mati, pengangkutan materi organik dari permukaan ke tanah, perbaikan
struktur tanah dan proses pembentukan tanah (Irwan, 1992).
Makrofauna tanah mempunyai peran yang sangat beragam di dalam habitatnya. Pada
ekosistem binaan, keberadaan dapat bersifat menguntungkan maupun merugikan bagi sistem
budidaya. Pada satu sisi makrofauna tanah berperan menjaga kesuburan tanah melalui
perombakan bahan organik, distribusi hara, peningkatan aeresi tanah dan sebagainnya. Tetapi
pada sisi lain juga dapat berperan sebagai hama berbagai jenis tanaman budidaya. Dinamika
populasi berbagai jenis makrofauna tanah tergantung pada faktor lingkungan yang
mendukungnya, baik berupa sumber makanan, kompetitor, predator maupun keadaan
lingkungan fisika-kimia (Irwan, 1992).
Hakim.dkk (1989) dan Makalew menjelaskan bahwa faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi aktifitas organisme tanah yaitu : iklim (curah hujan, suhu), tanah (suhu tanah,
hara, kelembaban tanah, kemasaman) dan vegetasi (hutan, padang rumput) serta cahaya
matahari (intensitas cahaya).
2.4. Faktor Fisik Lingkungan
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan
kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu tanah akan menentukan
tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu
udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami
fluktuasi dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung
pada keadaan cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 2006).
Temperatur sangat mempengaruhi aktivitas mikrobial tanah. Aktivitas ini sangat
terbatas pada temperatur di bawah 10C, laju optimum aktifitas biota tanah yang
menguntungkan terjadi pada suhu 18-30C. Nitrifikasi berlangsung optimum pada temperatur
sekitar 30C. Pada suhu diatas 30C lebih banyak unsur K-tertukar dibebaskan pada
temperatur rendah (Hanafiah, 2007).
Pengukuran pH tanah juga sangat di perlukan dalam melakukan penelitian mengenai
makro fauna tanah. Keadaan iklim daerah dan berbagai tanaman yang tumbuh pada tanahnya
serta berlimpahnya mikroorganisme yang mendiami suatu daerah sangat mempengaruhi
keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme. Faktor-faktor lain yang mempunyai
pengaruh terhadap keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme adalah reaksi yang
berlangsung di dalam tanah, kadar kelembaban tanah serta kondisi-kondisi serasi (Leksono,
2007).
2.5. Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengetahui pengaruh kualitas lingkungan
terhadap komunitas makrofauna tanah. Keanekaragaman spesies menunjukkan jumlah total
proporsi suatu spesies relatif terhadap jumlah total individu yang ada (Leksono, 2007).
Pengaruh kualitas lingkungan terhadap kelimpahan makrofauna tanah selalu berbeda-
beda tergantung pada makro fauna, karena tiap jenis makrofauna memiliki adaptasi dan
toleransi yang berbeda terhadap habitatnya. Indeks tersebut digunakan untuk memperoleh
informasi yang lebih rinci tentang komunitas makrofauna. Indeks keanekaragaman ditemukan
oleh Shannon-Wiener diacu dalam Begen (2000).
Maguran (1988) menyatakan bahwa kriteria yang digunakan untuk meninterpretasikan
keanekaragaman Shannon-Wiener yaitu :
H < 1,5 : keanekaragaman rendah
H 1,5-3,5 : keanekaragaman sedang
H > 3,5 : keanekaragaman tinggi
2.6. Indeks Kemerataan
Indeks kemerataan jenis menunjukkan perataan penyebaran individu dari jenis-jenis
organisme yang menyusun suatu ekosistem. Maguran (1988) menyatakan bahwa kriteria yang
digunakan untuk menginterpretasikan kemerataan Evenness yaitu :
E < 0,3 : kemerataan rendah
E 0,3 0,6 : kemerataan sedang
E > 0,6 : kemerataan tinggi
2.7. Kekayaan Jenis (Species Richness)
Kekayaan jenis menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yang dipelajari.
Untuk menentukannya perlu dilakukan suatu kajian intensif untuk dapat memperoleh
informasi yang tepat mengenai jumlah spesies yang ada. Semakin banyak jenis spesies yang
ada di suatu daerah, semakin tinggi tingkat kekayaannya.
Maguran (1988) menyatakan bahwa kriteria yang digunakan untuk
menginterpretasikan kemerataan Evenness yaitu :
< 3,5 = kekayaan jenis rendah

