Anda di halaman 1dari 112

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan Belanda (sejak 1906) membagi kota menjadi daerah bebouwde kom
(area terencana) dan niet-bebouwde kom (area yang tidak direncanakan) dinilai
mendorong terjadinya pembatasan secara spasial sekaligus memberikan hak
otonomi kepada kampung hingga pada batas-batas tertentu. Pertumbuhan bagian-
bagian kota yang secara spasial memiliki kedudukan ―khusus‖ kembali terjadi
pula pada periode ekspansi kota oleh Belanda. Pada periode ini, terbentuk
struktur kota yang secara morfologis masih terlihat sampai sekarang, yaitu
tipologi ―Pembangunan Blok‖: kelompok Belanda membangun sepanjang jalan
yang mengitari blok, dan penduduk asli membangun di bagian dalam blok yang
sama dan dihubungkan ke jalan rata dengan jalan sempit yang disebut gang1.

Seiring dengan perkembangan kota, Peta Tata Ruang 1965-1985 menjadi dasar
nyata bahwa keadaan tata ruang kota Jakarta memang menyisakan kantong-
kantong perkampungan (niet-bebouwde kom) diantara tipologi pembangunan
blok dan pengembangan baru. Kantong kampung-kampung diantara pola jalan-
jalan utama membuat pola khusus dalam struktur spasial kota Jakarta. Hal
tersebut dapat dilihat secara nyata ketika studi Krausse (1975) tentang lokasi
kampung-kampung yang ada di Jakarta disandingkan dengan layer baru berupa
pola jalan Jakarta saat ini yang merupakan hasil pengembangan Tata Ruang
1965-1985 yang dilakukan oleh Silver (2008), lihat Gambar 1.1.

Dengan perkembangan kota Jakarta yang kini menjadikan perananannya sebagai


pusat bisnis dan perdagangan, muncullah pengembangan skala besar seperti
komersial pada sepanjang jalan utama yang bersisian dengan kantong
perkampungan tersebut. Tumbuhnya pusat bisnis dan komersial menyebabkan

1
Santoso, Jo. Kota Tanpa Warga. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), 155

1
meningkatnya kebutuhan akan tenaga kerja. Hal ini juga mengakibatkan
bertambahnya jumlah orang dari kampung-kampung di dalam kota maupun dari
daerah sekitar kota, yang berusaha untuk tinggal sedekat mungkin dengan tempat
kerja mereka. 2 Untuk para pendatang, perkampungan di area niet-bebouwde kom
merupakan tempat yang ideal karena pendatang masih dapat menemukan kembali
sebagian identitas rural mereka. Bagi penduduk kampung yang lama, kedatangan
para pendatang membuka peluang usaha, berupa penyewaan dan penjualan
rumah atau tanah, penjualan berbagai jenis jasa, serta aktivitas ekonomi informal
yang menunjang kebutuhan pendatang maupun komersial yang ada disekitarnya.
Fungsi ini masih diperankan oleh kampung-kampung di kota-kota di Indonesia
termasuk Jakarta sampai sekarang. Pada saat ini Jakarta setiap tahunnya masih
menerima sekitar 60-70.000 pendatang yang tersebar di kampung-kampung di
seluruh kota3.

Gambar 1.1. Pemetaan Kampung di Jakarta Tahun 1975


Sumber: Silver (2008)

2
Ibid, 154
3
Jo Santoso, Miya Irawati. Pengembangan Urban Metropolitan Jakarta: Transformasi dan
Adaptasi. (Jakarta: Pusat Studi Metropolitan-Urban Lab, 2015), xvii

2
Dengan kondisi kampung yang bersisian dengan komersial baru dan potensi
penduduk pendatang yang membutuhkan tempat tinggal yang dekat dengan
tempat kerja, maka membawa konsekuensi timbulnya berbagai model
pengembangan skala ―mikro‖. Hal ini terjadi oleh karena adanya upaya
penyesuaian diri demi bisa tetap bertahan di dalam kota. Dalam
perkembangannya kini, dapat diamati bahwa kampung akan terus berusaha
―menyesuaikan diri‖ (beradaptasi) demi bisa tetap bertahan di dalam kota yang di
sisi yang lain memiliki kepentingan agar kawasan komersial juga terus
berkembang. Sehingga menurut Jo Santoso (2009) dengan mengutip Simone,
proses adaptasi tersebut sebetulnya dilakukan ―tidak hanya sekedar untuk
bertahan‖4.

Kampung Karet Kuningan merupakan salah satu area yang keberadaannya diapit
oleh berbagai pusat bisnis dan komersial di Jl. Jend. Sudirman dan Jl. Prof. Dr.
Satrio. Pada perimeter kawasan Karet Kuningan berkembang gedung
perkantoran, pusat perbelanjaan, dan mixed use development yang didominasi
oleh pengembang seperti PT. Ciputra Property Tbk (Ciputra World 1-2), PT.
Duta Pertiwi Tbk (ITC Kuningan), PT. Agung Podomoro Land (Kuningan City),
dsb. Adapun pengembangan yang dilakukan oleh pengembang tersebut adalah
berskala besar dengan intensitas bangunan melebihi 100.000 m2, penguasaan
lahan diatas 2 Hektar, dan biaya investasi triliunan rupiah. Sebut saja misalnya
Proyek Ciputra World 1 yang bernilai 14 triliun rupiah, Kuningan City yang
bernilai 6 triliun rupiah. 5 Bila diperhitungkan intensitasnya, maka jumlah
pengembangan perkantoran dan komersial yang terjadi di perimeter Karet
Kuningan tersebut telah mencapai hampir 1.000.000 m2 dalam kurun waktu 10
tahun. Apabila ditinjau dari aktivitas pemanfaatan ruang kota, maka alih fungsi
guna lahan yang terjadi di perimeter Karet Kuningan yang dilakukan oleh
pengembang-pengembang tersebut adalah berskala besar dan bersifat merubah-
mentransformasi kondisi fisik yang ada di Jalan Prof. Dr Satrio.

