Anda di halaman 1dari 5

PREDIKSI TENGGELAMNYA JAKARTA DAN PENURUNAN

MUKA TANAH YANG KIAN PARAH

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden sempat


menyinggung soal prediksi Jakarta tenggelam dalam kurun 10 tahun ke depan.
Hal ini ia sampaikan saat berpidato mengenai isu pemanasan global di Kantor
Direktur Intelijen Nasional AS pada 27 Juli 2021. Dia menuturkan, prediksi
tenggelamnya Jakarta akibat kenaikan permukaan air laut. "Apa yang terjadi di
Indonesia, jika perkiraannya benar, bahwa dalam 10 tahun ke depan mereka
mungkin harus memindahkan ibu kotanya (Jakarta) karena akan tenggelam,"
kata Biden.

Dikutip dari pemberitaan Kompas.id, hasil riset pada 2010 menyebutkan


Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta belum memiliki kebijakan yang
secara khusus disesuaikan dengan perubahan iklim. Riset tersebut dilakukan
oleh ahli perencanaan wilayah dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Profesor
Tommy Firman, bersama tiga kolega peneliti dari Badan Pusat Statistik,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Universitas Indonesia.

Para ahli menilai DKI masih kekurangan kebijakan atau program adaptasi
perubahan iklim yang berdampak lebih luas, seperti menahan laju amblesan
tanah. Firman dkk juga merujuk pada studi Yusuf dan Fransisco (2009) yang
menyebut Jakarta Pusat dan Jakarta Utara sebagai tempat paling rentan di Asia
Tenggara. Jakarta Pusat paling berisiko
banjir. Sementara Jakarta Utara rentan
kebanjiran yang dipicu curah hujan dan
limpasan pasang air laut. Melalui siaran
pers pada 3 Februari 2021, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) membahas permasalahan terkait
penurunan tanah (land subsidence) di beberapa kota besar di Asia, termasuk
Jakarta.

Menurut BPPT, penurunan tanah terjadi akibat tekanan lingkungan dari


pembangunan perkotaan. Saat itu, Direktur Pusat Teknologi Reduksi dan Resiko
Bencana (PTRRB) BPPT M Ilyas mengatakan, DKI dengan segala jenis kegiatan
dan permukiman penduduk, mengalami permasalahan penurunan muka tanah
selama 50 tahun terakhir.
Koordinator Geologi Lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Wahyudi Memet menjelaskan, setidaknya ada tiga faktor yang
menyebabkan tanah mengalami penurunan. Pertama, proses atau aktivitas
vulkanik dan tektonik, siklus geologi, dan adanya rongga di bawah permukaan
tanah. Kemudian, ada pengambilan bahan cair dari dalam tanah seperti air
tanah atau minyak bumi.

Selain itu, terdapat beban berat di permukaan, seperti struktur bangunan,


sehingga lapisan tanah di bawahnya mengalami kompaksi atau konsolidasi.
Wahyudi berpandangan, fenomena penurunan tanah yang terjadi di Jakarta,
khsusnya di Jakarta Utara, merupakan dampak dari pembangunan yang masif.
"Banyak tanah urukan khususnya di Pluit dan Kelapa Gading yang mengalami
penurunan tanah karena pembangunan atau dalam Geologi istilahnya adalah
settlement," ungkap Wahyudi kepada Kompas.com saat dihubungi, Sabtu
(29/1/2022). Tanah endapan yang masih muda kemudian dilakukan konstruksi
pembangunan juga dapat menjadi salah satu penyebab tanah mengalami
penurunan.
PENURUNAN TANAH PALING PARAH

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan


Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono
menyebutkan, kawasan Pluit, Jakarta Utara,
merupakan wilayah dengan penurunan muka
tanah paling parah. "Itu yang paling parah
kalau kita lihat ada di daerah Pluit Jakarta Utara. Karena lokasinya dekat
dengan pesisir laut, juga banyak air tanah yang diambil di sana," kata Basuki di
kantor Kementerian PUPR, Selasa (05/10/2021). Oleh karena itu, pemerintah
mengimbau masyarakat untuk mengurangi eksploitasi dan penggunaan air
tanah. Hal itu sebagai salah satu upaya untuk mencegah agar Jakarta tidak
tenggelam. Sampai saat ini sumber air bersih di Jakarta hanya berasal dari
waduk di Tarum Barat. Waduk tersebut tidak cukup untuk memberikan akses
air bersih ke seluruh warga Jakarta.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta yang merilis statistik
air bersih 2017-2019, volume produksi air bersih pada 2019 mencapai 553.518
meter kubik. Sedangkan, total produksi air bersih tahun 2019 yang terjual ke
pelanggan sebesar 511.854 meter kubik. Sementara, pada 2018 produksi air
bersih di Jakarta mencapai 543.535 meter kubik dan terjual sebanyak 499.301
meter kubik. Di sisi lain, konsumsi air tanah yang berlebihan semakin
memperparah kondisi dataran di Jakarta khususnya di daerah pesisir yang
nyatanya juga lebih rendah dari permukaan air laut. Penanganan Terhadap
Jakarta Masalah penurunan muka tanah sebenarnya sudah muncul sejak
diterbitkannya Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 10 Tahun
1998.

Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Yusmada Faizal mengatakan, perda
yang mengatur pajak pemanfaatan air tanah di Jakarta itu mampu
memperlambat penurunan air tanah dari 20 sentimeter per tahun menjadi 5
sentimeter per tahun. Ia menjelaskan, pengurangan penurunan muka tanah di
Jakarta tak lain disebabkan oleh berkurangnya penyedotan air tanah yang
dilakukan untuk kegiatan komersial di Jakarta.

Namun, kondisi permukaan tanah Jakarta saat ini sangat mengkhawatirkan.


Bahkan ada wilayah yang kini sudah berada 1 meter di bawah permukaan air.
"Ini di Muara Baru tahun 2020 itu sudah minus 1 (meter) di bawah permukaan
laut," kata dia pada 2 September 2021. Muara Baru diprediksi sepenuhnya
menjadi laut lepas dengan kedalaman 4,6 meter di tahun 2050 jika tidak ada
intervensi dari pemerintah. Tidak hanya di Muara Baru, tujuh wilayah di pesisir
Jakarta juga terancam tenggelam di tahun 2050 yaitu Kamal Muara di bawah 3
meter, Tanjungan 2,10 meter, Pluit 4,35 meter, Gunung Sahari 2,90 meter,
Ancol 1,70 meter, Marunda 1,30 meter, dan Cilincing 1 meter.
TUGAS KLIPING
KONDISI TANAH DI JAKARTA

Disusun oleh
RAFI IKHWAN MARUFI

KELAS VIII-C

Anda mungkin juga menyukai