Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.1.1 Perkembangan Kebutuhan Apartemen
Jakarta sebagai ibukota Indonesia menjadi pusat perkembangan kota

metropolitan yang pesat. Jumlah penduduk Jakarta yang semakin bertambah dari

waktu ke waktu sudah mencapai titik 9 jutaan jiwa (sensus 2010, BPS Provinsi DKI

Jakarta). Perkembangan Kota Jakarta berdampak luar biasa pada meningkatnya

jumlah pelaju atau commuters dari kota dan kabupaten sekitar ke kota Jakarta secara

ulang alik. Memang belum ada kajian empiris yang memperkirakan jumlah pelaju

secara pasti, tapi taksiran yang dibuat oleh Japan International Cooperation Agency

tahun 2002 saja jumlahnya telah mencapai lebih dari 3 juta orang per hari. Ini terdiri

dari 1,10 juta dari Tangerang, 1 juta dari Bogor, serta 1,14 juta dari Bekasi. Belum

termasuk pelaju dari wilayah yang lebih jauh lagi, seperti Cianjur, Sukabumi, Serang,

dan Rangkasbitung. Bila diasumsikan jumlah pelaju saat ini berada di sekitar angka 3

juta, sebenarnya jumlah nyata penduduk Kota Jakarta pada siang hari telah mencapai

12,6 juta jiwa, yang tentu saja memperberat tingkat pelayanan infrastruktur dan

fasilitas umum di Kota Jakarta.


Fokus terhadap daerah Jakarta Utara, rata rata persentase penduduk di

Jakarta Utara relatif menigkat dari tahun ke tahun dengan penigkatan sebagai berikut:

tahun 2000 sebanyak 1,179,756 jiwa, tahun 2001 sebanyak 1,192,009 jiwa, tahun

2002 sebanyak 1,179,026 jiwa, tahun 2003 sebanyak 1,176,355 jiwa, tahun 2005 -

2006 sebanyak 1,446,728 jiwa, tahun 2007 sebanyak 1,200,958 jiwa, tahun 2008

sebanyak 1,422,838, tahun 2010 sebanyak 1,422,311 jiwa, dan tahun 2011 sebanyak

1,716,345 jiwa (Jakarta Dalam Angka Jakarta in Figures, BPS Provinsi DKI Jakarta

2000, 2002, 2003, 2005-2006, 2007, 2008, 2010, 2011, 2012).

Tabel 1.1 Tabel Grafik Data


1 Kependudukan Jakarta Utara
2

Sumber Dokumentasi Pribadi, 2013


Melihat dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan penduduk

didaerah Jakarta Utara semakin meningkat per tahunnya. Menurut Yasmin (2010),

Semakin tinggi kepadatan suatu kawasan akan membebani daya dukung lingkungan.

Hal ini dapat dilihat dari perubahan hunian horizontal kearah vertikal. Peningkatan

penduduk Jakarta Utara tidak didukung dengan ketersediaan lahan yang ada sehingga

penanggulangan kepadatan penduduk dan lingkungan terbangun dengan

pembangunan hunian vertikal adalah salah satu pilihan yang harus diambil.
Selama ini kawasan Selatan dan Pusat (CBD) Jakarta menjadi lokasi favorit

pengembangan apartemen di Jakarta. Namun diperkirakan pada tahun 2013 akan

terjadi perubahan tren ke arah Utara (www.finance.detik.com). Sementara ini

terdapat 28 apartemen dengan 128 tower di daerah Jakarta Utara antara lainnya

adalah The Summit Apartemen, Paladian Park, Apartemen Mediteranian Marina,

Apartemen Mediteranian Kelapa Gading, Gading Nias Residences, Summerville

Apartemen, Kelapa Gading Square, Wisma Gading Permai, Pluit Sea View, Green

Bay Pluit, Aston Pluit, dan lainnya. Berdasarkan hasil sensus 2010 oleh BPS

terhadap 85 persen peghuni apartemen Jakarta Utara, Apartemen Gading

Mediteranian Residence terdiri dari 815 rumah tangga dengan rincian, 880 laki-laki

dan 1,130 jiwa. Apartemen Mall of Indonesia terdata 852 rumah tangga yang terdiri
3

dari 933 laki-laki, 1,031 perempuan dan berjumlah 1,964 jiwa. Apartemen Laguna

terdata 1,020 rumah tangga dengan rincian 1,176 laki-laki dan 1,411 perempuan dan

berjumlah 2,587 jiwa. Sedangkan secara keseluruhan, penghuni apartemen Jakarta

Utara berada di angka 17,262 jiwa. Untuk tuna wisma berjumlah 558 jiwa, awak

kapal berbendera Indonesia berjumlah 709 jiwa, dan untuk penghuni non ketiga

kategori diatas berkisar 1.5 juta jiwa.


