Anda di halaman 1dari 68

DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN..........................................................................................
1
2. PENGERTIAN YANG TERKAIT DENGAN MASALAH BANJIR.........................3
2.1. Pengertian masyarakat tentang banjir pada umumnya................3
2.2. Beberapa istilah dan pengertian teknis yang terkait.....................7
dengan banjir, masalah banjir dan upaya mengatasi masalah
banjir
3. BANJIR, MASALAH BANJIR DAN PROSES TERJADINYA...........................14
MASALAH BANJIR

4.

3.1.

Banjir dan masalah banjir...........................................................14

3.2.

Proses terjadinya masalah banjir................................................16

UPAYA UNTUK MENGATASI MASALAH BAN11R.....................................28


4.1.

Konsep dasar...............................................................................28

4.2.

Upaya fisik atau struktur............................................................33


4.2.1. Beberapa jenis kegiatan yang merupakan upaya..........33
struktur
4.2.2. Sistem pengendati banjir...............................................41
4.2.3. Teknik sungai sebagai dasar perekayasaan...................42
sistempengendali banjir

4.3.

Upaya nonfisik atau nonstruktur.................................................44

4.4.

Pengelolaan dataran banjir.........................................................49


4.4.1. Prinsip dasar pengelolaan dataran banjir.......................49
4.4.2. Pengelolaan dataran banjir di DKI Jakarta......................50

5. RESUME................................................................................................. 53
5.1.

Upaya mengatasi masalah banjir................................................53

5.2.

Upaya yang perlu segera dilakukan............................................57

6. PENUTUP................................................................................................ 59

UPAYA MENGATASI MASALAH BANJIR SECARA


MENYELURUH
Oleh: Ir. Siswoko Sastrodihardjo, Dipl. HE

1. Pendahuluan.
Hampir seluruh negara di dunia ini mengalami masalah banjir, tidak
terkecuali di negara-negara yang telah maju sekalipun. Masalah tersebut
sesungguhnya telah mulai muncul sejak manusia bermukim dan melakukan
berbagai kegiatan di kawasan yang berupa dataran banjir (flood-plain)
suatu sungai. Kondisi lahan di kawasan ini pada umumnya subur serta
menyimpan berbagai potensi dan kemudahan sehingga mempunyai daya
tarik yang tinggi untuk dibudidayakan. Oleh sebab itu kota-kota besar serta
pusat-pusat perdagangan dan kegiatan-kegiatan penting lainnya seperti
kawasan industri, pariwisata, prasarana perhubungan dan sebagainya
sebagian besar tumbuh dan berkembang di kawasan ini. Sebagai contoh, di
Jepang sebanyak 49 % jumlah penduduk dan 75% properti berada di
dataran banjir yang luasnya hanya 10 % dari luas daratan; sedangkan
sisanya 51 % jumlah penduduk dan 25 % properti berada di luar dataran
banjir yang luasnya 90 % dari luas daratan. Hampir seluruh kotakota besar
di Indonesia juga berada di dataran banjir (Tabel 1).
Selain memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, dataran
banjir sebenarnya juga mengandung potensi yang merugikan sehubungan
dengan terdapatnya ancaman berupa luapan dan genangan banjir yang
dapat

menimbulkan

kerusakan

dan

bencana.

Seiring

dengan

laju

pertumbuhan pembangunan fisik yang sebagian besar berada di dataran


banjir maka potensi terjadinya kerusakan dan bencana tersebut mengalami
peningkatan pula dari waktu ke waktu.

_________________________________________________
1

Pemerhati masalah banjir dan Sumber Daya Air, Pensiunan Direktur Jenderal Sumber Daya Air

Departemen Pekerjaan Umum (Mei 2005-Juli 2007), Ketua Global Water Partnership-southestAsi
(2007-2009).

Tabel 1. Beberapa kota besar di Indonesia yang sebagian atau

seluruhnya berada di dataran banjir.


No.
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Kota
Jakarta

Semarang
Bandung Selatan
Surabaya
Palembang
Padang
Pekanbaru
Jambi
Medan
Banda Aceh
Pontianak
Banjarmasin
Samarinda
Makassar
Gorontalo

Sungai
Kamal, Tanjungan, Angke, Pesanggrahan,
Sekretaris,
Grogol,
Krukut,
Cideng,
Ciliwung,
Cipinang,
Sunter,
Buaran,
Jatikramat, Cakung.
Kali Garang/Kali Semarang
Sungai Citarum Hulu
Kali Brantas
Sungai Musi
Batang Arau, Batang Kuranji, BAtang Air
Dingin
Sungai Siak
Sungai Batanghari
Sungai Belawan, Deli, Dabura, Percut, Kera
Krueng Aceh
Sungai Kapuas
Sungai Barito
Sungai Mahakam
Sungai Jeneberang
Sungai Bone, Bolango, Talamate

Hampir seluruh kegiatan penanganan masalah banjir sampai saat ini


dilakukan oleh pemerintah, lewat berbagai proyek pembangunan dengan
lebih mengandalkan pada upaya yang bersifat fisik atau struktur (structural
measures). Berbagai upaya yang telah dilakukan pada umumnya masih
sangat kurang memadai bila dibandingkan dengan laju peningkatan
masalah. Masyarakat baik yang secara langsung menderita masalah
maupun yang tidak langsung menyebabkan terjadinya masalah masih
kurang berperan baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan operasi
serta pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana fisik pengendali banjir,
maupun terhadap upaya-upaya nonfisik. Hal itu kemungkinan besar
disebabkan adanya berbagai kendala yang ada di masyarakat antara lain
menyangkut

kondisi

sosial

ekonomi

serta

belum

adanya

kesamaan

pemahaman terhadap upaya mengatasi masalah banjir.


Masalah banjir berdampak sangat luas terhadap berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Oleh sebab itu upaya untuk mengatasinya harus merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai kegiatan pembangunan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perubahan lingkungan
yang terjadi sebagai dampak dari berbagai kegiatan manusia termasuk

perubahan iklim berkenaan dengan pemanasan global, berpengaruh sangat


signifikan terhadap upaya mengatasi masalah banjir, antara lain dengan
terjadinya kenaikan muka air laut dan peningkatan frekuensi curah hujan
yang tinggi. Pembangunan fisik baik di perkotaan maupun di perdesaan
dengan membudidayakan kawasan yang berupa dataran banjir yang rawan
tergenang banjir masih terus berlangsung, demikian pula perusakan
lingkungan di daerah aliran sungai, sehingga masalah banjir masih terus
meningkat dari waktu ke waktu. Sehubungan dengan itu maka upaya untuk
mengatasinya

perlu

lebih

ditingkatkan.

Untuk

itu

diperlukan

penyempurnaan atau bahkan perubahan paradigma, kebijakan, strategi dan


kegiatan penanganan masalah banjir ke depan, baik yang menyangkut
aspek-aspek teknis maupun nonteknis.
Secara visual genangan dapat terjadi sebagai akibat: luapan air dari
sungai (lazim disebut banjir); akibat hujan setempat yang kurang lancar
masuk ke saluran drainase atau ke sungai sehingga menimbulkan
genangan (lazim disebut genangan); dan genangan akibat air laut masuk
ke daratan pada saat air pasang (di Semarang dan Jakarta lazim disebut
rob), atau gabungan dari keduanya ataupun ketiganya; seperti halnya
yang sering terjadi di Jakarta dan Semarang. Pembahasan rinci tentang
genangan yang terkait dengan drainase permukiman dan perkotaan
(urban drainage) serta rob tidak masuk dalam buku ini.
Buku ini hanya menguraikan tentang banjir, masalah banjir dan upaya
mengatasinya secara umum, dan tidak menguraikan kebijakan, stategi
dan upaya mengatasi masalah banjir secara rinci. Beberapa hal yang
dikemukakan
mendasar;

dalam

antara

buku

lain

ini

terbatas

pada

menyangkut istilah

hal-hal

dan

yang

sangat

pengertian,

proses

terjadinya masalah banjir, dan upaya mengatasi masalah banjir secara


menyeluruh, dengan tujuan utama untuk menyamakan pengertian dan
pemahaman bagi seluruh stakeholders. Upaya penyamaan pemahaman
itu sangat penting agar terjadi sinergi diantara para stakeholders dalam
ikut berperan serta mengatasi masalah.

2. Pengertian yang terkait dengan masalah banjir.

2.1. Pengertian masyarakat tentang banjir pada umumnya.


Masalah banjir dapat dipastikan selalu muncul pada setiap tahun dan
selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Namun demikian beberapa
istilah, pengertian dan pemahaman yang menyangkut banjir, masalah
banjir dan upaya untuk mengatasinya yang telah populer dan beredar
luas di masyarakat, media masa, maupun di lingkungan aparatur
pemerintah sendiri sampai saat ini tampaknya masih rancu. Kerancuan,
ketidak seragaman pengertian dan pemahaman terhadap masalah ini
berdampak kurang kondusif terhadap upaya mengatasi masalah banjir.
Dampak tersebut antara lain dapat berupa kesalahan dalam menetapkan
kebijakan, strategi dan upaya yang dilakukan, serta kurangnya kepedulian
dan peran serta masyarakat dalam mengatasi masalah banjir. Sebagian
besar masyarakat

pada saat ini masih

beranggapan

bahwa upaya

mengatasi masalah banjir adalah merupakan kewenangan dan tanggung


jawab pemerintah sepenuhnya. Demikian pula adanya pemahaman yang
tidak tepat terhadap kinerja sistem pengendali banjir, yang menganggap
bahwa begitu sistem pengendali banjir selesai dibangun masalah banjir
pasti atau harus hilang; dan apabila ternyata masih terjadi maka dianggap
ada sesuatu yang tidak beres.
Ada indikasi masih terbatasnya pemahaman masyarakat menyangkut
masalah banjir dan upaya mengatasinya, tercermin dari berbagai ungkapan
atau pernyataan dan pertanyaan di masyarakat yang sering muncul di
berbagai media, antara lain:

Mengapa para insinyur tidak dapat mengatasi masalah banjir dengan


tuntas?

Kapankah wilayah DKI Jakarta akan bebas banjir? Berapa milyar/triliun


dana yang masih diperlukan untuk itu?

Untuk membebaskan wilayah DKI Jakarta terhadap masalah banjir


diperlukan dana untuk proyek sekian triliun rupiah selama sekian tahun.

Wilayah DKI Jakarta bagian timur akan terbebas dari genangan banjir
apa bila Banjir Kanal Timur telah selesai dibangun.

Berbagai proyek untuk menangani masalah banjir dengan biaya yang


besar telah dilaksanakan, akan tetapi mengapa masalah banjir tetap
saja meningkat?

Warga DKI Jakarta yang tempat tinggalnya tergenang pada saat banjir,
mendatangi kantor Proyek Pengendalian Banjir untuk mengajukan protes
kenapa Proyek tidak mampu membebaskan tempat tinggalnya dari
banjir.

Clash action telah beberapa kali dilakukan oleh warga DKI Jakarta dan
di kota-kota lain kepada pemerintah daerah setempat yang dinilai tidak
mampu mengatasi masalah banjir dengan tuntas.

Bukankah masalah banjir itu justru "dipelihara" oleh para tukang insinyur
agar pekerjaannya tidak segera habis?

Pengendalian banjir konon dinyatakan untuk debit banjir periode ulang


25 tahunan, akan tetapi mengapa proyek baru saja selesai dikerjakan
telah terjadi banjir lagi?

Harian Pikiran Rakyat, 12-02-94 menulis: "900 ha lahan banjir di


Cekungan Bandung untuk kawasan industri". (Catatan: lahan yang
berada

di

"cekungan

Bandung"

da~i

hasil

studi

"Flood-plain

management plan for Upper Citarum Basin (93)" hanya layak


untuk

kolam

ikan

atau

kolam

pemancingan

dan

bukan

untuk

permukiman, apa lagi untuk kawasan industri).

Bangunan yang dibuat oleh masyarakat telah mengikuti IMB dan berada
di atas "peil banjir" yang resmi ditetapkan oleh pemerintah, tetapi
mengapa masih saja tergenang banjir?

Terjadinya genangan dan banjir di DKI Jakarta dan sekitarnya adalah


akibat "kiriman" dari Bogor Jawa Barat, karena pintu air Katulampa
dibuka. (Catatan: yang sebenarnya ada di Bogor adalah bendung (weir)
Katulampa di Sungai Ciliwung yang dibangun pada zaman Belanda untuk
keperluan

irigasi.

Pintu

air

yang

ada

merupakan

bangunan

pengambilan (intake) untuk irigasi yangjustru ditutup pada saat


banjir. Diatas mercu bendung tersebut dipasang alat pencatat atau
pengukur tinggi limpasan yang di musim hujan dimonitor terus,
dan merupakan bagian dari sistem peringatan dini banjir di

Jakarta. Oleh karena itu air banjir Sungai Ciliwung yang mengalir
ke Jakarta adalah merupakan aliran alamiah tanpa ada rekayasa.
Bendung Katulampa hanya merupakan bangunan peninggi muka
air, dan bukan bendungan sehingga di hulu bendung juga tidak
terdapat waduk. Istilah banjir kiriman dapat memicu terjadinya
konflik antara masyarakat di hulu yang dianggap "mengirim banjir"
dengan masyarakat di hilir yang "dikirim banjir"; pada hal air
memang mengalir dari hulu ke hilir secara alamiah dan bukan
kehendak masyarakat yang tinggal di hulu).

Analog dengan pernyataan diatas: Terjadinya banjir di Riau adalah


akibat "banjir kiriman" dari Sumatera Barat. Terjadinya banjir di
Bojonegoro adalah akibat "banjir kiriman" dari Solo dan Madiun,
dan seterusnya!

Berbagai pengembang real estat yang membangun di dataran


banjir dan mengiklankan dagangannya yang konon "bebas banjir
sampai tua".

Kebingungan Kasatker (Pimpro) gara-gara dipanggil Pak Jaksa dan


atau Pak Polisi karena dianggap melakukan kesalahan sehubungan
dengan

tanggul

yang

dibangunnya

mengalami

jebol

terlanda

banjir.

Jangan hanya pandai menyalahkan alam. (Catatan: alam ciptaan Tuhan


YME memang tidak boleh disalahkan, namun upaya manusia untuk
mengendalikannya yang terbatas, dan sering kali fenomena alam
termasuk dampak dari berbagai kegiatan manusia itu sendiri lebih
dominan dari pada upaya manusia, dan oleh karenanya diperlukan
upaya lain yang berupa penyesuaian diri atau adaptasi dengan
alam).

Pertanyaan yang ditujukan kepada penulis (tahun 2006): Sebagai


seorang Dirjen Sumber Daya Air di Departemen Pekerjaan Umum,
kenapa Bapak malah sering mengemukakan penanganan masalah
banjir secara nonfisik?.

