iv
HASIL FUNGSIONAL FRAKTUR PROXIMAL HUMERUS
NEER DUA, TIGA - PERBANDINGAN ANTARA K-WIRE,
PLATE DAN COAPTATION SPLINT
Tesis
Sebagai salah satu Syarat mencapai Gelar Magister
Kepada
v
vi
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang menyatakan
vii
i
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas segala berkat dan
limpahan karunia kepada penulis mulai dari awal timbulnya ide pemikiran,
pelaksanaan sampai penyelesaian karya akhir ini penulis tidak kekurangan sesuatu
apapun. Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada
berbagai pihak yang telah berperan dalam penyusunan karya akhir ini sehingga saya
dapat menyelesaikan pendidikan di Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ortopedi
dan Traumatologi Universitas Hasanuddin.
Terima kasih saya ucapkan kepada Rektor Universitas Hasanuddin, Dekan
Fakultas Kedokteran, Ketua Bagian Ilmu Anestesi, Ketua Program studi Ortopedi dan
Traumatologi, Ketua Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran dan
Ketua Konsentrasi program pendidikan dokter spesialis dan combine degree
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin atas kesempatan yang telah diberikan
kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan PPDS dan Combine
Degree Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Terimakasih saya ucapkan para Guru Besar dan seluruh staf pengajar bagian
Ortopedi dan Traumatologi atas segala bimbingan dan arahannya selama saya
mengikuti program pendidikan dokter spesialis Ortopedi dan Traumatologi. Semoga
ilmu yang saya dapatkan selama pendidikan ini dapat saya amalkan dan manfaatkan
sebaik baiknya untuk kepentingan masyarakat luas.
Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada pembimbing saya, kepada dr.
Ruksal Saleh, Ph.D, Sp.OT(K), dr. Wilhelmus Supriyadi, Sp.OT(K), dr. Henry
Yurianto, M.Phil, Ph.D, Sp.OT(K), Dr. dr. Muh. Sakti SpOT(K) dan Dr. dr. Arifin
Seweng, MPH atas bimbingannya dalam menyelesaikan karya akhir ini. Tak lupa
saya mengucapkan banyak terimakasih kepada rekan rekan residen anestesi yang
telah membantu dalam menyelesaikan karya akhir ini hingga selesai tepat pada
waktunya.
Terimakasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada orang tua saya, Drg.
Madhin dan Kartini Jacob, telah mendukung selama saya menjalani proses
pendidikan ini. Semoga saya dapat menebus semua waktu yang hilang selama saya
menjalani pendidikan spesialis dan combine degree ini.
i
ii
ii
iii
iii
iv
iv
v
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GRAFIK v
DAFTAR LAMPIRAN vi
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang Penelitian 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penelitian 2
1.4. Kegunaan Penelitian 2
2.1.2 Biomekanika 5
2.1.3 Vaskularisasi 6
2.1.4 Innervasi 8
2.1.6 Terapi 9
2.1.6.2 Operatif 9
2.1.7 Komplikasi 18
v
vi
LAMPIRAN 35
vi
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 12. Gambaran radiografik proyeksi anteroposterior sendi bahu yang menunjukkan
Gambar 13. Gambaran radiografi proyeksi axillary view menunjukkan retroversi humeral
vii
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2. Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, dan Golongan (n=53)
viii
ix
DAFTAR GRAFIK
ix
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 5. Fraktur Proximal Humerus Neer part 2 dengan fiksasi T-buttress plate
Lampiran 6. Fraktur Proximal Humerus Neer part 2 dengan fiksasi coaptation splint
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur pada proximal humerus merupakan fraktur yang sering terjadi pada usia lanjut.
Fraktur ini mencakup 4-5% dari semua fraktur yang pernah terjadi. Pada usia muda
melibatkan mekanisme cedera energi tinggi sedangkan pada usia lanjut melibatkan cedera
ringan diakibatkan karena penurunan bone mineral density pada usia lanjut (Keating,
2010).
mengalami angulasi lebih dari 45°. Menurut Neer, klasifikasi fraktur proximal humerus
scan akan membantu untuk melakukan perencanaan perioperatif (Browner et al., 2014).
dan dapat ditangani dengan imobilisasi dan rehabilitasi yang awal. Khususnya pada usia
lanjut, penanganan terbaik adalah konservatif (Keating, 2010). Untuk penanganan fraktur
dengan pergeseran, dapat dilakukan ORIF dengan pemasangan plate and screw atau K-
wire. Berbagai terapi dan hasil pada beragam penderita, sangat bergantung daripada umur
dan fungsi sebelum terjadi fraktur proximal humerus.Adapun beberapa kontroversi masih
terdapat meliputi fraktur multipart yang kompleks displaced dan kesulitan untuk
mengevaluasi klasifikasi dan outcome dari cedera tersebut (Keating, 2010). Adapun
pilihan terapi untuk fraktur ini masih dalam pembahasan, masing-masing dengan
keuntungan dan kerugian, dan sulit untuk menyingkirkan komplikasi dari satu jenis terapi
dengan keuntungannya.
