Warga memprotes pembuangan limbah Sritex sejak 20 tahun lalu sejalan gerakan reformasi
saat itu, kendati bau limbah sudah mencemari lingkungan sejak 1991. Sritex meredam protes
dengan memberi kompensasi. Salah satunya membagikan Rp200 juta ke 13 kampung, yang
“di kampung saya dipakai untuk membangun sebuah jembatan,” ujar Marjono Setio Budi, 49
tahun, warga Kampung Langsur.
Pada 2007-2009, warga kembali melakukan protes besar-besaran, dipicu dari fenomena
pladu—istilah setempat untuk menyebut banyak ikan sekarat mengambang ke permukaan
kali. Saat warga beramai-ramai mencebur ke kali untuk mengambil ikan-ikan itu, terjadi
malapetaka. Kulit kaki mereka gatal-gatal, panas, dan mengelupas.
Warga menuntut Sritex membayar kerugian Rp129 miliar, tapi berakhir tanpa ada
kesepakatan.
Pada 2019, Kali Langsur tercemar dan berwarna merah. Kali ini minim protes warga.
Agus Setiady dari tim teknis Waste Water Management Sritex mengklaim limbah pabriknya
sudah diolah sesuai standar pemerintah. “Kami punya izin pembuangan limbah cair. Pengukuran
kadar limbah kami telah dilakukan secara berkala oleh pihak ketiga yang ditunjuk Kementerian
Lingkungan Hidup. Hasilnya sesuai baku mutu yang ditetapkan pemerintah,” klaim Agus pada
29 Juli lalu.
Salah seorang warga sekaligus tokoh masyarakat setempat, Ali Rohbini mengatakan,
bahwa akibat pencemaran limbah pabrik tersebut, aliran air irigasi ke persawahan warga
menjadi berbusa dan berwarna hitam. "Baunya juga menyengat. Banyak warga yang
mengeluhkan limbah ini. Yang dikeluarkan dari pabrik itu (PT Bonindo Abadi),”
jelasnya, seperti dikutip dari TIMESIndonesia.co.id jaringan Suara.com, Jumat
(29/1/2021).
Merespon itu, lanjut dia, para petani terdampak serta warga setempat melayangkan surat
petisi. Sedikitnya ada 100 warga yang terdampak aliran pencemaran limbah pabrik
menandatangani surat petisi itu. "Surat keberatan itu sudah dikirimkan kepada pabrik
terkait, dengan tembusan bupati, OPD terkait, aparat yang berwenang dan Muspika
setempat," sambung dia.
Sumber : https://news.detik.com
Pada Oktober 2019, diketahui adanya penguburan puluhan ton lumpur beracun di dalam
tanah perumahan Desa Darawolong, Kecamatan Purwasari. Satuan Reskrim Polres
Karawang berhasil mengungkap kasus pencemaran lingkungan yang melibatkan beberapa
perusahaan itu. Lumpur beracun itu berasal dari tiga perusahaan tekstil yang ada di Bandung.
Limbahnya diambil dari PT FJ, PT BCP, PT TB. Bukannya dimusnahkan, limbah malah
dikubur dalam lahan pemukiman di Karawang," terang Kasat Reskrim Polres Karawang,
Bimantoro Kurniawan, Jumat, 20 Desember 2019. Menurut Bimantoro, limbah beracun itu
seharusnya dibawa ke PT WI di Tangerang untuk dimusnahkan. Diduga, demi meraup
keuntungan, PT RPW dan PT LSA selaku pihak ke-3 yang mengantar limbah melakukan
penyelundupan limbah. "Diduga motif mereka untuk mendapat keuntungan," katanya.
Pada awal September, Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, melakukan peninjauan
langsung pada aliran Sungai Cileungsi. Hasil peninjauan lalu dibawa menjadi
pembahasan di DPR RI, maupun sampai pada Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Pemerintah lalu melakukan pendataan terhadap puluhan industri di sepanjang
aliran Sungai Cileungsi, maupun Kali Bekasi. Puncaknya, pada 2 Oktober, empat pabrik
diduga pencemar disegel. Beberapa waktu kemudian, dua pabrik lainnya ikut disegel.
Namun pencemaran masih saja terjadi. Dampak penutupan empat industri itu hanya
terasa beberapa hari. Pada 17 Oktober, kali yang kembali menghitam lantas berbuih
sehingga menutupi sebagian besar permukaan Kali Bekasi. Ketua KP2C Puarman,
mengatakan pencemaran Kali Bekasi maupun di hulunya Sungai Cileungsi mesti terus
dipantau. Pihaknya meminta keseriusan dari DLH untuk mengawasi pabrik-pabrik, alih-
alih diduga akan tetap melakukan pencemaran bagi yang belum tertindak apalagi
memasuki musim penghujan sehingga upaya pencemaran tidak akan terlalu nampak
akibat debit air yang meninggi.
Terkait kasus ini, Komisi II DPRD Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat turun tangan
dan melakukan sidak lapangan di tempat ditemukan ponton bocor, Selasa (20/4/2021).
"Kemarin kami mendapat informasi dan laporan dari masyarakat terkait CPO yang
mencemari Sungai Sambas. Untuk itu kita segera panggil perusahaan terkait," ujar Ketua
Komisi II DPRD Sambas, Ahmas Hafsak Setiawan seperti dikutip dari Antara.
