Anda di halaman 1dari 6

Kanal merupakan terusan air buatan manusia . Dalam bahasa lokal, keduanya disebut "terusan".

Perbedaan utama dari keduanya adalah bahwa navigasi paralel dengan sungai dan berbagi tempat
drainase, sementara kanal memotong melintasi tempat pembagian drainase.

Van Breen dan Pembangunan Kanal Banjir di Jakarta


Banjir Kanal Barat adalah proyek monumental Herman Van Breen. Ia pula
yang membangun Bendung Katulampa di Bogor.
Selama dua bulan, dari Januari hingga Februari 1918, hujan mengguyur Kota Batavia (kini
Jakarta) dan sekitarnya dengan amat lebat. Hujan itu menyebabkan banjir besar yang melanda
berbagai wilayah di Jakarta, termasuk di kampung-kampung sekitar Weltevreden, permukiman
elite Belanda, seperti Kampung Tanah Tinggi, Kampung Lima, dan Kemayoran Belakang.

Kali Ciliwung yang membelah Jakarta dari selatan ke utara meluap, sehingga menimbulkan
banjir. Toko-toko di jalanan Pasar Baru, Tanah Lapang Singa, dan Schoolweg, yang semuanya
berada di pinggir Ciliwung, kebanjiran. Kampung Pejambon yang rendah terendam air setinggi
sekitar 1 meter dan penduduknya mengungsi.

Banjir juga menyebabkan sarana transportasi umum terhenti. Trem listrik, yang biasanya
melintas di Tanah Tinggi, terpaksa tidak bisa melayani penumpang. Di sepanjang Rijswijk (kini
Jalan Veteran) banyak stoomtram yang terkena air, sehingga lokomotifnya kehilangan tenaga.
Trem itu mogok di tengah air dan harus ditarik.

Demikian Restu Gunawan, dalam buku Gagalnya Sistem Kanal, Pengendalian Banjir Jakarta dari
Masa ke Masa (2010), mengisahkan. Menurut dia, banjir besar pada 1918 juga mendorong
naiknya harga makanan pada saat itu. Padahal harga beras sedang membubung tinggi. Pada
waktu itu, penyakit kolera juga sedang mewabah di Batavia. “Setiap hari ada 6-8 orang yang
masuk rumah sakit,” kata Restu Gunawan.

Robert M Delinom, seorang pakar hidrologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), pada 2014 menulis, banjir Batavia 1918 adalah paling besar
dibanding sebelumnya. Banjir itu merupakan dampak dari pembabatan hutan di Puncak, Bogor,
untuk perkebunan teh. “Banyak korban manusia dan harta benda yang lain," tulis Robert.
Banjir di Jakarta seabad lalu itu telah memaksa pemerintah Belanda mengambil tindakan. Dalam
rapat Dewan Kota pada 18 Februari 1918, Wali Kota Batavia mengusulkan agar pembangunan
kanal banjir Kali Malang (kini Banjir Kanal Barat) segera diselesaikan. Untuk itu, Burgelijke
Openbare Werken (semacam Jawatan Pekerjaan Umum) mengajukan anggaran 500 ribu gulden
kepada Gubernur Jenderal.

Banjir Kanal Barat terbentang dari Manggarai ke barat hingga Karet, lalu berbelok ke utara dan
berujung di Muara Angke. Pembangunannya dimulai sejak 1912 oleh seorang insinyur pengairan
Belanda, Herman van Breen. Breen awalnya bekerja sebagai kepala kantor Pengairan BOW.
Setelah Banjir Kanal Barat selesai pada 1919, laki-laki kelahiran Amsterdam, 21 Mei 1881, itu
diangkat sebagai anggota Dewan Kota Batavia.

Situs Pemprov DKI Jakarta mencatat, Van Breen adalah seorang Belanda yang sosoknya sangat
lekat dengan sejarah pengendalian banjir di Jakarta. Setelah ditugaskan oleh pemerintah Hindia
Belanda di Departemen Pengairan BOW, ia memimpin 'Tim Penyusun Rencana Pencegahan
Banjir' secara terpadu meliputi seluruh Batavia, yang luasnya saat itu baru sekitar 2.500 hektare.

Konsep penanggulangan banjir ala Van Breen sebetulnya sederhana, tapi perlu dilakukan dengan
cermat dan berbiaya tinggi. Intinya adalah mengendalikan air dari hulu sungai dan membatasi
volumenya ketika masuk ke Kota. Karena itu, perlu dibangun kolektor di pinggir selatan kota
untuk menampung air dan selanjutnya mengalirkannya ke laut. Saluran kolektor itulah yang
disebut banjir kanal.

Melalui artikelnya yang terbit pada 1932, seperti yang diungkapkan Restu Gunawan (2010), Van
Breen mengatakan sebetulnya ada tiga skenario pembangunan kanal untuk mengalirkan banjir ke
laut. Pertama, saluran dimulai dari Ciliwung di Cawang ke barat memotong Sungai Krukut di
Senayan, Sungai Grogol, hingga bergabung dengan Sungai Kali Angke terus ke laut.

Pilihan kedua berupa pemotongan alur ke arah dalam kota dan kanal yang lebih pendek.
Alternatif ketiga adalah seperti terwujud dalam pembangunan Banjir Kanal Barat. Manggarai
dipilih sebagai titik tolak pembangunan kanal karena merupakan batas selatan Kota Batavia,
yang masih relatif aman dari banjir. Hal itu mempermudah sistem pengendalian air saat hujan
tiba.

