SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
ii
iii
RINGKASAN
(3) penggunaan bahan organik dan pemanfaatan limbah pertanian, (4) bebas
serangan hama dan penyakit, (5) lahan (kesuburan tanah), dan (6) pemakaian
pestisida kimia. Pengembangan usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang
memerlukan peningkatan nilai indeks keberlanjutan melalui pengelolaan dan
perbaikan 21 atribut sensitif dengan fokus pada perbaikan 6 faktor kunci
berpengaruh terhadap usahatani padi sawah.
SUMMARY
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
viii
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Desta Wirnas, SP. M.Si
x
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Tema yang dipilih
dalam tesis ini ialah usahatani padi sawah berkelanjutan, dengan judul Analisis
Keberlanjutan Usahatani Padi Sawah Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S.
selaku komisi pembimbing.
2. Desta Wirnas, SP. M.Si selaku penguji luar komisi.
3. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku moderator ujian tesis
4. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc. selaku Ketua Program Studi PSL
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, beserta segenap staf
pengajar dan staf manajemen PS PSL.
5. Kepala Desa/Sekretaris Desa masing-masing ditiap Kecamatan Soreang,
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bandung, Kepala Badan
Pusat Statistik, Pemda Kabupaten Bandung dan staf, atas bantuan dalam
penyediaan data dan fasilitas lainnya.
6. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas bantuan dana dalam
penyelesaian studi dan penelitian.
7. Ayahanda (Bapak Drs. H. Haruji Satia Nugraha, M.Pd.), Ibunda (Ibu Sussy
Suminarsih), Adik (Gita Puspa Ayu Amelia, S.Si.), dan seluruh keluarga
besar atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.
8. Sahabat-sahabat PSL, baik kelas reguler maupun khusus angkatan 2013 atas
dukungan dan kerjasamanya.
9. Semua pihak terkait lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang
telah memberikan bantuan, semangat, dan doa sehingga tesis ini dapat
diselesaikan.
Semoga bantuan, dukungan, dorongan dan perhatian dari semua pihak yang
telah diberikan dengan tulus kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari
Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga tesis ini mampu memberikan informasi dan
pengetahuan yang bermanfaat bagi pembacanya.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 7
Konsepsi Kemandirian dan Ketahanan Pangan 7
Tanaman Padi 10
Konsep Usahatani 11
Kendala dan Efisiensi Usahatani Padi Sawah 13
Kebijakan Beras Nasional 14
Usahatani Padi Sawah Berkelanjutan 15
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan 17
3 METODE 19
Tempat dan Waktu Penelitian 19
Jenis Data Penelitian 20
Teknik Penentuan Responden 20
Metode Pengumpulan Data 21
Metode Analisis Data 22
Analisis Multidimensional Scaling (MDS) 22
Analisis Prospektif 26
4 GAMBARAN UMUM 29
Kondisi Umum Tempat Penelitian 29
Kependudukan 30
Perekonomian 31
Pendidikan 33
Aksesibilitas dan Infrastruktur 34
Pertanian 35
Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan 36
Berdasarkan Rasio Ketersediaan Pangan 36
Indeks Pembangunan Manusia 39
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 40
Indeks dan Status Keberlanjutan 40
Analisis Statistik Nilai Indeks Keberlanjutan 41
Status Keberlanjutan PerDesa di Kecamatan Soreang 42
Atribut Sensitif Usahatani Kecamatan Soreang 45
Dimensi Ekologi 45
Dimensi Ekonomi 47
xiii
Dimensi Sosial-Budaya 50
Dimensi Teknologi-Infrastruktur 52
Dimensi Hukum-Kelembagaan 54
Faktor Kunci Usaha Tani Padi Sawah Kecamatan Soreang 57
Deskripsi Masing-Masing Faktor Kunci 58
6 SIMPULAN DAN SARAN 62
Simpulan 62
Saran 63
DAFTAR PUSTAKA 64
LAMPIRAN 69
RIWAYAT HIDUP 81
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
keberlanjutan pembangunan dapat mencakup lima aspek, antara lain: (a) ekologi,
(b) ekonomi, (c) sosial-budaya, (d) hukum-kelembagaan, dan (e) teknologi-
infrastruktur. Menurut Susilo (2003) kriteria pembangunan berkelanjutan dari
setiap aspek/dimensi keberlanjutan tersebut dapat dianalisis dan dinilai secara
cepat (rapid appraisal) sehingga diperoleh status keberlanjutan pembangunan
dengan menggunakan metode multi variabel non-parametrik yang dikenal dengan
multidimensional scaling (MDS). Metode MDS yang digunakan untuk
menghitung indeks keberlanjutan usahatani padi sawah disebut dengan Rapid
Appraisal-Farming (Rap-Farm).
Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan diharapkan mampu
menggambarkan usahatani padi sawah berkelanjutan di Kecamatan Soreang,
Kabupaten Bandung. Berdasarkan uraian tersebut, perumusan permasalahan
penelitian ini, antara lain:
1. Bagaimana status keberlanjutan usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang
ditinjau dari masing-masing dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu:
dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi-infrastuktur, dan hukum-
kelembagaan?
2. Apa saja faktor kunci yang menentukan keberlanjutan usahatani padi sawah di
Kecamatan Soreang pada setiap dimensi tersebut?
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Padi
Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam kehidupan
sehari-hari. Tanaman pangan ini berupa rumput berumpun yang berasal dari dua
benua, yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Bukti sejarah
memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada
3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar
Pradesh India sekitar 100-800 SM. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal
padi adalah Bangladessh Utara, Burma, Thailand, Laos dan Vietnam (Menegristek,
2008).
Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman semusim. Terdapat
dua jenis tanaman padi, yaitu padi sawah yang dalam pertumbuhannya
memerlukan air menggenang dan padi kering (gogo) yang dalam pertumbuhannya
tidak memerlukan air menggenang (dalam arti air genangan seperti sawah). Benih
untuk padi gogo langsung ditanam di ladang, sedangkan untuk padi sawah
disemai di persemaian dengan luasan tertentu. Padi sawah meliputi kira-kira 65%
dari seluruh pertanaman padi di daerah tropika (Sanchez, 1993). Tanaman padi
yang dikaji dalam penelitian ini adalah padi sawah.
Padi termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae (sinonim Graminae
atau Glumiflorae). Sejumlah ciri suku (familia) ini juga menjadi ciri padi,
misalkan berakar serabut, daun berbentuk lanset (sempit memanjang), urat daun
sejajar, memiliki pelepah daun, bunga tersusun sebagai bunga majemuk dengan
satuan bunga berupa floret. Floret tersusun dalam spikelet, khusus untuk padi,
satu spikelet hanya memiliki satu floret, buah dan biji sulit dibedakan karena
merupakan bulir atau kariopsis.
Umur padi mulai dari benih sampai panen mencapai empat bulan petani
harus menunggu sambil merawat tanamannya sedemikian rupa sesuai dengan
anjuran teknologi yang direkomendasikan, atau sesuai dengan teknologi yang
mampu diserap atau mampu diterapkan petani. Setiap tanam tergantung
varietasnya mempunyai kemampuan genetik tanaman yang diusahakan dalam
penerapan teknologi yang mampu diterapkan mulai dari pengelolahan sampai
panen. Disamping itu, perlu juga diperhatikan dan diperhitungkan akibat yang
ditimbulkan oleh cuaca, ketersediaan air dan lainnya.
