TL 5284
DRAINASE PERMUKIMAN BERKELANJUTAN
Oleh :
Roidah Zihni Adzani
NIM.25717012
“Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana
( BNPB) DKI Jakarta Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan jumlah titik banjir
akibat derasnya hujan pada Kamis (15/2/2018) bertambah dari data semula 53 RW
menjadi 100 RW. Penambahan titik banjir terjadi hampir di seluruh Jakarta. Untuk
Jakarta Timur yang semula hanya tiga kawasan dan empat RW kini bertambah
menjadi tujuh dengan 11 RW, yakni Jatinegara, Cakung Barat, Rawa Terate, dan Pulo
Gebang. Jakarta Pusat dari dua RW menjadi sembilan dengan adanya tambahan
wilayah banjir di Cempaka Putih Barat, Cempaka Putih Timur, Johar Baru, dan
Kartini. Semetara di Jakarta Selatan total RW yang terdampak menjadi 56. Di Jakarta
Utara, dari 19 RW saai ini menjadi 24 RW dengan tambahan wilayah Kapuk Muara,
Sungai Bambu, dan Sunter Jaya. Sedangkan Jakarta Barat juga mengalami
penambahan wilayah, yakni Duri Kepa, Jelembar Baru, Jati Pulo, Kedoya Utara,
Wijaya Kesuma, Cengkareng Barat, dan Duri Kosambi.”
Banjir tahunan Kota Jakarta menandakan solusi penanganan banjir termasuk KBB
dan KBT belum optimal. Ketidakoptimalan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah faktor alamiah (iklim dan geografis) maupun faktor non
alamiah (aktivitas penduduk dan penggunaan lahan). Faktor-faktor tersebut dapat
dijabarkan dalam poin-poin berikut :
Faktor pertama, kegagalan kanal disebabkan karena geografis Kota Jakarta
yang datar. Selain itu, wilayah Jakarta merupakan wilayah cekungan banjir
sehingga air yang mengalir dari dari hujan lokal maupun daerah yang lebih
tinggi sulit mengalir ke laut sebagai hilir. Hal tersebut diperparah dengan
kondisi kawasan utara sekitar Ancol dan Teluk Jakarta yang mengalami
pengangkatan karena proses tektonik. Akibatnya, air dari 13 sungai yang
bermuara di Teluk Jakarta tidak bisa mengalir lancar ke laut dan kerap
terjebak di cekungan besar Jakarta. Teluk Jakarta adalah tinggian lokal,
sementara dari Pantai Teluk ke arah darat (ke selatan) adalah kawasan
rendahannya. Dataran rendahan (cekungan) ini dibatasi tinggian Ciputat. Jadi,
dari barat Ciputat hingga Teluk Jakarta ibarat sebuah mangkuk raksasa.
Jakarta tepat berada di tengah mangkuk itu sehingga secara geomorfologi
disebut dataran banjir Jakarta.
Faktor kedua, disebabkan karena terjadinya penurunan tanah disetiap
tahunnya antara 4-20 sentimeter. Hal ini disebabkan karena cekungan Jakarta
terbentuk dari tanah sedimen muda yang tidak dapat mengalir ke laut untuk
membentuk delta akibat wilayah Jakarta yang berbentuk cekungan. Tanah
sedimen muda tersebut belum terkonsolidasi atau terpadatkan sehingga secara
geologis karakteristik tanah di Jakarta perlahan turun. Penurunan tanah
tersebut juga terjadi karena adanya pengambilan air tanah secara besar-
besaran untuk permukiman maupun bangunan baru lainnya yang selalu
bertambah setiap tahunnya.
Faktor ketiga, sejak tahun 1960 an kawasan Jakarta yang seharusnya dijadikan
daerah luapan banjir dari sungai-sungai di Jakarta yang semestinya hanya
boleh dilakukan pembangunan maksimum 5% telah dilampaui batasnya.
