Anda di halaman 1dari 10

LATAR BELAKANG

Masyarakat seringkali menganggap banjir merupakan hal yang negatif. Hal


ini karena banjir selalu berkaitan dengan hal-hal yang merugikan sehingga dapat
disebut juga bencana alam. Banjir dapat menyebabkan kerusakan parah, khususnya
pada daerah yang padat penduduk, terutama daerah perkotaan. Menurut Schwab
at.al, 1981 (dalam Somantri, 2008) banjir adalah luapan atau genangan dari sungai
atau badan air lainnya yang disebabkan oleh curah hujan yang berlebihan atau salju
yang mencair atau dapat pula karena gelombang pasang yang membanjiri
kebanyakan pada dataran banjir.
“Floods are one of the most widereaching and commonly occuring natural
hazard in the world, affecting on average about 70 million people each year”
UNISDR, 2011 (dalam Surminski, 2013: 242). Dari dfinisi diatas dapat dikatakan
bahwa banjir adalah salah satu bencana yang paling luas jangkauannya. Bencana
alam ini juga sering terjadi di dunia dan mempengaruhi rata-rata sekitar 70 juta
orang setiap tahun.
Potensi bencana banjir di Indonesia sangat besar dilihat dari topografi
dataran rendah, cekungan dan sebagian besar wilayahnya adalah lautan. Curah
hujan di daerah hulu dapat menyebabkan banjir di daerah hilir. Apalagi untuk
daerah-daerah yang tinggi permukaan tanahnya lebih rendah atau hanya beberapa
meter di atas permukaan air laut (Suprapto, 2011: 35). Kejadian banjir pada
umumnya terjadi pada kawasan dataran banjir, di mana wilayah ini berkembang
sebagai wilayah perkotaan disebabkan oleh kebutuhan dan melimpahnya
ketersediaan sumberdaya air untuk beragam tujuan. Laju urbanisasi yang tinggi
mempercepat pembangunan infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan penduduk
kota. Perkembangan tersebut terus berlanjut meskipun aktivitas ini meningkatkan
kerentanan bencana jika aktivitas berlangsung melebihi kapasitas wilayah terhadap
perubahan (Genovese, 2006). Kerusakan yang disebabkan oleh banjir merupakan
cerminan dari kurangnya kesiapan bencana. Sebagian besar alasan munculnya
masalah ini adalah karena kurangnya penyediaan infrastruktur serta kurang
matangnya perencanaan dalam pengelolaan wilayah terdampak bencana. Elemen
berisiko adalah tingkat kemungkinan suatu elemen untuk mengalami dampak
bahaya. Elemen-elemen tersebut dapat berupa penduduk, bangunan, pelayanan
publik, kegiatan ekonomi, dan infrastruktur (Nott, 2006 dalam Wigati, 2008; Marfai
and King, 2008; Marfai et al., 2008).
Banjir dapat terjadi akibat curah hujan yang tidak menentu. Curah hujan
adalah jumlah debit air hujan yang turun di suatu wilayah alam kurun waktu
tertentu. Curah hujan diukur dari tempat datar yang tidak mengalami proses
evaporasi atau proses penguapan. Selain memperhatikan proses evaporasi,
pengukuran curah hujan juga dapat dilakukan di tempat yang air tidak mengali dan
tidak meresap pada proses terjadinya hujan. Karakteristik banjir di Indonesia sangat
beragam. Dari perkotaan hingga pedesaan, pernah mengalami bencana alam ini.
Faktor-faktor yang mempengaruhi banjir di Indonesia juga bermacam-macam.
Salah satunya faktor curah hujan di Indonesia yang sangat beragam. Jenis banjir
yang berbeda-beda mempunyai karakteristik yang berbeda pula antara jenis satu
dengan jenis lainya.
Secara umum ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya banjir.
Faktor-faktor tersebut adalah kondisi alam (letak geografis wilayah, kondisi
toporafi, geometri sungai dan sedimentasi), peristiwa alam (curah hujan dan
lamanya hujan, pasang, arus balik dari sungai utama, pembendungan aliran sungai
akibat longsor, sedimentasi dan aliran lahar dingin), dan aktifitas manusia
(pembudidayaan daerah dataran banjir), peruntukan tata ruang di dataran banjir
yang tidak sesuai dengan fungsi lahan, belum adanya pola pengelolaan dan
pengembangan dataran banjir, permukiman di bantaran sungai, sistem drainase
yang tidak memadai, terbatasnya tindakan mitigasi banjir, kurangnya kesadaran
masyarakat di sepanjang alur sungai, penggundulan hutan di daerah hulu,
terbatasnya upaya pemeliharaan.
Banjir juga menimbulkan beberapa dampak pada ekonomi seperti kerusakan
dan kehilangan harta benda secara masif dan cepat, terutama terhadap bangunan
rumah tinggal (hilang karena hanyut dan rusak), infrastruktur seperti jembatan dan
jalan yang memerlukan biaya besar untuk rehabilitasinya. Selain itu kerusakan
bangunan infrastruktur dapat mengisolasi suatu kawasan pemukiman, akibatnya
biaya untuk evakuasi dan pengiriman bantuan menjadi sulit dan mahal. Kehilangan
mata pencaharian menyebabkan aktivitas ekonomi terhambat. Hal tersebut dapat
mempengaruhi aspek-aspek lainya seperti kesehatan dan pendidikan. Untuk
memahami karakteristik kejadian bencana banjir yang pada umumnya. Perlu
diketahui faktor yang signifikan kejadian bencana banjir tersebut yang terjadi pada
kawasan yang sudah tereksploitasi seperti di Jawa dan ternyata terjadi juga di
kawasan yang masih alami seperti di Sumatera dan Kalimantan. Selain itu upaya-
upaya mitigasi atau antisipasi yang harus dilakukan agar dampak kejadian banjir
dapat dikurangi.

