Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Beberapa cara yang umum dipergunakan untuk memperkirakan besaran banjir

rancangan adalah banjir maksimum terukur, rumus empirik, cara rasional, regional

flood analysis, pendekatan statistik dengan analisis frekuensi dan probable

maximum flood (PMF). Jika pada suatu DAS, ketersediaan data hidrologinya sangat

terbatas, umumnya digunakan rumus empirik dengan pendekatan hidrograf satuan

sintetik dalam mencari besaran banjir rancangan.

Untuk mendapatkan debit banjir rancangan dengan metode hidrograf satuan,

hujan rancangan sebagai masukan biasanya berupa hujan harian yang diagihkan

terlebih dahulu kedalam tinggi hujan dengan durasi yang lebih pendek misal jam-

jaman, yang akan digunakan untuk mencari nilai hujan efektif kemudian

menerapkannya dengan metode hidrograf satuan untuk mencari debit banjir

rancangan. Cara yang dipergunakan adalah melakukan studi data hujan otomatik

untuk mendapatkan durasi dan pola distribusi hujan yang mewakili kondisi dimana

analisis banjir rancangan itu diperuntukkan. Namun distribusi hujan tersebut hanya

dapat digunakan untuk daerah yang mempunyai data pencatatan hujan otomatik.

Dalam praktek, untuk daerah yang hanya memiliki data hujan harian, distribusi

hujan dapat ditentukan dengan menggunakan distribusi hujan hipotetik seperti pola

distribusi hujan cara Alternating Block Method (ABM) dan Tadashi Tanimoto.

Dalam hal pemakaian hidrograf satuan, distribusi hujan merupakan masukan

yang sangat menentukan ketelitian hasil hitungan hidrograf banjir rancangan.

1
Pemakaian distribusi hujan yang berbeda akan menghasilkan hidrograf banjir

rancangan yang berbeda pula. Distribusi hujan yang tidak tepat akan dapat

menghasilkan banjir rancangan yang terlalu kecil (under estimated) atau terlalu

besar (over estimated). Penerapan banjir rancangan yang tidak teliti tersebut dapat

mengakibatkan kegagalan konstruksi atau sebaliknya menghasilkan perancangan

bangunan yang tidak ekonomis akibat besarnya dana pembangunan.

Dengan pertimbangan tersebut, kajian tentang kesesuaian pola distribusi

hujan untuk suatu DAS untuk penetapan debit banjir rancangan pada beberapa nilai

kala ulang sangat diperlukan.

1.2. Rumusan Masalah

Permasalahan yang terjadi selama ini yang mendorong penulis melakukan

studi adalah sebagai berikut:

1. Dalam perencanaan bangunan air di Pulau Lombok, sering digunakan metode

distribusi hujan jam-jaman Tadashi Tanimoto yang penah dikembangkan di

daerah Jawa Barat serta metode Alternating Block Method (ABM) yang

dikembangkan di wilayah Amerika Serikat sebagai parameter utama dalam

menghitung besaran banjir rancangan.

2. Penggunaan metode hidrograf satuan sintetik lebih dominan digunakan untuk

menghitung debit banjir rancangan akibat dari keterbatasan data debit terukur.

1.3. Maksud dan Tujuan Studi

Maksud dari studi ini adalah melakukan kajian pola penyimpangan debit

banjir rancangan pada beberapa kala ulang berdasarkan metode hidrograf satuan

2
terukur dan sintetik dengan menggunakan beberapa model distribusi hujan jam-

jaman.

Tujuan dari studi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi dalam

penentuan pola distribusi hujan yang tepat untuk hitungan debit banjir rancangan

pada berbagai kala ulang yang dipandang cukup teliti.

1.4. Batasan Masalah

Dalam tugas akhir ini, beberapa batasan ditetapkan untuk memberikan

gambaran sejauh mana kajian analisis yang akan dilakukan. Batasan-batasan

tersebut adalah sebagai berikut ini.

1. Lokasi studi pada DAS Ancar yang ada di Kota Mataram yang mempunyai alat

ukur debit otomatis (AWLR).

2. Beberapa analisa data sekunder menggunakan hasil studi terdahulu.

3. Analisis data hujan didasarkan pada jaringan stasiun hujan yang ada, tanpa

kajian optimasi jaringan dengan posisi stasiun di bagian hulu dari AWLR.

4. Distribusi hujan yang digunakan adalah distribusi hujan terukur berdasarkan

nilai rerata (mean) dan distribusi hujan hipotetik dengan metode ABM dan

Tadashi Tanimoto.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Distribusi Hujan DAS

Kejadian hujan di pulau Lombok umumnya bervariasi baik intensitas ruang

dan waktunya. Di beberapa tempat durasi hujan mempunyai intensitas yang cukup

panjang terutama pada bagian utara Pulau Lombok dan bagian selatan sebaliknya.

Penelitian tentang distribusi hujan durasi pendek untuk hidrograf satuan

belum pernah dilakukan di pulau Lombok, hanya beberapa daerah di pulau Jawa

yang menjadi referensi diantaranya Analisa Hujan Durasi Pendek pada DAS

Gajahwong di Yogyakarta (Arief Susanto, 2005) yang menghasilkan

penyimpangan cukup signifikan terhadap teori distribusi hujan yang dikembangkan

selama ini.

Unjuk kerja beberapa teori hidrograf satuan pernah dilakukan di DAS

Jangkok yang menghasilkan bahwa teori Gama-I mempunyai hasil penyimpangan

terkecil dengan hidrograf satuan terukur (Kume Sunandar, 2005)

2.1.2. Hujan DAS

Hujan merupakan masukan utama kedalam suatu DAS, sehingga jumlah

hujan yang terjadi dalam suatu DAS merupakan besaran yang sangat penting dalam

sistem DAS tersebut. Oleh sebab itu, data curah hujan merupakan data yang penting,

khususnya untuk kasus analisis pada DAS yang tidak terdapat data aliran, dimana

data hujan dapat digunakan untuk perkiraan debit aliran yang terjadi pada suatu

4
rentang periode waktu tertentu. Data curah hujan dapat berupa curah hujan harian

atau curah hujan jam-jaman (Rachmad Jayadi, 2004).

