Anda di halaman 1dari 16

Nama : Dwi Suprapti

Mata Kuliah : Penyelidikan Lingkungan


NIM : -

1. PENCEMARAN LINGKUNGAN SUNGAI DAS CITARUM ( DENDA 16,26 M )


www.mongbay.co.id 2020

Pengadilan mengabulkan gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan


Kehutanan kepada perusahaan yang mencemari lingkungan di Daerah Aliran Sungai
Citarum. Pengadilan Negeri Bale Bandung memutus PT Kamarga Kurnia Textile Industri
(KKTI) bersalah dan hukuman PN Jakarta Utara buat PT How Are You Indonesia
(HAYI). Perusahaan tekstil ini terbukti mencemari lingkungan hidup DAS Citarum dan
dihukum membayar gantu rugi materiil sebesar Rp16,263 miliar.
Pelaku pencemaran lingkungan hidup di DAS Citarum harus dihukum seberat-
beratnya. Terlebih, saat ini pemerintah mengupayakan restorasi DAS Citarum. Aksi
perusahaan ini, berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat, ekonomi, kerusakan
ekosistem serta berdampak pada wilayah luas dalam waktu lama.
Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum, mengatakan,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tak akan berhenti mengejar dan
menyeret pelaku pencemar lingkungan hidup ke pengadilan baik melalui perdata dan atau
pidana. Kini, lebih 780 kasus lingkungan hidup dan kehutanan sudah mereka proses ke
pengadilan.
 Berdasarkan Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Citarum
Ciliwung, luas seluruh DAS Citarum mencapai 721.945,66 hektar. DAS ini menjadi
penting, karena menjadi sumber 80% kebutuhan air minum penduduk Jakarta. Citarum
juga menjadi penyedia air bagi 420.000 hektar persawahan, yang membuat lahan irigasi
di Cianjur dan Karawang menjadi lumbung pangan warga Jawa Barat sejak dahulu. 

2. PENCEMARAN DI KALI LANGSUR


www.tirto.id (2020)
Pencemaran terhadap anak Sungai Bengawan Solo di Sukoharjo terjadi juga di Kali
Langsur, sungai sepanjang 12 kilometer selebar 3 meter. Warga dari 13 kampung di
sepanjang aliran kali menuding PT Sri Rejeki Isman atau Sritex sebagai pelakunya.
Perusahaan tekstil raksasa yang didirikan keluarga Lukminto ini memiliki satu saluran
pembuangan limbah dari selokan di belakang pabrik menuju Kali Langsur. Hasil uji
laboratorium sampel air yang diambil pada 15 Mei lalu menunjukkan tingkat kebutuhan
oksigen hayati (BOD) di Kali Langsur, 1 km dari saluran pembuangan limbah Sritex,
mencapai 38,95—melebihi baku mutu sebesar 35; adapun kandungan sulfidanya 1,2 atau 4
kali lipat di atas baku mutu. Dari sampel air di titik saluran pembuangan, hasil sulfidanya
mencapai 19,2; sementara ukuran kekeruhan airnya (TSS) mencapai 60,6—dua kali lipat dari
batas baku mutu sebesar 30.

Warga memprotes pembuangan limbah Sritex sejak 20 tahun lalu sejalan gerakan reformasi
saat itu, kendati bau limbah sudah mencemari lingkungan sejak 1991. Sritex meredam protes
dengan memberi kompensasi. Salah satunya membagikan Rp200 juta ke 13 kampung, yang
“di kampung saya dipakai untuk membangun sebuah jembatan,” ujar Marjono Setio Budi, 49
tahun, warga Kampung Langsur.

Pada 2007-2009, warga kembali melakukan protes besar-besaran, dipicu dari fenomena
pladu—istilah setempat untuk menyebut banyak ikan sekarat mengambang ke permukaan
kali. Saat warga beramai-ramai mencebur ke kali untuk mengambil ikan-ikan itu, terjadi
malapetaka. Kulit kaki mereka gatal-gatal, panas, dan mengelupas.