BENCANA BANJIR DI INDONESIA


KARAKTERISTIK BANJIR DI INDONESIA

Di Indonesia, jenis banjir bermacam-macam. Berikut jenis jenis banjir


diantaranya :

1. Banjir Bandang

Banjir bandang merupakan banjir yang sifatnya cepat dan pada


umumnya membawa material tanah (berupa lumpur), batu, dan kayu. Akibat
dari kecepatan aliran banjir yang disertai dengan material tersebut, maka
biasanya banjir bandang ini sifatnya sangat merusak dan menimbulkan
korban jiwa pada daerah yang dilalui disebabkan tidak sempatnya
dilakukan evakuasi pada saat kejadian, dan kerusakan pada bangunan terjadi
karena gempuran banjir yang membawa material Beberapa faktor yang
diyakini menjadi penyebab terjadinya bencana banjir bandang adalah (1)
Curah hujan yang ekstrim tinggi, (2) Geomorfologi yang bergunung dan
lereng curam, (3) Formasi geologi terdiri dari batuan vulkanik muda, (4)
Vegetasi penutup tidak mendukung penyerapan air hujan seperti hutan
gundul dan lahan kritis, (5) Perubahan tutupan lahan, khususnya dari
vegetasi hutan menjadi non hutan, (6) Kejadian longsor yang menyebabkan
terbendungnya sungai dibagian hulu, (7) Perilaku manusia/masyarakat yang
eksploitatif terhadap lingkungan sehingga pemanfaatan lahan tanpa
dilakukan konservasi tanah dan air.
Berdasarkan hasil survey YPM dan JICA (2011a) ternyata tanda-
tanda sebelum terjadinya banjir bandang adalah (1) Hujan lebat, (2) Banyak
pohon tumbang, (3) Kayu terbawa kepemukiman, (4) Debit air lebih tinggi,
(5) Air keruh, (6) Penyusutan muka air sungai, (7) Adanya suara gemuruh.