3,5 5 = kekayaan jenis sedang

>5 = kekayaan jenis tinggi

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.1.1. Lokasi Pengamatan
Dibawah pohon depan halaman Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.1.2. Waktu Pengamatan
Rabu, 19 Oktober 2011

3.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah alat penggali (sekop, linggis), gelas
plastik (5 buah), patok kayu (20 buah), terpal plastik (5 buah), tali rafia, botol koleksi, soil
tester, thermometer, lux meter. Sedangkan bahan yang digunakan adalah deterjen, air, alkohol
70%, formalin 4%.

3.3. Cara Kerja


3.3.1. Pitfall Trap
Perangkap jebakan dibuat dengan menggunakan gelas plastik yang dipasang

pada lima titik dengan jarak antar plot 1 meter.

Gambar 1. Susunan perangkap jebak pada setiap titik sampling


Tanah kemudian digali sedalam gelas plastik hingga sejajar permukaan tanah, lalu
dimasukkan air yang telah dicampurkan dengan deterjan bubuk. Botol plastik yang sudah
terisi air deterjen dimasukkan kedalam masing-masing lima titik. Kemudian di beri atap
berupa terpal plastik agar jebakan terlindung dari air hujan atau gangguan lain. Dilakukan
juga pengukuran faktor fisik lingkungan awal.
3.3.2. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel digunakan metode Hand Sorting dimana pengambilan sampel
dilakukan setiap hari selama 3 hari pagi dan sore hari. Dan yang diambil dikumpulkan
berdasarkan kesamaan ciri untuk mempermudah melakukan identifikasi. Pada saat
pengambilan sample terakhir dilakukan pengukuran fisik lingkungan akhir.
3.3.3. Identifikasi Sampel
Sampel yang telah diperoleh kemudian dibawa ke Laboratorium untuk dilakukan proses
identifikasi. Spesimen yang telah ditemukan tersebut diidentifikasikan berdasarkan kesamaan
ciri morfologinya lalu dihitung jumlah spesimen yang ditemukan.
3.4. Analisis Data
Kelimpahan relatif (KR)
Kelimpahan Relatif (KR) = x 100%

Indeks keanekaragaman (Diversity Index)


H = - atau H =

Pi =

Keterangan : ni = jumlah individu tiap jenis


N = jumlah individu total
H = Indeks keanekaragaman
Indeks Kemerataan (Evenness Index)
E =

Keterangan : H = Indeks Keanekaragaman


S = Jumlah spesies
E = Indeks Kemerataan
Kekayaan Jenis (Species Richness)

Keterangan : S = Jumlah jenis


N = Jumlah individu total

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengukuran Faktor Fisik Lingkungan
Tabel 1. Pengukuran Faktor Fisik Lingkungan

Habitat Kelompo Intensitas Kelembaban pH tanah Suhu (C)


k Cahaya (%)
(klux) Tanah Udara Udara Ta
Akhi Akhi Akhi Akhi Akhi
Awal r Awal r Awal r Awal r Awal r Awal
1 66 6,5 67 74 1 0,5 6,9 7 30,5 27 26
2 2,6 66 68 58 1 1 6,9 7 32 27 28
Vegetasi 3 68 6,3 64 58 1 1 6,9 7 28 27 27
Rata-rata 45,5 26,2 66 63 1 0,83 6,9 7 30 27 27
Non 4 73,6 63,5 63 74 1 0,5 6,7 7 32 26 31
Vegetasi 5 29,3 0,15 67 85 1 1 6,9 6 31 26 28
51,4
Rata-rata 5 31,8 65 79 1 0,75 6,8 6.5 31 26 29