Hasil survey Bank Indonesia, kawasan utara Jakarta diperkirakan tahun 2013

akan terjadi peningkatan permintaan apartemen hingga 10% dibandingkan tahun ini.

Hal ini menunjukan masih kurangnnya jumlah unit apartemen di Jakarta Utara dalam

memenuhi kebutuhan hunian didaerah tersebut. Menurut CEO Binakarya Propertindo

Group (BPG) Go Hengky Setiawan, permintaan apartemen di wilayah Utara Jakarta

masih akan terus tumbuh. Jakarta Utara saat ini telah berubah menjadi kawasan elit

yang didukung oleh kemudahan akses karena dekat dengan akses tol bandara

maupun tol dalam kota dan lingkar luar. Jakarta Utara makin mudah

aksesibilitasnya. Selain jalan tol, transportasi umum seperti busway juga telah efektif

menjangkau kawasan ini. Bank Indonesia juga mencatat pasokan apartemen berada

di Jakarta Selatan 27%, CBD 20%, Jakarta Timur terkecil 4%, sementara sisanya

49% secara dominan berada di Jakarta Utara dan Barat. Sampai akhir kuartal ketiga

2012, pasokan apartemen existing di Jakarta Utara mengambil porsi 20,3% dari

keseluruhan Jakarta Raya yakni berada di urutan ketiga. Adapun tuas pengungkit lain

yang mempengaruhi pertambahan pembagunan apartemen di Jakarta Utara selain

dari pada pertambahan jumlah penduduk adalah pembangunan Mal Pantai Indah

Kapuk yang direncanakan selesai tahun 2013, pembangunan jalan simpang

susun (interchange) ke jalan tol yang akan segera selesai, pembangunan sejumlah

gedung perkantoran (antara lain milik Grup Salim) dan pembangunan hotel
4

berbintang. Survei Bank Indonesia menjelaskan bahwa kecepatan penjualan hunian

sekunder tertinggi di kuartal ketiga tahun 2012, didapat oleh kawasan Jakarta Utara.
Kepadatan kawasan dapat mempengaruhi pergerakan orang, barang dan

kendaraan pada kawasan dan sekitar kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan

kebutuhan akan dukungan sarana dan prasarana lingkungan dan infrastruktur.

Sehingga semakin tinggi kepadatan suatu kawasan akan membebani data dukung

lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari perubahan hunian horizontal kearah vertikal.

1.1.2 Sejarah Perkembangan Apartemen Di Jakarta


Hunian vertikal mulai dibangun sekitar tahun 50-59an dipengaruhi oleh

maraknya perkembangan terknologi struktur dan bahan seperti beton bertulang.

Sebagai contoh flat jalan Dago 104 adalah perwujudan rancangan arsitek yang

dipengaruhi oleh Le Corbusier (Majalah Arsitektur, 1959). Demikian pula flat Deplu

Jakarta, adalah wujud mencari sesuat yang baru (Majalah Arsitektur, 1959).
Krisi berpolitikan di Indonesia terjadi saat pergantian pemerintahan dan

peristiwa G30S merupakan pengaruh kevakuman pembangunan hunian vertikal.

Undang undang pokok Agraria dengan kebijakan public landreform serta

perlawanan petani merjinal dan PKI turut mempengaruhi perkembangan

pembangunan yang terjadi dalam tahun 60 69an. Kevakuman pembangunan

tersebut tidak hanya pada pembangunan perumahan vertikal menengah bawah, tetapi

juga pada pembangunan perumahan vertikal menengah atas.