Berdasarkan tanda-tanda akan terjadinya banjir bandang tersebut


maka dapat diterangkan bahwa adanya hujan lebat mengakibatkan debit air
sungai meningkat, proses longsoran menyebabkan terbawanya kayu dan
keruhnya air sungai hingga tersumbatnya aliran sungai. Proses
tersumbatnya saluran sungai menyebabkan muka air menyusut karena air
terbendung. Sedangkan suara gemuruh merupakan indikasi gerakan air yang
sangat cepat dengan membawa material kayu dan batu sebagai akibat
jebolnya sumbatan sungai. Daerah yang merupakan kawasan rawan banjir
bandang dapat diidentifikasi sebagai berikut (1) Terdapat bentang lahan
yang kontras antara perbukitan dengan kemiringan lereng yang curam
menjadi dataran rendah; (2) Dataran rendah yang merupakan zona endapan
yang membentuk bentang lahan berupa aluvial fan (kipas aluvial) yaitu zona
akumulasi sedimen banjir yang membentuk morfologi seperti kipas; (3)
Daerah hulu terdiri dari batuan lapuk pada zona gempa, sehingga adanya
gempa bumi akan memicu terjadinya longsor pada tebing sungai dengan
kelerengan tinggi.

Kejadian banjir bandang di Indonesia menunjukkan tren yang


meningkat. Seringnya wilayah Indonesia terjadi gempabumi telah
menyebabkan struktur kohesi batuan dan lapisan tanah mudah longsor.
Guncangan gempa menyebabkan lapisan batuan vulkanik muda mengalami
retakan sehingga mudah longsor. Hal ini terlihat di Wasior, dimana hampir
separo bukit runtuh sehingga membendung sungai di hulu (dalam
Syamhudi, 2012). Bahkan saat musim kemarau pun, beberapa wilayah
terjadi banjir bandang akibat pengaruh cuaca ekstrem dari siklon tropis di
utara Indonesia.

2. Banjir Air

. Banjir air sebenarnya seperti pada umumnya, juga mirip


dengan banjir cileuncang dan jenis banjir yang sangat umum terjadi.
Biasnya banjir ini terjadi akibat meluapnya air sungai, danau atau selokan.
Hal ini terjadi karena intensitas banyak sehingga air tidak tertampung dan
meluap itulah banjir air. Banjir air sangat sering terjadi saat hujan deras
dalam kurun waktu yang lama, sehingga air tidak tertampung dan meluap.
Contohnya turunnya hujan dengan intensitas tinggi selama seminggu. Tentu
saja saluran pembuangan air tidak akan sanggup menampung debit air yang
datang secara cepat dengan jumlah yang banyak. Turunnya curah hujan
yang tinggi dan mengakibatkan banjir merupakan faktor penyebab alami
banjir, namun ada pula faktor penyebab banjir air yang tidak alami atau
terjadi karena perubahan.

3. Banjir Lumpur
Banjir lumpur memiliki kemiripan dengan banjir bandang, namun
banjir lumpur ini keluar dari dalam bumi yang akan mengenangi daratan.
Lumpur ini mengandung bahan gas yang sangat berbahaya. Seperti
contohnya banjir lumpur Lapindo di Sidoarjo yang hingga saat ini masih
mengeluarkan lumpur dari dalam bumi.

4. Banjir Rob (Banjir Laut Air Pasang)

Banjir rob merupakan banjir yang airnya berasal dari air laut. Banjir
rob ini adalah banjir yang diakibatkan oleh pasangnya air laut, hingga air
yang pasang tersebut menggenangi daratan. banjir rob ini juga dikenal
sebagai banjir genangan. Banjir rob ini akan sering melanda atau sering
terjadi di daerah yang permukaannya lebih rendah daripada permukaan air
laut. Karena disebabkan oleh meluapnya air laut yang sampai ke daratan,
maka air yang menggenangi karena banjir rob ini mempunyai warna yang
cenderung lebih jernih daripada air yang pada banjir- banjir biasanya.

Bila kita tidak mengetahui mengenai banjir ataupun tidak paham


mengenai jenis- jenis banjir. Mungkin saja kita akan mengira
bahwa penyebab banjir yang terjadi adalah banjir yang disebabkan karena
hal- hal yang umum menyebabkan banjir. Padahal, apabila kita mengetahui,
saru jenis banjir dengan jenis banjir yang lainnya mempunyai cara
penanganan yang berbeda- beda. Oleh karena itu alangkah lebih baik apabila
kita mengetahui bersama mengenai jenis banjir yang terjadi.

