Anda di halaman 1dari 32

Acne Vulgaris

Seorang perempuan berusia 17 tahun dating ke poliklinik kulit dan kelamin dengan

keluhan bitnik-bintik merah pada wajah, dagu dan dahi sejak ± 1 bulan yang lalu. Tidak

terdapat gatal. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (+) yaitu kakaknya. Pada

pemeriksaan dermatologis didapatkan komedo, papul dan nodul.

Step 1

Identifikasi Kata Sukar dan Kata Kunci

1. Identifikasi Kata Sukar :


- Papul : kumpulan jerawat teriritasi (konsistensi keras) atau benjolan
kumpulan komedo.
- Nodul : benjolan pada kulit berukuran > 0,5 cm

2. Identifikasi Kata/Kalimat kunci :


1. Perempuan berusia 17 tahun
2. Keluhan bintik merah pada wajah, dagu dan dahi kira-kira 1 bulan yang lalu
3. Tidak terdapat gatal
4. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (+) yaitu kakaknya
5. Pemeriksaan dermatologis terdapat komedo, papul dan nodul

Acne Vulgaris 1
Step 2

Identifikasi Masalah dan Pertanyaan

1. Bagaimana alur penegakan diagnosis terkait keluhan pasien tersebut?


2. Apa sajakah etiologi yang berhubungan dengan kasus tersebut?
3. Apa sajakah diagnosis banding yang didapatkan dari keluhan pasien tersebut?
4. Bagaimana penatalaksanaan yang dilakukan terhadap pasien? Baik
farmakologi maupun non farmakologi.
5. Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan terhadap kasus tersebut?
6. Jelaskan diagnosis yang paling mungkin!
7. Bagaimana patomekanisme dari diagnosis pasti tersebut?
8. Bagaimana prognosis dari keluhan pasien tersebut?

Acne Vulgaris 2
Step 3

Jawaban Atas Pertanyaan Step 2

1. Anamnesis:
- Identitas
- Keluhan utama : sejak kapan? Ada nyeri atau tidak? Lokasi bintik merah?
- Riwayat penyerta
- Riwayat penyakit
- Riwayat keluarga
- Riwayat kebiasaan
Pemeriksaan fisik:
- Look Diamater bintik merah, substansi bintik merah, serta penyebaran,
bentuk, dan tekstur.
- Feel Ada tidaknya nyeri
- Move Pergerakan aktif atau pasif

2. Etiologi terdiri dari 2, yaitu: intrinsic dan ekstriksik.


1) Intrinsik : genetic, hormonal (hormone androgen), usia (12-17 tahun –
masa pubertas).
2) Ekstrinsik : Stress, kelembapan, suhu, kosmetik, obat-obatan dan gaya
hidup.

3. Diagnosis banding
1) Acne vulgaris
2) Erupsi acneiformis
3) Folikulitis

Acne Vulgaris 3
4. Penatalaksanaan farmakologi diberikan berdasarkan klasifikasi acne atau
jerawat, yaitu:
- Acne vulgaris ringan : Retinoid topical dan anti mikroba
- Acne vulgaris sedang : Retinoid topical dan antibiotic oral
Sedangkan penatalaksanaan secara non farmakologi, yaitu dengan:
- Menjaga pola makan
- Mencuci muka 2 kali sehari
- Mengurangi stress

5. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi keluhan tersebut yaitu:


1) Lebih sering membersihkan wajah, agar tidak terjadi penimbunan sebum.
2) Mengontrol factor ekstrinsik yaitu stress, kosmetik dll.
3) Gaya hidup.
4) Diet rendah lemak dan karbohidrat.

6. Diagnosis paling mungkin terkait kasus tersebut adalah jerawat atau acne
vulgaris. Hal tersebut ditinjau dari hasil alur penegakan diagnosis (anamnesis
dan pemeriksaan fisik), serta factor-faktor terkait lainnya.

7. Patomekanisme diagnosis terkait, yaitu Acne vulgaris.


Diawali dengan serangkaian factor intrinsic dan ektrinsik yang mempengaruhi
meningkatkan produksi sebum hiperproliferasi folikel sebasea acne
vulgaris peningkatan sebum peningkatan propium acne inflamasi
nodul dan papul (tanda inflamasi pada kulit).

8. Prognosis acne vulgaris adalah dubia ad bonam. Acne vulgaris atau jerawat
biasanya akan sembuh sebelum usia 30 – 40 tahun dan juga jika dilakukan
penatalaksanaan lebih awal.

Acne Vulgaris 4
Step 4
Mind Mapping

Perempuan 17 th
Anamnesis Pemeriksaan Fisik

KU: Bintik merah di wajah, dagu


dan dahi 1 bulan yll. Tidak gatal. Local sign: Look, Feel, Move

Riwayat keluarga (+) kakaknya

DD: Acne vulgaris, Erupsi


acneiformis, Folikulitis

Pemeriksaan Dermatologis: Diagnosis Pasti:


Penunjang komedo, nodul dan Acne Vulgaris
papul

Efloresensi dengan Loop & Etiologi & Faktor Resiko:


Ektrinsik dan Intrinsik
Tes kulit dengan Sebumeter

Patomekanisme

Prognosis: Dubia Penatalaksanaan


ad Bonam
Farmakologi

Non Farmakologi

Acne Vulgaris 5
Step 5

Learning Objectives

1. Mahasiswa mampu menjelaskan alur penegakan diagnosis terkait scenario.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis banding yang didapatkan

berdasarkan skeanario.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan penunjang kulit yang dilakukan

untuk menegakan diagnosis pasti.

4. Mahasiwa mampu menjelaskan etiopatogenesis terkait penyakit yang diderita

pasien.

5. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan yang dilakukan terhadap

pasien tersebut. Baik farmakologi, non farmakologi serta preventif dan

promotive.

Acne Vulgaris 6
Step 6

Belajar Mandiri

( Hasil belajar mandiri akan dibahas pada step 7 yaitu Jawaban Atas Learning

Objektif )

Step 7

Jawaban Atas Learning Objectives

Diskusi dan Presentasi Hasil Belajar Mandiri

Acne Vulgaris 7
1. Mahasiswa mampu menjelaskan alur penegakan diagnosis terkait scenario.

1) Anamnesis

Diagnosis acne vulgaris dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, dapat ditemukan keluhan
yang bersifat subjektif. Keluhan penderita dapat berupa bintik-bintik merah,
gatal atau sakit, tetapi pada umumnya keluhan penderita lebih bersifat
kosmetik. Lesi-lesi yang disertai peradangan mungkin terasa gatal pada saat
baru timbul dan terasa sakit apabila ditekan. Hal ini sangat mengganggu dalam
hal psikologis karena berkaitan dengan estetika.1

2) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya komedo, baik komedo terbuka
maupun komedo tertutup. Adanya komedo diperlukan untuk menegakkan
diagnosis acne vulgaris. Selain itu, dapat juga ditemukan papul, pustul, nodul,
dan kista pada daerah-daerah predileksi yang mempunyai banyak kelenjar
lemak.1

3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang, pemeriksaan laboratorium bukan merupakan indikasi
untuk penderita acne vulgaris, kecuali jika dicurigai adanya
hiperandrogenisme. Meskipun androgen berperan penting, sebagian besar
penderita acne tanpa gejala hiperandrogenisme memiliki kadar androgen serum
normal, dan derajat berat acne tidak berkorelasi dengan kadar androgen serum.
Diduga bahwa androgen hanya sebagai faktor pemicu acne. Secara klinis, acne
lebih ditentukan oleh produksi androgen lokal di kulit yang berlebihan dan atau
reseptor androgen yang banyak serta sangat responsif.2,3
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
histopatologi, pemeriksaan mikrobiologi untuk pemeriksaan terhadap

Acne Vulgaris 8
mikroorganisme misalnya Propionibacterium acne dan juga dilakukan analisis
komposisi asam lemak di kulit.4

2. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis banding yang didapatkan berdasarkan


skeanario.

1) Acne vulgaris
Akne vulgaris merupakan gangguan dari unit pilosebasea yang sering dijumpai,
dikarateristikkan dengan adanya papul folikular non inflamasi (komedo) dan
adanya papul `inflamasi, pustul, nodul dan kista pada bentuk yang berat. Akne
vulgaris mengenai daerah kulit dengan populasi kelenjar sebasea yang paling
padat; antara lain pada daerah wajah, dada bagian atas, dan punggung. Akne
vulgaris yang berat dapat memberikan dampak psikologis dan fisik berupa stres
emosional, depresi dan skar yang permanen.5,6,7
Patogenesis akne vulgaris bersifat multifaktorial. Ada 4 faktor penting yang
dianggap berperan dalam perkembangan suatu lesi akne vulgaris. Faktor-faktor
tersebut antara lain hiperproliferasi folikuler epidermal, peningkatan produksi
sebum, peningkatan aktivitas P. acnes, dan inflamasi. 5,6,7
Hiperproliferasi epidermal folikular adalah kejadian yang pertama sekali
dikenal dalam perkembangan akne vulgaris. Penyebab pasti yang mendasari
hiperproliferasi ini tidak diketahui. Saat ini, ada 3 buah hipotesis yang telah
diajukan untuk menjelaskan mengapa epitelium folikular bersifat
hiperproliferatif pada individu dengan akne vulgaris. Pertama, hormon
androgen, yang telah dikenal sebagai pencetus awal. Komedo, lesi klinis yang
menyebabkan pembentukan sumbatan pada muara folikular, mulai timbul
disekitar usia pubertas pada orang-orang dengan akne vulgaris. Derajat akne
vulgaris komedonal pada usia prapubertas berhubungan dengan kadar hormon
androgen adrenal yaitu dehydroepiandrosterone sulphate (DHEA-S). Apalagi,
reseptor hormon androgen ditemukan pada folikel-folikel dimana komedo

Acne Vulgaris 9
berasal. Selain itu individu dengan malfungsi reseptor androgen ternyata tidak
akan mengalami akne vulgaris. Kedua, perubahan komposisi lipid, yang telah
diketahui berperan dalam perkembangan akne. Pada pasien akne biasanya
mempunyai produksi sebum yang berlebihan dan kulit yang berminyak.
Produksi sebum yang berlebihan ini dapat melarutkan lipid epidermal normal
dan menyebabkan suatu perubahan dalam konsentrasi relatif dari berbagai lipid.
Berkurangnya konsentrasi asam linoleat ditemukan pada individu dengan lesi
akne vulgaris, dan menariknya, keadaan ini akan normal kembali setelah
pengobatan yang berhasil dengan menggunakan isotretinoin. Penurunan relatif
asam linoleat dapat mengaktifkan pembentukan komedo. Inflamasi adalah
faktor hipotesis ketiga yang terlibat dalam pembentukan komedo. Interleukin-
1α adalah suatu sitokin proinflamasi yang telah digunakan pada suatu model
jaringan untuk menginduksi hiperproliferasi epidermal folikular dan
pembentukan akne vulgaris. Walaupun inflamasi tidak terlihat baik secara
klinis maupun mikroskopis pada lesi awal akne vulgaris, ia tetap memainkan
peran yang sangat penting dalam perkembangan akne vulgaris dan komedo. 5,6,7
Peningkatan produksi sebum adalah faktor kunci yang berperan dalam
pembentukan akne vulgaris. Produksi dan ekskresi sebum diatur oleh sejumlah
hormon dan mediator yang berbeda. Hormon androgen khususnya,
meningkatkan pembentukan dan pelepasan sebum. Kebanyakan pria dan wanita
dengan akne vulgaris memiliki kadar hormon androgen yang bersirkulasi dalam
jumlah yang normal. 5,6,7
P. acnes merupakan suatu organisme mikroaerofilik yang ditemukan pada
banyak lesi akne vulgaris. Walaupun tidak ditemukan pada lesi yang paling
awal dari akne vulgaris, P. acnes ini hampir pasti dapat ditemukan pada lesi-
lesi yang lanjut. Adanya P. acnes akan meningkatan proses inflamasi melalui
sejumlah mekanisme. P. acnes menstimulasi inflamasi melalui produksi
mediator-mediator proinflamasi yang berdifusi melalui dinding folikel.
Penelitian terkini menunjukkan bahwa P. acnes mengaktifkan toll-like

