Anda di halaman 1dari 54

KONSERVASI IN VITRO

JENIS TUMBUHAN GAMBUT


TUMIH (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser)

VIANTI

DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN

VIANTI. Konservasi In Vitro Jenis Tumbuhan Gambut Tumih (Combretocarpus


rotundatus (Miq.) Danser). Di bawah bimbingan EDHI SANDRA dan ISTOMO.

Tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser) merupakan salah satu


jenis lokal yang direkomendasikan dalam kegiatan rehabilitasi lahan gambut yang
terganggu. Jenis ini dapat diklasifikasikan jenis yang cepat tumbuh dan toleran
terhadap kondisi kering dan terbuka sehingga cocok untuk mengawali penanaman
dalam usaha rehabilitasi hutan rawa gambut. Salah satu upaya memperbanyak
jenis ini untuk pelestarian plasma nutfah yaitu melalui teknik kultur jaringan.
Pengembangan kultur jaringan tanaman berkayu masih menemui banyak kesulitan
karena sterilisasi eksplan yang sulit, kecepatan multiplikasi sangat rendah dan
keluarnya senyawa fenolik sehingga eksplan menjadi berwarna cokelat. Penelitian
ini merupakan penelitian pendahuluan dalam teknik penyiapan dan sterilisasi
eksplan tumih. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi keberhasilan
dari teknik penyiapan eksplan dan sterilisasi eksplan tumih dilihat dari peluang
hidup, tingkat kontaminasi dan tingkat pencokelatan (browning).
Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2011 hingga Agustus 2011 di
Laboratorium Bioteknologi Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup
(PPLH), IPB. Bahan tanaman yang digunakan adalah pucuk tumih yang
disterilisasi dengan menggunakan deterjen, HgCl2 , Clorox dan dibilas dengan air
steril. Eksplan diinisiasi pada media MS dengan penambahan BAP yaitu 0 ml/l;
0,5 ml/l; 1 ml/l dan 1,5 ml/l serta TDZ yaitu 0 ml/l; 0,05 ml/l; 0,1 ml/l dan 0,5
ml/l. Penelitian ini menggunakan 16 perlakuan dan setiap perlakuan terdiri dari 7
ulangan, sehingga secara keseluruhan terdapat 112 satuan percobaan.
Berdasarkan hasil pengamatan, eksplan tumih yang masih bertahan hidup
selama 4 minggu berjumlah 25 eksplan dengan ciri-ciri daun dan batang yang
masih berwarna hijau, sedangkan 21 eksplan mengalami pencokelatan dengan
ciri-ciri eksplan berwarna cokelat, dan 66 eksplan mengalami kontaminasi akibat
serangan jamur dan bakteri. Persentase rata-rata peluang hidup pada eksplan
tumih mencapai 22,32%, kontaminasi oleh jamur sebesar 57,14% dan oleh bakteri
sebesar 1,79% serta persentase rata-rata pencokelatan pada eksplan yaitu sebesar
18,75%. Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan dikategorikan berhasil
dengan masih bertahannya daun dan batang yang berwarna hijau sebanyak 25
eksplan. Sementara itu, untuk mengurangi kontaminan yang terdapat pada bibit
yang digunakan, dilakukan karantina yang lebih intensif dalam rumah kaca yaitu
dengan memberikan fungisida dan bakterisida. Hal ini dapat mengurangi tingkat
kontaminasi jamur dan bakteri yang terbawa oleh eksplan.

Kata kunci : Combretocarpus rotundatus, rehabilitasi, konservasi in vitro,


sterilisasi
SUMMARY

VIANTI. In Vitro Conservation of Peatland Species Tumih (Combretocarpus


rotundatus (Miq.) Danser). Under supervision of EDHI SANDRA and ISTOMO.

Tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser) is one of local species


which is recommended for rehabilitation of disturbed peatland area. This species
is classified as fast growing species and tolerant to dry and open area, thus
suitable for pioneer plant of rehabilitation efforts in peat swamp forest. One of its
multiplication efforts for germplasm conservation is tissue culture. Development
of woody plant’s tissue culture is facing difficulties such as in explants
sterilization phase, its low rate of multiplication and its phenolic compound which
cause explants browning. This research was a preliminary research of explants
preparation and sterilization techniques of tumih. The objective of this research
was to identify the success of explants preparation and sterilization of tumih,
observed from its survival rate, contamination level and browning level.
This research was carried out at March to August 2011 at Environmental
Biotechnology Laboratory of Environmental Research Centre of IPB. The tip of
tumih were used as explants material. Sterilization included the use of detergent,
HgCl2, Clorox, and sterilized water. Those explants were then initiated in MS
media added with BAP with concentration of 0 ml/l; 0,5 ml/l; 1 ml/l and 1,5 ml/l,
and TDZ with concentration of 0 ml/l; 0,05 ml/l; 0,1 ml/l and 0,5 ml/l. This
research used 16 treatments with 7 repetition of each treatment, thus there are 112
experiment units.
Result showed that there were 25 explants which survived, characterized
by green colour on its leaves and stems. Browning, characterized by brown colour
of explants, occured on 21 explants, while fungal and bacterial contamination
occured on 66 explants. The average percentage of survival explants was 22,32%,
contaminated by fungi was 57,14%, contaminated by bacteria was 1,79%, and
browning was 18,75%. This preliminary research were categorized into success
which was indicated by green colour on the leaves and stems of its 25 survival
explants. In order to decrease contaminant contained in plants source, a more
intensive quarantine measure was needed. Fungicide and bactericide sprayed on to
source of explants could reduce the rate of fungal and bacterial contamination
carried by the explants.

Keywords : Combretocarpus rotundatus, rehabilitation, in vitro conservation,


sterilization
KONSERVASI IN VITRO
JENIS TUMBUHAN GAMBUT
TUMIH (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser)

VIANTI

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konservasi In Vitro


Jenis Tumbuhan Gambut Tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser)
adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing
dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau
lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

Vianti
E34070091
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
terselesaikannya penyusunan skripsi berjudul “Konservasi In Vitro Jenis
Tumbuhan Gambut Tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser)”
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di bawah
bimbingan Ir. Edhi Sandra, M.Si dan Dr. Ir. Istomo, MS.
Tumih merupakan salah satu jenis lokal yang direkomendasikan dalam
kegiatan rehabilitasi lahan gambut yang terganggu. Salah satu upaya
memperbanyak jenis ini untuk pelestarian plasma nutfah yaitu melalui teknik
kultur jaringan. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi keberhasilan dari
teknik penyiapan eksplan dan sterilisasi eksplan tumih dilihat dari peluang hidup,
tingkat kontaminasi dan tingkat pencokelatan (browning). Penelitian ini akan
memberikan informasi sebagai acuan dalam perbanyakan tumih melalui teknik
kultur jaringan dalam pelestarian plasma nutfah secara in vitro dan teknik
budidaya tumih.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dalam
hal penyajian isi materi dan tata bahasa. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, November 2011

Penulis
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mentok, Bangka Barat pada


tanggal 30 Mei 1989 sebagai anak keenam dari enam
bersaudara pasangan Bapak Y. Sutarno Hardjo Sukarto dan
Ibu Maria Magdalena Sriwati. Penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2001 di SD
Katolik Santa Maria Mentok, kemudian melanjutkan
pendidikan di SMP Katolik Santa Maria Muntok pada
tahun 2001 sampai dengan 2004. Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)
diselesaikan pada tahun 2007 di SMAN 1 Muntok. Pada tahun yang sama penulis
diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Beasiswa
Utusan Daerah (BUD) pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam organisasi Himpunan
Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai
anggota Kelompok Pemerhati Flora “Rafflesia” (KPF). Praktek Lapang
Kehutanan yang pernah diikuti oleh penulis adalah Praktek Pengenalan Ekosistem
Hutan (PPEH) di Suaka Margasatwa Gunung Sawal dan Cagar Alam Pangandaran
pada tahun 2009, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung
Walat (HPGW) Sukabumi pada tahun 2010 dan Praktek Kerja Lapang Profesi
(PKLP) di Taman Nasional Sebangau, Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun
2011.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB,
penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Konservasi In Vitro Jenis
Tumbuhan Gambut Tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser)” di
bawah bimbingan Ir. Edhi Sandra, M.Si dan Dr. Ir. Istomo, MS.
UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan penyertaan-Nya selama proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat
terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu baik moril
maupun materil, terutama kepada :
1. Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si selaku pembimbing pertama dan Bapak Dr. Ir.
Istomo, MS selaku pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan,
nasehat dan arahan selama penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS selaku dosen penguji dan Ibu Eva
Rachmawati, S.Hut, M.Si selaku ketua sidang atas masukan dalam
perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.
3. Seluruh staf pengajar DKSHE atas ilmu pengetahuan dan bimbingan selama
kuliah hingga penyelesaian skripsi.
4. Orang tua (Bapak Y. Sutarno Hardjo Sukarto dan Ibu Maria Magdalena
Sriwati) dan kakak (F. Yesi, F. Yudhistira, Veronika, Yuliana Vita dan
Mikael Voni) yang terus memberikan doa dan dorongan dalam
menyelesaikan kuliah.
5. Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten Bangka Barat yang telah
memberikan kesempatan untuk melanjutkan kuliah di IPB melalui Beasiswa
Utusan Daerah serta dorongan dan bantuan dalam menyelesaikan kuliah.
6. Bapak Benny dan keluarga yang telah memberikan bantuan selama kegiatan
pengambilan bibit di Kelurahan Kereng Bangkirai, Kecamatan Sabangau,
Propinsi Kalimantan Tengah.
7. Mba Yuli Fitriani, S.Hut selaku Manager Laboratorium Bioteknologi
Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB, Mas Rohmat
dan Mba Neti yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan
selama pelaksanaan penelitian.
8. Benny Marianus Purba, S.Hut yang terus memberikan doa, motivasi,
dorongan, semangat dan bantuan kepada penulis.
9. Dwi Woro Navy Probowati, Neina Febrianti, Niechi Valentino, Randhi
Fauzi Kiswantara, Monica Ade Ayu Dewayani, Arry R. Rahayu, Riadi
Antasa, Dzikrullah al Khaq, Agung Kriswiyanto, Ahmad Arief Hilman,
Mochamad Hendri Mulyawan dan Berto D. Naibaho yang telah memberikan
bantuan dan semangat selama kegiatan penelitian.
10. Dewi Puspitasari, Belinda Dwi Yunanti, Angga Prayana, Dahlan, Seruni
Diah Kertawiji dan I Made Haribhawana Wijaya yang telah memberikan
bantuan dalam pengambilan bibit di Kalimantan Tengah serta pengalaman
selama Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP).
11. Teman-teman seperjuangan dari Beasiswa Utusan Daerah Bangka Barat atas
dorongan dan semangat dalam menyelesaikan kuliah di IPB.
12. Teman-teman di Laboratorium Konservasi Keanekaragaman Tumbuhan
yang telah memberikan bantuan dan dorongan dalam menyelesaikan skripsi.
13. Seluruh mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata angkatan 44 atas masukan dan saran serta pengalaman selama
kuliah.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu
selama kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI.................................................................................................. i
DAFTAR TABEL......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. v
I. PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang............................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelit ian........................................................ 2
1.3 Manfaat Penelit ian....................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3
2.1 Ekologi Jenis Tumih..................................................................... 3
2.1.1 Taksonomi………………................................................... 3
2.1.2 Ciri Morfologi………………............................................. 3
2.1.3 Daerah Penyebaran dan Tempat Tumbuh...…………….... 4
2.1.4 Manfaat Tumih.................................................................... 4
2.2 Teknik Perbanyakan Kultur Jaringan............................................ 5
2.2.1 Pengertian Kultur Jaringan.................................................. 5
2.2.2 Prinsip Dasar Kultur Jaringan............................................. 5
2.2.3 Manfaat Kultur Jaringan..................................................... 6
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Teknik
Kultur Jaringan................................................................... 6
2.2.4.1 Pemilihan Bahan Tanaman (Eksplan).................... 6
2.2.4.2 Sterilisasi Eksplan.................................................. 7
2.2.4.3 Faktor Lingkungan................................................. 9
2.2.4.4 Media Kultur.......................................................... 9
2.2.5 Kultur Pucuk....................................................................... 11
III. METODOLOGI................................................................................ 13
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................ 13
3.2 Alat dan Bahan.............................................................................. 13
3.3 Prosedur Kerja......................................................................... 13
i
3.3.1 Persiapan Bibit Tumih........................................................ 13
3.3.2 Karantina Tanaman............................................................ 14
3.3.3 Sterilisasi............................................................................ 14
3.3.4 Pembuatan Media Kultur.................................................... 16
3.3.4.1 Pembuatan Larutan Stok........................................ 16
3.3.4.2 Pembuatan Media MS dengan Antibiotik ppm...... 17
3.3.4.3 Pembuatan Media Perlakuan.................................. 17
3.3.5 Penanaman.......................................................................... 18
3.3.6 Pengamatan......................................................................... 18
3.4 Analisis Data................................................................................. 19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 20
4.1 Hasil.............................................................................................. 20
4.1.1 Peluang Hidup Eksplan Tumih........................................... 20
4.1.2 Persentase Kontaminasi Eksplan........................................ 21
4.1.3 Persentase Pencokelatan Eksplan Tumih............................ 23
4.2 Pembahasan................................................................................... 24
V. KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 30
Kesimpulan......................................................................................... 30
Saran................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 31
LAMPIRAN...................................................................................... 35