Air dibutuhkan tanaman padi untuk pembentukan karbohidrat di daun,
menjaga hidrasi protoplasma, pengangkutan dan mentranslokasikan makanan
serta unsur hara dan mineral. Air sangat dibutuhkan untuk perkecambahan biji.
Pengisapan air merupakan kebutuhan biji untuk berlangsungnya kegiatan-kegiatan
di dalam biji (Sanchez, 1993). Jenis pengairan lahan sawah, terdiri dari irigasi
teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana/desa, irigasi bukan PU, tadah
hujan, lebak, pasang surut, dan polder (BPS, 2009).
Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang panas dan banyak
mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih,
dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki pertahun sekitar
1500–2000 mm. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalahn 23 °C
dan tinggi tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0–1500 m dpl.
Tanah yang baik untuk pertumbuhan padi adalah tanah sawah yang kandungan
fraksi pasir, debu dan lempung dalam perbandingan tertentu dengan diperlukan air
dalam jurnlah yang cukup. Padi dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang
ketebalan lapisan atasnya antara 18–22 cm dengan pH antara 4–7 (Sanchez, 1993).
11
Konsep Usahatani
Usahatani merupakan bagian dari permukaan bumi dimana seorang petani,
keluarga petani atau badan tertentu lainnya bercocok tanam untuk melakukan
usaha, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dari seluruh organisasi alam,
tenaga kerja, modal dan manajemen yang ditujukan pada produksi di lapang
pertanian. Organisasi ini ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja
diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang
terikat geneologis, politis maupun teritorial sebagai pengelolanya. Pada umumnya
ciri-ciri usahatani di Indonesia adalah berlahan sempit, modal relatif kecil,
pengetahuan petani terbatas, kurang dinamik sehingga berakibat pada rendahnya
pendapatan usahatani dan rendahnya tingkat kesejahteraan petani (Soekartawi,
1986). Terbatasnya modal seringkali menyebabkan petani tidak mampu
mengadopsi teknologi baru dalam mengusahakan sumberdaya yang dimilikinya.
Karena keterbatasan itu usahatani yang biasanya dilaksanakan petani masih
menggunakan teknologi lama atau masih tradisional.
Usahatani yang dilakukan setiap petani beragam tergantung dari jenis
usaha dan apa yang diusahakannya. Apabila dorongannya untuk memenuhi
kebutuhan keluarga baik melalui atau tanpa peredaran uang, maka usahatani yang
demikian disebut usahatani untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Subsistence
Farm). Sedangkan bila motivasi yang mendorongnya untuk mencari keuntungan,
maka usahatani yang demikian disebut usahatani komersial (Commercial Farm).
Soekartawi (1986), menyatakan bahwa ciri petani komersial adalah; (1)
cepatnya adopsi terhadap inovasi, (2) cepat mobilitas pencarian informasi, (3)
berani menanggung resiko dalam berusaha, (4) memiliki sumberdaya yang cukup.
Sedangkan ciri petani subsisten adalah kebalikannya. Akan tetapi dengan
teknologi serta kemajuan pembangunan yang hampir merata ke berbagai pelosok
daerah, petani tidak lagi mengusahakan usahataninya secara subsisten melainkan
semi subsisten (setengah subsisten dan setengah komersial). Perubahan tersebut
diantaranya disebabkan oleh perkembangan teknologi yang semakin maju dalam
hal produksi sehingga mempermudah pekerjaan petani, memenuhi kebutuhan
petani yang semakin banyak, teknologi informasi yang memberikan berbagai
informasi, kebutuhan serta adanya perubahan pandangan masyarakat dan
keseriusan pemerintah dalam memajukan sektor pertanian sebagai sektor yang
menopang ekonomi bangsa.
Usahatani subsisten masih dilakukan oleh petani kecil, maka telah
disepakati batasan petani kecil pada seminar petani kecil di Jakarta pada tahun
1979, menetapkan bahwa petani kecil didefinisikan sebegai berikut:
12
1. Petani yang pendapatannya rendah, yaitu kurang dari setara 240 kg beras per
kapita per tahun.
2. Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 ha lahan sawah
untuk di Pulau Jawa atau 0,5 ha di luar Pulau Jawa. Bila petani tersebut juga
memiliki lahan tegal maka luasnya 0,5 ha di Pulau Jawa dan 1,0 ha di luar
Pulau Jawa.
3. Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan yang terbatas.
4. Petani yang memiliki pengetahuan terbatas dan kurang dinamis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dalam usahatani terdiri dari
faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain teknologi, penggunaan
input, dan cara (teknik) bercocok tanam. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari
cuaca, iklim, hama dan penyakit. Hernanto (1989), menyatakan dalam usahatani
selalu ada empat unsur pokok yang sering disebut sebagai faktor-faktor produksi,
yaitu :
1. Tanah
Tanah merupakan usahatani yang dapat berupa tanah pekarangan, tegalan,
sawah, perairan dan sebagainya. Tanah tersebut dapat diperoleh dengan cara
membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian
negara, warisan ataupun wakaf. Penggunaan tanah dapat diusahakan secara
monokultur, polikultur, ataupun tumpangsari.
2. Tenaga Kerja
Jenis tenaga kerja adalah tenaga kerja manusia, dibedakan menjadi tenaga
kerja pria, wanita dan anak-anak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan,
keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan
kondisi lahan. Tenaga ini dapat berasal dari dalam dan luar keluarga (biasanya
dengan cara upahan). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga
kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu : 1 pria
= 1 hari kerja pria (HKP); 1 wanita = 0,8 HKP; dan 1 anak = 0,5 HKP.
3. Modal
Unsur lainnya yang mendukung kelancaran suatu kegiatan usahatani
adalah modal. Modal dalam suatu usahatani digunakan untuk membeli sarana
produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal
diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pinjaman uang dari
saudara atau tetangga dan lain-lain), hadiah, warisan, usaha lain ataupun kontrak
sewa.
4. Pengelolaan atau Manajemen
Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan,
mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai
dengan sebaik-baiknya sehingga mampu menghasilkan produksi pertanian
sebagaimana yang diharapkan. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil,
maka pengenalan pemahaman terhadap prinsip teknik meliputi : (a) perilaku
cabang usaha yang diputuskan; (b) perkembangan teknologi; (c) tingkat teknologi
yang dikuasai; (d) daya dukung faktor cara yang dikuasai; dan (e) cara budidaya
dan alternatif cara lain berdasar pengalaman orang lain. Pengenalan dan
pemahaman prinsip ekonomis antara lain : (a) penentuan perkembangan harga; (b)
kombinasi cabang usaha; (c) tataniaga hasil; (d) pembiayaan usahatani; (e)
penggolongan modal dan pendapatan serta (f) ukuran-ukuran keberhasilan yang
lazim dipergunakan lainnya. Panduan penerapan kedua prinsip itu tercermin dari
13
keputusan yang diambil, agar resiko tidak menjadi tanggungan petani sebagai
pengelola. Ketersediaan menerima resiko sangat tergantung kepada; (a)
tersedianya modal; (b) status petani; (c) umur; (d) lingkungan usaha; (e)
perubahan sosial serta (f) pendidikan dan pengalaman petani.
akan terjadi. Secara teoritis, dengan asumsi dapat diefektifkan, opsi kebijakan
inilah yang paling ampuh untuk mencegah konversi lahan pertanian (Simatupang
dan Irawan, 2003)
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, tujuan dari
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah:
1. Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan
2. Menjamin ketersediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan
3. Mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan
4. Melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani
5. Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat
6. Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani
7. Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak
8. Mempertahankan keseimbangan ekologis
9. Mewujudkan revitalisasi pertanian
Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 diatur bahwa lahan yang
sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan
dilarang dialihfungsikan. Lahan pertanian yang dilindungi hanya dapat
dialihfungsikan untuk kepentingan umum, yang pelaksanaannya diatur dengan
peraturan perundang-undangan. Pengalihfungsian lahan yang sudah ditetapkan
dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Dilakukan kajian kelayakan strategis
2. Disusun rencana alih fungsi lahan
3. Dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik, dan
4. Disediakan lahan pengganti dari lahan yang dialihfungsikan.
19
3. METODOLOGI PENELITIAN
digunakan dalam survei data primer ini adalah penyebaran kuesioner, wawancara
dan observasi langsung di lapangan.