Tahun 70-79an, merupakan masa jaya pembangunan dengan kebijakan

publik, namun terjadi kombinasi dengan kebijakan yang sangat bersifat top-down dan

praktek kapitalisme terselubung melalui program-program peremajaan kota. Pada

rentang tahun ini, banyak proyek pembangunan perumahan vertical yang

dilakasanakan atas dasar praktek kapitalisme dan eksperimental para ilmuan.

Terdapat banyak pengaruh kental dan peran dari para ilmuan dalam uji coba

pembangunan. Pembangunan perumahan vertikal dengan desain elemen bangunan


5

pre-fabrikasi merupakan desakan dari para inovator dalam ilmu bangunan. Peran

DPMB (Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan) berkerjasama dengan Perum

PERUMNAS yang aktif memperkenalkan sekaligus membuat uji coba pembangunan

dengan cara pre-fabrikasi dan pracetak aktif dilakukan pada tahun 70an. Bangunan

baru mulai menggunakan bahan alternatif, seperti fero-semen, partisi asbes-semen,

partisi dari marang/jerami dan kulit kacang, bamboo-semen, dan lainnya marak di

kerjakan. Sebagai contoh flat Sarijadi Bandung dibangun dengan sistem pracetak

dengan teknologi dari Inggris (Yudohusodo, 1991). Hal itulah yang menyebabkan

rancangan bentuknya seperti yang dapat kita lihat sekarang. Percobaan-percobaan

tersebut dimungkinkan, sekali lagi karena kondisi ekonomi dan perhatian pemerintah

terhadap hal itu sangat memadai.


Kebijakan sebelumnya dilanjutkan pada rentang tahun 80-90an yakni

kebijakan populis dengan kombinasi kebijakan kapitalis. Contohnya dalah

pembangunan Rusun Kemayoran 7. Rusun ini merupakan refleksi bagaimana

kuatnya kekuasaan pemerintah dalam mengambil kawasan eks Bandara Kemayoran

(dan beberapa kawasan startegis lainnya) dengan mudah. Dalam perkembangannya

sekarang, perumahan seperti yang ada di Kemayoran, Kebon Kacang, yang semula

dipublikasikan sebagai perumahan untuk kalangan menengah bawah, kini mengalami

gentrifikasi yaitu terjadinya pergeseran penghuni dari kalangan menengah bawah,

sekarang berganti dengan kalangan menengah atas melalui cara jual beli. Akibatnya

kebijakan publik yang awalnya dipahami sebagai kebijakan populis dianggap luput

sasaran. Hal itu juga merupakan praktek kekuasaan dan kekuatan pasar pada skala

perorangan (Yasmin, 2010 : 72).


Hunian vertikal yang menggunakan bahan bangunan sistem pracetak dan pre-

fabrikasi mulai dikurangi pada rentang tahun 90-99an sebagai contohnya,


6

Cengkareng Indah, yang menggunakan wafer-create; Bendungan Hilir menggunakan

komponen block unit hunian dengan komponen beton pracetak.


Terjadi Oil Booming pada tahun 1990 dimana perusahaan perngambang mulai

berkembang pesat dan menyebar. Pengembang pada waktu ini didukung oleh

kebijakan politik dan kebijakan yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada

pendiri perusahaan perbankan, sehingga dengan modal yang tidak terlampau

besarpun dapat mendirikan bank dan dapat melakukan transaksi kredit pemilikan

rumah. Rentang masa ini sampai tahun 96an merupakan masa booming

pembangunan apartemen. Hal itu memberikan andil besar pula dalam keterpurukan

ekonomi sehingga puncaknya terjadi di tahun 97-98an. Krisis ekonomi dan politik

yang melanda Indonesia ketika itu langsung membuat anjlok bisnis properti.

1.1.3 Permasalahan Perancangan Apartemen


Perkembangan pembangunan apartemen yang semakin lama semakin tinggi

memerlukan perhatian lebih terutama mengenai permasalahan kecepatan angin dari

segi gaya tekan terhadap bangunan maupun dari sisi kenyamanan dan keamanan

penghuni akibat kecepatan angin dalam unit. Menurut J. A. Amin (2010 : 2)

bangunan tinggi sangatlah sensitif terhadap pengaruh angin. Perancangan bangunan

tinggi harus dipertimbangkan pada induksi percepatan angin dan pergerakan angin

yang dapat diterima bagi struktur dan kenyamanan manusia. Bangunan tinggi telah di

fokuskan pada pengurangan terhadap induksi angin yang responsif terhadap

modifikasi desain bangunan aerodinamis.