ii
DAFTAR TABEL

No Halaman
1 Kisaran konsentrasi dan lama waktu perendaman bahan sterilan... 8
2 Zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur pucuk............. 12
3 Komposisi masing-masing larutan stok.......................................... 16
4 Interaksi faktor jenis zat pengatur tumbuh dengan
konsentrasinya................................................................................. 19
5 Data eksplan tumih yang memiliki peluang hidup hingga 4
MST................................................................................................. 20
6 Persentase peluang hidup eksplan pucuk tumih.............................. 20
7 Persentase kontaminasi eksplan tumih selama 4 MST................... 22
8 Persentase pencokelatan eksplan tumih selama 4 MST.................. 23

iii
DAFTAR GAMBAR

No Halaman
1 Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser (A. Ranting-daun yang
berbuah; B. Buah potongan melintang; C. Bunga; D. Bunga tanpa
kelopak, mahkota dan benang sari; E. Mahkota bunga; F. Benang
sari)................................................................................................... 4
2 Kondisi eksplan tumih yang tetap bertahan...................................... 21
3 Kondisi eksplan tumih yang terkontaminasi jamur.......................... 22
4 Kondisi eksplan tumih yang terkontaminasi bakteri......................... 23
5 Kondisi pencokelatan pada beberapa eksplan tumih........................ 24

iv
DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman
1 Persentase kontaminasi eksplan tumih............................................ 36
2 Persentase pencokelatan (browning) eksplan tumih....................... 38

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahan gambut tropis dunia meliputi areal seluas 40 juta hektar dan 50%
diantaranya terdapat di Indonesia (Maltby & Immirizi 1993 dalam Murdiyarso et
al. 2004) dengan perincian di Sumatera seluas 7,20 juta ha, Kalimantan 5,76 juta
ha dan Papua seluas 7,97 juta ha (Wahyunto et al. 2005). Hutan rawa gambut
merupakan hutan yang tumbuh di atas lapisan gambut (tumpukan bahan organik
yang sedikit terurai) dengan tebal 1-20 m dan digenangi air gambut yang berasal
dari air hujan sehingga miskin hara (Soerianegara 1977). Hutan rawa gambut
merupakan habitat berbagai flora-fauna dan memiliki atau dapat memberikan
berbagai jasa lingkungan seperti pengatur tata air, penyerap dan penyimpan
karbon (Wibisono et al. 2005).
Tingginya laju kerusakan lahan gambut di Indonesia (150.000 ha per
tahun) menyebabkan berkurang atau hilangnya fungsi ekologis maupun sosial
ekonomi lahan gambut. Kerusakan lahan gambut tersebut disebabkan oleh
kegiatan penebangan, kebakaran, pertambangan dan konversi lahan sehingga
perlu adanya usaha rehabilitasi yang sesuai (Sugandhy 1997 dalam Istomo 2002).
Menurut Wibisono et al. (2005), dalam rangka upaya rehabilitasi hutan rawa
gambut, jenis tanaman yang dikembangkan sebaiknya merupakan jenis lokal
dengan pertimbangan bahwa jenis lokal tersebut memenuhi aspek ekologis yang
sesuai dengan kondisi lokasi penanaman.
Tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser) merupakan jenis
tanaman lokal yang tumbuh sangat baik dan cocok untuk dikembangkan sehingga
dapat dijadikan tanaman prioritas dalam upaya rehabilitasi hutan rawa gambut
(Istomo et al. 2007). Sedangkan menurut Saito et al. (2005), tumih dapat
diklasifikasikan sebagai jenis yang cepat tumbuh dan toleran terhadap kondisi
kering dan terbuka. Karakteristik ini sangat penting untuk menghindari persaingan
dengan liana, jenis paku atau pakis sehingga jenis ini cocok untuk mengawali
penanaman dalam usaha rehabilitasi hutan rawa gambut yang terganggu. Tumih
juga memiliki toleransi terhadap radiasi cahaya matahari yang intensif dan suhu
2

tanah yang tinggi. Jenis ini selain memberikan keuntungan secara ekologis, juga
dapat memberikan keuntungan ekonomis berupa kayu atau kayu bakar bagi
masyarakat lokal.
Salah satu upaya memperbanyak jenis ini untuk pelestarian plasma nutfah
yaitu melalui teknik kultur jaringan. Teknik perbanyakan dengan kultur jaringan
memiliki beberapa keunggulan yaitu dapat memproduksi bibit dalam jumlah
besar, bebas dari penyakit serta perbanyakan tidak tergantung musim (Santoso &
Nursandi 2003). Pengembangan kultur jaringan tanaman berkayu masih menemui
banyak kesulitan disebabkan sterilisasi eksplan yang sulit karena tanaman induk
hidup di lapangan, memiliki kecepatan multiplikasi atau replikasi sangat rendah
dan keluarnya senyawa fenolik sehingga eksplan menjadi berwarna cokelat dan
akhirnya tidak dapat tumbuh (Hendaryono & Wijayani 1994). Darmono (2003)
mengemukakan tumbuhan yang berasal dari lapang mengandung debu, kotoran
dan berbagai kontaminan hidup pada permukaannya dan bahkan pada bagian
jaringan. Kondisi tumbuhan yang terserang penyakit atau terkontaminasi
mikroorganisme baik eksternal maupun internal, tidak mudah untuk dilakukan
pengkulturan.
Teknik kultur jaringan tumih yang dilakukan saat ini merupakan penelitian
awal. Oleh karena itu, penelitian kultur jaringan tumih yang dilakukan dengan
mengkaji perbanyakan tumih melalui teknik kultur jaringan menjadi hal yang
penting. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dalam teknik penyiapan
dan sterilisasi eksplan tumih.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi keberhasilan dari teknik
penyiapan eksplan dan sterilisasi eksplan tumih dilihat dari peluang hidup, tingkat
kontaminasi dan tingkat pencokelatan (browning).

1.3 Manfaat Penelitian


Penelitian ini akan memberikan informasi sebagai acuan dalam
perbanyakan tumih melalui teknik kultur jaringan dalam pelestarian plasma nutfah
secara in vitro dan teknik budidaya tumih.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekologi Jenis Tumih


2.1.1 Taksonomi
Tumih mempunyai nama daerah marapat (Dayak, Ngaju, Kalimantan),
perepat (Palembang), perepat darat (Belitung) dan teruntum batu (Bangka) (Heyne
1987). Menurut Boer dan Lemmens (1998), tumih memiliki klasifikasi sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Anisophylleales
Famili : Anisophylleaceae
Genus : Combretocarpus
Spesies : Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser
2.1.2 Ciri Morfologi
Pohon tumih berukuran sedang sampai besar dengan tinggi mencapai 40 m
dan diameter mencapai 100 cm. Permukaan kulit batang tidak beraturan dan
beralur dalam, berwarna cokelat terang sampai cokelat keabu-abuan sedangkan
bagian dalam kulit batang keras, berwarna cokelat kejingga-jinggaan. Jenis ini
hidup di daerah rawa, terkadang dengan bantalan dari akar nafas berwarna cokelat
kemerahan berbentuk seperti benang (Boer & Lemmens 1998).
Bunga dari jenis ini berbentuk malai, muncul pada bagian pangkal cabang,
berwarna kuning; benang sari berjumlah dua kali lipat dari jumlah mahkota;
memiliki tiga (sampai empat) kepala putik, tidak saling menempel. Buahnya
merupakan buah kering, umumnya bersayap tiga, dengan masing-masing buah
mengandung satu pucuk yang berbentuk kumparan. Daun tersusun alternate
(berseling), mengerucut pada bagian pangkal dan membulat pada bagian ujung.
Daun muda berwarna merah tua terang sampai merah gelap (Boer & Lemmens
1998). Buah berukuran 2 - 3 cm x 1,5 - 2 cm dan daun berukuran 8 - 14,5 cm x
5,5 - 9,5 cm (Argent et al. 1998).
4

4 cm

3 cm

2 mm

3 mm
3 cm

Sumber: Soepadmo et al. (1995)


Gambar 1 Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser (A. Ranting-daun yang
berbuah; B. Buah potongan melintang; C. Bunga; D. Bunga tanpa
kelopak, mahkota dan benang sari; E. Mahkota bunga; F. Benang
sari).

