Anda di halaman 1dari 28

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Banjir yang terjadi belakangan ini sudah merupakan hal yang tiap waktu terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Seperti banjir di Ibu Kota Jakarta yang tiap tahun terjadi ketika musim penghujan tiba, khususnya di bulan Januari sampai bulan Februari. Masih hangat dalam ingatan kita kejadian banjir besar pada tahun 2002 yang menenggelamkan 40 % wilayah Jakarta dan tahun 2007 yang menenggelamkan 60 persen wilayahnya. Hujan yang turun di wilayah Jabodetabek serta di wilayah hulu (misalnya daerah Cibodas) dengan curah yang tinggi sejak 1 Februari 2007 selama tiga hari berturutturut, bahkan berlanjut hingga satu minggu, telah menyebabkan bencana banjir yang melanda sebagian besar wilayah Jabodetabek. Berdasarkan nilai kerugian dan frekuensi kejadian banjir terlihat adanya peningkatan yang cukup berarti. Selain kejadian ini mengakibatkan kerusakan infrastruktur dan menghambat roda perekonomian juga terganggunya kelancaran transportasi maupun aktivitas masyarakat, antara lain kegiatan belajar-mengajar dan bekerja. Menjadi suatu pertanyaan bagi kita bagaimana bencana banjir tersebut terjadi apa penyebabnya, apakah karena manusia atau karena alam. Sebenarnya banjir merupakan peristiwa yang alami pada daerah dataran banjir, mengapa bisa dikatakan alamiah? Karena dataran banjir terbentuk akibat dari perisiwa banjir. Dataran banjir merupakan daerah yang terbentuk akibat dari sedimentasi (pengendapan) banjir. Saat banjir terjadi, tidak hanya air yang di bawa tapi juga tanah-tanah yang berasal dari hilir aliran sungai. Dataran banjir biasanya terbentuk di daerah pertenuan-pertemuan sungai. Akibat dari peristiwa sedimentasi ini, dataran banjir merupakan daerah yang subur bagi pertanian, mempunyai air tanah yang dangkal sehingga cocok sekali bagi pemukiman dan perkotaan. Ini faktor penyebab yang alami, sedangkan faktor penyebab yang tidak alami atau akibat dari perubahan ada dua faktor. Pertama itu perubahan lingkungan yang didalamnya ada perubahan iklim, perubahan geomorfologi, perubahan geologi dan perubahan tata ruang. Dan kedua adalah perubahan dari masyarakat itu sendiri. Pada makalah ini penulis mencoba menjabarkan apa pengertian dari banjir, faktor penyebab, dampaknya serta bagaimana cara penanggulangan banjir. Dikarenakan terdapat beberapa faktor penyebab banjir, masih kurangnya informasi dampak serta bagaimana cara penanggulangan banjir maka dalam makalah ini penulis mencoba membatasi masalah pada materi faktor penyebab banjir diperkotaan khususnya wilayah Jakarta dan sekitarnya, dampak banjir dan cara penanggulangan banjir yang efektif. B. Identifikasi Masalah Banjir adalah suatu kejadian dimana air menggenangi suatu daerah, baik volume air yang sedikit maupun sangat banyak. Bahkan suatu daerah dapat menghilang akibat terjadi banjir. Menurut SK SNI M-18-1989-F (1989) dalam www.mbojo.wordpress.com, banjir adalah aliran yang relatif tinggi, dan tidak tertampung oleh alur sungai atau saluran. Menurut ahli hidrologi banjir-banjir di Indonesia dibagi menjadi 3 jenis:

1. Akibat dari peluapan sungai, biasanya terjadi akibat dari sungai tidak mampu lagi menampung aliran air yang ada disungai itu akibat debit airnya sudah melebihi kapasitas. Akibatnya air itu akan meluap keluar dari sungai dan biasanya merupakan daerah dataran banjir. Bila curah hujan tinggi dan sistem DAS dari sungai tersebut rusak, maka luapan airnya akan terjadi di hilir sungai. 2. Banjir lokal. Banjir ini merupakan banjir yang terjadi akibat air yang berlebihan di tempat tersebut. Pada saat curah hujan tinggi dilokasi setempat dimana kondisi tanah dilokasi tersebut sulit dalam melakukan penyerapan air, maka kemungkinan terjadinya banjir lokal akan sangat tinggi sekali. 3. Banjir akibat pasang surut air laut. Saat air pasang, ketinggian permukaan air laut akan meningkat, otomatis aliran air di bagian muara sungai akan lebih lambat dibandingkan pada saat laut surut. Selain melambat, bila aliran air sungai sudah melebihi kapasitasnya (ditempat yang datar atau cekungan) maka air tersebut akan menyebar ke segala arah dan terjadilah banjir. Berdasarkan pantauan UNESCO (2007) besarnya banjir dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: Jumlah air (hujan), luas daerah, dan periode waktu terjadinya hujan. Di daerah tangkapan hujan yang relatif kecil, hujan singkat tetapi deras telah dapat meningkatkan risiko banjir. Sedangkan di daerah tangkapan hujan yang relatif besar, risiko banjir lebih rendah. Risiko banjir dapat meningkat apabila hujan tersebut turun dalam periode waktu yang cukup lama. Namun hujan yang sangat deras atau sangat lama tidak selalu menyebabkan banjir karena sebagian air hujan mungkin menguap, terserap ke dalam tanah, atau mengalir di atas tanah. Kemampuan tanah untuk menahan air. Hujan yang jatuh di atas tanah dapat diserap dan mengalir di dalam tanah melalui lapisanlapisan tanah sampai ke kedalaman tertentu di mana tanah akan dipenuhi oleh air tanah (muka air tanah). Selain itu, air hujan juga dapat diserap oleh tumbuhan dan mengembalikannya ke udara dalam bentuk uap air. Proses ini disebut proses transpirasi. Perubahan lingkungan tidak bisa kita pungkiri, dengan semakin meningkatnya populasi manusia telah menyebabkan semakin terdesaknya kondisi lingkungan. Yang paling hangat dibicarakan belakangan ini yaitu terjadinya pemanasan global, selain itu kita juga sudah merubah penggunaan lahan yang merupakan perubahan lingkungan yang berakibat pada berkurangnya tutupan lahan. Semakin lama jumlah vegetasi semakin berkurang, khususnya di daerah perkotaan. Berdasarkan penelitian Diarniti (2007) dalam www.mbojo.wordpress.com jumlah vegetasi di Denpasar pada tahun 1994 adalah 45.31% dan pada tahun 17.86% yaitu berkurang 27.45% Akibat pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan pada pola iklim yang akhirnya merubah pola curah hujan, yang mengakibatkan sewaktu-waktu hujan bisa sangat tinggi intensitasnya dan kadang sangat rendah. Banjir yang terjadi di Jakarta tahun 2002, Juni 2004 dan Februari 2007 bertepatan dengan fenomena La Nina dan MJO (MaddenJulian oscillation), kedua fenomena tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan curah hujan diatas normal. Memang, berdasarkan kesimpulan penelitian tersebut bukan hanya faktor iklim yang menyebabkan terjadinya banjir, tetapi juga disebabkan perubahan penggunaan lahan dan penyempitan drainase (sungai). Perubahan penggunaan lahan dan otomatis juga terjadi perubahan tutupan lahan

(penggunaan lahan itu ada pemukiman, sawah, tegalan, ladang dan lain-lain sedangkan tutupan lahan itu vegetasi yang tumbuh di atas permukaan bumi) meyebabkan semakin tingginya aliran permukaan. Aliran permukaan terjadi apabila curah hujan telah melampaui laju infiltrasi tanah. Menurut Castro (1959) dalam www.mbojo.wordpress.com tingkat aliran permukaan pada hutan adalah 2,5%, tanaman kopi 3%, rumput 18% sedangkan tanah kosong sekitar 60%. Sedangkan berdasarkan penelitian Onrizal (2005) dalam www.mbojo.wordpress.com di DAS Ciwulan, penebangan hutan menyebabkan terjadinya kenaikan aliran permukaan sebesar 624 mm/th. Itu baru perhitungan yang dilakukan pada daerah hutan yang ditebang dimana masih ada tanah yang bisa meresapkan air, terus seandainya kalau tanah-tanah sudah tetutup beton pasti lebih tinggi lagi permukaannya. Kembali ke hutan yang dugunakan sebagai sampel apabila tidak ada vegetasi dan pengaruhnya terhadap aliran permukaan dari debit sungai. Onrizal (2005) dalam www.mbojo.wordpress.com juga mengungkapkan bahwa penebangan hutan menyebabkan berkurangnya air tanah rata-rata sebesar 53,2 mm/bln. Sedangkan kemampuan peresapan air pada DAS berhutan lebih besar 24,9 mm/bln dibandingkan dengan DAS tidak berhutan. Selain itu hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa apabila tanaman dibawah pohon hutan itu hilang akan menyebabkan perningkatan aliran permukaan yang mencapai 6,7 m3/ha/bln. Hasil penelitian Brujnzeel (1982) dalam Onrizal (2005) yang dilakukan pada areal DAS Kali Mondoh pada tanaman hutan memperlihatkan bahwa debit sungai pada bulan Mei, Juli, Agustus, dan September lebih tinggi dari curah hujan yang terjadi pada saat bulan-bulan tersebut, hal ini membuktikan bahwa vegetasi sebagai pengatur tata air bahwa dimana pada saat hujan tanaman membantu proses infiltrasi sehingga air disimpan sebagai air bawah tanah dan dikeluarkan saat musim kemarau. Menurut Suroso dan Santoso (2006) dalam www.mbojo.wordpress.com perubahan penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap peningkatan debit sungai. Hasil penelitian Fakhrudin (2003) dalam www.mbojo.wordpress.com menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung tahun 1990-1996 akan meningkatkan debit puncak dari 280 m3/det menjadi 383 m3/det, dan juga meningkatkan persentase hujan menjadi direct run-off dari 53% menjadi 63%. Dalam makalah yang sama Yuwono (2005) dalam www.mbojo.wordpress.com juga mengungkapkan pengurangan luas hutan dari 36% menjari 25%, 15% dan 0% akan menaikkan puncak banjir berturut-turut 12,7%, 58,7%, dan 90,4%. Bila dihubungkan dengan erosi dan sedimentasi saat terjadi perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi tegalan, maka kemungkinan erosi akan semakin tinggi. Menurut Yuwono (2005) dalam (www.mbojo.wordpress.com) pengurangan luas hutan dari 36% menjadi 25%, 15% dan 0% akan meningkatkan laju erosi sebesar 10%, 60% dan 90%. Akibat dari erosi ini tanah menjadi padat, proses infiltrasi terganggu, banyak lapisan atas tanah yang hilang dan terangkut ke tempat-tempat yang lebih rendah, tanah yang hilang dan terangkut inilah yang menjadi sedimentasi yang dapat mendangkalkan waduk-waduk, bendungan-bendungan, dan sungai-sungai. Setelah terjadi seperti itu, kapasitas daya tampung dari saluran irigasi tersebut mendaji lebih kecil yang akhirnya dapat menyebabkan banjir walaupun dalam kondisi curah hujan normal. Menurut Priatna (2001) dalam www.mbojo.wordpress.com kerusakan tanah akibat terjadinya erosi dapat menyebabkan bahaya banjir pada musim hujan, pendangkalan sungai atau waduk-waduk serta makin meluasnya lahan-lahan kritis. Pada kondisi tertentu, banjir bandang yang disebabkan oleh hujan yang sangat deras dan

