Anda di halaman 1dari 9

ACNE VULGARIS

Defenisi : Jerawat (acne vulgaris) adalah suatu penyakit inflamasi kronis dari unit pilosebaceous
yang utamanya muncul pada usia remaja. Sebagian besar kasus jerawat/acne menunjukkan
gambaran lesi pleomorfik yang terdiri dari komedo, papula, pustula, dan nodul dengan luas serta
keparahan yang bervariasi

Epidemiologi : Pada beberapa orang, acne bertahan sampai usia 20an hinggan 30an dimana
insidensi masing-masing adalah sekitar 64% dan 43%.  Selain itu, keterkaitan riwayat keluarga
dengan timbulnya jerawat mencapai 80% pada keluarga tingkat pertama.

Etiologi : jerawat (acne vulgaris) diketahui melibatkan kombinasi dari empat faktor yaitu
hiperproliferasi folikular epidermal dengan penyumbatan folikel, produksi sebum berlebih,
aktivitas bakteri Propionibacterium Acne, dan peradangan.
Selain daripada empat penyebab tersebut, jerawat juga dipengaruhi oleh etiologi genetik dan
lingkungan seperti polusi, gaya hidup, dan kebiasaan.

Faktor Risiko :
Faktor risiko jerawat (acne vulgaris) diantaranya adalah faktor genetik, usia, jenis kulit, gaya
hidup, dan penggunaan kosmetika.

Faktor Genetik

Jerawat (acne vulgaris) ditemukan lebih sering pada individu yang memiliki riwayat keluarga
yang sama. Peningkatan risiko menderita jerawat pada individu dengan riwayat keluarga adalah
1.7 kali lipat dibandingkan individu yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan acne. Selain
itu, dilaporkan juga bahwa semakin banyak jumlah keluarga dengan riwayat acne, maka semakin
tinggi kemungkinan menderita penyakit ini.

Usia

Telah banyak studi yang melaporkan bahwa usia berkaitan dengan risiko terjadinya jerawat (acne
vulgaris). Diketahui bahwa usia remaja memiliki prevalensi lebih tinggi menderita penyakit ini,
dengan tingkat keparahan lebih tinggi pada remaja usia ≤ 16 tahun dibandingkan usia ≥17 tahun.

Jenis Kulit

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tipe kulit berminyak atau seborrhoic memiliki risiko
lebih tinggi menderita jerawat (acne vulgaris) dibandingkan tipe kulit normal ataupun kering.
Gaya Hidup

Beberapa faktor menyangkut gaya hidup dilaporkan berhubungan dengan timbulnya jerawat
(acne vulgaris). Kebanyakan faktor ini masih kontroversial, dengan hasil studi yang berlawanan
satu sama lain. Faktor gaya hidup yang diduga berhubungan dengan timbulnya jerawat
diantaranya adalah merokok, konsumsi makanan tertentu, berat badan, stres, olahraga, dan
kecukupan tidur.

Beberapa makanan yang dikaitkan dengan timbulnya jerawat adalah makanan pedas, coklat,
makanan manis, produk susu, dan telur. Namun, banyak pula studi yang menyangkal keterlibatan
makanan dalam proses timbulnya jerawat.

Kosmetika

Penggunaan kosmetik yang mengandung zat-zat komedogenik dikatakan meningkatkan risiko


timbulnya jerawat (acne vulgaris). Keterlibatan kosmetik dalam menyebabkan acne inilah yang
kemudian memunculkan istilah ‘acne socmetica’. Sebuah studi kasus kontrol melaporkan bahwa
penggunaan kosmetik meningkatkan risiko timbulnya jerawat hingga 5 kali lipat. 

