Anda di halaman 1dari 86

i

ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI PADI SAWAH


KECAMATAN SOREANG KABUPATEN BANDUNG

GILANG FAUZI DZIKRILLAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Keberlanjutan


Usahatani Padi Sawah Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

Gilang Fauzi Dzikrillah


NIM P052130261
iv

RINGKASAN

GILANG FAUZI DZIKRILLAH. Analisis Keberlanjutan Usahatani Padi Sawah


Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh SYAIFUL ANWAR
dan SURJONO HADI SUTJAHJO.

Kabupaten bandung memiliki potensi besar pada sektor pertanian khususnya


pertanian tanaman pangan. Tata guna lahan di Kabupaten Bandung hingga tahun
2003 masih didominasi oleh pertanian, dari luas total wilayah ini (307.370 ha),
sekitar 160.143 Ha (52,10%) lahannya diperuntukkan bagi usahatani, dari jumlah
52,10 persen tersebut, sekitar 56.772 Ha (35,45%) merupakan lahan basah
(sawah). Saat ini kontribusi Kabupaten Bandung terhadap produksi padi Jawa
Barat kurang lebih mencapai 7% setiap tahunnya, dan lebih kurang memasok 50-
70 ton per hari ke pasar induk Cipinang Jakarta.
Usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung
menghadapi permasalahan yang mengancam keberlanjutan ketahanan pangan,
seperti: (1) ketersediaan sumberdaya lahan yang semakin langka, baik luas
maupun kualitas serta konflik penggunaan, (2) keberadaan sarana dan prasarana
usahatani, (3) variabilitas iklim dan meningkatnya serangan organisme
pengganggu tanaman, dan (4) penurunan kualitas lingkungan akibat penggunaan
pupuk dan pestisida kimia. Oleh karena itu, perlu dikaji status keberlanjutan
usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang untuk memperoleh manfaat optimal
dari kinerja usahatani.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) menilai dan menganalisis status
keberlanjutan usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang berdasarkan lima
dimensi keberlanjutan, yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi-
infrastruktur, dan hukum-kelembagaan, dan 2) mengidentifikasi faktor kunci
penentu keberlanjutan untuk pengembangan usahatani di Kecamatan Soreang
pada masa depan.
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung sejak
Januari hingga Mei tahun 2016. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan hasil wawancara melalui penyebaran
kuesioner kepada stakeholder yang berkaitan (birokrat dan pakar) dan pelaku
usahatani itu sendiri yaitu petani. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait
(Badan Metereologi dan Geofisika, Dinas Pertanian, Dinas Pekerjaan Umum,
Badan Pusat Statistik, Bappeda, dan BKP3). Analisis yang digunakan meliputi:
metode Rapid Appraisal Usahatani Padi (RAP-FARM) menggunakan pendekatan
multidimensional scaling (MDS) dan analisis prospektif.
Berdasarkan hasil analisis penilaian RAP-FARM menunjukkan usahatani
padi sawah di Kecamatan Soreang memiliki nilai indeks keberlanjutan sebesar
49.07, sehingga berkategori kurang berkelanjutan. Analisis lima dimensi
keberlanjutan menunjukkan dimensi ekonomi dan hukum-kelembagaan cukup
berkelanjutan sedangkan dimensi ekologi, sosial-budaya dan teknologi-
infrastruktur tidak berkelanjutan. Analisis leverage menunjukkan terdapat 21
atribut dari 48 atribut berpengaruh terhadap indeks keberlanjutan usahatani padi
sawah. Analisis prospektif menunjukkan terdapat 6 faktor kunci/dominan
berpengaruh kuat terhadap usahatani padi sawah. Enam faktor kunci tersebut,
yakni: (1) kesesuaian lahan dengan tata guna lahan, (2) motivasi petani bertani,
v

(3) penggunaan bahan organik dan pemanfaatan limbah pertanian, (4) bebas
serangan hama dan penyakit, (5) lahan (kesuburan tanah), dan (6) pemakaian
pestisida kimia. Pengembangan usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang
memerlukan peningkatan nilai indeks keberlanjutan melalui pengelolaan dan
perbaikan 21 atribut sensitif dengan fokus pada perbaikan 6 faktor kunci
berpengaruh terhadap usahatani padi sawah.

Kata kunci: keberlanjutan, usahatani padi, Soreang


vi

SUMMARY

GILANG FAUZI DZIKRILLAH. Sustainable of Rice Farming in Soreang District


of Bandung Regency. Supervised by SYAIFUL ANWAR as a chairman and
SURJONO HADI SUTJAHJO as member.

Bandung Regency has a great potential in the agricultural sector, especially


food crops. Land use in Bandung regency until 2003 was still dominated by
agriculture, of the total area of this region (307 370 ha), approximately 160 143 ha
(52.10%) of land reserved for farming, 52.10 percent of the total, about 56 772 ha
(35.45%) is a wetland. Currently, contribution of Bandung regency, West Java on
rice production reaches approximately 7% annually and supply approximately 50-
70 tons per day to stem market Cipinang Jakarta.
Rice farming in Soreang District of Bandung Regency facing problems that
pose a threat to the sustainability of food security, such as: the availability of land
resources are increasingly scarce, (2) existence of facilities and infrastructure of
farming, (3) climate change and increasing attacks of plant diasses pests and (4)
decrease in quality of environment as a result of use chemical fertilizers and
pesticides. Necessary to study sustainability of rice farming in Soreang District to
obtain benefit from rice farming performance.
The purpose of this study was 1) analizing and assess the sustainability of
rice farming in Soreang District based on five dimensions of the ecological,
economic, socio-cultural, technology-infrastructure, and legal-institutional, and 2)
identify of key determinants sustainability development of rice farming in
Soreang District in the future.
The research was conducted in Soreang District from January to May 2016.
Data used consist of primary data and secondary data. Primary data is result of
interviews by distributing questionnaires to stakeholders related (experts) and
perpetrators of rice farming namely farmers. Secondary data was collected from
relevant institutions (Meteorological and Geophysics, Department of Agriculture,
Public Works Department, Central Bureau of Statistics, Planning Agency, and
BKP3). The anlysis used with Rapid Appraisal Rice Farming (RAP-FARM) using
Multidimensional Scaling (MDS) method and prospective analysis
Results shows that rice farming in Soreang District using RAP-FARM yield
49.07 in sustainability index which can be categorized as less sustainable.
Leverage analysis results showed that out of 48 existing attributes, 21 sensitive
attributes proven to have influence on the rice farming sustainability index. The
perspective analysis shows that there are 6 key factors that have significant
influence on wetland rice farming which are: (1) conformity of land usage to the
land properties, (2) farmers motivation, (3) organic material usage and utilization
of farm waste, (4) freedom from pest infestations and diseases, (5) land fertility,
and (6) usage of chemical pesticides. The efforts for improving rice farming in
Soreang Regency require a sustainability index value by way of managing and
repairing sensitive attributes with attribute 21 focus on improvements of the
sensitive 6 key factors attribute against the rice farming.

Keywords: sustainability, rice farming, Soreang


vii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
viii

ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI PADI SAWAH


KECAMATAN SOREANG KABUPATEN BANDUNG

GILANG FAUZI DZIKRILLAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
ix

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Desta Wirnas, SP. M.Si
x

Judul Tesis : Analisis Keberlanjutan Usahatani Padi Sawah Kecamatan


Soreang Kabupaten Bandung
Nama : Gilang Fauzi Dzikrillah
NIM : P052130261

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Syaiful Anwar, MSc Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, MS


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 21 November 2016 Tanggal Lulus:


xi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Tema yang dipilih
dalam tesis ini ialah usahatani padi sawah berkelanjutan, dengan judul Analisis
Keberlanjutan Usahatani Padi Sawah Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S.
selaku komisi pembimbing.
2. Desta Wirnas, SP. M.Si selaku penguji luar komisi.
3. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku moderator ujian tesis
4. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc. selaku Ketua Program Studi PSL
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, beserta segenap staf
pengajar dan staf manajemen PS PSL.
5. Kepala Desa/Sekretaris Desa masing-masing ditiap Kecamatan Soreang,
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bandung, Kepala Badan
Pusat Statistik, Pemda Kabupaten Bandung dan staf, atas bantuan dalam
penyediaan data dan fasilitas lainnya.
6. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas bantuan dana dalam
penyelesaian studi dan penelitian.
7. Ayahanda (Bapak Drs. H. Haruji Satia Nugraha, M.Pd.), Ibunda (Ibu Sussy
Suminarsih), Adik (Gita Puspa Ayu Amelia, S.Si.), dan seluruh keluarga
besar atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.
8. Sahabat-sahabat PSL, baik kelas reguler maupun khusus angkatan 2013 atas
dukungan dan kerjasamanya.
9. Semua pihak terkait lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang
telah memberikan bantuan, semangat, dan doa sehingga tesis ini dapat
diselesaikan.
Semoga bantuan, dukungan, dorongan dan perhatian dari semua pihak yang
telah diberikan dengan tulus kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari
Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga tesis ini mampu memberikan informasi dan
pengetahuan yang bermanfaat bagi pembacanya.

Bogor, Januari 2017

Gilang Fauzi Dzikrillah


xii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 7
Konsepsi Kemandirian dan Ketahanan Pangan 7
Tanaman Padi 10
Konsep Usahatani 11
Kendala dan Efisiensi Usahatani Padi Sawah 13
Kebijakan Beras Nasional 14
Usahatani Padi Sawah Berkelanjutan 15
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan 17
3 METODE 19
Tempat dan Waktu Penelitian 19
Jenis Data Penelitian 20
Teknik Penentuan Responden 20
Metode Pengumpulan Data 21
Metode Analisis Data 22
Analisis Multidimensional Scaling (MDS) 22
Analisis Prospektif 26
4 GAMBARAN UMUM 29
Kondisi Umum Tempat Penelitian 29
Kependudukan 30
Perekonomian 31
Pendidikan 33
Aksesibilitas dan Infrastruktur 34
Pertanian 35
Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan 36
Berdasarkan Rasio Ketersediaan Pangan 36
Indeks Pembangunan Manusia 39
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 40
Indeks dan Status Keberlanjutan 40
Analisis Statistik Nilai Indeks Keberlanjutan 41
Status Keberlanjutan PerDesa di Kecamatan Soreang 42
Atribut Sensitif Usahatani Kecamatan Soreang 45
Dimensi Ekologi 45
Dimensi Ekonomi 47
xiii

Dimensi Sosial-Budaya 50
Dimensi Teknologi-Infrastruktur 52
Dimensi Hukum-Kelembagaan 54
Faktor Kunci Usaha Tani Padi Sawah Kecamatan Soreang 57
Deskripsi Masing-Masing Faktor Kunci 58
6 SIMPULAN DAN SARAN 62
Simpulan 62
Saran 63
DAFTAR PUSTAKA 64
LAMPIRAN 69
RIWAYAT HIDUP 81

DAFTAR TABEL

1 Program peningkatan produksi padi dan paket tekonolgi anjuran 15


2 Jenis dan sumber data penelitian 20
3 Atribut keberlanjutan usahatani padi sawah 24
4 Pengaruh langsung antarfaktor usahatani padi sawah 27
5 Pembagian wilayah administrasi Kecamatan Soreang tahun 2015 29
6 Penduduk berdasarkan jenis kelamin menurut desa di Kecamatan
Soreang tahun 2014 31
7 Jumlah pendapatan keuangan desa menurut sumber penerimaan 32
8 Pengeluaran keuangan desa menurut jenis pengeluarannya 32
9 Daftar inventarisasi jalan di Soreang 34
10 Luas dan produksi tanaman padi menurut desa di kecamatan Soreang 36
11 Jumlah dan presentase kecamatan dan desa berdasarkan prioritas
indikator ketersediaan pangan 37
12 Kategori prioritas kecamatan, jumlah dan nama desa berdasarkan
ketersediaan pangan di Kabupaten Bandung 38
13 Indikator dan indeks pembangunan manusia kecamatan Soreang 39
14 Parameter statistik (goodness of fit) analisis indeks keberlanjutan 41
15 Hasil analisis Monte Carlo nilai RAP-RICE pada selang kepercayaan
95 persen 41
16 Indeks keberlanjutan tiap desa di Kecamatan Soreang 42
xiv

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan produktivitas padi di Kabupaten bandung 2


2 Perkembangan indeks pertanaman padi di Kabupaten Bandung 3
3 Ruang lingkup penelitian 6
4 Peta wilayah Kecamatan Soreang 19
5 Proses aplikasi Rapfish 25
6 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antarfaktor dalam sistem 28
7 Jumlah sekolah, guru dan murid di kecamatan Soreang tahun 2014 33
8 Pembangunan akses jalan tol Soroja (Soreang - Pasirkoja) 34
9 Indeks dan status keberlanjutan usaha tani padi sawah kecamatan
Soreang 40
10 Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi
usaha tani padi sawah di kecamatan Soreang Kabupaten Bandung 45
11 Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi
usaha tani padi sawah di kecamatan Soreang Kabupaten Bandung 47
12 Pendistribusian beras melalui program Raskin di Kecamatan Soreang 49
13 Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial-
budaya usaha tani padi sawah di kecamatan Soreang kabupaten
Bandung 50
14 Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi-
infrastruktur usaha tani padi sawah di kecamatan Soreang Kabupaten
Bandung 52
15 Kondisi jalan infrastruktur di kecamatan Soreang 53
16 Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi hukum-
kelembagaan usaha tani padi sawah di kecamatan Soreang Kabupaten 55
17 Faktor kunci/dominan yang berpengaruh pada usaha tani padi sawah di
kecamatan Soreang Kabupaten Bandung 58

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuisioner penelitian untuk stakeholder 65


2 Kuisioner penelitian untuk petani 70
3 Kuisioner penelitian untuk analisis prospektif 73
xv
1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi


berimpikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor
pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Tujuan pembangunan nasional mencakup beberapa aspek yaitu
pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja
serta kelestarian sumberdaya yang potensial. Keberhasilan pembangunan di
Indonesia menuntut kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak dan peranan
masing-masing sektor. Salah satu sektor yang diharapkan dapat menunjang tujuan
pembangunan ekonomi adalah sektor pertanian (Azisa, 2008).
Indonesia sebagai Negara yang berdaulat, berkomitmen untuk
mewujudkan ketahanan pangan, hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2012 tentang Pangan dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2015 tentang ketahanan pangan dan gizi
yang mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab
untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat. Ketahanan pangan
diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata,
dan terjangkau.
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia untuk dapat
mempertahankan hidup, oleh karena itu kecukupan pangan bagi setiap orang pada
setiap waktu merupakan hak azasi yang harus dipenuhi (Ismet, 2007; Suryana,
2005). Penyediaan pangan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi
pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan secara berkelanjutan.
Ketersediaan pangan menjadi aspek penting dalam mewujudkan ketahanan
pangan. Ketahanan pangan adalah syarat mutlak bagi suatu negara untuk dapat
melaksanakan pembangunan secara berkelanjutan. Pembangunan sektor pertanian
sebagai sektor pangan utama Indonesia sangat penting dalam pembangunan
Indonesia.
Padi adalah komoditas pangan strategis nasional dan memiliki sensitivitas
yang tinggi ditinjau dari aspek politis, ekonomi, dan kerawanan sosial. Peran
strategis padi dalam perekonomian nasional adalah: (1) merupakan bahan pangan
pokok bagi 95% lebih penduduk Indonesia dengan pangsa konsumsi energi yang
berasal dari beras lebih dari 55%; (2) sekitar 30% total pengeluaran rumah tangga
miskin dialokasikan untuk beras; dan (3) usahatani padi menyediakan kesempatan
kerja dan sumber pendapatan bagi lebih dari 25,6 juta rumah tangga petani
(Suryana, 2005).
Rata-rata produktivitas padi adalah 4,4 ton/ha (Purba S dan Las, 2002),
jika dibanding dengan negara produsen pangan lain di dunia khususnya beras,
produktivitas padi di Indonesia ada pada peringkat ke 29. Australia memiliki
produktivitas rata-rata 9,5 ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha dan Cina 6,35 ton/ha ( FAO,
1998). Lahan sawah merupakan produsen utama beras di Indonesia. Dengan luas
panen 6,03 juta ha pada tahun 2013, lahan sawah mampu menghasilkan 35,62 juta
ton gabah/tahun atau 60% dari total produksi gabah di Indonesia. Produksi padi
nasional antara tahun 2010-2014 meningkat rata-rata sebesar 1,63 % per tahun.
2

Pemicu peningkatan produksi padi diantaranya karena peningkatan luas panen


seluas 540 ribu ha dan produktivitas sebesar 1,20 ku/ha. Luasan total produksi
padi sawah di Indonesia sekitar 67,40 juta ton (60%) berada di Jawa (BPS, 2014).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika, Pertumbuhan luas panen
padi di Jawa hanya sekitar 0,20 % per tahun sedangkan di luar Jawa sekitar
1,76 % per tahun. Demikian pula dengan peningkatan produktivitas padi di Jawa
hanya sekitar 0,08 % per tahun, sedangkan di luar Jawa sekitar 1,45 % per tahun.
Hingga tahun 2013 pulau Jawa tetap memberikan kontribusi terbesar dalam
pengadaan produksi padi nasional dengan luas panen 6,47 juta ha mampu
menyumbang 58% dari produksi gabah kering giling (GKG) di Indonesia. Oleh
karena itu, peranan lahan sawah di Jawa sangat menentukan kestabilan produksi
beras nasional. Kegagalan panen beras di Jawa dapat menggoyahkan ketahanan
pangan nasional.
Kabupaten Bandung merupakan bagian dari wilayah pengembangan
metropolitan Bandung yang merupakan hiterland serta daerah penyangga Kota
Bandung dan salah satu Kabupaten yang mempunyai ketahanan pangan yang baik,
namun perkembangan kegiatan Kota Bandung memaksa terjadi pergeseran
kegiatan ekonomi ke Kabupaten Bandung. Tata guna lahan di Kabupaten
Bandung hingga tahun 2003 masih didominasi oleh pertanian, dari luas total
wilayah ini (307.370 ha), sekitar 160.143 Ha (52,10%) lahannya diperuntukkan
bagi usahatani, dari jumlah 52,10 persen tersebut, sekitar 56.772 Ha (35,45%)
merupakan lahan basah (sawah) dan sebagian besar sisanya (64,55%) merupakan
lahan kering (Setiawan, 2006).
Produksi padi sawah di Kabupaten Bandung tahun 2004 – 2011 cenderung
berfluktuatif, pada tahun 2004 produksi padi sebesar 425.914 ton, menurun
menjadi 235.000 ton pada tahun 2005, kemudian pada tahun 2006 meningkat
menjadi 394.391 ton dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 472.843 ton
(Hadinata dan Sugiyanto, 2013). Lebih lanjut, upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan luas tanam melalui peningkatan indeks pertanaman padi.
Peningkatan IP tersebut dilaksanakan melalui perbaikan/rehabilitasi jaringan
irigasi dan/atau pembangunan jaringan irigasi baru, dinilai efektif.

Gambar 1. Perkembangan produktivitas padi di Kabupaten Bandung


Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bandung 2013
3

Gambar 2. Perkembangan indeks pertanaman padi Kabupaten Bandung


Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bandung 2013

Tantangan utama dalam penyediaan pangan dihadapkan pada ketersediaan


sumber daya lahan yang semakin langka (lack of resources), baik luas maupun
kualitas serta konflik penggunaan (conflict of interest) (Pasandaran, 2006).
Kelangkaan tersebut disebabkan semakin meningkatnya penggunaan lahan
pertanian ke non pertanian yang bersifat permanen (irreversible). Usaha untuk
meningkatkan produksi padi melalui peningkatan produktivitas terhambat oleh
keterbatasan teknologi dan infrastuktur, antara lain telah dicapainya batas
maksimum potensi hasil varietas, penurunan kualitas lahan karena terdegradasi,
semakin terbatasnya sumber daya air, variabilitas iklim dan meningkatnya
serangan organisme pengganggu tanaman (Sumarno, 2006).
Kecamatan Soreang merupakan salah satu sentral penghasil tanaman
pangan terutama komoditas padi di Kabupaten Bandung. Para petani di Soreang
tersebut menggunakan pupuk anorganik dan pestisida kimia untuk meningkatkan
produktivitas hasil pertaniannya. Pencemaran tanah dan air permukaan yang
disebabkan oleh penggunaan pestisida dan pupuk yang dibuat dari bahan kimiawi
dapat membahayakan kesehatan lingkungan, manusia dan hewan.
Kondisi ini dikhawatirkan dapat memperlemah ketahanan pangan nasional,
mengingat WP Soreang-Kutawaringin-Katapang sebagai lumbung beras andalan
di bumi priangan. Untuk itu perlu dilakukan analisis keberlanjutan usahatani padi
di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung. Indeks keberlanjutan dapat
digunakan untuk mengevaluasi keberlanjutan suatu usahatani (Rao dan Rogers,
2006), maka penentuan indeks keberlanjutan lahan padi sawah ini perlu
diterapkan untuk mengevaluasi keberlanjutan lahan sawah agar permasalahan
yang menghambat keberlanjutan lahan sawah di Jawa Kabupaten Bandung
Kecamatan Soreang dapat diatasi secara cepat dan tepat.

Perumusan Masalah

Kabupaten Bandung merupakan bagian dari wilayah pengembangan


metropolitan Bandung yang menjadi salah satu lumbung beras yang cukup
penting di wilayah priangan. Saat ini kontribusi Kabupaten Bandung terhadap
produksi padi Jawa Barat kurang lebih mencapai 7% setiap tahunnya, dan lebih
kurang memasok 50-70 ton per hari ke pasar induk Cipinang Jakarta (Pemkab
4

Bandung, 2014). Kabupaten Bandung menetapkan kebijakan pada salah satu


kecamatan yaitu Kecamatan Soreang.
Berdasarkan data Potensi Desa Tahun 2009 dan 2013 yang dikeluarkan
Badan Pusat Statistik (BPS), Kecamatan Soreang terdiri atas 10 desa dengan luas
wilayah 25,51km2. Jumlah penduduk Kecamatan Soreang pada tahun 2013 adalah
111.060 jiwa dengan kepadatan penduduk 4.354 jiwa/km 2. Pertumbuhan
penduduk merupakan faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan
pertanian. Dalam kurun waktu 2004-2011, penduduk Kecamatan Soreang
cenderung meningkat sebesar 0,70% – 1,56% pertahunnya (Hadinata, 2012).
Faktor tekanan penduduk menjadi penentu terjadinya penurunan luas pertanian
sawah di kawasan hinterland.
Berdasarkan laporan tahunan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan
Kabupaten Bandung tahun 2004-2008 selama kurun waktu 5 tahun lahan sawah di
Kabupaten Bandung telah berkurang sebanyak 19.298 ha terdiri atas 3.118 ha
lahan sawah irigasi teknis, 2.973 ha irigasi setengah teknis, 3.215 ha irigasi
sederhana (PU), 6.469 ha irigasi desa dan 3.570 ha sawah tadah hujan. Bersamaan
dengan itu, telah pula terjadi pengurangan jumlah buruh tani dan petani pemilik
penggarap.
Fenomena semakin meningkatnya jumlah penduduk dari waktu ke waktu
ini menyebabkan permintaan akan pangan khususnya beras semakin meningkat.
Namun di sisi lain, ketersediaan lahan untuk usahatani padi sawah di Kecamatan
Soreang mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Peningkatan laju konversi
lahan pertanian yang memiliki fungsi ekologis sebagai penyerap air menjadi
peruntukan lahan lain seperti pemukiman dan infrastruktur lainnya, menyebabkan
kekeringan dan kemarau yang berkepanjangan. Kurangnya infrastruktur irigasi
juga merupakan faktor penyebab kurangnya ketersediaan air. Ketersediaan air
tersebut penting terkait dengan intensitas penanaman padi yang dilakukan karena
tanaman padi sawah memerlukan air relatif cukup banyak dibandingkan tanaman
pangan lainnya (Ermyanyla, 2013).
Usaha pertanian di Kecamatan Soreang sebagian besar dilakukan dengan
menggunakan sarana hasil non organik yang berasal dari luar agroekosistem
pertanian. Sistem pertanian yang demikian disebut sebagai HEIA (High External
Input Agriculture) atau dikenal dengan sistem pertanian non organik atau
konvensional (Slamet, 2011). Hal tersebut berdampak pada munculnya
permasalahan dalam budidaya tani seperti menurunnya daya dukung lingkungan
yang dilunjukkan oleh meningkatnya kerusakan lingkungan dan rendahnya
produktivilas lahan.
Input yang diberikan untuk sawah kebanyakan pupuk anorganik, sawah
jarang diberi input pupuk organik. Penggunaan pupuk buatan/kimia yang
berkonsentrasi tinggi dan tidak proporsional pada lahan sawah berdampak pada
penimpangan status hara dalam tanah. Sekitar 60 persen areal sawah di Jawa
kandungan bahan organiknya kurang dari 1 persen, sementara, sistem pertanian
dapat menjadi berkelanjutan (sustainable) apabila kandungan bahan organik tanah
lebih dari 2 persen (Handayanto, 1999).
Kondisi diatas tersebut dikhawatirkan dapat memperlemah ketahanan
pangan nasional, mengingat WP Soreang-Kutawaringin-Katapang sebagai
lumbung beras andalan di bumi priangan. Berdasarkan UU No. 41 tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, kriteria
5

keberlanjutan pembangunan dapat mencakup lima aspek, antara lain: (a) ekologi,
(b) ekonomi, (c) sosial-budaya, (d) hukum-kelembagaan, dan (e) teknologi-
infrastruktur. Menurut Susilo (2003) kriteria pembangunan berkelanjutan dari
setiap aspek/dimensi keberlanjutan tersebut dapat dianalisis dan dinilai secara
cepat (rapid appraisal) sehingga diperoleh status keberlanjutan pembangunan
dengan menggunakan metode multi variabel non-parametrik yang dikenal dengan
multidimensional scaling (MDS). Metode MDS yang digunakan untuk
menghitung indeks keberlanjutan usahatani padi sawah disebut dengan Rapid
Appraisal-Farming (Rap-Farm).
Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan diharapkan mampu
menggambarkan usahatani padi sawah berkelanjutan di Kecamatan Soreang,
Kabupaten Bandung. Berdasarkan uraian tersebut, perumusan permasalahan
penelitian ini, antara lain:
1. Bagaimana status keberlanjutan usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang
ditinjau dari masing-masing dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu:
dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi-infrastuktur, dan hukum-
kelembagaan?
2. Apa saja faktor kunci yang menentukan keberlanjutan usahatani padi sawah di
Kecamatan Soreang pada setiap dimensi tersebut?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya,


maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menilai dan menganalisis status keberlanjutan usahatani padi di Kecamatan
Soreang berdasarkan lima dimensi keberlanjutan, yaitu: dimensi ekologi,
ekonomi, sosial-budaya, teknologi-infrastruktur, dan hukum-kelembagaan.
2. Mengidentifikasi faktor kunci penentu keberlanjutan untuk pengembangan
usahatani di Kecamatan Soreang pada masa depan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran


yang bermanfaat untuk:
1. Instansi Pemerintah melalui Dinas Pertanian, memberikan informasi status
keberlanjutan usahatani padi sawah di kecematan Soreang Kabupaten
Bandung mengutamakan aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi-
infrastruktur, dan hukum-kelembagaan.
2. Pemangku kebijakan, melalui Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung
diharapkan lebih mampu melakukan pengelolaan dan kebijakan berkaitan
keberlanjutan usahatani padi sawah.
3. Petani sebagai pelaku usahatani diharapkan dapat memahami usahatani padi
sawah berkelanjutan.
4. Masyarakat, memberikan kontribusi hasil pemikiran ilmiah terkait
pembangunan berkelanjutan usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang
Kabupaten Bandung.
6

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mengkaji keberlanjutan usahatani padi sawah


di Kecamatan Soreang. Kriteria pembangunan berkelanjutan perlu diterapkan
untuk menjamin keberlanjutan dan manfaat optimal dari usahatani padi sawah
yang melestarikan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan
(Saragih dan Sipayung 2002). Berdasarkan hal tersebut, penerapan konsep
usahatani padi sawah berkelanjutan memerlukan implementasi kriteria-kriteria
keberlanjutan. Kriteria-kriteria keberlanjutan mencakup 5 dimensi, yaitu: (1)
ekologi, (2) ekonomi, (3) sosial-budaya, (4) hukum-kelembagaan, dan (5)
teknologi-infrastruktur, dapat dilihat pada Gambar 1. Indeks dan status
keberlanjutan dinilai dengan metode multidimensional scaling (MDS)
menggunakan software Rapfish (Rapid Assessment Techniques for Fisheries).
Faktor kunci keberlanjutan usahatani padi sawah diperoleh dari hasil analisis
prospektif.
Secara ekologi, usahatani padi sawah diharapkan tidak mencemari, dan
tidak melebihi daya dukung lingkungan. Secara ekonomi, mampu meningkatkan
keuntungan usaha dan mensejahterakan petani. Secara sosial-budaya, mampu
menyerap tenaga kerja lebih banyak. Secara hukum-kelembagaan, kegiatan
pengembangan tidak menimbulkan konflik kepentingan antar stakebolders. Secara
teknologi-infrastruktur, kegiatan pengembangan mampu mengadopsi teknologi
pertanian lebih cepat melalui dukungan infrastuktur yang lebih baik.