Di dalam analisis hidrologi, masukan hujan yang digunakan adalah curah

hujan rerata DAS yang dianggap dapat mewakili seluruh hujan yang terjadi dalam

DAS. Untuk menentukan besarnya hujan rata-rata DAS dapat digunakan 3 (tiga)

metode, yaitu metode Aritmatik (rata-rata aljabar), metode Poligon Thiessen dan

metode Isohyet. Masing-masing metode hitungan curah hujan DAS secara singkat

diuraikan sebagai berikut ini (Rachmad Jayadi, 2004).

1. Metode Aritmatik (Rata-rata Aljabar)

Curah hujan rata-rata DAS dapat ditentukan dengan menjumlahkan curah

hujan dari semua tempat pengukuran untuk suatu periode tertentu dan membaginya

dengan banyaknya stasiun pengukuran. Metode ini dapat dipakai pada daerah yang

datar dengan jumlah stasiun yang relatif banyak, dengan anggapan bahwa di DAS

tersebut sifat curah hujannya adalah merata. Metode ini sangat sederhana dan

mudah diterapkan, akan tetapi kurang memberikan hasil yang teliti mengingat

tinggi curah hujan yang sesungguhnya tidak mungkin benar-benar merata pada

seluruh DAS, khususnya untuk daerah dengan variabilitas yang tinggi seperti di

Indonesia ini.

2. Metode Poligon Thiessen

Metode ini memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan dengan

pengertian bahwa setiap stasiun hujan dianggap mewakili hujan dalam suatu daerah

5
dengan luas tertentu, dan luas tersebut merupakan faktor bobot Thiessen. Luas

masing-masing daerah tersebut diperoleh dengan cara berikut ini (Sri Harto, 2000).

1. Semua stasiun yang terdapat di dalam (atau di luar) DAS dihubungkan dengan

garis, sehingga terbentuk jaringan segitiga-segitiga.

2. Pada masing-masing segitiga ditarik garis sumbunya, dan semua garis tersebut

memebentuk poligon.

3. Luas daerah yang hujannya dianggap diwakili oleh salah satu stasiun

bersangkutan adalah daerah yang dibatasi oleh garis-garis poligon tersebut (atau

dengan batas DAS).

4. Luas relatif daerah ini dengan luas DAS merupakan faktor bobot Thiessen..

Adapun persamaan untuk mencari perata-rataan hujan dengan metode

poligon Thiessen dapat dirumuskan sebagai berikut ini (Sri Harto, 2000).

n
Pd    i Pi (2.1)
i 1

Ai
i  (2.2)
A

dengan :
Pd : hujan rata-rata DAS (mm),
Pi : hujan terukur masing-masing setasiun i (mm),
 i : koefisien Thiessen,
Ai : luas masing-masing poligon (km2),
A : luas DAS (km2).

Metode ini cocok untuk menentukan hujan rata-rata dimana lokasi stasiun

tidak banyak dan hujannya tidak merata. Dalam praktek pemakaian hitungan hujan

6
DAS, banyak digunakan metode poligon Thiessen yang dipandang cukup praktis

dengan hasil yang cukup baik (Rachmad Jayadi, 2004).

3. Metode Isohyet

Metode ini menggunakan pembagian DAS dengan garis-garis yang

menghubungkan tempat-tempat dengan curah hujan yang sama besar (isohyet).

Curah hujan rata-rata dari daerah aliran sungai didapatkan dengan menjumlahkan

perkalian antara curah hujan rata-rata diantara garis-garis isohyet dengan luas

daerah yang dibatasi oleh garis batas DAS dan dua garis isohyet, kemudian dibagi

dengan luas seluruh DAS. Cara ini mempunyai kelemahan yaitu apabila dikerjakan

secara manual, dimana setiap kali harus menggambarkan garis isohyet yang

tentunya hasilnya sangat tergantung kepada masing-masing pembuat garis.

Dalam praktek pemakaian hitungan hujan DAS, banyak digunakan metode

poligon Thiessen yang dipandang lebih praktis dengan hasil cukup baik. Pada studi

ini, curah hujan rata-rata DAS yang digunakan adalah hasil hitungan peneliti

terdahulu yang dicari dengan menggunakan metode poligon Thiessen.

2.1.3. Banjir Rancangan

Dalam kaitannya dengan rencana pembuatan bangunan air, salah satu

besaran rancangan yang harus didapatkan melalui kegiatan analisis hidrologi adalah

besaran debit banjir rancangan (design flood). Banjir rancangan adalah besarnya

debit banjir yang ditetapkan sebagai dasar penentuan kapasitas bangunan dan untuk

mendimensi bangunan hidraulik (termasuk bangunan di sungai), sedemikian hingga

kerusakan yang dapat ditimbulkan baik langsung maupun tidak langsung oleh

banjir tidak boleh terjadi selama besaran banjir tidak terlampaui. Ada beberapa cara

7
yang dapat dilakukan dalam mencari besaran banjir rancangan. Beberapa cara untuk

memperkirakan besaran banjir rancangan dapat dijelaskan sebagai berikut ini (Sri

Harto, 1993).

1. Banjir Maksimum Terukur (Maximum Observed Historical Flood). Cara ini

dipergunakan apabila didalam DAS yang bersangkutan tidak tersedia data

hidrologi. Analisis dapat dilakukan dengan memanfaatkan tanda-tanda bekas

banjir yang masih terlihat kemudian memperkirakannya dengan persamaan-

persamaan hidraulika yang berkaitan. Cara ini dianjurkan hanya dalam keadaan

sangat memaksa, karena tidak ada data/informasi hidrologik lainnya, sehingga

hanya dibenarkan dipergunakan pada tahap-tahap awal kegiatan perancangan.

2. Rumus Empirik. Cara ini digunakan bila ada sedikit data hidrologi di DAS yang

bersangkutan untuk memperkirakan besar debit puncak. Cara ini dikembangkan

dengan mengaitkan debit puncak dengan salah satu atau beberapa parameter

DAS.