Warga menuntut Sritex membayar kerugian Rp129 miliar, tapi berakhir tanpa ada
kesepakatan.

Pada 2019, Kali Langsur tercemar dan berwarna merah. Kali ini minim protes warga.
Agus Setiady dari tim teknis Waste Water Management Sritex mengklaim limbah pabriknya
sudah diolah sesuai standar pemerintah. “Kami punya izin pembuangan limbah cair. Pengukuran
kadar limbah kami telah dilakukan secara berkala oleh pihak ketiga yang ditunjuk Kementerian
Lingkungan Hidup. Hasilnya sesuai baku mutu yang ditetapkan pemerintah,” klaim Agus pada
29 Juli lalu.

Sementara manajer Human Resources Development Sritex, Sri Saptono Basuki,


mempertanyakan pengambilan sampel air di mulut pipa pembuangan di Kali Langsur.
“Pengambilan sampel di sungai belum bisa dinyatakan itu sebagai sampel murni. Artinya,
mungkin banyak komponen luar yang bisa memberi hasil berbeda bila dibanding dengan limbah
yang diambil langsung,” katanya. Saat saya bermaksud mengambil sampel langsung di lokasi
pengolahan limbah di dalam pabrik pada Juni lalu, pihak Sritex menolak memberi izin.

3. Pencemaran Limbah Pabrik di Bondowoso


Sumber : https://malang.suara.com 29 Januari 2021

Ratusan petani di Desa Pekauman, Kecamatan Grujugan, Bondowoso Jawa Timur


melayangkan petisi ke PT Bonindo Abadi. Lantaran kuat dugaan pabrik pembuatan
sumpit itu jadi biang pencemaran limbah di lahan pertanian warga.

Salah seorang warga sekaligus tokoh masyarakat setempat, Ali Rohbini mengatakan,
bahwa akibat pencemaran limbah pabrik tersebut, aliran air irigasi ke persawahan warga
menjadi berbusa dan berwarna hitam. "Baunya juga menyengat. Banyak warga yang
mengeluhkan limbah ini. Yang dikeluarkan dari pabrik itu (PT Bonindo Abadi),”
jelasnya, seperti dikutip dari TIMESIndonesia.co.id jaringan Suara.com, Jumat
(29/1/2021).

 Merespon itu, lanjut dia, para petani terdampak serta warga setempat melayangkan surat 
petisi. Sedikitnya ada 100 warga yang terdampak aliran pencemaran limbah pabrik
menandatangani surat petisi itu. "Surat keberatan itu sudah dikirimkan kepada pabrik
terkait, dengan tembusan bupati, OPD terkait, aparat yang berwenang dan Muspika
setempat," sambung dia.

Warga terdampak lainnya, Nurhasan mengatakan, bahwa limbah pabrik juga


menyebabkan sumur warga tidak bisa dimanfaatkan lagi, terutama saat musim kemarau,
lantaran air sumur berwarna hitam keruh. "Area persawahan milik warga saluran airnya
berubah menjadi hitam dan kuning," tutur Nurhasan. Sementara itu Kasatreskrim Polres
Bondowoso, AKP Agung Ari Wibowo mengatakan, pihaknya telah turun ke lokasi
kejadian diduga pencemaran lingkungan tersebut. Penyidik juga telah mengambil sampel
limbah.
4. Lumpur Beracun yang ada di Lahan Pemukiman