Berdasarkan Tabel 1. dilakukan pengukuran faktor fisik lingkungan pada daerah


vegetasi dan non vegetasi. Intensitas cahaya rata-ratanya diawal dan diakhir pada daerah
vegetasi lebih rendah dibandingkan dengan daerah non vegetasi dikarenakan pada daerah
vegetasi masuknya cahaya terhalang oleh pohon sehingga intensitas cahayanya lebih kecil di
banding cahaya pada daerah non vegetasi (terbuka)

Kelembaban tanah rata-rata di awal pada daerah vegetasi lebih tinggi dibandingkan
daerah non vegetasi. Hal ini dikarenakan pada lokasi vegetasi di bawah pohon banyak
menghasilkan oksigen dan air dari dalam akar tanaman besar. Namun kelembaban tanah rata-
rata diakhir pada daerah vegetasi lebih rendah daripada non vegetasi dikarenakan pengukuran
akhir dilakukan sehabis hujan turun sehingga kelembaban tanahnnya lebih tinggi pada daerah
non vegetasi.

Kelembaban udara diawal dan diakhir pada daerah vegetasi lebih tinggi dibandingkan
daerah non vegetasi. Karena pada daerah vegetasi oksigen yang dihasilkan lebih banyak
karena di bawah pohon dibandingkan daerah non vegetasi. pH tanah diawal dan diakhir pada
daerah vegetasi lebih tinggi dibandingkan di daerah non vegetasi dikarenakan pada daerah
vegetasi terdapat pohon-pohon besar yang pH nya netral sehingga mampu menyerap unsur
hara dengan baik. pH tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman
dan umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman besar pada pH tanah sekitar nertal (7),
karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air (Hardjowigeno, 2007).

Suhu udara rata-rata diawal pada daerah vegetasi lebih rendah yaitu 30C
dibandingkan daerah non vegetasi yaitu 31C. Dikarenakan pada daerah vegetasi berada di
bawah naungan pohon sehingga suhunya relatif rendah dan pada daerah non vegetasi suhunya
relatif tinggi karena tidak terdapat naungan (terbuka).

Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan
organisme untuk hidup dan ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat hidup pada kisaran
suhu tertentu (Hardjowigeno, 2007).

Suhu udara rata-rata diakhir pada daerah non vegetasi lebih rendah yaitu 26C
dibandingkan pada daerah vegetasi yaitu 27C. Hal ini dikarenakan pengukuran suhu akhir
dilakukan setelah hujan turun sehingga suhu udaranya lebih rendah di daerah non vegetasi
tanpa naungan sehingga banyak air hujannya dan suhu menjadi rendah (semakin dingin).
Suhu tanah rata-rata diawal pada daerah vegetasi lebih rendah yaitu 27C
dibandingkan pada suhu non vegetasi yaitu 29C. Dikarenakan pada daerah vegetasi tanahnya
lebih lembab sehingga suhu tanahnya lebih rendah dibandingkan pada daerah non vegetasi.
Begitupun suhu tanah diakhir pada daerah vegetasi lebih rendah juga yaitu 26C daripada
daerah non vegetasi yaitu 27C.

4.2. Spesies Makrofauna di Daerah Vegetasi dan Non Vegetasi


Tabel 2. Spesies di daerah vegetasi dan non vegetasi
Vegetasi Non vegetasi
Non- Non-
Diurnal Diurnal
Spesies Nama Spesies noctural noctural
1 Semut hitam besar 27 9 3 9
2 Semut merah besar 2 2
3 Nyamuk 3 4 1
4 Drosophila 2 1 3
5 Insecta sp. 2 1 3
6 Semut hitam kecil 103 25 12 4
7 Ngengat 1 2 4
8 - 2
9 - 1
10 Lalat 1 1
11 Laba-laba besar 1
12 Laba-laba kecil 4 1
13 - 1
14 Kumbang 1 1
15 - 3
16 Semut merah kecil 19 2
17 - 1
18 - 1
19 - 1
20 - 3
21 Lalat besar 1
22 - 1
Jumlah 144 53 51 31