Faktor Kunci Keberlanjutan Usahatani Padi


(Analisis Prospektif) Berkelanjutan
1. Ketahanan pangan
2. Kelestarian lingkungan
3. Keuntungan usaha dan
Keberlanjutan Manfaat kesejahteraan petani
Usahatani Padi 4. Penyerapan tenaga kerja
5. Aplikasi teknologi
Penerapan Kriteria Keberlanjutan

Ekologi Ekonomi Sosial-Budaya Hukum-Kelembagaan Teknologi-Infrastruktur

Indeks dan Status


Analisis Keberlanjutan (MDS)
Keberlanjutan

Gambar 3. Ruang lingkup penelitian keberlanjutan usahatani padi sawah di


Kecamatan Soreang kabupaten Bandung
7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konsepsi Kemandirian dan Ketahanan Pangan

Perkembangan pemikiran tentang ketahanan pangan di Indonesia tidak


terlepas dari perkembangan yang terjadi di tingkat dunia. Sampai dengan akhir
pelita V masalah ketahanan pangan masih diukur dari aspek kuantitas ketersediaan
pangan secara nasional yang diukur dari kondisi swasembada pangan. Konsepsi
ketahanan pangan dengan cakupan aspek yang lebih luas baru dicetuskan pada
pelita VII melalui Undang-Undang Pangan Nomor 7 tahun 1996 dimana
ketahanan pangan didefinisikan sebagai: kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata dan terjangkau. Makna terjangkau dalam pengertian ini
adalah bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk mendapatkan bahan
pangan baik secara fisik (aksesibilitas fisik) maupun secara ekonomi (aksesibilitas
ekonomi). sedangkan ketersediaan pangan yang dimaksud dapat berupa
ketersediaan pangan di pasar atau di tingkat rumah tangga, yang dapat diperoleh
dari hasil produksi sendiri atau membeli di pasar (Irawan, 2005).
Berdasarkan definisi tersebut diatas maka ruang lingkup ketahanan pangan
dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu: (1) dimensi ruang lingkup ketahanan pangan
yaitu lingkup nasional, daerah dan rumah tangga yang terkait dengan aspek
kuantitas ketersediaan pangan, (2) dimensi waktu dan musim yang terkait dengan
aspek stabilitas ketersediaan pangan sepanjang waktu, dan (3) dimensi sosial
ekonomi rumah tangga yang terkait dengan aspek aksesibilitas rumah tangga
terhadap bahan pangan, aspek kualitas konsumsi pangan, dan aspek keamanan
pangan (Irawan, 2005).
Kemandirian pangan identik dengan konsep swasembada pangan yang saat
ini menjadi salah satu target pembangunan pertanian. Lebih lanjut Soekartawi
menjelaskan empat komponen dalam mewujudkan kemandirian pangan yaitu
aspek kecukupan ketersediaan pangan, aspek keberlanjutan stabilitas ketersediaan
pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, aspek
aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta aspek kualitas/keamanan
pangan. Menurut Soekartawi, apapun pengaruh global tidak boleh menabrak salah
satu dari empat komponen tersebut. Kemandirian pangan menjadi salah satu
indikator pengukuran ketahanan pangan (Simatupang, 2007).
Ketahanan pangan menjadi isu strategis dalam pembangunan suatu negara,
terutama negara berkembang, karena memiliki peran ganda yaitu sebagai salah
satu sasaran utama pembangunan dan salah satu instrumen utama (tujuan antara)
pembangunan ekonomi (Sen, 1989; Simatupang, 1999). Peran pertama,
merupakan fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk terjaminnya akses
pangan bagi semua penduduk dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk
eksistensi hidup, sehat, dan produktif. Akses terhadap pangan yang "cukup"
merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh negara bersama
masyarakat (FAO, 1998; Byron, 1988).
Peran kedua, merupakan implikasi dari fungsi ketahanan pangan sebagai
syarat keharusan dalam pembangunan sumber daya manusia yang kreatif dan
produktif yang merupakan determinan utama dari inovasi ilmu pengetahuan,
teknologi dan tenaga kerja produktif serta fungsi ketahanan pangan sebagai salah
8

satu determinan lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi


pembangunan (Timmer, 1997).
Munculnya kesadaran baru bahwa ketahanan pangan merupakan isu global
telah mendorong PBB (FAO) mengorganisir Konferensi Pangan Dunia (World
Food Conference) pada tahun 1974. Sejak konferensi inilah istilah "ketahanan
pangan" semakin populer dan menjadi salah satu isu kebijakan strategis setiap
negara. Menurut Simatupang (2007), konsep ketahanan pangan yang dianut secara
luas hingga pertengahan tahun 1980-an ialah paradigma "Ketersediaan Pangan
Nasional” (National Food Availability Paradigm). Dengan paradigma ini,
ketahanan pangan diartikan sebagai: "kemampuan suatu negara untuk menjamin
ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup bagi seluruh penduduknya".
Dengan konsep ini, ketahanan pangan dilihat secara agregat di tingkat
nasional. Indikator keharusan bagi ketahanan pangan ialah kecukupsediaan
pangan agregat yang berasal dari produksi domestik dan pengadaan luar negeri
(impor). Indikator kecukupan (kemantapan) ketahanan pangan ialah derajat
swasembada pangan. Ketahanan pangan dikatakan mantap apabila seluruh
kebutuhan pangan dapat dipenuhi dari produksi domestik (swasembada mutlak).
Dengan paradigma ini, strategi kebijakan pangan, pada umumnya di negara-
negara sedang berkembang, berubah dari "swasembada pangan mutlak" menjadi
"swadaya pangan" (self reliance).
Perbedaan pokok antara strategi "swasembada pangan" dan "swadaya
pangan" adalah dalam hal sumber pengadaan pangan. Pada swasembada pangan,
strategi yang ditempuh ialah bagaimana memacu produksi pangan domestik
sehingga seluruh kebutuhan pangan nasional dapat dipenuhi (swasembada mutlak).
Sedangkan pada "swadaya pangan" strategi yang ditempuh ialah bagaimana
meningkatkan kemampuan nasional sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan
nasional baik dari produksi domestik maupun melalui impor.
Pada pertengahan tahun 1980-an muncul wacana baru tentang makna
ketahanan pangan. Indikator akhir ketahanan pangan bukanlah kecukupan pangan
secara agregat nasional (ketahanan pangan nasional), tetapi akses pangan yang
cukup bagi seluruh individu di suatu negara. Wacana baru ini disebut sebagai
paradigma perolehan pangan (food entitlement paradigm) yang dirumuskan dan
dipopulerkan oleh penerima Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2000 (Sen, 1981).
Wacana baru ini pula yang mendorong pengakuan universal bahwa perolehan
pangan yang cukup merupakan hak azasi manusia yang secara resmi diterima oleh
seluruh negara pada konferensi pangan dunia tahun 1996.
Menurut Simatupang, 2007, paradigma perolehan pangan (food entitlement
paradigm) pada dasarnya ditopang oleh tiga pokok pemikiran, yaitu: (1) indikator
akhir ketahanan pangan ialah perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu.
Oleh karena itu, ketahanan pangan harus diukur pada dimensi agregat terkecil,
yaitu individu. Dengan perkataan lain, indikator akhir ketahanan pangan ialah
ketahanan pangan individu (individual food security; (2) ketersediaan pangan
merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup untuk menjamin perolehan pangan
yang cukup bagi setiap individu, dan (3) ketahanan pangan harus dipandang
sebagai suatu sistem hierarkis; ketahanan pangan nasional, provinsi (kabupaten,
lokal), rumah tangga dan individual. Berdasarkan paradigma perolehan pangan,
ketahanan pangan ditentukan oleh dua determinan kunci, yaitu ketersediaan
pangan (food availability) dan akses pangan (food access).
9

Paradigma perolehan pangan terus mengalami perluasan dan penyesuaian


seiring dengan pertambahan pengetahuan dan perubahan isu pembangunan
kontemporer (Maxwell, 1996; Watts and Bohle, 1993) dengan memasukkan
elemen kerawanan (vulnerability) sebagai salah satu determinan ketahanan pangan.
Ketersediaan dan akses pangan yang rawan terhadap ancaman risiko tertentu
seperti bencana alam, gejolak ekonomi, sosial, dan politik harus digolongkan
sebagai kondisi ketahanan pangan yang tidak mantap.
Sedikitnya ada empat elemen ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable
food security) di tingkat keluarga yang diusulkan Maxwell (1996), yakni: (1)
kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan
untuk kehidupan yang aktif dan sehat; (2) akses atas pangan, yang didefinisikan
sebagai hak (entitlements) untuk berproduksi, membeli atau menukarkan
(exchange) pangan ataupun menerima sebagai pemberian (transfer); (3) ketahanan
yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, resiko dan jaminan
pengaman sosial, dan (4) fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat
kronis, transisi dan/atau siklus.
Selanjutnya, Chambers (1988) menambahkan elemen keberlanjutan
(sustainability) sebagai determinan tambahan ketahanan pangan. Pada dasarnya
elemen vulnerability dan sustainability bermuara pada satu pemikiran bahwa
waktu merupakan salah satu dimensi utama ketahanan pangan. Ketersediaan dan
akses pangan harus terjamin sepanjang masa secara berkelanjutan. Hal inilah yang
mendasari konsep ketahanan pangan berkelanjutan (sustainability food security)
yang populer pada tahun 1990-an (Swaminathan, 1995; Simatupang, 1999).
Definisi ketahanan pangan yang diterima secara luas saat ini ialah: "secure
access by all people at all times to adequate, safe and nutritious foods which
meets dietary and preferences for an active and a healthy life" (FAO, 1998,
Maxwell, 1996; Von Braun et al., 1993), yang dapat diterjemahkan sebagai
"terjaminnya akses bagi setiap orang pada sepanjang masa terhadap makanan
bernutrisi, aman, sesuai selera dan memenuhi kebutuhan gizi untuk suatu
kehidupan yang aktif dan sehat".
Berdasarkan definisi di atas, ketahanan pangan ditopang oleh "trilogi"
(trial concepts) ketahanan pangan (Chung et al., 1997), yaitu: (1) ketersediaan
bahan pangan (food availability); (2) akses bahan pangan (food access) dan (3)
pemanfaatan bahan pangan (food utilization). Ketiga elemen inilah yang menjadi
determinan fundamental ketahanan pangan. Dengan demikian, untuk tujuan
analisis kebijakan, isu ketahanan pangan dapat dikaji berdasarkan tiga dimensi
kunci (Simatupang, 2007) yaitu: (1) tingkat agregasi: rumah tangga dan regional
(kabupaten, provinsi, dan nasional); (2) perspektif waktu: jangka pendek,
menengah dan panjang, dan (3) syarat keharusan dan kecukupan: ketersediaan,
akses, dan pemanfaatan.
Rachman et al. (2004) menyatakan, kemandirian pangan terhadap
produksi domestik menunjukkan seberapa besar produksi pangan menyumbang
atau dapat memenuhi ketersediaan pangan nasional. Ketersediaan pangan nasional
didefinisikan sebagai penjumlahan antara produksi domestik (bersih, setelah
dikurangi untuk penggunaan bibit dan tercecer) dengan impor dan stock.
Kemandirian pangan juga dapat diukur dengan menelaah ketergantungan terhadap
impor maupun net-impor.
10

Tanaman Padi
Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam kehidupan
sehari-hari. Tanaman pangan ini berupa rumput berumpun yang berasal dari dua
benua, yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Bukti sejarah
memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada
3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar
Pradesh India sekitar 100-800 SM. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal
padi adalah Bangladessh Utara, Burma, Thailand, Laos dan Vietnam (Menegristek,
2008).
Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman semusim. Terdapat
dua jenis tanaman padi, yaitu padi sawah yang dalam pertumbuhannya
memerlukan air menggenang dan padi kering (gogo) yang dalam pertumbuhannya
tidak memerlukan air menggenang (dalam arti air genangan seperti sawah). Benih
untuk padi gogo langsung ditanam di ladang, sedangkan untuk padi sawah
disemai di persemaian dengan luasan tertentu. Padi sawah meliputi kira-kira 65%
dari seluruh pertanaman padi di daerah tropika (Sanchez, 1993). Tanaman padi
yang dikaji dalam penelitian ini adalah padi sawah.
Padi termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae (sinonim Graminae
atau Glumiflorae). Sejumlah ciri suku (familia) ini juga menjadi ciri padi,
misalkan berakar serabut, daun berbentuk lanset (sempit memanjang), urat daun
sejajar, memiliki pelepah daun, bunga tersusun sebagai bunga majemuk dengan
satuan bunga berupa floret. Floret tersusun dalam spikelet, khusus untuk padi,
satu spikelet hanya memiliki satu floret, buah dan biji sulit dibedakan karena
merupakan bulir atau kariopsis.
Umur padi mulai dari benih sampai panen mencapai empat bulan petani
harus menunggu sambil merawat tanamannya sedemikian rupa sesuai dengan
anjuran teknologi yang direkomendasikan, atau sesuai dengan teknologi yang
mampu diserap atau mampu diterapkan petani. Setiap tanam tergantung
varietasnya mempunyai kemampuan genetik tanaman yang diusahakan dalam
penerapan teknologi yang mampu diterapkan mulai dari pengelolahan sampai
panen. Disamping itu, perlu juga diperhatikan dan diperhitungkan akibat yang
ditimbulkan oleh cuaca, ketersediaan air dan lainnya.
Air dibutuhkan tanaman padi untuk pembentukan karbohidrat di daun,
menjaga hidrasi protoplasma, pengangkutan dan mentranslokasikan makanan
serta unsur hara dan mineral. Air sangat dibutuhkan untuk perkecambahan biji.
Pengisapan air merupakan kebutuhan biji untuk berlangsungnya kegiatan-kegiatan
di dalam biji (Sanchez, 1993). Jenis pengairan lahan sawah, terdiri dari irigasi
teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana/desa, irigasi bukan PU, tadah
hujan, lebak, pasang surut, dan polder (BPS, 2009).
Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang panas dan banyak
mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih,
dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki pertahun sekitar
1500–2000 mm. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalahn 23 °C
dan tinggi tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0–1500 m dpl.
Tanah yang baik untuk pertumbuhan padi adalah tanah sawah yang kandungan
fraksi pasir, debu dan lempung dalam perbandingan tertentu dengan diperlukan air
dalam jurnlah yang cukup. Padi dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang
ketebalan lapisan atasnya antara 18–22 cm dengan pH antara 4–7 (Sanchez, 1993).
11

Pengembangan komoditi beras merupakan sektor strategis yang sangat


penting untuk kelangsungan rumah tangga petani dan tingkat nasional. Sebagian
besar penduduk Indonesia adalah petani yang mengusahakan sawah untuk
ditanami padi. Program diversifikasi pangan sudah dilakukan untuk penggantian
alternatif konsumsi beras ke tanaman pangan lainnya, tetapi tingkat konsumsi
beras rumah tangga tiap tahun meningkat. Ketahanan pangan di sektor ini harus
segera diwujudkan untuk menciptakan tingkat stabilitas nasional dan mengatasi
krisis pangan yang bisa terjadi setiap saat (Fatullah, 2010).

Konsep Usahatani
Usahatani merupakan bagian dari permukaan bumi dimana seorang petani,
keluarga petani atau badan tertentu lainnya bercocok tanam untuk melakukan
usaha, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dari seluruh organisasi alam,
tenaga kerja, modal dan manajemen yang ditujukan pada produksi di lapang
pertanian. Organisasi ini ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja
diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang
terikat geneologis, politis maupun teritorial sebagai pengelolanya. Pada umumnya
ciri-ciri usahatani di Indonesia adalah berlahan sempit, modal relatif kecil,
pengetahuan petani terbatas, kurang dinamik sehingga berakibat pada rendahnya
pendapatan usahatani dan rendahnya tingkat kesejahteraan petani (Soekartawi,
1986). Terbatasnya modal seringkali menyebabkan petani tidak mampu
mengadopsi teknologi baru dalam mengusahakan sumberdaya yang dimilikinya.
Karena keterbatasan itu usahatani yang biasanya dilaksanakan petani masih
menggunakan teknologi lama atau masih tradisional.
Usahatani yang dilakukan setiap petani beragam tergantung dari jenis
usaha dan apa yang diusahakannya. Apabila dorongannya untuk memenuhi
kebutuhan keluarga baik melalui atau tanpa peredaran uang, maka usahatani yang
demikian disebut usahatani untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Subsistence
Farm). Sedangkan bila motivasi yang mendorongnya untuk mencari keuntungan,
maka usahatani yang demikian disebut usahatani komersial (Commercial Farm).
Soekartawi (1986), menyatakan bahwa ciri petani komersial adalah; (1)
cepatnya adopsi terhadap inovasi, (2) cepat mobilitas pencarian informasi, (3)
berani menanggung resiko dalam berusaha, (4) memiliki sumberdaya yang cukup.
Sedangkan ciri petani subsisten adalah kebalikannya. Akan tetapi dengan
teknologi serta kemajuan pembangunan yang hampir merata ke berbagai pelosok
daerah, petani tidak lagi mengusahakan usahataninya secara subsisten melainkan
semi subsisten (setengah subsisten dan setengah komersial). Perubahan tersebut
diantaranya disebabkan oleh perkembangan teknologi yang semakin maju dalam
hal produksi sehingga mempermudah pekerjaan petani, memenuhi kebutuhan
petani yang semakin banyak, teknologi informasi yang memberikan berbagai
informasi, kebutuhan serta adanya perubahan pandangan masyarakat dan
keseriusan pemerintah dalam memajukan sektor pertanian sebagai sektor yang
menopang ekonomi bangsa.
Usahatani subsisten masih dilakukan oleh petani kecil, maka telah
disepakati batasan petani kecil pada seminar petani kecil di Jakarta pada tahun
1979, menetapkan bahwa petani kecil didefinisikan sebegai berikut:
12

1. Petani yang pendapatannya rendah, yaitu kurang dari setara 240 kg beras per
kapita per tahun.
2. Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 ha lahan sawah
untuk di Pulau Jawa atau 0,5 ha di luar Pulau Jawa. Bila petani tersebut juga
memiliki lahan tegal maka luasnya 0,5 ha di Pulau Jawa dan 1,0 ha di luar
Pulau Jawa.
3. Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan yang terbatas.
4. Petani yang memiliki pengetahuan terbatas dan kurang dinamis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dalam usahatani terdiri dari
faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain teknologi, penggunaan
input, dan cara (teknik) bercocok tanam. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari
cuaca, iklim, hama dan penyakit. Hernanto (1989), menyatakan dalam usahatani
selalu ada empat unsur pokok yang sering disebut sebagai faktor-faktor produksi,
yaitu :
1. Tanah
Tanah merupakan usahatani yang dapat berupa tanah pekarangan, tegalan,
sawah, perairan dan sebagainya. Tanah tersebut dapat diperoleh dengan cara
membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian
negara, warisan ataupun wakaf. Penggunaan tanah dapat diusahakan secara
monokultur, polikultur, ataupun tumpangsari.
2. Tenaga Kerja
Jenis tenaga kerja adalah tenaga kerja manusia, dibedakan menjadi tenaga
kerja pria, wanita dan anak-anak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan,
keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan
kondisi lahan. Tenaga ini dapat berasal dari dalam dan luar keluarga (biasanya
dengan cara upahan). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga
kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu : 1 pria
= 1 hari kerja pria (HKP); 1 wanita = 0,8 HKP; dan 1 anak = 0,5 HKP.
3. Modal
Unsur lainnya yang mendukung kelancaran suatu kegiatan usahatani
adalah modal. Modal dalam suatu usahatani digunakan untuk membeli sarana
produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal
diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pinjaman uang dari
saudara atau tetangga dan lain-lain), hadiah, warisan, usaha lain ataupun kontrak
sewa.
4. Pengelolaan atau Manajemen
Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan,
mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai
dengan sebaik-baiknya sehingga mampu menghasilkan produksi pertanian
sebagaimana yang diharapkan. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil,
maka pengenalan pemahaman terhadap prinsip teknik meliputi : (a) perilaku
cabang usaha yang diputuskan; (b) perkembangan teknologi; (c) tingkat teknologi
yang dikuasai; (d) daya dukung faktor cara yang dikuasai; dan (e) cara budidaya
dan alternatif cara lain berdasar pengalaman orang lain. Pengenalan dan
pemahaman prinsip ekonomis antara lain : (a) penentuan perkembangan harga; (b)
kombinasi cabang usaha; (c) tataniaga hasil; (d) pembiayaan usahatani; (e)
penggolongan modal dan pendapatan serta (f) ukuran-ukuran keberhasilan yang
lazim dipergunakan lainnya. Panduan penerapan kedua prinsip itu tercermin dari
13

keputusan yang diambil, agar resiko tidak menjadi tanggungan petani sebagai
pengelola. Ketersediaan menerima resiko sangat tergantung kepada; (a)
tersedianya modal; (b) status petani; (c) umur; (d) lingkungan usaha; (e)
perubahan sosial serta (f) pendidikan dan pengalaman petani.