1. Kuesioner/Angket
Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan informasi sebagai basis
analisis untuk mengetahui status keberlanjutan usata tani padi sawah di
Kecamatan Soreang. Persepsi petani berkaitan dengan sarana dan prasarana
usahatani. Penyebaran kuesioner juga dilakukan untuk mengidentifikasi
karakteristik aktivitas petani. Selain itu, informasi tentang sosial-budaya,
kelembagaan dan kondisi perekonomian petani.
2. Wawancara
Wawancara mendalam (depth interview) dilakukan terhadap sejumlah
stakeholders yang dipilih secara purposif dan wawancara dilakukan dengan
informan secara individual atau secara kelompok. Metode ini dilakukan untuk
mendapatkan informasi lebih lanjut dari pemerintah dan instansi terkait
sehubungan dengan kondisi sektor pertanian pangan di Kecamatan Soreang.
3. Observasi lapang
Observasi lapang ini bertujuan melihat kondisi lapang, yaitu
mengetahui kondisi alih fungsi lahan, dampak lingkungan dan peran
masyarakat sekitar. Observasi lapang juga dilakukan untuk melihat kondisi
komponen lingkungan seperti fisik dan sosekbud serta kondisi existing
pembangunan jalan tol Soreja.
keterangan:
√( ) ( ) .........................................................(1)
. ...................................................................(2)
...................................................................(3)
Proses pengulangan terhenti, jika nilai stress lebih kecil dari 0.25. Nilai
Stress diperoleh berdasarkan persamaan (4).
∑ ∑( )
√ ∑ [ ∑ ∑
] .......................................................(4)
Pengaruh error akan muncul dalam analisis MDS yang disebabkan oleh
berbagai hal, seperti: 1) kesalahan dalam pembuatan skor karena kesalahan
pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna,
2) variasi nilai akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, 3) proses
analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau ada data yang
hilang, dan tingginya nilai stress. Nilai stress < 25% merupakan nilai stress yang
dapat diterima. Evaluasi pengaruh error pada proses pendugaan nilai ordinasi
keberlanjutan dapat dilakukan dengan menggunakan analisis ”Montecarlo”.
24
Start
Analisis Keberlanjutan
(assess sustainability)
Gambar 5 Proses aplikasi Rapfish (Alder et. al. 2000 dalam Fauzi dan Anna 2005)
26
Pengaruh galat akan muncul dalam analisis MDS yang dapat disebabkan
oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena kesalahan
pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna,
variasi nilai akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses analisis
MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau ada data yang hilang,
dan tingginya nilai stress, yaitu nilai stress dapat diterima jika nilai < 25 %
(Kavanagh, 2001).
Evaluasi pengaruh galat (error) pada proses pendugaan nilai ordinasi
analisis status keberlanjutan sistem usahatani padi sawah dilakukan dengan
menggunakan analisis ”Montecarlo”. Menurut Kavanagh (2001) dan Fauzi dan
Anna (2002) analisis ”Montecarlo” juga berguna untuk mempelajari hal-hal
berikut ini.
1 Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman
kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman
terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut.
2 Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh
peneliti berbeda.
3 Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi).
4 Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data).
Analisis Prospektif
( (
Faktor1)
Penentu 2)
Faktor Penghubung
Pengaruh
(Driving Variables) (Leverage Variables)
INPUT STAKES
( (
4)Bebas
Faktor 3) Terikat
Faktor
(Marginal Variables) (Output Variables)
UNUSED Output
Ketergantungan
Gambar 6. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antarfaktor dalam sistem
(Burgeois and Jesus 2004)
29
4 GAMBARAN UMUM
Kependudukan
Perekonomian
Pendidikan
13672
14000
12000
10000 5664
4792
8000
6000
511
4000 376 Murid
483
2000 43
16 Guru
0 13
Sekolah
SD/sederajat
SMP/sederajat
SMA/sederajat
Gambar 7. Jumlah sekolah, guru dan murid di Kecamatan Soreang tahun 2014
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung
34
Bagi Kabupaten Bandung, jalan tidak hanya sekedar berperan sebagai jalur
mobilitas, tetapi telah membentuk pola jaringan sosial (social networking), pola
jaringan komunikasi (communication networking), pola jaringan kerja (net
working), dan pola jaringan ekonomi (economic networking). Konsekuensinya,
jika kondisi jalan rusak dan atau penataan arus lalulintasnya (terutama di pusat-
pusat pertumbuhan) kurang efektif, maka otomatis akan menghambat aksesibilitas
dan aktivitas ekonomi masyarakat menuju atau dari pusat-pusat pertumbuhan.
