Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ahmad Zaki Madani

NIM : 1900028034

Kelas : C

Fakultas / Prodi : FAI / Bahasa dan Sastra Arab

Mata Kuliah : Bahasa Indonesia

Dosen : Bapak Sugeng Riyanto , S.Pd.,M.Pd.

BANJIR JAKARTA

Saat ini kita menyaksikan berita-berita di TV, media sosial , dan media cetak dipenuhi dengan berita
tentang banjir Jakarta .Banjir di Jakarta tahun 2020 adalah merupakan banjir terparah dan terbesar sejak
2006 . Banjir dengan ketinggian 30 sampai 200 cm ini merendam 7 kecamatan di Jakarta Selatan , 10
kelurahan di Kota Bekasi dan pulan titik lainnya di Bogor . Badan nasional penanggulangan bencana atau
disingkat dengan BNPB mencatat sekitar 103 titik yang terendam banjir akibat curah hujan yang cukup
tinggi , berbeda dari hari-hari biasanya. Dalam hal ini , Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan
menghimbau kepada masyarakat untuk tetap waspada dan meminta kepada seluruh jajaran pemerintah
provinsi DKI Jakarta untuk membantu mengevakuasi warga sekitar yang terkena banjir.

Selain itu , Gubernur Anis Baswedan menanggapi tuduhan netizen dan publik yang menganggap bahwa
dirinya tidak bisa menyelesaikan normalisasi beberapa daerah aliran sungai di Jakarta yang dianggap
sebagai penyebab utama banjir Jakarta. Beliau mengatakan tidak dapat disimpulkan bahwa normalisasi
sungai yang belum efektif merupakan penyebab utama banjir di Jakarta . Alasannya adalah beberapa
daerah yang tidak terletak disekitar daerah aliran sungai pun ikut terkena banjir. Berbeda pendapat dengan
Gubernur Anis Baswdan , Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bapak Basuki Hadimuljono
mengatakan bahwa 17 km dari 33 km kali ciliwung belum dinormalisasi .

Pernyataan bapak Menteri Basuki sebagai tanggapan kepada pernyataan Gubernur Anis Baswedan yang
tidak mau mengatakan bahwa penyebab banjir Jakarta adalah normalisasi sungai yang belum
dilakukan.Berikut perkataan bapak menteri “ Mohon maaf bapak Gubernur , selama penyusuran kali
ciliwung ternyata sepanjang 33 km itu yang sudah ditangani ,dinormalisasi 16 km “ . Bukan hanya pak
menteri yang berbeda pendapat dengan Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan , tetapi Presiden Republik
Indonesia Ir.H. Joko Widodo juga ikut berpendapat dalam hal banjir Jakarta ini . Beliau mengatakan
bahwa selain kerusakan ekologi dan ekosistem , penyebab banjir Jakarta adalah ulah manusia itu sendiri ,
seperti pembuangan sampah secara sembarangan.

Anis Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta tidak menerima apa yang disampaikan oleh Presiden Joko
Widodo sebagai sebuah kebenaran . Ia mengatakan bahwa sampah yang disebut sebagai penyebab banjir
di Jakarta merupakan alasan yang tidak logis karena dibeberapa titik banjir yang terjadi di beberapa
wilayah dengan produksi sampah yang sangat sedikit dibandingkan dengan wilayah lainnya. Anis pun
menyebut Bandara Halim sebagai contoh . Halim yang disebut sebagai salah satu wilayah dengan
produksi sampah yang minim di Jakarta sempat berhenti beroprasi karena banjir. Menurutnya penyebab
banjir di beberapa wilayah terjadi karena cuaca ekstrim seperti yang juga diprediksi oleh pihak BMKG.
Volume air hujan yang sangat tinggi menjadi penyebab utama banjir saat ini.

Menurut Ahli Geospasial Bintang Rahmat Wananda , curah hujan yang tercatat di Halim melebihi rekor
curah hujan harian kala ulang 1.000 tahun . Padahal jika merujuk kurva gumbel , diprediksi curah hujan
tertinggi maksimal hanya 208 mm/hari. Hal ini menurut Bintang , ada dua kemungkinan yang pertama
adalah akibat perubahan iklim .Kedua , lantaran disebabkan adanya urban heat island atau perubahan
iklim lokal.Perubahan iklim lokal terjadi akibat udara panas yang terperangkap dalam hutan beton suatu
wilayah , dalam hal ini kota. Sehingga lama kelamaan akan membentuk pola cuaca tertentu yang berubah
menjadi iklim lokal.