2.1.3 Daerah Penyebaran dan Tempat Tumbuh


Tumih tersebar di Sumatera, Kalimantan dan pulau di sekitarnya
(Kepulauan Riau, Bangka, Belitung) (Boer & Lemmens 1998). Menurut Argent et
al. (1998), di Kalimantan, penyebaran jenis ini tercatat dari Sarawak, Brunei,
Sabah, Kalimantan Barat dan Tengah. Jenis ini ditemukan pada tanah berpasir,
gambut dan rawa air tawar sampai 100 m, pada tegakan yang rapat. Menurut Boer
dan Lemmens (1998), jenis ini paling melimpah pada hutan sekunder atau hutan
dengan kanopi terbuka. Jenis ini tumbuh pada tanah tergenang di hutan gambut
dan kerangas dengan ketinggian mencapai 100 - 300 m dpl.
2.1.4 Manfaat Tumih
Jenis ini dapat digunakan untuk kayu pertukangan dan kayu bakar. Kayu
dari jenis ini secara lokal banyak digunakan untuk konstruksi atau bantalan rel
kereta api, tetapi membutuhkan perlakuan pengawetan. Kayu tumih juga
digunakan untuk konstruksi perahu, mebel, lantai, dan panel (Boer & Lemmens
1998).
5

2.2 Teknik Perbanyakan Kultur Jaringan


2.2.1 Pengertian Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan teknik mengisolasi bagian-bagian tanaman
seperti protoplasma, sel, jaringan atau organ, serta menumbuhkan bagian-bagian
tersebut dalam media buatan aseptik dengan tujuan agar bagian-bagian tersebut
memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi tanaman lengkap
(Gunawan 1995). Menurut Zulkarnain (2009), kultur jaringan merupakan suatu
upaya mengisolasi bagian-bagian tanaman (protoplas, sel, jaringan, dan organ),
kemudian mengkulturkannya pada nutrisi buatan yang steril di bawah kondisi
lingkungan terkendali sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat
beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap kembali. Menurut Gamborg dan
Shyluk (1981) yang diacu dalam Zulkarnain (2009), tipe-tipe kultur berdasarkan
macam eksplan yang digunakan dalam sistem kultur jaringan tanaman yaitu kultur
organ (pucuk, meristem, potongan daun, akar, tunas), kultur kalus, kultur sel dan
kultur protoplas.
2.2.2 Prinsip Dasar Kultur Jaringan
Kultur jaringan mengandung dua prinsip dasar yaitu bahan tanam yang
bersifat totipotensi dan budidaya yang terkendali (Santoso dan Nursandi 2003).
Totipotensi sel merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa setiap sel hidup
memiliki potensi genetik untuk menghasilkan organisme yang lengkap (Hartman
et al. 1990). Menurut Asnawati et al. (2002), totipotensi sel merupakan
kemampuan setiap sel untuk tumbuh dan berkembang pada lingkungan yang
sesuai dengan membawa karakter masing-masing yang independen. Setiap sel
yang diisolasi dari tanaman dan diregenerasikan pada media yang sesuai maka
akan diperoleh tanaman baru yang membawa karakter dari masing-masing sel
tersebut. Santoso dan Nursandi (2003) mengemukakan bahwa sel, jaringan atau
organ yang digunakan akan dapat berkembang sesuai arahan dan tujuan budidaya
in vitro yang dilakukan dengan adanya sifat totipotensi ini. Sifat totipotensi lebih
banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang masih juvenile (muda) dan banyak
dijumpai pada daerah-daerah meristem tanaman.
6

2.2.3 Manfaat Kultur Jaringan


Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa aplikasi teknik kultur jaringan
tanaman memiliki manfaat utama yaitu perbanyakan klon atau perbanyakan
massal dari tanaman. Adapun manfaat-manfaat lain dari kultur jaringan dalam
beberapa hal khusus yaitu:
1. Perbanyakan klon secara cepat yang pada prinsipnya setiap sel dapat diinduksi
untuk beregenerasi menjadi individu tanaman lengkap. Dalam waktu singkat
dapat dihasilkan individu tanaman dalam jumlah yang besar.
2. Kondisi aseptik kultur jaringan tanaman mampu menyediakan bahan tanaman
yang bebas patogen dalam jumlah yang besar. Melalui kultur meristem, dapat
diregenerasikan tanaman yang bebas virus.
3. Produksi tanaman pada teknik kultur jaringan tidak tergantung pada musim
sehingga melalui teknik ini terbuka peluang untuk memperbanyak tanaman di
sepanjang tahun.
4. Pelestarian plasma nutfah menggunakan ruang yang kecil dan mudahnya
menciptakan kondisi yang sesuai, menjadikan kultur jaringan sebagai suatu
cara praktis untuk menyimpan bahan tanaman dari genotipe terpilih baik
tanaman pertanian maupun tanaman langka yang terancam punah.
5. Memperbanyak tanaman yang sulit diperbanyak secara vegetatif
konvensional, dapat dilakukan dengan manipulasi terhadap lingkungan kultur
(perlakuan hormon, cahaya, suhu) atau dengan menggunakan bahan eksplan
yang memiliki daya meristematik tinggi.
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Teknik Kultur
Jaringan
2.2.4.1 Pemilihan Bahan Tanaman (Eksplan)
Jaringan sumber eksplan dapat berupa sel meristematik dan embrio yang
belum mengalami perubahan bentuk dan kekhususan fungsi. Selain itu, juga dapat
digunakan tunas, bunga, daun muda, akar, umbi bagian embrio dan sebagainya.
Bagian tanaman yang lebih muda seringkali merupakan sumber eksplan yang
lebih baik pada banyak spesies (Conger 1981). Soeryowinoto (1977) yang diacu
dalam Parera (1997) mengemukakan bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk
kultur jaringan diambil dari jaringan yang diperkirakan dapat tumbuh dan
7

berkembang menjadi tanaman. Syarat yang harus dipenuhi dalam memilih bahan
yang digunakan untuk kultur jaringan diantaranya jaringan yang sedang aktif
pertumbuhannya seperti tunas, daun, mata tunas, tangkai tunas dan ujung akar.
Bahan yang diambil semuda mungkin dan dijaga sterilitasnya. Hal ini dikarenakan
keberhasilan kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh gagal atau tidaknya menjaga
sterilitasnya.
Gunawan (1987) menyatakan bahwa tingkat kontaminasi permukaan
setiap bahan tanaman berbeda-beda tergantung dari jenis tanaman, bagian
tanaman yang digunakan, morfologi permukaan (misalnya berbulu atau tidak),
lingkungan tumbuhnya (green house atau lapang), musim waktu mengambil
(musim hujan atau kemarau), umur tanaman (seedling atau tanaman dewasa), dan
kondisi tanamannya (sehat atau tidak). Menurut Semangun (1989), pengambilan
bahan tanaman yang dilakukan pada musim hujan memiliki tingkat kontaminasi
yang lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau. Hal ini dikarenakan pada
musim hujan terjadi peningkatan kelembaban tanah dan kelebihan air yang
cenderung mendukung pertumbuhan jamur maupun bakteri secara cepat pada
lingkungan tumbuh tempat pengambilan tanaman.
2.2.4.2 Sterilisasi Eksplan
Sterilisasi bahan tanaman (eksplan) merupakan langkah awal yang cukup
penting dan dapat menentukan keberhasilan penanaman secara in vitro. Eksplan
yang akan ditanam pada media tumbuh harus bebas dari mikroorganisme.
Sterilisasi eksplan biasanya dilakukan dengan cara merendam eksplan dalam
larutan kimia sistemik pada konsentrasi dan waktu perendaman tertentu, baik
menggunakan satu macam maupun bermacam-macam sterilan (Hobir et al. 1992).
Prinsip dasar sterilisasi yaitu mensterilkan eksplan dari berbagai mikroorganisme,
tetapi eksplannya tidak ikut mati. Setiap tanaman memerlukan perlakuan khusus
sehingga sebelum mengkulturkan tanaman baru perlu dilakukan percobaan
sterilisasi (Sandra 2003).
Hendaryono dan Wijayani (1994) menyatakan bahwa sterilisasi eksplan
dapat dilakukan melalui dua cara yaitu secara mekanik dan secara kimia.
Sterilisasi secara mekanik digunakan untuk eksplan keras atau berdaging,
sedangkan sterilisasi secara kimia digunakan untuk eksplan yang lunak (jaringan
8

muda) seperti daun, tangkai daun, anther dan sebagainya. Bahan-bahan yang
digunakan untuk sterilisasi permukaan eksplan diantaranya:
1. Natrium hipoklorit dengan nama dagang Clorox. Konsentrasi untuk
sterilisasi tergantung dari kelunakan eksplan, dapat 5% hingga 20%
dengan waktu antara 5 sampai 10 menit.
2. Mercuri klorit dengan nama dagang sublimat 0,05%. Penggunaan bahan
kimia ini harus hati-hati karena bersifat racun. Cara perlakuan sterilisasi
sama dengan Natrium hipoklorit, hanya waktu sterilisasinya lebih pendek
karena bersifat keras. Bila sterilisasi terlalu lama dapat menyebabkan
kerusakan pada eksplan (berwarna cokelat).
3. Alkohol 70% yang dapat menekan pertumbuhan jamur.
Gunawan (1987) mengemukakan bahwa bahan tanaman dari lapangan
mengandung debu, kotoran-kotoran dan berbagai kontaminan hidup pada
permukaannya. Kontaminan hidup dapat berupa cendawan, bakteri, serangga dan
telurnya serta spora. Dalam beberapa hari, kontaminan akan memenuhi seluruh
botol kultur. Eksplan yang tertutup kontaminan akhirnya mati, sebagai akibat
langsung dari serangan cendawan/bakteri atau secara tidak langsung akibat
persenyawaan racun yang diproduksi cendawan/bakteri. Beberapa jenis bahan
yang digunakan dalam sterilisasi permukaan adalah kalsium hipoklorit, natrium
hipoklorit, hidrogen peroksida, gas klorin, perak nitrat, merkuri klorit, betadine,
fungisida, antibiotik dan alkohol. Kisaran konsentrasi dan lama waktu
perendaman bahan sterilan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kisaran konsentrasi dan lama waktu perendaman bahan sterilan
Bahan Konsentrasi Lama Perendaman
Kalsium hipoklorit 1 – 10% 5 – 30 menit
Natrium hipoklorit 1 – 2% 7 – 15 menit
Hidrogen peroksida 3 – 10% 5 – 15 menit
Perak nitrat 1% 5 – 30 menit
Merkuri klorid 0,1 – 0,2% 10 – 20 menit
Gas klorin - 1 – 4 jam
Betadine 10% 5 – 10 menit
Fungisida 2 g/l 20 -30 menit
Antibiotik 50 mg/l ½ - 1 jam
Alkohol 70% ½ - 1 menit
Sumber : Gunawan (1987)
9

Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa beberapa sumber kontaminan


mikroorganisme pada sistem kultur jaringan yaitu secara internal (kontaminan
terbawa di dalam jaringan), secara eksternal (kontaminan berada di permukaan
eksplan) akibat prosedur sterilisasi yang kurang sempurna, kondisi eksplan,
lingkungan kerja dan pelaksanaan penanaman yang kurang hati-hati dan kurang
teliti, medium sebagai akibat proses strilisasi yang tidak sempurna serta dari
serangga atau hewan kecil yang berhasil masuk ke dalam botol kultur setelah
diletakkan di dalam ruang kultur ataupun ruang stok. Sumber kontaminan yang
paling sulit diatasi adalah yang berasal dari eksplan. Oleh karena itu, dalam
memilih suatu metode sterilisasi harus selektif.
2.2.4.3 Faktor Lingkungan
Hal-hal yang mutlak harus terkendali dalam kultur jaringan yaitu
lingkungan yang mempengaruhinya (kelembapan, temperatur, cahaya), serta
kondisi yang steril (Santoso dan Nursandi 2003). Menurut Zulkarnain (2009),
kelembapan relatif di dalam ruang kultur sekitar 70%, namun kebutuhan
kelembapan didalam wadah kultur mendekati 90%. Kisaran temperatur optimum
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tidak selalu sama untuk setiap spesies
tanaman. Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan temperatur yang dibutuhkan
untuk dapat terjadi pertumbuhan yang optimum yaitu berkisar 20°C hingga 30°C.
Untuk pengaturan pencahayaan yang harus diperhatikan yaitu periodisasi
pencahayaan dan intensitas pencahayaan.
2.2.4.4 Media Kultur
Media kultur dasar yang sering digunakan adalah media Murashige and
Skoog yang memiliki keistimewaan yaitu memiliki kandungan nitrat, kalium dan
amonium yang tinggi. Selain itu, media MS mengandung jumlah hara organik
yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur
(Gunawan 1987).
Hendaryono dan Wijayani (1994) mengemukakan bahwa kondisi media
tempat tumbuh yang harus terkendali yaitu kondisi keasaman atau pH. Sel-sel
tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan memiliki toleransi pH
yang relatif sempit dengan titik optimal pH yaitu antara 5,0 dan 6,0. Media kultur
jaringan mengandung bahan-bahan essensial yaitu garam-garam anorganik,
10

sumber karbon dan energi, vitamin dan zat pengatur tumbuh tanaman dan
komponen-komponen pengoptimal pertumbuhan yaitu N-organik, asam organik,
substrat komplek, arang aktif, dan lain-lain. Dalam kultur jaringan, beberapa
garam organik yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak (unsur makro)
diantaranya N, K, P, S (anion), Ca, dan Mg (kation), sedangkan garam organik
yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit (unsur mikro) yaitu Fe, Mn, Zn, B,
Cu dan Mo. Sumber karbon yang dianggap standar adalah sukrosa dan glukosa.
Sumber karbon yaitu fruktosa juga dapat digunakan namun memiliki tingkat
efektifitas yang kurang dibandingkan sukrosa dan glukosa.
Vitamin dibutuhkan dalam jumlah kecil dan memiliki fungsi katalitik pada
sistem enzim. Vitamin yang dianggap essensial yaitu tiamin (vitamin B 1).
Pemberian tiamin mampu memberikan pertumbuhan yang lebih baik bila
dibandingkan tidak ditambahkan tiamin. Beberapa vitamin lain yang ditambahkan
yaitu asam p-aminobenzoat, asam askorbat (vitamin C), biotin, kolin klorida,
vitamin B12, asam folat, kalsium pantotenat, dan riboflavin (vitamin B2) (Gamborg
& Shyluk 1981 dalam Santoso & Nursandi 2003).
Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang
dalam konsentrasi rendah (<1mM) dapat mendorong, menghambat atau secara
kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Moore 1979
dalam Purba 2009). Menurut Zulkarnain (2009), auksin merupakan sekelompok
senyawa yang fungsinya merangsang pemanjangan sel-sel pucuk yang spektrum
aktivitasnya menyerupai IAA (indole-3-acetic acid). Auksin yang sering
ditambahkan dalam medium adalah indole-3-acetic acid (IAA), α-
naphthalenacetic acid (α-NAA), dan 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D).
Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), peran auksin dalam pertumbuhan dan
perkembangan tanaman menunjukkan indikasi auksin dapat menaikkan tekanan
osmotik, meningkatkan sintesa protein, meningkatkan permeabilitas sel terhadap
air, dan melunakkan dinding sel dengan diikuti menurunnya tekanan dinding sel
sehingga air dapat masuk ke dalam sel yang disertai kenaikan volume sel. Dengan
adanya kenaikan sintesa protein maka dapat digunakan sebagai sumber tenaga
dalam pertumbuhan.
11

Sitokinin merupakan senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel


pada jaringan tanaman, serta dapat mengatur pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Selain itu, sitokinin juga terlibat di dalam kontrol perkecambahan pucuk,
mempengaruhi absisi daun, transport auksin, memungkinkan bekerjanya giberelin
dengan menghilangkan penghambat tumbuh dan menunda penuaan. Sitokinin
yang paling banyak digunakan yaitu kinetin, benziladenin (BAP) dan zeatin (Kyte
1983 dalam Hendaryono & Wijayani 1994). Peran sitokinin yang lain yang
dikemukakan oleh Santoso dan Nursandi (2003) yaitu pemecahan dormansi,
mendorong proses morfogenesis, pembungaan, pertunasan, pembentukan
kloroplas dan pembukaan stomata.
Huetteman dan Preece (1993) menyatakan bahwa BAP (6-benzyl amino
purine) dan TDZ (Thiadiazuron) merupakan dua jenis sitokinin dengan tipe urea
yang berbeda. Sitokinin tipe urea seperti TDZ memiliki aktivitas lebih kuat
dibanding tipe adenin atau purin seperti BAP. TDZ merupakan sitokinin yang
juga bersifat merangsang multiplikasi pucuk dalam konsentrasi rendah dan dapat
menghasilkan tunas kerdil dengan kualitas rendah pada konsentrasi yang tinggi.
Menurut Devilana (2005), dalam kultur jaringan Nenas, TDZ dengan konsentrasi
1x10-1 ppm menghasilkan jumlah tunas aksilar dan tunas adventif tertinggi pada
lima minggu setelah tanam.
Sukmadjaja et al. (2007) yang diacu dalam Isnaeni (2008) menyatakan
bahwa penggunaan TDZ dan BAP sebagai salah satu zat pengatur tumbuh pada
komoditas pisang dengan pemberian 0,1 ppm TDZ tanpa penambahan BAP serta
pemberian BAP pada konsentrasi rendah (0,5 ppm) yang dikombinasikan dengan
TDZ 1,5 ppm merupakan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang memberikan hasil
penambahan jumlah tunas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan
perlakuan lainnya.
2.2.5 Kultur Pucuk
Armini et al. (1991) menyatakan bahwa eksplan yang diambil dari
tanaman herbasius, baik dari pucuk apikal maupun pucuk lateral mengandung
jaringan meristematik. Tanaman berkayu seringkali mengeluarkan senyawa
fenolik bila jaringannya diisolasi dibandingkan tanaman herbasius. Kesulitan
dalam mengkulturkan pucuk dari tanaman berkayu adalah sulitnya mendapatkan
12

eksplan steril. Menurut Gunawan (1987), pucuk yang berisi meristem dan
jaringan-jaringan yang lebih mudah diisolasi. Dalam kultur pucuk, ukuran 0,3 -
1,0 cm digunakan sebagai bahan awal. Pada umumnya, pertumbuhan pucuk
memerlukan zat pengatur tumbuh dalam media. Tahapan pertumbuhan dan tipe
pertumbuhan menentukan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang
diperlukan. Kisaran konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur pucuk
Zat Pengatur Tumbuh Media I (mg/l) Media II (mg/l) Media III (mg/l)
Auksin
NAA 0.05 – 1.0 0.05 – 0.2 0.1 – 5.0
IBA 0.01 – 1.0 0.05 – 2.0 0.3 – 2.0
IAA 0.05 – 1.0 0.05 – 1.5 0.3 – 5.0
Sitokinin
BAP 0.2 – 3.0 0.1 – 5.0 -
Kinetin 0.3 – 2.0 0.3 – 2.0 -
ZiP 0.75 – 3.0 2 -
Giberelin
GA3 0.01 – 0.1 0.2 -
Sumber : George dan Sherrington (1984) dalam Gunawan (1987)
BAB III
METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Lingkungan Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB). Penelitian ini
berlangsung mulai dari bulan Maret 2011 sampai bulan Agustus 2011.

3.2 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam persiapan bibit yaitu polybag, kertas
koran, kardus, gunting stek, paranet dan plastik. Dalam pembuatan media, alat-
alat yang digunakan yaitu gelas piala, gelas ukur biasa, pipet volumetrik, neraca
analitik, pH meter, panci, pengaduk, autoklaf, karet gelang dan plastik. Sedangkan
alat-alat yang digunakan dalam kegiatan sterilisasi dan penanaman yaitu spatula,
cawan petri, skalpel, pisau, pinset, lampu bunsen, laminar air flow cabinet,
stopwatch, aluminium foil, plastik wrap dan handsprayer; serta alat tulis dan
kamera digital untuk kegiatan pengamatan.
Bahan yang digunakan dalam persiapan bibit yaitu kompos, pasir, sekam
padi, serbuk gergaji dan cocopeat. Dalam kegiatan sterilisasi dan penanaman,
bahan-bahan yang digunakan yaitu fungisida, bakterisida, hormon tunas, Hyponex
hijau, alkohol 70%, deterjen, air steril, HgCl2, Clorox, antiseptik (betadine) dan
eksplan tumih bagian pucuk, sedangkan dalam pembuatan media, bahan-bahan
yang diperlukan yaitu larutan stok media MS (Murashige dan Skoog), agar-agar,
gula pasir, air steril, antibiotik ppm, BAP (6-benzyl amino purine) dan TDZ
(Thiadiazuron).

3.3 Prosedur Kerja


3.3.1 Persiapan Bibit Tumih
Anakan tumih diambil dengan menggunakan metode puteran dan cabutan.
Lokasi pengambilan anakan tumih yaitu Kelurahan Kereng Bangkirai, Kecamatan
Sabangau, Propinsi Kalimantan Tengah. Kriteria pengambilan anakan tumih yaitu
anakan yang memiliki tinggi 10 cm hingga 50 cm, pucuk yang masih menguncup,
anakan yang belum memiliki kayu dan memiliki pertumbuhan yang baik.
14

Pengambilan anakan tumih dengan metode puteran dilakukan dengan


mengeruk anakan sehingga akar dan tanah menjadi satu, kemudian anakan
dimasukkan ke dalam polybag. Setelah itu, polybag yang berisi anakan
dimasukkan dalam plastik besar kemudian diberi air gambut hingga menutupi
seperempat bagian polybag, lalu ditutup sampai rapat sehingga air tidak dapat
keluar dan dimasukkan ke dalam kardus. Sedangkan anakan tumih yang diambil
dengan metode cabutan dilakukan dengan mencabut anakan dan memisahkan
tanah dari akar anakan, kemudian anakan dibungkus menggunakan kertas koran.
Anakan yang telah dibungkus kertas koran dimasukkan ke dalam plastik besar dan
diberi air gambut sampai kertas koran menjadi lembap serta dimasukkan dalam
kardus.
Anakan tumih yang diambil dengan metode puteran dan cabutan
dipindahkan ke media tanam yang telah disediakan sebelumnya di Rumah Kaca
Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Anakan yang diambil dengan metode
puteran langsung dipindahkan ke media tanam di dalam polybag. Pada anakan
dengan metode cabutan, dilakukan pengurangan daun sehingga tersisa sepertiga
daun. Tujuan dari pemotongan daun untuk mengurangi penguapan dari tanaman
tersebut. Pemotongan dilakukan dengan menggunakan gunting stek yang telah
disterilisasi menggunakan alkohol 70%. Anakan yang telah dipindahkan diberi
sungkup UV dan paranet 65% yang bertujuan untuk menjaga suhu, kelembapan
dan intensitas cahaya.
3.3.2 Karantina Tanaman
Karantina dilakukan untuk mensterilisasi tanaman dari kontaminan berupa
jamur atau bakteri yang berasal dari alam. Proses karantina yang dilakukan yaitu
dengan menyemprot hormon tunas 10 ml/l atau Hyponex hijau 2 g/l pada pagi
hari. Pada sore hari disemprot fungisida (Antracol) 1 g/l + bakterisida (Agrept) 1
g/l. Dalam pelaksanaannya, proses sterilisasi hanya dilakukan satu kali dalam
seminggu. Hal ini dikarenakan kondisi bibit yang belum stabil serta menghindari
kematian bibit tumih.
3.3.3 Sterilisasi
Proses sterilisasi dalam kegiatan kultur jaringan terdiri dari sterilisasi
lingkungan kerja, sterilisasi alat dan medium kultur, serta sterilisasi eksplan.
15