3. Pemanfaatan data hujan. Cara ini mendasarkan pada persamaan rasional,

dengan memasukkan parameter DAS sebagai unsur pokok dan juga sifat-sifat

hujan sebagai masukan. Jenis dan sifat parameter DAS tidak diperinci satu demi

satu, akan tetapi pengaruhnya secara keseluruhan ditampilkan sebagai koefisien

limpasan. Cara ini diterapkan apabila tidak tersedia data debit yang cukup

panjang tetapi tersedia hujan harian yang panjang.

4. Analisis Frekuensi. Yang dimaksud dengan analisis frekuensi ialah cara

penetapan banjir rancangan yang didasarkan pada sifat statistik data untuk

memperoleh probabilitas besarannya di masa yang akan datang. Cara ini masih

8
dipandang sebagai cara terbaik karena langsung memanfaatkan data aliran

terukur di sungai.

5. Probable Maximum Flood, PMF. Yang dimaksud dengan probable maximum

flood adalah besaran debit maksimum yang masih dipikirkan dapat terjadi, yang

ditimbulkan semua faktor meteorologis dan hidrologis yang terburuk. Cara ini

umumnya hanya digunakan pada bagian bangunan yang sangat penting, dan

kegagalan fungsional bagian bangunan ini dapat mengakibatkan hal-hal yang

sangat membahayakan, misalnya bangunan pelimpah (spillway) pada sebuah

bendungan.

Dalam studi ini, debit banjir rancangan dianalisis dengan menggunakan

metode analisis frekuensi dan dengan pendekatan hidrograf satuan.

2.1.4. Hidrograf Satuan

Hidrograf satuan didefinisikan sebagai hidrograf limpasan langsung yang

dihasilkan oleh hujan efektif yang terjadi merata diseluruh DAS dengan intensitas

tetap dalam satu satuan waktu yang ditetapkan. Berdasarkan definisi tersebut, ada

beberapa anggapan dasar yang berlaku pada penggunaan teori hidrograf satuan

yaitu sebagai berikut ini (Chow dkk., 1988).

1. Hujan yang terjadi dianggap merata diseluruh DAS dengan intensitas tetap

dalam satuan waktu/durasi yang ditetapkan.

2. Hubungan antara hujan dan aliran bersifat linear (linear system).

3. Hubungan antara hujan dan aliran pada proses pengalihragaman di DAS tidak

tergantung pada waktu kejadian (time invariant).

9
4. Waktu dari puncak hidrograf satuan sampai akhir hidrograf limpasan langsung

selalu tetap.

Penurunan hidrograf satuan dapat dilakukan dengan menggunakan

persamaan polynomial dan cara collins (coba-coba). Prosedur penurunan hidrograf

satuan terukur menggunakan persamaan polinomial secara garis besar adalah

sebagai berikut ini (Sri Harto, 2000).

1. Dipilih kasus hujan dan rekaman AWLR yang terkait, selanjutnya ditetapkan

hidrografnya dengan menggunakan liku kalibrasi yang berlaku.

2. Hidrograf limpasan langsung diperoleh dengan memisahkan aliran dasar dari

hidrograf tersebut, selanjutnya hujan efektif ditetapkan dengan indeks ,

sehingga volume hujan efektif sama dengan volume hidrograf limpasan

langsung.

3. Hidrograf satuan hipotetik ditetapkan dengan masing-masing ordinatnya

adalah q1, q2 … qn. Jumlah ordinat hidrograf satuan (n) = jumlah ordinat

hidrograf terukur (nq) – jumlah periode hujan jam-jaman (np) + 1.

4. Hidrograf limpasan langsung yang dihitung diperoleh dengan mengalikan

hujan efektif dengan hidrograf satuan hipotetik dengan prinsip superposisi.

5. Hasil hitungan selanjutnya dibandingkan dengan hidrograf limpasan langsung

terukur untuk mendapatkan besaran-besaran q1, q2 … qn.

Misal diketahui hujan selama 3 jam dengan distribusi waktu masing-masing

R1, R2, dan R3, dan hidrograf satuan hipotetik dengan ordinat q1, q2, ……… qn,

maka hitungan hidrograf limpasan langsung dapat dilakukan sebagai berikut ini.

10
Hujan R1 menghasilkan hidrograf R1 q1 R1 q2 R1 q3 ….…. R1 qn

Hujan R2 menghasilkan hidrograf ..…. R2 q1 R2 q2 R2 q3 …… R2 qn

Hujan R3 menghasilkan hidrograf …… …… R3 q1 R3 q2 R3 q3……. R3qn

A B C D E

R1 q1 = A  q1 = A / R1,

R1 q2 + R2 q1 = B  q2 = didapat,

R1 q3 + R2 q2 + R3 q1 = C  q3 = didapat,

dan seterusnya ……..

Hitungan hidrograf satuan dengan cara polinomial memiliki beberapa

kelemahan, diantaranya adalah sebagai berikut ini (Sri Harto, 1993).

1. Persamaan-persamaan yang diperoleh tidak selalu dapat diselesaikan.

2. Terjadi perambatan kesalahan, karena kesalahan yang terjadi dalam hitungan

U1 akan terbawa kehitungan U2 dan seterusnya.

3. U0 dapat ditetapkan sama dengan nol tetapi Un tidak selalu sama dengan nol,

sehingga diperlukan pertimbangan tersendiri.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut digunakan cara collins, yaitu dengan

prosedur iterasi yang diawali dengan sebuah hidrograf satuan hipotetik sebagai

masukan awal hitungan iterasi. Proses iterasi ditetapkan dengan pendekatan

konvergensi nilai volume hidrograf satuan. Prosedur penurunan hidrograf satuan

terukur cara collins adalah sebagai berikut ini (Rachmad Jayadi, 2004).

1. Dipilih kasus hujan dan rekaman AWLR yang terkait. Selanjutnya ditetapkan

hidrografnya dengan menggunakan liku kalibrasi yang berlaku.

11
2. Hidrograf limpasan langsung diperoleh dengan memisahkan aliran dasar dari

hidrograf tersebut. Selanjutnya hujan efektif ditetapkan dengan indeks ,

sedemikian sehingga volume hujan efektif sama dengan volume hidrograf

limpasan langsung.

