Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

BENCANA BANJIR DI JAKARTA

Disusun Oleh :

NAMA : DIAN ALI SAFDINA

KELAS : XII IPS PAKET C


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Karena atas

berkat rahmat dan karunia-Nya, penyusunan makalah ini dapat terselesaikan

dengan cukup baik. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk

memenuhi tugas akhir. Dengan judul “Bencana Banjir”. Dengan membuat

tugas ini kami diharapkan mampu untuk lebih peduli terhadap kebersihan dan

kelestarian lingkungan sehingga tidak rawan terjadinya bencana banjir.

Dalam penyelesaian makalah ini , kami banyak mengalami kesulitan terutama

disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat

bimbingan dan bantuan dari pihak lain, akhirnya makalah ini dapat

terselesaikan. Karena sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses

pembelajaran, penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh

Karena itu,Kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat

positif. Guna penulisan makalah ini yang lebih baik lagi . harapan kami semoga

ini dapat berguna bagi kita semua.

Senin, 01 Maret 2021

Dian Ali Safdina


BAB I

PENDAHULUAN

A. TOPOGRAFI DKI JAKARTA

Topografi Provinsi DKI Jakarta dianalisis dari aspek ketinggian lahan

dan kemiringan lahan. Provinsi DKI Jakarta terletak pada dataran rendah

dengan ketinggian rata-rata 8 meter di atas permukaan laut. Sedangkan,

sekitar 40 persen wilayah Provinsi DKI Jakarta berupa dataran yang

permukaan tanahnya berada 1-1,5 meter di bawah muka laut pasang. Sekitar

0-3 persen wilayah Provinsi DKI Jakarta yaitu memiliki kecenderungan datar,

sementara daerah hulu dimana sungai-sungai yang bermuara di Provinsi DKI

Jakarta memiliki ketinggian yang cukup tinggi yaitu sekitar 8-15 persen di

wilayah Bogor dan Cibinong, sedangkan daerah Ciawi-Puncak memiliki

ketinggian lebih dari 15 persen.

Fenomena banjir yang terjadi di Jakarta tidak lepas dari kemiringan

lerengnya. Hal ini disebabkan karena beberapa lokasi kota Jakarta masih

tergolong dalam tingkat kemiringan lereng 0-3 persen atau berada pada

kemiringan lereng relatif landai. Kemiringan lereng pada kota Tangerang dan

Bekasi memiliki karakteristik yang sama, sehingga dapat dinyatakan bahwa

sebagian besar kawasan Jabodetabek berada pada kemiringan lereng relatif

landai.
Dengan kondisi kemiringan lahan yang demikian, ditambah dengan 13

sungai yang mengalir di wilayah Provinsi DKI Jakarta menyebabkan

kecenderungan semakin rentannya wilayah Jakarta untuk tergenang air dan

banjir pada musim hujan. Terlebih jika memperhatikan tingginya tingkat

perkembangan wilayah di sekitar Jakarta, menyebabkan semakin rendahnya

resapan air kedalam tanah dan menyebabkan run off air semakin tinggi, yang

pada gilirannya akan memperbesar ancaman banjir di wilayah Provinsi DKI

Jakarta

B. SEJARAH BANJIR JAKARTA

Rentetan banjir besar Jakarta telah berlangsung lama bahkan bencana itu

sempat terjadi tahun 1600-an, tepatnya saat Jan Pieterszoon Coen menjabat

sebagai Gubernur Jenderal VOC. Saat itu, Coen membangun sejumlah kanal

dan sodetan Kali Ciliwung. Cara ini ia tempuh untuk mengatasi banjir yang

melanda Batavia (sekarang DKI Jakarta), namun tak membuahkan hasil.

Banjir besar terjadi menerjang Jakarta tahun 1918 saat pemerintahan

Gubernur Jenderal VOC Johan Paul van Limburg Stirum. Dua tahun

kemudian, tepatnya tahun 1920, Stirum mencanangkan Kanal Banjir Barat.

Pembangunan Kanal Banjir Barat itu dimulai dari Pintu Air Manggarai

hingga Muara Angke. Saat itu, ketinggian air mencapai 1,5 meter di beberapa

titik.Menurut situs Historia, pada masa kolonial, pemerintah membentuk

Department van Burgerlijke Penbare Werken (BOW) tahun 1918. Lalu


diserahkan kepada Gemeentewerken atau badan yang mengurusi

perhubungan dan perairan di tingkat kotapraja pada 1933 saat itu, pemerintah

Belanda menggambarkan 25 ribu gulden (mata uang jaman penjajahan

Belanda) untuk menanggulangi banjir di daerah Jembatan Lima, Blandongan,

dan Klenteng.

Puncak pengendalian banjir di Jakarta diketahui terjadi pada 1913 sampai

1930. Tahun 1927, pemerintah sempat mengeluarkan 288.292 gulden.

1. Banjir Jakarta Tahun 1960 sampai 1970-an

Usai Indonesia dinyatakan merdeka dari penjajahan, masalah banjir

kembali menjadi perhatian tahun 1965. Saat periode yang sama, pemerintah

membentuk Komandao Proyek Pencegahan Banjir dan berganti nama menjadi

Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya tahun 1972.