Pernyataan politis dari seorang pejabat tinggi negara sesaat setelah


terjadi bencana banjir di DKI Jakarta pada awal bulan Februari tahun

2007: "Tahun depan (2008) DKI Jakarta tidak boleh tergenang banjir
lagi"

Seberapa besar keterlibatan dan kesalahan alumni Fak Teknik Jurusan


Sipil

Universitas

"X"

pada

Proyek

Pengendalian

Banjir

Sungai

Bengawan Solo di bidang perencanaan dan pelaksanaan, sehingga


masih terjadi bencana banjir di sungai itu pada akhir bulan Desember
2007?

Genangan banjir di jalan tol Sedyatmo disebabkan hilangnya daerah


resapan dan parkir air di sekitarnya. (Catatan: apakah benar daerah
rawa di tepi laut merupakan daerah resapan dan parkir air? Parkir air
atau

detention/retention

pond

untuk

pengendali

banjir,

pada

umumnya berada di bagian tengah dan atau di hulu dan bukan di


muara; sedangkan rawa di tepi laut itu jelas bukan merupakan
daerah resapan karena muka air alamiahnya sudah lebih tinggi dari
permukaan tanah).

Disamping ungkapan dan pertanyaan tersebut diatas, yang agak


mengherankan terdapat juga pertanyaan yang disampaikan oleh
pakar banjir dari Amerika Serikat di salah satu majalah pada tahun
1993 yang bernadakan kebingungan dan frustrasi, sebagai berikut:
"The flood that devastated the Mississippi and Missouri river valleys in
1993 have created two questions: Is our approach to flood control
correct? And where do we go from here?" (Catatan: sungai Mississippi
dan Missouri pada waktu itu telah dilengkapi prasarana pengendali banjir
berupa tanggul untuk debit banjir rencana 100 tahunan; namun banjir
yang terjadi pada tahun 1993 konon dengan debit 500 tahunan sehingga
80% tanggul rusak dan runtuh. Terjadi kebimbangan apakah tanggul
yang rusak itu perlu diperbaiki dengan resiko bakal runtuh lagi, ataukah
dana perbaikan tersebut dibagikan saja kepada warga yang terkena
bencana untuk menyesuaikan bangunan atau rumahnya agar adaptif
terhadap kemungkinan terjadinya banjir).

Buku

ini

disiapkan

antara

lain

untuk

mencoba

mengklarifi kasi

berbagai ungkapan atau pertanyaan dan pernyataan tersebut diatas


tanpa ada maksud untuk menggurui, dengan harapan akan terjadi
pencerahan dan penyamaan pemahaman diantara para pihak yang
berkepentingan (stakeholders) terhadap masalah ini.

2.2. Beberapa istilah dan pengertian teknis yang terkait dengan


banjir, masalah banjir dan upaya mengatasi masalah
banjir.

Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa
jaringan pengaliran air mulai dari hulu baik yang ada mata air maupun
tidak ada mata air sampai muara di laut, dengan dibatasi kanan dan kiri
di sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan (Gambar 1).

Daerah aliran sungai (DAS) yang dalam bahasa Inggris disebut river
basin atau catchment area, adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas
di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan
(Gambar 1). Istilah DAS di media masa masih sering keliru, dan rancu
dengan pengertian sungai.

Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air


dalam satu atau lebih daerah aliran sungai (DAS) dan/atau pulaupulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2
(Gambar 1).

Gambar 1. Bentuk ideal Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Wilayah


Sungai

Dataran aluvial yang berada di bagian hilir sungai secara alamiah


terbentuk dari endapan sedimen yang terbawa oleh aliran sungai yang

meluap pada saat debit sungai melebihi kapasitas palung sungainya.


Oleh karena itu dataran aluvial ini juga disebut dataran banjir (flood
plain). Sedangkan palung sungai (low water channel) terbentuk
secara alamiah oleh aliran air dan angkutan sedimen yang terbawa
aliran. Besarnya aliran air pembentuk palung sungai alamiah tersebut
disebut debit dominan, yang menurut para pakar morfologi sungai
besarannya berkisar antara debit tahunan sampai debit 2 tahunan.
Oleh sebab itu pada saat debit sungai di bagian hilir lebih besar dari
debit dominan

tersebut,

pasti

terjadi

luapan

atau

banjir yang

menggenangi dataran banjir (Gambar 2).


Syair lagu "Bengawan Solo" ciptaan Eyang Gesang yang antara lain
menyatakan bahwa air sungai Bengawan Solo pada musim hujan
meluap sampai jauh, adalah merupakan ungkapan yang sangat tepat;
tanpa menyebutkan apakah luapan itu menimbulkan masalah atau
tidak. Berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 63/ 1993 tentang Garis
Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan
Sungai

dan

Bekas

Sungai,

batas

dataran

banjir

ditetapkan

berdasarkan debit banjir rencana sekurang-kurangnya untuk periode


ulang 50 tahunan (Gambar 3 dan 4). Contoh: kurang lebih 40-50% dari
wilayah DKI Jakarta berada di dataran banjir ke 14 sungai (Kamal,
Tanjungan, Angke, Pesanggrahan, Sekretaris, Grogol, Krukut, Cideng,
Ciliwung,

Cipinang,

Sunter,

Buaran,

Jatikramat,

dan

Cakung).

Sesungguhnya real estat, hotel mewah, pertokoan, perkantoran, dan


perumahan mewah serta seluruh prasarana perkotaan di DKI Jakarta
yang terendam banjir antara bulan JanuariFebruari pada tahun-tahun
1996, 2002, dan 2007, semuanya berada di dataran banjir (Gambar
5).

Gambar 2. Sket definisi Banjir dan Masalah Banjir

Gambar 3. Sket definisi Sungai dan Dataran Banjir

10

Gambar 4. Sket definisi Sempadan Sungai menurut Peraturan


Menteri PU No.63 Tahun 1993.

Gambar 5. Dataran banjir di DKI Jakarta.

11

Bantaran sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung


sungai dihitung dari tepi sungai sampai dengan tepi tanggul
sebelah dalam. Fungsi bantaran sungai adalah tempat mengalirnya
sebagian debit sungai pada saat banjir (high water channel).
Sehubungan dengan itu maka pada bantaran sungai dilarang
membuang

sampah

dan

mendirikan

bangunan

untuk

hunian

(Gambar 6).

Gambar 6. Sket pengendalian banjir dengan membangun


tanggul

Garis sempadan (GS) sungai adalah garis batas luar pengamanan


sungai (Gambar 2,3,4 dan 6). Dalam RPP Sungai (April 2009)
ruang di antara dua garis sempadan tersebut diusulkan untuk
disebut "ruang milik sungai".

Daerah penguasaan sungai adalah dataran banjir, daerah retensi


banjir, bantaran atau daerah sempadan yang tidak dibebaskan
(Gambar2). Dalam RPP Sungai, dataran banjir diusulkan untuk
disebut "ruang pengawasan sungai"

12

Pengendalian

banjir

(fl ood

control)adalah

upaya

mengatasi

masalah banjir menggunakan prasarana fisik atau struktur di


sungai

(on

stream),

untuk

mengatasi

masalah

banjir

secara

represif yang didasarkan pada debit banjir rencana tertentu sesuai


kelayakannya, dan bukan didasarkan pada debit banjir terbesar
yang mungkin dapat terjadi (probable

maximum fl ood/PMF).

Prasarana fisik yang dimaksud antara lain: tanggul banjir, waduk,


situ, retention basin, detention basin, sudetan, pelindung atau
perkuatan tebing sungai, krib, pintu air, pompa, dan sebagainya.

Penanggulangan banjir adalah upaya dalam rangka tanggap darurat


yang dilakukan sebeium, pada saat dan sesaat setelah terjadinya
bencana banjir. Istilah ini sering dirancukan dengan pengendalian banjir.

Debit banjir rencana dan periode ulang banjir.


Besarnya debit air yang mengalir di sungai selalu berubah dan tidak
tetap, oleh karena itu debit air di sungai selain dinyatakan berdasarkan
volume air yang mengalir per satuan waktu (m 3/dt), juga dinyatakan
menurut periode ulangnya. Contoh: Debit banjir sungai Citanduy untuk
periode ulang 25 tahunan misalnya sebesar 1.000 m 3/dt, dan untuk
periode ulang 100 tahunan sebesar 2.500 m 3/dt. Pernyataan atau
istilah yang biasa digunakan oleh para pakar hidrologi tersebut
seringkali menyesatkan masyarakat (misleading), karena masyarakat
pada umumnya beranggapan bahwa debit banjir sebesar 1.000
m3/dt tersebut terjadi setiap 25 tahun sekali secara periodik,
demikian pula debit banjir sebesar 2.500 m 3/dt terjadi setiap 100
tahun sekali. Dengan anggapan tersebut maka bila tanggul sungai
Citanduy direncanakan dan dibangun dengan debit banjir 25 tahunan
sebesar 1.000 m 3/dt, maka selama 25 tahun kedepan sejak tanggul
dibangun, masyarakat yang dilindungi tanggul akan merasa aman
dan tidak perlu khawatir terjadi banjir yang lebih besar karena banjir
dengan debit 2.500 m 3/dt toh akan datang hanya setiap 100 tahun
sekali! Pemahaman tersebut salah, dan yang benar adalah: untuk
setiap tahun, kemungkinan terjadi debit banjir sama atau lebih besar
dari 1.000 m 3/dt di sungai Citanduy adalah sebesar 100:25=4
(empat) persen, dan untuk setiap tahun kemungkinan terjadi debit
banjir sama atau lebih besar dari 2.500 m 3/dt di sungai Citanduy

13

adalah sebesar 100:100=1 (satu) persen. Dengan demikian maka


untuk

setiap

tahun

debit

banjir

dengan

besaran

berapapun

kemungkinan bisa terjadi, dan oleh sebab itu maka masyarakat yang
terlindungi

prasarana

pengendali

banjir

(yang

direncanakan

berdasarkan debit banjir tertentu) harus tetap waspada setiap saat,


karena selalu terdapat kemungkinan kapasitas prasarana pengendali
banjir tersebut terlampaui oleh debit banjir yang lebih besar. Debit
banjir rencana untuk beberapa negara di dunia dapat diperiksa pada
Tabel 2.

Tabel 2. Standar Banjir Rencana di berbagai Negara

Australia (1)
Bulgaria (1)

Commercial
50-100
100-500

China (2)
Chechoslova
Hongkong

200
100
50-200

50
50-200

50-200

10200

India (2)
Indonesia (1)
Japan (1)

50
5-100
10-200

5-100
10-200

5-100
10-200

Malaysia (3)
Phillippinest
(2)
Poland (1)
Turkey (1)
Thailand (1)
UK (1)
USA (1)

5-100
100

5-100

5-100

5-50
10200
5-100
50-70

1.000
100-500
25-100
10-100
25-100

500
100-500
25-100
10-100
25-100

Country

Industrial
50-100

Residental
50-100

Pural
30100
100

100
25-100
10-100
25-100

Agricultur
5-50
5-10
7-10
2-5
25
5-25
10-200
5-30
20-100
50-200
1-10
5-25

Notes :
(1)
Standards refer to river training and fl ood control
(2)
These standards are for levee design
(3)
Designs also check that 100-year fl ood line is below ground line of buildings
Sumber : Manual ESCAP

Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak ada satu pun negaranegara di dunia


ini yang menangani masalah banjir atau membangun sistem pengendali
banjirnya dengan berdasarkan debit banjir terbesar yang kemungkinan
terjadi (probable maximun flood).
Istilah dan pengertian yang kurang pas namun telah "kaprah" yang
terlanjur beredar dan berkembang di masyarakat antara lain tentang:

14

banjir kiriman, kawasan bebas banjir, pengamanan banjir, pengendalian


banjir yang dirancukan dengan penanggulangan banjir, dan sebagainya.
Instilah-istilah yang salah tersebut meskipun telah kaprah seyogyanya
tidak digunakan karena dapat menimbulkan salah pengertian atau salah
persepsi.

15

3. Banjir, masalah banjir, dan prosesterjadinya masalah banjir.


3.1. Banjir dan masalah banjir
Berdasarkan

kamus

International

Commission

on

Irrigation

and

Drainage (ICID), banjir ("fl ood") didefi nisikan sebagai berikut: "A
relatively high fl ow or stage in a river, markedly higher than usual;
also the inundation of low land which may result there from. A body
of water, rising, swelling, and overfl owing land not usually thus
covered". Defi nisi banjir menurut kamus tersebut sama sekali tidak
mengandung
maupun

pengertian

bencana

adanya

gangguan,

terhadap

umat

kerusakan,

manusia,

kerugian

dan

hanya

menggambarkan suatu kejadian/gejala/peristiwa. Kejadian tersebut


tidak selalu berakibat buruk terhadap kehidupan manusia, sehingga
perlu dibedakan antara banjir yang menimbulkan masalah terhadap
kehidupan

manusia

(masalah

banjir),

dan

banjir

yang

tidak

menimbulkan masalah. Kejadian banjir dapat mendatangkan manfaat


bagi manusia dan lingkungan dengan terjadinya proses kolmatase di
dataran

banjir

yang

berupa

rawa-rawa.

Luapan

banjir

selain

membawa sedimen juga membawa unsur hara yang justru dapat


menyuburkan tanah di dataran banjir. Genangan yang terjadi di
dataran

banjir

akibat

luapan

sungai

berubah

menjadi

masalah

apabila dataran banjir tersebut mulai dikembangkan/ dibudidayakan


oleh

manusia

untuk

memenuhi

berbagai

keperluannya

tanpa

memperhatikan atau mempertimbangkan adanya resiko terjadinya


genangan banjir (Gambar 2 dan Gambar 7). Genangan yang terjadi
sehubungan dengan aliran di saluran drainase akibat hujan setempat
yang terhambat masuk ke saluran induk dan atau ke sungai, sering
kali juga disebut banjir. Untuk membedakan antara genangan akibat
luapan sungai dengan genangan akibat hujan setempat yang kurang
lancar mengalir ke saluran drainase atau ke sungai, atau akibat
keduanya; sering kali mengalami kesulitan (Gambar 8)

16

Gambar 7. Skema definisi Banjir dan Masalah Banjir

Gambar 8. Sket terjadinya masalah Genangan

17

3.2. Proses terjadinya masalah banjir


Masalah banjir pada umumnya terjadi akibat adanya interaksi berbagai
faktor penyebab, baik yang bersifat alamiah maupun berbagai faktor lain
yang merupakan akibat/pengaruh/dampak kegiatan manusia (Gambar 9).
Seberapa besar peran dari masing-masing faktor penyebab, sangat sulit
untuk dianalisis dan ditentukan.
Berbagai faktor yang bersifat alamiah dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok
sebagai berikut:

Kelompok pertama menyangkut kondisi alam yang relatif tidak berubah


antara lain meliputi: kondisi fisiografi dan alur sungai ( terjadinya
pembendungan/

hambatan

akibat

alur

sungai

yang

bermeander;

terdapat bottle-neck; ambal alam; kemiringan dasar sungai yang


landai); dan

Kelompok kedua menyangkut peristiwa/kejadian/fenomena alam yang


berubah-ubah bersifat dinamis, antara lain: curah hujan yang tinggi;
pembendungan di muara sungai akibat pasang dari laut; pembendungan
dari sungai induk terhadap aliran di anak sungai; amblesan tanah (land
subsidence); dan sedimentasi (agradasi dasar sungai). Fenomena alam
seperti halnya hujan (menyangkut intensitas, durasi, kapan dan dimana
terjadinya) adalah diluar kendali manusia. Masalah banjir menjadi
semakin berat sehubungan dengan fenomena alam yang berupa
perubahan
pemanasan

iklim

(climate

change)

global. Berbagai

berkenaan

gejala perubahan

dengan

terjadinya

iklim antara

lain:

frekuensi terjadinya curah hujan yang tinggi (heavy precipitation)


meningkat yang berpengaruh terhadap perhitungan debit banjir, dan
kenaikan permukaan air laut yang berdampak sangat buruk terhadap
upaya mengatasi masalah banjir di wilayah pesisir/pantai, mengingat
hampir semua kota besar di Indonesia tumbuh dan berkembang di
wilayah ini.
Pengaruh kegiatan manusia antara lain berupa:

Pengembangan atau pembudidayaan dan penataan ruang di dataran


banjir yang kurang bahkan tidak mempertimbangkan adanya ancaman
atau resiko tergenang banjir. Para planner pada umumnya belum dapat
membedakan antara bantaran sungai dengan dataran banjir. Lahan di

18

bantaran sungai memang dilarang untuk dibudidayakan menjadi kawasan


permukiman

dan

lainnya,

namun

lahan

di

dataran

banjir

dapat

dibudidayakan dengan mengikuti persyaratan-persyaratan tertentu agar


resiko apabila tergenang banjir menjadi sekecil mungkin.

