Anda di halaman 1dari 31

Waduk Pluit (asal nama pluit berasal dari kata Belanda fluitschip yang artinya kapal layar

panjang berlunas ramping), adalah waduk yang dibangun di Penjaringan, Jakarta Utara.
Awalnya lahan ini berupa rawa-rawa. Pemerintah Hindia Belanda meletakkan sebuah
fluitschip bernama Het Whitte Paert, yang sudah tidak laik laut di pantai sebelah timur muara
Kali Angke sehingga daerah ini mendapat nama Pluit. [1]

SejarahSunting
Proyek Waduk Pluit dimulai sejak 1960, dengan dinyatakannya Pluit sebagai kawasan
tertutup. Kawasan ini direncanakan sebagai polder Pluit dan pekerjaan pengerukan kali
melalui Keputusan Peperda Jakarta Raya dan Sekitarnya No 387/ Tahun 1960. Namun, di
bawah Otorita Pluit, ada pengembangan Pluit Baru untuk pengembangan perumahan,
industri, dan waduk. Adapun daerah Muara Karang, Teluk Gong dan Muara Angke untuk
perumahan dan pembangkit listrik, serta kampung nelayan.[1]
Pada tahun 1971, Proyek Pluit terus dilanjutkan dengan perluasan wilayah hingga ke
Jelambar dan Pejagalan. Pada tahun 1976 kawasan Pluit menjadi permukiman moderen
dengan tempat rekreasi dan lokasi perindustrian. Pada tahun 1981, barulah Waduk Pluit
selesai dan ditandai dengan banjir besar di wilayah Pluit. [1]

PendangkalanSunting
Karena daerah bibir Waduk Pluit ditempati oleh perumahan, maka secara perlahan terjadi
pendangkalan dan peralihan fungsi sebesar 20 Hektar dari total 80 Hektar lahan yang
semestinya menjadi waduk penyimpan air. Sejak tahun 1990an, warga mulai merebut tanah di
pinggir Waduk Pluit yang seharusnya menjadi milik negara dan tidak boleh dibangun.
Awalnya bangunan ini semi permanen, dengan menjadikan tembok waduk sebagai penahan.
Sampah dan lumpur dari hulu sungai, ditambah sampah rumah tangga warga di sekitar,
membuat pendangkalan semakin parah sehingga Waduk Pluit kehilangan fungsinya.[2]
Akibat pendangkalan, kapasitas penyimpanan air kala musim hujan menjadi berkurang. Air
waduk yang awalnya bisa mencapai kedalaman 10 meter, pada tahun 2012 hanya setinggi 2
meter. [2]

PerawatanSunting
Untuk melawan pendangkalan, sebenarnya telah berulangkali dilakukan perawatan di Waduk
Pluit. Di antaranya pada tahun 2005 telah diadakan pengerukan.[3]. Kemudian pada tahun
2009 diadakan pembersihan enceng gondok.[4]. Lalu pada tahun yang sama juga dibuatkan
pintu air baru untuk mempermudah kontrol debit air dan sampah. [5]. Namun adanya
perumahan yang menempati lahan waduk membuat usaha ini tidak pernah bisa maksimal.
Karena itu sebenarnya sejak 2010 telah direncakan pemindahan 13.000 warga agar waduk
bisa dinormalisasi dengan maksimal. [6] Namun warga selalu menolak dipindahkan karena
merasa tidak merasa bersalah dan merasa aman dari bencana banjir maupun rubuhnya tembok
penahan[7]

Perawatan Waduk Pluit pada tahun 2013 banyak mendapat perhatian karena keberhasilan
memindahkan warga penghuni bantaran sekaligus penataan bagian pinggir waduk menjadi
taman yang bisa diakses bebas oleh publik.[8]

Pemindahan wargaSunting
Pada tahun 2013, setelah bencana banjir, Pemerintah Provinsi Jakarta memulai proses
pemindahan warga dan pengerukan sungai. Awalnya hal ini ditolak dan sempat menuai protes
warga.[9]. Diduga sebagian warga diprovokasi oleh oknum tertentu sehingga pemindahan
sempat menjadi keributan[10][11][12]. Warga juga keberatan karena merasa dituduh sebagai
komunis, namun kemudian diklarifikasi bahwa kata itu muncul karena desakan LSM yang
mendesak pembagian lahan gratis.[13]. Komnas HAM sempat turun tangan karena merasa
pemindahan ini dilakukan secara paksa dan tidak ada hunian pengganti[14]. Namun kemudian
sikap warga melunak setelah dilakukan diplomasi makan siang bersama Jokowi di Balai
Kota. [15] Warga penghuni bantaran Waduk Pluit akhirnya bersedia dipindah secara bertahap.
[16]

ReferensiSunting
^ a b c Dina. Begini Ceritanya Tentang Pluit. Diakses dari situs berita Tempo
pada 8 November 2013
2.
^ a b Has.Cerita Waduk Pluit Dijarah Warga. diakses dari situs berita merdeka
pada 8 November 2013
1.

3.

^ Pendangkalan Waduk Pluit Mencapai 8 Meter. Diakses dari situs berita


Tempo pada 8 November 2013

4.

^ Ujang ZaelaniFoto: Kuras Waduk diakses dari situs Kantor Berita Antara
pada 8 November 2013

5.

^ Ari Saputra. Pintu Air Waduk Pluit Dibangun untuk Tangkal banjir. Diakses
dari Situs Berita Detik pada 8 November 2013

6.

^ 13 Ribu KK Penghuni Waduk Pluit Bakal Digusur. Diakses dari situs Berita
Jawa Post News Network pada 8 November 2013

7.

^ Ramadhian Fadillah.Penduduk Waduk Pluit Tak Takut Alami Tragedi ala


Situ Gintung. Diakses dari situs Berita Detik pada 8 November 2013

8.

^ Dulu Kumuh, Kini Waduk Pluit Jadi Tujuan Wisata. Diakses dari situs
Berita Kompas pada 8 November 2013

9.

^ (video) Tolak Relokasi: Warga Bantaran Waduk Pluit Protes. Diakses dari
situs berita Detik pada 8 November 2013

10.

^ Itsman MP. Ini Alasan Warga Muara Baru Halangi Penataan Pluit. Diakses
dari situs Berita Tempo pada 8 November 2013

11.

^ Itsman SP.Satpol PP Meringsek Pemukiman Barat Waduk Pluit. Diakses


dari situs Berita Tempo pada 8 November 2013

12.

^ Itsman SP Warga Waduk Pluit Halangi Aparat Penertiban. Diakses dari


situs berita Tempo pada 8 November 2013

13.

^ Klarifikasi Ahok Soal Sebut Warga Waduk Pluit Komunis. Diakses dari situs
Berita liputan6.com

14.

^ Komnas HAM Kecam Penggusuran Paksa di Waduk Pluit. Diakses dari situs
berita SindoNews pada 8 November 2013

15.

^ Idham Khalid. Ditemui Jokowi, Warga yang Tegang jadi Tenang. Diakses
dari situs Berita Detik

16.

^ Beno Junianto dan Rohimat Nurbaya. Jokowi: Semua Warga Waduk Pluit
Siap Dipindah. Diakses dari situs berita Vivanews pada 8 November 2013

Artikel bertopik Jakarta ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia
dengan mengembangkannya.
Terakhir diubah pada 1 bulan yang lalu

Wikipedia
o

Tampilan kecil (''mobile'')

Tampilan besar (''desktop'')

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali apabila disebutkan lisensi yang lain.