Sumber : https://news.detik.com

Pada Oktober 2019, diketahui adanya penguburan puluhan ton lumpur beracun di dalam
tanah perumahan Desa Darawolong, Kecamatan Purwasari. Satuan Reskrim Polres
Karawang berhasil mengungkap kasus pencemaran lingkungan yang melibatkan beberapa
perusahaan itu. Lumpur beracun itu berasal dari tiga perusahaan tekstil yang ada di Bandung.
Limbahnya diambil dari PT FJ, PT BCP, PT TB. Bukannya dimusnahkan, limbah malah
dikubur dalam lahan pemukiman di Karawang," terang Kasat Reskrim Polres Karawang,
Bimantoro Kurniawan, Jumat, 20 Desember 2019. Menurut Bimantoro, limbah beracun itu
seharusnya dibawa ke PT WI di Tangerang untuk dimusnahkan. Diduga, demi meraup
keuntungan, PT RPW dan PT LSA selaku pihak ke-3 yang mengantar limbah melakukan
penyelundupan limbah. "Diduga motif mereka untuk mendapat keuntungan," katanya.

Bimantoto menjelaskan bahwa PT RWP dan PT LSA merupakan perusahaan transporter


yang membuat kesepakatan dengan tiga pabrik tekstil penghasil limbah. NH (inisial),
direktur PT RPW dan PT LSA, kemudian bersekongkol dengan koordinator lapangan, SI
(inisial), untuk tidak memproses uang tersebut. "Kami sudah tetapkan NH dan SI sebagai
tersangka dalam kasus ini. SI berperan menggiring para sopir membuang limbah ke
Karawang," terang Kasat Reskrim Polres Karawang. Puluhan ton lumpur beracun dibawa
dengan 5 buah dump truk dari Bandung ke Karawang. Truk-truk tersebut tiba pada malam
hari agar tak mengundang perhatian. Pada 29 Oktober 2019, aksi kejahatan tersebut diketahui
warga. Warga pun kemudian melaporkannya ke pihak berwajib. Setelah melakukan
pengintaian, polisi berhasil menangkap 5 sopir. Penyelidikan berlanjut dan mengarah ke NH
dan SI. "Kami jerat pasal 104 UU no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup," terang Bimantoro. "Kami sudah tetapkan NH dan SI sebagai tersangka
dalam kasus ini. SI berperan menggiring para sopir membuang limbah ke Karawang," terang
Kasat Reskrim Polres Karawang. Puluhan ton lumpur beracun dibawa dengan 5 buah dump
truk dari Bandung ke Karawang. Truk-truk tersebut tiba pada malam hari agar tak
mengundang perhatian. Pada 29 Oktober 2019, aksi kejahatan tersebut diketahui warga.
Warga pun kemudian melaporkannya ke pihak berwajib. Setelah melakukan pengintaian,
polisi berhasil menangkap 5 sopir. Penyelidikan berlanjut dan mengarah ke NH dan SI.
"Kami jerat pasal 104 UU no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup," terang Bimantoro.