Untuk mengetahui jenis banjir yang terjadi, kita bisa melihatnya dari
karakteristik banjir yang sedang terjadi. Semua jenis banjir mempunyai
suatu ciri khasnya sendiri- sendiri. Seperti halnya banjir rob ini. kita dapat
melihat suatu banjir dikatakan sebagai banjir rob dari ciri- ciri atau
karakteristik banjir itu sendiri. Banjir rob sendiri mempunyai beberapa ciri
khusus atau karakteristik khusus yang dimilikinya. Beberapa karakteristik
banjir ROB yaitu (1) Terjadi pada saat air laut sedang pasang, (2) Warna air
tidak terlalu keruh, (3) Tidak melulu terjadi pada saat musim penghujan tiba,
(4) Biasanya terjadi pada daerah yang mempunyai wilayah dataran lebih
rendah daripada wilayah lautan.

FAKTOR PENYEBAB BANJIR

Banjir merupakan masalah yang menyangkut lingkungan hidup dan pada


umumnya merupakan akumulasi dari berbagai faktor penyebab yang sangat banyak
dan kompkes. Ada dua faktor perubahan yang mengakibatkan mengapa banjir air
terjadi yaitu faktor perubahan lingkungan (alam) dan faktor perubahan di
masyarakat (campur tangan manusia).

 Faktor Perubahan Lingkungan (alam), beberapa faktor perubahan lingkungan atau


faktor alam yang menyebabkan mengapa banjir air sering sekali terjadi di berbagai
kota di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Perubahan Iklim
Hujan merupakan faktor utama penyebab banjir. Perubahan iklim
menyebabkan pola hujan burubah dimana saat ini musim penghujan datang
dengan waktu yang lebih pendek namun dengan intensitas yang sangat tinggi.
Akibatnya saluran-saluran yang tidak mampu lagi menampung besarnya aliran
air dan tanah-tanah cepat mengalami penjenuhan.

2. Pemanasan Global
Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan pada pola iklim
yang akhirnya juga merubah pola curah hujan, makanya tidak heran jika
sewaktu-waktu hujan bisa sangat tinggi intensitasnya dan kadang juga bisa
sangat rendah. Intensitas hujan yang sangat tinggi tentu saja dapat
mengakibatkan banjir air dan intensitas hujan yang rendah dapat mengakibatkan
kekeringan.

3. Perubahan Penggunaan Lahan


Perubahan penggunaan lahan dan otomatis juga menyebabkan terjadinya
perubahan tutupan lahan. Yang dimaksud dengan penggunaan lahan contohnya
pemikiman, sawah, tegalan, ladang, dan lain-lain, sedangkan tutupan lahan
merupakan vegetasi yang tumbuh di atas permukaan kerak bumi. Perubahan
tutupan lahan menyebabkan semakin tingginya aliran permukaan (air yang ada
di atas permukaan tanah). Aliran permukaan terjadi apabila curah hujan telah
melampaui laju aliran air ke dalam tanah. Menurut Castro (1959) tingkat aliran
permukaan pada hutan adalah 2.5%, rumput 18%, sedangkan untuk tanah kosong
sekitar 60%. Beberapa peubahan lahan yang terjadi diantaranya: (1) Penebangan
hutan tanpa adanya reboisasi yang berkelanjutan khususnya di daerah aliran
sungai dan perubahan penggunaan lahan dalam hal ini tentu saja menyebabkan
kenaikan aliran permukaan. Penebangan hutan secara liar sekitar daerah aliran
sungai juga menyebabkan berkurangnya air tanah (baca: ciri-ciri air tanah yang
baik), padahal kemampuan resapan air pada daerah aliran berhutan lebih besar
daripada daerah aliran sungai tidak berhutan, (2) Pengurangan luas hutan yang
meningkatkan laju erosi. Akibat dari erosi tanah yang terjadi inilah tanah
menjadi lebih padat, proses penyerapan air hujan menjadi terganggu,
banyak lapisan tanah yang hilang dan tersangkut di tempat-tempat di dataran
rendah (baca: perbedaan dataran tinggi dan dataran rendah), (3) Tanah yang
hilang dan terangkut inilah yang menjadi sedimentasi yang mengakibatkan
pendangkalan waduk-waduk, pendangkalan bendungan, dan juga pendangkalan
sungai. Hal ini juga yang menyebabkan kapasitas daya tampung dari saluran
irigasi menjadi lebih kecil dan menyempit sehingga dapat menyebabkan banjir
walaupun dalam keadaan curah hujan yang normal.