Pertanian
Tabel 10. Luas dan produksi tanaman padi menurut desa di Kecamatan Soreang
tahun 2013
Padi sawah Padi ladang
No Desa Luas areal Produksi Luas areal Produksi
(hektar) (kwintal) (hektar) (kwintal)
1 Sadu 115,82 5.816,62 1,05 31,50
2 Sukajadi 107,52 5.483,61 2,76 82,65
3 Sukanagara 137,16 6.871,88 0,66 19,74
4 Panyirapan 77,56 3.895,16 0,11 3,36
5 Karamatmulya 131,20 6.691,30 0,28 8,40
6 Soreang 169,17 8.467,32 0,00 0,00
7 Pamakeran 71,21 3.567,76 0,00 0,00
8 Parungserab 212,83 11.918,74 0,00 0,00
9 Sekarwangi 222,30 11.137,02 0,00 0,00
10 Cingcin 160,63 8.212,85 0,00 0,00
Kecamatan Soreang 1.405,41 72.070,26 4,86 145,65
Tabel 12. Kategori prioritas kecamatan, jumlah dan nama desa prioritas utama
berdasarkan indikator ketersediaan pangan di Kabupaten Bandung
tahun 2009
Indikator Jumlah
Nama desa/kelurahan
No Kecamatan ketersediaan desa/kelurahan
prioritas utama
Rasio Prioritas prioritas utama
Soreang, Cingcin,
1 Soreang 0.86 4 5 (dari 10 desa) Pamekaran,
Sekarwangi, Sadu
2 Pasir Jambu 34.17 1 10 Semua desa
3 Ciwidey 38.41 1 7 Semua desa
5 Rancabali 56.08 1 3 (dari 5 desa) Alam Endah,
Sukaresmi, Cipelah
6 Margaasih 270.79 1 6 Semua desa
7 Bojongsoang 88.23 1 6 Semua desa
8 Dayeuhkolot 13.20 1 4 (dari 6 desa) Sukapura, Citeureup,
Cangkuang kulon &
wetan
9 Banjaran 1.24 3 8 (dari 11 desa) Banjaran, Banjaran
wetan, Ciapus,
Margahurip,
Kamasan, Tajursari,
Kiangroke,
Sindangpanon
12 Katapang 1.09 3 4 (dari 7 desa) Gandasari,
Pangauban, Katapang,
Cilampeni
13 Majalaya 1.38 2 7 (dari 11 desa) Majalaya, Majasetra,
Bojong, Padamulya,
Sukamukti, Sukamaju,
Wangisagara
16 Kertasari 1.75 1 7 Semua desa
21 Ibun 1.07 3 6 (dari 12 desa) Karyalaksana, Talun,
Tangulun, Sudi,
Cibeet, Lampegan
22 Cileunyi 1.19 3 4 (dari 6 desa) Cinunuk, Cibiru Hilir,
Cimekar, Cibiru wetan
23 Cimenyan 6.14 1 9 Semua desa
24 Margahayu 4.93 1 2 (dari 5 desa) Margahayu Selatan,
Kel. Sulaeman
25 Cilengkrang 1.22 3 2 (dari 6 desa) Giri Mekar, Jati
Endah
26 Baleendah 2.80 1 8 Semua desa
27 Arjasari 0.33 6 - -
28 Cimaung 51.01 1 10 Semua desa
31 Kutawaringin 0.69 5 2 (dari 11 desa) Padasuka, Jelegong
Kab. Bandung 0,99 4 143
38
peningkatan produksi pangan justru menghadapi masalah bahaya latent yaitu laju
peningkatan produksi di daerah yang terus menurun. Sudah pasti jika tidak ada
upaya untuk meningkatkan produksi pangan akan menimbulkan masalah antara
kebutuhan dan ketersediaan dengan kesenjangan semakin melebar.
tanah sawah yang masih luas. Kondisi Sosial dan Budaya Desa Soreang
menunjukkan profil masyarakat semi perkotaan terdiri dari 5.193 KK dengan
jumlah penduduk sebanyak 18.192 jiwa.. Hal tersebut dapat dilihat dari : (a)
Usaha ekonomi masyarakat yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai wiraswasta sebanyak 5.357; (b) karakteristik Sosial Budaya
masih relatif homogen dengan masih terpeliharanya ikatan hubungan
kekeluargaan, gotong royong dan perkembangan budaya yang seiring sejalan
antara budaya lokal dan budaya non lokal; (c) dari sisi kualitas dan taraf
pendidikan, tersedianya sarana prasarana pendidikan baik pendidikan formal
maupun informal serta kebijakan dan program pemerintah dalam bidang
pendidikan telah memberikan dampak signifikan dalam meningkatkan taraf
pendidikan masyarakat Desa Soreang sehingga angka Buta huruf, aksara dan buta
tulis semakin menurun dan tingkat perkembangan masyarakat yang lulus Wajar
Dikdas 9 tahun semakin meningkat. Paling banyak tingkat pendidikan penduduk
di wilayah Desa Soreang adalah tamatan SD yang berjumlah 3.937 orang.
Secara ekonomi, masyarakat Desa Soreang pada umumnya bergerak dalam
bidang pertanian, industri kecil menengah, dan perdagangan sehingga secara
pendapatan masyarakat sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
dan tingkat daya beli masyarakat cukup baik. Akan tetapi sebagian masyarakat
masih ada yang hidup dengan taraf penghasilan rendah dikarenakan tingkat
pendidikan yang rendah, kurang mampu bersaing, dan kurangnya keterampilan
yang dimiliki. Guna menekan angka masyarakat berpenghasilan rendah, Desa
Soreang berusaha memberikan bantuan-bantuan baik bantuan material ataupun
inmaterial. Beberapa hal yang dilakukan diantaranya melalui program bantuan
dari Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah yang bersifat bantuan material
seperti BLT, Raskin, Jamkesmas, RTLH ataupun bantuan inmaterial seperti
pelatihan-pelatihan keterampilan masyarakat.
Jumlah total rumah tangga petani sebanyak 1677 keluarga, dengan jumlah
penduduk yang mempunyai kepemilikan tanah sebagai lahan pertanian sebanyak
119 keluarga, dari jumlah rumah tangga petani yang memiliki kurang 1 ha
sebanyak 80 keluarga dan jumlah rumah tangga petani yang memiliki 1 – 5 ha
sebanyak 39 keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa
Soreang merupakan buruh tani yang tidak memiliki lahan pertanian sebanyak
1732 laki-laki dan 778 perempuan sedangkan jumlah penduduk yang berprofesi
petani sebanyak 68 laki-laki dan 51 perempuan. Komoditas pertanian yang
ditanam selama ini hanya terfokuskan pada tanaman padi, dengan hasil rata-rata 4
ton/Ha. Luas areal sawah pada tahun 2014 adalah 157,65 ha yang seluruhnya
dialiri oleh saluran irigasi teknis dengan total produksi sebesar 8.467,32 kw.
Kondisi Pembangunan di Wilayah Desa Soreang telah berkembang secara
pesat, hal ini dikarenakan letak wilayah Desa Soreang yang berdekatan dengan
Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung sehingga Desa Soreang harus mampu
menjadi etalase Pemerintah Kabupaten Bandung. Perkembangan infrastruktur
Desa Soreang yang berkembang pesat merupakan aplikasi dari program-program
pembangunan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah Propinsi,
maupun Pemerintah Pusat melalui program Pembangunan Desa seperti ADPD,
P4, BAN-GUB, PPIP, dan sebagainya.
Jalan merupakan salah satu prasarana transportasi yang sangat penting.
Panjang jalan yang ada atau melintas di Wilayah Desa Soreang sepanjang 12 Km
44
dengan kondisi jalan yang baik sebesar 90 % dan 10 % rusak. Dengan kondisi
tersebut, maka prasarana transportasi di wilayah Desa Soreang sudah cukup baik
dan mampu menopang segala kegiatan masyarakat Desa. Jaringan komunikasi di
Desa Soreang sudah terjangkau oleh jaringan selular dan juga saluran
konvensional telkom sehingga komunikasi masyarakat sudah tidak mengalami
kendala. Jaringan listrik di Desa Soreang sudah 100% terpenuhi, adapun sebagian
kecil masyarakat masih mendapatkan pasokan listrik dengan cara menumpang
kepada masyarakat sekitarnya yang telah menjadi pelanggan jasa listrik.
Kelembagaan Pemerintahan Desa Soreang di Pimpin oleh Kepala Desa
dan dibantu oleh Sekretaris Desa, 5 orang Kepala Seksi, 2 orang Kepala Urusan, 4
orang Kepala Dusun, 1 orang Bendahara, dan 2 orang Staf Desa. Sarana
Pemerintahan dan sarana umum yang terdapat di Desa Soreang adalah Kantor
Desa, Kantor BPD, Kantor LPMD, Kantor PKK, Kantor MUI Desa dengan
ditunjang oleh kelengkapan administrasi dan peralatannya yang sudah cukup
memadai. Kantor BKP3 (Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan)
terletak di komplek perkantoran Pemkab Bandung, Jalan Raya Soreang km.17
Bandung UPT (Unit Pelaksana Teknis) Soreang.