5. 11 Perusahaan Migas dan Tambang terkena Sanksi Kasus Pencemaran Lingkungan


Sumber : https://katakata.co.id (21 Januari 2019)
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat ada belasan
perusahaan minyak dan gas bumi (migas) dan tambang yang melakukan pencemaran
lingkungan selama 2017-2018. Alhasil perusahaan tersebut terkena sanksi yang beragam.
Direktur Jenderal Penegakkan Hukum Kementerian LHK Rasio Ridho Sani mengatakan,
di sektor migas ada lima perusahaan yang terlibat kasus pencemaran. Pertama, PT
Chevron Pasific Indonesia di Blok Rokan wilayah operasi kabupaten Kampar yang
mengacu hasil pengawasan 18 Januari 2018. Meski sudah dikenai sanksi administrasi,
Chevron belum melaksanakan kewajibannya. ADVERTISEMENT Kedua, PT Pertamina
EP di Lapangan Sanga-Sanga Kalimantan Timur, Tanjung, Tarakan, Bunyu, Cepu.
Namun, hanya Sanga-sanga, Tarakan, Bunyu yang sudah memenuhi sanksi. Sedangkan
Tanjung, dan Cepu masih proses pemberian sanksi. Ketiga, Total E&P Indonesia/PT
Pertamina Hulu Mahakam di Lapangan CPA, Senipah, CPU, SPU dan NPU Kalimantan
Timur.
KLHK telah melakukan pengawasan pada 24 Feruari 2017, dan saat ini
perusahaan tersebut telah dikenakan surat teguran tertulis. Keempat, ExxonMobil
Indonesia di Jawa Timur, dalam hal ini KLHK telah melakukan pengawasan pada 10
November 2018 lalu. Proses saat ini dalam tahap pemberian sanksi administrasi. Kelima,
PT Pertamina Hulu Energi NSB di Aceh dan West Madura Offshore. Di kedua blok
tersebut, Pertamina telah memenuhi kewajiban. "Kami melakukan pemberian sanksi ke
Pertamina, termasuk ExxonMobil," kata Rasio dalam rapat dengar pendapat di Komisi
VII DPR, Jakarta, Senin (21/1). Menurut Rasio, selain lima perusahaan migas itu ada
juga perusahaan migas lainnya yang juga tercatat melakukan pelanggaran seperti
CNOOC dan Medco E&P Natuna yang terkena sanksi administrasi. "Kami akan lakukan
pengawasan berdasarkan rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan komisi VII ," kata
dia. Sementara itu, perusahaan tambang yang melanggar aturan lingkungan ada enam.
Pertama, PT PPCI di Kalimantan Timur. KLHK telah melakukan olah lokasi dan telah
melakukan permintaan keterangan kepada pelapor yakni PT Inhutani, Kontraktor PT
Singlurus, Pejabat Pemerintah Provinsi, serta pemanggilan dua kali direktur utama
perusahaan tersebut. Sayangnya, yang hadir hanya direktur PCCI. Jadi, KLHK akan
memanggil ulang direktur utama, untuk menentukan tindaklanjut penanganan kasus.
Kedua, PT Laman Mining di Kalimantan Barat, kini sudah masuk dalam tahap
penyidikan P-21. Ketiga, kasus penambangan ilegal timah di Bangka Belitung. Saat ini
tersangka HS telah divonis tiga tahun penjara dengan denda Rp 1,5 miliar dan
perampasan barang bukti berupa dua excavator. Keempat, PT Indominco Mandiri di
Kutai Kartanegara. Ini merupakan kasus ilegal dumping fly ash dan buttom ash dari
PLTU di lokasi Tambang PT Indominco Mandiri.
Adapun kasus ini telah dikenai pidana dengan denda Rp 2 miliar dan tindakan
tertentu berupa pemulihan lingkungan. (Baca: Kasus Tumpahan Minyak Paling Banyak
Menimpa Medco Tahun Lalu) Kelima, PT Stanindo di Bangka, yakni kasus
penambangan timah di laut dan sudah diputuskan kasusnya dengan membayar denda Rp
1, 4 miliar. Keenam, PT Selatnasik Indokuarsa di Bangka Belitung, yakni gugatan ganti
kerugian lingkungan sebesar Rp 32 miliar, dan kasus ini sudah inkrah dan telah dibayar.

6. Pencemaran Sungai di Bekasi

Sumber : https:/ayobogor.com (2018) \


Pada 16 Agustus 2018, Pemerintah Kota Bekasi melalui Dinas Lingkungan Hidup
menyegel sebuah pabrik plastik di Jalan Vila Nusa Indah RT 01 RW 06, Kecamatan
Bantargebang. Pabrik berinisial VP diduga sengaja membuang limbah ke aliran Kali
Bekasi.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi, Jumhana Luthfi, mengatakan,


sebelum menyegel, instansinya telah berulang kali memberikan surat teguran. Karena
perusahaan VP diketahui membuang limbah tidak melalui Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL). Ketika limbah yang dibuang ke Kali Bekasi tak melalui IPAL, maka
kondisinya tak akan sesuai baku mutu lingkungan memasuki aliran kali. Karena itu,
limbah yang dibuang berpotensi mencemari lingkungan terutama Kali Bekasi.
Penyegelan juga merupakan bentuk tindaklanjut pelaporan warga. Awalnya warga
merasa resah, lantaran kondisi Kali Bekasi beberapa bulan kebelakang berada pada
kondisi buruk. Tampak tercium bau dan warnanya mulai menghitam.