biasanya diiringi dengan badai dapat terjadi. Hujan yang jatuh di daerah yang lebih tinggi mengalir dengan cepat ke daerah yang lebih rendah sehingga tidak sempat terserap oleh tanah. Banjir ini terjadi sangat cepat (kurang dari 6 jam) di daerah yang relatif lebih rendah. Pembangunan dan perubahan lingkungan pada daerah tangkapan hujan, khususnya pada dataran banjir menyebabkan terganggunya proses alamiah banjir dan menyebabkan banjir yang berbahaya dan merusak. Banjir yang besar memiliki dampak-dampak yang tidak diinginkan antara lain dampak fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan. Dampak fisik adalah kerusakan pada sarana-sarana umum, kantor-kantor pelayanan publik yang disebabkan oleh banjir. Dampak sosial mencakup kematian, risiko kesehatan, trauma mental, menurunnya perekonomian, terganggunya kegiatan pendidikan (anak-anak tidak dapat pergi ke sekolah), terganggunya aktivitas kantor pelayanan publik, kekurangan makanan, energi, air , dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. Dampak ekonomi mencakup kehilangan materi, gangguan kegiatan ekonomi (orang tidak dapat pergi kerja, terlambat bekerja, atau transportasi komoditas terhambat, dan lain-lain). Dampak lingkungan mencakup pencemaran air (oleh bahan pencemar yang dibawa oleh banjir) atau tumbuhan disekitar sungai yang rusak akibat terbawa banjir. Terjadinya serangkaian banjir dalam waktu relatif pendek dan terulang tiap tahun, menuntut upaya lebih besar mengantisipasinya, sehingga kerugian dapat diminimalkan. Berbagai upaya pemerintah yang bersifat struktural, ternyata belum sepenuhnya mampu menanggulangi masalah banjir di Indonesia. Penanggulangan banjir, selama ini lebih terfokus pada penyediaan bangunan fisik pengendali banjir untuk mengurangi dampak bencana. Selain itu, meskipun kebijakan non fisik --yang umumnya mencakup partisipasi masyarakat-- dalam penanggulangan banjir sudah dibuat, namun belum diimplementasikan secara baik, bahkan tidak sesuai kebutuhan masyarakat, sehingga efektifitasnya dipertanyakan. Kebijakan sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa melibatkan masyarakat sudah tidak sesuai dengan perkembangan global yang menuntut desentralisasi, demokrasi, dan partisipasi stakeholder, terutama masyarakat yang terkena bencana. Pertanyaannya adalah siapa yang disebut masyarakat? Seberapa jauh masyarakat dapat berpartisipasi? Dan pada tahapan mana masyarakat dapat berpartisipasi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, harus menjadi pertimbangan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir. C. Pembatasan Masalah Faktor penyebab banjir dapat disebabkan secara alami juga dikarenakan oleh perubahan. Didaerah perkotaan dominan penyebab banjir adalah akibat dari kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan berdampak pada perubahan alam. Degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah pada catchment area, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya juga dapat disebabkan akibat tindakan manusia. Banjir bukan hanya menyebabkan sawah tergenang sehingga tidak dapat dipanen dan meluluhlantakkan perumahan dan permukiman, tetapi juga merusak fasilitas pelayanan sosial ekonomi masyarakat dan prasarana publik , bahkan menelan korban jiwa baik di

pedesaan maupun diperkotaan. Kerugian semakin besar jika kegiatan ekonomi dan pemerintahan terganggu, bahkan terhenti. Meskipun partisipasi masyarakat dalam rangka penanggulangan banjir sangat nyata. terutama pada aktivitas tanggap darurat, namun banjir menyebabkan tambahan beban keuangan negara, terutama untuk merehabilitasi dan memulihkan fungsi prasarana publik yang rusak. Banjir tidak sepenuhnya dapat dihindari. Perlindungan total terhadap banjir adalah sesuatu yang tidak mungkin namun dampak banjir dapat dikurangi. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menyikapi kemungkinan terjadinya banjir secara efektif di daerah perkotaan dan bagaimana mengatasi ketidakpastian. Untuk itu perlu dicermati suatu tatanan dan kebijakan dalam penanggulangan banjir dengan perencanaan dalam kesiapsiagaan dan tanggap darurat melalui penanggulangan banjir berbasis masyarakat dapat mengurangi potensi dampak banjir terhadap masyarakat, lingkungan dan ekonomi. D. Perumusan Masalah 1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan banjir dapat terjadi di daerah perkotaan? 2. Dampak yang timbul akibat banjir? 3. Bagaimana cara untuk penanggulangan banjir yang efektif? E. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah : (1) Memberi pengetahuan dan wawasan mengenai banjir, faktor penyebab, serta cara penanggulangan banjir kepada masyarakat awam pada umumnya dan kaum intelektual (mahasiswa) pada khususnya. (2) Memberi masukan tindakan apa saja dan bagaimana tujuan dari penanggulangan banjir berbasis masyarakat F. Manfaat Penulisan Pembaca dapat memahami sebab dan akibat banjir sehingga dapat tergerak menindaklanjuti penanggulangannya untuk mengurangi resiko yang dapat terjadi. BAB II PEMBAHASAN Empat puluh persen dari wilayah Jakarta terutama di sisi utara berada lebih rendah dari permukaan air laut saat pasang tinggi dan terdapat 13 sungai mengalir melalui kota Jakarta. Jakarta menjadi daerah rawan banjir selama musim hujan, terutama saat hujan turun deras yang dapat menyebabkan air sungai melimpah. Resiko banjir menjadi sangat tinggi ketika hujan deras bertepatan dengan tingginya air pasang di laut. Namun selain daripada itu, terdapat alasan lain yang disebabkan oleh kegiatan manusia yang memperbesar kemungkinan atau memperparah terjadinya banjir di Jakarta: Pembangunan perumahan dan komersil di sekitar bantaran sungai menyebabkan aliran sungai dan kanal terhambat misalnya oleh bangunan-bangunan seperti jembatan atau pipa; Cara pengangkutan dan pengelolaan sampah yang kurang tepat, dan kebiasaan orang membuang sampah sembarangan menyebabkan penimbunan sampah di sungai-sungai; Tidak tertatanya saluran drainase yang berfungsi untuk menyalurkan air hujan dan mengalirkannya keluar daerah hunian;

Kurangnya lahan hijau untuk menyerap air hujan dan penebangan hutan di Bogor dan Puncak yang merusak daerah tangkapan hujan. Menurut UNESCO (2007), kemungkinan terjadinya banjir di daerah perkotaan semakin besar karena: Dibangunnya permukiman di daerah dataran banjir dan bantaran sungai: Bermukim terlalu dekat dengan sungai berisiko terkena banjir akibat limpahan air sungai. Oleh karena itu, sebaiknya masyarakat sebaiknya tidak membangun rumah mereka di daerah bantaran sungai untuk memberikan tempat untuk sungai untuk melimpah. Pembabatan tetumbuhan alami: a) Pepohonan dan semak belukar dapat membantu memperkuat daerah bantaran sungai. Apabila tetumbuhan alami di sekitar sungai ditebang, maka tanah di sekitarnya akan lebih mudah terkikis dan terbawa air ke sungai. Tanah ini akan mengendap dan menyebabkan pendangkalan sungai. Hal ini akan mengurangi jumlah air yang dapat ditampung di dalam sungai. Air yang tadinya dapat ditampung di dalam sungai (ketika sungai masih dalam) kini berpotensi untuk membanjiri daerah di sekitar sungai. b) Tanah yang ditumbuhi oleh tanaman dapat menyerap air dalam jumlah yang lebih banyak. Apabila semak-semak dan pohon ditebang, air hujan tidak dapat terserap ke dalam tanah sehingga dapat menggenangi lahan. Selain itu banjir dari air yang tidak terserap tadi dapat mengikis tanah yang tidak terlindungi oleh tumbuhan dan membawa sejumlah lumpur ke sungai. Jumlah air yang mengalir ke sungai semakin besar karena tidak dapat diserap oleh tumbuhan atau terserap ke dalam tanah. Air yang dapat ditampung oleh sungai berkurang karena pendangkalan, sehingga limpahan air yang keluar dari sungai semakin besar. Hal ini memperbesar kemungkinan terjadinya banjir. Permukaan yang dilapis (disemen, diaspal dan lain-lain): Permukaan yang dilapis, seperti jalan atau lapangan parkir tidak dapat menyerap air hujan. Perkebunan atau hutan yang diubah menjadi jalan, lapangan parkir, atau tempat tinggal, akan kehilangan kemampuannya untuk menyerap air hujan. Ketika hujan, air yang tidak terserap akan mengalir di atas tanah akan menggenangi jalan dan dengan cepat mengalir ke daerah yang lebih rendah. Hal ini akan memperbesar kemungkinan terjadinya banjir bandang yang datang dengan tiba-tiba. Pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya: Sampah yang dibuang ke sungai dan selokan, akan mengurangi kapasitas sungai untuk menampung air hujan. Sungai atau selokan yang tersumbat oleh sampah dapat menyebabkan air melimpah keluar. Selain itu, sampah akan mencemari air sungai dan akan menyebabkan timbulnya penyakit apabila air yang tercemar tersebut digunakan untuk makan dan minum. Bencana banjir di DKI Jakarta pada awal tahun 2002 yang lalu memang luar biasa. Pada tanggal 1 Februari misalnya, tinggi air yang menggenangi kelima wilayah DKI Jakarta mencapai 175 250 cm. Dua minggu kemudian ternyata ketinggian air belum juga surut secara berarti. Di Jakarta Pusat berkisar antara 10 30 cm, di Jakarta Utara antara 20 160 cm, di Jakarta Barat antara 10 210 cm, di Jakarta Selatan antara 20 150 cm, dan di Jakarta Timur antara 10 150 cm. Survei cepat yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) dari Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa sebagian besar responden (64%) daerahnya terendam air setinggi di atas 100 cm. Sebagian besar (79%) menyatakan bahwa genangan air terjadi selama lebih dari tujuh hari.