Kendala dan Efisiensi Usahatani Padi Sawah


Usahatani padi sawah di Jawa yang merupakan usaha pertanian tertua di
Indonesia sudah dimulai sejak abad XIII di sekitar pusat kerajaan Surakarta dan
Mataram, dan bahkan mungkin jauh sebelum itu. Persiapan untuk penyerangan
VOC di Batavia oleh tentara SultanAgung pada pertengahan abad XVII
diperkirakanmerupakan awal perluasan persawahan di pantai utara Jawa Barat.
Dengan demikian persawahan di Jawa telah berlangsung lebih dari 700 tahun, dan
masih berjalan dengan baik hingga saat ini.
Lahan sawah yang ditanami secara tergenang memang memiliki
mekanisme untukmemelihara danmelestarikan keberlanjutan secara alamiah
melalui sifat fisik kimiawi dan biologis tanah yang stabil. Air yang menggenang
tertahan oleh pematang mengakibatkan lumpur terendapkan pada seluruh
permukaan sawah sehingga erosi dapat tercegah. Sifat baik sistem sawah yang
lain yang mendorong keberlanjutan produksi lahan sawah menurut Greenland
(1997) adalah: (1) tanah tidak menjadi masam setelah pengolahan dan penanaman
secara terus-menerus, karena terkait dengan sifat fisiko kimia tanah yang
tergenang; (2) zat hara dari wilayah hulu terakumulasi dilahan sawah, dan hanya
sedikit yang tercuci; (3) fosfor terikat dalam bentuk ferro-fosfat yang tersedia bagi
tanaman; (4) terjadi penambahan hara lewat air luapan banjir, irigasi, dan
pengendapan liat dan debu dari banjir; (5) terjadi fiksasi nitrogen secara biologis
atas bantuan mikroba, tumbuhan air, dan tanaman legume; (6) erosi permukaan
dicegah oleh adanya teras dan galengan/pematang. Penambahan pupuk
organik/pupuk kandang, pembusukan jerami, rotasi tanaman dengan tanaman
leguminosa juga banyak berperan dalam menambah tingkat kelestarian kesuburan
kimiawi tanah sawah di Indonesia.
Pengembangan usahatani padi sawah saat ini dihadapkan pada berbagai
kendala, seperti meningkatnya permintaan akan beras, berkurangnya ketersediaan
lahan dan air, pertumbuhan produktivitas yang relatif lambat, kepemilikan lahan
yang sempit, keterbatasan investasi dan pemodalan, tingkat pendidikan petani
yang relatif rendah, dan lambatnya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
(Ermyanyla, 2013).
Tingkat kesuburan lahan mempengaruhi produktivitas hasil, sehingga
tidak mengherankan apabila produktivitas lahan di Jawa jauh lebih tinggi (rata-
rata 50,65 kw/ha dari tahun 1991 sampai 2001) dibanding di luar Jawa (rata-rata
36,77 kw/ha dari tahun 1991 sampai 2001). Sehubungan dengan hal tersebut,
terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan terutama sawah ke penggunaan
lahan lain, adalah sangat disayangkan, apalagi sistem pertanian lahan sawah di
Jawa yang pada umumnya memiliki sistem irigasi teknis sehingga memungkinkan
dilakukan penanaman dua kali dalam setahun (Rustiadi dan Wafda dalam Arysad
dan Rustiadi, 2008).
Irawan (2002) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi
pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga
14

faktor, yaitu: (1) pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks


perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan
pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering, (2)
pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka
infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah
kering, dan (3) daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah
konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan
daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan
pegunungan.
Karama (1999) berpendapat bahwa masih terdapat peluang besar untuk
membangun sektor pertanian yang tangguh, modern dan efisien, misalnya masih
tersedianya areal pertanian dan lahan potensial yang belum dimanfaatkan secara
optimal, adanya kesenjangan hasil antara produktivitas riil dengan produktivitas
potensial, masih besarnya kehilangan dan kerusakan hasil pada waktu panen dan
pasca panen serta meningkatnya daya saing hasil-hasil pertanian akibat depresi
nilai rupiah.
Terkait dengan kendala tersebut di atas, maka dalam upaya meningkatkan
produktivitas usahatani padi sawah, petani diharapkan dapat memilih dan
menggunakan input yang terbatas ketersediaannya secara tepat dan efisien.
Keputusan memilih dan menggunakan berbagai input, seperti lahan, air, benih,
pupuk, tenaga kerja, serta alat dan teknologi yang efisien atau optimal akan
mendapatkan hasil yang maksimal. Menurut Soekartawi (2002), usahatani pada
hakekatnya adalah perusahaan, maka seorang petani atau produsen sebelum
mengelola usahataninya akan mempertimbangkan biaya dan pendapatan dengan
cara mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien, guna
memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila
petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki
dengan sebaik-baiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya
tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input).

Kebijakan Beras Nasional


Beras merupakan komoditas strategis, sehingga kebijakan perberasan
menjadi penentu kebijakan pangan nasional dalam pemenuhan hak pangan dan
kelangsungan hidup rakyat. Kebijakan perberasan juga merupakan bagian penting
kebudayaan serta penentu stabilitas ekonomi dan politik Indonesia. Hampir semua
pemerintah di dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju, selalu
melakukan kontrol dan intervensi terhadap komoditas pangan strategis seperti
beras untuk ketahanan pangan dan stabilitas politik. Untuk memenuhi kebutuhan
akan beras maka pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
produksi padi dalam negeri. Upaya meningkatkan produksi padi telah dilakukan
sejak awal kemerdekaan Indonesia. Secara ringkas perubahan kebijakan
peningkatan produksi padi dapat dilihat pada Tabel 1. Melalui berbagai kebijakan
tersebut, produksi padi nasional terus mengalami peningkatan akibat peningkatan
produktivitas dan luas areal panen. Peningkatan itu mencapai puncaknya pada
tahun 1984 pada saat Indonesia berswasembada beras.
15

Tabel 1. Program peningkatan produksi padi dan paket teknologi anjuran


Program Tahun Hard technology Soft technology Evaluasi
Padi Sentra 1959 Varietas Si Gadis, Komando Operasi Tidak berhasil,
Jelita, Dara dan Gerakan Makmur kurang partisipasi
Bengawan petani
Bimbingan 1965 Varietas Si Gadis, Perbaikan Varietas unggul
Masal Jelita, Dara dan kelembagaan dan meluas
Bengawan kredit
Intensifikasi 1968 Pengenalan varietas Sama dengan padi Gagal karena
Masal PB5 dan PB8 sentra, tanpa masalah pendanaan
(IRRI) kredit
Bimas Gotong 1969 Penggunaan Penguatan Munculnya
Royong varietas PB5 dan kelompok tani Koperasi Unit Desa
PB8 (KUD)
Supra 1987 Sapta Usahatani Penguatan Kurang berhasil,
Intensifikasi kelompok tani produksi stagnan
Khusus
SUPTA 1995 Varietas Cibodas Diversifikasi Tidak berhasil
dan Membramo pertanian
INBIS 1997 Varietas Cibodas Pendampingan Gagal karena El
dan Membramo petani Nino
Gema Palagung 1998 Sapta Usahatni Kredit Usaha Tani Kurang berhasil,
(KUT) kredit macet
Coorporate 2000 Varietas Cibodas Konsolidasi Gagal karena
Farming dan Membrano petani kesalahan persepsi
sehamparan petani
Proyek 2000 Varietas Cibodas Bantuan dana Kurang berhasil,
Ketahanan dan Membramo langsung petani sulit
pangan dimonitor
Pengelolaan 2001 Perpaduan Kelompok usaha Kurang berhasil,
Tanaman dan Sumberdaya agribisnis dan tekanan kerjasama
Sumberdaya penguatan modal luar negri
Terpadu
Program 2007 Bantuan benih, Pengendalian Berhasil
Peningkatan pupuk subsidi, OPT, manajemen meningkatkan
Beras Nasional pupuk organik, pasca panen dan produksi 2,6 juta
perbaikan irigasi kelembagaan ton
Sumber : Pratiwi (2008)

Usahatani Padi Sawah Berkelanjutan


Pendekatan sistem usahatani yang berkelanjutan adalah merupakan
pendekatan yang paling sesuai untuk pengembangan usahatani padi sawah. Pada
pendekatan ini, keberlanjutan aspek biofisik, budaya, dan sosial-ekonomi diberi
prioritas utama secara komprehensif berdasarkan keterpaduan antar disiplin ilmu
secara holistik. Kata keberlanjutan saat ini sering digunakan dalam lingkup
program pembangunan. Menurut Amien (1999), keberlanjutan dapat diartikan
sebagai menjaga agar suatu upaya terus berlangsung, kemampuan untuk bertahan
dan menjaga agar tidak merosot. Dalam konteks pertanian, keberlanjutan pada
dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap
mempertahankan basis sumberdaya.
16

Alasan yang mendasari perlunya pengembangan usahatani padi sawah


yang berkelanjutan adalah kebutuhan pangan, khususnya beras sebagai makanan
pokok seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat.
Guna memenuhi kebutuhan tersebut, maka harus diupayakan peningkatan
produksi. Tanpa adanya peningkatan produksi, maka akan terjadi ketergantungan
pada impor sebab makanan pokok beras atau pangan lainnya harus tersedia.
Peningkatan produksi pangan khususnya beras melalui usahatani padi sawah dapat
dilakukan dengan meningkatkan produktivitas per hektar lahan, dan dengan
mempertahankan lahan-lahan produktif yang ada, disamping perlu dilakukan
penambahan luas lahan produktif. Tanpa melakukan usaha-usaha tersebut,
nampaknya akan sulit melakukan peningkatan produksi pangan khususnya
usahatani padi sawah (Kemenko Perekonomian, 2010).
Pertanian berkelanjutan hanya dapat dicapai apabila sumberdaya lahan
digunakan secara tepat, efisien, dan dengan pengelolaan yang sesuai. Penggunaan
lahan yang salah dan tidak efisien dapat menyebabkan kerusakan lahan,
produktivitas akan cepat menurun dan ekosistem akan terancam. Reijntjes et al.
(1999) mengemukakan bahwa langkah pertama dalam mencapai keseimbangan
baru adalah evaluasi secara seksama terhadap kelangsungan cara usahatani yang
ada. Teknik-teknik usahatani yang ada harus dinilai dari segi keberlanjutan
ekonomis, ekologis, dan sosiopolitiknya.
Sistem pertanian semakin berkembang dan modern dari waktu ke waktu,
perubahan ini menandakan sesuatu yang mengarah pada teknologi biologis dalam
mempertahankan alam sebagai ekosistem yang harus selalu dijaga. Teknologi
memerlukan suatu input baik dari luar maupun dari dalam suatu sistem itu sendiri.
Input pada suatu sistem teknologi dapat bergerak untuk mendorong dan
meningkatkan kesejahteraan manusia sebagai penggerak sekaligus manager dalam
siklus konsep sistem. Manajemen dalam input harus dikelola dengan baik
sehingga apa yang menjadi masukan dapat mengeluarkan hasil yang optimal dan
maksimal. Ada dua pengelolaan input yang menandakan sistem pertanian
tersebut:
1. High External Input Agriculture (HEIA)
HEIA merupakan sistem pertanian modern yang menggunakan input
anorganik dengan jumlah atau sistem pertanian konvensional. Sistem ini
mengkonsumsi sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak
bumi dan posfat dalam tingkat yang membahayakan. Sistem pertanian ini
berorientasi pada pasar dan membutuhkan modal besar (Rejntjes, et al, 2004)
2. Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA)
Sistem pertanian LEISA adalah pertanian yang telah memperhatikan
lingkungan dalam penggunaan input. Meskipun demikian, sistem pertanian ini
tetap memanfaatkan teknologi modern, termasuk menggunakan benih hibrida
berlabel, melaksanakan konservasi tanah dan air, serta pengolahan tanah yang
berasaskan konservasi (Sutanto, 2006).
Lynam (1994) dalam Sumarno (2006) memberikan karakteristik umum
tentang pertanian dilihat dari segi penggunaan sumber daya alam dan aspek
keberlanjutannya, yaitu: (1) pertanian adalah usaha multidimensi, meliputi
kegiatan ekonomi, kewajiban moral, sistem biologis, ekologis dan sosial; (2)
pertanian merupakan usaha yang memerlukan lahan (ruang) yang sangat luas,
terdesentralisasi dan tersebar, yang akan kalah efisien dibandingkan dengan
17

penggunaan ruang untuk industri, jasa pemasaran, perumahan, prasarana, dan


sebagainya, dan (3) pertanian adalah suatu sistem yang bersifat hierarkial, saling
mempengaruhi antara komponen-komponen yang nampaknya bebas, seperti
produksi komoditas secara global, iklim makro dan mikro, sistem hidrologi,
agroekosistem, pola tanam, distribusi, perdagangan, dan sebagainya.
Menurut Harwood (1987) dalam Sumarno (2006) beberapa dimensi atau
kriteria keberlanjutan pertanian, yaitu: (1) dimensi jangka panjang, (2) dimensi
sosial kemasyarakatan, (3) dimensi ekonomi, (4) dimensi kelestarian
keanekaragaman hayati, (5) dimensi minimalisasi pencemaran lingkungan dan
polusi udara, (6) dimensi kualitas dan kesuburan tanah, dan (7) dimensi
kelestarian sumber daya pertanian dan lingkungan. Dari dimensi atau kriteria
tersebut Harwood menyimpulkan "pertanian berkelanjutan adalah usaha pertanian
yang memanfaatkan sumber daya secara optimal, untuk menghasilkan produk
panen dengan masukan dan biaya yang wajar, memenuhi kriteria sosial, ekonomi
dan kelestarian lingkungan, serta tidak menggunakan sarana produksi yang tidak
terbarukan".

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan


Menurut Sabiham (2008), pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan
sumberdaya untuk menghasilkan kebutuhan pokok manusia, yaitu sandang,
pangan dan papan, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas
lingkungan dan melestarikannya. Definisi tersebut mencakup hal-hal sebagai
berikut: mantap secara ekologis, bisa berlanjut secara ekonomis, adil, manusiawi
dan luwes.
Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan
pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten
guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan
pangan nasional. Sedangkan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan
sendiri diartikan sebagai sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan,
mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan dan mengawasi
lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.
Menurut Rustiadi dan Reti (2008), tersedianya sumberdaya lahan pertanian
pangan yang berkelanjutan merupakan syarat untuk ketahanan pangan nasional.
Ketersedian lahan pertanian pangan berkaitan erat dengan beberapa hal, yaitu : 1)
Potensi sumberdaya lahan pertanian pangan, 2) Produktivitas lahan, 3)
Fragmentasi lahan pertanian, 4) Skala luasan penguasaan lahan pertanian, 5)
Sistem irigasi, 6) land rent lahan pertanian, 7) Konversi, 8) Pendapatan petani, 9)
Kapasitas SDM pertanian serta 10) kebijakan di bidang pertanian.
Penetapan lahan pertanian abadi merupakan salah satu opsi kebijakan yang
oleh sebagian pihak dianggap paling tepat untuk mencegah proses alih fungsi
lahan pertanian. Pada dasarnya lahan pertanian abadi adalah penetapan suatu
kawasan sebagai daerah konservasi, atau perlindungan, khusus untuk usaha
pertanian. Alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian dilarang
dengan suatu ketetapan peraturan perundang-undangan. Jika dapat dilaksanakan
secara efektif maka pastilah konversi lahan di kawasan konservasi tersebut tidak
18

akan terjadi. Secara teoritis, dengan asumsi dapat diefektifkan, opsi kebijakan
inilah yang paling ampuh untuk mencegah konversi lahan pertanian (Simatupang
dan Irawan, 2003)
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, tujuan dari
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah:
1. Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan
2. Menjamin ketersediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan
3. Mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan
4. Melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani
5. Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat
6. Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani
7. Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak
8. Mempertahankan keseimbangan ekologis
9. Mewujudkan revitalisasi pertanian
Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 diatur bahwa lahan yang
sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan
dilarang dialihfungsikan. Lahan pertanian yang dilindungi hanya dapat
dialihfungsikan untuk kepentingan umum, yang pelaksanaannya diatur dengan
peraturan perundang-undangan. Pengalihfungsian lahan yang sudah ditetapkan
dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Dilakukan kajian kelayakan strategis
2. Disusun rencana alih fungsi lahan
3. Dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik, dan
4. Disediakan lahan pengganti dari lahan yang dialihfungsikan.
19

3. METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini telah dilaksanakan selama 5 (lima) bulan mulai bulan Januari
2016 sampai bulan Mei 2016 dan berlokasi di Kecamatan Soreang, Kabupaten
Bandung, Propinsi Jawa Barat. Secara astronomi Kecamatan Soreang terletak
pada koordinat 6°41’ – 7°19’ Lintang Selatan dan diantara 107°22’ – 108°5’
Bujur Timur. Luas wilayah Kecamatan Soreang tercatat seluas 25,51km2, yang
meliputi 10 (sepuluh) desa yaitu desa Sadu, desa Sukajadi, desa Sukanagara, desa
Panyirapan, desa Karamatmulya, desa Soreang, desa Pamekaran, desa
Parungserab, desa Sekarwangi, dan desa Cingcin. Lokasi wilayah Kecamatan
Soreang disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta wilayah Kecamatan Soreang kabupaten Bandung (Sumber: Dinas


Bina Marga Kabupaten Bandung).
20

Jenis Data Penelitian


Data yang diperlukan dalam analisis keberlanjutan sistem usahatani
tanaman padi adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa atribut-
atribut yang terkait dengan lima dimensi keberlanjutan pembangunan yaitu:
dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi/infrastruktur, serta hukum dan
kelembagaan. Data primer diperoleh dari para responden dan pakar yang terpilih,
serta hasil pengamatan langsung di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh
dengan cara mencari dari berbagai sumber seperti penelitian terdahulu, hasil studi
pustaka, dan laporan serta dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan
dengan bidang penelitian. Secara rinci jenis dan sumber data yang diperlukan
dalam penelitian terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis dan sumber data penelitian


Jenis Data Sumber Data
a. Data Primer
1. Sosial-Ekonomi Responden (petani)
2. Informasi kondisi atribut-atribut Responden (petani dan
keberlanjutan pakar/expert)
3. Tingkat kepentingan faktor-faktor Responden (pakar/expert)
strategis
b. Data Sekunder
1. Lingkungan biofisik Badan Pusat Statistik Kabupaten
2. Luas lahan pertanian sawah Bandung
3. Jumlah input produksi pertanian Badan Meteorologi dan
4. Agroklimat dan kondisi irigasi Geofisika Kabupaten Bandung
5. Ekonomi, dan sosial budaya Dinas Pertanian Kabupaten
6. Kelembagaan dan pemasaran Bandung
pertanian Lembaga masyarakat
7. Kebijakan

Teknik Penentuan Responden

Teknik penentuan responden dilakukan dalam rangka menggali informasi


dan pengetahuannya. Pemilihan responden disesuaikan dengan kondisi
lingkungan dan jumlah responden yang akan diambil yaitu responden yang dapat
dianggap mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Penentuan
responden dilakukan dua cara:

1 Responden petani pada lokasi penelitian dipilih dengan menggunakan metode


simple random sampling yang jumlahnya ditentukan dengan menggunakan
rumus Slovin sebagai berikut:

Keterangan : n = jumlah responden keseluruhan


N = jumlah populasi petani
e = galat (error) yang dapat diterima (10%)
21

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut,


responden petani yang diperlukan sebanyak 129 orang petani. Responden
petani diperlukan untuk memberikan gambaran kondisi ekologi, sosial –
budaya, ekonomi, teknologi – infrastruktur dan hukum - kelembagaan.

2 Responden dari kalangan pakar dipilih secara sengaja (purposive sampling).


Responden yang terpilih memiliki kepakaran sesuai dengan bidang yang dikaji.
Syarat-syarat responden pakar antara lain:
a. Mempunyai pengalaman dan kompetensi sesuai bidang yang dikaji.
b. Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan
bidang yang dikaji dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai ahli
atau pakar pada bidang yang diteliti.
c. Mempunyai komitmen terhadap permasalahan yang dikaji.
d. Bersifat netral dan bersedia menerima pendapat responden lain.
e. Bersedia dimintai pendapat dan berada pada lokasi penelitian.
Berdasarkan kriteria tersebut, responden pakar yang terpilih sebanyak 20
orang. Responden pakar tersebut terdiri dari camat, kepala desa atau sektetaris
desa masing-masing, dinas pertanian (pakar pertanian dan lingkungan), sub
bagian ketahanan pangan, dinas tata ruang (pakar lingkungan), penyuluh
pertanian, ketua kelompok tani, anggota DPRD dan DPD, dosen fakultas
pertanian (pakar pertanian).

Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data adalah prsedur yang sistemik yang dilakukan
untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam studi ini dilakukan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
Survei data sekunder
Survei data sekunder dilakukan dengan dua metode yaitu literatur survei
dan survei instansi.
1. Literatur survei
Metode ini bertujuan untuk memperoleh data sekunder yang dapat
digunakan dalam melengkapi data penelitian. Studi literatur diperoleh dari
berbagai sumber, seperti buku laporan, skripsi, jurnal, internet dan dokumen
lain yang terkait dengan judul penelitian ini serta informasi dan data
penelitian dari instansi-instansi yang terkait.
2. Survei instansi
Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi tentang gambaran
umum wilayah studi dan gambaran lebih lanjut tentang stakeholder yang ada
di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung. Data yang dikumpulkan melalui
survei ini adalah: gambaran umum wilayah, gambaran sektor pertanian
khususnya produk pangan berupa padi (beras) dari industri hulu sampai hilir.
Selain itu dikumpulkan data tentang kondisi ekonomi masyarakat dan
pemerintah yang menjadi penentu perkembangan sektor pertanian.
Survei data primer
Survei data primer dilakukan untuk memperoleh data secara langsung dari
lapangan, di wilayah studi Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung. Motode yang
22

digunakan dalam survei data primer ini adalah penyebaran kuesioner, wawancara
dan observasi langsung di lapangan.
1. Kuesioner/Angket
Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan informasi sebagai basis
analisis untuk mengetahui status keberlanjutan usata tani padi sawah di
Kecamatan Soreang. Persepsi petani berkaitan dengan sarana dan prasarana
usahatani. Penyebaran kuesioner juga dilakukan untuk mengidentifikasi
karakteristik aktivitas petani. Selain itu, informasi tentang sosial-budaya,
kelembagaan dan kondisi perekonomian petani.
2. Wawancara
Wawancara mendalam (depth interview) dilakukan terhadap sejumlah
stakeholders yang dipilih secara purposif dan wawancara dilakukan dengan
informan secara individual atau secara kelompok. Metode ini dilakukan untuk
mendapatkan informasi lebih lanjut dari pemerintah dan instansi terkait
sehubungan dengan kondisi sektor pertanian pangan di Kecamatan Soreang.
3. Observasi lapang
Observasi lapang ini bertujuan melihat kondisi lapang, yaitu
mengetahui kondisi alih fungsi lahan, dampak lingkungan dan peran
masyarakat sekitar. Observasi lapang juga dilakukan untuk melihat kondisi
komponen lingkungan seperti fisik dan sosekbud serta kondisi existing
pembangunan jalan tol Soreja.

Metode Analisis Data

Analisis Multidimensional Scaling (MDS)

Analisis keberlanjutan usahatani padi sawah dilakukan dengan pendekatan


multidimensional scaling (MDS) yang disebut dengan pendekatan dari metode
RAP-Farm (The Rapid Appraisal of the Status of Farming) (Saida, 2011).
Pendekatan Rap-Farm dimodifikasi dari program Rapfish (Rapid Assessment
Techniques for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University
of British Columbia (Fauzi dan Anna 2005). Metode MDS merupakan teknik
analisis statistik yang mentransformasi setiap dimensi dan multidimensi pada
dimensi keberlanjutan usahatani padi sawah. Penggunaan analisis MDS
mempunyai berbagai keunggulan seperti sederhana, mudah dinilai, cepat dan
biaya yang diperlukan relatif murah (Pitcher, 1999).
Menurut Nurmalina (2008), teknik MDS memetakan dua titik atau objek
yang sama dalam satu titik yang saling berdekatan. Sebaliknya, obyek atau titik
yang berbeda digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Nilai skor pada
setiap atribut akan membentuk suatu matriks X (n x p), dimana n adalah
jumlah wilayah beserta titik-titik acuannya dan p adalah jumlah atribut yang
digunakan. Nilai skor tersebut kemudian di standardisasi untuk setiap nilai skor
atribut, sehingga setiap atribut memiliki bobot seragam dan perbedaan antarskala
pengukuran dapat dihilangkan. Metode standardisasi tersebut, sebagai berikut :
23

keterangan:

= Nilai skor standar wilayah (termasuk titik acuannya) ke i = 1,2,…n,


pada setiap atribut ke k = 1,2,…p;
= Nilai skor awal wilayah (termasuk titik acuannya) ke i = 1,2,…n,
pada setiap atribut ke k = 1,2,…p;
= Nilai tengah skor pada setiap atribut ke k = 1,2,…p;
= Simpangan baku skor pada setiap atribut ke k = 1,2,…p.

Menurut Fauzi (2002), teknik MDS dalam Rapfish dilakukan dengan


menghitung jarak terdekat dari Euclidian distance berdasarkan persamaan (1)
berikut:

√( ) ( ) .........................................................(1)

Jarak Euclidean antara dua titik tersebut (d12) kemudian diproyeksikan


ke dalam jarak Euclidean dua dimensi (D12) berdasarkan rumus regresi (2)
berikut:

. ...................................................................(2)

Pada Rapfish, proses regresi tersebut menggunakan algoritma ALSCAL


dengan prinsip membuat pengulangan (iteration) proses regresi tersebut sehingga
mampu menghasilkan nilai error terkecil. Menurut Kavanagh (2001) algoritma
ALSCAL pada Rapfish memaksa agar nilai intercept pada persamaan tersebut
sama dengan nol (a = 0) sehingga persamaan (2) menjadi persamaan (3) berikut:

...................................................................(3)

Proses pengulangan terhenti, jika nilai stress lebih kecil dari 0.25. Nilai
Stress diperoleh berdasarkan persamaan (4).