Sterilisasi lingkungan kerja untuk kultur in vitro terdiri dari lingkungan umum
(ruang transfer secara keseluruhan) dan lingkungan khusus (lingkungan di dalam
laminar air flow cabinet).
Steriliasi alat-alat kerja yaitu pinset, skalpel, gunting dan botol kultur
dicuci menggunakan deterjen sampai bersih kemudian dikeringkan. Alat-alat
tersebut dibungkus menggunakan kertas koran kemudian diautoklaf selama satu
jam pada suhu 121⁰C sampai 126⁰C dan tekanan 1,5 atm. Alat-alat yang telah
diautoklaf dimasukkan ke dalam laminar air flow cabinet untuk disinari
ultraviolet (UV). Sterilisasi pada laminar air flow cabinet yaitu dengan
menyemprot permukaan atau meja kerja dengan alkohol 70% dan menghidupkan
blower pada laminar air flow cabinet. Lampu ultraviolet dalam laminar air flow
cabinet dinyalakan selama satu hingga dua jam sebelum melakukan kegiatan di
laminar air flow cabinet, ini bertujuan untuk mengurangi kontaminan di tempat
kerja. Pinset dan mata pisau yang digunakan pada proses inisiasi dicelupkan ke
dalam alkohol 70% dan dibakar di atas api bunsen untuk menjaga sterilitas
sebelum kegiatan pemotongan dan penanaman eksplan.
Media kultur yang digunakan disterilkan menggunakan autoklaf selama 20
menit pada suhu 121⁰C sampai 126⁰C dengan tekanan 1,5 atm. Untuk mengetahui
perubahan atau kontaminasi yang terjadi sebelum digunakan, media perlu
disimpan selama dua hingga tiga hari.
Perlakuan sterilisasi yang dilakukan merupakan perlakuan yang dianggap
optimal berdasarkan literatur dikarenakan jumlah eksplan yang terbatas. Proses
sterilisasi eksplan yang dilakukan yaitu sterilisasi di luar dan di dalam laminar air
flow cabinet. Proses sterilisasi eksplan di luar laminar air flow cabinet yaitu:
1. Anakan tumih yang telah dikarantina, diambil pucuk yang masih menguncup
dari bahan induk dengan panjang 1-2 cm.
2. Eksplan pucuk yang telah dipotong dari bahan induk dicuci bersih pada air
mengalir dan diusap dengan kapas basah untuk menghilangkan kotoran yang
menempel.
3. Pencucian eksplan dengan deterjen sebanyak sepertiga sendok spatula selama
10 menit, kemudian eksplan dicuci bersih.
16

4. Eksplan dibilas dengan menggunakan air steril sebanyak dua kali masing-
masing 5 menit.
Proses sterilisasi lanjut di dalam laminar air flow cabinet yaitu pencucian
eksplan menggunakan air steril sebanyak satu kali selama 5 menit. Setelah itu,
eksplan direndam menggunakan larutan HgCl2 (0,1 gram/100 ml) 20% selama 7
menit. Selanjutnya, perendaman eksplan dilakukan menggunakan Clorox 5%
selama 3 menit, kemudian perendaman eksplan dengan larutan betadine 10
tetes/100 ml selama 5 menit. Eksplan yang telah direndam dengan betadine dibilas
menggunakan air steril sebanyak tiga kali masing-masing selama 5 menit.
3.3.4 Pembuatan Media Kultur
3.3.4.1 Pembuatan Larutan Stok
Pembuatan media dasar kultur yaitu membuat larutan stok yang terdiri atas
larutan stok A, larutan stok B, larutan stok C, larutan stok D, larutan stok E,
larutan stok F, stok myo-inositol, stok vitamin dan stok zat pengatur tumbuh.
Masing-masing unsur pembentuk larutan stok ditimbang kemudian dilarutkan ke
dalam air steril sebanyak satu liter dan disimpan di tempat bertemperatur rendah
(lemari es). Komposisi masing-masing larutan stok dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 Komposisi masing-masing larutan stok
Konsentrasi MS
No. Larutan Stok Rumus Kimia Komposisi/senyawa
(g/200 ml)
1 Stok A Amonium Nitrat NH4NO3 66
2 Stok B Kalium Nitrat KNO3 76
3 Stok C Kalium Dihidrogen Fosfat KH2PO4 6,8
Asam Borat H3BO3 0,25
Kalium Iodida Kl 0,03
Natrium Molibdat Na2MoO4. 2H2O 0,01
Kobalt Klorida CoCl2 . 6H2O 0,01
4 Stok D Kalsium Klorida CaCl2 . 2H2O 1,76
5 Stok E Magnesium Sulfat MgSO4 . 7H2O 1,48
Mangan Sulfat MnSO4 . 4H2O 0,89
Zink Sulfat ZnSO4 . 4H2O 0,34
Tembaga Sulfat CuSO4 . 5H2O 0,01
6 Stok F Na2EDTA C10H14N2Na2O8. 2H2O 1,11
Besi (II) Sulfat FeSO4 . 7H2O 1,49
7 Vitamin Nicotinic Acid C6H6N2O 0,02
Pyridoxine-HCl C8H11NO3. HCl 0,02
Thiamine-HCl C12H17N4OS. HCl 0,04
Glycine C2H5NO2 0,08
8 Myo-inositol Myo-inositol 4
Sumber : Murashige dan Skoog (1962) dalam Zulkarnain (2009)
17

3.3.4.2 Pembuatan Media MS dengan Antibiotik ppm


Tahapan yang dilakukan selanjutnya setelah pembuatan larutan stok
adalah pembuatan medium MS (Murashige and Skoog) dengan antibiotik ppm.
Langkah-langkah pembuatan media MS dengan antibiotik ppm yaitu sebagai
berikut :
1. Memasukkan larutan stok A, B, C, D, E, F, myo-inositol masing-masing 5 ml,
vitamin 2 ml dan antibiotik ppm sebanyak 1 ml ke dalam gelas piala.
2. Menambahkan gula pasir sebanyak 30 gram dan aquades sehingga volume
menjadi 1000 ml.
3. Mengukur kadar pH larutan yang berkisar antara pH 5 - 6. Jika pH < 5 maka
ditambahkan larutan NaOH secara bertahap sehingga media mencapai pH 5 -
6 dan jika pH > 6 maka ditambahkan larutan HCl secara bertahap sehingga
media mencapai pH 5 - 6.
4. Memasukkan agar-agar bubuk sebanyak 6 gram ke dalam larutan dan diaduk
hingga rata kemudian larutan media dimasukkan dalam panci dan dimasak
hingga mendidih.
5. Media yang telah mendidih dimasukkan dalam botol kultur dengan ukuran
masing-masing 10 ml. Botol yang telah dituang media, ditutup menggunakan
plastik dan diikat menggunakan karet sampai tertutup rapat.
6. Botol yang telah berisi media disterilisasi menggunakan autoklaf selama 20
menit pada suhu 121oC sampai 126oC dan tekanan 1,5 atm.
7. Botol berisi media yang telah diautoklaf dibungkus menggunakan plastik yang
telah disemprot dengan alkohol 70% kemudian disimpan di dalam lemari
dengan suhu ruangan.
3.3.4.3 Pembuatan Media Perlakuan
Pada media perlakuan, ditambahkan BAP dan TDZ sesuai konsentrasi
yang telah ditentukan. Pembuatan media perlakuan ini diawali dengan proses yang
sama pada pembuatan media kontrol (MS0 + ppm 1 ml). Penambahan BAP dan
TDZ dilakukan sebelum pengenceran dengan air aquades hingga menjadi volume
akhir satu liter. Larutan yang telah diencerkan diukur kadar pH nya menggunakan
pH meter, sehingga diperoleh kisaran pH yang umum digunakan yaitu pH 5 - 6.
Setelah itu, larutan yang memiliki kadar pH 5 - 6 dituang ke dalam panci
18

kemudian dicampurkan agar-agar. Larutan yang telah tercampur agar-agar


dimasak hingga mendidih dan dituang ke dalam botol-botol kultur yang telah
steril masing-masing sebanyak 10 ml. Botol yang telah dituang media, ditutup
menggunakan plastik dan diikat menggunakan karet sampai tertutup rapat. Botol
yang telah berisi media disterilisasi menggunakan autoklaf selama 20 menit pada
suhu 121oC sampai 126oC dan tekanan 1,5 atm. Botol berisi media yang telah
diautoklaf dibungkus menggunakan plastik yang telah disemprot dengan alkohol
70% kemudian disimpan di dalam lemari dengan suhu ruangan.
3.3.5 Penanaman
Cawan petri yang akan digunakan untuk penanaman, terdiri dari dua
macam yaitu cawan petri berukuran kecil yang berisi tissue dan cawan petri
berukuran besar. Cawan petri berukuran kecil dan berukuran besar terlebih dahulu
disterilisasi menggunakan autoklaf dan cawan petri tersebut dimasukkan ke
laminar air flow cabinet. Untuk peletakan eksplan dilakukan dengan dua cara
yaitu cawan petri yang berukuran kecil bertujuan untuk mengurangi air yang
menempel pada eksplan sedangkan cawan petri berukuran besar bertujuan untuk
memotong eksplan yang berukuran 1-2 cm. Pemotongan eksplan dilakukan pada
bagian eksplan yang luka dan terkena bahan sterilan. Potongan eksplan kemudian
ditanam pada media kultur. Botol kultur yang telah ditanam eksplan ditutup rapat
dengan menggunakan aluminium foil dan plastik kemudian diikat dengan karet
dan dilapisi dengan plastik wrap. Setelah tahap inisiasi, botol kultur yang telah
berisi eksplan diletakkan di ruang kultur yang suhu dan cahaya telah diatur.
Cahaya yang digunakan pada pagi hingga sore hari yaitu dari pantulan cahaya
matahari, sedangkan pada sore hingga malam hari menggunakan cahaya lampu.
3.3.6 Pengamatan
Pengamatan terhadap hasil inisiasi dilakukan selama 4 minggu setelah
tanam (MST), setiap 1 minggu sekali. Adapun parameter yang diamati adalah :
1. Persentase rata-rata eksplan tumih yang hidup ditandai dengan eksplan yang
berwarna kehijauan
2. Persentase rata-rata eksplan yang mengalami kontaminasi ditandai dengan
munculnya kontaminan berupa jamur dan bakteri
3. Persentase rata-rata eksplan yang mengalami pencokelatan (browning)
19