Acne Vulgaris 10
receptor-2 pada monosit dan neutrofil. Aktivasi toll-like receptor-2 ini
kemudian akan memicu produksi sitokin proinflamasi yang multipel, seperti
IL-12, IL-8, dan TNF. Hipersensitivitas terhadap P. acnes dapat juga
menjelaskan mengapa beberapa individu mengalami akne vulgaris inflamasi
sedangkan yang lain tidak. Inflamasi mungkin merupakan suatu fenomena
primer atau sekunder. Kebanyakan bukti sampai saat ini menyatakan bahwa
akne vulgaris merupakan suatu respons inflamasi sekunder terhadap P. acnes.
Meskipun demikian, ekspresi IL-1α telah diidentifikasi dalam mikrokomedo
dan dapat berperan dalam pembentukan akne vulgaris. 5,6,7
Faktor-faktor lain yang berperan pada patogenesis akne adalah usia, ras,
familial, makanan, cuaca / musim, stres psikologis yang dapat secara tidak
langsung memicu peningkatan proses patogenesis tersebut. 5,6,7

2) Erupsi akneformis
Erupsi akneiformis yang diinduksi oleh obat misalnya kortikosteroid, INH,
barbiturat, bromida, yodida, difenilhidantoin, trimetadion, ACTH dan lainnya.
Klinis berupa erupsi papulo pustul mendadak tanpa adanya komedo di hampir
seluruh bagian tubuh. Dapat disertai demam dan dapat terjadi diseluruh usia
biasa tanpa komede. 5,6,7

3) Folikulitis
Folikulitis adalah peradangan pada folikel rambut yang dapat disebabkan
Staphylococcus aureus atau Pytirosporum ovale. Lesi berupa papul atau pustul
yang eritematosa dan ditengahnya terdapat rambut, biasanya multipel. Tempat
predileksi biasanya ditungkai bawah. Sedangkan lesi Pityrosporum folliculitis
berupa papul-papul dan kadang - kadang pustul superfisial dengan dasar kulit
eritematosa yang tidak berbatas tegas disertai rasa gatal ringan, dan umumnya
berlokasi pada badan bagian atas. Kultur dari lesi di kulit untuk menyingkirkan

Acne Vulgaris 11
folikulitis gram negatif harus dilakukan jika tidak terdapat respon terhadap
pengobatan atau jika tidak ada perbaikan. 5,6,7

3. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan penunjang kulit yang dilakukan


untuk menegakan diagnosis pasti.

1) Efloresensi kulit
Efloresensi kulit dapat berubah pada waktu berlangsungnya penyakit. Proses
tersebut dapat merupakan akibat biasa dalam perjalanan proses patologik.
Kadang-kadang perubahan ini dapat dipengaruhi keadaan dari luar, misalnya
trauma garukan dan pengobatan yang diberikan, sehingga perubahan tersebut
tidak biasa lagi. Dalam hal ini, gambaran klinis morfologik penyakit
menyimpang dari biasanya dan sulit dikenali. Untuk mempermudah dalam
pembuatan diagnosis, ruam kulit dibagi menjadi beberapa kelompok. 8,9

a. Efloresensi primer
1) Makula adalah efloresensi primer yang berbatas tegas, hanya berupa
perubahan warna kulit tanpa perubahan bentuk, seperti pada tinea
versikolor, morbus Hansen, melanoderma, leukoderma, purpura,
petekie, ekimosis. 8,9

Acne Vulgaris 12
Gambar 3.1. Makula
Sumber: Budimulja U. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis : Ilmu Kulit Kelamin. Ed. 5. Jakarta:
FKUI; 2011

2) Eritema adalah kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran


pembuluh kapiler yang reversible. 8,9

3) Papula adalah penonjolan superficial pada permukaan kulit dengan


massa zat padat, berbatas tegas, berdiameter < 1cm. 8,9

Acne Vulgaris 13
Gambar 3.2. Papula
Sumber: Budimulja U. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis : Ilmu Kulit Kelamin. Ed. 5. Jakarta:
FKUI; 2011.

4) Nodus adalah massa padat sirkumskrip, terletak di kutan atau subkutan,


dapat menonjol. (jika diameter < 1 cm disebut nodulus). 8,9

Gambar 3.3. Nodul


Sumber: Budimulja U. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis : Ilmu Kulit Kelamin. Ed. 5. Jakarta:
FKUI; 2011

Acne Vulgaris 14
5) Vesikula adalah gelembung yang berisi cairan serum, beratap,
mempunyai dasar dengan diameter < 1 cm misalnya pada varisela,
herpes zoster. 8,9

Gambar 3.4. Makula


Sumber: Budimulja U. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis : Ilmu Kulit Kelamin. Ed. 5. Jakarta:
FKUI; 2011.

