Disusun Oleh:
Y. Agung Widya E351130081
Elisabet RRB Hutabarat E351130091
Ida Ayu Ari Janiawati E351130031
Dosen:
Dr. Ir. Rachmad Hermawan, M. Si
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 2
A. GEOMORFOLOGI KARST .............................................................................................. 3
1.
2.
3.
PENDAHULUAN
Bumi merupakan planet yang didominasi oleh air sebanyak 70% volumenya, Menurut
Ross (1970), terdapat 326 juta kubik mil air, perlu dicermati bahwa volume air tersebut terbagi
lagi diantaranya 97,25% dari volume tersebut berupa air laut, 2,063% berupa es, 0,659%
berupa air tanah, 0,027% air permukaan, dan 0,001% air atmosfer. Dengan jumlah air yang
terlihat begitu melimpah pada kenyataan manusia mulai mengalami krisis air yang sering
mengakibatkan kematian, karena krisis air dapat berarti krisis yang komplek, baik itu lahan
pertanian ataupun sumber makanan. Manusia mungkin dapat bertahan hidup tanpa makanan
untuk sementara waktu, namun manusia tidak akan dapat bertahan hidup jika tanpa minum air.
Air adalah zat atau materi atau unsur yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang
diketahui sampai saat ini di bumi, tetapi tidak di planet lain. Air bersih penting bagi kehidupan
manusia. Di banyak tempat di dunia terjadi kekurangan persediaan air. Ditengah
berkembangnya krisis air, banyak hal yang dilakukan untuk menjaga sistem tata air sehingga
persediaan air bersih dapat dipertahankan. Begitu pentingnya air bagi kehidupan sudah
selayaknya kita melakukan upayaupaya dalam menjaga kelestarian air, memang air sangat
melimpah di bumi tetapi dari segi kualitas air yang dapat dikonsumsi manusia, ketersediaan air
masih menjadi masalah dan terkadang menimbulkan konflik. Daerahdaerah kering
merupakan daerah dengan kondisi air yang krisis, diperlukan langkah yang tepat untuk
mengatasi krisis yang terjadi di daerahdaerah dengan musim kemarau panjang. Sudah tentu
langkah untuk membantu daerah yang kering tersebut tidak akan dapat dilaksanakan sementara
kita saja yang notabene berada pada iklim tropis dengan keadaan sumber daya air bersih yang
melimpah terkadang masih merasakan kelangkaan air besih.
Ekosistem karst merupakan kawasan yang terbentuk akibat erosi, berdasarkan air hujan
yang jatuh dalam batuan berkarbonasi (batuan kapur). Sistem drainase bawah permukaan
seringkali bergitu rumit dan menghasilkan mata air dan goa besar (Waluyo et al. 2005).
Selama ini kawasan karst hanya dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi seperti penambangan
batu kapur. Belum banyak yang melirik kawasan ekosistem karst sebagai sumber daya bernilai
penting untuk preservasi sumber daya air. Indonesia merupakan negara kaya yang memiliki
batuan batuan yang berada diatas permukaan maupun didalam bumi. Diantara batuanbatuan
yang ada, batuan karst atau kapur merupakan batuan misterius yang mampu memecahkan krisis
air di indonesia. Namun belum banyak yang mengetahui peran ekosistem karst dalam sistem
tata air. Oleh karena itu makalah ini disusun untuk mengetahui peran ekosistem karst dalam
sistem tata air.
2
A. GEOMORFOLOGI KARST
Karst merupakan istilah dalam bahasa Jerman yang diturunkan dari bahasa Slovenia (kras)
yang berarti lahan gersang berbatu. Istilah ini di negara asalnya sebenarnya tidak berkaitan
dengan batugamping dan proses pelarutan, namun saat ini istilah kras telah diadopsi untuk
istilah bentuklahan hasil proses perlarutan. Ford dan Williams (1992) mendefinisikan karst
sebagai medan dengan kondisi hidrologi yang khas sebagai akibat dari batuan yang mudah
larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang baik. Karst dicirikan oleh:
terdapatnya cekungan tertutup dan atau lembah kering dalam berbagai ukuran dan
bentuk,
Bentuk lahan karst terbentuk akibat pengaruh cuaca dan erosi dalam suatu kawasan yang
memiliki batu berkarbonasi dan ter-evaporasi. Proses tersebut secara keseluruhan disebut
karsifikasi. Karst ditemukan sebagian besar di kawasan batu kapur (batu yang mengandung
sedikitnya 50% mineral berkarbonasi), kondisi kawasan karst yang terdapat dalam suatu
kawasan tergantung pada:
-
Karst tidak hanya terjadi di daerah berbatuan karbonat, tetapi terjadi juga di batuan lain
yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder (kekar dan sesar intensif), seperti batuan
gipsum dan batugaram. Namun demikian, karena batuan karbonat mempunyai sebaran yang
paling luas, karst yang banyak dijumpai adalah karst yang berkembang di batuan karbonat.
Oleh karenanya bahsan buku ini selanjutnya hanya akan menguraikan karst batuan karbonat.
Topografi karst telah banyak ditemukan di berbagai tempat di belahan bumi dengan berbagai
tipe. Peneliti karst telah mencoba menjelaskan variasi karst dan mengklasifikasi tipe-tipe karst.
Klasifikasi karst secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu 1) klasifikasi
yang didasarkan pada perkembangan (Cvijic), 2) klasifikasi yang didasarkan pada morfologi,
3
dan 3) klasifikasi yang didasarkan pada iklim (Sawicki, Lehmann, Sweeting). Beberapa
klasifikasi karst berikut ini adalah klasifikasi Cvijic, Gvozdeckij dan Sweeting:
1. Klasifikai Cvijic (1914)
Cvijic membagi topografi karst menjadi tiga kelompok, yaitu holokarst, merokarst, dan
karst transisi. Holokarst merupakan karst dengan perkembangan paling sempurna, baik dari
sudut pandang bentuk lahannya maupun hidrologi bawah permukaannya. Karst tipe ini dapat
terjadi bila perkembangan karst secara horisontal dan vertikal tidak terbatas; batuan karbonat
masif dan murni dengan kekar vertikal yang menerus dari permukaan hingga batuan dasarnya;
serta tidak terdapat batuan impermeable yang berarti. Karst tipe holokarst yang dicontohkan
oleh Cvijic adalah Karst Dinaric, Lycia, dan Jamaica. Di Indonesia, karst tipe ini jarang
ditemukan, karena besarnya curah hujan menyebabkan sebagian besar karst terkontrol oleh
proses fluvial. Merokarst merupakan karst dengan perkembangan tidak sempurna atau parsial
dengan hanya mempunyai sebagian ciri bentuk lahan karst. Merokarst berkembang di batu
gamping yang relatif tipis dan tidak murni, serta khususnya bila batu gamping diselingi oleh
lapisan batuan napalan. Perkembangan secara vertikal tidak sedalam perkembangan holokarst
dengan evolusi relief yang cepat. Erosi lebih dominan dibandingkan pelarutan dan sungai
permukaan berkembang. Merokarst pada umumnya tertutup oleh tanah, tidak ditemukan karen,
dolin, goa, swallow hole berekembang hanya setempat. Sistem hidrologi tidak kompleks, alur
sungai permukaan dan bawah permukaan dapat dengan mudah diidentifikasi. Drainase bawah
tanah terhambat oleh lapisan impermeabel. Contoh dari karst ini adalah karst di Batu gamping
Carbonferous Britain, Irlandia, Galicia Polandia, Moravia karst Devonian, dan karst di Prancis
utara. Contoh merokarst di Indonesia diantaranya adalah karst di sekitar Rengel Kabupaten
Tuban. Karst Transisi berkembang di batuan karbonat relatif tebal yang memungkinkan
perkembangan bentukan karst bawah tanah, akan tetapi batuan dasar yang impermeabel tidak
sedalam di holokarst, sehingga evolusi karst lebih cepat; lembah fluvial lebih banyak dijumpai,
dan polje hampir tidak ditemukan. Contoh dari karst transisi menurut Cvijic adalah Karst
Causses Prancis, Jura, Plateux Balkan Timur, dan dan Dachstein. Contoh holokarst di
Indonesia yang pernah dikunjungi penulis antara lain Karst Gunung Sewu (Gunungkidul,
Wonogiri, dan Pacitan), Karst Karangbolong (Gombong), dan Karst Maros (Sulawesi Selatan).
2. Klasifikasi Gvozdeckij (1965)
Gvozdeckij mengklasifikasi karst berdasarkan pengamatannya di Uni Soviet (sekarang
Rusia). Menurutnya karst dibedakan menjadi bare karst, covered karst, soddy karst, buried
4
karst, tropical karst, dan permafrost karst. Bare karst lebih kurang sama dengan karst Dinaric
(holokarst). Covered karst merupakan karst yang terbentuk bila batuan karbonat tertutup oleh
lapisan aluvium, material fluvio-glacial, atau batuan lain seperti batupasir. Soddy karst atau
soil covered karst merupakan karst yang berkembang di batu gamping yang tertutup oleh tanah
atau terra rosa yang berasal dari sisa pelarutan batu gamping. Buried karst merupakan karst
yang telah tertutup oleh batuan lain, sehingga bukti-bukti karst hanya dapat dikenalai dari data
bor. Tropical karst of cone karst merupakan karst yang terbentuk di daerah tropis.
Permafrost karst merupakan karst yang terbentuk di daerah bersalju.
3. Klasifikasi Sweeting (1972)
Karst menurut Sweeting diklasifikasikan menjadi true karst, fluviokarst, glaciokarst,
tropical karst, arid dan semiarid karst. Klasifikasi Sweeting terutama didasarkan pada iklim.
True karst merupakan karst dengan perkembangan sempurna (holokarst). Karst yang
sebenarnya harus merupakan karst dolin yang disebabkan oleh pelarutan secara vertikal. Semua
karst yang bukan tipe dolin karst dikatakan sebagai deviant. Contoh dari true karst menurut
Sweeting (1972) adalah Karst Dinaric. Fluviokarst dibentuk oleh kombinasi antara proses
fluvial dan proses pelarutan. Fluviokarst pada umumnya terjadi di daerah berbatuan gamping
yang dilalui oleh sungai alogenik (sungai berhilir di daerah non-karst). Sebaran batu gamping
baik secara lateral maupun vertikal jauh lebih kecil daripada true karst. Perkembangan sirkulasi
bawah tanah juga terbatas disebabkan oleh muka air tanah lokal. Mata air muncul dari lapisan
impermeable di bawah batugamping maupun dekat muka air tanah lokal. Lembah sungai
permukaan dan ngarai banyak ditemukan. Bentukan hasil dari proses masuknya sungai
permukaan ke bawah tanah dan keluarnya sungai bawah kembali ke permukaan seperti lembah
buta dan lembah saku merupakan fenomena umum yang banyak dijumpai. Goa-goa di
fluviokarst terbentuk di perbatasan antara batugamping dan batuan impermeabel di bawahnya
oleh sungai alogenik dan berasosiasi dengan perkembangan sungai di daerah karst. Permukaan
batu gamping di fluviokarst pada umumnya tertutup oleh tanah yang terbentuk oleh erosi dan
sedimetasi proses fluvial. Singkapan batu gamping (bare karst) ditemukan bila telah terjadi
erosi yang pada umumnya disebabkan oleh penggundulan hutan. Glasiokarst merupakan karst
yang terbentuk karena karstifikasi didominasi oleh proses glasiasi dan proses glasial di daerah
yang berbatuan gamping. Nivalkarst merupakan karst yang terbentuk karena proses karstifikasi
oleh hujan salju (snow) pada linkungan glasial dan periglasial. Glasiokarst terdapat di daerah
berbatu gamping yang mengalami glasiasi atau pernah mengalami glasiasi. Glasiokarst
dicirikan oleh kenampakan-kenamapakan hasil penggogosan, erosi, dan sedimentasi glacier.
5
Hasil erosi glacier pada umumnya membentuk limstone pavement. Erosi lebih intensif terjadi
di sekitar kekar menhasilkan cekungan dengan lereng terjal memisahkan pavement satu dengan
lainnya. Dolin-dolin terbentuk terutama disebabkan oleh hujan salju. Pencairan es
menghasilkan ngarai, pothole, dan goa, Karakteristik lain dari glasiokarst adalah goa-gaoa
yang terisi oleh oleh es dan salju. Contoh dari galsiokarst adalah karst di lereng atas
pegunungan Alpen. Tropical karst berbeda dengan karst di iklim sedang dan kutub terutama
disebabkan oleh presipitasi dan evaporasi yang besar. Presipitasi yang yang besar
menghasilkan aliran permukaan sesaat yang lebih besar, sedangkan evaporasi menghasilkan
rekristalisasi larutan karbonat membentuk lapisan keras di permukaan. Hal ini menyebabkan
dolin membulat seperti di iklim sedang jarang ditemukan digantikan oleh dolin berbentuk
bintang yang tidak beraturan. Dolin tipe ini sering disebut kockpit. Di antara dolin ditemukan
bukit-bukit yang tidak teratur disebut dengan bukit kerucut. Karst tropis secara lebih rinci
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
Ketebalan lapisan atau endapan batu gamping. Semakin tebal semakin memungkinkan
terbentuknya karst.
Iklim yang basah dan hangat lebih memungkinkan terjadinya proses pelarutan batuan
yang memegang peranan pembentukkan karst.
Adanya proses tektonik berupa pengangkatan (uplit) yang berlahan dan merata
dikawasan batu gamping
Karakteristik formasi batu gamping yang ada berupa mekanik, fisik, mineral, kimiawi,
dll.
Singkarak
Sumatera Selatan
Kawasan karst di Aceh merupakan kawasan batu gamping yang mempunyai nilai hasil hutan
berupa rotan, kayu damar, durian dan beberapa goa untuk wisata (Kementerian Lingkungan
Hidup 1999).
b. Pulau Jawa
Kawasan karst di Pulau Jawa cukup banyak yang telah terungkap khususnya bagian selatan
misalnya kars Gombong Selatan, Jawa Tengah dan Karst Gunung Sewu, Karst Gunung Kidul.
c. Pulau Kalimantan
Berdasarkan penelitian orang Perancis pada tahun 1980an dilaporkan daerah Kalimantan
Timur terdapat kawasan karst di Mangkalihat, Gunung Liang Bara, Liang Mahang, Liang
Boeboek, Daerah Sangkurilang yaitu Goa Tintang, Goa Mardua, Ampananas, Kapayan,
Ambolabung, Dolina raksasa, gunung Buntung. Kalimantan Tengah terdapat Gunung Haje,
Menunting, daerah Muara Teweh berupa Goa Jokon, Goa Tangor, Goa Angka dan Goa Toko.
Khsusus untuk Goa Angka dan Goa Toko dimanfaatkan untuk sarang burung walet yang
bermanfaat secara ekonomi dengan penghasilan 12 ton per tahun. Kalimantan Selatan terdapat
kawasan Gunung Meratus, gunung batu Apu, Lempinit, Talikor, Liang Wayang, Kabayan,
Malikau, Batu Laki, Batu Bini. Goa Tamalung merupakan goa penghasil sarang burung walet
mencapai hingga 6 ton per tahun.
d. Pulau Sulawesi
Kawasan karst yang terkenal dengan kawasan Maros dan sekitar 29 goa yang layak di lindungi.
e. Pulau Sumba
Kawasan karst yang terdapat di Waingapu, Sumba Barat yang dimanfaatkan sebagai sumber
mata air bagi warga sekitar.
f. Pulau Irian Jaya
Kawasan karst yang terdapat di Wamena, Pegunungan Trikora dengan sumber air terbesar yang
berbentuk goa vertikal terdalam dan dolina raksasa serta lorong-lorong unik. Pulau Misol
merupakan warisa arkeologi yang terunik. Kawasan karst Pulau Irian Jaya merupakan
penghasil sumber air terbesar dari daerah lain di Indonesia.
Sementara ekosistem karst dapat berupa beberapa bentukan lahan seperti:
1)
Goa
Masyarakat pada umumnya lebih mengenal karst dengan goa. Pembahasan ini akan
mengkerucut dengan goa. Speleologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai goa/goa baik
faktor biotik dan abiotik (Bogli 1980). Karst Hidrology and Pysical Speleology, Springer,
Verlag.
Beberapa jenis sebaran karst berdasarkan pemanfaatannya
a. Goa-goa Ziarah Keagamaan dan Ritual
1. Goa Pamijahan
2. Goa Prabu Siliwangi
3. Goa Kutamaneh, Sukabumi
4. Curug Suplit, Cianjur
5. Gunung Kromong, Cirebon
6. Goa Sang Hyang Sirah, Ujung Kulon
7. Goa Ronggeng, Pangandaran, Pananjung, Jabar
8. Goa Kotamaneh, Sukabumi
9. G. Curug Supit, Cianjur
10. G. Grengseng, Baron, Jogja
11. G. Pesinden, Pangandaran, Ciamis
12. G. Tabuhan, Pacitan
13. G. Semar, Dieng, Wonosobo
14. Goa Maling Aguno, Malang
15. Goa Bandung, Adipala, Cilacap
16. Goa Langse, Parangtritis
17. Goa Tritis, Gunung Kidul
18. Goa Selarong
19. Goa Biak
20. Goa di Alas Purwo (Balambangan, Jatim)
Potensi mineral, kandungan batuan karst yang mengandung sedikitnya 50% mineral
berkarbonasi, membuat kawasan ini identik dengan batu kapur yang kini tengah marak
untuk ditambang.
Potensi lahan, memiliki potensi lahan pada bagian lembah atau dolinenya. Masyarakat
sekitar biasanya menanam jati ataupun tanaman pangan seperti jagung dan ketela
pohon.
Potensi air, selain sebagai air sungai bawah tanah, kawasan karst juga dapat membentuk
mata air. Keuntungan dari mata air karst ada;ah akan selalu muncul selama musim
kering karena lapisan batuannya impermeable.
11
Kemiskinan keanekaragaman hayati pada kawasan karst setempat dan lingkungan nonkarst
dalam radius pencemaran udara oleh polutan.
Rusaknya situs arkeologi dan budaya (Kemungkinan akan dialami pada kawasan karst Batu
Buli di Kab. Tabalong yang merupakan situs purbakala yang akan rusak akibat
penambangan batu gunung (Eksplorasi Mapala Stienas Banjarmasin tahun 1996).
Tercemar dan rusaknya obyek wisata alam goa dan karst (Goa Marmer di Plaihari, Eksplore
Mapala Stienas Banjarmasin tahun 1994).
Tercemarnya lingkungan hunian penduduk oleh debu dan suara alat berat.
menutup tanah sehingga daerah karst yang bisanya memiliki solum tipis dapat lebih menebal
solumnya dan keadaan tanahnya dapat lebih baik. Daerah karst yang sering berada dalam
keadaan gundul dapat lebih membaik keadaan tanahnya. Perbaikan vegetasi pada daerah hulu
atau pada daerah tangkapan air diperlukan sehingga nantinya akan dapat membantu
menyimpan air dan mengurangi kejadian banjir maupun kekeringan. Keseimbangan air dalam
tegakan hutan tergantung pada presipitasi (curah hujan), intersepsi (penyerapan oleh tajuk),
limpasan permukaan dan evaporasi (pengoapan). Proses selain curah hujan sangat dipengaruhi
oleh kondisi tegakan (populasi pohon) meliputi kerapatan, struktur tegakan dan arsitektur
kanopi.
Hidayat (2002) menyebutkan bahwa geowisata merupakan salah satu alternatif
pengelolaan kawasan karst di Gunung kidul yang mempunyai arti yang sangat penting karena:
Kawasan tersebut merupakan kawasan yang spesifik yang perlu dikonservasi karena
didalamnya terdapat flora dan fauna yang khas.
Karst gunung kidul secara aklamasi oleh International Union of Speleology tahun 1994
diusulkan sebagai bentuk alam warisan dunia (World Natural Heritage).
Merupakan aquifer air tanah yang cukup besar dan produktif yang dapat mensuplai
wilayah Yogyakarta dan sekitarnya (Sunarto dan Samodra 1999).
Terdapat proses alami pembentukan eksokarst dan endokarst yang terlengkap di dunia dari
stadia muda-tua dan telah berumur ribuan-jutaan tahun yang masih berlangsung hingga
saat ini.
Keunikan bentang alam karst seperti perbukitan kerucut, goa bawah tanah, air sungai
bawah tanah, danau alam, mata air, pantai karang dan bentukan tekstur dan struktur
batuannya yang beranekaragam.
Memperkaya jenis wisata yang terdapat di Yogyakarta sehingga dapat diintegerasikan
dengan wisata lain sehingga merupakan alternatif tujuan wisata yang tidak kalah indahnya.
Banyak peninggalan bersejarah pada zaman manuasia purba terutama di goa-goa.
Berpotensi sebagai pusat penelitian dan laboratorium alam karst di Indonesia
Menurut Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1518/K/20/MPE/1999,
pada zona inti selain kawasan karst mempunyai karakteristik dan sumberdaya alam yang paling
15
unik, spesifik dan langka serta rawan terhadap kerusakan juga mempertimbangkan fungsi
kawasan kasrt sebagai penyimpan air bawah tanah secara permanen.
Menurut Cahyadi dan Anggit Priambodo (2012) dalam Wuspada (2012), letak
kawasan karst Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul yang berada di daerah tropis
menjadikan kawasan ini sebagai penyerap karbon yang potensial karena pada daerah ini curah
hujan sangat tinggi. Semakin banyak curah hujan maka proses karstifikasi lebih intensif
sehingga penyerapan karbon cukup tinggi karena dalam proses karstifikasi terjadi penyerapan
karbon yang berarti dapat mengurangi pemanasan global.
Dengan melihat semakin maraknya penambangan batu gamping di kawasan karst
yang menyebabkan rusaknya bentang lahan karst dan mengacu pada PP Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Nasional (RTRWN) yang menyebutkan bahwa
kawasan karst merupakan kawasan lindung geologi, maka pada tanggal 7 Februari 2011
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul mengeluarkan kebijakan berupa Surat Edaran Bupati
Nomor 540/0196 yang berisi tentang pelarangan penambangan di kawasan karst (Wuspada RD
2012).
Pengelolaan kawasan karst secara berkelanjutan menurut IUCN (1997) dititik
beratkan pada: (1) Kawasan karst yang memiliki nilai keaslian dan nilai sosial-budaya
masyarakat yang tinggi; (2) Kawasan karst yang memiliki nilai-nilai penting yang strategis; (3)
Kawasan karst yang memiliki kerusakan lingkungan paling sedikit; dan (4) Kawasan karst yang
memiliki karakteristik tertentu.
Kegiatan eksploitasi batu gamping seharusnya mengacu pada isu lingkungan
internasional, seperti yang dikemukakan oleh Vermeulen dan Whitten (1999) bahwa kegiatan
eksploitasi di kawasan karst sebaiknya:
Dilakukan di suatu kawasan yang luas, dengan menyisakan salah satu bagian yang
dianggap memiliki nilai strategis tinggi.
Dititik beratkan pada batu gamping jenis dolomit atau yang belum mengalami proses
karstifikasi lanjut.
16
karst. Perlindungan bukan berarti tidak ada aktifitas pemanfaatan di kawasan tersebut. Namun
dalam pengelolaannya perlu memperhatikan lingkungan hidup. Bentuk pengelolaannya pun
sebaiknya disesuaikan berdasarkan klasifikasi kawasan karst yang tercantum dalam Kepmen
ESDM No. 1456 K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst. Selain itu
pelibatan masyarakat secara aktif melalui kelompok-kelompok yang sudah ada di masyarakat
perlu ditingkatkan. Hal ini bisa mengefektifkan implementasi kebijakan.
Klasifikasi kawasan karst menurut Kepmen ESDM No. 1456 K/20/MEM/2000 pasal
12 ayat:
1)
Kawasan karst kelas I merupakan kawasan yang memiliki salah satu, atau lebih kriteria
berikut ini :
Berfungsi sebagai penyimpan air bawah tanah secara tetap (permanen) dalam bentuk
akuifer, sungai bawah tanah, telaga atau danau bawah tanah yang keberadaannya
mencukupi fungsi umum hidrologi.
Mempunyai goa-goa dan sungai bawah tanah aktif yang kumpulannya membentuk
jaringan baik mendatar maupun tegak yang sistemnya mencukupi fungsi hidrologi dan
ilmu pengetahuan.
Mempunyai kandungan flora dan fauna khas yang memenuhi arti dan fungsi sosial,
ekonomi, budaya serta pengembangan ilmu pengetahuan.
2)
Kawasan karst kelas II merupakan kawasan yang memiliki salah satu atau semua
kriteria berikut ini:
Berfungsi sebagai pengimbuh air bawah tanah, berupa daerah tangkapan air hujan yang
mempengaruhi naik-turunnya muka air bawah tanah di kawasan karst, sehingga masih
mendukung fungsi umum hidrologi.
17
Mempunyai jaringan lorong-lorong bawah tanah hasil bentukan sungai dan goa yang
sudah kering, mempunyai speleotem yang sudah tidak aktif atau rusak, serta sebagai
tempat tinggal tetap fauna yang semuanya memberi nilai dan manfaat ekonomi.
3)
Kawasan karst kelas III merupakan kawasan yang tidak memiliki kriteria sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Sementara itu, pada pasal 13 menyebutkan bahwa kawasan karst kelas I merupakan
18
Stakeholder tersebut terdiri dari beberapa dinas pemerintah terkait, LSM, dan masyarakat
(Gunawan 2011).
Kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan usaha wisata pada hutan lindung,
sesuai PP No.6 tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan, dapat dilakukan dengan ketentuan tidak:
Kehutanan yang menyatakan bahwa wewenang pengelolaan kawasan hutan lindung ada
ditangan Pemerintah Kabupaten. Selanjutnya pada PP No.6 tahun 2007 mengenai Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Dalam isinya,
peraturan ini menjelaskan ketentuan dalam memanfaatkan kawasan pada hutan lindung.
Berdasarkan hal tersebut, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Maros selaku pengelola kawasan
HL Bulusaraung mempunyai wewenang dalam mengawasi dan mengendalikan kegiatan yang
berurusan dengan pemanfaatan kawasan dan sumberdaya alam, salah satunya kegiatan industri
pertambangan batu gamping. Dalam perannya sebagai pengelola HL Bulusaraung, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Maros bertugas mengawasi kelestarian hutan lindung akibat dari
kegiatan pertambangan. Saat ini kegiatan yang dilakukan hanya berupa teguran jika terdapat
permasalahan perizinan. Sedangkan monitoring dan evaluasi kegiatan pertambangan masih
dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi SulSel dengan mengikutsertakan Dinas Kabupaten
Maros.
Masyarakat merupakan salah satu stakeholder yang memilki peranan sangat penting
dalam pengelolaan. Masyarakat terbagi menjadi dua kategori yaitu masyarakat yang berperan
sebagai pelaku pertambangan dan masyarakat petani yang merasakan dampak dari kegiatan
pertambangan. Selain itu, terdapat juga lembaga non formal yang menjadi salah satu
stakeholder pengelolaan pertambangan di HL Bulusaraung yaitu LSM lingkungan Walhi
(Wahana Hingkungan Hidup). Kegiatan yang dilakukan oleh Walhi ialah penelitian mengenai
dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan.
19
20
21
22
23
Jankowski (2001) mengatakan bahwa terdapat tiga komponen utama pada sistem
hidrologi karst, yaitu : akuifer, sistem hidrologi permukaan, dan sistem hidrologi bawah
permukaan. Di karst, cekungan bawah permukaan dapat diidentifikasi dengan mencari
hubungan antara sungai yang tertelan (swallow holes) dan mata air. Cekungan bawah
permukaan ini dapat berkorelasi dengan cekungan aliran permukaan (DAS) jika jalur-jalur
lorong solusional pada bawah permukaan utamanya bersumber pada sungai permukaan yang
masuk melalui ponor. Tapi, secara umum batas antara DAS permukaan dan bawah permukaan
adalah tidak sama. Sistem bawah permukaan, terutama yang memiliki kemiringan muka
airtanah yang rendah dapat mempunyai banyak jalur dan outlet (mata air). Selanjutnya, karena
terus berkembangnya proses pelarutan, muka airtanah, mataair dan jalur sungai bawah tanah
di akuifer karst juga dapat berubahubah menurut waktu.
Akuifer dapat diartikan sebagai suatu formasi geologi yang mampu menyimpan dan
mengalirkan airtanah dalam jumlah yang cukup pada kondisi hidraulik gradien tertentu
(Acworth 2001). Cukup artinya adalah mampu mensuplai suatu sumur ataupun mata air pada
suatu periode tertentu. Jika formasi karst dapat menyimpan dan mengalirkannya sehingga
sebuah sumur atau mataair mempunyai debit air yang cukup signifikan, maka sah-sah saja jika
formasi karst tersebut disebut sebagai suatu akuifer. Perdebatan mengenai hal ini sudah terjadi
terutama pada masa-masa lampau dan solusi yang ada biasanya tergantung dari sudut
hidrogeologis mana kita memandangnya. Selanjutnya, dua hal ekstrim pada akuifer karst
adalah adanya sistem conduit dan diffuse yang hampir tidak terdapat pada akuifer jenis lain
(White 1988). Ada kalanya suatu formasi karst didominasi oleh sistem conduit dan ada kalanya
pula tidak terdapat lorong-lorong conduit tetapi lebih berkembang sistem diffuse, sehingga
hanya mempunyai pengaruh yang sangat kecil terhadap sirkulasi airtanah karst. Tetapi, pada
umumnya suatu daerah karst yang berkembang baik mempunyai kombinasi dua element
tersebut.
Ekosistem karst bisa digambarkan sebagai water bank karena dapat memunculkan
mata air yang tidak kering selama musim kering dan terisi selama musim hujan. Air yang
terserap kedalam goa-goa atau sungai bawah tanah dan muncul sebagai mata air dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari ataupun untuk pengairan. Bisa dibayangkan jika kawasan ekosistem karst tersebut hilang,
maka tak ada lagi water bank yang mampu menyimpan air sehingga air hujan yang turun akan
mengalir begitu saja melalui sungai menuju laut tanpa sempat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Hal ini akan berdampak buruk bagi masyarakat yang tinggal di kawasan tanah dengan sistem
24
drainase buruk dan solum tanah yang tipis. Air hujan yang turun tidak akan mampu terserap
maksimal kedalam tanah karena solum tanah yang tipis, kemudian akan mengalir melalui aliran
permukaan yang akan menyebabkan erosi akibat massa tanah ikut terbawa aliran permukaan.
Aliran permukaan tersebut akan langsung mengalir menuju laut sehingga pada musim kemarau
tak ada cadangan air yang tersisa dan mengakibatkan krisis air. Selain krisis air, massa tanah
yang terbawa aliran permukaan akan mengurangi ketebalan solum tanah sehingga para petani
akan sulit berococok tanam.
Peran ekosistem karst dalam tata air sangat nyata di masyarakat seperti Seperti yang
diungkapkan oleh Adji dan Nurjani (1999) bahwa air yang berasal dari sungai bawah tanah
Bribin dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Bedoyo yang kawasannya non-karst, bahkan
banyak sumber-sumber air tawar di dunia ini yang berasal dari kawasan karst yang juga
dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah non-karst. Selain itu Handayani dkk
(2010) juga melaporkan bahwa kontribusi air di Desa Hupumada merupakan kontribusi air
yang yang tergolong tinggi yang berada di Kecamatan Wanokaka dibanding dua desa lainnya
karena daerah ini tidak kekurangan air, mata air di daerah ini bersumber dari karst karena
terletak di kawasan karst, sehingga masyarakat Desa Hupumada sangat tercukupi kebutuhan
airnya.
G. KONSEP PEMANFAATAN EKOSISTEM KARST IDEAL
Seperti yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa ekosistem karst memiliki
beberapa manfaat yang dapat dikembangkan. Namun dalam memanfaatkannya agar kelestarian
ekosistem karst tetap terjaga sehingga sistem tata air pun akan ikut terjaga, maka perlu
dirumuskan konsep pemanfaatan ekosistem karst yang ideal. Secara umum konsep
pemanfaatan ekosistem karst yang mampu menjamin kelestarian dan meminimalkan dampak
kerugian lingkungan yang sering dikembangkan adalah konsep pemanfaatan ekosistem karst
untuk kegiatan ekowisata. Sebagai contoh studi kasus, Yulianto (2008) mengungkapkan model
ekowisata untuk goa dan kawasan air bawah tanah karst, telah dilakukan di kawasan Kawasan
dusun Blimbing, desa Umbulrejo, Kecamatan Ponjong sangat ideal untuk pengenalan kegiatan
penelusuran goa. Dengan model pemanfaatan seperti ini fungsi ekologis dan hidrologis
kawasan karst akan tetap terjaga namun kesejarteraan masyarakat sekitar juga tetap terjamin.
Jenis-jenis ekowisata goa dan kawasan air bawah tanah di ekosistem karst yang terkenal di
Yogyakarta adalah obyek wisata Goa Pindul dan Gunung Api Purba. Konsep pemanfaatan
untuk kedua kawasan ini bisa dikatakan cukup ideal karena pengelolaan dilakukan dengan
25
bukan merupakan kawasan karst yang memiliki sumber daya alam khusus
tidak memiliki masalah lingkungan sehingga tidak menimbulkan permasalahan ketika nanti
di rehabilitasi.
Berdasarkan ketentuan tersebut konsep zonasi yang dapat dikembangkan di kawasan ekosistem
karst kabupaten Gunungkidul Yogyakarta yaitu:
26
Kawasan inti, merupakan kawasan yang memiliki sebagian besar sumberdaya alam khusus
dan unik. Memiliki ketebalan karst lebih dari 600 meter.
Kawasan pemanfaatan intensif, merupakan kawasan yang memiliki ketebalan karst yang
lebih rendah dibandingkan kawasan inti. Pada kawasan ini biasanya dapat dikembangkan
sebagai kawasan pemanfaatan untuk kegiatan pertambangan.
Kawasan penyangga, merupakan kawasan yang digunakan untuk menyangga agar kawasan
pemanfaatan dan tekanan dari masyarakat untuk kawasan inti bisa diminimalisir. Kawasan
ini sangat baik untuk pemanfaatan ekowisata. Aktivitas lain yang bisa dikembangkan pada
kawasan ini seperti perikanan, pertanian, dan pengairan.
Konsep ini dapat dijadikan alternatif konsep pemanfaatan ideal pada kawasan ekosistem karst.
Dibandingkan konsep ekowisata, keuntungan ekonomi yang diperoleh dari konsep zonasi ini
jauh lebih besar dan kepentingan semua stakeholder dapat terakomodasi dengan baik. Hanya
saja untuk menerapkan konsep zonasi ini memerlukan sistem koordinasi yang kuat dan
kawasan yang cukup luas, sementara permasalahan utama ekosistem karst ataupun kawasan
perlindungan di Indonesia adalah luasan yang terfragmen sehingga satu kawasan perlindungan
ataupun ekosistem hanya memiliki luas yang terbatas, padahal sejatinya ekosistem tidak bisa
dibatasi oleh luas.
27
DAFTAR PUSTAKA
Acworth RI. 2001. Electrical methods in groundwater studies [Short Course Note]. Sydney
(AU): School of Civil and Environmental Engineering, University of New South Wales.
Adji TN, Haryono E, Suprojo SW. 1999. Kawasan karst dan prospek pengembangannya di
Indonesia. Prosiding Seminar PIT IGI; 1999 Oktober 26-27; Jakarta, Indonesia. Jakarta
(ID): Universitas Indonesia.
Adji TN, Nurjani. 1999. Optimasi air tanah karst sebagai pemasok air domestik pada kawasan
kritis air di gunung kidul. Laporan Penelitian MAK 5250. LP UGM. Yogyakarta.
Adji TN, Suyono. 2004. Bahan Ajar Hidrologi Dasar. Fakultas Geografi UGM (tidak
dipublikasikan).
Bogli. 1980. Karst Hydrology and Physical Speleology. Springler-Verlag.
BPLHD
JABAR.
(2009).
Penyelamatan
kawasan
karst
citatah.
[online].
http://www.bplhdjabar.go.id/index.php/bidang-konservasi/subid-konservasi-danpemulihan/141-penyelamatan-kawasan-karst-citatah?showall=1.
Domenico PA, Schwartz FW. 1990. Physical and Chemical Hydrogeology. 2ndEd. John Wiley
& Sons.
Fathoni MA, Priadmodjo A, Rohmah FN. 2012. Karst zoning as the solution of conflict
betweeen karst conservation effort and mining activity in Gunungkidul karst area,
Yogyakarta, Indonesia. ICIRD. hlm 1-11.
Fetter CW. 1994. Applied Hydrogeology. 3rd Ed. New York (US): Macmillan Publishing
Company.
Ford D, Williams P. 1992. Karst Geomorphology and Hydrology. London (GB): Chapman
and Hall.
Gunawan A. 2011. Analisis masalah implementasi kebijakan daerah tentang konservasi
kawasan goa pawon karst citatah kabupaten bandung barat. Departemen KSHE Fahutan.
IPB
Guntarto. 2003. Arahan geologi lingkungan untuk tata guna lahan kawasan karst daerah
Gunung Kidul, DIY. Buletin Geologi Tata Lingkungan.13 (2): 101-109
28
Handayani I, dkk. 2010. Kontribusi air karst terhadap kehidupan masyarakat di sekitar Taman
Nasional Manupeu Tanah Daru. Departemen KSHE Fahutan. IPB.
Haryono E. 2002. Laporan akhir zonasi kawasan karst kabupaten wonogiri (Final Report of
Karst Zoning in Wonogiri Regency). Wonogiri
Haryono E. 2009. Geomorfologi dan hidrologi karst. Yogyakarta; Kelompok Studi Karst
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Hidayat N. 2002. Analisis pengelolaan kawasan eksokarst gunungkidul sebagai kawasan
geowisata [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 1997.
Guidelines for Caves and Karst Protection. Swiss (SE): IUCN and The World
Conservation Union.
Jankowski J. 2001. Hydrogeochemistry [Short Course Note]. Sydney (AU): School of
Geology, University Of New South Wales, Sydney, Australia (tidak dipublikasikan).
Kementerian Lingkungan Hidup. 1999. Kawasan Karst di Indonesia. Jakarta (ID).
Linsley RK, Kohler MA, Paulhus JL. 1975. Hydrology for Engineers. 2nd. Ed. Tokyo (JP):
Mc Graw Hill Kogakusha Ltd.
Loke HM. 2000. Electrical imaging surveys for environmental and engineering studies, a
practical guide to 2-D and 3-D Surveys, http://www.abem.se.
MacDonalds and Partners. 1984. Greater Yogyakarta Groundwater resources study [main
report].Yogyakarta: Directorate General of Water Resources Development Project
(P2AT).
Maulana YC. 2011. Pengelolaan berkelanjutan kawasan karst Citatah Rajamandala. Region.
3 (2): 1-14
Parwita AI. 2010. Potensi dan pengembangan museum kawasan karst sebagai daya tarik wisata
di kabupaten wonogiri [tugas akhir diploma]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.
Rahardjo AT. 2008. Perbukitan karst Rajamandala: Potensi dan permasalahannya. Di dalam:
Adji TN, editor. Indonesian scientific karst forum; 2008 Agustus 19-20; Yogyakarta,
Indonesia. Yogyakarta (ID): Goenoeng Sewoe Karst Forum. hlm 8.
29
Rahmadi C. 2007. Ekosistem karst dan goa: Gudangnya keanekaragaman hayati yang unik.
Pelatihan Kader Lingkungan diselenggarakan oleh KAPEDAL Gunung Kidul,
Wonosari.[internet].[Waktu dan tempat tidak diketahui]. [Diunduh 2014 Maret 23].
Dapat dilihat di : http///cavernicoles.files.wordpress.com/2008/02/kh-karst-gunungkidul.pdf
Risna RA, Syaid TM. 2010. Kajian potensi ekologis dan isu-isu strategis ekosistem karst Cagar
Alam Pulau Sempu, Jawa Timur. Prosisding Symposium Pengelolaan Pesisir Laut dan
Pulau-Pulau Kecil : Kontribusi Iptek dalam pengelolaan Sumberdaya Laut, Pesisir, dan
pulau-pulau kecil. 2: 53-57.
Ross D. 1970. Introduction to Oceanography. New York: Meredith Corporation.
Sander P.1996. Groundwater assessment using remote sensing and gis in a rural groundwater
project in Ghana : Lesson Learned. Hydrogeology Journal. 4(3).
Subchan M. 2008. Kajian keberadaan penambangan marmer di karst hutan lindung
bulusaraung (studi kasus di kelurahan leang-leang kec. bantimurung kab. maros prop
sulsel). Departemen KSHE Fahutan. IPB
Sunarto B, Samodra H. 1999. Hidrologi kawasan karst: Studi kasus daerah Gunung Sewu
Bagian Tengah, Kumpulan Makalah Lokakarya Kawasan Karst 29-30 September 1999.
Sunkar A. 2009. Sustainability in karst resource management: the case of the Gunung Sewu in
Java [desertasi]. Auckland: School of Geography, geology and Environmental Science,
The University of Auckland.
Surahman AF. 2011. Identifikasi masalah dan strategi konservasi kawasan Goa Pawon,
kawasan karst Citatah, kabupaten Bandung Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Sweeting MM. 1972. Karst Landforms. London (GB): Macmillan.
Todd DK. 1980. Groundwater Hydrology. 2ndEd. John Wiley & Sons
Trudgil S. 1985. Limestone Geomorphology. New York (US): Longman.
Vermeulen J, Whitten T. 1999. Biodiveristy and Cultural Property in the Management of
Limestone. Washington, D. C (US): The World Bank.
30
31