Anda di halaman 1dari 4

1.

Tinjauan Pustaka Banjir

Bencana banjir seakan telah dan akan tetap menjadi persoalan yang tidak
memiliki akhir bagi umat manusia di seluruh dunia sejak dulu, saat ini dan bahkan
sampai di masa mendatang. Penyebab dari bencana banjir tersebut bisa saja
diakibatkan oleh peristiwa alam atau merupakan dampak dari aktifitas dan
kegiatan manusia atau bahkan secara bersamaan diakibatkan oleh manusia dan
alam (Kodoatie, 2013). Dampak potensial dari banjir berskala tinggi saat ini
menjadi perhatian utama bagi banyak populasi di dunia yang tinggal di dekat zona
banjir atau yang hidupnya bergantung pada air dari daerah yang terkena banjir
(Lyubimova, Lephikin, & Parshakova, 2016). Banjir merupakan salah satu
bencana alam yang paling menghancurkan di dunia yang mencakup sepertiga dari
semua bahaya geofisika global lainnya. Banjir, terutama banjir bandang, telah
menarik perhatian baik di dunia akademis maupun di dunia yang lebih luas
karena sifat dan potensinya yang menghancurkan yang mengakibatkan kerusakan
ekonomi dan kehilangan nyawa yang besar (Saharia, Kirstette, & Vergara, 2017).

Seiring dengan perkembangan peradaban, perkembangan sebagian besar


kota – kota penting di Indonesia yang merupakan kota pantai (waterfront city)
atau kota yang letaknya dekat dengan atau berhadapan dengan laut yang
terlindung disekitar muara sungai yang rentan terhadap banjir terus bertumbuh
dengan pesatnya. Pesatnya pertumbuhan kota – kota pantai sejak awal dibuka dan
didirikan juga turut dipengaruhi oleh laju urbanisasi yang terus terjadi baik secara
terencana maupun tidak. Hal ini mengakibatkan penduduk kota semakin
meningkat sehingga kebutuhan kota akan ruang juga semakin meningkat
(Hantoro, 2015).

Kebutuhan kota akan ruang untuk perkantoran dan pemukiman,


pelabuhan, kawasan perindustrian dan fasilitas sosial lainnya seperti pusat
perdagangan, hiburan dan wisata, membuat lahan yang tersedia di perkotaan
terasa semakin sempit karena tidak diikuti dengan ketersediaan lahan yang dapat
mendukung perkembangan dan pertumbuhan wilayah kota tersebut. Wilayah
pinggiran pantai atau pesisir pantai akhirnya seringkali menjadi alternatif baru
yang mendorong pemerintah kota untuk mewujudkan ruang baru sebagai tempat
untuk berbagai aktifitas tersebut. Namun di sisi lain, kebutuhan kota akan ruang
yang semakin meningkat tajam tersebut seringkali menjadi penyebab
diabaikannya sifat asli serta kapasitas daya dukung kawasan pantai.
Terlampauinya batas daya dukung lahan akibat perluasan kota mengakibatkan
terabaikannya fungsi alami lingkungan serta pemakaian sumber daya alam secara
berlebihan. Penyimpangan – penyimpangan yang dilakukan terhadap alam ini,
tentu saja dapat menimbulkan ancaman bagi manusia. Akibatnya gejala alam yang
pada dasarnya sudah lazim terjadi di daerah kawasan pantai menjadi ancaman
bencana yang berdampak negatif seperti longsor, banjir, gelombang pasang, erosi
pantai dan lain – lain (Fabianto & Berhitu, 2014).

2. Banjir di Palu

Kota Palu hampir setiap tahun mengalami bencana banjir akibat


meluapnya Sungai Palu. Sungai ini terletak di tengah Kota Palu yang membagi
kota menjadi dua bagian dan bermuara tepat di perairan Pantai Talise di Teluk
Palu. Sebagai muara pantai ini seharusnya bersih dari segala sesuatu yang
dianggap akan dapat memperlambat arus Sungai Palu. Jika ada hambatan maka
aliran Sungai Palu dapat tertahan dan meluap di Teluk Palu sehingga
mengakibatkan terhambatnya jalur air. Bila musim hujan tiba, air sungai akan
meluap dan menyebabkan banjir di daerah sekitarnya (Anandhita & Hambali,
2015).