Desa Sukanagara memiliki luas wilayah sebesar 382,00 Ha, dengan
presentase terhadap luas Kecamatan Soreang sebesar 15,75%. Jumlah penduduk
pada tahun 2014 sebanyak 5.218 orang. Komposisi penduduk yang bekerja pada
sektor pertanian pangan sebanyak 376 orang, perkebunan 755 orang, peternakan
383 orang, dan pertanian lainnya 614 orang, sisanya bekerja pada lapangan usaha
lain. Jumlah penduduk yang tidak bekerja cukup banyak yaitu 92 orang dan
jumlah penduduk yang mencari pekerjaan sebanyak 62 orang. Rata-rata penduduk
Desa Sukanagara tamatan SMP sebanyak 841 orang dan tamatan SD sebanyak
753 orang. Angka putus sekolah di Desa Sukanagara cukup tinggi yaitu sebanyak
306 orang dengan 78 orang putus SMP, 152 orang putus SMA, dan 76 orang
putus kuliah. Penduduk buta huruf usia 15 tahun ke atas yang tidak bisa membaca
dan menulis sebanyak 114 orang. Hal ini mengakibatkan pada dimensi sosial-
budaya Desa Sukanagara dikategorikan kurang berkelanjutan.
Luas lahan sawah Desa Sukanagara pada tahun 2013 sebanyak 137,16 Ha
dengan total produksi padi sebanyak 6.871,88 kwintal. Sebagian besar areal sawah
ketersediaan airnya mengandalkan tadah hujan karena di Desa Sukanagara ini sulit
memperoleh air. Pengadaan sarana produksi pertanian seperti benih bersertifikat,
pupuk subsidi, dan pestisida masih belum terjangkau oleh petani padahal potensi
Desa Sukanagara baik untuk pertanaman padi sawah mengingat sebagian besar
lahannya sesuai dengan tata guna lahan dan tanahnya subur (>0,51% dan pH
netral antara 7,1 - 7,5).
Jarak dari Desa Sukanagara ke kantor Kecamatan Soreang dan Ibukota
Kabupaten Bandung adalah 4 km. Secara infrastruktur kondisi jalan masih belom
baik banyak jalan lubang rusak yang ditemui padahal jarak dari desa ke kantor
pemerintah pusat sangat dekat, oleh karena itu perlu perhatian serius untuk
memperbaiki kondisi infrastruktur. Jumlah kelompok tani di Desa Sukanagara
sebanyak 10 kelompok namun tidak berjalan optimal.
45
Dimensi Ekologi
0 1 2 3 4
Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan
dipakai dalam evaluasi lahan antara lain: kemiringan lereng, temperatur udara,
drainase, tekstur, alkalinitas, bahaya banjir (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).
Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan yang ada saat ini agar lebih
produktif dan lestari, baik secara kuantitas (luasan) maupun kualitas
(kesuburan/produktivitas).
Sistem pertanian modern yang merupakan high-intensive farming system
memberikan dampak negatif, karena untuk meningkatkan produksi diperlukan
perlakuan penambahan jumlah pestisida dan pupuk kimia. Pemakaian pupuk
kimia, alkali dan pestisida yang terus menerus menyebabkan tumpukan residu
yang melebihi daya dukung lingkungan yang jika tidak terurai akan menjadi
“racun tanah” dan tanah menjadi “sakit”. Akibat negatif tingginya penggunaan
input pertanian anorganik adalah timbulnya berbagai masalah seperti leveling off
(kelandaian peningkatan produktivitas), penurunan produktivitas tanah, rusaknya
keseimbangan ekosistem dan terganggunya kesehatan manusia (Andriyanto,
2013).
Pertanian yang berwawasan lingkungan adalah tindakan konservasi
melalui pertanian yang mengandalkan dan mempertahankan kelestarian
lingkungan. Pemanfaatan produk bioteknologi, seperti pupuk dan pestisida hayati
yang mengandung mikroba bersifat ramah lingkungan dapat mengurangi
pemakaian bahan kimia dari pupuk dan pestisida. Keseimbangan antara
pemasukan hara ke dalam tanah sawah dengan pengeluaran hara dalam bentuk
hasil panen, kehilangan hara oleh pelindihan (leaching), volatilisasi dan lain-lain
merupakan kunci kelestarian kesuburan lahan sawah.
Para penyuluh pertanian perlu memahami bahwa tanaman padi tidak saja
memerlukan hara yang cukup banyak dan seimbang guna mendukung
pertumbuhan tanaman yang optimal dan hasil panen yang maksimal, tetapi
tanaman juga mengambil atau menguras hara dari dalam tanah guna membentuk
hasil panen maupun jerami. Pengambilan hara dari dalam tanah sering diistilahkan
sebagai penambangan hara tanah oleh tanaman..
Banyaknya hara tanah yang terangkut oleh hasil panen tanaman
bergantung pada jenis tanaman, bentuk dan volume hasil panen. Hara tanah yang
terangkut oleh hasil panen padi dan tidak kembali ke dalam tanah untuk nitrogen
berkisar 75 kg N/ha, fosfor 14 kg P/ha, kalium 19 kg K/ha, calcium 1,5 kg Ca/ha,
magnesium 5 kg Mg/ha, dan sulfur 4 kg S/ha. Pemanenan secara terus-menerus
selama puluhan, ratusan, dan bahkan ribuan tahun tentu akan mengakibatkan
kurusnya tanah, apabila tidak dilakukan pemupukan. Tindakan pemupukan di
samping menyediakan hara bagi tanaman juga berfungsi memelihara kesuburan
tanah agar hara tidak habis terkuras oleh hasil panen (Sumarno, 2006).
Penggunaan mikroba sebagai pupuk hayati dapat membantu menyediakan
unsur hara yang lengkap bagi tanaman, meningkatkan aktivitas mikroorganisme
tanah dan juga sangat penting dalam memperbaiki struktur tanah. Sedangkan
pemakaian pestisida hayati diharapkan selain dapat menanggulangi serangan hama
dan penyakit dan mampu menjaga lingkungan tetap sehat. Semua upaya tersebut
pada akhirnya akan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui
pertanian yang berkelanjutan. Dengan demikian, atribut tersebut perlu
mendapatkan perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi
ekologi meningkat di masa yang akan datang.
47
Dimensi Eknomi
0 1 2 3 4
Perubahan RMS jika salah satu atribut dihilangkan
Gambar 11. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi
usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung
perbedaaan waktu panen, kualitas mutu padi yang dijual, Harga Kering Panen
(GKP), Harga Kering Giling (GKG) dan metode penjualan hasil padi yang
dilakukan (Andriyanto, 2013).
Melalui Impres No.9 Tahun 2002, pemerintah dengan sangat halus
merubah istilah Harga Dasar Gabah (HDG) menjadi Harga Dasar Gabah
Pembelian Pemerintah (HDPG) atau lebih dikenal dengan Harga Pembelian
Pemerintah (HPP). Perubahan ini sekilas tidak terlalu berbeda, akan tetapi
sebenarnya sangat mendasar. Dengan kebijakan HPP pemerintah hanya menjamin
harga gabah pada tingkat tertentu dilokasi yang telah ditetapkan, tidak lagi
menjamin harga gabah minimum di tingkat petani. HPP berlaku di gudang Bulog,
bukan di tingkat petani sebagaimana kebijakan HDG, sehingga tidak lagi
memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi padi (Pratiwi,
2008).