Berdasarkan Tabel 2. spesies yang didapatkan selama 3 hari pada daerah vegetasi
diurnal didapatkan sebanyak 10 spesies dan jumlah individu total sebanyak 144 ekor.
Terdapat banyak individu semut hitam kecil yaitu 103 ekor pada daerah vegetasi diurnal ini
dikarenakan serangga kecil seperti semut lebih aktif keluar pada malam hari dan individu
yang sedikit ditemukan adalah ngengat, Sp 9 dan lalat yaitu 1 ekor. Pada daerah vegetasi non-
noctural spesies makrofauna tanah yang didapatkan selama 2 hari sebanyak 7 spesies dan
jumlah individu total 53 ekor. Terdapat banyak individu semut hitam kecil yaitu 25 ekor dan
individu yang sedikit ditemukan yaitu drosophila, insecta sp., dan lalat yaitu 1 ekor. Hal ini
terlihat pada vegetasi diurnal dan non-noctural makrofauna yang sering mundul adalah semut
hita kecil dengan jumlah individu yang sangat banyak dibandingkan dengan spesies lainnya.
Pada daerah non vegetasi diurnal spesies makrofauna yang didapatkan selama 3 hari
yang lebih banyak ditemukan adalah semut. Terdapat tiga jenis semut pada daerah non
vegetasi (berumput) yaitu semut hitam besar dengan jumlah individu 3 ekor, semut merah
kecil dengan jumlah individu 19 ekor, semut hitam kecil dengan jumlah individu 12 ekor.
Dominannya semut pada daerah non vegetasi (berumput) dikarenakan sifat semut merupakan
predator dan pemakan sisa-sisa tumbuhan. Wilayah non vegetasi atau berumput merupakan
tempat strategis bagi semut membuat sarang untuk koloninya karena pada tempat tersebut
tanah tempat semut bersarang tertutup oleh serasah dan dapat melindunginya dari fauna lain.
Pada daerah non vegetasi non-noctural spesies makrofauna yang didapatkan selama 2
hari yang lebih banyak ditemukan adalah semut. Terdapat tiga jenis semut yang ditemukan
pada daerah non vegetasi non-noctural sama seperti diurnal. Namun jumlah individu tiap
spesiesnya lebih rendah pada daerah non vegetasi non-noctural dibandingkan diurnal.
Disebabkan semut lebih banyak keluar pada malam hari (diurnal) dibandingkan pada siang
hari (non-noctural) karena pada malam hari gelap dan mampu melindungi semut dari para
pemangsanya.

4.3. Komunitas Makrofauna Tanah di Daerah Vegetasi (Diurnal)


Tabel 3. Komunitas Makrofauna Tanah di Vegetasi (Diurnal)
Indivi
KR
No Taksa Pi ln Pi Pi x ln Pi
(%)
du
1. Semut hitam besar 27 18,75% 0,1875 -1,673 -0,313
2. Semut merah besar 2 1,39% 0,0139 -4,275 -0,059
3. Nyamuk 3 2,08% 0,0208 -3,872 -0,08
4. Drosophila 2 1,39% 0,0139 -4,275 -0,059
5. Insecta sp. 2 1,39% 0,0139 -4,275 -0,059
6. Semut hitam kecil 103 71,53% 0,7153 -0,335 -0,239
7. Ngengat 1 0,69% 0,0069 -4,976 -0,034
8. Sp 8 2 1,39% 0,0139 -4,275 -0,059
9. Sp 9 1 0,69% 0,0069 -4,976 -0,034
10. Lalat 1 0,69% 0,0069 -4,976 -0,034
Individu
144 -0,97
H = 0,97
E = H/ln S = 0,42
=