3. Hidrograf satuan hipotetik ditetapkan tidak dengan ordinat-ordinat yang belum

diketahui, akan tetapi ditetapkan dengan ordinat-ordinatnya.

4. Semua hujan yang terjadi, kecuali bagian hujan maksimum, ditransformasikan

dengan hidrograf satuan hipotetik tersebut, maka akan diperoleh sebuah

hidrograf.

5. Apabila hidrograf terukur dikurangi dengan hidrograf yang diperoleh dari butir

(4), maka hasilnya adalah hidrograf akibat hujan maksimum. Maka hidrograf

satuan baru dapat diperoleh dengan membagi semua ordinat hidrograf ini

dengan intensitas hujan maksimum. Hidrograf satuan yang diperoleh terahir ini

dibandingkan dengan hidrograf satuan hipotetik. Bila perbedaan keduanya

telah lebih kecil dari patokan yang ditetapkan, maka hidrograf satuan ini

dianggap sudah benar. Tetapi bila perbedaannya masih lebih besar, prosedur

pada butir (4) diulangi lagi menggunakan hidrograf satuan yang diperoleh dari

butir (5) ini.

6. Prosedur ini diulang-ulang terus sampai ahirnya diperoleh hidrograf satuan

terahir yang tidak berbeda banyak (tidak melebihi patokan perbedaan yang

ditetapkan).

Berdasarkan hidrograf satuan terukur yang telah diperoleh baik hasil

penurunan cara polinomial maupun cara collins, distribusi hujan dari masing-

12
masing pola distribusi hujan diterapkan guna mendapatkan hidrograf banjir dengan

kala ulang yang telah ditetapkan.

2.1.5. Distribusi Hujan Jam-jaman

Pola distribusi hujan yang digunakan dalam studi ini dan oleh peneliti

terdahulu menggunakan pola distribusi hujan terukur (observed pattern) yang

diperoleh dengan memanfaatkan data hujan jam-jaman dari stasiun hujan otomatik

dan pola distribusi hujan hipotetik yang dikembangkan untuk daerah yang hanya

memiliki data hujan harian. Pola distribusi hujan hipotetik yang telah

dikembangkan hingga saat ini antara lain adalah pola distribusi hujan seragam

(uniform/constant intensity), segitiga, ABM dan Instantaneous Intensity Method

(Chow dkk., dalam Rachmad Jayadi, 2000).

Beberapa model distribusi hujan tersebut merupakan model distribusi hujan

yang dikembangkan di Amerika Serikat untuk keperluan perancangan. Di Indonesia,

khususnya di Pulau Jawa terdapat satu model distribusi hujan yang sering

digunakan untuk menentukan tinggi hujan jam-jaman, yaitu model distribusi hujan

yang dikembangkan atas hasil studi Tadashi Tanimoto dengan memanfaatkan data

hujan jam-jaman yang ada di Pulau Jawa (Imam Subarkah, 1980).

1. Pola Distribusi Hujan Jam-jaman Cara Tadashi Tanimoto

Pola distribusi hujan yang dilakukan Tadashi Tanimoto memanfaatkan data

hujan jam-jaman yang ada di Pulau Jawa. Berdasarkan hasil studi Tadashi

Tanimoto, bahwa untuk keperluan penetapan tinggi hujan jam-jaman, hujan

ditetapkan berlangsung selama 8 jam dimana hujan yang terdistribusi ditiap jamnya

13
diperoleh berdasarkan nilai persentase terhadap nilai total hujan seperti dalam Tabel

2.1 dan secara grafis ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Tabel 2.1 Persen Distribusi Hujan Menurut Tadashi Tanimoto

Waktu (jam ke-) 1 2 3 4 5 6 7 8

% Distribusi Hujan 26 24 17 13 7 5.5 4 3.5

% Distribusi Hujan 26 50 67 80 87 92.5 96.5 100


Kumulatif
Sumber: Rachmad Jayadi, 2000

26,0%
24,0%

17,0%
% hujan

13,0%

7,0%
5,5%
4,0% 3,5%

1 2 3 4 5 6 7 8
waktu (jam ke-)

Gambar 2.1. Persen Distribusi Hujan Menurut Tadashi Tanimoto.

2. Pola Distribusi Hujan Jam-jaman Cara ABM

Pola distribusi hujan jam-jaman cara ABM adalah distribusi hujan jam-

jaman untuk mengembangkan rancangan hyetograph dari kurva Intensity Duration

Frequency (IDF). Rancangan hyetograph yang dihasilkan dari metode ini

menerapkan tinggi hujan yang terjadi dalam n interval jangka waktu ∆t yang

berurutan dengan total jangka waktu Td  n  t . Dengan adanya perbedaan-

perbedaan antara nilai tinggi hujan yang berurutan, banyaknya urutan yang

ditambahkan untuk masing-masing unit waktu (∆t) dapat diketahui. Kenaikan blok

14
ini disusun ulang dalam suatu urutan waktu dengan intensitas maksimum

ditempatkan pada tengah-tengah dari suatu selang waktu Td dan sisanya disusun

dalam urutan turun secara berurutan ke kanan dahulu kemudian ke kiri dari blok

tengah untuk membentuk hyetograph rancangan seperti pada Gambar 2.2 (Chow

dkk., dalam Rachmad Jayadi, 2000).

60

50

40

30

20

10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9

Gambar 2.2. Contoh Distribusi Hujan Dari ABM.

Untuk memperoleh distribusi hujan ABM, variasi intensitas hujan dihitung

dengan persamaan Mononobe sebagai berikut ini (Suyono dan Takeda, 1983).

2
 24  3
T
R24
I t
T   (2.3)
24  t 

dengan :
I Tt : intensitas hujan pada durasi t dengan kala ulang T tahun (mm/jam),
t : durasi hujan pada jam yang ditinjau (jam),
T
R24 : curah hujan harian maksimum pada kala ulang T tahun (mm).

Di dalam aplikasi untuk mendapatkan tinggi hujan di tiap jamnya,

persamaan 2.1 dimodifikasi menjadi sebagai berikut ini (Edy Sukoso, 2004).