4
Jo Santoso, Miya Irawati. Pengembangan Urban Metropolitan Jakarta: Transformasi dan
Adaptasi. (Jakarta: Pusat Studi Metropolitan-Urban Lab, 2015), 123.
5
Lo, Benny. Jangan Beli Property Sebelum Baca Buku Ini. (Jakarta: Visimedia, 2012), 21

3
Gambar 1.2. Pengembangan Skala Besar di Perimeter Karet Kuningan (Jl.Prof. Dr. Satrio)
Sumber: Hasil Survey Penulis, 2016

Namun kondisi kontras terjadi pada lapis kedua kawasan (Kampung Karet
Kuningan) yang terletak bersisian dengan pengembangan besar tersebut dan
merupakan area permukiman serta kantong perkampungan yang didominasi oleh
lot lahan 40 m2 hingga 1500m2. Berdasarkan hasil riset kecil yang dilakukan oleh
penulis pada tahap awal penelitian, terdapat suatu fenomena menarik yang
terjadi. Perubahan secara besar-besaran yang terjadi pada perimeter Kampung
Karet Kuningan khususnya di jalan utama Prof. Dr. Satrio dan Jalan Jend.
Sudirman terlihat seperti memberi tekanan pada layer kedua hingga melahirkan
upaya adaptasi yang tujuannya tidak lagi hanya sekedar bertahan, melainkan
sudah terkait dengan upaya membuka peluang usaha, khususnya hunian sewa-
rumah kos. Berdasarkan informasi dari catatan Kelurahan Karet Kuningan,
jumlah kamar kos di Kelurahan Karet Kuningan adalah sekitar 3263 kamar,
dengan variasi harga sewa dibawah 1 Juta hingga lebih dari 6 juta Rupiah.

Ragam usaha berupa penyewaan kamar kos yang dilakukan oleh penduduk Karet
Kuningan itupun terlihat sangat bervariasi bila ditinjau dari jenis dan
segmentasinya (kelas menengah bawah hingga menengah atas). Menurut salah
satu pelaku usaha rumah kos di Karet Kuningan, inisiatif ini disinyalir oleh
karena adanya hasrat untuk menangkap peluang dan mendapatkan manfaat dari
pengembangan komersial yang terjadi di perimeter kawasan Karet Kuningan. 6

6
Wanlie, wawancara dengan penulis, rekaman kaset. Jakarta 11 Maret 2016

4
Jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada perimeter kawasan, maka
aktivitas yang terjadi pada layer kedua adalah sebuah upaya pengembangan
berskala ―mikro‖ (jika dibandingkan dengan besarnya investasi dan pemanfaatan
lahan) yang merubah fungsi dan fisik ruang lokal.

Gambar 1.3. Pengembangan Skala Kecil “Mikro” di


Layer Kedua Kawasan Karet Kuningan
Sumber: Hasil Survey Penulis, 2016.

Keberhasilan penduduk yang satu terkait proses adaptasi dengan tujuan yang
demikian secara tidak langsung mendorong penduduk yang lainnya untuk juga
melakukan adaptasi yang diduga sudah mengarah pada kepentingan bisnis.
Sehingga hal ini menimbulkan adanya sebuah dinamika perubahan terkait proses
adaptasi tersebut yang mengakibatkan area permukiman Karet Kuningan menjadi
lebih padat, lebih heterogen, dan secara struktur sosial ekonomi menjadi lebih
berkembang. Secara umum fenomena tersebut ditinjau dari berbagai aspek
dalam satu kelompok penelitian. Namun secara khusus studi yang dilakukan oleh
penulis dalam tesis ini dibatasi kepada upaya identifikasi tentang bagaimana
dinamika perubahan itu terjadi, apa saja yang menjadi faktor pendorongnya, dan
bagaimana sekiranya pengaruh perubahan terhadap konteks lingkungan.

1.2. Pertanyaan Penelitian


Adapun pertanyaan terkait dengan penelitian ini adalah:
• Bagaimana dinamika perubahan fungsi dan fisik yang terjadi di Kampung
Karet Kuningan?

5
• Hal-hal apa sajakah yang menjadi faktor pendorong terjadinya perubahan di
Kampung Karet Kuningan?

1.3. Tujuan dan Sasaran Penelitian (Goals dan Objectives)


Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendapat gambaran/
teridentifikasinya dinamika perubahan, tendensi perubahan, beserta faktor yang
mendorong terjadinya perubahan di Kampung Karet Kuningan. Adapun sasaran
yang dilakukan guna mencapai tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan karakteristik Kawasan Karet Kuningan sebelum terjadi
perubahan.
2. Mendeskripsikan dan mengkategorisasi berbagai perubahan fungsi dan
fisik yang terjadi di Kawasan Karet Kuningan.
3. Mengidentifikasi kondisi-kondisi yang mendorong terjadinya perubahan.
4. Mengidentifikasi pengaruh perubahan fungsi yang terjadi terhadap
karakteristik umum kawasan.

1.4. Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan maupun
pertimbangan baik secara langsung maupun tidak langsung bagi para peneliti
berikutnya yang tertarik dengan masalah pertumbuhan dan perkembangan yang
terjadi pada kampung permukiman di pusat kota, khususnya yang berdekatan
dengan pusat kegiatan bisnis dan komersial.

1.5. Batasan Penelitian


Fokus penelitian ini dibatasi pada beberapa hal sebagai berikut:
Lingkup lokasi studi adalah layer kedua di Kawasan Karet Kuningan (RW
01 dan RW 06 Kelurahan Karet Kuningan) dengan cakupan area yang
dibatasi oleh jalan kolektor Jl. Karet Pendurenan dan Jl. Karet Belakang.
Lingkup bahasan substansi: mengamati perubahan fungsi lahan menjadi
hunian sewa (rumah kos) yang diduga muncul dominan dan radikal.

6
1.6. Kerangka Penelitian

Latar Belakang:
Berkembangnya proses adaptasi di Kampung Karet Kuningan menyebabkan timbulnya sebuah dinamika yang
mengakibatkan area permukiman secara fisik menjadi lebih padat, secara fungsi lebih heterogen, dan secara
struktur sosial dan ekonomi menjadi lebih berkembang.

Pertanyaan Penelitian (Research Questions):


Bagaimana perubahan fungsi dan fisik itu terjadi dan apa yang menjadi faktor pendorongnya?

Tujuan Penelitian (Goals):


Teridentifikasinya dinamika perubahan (terkait tren) yang terjadi di Kampung Karet Kuningan dan faktor-faktor
yang mendorongnya.