1,810
Berdasarkan Tabel 3. didapatkan data taksa-taksa yang diperoleh dari hasil pitfall
trap pada daerah vegetasi diurnal yang ditemukan sebagian besar adalah serangga. Serangga
yang paling banyak ditemukan adalah semut hitam kecil dengan kelimpahan relatif mencapai
71,35%. Taksa terbesar kedua yang ditemukan adalah semut hitam besar dengan kelimpahan
relatif sebesar 18,75%. Dari hasil tersebut bahwa semut hitam merupakan makrofauna tanah
yang dominan pada daerah vegetasi diurnal.
Ditemukan tiga jenis semut pada daerah vegetasi diurnal yaitu semut hitam besar,
semut merah besar dan semut hitam kecil. Semut mendominasi daerah ini dikarenakan sifat
semut merupakan predator dan pemakan sisa-sisa tanaman yang jatuh di tanah. Pada daerah
vegetasi diurnal diperoleh hasil indeks keanekaragamannya sebesar 0,92 yang berarti indeks
keanekaragaman pada daerah vegetasi diurnal adalah keanekaragamannya rendah
(<1,5). Didapatkan pula indeks kemerataan jenis yang menunjukkan perataan penyebaran
individu dari jenis-jenis organisme yang menyusun suatu ekosistem sebesar 0,42 yang berarti
kemerataan jenisnya tergolong sedang (0,3 0,6). Pada daerah vegetasi diurnal kekayaan
jenis yang didapat menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas sebesar 1,810 yang
berarti kekayaan jenis pada vegetasi diurnal tergolong rendah (<3,5)
4.4. Komunitas Makrofauna Tanah di Daerah Vegetasi (Non-noctural)
Tabel 4. Komunitas Makrofauna Tanah di Vegetasi (Non-noctural)
Individ
No Taksa KR (%) Pi ln Pi Pi x ln Pi
u
1. Semut hitam besar 19 35,84% 0,3584 -1,026 -0,367
2. Semut merah besar 2 3,77% 0,0377 -3,278 -0,123
3. Nyamuk 4 7,54% 0,0754 -2,584 -0,194
4. Drosophila 1 1,89% 0,0189 -3,968 -0,074
5. Insecta sp. 1 1,89% 0,0189 -3,968 -0,074
6. Semut hitam kecil 25 47,16% 0,4718 -0,751 -0,354
7. Lalat sp.10 1 1,89% 0,0189 -3,968 -0,074
Individu
53 -1,26
H = 1,26
E = H/ln S = 0,65
=

2,015

Berdasarkan Tabel 4. didapatkan data taksa-taksa yang diperoleh dari hasil pitfall
trap pada daerah vegetasi non-noctural yang ditemukan sebagian besar adalah serangga.
Serangga yang paling banyak ditemukan adalah semut hitam kecil dengan kelimpahan relatif
mencapai 47,16%. Taksa terbesar kedua yang ditemukan adalah semut hitam besar seperti
halnya pada vegetasi diurnal, semut hitam besar yang ditemukan dengan kelimpahan relatif
sebesar 35,84%. Dari hasil tersebut bahwa semut hitam merupakan makrofauna tanah yang
paling dominan pada daerah vegetasi non-noctural.
Di daerah vegetasi non-noctural didapatkan indeks keanekeragaman sebesar 1,26
yang berarti bahwa keanekaragaman spesies nya tergolong rendah (<1,5). Didapatkan pula
indeks kemerataan jenis yang menunjukkan perataan penyebaran individu dari jenis-jenis
organisme yang menyusun suatu ekosistem sebesar 0,65 yang berarti kemerataan jenisnya
tergolong tinggi (>0,6). Pada daerah vegetasi non-noctural kekayaan jenis yang didapat
menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yaitu sebesar 2,015 yang berarti
kekayaan jenis pada vegetasi non-noctural tergolong rendah (<3,5)
4.5. Komunitas Makrofauna Tanah di Daerah Non-vegetasi (Diurnal)
Tabel 5. Komunitas Makrofauna Tanah di Non- vegetasi (Diurnal)
Indivi