4. Keadaan Geografis
Salah satu faktor alam yang menyebabkan mengapa banjir air sering
terjadi di suatu daerah adalah letak geografis daerah tersebut diantaranya adalah
(1) Letak geografis daerah tersebut berada di dataran rendah atau di dataran
banjir sehingga rawan terkena genangan dan seringnya tidak bisa terhindarkan
dari banjir, (2) Terdapatnya hambatan pada aliran sungai akibat kondisi geometri
alur sungai seperti misalnya terdapatnya pertemuan anak sungai dengan induk
sungai yang tidak streamline, (3) Kemiringan dasar sungai yang terlalu landai,
yang menyebabkan kapasitas pengaliran sungai relatif kecil.

 Faktor Perubahan Dari masyarakat (Campur Tangan Manusia), selain adanya faktor
alam yang menjadi faktor penyebab terjadinya banjir, pengaruh dari kegiatan
manusia pun ikut memperparah keadaan tersebut. Faktor-faktor tersebut
diantaranya adalah:

1. Pertumbuhan jumlah penduduk


Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin pesat khususnya di kota-
kota besar. Hal ini tentu saja mempengaruhi keadaan alam karena tentu saja
masyarakat memerlukan fasilitas dan kegiatan yang berdampak langsung
maupun tidak langsung terhadap terjadinya masalah banjir air, banjir cileuncang,
maupun jenis-jenis banjir lainnya.

2. Pembangunan di daerah rendah


Pembangunan di daerah rendah yang merupakan daratan banjir yang
sebenarnya rawan terhadap genangan air untuk berbagai keperluan seperti
pemukiman, industri, perkantoran, maupun pertanian. Selain itu kurangnya
perhatian dan antisipasi adanya resiko banjir yang bisa terjadi setiap saat ketika
musim penghujan.

3. Perilaku dan pola hidup masyarakat kota dan pedesaan.


Masyarakat pedesaan lebih mampu bersahabat dengan ekosistem alam
sekitarnya dan juga terbiasa melakukan penghijauan di sekitar lingkungannya.
Sedangkan masyarakat kota seringkali tidak menghiraukan aspek lingkungan.
Contohnya adalah pencemaran seperti buang sampah sembarangan,
pengurangan lahan hijau, dan pengurangan tanah lapang. Kehidupan masyarakat
kota yang serba praktis menyebabkan beberapa dampak negatif terhadap
keberlangsungan ekosistem darat dan ekosistem air di daerah sekitar.

4. Program pembangunan yang tidak terpadu di daerah perkotaan.


Terlihat dari banyaknya gedung-gedung bertingkat dan jalanan beton
yang menggusur tanah-tanah resapan air, bahkan banyak danau kecil yang
ditimbun tanah untuk dijadikan mall atau gedung apartemen. Tanpa memikirkan
bagaimana air hujan yang datang setiap musim penghujan akan dialirkan, pada
pengembang tidak memikirkan secara matang bagaimana seharusnya bangunan
yang ramah terhadap lingkungan sehingga tidak menimbulkan bencana
khususnya bencana banjir yang tidak jarang merenggut korban jiwa. Selain itu
perlunya edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan
hidup yang berkesinambungan.

5. Bangunan-bangunan silang
Bangunan-bangunan silang di sepanjang bantaran sungai dan juga daerah
aliran sungai lainnya yang sering menimbulkan gangguan terhadap kelancaran
aliran banjir.
DAMPAK BANJIR

Secara umum dampak banjir dapat bersifat langsung maupun tidak


langsung. Dampak langsung relative lebih mudah diprediksi dari pada dampak tidak
langsung. Dampak yang dialami oleh daerah perkotaan dimana didominasi oleh
permukiman penduduk juga berbeda dengan dampak yang dialami daerah
perdesaan yang didominasi oleh areal pertanian.