6) Bula adalah vesikel dengan diameter > 1 cm, misal pada pemfigus, luka
bakar. Jika vesikel/bula berisi darah disebut vesikel/bula hemaragik .
Jika bula berisi nanah disebut bula purulen. 8,9

7) Pustula adalah vesikel berisi nanah, seperti pada variola, varisela,


psoriasis pustulosa. 8,9

Acne Vulgaris 15
Gambar 3.5. Pustula
Sumber: Budimulja U. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis : Ilmu Kulit Kelamin. Ed. 5. Jakarta:
FKUI; 2011.

8) Urtika adalah penonjolan di atas kulit akibat edema setempat dan dapat
hilang perlahan-lahan, misalnya pada dermatitis medikamentosa dan
gigitan serangga. 8,9

Gambar 3.6. Urtika


Sumber: Budimulja U. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis : Ilmu Kulit Kelamin. Ed. 5. Jakarta:
FKUI; 2011.

Acne Vulgaris 16
9) Tumor adalah penonjolan di atas permukaan kulit berdasarkan
pertumbuhan sel atau jaringan tubuh. 8,9

10) Kista adalah penonjolan di atas permukaan kulit berupa kantong yang
berisi cairan serosa atau padat atau setengah padat, seperti pada kista
epidermoid. 8,9

11) Plak (plaque) adalah peninggian di atas permukaan kulit, permukaannya


rata dan berisi zat padat (biasanya infiltrate), diameternya 2 cm atau
lebih. Contonya papul yang melebar atau papulpapul yang
berkonfluensi pada psoriasis. 8,9

12) Abses adalah kumpulan nanah dalam jaringan / dalam kutis atau
subkutis. 8,9

b. Efloresensi sekunder
1) Skuama adalah pelepasan lapisan tanduk dari permukaan kulit. Dapat
berupa sisik halus (TV), sedang (dermatitis), atau kasar (psoriasis).
Skuma dapat berwarna putih (psoriasis), cokelat (TV), atau seperti sisik
ikan (iktiosis). 8,9

2) Krusta adalah onggokan cairan darah, kotoran, nanah, dan obat yang
sudah mengering di atas permukaan kulit, misalnya pada impetigo
krustosa, dermatitis kontak. Krusta dapat berwarna hitam (pada jaringan
nekrosis), merah (asal darah), atau cokelat (asal darah, nanah, serum).
8,9

Acne Vulgaris 17
Gambar 3.7. Krusta
Sumber: Budimulja U. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis : Ilmu Kulit Kelamin. Ed. 5. Jakarta:
FKUI; 2011.

3) Erosi adalah kelainan kulit yang disebabkan oleh kehilangan jaringan


yang tidak melampui stratum basal. 8,9

Gambar 3.8. Erosi


Sumber: Budimulja U. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis : Ilmu Kulit Kelamin. Ed. 5. Jakarta:
FKUI; 2011.

Acne Vulgaris 18
4) Ekskoriasi adalah kerusakan kulit sampai ujung stratum papilaris
sehingga kulit tampak merah disertai bintik-bintik perdarahan.
Ditemukan pada dermatitis kontak dan ektima. 8,9

5) Ulkus adalah kerusakan kulit (epidermis dan dermis) yang memiliki


dasar, dinding, tepi dan isi. Misal ulkus tropikum, ulkus durum. 8,9

6) Rhagaden adalah belahan-belahan kulit dengan dasar yang sangat


kecil/dalam misal pada keratoskisis, keratodermia. 8,9

7) Parut (sikatriks) adalah jaringan ikat yang menggantikan epidermis dan


dermis yang sudah hilang. Jaringan ikat dapat cekung dari kulit
sekitarnya (sikatriks atrofi), dapat lebih menonjol (sikatriks hipertrofi),
dan dapat normal (eutrofi/luka sayat). Sikatriks tampak licin, garis kulit
dan adneksa hilang. 8,9

Gambar 3.9. Sikartiks


Sumber: Budimulja U. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis : Ilmu Kulit Kelamin. Ed. 5. Jakarta:
FKUI; 2011.

Acne Vulgaris 19
8) Keloid adalah hipertrofi yang pertumbuhannya melampaui batas. 8,9

9) Abses adalah efloresensi sekunder berupa kantong berisi nanah di dalam


jaringan. Misalnya abses bartholini dan abses banal. 8,9

10) Likenifikasi adalah penebalan kulit sehingga garis-garis lipatan/relief


kulit tampak lebih jelas, seperti pada prurigo, neurodermatitis. 8,9

11) Guma adalah efloresensi sekunder berupa kerusakan kulit yang


destruktif, kronik, dengan penyebaran pertiginosa. Misal pasa sifilis
gumosa. 8,9

12) Hiperpigmentasi adalah penimbunan pigmen berlebihan sehingga kulit


tampak lebih hitam dari sekitarnya. Misal pada melasma, dan pasca
inflamasi. 8,9

13) Hipopigmentasi adalah kelainan yang menyebabkan kulit menjadi lebih


putih dari sekitarnya, misalnya pada skleroderma dan vitiligo. 8,9

c. Efloresensi khusus
1) Kanalikuli adalah ruam kulit berupa saluran-saluran pad stratum
korneum, yang timbul sejajar denga permukaan kulit, seperti yang
terdapat pada skabies. 8,9

2) Milia (White head) adalah penonjolan di atas permukaan kulit yang


berwarna putih, yang ditimbulkan oleh penyumbatan saluran kelenjar
sebasea, seperti pada akne sistika. 8,9

3) Komedo (Black head) adalah ruam kulit berupa bintik-bintik hitam yang
timbul akibat proses oksidasi udara terhadap sekresi kelenjar sebasea
dipermukaan kulit, seperti acne. 8,9