Gambar 9. Skema terjadinya Masalah Banjir

Kawasan perkotaan sebagian besar tumbuh dan berkembang di dataran


banjir. Dengan tingkat urbanisasi yang relatif tinggi maka lahan yang
semula berupa rawa dan sawah kenyataannya telah dan kemungkinan
akan terus berubah menjadi kawasan permukiman, perdagangan, industri
dan lain-lain. Dengan pola pembangunan perumahan yang cenderung ke
arah horizontal, bukan rumah susun dan juga bukan rumah panggung,
maka masalah banjir terus meningkat dengan cepat. Di kawasan
perdesaan

(rural)

terjadi

masalah

yang

sama,

yaitu

dengan

berkembangnya desa-desa dan kampung yang baru, termasuk lahan


permukiman transmigran yang kebanyakan juga berada di dataran banjir.
Dataran banjir yang telah dilindungi dengan prasarana fisik pengendali
banjir sering kali dianggap oleh masyarakat termasuk para planner sudah
aman

dan

bebas

banjir

sehingga

mereka

merasa

bebas

untuk

19

mendayagunakannya; pada hal resiko terjadinya genangan banjir masih


tetap ada (Gambar 10, 11, dan 12)

Gambar 10. Banjir di DKI Jakarta, Februari 2007

20

Gambar 11. Banjir di DKI Jakarta, Februari 2007

Gambar 12. Banjir di DKI Jakarta, Februari 2007

Pembudidayaan dataran banjir tidak hanya terbatas untuk kawasan


permukiman atau perkotaan, industri, perdagangan, dan transportasi

21

dengan nilai investasi dan dengan jumlah penduduk yang relatif besar,
namun juga untuk kawasan pertanian termasuk perikanan/tambak.

Pembudidayaan

dan

penataan

ruang

DAS

hulu

yang

kurang

memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Luas dan jumlah


DAS kritis masih terus meningkat dari tahun ke tahun, yang menandakan
bahwa upaya konservasi yang dilaksanakan yang antara lain meliputi
kegiatan

penataan

ruang, penghijauan,

reboisasi,

terasering,

dan

pengaturan pola bercocok tanam di lahan kering; baik yang dikerjakan


secara sektoral maupun lewat berbagai gerakan nasional seperti GNRHL,
GERHAN, GNKPA, dan sebagainya, belum sebanding dengan laju
perusakan lahan dan penggundulan hutan (Gambar 13 dan Gambar
14). Oleh karenanya debit puncak banjir dan erosi serta sedimentasi
masih

cenderung

meningkat.

Angkutan

sedimen

yang

berlebihan

menimbulkan pendangkalan danau dan waduk serta agradasi atau


pendangkalan dasar sungai terutama di bagian hilir. Dilain fihak debit
puncak banjir yang mengalir di sungai semakin membesar, sehingga
masalah banjir menjadi semakin besar pula.

Gambar 13. Kerusakan DAS hulu

22

Gambar 14. Kondisi hutan DAS K. Brantas 2005

Pembudidayaan daerah manfaat atau daerah milik sungai termasuk


bantaran sungai untuk permukiman seperti contohnya di sepanjang
Kali Krukut di DKI Jakarta. Di lokasi tersebut banyak terdapat rumah
permanen yang konon dibangun dengan mendapat IMB resmi dari
Pemda setempat. Selain menghambat atau membendung aliran
sungai sehingga sungai meluap, penghuni rumah-rumah tersebut
hampir setiap tahun terkena masalah banjir.

Semakin

lunturnya

budaya

dan

kearifan

lokal

di

bidang

pembangunan perumahan tradisional seperti halnya pembuatan


rumah panggung yang ramah dan adaptif terhadap lingkungan
termasuk terhadap genangan banjir. Tradisi membangun rumah
panggung bagi masyarakat yang antara lain bermukim di dataran
banjir sungai-sungai di Sumatra (Gambar 15) dan Kalimantan serta di
pulau-pulau lain nampaknya semakin ditinggalkan. Sejalan dengan
itu, kemandirian masyarakat dalam berupaya dan berperan serta
secara langsung ikut mengatasi masalah banjir juga semakin hilang,

23

dan menjadi sangat tergantung pada upaya yang dilakukan oleh


pemerintah. Di lain fihak, pemerintah mengalami kesulitan untuk
menangani masalah banjir secara fisik pada sungai-sungai yang relatif
besar seperti misalnya Kampar, Inderagiri, Batanghari, Kapuas, dan
yang lainnya, karena biaya untuk pembangunan fisik pada sungaisungai tersebut sangat mahal dan tidak sebanding dengan besarnya
kerugian yang diderita masyarakat.

Gambar 15. Rumah panggung di Desa Mekarsari Kec. Kumpeh Ilir,


Kab. Muaro Jambi (Kompas, Januari 2005)

Pembangunan permukiman dan prasarana publik seperti misalnya


jalan dan saluran drainase lingkungan yang kurang atau tidak
berwawasan konservasi sehingga debit banjir di sungai membesar
sebagai akibat berkurangnya air hujan yang terserap masuk ke dalam
tanah;

Bangunan silang seperti bendung, jembatan, bendung gerak, goronggorong, sipon, pipa air, pipa gas, saringan sampah, dan lainnya dapat
menghambat atau membendung aliran sungai di saat banjir bila tidak
direncanakan, dilaksanakan serta dioperasikan dan dipelihara dengan
baik dan juga tidak mendapat saran, masukan serta pengawasan dari
pengelola sungai (Gambar 16 dan 17);

24

Gambar 16. Pintu Air Karet di Banjir Kanal Barat, DKI Jakarta,
4 Februari 2007

Gambar 17. Pintu Air Karet di Banjir Kanal Barat, DKI Jakarta,
4 Februari 2007

Sampah padat yang dibuang di sungai mengurangi kapasitas


pengaliran sungai (Gambar 16 dan IS). Masalah ini terkait dengan

25

sistem pengelolaan sampah terutama di perkotaan yang pada


umumnya belum memadai. Masalah sosial ekonomi dan pendidikan
masyarakat kemungkinan menjadi salah satu faktor penghambat
bagi upaya pengelolaan sampah yang baik. Bagi masyarakat yang
kurang mampu dan terpaksa tinggal di sepanjang bantaran sungai,
sungai dan saluran drainase nampaknya menjadi tempat yang
paling pas bagi mereka untuk menaruh sampahnya.

Gambar 18. Sampah di Banjir Kanal Barat di hulu jembatan Jl.


Hasyim Ashari, DKI Jakarta, 4 Februari 2007

Amblesan permukaan tanah di kawasan perkotaan yang antara lain


akibat penyedotan air tanah yang berlebihan. Di bagian utara DKI
Jakarta amblesan permukaan tanah berkisar antara 2cm sampai
dengan 9 cm untuk setiap tahun. (Gambar 19). Masalah banjir dan
rob di DKI Jakarta semakin berat dengan kejadian ini.

26

Gambar 19. Peta kontour amblesan permukaan tanah di DKI


Jakarta, 1979 - 1989

Keterbatasan pengertian atau pemahaman masyarakat tentang


fenomena alam berupa banjir yang bersifat dinamis. Masalah ini
tidak hanya terbatas di lingkungan masyarakat yang awam
terhadap hal-hal teknis yang menyangkut hujan dan banjir.
Banyak para pakar di bidang air sendiri yang nampaknya belum
memahami bahwa manusia memang mempunyai keterbatasan,
dan kejadian atau fenomena yang menyangkut alam tidak atau
belum seutuhnya dapat dijangkau dengan ilmu pengetahuan.
Upaya adaptasi atau penyesuaian diri dengan fenomena alam
akan sulit diterima dan dilaksanakan, manakala belum ada
kesamaan faham.

Operasi dan pemeliharaan pada sistem pengendali banjir yang


kurang atau mungkin lebih tepat dikatakan tidak memadai.
Telah

banyak

prasarana

pengendali

banjir

yang

dibangun

dengan biaya yang tidak sedikit, namun kinerja prasarana


tersebut seperti yang diharapkan pada saat direncanakan, pada
umumnya

tidak

tercapai

karena

tidak

dioperasikan

dan

dipelihara dengan baik. Tanggul sungai banyak yang dibiarkan


rusak atau dirusak oleh masyarakat dan dijadikan tempat
hunian, tempat bercocok tanam, dan sebagainya, bahkan ada

27

tanggul yang sengaja dipotong oleh oknum karena mungkin


dianggap tidak ada yang mempunyai, tidak ada yang mengurus,
tidak ada manfaatnya dan malah mengganggu jalannya truk dia
untuk keluar masuk ke bantaran sungai. Kasus seperti tampak
di Gambar 20 terjadi di tanggul kanan sungai Cisedane, padahal
luapan banjir dari sungai ini dapat menggenangi Bandara
Internasional Soekarno-Hatta.

Gambar 20. Tanggul kanan Sungai Cisadane di dekat


Bandara Soekarno-Hatta (1996)

Tidak hanya pada sistem pengendali banjir saja, saluran drainase di


kawasan perkotaan selain kurang dirawat dan dibersihkan, banyak
yang ditutup dengan plat beton oleh masyarakat sehingga tidak
dapat dibersihkan dari sampah dan kotoran yang menyumbat.
Masalah yang terkait dengan operasi dan pemeliharaan ini tidak
terlepas

dari

mengutamakan

kebijakan

pemerintah

pembangunan

fisik

yang
jangka

cenderung
pendek

lebih

dengan

pendekatan proyek, dan kurang memperhatikan kegiatan rutin


dan

menerus

termasuk

kegiatan

operasi

dan

pemeliharaan

prasarana yang sesungguhnya justru merupakan ujung tombak


pelayanan publik. Genangan dan banjir yang terjadi pada awal

28

bulan Februari 2008 di DKI Jakarta (yang konon sampai membuat


Presiden RI dan Wakil Presiden turun dari mobil sewaktu melewati
JI.MH.Thamrin), kemungkinan besar disebabkan sistem drainase
yang lumpuh karena saluran drainase di sekitar Sarinah-Thamrin
yang penuh sediman dan sampah. Pada hari yang sama jalan tol
Sedyatmo juga tertutup genangan banjir karena pompa banjir di
jalan tol itu konon juga lumpuh gara-gara tidak ada aliran listrik.

Tidak semua prasarana yang berada di sungai bermanfaat bagi


upaya pengendalian banjir seperti misalnya pada bangunan
bendung gerak (barrage). Cara pengoperasian bangunan yang
tidak

benar

justru

berpotensi

menimbulkan

masalah

banjir.

Sebagai contoh, Bendung Gerak Pasar Baru di sungai Cisedane di


dekat kota Tangerang yang dibangun pada zaman Belanda dengan
tujuan untuk mengairi daerah irigasi Cisedane dan navigasi lewat
saluran Mookervart menuju Jakarta. Saat ini fungsi bendung
tinggal untuk irigasi ditambah manfaat lain sebagai penunjang
bangunan pengambilan (intake) air baku milik PDAM maupun
industri dan perumahan di kota Tangerang yang jumlahnya cukup
banyak. Bendung dibuat dengan konstruksi pintu angkat (slide
gate) yang berjumlah 10, dengan maksud agar pada saat banjir
besar

semua

pintu

harus

terangkat

dan

tidak

boleh

ada

pembendungan yang dapat menimbulkan masalah banjir di kota


Tangerang. Kenyataannya pintu air sering macet tidak dapat
diangkat, antara lain terjadi sekitar tahun 1996; pada waktu itu
sebanyak 5 pintu tidak dapat digerakkan karena terkunci lumpur
yang

telah

memadat.

Bagaimana

jadinya

kota

Tangerang

seandainya sungai Cisedane pada waktu itu mengalami banjir


seperti

halnya

sungai

Ciliwung?

Setelah

diteliti

ternyata

pengoperasian bendung (yang pada saat itu dilakukan oleh


pengelola irigasi) menyalahi prosedur yang telah ditentukan.
Operator bendung konon tidak bebas mengangkat pintu bawah
sesuai prosedur secara berkala untuk membilas endapan di hulu
bendung agar tidak sampai memadat dan mengunci pintu.
Keberatan

yang

disampaikan

masyarakat

dengan

alasan

29

pembukaan bendung akan menurunkan muka air sungai dan


mengganggu pengambilan/ pemompaan air baku.

Kemiskinan menjadi salah satu faktor penyebab tumbuhnya


permukiman di kawasan yang terlarang terma5uk di tebing dan
bantaran sungai. Selain sangat berbahaya bagi keselamatan
penghuninya sehubungan dengan ancaman banjir yang dapat
terjadi setiap saat yang dapat menghanyutkan rumah atau gubug
mereka, bangunan itu sendiri mempersempit tampang basah
sungai dan menghambat atau mengurangi kapasitas sungai untuk
melewatkan aliran banjir.