Patofisiologi :

dikategorikan berdasarkan beberapa faktor penyebab yaitu pelepasan mediator inflamasi ke


dalam kulit, hiperkeratinisasi folikular, bakteri Propionibacterium acnes, dan produksi sebum. 
Selama beberapa dekade, patofisiologi jerawat/acne diperkirakan berkembang sebagai akibat dari
interaksi empat faktor berikut:
1. Hiperproliferasi folikular epidermal dengan penyumbatan folikel,

2. Produksi sebum yang berlebih,

3. Keberadaan dan aktivitas dari bakteri komensal Propionibacterium Acne,


4. Peradangan

Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan paradigma tentang pemahaman
patofisiologi terjadinya jerawat dimana respon inflamasi dapat timbul sebelum timbulnya
hiperproliferasi folikular. Berdasarkan berbagai hasil penelitian terbaru, patogenesis jerawat
dapat dikategorikan oleh beberapa faktor penyebab sebagai berikut:

Pelepasan mediator inflamasi ke dalam kulit


Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jeremy et al. ditemukan gambaran inflamasi pada
kulit pasien acne namun dengan folikel yang normal, hal ini membuktikan bahwa patogenesis
jerawat tidak selalu dimulai dengan hiperproliferasi folikular atau hiperkeratinisasi dan
komedogenesis.
Pada pasien acne terdapat proses peradangan subklinis, hal ini menunjukkan bahwa acne
bukanlah sebuah proses inflamasi sekunder yang disebabkan oleh Propionibacterium
Acnes melainkan sebuah proses inflamasi primer.
Sitokin yang diproduksi oleh sel T CD4 + dan makrofag mengaktifkan sel-sel endotel lokal
untuk mengatur mediator inflamasi seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1),
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), dan human leukocyte antigen (HLA)–DR pada
pembuluh – pembuluh darah di sekitar folikel pilosebaceous.

Hiperkeratinisasi Folikular 
Secara normal, material keratin tersusun secara longgar. Pada level ultrastruktural , terdapat
banyak granula lamellar dan sedikit granula keratohyalin.  Perubahan awal pada pembentukan
komedo dilihat pada bagian bawah dari infundibulum folikular. Materi keratin menjadi lebih
tebal, granula lameral menjadi lebih sedikit, granula keratohyalin bertambah, dan beberapa sel
yang mengandung material amorf, yang kemungkinannya adalah lemak, dihasilkan selama
proses keratinisasi. 

Hiperkeratinisasi folikular dihubungkan dengan defisiensi asam linoleat, produksi interleukin-1


di dalam folikerl, dan efek androgen pada keratinisasi folikular.

Defisiensi Asam Linoleat

Defisiensi asam linoleat memicu hiperkeratosis folikular dan menurunkan fungsi epitel barrier. 
Produksi Interleukin-1 di Dalam Folikel

Pada sebuah penelitian ditemukan bahwa dengan penambahan 1ng/mL interleukin-1 (IL)-1a ke
dalam segmen infrainfundibular menyebabkan hiperkornifikasi yang serupa dengan yang terlihat
pada komedo.  Peneliti menyimpulkan bahwa perubahan pada sekresi atau komposisi sebum
dapat menstimulasi produksi interleukin-1 oleh keratinosit folikular, dimana nantinya dapat
menyebabkan komedogenesis.

Efek Androgen Pada Keratinisasi Folikular

Peningkatan androgen dapat menyebabkan hiperproliferasi kelenjar sebasea dan peningkatan


produksi sebum.  Produksi androgen biasa meningkat pada masa pubertas.

Propionibacterium Acnes
Propionibacterium Acnes merupakan flora normal kulit yang bersifat anaerob.  Organisme ini
menghasilkan lipase folikular yang memecah asam lemak bebas dari lipid kulit.  Asam lemak ini
dapat mengakibatkan inflamasi jaringan ketika berhubungan dengan sistem imun dan
mendukung terjadinya jerawat.  Memproduksi enzim ekstraselular seperti protease dan
hyaluronidase yang dapat berperan penting dalam proses inflamasi.  Mengeluarkan faktor
kemotatik, dimana aktivitas kemotatik ditemukan pada komedo.
Propionibacterium Acnes terbagi menjadi tiga tipe: tipe I (IA dan IB), tipe II, tipe III.  Dimana
tipe IA diketahui sangat berhubungan dengan kejadian jerawat namun tipe IB tidak berkaitan
dengan acne. 
Diagnosis jerawat (acne vulgaris) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa perjalanan penyakit
dan juga melihat gambaran klinis, namun pemeriksaan laboratorium untuk melihat kadar
androgen dan juga kultur dari lesi kulit dapat dilakukan dalam beberapa keadaan tertentu.