2
RT  T  3
ITt  24  d  (2.4)
Td  t 

dengan :

15
ITt : intensitas hujan pada durasi t dengan kala ulang T tahun (mm/jam),
Td : durasi hujan yang ditetapkan (jam),
t : durasi hujan pada jam yang ditinjau (jam).

3. Pola Distribusi Hujan Seragam

Model distribusi ini merupakan yang paling sederhana, dengan menganggap

hujan rancangan sebesar P mm terdistribusi merata selama durasi hujan rancangan

Td yang telah ditetapkan. Bentuk hyetograph dari model distribusi hujan seragam

sebagai berikut (Chow dkk., 1988).

I = P/Td

Intensitas
hujan I
(mm/jam)

Waktu (jam) Td

Gambar 2.3. Hyetograph Model Distribusi Hujan Seragam.

4. Pola Distribusi Hujan Segitiga (Triangular hyetograph method)

Rancangan hyetograph yang berbentuk segitiga merupakan bentuk yang

sederhana karena menggunakan satu tinggi hujan (P) dan waktu Td yang telah

diketahui. Panjang dasar segitiganya adalah Td dengan tinggi hujan total

hyetograph dirumuskan sebagai berikut ini (Chow dkk., 1988).

1 2P
P  Td h sehingga h  (2.5)
2 Td

Model distribusi hujan segitiga ini dapat ditunjukkan seperti pada Gambar

2.4 berikut ini.

16
ta tb

Intensitas
hujan I
(mm/jam)
h

0 Td
Waktu (t)

Gambar 2.4. Hyetograph Model Distribusi Hujan Segitiga.

Waktu terjadinya intensitas puncak dapat diketahui dengan mencari nilai

storm advancement coefficient (r) yang didefinisikan sebagai rasio antara waktu

yang diperlukan sebelum mencapai puncak (ta) dengan waktu totalnya (Td).

ta
r (2.6)
Td

dan waktu resesi tb dirumuskan seperti berikut ini.

t b  Td  t a (2.7)

tb  (1  r )Td (2.8)

Angka r = 0,5 menunjukkan bahwa puncak intensitas hujan berada di

tengah-tengah, sedangkan untuk nilai r yang kurang dari 0,5 menunjukkan bahwa

hyetograph mempunyai puncak lebih awal dan nilai r lebih besar dari 0,5 akan

mempunyai puncak yang melewati titik tengahnya. Nilai r yang sesuai dapat

diketahui dengan cara menghitung perbandingan antara waktu intensitas puncak

dengan durasinya untuk satu rangkaian kejadian dengan berbagai jangka

waktu/durasi (Chow dkk., 1988).

17
5. Pola Distribusi Hujan Instantaneous Intensity Method

Dengan diketahuinya persamaan yang menggambarkan kurva IDF, dapat

dikembangkan untuk variasi intensitas waktu dalam hyetograph rancangan. Prinsip

yang digunakan hampir sama dengan ABM yaitu tinggi hujan (intensitas) untuk

periode dari total durasi (Td ) di sekitar puncak sama dengan nilai yang diberikan

kurva IDF atau persamaannya. Perbedaannya dari ABM adalah intensitas hujannya

ikut dipertimbangkan untuk banyak kejadian hujan yang menerus dalam bentuk

kurva (Chow dkk., 1988).

Gambar 2.5. Hyetograph berdasarkan Instantaneous Intensity Method.

Garis putus-putus horisontal pada Gambar 2.9 di atas untuk menentukan

intensitas hujan i akan berpotongan dengan hyetograph sebelum dan setelah puncak.

Pengukuran dimulai dari waktu mulai untuk mencapai puncak intensitas. Waktu

sebelum berpotongan dengan puncak intensitas diberi label ta dan setelah puncak tb.

Waktu total antara sebelum dan sesudah perpotongan diberi label Td (Chow dkk.,

1988), sehingga Td  t a  t b  .

18
Nilai storm advancement coeffient (r) didefinisikan sebagai rasio antara

waktu sebelum mencapai puncak dengan waktu sebelum dan sesudah

perpotongan/waktu total (Td).

ta
r (2.9)
Td

ta t
Sehingga: Td   b (2.10)
r 1 r

Seperti pada Gambar 2.9, pasangan kurva ia = f(ta) dan ib = f(tb) diasumsikan

cocok untuk menggambarkan intensitas hujan dengan ia dan ib adalah intensitas

hujan sebelum dan sesudah puncak. Jumlah total dari hujan R dengan waktu Td

digambarkan dengan daerah di bawah kurva (Chow dkk., 1988):

rTd (1 r )Td

R  f (t
0
a )dt a   f (t
0
b )dt b (2.11)

dengan catatan bahwa f(ta)=f(tb) untuk berapapun nilai Td maka turunan persamaan

diatas terhadap Td memberikan (Chow dkk., 1988):

dR
 f (t a )  f (t b ) (2.12)
dTd

Apabila rata-rata intensitas hujan untuk durasi Td adalah iave maka:

R  Td x iave (2.13)

Fungsi f (t a ) dan f (tb ) dapat dicari dengan menurunkan persamaan diatas

terhadap Td sebagai berikut (Chow dkk., 1998):

dR di
 i ave  Td ave  f (t a )  f (t b ) (2.14)
dTd dTd

19
2.1.6. Analisis Frekuensi

Analisis frekuensi merupakan salah satu cara untuk menetapkan besaran

hujan atau debit rancangan dengan kala ulang tertentu untuk data yang diperoleh

dari rekaman data baik data hujan maupun debit yang didasarkan pada sifat statistik

data yang tersedia untuk memperoleh probabilitas besaran hujan atau debit di masa

yang akan datang. Kala ulang didefinisikan sebagai waktu hipotetik di mana hujan

atau debit dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui rata-rata

sekali dalam jangka waktu tersebut (Sri Harto, 2000).

Sebagai salah satu cara untuk memperkirakan besaran debit atau hujan

rancangan dengan kala ulang tertentu, analisis frekuensi dilakukan melalui

pendekatan statistik sebagai berikut ini (Rachmad Jayadi, 2004).