Peristiwa pencemaran yang terus berlanjut membuat Pemerintah Kota Bekasi


geram. Pada 4 Oktober 2018, dua pabrik inisial PK dan PBU terciduk membuang limbah.
Kemudian pemerintah melakukan penyegelan yang dipimpin langsung Wali Kota Bekasi,
Rahmat Effendi. Pabrik ditemukan mengeluarkan limbah berupa batu bara dan diduga
membuannya langsung ke Kali Bekasi. Selain itu terdapat pelanggaran dokumen garis
sempadan sungai (GSS), tidak adanya AMDAL, tidak adanya izin untuk limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3), tidak mengoperasikan IPAL dan sejumlah pelanggaran lain.
Penyegelan sendiri dilakukan sampai pabrik-pabrik tersebut memperbaiki pelanggaran-
pelanggarannya. Urusan pencemaran Kali Bekasi tidak hanya sampai penindakan pabrik-
pabrik diduga pencemar di Bekasi. Pada 28 September 2018, Komunitas Peduli Sungai
Cileungsi-Cikeas (KP2C) menyatakan terdapat 14 perusahaan yang patut diduga ikut
mencemari Kali Bekasi, tepatnya di sepanjang bantaran Sungai Cikeas, Kabupaten
Bogor. Dugaan KP2C berdasarkan penelusuran langsung di sepanjang bantaran Sungai
Cileungsi. Ditemukan dugaan pembuangan limbah langsung pada aliran, sehingga sungai
berubah warna menjadi hitam, juga bau pekat menusuk hidung. Setelah pabrik-pabrik di
Kota Bekasi yang disegel, lalu muncul dugaan industri-industri di bantaran Cileungsi ikut
berkontribusi pada pencemaran, akhirnya pemerintah pusat memberi atensinya.

Pada awal September, Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, melakukan peninjauan
langsung pada aliran Sungai Cileungsi. Hasil peninjauan lalu dibawa menjadi
pembahasan di DPR RI, maupun sampai pada Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Pemerintah lalu melakukan pendataan terhadap puluhan industri di sepanjang
aliran Sungai Cileungsi, maupun Kali Bekasi. Puncaknya, pada 2 Oktober, empat pabrik
diduga pencemar disegel. Beberapa waktu kemudian, dua pabrik lainnya ikut disegel.
Namun pencemaran masih saja terjadi. Dampak penutupan empat industri itu hanya
terasa beberapa hari. Pada 17 Oktober, kali yang kembali menghitam lantas berbuih
sehingga menutupi sebagian besar permukaan Kali Bekasi. Ketua KP2C Puarman,
mengatakan pencemaran Kali Bekasi maupun di hulunya Sungai Cileungsi mesti terus
dipantau. Pihaknya meminta keseriusan dari DLH untuk mengawasi pabrik-pabrik, alih-
alih diduga akan tetap melakukan pencemaran bagi yang belum tertindak apalagi
memasuki musim penghujan sehingga upaya pencemaran tidak akan terlalu nampak
akibat debit air yang meninggi.

