Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

TL 5284
DRAINASE PERMUKIMAN BERKELANJUTAN

Faktor-Faktor Ketidakoptimalan Kanal Banjir DKI Jakarta dan


Banjir Tahunan Yang Masih Terus Terjadi

Oleh :
Roidah Zihni Adzani
NIM.25717012

PROGRAM STUDI PASCASARJANA


PENGELOLAAN INFRASTRUKTUR AIR BERSIH DAN SANITASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2018
Pendahuluan
Sejak dahulu, bencana banjir sering Sungai melanda Kota Jakarta ketika musim
hujan. Salah satu cara yang digunakan untuk mengendalikan banjir di Jakarta adalah
dengan pembangunan Kanal Banjir Barat (KBB) dan Kanal Banjir Timur (KBT).
KBB dan KBT adalah kanal yang dibuat agar aliran Sungai Ciliwung melintas di luar
Kota Jakarta, bukan di tengah Kota Jakarta. Pembuatan kanal banjir merupakan
gagasan Prof.H Van Breen dari Burgelijke Openbare Werken atau disingkat BOW
yang dirilis tahun 1920. Studi ini dilakukan setelah terjadinya banjir besar di Kota
Jakarta yang pada saat itu masih bernama Batavia pada tahun 1918.

Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur


Untuk mencegah dan mengendalikan banjir Kota Jakarta, maka pada Desember tahun
1973 tersusunlah Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta.
Berdasarkan rencana induk tersebut pengendalian banjir di Kota Jakarta akan
bertumpu pada dua terusan (kanal) yang melingkari sebagian besar wilayah kota.
Kanal tersebut akan menampung semua limpasan air dari selatan dan dibuang ke laut
melalui bagian-bagian hilir kota. Kanal yang direncanakan tersebut pada saat ini
dikenal dengan nama Kanal Banjir Barat (KBB) dan Kanal Banjir Timur (KBT).
Kanal Banjir Barat
Kanal Banjir Barat (KBB) yang juga sering disebut sebagai Sungai Malang dibangun
sejak tahun 1922 dengan hulu berada di daerah Manggarai ke arah barat melewati
Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah Barat Laut di daerah Karet
Kubur, selanjutnya ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan dan
berakhir (bermuara) di Muara Angke. Berdasarkan Restu Gunawan dalam bukunya
yang berjudul Gagalnya Sistem Kanal : Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke
Masa, KBB berfungsi untuk menampung luapan air dari Sungai Ciliwung, Sungai
Krukut, dan Sungai Cideng yang kemudian dialirkan ke laut dengan dimensi KBB
adalah sebagai berikut :
 Panjang kanal = 4,5 km
 Kedalaman kanal = bervariasi anatara 4 meter sampai 12 meter
 Kemiringan kanal = bervariasi antara 1 meter sampai 1,5 meter
 Lebar dasar kanal = bervariasi antara 13,5 meter sampai 16 meter.
Peta Kanal Banjir Barat dapat dilihat pada Gambar 1 yang berupa garis biru tebal
dan foto KBB dapat dilihat pada Gambar 2.

Kanal Banjir Timur


Kanal Banjir Timur dibangun dengan tujuan melindungi wilayah Jakarta Timur dan
Jakarta Utara dari banjir akibat luapan Sungai Cipinang, Sungai Sunter, Sungai
Buaran, Sungai Jatikramat, dan Sungai Cakung yang kapasitasnya belum mampu
menampung debit aliran pada puncak musim hujan. KBT dibangun untuk
menampung aliran Sungai Ciliwung, Sungai Cililitan, Sungai Cipinang, Sungai
Sunter, Sungai Buaran, Sungai Jati Kramat, dan Sungai Cakung dan memiliki luas
tangkapan air sekitar 207 km2 dan dapat mengurangi genangan di 13 kawasan rawan
genangan di Jakarta Timur dan Jakarta Utara. KBT juga dimaksudnkan sebagai
prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku serta
prasarana transportasi (Adhi Ksp, Robert (2010). Banjir Kanal Timur. Jakarta:
Grasindo. hlm. 35). Peta Kanal Banjir Timur dapat dilihat pada Gambar 1 yang
berupa garis biru putus-putus dan foto KBT dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 1. Peta Kanal Banjir Jakarta (KBB dan KBT)