1. Parameter Statistik

Parameter statistik data debit banjir maksimum tahunan yang perlu

diperkirakan untuk pemilihan distribusi yang paling sesuai dengan sebaran data

adalah sebagai berikut ini.

a. Rerata :

x
i 1
i
x
n (2.15)

b. Simpangan baku :

 
0.5
 n 
  xi  x
2

S   i 1  (2.16)
 n  1 
 

20
c. Koefisien asimetri (skewness) :

 x 
n 3
n
Cs  x (2.17)
n  1n  2S 3 i 1
i

d. Koefisien variasi :

S
Cv  (2.18)
x

e. Koefisien kurtosis :

 x 
n2 n
4
Ck  x (2.19)
n  1n  2n  3S 4 i 1
i

dengan :
x : variat,
x : rerata,
S : simpangan baku,
Cs : koefisien asimetri,
Cv : koefisien variasi,
Ck : koefisien kurtosis, dan
n : jumlah data.

2. Distribusi Probabilitas

Distribusi probabilitas yang sering dipakai dalam analisis hidrologi yaitu

distribusi Normal, Log Normal, Gumbel dan Log Person III. Untuk analisis

frekuensi akan diawali dengan pendugaan jenis distribusi yang sesuai dengan

sebaran data. Pendugaan jenis distribusi didasarkan pada sifat-sifat statistik masing-

masing distribusi seperti diuraikan sebagai berikut ini.

a. Distribusi Normal

Distribusi Normal memiliki ciri khas Cs  0 dan Ck  3

21
b. Distribusi Log Normal

Ciri khas distribusi Log Normal adalah C s  3 C v dan C s  0

c. Distribusi Gumbel

Ciri khas distribusi Gumbel adalah C s  1.1396 dan C k  5.4002 .

d. Distribusi Log Person III

Dapat dipilih jika nilai koefisien skewness tidak mendekati nilai satupun dari

nilai koefisien yang telah ditetapkan pada distribusi diatas.

3. Uji kesesuaian distribusi

Uji kesesuaian distribusi dilakukan untuk menetapkan apakah distribusi

yang dipilih sesuai dengan sebaran data.

a. Uji Chi-kuadrat

Pengujian ini merupakan pengecekan terhadap penyimpangan rerata dari

data yang dianalisis berdasarkan distribusi terpilih. Penyimpangan tersebut diukur

dari perbedaan antara nilai probabilitas setiap variat χ menurut hitungan dengan

pendekatan empiris. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut ini (Rachmad

Jayadi, 2004).

k Ef i  Of i 2 
  
2
 (2.20)
i 1 
 Ef i 

dengan :
χ2 : harga Chi-kuadrat,
Ef : frekuensi yang diharapkan untuk kelas i,
Of : frekuensi terbaca pada kelas i, dan
k : jumlah kelas.

22
Syarat uji Chi-kuadrat adalah harga 2 harus lebih kecil dari harga 2kritik

yang besarnya tergantung pada derajat kebebasan (DK) dan derajat nyata (). Pada

analisis frekuensi umumnya digunakan nilai  = 5 %, sedangkan DK didapat

dengan rumus seperti dibawah ini.

DK  K  ( P  1) (2.21)

dengan :
DK : derajat kebebasan,
K : jumlah kelas, dan
P : jumlah parameter distribusi terpilih.

b. Uji Smirnov – Kolmogorov

Pengujian ini dilakukan dengan mencari nilai selisih probabilitas tiap variat

χ menurut distribusi empiris dan teoritik, yaitu i. Nilai i maksimum harus lebih

kecil dari i kritik yang besarnya ditetapkan berdasar jumlah data dan tingkat

kesalahan yang dikehendaki dari distribusi teoritis terhadap peluang lapangan atau

ketidakpercayaan yang diinginkan ().

2.1.7. Perhitungan Kesalahan Relatif Banjir Rancangan

Setelah diperoleh besaran debit puncak hasil dari penerapan seluruh

distribusi hujan, langkah selanjutnya adalah mencermati penyimpangannya bila

dibandingkan dengan besaran hasil analisis frekuensi data debit terukur. Persamaan

yang dipergunakan untuk mengetahui besarnya penyimpangan adalah sebagai

berikut ini (S.Yue dan M.Hashino, 1999).

RE p 
Q pcal  Q pref 
x 100 % (2.22)
Q pref

23
dengan :
REp : relative error for peak flow (kesalahan relatif dalam %),
Qpref : reference peak flow (debit puncak acuan),
Qpcal : calculated peak flow (debit puncak hasil perhitungan).

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Hujan Rata-rata DAS

Dalam analisis hidrologi, masukan hujan yang digunakan adalah besaran

hujan DAS yang dianggap mewakili jumlah seluruh hujan yang terjadi dalam DAS

atau curah hujan rata-rata DAS. Besaran hujan ini dapat diperoleh dengan merata-

ratakan hujan titik. Metode hitungan curah hujan untuk memperoleh curah hujan

rata-rata DAS yang banyak digunakan dalam praktek adalah metode poligon

Thiessen karena dipandang yang paling baik diantara cara-cara yang ada saat ini

(Sri Harto, 2000).

Pada studi ini, metode hitungan curah hujan rerata DAS yang digunakan

peneliti sebelumnya menggunakan metode poligon Thiessen.

2.2.2. Hidrograf Satuan Terukur

Hidrograf satuan suatu DAS dapat diperoleh dengan suatu analisis hitungan

berdasarkan data hujan jam-jaman dan hidrograf akibat kejadian hujan tercatat.

Hidrograf satuan yang diturunkan dari kasus-kasus banjir yang berbeda akan

menghasilkan hidrograf satuan yang berbeda pula dan belum merupakan hidrograf

satuan yang dapat dianggap mewakili DAS yang bersangkutan. Untuk itu,

diperlukan hidrograf satuan yang diturunkan dari banyak kasus banjir kemudian

dirata-ratakan. Perata-rataan dilakukan dengan merata-ratakan debit puncak dan

24
waktu puncak. Selanjutnya hidrograf satuan diperoleh dengan satu kontrol, bahwa

volume hidrograf satuan tersebut harus sama dengan 1 mm (Sri Harto, 2000).

