Anda di halaman 1dari 3

Nama : Gerald Jordan Madjid

NIM : 15110002

Tugas Drainase & Sanitasi Lingkungan

1. Drainase :

Salah satu penyebab utama terus berulangnya banjir di DKI Jakarta setiap musim
hujan datang adalah buruknya kondisi jaringan drainase. Padahal, sebetulnya bisa diperkecil
kemungkinan terjadinya genangan air. Sayang banyak saluran buangan air itu, yang sebagian
besar merupakan warisan zaman Belanda, kini kondisinya tak terawat dan mampat oleh
sampah buangan warga yang tak punya kesadaran lingkungan.

Dalam Kompas Selasa (30/1) diberitakan, sebagian besar drainase di Kecamatan


Koja, Jakarta Utara, tak berfungsi akibat tersumbat sampah. Air tak bisa mengalir sehingga
wilayah Koja terancam banjir.

Ancaman langsung menjadi kenyataan. Hampir seluruh wilayah Koja kemarin ikut
terendam banjir sampai setinggi semeter setelah Jakarta diguyur hujan lebat dari pagi sampai
sore sehari sebelumnya.

Koja memang merupakan daerah permukiman padat yang memang rawan banjir.
Beberapa ruas Jalan MH Thamrin dan Jalan Sudirman kemarin juga digenangi air hujan
akibat saluran-saluran air yang ada di kedua jalan protokol itu tak berfungsi secara maksimal.

Hal ini pernah diakui Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta Wisnu Subagyo. Menurut Wisnu, penyebab utama buruknya drainase di ruas Jalan
MH Thamrin adalah banyaknya jaringan utilitas bawah tanah yang melintang di sepanjang
saluran air itu. "Akibatnya, drainase di jalan protokol tak mampu menampung curah hujan,"
katanya.

Saat jalan protokol tergenang air selama dua jam pada pertengahan April 2006,
muncul genangan air di sekitar Kantor Gubernur DKI Jakarta di Jalan Medan Merdeka
Selatan.

Selain itu, ada pula saluran drainase yang mengalami penyempitan, seperti di sekitar
Jembatan Serong, Tanah Abang, yang juga terhubung dengan saluran air di Jalan MH
Thamrin. Di titik itu saluran drainase menyempit dari 19 meter menjadi 12 meter sehingga
menjadi berbentuk leher botol.

Salah satu sistem drainase terbaik yang dimiliki Jakarta ada di sekitar kompleks Istana
Presiden, di antara Jalan Medan Merdeka Utara, Jalan Majapahit, Jalan Veteran, dan Jalan
Juanda. Namun, daerah itu juga tak jarang jadi korban genangan air pada musim hujan,
seperti yang terjadi tahun lalu serta saat Jakarta dilanda banjir besar pada tahun 2002.
Menurut Wisnu, hal itu disebabkan sistem interaksi tata air yang acak-acakan. "Sistem
drainase dari timur ke barat tidak terkoordinasi secara baik. Akibatnya, ketika curah hujan
sangat tinggi, volume air di darat menjadi besar. Air tidak bisa masuk ke Kali Ciliwung di
Jalan Juanda dan menggenangi halaman istana,"katanya.

Warisan Belanda

Infrastruktur pengendalian banjir yang dimiliki Jakarta saat ini adalah warisan
pemerintah kolonial Belanda. Berbagai infrastruktur pengairan itu, termasuk saluran drainase,
berupa selokan, terusan, dan gorong-gorong.

Di antara saluran drainase buatan Belanda, yang bisa dilihat hingga hari ini adalah
Kali Gresik di sepanjang Jalan Sutan Syahrir dan Jalan Mohammad Yamin, Jakarta Pusat;
serta Kali Sentiong, yang berfungsi mengatur pembuangan air dari Kali Baru Timur ke
Sungai Ciliwung.

Pemerintah Hindia Belanda telah melakukan berbagai usaha untuk membebaskan


Batavia dari ancaman banjir. Namun, perang melawan banjir secara konsepsional baru
dimulai pada tahun 1918, setelah Batavia dilanda banjir besar yang merenggut banyak korban
jiwa. Ketika itu, pemerintah kolonial membentuk tim penyusun rencana pencegahan banjir,
yang dipimpin seorang insinyurnya yang bernama Herman van Breen.

Konsep Van Breen dan kawan-kawan intinya adalah mengendalikan aliran air dari
hulu ke sungai dan membatasi volume air masuk kota. Karena itu, perlu dibangun saluran
kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, yang dialirkan lewat sisi
barat kota.

Saluran kolektor itulah yang kini dikenal sebagai Banjir Kanal Barat, yang membelah
Jakarta dari Pintu Air Manggarai sampai ke Muara Angke. Seiring dengan dibangunnya
Banjir Kanal Barat, dibangun berbagai saluran drainase untuk mengalirkan air buangan
rumah tangga dan air hujan ke Sungai Ciliwung dan sungai lain di Jakarta.

Kecuali tak melanjutkan dengan serius apa yang sudah dimulai Belanda, Pemprov
DKI Jakarta sampai kini masih menganut konsep drainase konvensional. Prinsipnya adalah
membuang secepat-cepatnya seluruh air hujan yang jatuh ke sungai dan mengalirkannya ke
laut. Konsep lama yang sudah ketinggalan zaman ini menurunkan kesempatan air untuk
meresap ke dalam tanah.
Konsep baru

Pemprov DKI kini seyogianya menggunakan konsep drainase baru yang lebih ramah
lingkungan. Dengan konsep yang disebut ekodrainase itu, air hujan yang berlebihan
diusahakan sebanyak mungkin diresapkan kembali ke dalam tanah untuk menambah
cadangan air tanah, yang akan diperlukan pada musim kemarau.

Pemprov DKI lebih baik memperbanyak pembangunan taman serta hutan kota dan
mewajibkan seluruh warga membuat sumur resapan. Selain itu, juga membangun danau-
danau baru sambil merevitalisasi puluhan situ dan danau lama yang merana karena kegiatan
reklamasi dan pembangunan yang tak terkendali.

Pembagian kewenangan

Menurut Dokter Teknik Sipil UGM Budi Santoso Wignyosukarto sudah ada
pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah. Jika keduanya berjalan
dengan baik maka sistem tadi akan berfungsi dengan baik. "Misalnya pemerintah pusat
bertanggungjawab pada pengelolaan sungai-sungai utama. Tapi jika pemerintah daerahnya
tidak menyetujui kebijakan pemerintah pusat ya apa yang direncanakan tidak akan berhasil
dengan baik," katanya.

Budi melanjutkan, sistem drainase internal dalam suatu kawasan menjadi tanggung
jawab pengelola kawasan tersebut. Pemerintah dalam mengambil kebijakan hendaknya
memperhatikan konsep alam juga. Prinsip air akan mengalir dari tempat yang tinggi ke
tempat yang rendah, terkadang tidak sesuai dengan pola birokrasi di administrasi.

Anda mungkin juga menyukai