Banjir yang menerjang suatu kawasan dapat merusak dan menghanyutkan


rumah sehingga menimbulkan korban luka-luka maupun meninggal seperti yang
terjadi di Wasior maupun Bohorok. Banjir juga dapat melumpuhkan armada
angkutan umum (bus, truk) atau membuat rute menjadi lebih jauh untuk bisa
mencapai tujuan karena menghindari titik genangan seperti yang sering terjadi di
jalur pantura Jawa. Banjir mengganggu kelancaran angkutan kereta api dan
penerbangan. Penduduk seringkali harus mengungsi sementara ke tempat yang
lebih aman, bebas banjir seperti yang setiap tahun terjadi di Cienteung, Bandung
Selatan. Banjir di Jakarta juga telah mengakibatkan lebih dari 84 ribu penduduk
Jakarta harus diungsikan ke tempat lain yang lebih aman karena tempat tinggalnya
terendam air (BNPB, 2013). Juga banyak petambak di pesisir yang terancam
bangkrut karena tambaknya rusak terendam banjir seperti kejadian banjir di pantura
Jawa. Korban banjir, baik di rumah sendiri maupun di pengungsian, banyak yang
terserang penyakit kulit, diare, pernafasan, dll. Banjir yang menggenangi lahan
pertanian juga dapat menyebabkan puso dan gagal panen di beberapa daerah. Banjir
juga merupakan bencana yang relatif paling banyak menimbulkan kerugian.
Kerugian yang ditimbulkan oleh banjir, terutama kerugian tidak langsung, mungkin
menempati urutan pertama atau kedua setelah gempa bumi atau tsunami (BNPB,
2013). Bukan hanya dampak fisik yang diderita oleh masyarakat tetapi juga
kerugian non-fisik seperti sekolah diliburkan, harga barang kebutuhan pokok
meningkat, dan kadangkadang sampai ada yang meninggal dunia.

Kodoatie dan Syarief (2006) memberikan beberapa contoh dampak atau


kerugian banjir a.l hilangnya nyawa atau terluka, hilangnya harta benda, kerusakan
permukiman, kerusakan wilayah perdagangan, kerusakan wilayah industri,
kerusakan areal pertanian, kerusakan system drainase dan irigasi, kerusakan jalan
dan rel kereta api, kerusakan jalan raya, jembatan, dan bandara, kerusakan system
telekomunikasi, dll. Di Bandung Selatan anak sekolah terpaksa belajar di rumah
atau tempat pengungsian karena sekolahnya terendam banjir. Di SD Negeri
Mekarsari, misalnya, dari 377 murid maka lebih dari 90 persen merupakan warga
RW 20 Kampung Cieunteung yang selama ini selalu menjadi langganan banjir.
Banjir memaksa mereka untuk mengungsi. Banyak murid SD yang selama banjir
tidak bisa bersekolah (Tribunnews, Januari 2013). Di DKI Jakarta, akibat banjir
pada Januari 2013 menyebabkan sebanyak 83.930 jiwa di 307 titik harus mengungsi
ke tempat yang aman (BNPB, 2013).

PENGELOLAAN BANJIR

Mengingat banjir sudah terjadi secara rutin, makin meluas, kerugian makin
besar, maka perlu segera dilakukan upaya-upaya untuk mencegah dan
menanggulangi dampaknya, yang dapat dilakukan secara structural maupun non
structural (Grigg, 1996 dalam Kodoatie dan Syarief, 2006). Upaya secara
struktural a.l berupa tindakan menormalisasi sungai, pembangunan waduk
pengendali banjir, pengurangan debit puncak banjir, dll. Upaya ini telah dilakukan
di beberapa daerah. Selain beragam upaya tersebut, juga dilakukan early warning
system (peringatan dini) supaya pihak yang terkait dapat melakukan antisipasi sejak
dini sehingga dapat meminimalisir dampaknya. Upaya agar setiap rumah membuat
sumur resapan untuk menampung air hujan, sehingga dapat mengurangi banjir dan
menambah cadangan air tanah.