Sasaran Penelitian (Objectives):

Teori Pendukung:

Mencari indikator-indikator penilaian


 Konsep transformasi dan adaptasi ruang kota
 Urban Growth (neighborhood change) = menjelaskan
perubahan lingkungan permukiman dan kemungkinan
faktor yang mendorong perubahan Menentukan parameter analisis u/
 Teori ruang sebagai komoditas panduan penyusunan wawancara,
 Incremental Development pengolahan data dan langkah analisis

Metode Penelitian:
Pendekatan Penelitian: Kualitatif
Research method: Observasi, Wawancara-in depth interview, mapping

Tahap Pengumpulan Data -> Temuan Lapangan


Sejarah dan Peta Kawasan Karet Kuningan
Data Tata Guna Lahan di Karet Kuningan
Data profil usaha dan bauran kegiatan ekonomi di Karet Kuningan
Data perkembangan komersial di sekitar Karet Kuningan
Data mengenai kebijakan pemerintah terkait tata ruang di Karet Kuningan

Analisis (Perubahan & Faktor Pendorong) Metode Analisis


(korelasi antara waktu dengan perubahan
fisik dan fungsi ruang lahan)

Kesimpulan dan Rekomendasi

7
1.7. Sistematika Penulisan
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan dan
sasaran, manfaat, ruang lingkup, dan sistematika penulisan dalam melakukan
penelitian.

BAB II. KAJIAN TEORI


Bab ini membahas mengenai teori-teori yang mendukung proses penelitian

BAB III . METODOLOGI PENELITIAN


Bab ini membahas mengenai cara mendapatkan data primer maupun sekunder,
sekaligus terkait dengan cara analisis-analisis data yang digunakan dalam
melakukan penelitian guna mendapat sintesa/ finding dari penelitian.

BAB IV. TEMUAN LAPANGAN


Bab ini membahas mengenai data-data yang telah didapatkan dari survey
lapangan dan yang akan digunakan untuk tahap analisis.

BAB V. ANALISIS
Bab ini berisi analisis-analisis yang ditinjau berdasarkan data-data dan teori
acuan yang akan menghasilkan sintesa yang menjawab pertanyaan dan tujuan
penelitian.

BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Bab ini berisi kesimpulan dan saran terhadap laporan penelitian secara
keseluruhan.

8
BAB II
KAJIAN TEORI DAN REFERENSI

2.1. Pengembangan Metropolitan Jakarta, Transformasi dan Adaptasi


2.1.1. Transformasi di Kawasan Perkotaan
Urbanisasi telah mengubah morfologi kota secara drastis, baik dilihat dari
struktur, fungsi maupun wajah kotanya. Secara sosio-kultural, fenomena
‖mengkota‖ menandakan terbentuknya network society yang baru dan berbeda
dalam tuntutan pelayanan infrastruktur Graham & Marvin (2001) dalam Imam S.
Ernawi (2010). Contoh mengenai Jakarta kiranya dapat memberikan ilustrasi
betapa cepat perubahan-transformasi yang telah terjadi. Pada awal tahun 1960-an,
Jakarta tidak lebih dari sebuah ―kampoeng besar‖ dengan sebuah hotel
berbintang, Hotel Indonesia dan sebuah department store ―Sarinah‖. Namun
dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, perkembangan yang sangat pesat telah
terjadi. Jakarta telah bermetamorfosa menjadi sebuah kota metropolitan, dengan
gedung-gedung modern pencakar langit yang megah (hotel, apartemen, kantor
hingga mall/ pusat-pusat perbelanjaan), khususnya di kawasan Segitiga Emas.
Dalam prosesnya, transformasi sosio-fisik dilakukan dengan mengkonversi
kampung-kampung yang banyak berada di dataran rendah (rawa dan kebun) 7 ke
segala arah: Barat, Selatan dan Timur. Kini, dengan statusnya sebagai ―multi-
function‖ 8 yang mengakumulasi berbagai fungsi tertinggi secara nasional (pusat
pemerintahan, perdagangan dan jasa, bahkan kebudayaan), Jakarta telah berubah
menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan di kawasan
Asia-Pasifik. Selain itu, perkembangan yang sangat pesat terjadi di kawasan
pinggiran, dimana tidak kurang dari 7 (tujuh) kotabaru berskala besar telah
terbangun di Jabodetabek sejak tahun 1980-an (Gani, 2010) 9 .

7
Ciri fisik kampung dimaksud dapat dikenali dari nama-namanya : Rawa Belong,
Rawamangun, Rawasari, Rawabambu, Kebon Nanas, Kebon Kacang, Kebon Baru, dsb.
8
Menurut tipologi Peter Hall (2006).
9
Berdasarkan data yang dihimpun oleh REI, ketujuh kotabaru dimaksud adalah : Bumi Serpong
Damai (―Kota Mandiri‖, mulai dibangun 1989 dengan luas 6000 ha); Lippo Cikarang (―Kota
Baru Industri, 1989, 3000 ha); Jababeka (―Kota Industri‖, 1989, 5600 ha), Lippo Karawaci (―Q-

9
Dari contoh kasus mengenai Kota Jakarta diatas, kita dapat mengamati bahwa
transformasi sosio-fisik telah mengubah morfologi kota. Beberapa faktor yang
tampaknya cukup dominan dalam proses tersebut adalah: (1) aliran investasi yang
mendorong peningkatan produktivitas kota, khususnya yang digerakkan oleh
investasi swasta; (2) keberadaan infrastruktur sosial-ekonomi, seperti jalan dan
pelabuhan, serta (3) peningkatan status kota otonom (ibukota provinsi). Ketiga
faktor tersebut menjadi penyebab utama terjadinya perubahan dan
mengakselerasi alih-fungsi ruang perkotaan. Perbedaannya terletak pada titik
awal terjadinya perubahan (dimensi waktu-Jakarta sejak 1960-an) serta kecepatan
transformasi yang terjadi yang banyak ditentukan oleh peran sektor swasta.

Kenyataanya diperkuat bahwa; habitat dalam ruang kota sendiri, dalam


transformasi yang terjadi di dalam dirinya, memiliki pengaruh tekanan (force),
perubahan (change), terhadap ruang yang ada pada dirinya (space) yang
semuanya terjadi dalam lingkup waktu tertentu (time). Ruang (space) adalah
sesuatu yang sudah ada dan melekat pada dirinya, yaitu materi dan struktur
dimana tekanan terjadi. Tekanan (force) merujuk pada interfensi yang terencana
atau tidak terencana. Perubahan (change) merujuk pada aktualisasi lingkungan
terbangun hasil dari interaksi beberapa perubahan (spasial dan intervensi)
(Castro, 2006).

2.1.2. Transformasi Kampung dalam Ruang Kota


Poin sebelumnya menekankan bahwa keberadaan kampung adalah sesuatu yang
tidak terpisahkan dalam hal transformasi ruang kota Jakarta. Tambahan pula,
secara fungsi kampung juga sebagai tempat tinggal manusia yang memiliki aspek
materi (kasat mata) dan non materi (tak kasat mata) yang terus berubah. Ia adalah
sebuah tropotopia, yaitu satu fenomena pada sebuah tempat yang tidak kekal
bentuk dan rupa oleh karena kehadiran dan ketidakhadiran sebuah kualitas yang
silih berganti (Harjoko, 2009, 153). Dalam hal ini, keberadaan kampung sebagai
sebuah fenomena tropotopia bisa dilihat dari berbagai sudut:

city CBD‖, 1990, 1235 ha), Alam Sutra (―Lifestyle Community‖, 1990, 865 ha), Sentul City
(―Innovation City‖, 1994, 3100 ha) dan Kota Wisata Cibubur (―Wisata Dunia, 1996, 1000 ha).

10
1. Tropotopia of Origin. Kampung sebagai sebuah asal. Nilai, norma, dan
karakter dilahirkan dalam sebuah kampung untuk membentuk (sebagian)
ruang kota.
2. Tropotopia of Cultivator. Kampung sebagai tempat bertumbuh dan
mengolah. Oleh karena itu, perubahan kampung akan berimbas kepada
perubahan ruang kota karena kampung adalah sebuah entitas yang terus
berubah.
3. Tropotopia of Container. Kampung sebagai wadah. Sebagai wadah, ia
menjadi berguna bila ada isinya. Isi dalam kampung dapat dibentuk
bergantung pada pengetahuan dan visi dari penghuni kampung.
4. Tropotopia of Bearer of Imprint. Kampung sebagai pembawa citra. Citra
ini bisa dilihat dari dalam penghuni kampung dan dari luar penghuni
kampung. Oleh karena itu kampung memiliki potensi untuk membuat
citra kota menjadi baik atau buruk (Harjoko, 2009, 151-165)
Dengan melihat kampung sebagai tropotopia, maka kampung dapat dilihat
sebagai sesuatu yang terus berubah, tidak pasti, dan bergerak. Di sisi lain karena
kampung adalah bagian dari habitat ruang kota (urban field), maka perubahan
kampung akan dipengaruhi dan memiliki pengaruh pada ruang kota pula. Dengan
melihat penjelasan di atas, maka untuk melihat kampung sebagai bagian dari
habitat ruang kota dalam kondisi terkini maka kondisi dan potensi ruang yang ada
di dalamnya, tekanan yang ada pada kampung tersebut, dan perubahan apa yang
sedang terjadi menjadi hal penting. Semuanya berada dalam kerangka jangka
waktu tertentu. Komunitas penduduk dalam ruang kota sendiri memiliki cara
yang unik dalam menentukan masa depannya. Sebagai penghuni kota, penduduk
memiliki hak untuk ambil bagian dalam ikut mengubah ruang kota. Oleh
karenanya, dengan berbagai kepentingan antara komunitas penduduk yang
berbeda, maka kota dimungkinkan sebagai tempat pertarungan antar berbagai
kepentingan pula (Harvey, 2012, 67-74).

2.1.3. Adaptasi Kampung di Dalam Ruang Kota


Menurut Abidin Kusno dalam Jo Santoso (2015) Arti ―pengembangan urban
metropolitan Jakarta‖ bukan berarti ―pembangunan‖ yang sering dislogankan
oleh Orde Baru dalam tujuannya untuk ―lepas landas‖ di mana Jakarta akhirnya

11
menjadi sebuah ―global metropolitan city‖ dengan gedung-gedung pencakar
langit dan jalan tol sebagai tanda keberhasilan negara dalam membangun kota.
Sebaliknya ini menunjukkan adanya adaptasi kondisi dari bawah, dari komunitas,
dari kampung, dari pasar dan dari lingkungan hidup yang berkembang dan
beradaptasi di luar rancangan dan arahan pemerintah yang telah melepaskan kota
ke tangan pasar. Konsep pengembangan yang demikian membawa dimensi peran
masyarakat yang berhadapan langsung dengan kekuasaan politik ekonomi kapital
dan bagaimana mereka mentransformasi ruang-ruang melalui komersialisasi
ruang publik, peralihan fungsi hunian dan kawasan, dan melahirkan adaptasi pada
kampung. Pertarungan (atau kerjasama) antara kapital dan masyarakat (diluar
kontrol pemerintah) inilah yang menjadi dasar kerangka pemikiran mengenai
konsep pengembangan tersebut.10

2.1.3.1. Konsep Adaptasi


Konsep adaptasi terkait transformasi ruang sebagai hasil pertarungan (atau
kerjasama) antara kapital dan masyarakat (diluar kontrol pemerintah) yang
dimaksud oleh Abidin Kusno dalam Jo Santoso (2015) adalah sebagai berikut:
Konversi fungsi, misalnya, dengan mengangkat tema transformasi area
yang dirancang untuk publik dan hunian menjadi sebuah area bersifat
komersial. Perubahan ini tidak hanya menunjukkan kekuatan ekonomi
(yang sering dilihat sebagai sebuah komersialisasi ruang kota), tapi juga
keinginan individu yang ingin ikut berperan dalam roda ekonomi tanpa
mau di kontrol oleh planning/pemerintah. Masyarakat, baik dari kalangan
atas (di permukiman tertata) maupun kelas bawah (di kampung)
mengadaptasi dan mentransformasi kawasan mereka sebagai wujud
individualisme yang berkembang dalam konteks sebuah kehidupan kota
yang makin terasa ketidakpastiannya. Konversi ini melibatkan berbagai
aktor dan oknum sehingga proses transformasi yang bersifat ekonomi itu
sekaligus berdimensi sosial dan politik.

10
Kata Pengantar Prof. Abidin Kusno dalam Jo Santoso, Miya Irawati. Pengembangan Urban
Metropolitan Jakarta: Transformasi dan Adaptasi. (Jakarta: Pusat Studi Metropolitan-Urban Lab,
2015)

12
Neigborhood Community. Bila pasar terus hidup meskipun dimargin
(karena makin bertumbuhnya mal dan komersial) dan berjalan melintas
waktu, maka kampung juga punya dinamikanya sendiri. Kampung sering
dilihat sebagai sebuah unit neighborhood dengan komunitas yang cukup
stabil, dimana kehidupan berjalan sesuai sebuah norma kampung, mulai
dari kerja bakti hingga ronda – sebuah komunitas yang self-sufficient dan
berkesinambungan. Tapi persepsi yang demikian tidak lagi mendekati
kenyataan dimana telah terjadi pergeseran besar-besaran di dalam dan di
luar kampung. Beberapa kajian menunjukkan bagaimana kampung
bertahan melalui mentransformasi diri (membentuk neighborhood
community yang baru) untuk tetap hadir di dalam pusat kota yang men-
demand sebuah interaksi antar warga dari berbagai etnisitas, status dan
kelas.

2.1.3.2 Faktor Pendorong


Menurut pendapat tertulis dari Abidin Kusno dalam (Jo Santoso, 2015),
gebrakan real estat dan penguasaan lahan luar biasa dianggap menghasilkan
berbagai ruang-ruang di luar ―planning,‖ hasil negosiasi lokal dan setempat yang
sering tidak seimbang, antara kapital dan masyarakat yang saling berusaha untuk
hadir di dalam kota. Getaran-getaran kapitalisme global (melalui industri real
estat) jelas mentransformasi ruang kota, namun ia juga mengundang adaptasi dari
ruang-ruang lokal dan dari masyarakat yang beraksi tanpa tuntunan perangkat
hukum pemerintah dan planning. Hasilnya adalah sebuah proses transformasi dan
adaptasi tanpa aturan main yang jelas. ―Urban Development‖ yang terjadipun
adalah ―beyond planning‖ dan ―beyond developmentalist state.‖ Tidak jelas pula
apakah ―the driving forces” dari adaptasi dan transformasi kampung, misalnya,
adalah ―market economy‖ atau ―kapitalisme‖ Yang jelas ia adalah hasil negosiasi
langsung antara kapital dan komunitas yang keberuntungan dan kerugiannya sulit
untuk diperhitungkan.

―Perubahan‖ adalah kata kunci dari kondisi diatas dan menunjukkan kepekaan
pada tradisi Indonesia yang terus menjalin kesinambungan ditengah arus
perubahan. Bersama-sama mereka menunjukkan sebuah konteks sejarah yang

13
sama bahwa Jakarta di masa pasca-krisis ekonomi (dan politik) didominasi rasa
ketidakpastian yang mendorong masyarakat untuk bergerak sendiri-sendiri di
berbagai tempat dan dengan cepat mengisi celah-celah ruang yang masih tersisa
untuk transformasi diri.

Pemberdayaan ruang oleh masyarakat bukan hanya untuk survival situs tersebut,
tapi re-produksi ruang yang akhirnya justru mampu mengerakkan roda ekonomi
―lokal‖ yang makin tergantung pada kemampuan masyarakat sendiri. Abidin
memakai tanda kutip pada kata ―lokal‖ karena kegiatan ekonomi mereka
sebenarnya tidaklah ―lokal,‖ tapi adalah bagian dari kapitalisme global (melalui
transformasi real estat) yang dalam perjalanannya makin mengantungkan diri
pada jaringan informal untuk mengatasi krisis akumulasi kapital. Ini bukan
berarti bahwa ekonomi lokal hanyalah fungsi dari kapitalisme global. Justru
sebaliknya ekonomi lokal hidup dan berkembang melalui celah-celah kontradiksi
kapitalisme dan ketidakmampuan pemerintah yang melahirkan sebuah kondisi
uncertainty yang ironisnya justru menjadi motor pengerak kehidupan kota.

2.2. Perubahan Tata Guna Lahan di Perkotaan

Pengertian perubahan guna lahan secara umum menyangkut transformasi dalam


pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya.
Perubahan guna lahan ini melibatkan baik reorganisasi struktur fisik kota secara
internal maupun ekspansinya ke arah luar. Perubahan guna lahan dapat terjadi
karena ada beberapa faktor yang menjadi penyebab. Ada empat proses utama
yang menyebabkan terjadinya perubahan guna lahan yaitu (Bourne, 1982):
1. Perluasan batas kota.
2. Peremajaan di pusat kota.
3. Perluasan jaringan infrastruktur.
4. Tumbuh dan hilangnya pemusatan aktivitas tertentu.
Dilihat dari faktor-faktor penyebabnya, pada umumnya proses perkembangan
penggunaan lahan kota-kota di Indonesia dipengaruhi faktor penentu dari segi
ekonomi (economic determinant).

14
Menurut Santoso (1999), secara rasional pembangunan lahan oleh masyarakat
biasanya ditentukan berdasarkan pendapatan atau produktifitas yang bisa dicapai
oleh lahan, sehingga muncul konsep highest and best use, artinya adalah
penggunaan lahan terbaik adalah penggunaan yang dapat memberikan
pendapatan tertinggi.

Selain itu menurut Cullingswoth (1997) terdapat beberapa faktor yang


mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, perubahan penggunaan yang cepat
di perkotaan dipengaruhi oleh empat faktor, yakni :
1. Adanya konsentrasi penduduk dengan segala aktivitasnya;
2. Aksesibilitas terhadap pusat kegiatan dan pusat kota;
3. Jaringan jalan dan sarana transportasi
4. Orbitasi, yakni jarak yang menghubungkan suatu wilayah dengan pusat-
pusat pelayanan yang lebih tinggi.
Menurut Bintarto (1989), perubahan penggunaan lahan dapat timbul dari suatu
aktivitas manusia dengan segala macam bentuk aktivitasnya pada ruang yang
menyebabkan perubahan lahan suatu kota. Perubahan tersebut meliputi :
1. Proses Perubahan Perkembangan (development change). Perubahan yang
terjadi tanpa memerlukan suatu perpindahan karena masih terdapat ruang
dan fasilitas-fasilitas yang ada pada tempat tersebut.
2. Proses Perubahan Lokasi (locational change). Perubahan yang
mengakibatkan perpindahan sejumlah penduduk ke daerah lain karena
suatu tempat tidak mampu menangani suatu masalah serta sumber daya
yang ada ditempat tersebut.
Jadi, menurut pendapat-pendapat tersebut; perubahan penggunaan lahan kota
terjadi disebabkan karena pergantian kegiatan kurang produktif menjadi kegiatan
lain yang lebih produktif.

2.2.1. Jenis dan Kecepatan Perubahan Tata Guna Lahan


Setiap jenis guna lahan memiliki sifat kesesuaian yang berbeda di setiap tingkat
nilai lahan. Variabel yang membedakan sifat kesesuaian tersebut adalah tingkat
produktivitas setiap jenis guna lahan. Tingkat produktivitas suatu jenis kegiatan
dapat dicerminkan dari kemampuannya dalam membayar sewa lahan yang

15
merupakan kompensasi dari kestrategisan lokasi yang ditempati. Peningkatan
kebutuhan lahan, keterbatasan lahan, perbedaan produktivitas kegiatan dan
perbedaan kestrategisan lokasi mengakibatkan dinamika guna lahan yang intinya
berupa proses perubahan dari suatu guna lahan menjadi guna lahan lain. Secara
garis besar kegiatan di wilayah perkotaan berdasarkan fungsinya terbagi dalam
dua kelompok besar, yaitu kegiatan non-komersial dan kegiatan komersial.
Pembagian kegiatan menjadi dua kelompok besar karena kedua kelompok
tersebut memiliki karasteristik perkembangan yang berbeda.

2.3. Ruang Sebagai Komoditas


Philip Kivel (1993) menjelaskan bahwa ruang merupakan kesatuan tanah dan
bangunan di atasnya, sehingga ruang tentu tidak dapat dilepaskan dari tanah
sebagai salah satu perwujudan bentuk fisik dari ruang. Tanah memiliki sifat yang
berbeda dengan komoditas yang lain yang digunakan dalam suatu proses
produksi karena tanah memiliki karakteristik yang cukup kompleks diantaranya:
1. Fixed Supply: Secara umum jumlah luasan tanah tidak akan bertambah
atau bersifat tetap, karena tidak dapat diciptakan. Meskipun dengan
reklamasi dapat menambah jumlah luasan tanah.
2. No Cost Supply: Tanah dapat dipandang sebagai suatu pemberian alamiah
tanpa biaya untuk menciptakan atau mengadakannya, kecuali dalam
kegiatan reklamasi. Namun dalam penggunaannya tentu dibutuhkan biaya
untuk menyediakan prasarana, perbaikan, pembangunan, dan lain
sebagainya.
3. Unik: Setiap tanah memiliki keunikannya tersendiri dipandang dari segi
luas, lokasi, serta karakteristik bentuk fisiknya. Maka dari itu, tanah tidak
dapat digantikan dengan tanah lainnya.
4. Permanen: Tanah memiliki sifat permanen dan tidak dapat dipindah-
pindahkan.
Sehingga, karena karakteristik pada tanah yang disebutkan diatas, menurut Kivell
sisi permintaanlah yang lebih berperan mempengaruhi kegiatan penggunaan
tanah sebagai bagian dari fungsi ruang di wilayah perkotaan, jika dibandingkan
dengan sisi ketersediaan tanahnya. Selain itu Kivell juga menegaskan bahwa
penggunaan pada tanah di wilayah perkotaan sangat dipengaruhi oleh keputusan-

16
keputusan dari berbagai pihak seperti badan perusahaan, rumah tangga, serta
pihak lain yang berkaitan dengan badan usaha perumahan, pusat perbelanjaan,
dan kegiatan masyarakat kota lainnya. Kegiatan-kegiatan ini tentunya
memerlukan ruang atau tempat. Sehingga, tanah sebagai bentuk aktualisasi diri
dari ruang atau tempat akan digunakan oleh suatu kegiatan yang memiliki nilai
komersialisasi lebih tinggi.

Harvey (1987) dalam Kivell (1993) melihat bahwa faktor-faktor yang


mempengaruhi perilaku pasar dalam menentukan suatu keputusan proses
pengadaan nilai tambah bagi tanah yaitu:
1. Tanah akan dilihat dari basis harganya, biaya, dan keuntungan yang akan
dihasilkan.
2. Badan perusahaan atau rumah tangga akan mempertimbangkan dan
mengutamakan lokasi tanah yang tercermin dari harga jual ataupun sewa
dari tanah tersebut.
3. Pemilik tanah akan menjual atau menyewakan tanahnya kepada pihak
penawaran yang tertinggi.
4. Pembeli dan penjual telah memiliki pengetahuan pasar yang cukup
mendalam dalam berkegiatan proses tawar menawar.
5. Tidak adanya intervensi dari pemerintah.
Tambahan pula, menurut Harvey (1987), meningkatnya kenaikan harga tanah di
perkotaan dari tahun ke tahun terjadi beriringan dengan pertumbuhan institusi-
institusi finansial seperti halnya perbankan, perusahaan asuransi, perusahaan
pengelolaan dana pensiun, dll. Hal ini juga didukung dengan anggapan bahwa
investasi properti di perkotaan adalah investasi yang aman dan menguntungkan.

Wendt (1957) dalam Kivell (1993) berpendapat bahwa tanah merupakan


komoditas yang dapat diperdagangkan atau diperjual belikan dan nilainya
dipengaruhi oleh:
1. Faktor pendapatan, adalah besaran dan tingkat dari kegiatan-kegiatan
yang ada dalam suatu pasar, pengeluaran masyarakat, dan kompetisi yang
terjadi.

17
2. Faktor biaya, adalah pajak, biaya operasional, suku bunga, dan
penyusutan (depresiasi).
3. Faktor kapitalisasi pasar, adalah tingkat suku bunga, tingkat resiko, dan
ekspektasi selisih keuntungan terhadap modal (capital gain).

Menurut Perce (1979) dalam Kivell (1993), setiap tanah memiliki nilai atau harga
tersendiri, berbeda dengan yang lainnya. Pemilik tanah dalam menentukan harga
jual ataupun harga sewa, umumnya akan mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Membandingkan harga tanah di lokasi lain yang berada disekitarnya.
2. Memperkirakan harga tanah yang dimiliki sekarang dibandingkan dengan
nilai di masa yang akan datang.
3. Biaya yang akan dikeluarkan untuk mendapatkan tanah pengganti di
lokasi lain.

2.4. Teori Neighborhood of Change


2.4.1. Definisi Neighborhood dan Neigborhood Change
Keller (1968) telah menunjukkan bahwa sebagian besar definisi dari sebuah
neigborhood melibatkan dua komponen umum, yaitu fisik dan sosial. Dalam
tinjauan yang lebih khusus lagi, menurut Keller elemen dasar dari sebuah satuan
neigborhood adalah: orang (people), tempat (place), sistem interaksi (interaction
system), identifikasi bersama (shared identification), dan simbol masyarakat
(public symbols). Bila didefinisikan, maka sebuah lingkungan neigborhood
adalah sebuah populasi penduduk yang tinggal di bagian diidentifikasi sebuah
kota yang anggotanya diatur dalam jaringan interaksi umum formal dan
hubungan informal dan mengungkapkan identifikasi bersama mereka dengan
daerah dalam simbol-simbol publik.11 Dari perspektif yang lebih luas, maka
perubahan yang terjadi pada orang, tempat, interaksi sistem, identifikasi
bersama, atau simbol publik merupakan jenis perubahan lingkungan
(neighborhood change).

11
Schwirian, P.Kent. (1983). Models of Neighborhood Change. Annual Review of Sociology,
Vol 9.pp 83-102.

18
Tabel 2.1. Definisi Neighborhood
Konteks neighborhood dalam satuan
Terkait aspek hunian, tata guna lahan
spasial sebagai unsur fungsional.
Wilayah geografis fisik dibedakan
dari daerah lain yang berdekatan
(terkait akses antara satu wilayah
dengan yang lainnya).
Terdiri atas populasi dengan karakter
sosial dan etnis yang beragam.
Konteks neighborhood dalam satuan
Terkait status, etnis, dsb.
sosial
Terjadi oleh karena adanya kesamaan
sosial, bukan kedekatan jarak ke
penduduk lainnya.
Memiliki aturan, norma, sistem sosial
yang menjadi sebuah alat kontrol
sosial dalam interaksi.
Konteks neighborhood sebagai Menjadi wadah untuk melakukan
interaksi interaksi sosial, dimana proses
tersebut akan memberikan gambaran
mengenai karakter aspek sosial
(social forms) dalam lingkungan.
Sumber: (Schwirian, P. Kent. Models of Neighborhood Change,1983)

Di DKI Jakarta, sistem dari pengorganisasian dan interaksi bersama sebuah


lingkungan atau neighborhood ada oleh karena diatur dalam regulasi dan secara
aktif didorong dalam fungsinya oleh pemerintah wilayah ibukota. Sistem
neighborhood ini secara administratif dikelompokkan kedalam satuan Rukun
Tetangga (RT) / Rukun Warga (RW).
“The neighborhood association, or RT/RW, is the representative locality
group in Indonesia, and in the case of Jakarta it represents an urban
locality group.”12

12
Dwianto, D. Raphaella. (2001). The Existing Form of Urban Locality Groups in Jakarta:
Reexamining the RT/ RW in the Post-New Era. Atmajaya Catholic University Indonesia dan
http://www.lit.osaka-cu.ac.jp

19
Studi yang dilakukan oleh Dwianto, D.Raphaella (2001) terkait Rukun Tetangga
(RT) sebagai pengorganisasian lingkungan neighborhood mengambil lokasi studi
di Kampung Menteng Atas dan Kawasan Menteng. Ia menyimpulkan bahwa baik
kawasan tertata (well-planned) maupun unplanned merupakan sebuah konteks
lingkungan (neighborhood) dan secara administratif diindikasikan oleh adanya
keberadaan RT maupun RW. Adapun karakteristik sebuah RT dipengaruhi oleh
karakteristik daerah yang dinaunginya. Karakteristik inilah yang menjadi potensi
bagi neighborhood tersebut.

2.4.2. Teori Perubahan Kawasan Permukiman (Neigborhood Change)


Menurut Ernest Burgess (1925) dalam Pitkin (2001), perubahan permukiman
tersebut disebutnya sebagai suatu proses alamiah. Menurut modelnya Ernest
Burgess menyatakan bahwa perubahan kawasan permukiman merupakan hasil
dari adanya suatu serbuan (invasion) dari penghuni baru yang berujung pada
terjadinya peralihan atau penggantian dari penghuni lama ke penghuni baru
(succession). Dia mengasumsikan bahwa lahan di pusat kota memiliki nilai yang
tinggi karena letaknya strategis. Melalui suatu proses persaingan, akhirnya para
pelaku bisnis dan industri menduduki lahan ini dan menjadikannya berkembang.

Hoyt pada tahun 1939 mengembangkan suatu model dengan pendekatan Burgess.
Tetapi berbeda dengan Burgess, Hoyt melihat bahwa keputusan untuk pindah dari
pusat atau tengah kota tidak berhubungan langsung dengan penghasilan. Dia juga
melihat bahwa keinginan seseorang untuk berinvestasi dalam bidang properti
merupakan pendorong terjadinya perubahan kawasan permukiman.

2.4.3. Model Neighborhood Change


Dua model yang paling penting dari teori neighborhood change adalah yang
Invasion Succession yang dikembangkan oleh Chicago School of Urban
Sociology berdasarkan teori Burgess dan Life Cycle model oleh Hoover &
Vernon ( 1959). Kedua model tersebut berupaya menjelaskan mengenai fase atau
tahapan (staging) perubahan yang terjadi pada sebuah neighborhood.

20
Invasion Succession Model
Pendekatan ini disebut juga sebagai pendekatan model ekologi. Pendekatan
ini mula-mula dikembangkan antara 1916-1940 oleh masyarakat ilmiah di
Chicago School of Urban Sociology. Kemudian Burgess (1925)
mengembangkan dan mengkaitkan teori model ekologi tersebut terhadap
proses pertumbuhan kota yang menitikberatkan bahwa perubahan
lingkungan (neighborhood change) adalah hasil dari kompetisi terhadap
ruang-ruang kota.13 Burgess selalu menggunakan terminologi ekologis
seperti istilah penetrasi, invasi, dan suksesi.
Penetrasi, yaitu terjadinya penerobosan fungsi baru dalam suatu
fungsi yang homogen
Invasi, yaitu serbuan yang lebih besar dari tahapan penetrasi, tetapi
belum mendominasi
Suksesi, yaitu penggantian sama sekali dari suatu fungsi lama ke
fungsi baru.

Daerah pusat kegiatan atau Central Business District (CBD) merupakan pusat
kegiatan sosial ekonomi, budaya, dan politik dalam suatu kota. Sehingga pada
zona ini terdapat bangunan-bangunan utama untuk kegiatan sosial budaya dan
politik. Rute-rute transport dari segala penjuri memusat ke zona ini, sehingga
zona ini merupakan zona dengan tingkat aksesibilitas tertinggi (the most
accessible zone within the urban area).

Zona ini oleh Burgess dianggap sebagai “the area of dominance”. Disini terjadi
proses persaingan dimana yang kuat akan mengalahkan yang lemah dan
kemudian mendominasi ruangnya. Kegiatan penduduk pada zona tertentu
akhirnya akan sampai pada tahap suksesi dimana seluruh bentuk kehidupan
sebelumnya secara sempurna telah tergantikan oleh bentuk-bentuk pendatang.

13
Pitkin, Bill. 2001. Theories of Neighborhood Change: Implication for Community
Development Policy and Practice. UCLA Advanced Policy Institute.

21
Gambar 2.1. Model Invasi Suksesi
Sumber: Schwirian, P. Kent. Models of Neighborhood Change,1983

2.4.4. Faktor Pendorong Neighborhood Change


Perubahan sebuah lingkungan neighborhood bisa terjadi karena beberapa faktor
pendorong, antara lain yaitu ecological, subcultural, dan political economy
(Pitkin, 2001).
1. Ecological
Perubahan merupakan bagian dari proses natural yang didasarkan oleh
pemikiran rasional yaitu berdasarkan economic choice. Dimana perubahan
terkait dengan pasar real estat di pusat kota besar. Dorongannya berasal dari
luar lingkungan (exogenous factors) (Mallach, 2008). Contohnya yaitu teori
lahan oleh Burgess pada 1925 yaitu concentric ring. Dimana memusatkan
kawasan CBD di pusat kota.