No Taksa du KR (%) Pi ln Pi Pi x ln Pi
0,058
1. Semut hitam besar 3 5,88% 8 -2,833 -0,166
0,058
2. Insecta sp. 3 5,88% 8 -2,833 -0,166
0,235
3. Semut hitam kecil 12 23,53% 3 -1,447 -0,341
0,039
4. Ngengat 2 3,92% 2 -3,239 -0,127
0,078
5. Laba-laba kecil 4 7,84% 4 -2,545 -0,199
0,019
6. Kumbang 1 1,96% 6 -3,932 -0,077
0,372
7. Semut merah kecil 19 37,25% 5 -0,987 -0,368
0,019
8. Sp 17 1 1,96% 6 -3,932 -0,077
0,019
9. Sp18 1 1,96% 6 -3,932 -0,077
0,019
10. Sp 19 1 1,96% 6 -3,932 -0,077
0,058
11. Sp 20 3 5,88% 8 -2,833 -0,166
0,019
1
12. Sp 22 1,96% 6 -2,833 -0,077
Individu
51 -1,182
H = 1,182
E = H/ln S = 0,476
=

2,799

Berdasarkan Tabel 5. didapatkan hasil makrofauna tanah yang ada pada daerah non
vegetasi diurnal. Data taksa-taksa yang diperoleh dari hasil pitfall trap pada daerah non
vegetasi diurnal yang ditemukan sebagian besar adalah serangga. Serangga yang paling
banyak ditemukan adalah semut merah kecil dengan kelimpahan relatif mencapai 37,25%.
Taksa terbesar kedua yang ditemukan yaitu semut hitam kecil dengan kelimpahan relatifnya
sebesar 23,53%. Dari hasil tersebut bahwa semut merupakan makrofauna tanah yang paling
dominan pada daerah nonvegetasi diurnal. Semut paling dominan pada daerah non vegetasi
(berumput) dikarenakan tempatnya yang strategis bagi semut membuat sarang untuk
koloninya karena pada tempat tersebut tanah tempat semut bersarang tertutup oleh serasah
dan dapat melindunginya dari serangan fauna lain.
Di daerah non vegetasi diurnal didapatkan indeks keanekeragaman sebesar 1,182
yang berarti bahwa keanekaragaman spesiesnya tergolong rendah (<1,5). Didapatkan pula
indeks kemerataan jenis yang menunjukkan perataan penyebaran individu dari semua jenis
organisme yang menyusun suatu ekosistem yaitu sebesar 0,476 yang berarti kemerataan
jenisnya tergolong sedang (0,3 0,6). Pada daerah non vegetasi diurnal kekayaan jenis yang
didapat menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yaitu sebesar 2,799 yang berarti
kekayaan jenis pada non vegetasi diurnal tergolong rendah (<3,5).
4.6. Komunitas Makrofauna Tanah di Daerah Non Vegetasi (Non-noctural)
Tabel 6. Komunitas Makrofauna Tanah di Non Vegetasi (Non-noctural)
Indiv

No Taksa idu KR (%) Pi ln Pi Pi x ln Pi


1. Semut hitam besar 9 29,03% 0,2903 -1,236 -0,359
2. Nyamuk 1 3,22% 0,0322 -3,436 -0,111
3. Drosophila 3 9,67% 0,0967 -2,336 -0,226
4. Semut hitam kecil 4 12,90% 0,129 -2,048 -0,264
5. Ngengat 4 12,90% 0,129 -2,048 -0,264
6. Laba-laba besar 1 3,22% 0,0322 -3,436 -0,111
7. Laba-laba kecil 1 3,22% 0,0322 -3,436 -0,111
8. Sp 13 1 3,22% 0,0322 -3,436 -0,111
9. Kumbang 1 3,22% 0,0322 -3,436 -0,111
10. Sp 15 3 9,67% 0,0967 -2,336 -0,226
11. Semut merah kecil 2 6,45% 0,0645 -2,741 -0,176
12. Lalat besar 1 3,22% 0,0322 -3,436 -0,111
31 -2,181
H = 2,181
E = H/ln S = 0,878
=