Terbatasnya upaya pengaturan dan pengawasan. Pengaturan dan


pengawasan termasuk perizinan adalah merupakan bagian dari
tugas

umum

pemerintahan,

yang

masih

kurang

mendapat

perhatian dari pemerintah. Beberapa kasus seperti: dataran banjir


yang terlanjur ditumbuhi berbagai macam prasarana perkotaan
dan permukiman tanpa adanya pengaturan yang terkait dengan
resiko tergenang banjir; pembangunan di DAS hulu seperti halnya di
kawasan Puncak yang lepas kendali dan kurang atau bahkan tidak
mengikuti ketentuan tata ruang yang ada; bantaran sungai yang
terlanjur dipenuhi hunian baik yang ilegal maupun yang resmi, yang
permanen maupun yang berupa gubug kumuh; perusakan dan
pemanfaatan atau penggunaan prasarana fisik pengendali banjir
yang tidak sesuai peruntukannya oleh masyarakat; pembangunan
bangunan-bangunan yang menyilang sungai seperti jembatan, pipa
gas, pipa air, saringan sampah dan, sebagainya yang dilakukan oleh
berbagai

instansi

menimbulkan

yang

tidak

pembendungan

mengikuti

aliran

ketentuan

banjir;

serta

sehingga

pembuangan

sampah di sungai; adalah merupakan indikasi masih lemahnya upaya


pengaturan dan pengawasan. Permukiman yang hanyut tersapu
banjir bandang yang terjadi beberapa tahun silam di berbagai lokasi
seperti:

Bahorok

Sumatera

Utara,

Pacet/Mojokerto,

Semarang,

Jember, serta Situbondo di Jawa Timur kemungkinan besar berada di


daerah

manfaat

sungai

yang

seharusnya

terlarang

untuk

permukiman.

30

Terjadinya perubahan iklim sehubungan dengan pemanasan global


juga bersumber dari kegiatan manusia baik di tingkat lokal, regional
maupun global.

4. Upaya untuk mengatasi masalah banjir.


4.1.

Konsep dasar.

Untuk mengatasi masalah banjir sampai saat ini masih mengandalkan


upaya yang bersifat represif dengan melaksanakan berbagai kegiatan fisik
atau struktur yaitu dengan membangun sarana dan prasarana pengendali
banjir dan atau memodifikasi kondisi alamiah sungai, sehingga membentuk
suatu sistem pengendali banjir (flood control/ instream). Langkah tersebut
telah diterapkan hampir di seluruh negara-negara di dunia yang mengalami
masalah banjir. Sedangkan upaya yang bersifat mencegah terjadinya
masalah atau yang bersifat preventif yang pada dasarnya merupakan
kegiatan nonfisik atau nonstruktur (off-stream)

penerapannya masih

terbatas. Di beberapa negara upaya fisik telah dikombinasikan dengan


upaya nonfisik sehingga membentuk sistem penanganan yang menyeluruh
atau komprehensif seperti misalnya di Jepang (Gambar 21 dan Gambar 22).
Namun ada juga negara yang mulai meninggalkan upaya fisik dan lebih
mengutamakan upaya nonfisik, karena mereka mulai menyadari bahwa
upaya fisik ternyata tidak dapat diandalkan dan hanya menciptakan
perlindungan yang semu (structural measures tend to create a false
sense of security in the population protected by the works).

31

Gambar 21. Skema mengatasi masalah banjir secara menyeluruh

Sehubungan dengan faktor penyebab timbulnya masalah banjir yang


sangat banyak dan komplek serta menyangkut fenomena alam yang sering
kali diluar kendali manusia, maka berbagai jenis upaya baik fisik dan
nonfisik, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungan hanya berfungsi
untuk menekan atau memperkecil besarnya masalah banjir

(fl ood

damage mitigation) dan ticlak dapat menghilangkan masalah secara


tuntas atau membebaskan dataran banjir terhadap masalah banjir secara
mutlak (Gambar 23 dan Gambar 24).

32

Gambar 22. Perspektif penanganan masalah banjir secara


menyeluruh di Jepang.

Belajar

dari

pengalaman

yang

selama

ini

dilaksanakan

termasuk

pengalaman dari negara-negara lain dengan berbagai keberhasilan dan


kekurangan yang ada, dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi
masalah banjir di Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan upaya yang
bersifat

fisik

atau

struktur

saja

sebagaimana

yang

selama

ini

dilaksanakan, namun harus menyeluruh yang merupakan gabungan


antara upaya fisik dengan upaya nonfisik.

33

Gambar 23. Skema mengatasi masalah banjir seara menyeluruh

Gambar 24. Skema mengatasi masalahn banjir secara


menyeluruh

Terhadap upaya fisik yang telah dilaksanakan masih perlu disempurnakan


dan juga dilengkapi dengan upaya nonfisik. Upaya menyeluruh atau
integrated

flood

management

pada

prinsipnya

adalah

bagaimana

memanfaatkan dataran banjir (yang terbentuk oleh luapan banjir) seoptimal


mungkin, dengan mengupayakan agar kerugian atau bencana yang
ditimbulkan oleh banjir sekecil mungkin. Upaya menyeluruh tersebut harus
merupakan bagian yang tidak terpisahkan atau harus terpadu dengan
pengelolaan sumber daya air pada satu sistem wilayah sungai (integrated
water resources management / IWRM).
World Water Forum (WWF) ke III di Kyoto Jepang pada tahun 2003 antara
lain menghasilkan pernyataan dan ajakan untuk hidup "berdampingan,
bersahabat dan menyesuaikan" dengan kondisi banjir. Dengan paradigma
itu diharapkan besarnya masalah banjir dapat ditekan. Beberapa ungkapan

34

atau pernyataan yang cukup menarik yang dihasilkan forum tersebut antara
lain:

"WE MUST LEARN TO LIVE WITH FLOODS"

Floods are natural phenomena which can never be fully controlled


and so we must learn to live with them, protecting people from
their destructive power, while benefiting from the freshwater that
they bring and the fertile plains that_they build.

This calls for an integrated approach to flood management which


incorporates

it

into

the

wider

context

of

integrated

water

resources management (IWRM) and links it with policies and


practices for land management and the reduction of natural
disasters.

There is a need to develop innovative approaches, using both


structural and non-structural measures supported by the technical,
social

and

economic

sciences,

and

the

compilation

of

the

necessary data. These should address the complex problems of


flooding , particularly in urban, delta and coastal regions, and give
space to the rivers

Local communities and other stakeholders must be encouraged to


participate,

on

continuous

basis

in

the

decision-making

processes, which access to appropriate mechanisms for conflict


resolution.
First Asia-Pacific Water Summit di Beppu Jepang pada tanggal 3-4
Desember 2007 menyampaikan beberapa pesan kunci (key messages) dan
rekomendasi

yang

berkaitan

dengan

pengelolaan

bencana

yang

berhubungan dengan air, antara lain:

Integrate Water-related Disaster Risk Reduction (DRR) into national


development plans, recognizing adaptation to increasing risks from
climate change as a "highest" priority issue.

Recognize
Management

the

importance

(IWRM)

for

of

Integrated

water-related

DRR

Water
and

the

Resources
need

to

strengthen comprehensive structural and nonstructural measures.

35

Establish national and local goals/targets for water-related DRR,


taking the impacts of climate change into consideration.

Develop preparedness indices for water-related DRR for the Asia Pacific region.

Develop

water-related

disaster

warning

systems

and

human

capacities.

Peran serta masyarakat dalam mengatasi masalah banjir secara fisik masih
sangat terbatas, dan pada umumnya hanya untuk mengatasi masalah di
kawasan yang terbatas yang dikelola oleh pengembang secara mandiri,
seperti misalnya sistem polder di Pantai Indah Kapuk, Pluit dan Sunter utara
di DKI Jakarta.
Peran serta masyarakat seara lebih luas harus terus dikembangkan dan
ditingkatkan mengingat terjadinya dan berkembangnya masalah banjir
terutama adalah disebabkan oleh kegiatan masyarakat itu sendiri. Alangkah
naifnya bila masyarakat yang membudidayakan dan memanfaatkan dataran
banjir yang subur dan menyimpan banyak kemudahan, justru tidak mau ikut
berperan serta mengatasi masalah dan juga ikut menanggung resiko.
Bahkan mungkin mereka malah menyalahkan pemerintah dan masyarakat
yang tinggal di DAS hulu karena dianggap merusak lingkungan dan
"mengirimkan banjir" kepada mereka. Mereka mungkin beranggapan bahwa
sebelum ada kerusakan lingkungan tersebut sungai tidak meluap dan tidak
menimbulkan masalah.
Mereka mungkin juga kurang atau tidak menyadari, bahwa dataran banjir
sesungguhnya merupakan "rumah singgah" yang sah dan dibutuhkan oleh
air sungai, yang sejak dahulu kala secara rutin selalu disinggahi pada saat
rumahnya sendiri yang minimalis dan sempit yang berupa palung sungai
tidak dapat menampungnya. Lagi pula "rumah singgah" itu juga dibangun
sendiri oleh air sungai. Mengapa manusia yang belakangan ikut numpang
dan melakukan segala macam kegiatan di "rumah singgah" itu malah
bersikap sok kuasa, maunya sendiri dan ingin mengusir penghuni yang sah?

36

4.2.

Upaya fisik atau struktur

4.2.1.

Beberapa jenis kegiatan yang merupakan upaya fisik.

Pembangunan tanggul banjir untuk mencegah meluapnya air banjir


sampai tingkat atau besaran banjir tertentu.
Dengan dibangun tanggul terbentuk penampang sungai' yang tersusun
untuk mengalirkan debit banjir rencana (Gambar 6). Perencanaan
tanggul banjir meliputi penetapan tempat kedudukan tanggul terhadap
sungainya, elevasi mercu tanggul, struktur bangunan tanggul, serta
bangunan pelengkap. Penetapan tempat kedudukan tanggul dilakukan
dengan optimasi. Tanggul sebaiknya dibangun dengan jarak yang cukup
aman terhadap kemungkinan terjadinya kerusakan yang disebabkan
oleh pergeseran alur sungai, dan untuk sungai yang bermeander
idealnya berada diluar sabuk meander (meander belt). Namun kondisi
ideal tersebut jarang dapat dilaksanakan mengingat permukiman
penduduk apalagi di kawasan perkotaan, pada umumnya terlanjur
berada sangat dekat dengan sungai. Tanggul yang terpaksa dibangun
sangat

dekat

dengan

sungai

perlu

dilengkapi

dengan

bangunan

pengaman seperti pelindung tebing sungai, perkuatan tebing sungai,


pengarah arus atau krib, dan sebagainya. Elevasi mercu tanggul
direncanakan berdasarkan elevasi muka air banjir rencana ditambah
tinggi jagaan (free board). Tanggul banjir dapat dibangun dengan
timbunan tanah homogen, pasangan batu kali, beton bertulang, atau
kombinasi berbagai material tersebut. Tanggul timbunan tanah harus
diperhitungkan cukup stabil dan tidak boleh bocor, tebing tanggul tidak
longsor pada saat terjadi rapid drowdown, tidak mengalami amblesan,
dan tidak terjadi piping baik di tubuh tanggul maupun di dasar atau
pondasi tanggul. Mercu tanggul harus tetap agar tinggi jagaan dapat
tetap terjaga dan tidak semakin berkurang. Tanggul pasangan batu kali
atau

beton

harus

diperhitungkan

aman

terhadap

kemungkinan-

kemungkinan tergeser, terguling pada saat terjadi limpasan banjir diatas


mercu tanggul, patah, dan piping lewat tanah dibawah pondasi tanggul.
Penentuan material dan struktur tanggul dilakukan dengan optimasi
termasuk

dampak

sosial

yang

mungkin

timbul

terkait

dengan

pembebasan tanah untuk tapak tanggul.

37

Perencanaan teknis pembangunan tanggul pada sistem pengendali


banjir yang telah dilaksanakan pada umumnya didasarkan pada debit
banjir

rencana

dengan

besaran

tertentu,

tanpa

mengantisipasi

kemungkinan terjadinya debit banjir yang lebih besar dari debit banjir
rencana tersebut yang dapat membobolkan tanggul. Kerusakan dan
bencana banjir yang relatif besar dan sering terjadi akhir-akhir ini
kemungkian besar disebabkan karena masalah ini. Sungguh merupakan
ironi apabila para ahli dibidang perencanaan bendungan saat ini telah
dengan fasihnya melakukan analisis tentang keruntuhan bendungan
(dam break analysis), termasuk bagaimana mensosialisasikan berbagai
skenario tanggap darurat apa bila terjadi kerusakan atau runtuh/jebolnya
bendungan kepada masyarakat di hilir bendungan; pada hal bendungan
sudah didesain untuk debit banjir rencana diatas 1.000 tahunan,
bahkan dengan probable maximm fl ood (PMF). Namun selama ini
perencana tanggul banjir nampaknya belum menyadari hal itu dan
belum pernah melakukan analisis tentang keruntuhan tanggul (dyke
break analysis), pada hal probabilitas terjadinya keruntuhan tanggul
banjir yang hanya didesain dengan debit banjir rencana antara 5
sampai 100 tahunan, jelas jauh lebih besar dari pada bendungan.
Oleh karena itu pada sistem pengendali banjir yang telah ada perlu
dilakukan penyempurnaan dan atau koreksi. Koreksi yang sering
dilaksanakan

adalah

dengan

cara

meninggikan

tanggul

atau

memasang parapet wall (Gambar 25). Upaya tersebut tidak dapat


dibenarkan karena meskipun tanggul telah ditinggikan toh masih
tetap ada kemungkinan terlimpasi banjir, lain halnya apabila debit
banjir

rencana

ditingkatkan

menjadi

debit

banjir

maksimum

(Probable Maximum Flood) seperti tampak pada Gambar26). Upaya


yang terakhir ini belum pernah dilaksanakan di manapun di dunia ini
karena selain tidak layak, konstruksi tanggul yang sangat tinggi
berpotensi menimbulkan bencana yang lebih dahsyat apabila jebol.
Super dyke yang dibangun di Jepang pun bukan tingginya yang
super, melainkan lebarnya; sehingga tanggul tidak jebol pada saat
terlimpasi banjir. Penyempurnaan yang tepat adalah melengkapi
upaya fisik tersebut dengan upaya nonfisik. Upaya lain untuk
mengantisipasi terjadinya debit banjir yang lebih besar dari debit
banjir

rencana

adalah,

bangunan

tanggul

untuk

daerah

38

permukiman/perkotaan padat harus cukup aman dan stabil serta


tidak mengalami kerusakan atau runtuh pada saat terjadi limpasan di
atas mercu tanggul; antara lain dengan membangun super dyke
seperti halnya di Jepang atau melindungi permukaan tanggul dengan
pasangan batu kali atau beton, khususnya pada tanggul dengan
konstruksi timbunan tanah.

Gambar 25. Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pemahaman yang


keliru.

39

Gambar 26. Pengendalian banjir dengan debit banjir PMF, yang


tidak lazim dilakukan.

Normalisasi alur sungai dan penggalian sudetan.