2.2.3. Pola Distribusi Hujan Terukur

Pola distribusi hujan terukur didasarkan pada pengamatan kejadian hujan

yang pernah tercatat oleh alat ukur hujan otomatik. Pengamatan data hujan ini akan

dipergunakan untuk mengetahui lama hujan dan polanya untuk suatu kala ulang

tertentu, maka perlu ditetapkan jangkau (range) kedalaman hujan tersebut.

Selanjutnya seluruh data masing-masing jangkau (range) tersebut dikumpulkan

menurut lama hujannya, kemudian dirataa-ratakan untuk ditetapkan sebagai lama

hujan yang mewakili masing-masing jangkau (range) tersebut (Sri Harto, 2000).

Agar proses pentransformasian dapat dilakukan, maka diperlukan informasi

mengenai besarnya persentase hujan yang terdistribusi di tiap jamnya. Untuk itu

seluruh data hujan yang telah terkumpul, distribusi kejadiannya mulai dari jam

pertama sampai jam terakhir ditranformasikan ke dalam bentuk persentase. Seluruh

persentase distribusi hujan tersebut kemudian dibuat kurva atas dasar nilai mean

sebagai kurva distribusi hujan terukur.

2.2.4. Analisis Frekuensi

Dalam studi ini, metode hitungan yang digunakan untuk menetapkan debit

banjir rancangan dan hujan rancangan adalah metode analisis frekuensi. Masukan

(input) data dalam analisis frekuensi adalah berupa data hujan atau debit maksimum,

dengan hasil (output) yang diharapkan berupa besaran hujan atau debit dengan kala

ulang tertentu. Penetapan seri data yang akan dipergunakan dalam analisis frekuensi

dapat dilakukan dengan cara mengambil satu data maksimum setiap tahun

25
(maximum annual series) atau dengan cara menetapkan suatu batas ambang bawah

tertentu dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dapat diterima dan

dijelaskan kepentingannya (partial series/peak over threshold). Penetapan data

dengan cara partial series, tidak ada batasan berapa besar data tiap tahun yang dapat

diambil dalam satu seri, namun hendaknya tidak dilakukan sedemikian sehingga

jumlah data sampel menjadi lebih besar dari lima kali panjang tahun data. Hasil

analisis dengan partial series kemudian dikonversikan menjadi maximum annual

series dengan menggunakan persamaan berikut ini (Sri Harto, 2000).

1
TE  (2.23)
ln TM  ln (TM 1)

dengan :
TE : kala ulang diperoleh dengan partial series,
TM : kala ulang diperoleh dengan annual maximum series.

26
BAB III

METODE STUDI

3.1. Lokasi Studi

Lokasi studi direncanakan akan dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS)

Ancar yang ada di Kota Mataram seperti yang disajikan pada Gambar 3.1 berikut

ini.

Gambar 3.1. Lokasi studi.

3.2. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam studi ini berupa data sekunder dengan rincian

sebagai berikut ini.

1. Peta DAS dan jaringan stasiun hidrologi.

2. Data debit maksimum DAS yang digunakan dalam perhitungan analisis

27
frekuensi untuk mendapatkan debit banjir rancangan pada beberapa kala

ulang yang dijadikan sebagai debit banjir rancangan acuan.

3. Data tinggi muka air sungai pada saat banjir diambil dari beberapa kejadian

banjir yang terukur di AWLR Karang Medain

4. Data hujan penyebab banjir diambil dari data ARR Bertais dan ARR Suranadi

5. Data hujan harian maksimum rata-rata DAS yang digunakan dalam

perhitungan analisis frekuensi untuk mendapatkan besaran hujan rancangan

pada beberapa kala ulang.

6. Pola distribusi hujan terukur dan lama hujan rata-rata untuk distribusi hujan

terukur (observed pattern) berdasarkan nilai rerata (mean) dan median.

7. Data hujan-aliran beberapa kasus banjir yang digunakan untuk mendapatkan

hidrograf satuan rerata.

3.3. Metode Analisa Data

3.3.1. Analisis Frekuensi

Pada studi ini, besaran debit banjir rancangan dan hujan rancangan pada

beberapa kala ulang dihitung dengan metode analisis frekuensi, dimana data hujan

DAS dan data debit DAS yang digunakan dalam analisis ini diambil dan dipilih dari

data hujan harian maksimum DAS dan data debit maksimum DAS. Perhitungan

analisis frekuensi pada studi ini dilakukan dengan bantuan program analisis

frekuensi menggunakan Microsoft Excel.

Hasil analisis frekuensi data debit pada beberapa kala ulang yang diperoleh

tersebut ditetapkan sebagai debit banjir rancangan acuan. Selanjutnya debit puncak

banjir rancangan hasil penerapan pola distribusi hujan terukur, ABM dan Tadashi

28
Tanimoto akan dibandingkan dengan hasil debit banjir rancangan acuan sehingga

dapat diketahui pola penyimpangan (kesalahan relatif) masing-masing pola

distribusi hujan yang ditetapkan, sedangkan hasil analisis frekuensi hujan harian

maksimum DAS (hujan rancangan) digunakan untuk mendapatkan tinggi hujan

jam-jaman pola distribusi hujan yang selanjutnya akan digunakan untuk mencari

besaran debit banjir rancangan pada beberapa kala ulang yang ditetapkan, yaitu 2,

5, 10, 20, 50, 100 tahun.

3.3.2. Analisis Pola Distribusi Hujan Terukur

Analisis pola distribusi hujan dicari untuk menentukan distribusi hujan jam-

jaman yang akan digunakan untuk memperoleh hujan rancangan jam-jaman efektif

kemudian menerapkannya dalam metode hidrograf satuan untuk mendapatkan debit

banjir rancangan. Pola distribusi hujan yang digunakan dalam studi ini adalah

distribusi hujan terukur (mean), ABM dan Tadashi Tanimoto. Pola distribusi hujan

yang dianggap paling tepat digunakan dalam perancangan bangunan hidraulik

adalah yang menghasilkan debit puncak banjir rancangan yang mendekati hasil

analisis frekuensi data debit terukur atau dengan kata lain yang menghasilkan

persen kesalahan relatif yang paling kecil.