∑ ∑( )
√ ∑ [ ∑ ∑
] .......................................................(4)

Pengaruh error akan muncul dalam analisis MDS yang disebabkan oleh
berbagai hal, seperti: 1) kesalahan dalam pembuatan skor karena kesalahan
pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna,
2) variasi nilai akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, 3) proses
analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau ada data yang
hilang, dan tingginya nilai stress. Nilai stress < 25% merupakan nilai stress yang
dapat diterima. Evaluasi pengaruh error pada proses pendugaan nilai ordinasi
keberlanjutan dapat dilakukan dengan menggunakan analisis ”Montecarlo”.
24

Tabel 3. Atribut Keberlanjutan Usahatani Padi Sawah


Dimensi Atribut
A. Ekologi 1. Ketersediaan air (irigasi)
2. Pengadaan benih bersertifikat
3. Kesesuain lahan dengan rencana tata guna lahan
4. Lahan (Kesuburan tanah)
5. Bebas serangan hama dan penyakit tanaman
6. Pemakaian pupuk kimia
7. Pemakaian pestisida kimia
8. Penggunaan bahan organik dan limbah pertanian
9. Kesesuaian agroklimat dengan komoditas
10. Tingkat produksi pertanian
11. Rata-rata kepemilikan luas lahan petani
B. Ekonomi 1. Perolehan keuntungan budidaya padi
2. Nilai tukar petani subsektor pangan padi (NTPP)
3. Kontribusi PAD untuk bidang pertanian
4. Fluktuasi harga
5. Rataan penghasilan petani terhadap UMR
6. Transfer keuntungan dari usahatani padi
7. Harga Gabah kering Giling (GKG) tingkat petani
8. Pasar produk usahatani padi
9. Aksesibilitas pasar
10. Presentase penduduk miskin
C. Sosial Budaya 1. Tingkat pertumbuhan penduduk
2. Tingkat pendidikan petani
3. Pertumbuhan rumah tangga petani padi
4. Tingkat penyerapan tenaga kerja pertanian
5. Pengetahuan dan dukungan terhadap pertanian
6. Frekuensi konflik yang berkaitan dengan pertanian
7. Motivasi petani bertani
8. Alternatif usaha selain usahatani padi
9. Alokasi waktu yang digunakan untuk usahatani
10. Persepsi terhadap konversi lahan sawah
D. Hukum dan 1. Pemahaman dan implementasi kebijakan
Kelembagaan 2. Koordinasi antar instansi
3. Lembaga keuangan mikro (bank, BPR, LKM)
4. Penyuluh pertanian
5. Keberadaan kelompok tani
6. Anggaran pemerintah daerah untuk sektor tanaman padi
7. Jumlah penyaluran kredit (modal kerja dan investasi)
8. Usahatani yang berkelanjutan (terkait input, produksi dan
pengolahan)
9. Peran BULOG dan Badan Ketahanan Pangan (BPK3)
E. Teknologi dan 1. Tingkat penerapan teknologi dalam budidaya
Infrastruktur 2. Tingkat penguasaan teknologi dalam pasca panen
3. Ketersediaan sarana prasarana usahatani
4. Akses terhadap perkembangan iptek
5. Kondisi jalan usahatani desa
6. Saluran irigasi
7. Standarisasi mutu produk beras
8. Jenis sistem usaha pertanian
25

Menurut Mersyah (2009) jumlah peringkat pada setiap atribut ditentukan


berdasarkan tersedia tidaknya literatur yang dapat digunakan untuk penentuan
jumlah peringkat. Misalnya, penentuan tingkat pemanfataan limbah pertanian
masih belum jelas kriteria yang dapat digunakan sebagai acuan. Oleh karena itu,
peringkat atribut tersebut ditentukan berdasarkan pertimbangan ilmiah (scientific
judgement) dari pembuat skor. Pada penelitian ini, terdapat 48 atribut yang
digunakan untuk menilai status keberlanjutan usahatani padi sawah. Metode
penentuan indeks keberlanjutan usahatani padi sawah dengan teknik Rapfish
dilakukan berdasarkan sistematika yang telah ditentukan.
Menurut Nababan et al. (2008) penentuan Indeks dan status keberlanjutan
berdasarkan tahapan: 1) pengkajian atribut-atribut pada setiap dimensi
keberlanjutan dan menilai atribut tersebut berdasarkan data aktual melalui
pengamatan lapangan, diskusi bersama pakar, dan kajian pustaka, 2) nilai skor
atribut-atribut setiap dimensi keberlanjutan kemudian dianalisis pada program
Microsoft Excell dengan menggunakan template yang telah disiapkan sebelumnya,
sehingga diperoleh suatu besaran nilai yang dikenal dengan indeks keberlanjutan,
3) mengkategorikan nilai indeks keberlanjutan berdasarkan selang keberlanjutan
untuk memperoleh status keberlanjutan. Selang nilai skor keberlanjutan setiap
dimensi, antara lain: buruk (0,00-24,99), kurang (25,00-49,00), cukup (50,00-
74,99), dan baik (75,00-100,00).
Hasil lain yang diperoleh dalam analisis MDS adalah penentuan faktor
pengungkit (leverage factors) yang merupakan faktor-faktor strategis pengelolaan
usahatani padi sawah di masa depan. Faktor pengungkit tersebut, berguna dalam
penentuan faktor penting pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Tahap analisis
MDS secara sederhana disajikan pada Gambar 3.

Start

Review Attribute Penentuan Atribut sebagai


(meliputi berbagai kategori Kriteria Penilaian
dan skoring kriteria)

Penilaian (skoring) Atribut


(mengkonstruksikan reference point untuk good, bad, dan anchor)

Multidimensional Scaling Ordination


(untuk setiap atribut)

Simulasi Monte Carlo Analisis Leverage


(analisis ketidakpastian) (analisis Anomali)

Analisis Keberlanjutan
(assess sustainability)

Gambar 5 Proses aplikasi Rapfish (Alder et. al. 2000 dalam Fauzi dan Anna 2005)
26

Pengaruh galat akan muncul dalam analisis MDS yang dapat disebabkan
oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena kesalahan
pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna,
variasi nilai akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses analisis
MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau ada data yang hilang,
dan tingginya nilai stress, yaitu nilai stress dapat diterima jika nilai < 25 %
(Kavanagh, 2001).
Evaluasi pengaruh galat (error) pada proses pendugaan nilai ordinasi
analisis status keberlanjutan sistem usahatani padi sawah dilakukan dengan
menggunakan analisis ”Montecarlo”. Menurut Kavanagh (2001) dan Fauzi dan
Anna (2002) analisis ”Montecarlo” juga berguna untuk mempelajari hal-hal
berikut ini.
1 Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman
kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman
terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut.
2 Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh
peneliti berbeda.
3 Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi).
4 Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data).

Analisis Prospektif

Analisis prospektif merupakan suatu upaya untuk mengeksplorasi


kemungkinan di masa depan. Hasil analisis akan memberikan informasi mengenai
faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam usahatani padi
sawah sesuai dengan kebutuhan para pelaku yang terlibat dalam usahatani padi
sawah tersebut. Faktor kunci tersebut akan digunakan untuk mendeskripsikan
kemungkinan masa depan bagi pengembangan usahatani padi sawah. Penentuan
faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sangat penting, dan sepenuhnya
merupakan pendapat dari para pihak berkompeten (expert) sebagai ahli dalam
bidang yang dikaji.
Penentuan faktor kunci keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan
analisis prospektif (Participatory Prospective Analysis). Analisis tersebut
digunakan untuk menentukan faktor penting yang berpengaruh terhadap
usahatani padi sawah. Analisis prospektif melibatkan responden pakar untuk
berpartisipasi dalam rangka mengetahui, menyelidiki, dan mengantisipasi
perubahan terhadap sistem yang mampu memberikan hasil cepat (Bourgeois and
Jesus, 2004). Menurut Hartrisari (2002), tahapan analisis prospektif meliputi:
1 Menentukan faktor kunci masa depan dari sistem yang dikaji. Pada tahap ini
dilakukan identifikasi seluruh faktor penting dengan menggunakan kriteria
faktor variabel, menganalisis pengaruh dan ketergantungan seluruh faktor
dengan melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks, dan
menggambarkan pengaruh-ketergantungan dari masing-masing faktor ke
dalam empat kuadran utama.
2 Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama.
3 Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada
tahap ini dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah
27

dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan


mana yang dapat terjadi bersamaan, dan menggambarkan skenario dengan
memasangkan perubahan yang akan terjadi dengan cara mendiskusikan
skenario dan implikasinya terhadap sistem.

Penilaian faktor penting dilakukan dengan mempertimbangkan dampak


langsung faktor pengungkit terhadap faktor pengungkit lainnya. Menurut Godet
(1999) pengaruh antar faktor diberikan skor oleh responden pakar, dengan
ketentuan: (a) skor 0 apabila tidak ada pengaruh, (b) skor 1 apabila berpengaruh
kecil, (c) skor 2 apabila berpengaruh sedang, dan (d) skor 3 apabila berpengaruh
sangat kuat. Identifikasi pengaruh langsung antar faktor dalam sistem, pada
tahap pertama analisis prospektif mengunakan matriks penilaian pengaruh
langsung (Tabel 3). Responden pakar terlibat langsung menentukan pengaruh
langsung antarfaktor melalui pemberian skor 0 – 3 pada matriks tersebut.
Penentuan faktor penting menggunakan bantuan add on software Microsoft Excel
yang akan menghasilkan tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam
sistem dengan hasil analisis seperti tercermin pada gambar 4.
Tabel 4. Pengaruh langsung antarfaktor usahatani padi sawah

Sumber: Godet 1999


Menurut Burgeois and Jesus (2004) hasil analisis berbagai faktor atau
variabel seperti pada Gambar 6 menunjukkan bahwa faktor-faktor atau variabel-
variabel yang berada pada:
1 kuadran I (INPUT), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat
dengan tingkat ketergantungan yang kurang kuat. Faktor pada kuadran ini
merupakan faktor penentu atau penggerak (driving variabels) yang paling kuat
dalam sistem.
2 Kuadran II (STAKES), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan
ketergantungan yang kuat (leverage variables). Faktor pada kuadran ini
dianggap peubah yang kuat.
3 Kuadran III (OUTPUT), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh
kecil, namun ketergantungannya tinggi.
4 Kuadran IV (UNUSED), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh
dan ketergantungan kecil (rendah).
28

( (
Faktor1)
Penentu 2)
Faktor Penghubung

Pengaruh
(Driving Variables) (Leverage Variables)
INPUT STAKES

( (
4)Bebas
Faktor 3) Terikat
Faktor
(Marginal Variables) (Output Variables)
UNUSED Output

Ketergantungan
Gambar 6. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antarfaktor dalam sistem
(Burgeois and Jesus 2004)
29

4 GAMBARAN UMUM

Kondisi Umum Tempat Penelitian

Kecamatan Soreang merupakan bagian dari wilayah pengembangan


metropolitan Bandung sebagai Ibukota Kabupaten Bandung, yang mempunyai
luas wilayah 24,26 km2 atau 2.425,68 Ha yang mencakup 10 desa. Wilayah
Kecamatan Soreang terdiri dari 10 desa yaitu desa Sadu, desa Sukajadi, desa
Sukanagara, desa Panyirapan, desa Karamatmulya, desa Soreang, desa Pamekaran,
desa Parungserab, desa Sekarwangi, dan desa Cingcin. Batas-batas daerah adalah
sebelah utara: Kecamatan Kutawaringin; sebelah timur: Kabupaten Bandung
Barat; sebelah selatan: Kecamatan Pasirjambu serta sebelah barat: Kecamatan
Katapang. Satuan lingkungan setempat terkecil tercatat sebanyak 40 dusun, 165
Rukun Warga (RW), dan 571 Rukun Tetangga (RT).
Kondisi geografis Kecamatan Soreang berada di koordinat 6°41’ – 7°19’
LS dan diantara 107°22’ – 108°5’ BT dengan ketinggian beragam diantara 700 –
900 m dpl. Kondisi morfologis terdiri dari wilayah datar/landai, kaki bukit, dan
pegunungan. Berdasarkan data dari stasiun klimatologi Leuwikuray, total curah
hujan di Kecamatan Soreang selama tahun 2014 tercatat sebesar 2.168 mm,
dengan rata-rata curah hujan harian sebesar 5,95 mm/hari dimana curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan November dan Desember tahun 2014.
Ditinjau berdasarkan geologi wilayah, Kabupaten Bandung merupakan
wilayah yang berada dalam Kawasan Cekungan Bandung. Morfologi Kabupaten
Bandung yang merupakan bagian dari Cekungan Bandung menjadikan Kabupaten
Bandung tergolong potensial sebagai tempat akumulasi air tanah. Untuk air
permukaan, sumber air permukaan di Kabupaten Bandung bersumber dari sungai,
mata air, danau dan rawa. Khusus untuk sungai, sebagian besar sungai di
Kabupaten Bandung merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum.
Secara administratif DAS Citarum ini melintasi 10 Kabupaten/ Kota dengan
daerah hulu yang berlokasi di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Khusus
dalam lingkup Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung DAS Citarum melingkupi
sun DAS Cisangkuy.

Tabel 5. Pembagian wilayah administrasi Kecamatan Soreang tahun 2015


Luas Presentase
Ketinggian
No Desa wilayah terhadap luas Topografi
(mdpl)
(Ha) kecamatan (%)
1 Sadu 244,10 10,06 Hamparan 750
2 Sukajadi 542,16 22,35 Puncak 900
3 Sukanagara 382,00 15,75 Lereng 825
4 Panyirapan 153,20 6,32 Hamparan 710
5 Karamatmulya 209,70 8,65 Hamparan 700
6 Soreang 231,07 9,53 Hamparan 700
7 Pamakeran 158,54 6,54 Hamparan 700
8 Parungserab 190,60 7,86 Hamparan 700
9 Sekarwangi 116,00 4,78 Hamparan 700
10 Cingcin 198,00 8,16 Hamparan 700
Kecamatan Soreang 2.425,37 100
30

Tujuan penataan ruang Kabupaten Bandung yaitu untuk mencapai


optimasi dan sinergi pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan ketahanan nasional, menciptakan
keserasian dan keseimbangan antara lingkungan dan sebaran kegiatan,
meningkatkan daya guna lahan hasil guna pelayanan atas pengembangan dan
pengelolaan ruang, mewujudkan keseimbangan dan keserasian perkembangan
antar bagian wilayah kota serta antar sektor dalam rangka mendorong pelaksanaan
otonomi daerah serta untuk mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan
mencegah serta menanggulangi dapak negatif terhadap lingkungan.
Berdasarkan rencana tata ruang dan wilayah Kabupaten Bandung Tahun
2007- 2027, wilayah Kabupaten Bandung dibagi kedalam 8 Wilayah
Pengembangan : (1) Wilayah Pengembangan Baleendah; (2) Wilayah
Pengembangan Banjaran; (3) Wialayah Pengembangan Cicalengka; (4) Wilayah
Pengembangan Cilengkrang- Cimenyan; (5) Wilayah Pengembangan Cileunyi-
Rancaekek; (6) Majalaya; (7) Margahayu-Margaasih; (8) Soreang-Kutawaringin-
Ketapang.
Strategi untuk melaksanakan kebijakan pengembangan kawasan strategis
di Kabupaten Bandung, yaitu melalui pengembangan Kawasan Strategis dengan
menitikberatkan kepada pengembangan potensi ekonomi, pemberdayaan potensi
masyarakat lokal dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, serta
penerapan sistem insentif dan disinsentif. Pengembangan WP Soreang-
Kutawaringin- Katapang sebagai pusat pemerintahan melalui peningkatan
aksesibilitas interkoneksi dengan wilayah lain serta penyediaan sarana da
prasarana pendukung yang memadai. Pengembangan WP Soreang- Kutawaringin-
Katapang dengan pusat Kota Soreang sebagai pusat pemerintahan serta jasa dan
perdagangan serta membatasi pengembangan industri dan tetap mempertahankan
kawasan sebagai sentra kegiatan pertanian (lahan basah dan lahan kering).

Kependudukan

Kabupaten Bandung merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk


tertinggi kedua di Provinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Bogor. Banyak kota-
kota baik kota kecil, menengah maupun kota besar pada umumnya tampak adanya
kecenderungan bahwa penduduk perkotaan terus meningkat. Gejala yang sama
terlihat di kota Soreang. Pada tahun 2014, jumlah penduduk Kecamatan Soreang
tercatat sebanyak 112.839 jiwa dengan komposisi jumlah penduduk laki-laki
sebanyak 57.593 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 55.246. Dengan
demikian dapat dilihat bahwa rasio jenis kelamin (sex ratio) penduduknya sebesar
104,25 persen, atau jumlah penduduk laki-laki 4,25 persen lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Rasio jenis kelamin dapat
digunakan untuk melihat dinamika kependudukan di suatu wilayah dalam kurun
waktu tertentu.
Untuk mengetahui konsentrasi penduduk di suatu wilayah maka dihitung
tingkat kepadatan penduduk. Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Soreang
termasuk kategori sangat padat yakni sebesar 4.651. Artinya bahwa secara rata-
rata tiap kilometer persegi wilayah di Kecamatan Soreang didiami oleh 4.651
jiwa. %. Meninjau perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Bandung dalam
lima tahun terakhir, trend perkembangan menunjukkan bahwa dalam lima tahun
31

terakhir jumlah penduduk Kabupaten Bandung terus mengalami peningkatan


dengan rata- rata pertumbuhan sekitar 1,6 %.
Ditinjau berdasarkan struktur usia, pada tahun 2012 sekitar 66 %
penduduk Kabupaten Bandung merupakan penduduk usia produktif dalam rentang
usia 15 sampai dengan 64 tahun. Penduduk usia produktif ini di satu sisi bersifat
potensial. Namun di sisi lain hal tersebut menciptakan tantangan untuk dapat
mengakomodir penduduk usia proktif, seperti misalnya penyediaan lapangan
pekerjaan, sekolah menengah atas, perguruan tinggi, termasuk sarana didalamnya
sarana dan prasarana sanitasi yang memadai. Untuk penduduk usia nonproduktif,
persentase penduduk nonproduktif Kabupaten Bandung pada tahun 2012 yaitu
sekitar 34 % dengan komposisi usia 30 % berada dalam rentang usia 0 sampai
dengan 14 tahun dan 4 % sisanya berusia diatas 65 tahun. Seperti halnya
penduduk usia produktif, penduduk usia non produktif ini juga memerlukan
dukungan sarana prasarana yang dapat mengakomodir kegiatan penduduk dalam
struktur usia tersebut.
Tabel 6. Penduduk berdasarkan jenis kelamin menurut desa di Kecamatan
Soreang tahun 2014
Penduduk
No Desa Total
Laki-laki Perempuan
1 Sadu 5.509 5.193 10.702
2 Sukajadi 3.928 3.781 7.708
3 Sukanagara 2.625 2.593 5.218
4 Panyirapan 3.628 3.313 7.141
5 Karamatmulya 4.188 5.948 8.135
6 Soreang 10.396 9.722 20.118
7 Pamakeran 7.211 7.011 14.223
8 Parungserab 4.230 4.070 8.300
9 Sekarwangi 3.801 3.743 7.544
10 Cingcin 12.077 11.673 23.750
Kecamatan Soreang 57.593 55.246 112.839

Perekonomian

Kabupaten Bandung merupakan kawasan yang dipandang memiliki posisi


perekonomian yang sangat strategis dalam konstelasi perekonomian nasional
(Indonesia) maupun Jawa Barat. Pertimbangan-pertimbangan tersebut merujuk
pada beberapa indikator, seperti kedekatan wilayah perekonomian Kabupaten
Bandung dengan pusat perekonomian dan pemerintahan Jawa Barat. Dilihat dari
peran sektoral, peran sektor industri di Kabupaten Bandung dalam skala regional
maupun nasional juga sangat strategis berkaitan dengan industri tekstil produk
tekstil (TPT), industri alas kaki, industri kerajinan, produk budi daya pertanian
dan industri pengolahan hasil pertanian. Kontribusi sektor industri manufaktur
terhadap PDRB Kabupaten Bandung pada tahun 2013 mencapai 59,79%,
sedangkan sektor pertanian 7,74% (Bapeda Kabupaten Bandung). Peran yang
sangat signifikan dari sektor industri dan pertanian di Kabupaten Bandung dalam
hal ini juga sejalan dengan peran sektoral dalam PDRB Jawa Barat dan PDB.
Kondisi perekonomian Kabupaten Bandung selama lima tahun terakhir ini
setiap sektor cenderung mengalami peningkatan, namun terdapat juga sektor
32

ekonomi yang mengalami penurunan yaitu sektor industri pengolahan. Untuk


tahun 2013, PDRB Kabupaten Bandung mengalami peningkatan dibandingkan
dengan PDRB tahun 2012 dan tahun-tahun sebelumnya. Untuk tahun 2013, PDRB
atas dasar harga berlaku mengalami peningkatan sebesar Rp 7,26 triliun,
sedangkan untuk PDRB atas dasar harga konstan mengalami kenaikan sebesar Rp
1,45 triliun.

Tabel 7. Jumlah pendapatan keuangan desa menurut sumber penerimaan di


Kecamatan Soreang tahun 2014 (Juta Rupiah)
Sumber penerimaan
No Desa Pendapatan Asli Alokasi Dana Bagi
Desa (PAD) Desa (ADD) Hasil/Bantuan
1 Sadu 45,00 836,22 509,08
2 Sukajadi 25,00 667,00 355,54
3 Sukanagara 25,00 768,47 397,83
4 Panyirapan 17,00 776,13 426,91
5 Karamatmulya 47,00 642,42 209,00
6 Soreang 275,00 910,05 310,65
7 Pamakeran 169,50 996,44 301,85
8 Parungserab 25,00 901,54 279,10
9 Sekarwangi 31,50 701,36 412,30
10 Cingcin 71,50 957,50 410,90

Tabel 8. Pengeluaran keuangan desa menurut jenis pengeluaran di Kecamatan


Soreang tahun 2014 (Juta Rupiah)
Jenis pengeluaran
No Desa
Belanja pegawai Belanja modal Lainnya
1 Sadu 405,22 955,09 30,00
2 Sukajadi 283,00 685,54 79,00
3 Sukanagara 250,20 638,69 302,41
4 Panyirapan 407,22 615,30 197,52
5 Karamatmulya 380,42 438,00 80,00
6 Soreang 401,00 882,70 212,00
7 Pamakeran 437,85 724,35 305,59
8 Parungserab 283,00 865,64 47,00
9 Sekarwangi 285,00 793,66 66,50
10 Cingcin 395,00 912,90 132,00

Pembangunan bidang ekonomi dapat dipandang sebagai pijakan dasar


yang sangat fundamental dalam kaitannya dengan aspek-aspek pembangunan
lainnya. Representasi pembangunan ekonomi diantaranya dapat ditunjukkan
dalam bentuk pertumbuhan ekonomi, struktur perekonomian, dan distribusi
pendapatan perkapita. Sebagai kota yang tengah tumbuh dan berkembang berada
pada proses transisi dari kawasan pedesaaan, perekonomian Kecamatan Soreang
didukung oleh perkembangan berbagai sektor.
Sektor industri dengan skala kecil dan menengah berkembang cukup pesat di
Kecamatan Soreang. Industri ini pada umumnya bergerak dalam bidang konveksi
dengan pangsa pasar tak hanya bersifat lokal, tapi juga telah menjangkau pasar
33

internasional. Kenyataan ini menyebabkan mayoritas masyarakat juga bermata


pencaharian pada sektor industri.

Pendidikan

Kemajuan dalam bidang pendidikan salah satunya dapat terlihat dari


ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Di Kecamatan
Soreang, jumlah SD/sederajat baik negeri maupun swasta tercatat sebanyak 43
unit dengan jumlah guru sebanyak 511 orang. Kemudian jumlah SMP/sederajat
sebanyak 16 unit dengan guru berjumlah 376 orang. Selanjutnya jumlah
SMA/sederajat tercatat sebanyak 13 unit dengan guru berjumlah 483 orang.
Capaian pembangunan di bidang pendidikan dapat diukur dengan
menggunakan angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah (RLS). Pada
tahun 2014, capaian AMH di Kecamatan Soreang sebesar 99,33 persen, relatif
mengalami sedikit penurunan dari tahun sebelumnya dimana AMH tahun 2013
tercatat sebesar 99,40. Nilai AMH sebesar 99,33 persen dapat diartikan pula
bahwa angka buta huruf penduduk di Kecamatan Soreang hanya tinggal sebesar
0,67 persen.
Sementara itu, capaian rata-rata lama sekolah penduduk di Kecamatan
Soreang relatif mengalami peningkatan dari tahun 2013 dimana pada tahun
sebelumnya RLS sebesar 8,32 tahun menjadi 8,68 tahun di tahun 2014. Nilai RLS
sebesar 8,68 tahun dapat diartikan bahwa rata-rata penduduk di Kecamatan
Soreang pada tahun 2014 hampir menyelesaikan pendidikan setara dengan kelas 2
SLTP.
Pendidikan merupakan sarana belajar, dimana selanjutnya akan menanamkan
pengertian sikap yang menguntungkan menuju pembangunan praktek pertanian yang
lebih modern. Mereka yang berpendidikan tinggi adalah yang relatif lebih cepat
dalam melaksanakan adopsi, begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan
rendah, agak sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Tingkat pendidikan
formal yang dimiliki petani akan menunjukan tingkat pengetahuan serta wawasan
yang luas untuk petani menerapkan apa yang diperolehnya untuk peningkatan
usahataninya.

13672

14000
12000
10000 5664
4792
8000
6000
511
4000 376 Murid
483
2000 43
16 Guru
0 13
Sekolah
SD/sederajat
SMP/sederajat
SMA/sederajat
Gambar 7. Jumlah sekolah, guru dan murid di Kecamatan Soreang tahun 2014
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung
34

Aksesibilitas dan Infrastruktur

Secara geografis, akses penduduk (termasuk petani) Kabupaten Bandung


atas berbagai sumberdaya produktif (informasi, modal, sarana produksi dan pasar)
cenderung semakin tinggi seiring dengan semakin terbuka dan pesatnya
pembangunan di Kota Bandung. Kecamatan Soreang di Kabupaten Bandung
berkategori akses tinggi (berjarak 8 – 20 Km ke ibu kota Propinsi Jawa Barat/
Kota Bandung). Secara riil, aksesibilitas akan semakin terbuka seiring dengan
ditingkatkannya pelayanan lalulintas jalur tol Soroja (Soreang - Pasirkoja).