Kawasan ini terus dijadikan pembangunan dan dilakukan pengurugan,
misalnya pada kawasan Teber yang sebenarnya adalah luapan banjir Sungai
Ciliwung, kawasan Mampang yang merupakan luapan banjir Sungai Krukut,
dan Kebayoran Lama yang seharusnya menjadi luapan banjir Sungai Grogol.
Faktor keempat, adanya pelanggaran kegiatan penataan kawasan seperti alih
fungsi lahan yang terus terjadi di Jakarta itu sendiri maupun di wilayah Bogor
dan Tangerang yang merupakan wilayah dengan kondisi geografi lebih tinggi
dari Jakarta. Sejak kolonial Belanda, pemerintahan Belanda menyadari
kondisi Jakarta yang lebih rendah dari Bogor dan Tangerang untuk itu pada
masa kolonial Belanda banyak dibangun danau atau embung di Bogor
sehingga Bogor dikenal sebagai daerah 1000 danau. Namun, hal tersebut
sudah berubah dan pada saat ini kawasan Bogor dan Tangerang terus
mengalami pembangunan sehingga membuat kuantitas air yang meresap jauh
lebih sedikit dan meningkatkan kuantitas run off ke Jakarta yang merupakan
daerah cekungan dengan topografi cenderung datar.
Faktor kelima, aktivitas masyarakat yang membuat permukiman ilegal di
bantaran sungai atau kanal seperti di beberapa ruas Cawang hingga pintu air
Manggarai yang menyebabkan terjadinya penyempitan sungai.
Faktor keenam, kebiasaan masyarakat yang masih melakukan buang sampah
sembarangan di sungai-sungai, daratan, maupun kanal itu sendiri sehingga
membuat drainase, aliran sungai dan kanal, maupun pintu air tersumbat.
Selain itu sampah yang bertumpuk dan tidak dilakukan pengerukan akan
berubah menjadi lumpur yang mengendap dan menurunkan kapasitas kanal.
Sistem kanal tidak akan berguna, selama masyarakat masih membuang
sampah sembarangan.
Faktor ketujuh, tingginya faktor erosi di Indonesia, termasuk Jakarta sehingga
membuat banyaknya endapan yang dibawa aliran sungai ke kanal.
Penumpukan endapan akan mengurangi kapasitas kanal.
Faktor kedelapan, masih minimnya perawatan yang disediakan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta terhadap kanal dan sungai-sungai (Detik News, 23
November 2011). Hal ini dapat terjadi karena dana yang kurang atau
kurangnya prioritas.
Faktor kesembilan, terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global di
seluruh dunia, sehingga membuat meningkatnya intensitas hujan yang terjadi
dan meningkatnya muka air laut sehingga kuantitas (debit) air yang dialirkan
kanal semakin meningkat dan elevasi pengaliran semakin datar sehingga air
sulit masuk ke laut.
Referensi
Adhi Ksp, Robert (2010). Banjir Kanal Timur. Jakarta: Grasindo. hlm. 35
http://lipi.go.id/lipimedia/bagi-jakarta-banjir-seolah-menjadi-takdir/8907
(diakses 5 April 2018)
http://lipi.go.id/berita/single/Banjir-Meluas-karena-Tanah-Terus-Turun/8908
(diakses 5 April 2018)
http://944.andrafarm.com/ind/2886-2783/Banjir-
Kanal_37716_trianandra_944-andrafarm.html (diakses 5 April 2018)
http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-110708.pdf (diakses 5 April 2018)
https://media.neliti.com/media/publications/104233-ID-implementasi-
kebijakan-pengendalian-banj.pdf (diakses 5 April 2018)
https://www.liputan6.com/news/read/365865/program-penanggulangan-
banjir-melalui-banjir-kanal-timur (diakses 5 April 2018)
https://news.detik.com/berita/d-1773892/belanda-kritik-kecilnya-anggaran-
pemeliharaan-kanal-banjir-di-jakarta (diakses 5 April 2018)
Gunawan, Restu. Gagalnya Sistem Kanal : Pengendalian Banjir Jakarta dari
Masa ke Masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas (diakses 5 April 2018)