Namun ini baru perkiraan saja, perlu kajian lebih mendalam lagi. Pada banjir kali ini juga , terdapat
beberapa titik banjir yang besar sebelumnya pada tahun 2014 , akan tetapi terendam genangan pada tahun
ini. Bintang dan tim membaginya dalam tiga peta , pertama peta sebaran banjir 2014 yang berwarna biru ,
kedua peta sebaran banjir 2020 yang berwarna merah , dan yang ketiga peta tmpang tindih kedua tahun
tersebut yang berwarna ungu yang berarti di daerah tersebut terendam banjir baik 2014 maupun 2019.
Namun , harus diketahui peta tersebut hanya mempresentasikan kelurahan terdampak, bukan titik banjir
secara presisi. Hal ini lantaran dalam satu kelurahan ada RW yang terendam banjir ada juga yang tidak ,
begitu pun dalam satu RW , tidak semua RT ikut terendam .

Dari peta ketiga tersebut terlihat titik baru pada 2020 seperti kelurahan Meruya, Joglo, Palmerah,
Menteng, Karet Semanggi, Kuningan Timur , dan lain-lain. Kendatidemikian , beberapa daerah tersebut
ada juga yang pernah terendam banjir-banjir sebelum tahun 2014. Bintang kemudian menjelaskan , untuk
mengetahui penyebab banjir , harus diidentifikasi apakah itu merupakan banjir kiriman atau banjir lokal .
Untuk mengetahuinya , Bintang dan tim merunut peristiwa banjir Jabodetabek khususnya DKI Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2019 malam hinga tanggal 1 Januari 2020 malam. Pada pikul 02.45, sejumlah
wilayah di Jakarta Timur dan Jakarta Barat sudah mulai tergenang. Sementara itu , wilayah di sepanjang
16 kilometer DAS Ciliwung yang sudah dinormalisasi seperti kampong Pulo dan Bukit Duri terlihat
masih relatif aman hingga pukul 13.00 siang.

Berdasarkan data BNPB dan BPPD DKI Jakarta , pada pukul 05.00, pintu air Katulampa tepantau
setinggi 40 cm atau siaga 4. Begitu pun pintu air Depok yang sudah setinggi 150 cm dan masih siaga 4.
Dibawah, pintu air Manggarai sudah siaga 2 dengan ketinggian air 915 cm. Pada waktu yang sama, air
sudah mulai menggenangi beberapa titk di Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Barat dengan
ketinggian air 60 cm. Air meninggi pada pukul 14.00 siang hingga mencapai 200 cm. Sekitar pukul 15.00
hingga 16.30 sore , Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono melakukan
pantauan udara, hasilnya wilayah normalisasi DAS Ciliwung terpanntau aman . Hingga saat itu, air dari
Katulampa masih belum sampai Jakarta. Air dari Katulampa Bogor diperkirakan baru tiba di Jakarta pada
pukul 18.00 sore . Kemudian pada malam hari, jam tidak diketahui , Kampung Pulo salah satu wilayah
DAS Ciliwung yang dinormalisasi mulai tergenang. Artinya jika melihat dari kronologi tersebut , hingga
pukul 18.00 sore , banjir yang ada di Jakarta merupakan banjir lokal akibat dari curah hujan yang tinggi .

Dari analisis Bintang Wardana , tidak ada faktor tunggal penyebab banjir. Dalam konteks banjir
Jabodetabek tahun 2020 , setidaknya ada beberapa faktor . Pertama , minimnya resapan air di Selatan
Jakarta atau bagian hulu . Daerah hulu merupakan tempat efektif untuk menyerap air permukaan (surface
run off) yang diakibatkan curah hujan yang tinggi . Hal ini lantaran muka air tanah masih sekitar ratusan
meter dari permukaan sehingga penyerapan bisa maksimal. Jika air mengalir di permukaan bisa diserap ,
maka air yang turun ke hilir dapat berkurang. Faktor kedua adalah drainase yang buruk di hilir. Secara
geografis , Jakarta berada di bidang datar. Akan sulit jika hanya bergantung pada sistem kanal yang
mengandalkan gravitasi. Di sisi lain , Jakarta hamper tidak ada ruang terbuka biru atau biasa disebut
dengan RTB , yaitu tempat parkir air sebelum dialirkan ke laut. Bintang mengatakan “ Seharusnya tiap
pemukiman memiliki semacam kolam resistensi untuk menampung air dan itu dibikin sistemik melalui
regulasi pemerintah “. Belum lagi fenomena penurunan tanah atau land subsidence yang tersebar
dihampir semua wilayah DKI Jakarta yang tentu memperburuk banjir. Menurut Elisa sutanudjaja dari
Rujak Center Urban Studies menilai selama ini pengelolaan air permukaan atau run off dilimpahkan
seluruhnya pada pemerintah. Padahal jika melibatkan masyarakat, run off tersebut bisa berkurang banyak.
Misalnya saja dengan membuat sumur resapan di tiap rumah , atau sesederhana menggunakan tandon.
Sementara untuk yang lebih makro seperti pada permukiman apartemen maupun bangunan tinggi lain ,
pemerintah dapat menggalakkan regulasi mengenai sumur resapan.

Sebenarnya , sudah ada regulasi yang mengatur melalui peraturan gubernur nomor 20 tahun 2013 tentang
sumur resapan dan keputusan gubernur nomor 279 tahun 2018 tentang tim pengawasan terpadu
penyediaan sumur resapan dan instalasi pengolahan air limbah serta pemanfaatan air tanah di bangunan
gedung dan perumahan .Namun , belum adanya sanksi tegas bagi pemilik gedung yang melanggar. Pada
bulan April tahun 2018 , Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan memang sempat menginspeksi 80 gedung
di Jakarta terkait pematuhan sumur resapan dan pengelolaan air limbah. Namun , terkait sistem infiltrasi
tersebut , Bintang Wardana tak sepenuhnya setuju. Lantaran menurutnya , sebagian tanah di Jakarta
sifatnya sudah lempung sehingga tidak efektif dalam menyerap air. Bintang mengatakan “ Kalau mau ya
di Jakarta selatan saja atau di hulu. Sisanya tidak cocok, apalagi di kawasan utara , itu harus pakai pompa.
Walaupun begitu , pada banjir kemarin pompa yang ada tidak berjalan maksimal . Temuan Bintang , dari
450 pompa yang ada hanya 50 yang beroprasi. Itupun pengoprasiannya telat, baru dioprasikan pada
tanggal 1 Januari tahun 2020 pukul 12.00 siang. Harusnya jauh lebih awal dari itu. 400 pompa yang tidak
berfungsi itu antara lain dikarenakan rusak hingga tidak ada bahan bakar.