Lembaga pengawasan Ombudsman RI ikut serta memeriksa kondisi pencemaran


Sungai Cileungsi. Ketua Ombudsman RI, Perwakilan Jakarta Raya, Teguh Nugroho,
menilai DLH Kabupaten Bogor tidak kompeten dalam melakukan pengawasan terhadap
izin lingkungan yang telah diterbitkan, sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran
sungai Cileungsi. Ketidakkompetenan tersebut lantaran DLH Kabupaten Bogor tidak
memiliki Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH). Padahal petugas tersebut,
memiliki tugas pokok terkait pengawasan lingkungan hidup dan penyelidikan kejahatan
lingkungan. Berdasarkan penelusuran Ombudsman, selama ini, Kabupaten Bogor hanya
memiliki Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam mengawasi lingkungan.
Tehuh menilai PPNS sulit untuk optimal dalam mengawasi lingkungan karena bukan
tenaga khusus pengawas lingkungan. Menurutnya, PPNS sebenarnya telah melakukan
upaya penindakan terhadap perusahaan-perusahaan pencemar sungai Cileungsi dengan
memberikan segel namun kenyataannya berdasarkan pantauan Ombudsman perusahaan
yang disegel masih bisa beroperasi. "Dari 48 perusahan baru 6 yang disegel tapi begitu
kami datang ke lapangan mereka yang enam perusahaan itu masih beroperasi karena yang
menyegel bukan PPLH tapi PPNS dan untuk sampai sekarang tidak ada lagi penindakan
yang dilakukan oleh DLH," kata Teguh, Kamis (6/12/2018). Tidak kompetennya DLH
Kabupaten dalam menangani pengawasan lingkungan membuat Ombudsman mendesak
pihak terkait untuk segera merumuskan penyelesaian masalah pencemaran, karena
dampak pencemaran begitu buruk. Ombudsman kemudian memberikan sejumlah
rekomendasi untuk dilaksanakan yang tercatat dalam LAHP. "Kepada pihak terkait DLH
kabupaten, provinsi dan KLHK mereka harus membuat perencanaan mereka terkait
penyelesaian dalam pencemaran sungai Cileungsi dan melaporkan kepada kami dalam
maksimal waktu 30 hari terhitung sejak Jumat (7/12/2018)," katanya. "Jika tidak
diindahkan kami naikkan rekomendasi ke ombudsman RI pusat. Kalau sudah naik
rekomendasi sifatnya mengikat kalaupun sudah mengikat mereka tidak melakukan apa-
apa kami akan memintakan sanksi kepada atasan bersangkutan supaya diberikan sanksi,"
tambahnya.

7. Sungai Sejangkung Tercemar, Perusahaan Sawit Didesak Tanggung Jawab

Sumber : https://kalbar.suara.com 21 April 2021

Sungai Sejangkung di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat tercemar minyak kelapa


sawit mentah (CPO). Sebuah perusahaan pengolahan sawit didesak bertanggung jawab
atas pencemaran lingkungan ini. Perusahaan sawit tersebut dinilai lalai lantaran ponton
atau kapal mereka bocor sehingga menyebabkan 150 ton CPO tumpah sehingga
mencemari Sungai Sejangkung.

Terkait kasus ini, Komisi II DPRD Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat turun tangan
dan melakukan sidak lapangan di tempat ditemukan ponton bocor, Selasa (20/4/2021).
"Kemarin kami mendapat informasi dan laporan dari masyarakat terkait CPO yang
mencemari Sungai Sambas. Untuk itu kita segera panggil perusahaan terkait," ujar Ketua
Komisi II DPRD Sambas, Ahmas Hafsak Setiawan seperti dikutip dari Antara.

Ia menjelaskan lokasi tongkang yang bocor ditemukan di Desa Semanga, Kecamatan


Sejangkung, Kabupaten Sambas. 

"Kapal tongkang memuat CPO berkapasitas 3.500 ton. Menurut pengakuan ABK kapal
ponton, CPO yang tumpah ke sungai  di sepanjang sungai di Kecamatan Sejangkung
sekitar 150 ton CPO," sambungnya. Oleh karenanya, Ahmas meminta perusahaan sawit
bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan ini. "Perusahaan harus bertanggung
jawab terhadap pencemaran CPO yang terjadi di Sungai Sambas tersebut," pungkasnya.