Gambar 8. Pembangunan akses jalan tol Soroja (Soreang - Pasirkoja)

Bagi Kabupaten Bandung, jalan tidak hanya sekedar berperan sebagai jalur
mobilitas, tetapi telah membentuk pola jaringan sosial (social networking), pola
jaringan komunikasi (communication networking), pola jaringan kerja (net
working), dan pola jaringan ekonomi (economic networking). Konsekuensinya,
jika kondisi jalan rusak dan atau penataan arus lalulintasnya (terutama di pusat-
pusat pertumbuhan) kurang efektif, maka otomatis akan menghambat aksesibilitas
dan aktivitas ekonomi masyarakat menuju atau dari pusat-pusat pertumbuhan.

Tabel 9. Daftar inventarisasi jalan di Soreang


Panjang Lebar
No Nama jalan jalan jalan Kondisi Keterangan
(m) (m)
1 Batas Kota Soreang–
Bandung - Soreang 5500 7,2 Hotmix
batas pemerintahan
2 Pusat pemerintahan–
Soreang - Ciwidey 7000 7,2 Hotmix
batas kota Soreang
3 Pertigaan Soreang-
Soreang - Banjaran 2400 7,2 Hotmix
batas kota Soreang
4 Rumah sakit - batas
Soreang-Parungserab 1875 7,2 Hotmix
kota Soreang
5 Pertigaan Cingcin –
Jalan Cingcin 3375 3,8 Hotmix
pertigaan Banjaran
6 Pertigaan Katapang
Jalan Katapang 1000 3,6 Aspal
– Soreang
7 Jalan Sekarwangi-
2000 3,6 Aspal Pusat pemerintahan
Parungserab
Sumber: Badan Pusat Statistika Kabupaten Bandung 2014
35

Menurut BPS (2003), di Kabupaten Bandung tercatat ada sekitar 22.670


unit kendaraan ronda empat (33,07% merupakan angkutan umum), dan 76.144
unit kendaraan roda dua. Jalan raya Bandung – Soreang – Ciwidey merupakan
jalan arteri yang memiliki arus lalulintas yang paling padat.
Panjang jalan desa yang terdapat di Soreang adalah 46,80 km, sedangkan
jalan kabupaten dan jalan propinsi masing-masing sepanjang 23,50 km dan 10,80
km. Bila dilihat berdasarkan kondisinya, jaringan jalan di dalam Soreang masih
memiliki itngkat kerusakan yang cukup banyak. Terutama untuk kelas jalan desa
dan kabupaten. Kondisi lebih buruk lagi terjadi pada musim penghujan karena
kontruksi jalan yang masih belum memiliki kualitas yang baik. Panjang total
jaringan irigasi Kabupaten Bandung pada tahun 2010 sepanjang 1.084,15 km
(panjang saluran primer 77,76 km, panjang saluran sekunder 136,00 km dan
panjang saluran tersier 870,39 km).

Pertanian

Salah satu sasaran strategis pembangunan pertanian adalah meningkatnya


swasembada pangan lokal melalui peningkatan lahan dan komoditas pangan
unggulan lokal. Hal ini merupakan salah satu langkah perwujudan tercapainya
ketahanan pangan sampai tingkat rumah tangga, terutama dalam keberlanjutan
ketersediaan pangan. Keadaan ini dicirikan antara lain dengan tersedianya pangan
yang cukup serta harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat dan
terwujudnya diversifikasi konsumsi pangan yang tercermin dari tersedianya
berbagai komoditas pangan, baik produk segar maupun produk olahan.
Untuk mewujudkan ketersediaan pangan sampai tingkat rumah tangga
tersebut, pemerintah mengupayakan strategi antara lain berbagai usaha
peningkatan produksi dan produktivitas lahan dan pangan. Selain itu, peningkatan
kapasitas dan kapabilitas masyarakat tani dalam desiminasi teknologi mulai dari
budidaya tanaman pangan pada sisi onfarm juga teknologi pasca panen dan
pengolahan hasil pada sisi off-farm.
Kecamatan Soreang termasuk kepada duapuluh besar kecamatan
penyumbang produksi padi di Kabupaten Bandung. Jumlah total produksi padi
pada tahun 2014 tercatat sebanyak 17.142 ton terdiri dari 15.939 ton padi sawah
dan 1.203 ton padi gogo. Dibandingkan dengan tahun 2013, realisasi produksi
padi Kecamatan Soreang meningkat sebesar 3,59 persen. Rata-rata puncak tanam
padi berlangsung pada bulan April dan Mei untuk pertanaman musim kemarau,
sedangkan untuk musim penghujan puncak tanam berlangsung pada bulan
Desember. Pada musim panen di Kecamatan Soreang, April dan Agustus
merupakan bulan-bulan dimana luas panen memperlihatkan angka tertinggi.
Luas lahan sawah di Kabupaten Bandung untuk daerah hinterland seperti
Kecamatan Soreang mengalami penurunan 0,05 – 0,1 % pertahun. Faktor tekanan
penduduk menjadi penentu terjadinya penurunan luas pertanian sawah di kawasan
hinterland. Selain itu pertumbuhan industri tekstil yang sangat pesat juga menjadi
penyebab konversi lahan semakin intensif, namun ternyata jumlah petani
mengalami peningkatan walaupun hanya berkisar 0,05 %. Jumlah petani yang
besar tersebut dengan luasan sawah yang semakin sempit, mengakibatkan sektor
pertanian sudah tidak mampu lagi menopang kebutuhan hidup petani itu sendiri
(Rustan, 2016).
36

Tabel 10. Luas dan produksi tanaman padi menurut desa di Kecamatan Soreang
tahun 2013
Padi sawah Padi ladang
No Desa Luas areal Produksi Luas areal Produksi
(hektar) (kwintal) (hektar) (kwintal)
1 Sadu 115,82 5.816,62 1,05 31,50
2 Sukajadi 107,52 5.483,61 2,76 82,65
3 Sukanagara 137,16 6.871,88 0,66 19,74
4 Panyirapan 77,56 3.895,16 0,11 3,36
5 Karamatmulya 131,20 6.691,30 0,28 8,40
6 Soreang 169,17 8.467,32 0,00 0,00
7 Pamakeran 71,21 3.567,76 0,00 0,00
8 Parungserab 212,83 11.918,74 0,00 0,00
9 Sekarwangi 222,30 11.137,02 0,00 0,00
10 Cingcin 160,63 8.212,85 0,00 0,00
Kecamatan Soreang 1.405,41 72.070,26 4,86 145,65

Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan

Berdasarkan Ratio Ketersediaan Pangan


Terpenuhinya kebutuhan penyediaan pangan penduduk disuatu wilayah
dapat ditunjukan oleh dimensi kuantitatif yaitu berdasarkan energi dan zat gizi
tiap orang tian hari. Pangan yang tersedia dikatakan memenuhi kebutuhan
penduduk jika energinya mencapai angka 2,200 kkal/Kapita/hari dan proteinnya
57 gram/kapita/hari, Menurut Situasi ketersediaan Energi di Kabupaten Bandug
pangan berdasarkan Perhitungan Analisa dan Penyusunan Pola Konsumsi dan
Suplai Pangan Kabupaten Bandung kerjasama antara FEMA IPB dengan Badan
Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan bahwa data Ketersediaan energi dan
protein per kapita pada akhir Tahun 2010 mencapai 2.753/kkal/kapita/hari.
Rasio ketersediaan pangan menyatakan perbandingan konsumsi normatif
penduduk (300 gram) dengan ketersediaan pangan. Jika nilai tersebut lebih besar
dari 1, maka daerah tersebut mengalami defisit pangan. Berikut disajikan Tabel
11 yang menunjukkan persentase kecamatan dan desa/kelurahan berdasarkan
prioritas indikator ketersediaan pangan.

Tabel 11. Jumlah dan persentase kecamatan dan desa/kelurahan berdasarkan


prioritas indikator ketersediaan pangan tahun 2009
Kecamatan Desa
Prioritas
N % N %
1 11 35,48 115 41,67
2 1 3,23 14 5,07
3 5 16,13 14 5,07
4 4 12,90 29 10,51
5 6 19,35 41 14,86
6 4 12,90 59 21,38
Jumlah 31 100,00 272 98,56
37

Tabel 12. Kategori prioritas kecamatan, jumlah dan nama desa prioritas utama
berdasarkan indikator ketersediaan pangan di Kabupaten Bandung
tahun 2009
Indikator Jumlah
Nama desa/kelurahan
No Kecamatan ketersediaan desa/kelurahan
prioritas utama
Rasio Prioritas prioritas utama
Soreang, Cingcin,
1 Soreang 0.86 4 5 (dari 10 desa) Pamekaran,
Sekarwangi, Sadu
2 Pasir Jambu 34.17 1 10 Semua desa
3 Ciwidey 38.41 1 7 Semua desa
5 Rancabali 56.08 1 3 (dari 5 desa) Alam Endah,
Sukaresmi, Cipelah
6 Margaasih 270.79 1 6 Semua desa
7 Bojongsoang 88.23 1 6 Semua desa
8 Dayeuhkolot 13.20 1 4 (dari 6 desa) Sukapura, Citeureup,
Cangkuang kulon &
wetan
9 Banjaran 1.24 3 8 (dari 11 desa) Banjaran, Banjaran
wetan, Ciapus,
Margahurip,
Kamasan, Tajursari,
Kiangroke,
Sindangpanon
12 Katapang 1.09 3 4 (dari 7 desa) Gandasari,
Pangauban, Katapang,
Cilampeni
13 Majalaya 1.38 2 7 (dari 11 desa) Majalaya, Majasetra,
Bojong, Padamulya,
Sukamukti, Sukamaju,
Wangisagara
16 Kertasari 1.75 1 7 Semua desa
21 Ibun 1.07 3 6 (dari 12 desa) Karyalaksana, Talun,
Tangulun, Sudi,
Cibeet, Lampegan
22 Cileunyi 1.19 3 4 (dari 6 desa) Cinunuk, Cibiru Hilir,
Cimekar, Cibiru wetan
23 Cimenyan 6.14 1 9 Semua desa
24 Margahayu 4.93 1 2 (dari 5 desa) Margahayu Selatan,
Kel. Sulaeman
25 Cilengkrang 1.22 3 2 (dari 6 desa) Giri Mekar, Jati
Endah
26 Baleendah 2.80 1 8 Semua desa
27 Arjasari 0.33 6 - -
28 Cimaung 51.01 1 10 Semua desa
31 Kutawaringin 0.69 5 2 (dari 11 desa) Padasuka, Jelegong
Kab. Bandung 0,99 4 143
38

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa sebanyak 17 kecamatan


(54.84%) dengan jumlah penduduk 1,480,768 jiwa dan 143 desa (51.81%)
tergolong prioritas utama (prioritas 1,2,3). Kecamatan tersebut adalah Pasir Jambu,
Ciwidey, Rancabali, Dayeuhkolot, Margaasih, Bojongsoang, Kertasari, Cimenyan,
Margahayu, Baleendah, Cimaung, Majalaya, Banjaran, Katapang, Ibun, Cileunyi,
dan Cilengkrang. Untuk rincian kecamatan dan jumlah desa yang tergolong
prioritas utama dapat dilihat pada Tabel .
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa rasio ketersediaan pangan
kabupaten Bandung adalah 0.99. Nilai tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten
Bandung berada dalam keadaan surplus rendah (prioritas 4). Hal tersebut berarti
ketersediaan pangan kabupaten Bandung telah cukup memenuhi kebutuhan
normatif penduduknya.
Kecamatan yang ketersediaan pangan tergolong surplus (prioritas 6) belum
tentu memiliki desa/kelurahan yang ketersediaan pangannya mencukupi. Hal
tersebut ditunjukkan pada Tabel yang menunjukkan jumlah dan persentase
desa/kelurahan berdasarkan tingkat prioritas.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa, meskipun ketersediaan di tingkat
Kabupaten melimpah/surplus belum tentu terdistribusi dengan baik ke wilayah
kecamatan hingga desa/kelurahan. Hal ini diduga karena masih terdapat
infrastuktur yang belum tersedia secara optimal untuk mendistribusikan pangan-
pangan tersebut. Kecamatan, desa/kelurahan yang memiliki ketersediaan pangan
yang surplus dapat mendistribusikan pangan tersebut kepada kecamatan,
desa/kelurahan yang tergolong defisit.
Upaya mencapai ketahanan pangan berkelanjutan selama ini melalui
pendekatan ketersediaan pangan. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga atau
individu tergantung aksesibilitasnya terhadap pangan. Kecukupan pangan pada
tingkat makro belum menjamin kecukupan pangan setiap individu atau rumah
tangga. Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dapat dipenuhi dari produksi
dan cadangan pangan sendiri. Penguatan Cadangan Pangan terdiri dari Cadangan
Pangan Pemerintah dan Cadangan Pangan Masyarakat. Cadangan Pangan
bertujuan untuk meningkatkan penyediaan pangan untuk menjamin pasokan
pangan yang stabil antar waktu di setiap tingkatan wilayah, menjaga stabilitas
harga pangan dan meningkatkan akses pangan kelompok masyarakat rawan
pangan transien khususnya pada daerah terisolir dan/dalam kondisi darurat karena
bencana maupun masyarakat rawan pangan kronis. Cadangan Pangan Pemerintah
Kabupaten Bandung pada Tahun 2010 sebanyak 30 ton. Cadangan Pangan
Masyarakat adalah cadangan pangan yang dikuasai atau dikelola oleh masyarakat
atau rumahtangga termasuk petani, koperasi, pedagang dan industri rumah tangga.
Salah satu bentuk kelembagaan cadangan pangan masyarakat adalah Lumbung
Pangan. Kabupaten Bandung sampai dengan akhir Tahun 2010 telah memiliki 10
kelompok Lumbung dan Pembangunan Lumbung DAK dan Lantai Jemur
sebanyak 5 (lima) buah.
39

Indeks Pembangunan Manusia


Indeks pembangunan manusia menjadi indikator penting untuk mengukur
keberhasilan dalam pembangunan kualitas manusia. IPM juga merupakan salah
satu ukuran kinerja daerah, khususnya dalam hal evaluasi terhadap pembangunan
kualitas hidup masyarakat. Pengukuran terhadap capaian pembangunan manusia
berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup yakni angka harapan hidup,
angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah serta pengeluaran per kapita
penduduk yang disesuaikan.
Indeks Pembangunan Manusia Kecamatan Soreang dalam kurun waktu
tahun 2012-2014 relatif mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 nilai IPM
Kecamatan Soreang mencapai 75,93 persen naik 0,24 poin dari tahun sebelumnya.
Demikian pula pada tahun 2014, IPM kembali naik secara signifikan sebesar 0,79
poin menjadi 76,72 persen. IPM di Kecamatan Soreang dalam tiga tahun terakhir
ini termasuk dalam kategori “menengah atas”. Hal tersebut ditunjukan dengan
nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bandung yang berada di
atas rata- rata nilai IPM Provinsi Jawa Barat. Tahun 2012, nilai IPM Kabupaten
Bandung bernilai 75,24.
Pada tahun 2014 angka melek huruf Kecamatan Soreang Kabupaten
Bandung berkisar 99,33 %. Artinya hampir seratus persen penduduk sudah
terbebas dari buta huruf. Rata- rata lama sekolah penduduk pada tahun yang sama
sekitar 8,67 tahun. Meskipun hampir seluruh penduduk sudah mengenyam
pendidikan hingga level Sekolah Dasar, tetapi belum semua penduduk mencapai
wajar Sembilan tahun. Segi kesehatan, nilai AHH Kecamatan Soreang Kabupaten
Bandung pada tahun 2014 bernilai 71,96 dengan indeks kesehatan bernilai 78,27,
maka kecamatan ini sudah termasuk kategori sanitasi baik. Secara keseluruhan
nilai indeks tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Hal ini
menggambarkan bahwa kualitas kehidupan penduduk Soreang semakin baik.
Tabel 13. Indikator dan indeks pembangunan manusia Kecamatan Soreang tahun
2013-2014
No Indikator 2013 2014
1 Angka Harapan Hidup (AHH) 71,11 71,96
2 Angka Melek Huruf (AMH) 99,40 99,33
3 Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 8,32 8,68
4 Daya beli 648,38 647,31
5 Indeks kesehatan 76,85 78,27
6 Indeks pendidikan 84,76 85,51
7 Indeks daya beli 66,18 66,40
8 Indeks pembangunan manusia 75,93 76,72

Kemampuan daya beli penduduk diukur dengan indikator rata-rata


pengeluaran perkapita riil yang disesuaikan. Pada tahun 2014 daya beli penduduk
Kecamatan Soreang mencapai 647,31 ribu rupiah perkapita, meningkat dibanding
tahun sebelumnya yang mencapai 646,38 ribu rupiah. Sementara itu indeks daya
beli menunjukan daya beli Kecamatan Soreang pada tahun 2014 mengalami
peningkatan dari 66,18 di tahun 2013 menjadi 66,40. Posisi daya beli penduduk
Kecamatan Soreang secara relatif lebih tinggi dibanding dengan daya beli
penduduk Kabupaten Bandung baik pada tahun 2013 maupun di tahun 2014.
40

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Indeks dan Status Keberlanjutan Usahatani Kecamatan Soreang

Hasil analisis Rap-Farm menunjukkan bahwa usahatani padi sawah di


Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung memiliki nilai indeks keberlanjutan
sebesar 49,07, sehingga status kerberlanjutan berkategorikan kurang
berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan tersebut dihasilkan berdasarkan
penilaian terhadap atribut yang tercakup dalam 5 dimensi keberlanjutan, antara
lain: dimensi ekologi (11 atribut), dimensi ekonomi (10 atribut), dimensi sosial-
budaya (10 atribut), dimensi teknologi-infrastuktur (8 atribut), dan dimensi
hukum-kelembagaan (9 atribut).

Ekologi Dimensi Indeks Status


100
90
80 Ekologi 49,02 Kurang
70
60 49,02
50 Ekonomi 55,16 Cukup
Teknologi- 40
30 Ekonomi
Infrastruktur 44,57 20 55,16 Sosial-Budaya 45,87 Kurang
10
0
Teknologi-
44,57 Kurang
Infrastruktur
45,87 50,74
Hukum-
Hukum-
Sosial-Budaya
50,73 Cukup
Kelembagaan Kelembagaan
Keberlanjutan Multidimensi 49,07 Kurang
Gambar 9. Indeks dan status keberlanjutan usahatani padi sawah di kecamatan
Soreang Kabupaten Bandung

Dimensi ekologi, sosial-budaya, dan teknologi-infrastruktur perlu


diprioritaskan pengelolaannya sehingga statusnya dapat ditingkatkan menjadi
cukup berkelanjutan. Meningkatkan nilai indeks pada masing-masing dimensi
pengelolaannya pada tiap atribut-atribut sensitif yang berpengaruh terhadap
keberlanjutan. Besarnya kesenjangan potensi produksi dari hasil penelitian dengan
hasil di lapangan yang diperoleh oleh petani, faktor dominan penyebabnya adalah
rendahnya penerapan teknologi budidaya.
Pemahaman dan penguasaan paket teknologi baru yang kurang dapat
dipahami oleh petani secara utuh, seperti penggunaan pupuk yang tidak tepat,
bibit unggul dan cara pemeliharaan yang diterapkan petani belum optimal karena
lemahnya sosialisasi teknologi, sistem pembinaan serta lemahnya modal usaha
petani itu sendiri. Cara budidaya petani yang menerapkan budidaya konvensional
dan kurang inovatif, seperti kecenderungan menggunakan input pupuk dan
pestisida kimia anorganik yang terus menerus, tidak menggunakan pergiliran
tanaman, dan kurangnya ketersediaan air irigasi menyebabkan kehilangan pasca
panen yang masih tinggi 15 – 20 %.
Rendahnya produktivitas yang mengancam kelangsungan usaha tani dan
daya saing di pasaran terus menurun menyebabkan turunnya minat petani untuk
mengembangkan usahatani padi, sehingga dalam skala luas mempengaruhi
ketahanan pangan suatu daerah. Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi
41

peningkatan produksi pangan justru menghadapi masalah bahaya latent yaitu laju
peningkatan produksi di daerah yang terus menurun. Sudah pasti jika tidak ada
upaya untuk meningkatkan produksi pangan akan menimbulkan masalah antara
kebutuhan dan ketersediaan dengan kesenjangan semakin melebar.

Analisis Statistik Nilai Indeks Keberlanjutan Usahatani Kecamatan Soreang

Tabel 14. Parameter statistik (goodness of fit) analisis indeks keberlanjutan


usahatani padi sawah
Dimensi
Parameter
Sosial- Teknologi- Hukum- Rataan
Statistik Ekologi Ekonomi
Budaya Infrastruktur Kelembagaan
Stress 0,18 0,18 0,16 0,18 0,15 0,17
R2 0,90 0,88 0,88 0,90 0,92 0,90

Nilai stress analisis MDS masing-masing dimensi dan rataannya memiliki


nilai < 0.25 dimana semakin kecil nilai stress maka output analisis MDS semakin
baik. Koefisien determinasi (R2) pada setiap dimensi dan rataannya memiliki nilai
yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai yang mendekati 1.
Berdasarkan kedua parameter statistik tersebut, disimpulkan bahwa seluruh atribut
yang digunakan pada setiap dimensi mampu menggambarkan keberlanjutan
usahatani padi sawah.
Hasil analisis Monte Carlo (Tabel 15) menunjukkan perbedaan nilai yang
kecil antara nilai indeks keberlanjutan MDS dan Monte Carlo pada selang
kepercayaan 95 persen. Perbedaan nilai yang kecil tersebut, menunjukkan: (1)
kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil, (2) variasi pemberian
skor akibat perbedaan opini relatif kecil, (3) stabilnya proses analisis MDS yang
berulang, dan (4) kesalahan pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari.
Perbedaan ini juga menunjukkan bahwa analisis yang dikaji memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi. Beberapa parameter hasil uji statistik ini menunjukkan
bahwa metode Rap-Rice cukup baik untuk dipergunakan sebagai salah satu alat
evaluasi keberlanjutan usahatani padi sawah secara kuantitatif dan cepat (rapid
appraisal).
Tabel 15. Hasil analisis Monte Carlo nilai RAP-RICE pada selang kepercayaan
95 persen
Dimensi MDS Monte Carlo Selisih
Ekologi 49,02 49,01 0,01
Ekonomi 55,16 54,56 0,60
Sosial-Budaya 45,87 45,47 0,39
Teknologi-Infrastruktur 45,57 44,62 0,95
Hukum-Kelembagaan 50,73 49,73 1,00
Multidimensi 49,07 48,68 0,39
42

Status Keberlanjutan PerDesa di Kecamatan Soreang

Berdasarkan Tabel 17 hasil analisis Rap-Farm multidimensi menunjukkan


nilai indeks keberlanjutan usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang bervariasi.
Sebagian besar desa di Kecamatan Soreang memperoleh nilai ikb-rice berkisar
42,18 – 46,20 termasuk kategori kurang berkelanjutan diantaranya yaitu Desa
Sadu, Desa Sukajadi, Desa Panyirapan, Desa Pamekaran, Desa Parungserab, Desa
Sekarwangi, dan Desa Cingcin. Terdapat dua desa yang memperoleh nilai indeks
keberlanjutan diatas 50,01 yaitu Desa Karamatmulya dan Desa Soreang
digolongkan kedalam kategori cukup berkelanjutan. Desa Sukanagara
memperoleh nilai indeks terendah dibandingkan sembilan desa lainnya di
Kecamatan Soreang dengan perolehan nilai indeks keberlanjutan sebesar 35,59
termasuk kategori kurang berkelanjutan.