Kurva persen distribusi hujan terukur atas dasar mean untuk DAS Ancar yang

digunakan pada studi ini menggunakan hasil analisis hujan jam-jaman. Berdasar

pada kurva distribusi hujan untuk masing-masing DAS yang digunakan, maka

besaran hujan rancangan DAS yang ditinjau dari hasil analisis frekuensi dapat

didistribusikan sesuai dengan lama hujan yang dikehendaki kemudian

ditransformasikan ke persen distribusi hujan tiap jamnya. Lama hujan didapatkan

29
dengan cara mencermati lama hujan rata-rata tiap jangkau (range) dan besaran

hujan rancangan hasil analisis frekuensi.

3.3.3. Analisis Pola Distribusi Hujan Hipotetik

Pola distribusi hujan hipotetik yang digunakan dalam studi ini adalah pola

distribusi hujan Tadashi Tanimoto dan ABM.

1. Distribusi Hujan Tadashi Tanimoto

Penetapan distribusi hujan jam-jaman dengan distribusi hujan Tadashi

Tanimoto diperoleh dengan cara mengalikan nilai kedalaman hujan rancangan hasil

analisis frekuensi dengan persen distribusi hujan jam-jaman hasil studi Tadashi

Tanimoto khusus untuk Pulau Jawa yang disajikan pada Tabel 2.1, dengan lama

hujan rancangan sudah ditetapkan selama 8 jam.

2. Distribusi Hujan ABM

Untuk mendistribusikan hujan rancangan menggunakan distribusi hujan

ABM dilakukan dengan menentukan besarnya intensitas hujan hasil analisis

frekuensi yang dihitung dengan menggunakan persamaan intensitas hujan

Mononobe, kemudian penetapan tinggi hujan jam-jaman dapat dihitung secara

tabulasi yang disajikan pada Tabel 3.1 berikut ini.

Tabel 3.1 Penentuan Tinggi Hujan Jam-jaman Distribusi Hujan ABM


Distribusi hujan jam-jaman
Jam Intensitas hujan I Tinggi hujan kumulatif
ΔP=Pt - Pt-1
ke-t (mm/jam) Pt = I x t (mm)
(mm)
1 I1 P1 ΔP1
2 I2 P2 ΔP2
... ... ... ...
n In Pn ΔPn
Sumber: Sri Harto, 2000

30
Distribusi hujan jam-jaman dengan cara ABM dilakukan dengan cara

menempatkan distribusi hujan jam-jaman (ΔP) terbesar ditengah-tengah atau

separuh durasi hujan dan ΔP yang lain ditempatkan secara menurun selang-seling

di kanan dan di kiri ΔP yang terbesar.

3.3.4. Hidrograf Satuan Rerata DAS

Hidrograf satuan yang digunakan dalam studi ini menggunakan hasil hitungan

hidrograf satuan dengan beberapa kasus banjir dari peneliti sebelumnya. Hidrograf

satuan yang digunakan untuk mencari besaran banjir rancangan adalah hasil

perataan hidrograf satuan dari beberapa kasus banjir yang terjadi pada masing-

masing DAS yang ditinjau. Perataan hidrograf satuan dilakukan dengan merata-

ratakan debit puncak dan waktu puncak, selanjutnya hidrograf satuan diperoleh

dengan satu kontrol, bahwa volume hidrograf satuan tersebut harus sama dengan 1

mm (Sri Harto, 2000).

3.3.5. Aliran Dasar (Base Flow)

Perhitungan aliran dasar (base flow) perlu diketahui untuk mendapatkan

hidrograf limpasan langsung sehingga hidrograf banjir rancangan dapat dihitung.

Pada studi ini, aliran dasar yang digunakan adalah nilai aliran dasar yang terbesar

dari beberapa kasus banjir yang terjadi di tiap DAS.

3.3.6. Analisis Ketelitian Banjir Rancangan

Analisis ketelitian banjir rancangan dapat dilakukan dengan membandingkan

debit puncak hasil penerapan pola distribusi hujan mean, ABM dan Tadashi

Tanimoto dengan debit banjir rancangan hasil analisis frekuensi data debit banjir

31
terukur. Analisis ini dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan 2.22. Dari

hasil analisis tersebut, penerapan pola distribusi hujan yang menghasilkan persen

kesalahan relatif debit banjir rancangan yang paling kecil dianggap yang paling

teliti.

Hasil dari perbandingan debit puncak berdasarkan analisis frekuensi dan

penerapan pola distribusi hujan yang telah ditetapkan dapat menghasilkan beberapa

kesimpulan pokok. Nilai debit puncak banjir rancangan yang melebihi nilai debit

banjir rancangan hasil analisis frekuensi data debit terukur mempunyai

kecenderungan over estimated, sedangkan apabila mempunyai nilai debit puncak

banjir rancangan lebih kecil dari nilai debit banjir rancangan hasil analisis frekuensi

mempunyai kecenderungan under estimated.

3.4. Bagan Alir Studi

Tahapan kegiatan studi mulai dari pengumpulan data sampai dengan kajian

hasil studi ditunjukkan pada bagan alir kegiatan studi seperti pada Gambar 3.2.

32
Mulai

Pengumpulan data:
1. Hasil studi terdahulu
2. Data hidrologi

Pemilihan data Pemilihan data hujan Pemilihan data hujan Pengumpulan data
debit maksimum harian maksimum jam-jaman penyebab hujan-aliran kasus
tahunan banjir banjir

Analisis freku-ensi Analisis freku-ensi Analisis Analisis hidro-graf


data debit banjir data hujan harian distribusi hujan satuan
maksimum maksimum pola 1 (mean)

Penetapan hujan
rancangan (PT)

Penetapan Dist.hujan Dist. hujan Dist. hujan


debit banjir jam-jaman jam-jaman jam-jaman
acuan (QT) pola 3 (ABM) pola 4 (TT) obs. pola 1

Debit banjir Debit banjir Debit banjir


rancangan pola rancangan rancangan
3 (ABM) pola 2 (TT) pola 1

Analisis pola kesalahan debit


banjir rancangan

Selesai

Gambar 3.2. Bagan Alir Kegiatan Studi.

33
34

Anda mungkin juga menyukai