Banjir telah menyebabkan terjadinya pengungsian masyarakat secara besar-besaran. Berdasarkan catatan Badan Litbangkes jumlah pengungsi sebanyak 381.296 orang. Memang, jumlah pengungsi ini berangsurangsur menyusut seiring dengan menyusutnya genangan air. Banjir telah pula mengakibatkan banyak kerugian, baik material maupun jiwa. Sebanyak 300.000 jiwa kehilangan tempat tinggal. Sementara itu, 75 orang meninggal dunia akibat berbagai sebab. Mulai dari hanyut di sungai, tenggelam, tersengat listrik, terkena penyakit muntaber, diare, dan demam berdarah. Sedangkan kejadian banjir pada tahun 2007 sekitar 146 ribu rumah penduduk di wilayah Jabodetabek yang terganggu, dengan kondisi rusak ringan, rusak berat atau hilang karena hanyut tersapu banjir. Orang orang yang kehilangan sanak saudara dan teman-teman, ratusan orang yang harus meninggalkan rumah mereka untuk mengungsi dan ratusan orang menderita sakit karena penyakit bawaan air setelah banjir (korban jiwa 80 orang dan pengungsi 381 orang (BAPEDA DKI Jakarta, 2007). Kerusakan fisik selain rumah masyarakat yang terjadi akibat banjir tahun 2002 antara lain sekolah, tempat peribadatan, maupun sarana umum. Jumlah bangunan sekolah yang rusak mencapai lebih dari 300 buah. Sarana ibadah yang rusak mencapai sekitar 175 buah. Perkantoran yang rusak lebih kurang 50 buah (sebagian besar Kantor Kelurahan). Sedangkan sarana kesehatan yang rusak atau terendam air mencapai sekitar 50 buah (sebagian besar Puskesmas). Kerugian material lain berupa rusaknya taman-taman, termasuk kebun-kebun bibit berikut peralatannya, yang ditaksir mencapai lebih dari Rp. 4 milyar. PDAM juga menderita kerugian secara langsung maupun tidak langsung hingga sebesar lebih dari Rp. 1 milyar. Ironisnya lagi, musibah banjir ini justru dilengkapi dengan musibah kebakaran. Kebakaran terjadi terutama di tiga tempat, yaitu di Bendungan Jago (Jakarta Pusat), di Kramat Pulo (Jakarta Pusat), dan di Kebon Pisang (Jakarta Utara). Kebakaran ini diduga akibat hubungan pendek (korsluiting) listrik. Sesungguhnya masih banyak kerugian yang diderita masyarakat Jakarta dengan terjadinya banjir besar awal tahun 2002 dan tahun 2007. Kerugian yang tidak kasat mata tetapi terasakan adalah tekanan jiwa akibat berhari-hari berada dalam keadaan tidak menentu. Sedangkan kerugian yang selanjutnya menjadi urusan para petugas kesehatan adalah meningkatnya masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan pada saat dan pasca banjir, Yayasan IDEP (2007) menjabarkan dampak kesehatan yang terjadi di masyarakat, antara lain : 1. Ancaman wabah penyakit setelah banjir - Pada saat dan sesudah banjir, ada beberapa tempat yang bisa menyebabkan tersebarnya penyakit menular, seperti: tempat pembuangan limbah dan tempat sampah yang terbuka, sistem pengairan yang tercemar dan sistem kebersihan yang tidak baik. Bakteri bisa tersebar melalui air yang digunakan masyarakat, baik air PAM maupun airsumur yang telah tercemar oleh air banjir. Air banjir membawa banyak bakteri, virus, parasit dan bibit penyakit lainnya, termasuk juga unsur-unsur kimia yang berbahaya. 2. Penyakit Diare - diare mempunyai masa pertumbuhan antara 1 - 7 hari. Ikuti petunjukpetunjuk kebersihan di bawah ini untuk menghindari risiko terjangkit Diare. Orang yang terjangkit penyakit ini harus mendapatkan perawatan khusus karena apabila dibiarkan terlalu lama bisa terancam, khususnya pada orang tua dan anak-anak. 3. Penyakit yang disebarkan oleh nyamuk - banjir bisa meningkatkan perkembangbiakan nyamuk secara luas. Bibit-bibit penyakit yang dibawa oleh serangga ini termasuk Demam Berdarah, Malaria, dan lain-lain. Untuk mencegah sebuah tempat menjadi sarang nyamuk,

kosongkan air yang tergenang dan tutup tempat-tempat air yang terbuka. 4. Unsur-unsur Kimia seperti pestisida, pupuk kimia dan unsur-unsur dengan bahan dasar minyak bisa mencemari sumber air dan membawa risiko. Beberapa jam pertama pada saat bencana misalnya saat terjadinya banjir besar adalah waktu yang paling kritis bagi masyarakat. Tindakan cepat dan terkoordinasi (yang telah direncanakan secara berhati-hati sebelumnya) ditambah dengan pengetahuan yang baik tentang masyarakat dan lingkungan adalah hal terpenting dalam mengurangi dampak banjir pada masyarakat, harta benda dan lingkungan. Penanggulangan banjir tentu saja membutuhkan partisipasi masyarakat. Hanya masyarakat itu sendiri yang mampu mengidentifikasi kebutuhan dan mengetahui urutan prioritasnya. Hanya mereka yang paling mampu dalam menjabarkan masalah-masalah yang ada serta melakukan tindakan responsif berdasarkan sumber daya dan kapasitas lokal yang tersedia, sehingga penanggulangan banjir dapat direncanakan dan diterapkan secara efektif, karena: Tidak ada yang lebih mengerti kesempatan dan hambatan setempat selain masyarakat itu sendiri; Tidak ada yang lebih tertarik untuk memahami bagaimana bertahan hidup dalam kondisi yang terancam daripada masyarakat itu sendiri; Masyarakat akan mengalami banyak kerugian apabila mereka tidak dapat merumuskan keterbatasan mereka dan mengatasinya, namun masyarakat juga akan banyak memperoleh keuntungan apabila mereka dapat mengurangi dampak banjir; Masyarakat yang mandiri dapat membantu pemerintah dalam mengatasi banjir di daerah. Menurut Deputi Bidang Sarana dan Prasarana (2002) bahwa partisipasi masyarakat merupakan proses teknis untuk memberi kesempatan dan wewenang lebih luas kepada masyarakat, agar masyarakat mampu memecahkan berbagai persoalan bersama-sama. Pembagian kewenangan ini dilakukan berdasarkan tingkat keikutsertaan (level of involvement) masyarakat dalam kegiatan tersebut. Partisipasi masyarakat bertujuan untuk mencari solusi permasalahan lebih baik dalam suatu komunitas, dengan membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk memberi kontribusi sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan. Partisipasi masyarakat harus dilakukan secara terorganisasi dan terkoordinasi agar dapat terlaksana secara efektif. Sebuah organisasi masyarakat sebaiknya dibentuk untuk mengambil tindakan-tindakan awal dan mengatur peran serta masyarakat dalam penanggulangan banjir. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi banjir sekaligus mengurangi dampaknya. Organisasi masyarakat semacam ini telah dibentuk dengan sukses di beberapa daerah di Jakarta, misalnya di Kelurahan Bidara Cina (UNESCO,2007). Organisasi masyarakat ini akan banyak berperan sebelum, ketika dan setelah terjadinya banjir. Peran utama organisasi ini adalah: Menghimbau masyarakat untuk membentuk tim kerja yang didasarkan atas semangat gotong royong. Menyatukan organisasi-organisasi, partai-partai, dan kelompok-kelompok (ka rang taruna, PKK dan organisasi keagamaan) untuk memberikan perhatian lebih dan berperan lebih aktif dalam menghindari banjir. Menjalin hubungan yang baik dengan pihak-pihak lain seperti LSM dan institusi pemerintahan untuk mendukung masyarakat secara menyeluruh. Menerima pelatihan dari institusi pemerintahan atau LSM untuk memperoleh

pengetahuan dan kemampuan yang baik dalam menghadapi banjir dengan efektif. Organisasi masyarakat tersebut akan menyampaikan pengetahuan dan kemampuan yang mereka dapatkan dari pelatihan kepada anggota masyarakat lainnya atau menerapkannya langsung. Bekerjasama dengan organisasi-organisasi atau individu-individu di luar masyarakat yang memberikan bantuan dan fasilitas-fasilitas, seperti dapur umum, makanan, dan-lain-lain. Organisasi masyarakat ini diharapkan mampu mengetahui kebutuhan masyarakat dan mengkoordinasikannya dalam kegiatan terkait, sehingga menghemat dana masyarakat. Dana tersebut dapat dipergunakan untuk kegiatan lainnya. Organisasi masyarakat seperti ini sangat penting untuk membangun kemampuan masyarakat dalam mengatasi bencana seperti banjir. Dengan bantuan organisasi ini, masyarakat dapat melakukan tindakan-tindakan penting secara terkoordinasi pada waktu yang tepat ketika banjir. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk bereaksi dengan cepat, efisien, dan praktis, sehingga sumber daya masyarakat dapat digunakan secara ekonomis. Organisasi masyarakat ini dapat berupa organisasi baru yang sengaja dibentuk, ataupun berasal dari organisasi yang telah ada, seperti Satgas banjir, namun tugas dan anggotanya dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan. Organisasi ini sebaiknya dibentuk di tingkat RW agar dapat bekerja dengan efektif dan melayani anggota masyarakat dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Untuk mengurangi potensi dampak buruk dari banjir secara efektif, masyarakat harus memiliki komitmen untuk melakukan kegiatan-kegiatan penanggulangan banjir melalui tahapan sebagai berikut: Tahapan-tahapan dan kegiatan yang terkait didalamnya berhubungan satu sama lain dan harus dilaksanakan secara bertahap dan terus menerus. Kegiatan tersebut bukanlah serangkaian kegiatan yang dimulai seketika sebelum banjir dan berakhir setelah terjadinya banjir. Sebagai contoh: Persiapan untuk melakukan tahapan tindakan gawat darurat harus disusun beberapa bulan sebelum musim hujan. Hal ini mencakup pembentukan sistem peringatan atau melakukan sosialisasi tentang jalur evakuasi dan lokasi tempat pengungsian. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa penanganan dan evakuasi korban banjir dilakukan secara efektif dan tepat waktu. Kesuksesan kegiatan penanganan banjir seperti pencarian dan penyelamatan korban (Search and Rescue atau SAR), atau pengungsian, tergantung pada perencanaan yang hatihati dan penerapan kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi terhadap banjir. Dalam rehabilitasi dan rekonstruksi setelah banjir, perhatian harus ditekankankembali kepada kesiapsiagaan dan mitigasi banjir. Sebagai contoh, rumah-rumah sebaiknya dibangun sebagai rumah tahan banjir dengan dan memperhaiki sistem drainase, dan lainlain. UNESCO (2007) telah dapat merumuskan langkah-langkah penanggulangan banjir secara efektif. Dalam bagian tersebut akan dijelaskan juga tentang betapa pentingnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan setiap tahap. A. SEBELUM BANJIR: Meningkatkan Kesiapsiagaan Masyarakat Kesiapsiagaan dalam menghadapi banjir terdiri dari kegiatan yang memungkinkan masyarakat dan individu untuk dapat bertindak dengan cepat dan efektif ketika terjadi