Gambar 2. Foto Kanal Banjir Barat

Gambar 3. Foto Kanal Banjir Timur


Faktor-faktor Ketidakoptimalan Kanal Banjir Jakarta
Pembangunan KBB dan KBT belum mampu mengatasi masalah banjir tahunan yang
terjadi di Kota Jakarta sedari masa kolonial Belanda hingga saat ini. Hal ini dapat
terlihat dari kejadian banjir Jakarta pada pertengahan Februari 2018 lalu. Berdasarkan
Kompas.com tanggal 15 Februari 2018 diketahui titik banjir Jakarta masih terus
bertambah seperti dalam kutipan berikut ini :

“Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana
( BNPB) DKI Jakarta Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan jumlah titik banjir
akibat derasnya hujan pada Kamis (15/2/2018) bertambah dari data semula 53 RW
menjadi 100 RW. Penambahan titik banjir terjadi hampir di seluruh Jakarta. Untuk
Jakarta Timur yang semula hanya tiga kawasan dan empat RW kini bertambah
menjadi tujuh dengan 11 RW, yakni Jatinegara, Cakung Barat, Rawa Terate, dan Pulo
Gebang. Jakarta Pusat dari dua RW menjadi sembilan dengan adanya tambahan
wilayah banjir di Cempaka Putih Barat, Cempaka Putih Timur, Johar Baru, dan
Kartini. Semetara di Jakarta Selatan total RW yang terdampak menjadi 56. Di Jakarta
Utara, dari 19 RW saai ini menjadi 24 RW dengan tambahan wilayah Kapuk Muara,
Sungai Bambu, dan Sunter Jaya. Sedangkan Jakarta Barat juga mengalami
penambahan wilayah, yakni Duri Kepa, Jelembar Baru, Jati Pulo, Kedoya Utara,
Wijaya Kesuma, Cengkareng Barat, dan Duri Kosambi.”