Anamnesis 
Pada anamnesis pasien dengan jerawat (acne vulgaris) keluhan utama biasanya adalah bintil
merah pada wajah atau punggung yang disertai gejala lokal seperti rasa nyeri dan kemerahan,
sedangkan gejala sistemik hampir tidak pernah ada. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien
adalah adanya bekas jerawat berupa cekungan pada kulit sehingga kulit terlihat tidak rata.

Jerawat dengan tingkat keparahan yang berat dapat disertai dengan tanda dan gejala sistemik
seperti demam dan dapat dikaitkan dengan kasus acne fulminans.

Jerawat dengan tingkat keparahan yang berat (ditandai dengan beberapa komedo yang saling
berhubungan dan abses) tanpa adanya gejala sistemik dikenal sebagai acne conglobata.

Acne vulgaris dapat menimbulkan dampak psikologis pada penderita, tidak terkait berapapun
tingkat keparahannya. 

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari jerawat (acne vulgaris) dapat muncul pada sebaran sebasea (wajah, dada
bagian atas, punggung) dan dapat dikategorikan sebagai berikut:

Komedo : terdiri dari komedo tertutup (whitehead) dan komedo terbuka (blackhead), tidak
disertai tanda inflamasi
Papul : benjolan yang timbul dan dapat disertai tanda inflamasi

Pustul : benjolan yang timbul terdapat tanda inflamasi disertai nanah atau pus
Nodul : benjolan berukuran lebih besar dari 5mm, sering disertai komedo multipel, terdapat
tanda inflamasi

Kistik : disertai dengan gambaran nodul.   

The American Academy of Dermatology Acne Consensus Conference (ACC) mengklasifikasikan


jerawat berdasarkan tingkat keparahanya, dihitung dari jumlah dan tipe lesi yang muncul.

Pemeriksaan Penunjang 
Diagnosis jerawat (acne vulgaris) umumnya dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis.
Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan dalam diagnosis jerawat.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada pasien acne jika dicurigai adanya hiperandrogenisme. 
Pada pasien dengan tanda virilisasi perlu pemeriksaan lengkap dari level testosterone seperti
testosteron bebas, DHEA-S, hormon luteinizing, dan follicle-stimulating hormone.
Kultur dari lesi kulit dapat menyingkirkan kemungkinan folikulitis gram negatif, dilakukan jika
pasien tidak merespon pengobatan atau perbaikan tidak dapat dipertahankan. 

Tatalaksana :

empat prinsip untuk penatatalaksanaan jerawat berdasarkan faktor patogennya, yaitu :

1. Memproduksi efek antiinflamasi

2. Memperbaiki perubahan pola dari keratinisasi folikular

3. Mengurangi aktivitas kelenjar sebasea

4. Mengurangi populasi P. acnes sebagai bakteri penyebab dan menghambat produksi


produk inflamasi ekstrasel

Tatalaksana topikal pada jerawat (acne vulgaris) dapat meliputi penggunaan topikal retinoid,
antibiotik, maupun benzoyl peroxide (BPO).
Retinoid

Retinoid topikal adalah terapi dasar atau lini pertama untuk semua pasien jerawat (acne vulgaris)
kecuali pada pasien dengan tingkat keparahan yang berat. Retinoid adalah turunan vitamin A,
bersifat antiinflamasi, dan komedolitik, bekerja dengan cara menormalisasi hiperproliferasi
folikular dan hiperkeratinisasi.

Retinoid topikal memfasilitisasi masuknya agen topikal lain seperti antibiotik dan BPO (benzoyl
peroxide) agar dapat berpenetrasi ke unit pilosebasea di bagian yang lebih dalam. Setelah
masalah jerawat teratasi, retinoid digunakan sebagai terapi pemeliharaan untuk mencegah
timbulnya komedo.  Retinoid digunakan dengan cara mengaplikasikan 1 kali sehari pada kulit
yang telah dibersihkan dan dikeringkan.

Retinoid menipiskan stratum korneum sehingga kulit menjadi sensitif terhadap sinar matahari.
Pada pasien yang menggunakan obat ini, harus selalu memakai sunblock.  Efek samping yang
dapat timbul berupa iritasi, kemerahan, kulit kering, rasa terbakar dan gatal.
Adapalene, tazarotene, dan tretinoin adalah jenis retinoid topikal yang paling sering digunakan.