1
2
Oleh karena itu, penderita dengan pola fraktur yang serupa, dapat menerima beragam
pendapat mengenai keparahan fraktur, prediksi hasil dan manajemen fraktur yang cocok,
tergantung dari operator yang menangani kasus mereka (Browner et al., 2014).
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka timbul pertanyaan manakah yang
menghasilkan fungsi klinis lebih baik pada pasien fraktur proksimal humerus Neer tipe 2 dan
pemasangan K-wire, plating dan coaptation splint pada pasien fraktur proksimal humerus.
1) Menilai fungsi klinis berdasarkan ASES score pada sendi bahu, setelah pemasangan
K-wire.
2) Menilai fungsi klinis berdasarkan ASES score pada sendi bahu setelah pemasangan
3) Menilai fungsi klinis berdasarkan ASES score pada sendi bahu setelah pemasangan
coaptation splint.
Memberikan informasi ilmiah pada aspek teori tentang perbandingan hasil fungsi
2
3
BAB II
Kajian dari Codman mendapatkan bahwa fraktur pada proksimal humerus hampir selalu
terjadi pada garis fusi physis, sehingga menimbulkan fragmen fraktur utama seperti greater
displaced fracture apabila fragmen fraktur bergeser lebih dari 1 cm atau mempunyai angulasi ≥
Berdasarkan sistem klasifikasi ini, fraktur yang undisplaced atau minimally displaced
dianggap sebagai one-part fracture. Displaced fracture digolongkan sesuai dengan fragmen
fraktur yang bergeser, meskipun terdapat garis fraktur yang menyerupai konfigurasi one-part
hingga four-part. Fraktur dislokasi juga dapat digolongkan berdasarkan arah dislokasi dari
head humerus (anterior atau posterior). Berdasarkan kriteria diatas, Neer menyimpulkan
bahwa 85% fraktur adalah yang minimally displaced meskipun beberapa pengkajian baru
subgrup utama. Klasifikasi ini jarang digunakan secara klinis dan akademis.
3
4
4
5
2.1.2 Biomekanika
Lebih dari 2/3 pergerakan bahu normal terjadi pada sendi glenohumeral, sisanya oleh
sendi scapulothorasik. Oleh sebab itu, cedera yang merusak head humerus dan mengurangi
permukaan fulkrum untuk pergerakan sendi akan mempengaruhi fungsi bahu secara
bermakna. Head humerus yang intak menjadi fulkrum bagi deltoid dan rotator cuff untuk
mengelevasi lengan sementara memberi kestabilan pada humerus. Kekuatan otot rotator cuff
5
6
memberi efek stabilizer dari robekan. Elevasi dan rotasi bahu akan terhalang apabila fulkrum
humeral head rusak akibat fraktur maupun dislokasi (Murray et al., 2011).
mencakup 25-30% dari humeral head dan hal ini memberi kerangka stabilitas yang sedikit.
Stabilitas sendi glenohumeral bergantung juga kepada jaringan ikat yang ada disekitarnya.
Rotator cuff interval, termasuk ligamen korakohumeral dan ligamen glenohumeral superior
mencegah translasi ke inferior pada posisi adduksi dan mencegah dislokasi posterior pada
posisi fleksi, abduksi dan external rotasi. Ligamen korakohumeral memiliki fungsi terhadap
Untuk menjalankan fungsi normal, sendi bahu memerlukan kekuatan yang didapati
Otot rotator cuff dan deltoid masing-masing menyediakan 50% kekuatan untuk elevasi
extremitas diatas kepala. Stabilitas glenohumeral dinamik terutama disediakan oleh otot
rotator cuff dan tendon. Menurut pengkajian Lippitt et. al, stabilitas bergantung dari
6
7
Gambar 3. Efek rotator cuff pada proximal humerus. Rotator cuff memberikan stabilitas dinamik dengan
mempertahankan posisi humeral head di glenoid dan mencegah translasi dan rotasi abnormal dari sendi
glenohumeral. Otot rotator cuff menyediakan 50% kekuatan untuk elevasi dan 90% kekuatan external rotasi.