Upaya non-struktural merupakan upaya penyesuaian dan pengaturan


kegiatan manusia supaya harmonis dan serasi dengan lingkungan. Contoh upaya
non-struktural adalah pengaturan maupun pengendalian penggunaan lahan atau tata
ruang, penegakan peraturan/hukum, pengawasan penyuluhan kepada masyarakat,
dll. Selain upaya tersebut, upaya pengendalian banjir dan dampaknya dapat
dilakukan melalui 3 pendekatan utama yaitu memindahkan penduduk yang biasa
atau akan terkena banjir, memindahkan banjirnya, mengkondisikan penduduk hidup
bersama dengan banjir (Wisner et al, 2004). Dari 3 pendekatan tersebut yang sering
dilakukan adalah mengendalikan banjirnya dan membiasakan penduduk hidup
bersama banjir. Berbagai upaya tersebut telah banyak dilakukan di berbagai daerah,
namun hasilnya belum seperti yang diharapkan, banjir masih terus terjadi dengan
korban dan kerugian yang tidak sedikit.

Upaya mengatasi banjir juga kadang-kadang ditentang penduduk karena


mereka harus pindah atau direlokasi ke wilayah lain. Di Cieunteung, misalnya,
untuk mengatasi banjir yang secara rutin merendam wilayah tersebut maka
pemerintah kabupaten Bandung berencana membuat kolam retensi yang berfungsi
untuk menampung air banjir. Pembangunan kolam retensi ini memerlukan lahan
sehingga harus merelokasi penduduk. Hal ini tidak sepenuhnya disetujui penduduk
karena mereka harus pindah. Selain pembangunan kolam retensi juga dilakukan
upaya lain seperti pengerukan sungai untuk normalisasi sungai, pembuatan tanggul
penahan banjir, dll ( dalam Rosyidie dkk, 2012).

Penanganan banjir secara menyeluruh dan berkelanjutan menjadi tugas dan


tanggung jawab semua pihak baik instansi teknis maupun lembaga lain yang terkait
serta masyarakat. Kerjasama inter dan antar mereka harus dilakukan agar
memperoleh hasil yang optimal. Melalui beragam upaya struktural dan non-
struktural yang terpadu serta berkelanjutan maka kejadian banjir di masa mendatang
dapat diperkecil baik kejadian maupun dampaknya. Upaya pengendalian banjir
melalui pengelolaan DAS selama ini dianggap belum berhasil dengan baik antara
lain karena kurangnya koordinasi atau keterpaduan dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal
pembiayaannya. Hal ini terutama disebabkan oleh banyaknya instansi yang terlibat
dalam pengelolaan DAS (Departemen Kehutanan, 2009). Masalah pengelolaan
DAS semakin kompleks karena tidak sedikit pemerintah daerah yang belum
memahami konsep pengelolaan DAS yang berbasis ekosistem dan lintas batas
administrasi. Sikap lebih mengutamakan aspek ekonomi seperti Pendapatan Asli
Daerah (PAD) menyebabkan konsep pengelolaan DAS terpadu yang
mementingkan pelestarian ekosistem menjadi terabaikan (Departemen Kehutanan,
2009).