Acne Vulgaris 20
4) Eksantema adalah ruam permukaan kulit yang timbul serentak dalam
waktu singkat dan tidak berlangsung lama, biasanya didahului demam,
seperti pada demam berdarah. 8,9

5) Roseola ialah eksantema lentikuler berwarna merah tembaga seperti


pada sifilis dan frambusia. 8,9

6) Purpura yaitu perdarahan di dalam/di bawah kulit yang tampak


medikamentosa. 8,9

7) Lesi target. Terdiri dari 3 zona yang berbentuk lingkaran, lingkaran


pertama mengandung purpura atau vesikel di bagian tengah yang
dikelilingi oleh lingkaran pucat (lingkaran kedua), lingkaran ketiga
adalah lingkaran eritema. Lesi target biasanya dijumpai di telapak
tangan penderita eritema multiforme (gambaran seperti mata sapi). 8,9

8) Burrow adalah terowongan yang berkelok-kelok yang meninggi di


epidermis superficial yang ditimbulkan oleh parasit. 8,9

9) Teleangiektasi adalah pelebaran pembuluh darah kecil superficial


(kapiler, arteriol, dan venul) yang menetap pada kulit. 8,9

10) Vegetasi adalah pertumbuhan berupa penonjolan-penonjolan bulat atau


runcing menjadi satu. 8,9

2) Pemeriksaan sebumeter

Sebumeter adalah alat untuk menilai sebum secara kuantitatif dari seluruh area
kulit. Prinsipnya ketika penyimpanan sebum meningkat maka elemen
translusen ( kaca beku atau piring plastic atau strip) akan menjadi lebih

Acne Vulgaris 21
transparan. Cahaya yang lewat akan menyebabkan sebum menutupi elemen
translusen. Ini yang dinamakan proses fotoelektrik. 10

Gambar 3.10. Prinsip kerja sebumeter


Sumber: Susile Y, et al. Sebumeter. [online]. [Published online 2005 Des 20th]. [Cited on 2016 Oct
20th]. Available from: http://www.bioline.org.br/pdf?dv05148.

Tabel 3.1. Jenis-jenis alat sebumeter


Sumber: Susile Y, et al. Sebumeter. [online]. [Published online 2005 Des 20th]. [Cited on 2016 Oct
20th]. Available from: http://www.bioline.org.br/pdf?dv05148.

Instrumen Peralatan Kelebihan


Sebutape Bahan perekat, Film Aman untuk mengukur sebum yang
adhesive acrylic microporous kaya folikel
patches polymeric
Sebufix Kertas kontrol sebum Cepat, tidak ada efek hambatan
tanpa perekat karena tidak menggunakan pita
perekat. Gambar aliran sebum dapat
disimpan didalam layanan software.

Acne Vulgaris 22
Skin Pita spesial pada kaset Comeometer+ sebumeter+ pH kulit
analyzer sebumeter dan
pemeriksaan comeometer

Skin Pita spesial pada kaset Comeometer+ sebumeter, secara


diagnostic sebumeter dan cepat dan portable
SD 27 pemeriksaan comeometer

Pengukuran sebumeter berdasarkan prinsip fotometri. Pengukuran oleh kaset


dengan pita khusus yang diletakkan di kulit. Kemudian kaset tersebut masuk ke
dalam alat melalui lubang. Hasil transparan ketika cahaya melewati tengah pita.
Hasil pemeriksaan dalam bentuk mg sebum/cm2. Kegunaan sebumeter adalah
sebagai berikut:10
a. Klasifikasi kulit kering, normal, dan berminyak secara objektif.
b. Menuliskan resep obat/ kosmetik yang cocok untuk pasien agar meningkatkan
efesiensi dan mengurangi efek samping.
c. Mengukur efek membersihkan kulit dari sabun yang digunakan.
d. Membantu diagnosis awal asterosis senile.
e. Screening dini dan follow up pasien hyperanderogenik.
f. Mengetahui kontrol endokrin pada folikel sebase wanita untuk menaksir proses
penuan.
g. Mengetahui aktivitas kelenjar sebasea pada pasien diabetes.
h. Mengetahui hubungan rambut, sekresi sebum, dan siklus menstruasi.
i. Mengetahui efek sebosupresif untuk pengobatan anti acne seperti asam retinoic
untuk pengobatan acne vulgaris.

4. Mahasiwa mampu menjelaskan etiopatogenesis terkait penyakit yang diderita

pasien.

Acne Vulgaris 23
Akne vulgaris merupakan gangguan dari unit pilosebasea yang umum dijumpai,
dapat sembuh sendiri, dan terutama ditemukan pada remaja. Akne Acne merupakan
inflamasi yang paling sering terjadi pada kelenjar keringkat pilosebaceous yang
dikarakteristikkan dengan produksi berlebihan sebum dan keberadaan komedo,
papul, pustul, dan kista Inflamasi kronis Acne vulgaris terpengaruh pada daerah
seborrheic, terutama pada dada (15%), wajah (99%), dan punggung (60%). Lesi
yang muncul ditandai dengan keberadaan komedo, erupsi papular, erupsi pustular,
kista purulen, dan skar. 2,11,12
Umumnya, penyakit ini dapat sembuh sendiri dan dapat menghilang sendiri pada
usia sekitar 20-30 tahun. Kendati demikian, banyak pula orang setengah baya yang
mengalami acne. Biasanya, insidens pada wanita terjadi pada sekitar usia 14-17
tahun, sedangkan pada pria sekitar usia 16-19 tahun.13,14 Gambaran klinis acne
vulgaris sering polimorfik, dimana dapat dapat terjadi berbagai kelainan kulit
seperti komedo, papul, pustul, nodus, serta jaringan parut yang terjadi karena
kelainan aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipertrofik maupun yang
hipotrofik. Acne dan bentuk acne yang lain (acnelike atau acneiform) terjadi pada
usia yang berbeda-beda, termasuk pada neonatus, bayi, anak-anak, dan dapat
dikaitkan dengan diagnosis banding ataupun kelainan patologis sistemik lainnya
diluar kategori usia.13,14,15
Acne vulgaris merupakan kondisi yang umum terjadi pada remaja yang dapat
mengakibatkan stres psikologis seperti cemas ataupun depresi. Faktor resiko yang
signifikan terhadap terjadinya Acne vulgaris dapat berupa usia, jenis kelamin, diet,
tipe kulit (berminyak, campuran, netral dalam perbandingan dengan kulit kering),
dan kurangnya tidur Faktor hormonal juga dapat memperburuk kejadian Acne,
terlebih pada perubahan hormonal pada remaja, perempuan atau wanita 7 hari
sebelum menstruasi, wanita hamil, penggunaan obat kortikosteroid, androgen
ataupun litium.16
Ada beberapa faktor utama penyebab terjadinya Acne vulgaris antara lain,
hiperkornifikasi duktus, peningkatan produksi sebum di bawah control androgen,