Total perlakuan yang diamati berjumlah 16 perlakuan dan setiap perlakuan


terdiri dari 7 ulangan sehingga secara keseluruhan terdapat 112 satuan percobaan.
Interaksi antar faktor dari percobaan yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Interaksi faktor jenis zat pengatur tumbuh dan konsentrasinya
Zat Pengatur Tumbuh
B0 B1 B2 B3
dan Konsentrasinya
A0 A0B0 A0B1 A0B2 A0B3
A1 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3
A2 A2B0 A2B1 A2B2 A2B3
A3 A3B0 A3B1 A3B2 A3B3
Keterangan :
A0 : BAP konsentrasi 0 ml/l B0 : TDZ konsentrasi 0 ml/l
A1 : BAP konsentrasi 0,5 ml/l B1 : TDZ konsentrasi 0,05 ml/l
A2 : BAP konsentrasi 1 ml/l B2 : TDZ konsentrasi 0,1 ml/l
A3 : BAP konsentrasi 1,5 ml/l B3 : TDZ konsentrasi 0,5 ml/l

3.4 Analisis Data


Perhitungan meliputi persentase peluang hidup, kontaminasi oleh jamur
dan bakteri serta pencokelatan pada eksplan menggunakan rumus sebagai berikut :
% Peluang Hidup = Σ eksplan yang memiliki peluang hidup x 100%
N
% Kontaminasi = Σ eksplan terkontaminasi x 100%
N
% Pencokelatan = Σ eksplan mengalami pencokelatan x 100%
N
Keterangan : N = Jumlah total eksplan tiap perlakuan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Peluang Hidup Eksplan Tumih
Jumlah eksplan tumih yang ditanam sebanyak 112 eksplan yang telah
diinisiasi pada media kultur dan diamati selama 4 minggu setelah tanam (MST).
Dari hasil pengamatan diperoleh 25 eksplan tumih yang masih tetap bertahan, 21
eksplan mengalami pencokelatan (browning) dan 66 eksplan yang mengalami
kontaminasi. Dari hasil pengamatan diperoleh hasil kontaminasi lebih tinggi
dibandingkan eksplan yang masih tetap bertahan hidup. Hasil pengamatan dapat
dilihat lebih jelas pada Tabel 5.
Tabel 5 Data eksplan tumih yang memiliki peluang hidup hingga 4 MST
Perlakuan
Ulangan A0 A0 A0 A0 A1 A1 A1 A1 A2 A2 A2 A2 A3 A3 A3 A3
B0 B1 B2 B3 B0 B1 B2 B3 B0 B1 B2 B3 B0 B1 B2 B3
1 - br br - br - br - br br - - - br - -
2 - - - - - - - - v br - - - v br -
3 v - - v - - - - - - - - - br v -
4 v - - - - - br - - - - br - v - -
5 - br br v - br v br v - - - br v - br
6 v v - v v v v v - - v br - - v -
7 v - - br v - - - - v - br v v - -
Total 4 1 - 3 2 1 2 1 2 1 1 - 1 4 2 -
Keterangan : v = bertahan (25 eksplan)
br = browning (21 eksplan)
- = kontaminasi (66 eksplan)

Data dari Tabel 6 menunjukkan persentase peluang hidup eksplan tumih


pada masing-masing jenis media perlakuan. Persentase peluang hidup eksplan
tumih pada perlakuan A0B0 dan A3B1 memiliki persentase peluang hidup paling
tinggi. Sementara itu persentase peluang hidup terendah terdapat pada perlakuan
A0B1, A1B1, A1B3, A2B1, A2B2 dan A3B0 sehingga diperoleh rata-rata hasil
persentase peluang hidup 22,32%.
Tabel 6 Persentase peluang hidup eksplan tumih
Perlakuan
Rata-
A0 A0 A0 A0 A1 A1 A1 A1 A2 A2 A2 A2 A3 A3 A3 A3
rata
B0 B1 B2 B3 B0 B1 B2 B3 B0 B1 B2 B3 B0 B1 B2 B3
%
57. 14. 42. 28. 14. 28. 14. 28. 14. 14. 14. 57. 28.
peluang - - - 22.32
14 29 86 57 29 57 29 57 29 29 29 14 57
hidup
21

Kondisi eksplan tumih yang masih tetap bertahan dan memiliki peluang
hidup selama empat minggu ditandai dengan pucuk masih berwarna hijau, mata
tunas mengalami pertumbuhan serta kondisi eksplan dan media yang tidak
terserang oleh jamur dan bakteri. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Kondisi eksplan tumih yang tetap bertahan.


4.1.2 Persentase Kontaminasi Eksplan
Persentase kontaminasi rata-rata eksplan setelah pengamatan selama 4
MST mencapai 58,93% diantaranya kontaminasi oleh jamur sebesar 57,14% dan
kontaminasi oleh bakteri sebesar 1,79%. Hasil ini dapat dilihat lebih jelas pada
Tabel 7.
22

Tabel 7 Persentase kontaminasi eksplan tumih selama 4 MST


Jenis Total Kontaminasi (Eksplan) %
No.
Media Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Kontaminasi
1 A0B0 1 2 42.86
2 A0B1 1 3 57.14
3 A0B2 4 1 71.43
4 A0B3 2 1 42.86
5 A1B0 3 1 57.14
6 A1B1 1 4 71.43
7 A1B2 3 42.86
8 A1B3 4 1*) 71.43
9 A2B0 4 57.14
10 A2B1 2 2 57.14
11 A2B2 6 85.71
12 A2B3 4 57.14
13 A3B0 3 1 1 71.43
14 A3B1 1 14.29
15 A3B2 2 1 1 57.14
16 A3B3 4 1 1*) 85.71
Rata-rata 58.93
*)
kontaminasi bakteri
Data dari Tabel 7 menunjukkan bahwa tingkat kontaminasi paling besar
terjadi pada minggu kedua setelah inisiasi, sedangkan pada minggu ketiga dan
keempat, tingkat kontaminasi mulai berkurang. Hal ini sesuai dengan penelitian
Gunawan (2007), yang menyatakan bahwa kontaminasi jamur mencapai
puncaknya pada 11 hari setelah inisiasi sebesar 80%.
Kondisi eksplan tumih yang terkontaminasi jamur menutupi sebagian atau
seluruh bagian eksplan tumih. Hal ini ditandai dengan hifa jamur yang sudah
menempel baik pada bagian eksplan maupun pada media (Gambar 3).

Gambar 3 Kondisi eksplan tumih yang terkontaminasi jamur.


23

Kondisi eksplan tumih yang terkontaminasi bakteri ditandai dengan


munculnya cairan atau lendir di sekitar eksplan yang berwarna keruh dan tidak
terdapat hifa jamur yang menempel pada bagian eksplan dan media. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Kondisi eksplan tumih yang terkontaminasi bakteri.


4.1.3 Persentase Pencokelatan Eksplan Tumih
Persentase pencokelatan rata-rata pada eksplan tumih setelah pengamatan
selama 4 MST mencapai 18,75% seperti tertera pada Tabel 8.
Tabel 8 Persentase pencokelatan eksplan tumih selama 4 MST
Jenis Total Pencokelatan (Eksplan) %
No.
Media Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Pencokelatan
1 A0B0 0.00
2 A0B1 1 1 28.57
3 A0B2 2 28.57
4 A0B3 1 14.29
5 A1B0 1 14.29
6 A1B1 1 14.29
7 A1B2 2 28.57
8 A1B3 1 14.29
9 A2B0 1 14.29
10 A2B1 1 1 28.57
11 A2B2 0.00
12 A2B3 2 1 42.86
13 A3B0 1 14.29
14 A3B1 1 1 28.57
15 A3B2 1 14.29
16 A3B3 1 14.29
Rata-rata 18.75

Data dari Tabel 8 menunjukkan bahwa pencokelatan pada eksplan tumih


mulai terlihat pada minggu kedua setelah inisiasi yang terdapat pada perlakuan
A2B3, kemudian setelah minggu ketiga dan minggu keempat pencokelatan terjadi
pada hampir seluruh perlakuan. Pencokelatan muncul pada bagian yang
24

mengalami pelukaan akibat pemotongan. Pencokelatan pada eksplan tumih dapat


dilihat lebih jelas pada Gambar 5.

Gambar 5 Kondisi pencokelatan pada eksplan tumih.

4.2 Pembahasan
Bagian dari anakan yang dikulturkan dalam penelitian ini adalah bagian
pucuk yang masih menguncup. Ini dikarenakan jaringan muda yang terdapat pada
bagian pucuk mudah tumbuh dan pertumbuhannya dapat dipercepat dengan
menambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT). Hal ini sesuai dengan pendapat
Jayusman dan Setiawan (2006), penggunaan eksplan pucuk dalam kegiatan kultur
jaringan pada dasarnya sudah tepat karena eksplan pucuk merupakan bagian
jaringan muda dan mudah tumbuh (meristem) sehingga apabila ditambahkan zat
pengatur tumbuh (ZPT) dengan konsentrasi yang tepat pada media tanam akan
dapat mendorong pertumbuhan tunas.
Data dari Tabel 5 menunjukkan jumlah eksplan yang masih bertahan hidup
berjumlah 25 eksplan tumih yang memiliki ciri-ciri daun dan batang yang masih
berwarna hijau, sedangkan 21 eksplan mengalami pencokelatan yang memiliki
25

ciri-ciri eksplan tumih berwarna cokelat dan 66 eksplan mengalami kontaminasi


akibat serangan jamur dan bakteri. Jumlah eksplan yang terkontaminasi lebih
tinggi dibandingkan eksplan yang masih bertahan hidup, yang disebabkan pada
saat inisiasi, eksplan yang ditanam masih membawa kontaminan berupa jamur dan
bakteri. Kontaminasi juga dapat dipengaruhi oleh bibit tumih yang diambil berasal
dari alam dan kondisi tempat tumbuh yang berair. Hal ini sesuai dengan pendapat
Semangun (1989), yang menyatakan bahwa pengambilan bahan tanaman pada
musim hujan terjadi peningkatan kelembaban tanah dan kelebihan air yang
cenderung mendukung pertumbuhan jamur maupun bakteri secara cepat pada
lingkungan tumbuh tempat pengambilan tanaman.
Data dari Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase peluang hidup yang
tinggi pada perlakuan A3B1. Hal ini dipengaruhi oleh penggunaan TDZ pada
konsentrasi yang rendah (0,05 ml/l) dengan BAP pada konsentrasi yang tinggi
(1,5 ml/l). Konsentrasi yang optimal pada media TDZ dan BAP dapat
mempengaruhi peluang hidup eksplan tumih. Pada media TDZ dan BAP juga
memiliki kadar asam yang sesuai yaitu pH 5-6, hal ini juga dipengaruhi karena
tumih berasal dari tanah yang memiliki kadar pH rendah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Hendaryono dan Wijayani (1994) bahwa sel-sel tanaman yang
dikembangkan dengan teknik kultur jaringan memiliki toleransi pH optimal yaitu
antara 5-6.
Ciri-ciri eksplan yang berhasil ditunjukkan dengan daun dan batang masih
berwarna hijau, media dan eksplan tidak terserang jamur dan bakteri serta tunas
yang masih berwarna hijau atau tumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim
(2005) bahwa ciri-ciri eksplan yang berhasil dikulturkan yaitu terlihat hijau,
pertumbuhan awal membentuk tunas-tunas kecil atau mata tunas yang
berkembang/membesar, serta eksplan dan media tidak terkontaminasi jamur atau
bakteri.
Data dari Tabel 7 menunjukkan bahwa tingkat kontaminasi eksplan paling
besar terjadi pada minggu kedua setelah inisiasi. Hal ini disebabkan karena pada
minggu kedua pertumbuhan jamur yang terbawa oleh eksplan memasuki tahapan
puncak dalam proses pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunawan
(2007), yang menyatakan bahwa kontaminasi jamur mencapai puncaknya pada 11
26