Jakarta sejatinya adalah merupakan daerah rawa . Namun ,seiring bertambahnya populasi manusia di
ibukota DKI Jakarta dan perkembangan pembangunan , rawa-rawa tersebut kini berubah tampilan
menjadi permukiman dan gedung-gedung tinggi ,sehingga saat musim hujan tiba daerah Jakarta akan
tergenang. Setelah saya melihat berita-berita di media sosial , ternyata kota Jakarta telah dilanda banjir
sejak 3 abad lalu, kala itu ibu kota masih bernama Sunda Kelapa . Berita-berita ini saya kutip dari CNN
Indonesia, disitu dikatan bahwa rentetan banjir besar Jakarta telah berlangsung lama bahkan bencana itu
sempat terjadi tahun 16000-an , tepatnya saat Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai Gubernur Jendral
VOC. Saat itu, Coen membangun sejumlah kanal dan sedotan kali Ciliwung. Cara ini ia tempuh untuk
mengatasi banjir yang melanda Batavia ( sekarang DKI Jakarta ) , namun tak membuahkan hasil.Banjir
besar terjadi menerjang kota Jakarta pada tahun 1918 saat pemerintahan Gubernur Jendral VOC Johan
Paul Van Limburg Stirum . Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1920 , Stirum mencanangkan kanal
banjir barat. Pembangunan kanal banjir barat itu dimulai dari pintu air Manggarai hingga Muara Angke.
Saat itu , ketinggian air mencapai 1,5 meter di beberapa titik.
Menurut situs Historia , pada masa kolonial , pemerintah membentuk Department Van Burgerlijke
Penbare Werken atau disingkat dengan BOW pada tahun 1918. Lalu diserahkan kepada Gemeentewerken
atau badan yang mengurusi perhubungan dan perairan di tingkat kotaprajapada tahun 1933. Saat itu ,
pemerintah Belanda menggambarkan 25 ribu gulden (mata uang jaman penjajahan Belanda ) untuk
menanggulangi banjir di tiga daerah yaitu Jembatan Lima, Blandongan, Klenteng.Puncak pengendalian
banjir di kota Jakarta diketahui terjadi pada tahun 1913 sampai 1930. Pada tahun 1927, pemerintah
sempat mengeluarkan 288.292 gulden. Usai Indonesia dinyatakan merdeka dari penjajahan, masalah
banjir kembali menjadi perhatian pada tahun 1965. Saat periode yang sama, Pemerintah membentuk
komando proyek pencegahan banjir dan berganti nama menjadi proyek pengendalian banjir Jakarta Raya
pada pada tahun 1972. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin saat itu juga menggandeng pihak asing yaitu
Netherlands Engineering Consultans untuk membangun waduk dalam kota serta pembuatan saluran baru
seperti saluran Cengkareng dan Cakung. Meski Ali Sadikin telah melakukan perpanjangan saluran
kolektor, normalisasi sungai sampai sedotan kali, banjir besar tetap terjadi pada awal-awal tahun 1976.
Banjir besar kembali terjadi menerpa ibu kota DKI Jakarta pada tahun 2000-an saat kepemimpinan
Sutiyoso ( periode 1997-2007 ) , Kota Jakarta dilanda banjir besar tahun 2002 dan 2007. Namun, banjir
tahun 2007 lah yang lebih luas dan banyak sekali memakan korban jiwa. Setidaknya ada 80 jiwa yang
harus merenggut nyawa. Kerugian material akibat lumpuhnya perputaran bisnis saat itu mencapai
triliunan rupiah dan warga yang mengungsi sekitar 320.000 jiwa.

Curah hujan yang cukup deras menyebabkan tanggul jebol di banjir kanal barat ( BKB ) aliran Kali
Sunter. Akibatnya, kawasan Jatibaru-Tanah Abang dan Petamburan tergenang air sekitar 2 meter. Era
Sutiyoso pun berakhir, banjir besar lagi-lagi menerjang kota DKI Jakarta pada tahun 2015. Saat itu, curah
hujan masuk kategori ekstrem, ( diatas 150 milimeter per hari ) yakni 170 mm.Curah hujan tinggi ini
terjadi di Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur bagian utara, Tangerang, dan Pasar
Minggu di Jakarta Selatan. Dan saat ini, banjir di awal tahun 2020 kemarin, mau tak mau tidak bisa
dilepaskan dengan ruang terbuka biru yang semakin hari semakin digerus oleh para pengembang.
Pemerintah Provinsi kota DKI Jakarta menunjukkan sebuah peta bahwa pada saat ini 90 persen lahan di
Kota DKI Jakarta sudah dibeton. Pada tahun 2004 hingga tahun 2006 , Agung Podomoro Group secara
agresif membangun 12 apartemen dikawasan barat, pusat, selatan, dan utara Jakarta. Saat ini total
apartemen di kota Jakarta mencapai sekitar 234 apartemen yang tentunya secara massif pula menyedot air
tanah dan berperan mempercepat penurunan tanah atau biasa disebut dengan land subsidence.