Terms of use

Privasi

Kondisi Pintu Air Memprihatinkan, Jakarta


Kekurangan Ekskavator
Posted by Redaksi Jakarta Observer on Selasa, 05 November 2013 | 0 komentar

Rumah pompa di Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara. (foto: jo6)

JAKARTA, JO - Kondisi pintu-pintu air di Jakarta sudah sangat memprihatinkan dan


sudah penuh dengan sampah sehingga harus segera dibersihkan sebelum musim hujan
tiba. Sayangnya, terbatasnya alat berat atau ekskavator membuat upaya pengerukan
sampah di pintu-pintu air ini tidak bisa dilakukan secara rutin.
Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Manggas Rudy Siahaan kepada
wartawan, di Jakarta, Senin (4/11), salah satu pintu air yang memerlukan perhatian
adalah pintu air Manggarai, Jakarta Selatan (Jaksel) yang setiap hari menghasilkan 30
ton sampah.
Sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 215 Tahun 2012 tentang
Pengintegrasian dan Optimalisasi Pengelolaan Sampah,per tanggal 1 April 2013,
penanganan sampah di sungai,kali, dan badan air telah menjadi tugas pokok dan
fungsi Dinas Kebersihan DKI. Meskipun tanggung jawab atas pintu air diserahkan
kepada Dinas Kebersihan Jakarta.Dins PU DKI secara rutin juga mengecek dan
meninjau keadaan pintu air.
"Pengecekan berkala ini dilakukan agar jika ditemukan gangguan yang menghambat
fungsi pintu air, dapat segera diatasi,"begitu Manggas.
DKI Jakarta memiliki 221 pintu air. Diantaranya di Jakarta Utara sebanyak 89, di
Jakarta Barat 46 pintu air, di Jakarta Timur 30 pintu air, di Jakarta Pusat 38 pintu air,
dan di Jakarta Selatan 18 pintu air.
Pengerukan sampah di pintu air diprioritaskan dilakukan di pintu air Manggarai,
Istiqlal, Setiabudi, dan Ancol.
Yang menjadi kendala dalam pengerukan sampah di pintu air ini, menurut Manggas
adalah keterbatasan alat berat atau ketersediaan ekskavator. Dikatakan, saat ini Dinas
PU DKI hanya memiliki enam unit alat berat. Untuk mencukupi kebutuhan alat berat
itu, Pemprov DKI mendapatkan bantuan dari beberapa perusahaan swasta
penyumbang, misalnya saat mengeruk lumpur di Waduk Pluit, Jakarta Utara.
Selain itu, Jakarta juga mendapat bantuan alat berat dari badan usaha milik daerah
(BUMD) DKI, yakni PT Jakarta Propertindo.
"Mudah-mudahan tahun ini akan ada penambahan sebanyak 23 unit alat berat
berbagai ukuran. Dengan demikian, pengerukan sungai dan waduk dapat dilakukan
secara bergantian setiap hari," harapnya. (jo-6)

Macam-macam Pintu Air

Air merupakan sumber kehidupan. Segala aktivitas, khususnya aktivitas


manusia seperti aktivitas industri, pengairan, keperluan untuk rumah tangga,
dan keperluan lainnya sangat memerlukan air. Oleh karena itu, perlu dilakukan
upaya-upaya untuk mengatur dan meningkatkann daya guna (efisiensi) air yang
mengalir di permukaan tanah. Meningkatkan daya guna air dapat dilakukan
dengan membuat bendungan pengendali banjir atau membuat sistem irigasi
yang baik.
Pada bendungan-bendungan yang sudah ada, digunakan pintu air untuk
mengatur banyaknya air dalam bedungan itu. Pintu air merupakan bangunan
penunjang pada suatu bendungan irigasi dan bendungan pengendali banjir.
Umumnya pintu air digunakan untuk mengontrol aliran air di reservoir, sungai
dan pada sistem tanggul. pintu yang dapat diatur

yang digunakan untuk

mengatur air di bendungan, sungai, maupun tanggul sungai. Alat ini juga dapat
didesain untuk spillway pada bendungan, mengatur laju aliran pada saluran,
atau dapat juga didisain untuk menghentikan air sebagai bagian dari sistem
tanggul. Untuk pengendalian banjir, bangunan ini juga digunakan untuk
menurunkan muka air banjir pada sungai atau pada saluran air pada saat
terjadinya banjir.
Pintu air sebenarnya sudah ada sejak jaman dahulu, namun bentuknya
sangat sederhana. Seiring dengan perkembangan jaman, pintu air pun telah
berkembang dengan cepat. Hal ini terlihat dari banyaknya macam pintu air yang
ada untuk mengatur aliran air. Pintu air dari jaman dahulu sampai jaman modern
ini sangatlah bermanfaat dan tidak dapat dibayangkan jika jaman modern ini
tidak diikuti dengan perkembangan dari penggunaan pintu air pada bendungan
irigasi dan bendungan pengendalian banjir. Pada jaman modern sekarang ini air
yang melimpah yang tidak terkendali sesulit apapun sudah dapat diatasi dengan
mudah tanpa harus memperkerjakan banyak orang.
Berdasarkan cara pengoperasiannya, pintu air dibedakan menjadi 3
macam, yaitu :
1.

Pintu Air Manual


Penggunaan pintu air secara manual sering kita jumpai pada pengaturan
irigasi pada persawahan dan aliran dengan tekanan kecil. Pintu air manual ini
masih memerlukan tenaga manusia untuk mengatur aliran air dengan menutup
dan membuka pintu air ini.

2.

Pintu Air Semi Otomatis


Penggunaan pintu air semi otomatis banyak digunakan pada bendungan yang
bertekanan tinggi.

3.

Pintu Air Otomatis


Pintu air full otomatis digunakan untuk pengedalian banjir pada bangunan
pelimpah pada suatu bendungan bertekanan tinggi.Yang bekerja apabila debit air
melebihi batas tertentu akan membuka sendiri secara otomatis.
Buka tutup pintu air otomatis merupakan bangunan berserta instalasinya
yang berfungsi membuka,mengatur dan menutup aliran air yang masuk ke
bendungan atau waduk, berdasarkan level ketinggian air pada hulu bendungan.
Dengan melihat kondisi sekarang ini cuaca tidak dapat ditebak. Dimana hujan
dan badai angin sering datang dengan cepat dan bersamaan. Serta hujan yang
terjadi dihulu,yang mengakibatkan aliran air yang besar, sangatlah penting
adanya alat yang dapat membuka,mengatur dan menutup aliran air pada
bendungan yang dapat bekerja sewaktu-waktu dengan cepat dengan gerakan
membuka,mengatur dan menutup sendiri secara otomatis. Sangatlah tepat jika
menggunakan buka-tutup pintu air otomatis.

Selain itu, pintu air juga sering disebut dengan floodgate. Berdasarkan
jenisnya, pintu air dibedakan menjadi 6, yaitu :
1.

Bulkhead gates
Bulkhead gates adalah dinding vertikal dengan bagian yang bisa digerakkan
ataupun tidak bisa digerakkan. Bagian yang bergerak dapat diangkat untuk
membiarkan air lewat di bawahnya (sama seperti sluice gate).

Gb.1 Bulkhead gates

2.

Hinged crest gates

Hinged crest gates adalah bagian dinding yang dapat digerakkan dari vertikal ke
horisontal terganting dari tinggi bendungan. Bangunan ini dikontrol dengan
tenaga hidraulik.

Gb.2 Hinged crest gates

3.

Radial gates
Radial gates adalah bagian yang dapat berputar (rotary) terdiri dari bagian
berbentuk silindris. Bangunan ini dapat berputar secara vertikal maupun
horisontal. Salah satu jenisnya adalah tainter gates. Tainter gates didisain untuk

mengangkat ke atas dan membiarkan air lewat di bawahnya. Bangunan ini dapat
menutup sendiri berdasarkan beratnya
.

Gb.3 Radial gates

4.

Drum Gates
Drum gates adalah sebuah bangunan yang dapat mengambang di air dengan
membiarkan air masuk ke flotation chamber sehingga bangunan ini akan
mengambang dan menaikkan puncak spillway.

5.

Roller gates
Roller gates merupakan silinder yang besar yang diangkat dengan
menggunakan rantai.

Gb.4 Roller gates

6.

Clamshell Gates
Bangunan ini mempunyai bukaan berbentuk clamshell.