3,203

Berdasarkan Tabel 6. didapatkan hasil makrofauna tanah yang ada pada daerah non
vegetasi non nocturall. Data taksa-taksa yang diperoleh dari hasil pitfall trap pada daerah non
vegetasi non-noctural yang ditemukan sebagian besar adalah serangga. Serangga yang paling
banyak ditemukan adalah semut hitam besar dengan kelimpahan relatif mencapai 29,03%.
Taksa terbesar kedua yang ditemukan yaitu semut hitam kecil dan ngengat dengan
kelimpahan relatifnya sebesar 12,90%. Dari hasil tersebut bahwa semut hitam merupakan
makrofauna tanah yang paling dominan pada daerah non vegetasi non-noctural.
Di daerah non vegetasi non-noctural didapatkan indeks keanekeragaman sebesar
2,181 yang berarti bahwa keanekaragaman spesiesnya tergolong sedang (1,5 3,5).
Didapatkan pula indeks kemerataan jenis yang menunjukkan perataan penyebaran individu
dari semua jenis organisme yang menyusun suatu ekosistem yaitu sebesar 0,878 yang berarti
kemerataan jenisnya tergolong tinggi (> 0,6). Pada daerah non vegetasi non-noctural
kekayaan jenis yang didapat menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yaitu
sebesar 3,203 yang berarti kekayaan jenis pada daerah non vegetasi non-noctural tergolong
rendah (<3.5). Karena semakin sedikit jenis spesies yang ada di suatu daerah, semakin rendah
tingkat kekayaannya. Begitupula semakin banyak jenis spesies yang ada di suatu daerah,
semakin tinggi tingkat kekayaannya (Leksono, 2007).

BAB V
KESIMPULAN
Kelimpahan Relatif Terbesar pada daerah vegetasi diurnal yaitu semut hitam kecil
dengan KR = 71,53% dan pada daerah vegetasi non-noctural yaitu semut hitam kecil dengan
KR = 47,16%
Kelimpahan Relatif Terbesar pada daerah non vegetasi diurnal yaitu semut merah
kecil dengan KR = 37,25% dan daerah non vegetasi non-noctural yaitu semut hitam besar
dengan KR = 29,03%
H pada daerah vegetasi baik diurnal maupun non-noctrural menunjukkan
keanekaragaman jenis yang rendah (H < 1,5).
H pada daerah non vegetasi diurnal menunjukkan keanekaragaman jenis yang rendah
(H<1,5)
H pada daerah non vegetasi non-noctural menunjukkan keanekaragaman jenis yang
sedang (1,5 3,5)
RI pada daerah vegetasi dan non vegetasi baik diurnal maupun non-noctural
menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah (RI <3,5) .
Kemerataan jenis pada daerah vegetasi diurnal menunjukkan kemerataan jenis yang
tergolong rendah (E < 0,3)
Kemerataan jenis pada daerah vegetasi non-noctural menunjukkan kemerataan jenis
yang tergolong sedang (E 0,3 0,6)
Kemerataan jenis pada daerah non vegetasi diurnal menunjukkan kemerataan jenis
yang tergolong sedang (E 0,3 0,6)
Kemerataan jenis pada daerah non vegetasi non-noctural menunjukkan kemerataan
jenis yang tergolong tinggi ( E > 0,6)
Pada daerah vegetasi dan non vegetasi baik diurnal maupun non-nocturnal
makrofauna yang paling dominan berada dalam ekosistem tersebut adalah semut.
Faktor fisik lingkungan pada kedua daerah yaitu vegetasi dan non vegetasi
berpengaruh terhadap keanekaragaman makrofauna diurnal dan non-noctural.

DAFTAR PUSTAKA
Hardjowigeno, Sarwono.2007.Ilmu Tanah.Jakarta : Akademika Pressindo
Hanafiah, Kemas.2005.Dasar-dasar Ilmu Tanah.Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada
Irwan, Z.D.1992. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi: Ekosistem,
Komunitas dan Lingkungan.Jakarta : Bumi Aksara.
Leksono, A.Setyo.2007.Ekologi Pendekatan Deskriptif dan Kuantitatif.
Malang : Bayumedia
Suin, N.M.2006.Ekologi Hewan Tanah.Jakarta : Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai