Anda di halaman 1dari 15

Angga Punggawa Koedoeboen

102015125

A2

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi: Jl. Alpukat 22 No. 21 Jakarta Barat 11470

Email.: Angga.2015fk125@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosabasea yang umumnya terjadi
pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris sering polimorfi; terdiri atas
berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustule, nodus, dan jaringan parut yang terjadi akibat
kelainan aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotrofik maupun yang hipertrofik. . Prevelansi tertinggi
penderita Akne vulgaris pada wanita yaitu umur 14-17 tahun mencapai 83-85% dan pada pria umur 16-19
tahun mencapai 95-100%. Untuk Pengobatan Akne vulgaris terdiri dari dua macam yaitu pengobatan
medikamentosa yang terdiri dari topikal dan sistemik serta pengobatan non medikamentosa.

Kata Kunci: Akne Vulgaris, Komedo, Papul, Pustule, Nodus, Jaringan Parut, Hipotropik,
Hipertropik

Abstract

Acne vulgaris is a chronic inflammatory disease of pilosabasea follicles which generally


occurs in adolescence and can heal itself. Clinical features of acne vulgaris are often polymorphic;
consists of various skin disorders in the form of blackheads, papules, pustules, nodes, and scar tissue that
occur due to these active abnormalities, both hyprophrophic and hypertrophic scarring. . The highest
prevalence of patients with acne vulgaris in women is the age of 14-17 years reaching 83-85% and in
men aged 16-19 years reaching 95-100%. For the treatment of acne vulgaris consists of two kinds,
namely medical treatment consisting of topical and systemic and non-medical treatment.
Keywords: Acne vulgaris, blackheads, papules, pustules, nodules, scar tissue, hypotropic, hypertropic
Pendahuluan

Akne vulgaris adalah suatu kondisi inflamasi umum pada pada unit polisebaseus yang terjadi
pada remaja dan dewasa muda yang ditandai dengan komedo, papul, pustul, nodul.1, 2 Pada penelitian
Suryadi RM (2008) Hampir setiap orang pernah mengalami Akne vulgaris dan biasanya dimulai ketika
pubertas, dari survey di kawasan Asia Tenggara terdapat 40-80% kasus Akne vulgaris sedangkan menurut
catatan studi dermatologi kosmetika Indonesia menunjukan yaitu 60% penderita akne vulgaris pada tahun
2006, 80% terjadi pada tahun 2007 dan 90% pada tahun 2009. Prevelansi tertinggi yaitu pada umur 14-17
tahun, dimana pada wanita berkisar 83-85% dan pada pria yaitu pada umur 16-19 tahun berkisar 95-
100%. Pada umumnya banyak remaja yang bermasalah dengan Akne vulgaris yang menimbulkan
siksaan. Penyebab Akne vulgaris sangat banyak (multifaktorial), antara lain faktor genetik, faktor bangsa
ras, faktor makanan, faktor iklim, faktor jenis kulit , faktor kebersihan, faktor penggunaan kosmetik,
faktor stress, faktor infeksi dan faktor pekerjaan. Penderita biasanya mengeluh adanya ruam kulit berupa
komedo, papul, pustula, nodus, atau kista dan dapat disertai rasa gatal. Daerah-daerah predileksinya
terdapat di muka, bahu, bagian atas dari ekstremitas superior, dada, dan punggung.

Akne Vulgaris

Akne vulgaris (AV) merupakan kelainan kulit kronik pada folikel pilosebasea dengan
karakteristik terdapat komedo, papul, pustul, nodul, dan terkadang bisa timbul jaringan parut. Komedo
merupakan lesi primer dari AV. Akne diderita oleh sebagian besar orang usia 15-17 tahun dan
sekitar 15-20% di antaranya sedang- berat. Meskipun dianggap sebagai penyakit pada remaja,
akne dapat berlangsung hingga dewasa. Akne timbul lebih cepat pada perempuan, namun pada
laki-laki timbul pada masa remaja pertengahan. Sebuah penelitian di Jerman menemukan bahwa
64% orang usia 20-29 tahun dan 43% orang usia 30-39 tahun menderita akne. Sebanyak 3% laki-
laki dan 5% wanita masih memiliki akne ringan pada usia 40-49 tahun.
Rosasea

Gambar 1 : bagian wajah yang mengalami Rosasea

Suatu kondisi yang menyebabkan benjolan kemerahan dan biasanya kecil, merah, dan
berisi nanah di wajah. Rosacea (jerawat rosasea) paling sering terjadi pada wanita setengah baya
berkulit terang. Terkadang orang keliru menganggapnya jerawat atau kondisi kulit lainnya.
Gejala utama berupa wajah kemerahan dengan benjolan merah bengkak dan pembuluh darah
yang terlihat kecil. Pengobatan seperti antibiotik atau obat anti-jerawat dapat mengontrol dan
mengurangi gejala. Jika tidak diobati, kondisi ini cenderung memburuk seiring waktu.

Erupsi Akneiformis

Gambar 2: pengidap Erups Akneiformis

Erupsi akneiformis adalah suatu kelainan kulit yang menyerupai jerawat, berupa reaksi
peradangan folikular dengan manifestasi klinis papulopustular. Erupsi ini berkembang sebagai akibat dari
infeksi, kelainan hormonal atau metabolik, kelainan genetik, dan reaksi obat.

Bork pada tahun 1988 mendefinisikan erupsi akneiform sebagai suatu reaksi inflamasi yang
bermanifestasi klinis sebagai papula dan pustula dan menekankan ketiadaan komedo sebagai perbedaan
yang mendasar antara erupsi akneiformis dengan akne. Akan tetapi komedo dapat muncul secara
sekunder jika erupsi tersebut sudah berlangsung lama.
Penyebab erupsi akneiformis sampai saat ini masih belum dapat diketahui secara pasti, namun diduga
disebabkan oleh obat, baik obat-obatan yang digunakan secara sistemik maupun yang digunakan secara
topikal. Erupsi akneform adalah reaksi kulit yang berupa peradangan folikular akibat adanya iritasi epitel
duktus pilosebasea yang terjadi karena eksresi substansi penyebab (obat) pada kelenjar kulit. Umumnya
reaksi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat (erupsi obat) timbul
karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis, tetapi reaksi ini juga dapat terjadi
melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena dosis yang berlebihan, akumulasi obat atau
karena efek farmakologi yang tidak diinginkan.

Kasus erupsi akneform akibat obat (drug-induced acneiform eruption / DAE) awalnya sudah dilaporkan
sejak tahun 1928 ketika lesi yang menyerupai jerawat muncul dengan penggunaan iodida dan hidrokarbon
klorinat. Erupsi ini mulai tercatat sebagai salah satu dari beberapa efek samping steroid saat pengenalan
steroid dalam terapi medis pada tahun 50-an. Pada tahun 1959, Bereston melaporkan timbulnya erupsi
seiring dengan penggunaan isoniazid (INH). Sejak itu, berbagai macam obat ditemukan sebagai penyebab
erupsi akneiform ini.

Faktor Risiko

Terdapat beberapa hal yang berhubungan dengan kejadian akne dan meningkatkan risiko
akne vulgaris, antara lain :5,6