Bendungan
TIPE-TIPE BENDUNGAN 1 Pengertian Bendungan Bendungan (dam) adalah
konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi waduk, danau, atau
tempat rekreasi. Seringkali bendungan juga digunakan untuk mengalirkan air ke
sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air. 2. Bagian-bagian bendungan Bendungan
terdiri dari beberapa komponen, yaitu : a. Badan bendungan (body of dams)
Adalah tubuh bendungan yang berfungsi sebagai penghalang air. Bendungan
umumnya memiliki tujuan untuk menahan air, sedangkan struktur lain seperti
pintu air atau tanggul digunakan untuk mengelola atau mencegah aliran air ke
dalam daerah tanah yang spesifik. Kekuatan air memberikan listrik yang
disimpan dalam pompa air dan ini dimanfaatkan untuk menyediakan listrik bagi
jutaan konsumen. b. Pondasi (foundation) Adalah bagian dari bendungan yang
berfungsi untuk menjaga kokohnya bendungan. c. Pintu air (gates) Digunakan
untuk mengatur, membuka dan menutup aliran air di saluran baik yang terbuka
maupun tertutup. Bagian yang penting dari pintu air adalah : a. Daun pintu (gate
leaf) Adalah bagian dari pintu air yang menahan tekanan air dan dapat
digerakkan untuk membuka , mengatur dan menutup aliran air. b. Rangka
pengatur arah gerakan (guide frame) Adalah alur dari baja atau besi yang
dipasang masuk ke dalam beton yang digunakan untuk menjaga agar gerakan
dari daun pintu sesuai dengan yang direncanakan. c. Angker (anchorage) Adalah
baja atau besi yang ditanam di dalam beton dan digunakan untuk menahan
rangka pengatur arah gerakan agar dapat memindahkan muatan dari pintu air
ke dalam konstruksi beton. d. Hoist Adalah alat untuk menggerakkan daun pintu
air agar dapat dibuka dan ditutup dengan mudah. d. Bangunan pelimpah (spill
way) Adalah bangunan beserta intalasinya untuk mengalirkan air banjir yang
masuk ke dalam waduk agar tidak membahayakan keamanan bendungan.
Bagian-bagian penting daribangunan pelimpah : 1) Saluran pengarah dan

pengatur aliran (controle structures) Digunakan untuk mengarahkan dan


mengatur aliran air agar kecepatan alirannya kecil tetapi debit airnya besar. 2)
Saluran pengangkut debit air (saluran peluncur, chute, discharge carrier, flood
way) Makin tinggi bendungan, makin besar perbedaan antara permukaan air
tertinggi di dalam waduk dengan permukaan air sungai di sebelah hilir
bendungan. Apabila kemiringan saluran pengangkut debit air dibuat kecil, maka
ukurannya akan sangat panjang dan berakibat bangunan menjadi mahal. Oleh
karena itu, kemiringannya terpaksa dibuat besar, dengan sendirinya disesuaikan
dengan keadaan topografi setempat. 3) Bangunan peredam energy (energy
dissipator) Digunakan untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi
energi air agar tidak merusak tebing, jembatan, jalan, bangunan dan instalasi
lain di sebelah hilir bangunan pelimpah. e. Kanal (canal) Digunakan untuk
menampung limpahan air ketika curah hujan tinggi. f. Reservoir Digunakan untuk
menampung/menerima limpahan air dari bendungan. g. Stilling basin Memiliki
fungsi yang sama dengan energy dissipater. h. Katup (kelep, valves) Fungsinya
sama dengan pintu air biasa, hanya dapat menahan tekanan yang lebih tinggi
(pipa air, pipa pesat dan terowongan tekan). Merupakan alat untuk membuka,
mengatur dan menutup aliran air dengan cara memutar, menggerakkan kea rah
melintang atau memenjang di dalam saluran airnya. i. Drainage gallery
Digunakan sebagai alat pembangkit listrik pada bendungan. 3. Tipe Bendungan
Bendungan juga dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu : a. Berdasarkan ukuran 1)
Bendungan besar (large dams) Menurut ICOLD definisi dari bendungan adalah :
Bendungan yang tingginya lebih dari 15m, diukur dari bagian terbawah pondasi
sampai ke puncak bendungan. Bendungan yang tingginya antara 10m dan 15m
dapat pula disebut dengan bendungan besar asal memenuhi salah satu atau
lebih kriteria sebagai berikut : Panjang puncak bendungan tidak kurang dari
500m. Kapasitas waduk yang terbentuk tidak kurang dari 1 juta m. Debit
banjir maksimal yang diperhitungkan tidak kurang dari 2000 m/detik.
Bendungan menghadapi kesulitan-kesulitan khusus pada pondasinya (had
specially ifficult foundation problems). Bendungan di desain tidak seperti
biasanya (unusual design). 2) Bendungan kecil (small dams, weir, bendung)
Semua bendungan yang tidak memenuhi syarat sebagai bendungan besar di
sebut bendungan kecil. b. Berdasarkan tujuan pembangunannya 1) Bendungan
dengan tujuan tunggal (single purpose dams) Adalah bendungan yang dibangun
untuk memenuhi satu tujuan saja. 2) Bendungan serbaguna (multipurpose dams)
Adalah bendungan yang dibangun untuk memenuhi beberapa tujuan. c.
Berdasarkan penggunaannya 1) Bendungan untuk membuat waduk (storage
dams) Adalah bendungan yang dibangun untuk membentuk waduk guna
menyimpan air pada waktu kelebihan agar dapat dipakai pada waktu diperlukan.
2) Bendungan penangkap/pembelok air (diversion dams) Adalah bendungan
yang dibangun agar permukaan airnya lebih tinggi sehingga dapat mengalir
masuk kedalam saluran air atau terowongan air. 3) Bendungan untuk
memperlamabat jalannya air (detension dams) Adalah bendungan yang
dibangun untuk memperlamabat aliran air sehingga dapat mencegah terjadinya
banjir besar. Masih dapat dibagi lagi menjadi 2, yaitu : Untuk menyimpan air
sementara dan dialirkan ke dalam saluran air bagian hilir. Untuk menyimpan air
selama mungkin agar dapat meresap di daerah sekitarnya. d. Berdasarkan

konstruksinya 1) Bendungan urugan (fill dams, embankment dams) Menurut


ICOLD definisinya adalah bendungan yang dibangun dari hasil penggalian bahan
(material) tanpa tambahan bahan lain yang bersifat campuran secara kimia, jadi
betul-betul bahan pembentuk bendungan asli. Bendungan ini masih dapat dibagi
menjadi : Bendungan urugan serbasama (homogeneous dams) Adalah
bendungan urugan yang lapisannya sama. Bendungan urugan berlapis-lapis
(zone dams, rockfill dams) Adalah bendungan urugan yang terdiri atas beberapa
lapisan , yaitu lapisan kedap air (water tight layer), lapisan batu (rock zones,
shell), lapisan batu teratur (rip-rap) dan lapisan pengering (filter zones).
Bendungan urugan batu dengan lapisan kedap air di muka (impermeable face
rockfill dams, dekced rockfill dams) Adalah bendungan urugan batu berlapis-lapis
yang lapisan kedap airnya diletakkan di sebelah hulu bendungan. Lapisan kedap
air yang biasa digunakan adalah aspal dan beton bertulang. 1) Bendungan beton
(concrete dams) Adalah bendungan yang dibuat dari konstruksi beton baik
dengan tulangan maupun tidak. Ini masih dapat dibagi lagi menjadi :
Bendungan beton berdasar berat sendiri (concrete gravity dams) Adalah
bendungan beton yang didesain untuk menahan beban dan gaya yang bekerja
padanya hanya dengan berat sendiri saja. Bendungan beton dengan
penyangga (concerete butress dams) Adalah bendungan beton yang mempunyai
penyangga untuk menyalurkan gaya-gaya yang bekerja padanya. Banyak dipakai
apabila sungainya sangat lebar sedangkan keadaan geologiya baik. Bendungan
beton berbentuk lengkung (beton berbentuk busur atau concerete arch dams)
Adalah bendungan beton yang didesain untuk menyalurkan gaya-gaya yang
bekerja padaya lewat abutmen kiri dan abutmen kanan bendungan. Bendungan
beton kombinasi (combination concerete dams, mixed type concerete dams)
Adalah merupakan kombinasi anatara lebih dari satu tipe bendungan. 3)
Bendungan lainnya Biasanya hanya untuk bendungan kecil misalnya :
bendungan kayu (timber dams), bendungan besi (steel dams), bendungan
pasangan bata (brick dams), bendungan pasangan batu (masonry dams). e.
Berdasarkan fungsinya 1) Bendungan pengelak pendahuluan (primary
cofferdam, dike) Adalah bendungan yang pertama-tama dibangun di sungai pada
waktu debit air rendah agar lokasi rencana bendungan pengelak menjadi kering
yang memungkinkan pembangunannya secara teknis. 2) Bendungan pengelak
(cofferdam) Adalah bendungan yang dibangun sesudah selesainya bendungan
pengelak pendahuluan sehingga lokasi rencana bendungan utama menjadi
kering yang memungkinkan pembangunannya secara teknis. 3) Bendungan
utama (main dam) Adalah bendungan yang dibangun untuk memenuhi satu atau
lebih tujuan tertentu. 4) Bendungan sisi ( high level dam ) Adalah bendungan
yang terletak di sebelah sisi kiri dan sisi kanan bendungan utama yang tinggi
puncaknya juga sama. Ini dipakai untuk membuat proyek seoptimal-optimalnya,
artinya dengan menambah tinggi pada bendungan utama diperoleh hasil yang
sebesar-besarnya biarpun harus menaikkan sebelah sisi kiri dan atau sisi kanan.
5) Bendungan di tempat rendah (saddle dam) Adalah bendungan yang terletak di
tepi waduk yang jauh dari bendungan utama yang dibangun untuk mencegah
keluarnya air dari waduk sehingga air waduk tidak mengalir ke daerah
sekitarnya. 6) Tanggul ( dyke, levee) Adalah bendungan yang terletak di sebelah
sisi kiri dan atau kanan bendungan utama dan di tempat yang jauh dari