hari setelah inisiasi sebesar 80%. Menurut Darmono (2003), mikroorganisme yang
terdapat dalam ruang antar sel membutuhkan waktu untuk keluar dari dalam ruang
antar sel. Setelah keluar, mikroorganisme akan menginfeksi semua bagian
eksplan. Kontaminasi oleh jamur dan bakteri juga dipengaruhi oleh masuknya
spora jamur dan bakteri ke dalam botol kultur pada saat inisiasi serta kondisi
eksplan yang kurang steril. Tingkat kontaminasi yang tinggi disebabkan oleh
jamur yaitu sebesar 57,14%. Sementara itu, kontaminasi oleh bakteri tidak terlalu
banyak yaitu 1,79%. Hal ini dikarenakan bibit yang diambil berasal dari
lingkungan yang tergenang dan kondisi pengambilan pada saat musim hujan. Hal
ini sesuai dengan pendapat Semangun (1989) menyatakan bahwa pengambilan
bahan tanaman yang dilakukan pada musim hujan memiliki tingkat kontaminasi
yang lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau.
Tingkat kontaminasi yang tinggi dalam penelitian ini sama dengan
penelitian pendahuluan ulin (Eusideroxylon swagery) yang dilakukan oleh
Witjaksono dan Hoesen (2003) dengan eksplan yang diambil dari lapang, yaitu
memiliki tingkat kontaminasi sebesar 60% sampai 70%. Pada penelitian
pendahuluan ini, perlu dilakukan karantina yang lebih intensif pada anakan tumih
yang dilakukan di rumah kaca. Hal ini diharapkan dapat menekan laju
pertumbuhan jamur yang dibawa pada saat inisiasi di dalam botol kultur. Hal ini
sesuai dengan pendapat Jayusman dan Setiawan (2006) melaporkan bahwa pada
inisiasi jenis tanaman gambut yaitu ramin (Gonystylus bancanus) menunjukkan
persentase kontaminasi sebesar 33% sampai 42%. Bahan tanaman yang berasal
dari cabutan anakan alam dan stek di Propinsi Riau dan Kalimantan Tengah
terlebih dahulu dilakukan tahap pra-kondisi yang intensif dalam rumah kaca.
Kontaminasi yang terjadi pada eksplan tumih seperti terlihat pada Gambar
3 dan Gambar 4, dapat dipastikan berasal dari jamur dan bakteri. Kontaminasi
oleh jamur ditunjukkan dengan munculnya benang-benang putih halus (miselium)
yang mengumpul pada bagian tanaman dan media tanam. Benang-benang putih
halus ini awalnya muncul pada eksplan, kemudian terus berkembang menutupi
seluruh bagian eksplan dan media hingga menyebabkan kematian eksplan.
Kontaminasi oleh bakteri ditandai dengan keluarnya cairan berwarna putih keruh
dari eksplan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suminar et al. (2007), eksplan yang
27

berasal dari lapangan memiliki tingkat kontaminasi yang relatif lebih tinggi, rata-
rata mencapai 85% yang disebabkan oleh jamur dan bakteri.
Eksplan yang mengalami pencokelatan dipengaruhi oleh adanya senyawa
fenol pada tumih yang dikeluarkan pada saat bagian pucuk tumih mengalami
pelukaan akibat pemotongan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sandra (2003)
pencokelatan terjadi karena eksplan mengeluarkan senyawa fenol yang kemudian
teroksidasi sehingga menghasilkan senyawa berwarna cokelat yang disebut
quinon. Bagian pucuk tumih mengalami pencokelatan yang relatif cepat setelah
dipotong dari tanaman induk dan saat pemotongan dalam cawan petri. Hal ini
sesuai dengan pendapat Santoso dan Nursandi (2003), pencokelatan pada kultur
jaringan terdiri dari pencokelatan secara mekanik yang terjadi karena proses
pelukaan. Pencokelatan karena pelukaan banyak terjadi pada kultur tanaman yang
banyak mengandung senyawa hidroksiphenol dan tanin.
Jenis tumih dari famili Anisophylleaceae mengandung senyawa fenolik
yaitu tanin (Wiart 2006). Hal ini memungkinkan terjadi proses pencokelatan pada
jenis ini baik secara enzimatis maupun secara mekanis saat pelukaan (pemotongan
eksplan dari tanaman induk dan pemotongan saat di cawan petri). Kondisi
pencokelatan pada eksplan tumih akan menyebabkan kematian eksplan. Hal ini
dikarenakan eksplan tidak dapat menyerap nutrisi yang tersedia pada media secara
maksimal sehingga secara perlahan-lahan eksplan akan mengalami kematian.
Sukmadjaja dan Mariska (2003) mengemukakan oksidasi senyawa fenolik dapat
menghambat dan bersifat toksik bagi pertumbuhan eksplan, serta mengakibatkan
kematian eksplan.
Data dari Tabel 8 menunjukkan perlakuan A2B3 yaitu penambahan BAP 1
ml/l dan TDZ 0,5 ml/l, persentase rata-rata pencokelatan pada eksplan tumih
paling tinggi (42,86%). Sedangkan pada perlakuan A0B0 (tanpa penambahan zat
pengatur tumbuh) tidak mengalami pencokelatan. Hal ini dipengaruhi oleh
konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Mayerni (2010), bahwa peran zat pengatur tumbuh eksogen menentukan
terjadinya pencokelatan eksplan, sehingga zat pengatur tumbuh yang diberikan
harus seimbang dan tepat untuk memperkecil persentase pencokelatan.
28

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko pencokelatan pada


eksplan tumih yaitu dengan menghilangkan senyawa fenol pada eksplan tumih
yang dilakukan dengan cara membilas eksplan pada air mengalir. Hal ini sesuai
dengan pendapat Hendaryono dan Wijayani (1994) bahwa pembilasan eksplan
secara terus-menerus pada air yang mengalir dapat mengurangi pencokelatan pada
eksplan. Pada percobaan eksplan tumih cara ini belum memberikan pengaruh
yang nyata untuk mengurangi pencokelatan. Cara lain yang dapat dilakukan
adalah pencegahan oksidasi komponen fenolik. Menurut Witjaksono dan Hoesen
(2005), vitamin C (asam askorbat dan asam sitrat) sebagai antioksidan mampu
mengurangi oksidasi senyawa fenol. Hendaryono dan Wijayani (1994)
mengemukakan bahwa cara lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat
pencokelatan yaitu dengan penambahan vitamin C pada medium dengan dosis
yang berbeda-beda pada tiap tanaman (dosis yang umum digunakan yaitu 50 ml
sampai 100 ml per 100 ml).
Proses sterilisasi eksplan pucuk tumih pada saat dibersihkan setelah
dipotong dari indukan memerlukan ketelitian yang tinggi. Hal ini disebabkan
batang pada eksplan tumih memiliki tekstur yang berlekuk sehingga
memungkinkan adanya kontaminan masih tertinggal. Teknik yang dapat
digunakan yaitu eksplan dibersihkan dengan kapas yang telah dibasahi kemudian
diusapkan secara berulang pada bagian pucuk terutama bagian lekukan.
Pembersihan eksplan pucuk tumih dengan menggunakan alkohol 70%
sebaiknya tidak dilakukan karena penggunaan alkohol 70% menyebabkan eksplan
tumih menjadi cokelat. Hal ini sesuai dengan pendapat Widaningrum (2000)
bahwa teknik sterilisasi dengan alkohol 70% pada tunas aksilar bambu tali dengan
lama perendaman 7 sampai 10 menit, dapat mengakibatkan bahan eksplan
mengalami dehidrasi yang kemudian diikuti pengeluaran klorofil dari jaringan
sehingga jaringan eksplan berwarna cokelat.
Eksplan tumih mengalami pencokelatan yang relatif cepat pada tahap
inisiasi, terutama pada bagian yang mengalami pelukaan setelah dipotong di
cawan petri. Oleh karena itu, eksplan yang ada sebaiknya tidak dipotong secara
sekaligus melainkan dibagi menjadi dua bagian pemotongan. Hal ini dapat
mengurangi pencokelatan pada eksplan tumih yang akan ditanam ke media kultur.
29

Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan dikategorikan berhasil


dengan masih bertahannya daun dan batang yang berwarna hijau sebanyak 25
eksplan. Untuk mengurangi kontaminan yang terdapat pada bibit yang digunakan,
perlu dilakukan karantina yang lebih intensif dalam rumah kaca yaitu dengan
memberikan fungisida dan bakterisida dan eksplan yang masih memiliki peluang
hidup sebaiknya dilakukan subkultur. Hal ini dapat mengurangi tingkat
kontaminasi jamur dan bakteri yang terbawa oleh eksplan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Bagian dari anakan yang diambil untuk dikulturkan dalam penelitian ini adalah
bagian pucuk. Ini disebabkan jaringan muda pada bagian pucuk yang mudah
tumbuh. Eksplan tumih yang masih bertahan hidup berjumlah 25 eksplan yang
memiliki ciri-ciri daun dan batang yang masih berwarna hijau. Sedangkan 21
eksplan mengalami pencokelatan yang memiliki ciri-ciri eksplan tumih berwarna
cokelat dan 66 eksplan mengalami kontaminasi akibat serangan jamur dan bakteri.
Persentase rata-rata peluang hidup pada eksplan tumih mencapai 22,32%,
kontaminasi oleh jamur sebesar 57,14% dan oleh bakteri sebesar 1,79% serta
persentase rata-rata pencokelatan pada eksplan yaitu sebesar 18,75%. Penelitian
pendahuluan yang telah dilakukan dikategorikan berhasil dengan masih
bertahannya daun dan batang yang berwarna hijau sebanyak 25 eksplan.
Sementara itu, untuk mengurangi kontaminan yang terdapat pada bibit yang
digunakan, dilakukan karantina yang lebih intensif dalam rumah kaca yaitu
dengan memberikan fungisida dan bakterisida. Hal ini dapat mengurangi tingkat
kontaminasi jamur dan bakteri yang terbawa oleh eksplan.

Saran
Perlu adanya upaya subkultur untuk meningkatkan persentase keberhasilan kultur
jaringan pada tumih. Dalam mengatasi pencokelatan, perlu diadakan penelitian
lanjutan dengan penambahan vitamin C pada media. Dalam memperkaya
penelitian kultur jaringan tumih, perlu dilakukan penelitian lanjutan yang
mengkaji pertumbuhan, multiplikasi, perakaran serta aklimatisasi hasil kultur
jaringan tumih.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Anda Bertanya, Pakar dan Praktisi Menjawab : Anggrek, Bunga
dengan Aneka Pesona Bentuk dan Warna. Jakarta : Agromedia Pustaka.