Tabel 16. Indeks keberlanjutan tiap desa di Kecamatan Soreang


Desa Ekologi Ekonomi Sosial- Teknologi- Hukum- Multidimensi
Budaya Infrastruktur Kelembagaan
Sukanagara 37,56 39,50 35,61 30,48 34,81 35,59
Sadu 50,81 41,60 45,00 50,78 40,48 45,73
Sukajadi 35,48 29,80 65,05 42,03 41,96 42,86
Panyirapan 51,69 40,66 40,55 29,03 40,48 40,48
Karmatmulya 46,37 55,25 36,42 68,01 65,33 54,28
Soreang 42,77 53,54 46,14 50,93 79,13 54,50
Pamekaran 46,62 44,88 38,81 45,81 53,54 45,93
Parungserab 41,16 49,26 46,49 30,35 63,73 46,20
Sekarwangi 39,19 53,30 45,02 29,17 44,22 42,18
Cingcin 45,71 38,73 30,61 51,95 51,41 43,68
Desa Karamatmulya dan Desa Soreang secara multidimensi termasuk
kategori cukup berkelanjutan, namun hasil analisis Rap-Farm menunjukkan pada
dimensi ekologi dan dimensi sosial-budaya masih termasuk kurang berkelanjutan,
hal ini ditunjukkan dengan nilai indeks dibawah 50,00. Nilai indeks keberlanjutan
untuk dimensi ekologi tertinggi diperoleh Desa Panyirapan sebesar 51,69
tergolong cukup berkelanjutan namun secara multidimensi Desa Panyirapan
masih termasuk kategori kurang berkelanjutan. Hal ini serupa pada Desa Sukajadi
yang memperoleh nilai indeks keberlanjutan tertinggi untuk dimensi sosial-
budaya sebesar 65,05 tergolong cukup berkelanjutan, namun secara multidimensi
Desa Sukajadi masih termasuk kategori kurang berkelanjutan.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa, meskipun nilai indeks
keberlanjutan multidimensi tergolong kategori cukup berkelanjutan belum tentu
secara keseluruhan kelima dimensi yang diamati memiliki nilai ikb-rice tergolong
cukup berkelanjutan. Hal ini dikarenakan untuk memperoleh status keberlanjutan
cukup berkelanjutan secara multidimensi, diperlukan lima dimensi yang
mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan multidimensi suatu desa atau
kecamatan. Oleh karena itu diperlukan pengembangan dan peningkatan tidak
hanya pada dimensi tertentu tetapi secara keseluruhan/holistik pada tiap dimensi
agar nilai indeks keberlanjutan multidimensi menjadi lebih baik.
Desa Soreang merupakan bagian dari Kecamatan Soreang Kabupaten
Bandung dengan Luas Wilayah sebesar 231,070 Ha, dengan ketinggian wilayah
72,4 mdpl, sehingga Desa Soreang merupakan daerah dataran rendah dengan
43

tanah sawah yang masih luas. Kondisi Sosial dan Budaya Desa Soreang
menunjukkan profil masyarakat semi perkotaan terdiri dari 5.193 KK dengan
jumlah penduduk sebanyak 18.192 jiwa.. Hal tersebut dapat dilihat dari : (a)
Usaha ekonomi masyarakat yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai wiraswasta sebanyak 5.357; (b) karakteristik Sosial Budaya
masih relatif homogen dengan masih terpeliharanya ikatan hubungan
kekeluargaan, gotong royong dan perkembangan budaya yang seiring sejalan
antara budaya lokal dan budaya non lokal; (c) dari sisi kualitas dan taraf
pendidikan, tersedianya sarana prasarana pendidikan baik pendidikan formal
maupun informal serta kebijakan dan program pemerintah dalam bidang
pendidikan telah memberikan dampak signifikan dalam meningkatkan taraf
pendidikan masyarakat Desa Soreang sehingga angka Buta huruf, aksara dan buta
tulis semakin menurun dan tingkat perkembangan masyarakat yang lulus Wajar
Dikdas 9 tahun semakin meningkat. Paling banyak tingkat pendidikan penduduk
di wilayah Desa Soreang adalah tamatan SD yang berjumlah 3.937 orang.
Secara ekonomi, masyarakat Desa Soreang pada umumnya bergerak dalam
bidang pertanian, industri kecil menengah, dan perdagangan sehingga secara
pendapatan masyarakat sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
dan tingkat daya beli masyarakat cukup baik. Akan tetapi sebagian masyarakat
masih ada yang hidup dengan taraf penghasilan rendah dikarenakan tingkat
pendidikan yang rendah, kurang mampu bersaing, dan kurangnya keterampilan
yang dimiliki. Guna menekan angka masyarakat berpenghasilan rendah, Desa
Soreang berusaha memberikan bantuan-bantuan baik bantuan material ataupun
inmaterial. Beberapa hal yang dilakukan diantaranya melalui program bantuan
dari Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah yang bersifat bantuan material
seperti BLT, Raskin, Jamkesmas, RTLH ataupun bantuan inmaterial seperti
pelatihan-pelatihan keterampilan masyarakat.
Jumlah total rumah tangga petani sebanyak 1677 keluarga, dengan jumlah
penduduk yang mempunyai kepemilikan tanah sebagai lahan pertanian sebanyak
119 keluarga, dari jumlah rumah tangga petani yang memiliki kurang 1 ha
sebanyak 80 keluarga dan jumlah rumah tangga petani yang memiliki 1 – 5 ha
sebanyak 39 keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa
Soreang merupakan buruh tani yang tidak memiliki lahan pertanian sebanyak
1732 laki-laki dan 778 perempuan sedangkan jumlah penduduk yang berprofesi
petani sebanyak 68 laki-laki dan 51 perempuan. Komoditas pertanian yang
ditanam selama ini hanya terfokuskan pada tanaman padi, dengan hasil rata-rata 4
ton/Ha. Luas areal sawah pada tahun 2014 adalah 157,65 ha yang seluruhnya
dialiri oleh saluran irigasi teknis dengan total produksi sebesar 8.467,32 kw.
Kondisi Pembangunan di Wilayah Desa Soreang telah berkembang secara
pesat, hal ini dikarenakan letak wilayah Desa Soreang yang berdekatan dengan
Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung sehingga Desa Soreang harus mampu
menjadi etalase Pemerintah Kabupaten Bandung. Perkembangan infrastruktur
Desa Soreang yang berkembang pesat merupakan aplikasi dari program-program
pembangunan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah Propinsi,
maupun Pemerintah Pusat melalui program Pembangunan Desa seperti ADPD,
P4, BAN-GUB, PPIP, dan sebagainya.
Jalan merupakan salah satu prasarana transportasi yang sangat penting.
Panjang jalan yang ada atau melintas di Wilayah Desa Soreang sepanjang 12 Km
44

dengan kondisi jalan yang baik sebesar 90 % dan 10 % rusak. Dengan kondisi
tersebut, maka prasarana transportasi di wilayah Desa Soreang sudah cukup baik
dan mampu menopang segala kegiatan masyarakat Desa. Jaringan komunikasi di
Desa Soreang sudah terjangkau oleh jaringan selular dan juga saluran
konvensional telkom sehingga komunikasi masyarakat sudah tidak mengalami
kendala. Jaringan listrik di Desa Soreang sudah 100% terpenuhi, adapun sebagian
kecil masyarakat masih mendapatkan pasokan listrik dengan cara menumpang
kepada masyarakat sekitarnya yang telah menjadi pelanggan jasa listrik.
Kelembagaan Pemerintahan Desa Soreang di Pimpin oleh Kepala Desa
dan dibantu oleh Sekretaris Desa, 5 orang Kepala Seksi, 2 orang Kepala Urusan, 4
orang Kepala Dusun, 1 orang Bendahara, dan 2 orang Staf Desa. Sarana
Pemerintahan dan sarana umum yang terdapat di Desa Soreang adalah Kantor
Desa, Kantor BPD, Kantor LPMD, Kantor PKK, Kantor MUI Desa dengan
ditunjang oleh kelengkapan administrasi dan peralatannya yang sudah cukup
memadai. Kantor BKP3 (Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan)
terletak di komplek perkantoran Pemkab Bandung, Jalan Raya Soreang km.17
Bandung UPT (Unit Pelaksana Teknis) Soreang.
Desa Sukanagara memiliki luas wilayah sebesar 382,00 Ha, dengan
presentase terhadap luas Kecamatan Soreang sebesar 15,75%. Jumlah penduduk
pada tahun 2014 sebanyak 5.218 orang. Komposisi penduduk yang bekerja pada
sektor pertanian pangan sebanyak 376 orang, perkebunan 755 orang, peternakan
383 orang, dan pertanian lainnya 614 orang, sisanya bekerja pada lapangan usaha
lain. Jumlah penduduk yang tidak bekerja cukup banyak yaitu 92 orang dan
jumlah penduduk yang mencari pekerjaan sebanyak 62 orang. Rata-rata penduduk
Desa Sukanagara tamatan SMP sebanyak 841 orang dan tamatan SD sebanyak
753 orang. Angka putus sekolah di Desa Sukanagara cukup tinggi yaitu sebanyak
306 orang dengan 78 orang putus SMP, 152 orang putus SMA, dan 76 orang
putus kuliah. Penduduk buta huruf usia 15 tahun ke atas yang tidak bisa membaca
dan menulis sebanyak 114 orang. Hal ini mengakibatkan pada dimensi sosial-
budaya Desa Sukanagara dikategorikan kurang berkelanjutan.
Luas lahan sawah Desa Sukanagara pada tahun 2013 sebanyak 137,16 Ha
dengan total produksi padi sebanyak 6.871,88 kwintal. Sebagian besar areal sawah
ketersediaan airnya mengandalkan tadah hujan karena di Desa Sukanagara ini sulit
memperoleh air. Pengadaan sarana produksi pertanian seperti benih bersertifikat,
pupuk subsidi, dan pestisida masih belum terjangkau oleh petani padahal potensi
Desa Sukanagara baik untuk pertanaman padi sawah mengingat sebagian besar
lahannya sesuai dengan tata guna lahan dan tanahnya subur (>0,51% dan pH
netral antara 7,1 - 7,5).
Jarak dari Desa Sukanagara ke kantor Kecamatan Soreang dan Ibukota
Kabupaten Bandung adalah 4 km. Secara infrastruktur kondisi jalan masih belom
baik banyak jalan lubang rusak yang ditemui padahal jarak dari desa ke kantor
pemerintah pusat sangat dekat, oleh karena itu perlu perhatian serius untuk
memperbaiki kondisi infrastruktur. Jumlah kelompok tani di Desa Sukanagara
sebanyak 10 kelompok namun tidak berjalan optimal.
45

Atribut Sensitif Usahatani Kecamatan Soreang

Dimensi Ekologi

Status keberlanjutan dimensi ekologi dihasilkan berdasarkan penilaian 11


atribut keberlanjutan. Atribut-atribut keberlanjutan tersebut, antara lain: (1)
ketersediaan air, (2) pengadaaan benih bersertifikat, (3) kesesuaiaan lahan dengan
tata guna lahan, (4) lahan (kesuburan tanah), (5) bebas serangan hama dan
penyakit, (6) pemakaian pupuk kimia, (7) pemakaian pestisida kimia, (8)
penggunaan bahan organik dan pemanfaatan limbah pertanian, (9) kesesuaian
kondisi agroklimat dengan komoditas, (10) tingkat produksi pertanian, (11) rata-
rata kepemilikan luas lahan petani. Hasil penilaian atribut-atribut keberlanjutan
dimensi ekologi tercantum pada Lampiran 1.

Rata-rata kepemilikan luas lahan petani 1,81


Tingkat produksi pertanian 1,52
Kesesuaian kondisi agroklimat dengan… 2,23
Penggunaan bahan organik dan… 2,86
Pemakaian pestisida kimia 3,59
Atribut

Pemakaian pupuk kimia 1,80


Bebas serangan hama dan penyakit 2,21
Lahan (kesuburan tanah) 3,13
Kesesuaian lahan dengan tata guna lahan 2,49
Pengadaan benih bersertifikat 1,59
Ketersediaan air 1,40

0 1 2 3 4
Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan

Gambar 10. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi


usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung
Hasil analisis leverage dimensi ekologi (Gambar 10), menunjukkan dari
11 atribut yang dianalisis terdapat 5 atribut sensitif berpengaruh terhadap
usahatani padi sawah. Penentuan 5 atribut sensitif tersebut, ditentukan dengan
cara memilah atribut yang memiliki nilai perubahan root mean square (RMS)
lebih dari setengah skala nilai pada sumbu x. Kelima atribut sensitif terhadap
keberlanjutan tersebut, antara lain: (1) pemakaian pestisida kimia, (2) lahan
(kesuburan tanah), (3) penggunaan bahan organik dan pemanfaatan limbah
pertanian, (4) kesesuaian lahan dengan tata guna lahan, dan (5) bebas serangan
hama dan penyakit. Empat dari lima atribut sensitif tersebut memiliki keterkaitan
erat terhadap keberlanjutan ekologi, yaitu atribut pemakaian pestisida kimia, lahan
(kesuburan tanah), penggunaan bahan organik dan pemanfaatan limbah pertanian,
dan bebas serangan hama dan penyakit.
Kesesuian lahan menggambarkan tingkat kecocokan sebidang tanah lahan
untuk suatu penggunaan tertentu. Penilaian kesesuaian lahan disusun berdasarkan
persyaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh komoditas pertanian
yang bersangkutan, pengelolaan dan konservasi. Parameter minimum yang
46

dipakai dalam evaluasi lahan antara lain: kemiringan lereng, temperatur udara,
drainase, tekstur, alkalinitas, bahaya banjir (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).
Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan yang ada saat ini agar lebih
produktif dan lestari, baik secara kuantitas (luasan) maupun kualitas
(kesuburan/produktivitas).
Sistem pertanian modern yang merupakan high-intensive farming system
memberikan dampak negatif, karena untuk meningkatkan produksi diperlukan
perlakuan penambahan jumlah pestisida dan pupuk kimia. Pemakaian pupuk
kimia, alkali dan pestisida yang terus menerus menyebabkan tumpukan residu
yang melebihi daya dukung lingkungan yang jika tidak terurai akan menjadi
“racun tanah” dan tanah menjadi “sakit”. Akibat negatif tingginya penggunaan
input pertanian anorganik adalah timbulnya berbagai masalah seperti leveling off
(kelandaian peningkatan produktivitas), penurunan produktivitas tanah, rusaknya
keseimbangan ekosistem dan terganggunya kesehatan manusia (Andriyanto,
2013).
Pertanian yang berwawasan lingkungan adalah tindakan konservasi
melalui pertanian yang mengandalkan dan mempertahankan kelestarian
lingkungan. Pemanfaatan produk bioteknologi, seperti pupuk dan pestisida hayati
yang mengandung mikroba bersifat ramah lingkungan dapat mengurangi
pemakaian bahan kimia dari pupuk dan pestisida. Keseimbangan antara
pemasukan hara ke dalam tanah sawah dengan pengeluaran hara dalam bentuk
hasil panen, kehilangan hara oleh pelindihan (leaching), volatilisasi dan lain-lain
merupakan kunci kelestarian kesuburan lahan sawah.
Para penyuluh pertanian perlu memahami bahwa tanaman padi tidak saja
memerlukan hara yang cukup banyak dan seimbang guna mendukung
pertumbuhan tanaman yang optimal dan hasil panen yang maksimal, tetapi
tanaman juga mengambil atau menguras hara dari dalam tanah guna membentuk
hasil panen maupun jerami. Pengambilan hara dari dalam tanah sering diistilahkan
sebagai penambangan hara tanah oleh tanaman..
Banyaknya hara tanah yang terangkut oleh hasil panen tanaman
bergantung pada jenis tanaman, bentuk dan volume hasil panen. Hara tanah yang
terangkut oleh hasil panen padi dan tidak kembali ke dalam tanah untuk nitrogen
berkisar 75 kg N/ha, fosfor 14 kg P/ha, kalium 19 kg K/ha, calcium 1,5 kg Ca/ha,
magnesium 5 kg Mg/ha, dan sulfur 4 kg S/ha. Pemanenan secara terus-menerus
selama puluhan, ratusan, dan bahkan ribuan tahun tentu akan mengakibatkan
kurusnya tanah, apabila tidak dilakukan pemupukan. Tindakan pemupukan di
samping menyediakan hara bagi tanaman juga berfungsi memelihara kesuburan
tanah agar hara tidak habis terkuras oleh hasil panen (Sumarno, 2006).
Penggunaan mikroba sebagai pupuk hayati dapat membantu menyediakan
unsur hara yang lengkap bagi tanaman, meningkatkan aktivitas mikroorganisme
tanah dan juga sangat penting dalam memperbaiki struktur tanah. Sedangkan
pemakaian pestisida hayati diharapkan selain dapat menanggulangi serangan hama
dan penyakit dan mampu menjaga lingkungan tetap sehat. Semua upaya tersebut
pada akhirnya akan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui
pertanian yang berkelanjutan. Dengan demikian, atribut tersebut perlu
mendapatkan perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi
ekologi meningkat di masa yang akan datang.
47

Dimensi Eknomi

Status keberlanjutan dimensi ekonomi dihasilkan berdasarkan penilaian 10


atribut keberlanjutan. Atribut-atribut keberlanjutan tersebut, antara lain: (1)
perolehan keuntungan budidaya padi, (2) nilai tukar petani subsektor pangan padi
(NTPP), (3) kontribusi PAD untuk bidang pertanian, (4) fluktuasi harga, (5) rataan
penghasilan petani terhadap UMR, (6) transfer keuntungan dari usahatani padi, (7)
harga Gabah kering Giling (GKG) tingkat petani, (8) pasar produk usahatani padi,
(9) aksesibilitas pasar, (10) presentase penduduk miskin. Hasil penilaian atribut-
atribut keberlanjutan dimensi ekonomi tercantum pada Lampiran 1.

Presentasi penduduk miskin 0,88


Aksesibilitas pasar 1,58
Pasar produk usaha tani padi 2,49
Harga Gabah Kering (GKG) tingkat petani 2,76
Transfer keuntungan dari usaha tani padi 3,72
Rataan penghasilan petani relatif thd… 3,60
Atribut

Fluktuasi harga 3,41


Kontribusi terhadap PAD bidang… 2,59
Nilai tukar petani subsektor tanaman… 1,84
Keuntungan (profit) dalam budidaya… 1,67

0 1 2 3 4
Perubahan RMS jika salah satu atribut dihilangkan
Gambar 11. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi
usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung

Hasil analisis leverage dimensi ekonomi (Gambar 11), menunjukkan dari


10 atribut yang dianalisis terdapat 4 atribut sensitif berpengaruh terhadap
usahatani padi sawah. Keempat atribut sensitif terhadap keberlanjutan tersebut,
antara lain: (1) transfer keuntungan dari usahatani padi, (2) rataan penghasilan
petani relatif terhadap UMR Kabupaten Bandung, (3) Fluktuasi harga, dan (4)
Harga Gabah Kering (GKG) tingkat petani. Tiga dari empat atribut sensitif
tersebut memiliki keterkaitan erat terhadap keberlanjutan ekonomi, yaitu rataan
penghasilan petani relatif terhadap UMR, fluktuasi harga, dan Harga Gabah
Kering (GKG) tingkat petani.
Produsen beras pada umumnya tergolong petani subsisten dalam artian
bahwa petani padi sawah berperan sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen.
Produksi yang dijual ke pasar tergantung dari surplus konsumsi rumah tangga,
harga beras dan harga komoditas lain yang tidak dihasilkan oleh petani atau sering
diidentifikasi melalui nilai tukar beras.
Pendapatan usahatani adalah penerimaan yang diterima oleh petani dalam
bentuk keuntungan dari hasil penjualan produksi usahataninya. Penerimaan
didapat dari hasil pertanian dan non pertanian, sedangkan pengeluaran selain
untuk faktor produksi juga untuk berbagai keperluan sehari-hari. Harga yang
diterima petani atas padinya memiliki banyak ragam, hal ini dikarenakan
48

perbedaaan waktu panen, kualitas mutu padi yang dijual, Harga Kering Panen
(GKP), Harga Kering Giling (GKG) dan metode penjualan hasil padi yang
dilakukan (Andriyanto, 2013).
Melalui Impres No.9 Tahun 2002, pemerintah dengan sangat halus
merubah istilah Harga Dasar Gabah (HDG) menjadi Harga Dasar Gabah
Pembelian Pemerintah (HDPG) atau lebih dikenal dengan Harga Pembelian
Pemerintah (HPP). Perubahan ini sekilas tidak terlalu berbeda, akan tetapi
sebenarnya sangat mendasar. Dengan kebijakan HPP pemerintah hanya menjamin
harga gabah pada tingkat tertentu dilokasi yang telah ditetapkan, tidak lagi
menjamin harga gabah minimum di tingkat petani. HPP berlaku di gudang Bulog,
bukan di tingkat petani sebagaimana kebijakan HDG, sehingga tidak lagi
memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi padi (Pratiwi,
2008).
Untuk melindungi konsumen, pemerintah (Bulog) menetapkan harga
eceran tertinggi lokal. Untuk memenuhi permintaan pada suatu saat dan pada
suatu tempat, Bulog melakukan penyebaran persediaan di seluruh Indonesia.
Orientasi Bulog dalam distribusi pangan adalah harga, sesuai dengan tugas pokok
Bulog untuk menstabilkan harga. Penyediaan persediaan pangan oleh Bulog
memiliki tujuan yaitu menjaga variasi harga antar musim dan antar tempat
(Amang dan Sawit, 1999).
Harga dan pasokan pangan merupakan indikator strategis yang saling
terkait, yang dapat digunakan untuk mengetahui status distribusi pangan.
Fluktuasi harga pangan dapat menunjukkan gejala terganggunya distribusi pangan
yang mungkin disebabkan karena kurangnya pasokan atau meningkatnya
permintaan. Fluktuasi harga pangan dapat menyebabkan timbulnya gejolak sosial
dan mengakibatkan terganggunya kondisi sosial politik nasional. Untuk
menghindari terjadinya fluktuasi harga pangan diperlukan suatu sistem deteksi
dini serta kebijakan penanganan fluktuasi harga pangan yang cepat dan tepat.
Pada Tahun 2010 kegiatan analisis akses pangan di Kabupaten Bandung
belum dilaksanakan. Analisis akses pangan tersebut merupakan gabungan atau
komposit dari berbagai indikator yang sudah ditentukan, dimana indikator tersebut
bersifat tahunan yang meliputi indikator fisik, ekonomi dan sosial. Analisis situasi
akses pangan menggambarkan kondisi akses pangan di suatu wilayah tertentu,
seperti provinsi, kabupaten, kecamatan maupun wilayah desa. Untuk itu tahun-
tahun ke depan perlu dilakukan analisis akses pangan melalui pemantauan
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga (BKP3, 2011).
Terwujudnya Stabilitas harga dan pasokan pangan merupakan dampak dari
kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) khususnya
di wilayah gapoktan. Kegiatan Penguatan LDPM merupakan kegiatan stategis,
karena dimaksudkan untuk menjaga stabilisasi harga di tingkat petani pada saat
menghadapi panen raya dan meningkatkan akses pangan anggota Gapoktan pada
saat musim paceklik. Pada kegiatan Penguatan LDPM pelaporan dilakukan secara
berkala dan berjenjang mengenai perkembangan keuangan dan kegiatan dalam
pengelolaan usaha distribusi (jual beli gabah/beras/jagung) dan pengelolaan
cadangan pangan kepada Tim Teknis Kabupaten secara tertulis setiap bulan,
sedangkan laporan untuk kegiatan pembelian/penjualan, harga, sisa barang dan
pengadaan penyaluran cadangan pangan dilaporkan melalui SMS center setiap
49

minggu pada hari Senin ke Nomor 0813 808 29 555. Tim Teknis Kabupaten
membuat laporan kepada Tim Pembina BKPD Provinsi Jawa Barat setiap 2 bulan.
Hasil Kajian Rantai Pasokan dan Pemasaran Pangan Kabupaten Bandung
Tahun 2010 kerjasama antara Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana
Penyuluhan Kabupaten Bandung dengan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB
adalah sebagai berikut :
a. Indikator distribusi pangan mencakup persepsi pelaku pasar dan perubahan
harga pangan. Pelaku pasar mempersepsikan adanya kendala distribusi karena
infrastruktur jalan yang kurang baik, ketidakstabilan biaya operasional,
persaingan harga, serta ketidakstabilan stok.
b. Rantai pasokan pada komoditas beras dimulai dari produsen yang menjual
hasilnya ke pedagang pengumpul desa atau kecamatan. Kemudian pedagang
pengumpul desa/ kecamatan menjual sebagian berasnya ke grosir (33,05 %
dari total pasokan grosir), pasokan grosir sisanya dipenuhi dari grosir luar
daerah (66,95%). Dari grosir, beras dijual ke pedagang pengecer (41,12%),
swalayan/ toko (6,63%), konsumen (13%), dan sisanya dijual ke luar daerah
(39,25%).
Bentuk price policy yang lain pada beras yang masih berlaku hingga kini
adalah Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM
merupakan bagian dari general price subsidy yang digunakan pada saat harga
beras terlalu tinggi akibat excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara
pemotongan harga sekitar 10% – 15% di bawah harga pasar. Sedangkan OPK
merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan awal dari OPK
adalah penyaluran bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan
saat krisis tahun 1998 akibat tidak efektifnya OPM. OPK masih terus dilakukan
Bulog hingga sekarang dengan target masyarakat miskin. Tahun 2002, OPK
diubah namanya menjadi Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Program Raskin
juga masih terus dilakukan sebagai salah satu jaring pengaman sosial yang
volumenya semakin meningkat dari tahun ke tahun karena adanya kecenderungan
kenaikan harga beras di tingkat konsumen (Pratiwi, 2008).

Gambar 12. Pendistribusian beras melalui program Raskin di Kecamatan Soreang


50

Dimensi Sosial-Budaya

Status keberlanjutan dimensi sosial-budaya dihasilkan berdasarkan


penilaian 10 atribut keberlanjutan. Atribut-atribut keberlanjutan tersebut, antara
lain: (1) tingkat pertumbuhan penduduk, (2) tingkat pendidikan petani, (3)
pertumbuhan rumah tangga petani padi, (4) tingkat penyerapan tenaga kerja
pertanian, (5) pengetahuan dan dukungan terhadap pertanian, (6) frekuensi konflik
yang berkaitan dengan pertanian, (7) motivasi petani bertani, (8) alternatif usaha
selain usahatani padi, (9) alokasi waktu yang digunakan untuk usahatani, (10)
persepsi terhadap konversi lahan sawah. Hasil penilaian atribut-atribut
keberlanjutan dimensi ekonomi tercantum pada Lampiran 1.

