Para ahli menilai DKI masih kekurangan kebijakan atau program adaptasi
perubahan iklim yang berdampak lebih luas, seperti menahan laju amblesan
tanah. Firman dkk juga merujuk pada studi Yusuf dan Fransisco (2009) yang
menyebut Jakarta Pusat dan Jakarta Utara sebagai tempat paling rentan di Asia
Tenggara. Jakarta Pusat paling berisiko
banjir. Sementara Jakarta Utara rentan
kebanjiran yang dipicu curah hujan dan
limpasan pasang air laut. Melalui siaran
pers pada 3 Februari 2021, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) membahas permasalahan terkait
penurunan tanah (land subsidence) di beberapa kota besar di Asia, termasuk
Jakarta.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta yang merilis statistik
air bersih 2017-2019, volume produksi air bersih pada 2019 mencapai 553.518
meter kubik. Sedangkan, total produksi air bersih tahun 2019 yang terjual ke
pelanggan sebesar 511.854 meter kubik. Sementara, pada 2018 produksi air
bersih di Jakarta mencapai 543.535 meter kubik dan terjual sebanyak 499.301
meter kubik. Di sisi lain, konsumsi air tanah yang berlebihan semakin
memperparah kondisi dataran di Jakarta khususnya di daerah pesisir yang
nyatanya juga lebih rendah dari permukaan air laut. Penanganan Terhadap
Jakarta Masalah penurunan muka tanah sebenarnya sudah muncul sejak
diterbitkannya Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 10 Tahun
1998.
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Yusmada Faizal mengatakan, perda
yang mengatur pajak pemanfaatan air tanah di Jakarta itu mampu
memperlambat penurunan air tanah dari 20 sentimeter per tahun menjadi 5
sentimeter per tahun. Ia menjelaskan, pengurangan penurunan muka tanah di
Jakarta tak lain disebabkan oleh berkurangnya penyedotan air tanah yang
dilakukan untuk kegiatan komersial di Jakarta.
Disusun oleh
RAFI IKHWAN MARUFI
KELAS VIII-C