Sampai saat ini jenis kegiatan ini sangat populer baik di kalangan
masyarakat maupun para pelaksana proyek fisik di lapangan, dan
seakan-akan sudah merupakan "lagu wajib" yang harus dikerjakan di
setiap

upaya

mengatasi

masalah

banjir.

Logika

mereka

sangat

sederhana, karena banjir disebabkan oleh sungai yang meluap, dan


meluapnya sungai disebabkan karena palung sungai yang tidak mampu
mengalirkan debit banjir; oleh karena itu perlu diperbesar dengan
menggali atau mengeruk clasar dan tebing sungai untuk memperbesar
tampang basah palung sungai, maupun memperpendek sungai dengan
membangun sudetan pada bagian-bagian sungai yang bermeander.
Penampang melintang alamiah sungai aseli yang memang tidak
seragam (di tikungan luar pasti lebih dalam dari pada di tikungan
dalam) dibuat seragam berbentuk trapesium layaknya pada saluran
irigasi (Gambar 27). Sesaat setelah selesai dikerjakan memang akan
tampak ada manfaatnya, dan terjadi peningkatan kapasitas pengaliran
sehingga muka air banjir lebih rendah dibanding sebelumnya. Namun
manfaat yang didapat tersebut tidak akan berlangsung lama, apa lagi
bila palung sungai (low water channel) didesain untuk menampung
seluruh debit banjir yang besarnya jauh lebih besar dari debit
dominannya. Untuk sungai-sungai aluvial seperti halnya di Indonesia
yang angkutan sedimennya relatif tinggi, selang satu atau dua tahun
setelah proyek selesai dikerjakan, penampang melintang sungai pada
umumnya telah mengecil kembali seperti sQdia kala. Disamping itu di
lokasi sudetan timbul reaksi dari sungai untuk kembali membentuk
meander

sesuai

dengan

rejim

alamiahnya,

kecuali

ada

upaya

"pemaksaan". Normalisasi atau pengerukan alur sungai yang sering


dikerjakan di dekat muaranya ke laut hanya menciptakan kantong
sedimen/lumpur yang akan segera terisi sedimen/lumpur kembali. Oleh
sebab itu agar upaya tidak siasia, normalisasi hendaknya hanya
dilaksanakan di tempattempat yang alur sungainya menyempit (bottleneck) akibat terdapatnya ambal alam atau formasi keras yang

40

membendung

atau

menghambat

aliran;

sehingga

normalisasi

dilaksanakan hanya untuk menghilangkan hambatan itu.

Gambar 27. Sket penampang normalisasi alur sungai

Penampang basah alur sungai (low water channel) yang "dinormalkan"


didesain berdasarkan debit dominan dan bukan berdasarkan debit banjir
rencana.
Pengendalian banjir pada sungai Citarum Hulu dilakukan dengan
menormalisasi sungai mulai dari Curug Jompong atau Nanjung ke hulu
sampai Sapan, dengan cara menggali untuk menurunkan dasar sungai,
tanpa membangun tanggul di sepanjang sungai. Dasar sungai Citarum
di Curug Jompong berupa batuan keras (ambal alam) sehingga di lokasi
itu terjadi pembendungan aliran ke arah hulu, dan menimbulkan
masalah banjir antara lain di Dayeuh Kolot sampai Sapan. Ke arah hilir,
terjadi terjunan/curug sekitar 10-12 meter sebelum aliran masuk ke
waduk Saguling. Normalisasi yang dilakukan terutama untuk memotong
ambal alam dan sekaligus menurunkan dasar sungainya, dengan

41

penampang palung sungai yang relatif sama dengan palung sungai


aselinya; sehingga diharapkan alur sungai akan stabil. Dengan dasar
sungai yang lebih rendah, muka air sungai di saat banjir menjadi
lebih rendah pula, sehingga luapan dan genangan banjir dapat
dikurangi.
Kegiatan

mengambil

sampah

padat

yang

terlanjur

masuk

dan

mengendap di dasar sungai sering kali juga disebut normalisasi sungai,


seperti halnya yang sering dilakukan pada sungai-sungai yang melewati
kawasan permukiman/ perkotaan. Istilah yang tepat untuk kegiatan ini
adalah pemeliharaan sungai, dan bukan normalisasi yang mempunyai
konotasi merupakan kegiatan proyek pembangunan.
Penggalian sudetan sedapat mungkin dihindari karena upaya dan biaya
yang diperlukan untuk membangun dan mempertahankannya agar alur
sungai tidak kembali ke kondisi/rejim awalnya, serta untuk mengatasi
dampak negatif yang ditimbulkannya, pada umumnya jauh lebih besar
dari manfaat yang didapat. Di banyak negara lain telah ada gerakan
untuk mengembalikan sungai ke kondisi alamiah atau kondisi awalnya
dengan sebutan river restoration, setelah sebelumnya juga pernah
dibangun sudetan, pelindung tebing yang rigid seperti pasangan batu
kali, beton dan sebagainya sehingga menjadi unnatural. Contoh kasus
normalisasi sungai Ular di Sumatera Utara kiranya dapat dijadikan
referensi.

Banjir kanal atau kanal banjir.


Banjir kanal adalah merupakan alur sungai buatan yang berfungsi untuk
memindahkan sebagian aliran sungai sedemikian rupa sehingga debit di
saat banjir pada sungai aselinya berkurang dan tidak terjadi luapan
banjir. Cara ini telah banyak dilaksanakan terutama untuk mengatasi
masalah banjir di kawasan perkotaan. Pengaturan pembagian debit yang
mengalir baik yang menuju banjir kanal dan yang ke sungai aseli ada
yang dilengkapi dengan pintu pengatur dan ada yang tidak. Yang tanpa
pintu pengatur, dimensi dan bentuk hidrolis di tempat percabangan
termasuk ground sill nya dibuat sedemikian rupa sehingga aliran yang
menuju ke sungai aseli tidak akan melebihi kapasitas palung sungai aseli.
Beberapa contoh banjir kanal yang telah ada antara lain: Banjir Kanal Barat di
DKI Jakarta dibangun sekitar tahun 1920 untuk mengalihkan sebagian besar

42

aliran Sungai Ciliwung agar menjauhi kota Batavia pada waktu itu, dengan pintu
air pengatur di Manggarai; Banjir Kanal Timur di DKI Jakarta yang baru selesai
dikerjakan, untuk menampung dan mengalihkan aliran sungai-sungai Cipinang,
Sunter, Jatikramat, dan Cakung ke laut; Banjir Kanal Barat di Semarang untuk
mengalihkan sebagian besar aliran Kali Garang atau Kali Semarang menjauhi
kota Semarang dengan bangunan pengatur di Simongan; Banjir Kanal bagi Kali
Brantas yang dikenal dengan nama Kali Porong untuk mengalihkan sebagian
aliran Kali Brantas agar aliran di Kali Brantas Hilir atau Kali Surabaya tidak
menimbulkan masalah banjir di kota Surabaya, dengan dilengkapi pintu
pengatur di Lengkong; Banjir Kanal bagi sungai Cimanuk yang dikenal dengan
alur Rambatan untuk mengalihkan sebagian besar aliran sungai Cimanuk agar
tidak menimbulkan masalah banjir di kota Indramayu, dengan bangunan groudsill dan pintu pengatur di Bangkir; Banjir Kanal bagi sungai Arau untuk
mengalihkan sebagian debit banjir sungai Arau agar tidak menimbulkan
masalah di kota Padang, dengan pintu pengatur di Lubuk Begalung; Banjir Kanal
bagi sungai Krueng Aceh untuk mengalihkan sebagian aliran sungai Krueng
Aceh agar tidak meninbulkan masalah banjir di kota Banda Aceh dengan
bangunan kontrol di Bakoi; Banjir Kanal bagi sungai Bengawan Solo Hilir berupa
saluran Sedayu Lawas untuk mengurangi masalah banjir di bagian hilir sungai
Bengawan Solo dengan pintu pengatur di Plang Wot; Banjir Kanal bagi sungai
Citanduy untuk mengalihkan sebagian aliran banjir sungai Citanduy, dengan
dilengkapi bangunan kontrol atau pelimpah di Nusawuluh.

Agar banjir kanal dapat berfungsi sesuai dengan tujuannya dan pola
pembagian debit banjir antara sungai aseli dengan banjir kanal tidak
mengalami perubahan dan tetap seperti yang direncanakan, maka
sistem tersebut harus dijaga agar terhindar dari kerusakan dan
gangguan, dan selalu siap di setiap saat. Upaya pemanfaatan alur Kali
Porong untuk menyalurkan lumpur Lapindo ke laut adalah merupakan
langkah yang cukup berbahaya dan mengandung resiko yang tinggi
ditinjau dari fungsi Kali Porong yang setiap saat harus siap menampung
kelebihan aliran Kali Brantas untuk menghindari terjadinya masalah
banjir di kota Surabaya. Demikian pula dengan membiarkan bangunan
kontrol di Bakoi rusak, kota Banda Aceh terancam banjir.
Banjir kanal harus direncanakan dengan sangat hati-hati mengingat
perubahan apapun yang dilakukan terhadap sungai alamiah akan selalu
menimbulkan reaksi dari sungai yang bersangkutan yang berlangsung
secara gradual. Pembagian aliran air antara sungai aseli dengan banjir
kanalnya tidak secara otomatis diikuti pembagian aliran sedimen secara

43

proporsional. Pada sungai aseli maupun di saluran banjir kanal akan


terjadi reaksi dengan terbentuknya keseimbangan morfologi yang baru,
yang dapat menghasilkan kondisi akhir yang tidak seperti yang kita
inginkan. Reaksi yang timbul misalnya terjadi pendangkalan yang
signifikan pada alur sungai aseli sehingga meskipun debit air sungai
telah berkurang namun ketinggian muka air banjir boleh jadi tetap
seperti sebelum dibangun banjir kanal. Oleh sebab itu pada banjir kanal
yang relatif baru selesai dibangun, diperlukan pemantauan secara rutin
terhadap

perubahan

yang

terjadi.

Hasil

pantauan

dipakai

untuk

melakukan koreksi atau penyempurnaan.

Waduk pengendali banjir.


Waduk yang terbentuk dengan dibangunnya bendungan, dapat berfungsi
menampung dan mengendalikan atau memperkecil aliran sungai di hilir
bendungan;

termasuk

aliran

sungai

pada

saat

banjir.

Namun

pembangunan bendungan/waduk ini relatif mahal karena disamping


diperlukan biaya untuk pelaksanaan konstruksi bendungannya, juga
diperlukan biaya untuk ganti rugi lahan baik untuk tapak bendungannya
maupun

untuk

waduknya

sendiri.

bendungan/waduk

sering

kali

lingkungan

cukup

berat.

yang

Selain

menimbulkan
Sehubungan

itu

pembangunan

dampak
dengan

sosial
itu

dan
maka

pembangunan bendungan/waduk pada umumnya tidak hanya untuk


satu tujuan mengendalikan banjir saja, namun bersifat multifungsi;
termasuk untuk menyediakan air baku untuk air minum, air irigasi serta
pembangkit tenaga listrik. Bagi waduk serba guna, operasi waduk harus
dilakukan secara optimal agar semua manfaat dapat dipenuhi. Sebagai
waduk pengendali banjir diingini agar sedapat mungkin waduk dalam
keadaan kosong menjelang musim penghujan; namun untuk memenuhi
kebutuhan yang lain diingini waduk dalam kondisi yang selalu penuh.
Situ dan embung adalah identik dengan waduk dalam skala kecil yang
terbentuk dengan dibangunnya bendungan; yang juga dapat berfungsi
menampung dan atau mereduksi aliran banjir di sungai. Sehubungan
dengan semakin sulitnya membangun waduk berskala besar karena
masalah sosial, maka pembangunan embung atau situ ini merupakan
alternatif yang dapat ditempuh. Selain itu, embung-embung dan situ-

44

situ termasuk situsitu peninggalan Belanda yang ada di Jabodetabek


yang jumlahnya cukup banyak harus dipertahankan keberadaannya
dan dirawat agar dapat dimanfaatkan secara lestari dan tidak malah
menimbulkan bencana seperti halnya Situ Gintung.
Waduk-waduk yang telah banyak dibangun di DKI Jakarta seperti
misalnya waduk Setiabudi, waduk Melati, waduk Tomang Barat, waduk
Pluit, waduk Kodamar, waduk Rawa Badak, dan waduk Sunter
meskipun mempunyai sebutan yang sama namun fungsinya tidak
untuk mereduksi aliran banjir di sungai seperti halnya waduk
tersebut diatas. Waduk-waduk di DKI Jakarta merupakan bagian dari
sistem drainase perkotaan yang berfungsi sebagai penampung air
sementara yang berasal dari saluran drainase untuk dipompa masuk
ke sungai atau langsung ke laut (sistem polder).

4.2.2.

Sistem pengendali banjir

Berbagai jenis prasarana fisik tersebut di atas pada umumnya tidak


berdiri sendiri namun dikombinasikan satu dengan lainnya sehingga
membentuk satu pola dalam satu kesatuan sistem pengendali banjir.
Kondisi dan permasalahan pada setiap sungai selalu berbeda atau tidak
ada yang sama, sehingga penetapan sistem pengendali banjir yang
optimal

pada

setiap

sungai

harus

melewati

suatu

kajian

yang

menyeluruh dengan membandingkan beberapa alternatif. Kajian harus


menyangkut aspek teknis dan nonteknis. Sistem tersebut direncanakan
berdasarkan besaran debit banjir tertentu misalnya debit banjir 5
tahunan, 10 tahunan, 25 tahunan, 50 tahunan dan 100 tahunan sesuai
dengan tingkat kelayakannya; dan bukan untuk debit banjir yang
terbesar.

Oleh

sebab

itu

upaya

struktur

ini

selalu

mengandung

keterbatasan, dan hanya berfungsi mengurangi frekuensi terjadinya


limpasan banjir atau tidak dapat membebaskan lahan di dataran banjir
terhadap kemungkinan tergenang banjir secara mutlak.
Meskipun telah dilaksanakan upaya fisik, pada lahan dataran banjir
tetap beresiko tergenang banjir. Sebagai ilustrasi dapat diperiksa pada
Gambar 6 yang menunjukkan satu contoh pengendalian banjir dengan
tanggul yang mempunyai keterbatasan. Masyarakat yang tinggal di lahan

45

yang berupa dataran banjir yang dilindungi tanggul harus sadar dan faham
bahwa meskipun telah dibangun prasarana fisik pengendali banjir, lahan
tersebut sewaktu-waktu masih dapat tergenang banjir. Mereka harus selalu
siap

dan

waspada

serta

ikut

berupaya

menekan

besarnya

kerugian/bencana, antara lain dengan membangun rumah panggung, dan


berbagai upaya adaptasi atau penyesuaian lainnya.
Beberapa catatan yang terkait dengan upaya struktur yang ditulis di
Manual ESCAP antara lain:

Various structural measures are being employed in order to


control an excess fl ow of water so that a fl ood may be prevented
or, at least its worst effects reduced. These devices include
engineering

works,

embankments,

detention

reservoirs,

river

channel improvement and facilities for fl ood diversion etc.