Acne Vulgaris 24
aktivitas abnormal mikrobia yang terjadi di duktus pilosebaseus (kolonisasi
Propionibacterium acnes) dan faktor inflamasi.

1) Hiperkornifikasi
Hiperkornifikasi merupakan tanda awal terjadinya Acne dan biasanya
dilanjutkan dengan inflamasi. Hal ini berkaitan dengan hiperproliferasi duktal.
Banyak faktor yang mengontrol hal ini seperti androden, retinoid, komposisi
sebum, dan sitokin. Siklus normal pembentukan folikel dan komedo berkaitan
dengan terjadinya penyakit ini. Acne merupakan perubahan pola keratinisasi
pada kelenjar pilosebaseus. Peningkatan material keratin ini makin memadat
dan memblok sekresi sebum. Keratin yang menyumbat inilah disebut sebagai
komedo. Diferensiasi folikular yang abnormal dan peningkatan kornifikasi
memicu aktivitas kelenjar sebaseus dan hiperseborea, hiperkolonisasi bakterial,
yang memicu inflamasi, dan reaksi imunologis.17,18,19

2) Aktifitas Abnormal Mikroba


Keratinosit dapat menjadi respon imun kulit. Regulasi ini merupakan
mekanisme pertahanan yang bertujuan memproteksi kulit yang normal dengan
keberadaan mikroorganisme mikroorganisme seperti, Propionibacterium acnes
(P. acnes), Staphylococcus epidermidis, dan Malessezia furfur. Kebanyakan
flora normal ini tak menyebabkan penyakit secara klinis. P. acnes merupakan
bakteri gram + (positif) berbentuk batang, dan anaerobik. Bakteri ini
merupakan flora normal yang hidup di folikel kulit. Jumlahnya tinggi pada
penderita Acne. Diketahui adanya induksi dari selective human ß-Defensin-2
dan Interleukin-8 yang diekspresikan oleh keratinosit melalui Toll-like
receptoryang juga memicu kejadian Acne vulgaris. TLR2 diekspresikan pada
lapisan basal dan infundibular keratinosit. Reseptor TLR2 menstimulasi
sehingga konsentrasi interleukin 8 dan 12 (IL-8 dan IL-12) meningkat. Aktivasi
TLR dan sekresi interleukin dari keratinosit dapat menginisasi kejadian

Acne Vulgaris 25
pembentukkan komedo. P. acnes berkontribusi dalam memicu inflamasi pada
Acne dengan pelepasan enzim-enzim yang menyebabkan rupturnya dinding
folikel dan rusaknya jaringan oleh lipase, protease, dan hyaluronidas. Protease
yang dihasilkan akan mengaktifkan protease-activated receptor (PARs). PAR-
2 secara berlimpah dihasilkan oleh keratinosit yang meregulasi permeabilitas
homeostasis barier, inflamasi, pigmentasi, dan penyembuhan luka dengan
respon endogen dan eksogen yang bervariasi. PAR-2 juga dapat diaktifkan oleh
organisme patogen yang memiliki aktivitas protease seperti, kutu rumah, kecoa,
bakteri, ataupun parasit. Androgen, peroxisome proliferator activating receptor
(PPAR) ligands, regulator neruropeptida dengan aktivitas hormonal dan non
hormonal, dan juga faktor lingkungan menginduksi hiperseborea,
hiperproliferasi epitel di duktus seboglandularis, dan akro-infundibulum, serta
ekpresi kemokin/sitokin proinflamasi dengan komedo dan lesi Acne
inflamasi.12,19,20,21,22,23

3) Inflamasi
Inflamasi pada Acne vulgaris terjadi pada lesi fase awal maupun pada fase akhir
yang bermanifestasi pada munculnya papul dan pustul. Bukti adanya
perkembangan lesi Acne pada fase awal inflamasi terjadi dengan peningkatan
ekspresi mediator proinflamasi, seperti E-selectin, Vascular adhesion
molecule-1, interleukin-1, integrin. Tanda inflamasi juga memicu pelepasaan
peptidase pada sebosit dan keratinosit. Selain itu inflamasi juga meningkatkan
pengeluaran neuropeptida (Corticotropinreleasing hormone, Melancortin-1
receptor, substance P) dan Toll-like receptor (yang diaktivasi oleh P.acnes).
Perubahan biosintesis lipid pada inflamasi berhubungan dengan lipid sebaseus
yang dipicu oleh lipid peroksida. Peningkatan sebum asam lemak bebas juga
akan memicu sistem imun melalui ekspresi ß defensin-2 yang merupakan AMP
(antimicrobial peptide) yang predominannya berada di kulit.24