Beberapa permasalahan pokok menjadi penyebab meluapnya Sungai Palu


dan mengakibatkan banjir di Kota Palu. Masalah tersebut adalah curah hujan yang
cukup tinggi, adanya endapan atau sedimentasi akibat deforestasi di bagian hulu
serta pengaruh air balik (backwater) yang terjadi pada saat pasang laut dalam
kondisi tinggi kemudian menyebabkan aliran air dari hulu terbendung sehingga
akibatnya elevasi muka air pada penampang sungai meningkat (Anandhita &
Hambali, 2015).

Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini perlu dilakukan guna


mengetahui apakah pada saat banjir terjadi bersamaan dengan air pasang yang
tinggi terjadi kenaikan muka air banjir di penampang Sungai Palu akibat
backwater.

Kejadian banjir di palu barat dikontrol oleh kondisi morfologi, geologi,


dan dipicu tingginya curah hujan dalam satu kesatuan. Pertama tutupan lahan
dibagian hulu di pegunungan Daerah palu barat masih dominan ditutupi oleh
hutan khususnya di desa kalora dan pada bagian lebih landai merupakan
perkebunan dan pemukiman, topografi di sekitar lokasi gerakan tanah dan banjir
bandang, berupa perubahan dari bagian hulu perbukitan dengan kemiringan lereng
curam dengan lembah sempit berbentuk V. Ketinggiannya lebih dari 300 meter
d.p.a menjadi perbukitan dengan lereng sedang, lembah sungai berbentuk lebih
lebar (berbentuk U) dan ketinggian 100-300 m d.pa. dan menjadi wilayah
pedataran di bagian hilirnya yang bermuara di Teluk Palu.
Gambar. Banjir dipalu

3. Kondisi Banjir di Dolo

Wilayah landasan bencana yang berdampak di palu barat dan dolo.


Wilayah yang terdampak bencana tersebut, bertempat pada wilayah landaan banjir
bandang masa lalu yang tidak diketahui waktu kejadian. Wilayah landaan
bencananya merupakan wilayah pemukiman pada ketinggian 100-300 meter
diatas permukaan laut.Tingginya intensitas curah hujan menerus dibagian hulu
utamanya, yaitu di hulu sungai palu dan dolo, membuat got atau irigasi jebol yang
berakibat material banjir bandang dengan komponen batuan berukuran boulder,
pasir dan lempur yang bercampur dengan pohon melanda wilayah sungai.

Morfologi lembah sungai sendiri, lebih landai sehingga material longsoran


dengan kecepatan tinggi, menghantam semua wilayah disepanjang alur sungai.
Sepanjang alur perjalanannya, arus sungai dengan debit yang tinggi, sebagian
berubah alur mengikuti kemiringan-kemiringan perbukitan dan terjadi
pembelokan dibeberapa alur sungai. Landasan aliran bahan rombakan berupa
batuan berukururan boulder berdiameter lebih dari 64 milimeter, bercampur
dengan material berukuran pasir dan lumpur, serta batang kayu yang
menghancurkan pemukiman, jalan dan jembata. Jenis batuannya didominasi jenis
batuan metamorf (malihan) berjenis Sekis Mika, Gneiss, serta batuan sediman
alluvial.

Pada bagian dolo selatan, gerusan arus banjir bandang mengakibatkan


longsoran sepanjang tebing sungai alur lembah sungai serta terjadi pembelokan
beberapa alur sungai. Adanya pembelokan alur sungai itu, terjadi limpasan
(overflow) debit air tinggi bercampur pasir dan lumpur, serta batang pohon saat
melewati alur sungai di jembatan banyaknya lahan permukiman yang rusak di
dekat limpsan banjir bandang.
Gambar ; Banjir bandang di daerah dolo selatan, kab. Sigi

4. Pengaruh Banjir terhadap Lingkungan


 Pada daerah palu barat akibat dari banjir terhadap lingkungan
rusaknya lahan di pegunungan bagian desa kalora sehingga lahan
menjadi botak dan menimbulkan banjir lagi. Dan material-material
sedimen yang terbawa banjir tertimbun dijalan raya sehingga jalan
raya menjadi sulit dilalui.
 Pada daerah dolo barat dan selatan akibat banjir terhadap
lingkungan jalan rraya tidak bisa dilalui kendaraan dan banyaknya
lahan kebun perkebunan yang rusak sehingga botak dan bisa saja
akan menimbulkan longsor dan banjir.

Anda mungkin juga menyukai