2.1.3 Vaskularisasi
Suplai arteri ke proximal humerus berasal dari arteri axillaris melalui cabang humerus
circumflexa anterior dan posterior, ini akan ber-anastomose di bagian medial pada
quadrilateral space, di bagian lateral di daerah tuberositas mayor dan di humeral head melalui
minor dan humeral head. Cabang utama anterior circumflexa adalah anterolateral ascending
artery, yang menyusuri bicipital groove dan masuk ke humeral head untuk membentuk
interosseus arcuate artery dimana pada kondisi normal, merupakan vaskularisasi utama bagi
humeral head. Cabang dari posterior circumflexa arteri menyuplai tuberositas mayor dan
7
8
Beberapa sumber vaskularisasi alternatif untuk humeral head menjadi penting pada
kondisi fraktur. Observasi menunjukkan bahwa osteonekrosis tidak langsung terjadi pada
fraktur proximal humerus Neer part 3 & 4, dan ini kemungkinan berkaitan dengan
vaskularisasi dari tuberositas, jaringan ikat, rotator cuff maupun kapsul. Pada khususnya,
cabang dari posterior circumflexa arteri masih dapat memberi perfusi ke humeral head.
Pembuluh-pembuluh darah tersebut biasanya masih viable pada fraktur proximal humerus
Neer 3 & 4 valgus dimana kapsul dan medial periosteum masih intak. Cabang circumflexa
yang masih baik beserta jaringan ikat disekitar fraktur dipertahankan pada saat reduksi dan
8
9
2.1.4 Innervasi
Persarafan dari bahu berasal dari cabang pleksus brakialis (C5-T1). Bagian trunks,
divisions, cord, dan branches dari pleksus mungkin akan rusak oleh fragmen fraktur yang
mengalami pergeseran atau cedera yang disebabkan oleh traksi (Murray et al., 2011).
Selama tindakan operatif, sebagian besar struktur ini biasanya dilindungi oleh conjoined
tendon yang terdiri dari otot biceps short head dan coracobrachialis, yang menandai batas
menghindari traksi berkepanjangan pada tendon tersebut selama proses intraoperatif, karena
processus coracoid. Nervus aksilaris (C5-C6) adalah struktur utama yang berisiko selama
penanganan operatif pada fraktur humerus proksimal. Saraf muncul dari bagian posterior
cord pleksus dan berjalan secara posterolateral di atas tulang subskapularis bagian bawah
untuk memasuki quadrilateral space, yang merupakan hubungan inferior langsung dari
kapsul sendi glenohumeral. Ini memberikan cabang posterior yang mempersarafi otot deltoid
posterior dan teres minor dan menyediakan sensasi ke “badge area” dari lengan atas. Cabang
anterior berada di sekeliling surgical neck yang menuju ke dalam otot deltoid. Persarafan ini
menginervasi bagian anterior dan sepertiga tengah dari otot deltoid tetapi tidak memiliki
Klinis meliputi nyeri, edema dan hematoma pada lengan atas dan biasanya tampak
lebih berat pada dua minggu pertama. Fraktur proximal humerus terletak di dalam otot bahu
dan pembengkakan dan hematoma sering terlihat lebih jelas pada lengan bawah bagian
9
10
yang tersembunyi.
2.1.6 Terapi
2.1.6.1 Non-operatif
Fraktur yang bergeser minimal atau tidak bergeser dapat diterapi secara konservatif,
dengan periode imobilisasi 2 minggu dengan sling atau coaptation splint diikuti oleh
pergerakan pasif dari bahu. Serial X-ray control dilakukan dalam jangka waktu 3 minggu
(Khmelnitskaya et al., 2012). Hal ini untuk memastikan tidak adanya pergeseran dari fragmen
fraktur di kemudian hari. Adanya gambaran ‘pseudosubluksasi’ inferior pada fraktur proximal
humerus disebabkan oleh karena atoni otot deltoid, hemarthrosis ataupun robekan rotator cuff.
Gambaran ini akan pulih seiring waktu dan penyembuhan (Twiss, 2015).
bagi 75% kasus, khususnya untuk fraktur yang bergeser minimal (Neer part 1) (Jawa et al.,
2016). Pada beberapa pasien yang lanjut usia dan memiliki komorbiditas medis, tipe fraktur
yang kompleks dapat diterapi secara konservatif dan masih menghasilkan outcome yang
memuaskan. Namun apabila terapi non-operatif gagal, maka hasil outcome nya akan lebih
2.1.6.2 Operatif
Reduksi fraktur secara anatomis dilakukan dibawah C-arm. Untuk fraktur surgical
neck, dua hingga tiga buah Kirschner wire (0.045 – 0.0625) dimasukkan ke korteks lateral
distal terhadap insersi deltoid dan diteruskan ke daerah subchondral tanpa merusak
permukaan sendi artikular. Untuk fraktur tuberositas mayor dengan surgical neck, dua buah
Kirschner wire harus purchase ke korteks medial > 2 cm dari batas inferior humeral head.