Sebelumnya,  Komite Mahasiswa Kabupaten Sambas (KMKS) mendesak ketegasan dari


Pemerintah Kabupaten Sambas dalam menyikapi kasus pencemaran lingkungan akibat
tumpahan CPO kelapa sawit di sungai di Kecamatan Sejangkung. "Sudah seharusnya ini
menjadi pekerjaan rumah dan tanggung jawab dari pemerintah daerah untuk
menyelesaikan kasus ini, kami meminta adanya ketegasan dari Pemda untuk
menindaklanjuti kasus pencemaran di Sungai Sejangkung akibat CPO, baik itu dari
perwakilan legislatif maupun eksekutif," kata Ketua Umum KMKS Muhammad Rifa'ie.

Ia juga mengatakan, sebagai perwakilan organisasi mahasiswa Kabupaten Sambas,


pihaknya sangat mengecam kasus pencemaran lingkungan tersebut. 

"Kami yang tergabung di dalam kepengurusan KMKS sangat menyayangkan dan


mengecam atas terjadinya pencemaran di Sungai Sejangkung tersebut," ujarnya. Rifa'ie
mengatakan bahwa adanya pencemaran lingkungan ini telah berulangkali bahkan sering
terjadi di Kabupaten Sambas.

8. 2 Pabrik Almunium Cemari Udara Jakarta


https://app.cnnindonesia.com (17-09-20190
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan DKI Andono
Warih menyatakan Pemprov DKI Jakarta telah menyegel pabrik yang diduga melanggar
aturan terkait polusi udara.

Andono mengatakan Pemerintah Kota Jakarta Utara dan Polres Jakarta Utara telah
menyegel dua industri pengrajin aluminium.

"Tindak lanjut yang paling anyar itu kemarin Wali Kota bekerjasama dengan Polres
Jakarta Utara melakukan penyegelan terhadap industri kecil yang alumunium," kata
Andono di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (17/9).
Andono menjelaskan usaha industri aluminium tersebut memiliki residu unsur kimia yang
membahayakan. Dia menegaskan lokasi industri sudah dalam penanganan polisi.

"Karena alumunium itu kan ada unsur kimianya, kan metal. Itu sudah dilakukan police line oleh
Polres Jakut," ungkap dia.

Pada Agustus lalu, Dinas Lingkungan H.idup Provinsi DKI Jakarta menyatakan ada 47 dari 114
perusahaan atau pabrik bercerobong di DKI Jakarta yang mendapatkan teguran terkait
pelanggaran ketentuan soal pencemaran udara.

Dari angka itu ada sebanyak 25 perusahaan yang sempat ditindaklanjuti. Namun baru dua
perusahaan yang mendapat penyegelan. Andono mengatakan 47 perusahaan itu melanggar
ketentuan baku mutu emisi dari polutan yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Gubernur
Provinsi DKI Jakarta Nomor 670 Tahun 2000 tentang Penetapan Baku Mutu Emisi Sumber
Tidak Bergerak di Provinsi DKI Jakarta.

Perusahaan-perusahaan itu, kata dia, mengirimkan laporan kepada Dinas Lingkungan Hidup per
6 bulan. Kemudian, laporan itu dievaluasi berdasarkan peraturan dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pelaporan Rencana Pengelolaan
dan Pemantauan Lingkungan.

Berdasarkan ketentuan dalam Permen Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Pedoman Pengenaan Sanksi Administratif di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan,
jika perusahaan tidak juga mengindahkan peringatan pemerintah maka izin lingkungannya bisa
dicabut.

9. Air Parit Warna Merah di Sungai Jawi Pontianak,


Sumber : https://kalbar.suara.com 06 Mei 2021

Warga Kota Pontianak, Kalimantan Barat digegerkan dengan penampakan air parit warna


merah baru-baru ini. Air di sepanjang parit Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo,
Kelurahan Sungai Jawi, Kecamatan Pontianak Kota mendadak berwarna merah mirip
darah, beda dari biasanya. Adapun penyebab air parit warna merah masih misterius.
Dugaan sementara karena pencemaran lingkungan.

Wagirun selaku ketua RT setempat, mengatakan warga sempat cemas atas kasus
pencemaran air tersebut. "Kami khawatir atas kejadian ini dan semoga Pemkot Pontianak
bisa secepatnya mengetahui apa penyebab hingga air di parit ini menjadi berwarna merah
sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," ujarnya Kamis (6/5/2021) seperti
dikutip dari Antara.