bendungan utama yang tinngi maksimalnya hanya 5 m dengan panjang


puncaknya maksimal 5 kali tingginya. 7) Bendungan limbah industri (industrial
waste dam) Adalah bendungan yang terdiri atas timbunan secara bertahap untuk
menahan limbah yang berasal dari industri. 8) Bendungan pertambangan (mine
tailing dam, tailing dam) Adalah bendungan yang terdiri atas timbunan secara
bertahap untuk menahan hasil galian pertambangan dan bahan pembuatnya
pun berasal dari hasil galian pertambangan juga. f. Berdasarkan jalannya air 1)
Bendungan untuk dilewati air (overflow dams) Adalah bendungan yang dibangun
untuk untuk dilewati air misalnya pada bangunan pelimpah (spillway). 2)
Bendungan untuk menahan air (non overflow dams) Adalah bendungan yang
sama sekali tidak boleh di lewati air. Kedua tipe ini biasanya dibangun
berbatasan dan dibuat dari beton, pasangan batu atau pasangan bata.

Siswoko

BANJIR, MASALAH BANJIR DAN UPAYA MENGATASINYA


Oleh: Ir. Siswoko, Dipl. HE, Dirjen Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum

1. Umum

Banjir di Jakarta Tahun 2007


Hampir seluruh negara di dunia mengalami masalah banjir, tidak terkecuali di negara-negara
yang telah maju sekalipun. Masalah tersebut mulai muncul sejak manusia bermukim dan
melakukan berbagai kegiatan di kawasan yang berupa dataran banjir (flood plain) suatu
sungai. Kondisi lahan di kawasan ini pada umumnya subur serta menyimpan berbagai potensi
dan kemudahan sehingga mempunyai daya tarik yang tinggi untuk dibudidayakan. Oleh
karena itu, kota-kota besar serta pusat-pusat perdagangan dan kegiatan-kegiatan penting
lainnya seperti kawasan industri, pariwisata, prasarana perhubungan dan sebagainya sebagian

besar tumbuh dan berkembang di kawasan ini. Sebagai contoh, di Jepang sebanyak 49%
jumlah penduduk dan 75% properti terletak di dataran banjir yang luasnya 10% luas daratan;
sedangkan sisanya 51% jumlah penduduk dan hanya 25% properti yang berada di luar
dataran banjir yang luasnya 90% luas daratan. Hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia
juga berada di dataran banjir (Tabel 1).

Selain memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, dataran banjir juga mengandung
potensi yang merugikan sehubungan dengan terdapatnya ancaman berupa genangan banjir
yang dapat menimbulkan kerusakan dan bencana. Seiring dengan laju pertumbuhan
pembangunan di dataran banjir maka potensi terjadinya kerusakan dan bencana tersebut
mengalami peningkatan pula dari waktu ke waktu. Indikasi terjadinya peningkatan masalah
yang disebabkan oleh banjir di Indonesia dapat diketahui dari peningkatan luas kawasan yang
mengalami masalah banjir sejak Pelita I sampai sekarang.
Hampir seluruh kegiatan penanganan masalah banjir sampai saat ini dilakukan oleh
Pemerintah, lewat berbagai proyek dengan lebih mengandalkan pada upaya-upaya yang
bersifat struktur (structutal measures). Berbagai upaya tersebut pada umumnya masih kurang
memadai bila dibandingkan laju peningkatan masalah. Masyarakat baik yang secara langsung
menderita masalah maupun yang tidak langsung menyebabkan terjadinya masalah masih
kurang berperan baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan operasi serta pemeliharaan
terhadap sarana dan prasarana fisik pengendali banjir, maupun terhadap upaya-upaya non
struktur. Hal ini didukung oleh kebijakan pembangunan selama ini yang cenderung
sentralistis dan top down, serta adanya berbagai kendala / keterbatasan yang ada di
masyarakat sendiri antara lain menyangkut kondisi sosial, budaya dan ekonomi.

Masalah banjir berdampak sangat luas terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Oleh
sebab itu upaya untuk mengatasinya harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kegiatan pembangunan yang menyeluruh dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Sehubungan dengan paradigma baru dalam melaksanakan pembangunan yang
dikaitkan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, terjadinya krisis ekonomi serta berbagai
permasalahan yang ada, semakin meningkatkan bobot dan kompleksitas permasalahan yang
dihadapi. Sehubungan dengan itu diperlukan penyempurnaan terhadap kebijakan, strategi dan
upaya penanganan masalah banjir yang telah ada, baik yang menyangkut aspek-saspek teknis
maupun nonteknis.
Tulisan ini menguraikan tentang banjir, masalah banjir, dan upaya mengatasinya secara
umum dan belum menguraikan kebijakan, strategi, dan upaya mengatasi banjir secara rinci.
Beberapa hal yang dikemukakan antara lain menyangkut penggunaan istilah dan pengertian,
proses terjadinya masalah banjir, dan upaya mengatasi masalah banjir secara umum; dengan
tujuan untuk menyamakan pengertian dan pemahaman bagi seluruh stakeholders.
Berbagai upaya pencegahan yang telah dilaksanakan masih perlu dikembangkan dan
disempurnakan baik menyangkut upaya fisik (stuktural) maupun nonfisik (nonstruktral).
Upaya fisik yang masih perlu disempurnakan antara lain dalam rangka mengantisipasi
kejadian banjir yang lebih besar dari debit banjir yang dikendalikan.

2. Pengertian yang Terkait dengan Masalah Banjir


Beberapa istilah, pengertian dan rumusan yang menyangkut banjir, masalah banjir dan upaya
untuk mengatasinya yang telah populer dan beredar luas di masyarakat maupun di lingkungan
aparatur pemerintah sampai saat ini masih banyak yang keliru. Kekeliruan, ketidakseragaman
dan keterbatasan pengertian masyarakat terhadap masalah ini menimbulkan dampak negatif
terhafap upaya mengatasi masalah banjir, antara lain berupa kurangnya kepedulian dan peran
masyarakat dalam mengatasi masalah banjir serta kesalahan persepsi menyangkut upaya
mengatasi banjir. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa upaya mengatasi banjir
adalah merupakan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah sepenhnya. Demikian pula
adanya pemahaman yang keliru terhadap kinerja sistem pengendali banjir, dengan
menganggap bahwa begitu sistem pengendali banjir dibangun masalah banjir hilang.
Indikasi masih terbatasnya pemahaman masyarakat dan aparat menyangkut masalah banjir
dan upaya mengatasinya tercermin dari berbagai pernyataan dan pertanyaan masyarakat
yang sumbang yang sering muncul di berbagai media, antara lain:
1. Mengapa para insinyur tidak dapat mengatasi masalah banjir dengan
tuntas?
2. Kapankah wilayah DKI Jakarta akan bebas banjir? Berapa miliar / triliun
dana yang masih diperlukan untuk itu?
3. Untuk membebaskan wilayah DKI Jakarta terhadap masalah banjir
diperlukan dana untuk proyek sekian triliun rupiah selama sekian tahun,
4. Berbagai proyek untuk mengatasi masalah banjir dengan biaya yang
besar telah dilaksanakan, akan tetapi mengapa masalah banjir tetap saja
meningkat?

5. Bukankah masalah banjir iitu justru dipelihara oleh para tukang insinyur
agar pekerjaaannya tidak segera habis?
6. Pengendalian banjir dinyatakan untuk debit banjir periode ulang 25
tahunan, akan tetapi mengapa proyek baru saja selesai dikerjakan telah
terjadi banjir lagi?
7. Bangunan yang dibuat oleh masyarakat d dataran banjir telah mengikuti
IMB dan berada di atas peil banjir yang resmi ditetapkan oleh
pemerintah, tetapi mengapa masih saja tergenang banjir?
8. Terjadinya banjir / genangan di DKI Jakarta adalah akibat banjir kiriman
dari Bogor / Jawa Barat. Terjadinya banjir di Riau adalah akibat banjir
kiriman dari Sumatera Barat. Terjadinya banjir di Bojonegoro adalah
akibat banjir kiriman dari Solo dan Madiun !
9. Pernyataan berbagai iklan real estat yang dibangun di dataran banjir,
bahwa dagangannya bebas banjir sampai tua. Pernyataan seperti ini
dapat menyesatkan masyarakat / konsumen.