Resch et.al menjelaskan teknik untuk reduksi tertutup untuk fraktur proximal humerus
10
11
Neer part 3: fraktur subkapital direduksi dengan adduksi, internal rotasi dan traksi axial dari
lengan atas. Pointed hook retraktor dimasukkan ke rongga subakromial untuk mengarahkan
fragmen tuberositas mayor ke anterior dan inferior. Dengan menggunakan C-arm, sendi bahu
dimanipulasi ke internal rotasi dan external rotasi hingga fragmen fraktur tereduksi dan
difiksasi dengan dua cannulated self-tapping screw. Imobilisasi dilakukan untuk tiga sampai
empat minggu kemudian dilanjutkan dengan pendulum exercise, elevasi anterior dan external
rotasi bahu. Pergerakan aktif dilaksanakan setelah 6 minggu bila sudah ada tanda-tanda
program rehabilitasi. Penggunaan Kirschner wire tidak mendukung untuk kasus osteoporosis,
kasus dengan comminution pada bagian medial calcar dan pada penderita yang tidak
Reduksi tertutup dan pinning ini memerlukan teknik yang advanced. Hingga saat ini
telah banyak diteliti studi anatomikal yang mengevaluasi hubungan struktur neurovaskular
dengan Kirschner wire yang dipasang secara perkutaneus. Rowles dan McGrory meneliti
mengenai sepuluh bahu kadaver dengan perkutaneus pinning (dua pin lateral, satu pin anterior
dan dua pin pada tuberositas mayor). Dari studi ini ditemukan bahwa pin yang terletak di
proximal lateral berjarak rata-rata 3 mm dari cabang anterior nervus axillaris. Pin anterior
terletak sekitar 2 mm dari tendon long head biceps brachii dan 11 mm dari vena sefalika. Pin
di proximal tuberositas berjarak 6 mm dari nervus axillaris dan 7 mm dari arteri circumflexa
posterior (Nho et al., 2007). Pin tersebut akan menekan struktur-struktur penting apabila bahu
Pada kadaver studi yang dilakukan oleh Kamineni et.al, pemasangan Kirschner wire
Gambar 5.Fiksasi Kirschner wire pada proximal humerus.11 X-ray anterior posterior fraktur proximal humerus yang
difiksasi dengan metode Jaberg et.al. X adalah jarak dari aspek superior ke inferior humeral head. 2X
adalah starting point untuk proximal lateral pin. End point untuk pin tuberositas mayor harus > 2 cm dari batas
inferior humeral head.
12
secara perkutaneus mengikuti metoda Jaberg et.al dengan satu anteroposterior wire dan dua
dari sisi lateral (Gambar 4). Ditemukan beberapa kasus adanya kerusakan langsung nervus
axillaris oleh pin lateral sedangkan pin anterior merusak cabang terminal nervus axillaris.
Menurut Kamineni et.al, fiksasi pada fraktur proximal humerus tetap dianjurkan untuk
dilakukan minimal open approach untuk menghindari cedera pada struktur penting di sekitar
12
13
plate. Wanner et.al menggunakan sistem ‘double plating’ dengan dua buah one-third tubular
plate. Standar insisi melalui approach deltopectoral dengan tujuan mencapai reduksi anatomis
diantaranya untuk tuberositas minor dan mayor, mengembalikan panjang shaft humerus dan
retroversi daripada humeral head. Pertama-tama dilakukan fiksasi di bagian lateral untuk
mereduksi tuberositas mayor. Kemudian fiksasi plate anterior perpendikular dengan plate
pertama. Pada penelitian Warren et.al, mereka menggunakan injeksi bone semen ke dalam
lubang screw pada kasus tulang porotik. Tulang porotik pada daerah proximal humerus ini
dapat menyebabkan kegagalan implantasi berupa screw pullout dan loosening. Meskipun
demikian, plating secara konventional masih dapat memberi hasil yang baik bila reduksi
anatomis tercapai.
Konvensional plating biasanya digunakan pada penderita muda dengan medial hinge
yang intak dan korteks diafisis yang adekuat (> 4 mm), oleh karena itu penderita usia tua
dianjurkan menggunakan fiksasi dengan locking plate. Metode Warren et.al dengan
menggunakan ‘double plate’ system memberikan outcome yang cukup memuaskan meskipun
karena t ipisnya plat dapat dibentuk sesuai permukaan kontur tulang dan
fiksasi yang rigid dapat mengurangi nyeri kooperatif (Ruedi et al., 2007).
13
14
Gambar 7. Algoritma penanganan fraktur proximal humerus berdasarkan usia kronologis dan fisiologis.
Penderita usia muda ditangani secara agresif dan osteosintesis untuk mengembalikan struktur anatomi
normal, sedangkan penderita usia lanjut diterapi secara konservatif dan arthroplasti.