Rencana Tata Ruang wilayah ( RTRW) kota DKI Jakarta setiap dekadenya semakin menguning . Jika
melihat peta RTRW tahun 1980, DKI Jakarta masih cukup banyak lahan hijau. Namun pada peta RTRW
tahun 1999-2005, kawasan hijau makin berkurang dan berganti dengan warna kuning alias untuk
pemukiman. Pada peta RTRW tahun 2010-2030 nyaris semua kawasan di kota DKI Jakarta menjadi
warna kuning. Untuk itu, cara lain yang bisa dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menurut Elisa
adalah dengan mengembalikan sejumlah fungsi lahan yang saat ini peruntukkannya sebagai gedung .
Misalnya saja Mega Mall Pluit yang Hak guna bangunannya akan habis pada tahun 2025. Elisa
mengatakan “ Pemerintah Provinsi bisa mengembalikannya ke fungsi semula. Dulu itu namanya Taman
Tirta Loka . Kalau mau yaa hancurkan saja , itupun jika belum di ubah menjadi hak milik. Semoga tidak
ya. Pemerintah Provinsi bisa mengembalikan fungsi lahan pada gedung-gedung yang Hak Guna
Bangunannya akan segera habis”
Kota Jakarta sebagai ibukota negara yang sedang sakit bukan lagi tanggung jawab Gubernur DKI
Jakarta Anis Baswedan sendirian. Banjir adalah salah satu masalah yang sangat rumit untuk ditangani
sendirian. Banjir di kota DKI Jakarta seharusnya merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah
Provinsi dan pemerintah pusat bahkan semua pihak yang terkait. Banjir di ibukota DKI Jakarta yang
terus-menerus terjadi setidaknya menelan biaya miliaran bahkan triliunan rupiah. Sampai kapan Negara
hanya merogoh untuk mengobati bukan untuk mencegah ? Hal inilah yang seharusnya dipirkan oleh
pemerintah. Bagi saya , perbedaan pendapat soal banjir Jakarta baik itu dari Gubernur DKI Jakarta Anis
Baswedan , menteri pekerjaan umum dan perumahan rakyat Basuki Hadimuljono, hingga Presiden
Republik Indonesia Ir.H. Joko Widodo adalah bukti bahwa pemerintah belum menemukan solusi yang
tepat untuk penangan banjir di ibukota DKI Jakarta. Bahkan , dapat dikatakan bahwa pemerintah tidak
bersatu dalam penanganan banjir . Jejak digital tidak pernah berbohong jika saling menyalahkan adalah
hal yang paling banyak dibicarakan ketika banjir menutupi kota Jakarta. Penanganan banjir di ibukota
DKI Jakarta yang sudah sangat rumit memerlukan persatuan dan kerjasama yang baik. Harusnya berwal
dari mengidentifikasi masalah penyebab banjir , kemudian di diskusikan bersama secara baik untuk
menemukan solusi yang tepat. Perbedaan pendapat dari ke tiga orang penting tersebut adalah wujud dari
identifikasi masalah secara individual kemudian dikemukakan ke publik dan saling menyalahkan. Lebih
parahnya lagi, bantah membantah soal penyebab banjir , masing-masing menganggap bahwa
indentifikasinya lah yang lebih benar dan sebagainya.

Jika normalisasi sungai yang belum diselesaikan, sampah yang tidak terkontrol dan curah hujan yang
sangat tinggi disebut sebagai faktor penyebab banjir secara terpisah , maka akan menimbulkan
kebingungan dalam penanganan banjir nantinya. Bagaimana jika normalisasi sungai sudah dilakukan di
semua daerah aliran sungai tetapi masih saja terjadi banjir ? Bagaimana jika sampah dapat ditangani
dengan baik tetapi masih terjadi banjir ? Bagaiamana jika curah hujan setiap tahunnya tidak berkurang
dan kita hanya menyalahkan iklim dan cuaca tanpa adanya upaya penanganan yang tepat. Penyakit seperti
ini yang seharusnya kita obati secara tepat. Kita tidak bisa memberikan obat sakit kepala kepada orang
yang sakit perut dan begitu juga sebaliknya. Begitupun dengan banjir, penanganan harus tepat sasaran
sehingga meski tidak sepenuhnya teratasi, setidaknya dapat dikurangi dan dapat membebaskan beberapa
titik banjir di ibukota DKI Jakarta. Oleh karena itu menurut saya, jika pemerintah tidak bersatu dalam
penanganan banjir Jakarta , saya yakin banjir Jakarta akan terus terjadi bahkan mungkin akan lebih parah
dari sebelumnya. Jadi kedepannya saya berharapa agar persatuan yang harus diperkuat , agar tidak ada
lagi yang merasa dirinya paling benar.Ingat, sebuah lidi akan mudah dipatahkan jika sendirian, tetapi
sebuah lidi akan sulit dipatahkan jika bersama lidi yang lain. Sekian dari saya , mohon maaf apabila ada
penyusunan kata atau kalimat yang belum benar.

Assalamua’alaikum Warahmtullahi Wabarakatuh .

Anda mungkin juga menyukai