Anwar N. 2007. Pengaruh Media Multiplikasi terhadap Pembentukan Akar pada


Tunas In Vitro Nenas (Ananas comosos (L.) Merr.) cv. Smooth Cayenne di
Media Perakaran [skripsi]. Bogor : Departemen Budidaya Pertanian Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Argent G, Saridan A, Campbell EJF, Wilkie P, Fairweather G, Hadiah JT,


Middleton DJ, Pendry C, Pinard M, Warwick M, Yulita KS. 1998. Manual
of The Larger and More Important Non Dipterocarp Trees of Central
Kalimantan, Indonesia. Volume ke-1. Samarinda : Forest Research Institute.

Armini NM, Wattimena GA, Gunawan LW. 1991. Perbanyakan Tanaman. Di


dalam : Bioteknologi Tanaman. Bogor : Pusat Antar Universitas (PAU)
Institut Pertanian Bogor.

Asnawati, Wattimena GA, Machmud M, Purwito A. 2002. Studi Regenerasi dan


Produksi Protoplas Mesofil Daun Beberapa Klon Tanaman Kentang
(Solanum tuberosum L.). Buletin Agronomi 30 (3) : 87-91.

Boer E dan Lemmens RHMJ. 1998. Combretocarpus Hook. f. Di dalam : Plant


Resources of South-East Asia No 5(3). Timber Trees: Lesser-known
Timbers. Bogor : Prosea Foundation.

Conger BV. 1981. Cloning Agricultural Plants via In Vitro Technique. Florida :
CRC Press Inc.

Darmono DW. 2003. Menghasilkan Anggrek Silangan. Jakarta : Penebar


Swadaya.

Devilana, MR. 2005. Pengaruh Sitokinin (TDZ) dan Auksin (IAA dan NAA)
terhadap Multiplikasi Nenas (Ananas comosos (L.) Merr.) cv. Queen dalam
Perbanyakan Kultur Jaringan [skripsi]. Bogor : Departemen Budidaya
Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Gunawan I. 2007. Perlakuan Sterilisasi Eksplan Anggrek Kuping Gajah


(Bulbophyllum beccarii Rehb.f) dalam Kultur In Vitro [skripsi]. Bogor :
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
32

Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor : Laboratorium Kultur


Jaringan Tanaman Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi Institut
Pertanian Bogor.

_____________. 1995. Teknik Kultur Jaringan In Vitro dalam Hortikultura.


Jakarta : Penebar Swadaya.

Hartman HT, Kester DE, Davis-Jr FT. 1990. Plant Propagation : Principles and
Practices. New Jersey : Prentice-Hall International, Inc.

Hendaryono DPS, Wijayani A. 1994. Teknik Kultur Jaringan : Pengenalan dan


Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Yogyakarta :
Penerbit Kanisius.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Jakarta : Badan Litbang


Kehutanan.

Hobir, Sukmadjaja D, Mariska I. 1992. Aplikasi Kultur Jaringan dalam Produksi


Bibit pada Beberapa Tanaman Industri. Di dalam : Prosiding Forum
Komunikasi Ilmiah Penelitian Aplikasi Bioteknologi Kultur Jaringan pada
Tanaman Industri; Bogor, 29 Februari 1992. Bogor : Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian-Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri.

Huetteman CA, Preece JE. 1993. Thiadizuron : A Potent Cytokinin for Woody
Plant Tissue Culture. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 33 : 105-109.

Isnaeni N. 2008. Pengaruh TDZ terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Kultur In Vitro
Pisang Raja Bulu (Musa paradisiacal. AAB. Group) [skripsi]. Bogor :
Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor.

Istomo. 2002. Kandungan Fosfor dan Kalsium serta Penyebarannya pada Tanah
dan Tumbuhan Rawa Gambut, Studi Kasus di Wilayah Bagian Kesatuan
Pemangkuan Hutan Bagan, Kabupaten Rokan Hilir, Riau [Disertasi]. Bogor
: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Istomo, Hardjanto, Rahaju S, Permana E, Suryawan SI, Hidayat A, Waluyo. 2007.


Kajian Perolehan Karbon sebagai Dampak Intervensi pada Lokasi Kegiatan
Proyek CCFPI Di Eks-PLG Blok A Mentangai, Kalimantan Tengah dan
Sekitar TN. Berbak, Jambi. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas
Kehutanan IPB – Wetlands International Indonesia Programme.
33

Jayusman, Setiawan A. 2006. Inisiasi Tunas Ramin melalui Kultur Jaringan.


Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 3 (1) : 53-62.

Murdiyarso D, Rosalina U, Hairiah K, Muslihat L, Suryadiputra INN dan Jaya A.


2004. Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan
Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Bogor
: Wetlands International–Indonesia Programme dan Wildlife Habitat
Canada.

Parera DF. 1997. Pengaruh Tingkat Konsentrasi Air Kelapa terhadap


Pertumbuhan dan Perbanyakan Tanaman Anggrek Dendrobium spp. melalui
Teknik Kultur Jaringan. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Universitas Pattimura 2 : 57-64.

Purba HI. 2009. Pengaruh Jenis Media dan Konsentrasi Picloram terhadap Induksi
Embrio Somatik Manggis (Garcinia mangostana L.) [skripsi]. Bogor :
Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor.

Saito H, Shibuya M, Tuah SJ, Turjaman M, Takahashi K, Jamal Y, Segah H, Putir


PE, Limin SH. 2005. Initial Screening of Fast-Growing Tree Spesies being
Tolerant of Dry Tropical Peatlands in Central Kalimantan, Indonesia.
Journal of Forestry Research 2 (2) : 1-10.

Sandra E. 2003. Kultur Jaringan Anggrek Skala Rumah Tangga. Jakarta :


AgroMedia Pustaka.

Santoso U, Nursandi F. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Malang : Universitas


Muhammadiyah Malang Press.

Semangun H. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.


Yogyakarta : UGM Press.

Soepadmo E, Mohamed AL, Kiew R, Lee HS, Wong KM. 1995. Tree Flora of
Sabah and Sarawak. Volume ke-1. Malaysia : Forest Research Institute
Malaysia.

Sukmadjaja D, Mariska I. 2003. Perbanyakan Bibit Jati melalui Kultur Jaringan.


Bogor : Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
34

Suminar E, Sobardini D, Murgayanti. 2007. Multiplikasi In Vitro Jeruk Keprok


Garut (Citrus nobilis var. chrysocarpha) untuk Perbanyakan Bibit Bebas
Penyakit secara Massal. Laporan Penelitian Peneliti Muda (LITMUD)
UNPAD. Bandung : Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran.

Suryowinoto M. 1991. Pemuliaan Tanaman secara In Vitro. Yogyakarta :


Kanisius.

Wahyunto, Ritung S, Suparto, Subagyo H. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan


Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and
Peatlands in Indonesia. Bogor : Wetlands International Indonesia
Programme-Wildlife Habitat Canada.

Wiart C. 2006. Medicinal Plant of Asia and the Pasific. http://www.drugs


well.com/winow/+winowPlants%20of%20Asia%20and%22Pacific/2757842
9-Medicinal-Plants-of-Asia-and-thePacific.htm#LinkTarget_157390m [9
September 2011].

Wibisono ITC, Siboro L, Suryadiputra INN. 2005. Panduan Rehabilitasi dan


Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and
Peatland in Indonesia. Bogor : Wetlands International Indonesia
Programme-Wildlife Habitat Canada.

Widaningrum WE. 2000. Teknik Sterilisasi dalam Kultur Jaringan Eksplan Tunas
Aksilar Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurz) [skripsi]. Bogor :
Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.

Witjaksono, Hoesen DSH. 2003. Pertumbuhan Eksplan Tunas Pucuk dan Buku
Tunas Asal Kecambah Ulin secara In Vitro. Laporan Teknik Proyek
Pengkajian dan Pemanfaatan Sumberdaya Hayati. Bogor : Pusat Penelitian
Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

______________________. 2005. Pertumbuhan Kultur Jaringan Tumbuhan Ulin


(Eusideroxylon swagery) dan Ramin (Gonystylus bancanus). Laporan
Teknik Teknologi Perbanyakan Tumbuhan Kayu Endemik. Bogor : Pusat
Penelitian Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman : Solusi Perbanyakan Tanaman Budi


Daya. Jakarta : Bumi Aksara.
LAMPIRAN
36

Lampiran 1 Persentase kontaminasi eksplan tumih

Jenis Minggu
No. Ulangan % kontaminasi
Media 1 2 3 4
1 A0B0 1 kontam
2 kontam
3
4 42.86
5 kontam
6
7
2 A0B1 1
2 kontam
3 kontam
4 kontam 57.14
5
6
7 kontam
3 A0B2 1
2 kontam
3 kontam
4 kontam 71.43
5
6 kontam
7 kontam
4 A0B3 1 kontam
2 kontam
3
4 kontam 42.86
5
6
7
5 A1B0 1
2 kontam
3 kontam
4 kontam 57.14
5 kontam
6
7
6 A1B1 1 kontam
2 kontam
3 kontam
4 kontam 71.43
5
6
7 kontam
7 A1B2 1
2 kontam
3 kontam
4 42.86
5
6
7 kontam
8 A1B3 1 kontam
2 kontam
3 kontam
4 kontam 71.43
5
6
7 kontam
37

9 A2B0 1
2
3 kontam
4 kontam 57.14
5
6 kontam
7 kontam
10 A2B1 1
2
3 kontam
4 kontam 57.14
5 kontam
6 kontam
7
11 A2B2 1 kontam
2 kontam
3 kontam
4 kontam 85.71
5 kontam
6
7 kontam
12 A2B3 1 kontam
2 kontam
3 kontam
4 57.14
5 kontam
6
7
13 A3B0 1 kontam
2 kontam
3 kontam
4 kontam 71.43
5
6 kontam
7
14 A3B1 1
2
3
4 14.29
5
6 kontam
7
15 A3B2 1 kontam
2
3
4 kontam 57.14
5 kontam
6
7 kontam
16 A3B3 1 kontam
2 kontam
3 kontam
4 kontam 85.71
5
6 kontam
7 kontam
Rata-rata 58.93
38

Lampiran 2 Persentase pencokelatan (browning) eksplan tumih

Jenis Minggu
No. Ulangan % browning
Media 1 2 3 4
1 A0B0 1
2
3
4 0.00
5
6
7
2 A0B1 1 browning
2
3
4 28.57
5 browning
6
7
3 A0B2 1 browning
2
3
4 28.57
5 browning
6
7
4 A0B3 1
2
3
4 14.29
5
6
7 browning
5 A1B0 1 browning
2
3
4 14.29
5
6
7
6 A1B1 1
2
3
4 14.29
5 browning
6
7
7 A1B2 1 browning
2
3
4 browning 28.57
5
6
7
8 A1B3 1
2
3
4 14.29
5 browning
6
7
39

9 A2B0 1 browning
2
3
4 14.29
5
6
7
10 A2B1 1 browning
2 browning
3
4 28.57
5
6
7
11 A2B2 1
2
3
4 0.00
5
6
7
12 A2B3 1
2
3
4 browning 42.86
5
6 browning
7 browning
13 A3B0 1
2
3
4 14.29
5 browning
6
7
14 A3B1 1 browning
2
3 browning
4 28.57
5
6
7
15 A3B2 1
2 browning
3
4 14.29
5
6
7
16 A3B3 1
2
3
4 14.29
5 browning
6
7
Rata-rata 18.75

Anda mungkin juga menyukai