14
15
reduksi anatomis dari fraktur, diperhatikan untuk reposisi dari medial calcar. Posisi plate di
tengah dari korteks lateral 8 mm distal dari aspek superior tuberositas mayor. Penggunaan
locking plate memiliki keuggulan mekanik pada jenis fraktur yang comminuted di daerah
metafisis karena adanya ‘fixed-angle’ relationship plate dan screw. Proximal humeral locking
plate harus diletakkan pada tinggi yang sesuai karena akan cenderung terjadi impingement di
akromion. Penyembuhan fraktur proximal humerus sangat bergantung pada medial hinge atau
calcar, dan harus diperhatikan agar tereduksi secara anatomis (Gambar 6). Kontraindikasi
pemasangan locking plate adalah adanya fraktur dislokasi, humeral head yang terpecah dan
fraktur impresi meliputi > 40% permukaan artikular (Konrad et al., 2008).
15
16
Gambar 9. Rekonstruksi medial calcar pada fraktur proximal humerus. Ilustrasi menunjukkan fraktur proximal
humerus dengan medial hinge yang rusak yang telah direkonstruksi dengan plat intramedular 2.0-mm untuk
reduksi preliminary.
Hemiarthroplasti
operasi standar menggunakan deltopectoral approach. Pada arthroplasti bahu, penting untuk
dan insersi dari rotator cuff. Komponen humerus diposisikan untuk mengembalikan tinggi
humerus normal dan retroversi (sekitar 30◦ - 40◦). Hampir semua kasus memerlukan
cemented stem untuk menghindari rotasi pada humerus, dan bone graftdiantara tuberositas
direkonstruksi kembali dengan mengembalikan posisi tuberositas dengan teknik suture yang
berbeda beda. Pada literatur Bone and Joint Surgery ini dilakukan teknik penjahitan (Gambar
Cerclage suture pertama dari tuberositas mayor yang dilingkarkanke arah medial leher
16
17
Cerclage suture kedua melewati tuberositas minor, dan tension band dapat digunakan untuk
memfiksasi tuberositas ke shaft humerus. Pergerakan sendi bahu setelah pemasangan implant
arthroplasti dilakukan sebelum penutupan luka untuk memastikan stabilitas telah tercapai.
Hemiarthroplasti dianjurkan untuk fraktur proximal humerus Neer part 3 & 4 pada
kasus osteoporotik, comminution, fraktur dislokasi dan fraktur impresi yang meliputi > 40 %
permukaan sendi, dengan pertimbangan kegagalan fiksasi pada tulang porotik dan resiko
17
18
osteonekrosis yang tinggi. Sebaliknya, infeksi dari sendi bahu atau jaringan ikat sekitarnya
Secara keseluruhan, outcome yang optimal untuk arthroplasty dapat dicapai apabila
operator mempertimbangkan dua hal utama yaitu: retroversi humeral head yang benar (sekitar
30◦ - 40◦ menggunakan bicipital groove sebagai patokan) dan lokasi anatomis tuberositas
mayor. Selain dari itu, panjang humerus juga sangat mempengaruhi outcome operasi.
Humerus yang memendek post operasi akan mengurangi lever arm dari otot deltoid dan
mengurangi kekuatan otot untuk elevasi lengan. Sebaliknya, humerus yang terlalu panjang
superior dari implant (Murray et al., 2011). Restorasi dari epiphyseal width juga menjadi
salah satu pertimbangan untuk mencapai hasil arthroplasti yang optimal. Epiphyseal width
yang sesuai (dibandingkan dengan kontralateral) akan memberikan soft-tissue tension otot
dilakukan secara teknis, namun beberapa studi mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara arthroplasti yang dilakukan pada kondisi akut atau kronik (jangka waktu 30
18
19
Gambar 11. Gambaran radiografik proyeksi anteroposterior sendi bahu yang menunjukkan tinggi humerus yang
sesuai, letak tuberositas dan lebar epifisis.
Gambar 12. Gambaran radiografi proyeksi axillary view menunjukkan retroversi humeral head yang adekuat.
19
20
2.1.7 Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukan fiksasi adalah hilangnya
reduksi, adhesive capsulitis, omarthrosis, avaskular nekrosis, dan impingement pada implant.