Untuk melindungi konsumen, pemerintah (Bulog) menetapkan harga
eceran tertinggi lokal. Untuk memenuhi permintaan pada suatu saat dan pada
suatu tempat, Bulog melakukan penyebaran persediaan di seluruh Indonesia.
Orientasi Bulog dalam distribusi pangan adalah harga, sesuai dengan tugas pokok
Bulog untuk menstabilkan harga. Penyediaan persediaan pangan oleh Bulog
memiliki tujuan yaitu menjaga variasi harga antar musim dan antar tempat
(Amang dan Sawit, 1999).
Harga dan pasokan pangan merupakan indikator strategis yang saling
terkait, yang dapat digunakan untuk mengetahui status distribusi pangan.
Fluktuasi harga pangan dapat menunjukkan gejala terganggunya distribusi pangan
yang mungkin disebabkan karena kurangnya pasokan atau meningkatnya
permintaan. Fluktuasi harga pangan dapat menyebabkan timbulnya gejolak sosial
dan mengakibatkan terganggunya kondisi sosial politik nasional. Untuk
menghindari terjadinya fluktuasi harga pangan diperlukan suatu sistem deteksi
dini serta kebijakan penanganan fluktuasi harga pangan yang cepat dan tepat.
Pada Tahun 2010 kegiatan analisis akses pangan di Kabupaten Bandung
belum dilaksanakan. Analisis akses pangan tersebut merupakan gabungan atau
komposit dari berbagai indikator yang sudah ditentukan, dimana indikator tersebut
bersifat tahunan yang meliputi indikator fisik, ekonomi dan sosial. Analisis situasi
akses pangan menggambarkan kondisi akses pangan di suatu wilayah tertentu,
seperti provinsi, kabupaten, kecamatan maupun wilayah desa. Untuk itu tahun-
tahun ke depan perlu dilakukan analisis akses pangan melalui pemantauan
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga (BKP3, 2011).
Terwujudnya Stabilitas harga dan pasokan pangan merupakan dampak dari
kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) khususnya
di wilayah gapoktan. Kegiatan Penguatan LDPM merupakan kegiatan stategis,
karena dimaksudkan untuk menjaga stabilisasi harga di tingkat petani pada saat
menghadapi panen raya dan meningkatkan akses pangan anggota Gapoktan pada
saat musim paceklik. Pada kegiatan Penguatan LDPM pelaporan dilakukan secara
berkala dan berjenjang mengenai perkembangan keuangan dan kegiatan dalam
pengelolaan usaha distribusi (jual beli gabah/beras/jagung) dan pengelolaan
cadangan pangan kepada Tim Teknis Kabupaten secara tertulis setiap bulan,
sedangkan laporan untuk kegiatan pembelian/penjualan, harga, sisa barang dan
pengadaan penyaluran cadangan pangan dilaporkan melalui SMS center setiap
49
minggu pada hari Senin ke Nomor 0813 808 29 555. Tim Teknis Kabupaten
membuat laporan kepada Tim Pembina BKPD Provinsi Jawa Barat setiap 2 bulan.
Hasil Kajian Rantai Pasokan dan Pemasaran Pangan Kabupaten Bandung
Tahun 2010 kerjasama antara Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana
Penyuluhan Kabupaten Bandung dengan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB
adalah sebagai berikut :
a. Indikator distribusi pangan mencakup persepsi pelaku pasar dan perubahan
harga pangan. Pelaku pasar mempersepsikan adanya kendala distribusi karena
infrastruktur jalan yang kurang baik, ketidakstabilan biaya operasional,
persaingan harga, serta ketidakstabilan stok.
b. Rantai pasokan pada komoditas beras dimulai dari produsen yang menjual
hasilnya ke pedagang pengumpul desa atau kecamatan. Kemudian pedagang
pengumpul desa/ kecamatan menjual sebagian berasnya ke grosir (33,05 %
dari total pasokan grosir), pasokan grosir sisanya dipenuhi dari grosir luar
daerah (66,95%). Dari grosir, beras dijual ke pedagang pengecer (41,12%),
swalayan/ toko (6,63%), konsumen (13%), dan sisanya dijual ke luar daerah
(39,25%).
Bentuk price policy yang lain pada beras yang masih berlaku hingga kini
adalah Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM
merupakan bagian dari general price subsidy yang digunakan pada saat harga
beras terlalu tinggi akibat excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara
pemotongan harga sekitar 10% – 15% di bawah harga pasar. Sedangkan OPK
merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan awal dari OPK
adalah penyaluran bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan
saat krisis tahun 1998 akibat tidak efektifnya OPM. OPK masih terus dilakukan
Bulog hingga sekarang dengan target masyarakat miskin. Tahun 2002, OPK
diubah namanya menjadi Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Program Raskin
juga masih terus dilakukan sebagai salah satu jaring pengaman sosial yang
volumenya semakin meningkat dari tahun ke tahun karena adanya kecenderungan
kenaikan harga beras di tingkat konsumen (Pratiwi, 2008).
Dimensi Sosial-Budaya
0 2 4 6
Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan
Gambar 13. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial-
budaya usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang kabupaten
Bandung
tercatat sebanyak 2.420 rumah tangga, menurun sebesar 50,43 persen dari hasil
Sensus Pertanian 2003 yang tercatat sebanyak 4.882 rumah tangga.
Rumah tangga pertanian pengguna lahan dapat digolongkan ke dalam dua
kelompok besar yaitu rumah tangga petani gurem (rumah tangga usaha pertanian
pengguna lahan yang mengusai lahan kurang dari 0,50 hektar) dan rumah tangga
bukan petani gurem (rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan yang
menguasai lahan 0,50 hektar atau lebih). Hasil ST2013 menunjukkan bahwa
sebesar 4.789 rumah tangga bukan petani gurem dan 4.426 rumah tangga petani
gurem, mengalami penurunan sebesar 49,49 persen yaitu 2.419 rumah tangga
bukan petani gurem dan 60,10 persen yaitu 1.766 rumah tangga petani gurem.
Kemampuan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja sangat besar,
namun di sisi lain justru menjadi beban bagi sektor pertanian dalam meningkatkan
produktivitas tenaga kerjanya. Penurunan tenaga kerja pertanian ini, antara lain
disebabkan karena rendahnya insentif untuk berusahatani akibat tingginya biaya
produksi, harga output yang dihasilkan relatif rendah, dan pendapatan dari
usahatani padi relatif berfluktuasi serta tidak kontinyu dibanding usaha lainnya.
Penghasilan rata-rata tenaga sektor pertanian lebih rendah daripada sektor
industri dan jasa menjadi faktor utama penyebab sektor pertanian kurang diminati.
Generasi muda lebih tertarik pada sektor industri dan jasa yang pada umumnya
lebih menjanjikan jenjang karir yang lebih pasti. Hal ini secara tidak langsung
meruakan gambaran pemulihan sebagian petani yang tidak menghendaki generasi
penerusnya untuk menjadi petani juga. Selain itu banyak generasi muda dari
rumah tangga petani yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
menjalankan agribisnis, termasuk dari sisi kemampuan manajerial. Kondisi ini
diperparah dengan besarnya konversi lahan pertanian yang dapat menyebabkan
usaha pertanian tidak mencapai skala ekonomis.