Bila kecenderungan pembangunan dan perilaku masyarakat terhadap


lingkungan masih seperti saat ini maka bencana banjir, dan bencana lain, yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia, akan lebih sering terjadi di banyak daerah
dengan intensitas yang makin tinggi dan dampak yang semakin besar dan luas.
Program pengendalian banjir sudah banyak dilakukan namun banjir (frekuensi,
lamanya, intensitas, luas genangan) terus meningkat. Perubahan tata ruang atau
guna lahan lebih banyak pengaruh atau kontribusinya terhadap terjadinya banjir
dibandingkan dengan pembangunan fisik pengendali banjir. Perencanaan tata
ruang serta upaya kerjasama berbagai pihak dan daerah diharapkan dapat
berkontribusi dalam pengelolaan bencana banjir khususnya memperkecil
kemungkinan dampak negatif yang terjadi serta memanfaatkan potensi dan peluang
yang tersedia di kawasan bencana banjir dengan tetap memperhatikan kondisi
masyarakat setempat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Telah terjadi trend kenaikan bencana hidrometeorologi di Indonesia
terutama yang disebabkan oleh cuaca ekstrim. Berdasarkan hasil interpolasi
kedalaman banjir tahun 2017 maka penelitian ini menyimpulkan bahwa sebagian
besar wilayah penelitian terkena dampak banjir dengan kedalaman maksimum
mencapai 3 meter di bagian timur wilayah penelitian. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal yaitu kondisi topografi yang lebih rendah dibandingkan wilayah
lainnya, terjadi penyempitan sungai dan kotornya saluran sungai, sehingga
menghambat air untuk tersalurkan ke outlet utama. Berdasarkan analisis kerentanan
fisik, maka penelitian ini menyimpulkan bahwa tingkat kerentanan fisik tinggi
ditemukan sebanyak 35 bangunan, kerentanan fisik sedang sebanyak 46 bangunan,
dan kerentanan rendah sebanyak 9 bangunan. Tingkat kerentanan sedang hingga
tinggi mendominasi wilayah penelitian karena jenis bangunan berupa bangunan non
tembok. Kerentanan sosial ekonomi lebih tinggi ditemukan pada elemen tingkat
pendidikan dengan sebagian besar tingkat pedidikan rendah yaitu SD (44,4%) dan
elemen penduduk rentan karena usia lanjut dan anak-anak sebanyak 30,4%.

Bila kecenderungan pembangunan dan perilaku masyarakat terhadap


lingkungan masih seperti saat ini maka bencana banjir, dan bencana lain, yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia, akan lebih sering terjadi di banyak daerah
dengan intensitas yang makin tinggi dan dampak yang semakin besar dan luas.
Program pengendalian banjir sudah banyak dilakukan namun banjir (frekuensi,
lamanya, intensitas, luas genangan) terus meningkat. Perubahan tata ruang atau
guna lahan lebih banyak pengaruh atau kontribusinya terhadap terjadinya banjir
dibandingkan dengan pembangunan fisik pengendali banjir. Perencanaan tata
ruang Wilayah dan Kota serta upaya kerjasama berbagai pihak dan daerah
diharapkan dapat berkontribusi dalam pengelolaan bencana banjir khususnya
memperkecil kemungkinan dampak negatip yang terjadi serta memanfaatkan
potensi dan peluang yang tersedia di kawasan bencana banjir dengan tetap
memperhatikan kondisi masyarakat setempat.

Saran
Upaya mitigasi bencana banjir dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan
sebagai berikut: (a) sistem peringatan dini, baik melalui prediksi hujan ekstrim yang
akan terjadi hingga model prediksi banjir maupun dengan peralatan sederhana
seperti sensor curah hujan dengan sensor tinggi muka air sungai yang hasil
pengamatannya dikomunikasikan melalui sistim komunikasi yang ada, atau dengan
penambahan peralatan lain, seperti sensor akselerometer, sensor geophone, sensor
kelembaban tanah, dan bentangan kawat yang terpasang dan data ditransmisikan
secara telemetri, (b) identifikasi zona bahaya banjir dengan melakukan pemetaan
dan karakterisasi geomorfologi dan hidrologi, (c) kesiapsiagaan masyarakat yaitu
dengan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Sayangnya penerapan upaya mitigasi bencana banjir belum banyak


dilakukan para pemangku kepentingan yang berada di daerah berpotensi jenis-jenis
banjir, dimana pada umumnya terkendala lokasi bencana, kapasitas atau
keterbatasan pakar, serta biaya pelaksanaan dan pembinaan.

DAFTAR PUSTAKA

Seno,A. 2013. Karakterisasi Bencana Banjir Bandang di Indonesia. (Online), Vol


15, 1: hal (42-51), (http://ejurnal.bppt.go.id/index.php/JSTI /article /view/
938), diakses 7 November 2019.

Anda mungkin juga menyukai