Disamping pernyataan dan pertanyaan masyarakat yang kemungkinan memang masih awam
dan belum memahami banjir dan masalah banjir tersebut di atas, terdapat juga pernyataan
dari pakar banjir dari Amerika Serikat di salah satu majalah yang bernadakan kebingungan
dan frustasi, sebagai berikut: The flood that devastated the Mississippi and Missouri river
valleys in 1993 have created questions: Is our approach to flood control correct? And
where do we go from here?
Beberapa istilah dan pengertian teknis yang perlu dimengerti dan dipahami oleh masyarakat
secara benar antara lain tentang:
1. Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu kesatuan wilayah tata air yang
terbentuk secara alamiah dimana air meresap dan / atau mengalir melalui
sungai dan anak-anak sungai yang bersangkutan (Gambar 1)
2. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air
dalam satu atau lebih daerah aliran sungai (Gambar
2).

3. Dataran banjir (flood plain) adalah lahan / dataran yang berada di kanan
kiri sungai yang sewaktu-waktu dapat tergenang banjir (Gambar 3).
Berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 63 / 1993 tentang Garis Sempadan

Sungai dan Bekas Sungai, batas dataran banjir ditetapkan berdasarkan


debit rencana sekurang-kurangnya untuk periode ulang 50 tahunan.
Contoh: kurang lebih 40 50 % wilayah DKI Jakarta berada di dataran
banjir 13 sungai yang melewatinya. Real estat, hotel mewah, pertokoan,
perkantoran, dan perumahan mewah di DKI Jakarta yang terendam banjir
pada bulan Januari Pebruari 2002 semuanya berada di dataran banjir.

Gambar 3. Dataran Banjir (Flood Plain)


4. Bantaran sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai
dihitung dari tepi sungai sampai dengan tepi tanggul sebelah dalam.
Fungsi bantaran sungai adalah tempat mengalirnya sebagian debit sungai
pada saat banjir (high water channel). Sehubungan dengan itu maka pada
bantaran sungai dilarang membuang sampah dan mendirikan bangunan
untuk hunian (Gambar 4).

Gambar 4. Bantaran Sungai, Garis Sempadan, Daerah Penguasaan Sungai


5. Garis sempadan (GS) adalah garis batas luar pengamanan sungai
(Gambar 4).
6. Daerah penguasaan sungai adalah dataran banjir , daerah retensi banjir,
bantaran atau daerah sempadan yang tidak dibebaskan (Gambar 4).
7. Pengendalian banjir adalah upaya fisik atau struktur di sungai (on stream)
untuk mengatasi masalah banjir yang didasarkan pada debit banjir
rencana tertentu.
8. Debit banjir rencana dan periode ulang banjir. Debit / aliran air di sungai
selalu berubah dan tidak konstan, oleh karena iru besarnya debit di sungai
selain dinyatakan berdasarkan volume air yang mengalir per satuan waktu
(m3/dt) juga dinyatakan menurut periode ulangnya. CVotoh: Debit banjir
rencana sungai Citanduy untuk periode ulang 25 tahun sebesar 1.000
m3/dt, an untuk periode ulang 100 tahun sebesar 2.500 m3/dt.
Pernyataan atau bahasan yang biasa digunakan oleh para pakar hdrologi
tersebut seringkali menyesatkan masuyarakat (misleading), dan
masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa debit banjir seesar 1.000
m3/dt tersebut terjadi setiap 25 tahun sekali secara periodeik, demikian
pula ddebit banjir sebesar 2.500 m3/dt terjadi setiap 100 tahun seali.
dengan anggapan tersebut maka bila tanggul sungai Citanduy dibangun
dengan debit banjir rencana 25 tahun an sebesar 1.000 m3/dt, maka
selama 25 tahun ke dean masyarakat yang dilindungi tanggil akan merasa
aman dan tidak perlu khawatir terjadi banjir yang lebih besar karena banjir

dengan debit 2.500 m3/dt toh akan datang hanya setiap 100 tahun
sekali !. Pemahaman tersbut salah dan yang benar adalah: untuk setiaop
tahun, kemungkinan terjadi debit banjir sama atau lebih besar dari 1.000
m3/dt di Sungai Citanduy aalah sebesar 100;25 = 4 (empat) persen, dan
untuk setiap tahun kemungkinan terjadi debit banjir sama atau lebih besar
dari 2.500 m3/dt di Cinatnduy adalah sebesdar 100:100 = a (satu) persen.
dengan demikian maka untuk setiap tahun dbit banjir dengan besaran
berapapun kemungkina bisa terjadi, dan oleh sebab iru maka
masyarakat yang terlindungi prasarana pengendali banjir (yang
direncanakan berdasarkan debit banjir tertentu) harus tetap
waspada karena selalu terdapat kemungkinan
kapasitas
prasarana tersebut terlampaui oleh debit banjir yang lebih besar.
Debit banjir rencana untuk beberapa negara di dunia dapat diperiksa pada
Tabel 2.

Tabel 2. Debit Banjir Rencana Beberapa Negara


Istilah dan pengertian yang salah namun telah kaprah yang terlanjur beredar dan
berkembang di masyarakat antara lain tentang: banjir kiriman, kawasan bebas banjir,
pengamanan banjir, pengendalian banjir yang dirancukan dengan penanggulangan banjir, dan
sebagainya. Istilah-istilah yang salah tersebut seharusnya tidak digunakan karena dapat
menimbulkan salah pengertian / salah persepsi.

3. Proses Terjadinya Masalah Banjir


Berdasarkan kamus ICID, banjir (flood) didefinisikan sebagai: A relatively high flow or
stage in a river, markedly higher than usual; also the inundation of low land which may
result there from. A body of water, rising, sweeling, and overflowing land not usually thus
covered. Definisi banjir (flood) menurut kamus tersebut sama sekali tidak mengandung
pengertian adanya gangguan, kerusakan, kerugian maupun bencana terhadap umat manusia,
dan hanya menggambarkan suatu kejadian / gejala / peristiwa. Kejadian tersebut tiidak selalu
berakibat buruk terhadap kehidupan manusia, sehingga perlu dibedakan antara banjir
yang menimbulkan masalah terhadap kehidupan manusia (masalah banjir) dan banjir
yang tidak menimbulkan masalah. Pada kondisi tertentu kejadian tersebut justru dapat
mendatangkan manfaat misalnya dengan terjadinya proses kolmatase di dataran banjir yang
berupa rawa-rawa. Luapan banjir juga membawa unsur hara yang dapat menyuburkan tanah
di dataran banjir. Genangan di dataran banjir akibat luapan sungai menimbulkan masalah
apabila dataran banjir yang bersangkutan telah dikembangan / dibudidayakan.

Banjir dan Masalah Banjir


Genangan yang terjadi sehubungan dengan aliran di saluran drainase akibat hujan setempat
yang terhambat masuk ke saluran induk dan atau ke sungai, sering juga disebut banjir. Untuk
membedakan antara genangan akibat luapan sungai dengan genangan akibat hujan setempat
yang kurang lancar mengalir ke sungai, atau akibat keduanya; seringkali mengalami kesulitan
(Gambar 5).

Gambar 5. Masalah Genangan


Masalah banjir pada umumnya terjadi akibat adanya interaksi berbagai faktor penyebab, baik
yang bersifat alamiah maupoun beberapa faktor lain yang merupakan akibat / pengaruh /
dampak kegiatan manusia (Tabel 3).