Komplikasi terbesar fraktur proksimal humerus yang ditangani secara konservatif maupun
operatif adalah osteonekrosis daripada humeral head. Insidensi berkisar antara 0%-70% yang
disebabkan oleh kerusakan vaskularisasi ke humeral head khususnya pada fraktur yang
osteonekrosis karena soft-tissue stripping yang minimal. Namun kurangnya stabilitas post
operasi akan menjadi hambatan untuk tindakan rehabilitatif awal, khususnya pada pasien
dengan kondisi tulang porotik. Pada tulang yang porotik, Her-tel et.al. menganjurkan
pemasangan osteosuture tambahan dan minimal plating untuk mencapai ekstra stabilitas. Pada
beberapa pengkajian didapatkan bahwa fiksasi dengan menggunakan K-wire dapat digunakan
pada kondisi dengan stok tulang yang baik (Sidhu et al., 2009). Meskipun demikian, beberapa
komplikasi berupa instabilitas, infeksi jalur pin, iritasi kulit, migrasi pin dan pemaparan
Osteosintesis menggunakan plate and screw untuk fraktur proximal humerus telah
terbukti memberikan stabilitas yang paling besar pada tulang non-porotik. Komplikasi yang
terjadi pada kasus osteoporotik adalah screw loosening dan kegagalan implant, khususnya
pada fraktur Neer 3 & 4. Menurut Kristiansen dan Christensen, penggunaan T-buttress plate
pada fraktur proximal humerus tidak menghasilkan outcome yang memuaskan akibat gagal
implant. Sebaliknya, beberapa riset lain mendapatkan hampir 74% penderita memiliki fungsi
yang baik dan memuaskan pada penggunaan T-buttress plate untuk fraktur proximal humerus.
Khususnya pada fraktur proximal humerus Neer 4, hasil osteosintesis plate & screw tidak
20
21
memuaskan dan dianjurkan untuk penggantian sendi dengan arthroplasty (Brinker et al.,
2009).
difiksasi dengan locking plate dan dipapar dengan cyclic loading menunjukkan keunggulan
lebih yaitu stabilitas terhadap torsio dan bending. Apabila dibandingkan dengan implant
konvensional yang lebih kaku (T-plate), Locking Compression Plate untuk proximal humerus
menunjukkan stabilitas jangka lama yang lebih baik (Sidhu et al., 2009).
2.3. HIPOTESIS
Functional outcome plate and screw pada fraktur proksimal humerus Neer part 2 & 3
21
22
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian berupa Analitic Cross sectional study.
Penelitian ini telah dikaji oleh beberapa pihak menggunakan implant yang berbeda,
perbandingan antara K-wire dengan locking plate, namun masih merupakan kontroversi.
plate fixation dan mereka yang ditangani dengan K-wiring dan pasien yang menolak
operasi dan titangani secara konservatif dengan coaptation splint dari rekam medis dan
register pasien di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo dan Rumah sakit jejaring
2. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian menjalani prosedur wawancara sebagai data
Dimana pada kriteria ini dapat ditentukan secara kualitatif hasil fungsi klinis dari
masing-masing pasien.
5. Hasil dikumpulkan, dicatat dan dianalisa, kemudian akan dilakukan diskusi dan
22
23
1) Kriteria Subyek
Pasien setelah pemasangan plate fixation, K-wiring dan coaptation splint di RS Wahidin
Sudirohusodo dan Rumah Sakit jejaring bagian Ortopedi dan Traumatologi di Makassar
2) Kriteria Objektif
23
24
1) Fraktur proximal humerus Neer part 2 adalah fraktur yang melibatkan pergeseran
(minimal 1 cm atau angulasi 450 ) pada satu part: surgical neck, anatomical neck,
2) Fraktur proximal humerus Neer part 3 adalah fraktur yang melibatkan pergeseran
(minimal 1 cm atau angulasi 450 ) pada dua part: surgical neck dan greater tuberosity,
surgical neck dan lesser tuberosity dan greater tuberosity dan lesser tuberosity.
yang spesifik yang dapat dinilai dari American Shoulder and Elbow Surgeon (ASES)
Score. Dimana interpretasi scoring 100 menunjukkan functional outcome terbaik, dan
5) Coaptation splint yang digunakan adalah cast yang dipasangkan dari 1 inci superior
dari acromioclaviculr joint hingga 2 inci distal dari axilla dengan kondisi siku fleksi
90 derajat.
Data yang diperoleh, diolah dengan bantuan piranti lunak dengan metode statistik
dan disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan grafik SPSS version 22. Analisa statistic
24
25
yang digunakan adalah statistic deskriptif dan tes Kruskal-Wallis untuk level
3.2.2 Populasi
Populasi yang termasuk dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan fraktur
humerus proksimal dengan 2 bagian dan 3 bagian dengan K-wire, fiksasi plate, dan pasien-
pasien yang menolak operasi dan ditangani secara konservatif dengan coaptation splint yang
Penelitian ini menggunakan semua pasien dengan fraktur humerus proksimal Neer
part 2 & 3 dengan K-wire,plate and screw dan coaptation splint yang dipilih berdasarkan
kriteria inklusi. Pengambilan sampel yaitu dengan melakukan pengumpulan data medik
pasien sebagai data sekunder dan melakukan wawancara dan pemeriksaan klinis sebagai data
primer.
25
26
a. Kriteria Inklusi
1. Kriteria Inklusi adalah pasien dengan fraktur humerus proksimal yang ditangani
dengan plate fixation dan mereka yang ditangani dengan K-wiring dan pasien yang
b. Kriteria Eksklusi
3. Pasien dengan fraktur humerus proksimal dan cedera penyerta pada sisi yang sama.
4. Pasien dengan fraktur proksimal humerus patologis yang disebabkan oleh kanker dan
metastasis.