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin saat itu juga menggandeng pihak asing

yaitu Netherlands Engineering Consultants untuk membangun waduk dalam

kota serta pembuatan saluran baru seperti saluran Cengkareng dan

Cakung.Meski Ali telah melakukan perpanjangan saluran kolektor, normalisasi

sungai sampai sodetan kali, banjir besar tetap terjadi awal 1976.

2. Banjir Besar Kembali Menerpa Jakarta tahun 2000-an

Saat kepemimpinan Sutiyoso (periode 1997-2007), Jakarta dilanda banjir

besar tahun 2002 dan 2007. Namun, banjir tahun 2007 lah yang lebih luas dan

banyak memakan korban jiwa.


Setidaknya ada 80 jiwa yang harus merenggut nyawa. Kerugian material akibat

lumpuhnya perputaran bisnis saat itu mencapai triliunan rupiah dan warga yang

mengungsi sekitar 320.000 ribu jiwa.

Curah hujan yang cukup deras menyebabkan tanggul jebol di Banjir Kanal

Barat (BKB) aliran Kali Sunter. Akibatnya, kawasan Jatibaru-Tanah Abang dan

Petamburan tergenang air setinggi 2 meter.Era Sutiyoso pun berakhir, banjir

besar lagi-lagi menerjang Jakarta tahun 2015. Saat itu, curah hujan masuk

kategori ekstrem, (diatas 150 milimeter (mm) per hari) yakni 170 mm.

Curah hujan tinggi ini terjadi di Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta

Utara, Jakarta Timur bagian utara, Tangerang, dan Pasar Minggu di Jakarta

Selatan.Empat tahun berselang tepatnya saat malam pergantian tahun 2020,

Jakarta kembali diguyur hujan lebat tanggal 31 Desember 2019 sekitar pukul

17.00 WIB sampai 1 Januari 2020 sekitar pukul 11.00 WIB. Curah hujan

yang mengguyur tercatat 377 mm per hari. BMKG menyebut curah hujan ini

tertinggi sejak 1996.

Akibatnya ada 169 titik banjir di seluruh wilayah Jabodetabek dan

Banten, seperti disampaikan Kapusdatin dan Humas BNPB  Agus Wibowo.

Titik banjir terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat 97 titik, DKI Jakarta 63

titik dan Banten 9 titik.Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah

yang paling terdampak banjir adalah Kota Bekasi (53), Jakarta Selatan (39),

Kabupaten Bekasi (32), dan Jakarta Timur (13)


BAB II

PEMBAHASAN

A. FAKTOR PENYEBAB BANJIR

Menurut analisis Aqueduct Global Flood Analyzer, Indonesia adalah

negara dengan jumlah populasi terdampak bencana banjir terbesar ke-6 di

dunia, yakni sekitar 640.000 orang setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan

Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir merupakan bencana

yang paling sering terjadi di Indonesia dengan 464 kejadian banjir setiap

tahunnya. Banjir yang disertai longsor menjadi bencana ke-6 yang paling

sering terjadi di Indonesia dengan 32 kejadian setiap tahunnya. Ada tiga

faktor utama penyebab banjir dan longsor yang paling banyak disoroti, yaitu

berkurangnya tutupan pohon, cuaca ekstrem, dan kondisi topografis Daerah

Aliran Sungai (DAS).

1. Berkurangnya Tutupan Pohon

Tutupan pohon berperan sangat penting dalam menjaga keseimbangan

hidrologis suatu DAS. Dengan terjaganya tutupan pohon, tanah mampu

terus meresap air. Hal ini karena tingginya kandungan bahan organik yang

membuat tanah menjadi gembur serta pengaruh akar yang membuat air

lebih mudah diresap ke dalam tanah. Ketika tutupan pohon berkurang,

keseimbangan hidrologis lingkungan sekitarnya juga akan mudah


terganggu. Air hujan yang turun akan sulit diresap oleh tanah dan lebih

banyak menjadi aliran air di permukaan. Sebagai contoh, hasil analisis

dari Global Forest Watch (GFW) mengindikasikan kehilangan 887 ha

tutupan pohon di pegunungan Cyclop, Papua, pada periode 2001-2018, yang

berdampak pada banjir di Distrik Waibu, Sentani, dan Sentani Timur.

Hasil analisis GFW juga mengindikasikan berkurangnya tutupan pohon

di DAS Jeneberang (Provinsi Sulawesi Selatan) dan DAS Bengkulu

(Provinsi Bengkulu) masing-masing sebesar 1.990 dan 11.400 ha pada

periode yang sama. Kegiatan perambahan hutan dan penambangan liar yang

marak telah menyebabkan kerusakan DAS di hulu sungai, yang

memperbesar risiko terjadinya banjir dan longsor. Satu hal yang harus

digarisbawahi di sini adalah berkurangnya tutupan pohon merupakan salah

satu penyebab terjadinya banjir dan longsor, namun bukan merupakan

faktor tunggal terjadinya bencana tersebut. Faktor lain juga berpengaruh

terhadap terjadinya bencana ini seperti cuaca ekstrem dan kondisi topografis

wilayah.