 Adapalene 0.1% dan 0.3% Tersedia dalam bentuk sediaan gel, krim dan larutan.
Diaplikasikan 1 kali/hari pada malam hari

 Tretinoin topikal tersedia dalam bentul larutan, gel (0.025%, 0.01%, 0.0375%, 0.075%)
dan krim (0.1%, 0.05%, 0.025%). Diaplikasikan tipis 1 kali/hari pada malam hari

 Tazarotene 0.1%, 0.05% tersedia dalam bentul gel, krim dan larutan. Diaplikasikan 1
kali/hari pada sore atau malam hari

 Adapalene 0.1% dapat dikombinasikan dengan BPO 2.5%. 

Antibiotik 

Antibiotik topikal digunakan pada jerawat (acne vulgaris) karena efeknya dalam mengatasi P.
Acnes dan juga efek antiinflamasinya. Antibiotik topikal tidak digunakan sebagai monoterapi. 
Kombinasi antibiotik topikal dengan retinoid topikal dilaporkan memberi hasil yang lebih baik
dan jangka waktu terapi lebih pendek.  Untuk mengurangi kemungkinan resistensi, penggunaan
dapat dikombinasikan dengan benzoyl peroxide. Penggunaan bersamaan antibiotik topikal dan
oral sebaiknya dihindari.
Antibiotik topikal yang sering digunakan:
 Klindamisin 1% dalam sediaan gel dan larutan merupakan terapi pilihan untuk acne,
diaplikasikan 1-2 kali/hari

 Eritromisin 2% dan 1,5% tersedia dalam sediaan gel, krim, cairan, dan swab untuk
aplikasi 2 kali/hari, namun eritromisin lebih mudah menyebabkan resistensi
bakteri Acnes dan Cutaneous Staphylococci

 Kombinasi antibiotik topikal dengan BPO yang dianjurkan adalah Eritromisin 3%/BPO
5%, atau Klindamisin 1%/BPO 5%, atau Klindamisin 1%/BPO 3.75%

 Kombinasi antibiotik topikal dengan retinoid yang bisa digunakan adalah Klindamisin
1,2% / tretinoin gel 0.025%

Benzoyl Peroxide

Benzoyl peroxide bersifat antimikroba, antiinflamasi dan komedolitik. Obat ini tidak
menyebabkan resistensi bakteri. Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan gel, krim, lotion, cairan,
batang dan foam dengan konsentrasi 10%, 5%, dan 2,5%.  Efek samping obat ini adalah dapat
menyebabkan dermatitis kontak alergi dan iritan.

Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik yang umum digunakan pada penatalaksanaan jerawat (acne vulgaris) adalah
antibiotika oral. Terkadang juga bisa digunakan terapi hormonal ataupun isotretinoin oral.

Antibiotik Oral 

Antibiotika oral biasa digunakan pada pengobatan jerawat (acne vulgaris) dengan tingkat
keparahan sedang ke berat. Obat ini biasanya dikombinasikan dengan retinoid topikal dan BPO,
dan tidak dikombinasikan dengan antibiotik topikal.

Berdasarkan SASA Group, antibiotik oral yang direkomendasikan dan tersedia di Indonesia


adalah tetrasiklin, doksisiklin,minosiklin, eritromisin
Golongan Tetrasiklin (Tetrasiklin, Minosiklin, Doksisiklin) sebagai terapi lini pertama tapi
pengunaannya dikontraindikasikan pada ibu hamil, anak di bawah umur 8 tahun, dan pada pasien
yang alergi terhadap tetrasiklin

Tetrasiklin dapat digunakan dengan dosis 500mg/hari-1000mg/hari sebelum makan dengan dosis
terbagi, dosis bisa diturunkan sampai 250mg/hari setelah terdapat perbaikan. Dosis 1500-
3500mg/hari digunakan pada kasus acne yang berat. Efek samping obat ini adalah menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan tulang pada fetus dan dapat meninggalkan noda kuning pada gigi.
Jumlah kejadian resistensi antibiotik juga tinggi pada penggunaan tetrasiklin.