It should be noted that structural measures tend to create a false


sense of security in the population protected by the works.
Although these works can provide complete protection against
fl ood damage up to the level of the design fl ood, catastrophic
failure may occur if the design level is exceeded.

Therefore, special provision should be considered at the design


stage to incorporate measures which will ensure that the eff ects
of failure are minimized and that the associated damages and
disruptions are made no worse than under the pre-protection
situation.

Whatever measures of fl ood protection is provided, it would be


futile to expect absolute immunity from fl ood risk.

4.2.3. Teknik sungai sebagai dasar perekayasaan sistem


pengendali banjir
Selain

menyangkut

debit

sungai

yang

berubah-ubah/dinamis,

perencanaan teknis sistem pengendali banjir adalah merupakan bagian


dari rekayasa di bidang sungai ( r i v e r

engineering)

dalam satu

kesatuan sistem sungai dan atau wilayah sungai. Kesalahan mendasar


yang

sering

terjadi

di

lapangan

terutama

disebabkan

adanya

keterbatasan pengetahuan perencana di bidang rekayasa sungai; dan

46

mereka

merencanakan

penanganan

sungai

seperti

layaknya

perencanaan jaringan irigasi. Kesalahan dapat juga terjadi pada saat


pelaksanaan fisik maupun pengoperasian dan pemeliharaan. Sampai
saat ini perencana, pelaksana, pengawas, maupun pengelola seolaholah tidak pernah berbuat salah, karena segala kekurangan, kerusakan
bahkan kegagalan yang mungkin terjadi akibat kesalahan tersebut
selalu dinyatakan sebagai akibat bencana alam. Berhubung reaksi si
sungai terhadap perlakuan yang salah pada umumnya berlangsung
secara gradual, maka untuk mengetahui apakah perlakuan itu salah
atau benar diperlukan pemantauan secara rutin dan menerus. Meskipun
dirasa sulit, namun agar terdapat tanggung jawab profesional dan
akuntabilitas yang jelas bagi perencana, pelaksana, dan pengelola
sejalan

dengan

UU-18/99

ketentuan/kriteria/batasan

tentang
yang

Jasa

jelas

Konstruksi,

tentang

perlu

penyebab

adanya

terjadinya

kerusakan atau kegagalan bangunan di sungai, yang membedakan


akibat

terjadinya

(Gambar

28).

bencana
Tanggul

alam

dari

atau

timbunan

akibat
tanah

kesalahan
yang

manusia

jebol

akibar

terjadinya debit banjir yang jauh melebihi kapasitasnya merupakan


kejadian bencana alam, namun apa bila debit banjir masih dibawah
debit banjir rencana dan tanggul sudah jebol maka kejadian itu
merupakan kesalahan manusia.

47

Gambar 28. Skema evaluasi kerusakan yang terjadi pada


bangunan sungai

Di bidang rekayasa sungai, tulisan Margaret S. Peterson dalam bukunya


River Engineering (1986) berikut ini dapat dipakai sebagai referensi:

River

engineering

is

concerned

with

the

entire

process

of

planning, design, construction, and operation of works of various


kinds for the purpose of modifying natural river conditions to
better serve human needs

All

river

engineering

works

changes

the

natural

river

environment and morphology to a greater or lesser extent.

River improvement schemes always need careful consideration


in a scientifi c and practical approach. Execution of each scheme
should be followed by a continuous survey and study of its
gradually growing eff ect on the river and the environment.

It is important to know the characteristic of the river so that


engineering works can be designed that will help the river to do
what it would do naturally rather than designed to force it into
unnatural condition which will fail ultimately.

River engineering is more of an art than a science, because


some phenomena in the formation and deformation of river
channels are still not yet fully understood, and models some
time cannot give fully reliable answers.

River engineering works may vary greatly in size and in their


eff ect on river behaviour.

4.3.

Upaya Nonfisik atau Nonstruktur

Upaya nonfisik berupa kegiatan-kegiatan yang bersifat preventif dengan


tujuan untuk menghindarkan terjadinya masalah banjir, atau menekan
besarnya

masalah

yang

ditimbulkan

oleh

banjir

menjadi

sekecil

mungkin. Upaya fisik pada umumnya menjadi kewenangan pemerintah,


dan pada kasuskasus tertentu dapat melibatkan swasta. Sedangkan

48

pelaku utama upaya nonfisik adalah masyarakat dengan difasilitasi oleh


pemerintah. Upaya nonfisik antara lain berupa:

Konservasi tanah dan air di DAS hulu untuk menekan besarnya aliran
permukaan dan memperkecil besarnya debit puncak banjir, serta
pengendalian erosi untuk mengurangi pendangkalan/sedimentasi di
dasar sungai maupun danau dan waduk. Kegiatan ini merupakan
gabungan antara rekayasa teknik sipil dengan teknik agro, antara lain
dengan membangun terasering, bangunan terjunan, check-dam/dam
penahan sedimen, dam pengendali sedimen, kolam retensi, dam parit,
penghijauan dan reboisasi, serta sumur resapan.

Pengelolaan dataran banjir (flood plain management) berupa penataan


ruang dan rekayasa di dataran banjir yang diatur dan menyesuaikan
sedemikian rupa, sehingga selaras dengan kondisi dan fenomena alam
termasuk kemungkinan terjadinya banjir. Dengan demikian resiko/
kerugian/bencana yang timbul apabila tergenang banjir menjadi sekecil
mungkin. Penyesuaian dapat berupa rekayasa bangunan fisik antara
lain: rumah tipe panggung (Gambar 15), rumah susun, jalan layang,
jalan dengan perkerasan beton, pengaturan penggunaan rumah atau
gedung bertingkat yang terlanjur dibangun di dataran banjir, dan
sebagainya. Sedangkan rekayasa di bidang pertanian dapat berupa
pemilihan varietas tanaman yang tahan genangan. Perangkat lunak
yang diperlukan antara lain berupa flood plain zoning, flood risk map,
dan ramburambu atau papan peringatan serta monumen yang antara
lain menunjukkan ketinggian genangan banjir yang pernah terjadi, yang
dipasang di dataran banjir.

Penataan ruang dan rekayasa di DAS hulu yang dengan pertimbangan


tertentu dapat ditetapkan menjadi kawasan budidaya sedemikian rupa
sehingga pembudidayaan atau pendayagunaan lahan tidak merusak
kondisi hidroorologi DAS dan tidak memperbesar debit puncak banjir dan
masalah banjir.

Penanggulangan

banjir

(flood-fighting)

untuk

menekan

besarnya

bencana dan mengatasinya secara darurat. Kegiatan ini merupakan


bagian dari rangkaian kegiatan satkorlak penanggulangan bencana,
yang dilaksanakan sebelum kejadian banjir (meliputi peronclaan dan
pemberian peringatan dini kepada masyarakat yang tinggal di daerah

49

rawan banjir/dataran banjir), pada saat kejadian banjir berupa upaya


penyelamatan, pengungsian, penutupan tanggul yang bocor, perkuatan
tanggul yang longsor, peninggian tanggul yang limpas dan sebagainya
secara darurat, maupun kegiatan pasca banjir yang berupa penanganan
darurat perbaikan kerusakan akibat banjir.
Tanggap darurat yang dilakukan sebelum dan pada saat terjadinya banjir
di era sekarang ini tampaknya tidak dilaksanakan secara konsisten.
Tanggap darurat sering kali hanya merupakan kegiatan pasca banjir
yang bertujuan untuk mengembalikan prasarana pada kondisi minimal
secara

darurat

agar

fungsinya

segera

pulih,

setelah

menga!ami

kerusakan akibat banjir. Bencana banjir seperti misalnya akibat jebolnya


tanggul banjir sesungguhnya tidak terjadi secara mendadak atau
sekonyong-konyong (suddenly), namun melewati suatu proses. Kejadiankejadian yang menyebabkan jebolnya tanggul seperti misalnya: terjadi
rembesan yang berkembang menjadi erosi buluh (piping) dan akhirnya
bocor; bocor akibat adanya lubang sarang tikus atau akibat retakan;
tebing tanggul longsor akibat erosi pada tebing sungai; gerusan
akibat limpasan banjir diatas mercu tanggul; semuanya melewati
proses. Upaya darurat dapat dilaksanakan sewaktu proses tersebut
berlangsung yang bertujuan untuk mempertahankan tanggul agar
tidak menjadi jebol, sehingga bencana serta kerugian masyarakat
yang besar dapat dihindari. Agar kejadiankejadian tersebut dapat
diketahui secara dini, perlu dilakukan perondaan atau walk through
pada seluruh sistem pengendali banjir yang ada, terutama di lokasi lokasi yang rawan, yang dimulai sejak adanya indikasi akan terjadi
banjir besar sesuai dengan tingkat siaga banjir.
seharusnya

juga

dilakukan

menjelang

musim

Walk through

penghujan

untuk

mengetahui kesiapan seluruh prasarana dan sarana menghadapi


kemungkinan terjadinya banjir besar, sekaligus untuk melakukan
perbaikan-perbaikan kecil yang diperlukan. Walk through, hendaknya
tidak terbatas hanya dilakukan pada prasarana saja, namun juga
pada sepanjang sungai mulai dari hulu sampai muara. Beberapa
contoh kasus banjir bandang yang pernah terjadi antara lain di
Majalengka, Bahorok, dan Banyuwangi beberapa tahun silam konon
disebabkan karena ada "bendungan" yang terbentuk secara alamiah
mengalami

jebol

pada

saat

debit

sungai

membesar.

Struktur

50

"bendungan" tersebut terbentuk secara alamiah dari pohon yang


tumbang dan sisa-sisa penebangan termasuk ranting kayu yang
hanyut

dan

menumpuk

menjadi

rapat,

sehingga

menyerupai

bendungan; atau terbentuk dari material longsoran tebing sungai.


Bencana dapat terhindar apabila secara dini proses terbentuknya
"bendungan" tersebut diketahui dengan melakukan walk through,
sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan.
Kelemahan

yang

ada

menyangkut

upaya

tanggap

darurat

yang

dilakukan baik sebelum terjadi bencana banjir maupun pada saat


terjadinya bencana tersebut diatas, tidak dapat dipisah dengan masalah
yang menyangkut ketatalaksanaan, kelembagaan dan sumber daya
manusia pengelola sumber daya air. Pengelolaan sumber daya air yang
hanya mengutamakan pembangunan fisik dengan pola proyek, menjadi
kurang peka dan kurang perhatian terhadap berbagai kegiatan yang
bersifat rutin dan menerus.

Penerapan sistem prakiraan dan peringatan dini (flood forecasting and


early warning system) untuk menekan besarnya bencana bila banjir
benar-benar

terjadi.

Upaya

ini

untuk

mendukung

kegiatan

penanggulangan banjir, terutama terkait dengan kegiatan pengungsian.


Terdapat berbagai sistem dari yang sederhana atau tradisional sampai
yang menggunakan teknologi canggih, namun tingkat kecanggihan
sistem ini tidak menjamin tingkat kehandalan kinerja atau efektifitasnya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan dan
menoperasikan sistem ini antara lain: 1) kondisi sungaisungai di
Indonesia umumnya relatif pendek sehingga tenggang waktu antara
jatuhnya hujan di hulu sungai dengan kemungkinan terjadinya banjir di
hilir relaif singkat, di beberapa wilayah bahkan sering terjadi banjir
bandang (flash flood) seperti halnya galodo di Sumatera Barat; 2)
pengelolaan data sesaat (real time) baik data hujan maupun data debit
atau

ketinggian

muka

air

sungai

yang

kurang

baik

sehingga

menghasilkan data yang tidak akurat; 3) kondisi lingkungan sosial yang


kurang

kondusif

terhadap

keberadaan

peralatan

di

lapangan;

4)

masyarakat yang menjadi sasaran peringatan dini sering kali bersikap


apatis akibat kurangnya penyuluhan dan juga kurang percaya karena

51

prakiraan yang sering tidak sesuai dengan kenyataan; 5) kelembagaan


dan sumber daya manusia pengelola sistem ini yang masih terbatas.

Flood-proofi ng yang dilaksanakan sendiri baik oleh perorangan, swasta


maupun oleh kelompok masyarakat untuk mengatasi masalah banjir
secara lokal, misalnya di komplek permukiman/real estat dan komplek
industri, antara lain dengan membangunan tanggul keliling, polder dan
pompa, serta rumah panggung. Bangunan dan prasarana umum yang
penting seperti rumah sakit, gardu listrik, jalan tol, bandar udara
seharusnya dibuat fl ood-proof sampai tingkat besaran banjir tertentu
sehingga tidak lumpuh dikala banjir. Beberapa komplek perumahan dan
industri di DKI Jakarta telah melaksanakan upaya ini secara mandiri.

Peran masyarakat yang didukung penyuluhan dan penegakan hukum


antara lain dalam menaati ketentuan menyangkut tata ruang dan pola
pembudidayaan

dataran

banjir

dan

pembudidayaan

DAS

hulu,

menghindarkan terjadinya penyempitan dan pendangkalan alur sungai


akibat sampah padat, serta tidak mendirikan bangunan/hunian dar
menanam tanaman keras di daerah sempadan sungai.

Penyuluhan dan pemberian bimbingan kepada masyarakat dalam rangka


upaya penyesuaian diri dengan banjir, antara lain dengan menumbuh
kembangkan kembali semangat gotong royong dan kemandirian yang
dilandasi budaya dan kearifan lokal, antara lain dalam membangun
rumah panggung yang bebas banjir.

Pengelolaan sampah.
Pengelolaan sampah yang baik adalah bila dilakukan mulai dari
sumbernya (dapur, pasar, dan sebagainya), dan bukan dibiarkan masuk
atau dimasukkan ke saluran drainase dan ke sungai. Pembangunan
saringan penangkap sampah di saluran drainase dan di sungai yang
sering dilaksanakan, justru menimbulkan masalah karena sampah yang
terlambat diangkat akan menimbulkan pembendungan aliran sehingga
saluran/sungai meluap dan terjadi banjir. Pembangunan

saringan

sampah di hulu waduk muara sungai Tukad Badung Bali, konon telah
menimbulkan banjir besar sehingga saringan tersebut dibongkar paksa
oleh masyarakat. Saluran drainase yang tertutup/ditutup di kawasan
perkotaan

menyulitkan

pemeliharaan

dan

pembersihan

terhadap

sampah dan sedimen.

52

Penetapan sempadan sungai yang diikuti dengan penegakan hukum.


Dasar hukum yang dapat dipakai sebagai acuan adalah Peraturan
Menteri PU No. 63 Tahun 1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah
Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai, dan Bekas Sungai. Di
daerah manfaat sungai (diantara dua garis sempadan, termasuk
bantaran

sungai)

terlarang

untuk

dijadikan

permukiman

karena

merupakan bagian dari sungai yang fungsinya untuk mengalirkan banjir.