1. Genetik
Akne memiliki heritabilitas sebesar 78% pada relatif tingkat pertama. Akne timbul lebih
cepat dan lebih parah pada orang dengan riwayat keluarga positif.i
2. Diet
Pada penelitian terdahulu diketahui bahwa pasien dengan akne memiliki toleransi glukosa
terganggu dan perubahan metabolisme karbohidrat sehingga pasien dianjurkan untuk
menghindari makanan yang terlalu banyak karbohidrat dan gula. Namun berdasarkan
penelitian sistematik oleh Margin dkk. pada tahun 2005 diketahui bahwa tidak ada bukti
yang jelas bahwa makanan tertentu meningkatkan risiko akne. Akne juga dihubungkan
dengan makanan dengan indeks glikemik yang tinggi serta konsumsi susu tinggi lemak,
namun dikatakan tidak ada hubungan dengan coklat, piza, dan kentang goreng
3. Paparan cahaya matahari
Pengaruh radiasi sinar UV atau paparan cahaya terhadap akne masih menjadi perdebatan.
Masih belum ada bukti yang mendukung bahwa paparan sinar matahari langsung
memperparah akne. Namun beberapa penelitian merekomendasikan terapi cahaya dengan
blue, blue/red atau infrared. Terapi fotodinamik juga sedang berkembang untuk
tatalaksana akne.
4. Higiene
Mencuci wajah dua kali sehari dengan pembersih ringan dapat membantu menurunkan
jumlah lesi akne. Selain itu pada penggunaan sabun asam, lesi inflamasi lebih sedikit
dibandingan bila menggunakan sabun alkali
5. Obesitas
Pasien dengan akne memiliki indeks massa tubuh sedikit lebih tinggi (19,5) dibandingkan
dengan orang tanpa akne (18,2)
6. Stress dan picking
Stress emosional merupakan faktor pemicu utama terhadap eksaserbasi akne vulgaris.
Stress menginduksi ekspresi neuropeptida lokal yang mengakibatkan eksaserbasi akne.
Picking atau menekan akne akan memperberat inflamasi dan pustul, menekan akne akan
mempengaruhi proses penyembuhan dan meningkatkan bekas jerawat (scarring).
7. Infeksi
Jumlah bakteri P.acne pada orang normal dan penderita akne sama, tidak ada
penambahan jumlah P.acnes pada akne derajat ringan- sedang dengan derajat berat. Hal
ini meningkatkan kemungkinan bahwa P.acnes melakukan kolonisasi sekunder pada
lingkungan anaerob kaya lipid. Patogenesis akne berhubungan secara langsung denga
P.acnes. 6

Etiologi dan Patogenesis

Etiologi dari pada Akne Vulgaris hingga saat ini belum diketahui penyebab pastinya,
akan tetapi beberapa etiologi yang diduga terlibat, berupa faktor intrinsic, yaitu genetic, ras
hormonal, dan faktor ekstrinsik berupa stress, iklim/ suhu/ kelembapan, kosmetik, diet dan obat-
obatan.

Terdapat empat patogenesis yang paling berpengaruh terhadap timbulnya akne vulgaris, yaitu : 4,5
1. Produksi sebum yang meningkat
Pada individu akne, secara umum ukuran folikel sebasea serta jumlah lobul tiap
kelenjar bertambah. Ekskresi sebun dikontrol oleh hormon androgen. Akibat stimulasi
hormon adrogen kelenjar sebasea mulai berkembang pada usia individu 7-8 tahun.
Hormon androgen berperan pada perubahan sel-sel keratinosit folikular sehingga
menyebabkan terjadinya mikrokomedo dan komedo yang akan berkembang menjadi lesi
inflamasi.
Pasien akne vulgaris akan memproduksi sebum lebih banyak dari individu
normal, namun komposisi sebum tidak berbeda dengan orang normal kecuali terdapat
penurunan jumlah asam linoleat yang bermakna. Jumlah sebum yang diproduksi sangat
berhubungan dengan tingkat keparahan akne.

2. Hiperproliferasi folikel sebasea


Lesi akne dimulai dengan mikrokomedo, lesi mikroskopis yang tidak terlihat
dengan mata telanjang. Komedo pertama kali terbentuk dimulai dengan kesalahan
deskuamasi pajang folikel. Penelitian imunohistokimiawi menunjukkan adanya
peningkatan proliferasi keratinosit basal dan diferensiasi abnormal dari sel-sel keratinosit
folikular. Hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya kadar asam linoleat sebasea.
Lapisan granulosum menebal, tonofilamen dan butir-butir keratohialin meningkat,
kandungan lipid bertambah sehingga lama-kelamaan menebal dan menyumbat orifisium
folikel. Proses ini awalnya ditemukan pada pertemuan antar duktus sebasea dengan epitel
folikel. Bahan-bahan keratin mengisi folikel sehingga menyebabkan folikel melebar.
Pada akhirnya secara klinis terdapat lesi non-inflamasi (komedo terbuka / tertutup) atau
lesi inflamasi.

3. Kolonisasi Propionibacterium acnes


P.acnes merupakan mikroorganisme utama yang ditemukan pada daerah infra
infundibulum dan P.acnes dapat mencapai permukaan kulit dengan mengikuti aliran
sebum. P.acnes akan meningkat jumlahnya seiring dengan meningkatnya jumlah
trigliserida dalam sebum yang merupakan nutrisi bagi P.acnes
4. Proses inflamasi
P.acnes diduga berperan penting menimbulkan inflamasi pada akne vulgaris
dengan menghasilkan faktor kemotaktik dan enzim lipase yang akan mengubah
trigliserida menjadi asam lemak bebas, serta dapat menstimulasi aktifnya jalur klasik dan
alternatif komplemen.

Gambar 3: pathogenesis akne vulgaris

Gejala klinis
Akne vulgaris mempunyai tempat predileksi diwajah dan leher (99%), punggung (60%), dada
(15%) serta bahu dan lengan atas. Kadang pasien mengeluh gatal dan nyerii. Sebagian pasien merasa
terganggu secara estetis. Kulit AV cenderung lebih berminyak atau sebore, tetapi tidak semua orang
dengan sebore, tetapi tidak semua orang dengan sebore disertai AV. Efloresensi akne berupa; komedo
hitam (terbuka) dan putih (tertutup), papul, pustule, nodus, kista, jaringan parut, perubahan pigmentasi.
Komedo terbuka (black head) dan komedo tertutup (while head) Merupakan lesi noninflamasi. Papul,
pustule, dan nodus dari kista merupakan lesi inflamasi
Klasifikasi Akne Vulgaris

Klasifikasi acne yang paling ‘tua’ adalah klasifikasi oleh Pillsburry pada tahun 1956, yang
mengelompokkan acne menjadi 4 skala berdasarkan perkiraan jumlah dan tipe lesi, serta luas keterlibatan
kulit. 1, 11,20 Klasifikasi lainnya oleh Plewig dan Kligman (2005), yang mengelompokkan acne vulgaris
menjadi :

A. Acne komedonal
a. Grade 1: Kurang dari 10 komedo pada tiap sisi wajah
b. Grade 2 : 10-25 komedo pada tiap sisi wajah
c. Grade 3 : 25-50 komedo pada tiap sisi wajah
d. Grade 4 : Lebih dari 50 komedo pada tiap sisi wajah

B. Acne papulopustul
a. Grade 1 : Kurang dari 10 lesi pada tiap sisi wajah
b. Grade 2 : 10-20 lesi pada tiap sisi wajah
c. Grade 3 : 20-30 lesi pada tiap sisi wajah
d. Grade 4 : Lebih dari 30 lesi pada tiap sisi wajah

Selain klasifikasi di atas, klasifikasi yang sering digunakan untuk berbagai macam penelitian AV adalah
klasifikasi menurut Lehmann dan kawan-kawan, yaitu:

Table 1. Klasifikasi Derajat Keparahan Akne Vulgaris menurut Lehmann

Derajat Kriteria

Akne Vulgaris ringan Jumlah komedo tertutup dan komedo terbuka <20
buah/wajah, atau Jumlah lesi inflamasi (papul,
nodul, pustul) <15 buah/wajah, atau Jumlah total
lesi (jumlah komedo dan lesi inflamasi) <30
buah/wajah

Akne Vulgaris sedang Jumlah komedo tertutup dan komedo terbuka < 20-100
buah/wajah, atau Julah lesi inflamasi (papul, nodul,
pustul) < 15-50 buah/wajah, atau Jumlah total lesi
(jumlah komedo dan lesi inflamasi) < 30-125
buah/wajah

Akne Vulgaris berat Jumlah kista >5 buah/wajah Jumlah komedo tertutup dan
komedo terbuka >100 buah/wajah, atau Jumlah lesi
inflamasi (papul, nodul, pustul) >50 buah/wajah, atau
Jumlah total lesi (jumlah komedo dan lesi inflamasi)
>125 buah/wajah
Sumber: Puguh Riyanto. 2015. Advantage of Soybean Isoflavon as Antiandrogen on Acne Vulgaris.

Gambar 4: A.V ringan

Gambar 5: A.V sedang

Gambar 6: A.V berat

Faktor- faktor yang berpengaruh

Berbagai macam faktor dapat mempengaruhi kejadian AV, baik faktor genetik, psikologi, maupun
lingkungan.
1) Genetik
Akne kemungkinan besar merupakan penyakit genetik dalam peningkatan respon unit
pilosebasea terhadap kadar normal androgen dalam darah. Adanya gen tertentu (CYP17-34C)
dalam sel tubuh manusia, juga dapat meningkatkan terjadinya akne.
2) Diet
Faktor makanan, terutama makanan manis, coklat, dan yang mengandung lemak,
diangggap menjadi pemicu kejadian akne. Terutama makanan dengan glikemik indeks yang
tinggi menyebabkan hiperinsulinemia termasuk meningkatkan insulin-like growth factor 1 yang
juga meningkatkan kadar androgen sebagai patogenesis utama kejadian AV. Akne juga
memungkinkan sebagai efek dari tubuh yang kelaparan dan terlihat pada pasien anoreksia
nervosa.
3) Iklim dan lingkungan
Di daerah yang memiliki empat musim, biasanya akne bertambah hebat pada musim
dingin, sebaliknya kebanyakan membaik di musim panas. Sinar ultraviolet mempunyai efek
membunuh bakteri pada permukaan kulit dan dapat mengadakan pengupasan kulit yang dapat
membantu menghilangkan sumbatan saluran pilosebasea.
4) Pekerjaan
Berhubungan dengan hidrasi duktus stratum korneum yang mempengaruhi kejadian akne,
terutama pada pekerjaan yang berhubungan dengan uap dan banyak berkeringat.
5) Merokok
Asap rokok mengandung kadar asam arakidonat dan hidrokarbon aromatik polisiklik
yang tinggi sehingga memicu phospolipipasic A2-dependent inflammatory pathway. Pada
perokok juga ditemukan memiliki asupan lemak saturasi tinggi dan lemak polyunsaturated yang
rendah pada makanannya.
6) Psikis
Pada beberapa penderita, stress dan gangguan emosi dapat menyebabkan eksaserbasi
akne. Hal ini dapat meningkatkan produksi sebum, baik secara langsung atau melalui rangsangan
terhadap kelenjar hipofisis.

Tata laksana

1.1 Terapi A.V


Penatalaksanaan AV bisa bervariasi.Salah satu tujuan primer terapi akne jangka panjang adalah menjaga
duktus pilosebaseus tetap terbuka dan menghindari iritasi kulit.Terapi nonfamakologis dapat berupa
perawatan kulit wajah, memilih kosmetik yang nonkomedogenik, dan menghindari pemencetan lesi
secara non-higienis.Sedangkan terapi farmakologis AV dilakukan sesuai derajat keparahannya dan dapat
dibagi menjadi terapi topikal dan sistemik.

Terapi topikal merupakan standar penanganan akne derajat ringan sampai sedang. Pemilihan
bentuk sediaan topikal yang tepat akan menurunkan efek samping dan meningkatkan kepatuhan pasien
serta memberi hasil yang lebih baik. Obat berbentuk gel, sabun, dan solusio menimbulkan kering pada
kulit dan baik digunakan pada kulit berminyak. Bentuk lotion, krim, dan salep baik digunakan pada kulit
kering tetapi mudah mengiritasi kulit. Terapi topikal ini pada umumnya membutuhkan waktu enam
sampai delapan minggu untuk melihat efek kerjanya.

Bahan topikal untuk terapi akne sangat beragam. Bahan aktif yang sering digunakan adalah
retinoid, benzoil peroksida, asam salisilat, sulfur, asam azaleat, Alpha Hydroxy Acid (AHAs), dan
beberapa antibiotik, seperti eritromisin, klindamisin, tetrasiklin, dan metronidazol. Asam azaleat dengan
konsentrasi krim 20% atau gel 15% memiliki efek antimikroba dan komedolitik. Benzoil peroksida
merupakan bakteriostatik poten dan komedolitik ringan yang memiliki efek samping kekeringan atau
iritasi kulit terutama pada konsentrasi tinggi.

Retinoid topikal yang merupakan derivat vitamin A bekerja menormalkan proses proliferasi,
mencegah penyumbatan folikuler, serta menurunkan pelepasan sitokin proinflamasi. Terdapat tiga jenis
retinoid topikal, yaitu tretinoin, adapalen, dan tazaroten. Tretinoin adalah yang sering dipakai sebagai
terapi standar AV dan dapat berupa krim, gel, maupun cairan.Retinoid dapat menyebabkan penipisan
stratum korneum dan lapisan luar epidermis terutama pada kulit yang rentan fototrauma. Penderita
disarankan menggunakan tabir surya jika terpapar sinar matahari lama sehingga efek penipisan epidermis
pada penggunaan retinoid dapat dihindari.

Antibiotik topikal selain bekerja secara langsung menghambat kolonisasi P. acnes, juga diduga
berkaitan dengan efek antiinflamasi pada komedogenesis. Antibiotik topikal yang banyak digunakan
adalah eritromisin dan klindamisin. Eritromisin dan klindamisin memiliki efek yang hampir sama, yaitu
bekerja menghambat sintesis protein bakteri dan sebagai anti-inflamasi. Banyak hal yang perlu
dipertimbangkan dalam memilih obat antibiotik ini dikarenakan meningkatnya resistensi terhadap
antibiotik yang sering digunakan. Maka dari itu, terapi kombinasi lebih dipilih untuk mengurangi
resistensi. Biasanya terapi topikal kombinasi yang digunakan dan paling efektif pada penderita AV
derajat ringan sampai sedang adalah benzoil peroksida dengan antibiotik topikal.
Terapi sistemik, termasuk antibiotik oral, retinoid oral, dan terapi hormonal menjadi pilihan terapi
AV pada keadaan terapi topikal sudah tidak responsif atau pada derajat keparahan akne sedang hingga
berat. Terapi oral isotretinoin sejauh ini masih menjadi terapi yang paling efektif.Obat ini langsung
bekerja pada keempat patogenesis utama AV. Isotretinoin paling efektif untuk akne jenis nodulokistik dan
dapat mencegah jaringan parut. Namun, obat ini dapat menimbulkan kekambuhan jika obat dihentikan
dengan pemeliharaan kebersihan yang kurang serta bersifat teratogenik.

Tetrasiklin merupakan lini pertama terapi antibiotik oral pada akne, tetapi penggunaannya harus
tetap dibatasi dan tidak boleh diberikan sebagai monoterapi dikarenakan alasan resistensi. Respon
antibiotik oral biasanya terlihat setelah terapi selama enam minggu.Penggunaan terapi kombinasi, sekali
lagi, lebih disarankan, misalnya pemberian terapi retinoid topikal dengan antibiotik oral bisa
mempercepat respon penyembuhan.

Agen hormonal ternyata juga efektif sebagai terapi lini kedua pada wanita dengan akne tanpa
melihat adanya kelainan hormonal.Terapi hormonal yang dipakai terutama adalah kontrasepsi oral
kombinasi yang mengandung estrogen dan progestin. Komponen estrogen menurunkan produksi
testosteron dan hormon androgen lain. Beberapa kandungan progestin dapat memperparah kejadian akne.
Progestin yang dipilih adalah yang mengandung norgestimat, desogestrel, atau drosiperon untuk
mengurangi efek tersebut. Penggunaan terapi hormonal ini perlu dilihat dari segi kebutuhan pasien dan
indikasinya karena bisa menimbulkan efek samping, seperti hiperkalemia, menstruasi yang tidak teratur,
dll. Akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan terapi topikal atau antibiotik oral.