Persepsi terhadap konversi lahan sawah 1,51


Alokasi waktu yang digunakan untuk… 2,16
Alternatif usaha selain usaha tani padi 3,16
Motivasi petani bertani 5,61
Frekuensi konflik yang berkaitan dengan… 4,77
Atribut

Pengetahuan dan dukungan terhadap… 4,80


Tingkat penyerapan tenaga kerja… 3,59
Pertumbuhan rumah tangga petani… 3,48
Tingkat pendidikan petani 2,53
Tingkat pertumbuhan penduduk 3,21

0 2 4 6
Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan
Gambar 13. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial-
budaya usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang kabupaten
Bandung

Hasil analisis leverage dimensi sosial-budaya (Gambar 13), menunjukkan


dari 10 atribut yang dianalisis terdapat 5 atribut sensitif berpengaruh terhadap
usahatani padi sawah. Kelima atribut sensitif terhadap keberlanjutan tersebut,
antara lain: (1) motivasi petani bertani, (2) pengetahuan dan dukungan terhadap
lingkungan pertanian, (3) frekuensi konflik pertanian, (4) tingkat penyerapan
tenaga kerja, dan (5) pertumbuhan rumah tangga petani. Tiga dari lima atribut
sensitif tersebut memiliki keterkaitan erat terhadap keberlanjutan sosial-budaya,
yaitu motivasi petani bertani, tingkat penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan
rumah tangga petani.
Sub-sektor tanaman pangan merupakan lapangan usaha yang menyerap
bagian terbesar tenaga kerja dan sangat dominan dalam mewarnai struktur
ketenagakerjaan sektor pertanian. Hampir seluruh penduduk di perdesaan bekerja
di subsektor tanaman pangan. Jumlah tenaga kerja pertanian penting untuk
usahatani padi, terutama padi sawah, karena usahatani padi sawah termasuk yang
intensif dan memerlukan tenaga kerja pertanian yang cukup tinggi. Penyerapan
tenaga kerja mengalami kecendurungan menurun. Berdasarkan Sensus Pertanian
jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kecamatan Soreang pada tahun 2013
51

tercatat sebanyak 2.420 rumah tangga, menurun sebesar 50,43 persen dari hasil
Sensus Pertanian 2003 yang tercatat sebanyak 4.882 rumah tangga.
Rumah tangga pertanian pengguna lahan dapat digolongkan ke dalam dua
kelompok besar yaitu rumah tangga petani gurem (rumah tangga usaha pertanian
pengguna lahan yang mengusai lahan kurang dari 0,50 hektar) dan rumah tangga
bukan petani gurem (rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan yang
menguasai lahan 0,50 hektar atau lebih). Hasil ST2013 menunjukkan bahwa
sebesar 4.789 rumah tangga bukan petani gurem dan 4.426 rumah tangga petani
gurem, mengalami penurunan sebesar 49,49 persen yaitu 2.419 rumah tangga
bukan petani gurem dan 60,10 persen yaitu 1.766 rumah tangga petani gurem.
Kemampuan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja sangat besar,
namun di sisi lain justru menjadi beban bagi sektor pertanian dalam meningkatkan
produktivitas tenaga kerjanya. Penurunan tenaga kerja pertanian ini, antara lain
disebabkan karena rendahnya insentif untuk berusahatani akibat tingginya biaya
produksi, harga output yang dihasilkan relatif rendah, dan pendapatan dari
usahatani padi relatif berfluktuasi serta tidak kontinyu dibanding usaha lainnya.
Penghasilan rata-rata tenaga sektor pertanian lebih rendah daripada sektor
industri dan jasa menjadi faktor utama penyebab sektor pertanian kurang diminati.
Generasi muda lebih tertarik pada sektor industri dan jasa yang pada umumnya
lebih menjanjikan jenjang karir yang lebih pasti. Hal ini secara tidak langsung
meruakan gambaran pemulihan sebagian petani yang tidak menghendaki generasi
penerusnya untuk menjadi petani juga. Selain itu banyak generasi muda dari
rumah tangga petani yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
menjalankan agribisnis, termasuk dari sisi kemampuan manajerial. Kondisi ini
diperparah dengan besarnya konversi lahan pertanian yang dapat menyebabkan
usaha pertanian tidak mencapai skala ekonomis.
Semakin muda umur petani, maka akan semakin semangat untuk
mengetahui hal baru, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk cepat
melakukan adopsi walaupun sebenarnya mereka belum berpengalaman soal
adopsi tersebut. Umur petani adalah salah satu faktor yang berkaitan erat dengan
kemampuan kerja dalam melaksanakan kegiatan usahatani. Umur dapat dijadikan
sebagai tolok ukur dalam melihat aktivitas seorang dalam bekerja dimana dengan
kondisi umur yang masih produktif maka kemungkinan besar seorang dapat bekerja
dengan baik dan maksimal.
Konflik antara industri dengan petani (masyarakat) pada umumnya terjadi
di ekotipe sawah, faktor pemicunya adalah limbah industri, perebutan air
permukaan dan air irigasi (terutama di musim kemarau), dan rendahnya
penyerapan tenaga kerja setempat. Konversi lahan pertanian terutama sawah
produktif telah menimbulkan dampak terhadap berkurangnya kapasitas produksi
beras yang mengancam ketahanan pangan secara nasional, menimbulkan masalah
lingkungan, juga lebih jauh menimbulkan masalah ketenagakerjaan bidang
pertanian. Pengetahuan inilah yang harus disadari oleh petani dan masyarakat agar
dukungan terhadap lingkungan pertanian meningkat.
Penerapan insentif yang diberikan pemerintah daerah ke masyarakat petani
tanaman padi dapat berupa: (1) kompensasi imbalan bagi petani yang tetap
memepertahankan lahan pertanian tanaman padi, (2) kemudahan kredit untuk
usaha tani, (3) kemudahan untuk mendapatkan sarana produksi pertanian seperti
bibit, pupuk dan pembasmi hama penyakit, dan (4) penyuluhan pertanian,
52

terutama tentang akibat perubahan pemanfaatan lahan pertanian bagi ketahanan


pangan nasional.
Meningkatkan kesejahteraan pelaku utama pertanian melalui
pemberdayaan petani dalam pengembangan agribisnis komoditas unggulan padi
dengan program penyuluhan, pendampingan pelaku utama pertanian diharapkan
dapat meningkatkan motivasi petani untuk bertani. Peningkatan profesionalisme
aparatur dan kualitas SDM tenaga penyuluh diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan dan dukungan petani masyarakat terhadap lingkungan pertanian yang
berkelanjutan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholder dan petani, kegiatan
sosialisasi yang secara khusus diselenggarakan dalam rangka perlindungan lahan
pertanian berkelanjutan belum pernah diadakan. Menurut Kepala Sub Seksi
Penatagunaan Tanah BPN Kabupaten Bandung, persoalan perlindungan lahan
pertanian berkelanjutan ini telah sering disampaikan kepada masyarakat dalam acara-
acara penyuluhan di desa-desa pada acara yang diadakan oleh BPN. Hal senada juga
disampaikan dari pihak Bappeda, bahwa acara sosialisasi secara khusus belum
pernah diadakan tetapi telah disisipkan pada setiap kesempatan pertemuan yang
diadakan oleh Bappeda.

Dimensi Teknologi-Infrastrukur

Status keberlanjutan dimensi teknologi-infrastruktur dihasilkan


berdasarkan penilaian 8 atribut keberlanjutan. Atribut-atribut keberlanjutan
tersebut, antara lain: (1) tingkat penerapan teknologi dalam budidaya, (2) tingkat
penguasaan teknologi dalam pasca panen, (3) ketersediaan sarana prasarana
usahatani, (4) akses terhadap perkembangan iptek, (5) kondisi jalan usahatani desa,
(6) saluran irigasi, (7) standarisasi mutu produk beras, (8) jenis sistem usaha
pertanian. Hasil penilaian atribut-atribut keberlanjutan dimensi tekonologi-
infrastruktur tercantum pada Lampiran 1.

Jenis usaha pertanian 1,86

Standarisasi mutu produk beras 3,44

Saluran irigasi 3,15


Atribut

Kondisi jalan usaha tani desa 4,49

Akses terhadap perkembangan iptek 4,37

Ketersediaan sarana prasarana usaha tani 3,49

Tingkat penguasaaan teknologi dalam… 2,68

Tingkat penerapan teknologi dalam… 2,23

0 1 2 3 4 5
Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan
Gambar 14. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi-
infrastruktur usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang Kabupaten
Bandung
53

Hasil analisis leverage dimensi teknologi-infrastruktur (Gambar 14),


menunjukkan dari 8 atribut yang dianalisis terdapat 4 atribut sensitif berpengaruh
terhadap usahatani padi sawah. Kelima atribut sensitif terhadap keberlanjutan
tersebut, antara lain: (1) kondisi jalan usahatani desa, (2) akses terhadap
perkembangan iptek, (3) ketersediaan sarana prasarana usahatani, (4) saluran
irigasi. Tiga dari empat atribut sensitif tersebut memiliki keterkaitan erat terhadap
keberlanjutan teknologi-infrastruktur, yaitu kondisi jalan usahatani desa,
ketersediaan sarana prasarana usahatani, dan saluran irigasi.
Sarana dan prasarana memiliki peranan yang penting sebagai penggerak
pembangunan pertanian. Hasil survey lapangan menunjukkan terdapat tiga desa
dari sepuluh desa di Kecamatan Soreang yang memiliki kondisi jalan usahatani
desa yang buruk diantaranya desa Karamatmulya, Sukajadi, dan Sadu. Akses
infrastruktur jalan yang tidak memadai akan menghambat distribusi pangan
sehingga berpengaruh pada harga pangan yang tinggi. Jika harga pangan tinggi
maka akses masyarakat terhadap pangan rendah.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 15. Kondisi jalan infrastruktur di kecamatan Soreang (a) desa
Karamatmulya, (b) Sukajadi, (c) Sadu, dan (d) Soreang
Salah satu prasarana pertanian yang memprihatinkan adalah jaringan
irigasi. Berdasarkan data kabupaten Bandung tahun 2012, dari 858 hektar luas
lahan sawah di Kecamatan Soreang terbagi menurut ketersediaan irigasinya yaitu
irigasi teknis sebanyak 541 hektar, irigasi setengah teknis sebanyak 237 hektar,
irigasi non-PU sebanyak 11 hektar, dan sawah tadah hujan sebanyak 69 hektar.
Kurangnya pembangunan waduk dan irigasi baru serta rusaknya jaringan irigasi
yang ada mengakibatkan daya dukung irigasi menurun. Kerusakan ini terutama
diakibatkan banjir dan erosi, kerusakan di daerah aliran sungai, serta kurangnya
pemeliharaan irigasi hingga ke tingkat usahatani. Sebagian besar desa Sukajadi
menjadi wilayah pertanian di Kecamatan Soreang yang tidak memiliki akses
54

jaringan irigasi sehingga untuk mengairi sawah mereka mengandalkan air tadah
hujan.
Akses terhadap listrik merupakan suatu indikator pendekatan yang baik
untuk kesejahteraan ekonomi dan peluang mata pencaharian yang lebih tinggi.
Berdasarkan data (BPK3) Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan,
kabupaten Bandung sebagian besar sudah mendapatkan akses listrik sebesar
95,65%. Namun di Kecamatan Soreang sendiri masih terdapat 394 rumah tangga
tanpa akses listrik, diantaranya desa Sekarwangi, Sukajadi, dan Sukanagara yang
masing-masing berjumlah 12, 350, dan 32 rumah tangga tanpa listrik. Hal ini akan
menganggu kegiatan perekonomian maupun mata pencaharian daerah. Jika
kesejahteraan penduduk rendah maka akses terhadap pemenuhan kebutuhan dasar
akan berkurang termasuk pangan, sehingga rentan terhadap kerawanan pangan.
Kementerian Pertanian melalui kewenangan yang dimilikinya melakukan
pengaturan dalam optimalisasi pemanfaatan prasarana dan sarana ini dengan
mengeluarkan berbagai regulasi. Selain itu melalui anggaran pembangunan yang
ada, telah dilakukan berbagai inisiatif awal untuk peningkatan kapasitas prasarana
dan sarana yang ada. Pembiayaan melalui Kementerian Pekerjaan Umum
dialokasikan untuk perbaikan dan pembangunan sarana irigasi sesuai
kewenangannya (primer dan sekunder). Sedangkan di Kementerian Pertanian
dilakukan perbaikan dan pembangunan irigasi di tingkat usahatani (tersier)
sekaligus bertindak sebagai fasilitator dan regulator dengan pokok kegiatan
mencakup pembinaan, fasilitasi, dan koordinasi.
Ketersediaan teknologi informasi membantu petani dalam memperoleh
informasi harga. Perolehan data dan informasi yang cepat, tepat, akurat, dan
berkesinambungan diperlukan untuk mengantisipasi timbulnya gejolak fluktuasi
harga. Oleh karena itu kabupaten Bandung memiliki satu orang petugas pemantau
harga yang harus mengumpulkan data harga dan pasokan komoditas pangan
strategis termasuk beras di kabupaten yang diperoleh dari pasar-pasar kecamatan
dan mengirimkan laporan harga setiap minggu melalui SMS Center (BKP3, 2011).
Informasi teknologi pertanian yang terdesiminasi sejak Tahun 2008 hingga Tahun
2010 masing-masing sebanyak 9 buah, yaitu informasi teknologi budidaya dan
pengolahan atau mencapai 100 persen. Komoditas yang diusahakan yaitu padi,
jagung, sayuran, buah-buahan, kopi, teh, cengkeh, tanaman hias dan tanaman
obat-obatan.

Dimensi Hukum-Kelembagaan

Status keberlanjutan dimensi teknologi-infrastruktur dihasilkan berdasarkan


penilaian 9 atribut keberlanjutan. Atribut-atribut keberlanjutan tersebut, antara
lain: (1) pemahaman dan implementasi kebijakan, (2) koordinasi antar instansi,
(3) lembaga keuangan mikro (bank, BPR, LKM), (4) penyuluh pertanian, (5)
keberadaan kelompok tani, (6) anggaran pemerintah daerah untuk sektor tanaman
padi, (7) jumlah penyaluran kredit (modal kerja dan investasi), (8) usahatani yang
berkelanjutan (terkait input, produksi dan pengolahan), (9) Peran BULOG dan
Badan Ketahanan Pangan (BPK3). Hasil penilaian atribut-atribut keberlanjutan
dimensi hukum-kelembagaan tercantum pada Lampiran 1.
55

Peran BULOG dan Badan Ketahanan… 2,01


Usaha tani yang berkelanjutan 4,50
Jumlah penyaluran kredit 6,38
Anggaran pemerintah daerah untuk… 5,35
Keberadaaan kelompok tani 6,30
Atribut

Penyuluh pertanian 6,44


Lembaga keuangan mikro (bank/kredit) 5,42
Koordinasi antar instansi 3,69
Pemahaman dan implementasi kebijakan 3,25

0 2 4 6 8
Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan
Gambar 16. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi hukum-
kelembagaan usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung

Hasil analisis leverage dimensi hukum-kelembagaan (Gambar 16),


menunjukkan dari 9 atribut yang dianalisis terdapat 3 atribut sensitif berpengaruh
terhadap usahatani padi sawah. Kelima atribut sensitif terhadap keberlanjutan
tersebut, antara lain: (1) penyuluhan pertanian, (2) jumlah penyaluran kredit, (3)
keberadaan kelompok tani. Dua dari tiga atribut sensitif tersebut memiliki
keterkaitan erat terhadap keberlanjutan hukum-kelembagaan, yaitu penyuluhan
pertanian dan keberadaan kelompok tani.
Peningkatan optimalisasi kelembagaan pemerintah merupakan strategi
kebijakan yang penting. Peran kelembagaan pemerintah sangat diperlukan oleh
petani, terutama dalam penyuluhan dan pendampingan penerapan teknologi, baik
pada teknologi budidaya, pengolahan, maupun manajemen usahatani. Dari hasil
leverage analysis keberlanjutan, diketahui bahwa keberadaan kelembagaan
pemerintah mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan tingkat
keberlanjutan sistem ketersediaan padi, di antaranya adalah keberadaan lembaga
keuangan mikro, penyuluhan pertanian, dan keberadaan kelompok tani. Oleh
karena itu, keberadaan lembaga pemerintah perlu diberdayakan atau kinerjanya
lebih dioptimalkan lagi.
Adanya kelompok tani, para petani dapat bersama-sama memecahkan
permasalahan yang antara lain berupa pemenuhan sarana produksi pertanian,
teknis produksi dan pemasaran hasil. Pentingnya pembinaan petani dengan
pendekatan kelompok merupakan salah satu syarat pelancar pembagunan
pertanian adalah adanya kegiatan petani yang tergabung dalam kelompok tani.
Mengembangkan kelompok tani adalah berarti membangun kemauan, dan
kepercayaan pada diri sendiri agar dapat terlibat secara aktif dalam pembagunan.
Disamping itu agar mereka dapat bergerak secara metodis, berdayaguna, dan
terorganisir (Andriyanto, 2013).
Penyuluh pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama dan
pelaku usaha pertanian agar mereka mau dan mampu menolong dan
mengorganisir dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan
dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas,
56

efesiensi usaha, perndapatan dan kesajahteraan, meningkatkan kesadaran serta


pelestarian lingkungan.
Program Penyuluhan pada mulai Tahun 2009 hingga 2010 dapat tersusun
sebanyak 32 buku atau sebesar 100 persen dari target 32 buku. Programa
Penyuluhan tersebut terdiri dari programa penyuluhan tingkat kecamatan
sebanyak 31 buku dan tingkat kabupaten sebanyak 1 buku. Rencana Kerja
Tahunan pada Tahun 2009 mencapai 145 buku atau sebesar 100 persen, yaitu
RKT penyuluhan yang disusun oleh 145 penyuluh PNS. Adapun Rencana Kerja
Tahunan pada Tahun 2010 mencapai 240 buku atau sebesar 100 persen, yaitu
RKT penyuluhan yang disusun oleh penyuluh PNS dan Tenaga Harian Lepas –
Tenaga Bantu Penyuluhan Pertanian (THL-TBPP).
Permodalan petani merupakan faktor yang mendukung keberhasilan
pengembangan usahatani. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dengan
memfokuskan kegiatannya pada Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan
(PUAP) serta penguatan Lembaga Kredit Mandiri Agribisnis (LKMA) yang
pengembangannya sejalan dengan program PUAP. Inisiatif lainnya dalam
membantu pembiayaan usahatani adalah melalui subsidi bunga kredit melalui
program seperti Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) dan skema kredit
dengan penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pengembangan skema kredit
dengan subsidi suku bunga dilakukan agar suku bunga beban petani lebih rendah.
Untuk melindungi petani dari kegagalan usaha juga telah diinisiasi pengembangan
asuransi pertanian, yang dalam tiga tahun terakhir telah dilakukan dalam bentuk
pilot project di berbagai lokasi.
Namun demikian skema kredit tersebut belum mampu mengatasi
permodalan petani dan dukungan perbankan belum memberikan kontribusi yang
optimal bagi petani. Hal ini disebabkan antara lain sumber dana sepenuhnya dari
bank dan risiko ditanggung bank, oleh karena itu perbankan menerapkan
prudential perbankan. Dampak dari penerapan prudential perbankan dirasakan
petani seperti sulinya akses permodalan, persyaratan yang dianggap rumit dan
waktu yang lama, masih diperlukan jaminan tambahan yang memberatkan petani
berupa sertifikat lahan, terbatasnya sosilaisasi dan informasi keberadaan skema
kredit serta terbatasnya pendampingan dan pengawalan petani yang membutuhkan
permodalan dari perbankan.
Kondisi petani secara umum memiliki lahan sempit, skala usaha kecil dan
letaknya yang menyebar dan lebih banyak sebagai buruh tani sehingga lebih
mudah dilayani oleh pelepas uang/sumber modal non formal meskipun suku
bunga tinggi tetapi waktu perolehannya lebih cepat. Dengan terbatasnya
pembinaan, pengawalan dan pendampingan bagi petani yang mengajukan kredit
kepada perbankan untuk modal usahatani serta tingkat kemauan membayar
kembali kredit rendah merupakan salah satu faktor penghambat perbankan dalam
menyalurkan kredit kepada petani.
Dengan diterbitkannya Undang-undang nomor 19 tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, mengamanatkan bahwa Pemerintah
menugasi BUMN bidang perbankan dan pemda menugasi BUMD bidang
perbankan untuk melayani kebutuhan pembiyaan usahatani, dengan membentuk
unit khusus pertanian sehingga pelayanan kebutuhan pembiyaan dengan prosedur
mudah dan persyaratan lunak. Tentunya hal ini akan ditindaklanjuti untuk dapat
diimplentasikan sehingga petani mendapatkan kemudahan dalam mengkases
57

kredit perbankan. Usaha pertanian juga memiliki risiko yang tinggi baik dari
gangguan alam (banjir, kekeringan), serangan hama dan penyakit tanaman serta
tidak adanya jaminan harga dan pasar hasil produksi pertanian dapat diatasi
melalui pengembangan asuransi pertanian.

Faktor Kunci Usahatani Padi Sawah Kecamatan Soreang

Konsep pembangungan yang menselaraskan kepentingan lingkungan,


ekonomi, dan sosial merupakan konsep pembangunan yang telah diterima oleh
seluruh negara di dunia. Konsep pembangunan tersebut kemudian disebut dengan
konsep pembangunan berkelanjutan dengan tujuan menciptakan suatu kondisi
berkelanjutan (sustainable) sebagai suatu hasil dari proses pembangunan. Konsep
tersebut, memiliki kemiripan dengan konsep trilogi pembangunan yang
diimplementasikan pada masa pemerintahan orde baru. Trilogi pembangunan
mensyarakatkan bahwa pembangunan tidak hanya sebatas menciptakan
pertumbuhan ekonomi, akan tetapi juga harus memperhatikan aspek
pemerataan dan penciptaan stabilitas nasional.
Konsep pembangunan berkelanjutan bertujuan menciptakan keseimbangan
antara pertumbuhan ekonomi (dimensi ekonomi), pelestarian lingkungan (dirnensi
ekologi), pemerataan (dimensi sosial-budaya). Beberapa pendapat menambahkan
dimensi teknologi-infrastruktur (pengembangan dan penerapan teknologi pada
infrastruktur yang lebih baik), hukum-kelembagaan (pematuhan hukum dan
berfungsinya kelembagaan) bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.
Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan pada sistem nyata memerlukan
komitmen kuat pelaku utama sistem (stakeholders) untuk menjamin keberhasilan
pembangunan.
Analisis prospektif mampu mengeksplorasi kemungkinan masa depan
berdasarkan tujuan yang telah ditentukan. Tahap penentuan indeks dan status
keberlanjutan bertujuan memberikan gambaran keadaaan usahatani padi sawah
aktual (existing condition). Analisis prospektif bertujuan mempersiapkan tindakan
strategis di masa depan dengan cara menentukan faktor kunci yang berperan
penting terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.
Berdasarkan hasil analisis leverage pada masing-masing dimensi
keberlanjutan, diperoleh 21 atribut sensitif dari 5 dimensi keberlanjutan, antara
lain:
a. Dimensi ekologi: (1) pemakaian pestisida kimia, (2) lahan (kesuburan tanah),
(3) penggunaan bahan organik dan pemanfaatan limbah pertanian, (4)
kesesuaian lahan dengan tata guna lahan, dan (5) bebas serangan hama dan
penyakit.
b. Dimensi ekonomi: (1) transfer keuntungan dari usahatani padi, (2) rataan
penghasilan petani relatif terhadap UMR Kabupaten Bandung, (3) fluktuasi
harga, dan (4) Harga Gabah Kering (GKG) tingkat petani.
c. Dimensi sosial-budaya: (1) motivasi petani bertani, (2) pengetahuan dan
dukungan terhadap lingkungan pertanian, (3) frekuensi konflik pertanian, (4)
tingkat penyerapan tenaga kerja, dan (5) pertumbuhan rumah tangga petani.
d. Dimensi teknologi-infrastruktur: (1) kondisi jalan usahatani desa, (2) akses
terhadap perkembangan iptek, (3) ketersediaan sarana prasarana usahatani,
dan (4) saluran irigasi.
58

e. Dimensi hukum-kelembagaan: (1) penyuluhan pertanian, (2) jumlah


penyaluran kredit, dan (3) keberadaan kelompok tani.

2,50
Bebas serangan
hama dan penyakit
2,00 Penggunaan
Lahan (kesuburan
Kesesuaian lahan tanah)
bahan organik dan
dengan tata guna pemanfaatan
lahan limbah pertanian
Motivasi petani
1,50
Pengaruh

bertani Pemakaian
pestisida kimia

1,00
Pengetahuan
pertanian Transfer Pertumbuhan
keuntungan rumah tangga
Harga Gabah petani
0,50Kering (GKG) Saluran irigasi Penyerapan penghasilan petani
Ketersediaan
Kondisi jalan sarana prasarana tenaga kerja relatif
Akses terhadap Fluktuasi harga Keberadaan
Penyuluh Jumlah penyaluran kelompok tani
- iptek pertanian kredit
- 0,50
Frekuensi konflik
1,00 1,50 2,00 2,50 3,00
Ketergantungan
Gambar 17. Faktor kunci/dominan yang berpengaruh pada usahatani padi sawah
di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung

Atribut-atribut sensitif tersebut kemudian dinilai sehingga diperoleh hasil


penilaian berupa pengelompokan atribut pada empat kelompok kuadran
berdasarkan pada tingkat pengaruh dan ketergantungan atribut. Berdasarkan
penilaian 21 atribut sensitif tersebut, teridentifikasi 6 faktor kunci/dominan yang
memiliki berpengaruh kuat. Tiga faktor kunci diantaranya merupakan faktor kunci
yang mempunyai pengaruh kuat antar faktor walaupun dengan ketergantungan
yang kurang kuat, yaitu (1) kesesuaian lahan dengan tata guna lahan, (2) motivasi
petani bertani, dan (3) penggunaan bahan organik dan pemanfaatan limbah
pertanian. Sementara itu, tiga atribut lainnya merupakan faktor yang mempunyai
pengaruh dan ketergantungan yang kuat yaitu: (1) bebas serangan hama dan
penyakit, (2) lahan (kesuburan tanah), dan (3) pemakaian pestisida kimia. Dengan
demikian, keenam faktor tersebut perlu dikelola dengan baik di masa yang akan
datang agar keberlanjutan usahatani padi sawah dapat dipertahankan bahkan
ditingkatkan.