Acne Vulgaris 26
4) Hormonal
Acne mulai berkembang pada saat adrenarche, ketika kelenjar adrenal mulai
memproduksi dehydroepiandrosterone sulfate, yang merupakan prekursor
testoster. Kondisi di mana jumlah androgen yang berlebihan atau
hyperandrogenism berkaitan dengan produksi sebum dan perkembangan
keparahan Acne. Androgen dan reseptor androgen (RA) dapat memicu
beberapa penyakit kulit, seperti alopesia dan Acne vulgaris. Kelenjar sebaseus
kebanyakan mengandung enzim steroidogenik yang berguna sebagai konverter
DHEA/DHEAS (DHEA sulfat) menjadi testosteron dan DHT. Mekanisme
androgen/RA dalam meregulasi aktivitas sebosit terhadap Acne vulgaris masih
belum jelas, tetapi ada kemungkinan androgen dapat menyebabkan hal tersebut.
RA dapat meningkatkan aktivitas fibroblast growth factor receptor 2 (FGFR2)
yang memicu perkembangan kelenjar sebaseus. RA juga diduga dapat memicu
terjadinya lipogenesis pada sebosit melalui peningkatan ekspresi sterol
regulatory element bindung proteins (SREBPs). Androgen juga berpengaruh
terhadap aktivitas insulin-like growth factor-1 (IGF-1) yang meregulasi
perkembangan Acne. Androgen/AR diduga juga memicu terjadinya respon
inflamasi makrofag dan neutrofil. Sementara estrogen memiliki efek inhibisi
terhadap produksi androgen dan secara tak langsung mengurangi sekresi
sebum. Hal inilah yang mungkin menyebabkan kejadian Acne pada perempuan
lebih rendah daripada laki-laki.19,25,26

5. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan yang dilakukan terhadap pasien

tersebut. Baik farmakologi, non farmakologi serta preventif dan promotive.

a. Tujuan penatalaksanaan akne vulgaris, yaitu:27


1) Mempercepat penyembuhan
2) Mencegah pembentukan akne baru

Acne Vulgaris 27
3) Mencegah jaringan parut yang permanen
b. Prinsip penatalaksanaan acne vulgaris yaitu harus berdasarkan: 27
1) Penyebab atau factor-faktor pencetus
2) Pathogenesis
3) Keadaan klinis, gradasi akne
4) Aspek psikologis

Tabel 5.1. Algoritme Tata Laksana Akne


Sumber:
Ringan Sedang Berat

Nodular/conglob
Komedonal Papular/pustular Papular/pustular Nodular
ate

Retinoid topical + Antibiotik oral + Antibiotik oral +


Pilihan Retinoid topikal Isotretinoin oral
Antimikroba topikal retinoid +/- BPO retinoid +/- BPO
pertama
Alt.
Alt. retinoid Isotretinoin oral atau Antibiotik oral
agenantimikroba Alt. Antibiotikoral +
topical atau Alt. antibiotikoral + dosis tinggi +
Alternatif topical + Alt. Alt. retinoid topical
Azelaic acid* Alt. retinoid topical retinoid topical
retinoid topical atau +/- BPO
atau asam salisilat +/- BPO/Azelaic acid + BPO
Azelaic acid*
Anti androgen
Anti androgen oral
Anti androgen oral + oral dosis tinggi
Alternatif + topical
Lihat pilihan Lihat pilihan retinoid topical +/- + retinoid
untuk retinoid/Azelaic
pertama pertama antibiotic oral +/- Alt. topical +/- Alt.
perempuan acid topical* +/-
antimikroba antimikrobatopi
anti mikrobatopikal
kal
Terapi
Retinoid topical Retinoid topical +/- BPO
maintenans

Pertimbangan untuk ekstraksi komedo secara fisik: dengan nodul kecil (>0,5 – 1cm) ;
pemberian kedua bila susrelaps; untuk kehamilan. 27

Acne Vulgaris 28
Tidak ada consensus dalam rekomendasi alternative pengobatan ini, namun di beberapa
negara, pemberian azelaic acid diperbolehkan. 27

c. Preventif dan Promotif


Tindakan preventif dan promotif yang dapat dilakukan untuk menghindari
jerawat adalah sebagai berikut:
1) Menghindari terjadinya peningkatan jumlah lipis sebum dengan cara diet
rendah lemak dan karbohidrat serta melakukan perawatan kulit untuk
membersihkan permukaan kulit dari kotoran. 28
2) Menghindari terjadinya faktor pemicu, misalnya : hidup teratur dan sehat,
cukup berolahraga sesuai kondisi tubuh, hindari stres; penggunaan
kosmetika secukupnya; menjauhi terpacunya kelenjar minyak, misalnya
minuman keras, pedas, rokok, dan sebagainya. 28
3) Memberikan informasi yang cukup pada penderita mengenai penyebab
penyakit, pencegahan dan cara maupun lama pengobatannya serta
prognosisnya. Hal ini penting terhadap usaha penatalaksanaan yang
dilakukan yang membuatnya putus asa atau kecewa. 28