Tabel 3. Faktor Penyebab Terjadinya Masalah Banjir


Berbagai faktor yang bersifat alamiah dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok. Kelompok
pertama menyangkut kondisi alam yang relatif statis antara lain: kondisi fisiografi dan
kondisi alur sungai (pembendungan / hambatan akibat meandering alur sungai, bottle neck,
ambal alam, kemiringan dasar sungai yang landai); dan kelompok kedua menyangkut
peristiwa / kejadian alam yang bersifat dinamis antara lain berupa: curah hujan yang tinggi,
pembendungan di muara sungai akibat pasang dari laut, pembendungan dari sungai induk
terhadap anak sungai, amblesan tanah (land subsidence), dan sedimentasi (agradasi dasar
sungai).
Pengaruh kegiatan manusia antara lain berupa: pengembangan / pembudidayaan dan penataan
ruang di dataran banjir yang tidak / kurang mempertimbangkan adanya ancaman / risiko
tergenang banjir, pembudidayaan dan penataan ruang DAS hulu yang kurang memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, pembudidayaan bantaran sungai untuk permukiman,
pembangunan sistem drainase di kawasan permukiman / perkotaan yang tidak berwawasan
konservasi sehingga memperbesar debit banjir di sungai, bangunan silang (jembatan, goronggorong, sipon, pipa air, dsb) yang menghambat aliran banjir, sampah padat yang dibuang di
sungai sehingga mengurangi kapasitas pengaliran sungai, pendangkalan sungai akibat erosi
dan sedimentasi yang berlebihan, amblesan permukaan tanah akibat penyedotan air tanah
yang berlebihan, keterbatasan pengertian masyarakat tentang fenomena alam berupa banjir
yang bersifat dinamis, keterbatasan biaya pembangunan prasarana pengendali banjir dan
biaya operasi dan pemeliharaannya, kemiskinan, terbatasnya upaya pengaturan dan
pengawasan, dan sebagainya.

4. Upaya Mengatasi Masalah Banjir Secara Umum


Untuk mengatasi masalah banjir dan genangan sampai saat ini masih mengandalkan pada
upaya yang bersifat represif dengan melaksanakan berbagai kegiatan fisik / upaya struktur
yaitu membangun sarana dan prasarana pengendali banjir dan atau memodifikasi kondisi
alamiah sungai sehingga membentuk suatu sistem pengendali banjir (in-stream). Langkah
tersebut diterapkan hampir di seluruh negara-negara di dunia yang mengalami masalah banjir.
Sedangkan upaya preventif yang pada dasarnya merupakan kegiatan non struktur
penerapannya masih terbatas. Di beberapa negara upaya struktur telah dikombinasikan
dengan upaya nonfisik / nonstruktur (off-stream) sehingga membentuk sistem penanganan
yang menyeluruh / komprehensif dan terpadu seperti misalnya di Jepang . Ada juga negara
yang mulai meninggalkan upaya struktur dan lebih mengutamakan upaya nonstruktur. Kedua
jenis upaya ini berfungsi untuk menekan / memperkecil besarnya masalah banjir (flood
damage mitigation) dan tidak dapat menghilangkan / membebaskan masalah secara
mutlak (Tabel 4 dan Gambar 6).

Tabel 4. Upaya Mengatasi Masalah Banjir secara Menyeluruh


Berbagai jenis kegiatan fisik / struktur berikut manfaatnya antara lain:
1. Pembangunan tanggul banjir untuk mencegah meluapnya air banjir
sampai tingkat / besaran banjir tertentu. Dengan dibangun tanggul
terbentuk penampang sungai yang tersusun untuk mengalirkan debit
banjir rencana (Gambar 4)

2. Normalisasi alur sungai, penggalian sudetan, banjir kanal, dan interkoneksi


antar sungai untuk merendahkan elevasi muka air banjir sungai. Berbagai
kegiatan ini harus direncanakan dengan sangat hati-hati mengingat
perubahan apapun yang dilakukan terhadap sungai akan menimbulkan
reaksi yang boleh jadi berlawanan dengan yang diingini pengelola
3. Pembangunan waduk penampung dan atau retensi banjir, banjir kanal dan
interkoneksi untuk memperkecil debit banjir; serta
4. Pembangunan waduk /polder, pompa
mengurangi luas dan tinggi genangan.

dan

sistem

drainase

untuk

Masing-masing jenis prasarana fisik tersebut di atas dapat berdisiri sendiri atau
dikombinasikan satu dengan lainya sehingga membentuk satu kesatuan sistem pengenali
banjir. Kondisi dan permasalahan pada setiap sungai selalu berbeda atau tidak ada yang
sama, sehingga penetapan sistem pengendali banjir ang optimal pada setiap sungai harus
melewati suatu kajian yang menyeluruh dengan membandingkan beberaoa alternatif /
kombinasi. Sistem tersebut didisain berdasarklan besaran debit banjir tertentu yang lazimnya
didasarkan pada periode ulang banjir, misalnya debit banjir 5 tahunan, 10 tahunan, 25
tahunan, 50 tahunan dan 100 tahunan sesuai dengan tingat kelayakannya; dan bukan untuk
debit banji yang terbesar. Oleh sebab iu upaya struktur ini selalu mengandung keterbatasan,
atau tidak dapat membebaskan lahan dataran banjir terhadap kemungkinan tergenang banjir
secara mutlak. Meskipun telah dilaksanakan upaya struktur, pada lahan dataran banjir tetap
berisikop tergenang banjir. Sebagai ilustrasi dapat diperiksa pada Gambar 4 dan Gambar 6
yang menunukan satu contoh pengendalian banjir dengan tanggul yang mempunyai
keterbatasan.

Gambar 6. Keterbatasan Pengendalian Banjir dengan Tanggul


Perencanaan teknis sistem pengendalian banjir (secara fisik) yang selama ini dikerjakan
adalah didasarkan pada debit banjir tertentu tanpa mengantisipasi terjadinya debit banjir
yang lebih besar dari debit banjir rencana. Terjadinya kerusakan dan bencana banjir yang
relatif besar yang sering terjadi akhir-akhir ini antara lain disebabkan oleh masalah ini.
Terdapat berbagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut, yang disebut upaya non struktur.
Masyarakat yang tinggal di lahan yang berupa dataran banjir harus sadar dan memahami
bahwa meskipun telah dibangun prasarana fisik pengendali banjir, lahan tersebut sewaktuwaktu masih dapat tergenang banjir. Mereka harus selalu siap dan waspada serta ikut
berupaya menekan besarnya kerugian / bencana, antara lain dengan membangun rumah
panggung dan berbagai upaya penyesuaian lainnya. Antisipasi lainnya misalnya konstruksi
bangunan pengendali banjir seperti misalnya tanggul untuk daerah permukiman / perkotaan
padat harus cukup aman dan stabil serta tidak jebol pada saat terjadi limpasan banjir di atas
tanggul.

Kegiatan nonstruktur / nonfisik bertujuan untuk menghindarkan dan juga menekan


besarnya masalah yang ditimbulkan oleh banjir, antara lain dengan cara mengatur
pembudidayaan lahan di dataran banjir dan di DAS sedemikian rupa sehingga selaras dengan
kondisi dan fenomena lingkungan / alam termasuk kemungkinan terjadinya banjir. Untuk itu
maka sebagai pelaku uatama dari kegiatan ini adalah masyarakat baik secara langsung
maupun tak langsung. Upaya-upaya non-struktur tersebut dapat berupa:
1. Konservasi tanah dan air di DAS hulu untuk menekan besarnya aliran
permukaan dan mengendalikan besarnya debit puncak banjir serta
pengendalian erosi untuk mengurangi pendangkalan / sedimentasi di
dasar sungai. Kegiatan ini merupakan gabungan antara rekayasa teknik
sipil dengan teknik agro, yang bertujuan untuk mengendalkan aliran
permukaan antara lain dengan terasering, bangunan terjunan, check
dam / dam penahan sedimen, dam pengendali sedimen, kolam retensi,
penghijauan, dan reboisasi serta sumur resapan.
2. Pengelolaan dataran banjir (flood plain management) berupa penataan
ruang dan rekayasa di dataran banjir yang diatur dan menyesuaikan
sedemikian rupa sehingga risiko / kerugian / bencana yang timbul apabila
tergenang banjir sekecil mungkin (flood risk / flood damage management).
Rekayasa yang berupa bangunan antara lain berupa: rumah tipe
panggung, rumah susun, jalan layang, jalan dengan perkerasan beton,
pengaturan penggunaan rumah / gedung bertingkat, dan sebagainya.
Sedangkan rekayasa di bidang pertanian dapat berupa pemilihan varitas
tanaman yang tahan genangan. Perangkat lunak yang diperlukan antara