Semakin muda umur petani, maka akan semakin semangat untuk
mengetahui hal baru, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk cepat
melakukan adopsi walaupun sebenarnya mereka belum berpengalaman soal
adopsi tersebut. Umur petani adalah salah satu faktor yang berkaitan erat dengan
kemampuan kerja dalam melaksanakan kegiatan usahatani. Umur dapat dijadikan
sebagai tolok ukur dalam melihat aktivitas seorang dalam bekerja dimana dengan
kondisi umur yang masih produktif maka kemungkinan besar seorang dapat bekerja
dengan baik dan maksimal.
Konflik antara industri dengan petani (masyarakat) pada umumnya terjadi
di ekotipe sawah, faktor pemicunya adalah limbah industri, perebutan air
permukaan dan air irigasi (terutama di musim kemarau), dan rendahnya
penyerapan tenaga kerja setempat. Konversi lahan pertanian terutama sawah
produktif telah menimbulkan dampak terhadap berkurangnya kapasitas produksi
beras yang mengancam ketahanan pangan secara nasional, menimbulkan masalah
lingkungan, juga lebih jauh menimbulkan masalah ketenagakerjaan bidang
pertanian. Pengetahuan inilah yang harus disadari oleh petani dan masyarakat agar
dukungan terhadap lingkungan pertanian meningkat.
Penerapan insentif yang diberikan pemerintah daerah ke masyarakat petani
tanaman padi dapat berupa: (1) kompensasi imbalan bagi petani yang tetap
memepertahankan lahan pertanian tanaman padi, (2) kemudahan kredit untuk
usaha tani, (3) kemudahan untuk mendapatkan sarana produksi pertanian seperti
bibit, pupuk dan pembasmi hama penyakit, dan (4) penyuluhan pertanian,
52
Dimensi Teknologi-Infrastrukur
0 1 2 3 4 5
Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan
Gambar 14. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi-
infrastruktur usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang Kabupaten
Bandung
53
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 15. Kondisi jalan infrastruktur di kecamatan Soreang (a) desa
Karamatmulya, (b) Sukajadi, (c) Sadu, dan (d) Soreang
Salah satu prasarana pertanian yang memprihatinkan adalah jaringan
irigasi. Berdasarkan data kabupaten Bandung tahun 2012, dari 858 hektar luas
lahan sawah di Kecamatan Soreang terbagi menurut ketersediaan irigasinya yaitu
irigasi teknis sebanyak 541 hektar, irigasi setengah teknis sebanyak 237 hektar,
irigasi non-PU sebanyak 11 hektar, dan sawah tadah hujan sebanyak 69 hektar.
Kurangnya pembangunan waduk dan irigasi baru serta rusaknya jaringan irigasi
yang ada mengakibatkan daya dukung irigasi menurun. Kerusakan ini terutama
diakibatkan banjir dan erosi, kerusakan di daerah aliran sungai, serta kurangnya
pemeliharaan irigasi hingga ke tingkat usahatani. Sebagian besar desa Sukajadi
menjadi wilayah pertanian di Kecamatan Soreang yang tidak memiliki akses
54
jaringan irigasi sehingga untuk mengairi sawah mereka mengandalkan air tadah
hujan.
Akses terhadap listrik merupakan suatu indikator pendekatan yang baik
untuk kesejahteraan ekonomi dan peluang mata pencaharian yang lebih tinggi.
Berdasarkan data (BPK3) Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan,
kabupaten Bandung sebagian besar sudah mendapatkan akses listrik sebesar
95,65%. Namun di Kecamatan Soreang sendiri masih terdapat 394 rumah tangga
tanpa akses listrik, diantaranya desa Sekarwangi, Sukajadi, dan Sukanagara yang
masing-masing berjumlah 12, 350, dan 32 rumah tangga tanpa listrik. Hal ini akan
menganggu kegiatan perekonomian maupun mata pencaharian daerah. Jika
kesejahteraan penduduk rendah maka akses terhadap pemenuhan kebutuhan dasar
akan berkurang termasuk pangan, sehingga rentan terhadap kerawanan pangan.
Kementerian Pertanian melalui kewenangan yang dimilikinya melakukan
pengaturan dalam optimalisasi pemanfaatan prasarana dan sarana ini dengan
mengeluarkan berbagai regulasi. Selain itu melalui anggaran pembangunan yang
ada, telah dilakukan berbagai inisiatif awal untuk peningkatan kapasitas prasarana
dan sarana yang ada. Pembiayaan melalui Kementerian Pekerjaan Umum
dialokasikan untuk perbaikan dan pembangunan sarana irigasi sesuai
kewenangannya (primer dan sekunder). Sedangkan di Kementerian Pertanian
dilakukan perbaikan dan pembangunan irigasi di tingkat usahatani (tersier)
sekaligus bertindak sebagai fasilitator dan regulator dengan pokok kegiatan
mencakup pembinaan, fasilitasi, dan koordinasi.
Ketersediaan teknologi informasi membantu petani dalam memperoleh
informasi harga. Perolehan data dan informasi yang cepat, tepat, akurat, dan
berkesinambungan diperlukan untuk mengantisipasi timbulnya gejolak fluktuasi
harga. Oleh karena itu kabupaten Bandung memiliki satu orang petugas pemantau
harga yang harus mengumpulkan data harga dan pasokan komoditas pangan
strategis termasuk beras di kabupaten yang diperoleh dari pasar-pasar kecamatan
dan mengirimkan laporan harga setiap minggu melalui SMS Center (BKP3, 2011).
Informasi teknologi pertanian yang terdesiminasi sejak Tahun 2008 hingga Tahun
2010 masing-masing sebanyak 9 buah, yaitu informasi teknologi budidaya dan
pengolahan atau mencapai 100 persen. Komoditas yang diusahakan yaitu padi,
jagung, sayuran, buah-buahan, kopi, teh, cengkeh, tanaman hias dan tanaman
obat-obatan.
Dimensi Hukum-Kelembagaan
0 2 4 6 8
Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan
Gambar 16. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi hukum-
kelembagaan usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung
kredit perbankan. Usaha pertanian juga memiliki risiko yang tinggi baik dari
gangguan alam (banjir, kekeringan), serangan hama dan penyakit tanaman serta
tidak adanya jaminan harga dan pasar hasil produksi pertanian dapat diatasi
melalui pengembangan asuransi pertanian.