Doksisiklin dan Minosiklin lebih efektif untuk mengobati acne dibandingkan tetrasiklin, tapi
tidak ada yang lebih superior di antara keduanya. Doksisiklin digunakan pada dosis 2 x 50 – 100
mg/hari, dan minosiklin pada dosis 100 – 200 mg/hari dengan dosis terbagi. Efek samping
dosisiklin berupa reaksi fotosensitivitas. Efek samping minosiklin berupa blue-black
pigmentation dan pada kasus yang sangat jarang dapat menyebabkan autoimun hepatitis
dan systemic lupus erythematosus-like syndrome.
Eritromisin merupakan golongan makrolid yang dapat digunakan untuk terapi acne pada dosis
500-1000 mg/hari dengan dosis terbagi. Eritromisin aman digunakan pada ibu hamil dan anak,
namun tingkat kejadian resistensi masih tinggi 

Terapi Hormonal 

Terapi hormonal pada jerawat (acne vulgaris) bekerja dengan menekan produksi androgen dan
sebum.  Pemberian terapi hormonal sebaiknya dikonsultasikan dengan spesialis ginekolog.

 Estrogen : Etinil Estradiol dengan dosis 0.035 – 0.050 mcg dapat digunakan untuk
mengobati acne. Pemeriksaan payudara dan pap smear perlu dilakukan pada pasien yang
mendapat terapi estrogen

 Kontrasepsi Oral : Ortho Tri-Cyclean (kombinasi norgestimate-etinil estradiol 35mcg)


dan Estrostep (kombinasi etinal estradiol dengan dosis bertahap 20-35mcg dengan
noretindron asetat) dapat digunakan sebagai terapi acne. Efek samping dapat berupa
mual, muntah, siklus mens tidak teratur, penambahan berat badan dan rasa nyeri pada
payudara

 Glukokortikoid:Prednison dosis rendah (2.5mg – 5mg) atau deksametason dapat


diberikan peroral pada malam hari untuk menekan produksi sebum. Penggunaan jangkan
panjang dapat menyebabkan acne steroid

 Gonadotropin-Releasing Hormone Agonis: GnRH agonis bekerja di kelenjar ptiutari


untuk menghambat pelepasan gonadotropin. Digunakan pada kasus acne dengan ovarian
hyperadrogenism. Efek samping berupa gejala menopaus dan kerapuhan tulang

 Spironolakton: Berfungsi sebagai penghambat resptor androgen dan 5a-reductase. Dosis


2 x 50 – 100 mg/hari dapat menekan produksi sebum dan memperbaiki acne. Efek
samping berupa hiperkalemi, siklus menstruasi tidak teratur, sakit kepala, nyeri payudara
dan kelelahan
Isotretinoin 

Isotretinoin merupakan retinoid oral atau derivate vitamin A yang digunakan sebagai terapi acne
dengan tingkat keparahan berat.

Isotretinoin diberikan dalam dosis awal 0.5mg/kgbb/hari pada bulan pertama lalu dinaikkan
menjadi 1.0mg/kgbb/hari sesuai toleransi pasien sampai dosis kumulatif 120-150mg/kg tercapai.

Isotretinoin bersifat lipofilik sehingga baik dikonsumsi dengan makanan. Namun, isotretinoin
juga bersifat teratogenik sehingga dikontraindikasikan pada ibu hamil. Efek samping berupa
gejala hipervitaminosis A, irritable bowel disease, perubahan mood ke arah cemas dan depresi. 

Terapi Pemeliharaan
Retinoid topikal dianggap paling efektif untuk digunakan sebagai terapi pemeliharaan
dikarenakan efek anti komedogenik dan komedolitik. Regimen yang dapat digunakan adalah
adapalene 1% gel  yang diketahui secara signifikan mengurangi pembentukan mikrokomedo.

Kombinasi adapalene 0.1% gel dengan BPO 2.5% gel mempertahankan jumlah P. Acnes yang
rendah dan memberikan hasil yang memuaskan sebagai terapi pemeliharaan pada pasien acne.

Terapi Tambahan 
Injeksi steroid intralesi memberikan efek yang baik pada lesi inflamasi yang luas. Pengelupasan
kimiawi dengan asam glikolat atau asam salisilat dapat digunakan pada bekas luka superfisial
dan pada lesi inflamasi-komedo.
Photodynamic therapies (PDT) atau fototherapi dengan menggunakan sinar biru dan merah
sedang dinilai sebagai terapi yang potensial terutama pada pasien acne yang tidak memberikan
respon terhadap terapi standar

Anda mungkin juga menyukai