Senada dengan hal itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pontianak, Saptiko menuturkan
pihaknya telah menerjunkan tim untuk melakukan penyelidikan. Tim sudah mengambil
sampel air yang tercemar tersebut untuk diujikan di laboratorium DLH Kota Pontianak
dengan acuan baku mutu air permukaan. "Kami sudah menurunkan tim hari ini untuk
melakukan penelusuran terkait kasus pencemaran air di parit kawasan Jalan Wahidin
Sudirohusodo," ujarnya

Namun hingga kekinian, pihaknya belum menemukan penyebab pencemaran air hingga
kekinian. Pun apabila sudah mengetahui pelakunya, pihaknya akan mengambil tindakan
tegas. "Apabila memang ada indikasi pencemaran oleh pelaku maka akan kami tindak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku," pungkasnya

10. Buang Limbah ke Badan Sungai Deli, Perusahaan di Segel KLHK

Sumber : www.mongbay.com 25-08-2018

Seksi Wilayah I Balai Pengamanan dan Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup Wilayah
Sumatera, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyegel PT.
Expravet Nasuba, Senin (17/8/2018). Perusahaan yang beralamat di Jalan K.L Yos
Sudarso KM.8,8, Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan, Sumatera
Utara, ini dianggap melanggar undang-undang lingkungan hidup, membuang limbah cair
ke aliran Sungai Deli.

Operasi penegakkan hukum terhadap perusahan yang bergerak pada pemotongan dan
pengolahan daging serta unggas ini dipimpin Kepala Balai Gakkum LHK Wilayah
Sumatera, Edward Sembiring. Di lokasi, tim gakkum bersama Satuan Polisi Kehutanan
Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul, dan tim penyidik Seksi Wilayah I
mengumpulkan sejumlah barang bukti beserta sampel limbah cair perusahaan.

Pantauan Mongabay di lokasi, tim penyidik gakkum menelusuri arah pipa terakhir
pembuangan limbah cair ke Sungai Deli. Edward tampak geram dengan pencemaran
lingkungan yang dilihatnya itu. “Tim silakan segel lokasi ini. Air yang mengalir dari pipa
segera hentikan, jangan ada setetes pun terbuang ke aliran Sungai Deli ini. Silahkan tutup
dengan semen,” tegas Edward yang mendapat pengawalan bersenjata lengkap SPORC
Brigade Macan Tutul.

Edward kembali bertanya tentang surat peringatan Pemerintahan Kota Medan


kepada perusahaan ini yang membuang limbah cairnya tidak sesuai aturan, Hasman
hanya diam, lalu mengakui surat peringatan itu sudah diterima sejak 2013 lalu. Edward
makin berang, karena sejak 2013 hingga 2018, tidak ada itikad dari perusahaan untuk
memperbaiki pembuangan limbah akhir yang masih dilakukan ke aliran Sungai Deli.
Namun, Hasman masih bersikeras agar penyegelan tidak dilakukan. Menurut dia,
perusahaan sudah mengikuti anjuran BLH Medan agar sebelum dibuang, limbah akhir
diendapkan 24 jam dan itu sudah dilakukan. “Kami juga terus memberbaiki proses
pembuangan limbah akhir,” terangnya. Namun, pihak Gakkum Wilayah Sumatera tetap
menyegel perusahaan. Menurut Edward, yang dilakukan ini adalah perintah undang-
undang. Ada Pasal 100 ayat (2) jo Pasal 20 ayat (3) huruf a dan b jo Pasal 68 huruf b dan
c; Pasal 114 dan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jo Pasal 37 Jo Pasal 40 ayat (1), Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air, Jo Permen LH Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku
Mutu Air Limbah. Ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling
banyak tiga miliar Rupiah
.

Anda mungkin juga menyukai