1. Pasien kriteria Inklusi menolak seluruh tindakan penelitian terhadap dirinya untuk
dijadikan subyek penelitian dimulai sesaat setelah tindakan operasi sampai sembuh.
1. Medical Record
4. Kamera digital
5. Laptop Asus
6. SPSS Versi 22
26
27
BAB IV
27
28
Didapatkan lima puluh tigapasien dengan kasus fraktur proximal humerus Neer part II
dan IIIyang ditangani dengan tindakan operasi reduksi terbuka dan internal fiksasi dengan
plate and screw, K-wire dan coaptation splint di Makassar yang memenuhi kriteria inklusi dan
ekslusi penelitian ini selama kurun waktu bulan Januari 2013 hingga Desember 2016.
Metode Analisis
Data yang diperoleh, diolah dengan bantuan piranti lunak dengan metode statistik dan
disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan grafik SPSS version 22. Analisa statistic yang
digunakan adalah statistic deskriptif dan tes Kruskal-Wallis untuk level signifikan 0,05. Tes
Hasil Penelitian
Score (n=53)
Variabel Minimum Maximum Mean Std. Deviasi
Usia 42 60 48,74 4,74
ASES Score 55,04 100,00 79,77 11,61
Tabel 1 menunjukkan:
Rentang usia subjek penelitian adalah 42 hingga 60 tahun dengan mean (rata-rata)
48,7±4,7 tahun.
ASES score mempunyai nilai antara 55,04 to 100,00 dengan rata-rata 79,77±11,61
28
29
Splint
K-Wire 18 34,0
Plate & Screw 20 37,7
Mayoritas subjek penelitian adalah laki-laki (79,2%), usia 45-49 tahun (39,6%).
Berdasarkan jenis fiksasi, terdapat 15 subjek yang menggunakan Coaptation Splint, 18 subjek
Nilai Mean ASES score paling rendah secara signifikan pada kelompok Coaptation
Splint (69,73) dan paling tinggi pada kelompok Plate and Screw (89,50).
Berdasarkan hasil tes post-hoc, nilai mean ASES score pada Kelompok Coaptation
29
30
30
31
Grafik 4.
4.2 PEMBAHASAN
Pemilihan terapi untuk fraktur proximal humerus Neer part 2 & 3 mencakup
terapi non-operatif dan operatif. Preferensi untuk operasi tergantung dari umur dan
31
32
kualitas tulang pasien, dan juga kemampuan operator untuk menganalisa tipe fraktur dan
memilih teknik yang sesuai untuk mengembalikan fungsi anatomis dari proximal
humerus.
Secara insiden, fraktur proximal humerus yang lebih sering terjadi pada wanita
post menopause, memaparkan beberapa dilema untuk pemilihan terapi fraktur disebabkan
adanya kondisi porotik tulang. Hal ini menyulitkan pemasangan implant karena
kurangnya purchase pada tulang dan resiko terjadi osteonekrosis dan impingement
pemasangan K-wire perkutaneus memiliki keuntungan yang lebih baik karena minimal
soft tissue stripping, namun resiko cedera neurovaskular tetap harus dipertimbangkan.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa nilai rata-rata ASES score paling rendah secara
signifikan pada kelompok Coaptation Splint (69,73) dan paling tinggi pada kelompok Plate
and Screw (89,50). Scoring sistem ASES menunjukkan adanya outcome yang lebih superior
untuk pemasangan plate & screw berupa T-buttress plate dibandingkan dengan kelompok
yang menggunakan splint. Nilai rata-rata ASES score untuk penggunaan K-wire (77,33)
menunjukkan outcome yang lebih baik dibandingkan dengan splint namun tidak lebih baik
daripada penggunaan plate & screw. Sesuai dengan pengkajian Sidhu et.al, dimana
penggunaan T-buttress plate memberikan functional outcome yang baik untuk fraktur
proximal humerus Neer part 2 & 3 pada penderita dengan kualitas tulang yang baik.12
32
33
BAB V
5.1 KESIMPULAN
1. Skor ASES mendukung hasil fungsional untuk plate and screw dibandingkan dengan K-
berbagai jenis penanganan bisa diterapkan pada setiap individu tergantung pada banyak
faktor seperti usia, tulang, penyembuhan tulang dan kepatuhan pasien, dan lain-lain.
5.2 SARAN
Penelitian lebih lanjut dianjurkan pada kelompok usia yang berbeda, sebaiknya pada usia
33
34
DAFTAR PUSTAKA
Keating J. (2010). Fracture of the Humeral Neck . Rockwood and Green’s Fracture in Adults
7ed. Lippincott Williams & Wilkins.;35:1047-8.