Banjir tahunan Kota Jakarta menandakan solusi penanganan banjir termasuk KBB
dan KBT belum optimal. Ketidakoptimalan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah faktor alamiah (iklim dan geografis) maupun faktor non
alamiah (aktivitas penduduk dan penggunaan lahan). Faktor-faktor tersebut dapat
dijabarkan dalam poin-poin berikut :
 Faktor pertama, kegagalan kanal disebabkan karena geografis Kota Jakarta
yang datar. Selain itu, wilayah Jakarta merupakan wilayah cekungan banjir
sehingga air yang mengalir dari dari hujan lokal maupun daerah yang lebih
tinggi sulit mengalir ke laut sebagai hilir. Hal tersebut diperparah dengan
kondisi kawasan utara sekitar Ancol dan Teluk Jakarta yang mengalami
pengangkatan karena proses tektonik. Akibatnya, air dari 13 sungai yang
bermuara di Teluk Jakarta tidak bisa mengalir lancar ke laut dan kerap
terjebak di cekungan besar Jakarta. Teluk Jakarta adalah tinggian lokal,
sementara dari Pantai Teluk ke arah darat (ke selatan) adalah kawasan
rendahannya. Dataran rendahan (cekungan) ini dibatasi tinggian Ciputat. Jadi,
dari barat Ciputat hingga Teluk Jakarta ibarat sebuah mangkuk raksasa.
Jakarta tepat berada di tengah mangkuk itu sehingga secara geomorfologi
disebut dataran banjir Jakarta.
 Faktor kedua, disebabkan karena terjadinya penurunan tanah disetiap
tahunnya antara 4-20 sentimeter. Hal ini disebabkan karena cekungan Jakarta
terbentuk dari tanah sedimen muda yang tidak dapat mengalir ke laut untuk
membentuk delta akibat wilayah Jakarta yang berbentuk cekungan. Tanah
sedimen muda tersebut belum terkonsolidasi atau terpadatkan sehingga secara
geologis karakteristik tanah di Jakarta perlahan turun. Penurunan tanah
tersebut juga terjadi karena adanya pengambilan air tanah secara besar-
besaran untuk permukiman maupun bangunan baru lainnya yang selalu
bertambah setiap tahunnya.
 Faktor ketiga, sejak tahun 1960 an kawasan Jakarta yang seharusnya dijadikan
daerah luapan banjir dari sungai-sungai di Jakarta yang semestinya hanya
boleh dilakukan pembangunan maksimum 5% telah dilampaui batasnya.
Kawasan ini terus dijadikan pembangunan dan dilakukan pengurugan,
misalnya pada kawasan Teber yang sebenarnya adalah luapan banjir Sungai
Ciliwung, kawasan Mampang yang merupakan luapan banjir Sungai Krukut,
dan Kebayoran Lama yang seharusnya menjadi luapan banjir Sungai Grogol.
 Faktor keempat, adanya pelanggaran kegiatan penataan kawasan seperti alih
fungsi lahan yang terus terjadi di Jakarta itu sendiri maupun di wilayah Bogor
dan Tangerang yang merupakan wilayah dengan kondisi geografi lebih tinggi
dari Jakarta. Sejak kolonial Belanda, pemerintahan Belanda menyadari
kondisi Jakarta yang lebih rendah dari Bogor dan Tangerang untuk itu pada
masa kolonial Belanda banyak dibangun danau atau embung di Bogor
sehingga Bogor dikenal sebagai daerah 1000 danau. Namun, hal tersebut
sudah berubah dan pada saat ini kawasan Bogor dan Tangerang terus
mengalami pembangunan sehingga membuat kuantitas air yang meresap jauh
lebih sedikit dan meningkatkan kuantitas run off ke Jakarta yang merupakan
daerah cekungan dengan topografi cenderung datar.
 Faktor kelima, aktivitas masyarakat yang membuat permukiman ilegal di
bantaran sungai atau kanal seperti di beberapa ruas Cawang hingga pintu air
Manggarai yang menyebabkan terjadinya penyempitan sungai.
 Faktor keenam, kebiasaan masyarakat yang masih melakukan buang sampah
sembarangan di sungai-sungai, daratan, maupun kanal itu sendiri sehingga
membuat drainase, aliran sungai dan kanal, maupun pintu air tersumbat.
Selain itu sampah yang bertumpuk dan tidak dilakukan pengerukan akan
berubah menjadi lumpur yang mengendap dan menurunkan kapasitas kanal.
Sistem kanal tidak akan berguna, selama masyarakat masih membuang
sampah sembarangan.
 Faktor ketujuh, tingginya faktor erosi di Indonesia, termasuk Jakarta sehingga
membuat banyaknya endapan yang dibawa aliran sungai ke kanal.
Penumpukan endapan akan mengurangi kapasitas kanal.
 Faktor kedelapan, masih minimnya perawatan yang disediakan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta terhadap kanal dan sungai-sungai (Detik News, 23
November 2011). Hal ini dapat terjadi karena dana yang kurang atau
kurangnya prioritas.
 Faktor kesembilan, terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global di
seluruh dunia, sehingga membuat meningkatnya intensitas hujan yang terjadi
dan meningkatnya muka air laut sehingga kuantitas (debit) air yang dialirkan
kanal semakin meningkat dan elevasi pengaliran semakin datar sehingga air
sulit masuk ke laut.
Referensi
 Adhi Ksp, Robert (2010). Banjir Kanal Timur. Jakarta: Grasindo. hlm. 35
 http://lipi.go.id/lipimedia/bagi-jakarta-banjir-seolah-menjadi-takdir/8907
(diakses 5 April 2018)
 http://lipi.go.id/berita/single/Banjir-Meluas-karena-Tanah-Terus-Turun/8908
(diakses 5 April 2018)
 http://944.andrafarm.com/ind/2886-2783/Banjir-
Kanal_37716_trianandra_944-andrafarm.html (diakses 5 April 2018)
 http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-110708.pdf (diakses 5 April 2018)
 https://media.neliti.com/media/publications/104233-ID-implementasi-
kebijakan-pengendalian-banj.pdf (diakses 5 April 2018)
 https://www.liputan6.com/news/read/365865/program-penanggulangan-
banjir-melalui-banjir-kanal-timur (diakses 5 April 2018)
 https://news.detik.com/berita/d-1773892/belanda-kritik-kecilnya-anggaran-
pemeliharaan-kanal-banjir-di-jakarta (diakses 5 April 2018)
 Gunawan, Restu. Gagalnya Sistem Kanal : Pengendalian Banjir Jakarta dari
Masa ke Masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas (diakses 5 April 2018)

Anda mungkin juga menyukai