lain berupa flood plain zoning, flood risk map, dan rambu-rambu atau
papan peringatan yang dipasang di dataran banjir
3. Penataan ruang dan rekayasa di DAS hulu (yang dengan pertimbangan
tertentu kemungkinan ditetapkan menjadi kawasan budidaya) sedemikian
rupa sehingga pembudidyaan / pendayagunaan lahan tidak merusak
kondisi hidroorologi DAS dan tidak memperbesar debit dan masalah banjir.
4. Penanggulangan banjir (flood fighting) untuk menekan besarnya bencana
dan mengatasinya secara darurat. Kegiatan ini merupakan bagian dari
kegiatan satkorlak penanggulangan banjir, yang dilaksanakan sebelum
kejadian banjir (meliputi perondaan dan pemberian peringatan dini kepada
masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir / dataran banjir), pada
saat kejadian banjir berupa upaya penyelamatan, pengungsian penutupan
tanggul yang bocor dan atau limpas, maupun kegiatan pasca banjir tyang
berupa penanganan darurat perbaikan kerusakan akibat banjir.
5. Penerapan sistem prakiraan dan peringatan dini untuk menekan besarnya
bencana bila banjir benar-benar terjadi. Upaya ini untuk mendukung
kegiatan penanggulangan banjir.
6. Flood proofing yang dilaksanakan sendiri baik oleh perorangan, swasta
maupun oleh kelompok masyarakat untuk mengatasi masalah banjir
secara lokal, misalnya di kompleks perumahan / real estat, industri, antara
lain, dengan membangun tanggul keliling, polder dan pompa, serta rumah
panggung.
7. Peran msyarakat yang didukung penegakan hukum antara lain dalam
menaati ketentuan menyangkut tata ruang dan pola pembudidayaan
dataran banjir dan DAS hulu, menghindarkan terjadinya penyempitan dan
pendangkalan alur sungai akibat sampah padat maupun bangunan /
hunian dan tanaman di daerah sempadan sungai.
8. Penetapan sempadan sungai yang didukung dengan penegakan hukum.
Dasar hukum yang dapat dipakai sebagai acuan adalah Peraturan Menteri
PU No. 63 Tahun 1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat
Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai. Pada setiap sungai
harus ditetapkan batas sempadannya yang diatur dengan Peraturan
Daerah.
9. Penyuluhan dan pendidikan masyarakat lewat berbagai media
menyangkut berbagai aspek dalam rangka meningkatan pemahaman,
kepedulian dan perannya.
10.Penanggulangan kemiskinan (poverty alleviation). Masyarakat miskin di
perkotaan banyak yang terpaksa menghuni daerah sempadan sungai yang
seharusnya bebas hunian karena sangat membahayakan keselamatan
jiwanya; demikian pula masyarakat petani lahan kering di DAS hulu pada
umumnya miskin sehingga kesulitan untuk melaksanakan pola bercocok
tanam yang menunjang upaya konservasi tanah dan air.

Belajar dari pengalaman yang selama ini dilaksanakan termasuk pengalaman dari negaranegara lain dengan berbagai keberhasilan dan kekurangan yang ada, dapat disimpulkan
bahwa untuk mengatasi masalah banjir di Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan upaya
yang bersifat fisik / struktur saja sebagaimana yang selama ini dilaksanakan, dan harus

merupakan gabungan antara upaya strukrur dengan upaya nonstruktur. Terhada upaya
struktur yang telah dilaksanaan masih perlu disempurnakan dan dilengkapi dengan upaya
nonstruktur.

5.BerbagaiPenyebab Mengapa Masalah banjir Cenderung Meningkat


dan Saran Pemecahannya
Upaya mengatasi masalah banjir di Indonesia tlah dilaksanakan sejak l;ama, namun masalah
banjir ridak kunjung berkurang, dan sebaliknyua justrui semakin meningkat. beberapa hal
yang menjadi penyebab antara lain:
1. Konsep penanganan masalah yang kurang tepat dan kurang inovatif,
hanya mengandalkan upaya fisik / struktur
2. Belum adanya kesamaan pemahaman diantara para stakeholders
(masyarakat, swasta dan pemerintah) menyangkut banjir, masalah banjir
dan upaya mengatasinya yang ditunjang prinsip-prinsip transparansi dan
akuntabilitas.
3. Kegiatan pengaturan, pembinaan dan pengawasan oleh yang berwenang
yang tidak memadai.
4. Sumberdaya (terutama sumber daya manusia yang memahami dan ahli di
bidang ini sebagai perencana, pelaksanan dan pemelihara ) yang sangat
terbatas.

Untuk mengatasi masalah itu diperlukan kerjasama berbagai pihak terutama dalam mengubah
atau menyempurnakan kebijakan, strategi dan berbagai upaya yang telah ada, yang bersifat
lintas sektor dan melibatkan seluruh stakeholders.

Daftar Pustaka
1. Berbagai Peraturan Perundang-Undangan yang menyangkut Sungai dan
Banjir
2. Jansen, Principles of River Engineering, Pitman, 1979.
3. Peterson, Margaret S., River Engineering, Prentice-Hall, 1986
4. Framji, KK., Manual of Flood Control Methodes and Practices, ICID, 1983
5. Framji, KK. and Garg, BC., Flood Control in The World, a Global Review,
ICID Vol I, 1976, Vol. II, 1977
6. Direktorat Sungai Dirjen Pengairan, Flood Control Manual, 1993.
7. Direktorat Sungai Dirjen Pengairan, Flood Plain Management Plan for
Upper Citarum Basin, Proyek PPS Citarum Hulu, 1993.
8. Siswoko, Ir. Dipl. HE, River Engineering, Lecture Notes untuk Pendidikan
Pasca Sarjana Teknik Pengairan, Bandung, 1986.
9. Siswoko, Ir. Dipl. HE, Pengendalian Banjir, Modul untuk kursus di
lingkungan Ditjen Pengairan, 1990
10.Siswoko, Ir. Dipl. HE, Pengaturan Alur Sungai, Modul untuk kursus di
lingkungan Ditjen Pengarian, 1990.

11.Siswoko, Ir. Dipl. HE, Pembinaan Sungai. Modul untuk kursus di lingkungan
Ditjen Pengairan, 1991.
12.Siswoko, Ir. Dipl. HE, Laporan Mengikuti Kongres ke 13 ICID, Den Haag,
September, 19913
13.Siswoko, Ir. Dipl. HE, Laporan Mengikuti Simposium Internasional tentang
Management of Rivers for the Future, Kuala Lumpur, November, 1993.

Sumber: Siswoko (2007). Banjir, Masalah banjir dan Upaya Mengatasinya. Makalah
disampaikan dalam Lokakarya Nasional Peringatan Hari Air Dunia ke -15 Tahun 2007;
Mengatasi Kelangkaan Air dan Menangani Banjir Secara Terpadu.

BANJIR JABODETABEK DITINJAU DARI ASPEK DAYA


DUKUNG LAHAN WILAYAH
Oleh
:
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum

Siswoko

Suumber:http://storage.jak-stik.ac.id/
Pendahuluan
Tulisan ini disusun untuk keperluan pendidikan kedinasan di lingkungan Departemen
Pekerjaan Umum, sekedar memberi gambaran tentang masalah banjir di wilayah Jabodetabek
ditinjau dari aspek daya dukung lahan pada kondisi saat ini. Seperti di ketahui masalah banjir
di wilayah Jabodetabek merupakan masalah kronis. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
Pemerintah tampak menjadi kurang berarti karena akumulasi penyebab banjir yang terus
bertambah. Diperlukan upaya yang lebih serius, menerus, berjangka panjang secara
komprehensif dan terpadu dari semua pihak pemangku kepentingan.
Dalam hal pengelolaan sumber daya air pendekatan yang disyaratkan oleh Integrated Water
Resources Management (IWRM) adalah pendekatan ekosistem. Sumber daya air bukan
hanya diperlukan untuk kehidupan manusia saja melainkan diperlukan oleh seluruh sistem
alam, kehidupan flora dan fauna baik teristrial maupun akuatik. Sejalan dengan pendekatan
ekosistem tersebut, telah muncul konsep baru dalam perencanaan sungai yaitu agar sungai
dikelola kembali secara alami dengan konsep pemulihan sungai (renaturing the river atau
river restoration).
Dalam tulisan ini masalah banjir di Jabodetabek akan ditinjau dari aspek kemampuan
lahan/wilayah memodifikasi besaran banjir.
Seperti diketahui penyebab banjir di Jabodetabek secara garis besar adalah karena kurang
lancarnya pengaliran ke laut, terganggunya drainase lokal dan makin bertambahnya aliran
dari hulu karena berkurangnya infiltrasi.
Gambar 1 adalah peta wilayah kerja Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane.