banjir. Hal ini membantu masyarakat dalam membentuk dan merencanakan tindakan apa saja yang perlu dilakukan ketika banjir. Kesuksesan dalam penanganan dan evakuasi/pengungsian ketika banjir sangat bergantung dari kesiapsiagaan masyarakat dan perseorangan itu sendiri. Ketika banjir terjadi semua kegiatan akan dilakukan dalam situasi gawat darurat di bawah kondisi yang kacau balau, sehingga perencanaan, koordinasi dan pelatihan dengan baik sangat dibutuhkan supaya penanganan dan evakuasi ketika banjir berlangsung dengan baik. Beberapa tindakan kesiapsiagaan terhadap banjir adalah: 1. Membuat pertemuan untuk membahas pengalaman banjir terakhir dan melakukan perencanaan untuk menghadapi banjir yang akan datang Pengamatan yang jeli terhadap kesuksesan dan kegagalan pelaksanaan tindakan pada banjir terakhir sangat penting dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dapat dibahas dalam pertemuan masyarakat, misalnya dalam pertemuan rutin di tingkat kelurahan. Waktu yang tepat untuk melakukan pertemuan ini adalah 1-2 bulan sebelum musim hujan. Dalam pertemuan ini masyarakat diharapkan dapat memberi masukan untuk merancang tindakantindakan yang akan dilakukan sebelum banjir. Selain itu, pertemuan ini sebaiknya membahas tentang pembagian tugas yang harus disepakati bersama sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau ada masyarakat yang tidak terlayani. Pada perencanaan awal, perhatian harus ditekankan pada orang-orang yang secara fisik, ekonomi, dan sosial tidak mampu, misalnya anak-anak, wanita hamil dan manula. Pemerintah setempat sebaiknya terlibat dalam pengamatan dan perencanaan awal untuk menyatupadukan dukungan mereka. Orang-orang pemerintahan yang terlibat seperti pemadam kebakaran, polisi, rumah sakit, dan lain-lain, diharapkan dapat memberi masukan-masukan serta melakukan koordinasi yang baik dengan masyarakat. Idealnya, pertemuan ini dilakukan secara teratur di tingkat RW dan kelurahan agar semua isu-isu yang terkait dalam banjir dapat dibahas dan disatukan sehingga pelaksanaan semua kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi banjir seperti pengumpulan sampah yang efisien, pembersihan selokan, kampanye peningkatan kesadaran, sosialisasi sistem peringatan, pengungsian, dapat dilakukan secara berkelanjutan. Jenis dan banyaknya kegiatan ini tergantung dari jumlah kelompok yang ada (guru sekolah, murid, wanita, remaja, dan lainlain) sehingga kegiatan-kegiatan ini tidak dapat direncanakan dan dilaksanakan hanya dari sebuah pertemuan saja. Pertemuan masyarakat yang dilaksanakan secara teratur seperti Rapat Musrembang (Musyawarah Rencana Pembangunan) sebaiknya dimanfaatkan sebagai ajang untuk menyalurkan isu-isu banjir kepada pemerintah daerah. Koordinasi dengan dan antar institusi pemerintahan daerah, organisasi masyarakat, dinas-dinas terkait, dan LSM juga bisa dilaksanakan dalam pertemuan ini. Pembuatan kalender musim sebagai landasan pelaksanaan waktu kegiatan dapat dilakukan di dalam pertemuan ini. Kalender ini menunjukkan kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan secara bertahap pada bulan-bulan yang telah ditentukan. Masyarakat dapat memperoleh informasi tentang waktu pelaksanaan dan tugastugas mereka dalam penanggulangan banjir selama setahun secara berkesinambungan. 2. Pemberdayaan masyarakat Semua sumber daya masyarakat harus disatukan dan diatur oleh organisasi masyarakat, termasuk kontribusi dari pemerintahan dan orang-orang di luar masyarakat. Kontribusi dari masyarakat dapat berupa tenaga kerja, waktu, ide, dan lain-lain. Sebagai

contoh, masyarakat dapat mengumpulkan beras sedikit demi sedikit setiap hari dan dikumpulkan ke dalam sebuah gudang makanan. Beras ini dapat dijadikan stok makanan saat banjir. Kegiatan seperti ini masih dilakukan di desa-desa yang dikenal sebagai lumbung pangan. Kontribusi masyarakat dalam bentuk dana dapat dilakukan dengan menjual tiket kegiatan olahraga atau pertunjukan, pengumpulan sumbangan (terutama kepada perusahaan besar atau swasta yang beroperasi secara permanen di daerah tersebut), menyewakan fasilitas masyarakat seperti gedung pertemuan untuk kegiatan seperti perkawinan, reuni, pameran, dan lain-lain. Kontribusi dari luar masyarakat dapat bersumber dari lembaga donor dan perusahaan pribadi yang mendukung penanggulangan bencana dan banjir berbasis masyarakat. Seseorang yang dipercaya sebaiknya diangkat sebagai koordinator untuk mengatur keuangan masyarakat, dan menjelaskan pemasukan berikut pengeluaran kepada masyarakat umum secara teratur, jelas, dan transparan. Orang tersebut juga harus mempertimbangkan masukan dari masyarakat. Manajemen biaya yang baik dan transparan sangat penting untuk menciptakan kepercayaan dari masyarakat dan rasa percaya diri di dalam masyarakat dan donor. 3. Meningkatkan kesadaran dan pengertian masyarakat tentang penyebab banjir dan dampaknya Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menjaga agar semua anggota masyarakat menerima informasi yang benar dan selalu siap siaga, sehingga mereka mengetahui harus berbuat apa sebelum, ketika dan setelah banjir. Beberapa minggu sebelum musim hujan adalah saat-saat yang penting, karena saat inilah masyarakat sangat tertarik untuk mempersiapkan diri menghadapi banjir. Kegiatan keagamaan dapat menjadi kesempatan yang baik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Himbauan dan pesan-pesan yang terkait dengan penanggulangan banjir dapat diselipkan melalui pesan-pesan keagamaan tersebut. 4. Promosi keterlibatan masyarakat dan pertolongan diri Sendiri Sekurang-kurangnya satu bulan sebelum musim hujan, anggota masyarakat diminta untuk berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan pencegahan banjir, seperti kerja bakti membersihkan selokan, memperbaiki bantaran sungai, atau membangun tempat pengungsian, dan lain-lain. Setiap rumah tangga sebaiknya mencukupi semua kebutuhan rumah tangganya dan melakukan persiapan-persiapan awal, misalnya menyimpan dokumen-dokumen penting di tempat yang aman atau mempersiapkan tas darurat. Sebaiknya dilakukan pencatatan untuk mendata siapa saja yang mampu bertindak sendiri dan siapa yang tidak mampu. Pencatatan ini harus dilakukan terutama untuk mendata kelompok rentan, yaitu orang-orang yang tidak mampu mengungsi atau membutuhkan pertolongan ketika banjir (misalnya ibu hamil, anak-anak TK dan sekolah atau manula). Selanjutnya harus dipastikan agar mereka tertolong tepat waktu. Bila ada kemungkinan banjir, walaupun kecil, kelompok rentan ini harus sudah dievakuasi dengan bantuan warga setempat. Warga yang ditugaskan untuk melakukan evakuasi kelompok rentan dan tempat evakuasinya telah ditentukan terlebih dahulu. Selain itu, sukarelawan dengan kemampuan dan pengalaman (yang terdapat dalam masyarakat) sebaiknya didata untuk membantu saat banjir. Daftar nama dan nomor telepon orang-orang tersebut harus disiapkan sebagai panduan praktis saat dibutuhkan, misalnya daftar dokter, suster, koki, supir, operator alat berat, pramuka, PMI, dan tenaga kerja

lainnya. 5. Membentuk dan memperkenalkan sistem peringatan dini Langkah pertama dalam membentuk sistem peringatan dalam masyarakat adalah dengan menganalisa sistem peringatan yang sudah ada dan membuat perbaikanperbaikan yang dibutuhkan untuk menjamin setiap anggota masyarakat mendapatkan peringatan. Sistem peringatan yang diterapkan sebaiknya mengacu kepada tingkat peringatan seperti Siaga I, Siaga II, Siaga III, dan Siaga IV. Pada umumnya, Siaga VI mencerminkan situasi di mana terdapat kemungkinan terjadinya banjir. Oleh karena itu masyarakat diharapkan untuk berjaga-jaga dan mendengarkan informasi tentang banjir. Siaga I mencerminkan sebuah situasi di mana daerah tersebut telah tergenang dan tindakan-tindakan responsif terhadap banjir sedang berlangsung. Setiap tingkat peringatan ditentukan berdasarkan tanda-tanda khusus seperti tinggi air di pintu-pintu air, tinggi air sungai di daerah tersebut, jumlah air hujan yang turun di daerah-daerah tertentu. Selain itu perlu ditentukan tindakantindakan yang perlu dilakukan oleh masyarakat dan organisasi-organisasi yang terlibat dalam penanggulangan banjir untuk setiap tingkat peringatan. Sistem peringatan dini dapat berupa pengeras suara dari mesjid, kentongan, memukul tiang listrik atau alat lainnya. Untuk setiap tingkat peringatan sebaiknya terdapat kode pengeras suara yang berbeda. Hal yang terpenting adalah melakukan sosialisasi sistem peringatan dan simulasi pengungsian untuk menjamin bahwa anggota masyarakat mengerti bagaimana tahap-tahap peringatan dan bagaimana harus bereaksi. Untuk setiap tahap peringatan, reaksi masyarakat harus ditentukan dengan jelas, misalnya kapan dan bagaimana masyarakat harus bersiapsiaga untuk evakuasi, kapan kelompok rentan harus mulai dievakuasi, dan kapan evakuasi masyarakat umum. Selain itu, pemilihan rute evakuasi dan tempat pengungsian harus disebarluaskan kepada masyarakat. Pemeliharaan terhadap sistem peringatan sangat penting agar alat tersebut dapat berfungsi dengan baik. Sebaiknya ditentukan orang yang bertanggungjawab untuk pemeliharaannya. 6. Membangun pengetahuan masyarakat dan melatih tokoh masyarakat Pelatihan untuk masyarakat akan menambah pengetahuan dan kemampuan pesertanya untuk bertindak. Pelatihan khusus sebaiknya dilakukan untuk anggota masyarakat, pemimpin setempat, remaja dan pihak lain yang sekiranya dapat berperan aktif dalam operasi penyelamatan dan pencarian orang-orang hilang. Pelatihan tersebut sebaiknya dilaksanakan setiap tahun, dua bulan sebelum musim banjir mulai. Pelatihan untuk masyarakat yang lebih luas sebaiknya mencakup pelatihan bagaimana cara bertindak dan bantuan apa saja yang dapat dilakukan pada saat situasi darurat, bagaimana memelihara kesehatan dan kebersihan, dan bagaimana menyimpan makanan dan menyediakan makanan ketika banjir. Guru-guru dapat berperan aktif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat di samping bertanggung jawab untuk menjaga murid-murid. Karena itu mereka membutuhkan pelatihan khusus untuk mengajarkan anak-anak apa yang harus dilakukan ketika banjir dan bagaimana bereaksi dengan cepat dan tepat pada saat banjir mulai menggenangi daerah sekolah (pengungsian cepat, pertolongan pertama, dan lain-lain). 7. Menyiapkan tempat pengungsian Tempat pengungsian serbaguna sebaiknya disiapkan agar warga yang berada dalam satu kelurahan dapat bertahan hidup dari banjir yang besar dan dalam waktu yang cukup lama. Sebuah tempat pengungsian untuk banjir idealnya harus berada di daerah yang tinggi dan