Bangunan tingkat tinggi dapat mengakibatkan kecepatan angin pada level

bawah, dimana dapat mengakibatkan keadaan tidak nyaman maupun kondisi yang

berbahaya. Ketidaknyamanan angin dan bahayanya dapat merugikan kesuksesan dari

sebuah bangunan baru. Hasil laporan Wise (1970) melaporkan bahwa toko-toko di

tinggalkan karena lingkungan yang terlalu berangin yang membuat pembeli enggan

berdatangan untuk berbelanja. Lawson dan Penwarden (1975) melaporkan kematian


7

dua wanita lansia yang diakibatkan oleh kecepatan angin tinggi yang diakibatkan

oleh bangunan tingkat tinggi pada level bawah yang menyebabkan kedua wanita

lansia tersebut jatuh.


Berdasarkan hasil observasi terhadap 4 unit apartemen di Jakarta seperti

apartemen Season City Jakarta Barat, apartemen Mediteranian Jakarta Barat,

apartemen Green Bay Pluit, dan apartemen Windsor, rancangan unit apartemen tidak

menggunakan sistem cross ventilation window. Bukaan hanya dibuat pada hadapan

yang sama terhadap bukaan yang lain. Menurut salah seorang penghuni apartemen

Season City di lantai 26, jika pintu unit dibuka sebagai outlet angin, maka angin akan

masuk kedalam unit tetapi kecepatan angin terlalu tinggi hingga dapat mendorong

plafon naik keatas. Kecepatan angin dapat mencapai 4.5 m/s ataupun lebih pada

malam hari berdasarkan pengukuran peneliti tanggal 29 maret 2013.


Menurut (Frick, 2006 : 51), kecepatan angin yang paling nyaman adalah

berkisar 0.25 1.5 m/s. Pentingnnya cross ventilasi dalam unit apartemen

dikarenakan pada umumnya kenyamanan di dalam bangunan diperoleh melalui

ventilasi alami yang merupakan bukaan/lobang untuk memasukkan aliran angin ke

dalam bangunan sebagai pendingin ruang yang menyebabkan penghuni rumah

merasakan kenyamanan (Manley, 2009; Mangun wijaya, 1997; dan Sangkertadi,

1998). Kenyamanan kemudian mengacu pada kesehatan penghuni dimana menurut

Sumardjito (2009) bahwa kesegaran akan banyak menyangkut masalah terpenuhinya

kebutuhan udara sehat dan bersih bagi penghuni ruang, meliputi kelancaran sirkulasi,

kuantitas maupun kualitas udara yang ada. Untuk menciptakan kondisi sehat yang

nantinya akan mempengaruhi kualitas hidup penghuni, penghawaan alami perlu

diperhatikan pengalirannya yang perlahan-lahan namun terjadi secara kontinyu, agar

udara didalam ruangan selalu diganti dengan udara yang bersih, sehat, dan segar.

Pergantian udara dikatakan baik apabila udara didalam ruangan dapat selalu berganti
8

sebanyak 15 m3/orang/jam, semakin kecil ukuran ruang, maka frekuensi pergantian

udara harus semakin sering.


Menurut Appendices Greenship Home yang diterbitkan oleh Green Building

Council Indonesia (GBCI) bersama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) (2011 :

15), syarat terjadinya pertukaran udara dalam ruangan adalah dengan adanya

ventilasi silang dengan penyediaan bukaan untuk inlet dan outlet dengan hadapaan

bukaan berbeda dan jarak tidak melebihi 12 meter. Ukuran bukaan yang baik adalah

5% dari luas ruangan regular dengan perhitungan total luas ruangan regular yang

berventilasi silang dibagi dengan total luas ruangan regular dan dikalikan dengan

100.
Ruangan regular adalah ruangan yang terdapat aktivitas penghuni sedangkan

ruangan tidak termasuk kedalam ruangan regular adalah kamar mandi, toilet, dapur,

gudang dan tempat parkir. Walaupun demikian, ruang tidak regular seperti toilet dan

dapur perlu menggunakan ventilasi mekanis antara lain berupa exhaust fan karena

laju udara ventilasi alami tidak cukup mengurangi polusi udara yang dihasilka dalam

ruangan tersebut.
Pada kenyataannya sampai saat ini banyak penghuni bangunan belum

menyadari pentingnya bukaan luasan ventilasi/jendela untuk membiarkan angin dari

luar bangunan agar dapat masuk kedalam bangunan dan mengenai tubuh pemakai

agar tercapai kenyamanan yang disyaratkan untuk kondisi lingkungan iklim tropis

lembab (Kussoy, 2011 : 1). Faktor kecepatan dan arah aliran angin didalam bangunan

serta kondisi fisik tubuh pemakai ruang sangat menunjang tercapainya kondisi

nyaman tersebut (Kussoy, 1998; Sangkertadi, 2009).

1.1.4 Konsep Arsitektur Adaptif pada Bangunan


Kontradiksi yang terjadi antara fakta lapangan dan teori terutama dilihat dari

permasalahan kecepatan angin menjadi permasalahan yang akan diangkat dalam


9

penelitian ini. Solusi permasalahan dilakukan dengan pendekatan adaptive

architecture.
Menurut Schnadelbach (2010 : 2) , Adaptive Architecture adalah bidang

multi-disiplin yang menaruh perhatian terhadap bangunan yang didesign untuk

beradaptasi atau menyesuaikan kondisi terhadap lingkungan sekitarnya, penghuninya

dan obyeknya berserta bangunan-bangunan yang secara keseluruhan dihasilkan dari

data internal. Dikarenakan oleh kondisi alami dari multi-disiplin, perkembangan

arsitektur, Computer Science, Social Science, Urban Planning, dan seni akan tampak

terpisah. Kondisi adaptif ini dimaksudkan untuk menggabungkan apa yang

diimplemantasikan oleh orang-orang ketika mereka membahas mengenai

fleksibilitas, interaksi, responsive yang didemonstrasikan oleh variasi yang luas dari

publikasi baru-baru ini (Kronenburg, 2007).


Adaptive Architecture memiliki kerangka struktur yang terdiri dari Motivasi

seperti kebudayaan, social, organisasi, dan komunikasi; Reaksi terhadap sesuatu

seperti penghuni, lingkungan, dan object; Elemen dari adaptasi seperti permukaan,

komponen dan modul, sifat ruang, teknikal system; Metode seperti intervensi

manusia, sensor, sistem dan proses, dan aktuasi; Efek terhadap sesuatu seperti

lingkungan berserta arsitektur, permeabilitas, dan efek terhadap penghuni; dan yang

terakhir adalah Strategi Perancangan seperti mobilitas, tingkat resolusi, re-use,

automation, time scales dan fokus penghuni kebebesan (Schnadelbach 2010 : 2).
Definisi umum mengatakan bahwa angin adalah udara yang bergerak

(Szokolay, 1980). Sedangkan udara adalah termasuk dalam kelompok zat gas yang

karena bersifat molekulnya maka udara dapat mengalir. Sehingga udara adalah

termasuk dalam zat alir. Dengan demikian, maka dasar pembahasan teoritis tentang

angin mengacu pada cabang ilu fisika yang berkaitan dengan zat alir yaitu mekanika

fluida. Didalam kontek mekanika fluida terdapat pembahasan khusus mengenai


10

aerodinamika yang secara spesifik membahas perilaku gerak dinamis fluida angin

(Kussoy, 2011 : 1).


Arsitektural desainer yang mengerti terhadap pengaturan pergerakan udara

memiliki kesempatan untuk menciptakan struktur residensial yang responsive

terdapat iklim. Pemakaian prinsip dari pergerakan udara dan teknik yang dapat

mengkontribusi kenyamanan area tinggal sepanjang tahun. Sebagai tambahannya,

kualitas udara dalam residensial akan meningkat dilain pihak energi yang digunakan

dalam bangunan akan berkurang. Singkatnya, kualitas pengaturan pergerakan udara

yang baik dalam residensial akan menigkatkan kualitas hidup struktur residensial itu

sendiri. Prinsip dan teknik pengaturan pergerakan udara terdiri dari Positive Pressure

Areas, Negative Pressure Areas, Inersia, Pressure Differences, Directional Changes,

Optimum Airflow, Maximum Velocity, Opening Location dan lainnya. (Boutet, T.S

1987)

1.2 Isu Permasalahan


Pembangunan hunian landed sekarang ini sudah mulai bergerak kepada

sistem hunian vertikal. Dengan pembangunan hunian gedung tinggi atau Hi Rise

Building, dapat mempengaruhi kecepatan angin disekitar bangunan baik pengaruh

terhadap tekanan pada struktur bangunan maupun percepatan angin pada level

bawah. Data pengukuran angin tanggal 29 Maret 2013 di Season Ciy menunjukan

bahwa terdapat beberapa titik bawah yang dapat mempengaruhi kecepatan angin

hingga 16 m/s. Sedangkan beberapa titik lainnya menunjukan perlambatan angin

dimana akan meningkatkan tekanan angin pada titik perlambatan tersebut dalam

kaitannya terhadap tekanan horizontal struktur bangunan.


Rumah yang dibangun didaerah tropis, semestinya sudah dirancang dengan

cross ventilation system untuk memaksimalkan proses pergantian udara didalam

ruangan. Tetapi dengan pergeseran hunian landed ke hunian vertikal, sistem ini

menjadi tidak aman dan nyaman untuk penghuni hunian vertikal mengingat
11

kecepatan angin yang semakin tinggi berparalel dengan ketinggian bangunan. Untuk

meminialisir efek ini, hunian vertikal rata-rata dirancang dengan one sided open

system dimana bukaan hanya terletak pada salah satu dinding luar unit. Memperkecil

ukuran bukaan bukan menjadi pilihan karena view menjadi nilai jual dari unit

apartemen itu sendiri. Hasil pengukuran pada unit apartemen Season City tanggal 29

Maret menunjukan bahwa kecepatan angin dapat mencapai 4.5 m/s. Unit tidak

mempunyai cross ventilation system sehingga pintu unit harus dibuka untuk

melakukan pengukuran tersebut. Dengan pendekatan tanpa cross ventilation system,

sirkulasi angin didalam ruangan terputus, sehingga penggunaan AC pada keseluruhan

unit apartemen menjadi solusi penggantinya yang berujung pada pemborosan energy

dan perusakan ozon akibat penggunaan Freon.


Dilihat dari perbandingan hasil survey dengan teori, banyak terjadi

kontradiksi terutama dalam permasalahan kecepatan angin terhadap gaya tekan

bangunan, kecepatan angin terhadap kenyamanan bawah dan kecepatan angin

terhadap kenyamanan unit ruangan. Hal inilah yang akan menjadi fokus

permasalahan yang akan diangkat menjadi fokus dalam penelitian ini.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimana merancang massa bangunan yang aerodinamis terhadap kecepatan

serta arah angin pada lokasi dan massa bangunan yang tidak mengakibatkan

percepatan angin yang terlalu tinggi pada level bawah dengan batasan

kecepatan maksimal angin dalam level 3 hingga 4 menurut Beaufort Scale

Number?
Bagaimana merancang unit apartemen yang dapat beradaptasi dengan

kecepatan angin untuk menghindari unit dari under ventilated dan over

ventilated dengan pendekatan Deflector System?


12

1.4 Ruang Lingkup

Laporan ini merupakan penelitian pengaruh angin terhadap massa apartemen,

level bawah apartemen dan unit apartemen.


Kasus yang diangkat dalam penelitian ini adalah perancangan apartemen.
Penekanan penelitan kali ini membahas mengenai permasalahan kecepatan

angin dalam kaitannya terhadap massa bangunan dan kenyaman manusia

yang terkait dengan aliran udara (bukan PMV Predicted Mean Vote).

Pencapaian kenyamanan dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan pada

kecepatan angin dengan pengukurannya menurut Frick dan table Beaufort.

Permasalahan lain di luar penekanan diatas dapat dijadikan sebagai saran

untuk penelitian berikutnya.


Perubahan angin sekitar akibat pengaruh lingkungan (dilihat secara master

plan kawasan) tidak akan dilibatkan dengan alasan hasil simulasi kawasan

yang menunjukan percepatan atau perlambatan yang terjadi signifikan.

Sehingga analisa akan difokuskan pada bangunan tunggal dan unit.


Data kecepatan angin rata-rata pada titik maksimum dan minimum hasil

pengukuran angin apartemen Season City tanggal 29 Maret 2013, di input

kedalam kalkulator Soren Krohn & Danish Wind Industry Association untuk

mengenerasi nilai faktor kecepatan angin pada ketinggian dalam keseluruhan

nilai kekasaran lingkungan. Faktor kecepatan angin pada ketinggian di lokasi

tapak ditetapkan dengan menggunakan hasil generasi faktor kalkulasi tersebut

yang dicocokan dengan kecepatan angin tertinggi pada tapak dari hasil

pengukuran kecepatan angin pada tapak tanggal 2 April 2013.


Season City merupakan sampel random, bukan sampel spesifik. Sampel

Season City digunakan bukan untuk bahasan secara lokasi, melainkan data

dari Season City digunakan dalam hubungannya terhadap peritungan

kekasaran lingkungan.
13

Hasil faktor kecepatan angin pada ketinggian dan hasil data pengkuran

keceptan angin pada tapak tanggal 2 April 2013 akan digunakan sebagai

variable simulasi. Variable lain tidak diikut sertakan dalam simulasi ini dan

dianggap tidak memberikan pengaruh pada hasil simulasi.

1.5 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mencari konsep perancangan sebuah

bangunan apartemen yang memiliki kemapuan beradaptasi terhadap

kecepatan angin dan sistem deflector yang menjadi sistem pembelok dan

pengatur kecepatan angin dalam unit apartemen.


Tujuan dari penelitian ini adalah
o Merancang massa bangunan yang aerodinamis terhadap kecepatan

serta arah angin pada lokasi dan massa bangunan yang tidak

mengakibatkan percepatan angin yang terlalu tinggi pada level bawah

dengan batasan kecepatan maksimal angin dalam level 3 hingga 4

menurut Beaufort Scale Number?


o Merancang unit apartemen yang dapat beradaptasi dengan kecepatan

angin untuk menghindari unit dari under ventilated dan over

ventilated dengan pendekatan Deflector System?

1.6 Tinjauan Pustaka


Pembelajaran penelitian diambil dari sirkulasi udara bangunan tingkat tinggi

dimana permasalahan yang terjadi berupa perbedaan kualitas ventilasi dilantai bawah

dan lantai atas bangunan berkaitan dengan perubahan pergerakan angin.

Pembelajaran kondisi agin dengan CFD pada level bawah dengan persamaan RANS

dan Model K-E digunakan untuk meyediakan bagian dari informasi aerodinamik

dengan simulasi sistem grid dan validasi pengukuran lapangan pada paper 4.
14

Penelitian paper 1 menunjukan unit pada lantai bawah mendapatkan ventilasi

yang cukup pada saat siang hari sedangkan unit yang lebih tinggi tidak mendapatkan

ventilasi sama sekali. Unit yang menghadap kearah angin akan menjadi over

ventilated dan unit yang sebaliknya tidak mendapatkan udara segar. Memanfaatkan

peluag ventilasi alami dapat menigkatkan kenyamanan termis dalam ruang tapa

menggunakan perangkat mekanis seperti AC ataupun kipas angin. Selain dari pada

hadapan bukaan terhadap angin, pengaturan angin dilakukan dengan pengukuran

koefisien bukaan (Coefficient Discharge) terhadap dinding bangunan dengan

menggunakan system simulasi numeric berdasarkan persamaan konversi massa dan

momentum yang berbasis persamaan Navier Strokes seperti dalam paper 2.


Secara keseluruhan bangunan pada wilayah sub-urban yang tidak memiliki

orientasi tegak lurus terhadap aliran angin masih dapat memenuhi persyaratan

pergantian udara. Hasil ditunjukan dalam paper 3 dengan simulasi AIOLOS

berdasarkan input data iklim setempat. Penunjukan hubungan antara penelitian paper

2 dan 3 menunjukan kesamaan pengaturan udara melalui luasan bukaan dimana

disimpulkan pada paper 3 menyatakan persyaratan bukaan luasan minimal 50%

luasan lantai.
Fisika Bernoulli pada paper 5 menggunakan persamaan kecepatan angin yang

berpengaruh terhadap tekanan dalam penelitian luasan ventilasi untuk memberikan

celah bagi angin agar dapat masuk kedalam ruangan demi tercapainya kenyamanan

yang di syaratkan.

Anda mungkin juga menyukai