"Kapal tongkang memuat CPO berkapasitas 3.500 ton. Menurut pengakuan ABK kapal
ponton, CPO yang tumpah ke sungai di sepanjang sungai di Kecamatan Sejangkung
sekitar 150 ton CPO," sambungnya. Oleh karenanya, Ahmas meminta perusahaan sawit
bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan ini. "Perusahaan harus bertanggung
jawab terhadap pencemaran CPO yang terjadi di Sungai Sambas tersebut," pungkasnya.
Andono mengatakan Pemerintah Kota Jakarta Utara dan Polres Jakarta Utara telah
menyegel dua industri pengrajin aluminium.
"Tindak lanjut yang paling anyar itu kemarin Wali Kota bekerjasama dengan Polres
Jakarta Utara melakukan penyegelan terhadap industri kecil yang alumunium," kata
Andono di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (17/9).
Andono menjelaskan usaha industri aluminium tersebut memiliki residu unsur kimia yang
membahayakan. Dia menegaskan lokasi industri sudah dalam penanganan polisi.
"Karena alumunium itu kan ada unsur kimianya, kan metal. Itu sudah dilakukan police line oleh
Polres Jakut," ungkap dia.
Pada Agustus lalu, Dinas Lingkungan H.idup Provinsi DKI Jakarta menyatakan ada 47 dari 114
perusahaan atau pabrik bercerobong di DKI Jakarta yang mendapatkan teguran terkait
pelanggaran ketentuan soal pencemaran udara.
Dari angka itu ada sebanyak 25 perusahaan yang sempat ditindaklanjuti. Namun baru dua
perusahaan yang mendapat penyegelan. Andono mengatakan 47 perusahaan itu melanggar
ketentuan baku mutu emisi dari polutan yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Gubernur
Provinsi DKI Jakarta Nomor 670 Tahun 2000 tentang Penetapan Baku Mutu Emisi Sumber
Tidak Bergerak di Provinsi DKI Jakarta.
Perusahaan-perusahaan itu, kata dia, mengirimkan laporan kepada Dinas Lingkungan Hidup per
6 bulan. Kemudian, laporan itu dievaluasi berdasarkan peraturan dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pelaporan Rencana Pengelolaan
dan Pemantauan Lingkungan.
Berdasarkan ketentuan dalam Permen Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Pedoman Pengenaan Sanksi Administratif di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan,
jika perusahaan tidak juga mengindahkan peringatan pemerintah maka izin lingkungannya bisa
dicabut.
Wagirun selaku ketua RT setempat, mengatakan warga sempat cemas atas kasus
pencemaran air tersebut. "Kami khawatir atas kejadian ini dan semoga Pemkot Pontianak
bisa secepatnya mengetahui apa penyebab hingga air di parit ini menjadi berwarna merah
sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," ujarnya Kamis (6/5/2021) seperti
dikutip dari Antara.
Senada dengan hal itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pontianak, Saptiko menuturkan
pihaknya telah menerjunkan tim untuk melakukan penyelidikan. Tim sudah mengambil
sampel air yang tercemar tersebut untuk diujikan di laboratorium DLH Kota Pontianak
dengan acuan baku mutu air permukaan. "Kami sudah menurunkan tim hari ini untuk
melakukan penelusuran terkait kasus pencemaran air di parit kawasan Jalan Wahidin
Sudirohusodo," ujarnya
Namun hingga kekinian, pihaknya belum menemukan penyebab pencemaran air hingga
kekinian. Pun apabila sudah mengetahui pelakunya, pihaknya akan mengambil tindakan
tegas. "Apabila memang ada indikasi pencemaran oleh pelaku maka akan kami tindak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku," pungkasnya
Seksi Wilayah I Balai Pengamanan dan Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup Wilayah
Sumatera, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyegel PT.
Expravet Nasuba, Senin (17/8/2018). Perusahaan yang beralamat di Jalan K.L Yos
Sudarso KM.8,8, Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan, Sumatera
Utara, ini dianggap melanggar undang-undang lingkungan hidup, membuang limbah cair
ke aliran Sungai Deli.
Operasi penegakkan hukum terhadap perusahan yang bergerak pada pemotongan dan
pengolahan daging serta unggas ini dipimpin Kepala Balai Gakkum LHK Wilayah
Sumatera, Edward Sembiring. Di lokasi, tim gakkum bersama Satuan Polisi Kehutanan
Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul, dan tim penyidik Seksi Wilayah I
mengumpulkan sejumlah barang bukti beserta sampel limbah cair perusahaan.
Pantauan Mongabay di lokasi, tim penyidik gakkum menelusuri arah pipa terakhir
pembuangan limbah cair ke Sungai Deli. Edward tampak geram dengan pencemaran
lingkungan yang dilihatnya itu. “Tim silakan segel lokasi ini. Air yang mengalir dari pipa
segera hentikan, jangan ada setetes pun terbuang ke aliran Sungai Deli ini. Silahkan tutup
dengan semen,” tegas Edward yang mendapat pengawalan bersenjata lengkap SPORC
Brigade Macan Tutul.