berada sedekat mungkin dengan daerah yang kemungkinan besar akan tergenang untuk mempermudah masyarakat mencapai tempat pengungsian. Tempat tersebut sebaiknya terdiri dari sebuah ruang terpisah untuk penyimpanan barang-barang penting, sebuah ruangan untuk pelayanan kesehatan, untuk ibu menyusui dan bayi, dan untuk privasi bagi wanita dan remaja yang beranjak dewasa. Selain itu, tempat pengungsian harus memiliki air minum yang aman, pencahayaan yang cukup, toilet dan kamar mandi, dan dapur umum. Sampah di dalam dan di sekitar tempat pengungsian harus direncanakan dan diatur dengan baik. Tempat pengungsian tersebut harus diperiksa paling sedikit sekali dalam tiga bulan sekali dan dipelihara agar tetap dalam kondisi yang baik. Tempat pengungsian tersebut harus memiliki sejumlah alat-alat penting seperti alat pertolongan pertama, obat-obatan yang belum kadaluwarsa, tenaga medis yang dapat dihubungi langsung, selimut, air minum, makanan, bahan bakar dan lain-lain yang mencukupi. Apabila terdapat bangunan sarana umum, seperti sekolah, yang terletak di dataran yang tinggi, bangunan tersebut mungkin dapat digunakan sebagai tempat pengungsian untuk korban banjir. Apabila dibutuhkan, bangunan tersebut dapat direnovasi agar layak dijadikan tempat pengungsian banjir. Apabila tempat pengungsian harus dibangun secara khusus, tempat ini dapat digunakan dan disewakan untuk berbagai aktivitas sosial dan digunakan untuk kebutuhan yang berguna saat tidak terjadi banjir, misalnya untuk pameran, pertemuan masyarakat, pelatihan, dan lain-lain. 8. Mempersiapkan pengungsian Pengungsian atau evakuasi bergantung dari perencanaan yang hati-hati dan kesiapsiagaan sebelum terjadinya banjir. Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum banjir, yaitu: Membuat dan menandai jalur pengungsian dan tempat-tempat pengungsian, kemudian memberikan informasi tersebut kepada masyarakat agar mereka mengetahuinya. Melakukan simulasi pengungsian secara teratur, misalnya sekali dalam setahun sebelum musim hujan, untuk seluruh masyarakat. Hal ini bertujuan agar masyarakat memahami jalur pengungsian yang aman dan letak tempat-tempat pengungsian. Membentuk dan melatih dua tim inti, yaitu tim pencarian dan penyelamatan dan tim pengungsian. Menyimpan dan memelihara alat bantu pencarian, penyelamatan dan pengungsian (misalnya perahu, tali, alat pengapung sederhana, dan lain-lain). Organisasi masyarakat yang bertanggungjawab dalam penanggulangan banjir sebaiknya mendata peralatan untuk menjamin pemeliharaan dan dapat digunakan dengan mudah saat banjir melanda. Membuat peta kerawanan dan kemampuan. Sebuah peta sebaiknya disiapkan sebelum banjir untuk mendata keluarga dan individu yang sangat rentan terhadap banjir yang memiliki kebutuhan yang tinggi untuk pengungsian. Peta ini sebaiknya menjelaskan bagaimana jalur pengungsian, lokasi pengungsian dan juga lokasi yang tidak aman untuk dilewati, misalnya lokasi di mana air tergenang cukup dalam atau lokasi di mana ada kemungkinan terkena arus listrik. Membuat suatu kesepakatan antara anggota masyarakat sangat penting, misalnya kapan harus meninggalkan rumah dan pergi ke tempat pengungsian, dan apa sanksinya kalau tidak mengikuti kesepakatan. Anggota masyarakat harus mengerti apa arti setiap tahapan peringatan (Siaga I, Siaga II, Siaga III, Siaga IV) dan mengerti apa yang mereka harus lakukan pada setiap tahapan, misalnya: kapan harus mempersiapkan diri untuk evakuasi,

kapan harus meninggalkan rumah langsung, dan lain-lain. Dalam kesepakatan ini, kelompok rentan sangat penting untuk diungsikan pada tahap paling awal, karena mereka termasuk orang-orang yang lebih berisiko daripada yang lain karena tidak mampu bereaksi secepat orang-orang pada umumnya. Satuan tugas banjir akan mengalami kesulitan dalam pembagian makanan dan peralatan apabila ada warga masyarakat yang bersikeras tinggal di rumahnya. Hal ini dapat membahayakan anggota tim satuan tugas tersebut. Menunjuk koordinator yang bertanggung jawab pada daerah tertentu dan penduduk yang tinggal di daerah tersebut, misalnya penduduk yang tinggal dalam sebuah gang (10-20 orang): Tugas koordinator tersebut adalah untuk memastikan semua penduduk yang berada di bawah tanggung jawab mereka mendapatkan peringatan sedini mungkin, dapat mengungsi pada waktunya dan mendapatkan informasi dengan baik. B. SEBELUM BANJIR: Mitigasi Banjir dengan Bantuan Masyarakat Banjir tidak dapat sepenuhnya dihindari, namun masyarakat dapat mengurangi kemungkinan terjadinya banjir dan mengurangi dampaknya dengan melakukan tindakantindakan seperti: Membersihkan selokan, got dan sungai dari sampah dan pasir, sehingga dapat mengalirkan air keluar dari daerah perumahan dengan maksimal. Membuat sistem dan tempat pembuangan sampah yang efektif untuk mencegah dibuangnya sampah ke sungai atau selokan. Menambahkan katup pengaturan, drain, atau saluran by-pass untuk mengalirkan air keluar dari perumahan. Memperkokoh bantaran sungai dengan menanam pohon dan semak belukar, dan membuat bidang resapan di halaman rumah yang terhubung dengan saluran drainase. Memindahkan rumah, bangunan dan konstruksi lainnya dari dataran banjir sehingga daerah tersebut dapat dimanfaatkan oleh sungai untuk mengalirkan air yang tidak dapat ditampung dalam badan sungai saat hujan. Penghutanan kembali daerah tangkapan hujan sehingga air hujan dapat diserap oleh pepohonan dan semak belukar. Membuat daerah hijau untuk menyerap air ke dalam tanah. Melakukan koordinasi dengan wilayah-wilayah lain dalam merencanakan dan melaksanakan tindakan-tindakan untuk menghindari banjir yang dapat juga berguna bagi masyarakat di daerah lain. C. KETIKA BANJIR: Penanganan dan Pengungsian Penanganan ketika banjir adalah semua tindakan yang harus segera dilakukan untuk menyelamatkan nyawa dan melindungi harta benda ketika banjir terjadi. Dalam tindakan darurat, waktu adalah faktor yang sangat penting karena waktu dapat menentukan berapa nyawa manusia atau harta benda yang dapat diselamatkan. Perencanaan yang hati-hati sebelum banjir terjadi adalah tindakan awal yang sangat penting untuk penanganan banjir pada waktu yang tepat dan efektif. Penanganan terhadap banjir dan tindakan pengungsian terdiri dari: 1. Badan koordinasi yang baik Mengatur komunikasi, koordinasi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait (anggota masyarakat, institusi pemerintahan seperti kelurahan, organisasi-organisasi lain dari luar masyarakat yang mau memberikan bantuan) untuk menyatukan kemampuan, peralatan, pengetahuan, dan lain-lain. Mengumpulkan dan menyediakan data tentang dampak banjir dan kebutuhan masyarakat

untuk mendapatkan bantuan dari luar masyarakat. Mengumpulkan informasi dan data bagi masyarakat seperti daftar orang terluka dan hilang. 2. Pencarian dan penyelamatan Anggota tim pencarian dan penyelamatan meninggalkan rumah dan keluarga mereka etika banjir dan mampu mengambil risiko bahwa mereka akan meninggalkan keluarga mereka ang terkena dampak banjir. Oleh karena itu, anggota keluarga dari tim tersebut harus terlatih. Selain itu, sebaiknya ada seseorang yang bertanggung jawab atas keselamatan mereka ketika banjir, misalnya tetangga mereka. Agar tidak membahayakan hidupnya sendiri, anggota tim harus terlatih dengan baik (renang, berperahu, kesehatan, dan lain-lain) dan melakukan simulasi secara terus menerus sebelum atau pada awal musim hujan agar mereka dapat melakukan tindakan yang tepat di saat yang tepat ketika banjir. 3. Pendataan dan tersedianya makanan darurat, tempat pengungsian, tenaga medis, dan lain lain Pada banjir besar yang memakan waktu yang cukup lama, kebutuhan dari setiap keluarga harus didata dan dipenuhi secara realistis. Bahan-bahan yang disediakan oleh pemerintah dan sumbangan LSM atau institusi yang menawarkan bantuan lainnya sebaiknya dibagi secara adil berdasarkan kebutuhan masyarakat. Pembagian sebaiknya didasarkan pada kepentingan dan tingkat ekonomi dari anggota masyarakat. Pembagian ini sebaiknya diawasi secara terus menerus oleh lembaga pemerintahan lokal. Masyarakat yang bersikeras untuk tinggal di rumahnya harus mencari alternatif sendiri untuk memperoleh makanan. Hal ini harus terlebih dahulu disepakati bersama. Selama banjir dan bencana lainnya, di mana orang-orang meninggalkan rumah dan harta benda mereka, ada risiko terjadinya penghancuran dan perampokan. Oleh karena itu sangat penting untuk membangun sebuah kelompok sukarelawan yang berasal dari anggota masyarakat untuk menjaga daerah permukiman setelah masyarakat mengungsi. 4. Melindungi daerah pemukiman Selama banjir dan bencana lainnya, di mana orang-orang meninggalkan rumah dan harta benda mereka, ada risiko terjadinya penghancuran dan perampokan. Oleh karena itu sangat penting untuk membangun sebuah kelompok sukarelawan yang berasal dari anggota masyarakat untuk menjaga daerah permukiman setelah masyarakat mengungsi. 5. Mengungsi Prioritas utama harus diberi kepada kelompok rentan (ibu hamil, anak-anak dan manula). Peta kerentanan dan kemampuan sangat membantu untuk menandai lokasi kelompok ini ini. Peta tersebut juga membantu untuk mengetahui rute pengungsian paling dekat dan paling aman. D. SETELAH BANJIR: Rehabilitasi dan Rekonstruksi (Pemulihan) Tujuan dari tindakan pemulihan ini adalah untuk mendukung masyarakat untuk kembali hidup normal dan membangun kembali lingkungan dan kehidupan sosial mereka. Terdapat dua tindakan yang harus dilakukan, yaitu: Tindakan jangka pendek dilakukan untuk mengembalikan layanan utama kepada masyarakat dan mencukupi kebutuhan pokok masyarakat; Tindakan jangka panjang dilakukan untuk mengembalikan kondisi masyarakat kepada kondisi normal atau bahkan lebih baik. Masa pemulihan khususnya dalam memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk

tindakan mitigasi banjir seperti memastikan bahwa rumah-rumah baru terhubung dengan sistem saluran drainase atau tidak membangun apapun pada daerah dataran banjir. Kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi apabila masyarakat tersebut mau berperan aktif dalam pemulihan karena hanya masyarakat itu sendirilah yang paling mengetahui apa yang mereka butuhkan dan apa yang tidak dibutuhkan. Anggota masyarakat terlibat langsung dalam rehabilitasi dan rekonstruksi dapat juga membantu mengurangi stress, trauma, dan depresi, karena mereka tetap aktif dan bekerja untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Tindakan rehabilitasi dan rekonstruksi meliputi: 1. Analisis kerusakan dan kebutuhan Peran serta masyarakat sangat penting dalam mendata kerusakan dan kebutuhan untuk menghindari terlupakannya hal-hal penting, data kerusakan dannkebutuhan tersebut harus lengkap dan jelas agar dapat disampaikan kepada organisasi, lembaga, dan institusi pemerintah yang mau memberikan bantuan. 2. Pembangunan gedung dan infrastruktur Pembangunan kembali gedung, sarana-prasarana umum harus mengacu kepada tindakan kesiapsiagaan dan mitigasi banjir, agar dampak banjir berikutnya dapat ditekan sekecil mungkin. Sebagai contoh, pembangunan kembali rumah-rumah sebaiknya dibangun di lokasi yang lebih aman dan bukan di bantaran sungai. Pembangunan selokan yang tertutup dan pembuatan tempat sampah di lokasi yang strategis adalah salah satu tindakan mitigasi untuk memastikan sampah tidak dibuang lagi ke selokan atau sungai. 3. Melakukan pendekatan terhadap lembaga donor dan organisasi lain yang mau membantu Untuk mengajukan permohonan bantuan, kebutuhan masyarakat harus didata terlebih dahulu dan situasi masyarakat harus dijelaskan dengan baik. Bantuan dapat diperoleh dari institusi pemerintahan, lembaga donor atau dari perusahaan swasta dan perseorangan. Permohonan bantuan juga dapat diajukan kepada anggota masyarakat, daerah sekitar, atau perusahaan swasta. Media massa (televisi, radio, surat kabar, dan lain-lain) dapat dihubungi untuk membantu menyampaikan kebutuhan masyarakat kepada khalayak ramai di luar masyarakat. Perlu dipertimbangkan, bahwa lembaga donor dan organisasi lain yang memberikan bantuan memiliki kriteria dan proses yang berbeda-beda dalam pemberian jenis bantuan atau pendampingan. Organisasi-organisasi ini biasanya bekerja dengan masyarakat melalui lembaga pemerintahan, LSM atau organisasi masyarakat. Karena itu, pembentukan suatu organisasi masyarakat sangat penting. Organisasi ini diharapkan bisa melakukan pendekatan kepada lembaga donor, mengumpulkan prasyarat atau menjalankan prosedur awal yang dibutuhkan, dan mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk mendapatkan bantuan. Proposal harus dibuat secara sistematis, mudah dimengerti dan memiliki informasi yang cukup sebagai dasar pertimbangan. Selain itu, sebaiknya organisasi masyarakat tersebut memiliki tokoh yang mampu menjelaskan kepada calon pemberi bantuan tentang proposal tersebut. Setelah pemberian proposal, tokoh tersebut sebaiknya memastikan adanya tindak lanjut dari proposal tersebut. 4. Kerjasama dengan media massa Media massa dapat membantu masyarakat yang terkena banjir untuk menyebarkan informasi tentang pengalaman, kondisi dan kebutuhan mereka kepada khalayak ramai dan meminta bantuan untuk pembangunan kembali. Kesempatan ini sebaiknya dimanfaatkan

oleh masyarakat dengan menjelaskan sebaik-baiknya tentang situasi dan kebutuhan mereka. Masyarakat sebaiknya menunjuk seorang juru bicara untuk mewakili masyarakat dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh wartawan. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Beberapa faktor penyebab banjir di Jakarta dan sekitarnya lebih disebabkan oleh kegiatan manusia, antara lain: Pembangunan perumahan dan komersil di sekitar bantaran sungai menyebabkan aliran sungai dan kanal terhambat misalnya oleh bangunan-bangunan seperti jembatan atau pipa; Cara pengangkutan dan pengelolaan sampah yang kurang tepat, dan kebiasaan orang membuang sampah sembarangan menyebabkan penimbunan sampah di sungai-sungai; Tidak tertatanya saluran drainase yang berfungsi untuk menyalurkan air hujan dan mengalirkannya keluar daerah hunian; Kurangnya lahan hijau untuk menyerap air hujan dan penebangan hutan di Bogor dan Puncak yang merusak daerah tangkapan hujan. 2. Apabila banjir terjadi, maka dampak yang timbul akibat banjir yaitu: Dampak fisik adalah kerusakan pada sarana-sarana umum, kantor-kantor pelayanan publik yang disebabkan oleh banjir. Dampak sosial mencakup kematian, risiko kesehatan, trauma mental, menurunnya perekonomian, terganggunya kegiatan pendidikan (anak-anak tidak dapat pergi ke sekolah), terganggunya aktivitas kantor pelayanan publik, kekurangan makanan, energi, air , dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. Dampak ekonomi mencakup kehilangan materi, gangguan kegiatan ekonomi (orang tidak dapat pergi kerja, terlambat bekerja, atau transportasi komoditas terhambat, dan lain-lain). Dampak lingkungan mencakup pencemaran air (oleh bahan pencemar yang dibawa oleh banjir) atau tumbuhan disekitar sungai yang rusak akibat terbawa banjir. 3. Tindakan cepat dan terkoordinasi (yang telah direncanakan secara berhati-hati sebelumnya) ditambah dengan pengetahuan yang baik tentang masyarakat dan lingkungan adalah hal terpenting dalam mengurangi dampak banjir pada masyarakat, harta benda dan lingkungan. 4. Penanggulangan banjir tentu saja membutuhkan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat harus dilakukan secara terorganisasi dan terkoordinasi agar dapat terlaksana secara efektif. Sebuah organisasi masyarakat sebaiknya dibentuk untuk mengambil tindakan-tindakan awal dan mengatur peran serta masyarakat dalam penanggulangan banjir. Penanggulangan banjir dilakukan secara bertahap, dari pencegahan sebelum banjir penanganan saat banjir , dan pemulihan setelah banjir. Tahapan tersebut berada dalam suatu siklus kegiatan penanggulangan banjir yang berkesinambungan, Kegiatan penanggulangan banjir mengikuti suatu siklus (life cycle), yang dimulai dari banjir, kemudian mengkajinya sebagai masukan untuk pencegahan sebelum bencana banjir terjadi kembali. Pencegahan dilakukan secara menyeluruh, berupa kegiatan fisik seperti pembangunan pengendali banjir di wilayah sungai sampai wilayah dataran banjir dan kegiatan non-fisik seperti pengelolaan tata guna lahan sampai sistem peringatan dini bencana banjir

B. Kritik dan Saran Berdasarkan temuan lapangan di wilayah banjir oleh BAPPENAS menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat lebih didorong oleh semangat kesetiakawanan dalam bermasyarakat, bukan merupakan resultant upaya pemerintah untuk menggalangnya. Mencermati partisipasi masyarakat pada tahap siklus banjir, ternyata tidak dapat disamaratakan. Pada tahap tertentu partisipasinya sangat besar dan begitu dominan. Sementara pada tahap lain sulit ditemukan, bahkan tidak ada. Perlu dianalisis lebih jauh untuk menemukenali jenis dan tingkat partisipasi masyarakat pada kelompok-kelompok kegiatan penanggulangan banjir. Dari kejadian banjir dapat diambil pelajaran antara lain : PELAJARAN PERTAMA KESIAPAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAH. Masyarakat, Pemerintah Daerah dan Pemerintahan Pusat hanya terfokus dalam kesiapan terhadap banjir rutin tetapi tidak untuk banjir yang berpotensi besar. PELAJARAN KEDUA KOORDINASI. Musibah banjir yang lalu memberi pelajaran kepada kita bahwa koordinasi bukan sesuatu yang mudah. Koordinasi tidak dapat diciptakan secara tiba-tiba atau instan seperti kita membuat supermi. Koordinasi rupanya sangat dipengaruhi oleh kedekatan kita satu sama lain. Kedekatan itu tentu saja harus dibina dalam keseharian kita dalam kehidupan kita selagi tidak ada musibah! PELAJARAN KETIGA HUBUNGAN ANTAR-MASYARAKAT. Terjadinya hubungan yang tidak saling mengenal antara masyarakat, pemerintah maupun swasta. Beberapa bahkan saling curiga. Hal ini tentu tidak akan terjadi apabila kita telah membina hubungan di antara kita dalam keseharian kita. Hubungan pribadi yang akrab, yang tulus, yang tidak dicemari rasa curiga, akan membawa kita kepada kesatuan geraklangkah. Itu tentu akan memuluskan koordinasi dalam segala upaya kerjasama kita. PELAJARAN KEEMPAT SUMBER DAYA. Ini memang sangat berkait dengan kesiapan kita. Karena kita mengira bahwa banjir yang akan muncul adalah banjir biasa, maka persiapan sumber daya kita terkesan kurang (walaupun kita merasa sudah benarbenar siap). Perlu kerjasama sejumlah sarana kesehatan di wilayah yang tidak terkena banjir dengan wilayah bencana. Tenaga kesehatan yang dapat bergerak cepat ternyata menjadi sangat penting. Dalam hal ini keberadaan Brigade Siaga Bencana sungguh sangat membantu. Pada saat banjir melanda, sarana penjernih air yang praktis seperti PAC dan Aquatab sungguh sangat membantu. Pada periode pasca banjir, kegiatan lisolisasi dan kaporitisasi sangat membantu menciptakan lingkungan yang sehat. Untuk itu, persediaan lisol dan kaporit seharusnya kita siapkan dalam jumlah yang mencukupi. Demikian pula tenaga ahli dan peralatan yang diperlukan. Kesemuanya itu ternyata menuntut adanya alokasi dana khusus yang jumlahnya memadai, proses pencairannya tidak memakan waktu lama, dan prosedur penggunaannya tidak berbelit-belit. PELAJARAN KELIMA ANTISIPASI MASALAH. Mungkin kita perlu lebih serius mengupas dampak kesehatan dari bencana banjir. Dengan begitu kita jadi mengetahui masalah apa saja yang bakal atau mungkin muncul.

Rabu, 02 Maret 2011 01:18 REKAYASA DAS HULU SUNGAI KAMPAR Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya peristiwa banjir, kekeringan dan bencana ikutan lainnya. Selain masalah drainase, tidak adanya sinergi pengelolaan hulu dan hilir kawasan DAS, juga telah terjadi perubahan fungsi lahan yang tidak terkendali, yang semula berupa kawasan resapan berubah menjadi kawasan permukiman, industri, pusatpusat perniagaan, pembukaan lahan pertanian. Selain itu, juga diikuti dengan rusaknya kawasan hutan di bagian hulu yang berfungsi sebagai buffer zone akibat dari illegal logging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2006, tercatat lebih dari 100 juta hektare kawasan hutan Indonesia telah beralih fungsi. Di samping itu lebih dari 49 juta hektare kawasan hutan lindung dan konservasi juga terancam akibat kegiatan pertambangan dan pencurian kayu.