Brinker MR. (2013). Proximal Humerus Fracture and Dislocation. Review of Orthopaedic
Trauma 2 nd ed. Lippincott Williams & Wilkins.;19:404-430.
Browner BD. et al. (2014). Chapter 4: Upper Extremity. Skeletal Trauma 5 th ed.
Elsevier.;1410-1.
Konrad GG. et al. (2008). Proximal Humerus Fractures - Current Treatment Options. Acta
Chirurgiae Orthopaedicae Et Traumatologiae. Department für Orthopädie und
Traumatologie, Klinikum der Albert-Ludwigs-Universitä.;412-21.
Nho BS. et al. (2008). Management of Proximal Humeral Fracture. The Journal of Bone and
Joint Surgery.;89(A):44-57.
34
35
Murray IR. et al. (2011). Article Review of Proximal Humeral Fracture Concept in
Classification, Management and Result. The Journal of Bone and Joint Surgery.;93(B):1.
McClure P. et al. (2013). Measures of Adult Shoulder Function: The American Shoulder and
Elbow Surgeons Standardized Shoulder Form Patient Self-Report Section (ASES),
Disabilities of the Arm, Shoulder, and Hand (DASH), Shoulder Disability Questionnaire,
Shoulder Pain and Disability Index (SPADI), and Simple Shoulder Test. Arthritis Care and
Research.;49(55):550-558.
Sidhu AS. et al. (2009). Analysis of Treatment in Proximal Humeral Fracture. Journal
Pb Orthopaedic.;Vol.XI:1.
De La Hoz Marín JJ. et al. (2010). Surgical Treatment of Proximal Humeral Fracture Neer
Part III. Acta Orthopædica Belgica.;67;3.
Jawa A. et al. (2016). Treatment of Proximal Humeral Fracture. The Journal of Bone and
Joint Surgery.;4:1.
35
36
Kamera digital
Laptop
36
37
SPSS Versi 22
37
38
FORMAT WAWANCARA
IDENTITAS PASIEN
1. Nama : ..........................................................
2. Umur : ……………………………………...
3. Rumah Sakit / No. Reg : ..........................................................
4. Pekerjaan : ..........................................................
5. Alamat : ..........................................................
6. No. HP / telp : ..........................................................
38
39
Subskala nyeri
Intensitas nyeri:
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Sangat
nyeri nyeri
Subskala fungsional
1. Apakah sulit bagi anda untuk mngenakan jas?
- Tidak bisa
- Sangat sulit
- Agak sulit
- Tidak sulit
3. Apakah sulit bagi anda untuk menyikat punggung (atau mengenakan bra)?
- Tidak bisa
- Sangat sulit
- Agak sulit
- Tidak sulit
- Tidak bisa
- Sangat sulit
- Agak sulit
- Tidak sulit
- Tidak bisa
- Sangat sulit
- Agak sulit
- Tidak sulit
39
40
- Tidak bisa
- Sangat sulit
- Agak sulit
- Tidak sulit
- Tidak bisa
- Sangat sulit
- Agak sulit
- Tidak sulit
- Tidak bisa
- Sangat sulit
- Agak sulit
- Tidak sulit
- Tidak bisa
- Sangat sulit
- Agak sulit
- Tidak sulit
- Tidak bisa
- Sangat sulit
- Agak sulit
- Tidak sulit
Interpretasi:11
Subscale nyeri: (10-raw score) x 5 (score 0-50 ASES point)
Subscale fungsi: (10 item x 5) ÷ 3 (score 0-50 ASES point)
Total ASES score: Subscale nyeri (50% dari total) + subscale fungsi (50% dari total)
0-100 (0 = paling nyeri / disabilitas tertinggi)
40
41
41
42
42
43
43
44
NO
NO UMUR JK DIAGNOSA FIKSASI ASES SCORE
SAMPEL
Closed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
1 1 55 L Coaptation Splint 61.72
parts
Closed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
2 2 45 L Coaptation Splint 56.71
parts
Closed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
3 3 51 L Coaptation Splint 73.4
parts
Closed Fracture Proximal Left Humerus Neer 3
4 4 55 L Coaptation Splint 65.06
parts
Closed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
5 5 48 L Coaptation Splint 55.04
parts
Closed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
6 6 47 L Coaptation Splint 61.72
parts
Closed Fracture Proximal Left Humerus Neer 3
7 7 42 L Coaptation Splint 76.74
parts
Closed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
8 8 49 L Coaptation Splint 61.72
parts
Closed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
9 9 53 P Coaptation Splint 78.41
parts
Closed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
10 10 55 L Coaptation Splint 83.42
parts
Closed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
11 11 60 P Coaptation Splint 73.4
parts
Closed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
12 12 55 L Coaptation Splint 85.08
parts
44
45
45
46
46
47