Acne Vulgaris 29
REFERENCES

1. Wolff, K., Johnson, R. A. 2009. Disorders of Sebaceous and Apoccrine Glands.


In : Wolff, K., Johnson, R. A., editors. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of
clinical dermatology. Sixth Edition. New York: McGraw-Hill. p.2-8.
2. Zaenglein, A. L., Graber, E. M., Thiboutot, D. M., Strauss, J. S. 2008. Acne
Vulgaris and Acneiform Eruptions. In : Wolff, K., Goldsmith, L. A., Katz, S.
I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S., Leffell D. J., editors. Fitzpatrick’s
Dermatology In General Medicine. 7th. Ed. New York: McGraw-Hill. p.690-
702.
3. Kurokawa I, Danby FW, Ju Q, Wang X, Xiang LF, Xia L, Chen WC, Nagy I,
et al. New developments in our understanding of acne pathogenesis and
treatment. Experimental Dermatology. 2009; 18: 821-32.
4. Siregar R. S. Akne Vulgaris. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Ed 2.
Jakarta : EGC. 2004. Hal : 178-179.
5. Cordain L, Lindeberg S, Hurtado M, Hill K, Eaton B, Brand - Miller B. Acne
vulgaris - a disease of Western civilization. Arch Dermatol.2002;138:1584-90.
6. Goulden V, McGeown CH, Cunliffe WJ. The familial risk of adult acne: a
comparison between first-degree relatives of affected and unaffected
individuals. Br J Dermatol 1999;141:297-300
7. Layton AM. Acne vulgaris and similar eruptions. Medicine 2005;33(1):44-8.
8. Andrew. Viral Diseases : Diseases of the skin. 9th edition. Philadelphia : WB
Saunders Company; 2010.
9. Budimulja U. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis : Ilmu Kulit Kelamin.
Ed. 5. Jakarta: FKUI; 2011.
10. Susile Y, et al. Sebumeter. [online]. [Published online 2005 Des 20th]. [Cited
on 2016 Oct 20th]. Available from: http://www.bioline.org.br/pdf?dv05148.
11. Rycroft, RJG, Robertson, SJ, & Wakelin, SH 2010, A Colour Handbook of
Dermatology, 2nd ed, Manson Publishing, London.

Acne Vulgaris 30
12. Bergler-Czop, B & Brzezinska-Wcislo, L 2013, ‘Dermatological problems of
the puberty’, Postep Derm Alergol, vol. 30, no.3, pp. 178-187.
13. Wasitaatmadja, S.M., 2010. Akne, Erupsi Akneiformis, Rosasea, Rinofima. In:
Djuanda, A., Hamzah, M. & Aisah, S., 6 Kelamin. Jakarta : FKUI, 253-260.
14. Stawiski, M.A., 2003. Akne dan Keadaan Terkait. In: Price, S.A., 6 th ed.
Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC, 14229.
15. Eichenfield, L.F. et al., 2013. Evidence-Based Recommendations for the
Diagnosis and Treatment of Pediatric Acne. Pediatrics : Official Journal of the
American Academy of Pediatrics, 131: S163–S186.
16. Wu, TQ, Mei, SQ, Zhang, JX, Gong, LF, Wu, FJ, Wu, WH, Li, J, Lin, M, &
Diao JX 2007, ‘Prevalence and risk factor of facial acne vulgaris among
chinese adolescents’, Int J Adolesc Med Health, vol. 19, no. 4, pp. 407-12.
17. Cunliffle, WJ, Hollan, DB, Clark, SM, & Stables, GI 2003, ‘Comedogenesisi:
some aetiological, clinical and therapeutic strategies’, Dermatology, vol. 206,
no. 1, pp. 11-6.
18. Wolff, K & Johnson, R.A 2009, Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology’, 6th ed, McGraw-Hil, NY.
19. Zouboulis, CC, Eady, A, Philpott, M, Goldsmith, LA, Orfanos, C, Cunliffle,
WC, & Rosenfield, R 2005, ‘What is the pathogenesis of acne?’, Exp Dermatol,
vol. 14, pp. 143-152.
20. Nagy, I, Pirvarcsi, A, Koreck, A, Szeil, M, Urban, E, & Lemeny, L, 2005,
‘Distinct Strains of Propionibacterium acnes Induce Selective Human
ßDefensin-2 and Interleukin-8 Expression in Human Keratinocytes Through
Toll-like Receptors’, J Invest Dermatol, vol. 124, pp. 931-938.
21. Jain, S 2012,Dermatology Illustrated Study Guide & Comprehensive Board
Review, Springer, NY.
22. Selway JL, Kurczab T, Kealey T, & Langlands 2013, ‘Toll-like receptor 2
activation and comedogenesis: implications for the pathogenesis’,BMC
Dermatology, vol. 13, no. 10.

Acne Vulgaris 31
23. Lee, SE, Kim, JM, Jeong, SK, Jeon, JE, Yoon, HJ, Jeong, MK, & Lee, SH 2010,
‘Protease-activated receptor 2 mediates the expression of inflammatory
cytokines, antimicrobial peptides, and matrix metalloproteinases in
keratinocytes in response to Propionnibacterium acnes’, Arch Dermator Res,
vol. 302, pp. 745-756.
24. Nakatsuji, T, Kao, M, Zhang, L, Zouboulis, CC, Gallo, RL & Huang, CM 2010,
‘Sebum Free Fatty Acids Enhance the Innate Immune Defense of Human
Sebocytes by Upregulating ß-Defensin-2 Expression’, J Invest Dermatol, vol.
130, no. 4, pp. 985-994.
25. Lai, JJ, Chang, P, Lai, KP, Chen, L, & Chang, C, 2012, ‘The Role of Androgen
and Androgen Receptor in the Skin Related Disorders’, Arch Dermatol Res,
vol. 304, no. 7, pp. 499-510.
26. Webster G, Rawlings A, ‘Acne Diagnostic and treatment’, Czelej, Lublin.
27. Djuanda A, Suriadiredja ASD, Sudharmono A, et al. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Edisi 7. Jakarta: Penerbit FKUI, 2016.
28. Anonym. Akne Vulgaris. [internet]. [cited on October 2016] Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21494/4/Chapter%20II.pdf

Acne Vulgaris 32

Anda mungkin juga menyukai