Berturut-turut akan ditinjau kemampuan mengalirkan banjir ke laut, kemampuan mengalirkan


drainase lokal dan kemampuan meredam banjir dari hulu. Sebagai penutup ditinjau pula
kemampuan wilayah memulihkan sungai kembali alami.
Kemampuan Mengalirkan Banjir ke Laut
Di daerah yang berbatasan dengan laut, wilayah Jabodetabek didominasi oleh dataran rendah
yang cukup luas. Di DKI Jakarta saja ada sekitar 40 % dari luas wilayahnya tergolong dataran
rendah. Air hujan yang jatuh di atas lahan dengan elevasi di bawah + 2.00 m di daerah ini
tidak lagi dapat mengalir ke laut secara gravitasi, sehingga memerlukan rekayasa drainase
dengan timbunan atau pemompaan (Master Plan NEDECO, 1973).
Di daerah dataran rendah ini alur sungai umumnya bertanggul baik secara alami (natural
levee) maupun buatan, sehingga air hujan lokal perlu pemompaan untuk mencapai sungai.
Karena perubahan tata guna lahan di daerah hulu dari lahan terbuka hijau menjadi perkerasan
dan atap bangunan, menyebabkan terjadinya kenaikan debit banjir tahunan. Karena aliran
permukaan semakin besar, erosi lahan juga membesar membawa sedimen dan sampah ke hilir
yang mengendap dan memperdangkal alur-alur sungai di wilayah Jakarta. Selain itu
gangguan oleh bangunan-bangunan baik yang legal (bangunan silang) maupun yang illegal
( perumahan tepi sungai) juga semakin menghambat aliran banjir ke laut. Sementara banjirbanjir besar umumnya bersamaan dengan kejadian pasang purnama air laut.
Alur sungai yang semakin dangkal dan sempit dan tidak mampu mengalirkan debit banjir
rencana
tercermin
dalam
tabel
1
terlampir.
Dari tabel tersebut tampak bahwa kemampuan mengalirkan air ke laut secara gravitasi masih
belum memadai. Upaya memperbesar kapasitas alur (normalisasi) yang telah dilakukan oleh
pemerintah belum sepenuhnya menjangkau seluruh sungai.
Kemampuan Mengalirkan Drainase Lokal
Drainase lokal adalah drainase yang diperlukan untuk mengalirkan air hujan yang jatuh di
dalam wilayah Jakarta. Seperti telah disampaikan di atas bahwa karena daerahnya berupa
dataran rendah, air hujan yang jatuh di daerah ini tidak mampu mengalir secara gravitasi ke
laut. Upaya yang dilakukan untuk menangani drainse lokal adalah dengan membuat sistem
pompa, air genangan dipompa ke arah sungai Pada kejadian banjir-banjir besar, sistem pompa
sering terganggu karena sungai tempat outflow justru meluap menenggelamkan pompa
sehingga pompa tidak dapat bekerja. Ke depan pembuatan system pompa perlu diupayakan
agar dapat langsung membuang ke laut
Gambar 2 menunjukkan jumlah dan lokasi sistem pompa di DKI Jakarta
Sistem drainase lokal juga banyak terganggu oleh penurunan muka tanah karena pengambilan
air tanah secara berlebihan dan menerus. Muka tanah yang turun memperberat upaya drainase
lokal wilayah DKI Jakarta.
Gambar 3 menunjukkan peta kontur penurunan muka tanah di DKI Jakarta.
Kemampuan Meredam Banjir dari Hulu

Wilayah Jabodetabek sesuai konturnya memiliki banyak tampungan alam (situ) khususnya
daerah di sekitar Serpong, Pamulang, Cinere, Depok, Pondok Gede, dan Cilangkap.
Tampungan alam (situ-situ) ini telah banyak yang hilang akibat didesak pemakaian lain
khususnya perumahan. Situ-situ kebanyakan tidak terhubungkan dengan alur sungai sehingga
kurang dapat dimanfaatkan secara optimum sebagai detention basin / parkir air. Selain itu
volumenya juga kecil sehingga pada awal musim hujan umumnya situ-situ ini telah penuh
terisi air. Upaya menghubungkan tampungan dengan alur sungai telah dicoba dengan
pembuatan waduk Halim yang dihubungkan dengan alur sungai Sunter. Meskipun secara
kuantitas situ kurang berperan dalam pengurangan puncak banjir namun ia dapat berperan
sebagai tampungan pengendali / pengendap sedimen dari catchment area.
Perlu diketahui bahwa di daerah tengah yaitu daerah antara Depok-Bogor memanjang dari
barat ke timur telah terjadi perubahan tata guna lahan yang sangat masif dan cepat. Perubahan
tersebut telah mengakibatkan lonjakan debit banjir yang significant, tampak dari catatan
muka air di Depok yang cenderung naik dari tahun ke tahun. Upaya peredaman banjir dengan
menerapkan konsep source control terhadap air hujan perlu dikenalkan dan dilaksanakan
secara luas di daerah ini. Pengertian source control adalah air hujan tidak segera dihubungkan
ke selokan drainase melainkan harus dilewatkan daerah porous agar ada kesempatan air untuk
meresap terinfiltrasi ke dalam tanah. Dengan melalui daerah porous (taman, resapan vertical
atau horizontal, saluran bervegetasi, dll) air hujan dikendalikan dari dekat sumbernya
Apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya dari prinsip source control, hampir semua saluran
dari talang rumah langsung dihubungkan ke selokan dan selokannya pun terbuat dari
pasangan kedap air. Meskipun pemerintah telah melakukan rehabilitasi beberapa situ dan
membangun dam parit untuk menambah resapan di daerah hulu, kemampuan meredam banjir
dari hulu masih kurang memadai dan perlu terus ditingkatkan.
Gambar 4 menujukkan lokasi situ-situ di wilayah Jabodetabek.
Kemampuan Pemulihan Sungai (River-Restoration)
Konsep pemulihan sungai muncul sebagai koreksi dari penanganan sungai selama ini yang
cenderung menggunakan konsep rekayasa semata dan kurang memperhitungkan pengaruh
secara ekosistem dalam jangka panjang. Sungai tidak lagi dilihat sebagai alur geometri
tempat air mengalir, namun sebagai alur ekosistem tempat berlangsung habitat kehidupan
flora dan fauna. Seperti diketahui bahwa ada hubungan erat antara debit air (dan sediment)
dengan geometri alur sungai.
Debit pembentuk alur (bankfull discharge dominant discharge) umumnya berhubungan
dengan debit Q1.5 sampai Q2. Salah satu upaya penting dalam pemulihan sungai adalah
mengembalikan agar hubungan tersebut tercapai lagi (Ann L. Riley, Restroring Streams in
Cities, 1998).
Jika melihat Tabel 2 kemampuan pemulihan sungai dapat dilakukan dengan memperbesar
kapasitas alur sungai atau memperkecil debit-debit banjir Q2 atau kegiatan keduanya secara
bersama-sama. Memperbesar kapasitas alur sungai dilakukan dengan normalisasi,
memperkecil debit banjir dilakukan dengan kegiatan memperbanyak fungsi resapan di daerah
dulu.
Penutup

Demikian keynote speech ini disusun semoga dapat memancing diskusi yang hangat dan
maju untuk kebaikan kita bersama.
Konsep daya dukung lahan (land carrying capacity) terkait dengan tujuan penggunaan lahan
agar diperoleh manfaat yang optimum. Makna daya dukung ada bermacam-macam
tergantung tujuan penggunaan yang ingin diperoleh. Ada daya dukung menurut ukuran
estetika, rekreasi, hayati, ekologi, ekonomi, social. psikologi dan kehidupan margasatwa.
Daya dukung lahan dinilai menurut ambang batas kesanggupan lahan sebagai suatu
ekosistem menahan keruntuhan akibat dampak penggunaan. Makin jauh posisi penggunaan
lahan di bawah ambang batas, jaminan keselamatan lahan makin besar namun efektifitas
penggunaannya makin rendah (disarikan dari Tejoyuwono, Seminar Kriteria Kerusakan
Lahan, 1999).
Tabel
1.
Data
Umum
Wilayah
JABODETABEK
KETERANGAN
DKI
JAKARTA
BODETABEK
JABODETABEK
1.
Luas
Wilayah
(Km2)
2.
Penduduk
(x
1000)
Tahun
1995
Tahun
2005
3.
Kenaikan
Penduduk
(%
/
th)
4.
Kepadatan
Penduduk
(Org/km2)
Tahun
1995
Tahun
2005
5.
Kotamadya
6.
Kabupaten
7.
Kecamatan
8.
Sungai
9.
Luas
daerah
rawan
genangan
(Ha)
10.
Yang
telah
ditangani
(Ha)
11. Jumlah situ (bh/Ha)

Anda mungkin juga menyukai