2. Cuaca Ekstrem

Curah hujan dengan intensitas yang tinggi (umumnya melebihi 100

mm per hari) dan dalam waktu yang cukup lama kerap kali berkontribusi

terhadap terjadinya banjir di Indonesia. Curah hujan sebesar 248,5

mm, 110-197 mm, dan 182-289 mm tercatat per hari masing-masing di


Kabupaten Jayapura Papua, Sulawesi Selatan, dan Bengkulu pada saat

terjadinya banjir dan longsor di daerah tersebut.

Fenomena Osilasi Madden-Julian (OMJ), sebuah fenomena alam

yang secara ilmiah mampu meningkatkan suplai massa udara basah yang

mampu menyebabkan tingginya curah hujan di sebagian besar wilayah

Indonesia, menjadi penyebab terjadinya cuaca ekstrem di Sulawesi

Selatan dan Bengkulu. Sementara itu, pertemuan aliran udara dan

pertumbuhan awan akibat sistem pola tekanan rendah di utara Papua

dinilai menjadi penyebab tingginya curah hujan di Papua.

3. Kondisi Topografis

Bencana banjir juga banyak dipengaruhi oleh kondisi topografis

wilayah atau kemiringan lereng. Sebagai contoh, di Kabupaten Jayapura,

curamnya lereng di pegunungan Cyclop yang didominasi oleh kemiringan

lereng sangat curam (>40%) berkontribusi besar pada terjadinya banjir

bandang di wilayah ini. Semakin curam suatu lereng, kecepatan aliran

akan semakin cepat dan akan meningkatkan daya rusak saat terjadi banjir

bandang.

Kondisi topografis yang didominasi oleh kelerengan sangat curam

juga akan berpengaruh terhadap terbentuknya bendung alami. Bendung

alami terjadi karena adanya longsoran pada celah sempit di antara dua
bukit yang menghambat aliran air, sehingga air tertahan sampai pada

batas volume tertentu. Ketika bendung alami tidak kuat lagi menahan

volume air yang ada, maka air akan dilepaskan dengan membawa

material yang dilewatinya seperti tanah, pepohonan, dan bebatuan.

Kondisi topografis wilayah juga tentunya berpengaruh terhadap

terjadinya banjir di Sulawesi Selatan dan Bengkulu, akan tetapi karena

kemiringan lereng kedua DAS tersebut didominasi oleh datar (0-8%)

sampai curam (25-40%), pengaruhnya akan lebih sedikit jika

dibandingkan dengan kondisi topografis pegunungan Cyclop yang

didominasi lereng sangat curam (>40%).

B. Penanggulan Bencana Banjir

1. Menjaga lingukungan sekitar

Yang utama adalah menjaga lingkungan sungai atau selokan, sungai

sebaiknya di pelihara dengan baik. Jangan membuang sampah ke selokan.

Sungai atau selokan jangan di jadikan tempat pembuangan sampah

2. Hindari membuat rumah di pinggiran sungai

Saat ini semakin banyak warga yang membangun rumah di pinggir

sungai, ada baiknya pinggiran sungai jangan di jadikan rumah penduduk

karena menyebabkan banjir dan tatanan masyarakat tidak teratur.


3. Melaksanakan program tebang pilih dan reboisasi

Pohon yang telah ditebang sebaiknya ada penggantinya. Menebang pohon

yang telah berkayu kemudian di tanam kembali tunas pohon yang baru.

Hal ini ditujukan untuk regenerasi hutan dengan tujuan hutan tidak

menjadi gundul.

4. Buanglah sampah pada tempatnya

Sering kali masyarakat indonesia membuang sampah sembarangan

terutama membuang sampah ke sungai, tentu hal ini akan memebrikan

dampak buruk di kemudian hari. Karena sampah yang menumpuk bisa

menyebabkan terjadinya banjir saat curah hujan sedang tinggi.

Pengelolahan sampah yang tepat bisa membantu mencegah banjir.

5. Rajin Membersihkan Saluran Air

Perbaikan dan pembersihan saluran air tentu harus ada. Di wilayah

tertentu bisa diadakan secara gotong royong. Penjagaan ini harus

dilakukan secara terus menerus dengan waktu berkala. Hal ini bertujuan

agar terjadi hujan deras, air tidak akan tersumbat dan mampu mencegah

terjadinya banjir.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan

beberapa hal sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap banjir/genangan di kota

pantai adalah; tutupan lahan, jenis tanah, kontur, kemiringan lereng, curah

hujan, pasang surut air laut, kenaikan muka air laut, banjir kiriman, penurunan

muka tanah.

2. Pola spasial banjir/genangan, dapat digambarkan kedalam beberapa

skenario yaitu dengan mengkombinasikan 2 atau lebih faktor yang disebabkan

oleh pengaruh iklim seperti kombinasi curah hujan (CH) dengan kenaikan muka

air laut (KML), dll.

3. Banjir/genangan dapat berimplikasi pada keselamatan manusia,

kerusakan prasarana umum, kerugian harta, dan kerusakan lingkungan

Anda mungkin juga menyukai