Selain terapi farmakologis di atas, terapi optikal dengan menggunakan laser atau gelombang cahaya
tertentu juga dapat menjadi pilihan terapi AV. Terapi cahaya seperti photodynamic therapy (PDT)
menjadi alternatif bagi pasien yang meninginkan penyembuhan topikal yang cepat kerjanya, tanpa efek
samping yang serius, dan tidak menyebabkan resistensi antibiotik. Photodynamic therapy bekerja pada
prekusor porfirin topikal yang dihasilkan oleh P. acnes, seperti 5- aminolaevulinic acid (ALA) atau metil
aminolevulinat (MAL). Pada red light ALA-PDT menyebabkan destruksi kelenjar sebaseus dan remisi
akne jangka panjang, sedangkan pada MAL-PDT efektif sebagai antibiotik dan anti inflamasi.
Patogenesis akne yang kompleks membuat terapi akne sangat beragam.Beberapa terapi akne diberikan
secara kombinasi dengan terapi lainnya untuk memaksimalkan penyembuhan akne vulgaris.

Prognosis
Akne vulgaris merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri. Dengan pencegahan yang tepat
dengan menghindari faktor penyebab dan mendapat tatalaksana yang sesuai akan menghasilkan prognosis
yang baik.

Kesimpulan

Merupakan penyakit inflamasi kronis dari kelenjar sebasea. Kecepatan sekresi sebum yang tinggi
akhirnya menyebabkan terbentuknya jerawat di bagian tubuh seperti wajah, leher, dada, punggung dan
bahu. Akne dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Penyebab akne bersifat multifaktoral,
keaaan- keadaan yang mungkin menyebabkan aktivitas kelenjar sebasea dan penyumbatan duktus
polisebasea (folikel rambut) seperti hereditas, stimulasi hormone androgen, obat tertentu seperti
kortikosteroid, kortikotropin (ACTH) dll, pajanan minyak berat, gemuk atau ter, trauma atau gesekan
akaian yang terlalu ketat, kosmetik, stress emosi, iklim tropis.

AV memiliki prognosis yang baik apabila pencegahan dan tatalaksana dilakukan secara tepat
sesuai dengan kebutuhan

Daftar Pustaka

1. Hay, RJ et al. The Global Burden of Skin Disease in 2010: An Analysis of the Prevalence
and Impact of Skin Conditions. The Journal of Investigative Dermatology. 2013; 134 (6):
1527–34.
2. Saclemente, Gloria et al. Clinical Practice Guidelines for Treatment of Acne Vulgaris : A
Critical Appraisal Using The AGREE II Instrument. Arch Dermatol Res.2014; 306 :269-
277.
3. Barnes, L.E.; Levender, M.M.; Fleischer, A.B., Jr.; Feldman, S.R. Quality of life
measures for acne patients. Dermatologic Clinics (Review) 2012; 30 (2): 293–300.
4. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.
5. Williams H, Dellavalle R, Garner S. Acne vulgaris. The Lancet. 2012;379(9813):361-
372.
6. Bhate K, Williams H. Epidemiology of acne vulgaris. British Journal of Dermatology.
2013;168(3):474-485.
7. Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 7th ed. New York: Mc Graw Hill. 2013.
8. Goh C, Abad-Casintahan F, Aw D, Baba R, Chan L, Hung N et al. South-East Asia study
alliance guidelines on the management of acne vulgaris in South-East Asian patients. The
Journal of Dermatology. 2015;42(10):945-953.
9. Mc William, Joanne; Walker,Christine. Acne vulgaris: clinical features, assessment and
treatment. Nursing Standard. 2009; 23,34 :49.
i

Anda mungkin juga menyukai