Permukiman

di

daerah

ini

sangat

membahayakan

penghuninya

disamping mempersempit alur sungai dan menghambat aliran banjir.


Pada setiap sungai harus ditetapkan batas sempadannya yang diatur
dengan Peraturan Daerah. Penetapan sempadan sungai tidak hanya
pada bagian hilir sungai saja namun harus menyeluruh dari mata air
sampai muara. Permukiman yang hanyut tersapu banjir bandang seperti
halnya yang pernah terjadi di Majalengka, Bahorok, Pacet/Mojokerto,
Jember dan Situbondo kemungkinan besar berada di daerah manfaat
sungai yang seharusnya terlarang untuk permukiman.

Penyuluhan

dan

pendidikan

masyarakat

lewat

berbagai

media

menyangkut berbagai aspek dalam rangka meningkatkan pemahaman,


kepedulian dan peran sertanya dalam mengatasi masalah banjir.

Penanggulangan kemiskinan (poverty alleviation). Masyarakat miskin di


perkotaan banyak yang terpaksa menghuni daerah sempadan sungai
yang

seharusnya

bebas

hunian

karena

sangat

membahayakan

keselamatan jiwanya; demikian pula masyarakat petani lahan kering


di DAS hulu pada umumnya miskin sehingga kesufitan untuk
melaksanakan

pola

bercocok

tanam

yang

menunjang

upaya

konservasi tanah dan air. Upaya penanggulangan kemiskinan ini


perlu melibatkan berbagai instansi/sektor terkait dan masyarakat.

4.4.
4.4.1.

Pengelolaan dataran banjir.


Prinsip dasar pengelolaan dataran banjir

Tingkat kerawanan terhadap genangan pada lahan di dataran banjir


bervariasi, tergantung pada ketinggian permukaan tanah setempat.
Dengan menggunakan peta kontur ketinggian permukaan tanah, serta
melalui analisis hidrologi dan hidrolika, dapat dilakukan pembagian

53

(zoning) lahan di dataran banjir menurut tingkat kerawanannya terhadap


genangan banjir (banjir 10 tahunan, 25 tahunan, 50 tahunan dsb).
Pembagian zona dataran banjir (flood plain zoning) ini merupakan salah
satu

masukan

dalam

perencanaan

dan

atau

revisi

perencanaan

penataan ruang sedemikian rupa sehingga peruntukan penggunaan


lahan

disesuaikan

dengan

tingkat

kerawanannya

terhadap

resiko

genangan banjir. Misalnya lahan dibawah zona banjir 10 tahunan hanya


untuk kawasan pertanian, lahan diatas zona banjir 50 tahunan layak
untuk permukiman/real estat, sedangkan lahan diatas zona banjir 100
tahunan layak untuk bandar udara, dan sebagainya. Dengan mengikuti
rencana tata ruang di dataran banjir tersebut maka resiko terjadinya
bencana/kerusakan/kerugian akibat genangan banjir yang diderita oleh
masyarakat yang membudidayakannya menjadi minimal. Penyediaan
informasi untuk masyarakat berupa peta rawan/resiko genangan banjir
(flood

risk

map/flood

hazard

map)

dan

pemasangan

rambu-

rambu/monumen/papan peringatan di dataran banjir yang menunjukkan


elevasi/ketinggian genangan untuk berbagai tingkatan/besaran, dan juga
data kejadian genangan banjir yang telah lewat sangat bermanfaat untuk
memberi informasi sekaligus peringatan kepada masyarakat yang berada di
dataran banjir, agar mereka menyadari adanya resiko tinggal di wilayah
tersebut dan berupaya menyesuaikan diri. Penyesuaian diri misalnya
dengan membangun sistem flood proofing dan atau upaya antisipasi
dengan mengatur penggunaan bangunan yang telah terlanjur berada di
dataran banjir misalnya ruangan (baik di kantor, rumah dan hotel), sampai
ketinggian tertentu tidak dipakai untuk menyimpan dokumen penting dan
barang berharga lainnya.
4.4.2.

Pengelolaan dataran banjir di DKI Jakarta

Salah satu penyebab mengapa terjadi kerusakan dan kerugian yang relatif
besar yang diderita oleh masyarakat di DKI Jakarta sehubungan dengan
bencana banjir pada bulan Januari/ Februari di tahun 1996, 2002, 2007 dan
2008 yang lalu adalah akibat terbatasnya pemahaman dan kesadaran
masyarakat akan resiko bertempat tinggal dan melakukan berbagai
kegiatan di dataran banjir. Kerusakan dan kerugian tidak hanya diderita oleh
masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai dan di bantaran sungai yang
memang sangat rawan banjir dan genangan, namun juga di kawasan

54

perkantoran penting termasuk hotel dan perumahan mewah seperti


misalnya di Kuningan/Rasuna Said dimana dokumendokumen penting dan
mobil mewah konon hancur dan rusak terrendam banjir. Masyarakat
kemungkinan besar tidak pernah menduga dan menyadari bahwa kawasan
perkantoran megah dan hotel serta perumahan mewah yang mereka huni
sebenarnya berada di dataran banjir yang rawan dan sewaktuwaktu dapat
tergenang banjir.
Dataran banjir pada sungai-sungai di DKI Jakarta memang belum ditetapkan
batas-batasnya secara nyata mengikuti peraturan yang ada (Permen PU
63/93); demikian pula batas sempadan sungainya. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa lahan di dataran banjir telah terlanjur dikembangkan
menjadi kawasan budidaya sampai di tepi/tebing sungai dengan jenis
peruntukan yang beragam mulai dari permukiman, real estat, pertokoan/
perdagangan, hotel berbintang, sampai perkantoran penting. Meskipun
telah didasarkan pada rencana tata ruang, kemungkinan besar rencana tata
ruang

tersebut

belum

mempertimbangkan

adanya

resiko

terjadinya

genangan banjir. Persyaratan lain yang konon harus dipenuhi pada saat
mengajukan

izin

nampaknya

hanya

menyangkut

ketentuan

atau

persyaratan tentang peil banjir, fasum dan fasos, serta sumur resapan.
Ketentuan tentang peil banjir itupun tidak dilengkapi dengan informasi yang
menyangkut besaran banjirnya dan resiko genangan yang masih bisa
terjadi; sehingga terjadi persepsi yang keliru (misleading) di masyarakat,
yaitu bahwa apa bila mereka telah mengikuti peil banjir maka bangunan
dianggap telah bebas banjir.
Berbagai rekayasa teknis berupa prasarana dan sarana fisik pengendali
banjir dan genangan yang telah dibangun baik oleh pemerintah dan swasta
seperti tanggul banjir, waduk/polder berikut stasiun pompanya, pintu air,
stasiun pompa, banjir kanal, dan sebagainya, tampaknya ikut menambah
"keyakinan" masyarakat bahwa dataran banjir yang mereka budidayakan
telah bebas terhadap genangan banjir sepenuhnya (over confidence).
Jalan tol Sedyatmo yang lama adalah merupakan prasarana transportasi
yang sangat vital, namun tingkat kerawanannya terhadap genangan banjir
sampai saat ini sangat tinggi. Dalam tujuh bulan terakhir di musim hujan
2007-2008 tercatat telah tiga kali tergenang (Nopember 2007, Februari
2008 dan Mei 2008) sehingga arus transportasi dari dan ke bandara

55

Soekarno-Hatta terputus. Apa bila dipukul rata untuk setiap tahun


terjadi dua kali genangan, maka tingkat kerawanan jalan tol Sedyatmo
tersebut terhadap kemungkinan tergenang banjir untuk setiap tahunnya
sebesar 200%. Sungguh malang nasibnya bila dibandingkan misalnya
dengan sawah milik petani di dataran banjir sungai Citanduy di
kabupaten Ciamis yang telah dilindungi tanggul banjir dengan debit
banjir rencana 25 tahunan, sehingga tingkat kerawanannya terhadap
kemungkinan tergenang banjir untuk setiap tahunnya hanya 4 %.
Dengan telah dibangunnya jalan tol yang baru yang sebagian besar
merupakan jalan layang yang flood proof, maka masalah genangan di
jalan tersebut akan jauh berkurang.
Bencana banjir yang semakin sering terjadi dengan tingkat kerusakan
dan kerugian yang diderita oleh masyarakat yang semakin besar
seharusnya

dapat

pemerintah

dan

menjadi

pelajaran

masyarakat

berharga,

dalam

baik

melaksanakan

di

kalangan

upaya

untuk

mengatasinya dan tidak hanya mengandalkan upaya fisik saja namun


harus merupakan upaya menyeluruh (komprehensif) yang merupakan
kombinasi upaya struktur dan non-struktur. Kita perlu menyadari adanya
kekurangan yang selama ini telah terjadi dan perlu upaya bersama
untuk mengatasinya. Masalahnya menjadi tidak sederhana mengingat
sebagian

besar

dataran

banjir

di

DKI

Jakarta

telah

terlanjur

berkembang/dikembangkan tanpa mengikuti pola pengelolaan dataran


banjir yang benar. Sehubungan dengan itu untuk mengatasi masalah
banjir di DKI Jakarta khususnya yang terkait dengan upaya nonfisik yang
berupa pengelolaan dataran banjir (flood plain management) terdapat
tiga katagori upaya pemecahan yang kiranya dapat dilaksanakan,
sebagai berikut:

Upaya pertama berlaku pada lahan dataran banjir yang relatif masih
belum

dikembangkan

pembudidayaannya

sehingga

dapat

mengikuti

penataan
pola

ruang

pengelolaan

atau
dataran

banjir yang benar sehingga resiko atau kerugian apabila terjadi


genangan banjir minimal.
Perangkat lunak yang diperlukan berupa peta zona banjir untuk
beberapa tingkat besaran banjir (fl ood plain zoning) sebagai
masukan

bagi

revisi

penataan

ruang

yang

telah

ada,

serta

56

peninjauan kembali ketentuan menyangkut peil banjir misalnya


untuk banjir 50 tahunan dan/atau 100 tahunan.

Upaya kedua berlaku pada lahan di dataran banjir yang telah terlanjur
berkembang/dikembangkan dan penataan ruangnya sulit atau tidak
mungkin untuk dilakukan revisi. Untuk itu perlu upaya-upaya khusus
seperti misalnya dengan melakukan fl ood proofi ng terhadap bangunan
dan prasarana penting baik secara individual maupun kolektif, serta
memodifikasi/menyesuaikan peruntukan bangunan atau ruangan (hotel,
perkantoran, rumah tinggal, dan sebagainya) yang beresiko tinggi
tergenang banjir; dengan tujuan menekan besarnya bencana/ kerugian
apa bila terjadi genangan/banjir. Upaya fl ood proofi ng yang perlu
dilakukan antara lain untuk rumah sakit dan gardu listrik, misalnya
dengan meninggikan lantai bangunan, memodifikasi bangunan termasuk
bahan bangunannya, serta membangun tanggul keliling yang dilengkapi
pompa.

Flood

transportasi

proofi ng

penting

juga

seperti

perlu

misalnya

dilakukan
pada

untuk

jalan

prasarana

protokol

dan

membangun jalan layang untuk jalan tol Sedyatmo. Perangkat lunak


yang diperlukan berupa peta resiko banjir (fl ood risk/hazard map atau
fl ood-plain zoning) dan rambu-rambu peringatan yang menunjukkan
ketinggian/kedalama n genangan banjir yang telah lewat maupun yang
kemungkinan bisa terjadi untuk beberapa tingkatan atau besaran banjir.
Disadari bahwa upaya pada katagori kedua ini tidak mudah untuk
dilaksanakan. Berbagai peraturan daerah yang telah ada yang antara
lain menyangkut penataan ruang dan perizinan perlu disesuaikan
terlebih dahulu dan disosialisasikan sebelum dilaksanakan.

Upaya ketiga berupa penertiban lahan yang berupa daerah manfaat


dan

daerah

sempadan

sumber

air

yang

antara

lain

meliputi

sempadan waduk, sempadan situ, dan sempadan sungai termasuk


bantaran sungai yang merupakan zona terlarang (terlarang untuk
dibudidayakan

dan

untuk

permukiman).

Upaya

ini

boleh

jadi

merupakan upaya yang paling sulit dilaksanakan mengingat lahan


sempadan sungai di sepanjang kanan kiri tebing sungai banyak yang
telah terlanjur dipenuhi bangunan baik yang legal (memiliki IMB)
maupun yang illegal dari yang permanen maupun yang berupa
gubug

sangat

sederhana.

Kompromi

dari

aspek

teknis

yang

57

kemungkinan dapat ditempuh untuk mengatasi masalah ini antara


lain dengan mengupayakan agar lebar penampang sungai termasuk
bantarannya untuk mengalirkan debit banjir rencana dibuat seefisien
mungkin.

5. Resume.
5.1.

Upaya mengatasi masalah banjir.

Upaya mengatasi masalah banjir dari waktu ke waktu mengalami


perubahan yang nampaknya akan menyerupai siklus yang berulang
sebagai berikut: 1) Upaya pertama yang dilaksanakan sejak nenek
moyang kita adalah menyesuaikan diri dengan fenomena alam yang
berupa banjir (Gambar 29), dengan membangun rumah-rumah
adat/tradisional yang berupa rumah panggung. 2) Upaya berikutnya
adalah dengan rekayasa teknis di sungai berupa pembangunan
prasarana fisik pengendali banjir (Gambar 29 dan 30). 3) Menyadari
adanya keterbatasan kinerja prasarana fisik pengendali banjir, maka
upaya

ketiga

adalah

penggabungan

antara

prasarana

fisik

pengendali banjir dengan penyesuaian dengan fenomena alam


(gabungan antara upaya fisik dengan nonfisik)(Gambar 30). 4)
Seiring

dengan

tumbuhnya

kesadaran

terhadap

kelestarian

lingkungan/ kelestarian alam, upaya fisik seperti pembangunan


sudetan, tanggul banjir, dan bangunan perkuatan/pelindung tebing
sungai yang rigid dan masif dinilai merusak lingkungan; sehingga
akhir-akhir ini telah muncul gerakan merestorasi sungai (river
restoration)

untuk

dikembalikan

kepada

kondisi

alamiahnya.

Masalah banjir kembali diatasi dengan cara menyesuaikan dengan


fenomena alam (Gambar 31). Aplikasi konsep ini di Indonesia
nampaknya baru sampai pada tahap wacana mengingat paradigma
river management belum dapat menggantikan river angineering
sepenuhnya.