Deskripsi Masing-Masing Faktor Kunci

Revitalisasi pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk


menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan
konstektual, dalam arti menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan
kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional
dengan tidak mengabaikan sektor lain (Deptan, 2005). Penetapan lahan pertanian
abadi merupakan salah satu opsi kebijakan yang oleh sebagian pihak dianggap
paling tepat untuk mencegah proses alih fungsi lahan pertanian. Alih fungsi lahan
pertanian ke penggunaan non pertanian dilarang dengan suatu ketetapan Undang-
59

Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan


pertanian pangan berkelanjutan. Peraturan yang mendukung pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 tahun 2009 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011
tentang penetapan dan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 tahun 2012 tentang insentif perlindungan lahan pertanian
pangan berkelanjutan.
Pedoman yang digunakan oleh Kecamatan Soreang Pemda Kabupaten
Bandung dalam mengendalikan alih fungsi lahan sesuai peruntukan tata guna
lahannya adalah Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung, Kecamatan Soreang-
Kutawaringin-Katapang ditetapkan sebagai pola ruang untuk pengembangan
kawasan budidaya perdesaan/pertanian. Pengembangan wilayah pertanian
Soreang–Kutawaringin–Katapang meliputi pengembangan pertanian sawah irigasi
teknis sebagai lumbung padi Metropolitan Bandung. Jika dapat dilaksanakan secara
efektif maka konversi lahan di kawasan konservasi tersebut tidak akan terjadi.
Rendahnya mentalitas petani di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung
antara lain dicirikan oleh usaha pertanian yang berorientasi jangka pendek,
mengejar keuntungan sesaat, serta belum memiliki wawasan bisnis luas. Selain itu
banyak petani menjadi sangat tergantung pada bantuan/pemberian pemerintah.
Keterampilan petani yang rendah terkait dengan rendahnya pendidikan dan kurang
dikembangkannya kearifan lokal (indigenous knowledge).
Pengelolaan faktor kunci motivasi pertanian, mengacu pada rencana
strategis Kementerian Pertanian tahun 2015-2019 yaitu dilakukan melalui
berbagai upaya termasuk mengembangkan dan memperkenalkan teknologi yang
memberikan kemudahan bagi masyarakat tani baik laki-laki maupun perempuan,
khususnya golongan muda dalam melakukan produksi di tingkat on-farm dan off-
farm. Membangun pertanian dalam konteks industri yang syarat dengan inovasi
dan teknologi yang menangani hulu hingga hilir akan memberikan peluang yang
besar dalam menghasilkan aneka produk pertanian yang bernilai ekonomi tinggi.
Pendekatan bioindustri pertanian menjadi sangat penting dan strategis untuk
mewujudkan upaya tersebut. Selain itu, dibuka akses yang lebih besar pada
pemuda, terutama kepada yang telah menyelesaikan pendidikan di tingkat SLTA
atau perguruan tinggi untuk dapat membuka usaha di bidang pertanian. Dalam
meningkatkan keterampilan petani, telah dikembangkan Pusat Pelatihan Pertanian
dan Perdesaan Swadaya (P4S) sebagai lembaga milik petani yang secara langsung
berperan aktif dalam pembangunan pertanian melalui pengembangan sumberdaya
manusia pertanian dalam bentuk pelatihan, penyuluhan, dan pendidikan. Lembaga
pelatihan ini merupakan lembaga yang dimiliki dan dikelola oleh petani secara
swadaya baik perorangan maupun kelompok. Selain itu, dikembangkan pula
Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3) yang merupakan kegiatan
pendidikan moral dan sosial di dalam masyarakat, serta mempunyai kekuatan dan
potensi untuk dikembangkan sebagai penggerak pembangunan pedesaan.
Pengelolaan faktor kunci penggunaan bahan organik dan pemanfaatan
limbah pertanian, bebas serangan hama dan penyakit, lahan (kesuburan tanah),
dan pemakaian pestisida dilakukan melalui upaya penerapan pengelolaan tanaman
terpadu (PTT). PTT merupakan suatu strategi atau usaha untuk meningkatkan
produktivitas padi dan efisiensi input dengan memperhatikan penggunaan
sumberdaya alam secara baik. Sesuai dengan ketetapan Peraturan Menteri
Pertanian Permentan Nomor 48/Permentan/OT.140/10/2006 tentang budidaya
60

tanaman pangan yang baik dan benar atau Good Agriculture Practices (GAP)
meliputi penerapan teknologi yang ramah lingkungan, penjagaan kesehatan dan
peningkatan kesejahteraan pekerja, pencegahan penularan OPT dan menetapkan
prinsip traceability (suatu produk dapat ditelusuri asal-usulnya, dari pasar sampai
kebun). Tujuan GAP adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan mutu hasil tanaman pangan termasuk keamanan konsumsi
tanaman pangan;
2. Meningkatkan efisiensi produksi dan daya saing tanaman pangan;
3. Memperbaiki efisiensi penggunaan sumber daya alam;
4. Mempertahankan kesuburan lahan, kelestarian lingkungan dan sistem
produksi yang berkelanjutan;
5. Mendorong petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap mental yang
bertanggung jawab terhadap produk yang dihasilkan, kesehatan dan
keamanan diri dan lingkungan;
6. Meningkatkan peluang dan daya saing penerimaan oleh pasar internasional
maupun domestik;
7. Memberi jaminan keamanan terhadap konsumen
Penerapan PTT didasarkan pada 4 prinsip utama, yaitu:
1. Partisipatif: artinya PTT membutuhkan partisipasi berbagai pihak, baik
fasilitator atau petugas (Penyuluh, POPT, PBT, Widyaiswara, Peneliti)
maupun petani. Petugas mendorong partisipasi aktif petani pelaksana dalam
memilih dan menentukan teknologi yang akan diterapkan pada lahan
usahataninya serta mendorong agar petani dapat menguji teknologi
rekomendasi tersebut sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan petani
melalui proses pembelajaran,
2. Integrasi atau Terpadu: artinya PTT merupakan suatu keterpaduan
pengelolaan sumberdaya lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman
(OPT) dan iklim secara bijak untuk menjamin keberlanjutan proses produksi,
3. Dinamis atau Spesifik Lokasi: artinya PTT memperhatikan kesesuaian
teknologi yang dikembangkan dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial
ekonomi petani. Komponen teknologi di dalam PTT bukan “paket teknologi”
yang bersifat tetap, kaku atau “fixed” melainkan komponen teknologi yang
dikembangkan bersifat fl eksibel dan petani diberikan ruang dan kesempatan
untuk memilih, menentukan, menetapkan, mencoba, menguji, mengevaluasi
dan memperbaiki teknologi sesuai dengan permasalahan usahatani, kebutuhan
teknologi dan karakteristik sumberdaya (lahan, air, iklim, OPT, sosial
ekonomi, dan sosial budaya) setempat (spesifik lokasi) sehingga bersifat
dinamis.
4. Interaksi atau Sinergisme: artinya PTT memanfaatkan teknologi pertanian
terbaik yang dihasilkan, dimaksudkan mendapatkan efek sinergisme dari
interaksi akibat penerapan berbagai komponen teknologi PTT, baik tergolong
ke dalam teknologi dasar maupun tergolong ke dalam teknologi pilihan
(alternatif).
Secara rinci urutan anjuran teknologi padi pada PTT (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, 2009) adalah:
1. Penggunaan varietas padi unggul yang berdaya saing tinggi dan bernilai
ekonomi tinggi
2. Penggunaan benih bersertifikat dengan mutu bibit tinggi
61

3. Penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi


4. Penggunaan kompos bahan organik dan atau pupuk kandang sebagai pupuk
dan pembenah tanah
5. Pengelolaan bibit dan tanaman padi sehat melalui pengaturan tanam sistem
legowo, tegel, maupun sistem tebar benih langsung dengan tetap
mempertahankan populasi minimum, penanaman bibit muda 10 - 15 hari
sesudah sebar (HSS), pengaturan pengairan dan pengeringan berselang dan
pengendalian gulma
6. Pengendalian hama dan penyakit dengan pendekatan terpadu.
62

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Nilai indeks keberlanjutan usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang


kabupaten Bandung termasuk kategori kurang berkelanjutan dengan nilai
indeks sebesar 49,07. Hasil analisis terhadap setiap dimensi menunjukkan
bahwa dimensi ekonomi memiliki nilai indeks tertinggi (55,16/cukup
berkelanjutan), kemudian diikuti oleh dimensi hukum-kelembagaan
(50,73/cukup berkelanjutan), dimensi ekologi (49,02/kurang berkelanjutan),
dimensi sosial-budaya (45,87/kurang berkelanjutan), dan teknologi-
infrastruktur (44,57/kurang berkelanjutan). Hasil analisis leverage
menunjukkan terdapat 21 atribut sensitif berpengaruh terhadap keberlanjutan,
antara lain:
a. Dimensi ekologi: (1) pemakaian pestisida kimia, (2) lahan (kesuburan
tanah), (3) penggunaan bahan organik dan pemanfaatan limbah pertanian,
(4) kesesuaian lahan dengan tata guna lahan, dan (5) bebas serangan hama
dan penyakit.
b. Dimensi ekonomi: (1) transfer keuntungan dari usahatani padi, (2) rataan
penghasilan petani relatif terhadap UMR Kabupaten Bandung, (3)
Fluktuasi harga, dan (4) Harga Gabah Kering (GKG) tingkat petani.
c. Dimensi sosial-budaya: (1) motivasi petani bertani, (2) pengetahuan dan
dukungan terhadap lingkungan pertanian, (3) frekuensi konflik pertanian,
(4) tingkat penyerapan tenaga kerja, dan (5) pertumbuhan rumah tangga
petani.
d. Dimensi teknologi-infrastruktur: (1) kondisi jalan usahatani desa, (2) akses
terhadap perkembangan iptek, (3) ketersediaan sarana prasarana usahatani,
dan (4) saluran irigasi.
e. Dimensi hukum-kelembagaan: (1) penyuluhan pertanian, (2) jumlah
penyaluran kredit, dan (3) keberadaan kelompok tani.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa metode RAPRICE cukup baik
dipergunakan sebagai salah satu alat untuk mengevaluasi secara cepat (rapid
appraisal) keberlanjutan usahatani padi sawah.
2. Berdasarkan analisis prospektif (tingkat pengaruh-kepentingan) hasil
penggabungan existing condition (faktor penting bersumber dari atribut
sensitif analisis leverage) dan need analysis (faktor penting bersumber dari
kebutuhan stakeholder) diketahui enam faktor penting berpengaruh kuat,
antara lain: (1) kesesuaian lahan dengan tata guna lahan, (2) motivasi petani
bertani, dan (3) penggunaan bahan organik dan pemanfaatan limbah pertanian
(4) bebas serangan hama dan penyakit, (5) lahan (kesuburan tanah), dan (6)
pemakaian pestisida kimia.

Saran

1. Nilai indeks keberlanjutan usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang


Kabupaten Bandung yang termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan
perlu ditingkatkan menjadi berkelanjutan. Peningkatan status keberlanjutan
tersebut dilakukan dengan perbaikan atribut-atribut yang berfokus pada
63

perbaikan atribut-atribut sensitif. Pemberian skor pada analisis RAPRICE


yang menghasilkan nilai indeks keberlanjutan hanya menunjukkan kondisi
sesaat, sehingga dinamika yang terjadi tidak dapat digambarkan. Penilaian
dapat didasarkan pada perkembangan atribut dalam kurun waktu tertentu atau
perlu ditambahkan penerapan analisis tambahan yang mampu memberikan
gambaran dinamika yang berkelanjutan.
2. Terkait dengan pengembangan penelitian sejenis, atribut yang dipilih tidak
bersifat baku dan akan lebih baik jika atribut-atribut yang dipilih
menggambarkan kondisi terkini merujuk pada konsep usahatani padi
berkelanjutan spesifik lokasi suatu wilayah sehingga kedepannya dapat
dirumuskan model kebijakan yang tepat untuk mendukung ketahanan pangan.
3. Dalam rangka ketahanan pangan (swasembada beras) perlu adanya kerja
sama antar pelaku utama, pemerintah dan stakholder dalam rangka upaya
penerapan kebijakan pertanian Permentan Nomor
48/Permentan/OT.140/10/2006 tentang pengelolaan tanaman terpadu (Good
Agriculture Practices) yang mengarah pada ketahanan pangan dan
kesejahteraan petani.
64

DAFTAR PUSTAKA

Anang, B. Dan Sawit. 1999. Kebijakan Beras Dunia dan Permintaan Impor Beras
Indonesia serta Kebijakan Perberasan di Indonesia. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Andriyanto. 2013. Analisis Perbandingan Aspek Finansial Antara Aplikasi Pupuk
Kimia dan Pupuk Organik. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Amien, I. 1999. Kesesuaian Lahan dan Pemilihan Sistem Pertanian Berkelanjutan
dengan Sistem Pakar. Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani
Lahan Kering yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium Nasional Malang,
29-31 Agustus 1991. Bogor: Puslitanak. Hal. 64-71.
Arsyad, R. 2008. Penyelamatan Tanah Air dan Lingkungan. Crestpent Press dan
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Bourgeois, R and Jesus. 2004. Participatory Prospective Analysis, Exploring
and Anticipating Challenges with Stakeholders. Center for Alleviation
of Poverty through Secondery Crops Development in Asia and The
Pacific and French Agricultural Reasearch Center for Internasional
Development. Monograph (46) : 1 – 29.
Byron, J. 1988. On the Protection and Promotion of the Right to Food: An Ethical
Reflection. In B.W.J. LeMay (eds.), Sience, Ethics, and Food. Smithsonian
Institution Press, Washington, D.C. and International Rice Research
Institute, Manila, p.14-30
Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. 2013. RENSTRA Rencana
Strategis Kabupaten Bandung. Bandung.
Ermyanyla. 2013. Analisis Ekonomi Sumberdaya Lahan Usahatani Padi Sawah
Untuk Mendukung Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Garut.
Tesis. Institut Pertanian Bogor.
FAO. 1998. Guidelines for National Food Insecurity and Vulnerability
Information and Mapping Systems (FIVIMS): Background and Principles.
Committee on World Food Security CFS: 98/5, 24 th Session, 2-5 June 1998.
Food and Agriculture Organization, Rome.
Fatullah, A. 2010. Analisis Sistem Usaha Tani Padi Sehat (Suatu Perbandingan
Kasus: Desa Ciburuy Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor). Skripsi
Institut Pertanian Bogor.
Fauzi, A. dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Lautan
untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fauzi, A. 2002. Penilaian depresiasi sumberdaya perikanan sebagai bahan
pertimbangan penentuan kebijakan pembangunan perikanan. Jumal Pesisir
dan Lautan Vol. 4 (2). pp: 36-49.
Fisheries Centre. 2002. Attributes of Rapfish Analysis for Ecological,
Technological, Economic, Social and Ethical Evaluation Fields. Institute of
Social and Economic Research Press. St John’s Canada.
65

Greenland, D. 1997. The sustainability of rice farming. CAB International and


IRRI. CAB Int.Wallingford, United Kingdom.
Hadinata, C dan Sugiyanto. 2013. Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian dan
Alih Fungsi lahan Pertanian di Kabupaten Bandung. Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan
Kebijakan ITB 2 (2): 309 – 323.
Handayanto, E. 1999. Pengelolan Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian.
Universitas Brawijaya. Malang.
Harwood, R. 1987. Low input technologies for sustainable agricultural system. In:
V.W. Ruttan and C.E.Pray. (Eds.). Policy for Agricultural Research West
View Press., Boulder, Colorado, USA.
Hernanto, F. 1991. Ilmu Usahatani. Swadaya. Bogor.
Irawan, B dan Friyatno. 2002. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa terhadap
Produksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Journal Socio Economic of
Agriculturre and Agribusiness. 2:2002:33p.
Karama A, Abdurrachman. 1993. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya
Berwawasan Lingkungan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman
Pangan III. Puslitbangtan Tanaman Pangan dan Badan Litbang Deptan.
Kavanagh, P and Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software for
Rapfish : A Technique for The Rapid Appraisal of Fisheries Status.
University of British Columbia. Fisheries Centre Research Reports 12(2).
Kay, R and Alder J. 1999. Coastal Planning Management. New York (US): F &
FN Spon.
Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun
2015-2019. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/HK.
140/4/2015.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2010. Kegiatan Koordinasi
Kebijakan Pengelolaan dan Penyediaan Lahan untuk Pertanian. Laporan
Akhir. Jakarta: Kedeputian Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan,
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Lynam, K. 1994. Sustainable Growth in Agricultural Production: The links
between production, resources and research. The links between production,
resources and research, p.3-27. In: P. Goldsworthy and F.P. de Vries (Eds.).
Opportunities, use, and transfer of system research methodes in agriculture
to developing countries. Kluwer Academic Publisher, ISNARICASA.
London.
Manik, S. 2003. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan. Jakarta.
Marimin dan Maghfiroh. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam
Managemen Rantai Pasok. Bogor (ID): IPB Pr.
Maxwell, G. 1996. Measuring Food Insecurity: The Frequency and Severity of
Coping Strategies. The Frequency and Severity of Coping Strategies. Food
Policy 21 (3):291-303.
Menegristek. 2008. Padi. Jakarta: Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
66

Mulyaningrum. 2013. Tinjauan Kritis Kebijakan Legalitas Kayu di Hutan Rakyat


(Kasus di Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung, Kkonawe
Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, Buleleng Provinsi Bali, dan
Kulonprogo Provinsi DI Yogyakarta [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Nababan, Sari, dan Hermawan. 2008. Tinjauan Aspek Ekonomi Keberlanjutan
Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Buletin
Ekonomi Perikanan 8 (2).
Nasution, Z. 2007. Komunikasi Pembangunan (Pengenalan Teori dan
Penerapannya). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Nunung, T. 2009. Efektivitas Pelaksanaan AMDAL dan UK-UPL dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kabupaten Kudus.Program
Pascasarjana.Universitas Diponegoro Semarang.
Nurmalina, R. 2008. Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem
Ketersediaan Beras di Beberapa Wilayah Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi
26 (1) : 47-79.
Pasandaran, E. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah
Beririgasi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25 (4): 123 – 129.
Purba, S. dan Las I. 2002. Regionalisasi Opsi Strategi Peningkatan Produksi Beras.
Makalah disampaikan pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di
Sukamandi 22 Maret 2002.
Purnama, D. Sofiyah, V. 2010. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Universitas Terbuka. Jakarta.
Pitcher and Preikshot. 2001. Rapfish: A Rapid Appraisal Technique to Evaluate
The Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49 (2001) : 255-
270.
Rachman, Suhartini, dan Hardono. 2004. Prospek Ketahanan Pangan Nasional
(Analisis Dari Aspek Kemandirian Pangan). Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Raharjo, M. 2012. Memahami AMDAL. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Rao, N. and Rogers, P. 2006. Assessment of Agricultural Sustainability. Current
Science. 91 (41): 439 – 448.
Reinjtjes, B. dan Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian
Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Yogyakarta: Terjemahan
Karnisius.
Rosmawanti, N. dan Bahar. 2013. Model Formula Pada Pembobotan Akhir
Algoritma Analitical Hierarchy Process (AHP). Prosiding Seminar Nasional
2013 Menuju Masyarakat Madani dan Lestari ISBN: 978-979-98438-8-3:
615-624.
Rustan, D. 2016. Analisis Perhitungan Kebutuhan Optimum Traktor Roda Dua di
Kabupaten Bandung. Jurnal Teknotan Volume 10 No. 1.
Rustiadi, E. dan Reti. 2008. Urgensi Lahan Pertanian pangan Abadi dalam
Perspektif Ketahanan Pangan, dalam Arsyad,S dan E. Rustiadi (Ed),
Penyelamatan tanah, Air dan Lingkungan. Crestpent Press dan Yayasan
Obor Indonesia .p 61-86
Rustiadi, Saefulhakim, dan Panuju. 2009. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Bogor: CrestPent Press. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
67

Pratiwi, P. 2008. Efektifitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional.


Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Sabiham, S. 2008. Manajemen Sumberdaya Lahan dan Usaha Pertanian
Berkelanjutan, dalam Arsyad,S dan E. Rustiadi (Ed), Penyelamatan tanah,
Air dan Lingkungan. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia .p.3-16
Saaty. 1993. Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi
yang Komplek. Liana Setiono, penerjemah; Kirti Peniwati, editor. Jakarta
Pusat: PT Pustaka Binaman Pressindo.Terjemahan dari: Decision Making
for Leaders The Analitical Hierarchy Process for Decisions in Complex
World. Seri Manajemen No.134.
Sanchez, A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Bandung: Penerbit
Institut Teknologi Bandung.
Sen, A. 1981. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation.
Oxford University Press, Oxford.
Setiawan, I. 2006. Analisis Akses Desa-Desa di Kabupaten Bandung Terhadap
Sumber-Sumber Produktif. Universitas Padjadjaran.
Senoaji, G, 2010. Studi kesesuaian lahan untuk penentuan kawasan lindung di
hutan lindung Konak Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu, Jurnal Ilmu
Kehutanan Vol IV No.1-Januari 2010.
Simatupang, P. 1999. Toward Sustainable Food Security: The World to a New
Paradigm. In Simatupang, P.; Pasaribu, S.; Bakri, S.; and Stinger, B. (eds.).
Indonesia Economic Crisis: Effects on Agriculture and Policy Responses.
CASER-CIES University of Adelaide, Australia. P.141- 167.
Simatupang, P dan Irawan. 2003. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian:
Tinjauan Ulang Kebijakan Lahan Pertanian Abadi. Proseding Seminar
Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor 2 Oktober dan
Jakarta 25 Oktober 2002. ISBN 979-9474-20-5:67-83.
Simatupang, P. 2007. Analisis Kritis Terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar
Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi.
Volume 25 No. 1, Juli 2007 : 1 – 18.
Soekartawi. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Perkembangan Petani
Kecil. UI-Press: Jakarta.
Soekartawi. 2002. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis
Fungsi Cobb-Dauglas. Jakarta: Cetakan ketiga, Rajawali Press.
Soemarwoto, O. 2009. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Cet ke-13. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Sumarno. 2006. Sistem Produksi Padi Berkelanjutan dengan Penerapan Revolusi
Hijau Lestari. Buku I. Pros. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian.
Bogor, 14-15 September 2006.
Suratmo, G. 2002. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gajah Mada
University Press. Jogjakarta.
Suryana, A. 2005. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Andalan Pembangunan
Nasional. Makalah pada Seminar Sistem Pertanian Berkelanjutan untuk
Mendukung Pembangunan Nasional 15 Februari 2005. Universitas Sebelas
Maret Solo.
Susilo, S. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus
Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu DKI Jakarta.
[Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
68

Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan


Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius.
Suyitman, Herison, dan Muladno. 2009. Status Keberlanjutan Wilayah Berbasis
Peternakan di Kabupaten Situbondo untuk Pengembangan Kawasan
Agropolitan. Jurnal Agro Ekonomi 27 (2) : 165-191.
Timmer, P. 1997. Farmers and Markets: The Political Economy of New
Paradigms. American. Journal of Agricultural Economics 79(2):621-627.
Utomo, S, Ma’arif S, Sutjahjo, Sumardjo. 2011. Aplikasi Analitychal Hierarchy
Process (AHP) dalam penentuan alternatif pengelolaan lingkungan industri
komponen alat berat berbasis partisipasi dan kemitraan masyarakat. JPSL
Vol. (1) 2 : 56-61 Desember 2011.
Wildemuth, B. 2009. Application of Social Research Methods to Question in
Informan and Library Science. London (GB): Grennwood Publishing Group.
Yusni, Y. 2008. Pengembangan kebijakan AMDAL dalam mencegah kerusakan
lingkungan pada kegiatan usaha migas. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
69

LAMPIRAN
70

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung Propinsi Jawa Barat
pada tanggal 19 Juli 1990 sebagai anak pertama daru dua
bersaudara pasangan Bapak H. Haruji Satia Nugraha, Drs.,
M.Pd dan Ibu Hj Sussy Suminarsih. Pada tahun 1996,
penulis memulai pendidikan dasar di Sekolah Dasar
Negeri Gentra Masekdas, Bandung dan lulus pada tahun
2002. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah
Menengah Pertama Negeri 21 Bandung dan lulus pada
tahun 2005. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di
Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Bandung dan lulus pada
tahun 2008.
Pada tahun yang sama, penulis masuk sebagai salah satu mahasiswa
sarjana Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran melalui jalur Seleksi Masuk
Universitas Padjadjaran (SMUP). Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan
sarjana pada tahun 2012. Pada tahun berikutnya, penulis berkesempatan
meneruskan pendidikan magister di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan (PS-PSL) IPB setelah berhasil menjadi penerima Beasiswa
Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(BPP-DN DIKTI) calon dosen tahun 2013.
Selama masa kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi
kemahasiswaan intra kampus. Tercatat penulis pernah menjadi anggota Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian sebagai ketua departemen
pertanian tahun 2010. Penulis juga tercatat sebagai anggota komite bidang
pendidikan dan penalaran Himpunan Mahasiswa Agronomi tahun 2011, ketua
bidang biologi tanah Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah tahun 2012 dan sampai
sekarang dan anggota Forum Mahasiswa Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan IPB (Ecologica PSL IPB) tahun 2013-2015. Selain itu,
penulis aktif sebagai asisten peneliti pada berbagai kegiatan penelitian, panitia
kegiatan kemahasiswaan, dan peserta pada berbagai kegiatan seminar terkait
keilmuan penulis.

Anda mungkin juga menyukai