Di Sumatera Barat, luas kawasan hutan lindung sebesar 1.203.270 hektare termasuk kawasan suaka alam seluas 569.690 hektare. Kawasan budi daya 2.456.970 hektare (termasuk hutan produksi terbatas seluas 215.250 hektare). Hutan produksi 398.370 hektare. Hutan produksi konversi 137.680 hektare, permukiman 12.600 hektare. Perkebunan 461.570 hektare (yang diusahakan 269.400 hektare dan yang sudah diperuntukkan 132.170 hekater) serta penggunaan lainnya 1.287.740 hekater. Dari citra satelit, Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Agam melaporkan bahwa dalam satu dekade belakangan ini, dari 200.000 hektare hutan yang difoto memperlihatkan bahwa 22 persen dari hutan lindung telah ditebang. Kawasan TNKS Pesisir Selatan merupakan salah satu titik pembalakan liar terparah di Sumatera Barat. DAS Kampar dengan luas lebih kurang 2.500.996 hektare, berhulu di Sumatera Barat dan hilirnya di Riau, 251.705 (10,06 persen) berada di wilayah Sumatera Barat, dan 2.249.291 hektare (89,94 persen) berada di wilayah Riau. Tata guna lahan di Hulu DAS, yaitu 121.160 hutan, 20.207 semak belukar, 33.681 perkebunan, 46.478 lahan kering, 1.456 hektare sawah dan tegalan, 89 hektare lahan kosong/gundul dan 459 hektare pemukiman. Debit sungai maksimal 10.467 m3/detik dan min. 532 m3/detik sangat fluktuatif dan kenyataan ini mengisyaratkan telah adanya kerusakan lahan. Sebahagian besar jenis tanahnya peka terhadap erosi, dan juga didominasi daerah agak curam sampai sangat curam, serta pemukin di wilayah ini lebih banyak bertani (BPDAS Agam Kuantan, 2007), sedangkan potensi debit sedimen tertimbang 6261,066 ton/hari, hanyutan muatan sedimen 4695,800 ton/hari dan akan mengendap di Waduk PLTA Koto Panjang sebanyak 137,840 ton/hektare/tahun, berarti Waduk ini terancam pendangkalan, dimana luas waduk 12.400 hektaredengan daya tampung air aktif 1.040 juta m3.

Faktor Penyebab Banjir dan Kekeringan Penanganan masalah banjir tidak cukup dilakukan hanya dengan membenahi faktor penyebab secara spasial saja, seperti memperbaiki saluran pembuang, membenahi sistem jaringan darinase, dan bahkan menambah saluran-saluran baru. Akan tetapi harus dilakukan secara holistik dan terintegrasi di dalam satu manajemen banjir. Untuk itu perlu direalisasikan konsep penanganan DAS terpadu dengan prinsip, one river, one plan and one integrated management. Mengingat DAS seringkali melintas antar kabupaten, dan bahkan provinsi, maka upaya penanganannya harus dilakukan secara terpadu dan diikat dengan dasar hukum/aturan-aturan yang jelas dan tertuang di dalam bentuk peraturan pemerintah. Dalam mengatasi masalah banjir dan genangan dapat dilakukan melalui upaya struktur (in-

stream) dan non struktur (off-stream). Sampai saat ini usaha yang dilakukan masih mengandalkan pada upaya yang bersifat represif dengan melaksanakan berbagai kegiatan fisik. Upaya inilah yang disebut sebagai upaya struktur, yaitu membangun sarana dan prasarana pengendali banjir seperti: membangun tanggul banjir, normalisasi alur sungai, penggalian sudetan, banjir kanal, interkoneksi, waduk penampung dan retensi banjir, dll) dan atau memodifikasi kondisi alamiah sungai sehingga membentuk suatu sistem pengendali banjir (in-stream). Langkah ini banyak diterapkan hampir di seluruh negara-negara di dunia yang mengalami masalah banjir. DAS yang dikatakan baik adalah apabila hutannya e40 persen dengan kerapatan tegakan pohon per hektarenya atau nilai INP nya relatif baik, jadi belum terganggu akibat perladangan, penebangan hutan dan peruntukan lainnya. Apabila hulu DAS sudah mengalami degradasi maka saat hujan akan lebih banyak terjadi aliran permukaan (run off) ketimbang terjadinya resapan air ke dalam tanah (infiltrasi). Keadaan ini akan menyebabkan aliran air akan melimpah ke aliran utama di DAS tersebut dan tentu sajakan mengalir ke hilir DAS dengan volume air yang lebih besar dan kalau melampaui kemampuan tampung sungai utama tentu akan berdampak terjadinya luapan air sungai. Luapan air sungai ini akan mencari atau meneruskan alirannya ke tempat yang lebih rendah permukaannya, maka terjadilah banjir di lokasi tertentu di kiri kanan sungai. Kalau di hilir DAS terjadi pula hujan, maka akan menambah volume luapan air sungai tersebut. Sementara di lokasi tertentu akan terjadi genangan sisa yang disebut banjir Di daerah hilir suatu DAS biasanya tata guna lahan lebih banyak dimanfaatkan oleh pemukiman, perkampungan, persawahan dan lain sebagainya. Bila pada hilir DAS ini terdapat perkampungan, perkotaan biasanya banyak terjadi konversi tata guna lahan untuk berbagai kepentingan pembangunan. Ada beberapa bentuk tata guna lahan yang bila dikonversikan menjadi tempat pemukiman, perkantoran dan infrastruktur lainnya akan selalu rawan banjir yaitu: Rawa belakang, persawahan, pinggiran dan muara sungai, minimnya saluran drainase, bangunan yang menghambat aliran sungai,krakteristik DAS. Pengendalian Ada beberapa hal yang perlu dikaji tentang pengendalian banjir dan kekeringan di DAS Kampar, baik di hulu maupun di hilir yang yang harus disikapi secara totalitas dan terpadu yang lebih spesifik untuk suatu DAS.Tata guna lahan meliputi hutan, tanaman perkebunan, sawah, ladang dan perkarangan atau dapat dikatakan semua yang menggunakan tata ruang lahan DAS. Ditinjau dari segi hidrologis, hutan merupakan bentuk vegetasi yang memegang peranan penting dalam suatu daerah aliran sungai. Hal ini disebabkan karena vegetasi hutan dapat memperbaiki/mempertahankan kualitas maupun kuantitas air sungai.

Vegetasi hutan dan tumbuhan penutup tanah lainnya merupakan salah satu cara alam dalam mengatur dan menjaga mutu dan jumlah air yang mengalir di anak-anak sungai dan sungai utama. Ada korelasi positif antara persentase penutupan vegetasi dengan besarnya aliran sungai. Hubungan ini terutama sangat ditentukan oleh struktur dan komposisi penutupan vegetasi. Hutan dapat dikonversikan menjadi berbagai tata guna lahan, yaitu hutan tanaman industri, lahan pengembalaan, pertanian, dan lain-lain. Perlu pula dikaji pengaruh konversi hutan menjadi tata guna lahan lain terhadap aliran air. Hal ini mengisyaratkan perlunya pengelolaan hutan yang baik di daerah hulu DAS itu untuk menjamin tersedianya air yang cukup bagi kawasan hilir DAS. Seperti diketahui bahwa aliran air terdiri atas dua bagian, yaitu aliran dasar dan aliran langsung yang berasal dari air larian. Sebenarnya batas antara kedua jenis aliran itu tidak jelas. Aliran dasar berasal dari air simpanan yang mengalir ke sungai dari mata air. Sungai yang aliran dasarnya tidak pernah kering disebut dengan sungai perenial. Apabila suatu DAS banyak dilakukan konversi hutan menjadi tata guna lahan bukan untuk pertanian, maka naiklah koefisien air larian. Jika ini dilakukan di DAS bagian hulu yang bercurah hujan tinggi, risiko terjadinya banjir besar, terutama banjir bandang. Lokasi pembangunan perumahan, perkantoran, perindustrian dikawasan yang memang sebelumnya rawan banjir, maka tentu setelah ada pembangunan akan tetap terjadi banjir, begitu juga dilokasi pembangunan bukan dikawasan banjir, kalau tidak ada dibuatkan saluran drainase. Analisa kemampuan drainase untuk mengalirkan kelebihan air, tergenang dan terancam limpahan air dari sungai terdekat, maka saluran drainase harus mampu menampung volume air tersebut. Tak kalah pentingnya pembuatan sumur-sumur resapan di pekarangan rumah, kantor, pabrik, rumah ibadah, sekolah dan lain sebagainya. Kelebihan air akibat hujan bisa ditampung dan diresapkan oleh sumur resapantersebut. Sumur resapan sangat berarti kalau lokasi pembangunan tersebut terdapat pada bekas lahan sawah ataupun lahan yang mempunyai lapisan kedap air. Waduk retensi adalah merupakan waduk yang dibuat di daerah pemukiman, perkotaan untuk menampung luapan air, sehingga tidak terjadi banjir di lokasi tersebut. Kanal (channal) dapat dilihat untuk mengalirkan air dari suatu tempat atau sungai ke sungai yang lain yang tidak mengalami kelebihan air. Pembuatan kanal tentu dengan anlisa yang akurat sehingga tidak menimbulkan masalah baru pula nantinya. Saluran bawah tanah (saluran tertutup) juga dapat berfungsi untuk mengalirkan kelebihan air ke tempat lain sehingga tidak terjadi banjir dilokasi tertentu. Berangkat dari uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa upaya penanggulangan

banjir dan upaya peresapan air yang sudah terjadi di hulu dan hilir DAS Kampar terutama melalui rekayasa biofisik sebagai berikut: 1. Penanggulangan banjir dan kekeringan harus dilakukan dengan pengendalian hulu dan hilir DAS secara komprehensif baik secara struktural maupun non struktural. 2. Pengendalian di hulu DAS Kampar adalah meningkatkan fungsi DAS yaitu menampung, menyimpan dan mengalirkan melalui upaya : a. Meningkatkan kualitas dan kutantitas tutupan hutan dan mengurangi lahan-lahan terbuka (gundul, kritis dan sejenisnya). b. Membuat embung-embung ditempat tertentu yang berdaya fungsi memperbesar tangkapan dan resapan air, terutama air hujan. c. Mengendalikan karakteristik sungai yang berpotensi menimbulkan banjir pada kawasan tertentu dibentangan DAS. 3. Pengendalian di hilir DAS Kampar adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas saluran drainase dan resapan air melalui upaya : a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas saluran drainase. b. Membuat waduk-waduk melokalisir dan menampung kelebihan air dari saluran drainase utama dan curah hujan. c. Membuat sumur-sumur resapan dipekarangan rumah, kantor, sekolah dan lain-lainnya. d. Mengurangi penutupan permukaan tanah dengan beton atau sejenisnya dipekarangan rumah, kantor, sekolah dan lain-lainnya. e. Meningkatkan kualitas dan kuantitas penutup hijauan dipekarangan rumah, kantor, sekolah dan lain-lainnya serta lapangan terbuka kota. 4. Membuat Perda tentang keharusan menjaga lingkungan hijauan baik dipekarangan rumah, kantor, sekolah dan lain-lainnya serta mewajibkan menanam dan menata hijauan dipekarangan rumah, kantor, sekolah dan membuat sumur resapan.