58

Gambar 29. Tahapan upaya mengatasi masalah banjir

Gambar 30. Tahapan upaya mengatasi masalah banjir

59

Gambar 31. Tahapan upaya mengatasi masalah banjir

Masalah banjir di Indonesia dirasakan semakin meningkat dari tahun


ke

tahun,

selain

disebabkan

lingkungan

yang

mengakibatkan

membesar,

juga

oleh

akibat

adanya

debit

perubahan

aliran

terus

banjir

kondisi
semakin

berlangsungnya

pengembangan/pembudidayaan lahan yang berupa dataran banjir


(flood-plain)

yang

permukiman/perkotaan,

rawan

banjir

menjadi

industri,

perdagangan,

kawasan

pertanian

dan

kawasan-kawasan penting lainnya. Pembudidayaan lahan tersebut


sampai

saat

resiko/kemungkinan

ini

kurang

terjadinya

mempertimbangkan
genangan

banjir.

Para

adanya
planner

beranggapan bahwa masalah banjir dapat diatasi dengan rekayasa


teknis.

Untuk mengatasi masalah banjir, sampai saat ini lebih mengandalkan


pada upaya fisik (structural measures) yang dilaksanakan melalui
berbagai proyek pengendalian banjir (flood control). Prasarana/sistem
pengendali banjir direncanakan dan dibangun berdasarkan debit
banjir rencana dengan besaran tertentu, yang bervariasi antara
sungai satu dengan sungai lainnya dengan debit banjir berkisar

60

antara 5 tahunan sampai dengan 100 tahunan. Sistem pengendali


banjir tersebut tidak dapat mengubah dan menjamin dataran banjir
yang dilindunginya menjadi kebal dan bebas dari luapan banjir secara
mutlak; dan hanya berfungsi untuk mengurangi frekuensi terjadinya
luapan banjir.

Obsesi masyarakat yang tinggal di dataran banjir atau penerima


manfaat dari sistem pengendali banjir agar banjir benar-benar hilang
dan tidak akan terjadi lagi, adalah sia-sia. Mereka belum memahami
bahwa kinerja sistem pengendali tersebut terbatas, sehingga kurang
menyadari bahwa meskipun sudah ada sistem pengendali banjir
tetap ada resiko tergenang banjir.

Menyadari keterbatasan upaya fisik tersebut maka para pakar


masalah banjir di seluruh dunia sepakat bahwa upaya mengatasi
masalah

banjir tidak dapat atau tidak

untuk

menghilangkan

masalah secara tuntas, namun bertujuan agar bencana dan


kerugian yang diderita oleh masyarakat akibat terjadinya banjir
menjadi sekecil mungkin. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan
menerapkan upaya menyeluruh (integrated flood management)
yang merupakan kombinasi upaya fisik (struktur) dan upaya
nonfisik (nonstruktur) dan harus merupakan bagian yang tidak
terpisahkan

dengan

pengelolaan

sumber

daya

air

secara

menyeluruh dan terpadu (IWRM) dalam satu wilayah sungai .


Ketentuan ini telah dituangkan di dalam Undang-undang No.7
tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Undang-undang tersebut
bahkan telah mengamanatkan agar dalam mengendalikan daya
rusak

air

(antara

pencegahan;

lain

dan

banjir)

terhadap

lebih

mengutamakan

upaya

pencegahan

lebih

upaya

mengutamakan kegiatan nonfisik.

Terjadinya perubahan iklim (climate change) kemungkinan besar


berpengaruh

terhadap

peristiwa

terjadinya

banjir

besar

di

Bengawan Solo pada akhir bulan Desember 2007 dan banjir di DKI
Jakarta pada awal bulan Februari tahun 2007 dan 2008. Bila benar
maka

analisis

debit

banjir

rencana

di

berbagai

proyek

pengendalian banjir yang ada yang didasarkan pada perhitungan


konvensional

menjadi

tidak

sahih

(valid)

lagi.

Hal

tersebut

61

berpengaruh terhadap kinerja dari seluruh sistem pengendali


banjir yang telah ada.

Sampai saat ini terdapat kecenderungan bahwa segala kerusakan,


kerugian

dan

bencana

akibat

banjir

seluruhnya

dianggap

merupakan bencana alam diluar kemampuan dan tanggung jawab


manusia (termasuk institusi pengelola sumber daya air). Belum
ada kriteria yang membedakan antara kerugian, kerusakan dan
bencana

yang

ditimbulkan

oleh

alam

diluar

kendali

dan

kemampuan manusia, dengan kerugian, kerusakan dan bencana


yang disebabkan oleh kesalahan manusia.

Air seharusnya menjadi faktor pembatas dalam perencanaan


penataan ruang di dataran banjir, dan ticlak hanya menyangkut
ketersediaannya untuk air baku bagi pertanian serta air minum
rumah tangga serta industri, namun juga harus mengantisipasi
adanya

potensi

bencana

atau

daya

rusak

air

yang

dapat

ditimbulkannya, antara lain berupa banjir.

5.2.

Upaya yang perlu segera dilakukan

Masalah banjir di Indonesia telah menjadi masalah nasional yang


mempengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik sosial,
ekonomi, lingkungan, budaya, politik, pertahanan, dan keamanan.
Oleh sebab itu perlu upaya yang serius untuk mengatasinya, yang
didasarkan pada kebijakan dan strategi baru yang dimotori oleh
pemerintah, dengan melibatkan para fihak yang terkait dalam hal ini
pemerintah,

swasta

dan

diperlukan

pemahaman

masyarakat
vang

(stakeholders).

sama

diantara

Untuk

itu

stakeholders

menyangkut banjir, masalah banjir dan bagaimana mengatasinya.

Penyamaan

pemahaman

di

lingkungan

stakeholdres

sangat

mendesak untuk dilaksanakan, antara lain lewat berbagai media


masa termasuk lembaga pendidikan dan LSM.

Untuk mengatasi masalah atau bencana yang terkait dengan air


(dalam hal ini banjir), perlu dilakukan perubahan paradigma, dari
melawan

dan

mengendalikan

banjir

"(flood

control"

menjadi

62

memitigasi

atau

mengurangi

besarnya

kerugian/bencana,

mengantisipasi dan menyesuaikan/mengadaptasi fenomena banjir;


dengan menerapkan upaya yang menyeluruh meliputi upaya fisik
dan nonfisik (integrated flood management). Antisipasi dan adaptasi
harus mencakup gejala alam yang ekstrim antara lain sebagai akibat
terjadinya perubahan iklim sehubungan dengan pemanasan global.
Paradigma baru tersebut hendaknya mewarnai seluruh kebijakan dan
strategi baru serta upaya dan kegiatan dalam rangka mengatasi
masalah banjir. Tanpa dilakukan perubahan paradigma serta perubahan
kebijakan dan strategi, masalah banjir dikhawatirkan akan berkembang
terus dan akan semakin sulit untuk diatasi.

Perubahan

paradigma

tersebut

kemungkinan

akan

mengundang

berbagai reaksi dari masyarakat, yang dapat menimbulkan situasi yang


kurang kondusif terhadap upaya mengatasi masalah banjir. Oleh karena
itu proses perubahan tersebut perlu dikelola dengan baik, antara lain
lewat penyuluhan, pendidikan baik formal maupun informal, dan dengan
memanfaatkan berbagai media masa yang ada.

Perlu kajian dan analisis yang mendalam dan serius tentang dampak
perubahan iklim terhadap perubahan pola hujan dan debit banjir, untuk
masukan dalam melakukan adaptasi. Untuk itu perlu dukungan data
yang memadai.

Segala upaya penanganan masalah bajir yang telah dilaksanakan perlu


dievaluasi dan dianalisis secara menyeluruh dengan berlandaskan pada
paradigma, kebijakan dan strategi yang baru, serta dikaitkan dengan
berbagai

perubahan

lingkungan

termasuk

perubahan

iklim,

serta

dipadukan dengan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah


sungai

yang

bersangkutan.

Pengelolaan

sumber

daya

air

harus

dilaksanakan sejalan dengan UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya


Air. Hasil evaluasi dipakai sebagai masukan dalam menyusun program
penanganan masalah banjir secara menyeluruh ke depan dengan
melibatkan seluruh stakeholders.

Seiring dengan pelaksanaan evaluasi dan penyusunan program tersebut


diatas, dapat dilaksanakan kegiatan yang sangat mendesak antara lain:
penyempurnaan prasarana fisik pengendali banjir yang telah ada agar
adaptif terhadap kejadian banjir yang lebih besar dari debit banjir

63

rencana; pembuatan peta daerah rawan banjir yang identik dengan


dataran banjir pada seluruh sungai yang menimbulkan masalah banjir;
serta penyuluhan dalam rangka penyamaan pemahaman bagi seluruh
stakeholders.

Peta

dataran

banjir

tersebut

diperlukan

dalam

menyiapkan flood-plain management plan seperti halnya yang telah


dilaksanakan di sungai Citarum Hulu. Peta daerah rawan banjir yang
telah dibuat bukan merupakan peta dataran banjir dan hanya berupa
peta genangan banjir yang pernah terjadi/ yang telah lewat.

Kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP) sumber daya air termasuk OP


sistem pengendali banjir yang sudah ada agar mendapat perhatian yang
sewajarnya, mengingat kegiatan ini merupakan ujung tombak pelayanan
publik di bidang sumber daya air. Perhatian tentang OP tidak hanya
terbatas menyangkut penyediaan biayanya tetapi juga menyangkut
institusi

pengelola

maupun

petugas

pengelola

yang

tidak

lagi

berorientasi hanya pada pembangunan fisik/development semata.


Perlu

mengubah

paradigma

secara

mendasar,

dari

yang

hanya

berorientasi pada pengembangan sumber daya air berubah menjadi


pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh (Integrated Water
Resources Management) sejalan dengan UU No. 7 tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air.

Perlu kriteria atau batasan yang jelas yang membedakan antara


kerusakan dan atau bencana banjir yang diakibatkan oleh kesalahan
manusia termasuk

pengelola; dan

kerusakan

dan

bencana

yang

diakibatkan oleh fenomena alam diluar kendali dan kemampuan


manusia.

6. Penutup.
Banjir dan masalah banjir mengalami peningkatan dari waktu ke waktu dan
sudah menjadi agenda rutin yang harus kita hadapi setiap tahun.
Peningkatan masalah banjir terutama disebakan oleh pembudidayaan
dataran banjir yang kurang adaptif terhadap kejadian banjir, serta dipacu
oleh

terjadinya

kerusakan

lingkungan

akibat

pertumbuhan

jumlah

penduduk, pertumbuhan ekonomi dan juga terjadinya perubahan iklim. Di


lain fihak upaya untuk mengatasi masalah banjir yang telah dilaksanakan

64

masih menggunakan paradigma lama dengan mengandalkan upaya fisik


yang menjadi domain pemerintah semata. Upaya fisik dilaksanakan
setelah terjadinya masalah dan berupa pembangunan sistem pengendali
banjir, yang bertujuan untuk "melawan dan mengendalikan" banjir (flood
control) sampai pada besaran banjir tertentu; dan tidak mengupayakan
agar masalah itu tidak terjadi atau besarnya masalah dapat ditekan
menjadi sekecil mungkin (flood management).
Kurangnya perhatian menyangkut upaya nonfisik sampai saat ini, telah
mengakibatkan masalah banjir terus meningkat dengan cepat dan jauh
lebih besar dari upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah. Sejak
manusia mulai membudidayakan lahan di dataran banjir untuk bercocok
tanam maupun tambak pun, sesungguhnya masalah itu sudah mulai
muncul dan tidak akan hilang sampai kapanpun. Masalah atau potensi
dan

besarnya

masalah

terus

meningkat

seiring

dengan

terus

dikembangkannya lahan tersebut menjadi permukiman/ perdesaan dan


kemudian

berkembang

menjadi

perkotaan,

industri,

prasarana

perhubungan, dan kawasan penting lainnya dengan nilai aset yang


semakin besar; tanpa mengantisipasi dan mengadaptasi kejadian banjir.
Sehubungan dengan itu maka tidak ada jalan lain kecuali harus
mengubah paradigma kita dari mengendalikan banjir secara fisik (flood
control)

menjadi

mengatasi

masalah

banjir

secara

menyeluruh

(integrated flood management) yang menjadi tugas dan tanggung jawab


seluruh stakeholders. Semoga dengan membaca buku ini kita semua
dapat tergugah untuk ikut berperan (sekecil apapun) dalam mengatasi
atau paling tidak ikut meringankan atau mengurangi masalah, dan tidak
sebaliknya malah membebani atau memperbesar masalah. Semoga...
Jakarta, Desember 2009

65

DAFTAR PUSTAKA
1.

Berbagai

peraturan

perundang-undangan

yang

menyangkut

sungai dan banjir, antara lain: Undang-Undang No.7 tahun 2004


tentang Sumber Daya Air; Paraturan Menteri PU No.63 tahun
1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai,
Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai.
2.

Jansen, Principles of River Engineering, Pitman, 1979.

3.

Henderson: Open Channel Flow.

4.

Peterson, Margaret S., River Engineering, Prentice-Hall, 1986.

5.

Framji, KK., Manual of Flood Control Methods and Practices, ICID,


1983.

6.

Framji, KK. And Garg, BC., Flood Control in The World, a Global
Rewiew, ICID Vol. I, 1976, Vol. II, 1977.

7.

Direktorat Sungai Dirjen Pengairan, Flood Control Manual, 1993.

8.

Direktorat Sungai Dirjen Pengairan, Flood Plain Management Plan


for Upper Citarum Basin, Proyek PPS Citarum Hulu, 1993.

9.

Siswoko, Ir. Dipl. HE, River Engineering, Lecture Notes untuk


Pendidikan Pasca Sarjana Teknik Pengairan, Bandung, 1986.

10. Siswoko, Ir. Dipl. HE, Pengendalian Banjir, Modul untuk kursus di
lingkungan Ditjen Pengairan, 1990.
11. Siswoko, Ir. Dipl. HE, Pengaturan Alur Sungai, Modul untuk kursus
di lingkungan Ditjen Pengairan, 1990.
12. Siswoko, Ir. Dipl. HE, Pembinaan Sungai, Modul untuk kursus dan
penyuluhan hukum di lingkungan Ditjen Pengairan, 1991.
13. Siswoko, Ir. Dipl. HE, Laporan Mengikuti Konggres ke 13 ICID, Den
Haag, September, 1993.
14. Siswoko, Ir. Dipl. HE, Laporan Mengikuti Simposium Internasional
tentang Management of Rivers for the Future, Kuala Lumpur,
November, 1993.

66

15. International Commission on Irrigation and Drainage (ICID):


Manual on Non-Structural Approaches to Flood Management,
August 1999.
16. Siswoko, Ir. DipI.HE, Peran Teknik Sungai (River Engineering)
Dalam

Pengelolaan

Mengatasinya.

Sumber

Diskusi

Daya

interaktif

Air,

Masalah

Pengelolaan

dan

Sungai

Upaya
yang

Berkelanjutan, HATHI Cabang Semarang, Agustus 2003.


17. Global Water Partnership Technical Committee (TECJ: Climate
Change

Adaptation

and

Integrated

Water

Resources

Management-An Initial Overview.


18. First Asia-Pacific Water Summit: Policy Brief 2007.

67

Anda mungkin juga menyukai