2,50
Bebas serangan
hama dan penyakit
2,00 Penggunaan
Lahan (kesuburan
Kesesuaian lahan tanah)
bahan organik dan
dengan tata guna pemanfaatan
lahan limbah pertanian
Motivasi petani
1,50
Pengaruh
bertani Pemakaian
pestisida kimia
1,00
Pengetahuan
pertanian Transfer Pertumbuhan
keuntungan rumah tangga
Harga Gabah petani
0,50Kering (GKG) Saluran irigasi Penyerapan penghasilan petani
Ketersediaan
Kondisi jalan sarana prasarana tenaga kerja relatif
Akses terhadap Fluktuasi harga Keberadaan
Penyuluh Jumlah penyaluran kelompok tani
- iptek pertanian kredit
- 0,50
Frekuensi konflik
1,00 1,50 2,00 2,50 3,00
Ketergantungan
Gambar 17. Faktor kunci/dominan yang berpengaruh pada usahatani padi sawah
di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung
tanaman pangan yang baik dan benar atau Good Agriculture Practices (GAP)
meliputi penerapan teknologi yang ramah lingkungan, penjagaan kesehatan dan
peningkatan kesejahteraan pekerja, pencegahan penularan OPT dan menetapkan
prinsip traceability (suatu produk dapat ditelusuri asal-usulnya, dari pasar sampai
kebun). Tujuan GAP adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan mutu hasil tanaman pangan termasuk keamanan konsumsi
tanaman pangan;
2. Meningkatkan efisiensi produksi dan daya saing tanaman pangan;
3. Memperbaiki efisiensi penggunaan sumber daya alam;
4. Mempertahankan kesuburan lahan, kelestarian lingkungan dan sistem
produksi yang berkelanjutan;
5. Mendorong petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap mental yang
bertanggung jawab terhadap produk yang dihasilkan, kesehatan dan
keamanan diri dan lingkungan;
6. Meningkatkan peluang dan daya saing penerimaan oleh pasar internasional
maupun domestik;
7. Memberi jaminan keamanan terhadap konsumen
Penerapan PTT didasarkan pada 4 prinsip utama, yaitu:
1. Partisipatif: artinya PTT membutuhkan partisipasi berbagai pihak, baik
fasilitator atau petugas (Penyuluh, POPT, PBT, Widyaiswara, Peneliti)
maupun petani. Petugas mendorong partisipasi aktif petani pelaksana dalam
memilih dan menentukan teknologi yang akan diterapkan pada lahan
usahataninya serta mendorong agar petani dapat menguji teknologi
rekomendasi tersebut sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan petani
melalui proses pembelajaran,
2. Integrasi atau Terpadu: artinya PTT merupakan suatu keterpaduan
pengelolaan sumberdaya lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman
(OPT) dan iklim secara bijak untuk menjamin keberlanjutan proses produksi,
3. Dinamis atau Spesifik Lokasi: artinya PTT memperhatikan kesesuaian
teknologi yang dikembangkan dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial
ekonomi petani. Komponen teknologi di dalam PTT bukan “paket teknologi”
yang bersifat tetap, kaku atau “fixed” melainkan komponen teknologi yang
dikembangkan bersifat fl eksibel dan petani diberikan ruang dan kesempatan
untuk memilih, menentukan, menetapkan, mencoba, menguji, mengevaluasi
dan memperbaiki teknologi sesuai dengan permasalahan usahatani, kebutuhan
teknologi dan karakteristik sumberdaya (lahan, air, iklim, OPT, sosial
ekonomi, dan sosial budaya) setempat (spesifik lokasi) sehingga bersifat
dinamis.
4. Interaksi atau Sinergisme: artinya PTT memanfaatkan teknologi pertanian
terbaik yang dihasilkan, dimaksudkan mendapatkan efek sinergisme dari
interaksi akibat penerapan berbagai komponen teknologi PTT, baik tergolong
ke dalam teknologi dasar maupun tergolong ke dalam teknologi pilihan
(alternatif).
Secara rinci urutan anjuran teknologi padi pada PTT (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, 2009) adalah:
1. Penggunaan varietas padi unggul yang berdaya saing tinggi dan bernilai
ekonomi tinggi
2. Penggunaan benih bersertifikat dengan mutu bibit tinggi
61
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anang, B. Dan Sawit. 1999. Kebijakan Beras Dunia dan Permintaan Impor Beras
Indonesia serta Kebijakan Perberasan di Indonesia. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Andriyanto. 2013. Analisis Perbandingan Aspek Finansial Antara Aplikasi Pupuk
Kimia dan Pupuk Organik. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Amien, I. 1999. Kesesuaian Lahan dan Pemilihan Sistem Pertanian Berkelanjutan
dengan Sistem Pakar. Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani
Lahan Kering yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium Nasional Malang,
29-31 Agustus 1991. Bogor: Puslitanak. Hal. 64-71.
Arsyad, R. 2008. Penyelamatan Tanah Air dan Lingkungan. Crestpent Press dan
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Bourgeois, R and Jesus. 2004. Participatory Prospective Analysis, Exploring
and Anticipating Challenges with Stakeholders. Center for Alleviation
of Poverty through Secondery Crops Development in Asia and The
Pacific and French Agricultural Reasearch Center for Internasional
Development. Monograph (46) : 1 – 29.
Byron, J. 1988. On the Protection and Promotion of the Right to Food: An Ethical
Reflection. In B.W.J. LeMay (eds.), Sience, Ethics, and Food. Smithsonian
Institution Press, Washington, D.C. and International Rice Research
Institute, Manila, p.14-30
Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. 2013. RENSTRA Rencana
Strategis Kabupaten Bandung. Bandung.
Ermyanyla. 2013. Analisis Ekonomi Sumberdaya Lahan Usahatani Padi Sawah
Untuk Mendukung Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Garut.
Tesis. Institut Pertanian Bogor.
FAO. 1998. Guidelines for National Food Insecurity and Vulnerability
Information and Mapping Systems (FIVIMS): Background and Principles.
Committee on World Food Security CFS: 98/5, 24 th Session, 2-5 June 1998.
Food and Agriculture Organization, Rome.
Fatullah, A. 2010. Analisis Sistem Usaha Tani Padi Sehat (Suatu Perbandingan
Kasus: Desa Ciburuy Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor). Skripsi
Institut Pertanian Bogor.
Fauzi, A. dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Lautan
untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fauzi, A. 2002. Penilaian depresiasi sumberdaya perikanan sebagai bahan
pertimbangan penentuan kebijakan pembangunan perikanan. Jumal Pesisir
dan Lautan Vol. 4 (2). pp: 36-49.
Fisheries Centre. 2002. Attributes of Rapfish Analysis for Ecological,
Technological, Economic, Social and Ethical Evaluation Fields. Institute of
Social and Economic Research Press. St John’s Canada.
65
LAMPIRAN
70
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung Propinsi Jawa Barat
pada tanggal 19 Juli 1990 sebagai anak pertama daru dua
bersaudara pasangan Bapak H. Haruji Satia Nugraha, Drs.,
M.Pd dan Ibu Hj Sussy Suminarsih. Pada tahun 1996,
penulis memulai pendidikan dasar di Sekolah Dasar
Negeri Gentra Masekdas, Bandung dan lulus pada tahun
2002. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah
Menengah Pertama Negeri 21 Bandung dan lulus pada
tahun 2005. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di
Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Bandung dan lulus pada
tahun 2008.
Pada tahun yang sama, penulis masuk sebagai salah satu mahasiswa
sarjana Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran melalui jalur Seleksi Masuk
Universitas Padjadjaran (SMUP). Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan
sarjana pada tahun 2012. Pada tahun berikutnya, penulis berkesempatan
meneruskan pendidikan magister di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan (PS-PSL) IPB setelah berhasil menjadi penerima Beasiswa
Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(BPP-DN DIKTI) calon dosen tahun 2013.
Selama masa kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi
kemahasiswaan intra kampus. Tercatat penulis pernah menjadi anggota Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian sebagai ketua departemen
pertanian tahun 2010. Penulis juga tercatat sebagai anggota komite bidang
pendidikan dan penalaran Himpunan Mahasiswa Agronomi tahun 2011, ketua
bidang biologi tanah Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah tahun 2012 dan sampai
sekarang dan anggota Forum Mahasiswa Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan IPB (Ecologica PSL IPB) tahun 2013-2015. Selain itu,
penulis aktif sebagai asisten peneliti pada berbagai kegiatan penelitian, panitia
kegiatan kemahasiswaan, dan peserta pada berbagai kegiatan seminar terkait
keilmuan penulis.