Dumai, 30/4 (ANTARA) - Kalangan lembaga swadaya masyarakat menyesalkan Pemerintah Kota Dumai, Riau, pada 2011 tidak menganggarkan untuk pencegahan dan penanganan banjir. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Nasional (YLBHN) Ir Hasbi, di Dumai, Sabtu, mengatakan sangat menyayangkan kebijakan pemerintah kota itu karena dianggap tidak pro rakyat. Melalui Kepala Dinas Pekerjaan Umum Zulkifli Said mengatakan pada 2011 tidak ada anggaran untuk pencegahan dan penanganan banjir karena ketersediaan dana minim.

Zulkifli mengatakan salah satu upaya penanganan banjir adalah melakukan penataan ulang saluran air atau drainase. Namun untuk merealisasikannya, kata dia membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga APBD Dumai yang dirasa minim tidak mampu menanggung anggaran berbaikan atau penataan ulang dainase tersebut. "Maka dari itu, tahun ini kita hanya mendesain atau merancang sistem saluran air di Dumai. Desain atau gambar rencana pembangunan drainase ini ditargetkan selesai pada September 2011, dan akan segera kita ajukan ke APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)," katanya. Sementara itu, Ketua YLBHN Hasbi mengatakan apabla anggaran minim, mengapa diadakan pesta hari jadi ke-12 Kota Dumai dengan biaya besar. Biaya Dumai Expo, kegiatan menyambut hari jadi ke-12 Kota Dumai diakui Direktur PT Mahudun Saricipta Utama Salman Alfarisy selaku pihak pelaksana Dumai Expo 2011 mengakui biayanya mencapai miliaran rupiah. Dengan kenyataan tersebut, Hasbi menilai pemerintah lebih mengutamakan berpesta ria ketimbang memperbaiki infrastruktur jalan dan drainase yang menjadi ujung tombak perekonomian rakyat. Ia mengatakan pemerintah saat ini lemah dalam sistem dan tidak jeli dalam menanggapi serta melihat suatu permasalahan rakyat. "Salah satunya masalah banjir yang sebenarnya merupakan masalah klasik di Dumai. Tapi mengapa hal ini tidak dimasukkan dalam skala prioritas pembangunan pemerintah," katanya. Menurut dia, tidak ada alasan pemerintah mengenepikan penataan ulang atau perbaikan drainase guna pengentasan banjir yang selama ini menjadi "momok" bagi kebanyakan masyarakat di Dumai. "Terlebih alasan yang disampaikan ke publik adalah alasan uang atau dana yang minim," katanya. Alasan minimnya anggaran menurut dia sangat tidak masuk akal, mengingat APBD Dumai 2011 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Data di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Dumai menyebutkan APBD Dumai 2011 yang disahkan sebesar Rp803 miliar. Jumlah tersebut, menurut Hasbi, lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang tidak sampai menyentuh angka Rp800 miliar.

Presentasi Banjir Riau Presentation Transcript


1. PARADIGMA YANG SALAH TERHADAP HUTAN PENYEBAB RITUAL BENCANA PROPINSI RIAU B A N J I R 2. HUTAN RIAU Diatas Kertas Luas hutan Propinsi Riau adalah 9.456.160 ha, terbagi atas: Hutan Lindung : 397.150 ha Hutan Suaka Alam dan Wisata : 451.000 ha Hutan Produksi Terbatas : 1.971.000 ha Hutan Produksi Tetap : 1.866.132 ha Hutan Produksi Konversi : 4.770.085 ha Luas penggunaan hutan di Riau adalah 9.035.588 yang terdiri atas Luas HPH berdasarkan addendum menteri : 5.909.493

ha Luas IPKH untuk Industri : 2.158.290 ha Luas Hutan Tanaman Industri : 967.805 ha Sisa hutan tersisa : 420.572 ha . 3. HUTAN RIAU Perencanaan 2001 2015 Mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Riau 2001 - 2015 35.8 % lebih bentang alam Riau diperuntukkan bagi Perkebunan/Tanaman Tahunan 33.5 % lebih untuk Hutan Tanaman Industri 10 % bagi Pertanian 3 % bagi perindustrian 9 % untuk Areal pemukiman dll 10 % untuk kawasan hutan lindung dan kawasan yang memberi perlindungan dibawahnya 4. Sekilas Penyebab Banjir Curah hujan yang tinggi melebihi daya serap lahan Berkurangnya fungsi ekologis hutan akibat rusaknya sebagian besar kawasan hutan di Riau Tidak ada kerjasama ekologis antara kawasan hulu dan hilir 5. Setiap Tahun! Terjadi Banjir Besar di Riau M asyarakat dan pemerintah (pusat dan daerah) menanggung kerugian akibat banjir H arus ada alokasi dana ekstra untuk menanggulangi bencana banjir 6. Banjir Membebani APBD I nvestasi P emerintah D aerah Riau menjadi investasi sia-sia karena tidak efektif dalam mencegah banjir P emerintah terpaksa harus mengalokasikan sejumlah dana dari APBN maupun APBD untuk memperbaiki sarana dan prasarana yang rusak dan mempersiapkan fasilitas pertolongan bagi korban banjir H ilangnya potensi peluang ekonomi akibat banjir 7. Banjir Melanda Tujuh Kabupaten/Kota di Wilayah Propinsi Riau Kabupaten Indragiri Hulu(dua kali di tahun 2003) Kabupaten Kampar (tiga kali di tahun 2003) Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Pelalawan (dua kali di tahun 2003) Kabupaten Rokan Hulu Kabupaten Rokan Hilir Kota Pekanbaru 8. Kerugian Akibat Banjir pada 2003 Data banjir Kampar pada 3 Desember 2003 bersifat perkiraan namun tidak lebih dari 10% Kerugian Sosial 57.503 orang terkena dampak langsung banjir 663 orang sakit korban jiwa 46 orang. Kerugian Infrastruktur 6.123 rumah penduduk rusak 63 unit jembatan putus Sekitar 67 km jalan rusak 74 unit sekolah 77 unit rumah ibadah Kerugian Ekonomi 12.000 ha lahan pertanian rusak 1,9 juta bibit tanaman rusak 82.469 ekor ayam, 332 ekor kambing, 107 ekor sapi 359 unit kolam rusak dan 482 unit keramba hanyut dilanda banjir 9. Nilai Kerugian Ekonomi Akibat Banjir di Tujuh Kabupaten 8 41 .136 15 8 .338 Total 67.896 11.694 7. Kota Pekanbaru 199.703 34.172 6. Kabupaten Pelalawan 3.964 2.398 5. Kabupaten Indragiri Hulu 97 .815 2 9 .399 4. Kabupaten Kampar 182.90 4 31.355 3. Kabupaten Kuantan Singingi 195.508 33.5 10 2. Kabupaten Rokan Hilir 93.34 6 . 15.810. 1. Kabupaten Rokan Hulu Total Kerugian (Rp juta ) Kerugian Dampak Langsung (Rp juta ) Kabupaten/Kota 10. Nilai total dampak kerugian ekonomi akibat banjir di masing-masing kabupaten rata-rata mencapai 31 persen dari nilai APBD 2002 masing-masing k abupaten Nilai total dampak kerugian akibat banjir di tujuh kabupaten mencapai 51 persen dari nilai APBD 2002 Propinsi Riau Perbandingan Kerugian Banjir dengan APBD Tahun 2002 11. Pengeluaran Pembangunan Sektor Publik yang Berkaitan dengan Bencana Banjir Tujuh pos penting dalam pengeluaran pembangunan sektor publik yang memiliki keterkaitan yang erat dengan bencana banjir : sektor pertanian dan kehutanan sektor sumber daya air dan irigas i sektor transportasi Sektor

pembangunan daerah dan pemukiman sektor lingkungan hidup dan tata ruang Sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, anak dan remaja sektor perumahan dan pemukiman. 12. Perbandingan Alokasi Anggaran Tujuh Sektor Publik dalam APBD 2002 dan Kerugian Banjir di Tujuh Kabupaten I nvestasi untuk tujuh sektor publik (Rp 876,5 miliar) mencapai 64 persen dari anggaran pengeluaran pembangunan dalam APBD tujuh kabupaten Nilai total dampak k erugian akibat banjir (Rp 841,1 miliar) mencapai 9 7 persen dari total investasi ketujuh sektor publik dalam APBD tujuh kabupaten 13. Alokasi Dana Penanggulangan Banjir Merupakan Pengeluaran yang tidak produktif Investasi senilai Rp 876,5 miliar melalui APBD 2002 menjadi investasi sia-sia akibat banjir Alokasi dana untuk penanggulangan bencana banjir Riau sebesar Rp 15 miliar akan menjadi pengeluaran tidak produktif (unproductive expenditures) karena digunakan untuk perbaikan infrastruktur yang rusak, padahal dana tersebut akan lebih produktif jika dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat 14. Perbandingan rencana APBD 2004 dari sektor perkebunan dan kehutanan dengan biaya penanggulangan banjir 2003 APBD 2004 57,29 Miliar Rupiah Biaya penangagulangan banjir 2003 841.1 Miliar Rupiah 15. KORELASI KEBIJAKAN KEHUTANAN PROPINSI RIAU DENGAN KONDISI OBYEKTIF Orientasi pengelolaan lebih berfokus pada bisnis . Hutan dipandang semata-mata dari sudut penyedia bahan mentah Hutan tidak dipandang sebagai faktor penyedia jasa lingkungan Tidak pernah dilakukan audit terhadap kemampuan dan daya dukung dari installed industry (kapasitas industri terpasang jauh lebih besar dibanding kemampuan hutan alam dan HTI dalam menyediakan bahan baku kayu) Hutan sebagai bisnis ekstraksi cenderung menjadi mesin uang partai politik dan atau penguasa (Politik Konversi) PAD dari ekstraksi hutan cenderung semakin kecil dibanding beban APBD untuk memperbaiki infrastruktur yag rusak akibat kelebihan daya dukung hutan tersebut (contoh kasus banjir dan kebakaran hutan) Besarnya pengaruh industri kehutanan terhadap berbagai kebijakan penataan ruang di Propinsi Riau 16. Banjir Riau ada potret terburuk, disamping kebakaran hutan, dari praktek bisnis berbasis lahan yang melebihi daya dukung lingkungan tersebut. Oleh karenanya WALHI Riau secara konsisten memberikan rekomendasi: Moratorium Izin Baru bagi HPH, HTI dan IPKH dan kaji ulang izin existing Moratorium Izin Baru bagi Perkebunan Skala Besar dan kaji ulang izin existing Munculkan koridor biologi kawasan hulu hilir Keluarkan kebijakan Ambang Batas Toleransi Daerah Riau

Anda mungkin juga menyukai