Untuk membangun kanal banjir tahap pertama, antara Pintu Air Manggarai hingga Karet,
pemerintah Belanda menyetujui biaya sebesar 574 ribu gulden, yang terdiri atas uang dan
material, pada 1913. Selanjutnya, pada 1915, Breen mengusulkan untuk melanjutkan pengerjaan
kanal itu dari Karet hingga Muara Angke. “Seluruh penggalian kanal banjir Kali Malang
dikerjakan dengan tenaga tangan,” imbuh Restu Gunawan.

Pengerjaan Kanal Banjir Barat selesai pada 1919, satu tahun setelah banjir besar melanda
Jakarta. Atas jasa Van Breen tersebut, BOW membuat plakat sebagai bentuk penghargaan.
Plakat itu sampai hari ini masih terpasang di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan.
Breen sebetulnya tidak hanya membangun Banjir Kanal Barat kala ditugasi untuk menangani
banjir di Batavia. Ia sadar bahwa banjir akan selalu mengancam kota dan tidak akan teratasi bila
hanya membangun sistem tata air di dalam Kota Batavia. Perlu penanganan juga di daerah hulu,
yaitu kawasan Puncak, Bogor. Karena itu, Breen juga menginisiasi pembangunan Bendung
Katulampa di Ciawi dan Bendung Empang di hulu Sungai Cisadane. Tujuannya adalah
menampung sementara air sebelum mengalir di Jakarta.

Sementara itu, Restu Gunawan mengatakan, hingga akhir 1913, ada lima proyek Breen yang
disetujui pemerintah selain Banjir Kanal Barat, yaitu Pintu Air Matraman, Pintu Air Gusti,
Normalisasi Sunter, dan proyek saluran Cideng. Ia juga bertanggung jawab atas perawatan
bangunan-bangunan itu. Setelah menyelesaikan Banjir Kanal Barat, Breen juga diminta membuat
perencanaan perbaikan kesehatan di Batavia.

BANJIR KANAL TIMUR

Merupakan inisiatif Pemerintah Provinsi DKl Jakarta di bawah Sutiyoso untuk merealisasikan
Jakarta bebas banjir, dengan melengkapi fasilitas Banjir Kanal Barat yang terlebih dahulu
dibangun pada masa kolonial Belanda. Bila hal tersebut terwujud, maka bentuk kanal banjir di
Jakarta akan mirip tapal kuda, dimana saluran banjir kanal timur sepanjang 23,6 kilometer di
Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Penggalian pertama dilakukan 22 Juni 2002 bertepatan dengan
Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-475 Kota Jakarta. Saluran banjir kanal yang lebarnya 100-300
meter tersebut diharapkan bisa mengatasi banjir yang sering melanda Jakarta.

Banjir kanal timur direncanakan menampung lima aliran sungai yang sering menimbulkan banjir,
yakni Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Sedangkan
penggalian saluran akan melintasi 13 kelurahan di empat kecamatan dengan catchment area atau
daerah tangkapan air seluas 20.125 hektar. Proyek ini mengacu pada masterplan Nedeco yang
dibuat tahun 1973, rencana detailnya dibuat Nikken dan Nippon tahun 1990, dan konsultan
Jepang tahun 1997. Biaya pembangunan berasal dari pemerintah pusat, yang keseluruhannya
mencapai sekitar Rp 15 trilyun yang dilakukan secara bertahap selama 10 tahun, sebagian berasal
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) DKl Jakarta.

Pembangunan saluran banjir kanal timur dibagi menjadi 13 tahap dengan memanfaatkan tanah
seluas 330 hektar, terdiri atas tanah masyarakat seluas 220 hektar, swasta 83 hektar, dan tanah
milik Pemerintah DKI Jakarta seluas 19 hektar. Besarnya luas tanah yang digunakan ini, karena
saluran banjir kanal cukup lebar, yakni dengan lebar antara 100-300 meter, tergantung lokasinya,
sedangkan lebar bantaran kali masing-masing 18 meter di sisi kiri dan kanan saluran.

Dibuat sejak ribuan tahun yang lalu

Kanal adalah saluran air buatan manusia yang dibuat untuk berbagai keperluan yang membantu
kehidupan manusia. Kanal sudah dibuat oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Kanal tertua
ditemukan di Mesopotamia, sekitar  tahun 4000 SM. Walaupun bentuk kanal hampir tidak
berubah, teknologi pembangunan kanal makin berkembang.

Guna kanal bagi manusia

Kanal ada di seluruh dunia. Sebenarnya untuk apa, sih, manusia membuat kanal? Ini beberapa
guna kanal:
1. Transportasi. Kanal dapat dilalui oleh kapal dan perahu untuk membawa orang dan
barang. Kanal untuk transportasi biasanya terhubung dengan sungai, danau atau laut.

2. Irigasi. Kanal dibuat untuk mengairi lahan pertanian. Air dari kanal ini disalurkan ke
lahan pertanian lewat saluran yang lebih kecil. Kanal ini ukurannya ada yang besar dan
bisa dilalui perahu, ada juga yang kecil.

3. Pengendali banjir. Kanal dapat menjadi saluran tempat membuang kelebihan air, jadi air
sungai tidak meluap dan permukaan tidak tergenang.

4. Tujuan wisata. Beberapa kanal di dunia menjadi daerah tujuan wisata dan ikon kota.
Ribuan kanal di Venisia menjadi tujuan wisata yang bisa dinikmati dari atas gondola.

Anda mungkin juga menyukai