2. Subcultural
Perubahan yang terjadi karena pengaruh budaya, lebih kepada sentiment
karena simbol. Dorongannya berasal dari dalam lingkungan (endogeneous
factors) (Mallach, 2008) terutama yaitu faktor sosial. Disinyalir bahwa yang
menjadi pengaruh cukup kuat adalah kepercayaan penghuninya, tingkat
kepuasan, komitmen dengan jaringan sosialnya. Keterikatan penghuni
terhadap lingkungan tempat tinggalnya dan kemauan untuk berusaha
meningkatkan kualitas lingkungannya berpengaruh terhadap terjadi atau
tidaknya perubahan di kawasan pemukiman. Salah satu bentuk adaptasi

22
terhadap perubahan atau ancaman dari luar yaitu berupa preservation berupa
asset-building dan inisiatif dari warga.

3. Political Economy
Perubahan yang terjadi akibat politik makro dimana sistem ekonomi dan
politik perdagangan dan industri dikendalikan oleh pemilik swasta untuk
keuntungan, maupun oleh negara. Pendekatan ini menjelaskan bahwa
perubahan kondisi ekonomi dan sosial yang berperan akan memberi dampak
pada perubahan suatu kawasan pemukiman dimana beberapa pihak akan
mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi. Terdapat dua lingkup
tingkatan analisis, yaitu secara nasional dan lokal.

Menurut Malotoch (1976) dalam Kempen (2005), secara nasional peran


pemerintah dipandang sebagai suatu faktor kuat yang mengeluarkan
kebijakan-kebijakan dalam pembangunan nasional dan hal ini berdampak pada
perubahan struktur kota. Sedangkan secara lokal, yang berperan kuat adalah
swasta. Sebagai contoh, tanah di perkotaan digunakan oleh para kaum elit
yang memiliki kekuasaan sebagai akses untuk dapat menghimpun kekayaan.
Dimana dalam hal ini, memusatkan pada pengaruh “growth machine”, yaitu
sekumpulan kaum elit perkotaan yang memiliki kekuatan ekonomi. Tindakan
mereka inilah yang menentukan perkembangan kota dan termasuk di
dalamnya kawasan pemukiman.

Menurut Mallach (2008), kekuatan yang memicu perubahan kawasan


permukiman dapat berasal dari faktor internal maupun eksternal lingkungan
neighborhood itu sendiri. Sebuah lingkungan neighborhood yang secara
fungsi juga merupakan sebagai penyedia tempat tinggal juga menjadi faktor
pendorong perubahan. Sehingga, permintaan/ demand terhadap tempat tinggal
dan harga yang mengikutinya menjadi salah satu faktor pendorong kuat yang
mencerminkan gambaran perubahan.

23
Gambar 2.2. Faktor Pendorong Internal dan Eksternal Neighborhood Change
Sumber: Mallach, Managing Neighborhood Change (National Housing Institute, 2008),2

2.5. Perubahan Kawasan Melalui Pendekatan Inkremental


Menurut Incremental Development Alliance, fenomena mengenai pengembangan
inkremental kini muncul sebagai ―emerging issue‖ oleh karena adanya invasi dari
proyek real estat yang memberikan tekanan diantara lingkungan permukiman/
neighborhood disekitarnya. Dimana proyek real estat yang direncanakan secara
komprehensif tersebut mayoritas merupakan proyek skala besar, dengan
penguasaan lahan yang luas, perencanaan dan pengelolaan yang rumit dan untuk
menjadi demikian, seseorang harus memiliki keahlian professional (multidisiplin)
dan modal yang besar. Sebaliknya, Pendekatan inkremental diyakini sebagai
adaptasi yang berorientasi pada analisis dari kondisi invasi pasar real estat,
kebijakan ekonomi, dan politik pragmatis yang terjadi pada ruang kota
untuk mencapai logika ekonomi guna mendapatkan manfaat bagi
kepentingan suatu individu dalam konteks neigborhoodnya. 14
“Incremental planning adheres more closely to the economic logic of
individuals pursuing their own self-interest.”14

Berbicara mengenai kepentingan yang dimaksud diatas, maka pendekatan


inkremental dapat dibedakan atas kepentingan yang bersifat untuk bertahan untuk
kelangsungan hidup ―self- help‖ (non-ekonomi), namun ada pula kepentingan
yang terkait dengan penambahan nilai ekonomi. Pendekatan inkremental yang

14
Hudson,Barclay M.. Comparison of Current Planning Theory: Counterparts and
Contradictions (APA Journal: p. 387 & 389)

24
bertujuan untuk menjawab kepentingan non-ekonomi umumnya diterapkan dalam
konteks/ isu marginal, masalah hunian golongan menengah bawah, dsb.

Namun untuk kepentingan nilai ekonomi, pendekatan inkremental adalah suatu


aktivitas pengembangan skala mikro yang bertujuan untuk penciptaan nilai
tambah. Menurut Urban Land Institute Case Studies, pengembangan skala mikro
guna kepentingan ekonomi tersebut berinkremental secara interstisial (infill)
dalam konteks spasial dan mampu memberi aktivitas serta nilai baru untuk
membuat suatu lingkungan menjadi lebih baik.
“Small Scale Development is Incremental; and best thinking in
sustainability for its environment and community” (Urban Land Institute) 15

Project Oslo
Merupakan sebuah
rumah flat dengan 9
unit ruang sewa pada
sebuah lingkungan
permukiman di
Washington D.C yang
didesain modern untuk
target pasar pekerja
eksekutif muda.
Sebelum Sesudah

Gambar 2.3. Contoh Pengembangan Skala Mikro


Sumber: urbanland.uli.org dalam (Michael Wilkinson, 2015/ ULI Case Studies)

Sedangkan menurut Center of New Urbanism (CNU), pengembangan secara


inkremental merupakan sebagai cara bagi siapa pun dan semua orang untuk
terlibat dalam membangun dan meningkatkan lingkungan neighborhood mereka.
Dalam pendekatan inkremental, lingkungan dapat dibiarkan untuk berkembang
secara alami, dan masyarakat yang menjadi aktor utamanya (community-led way).
Disebutkan pula bahwa, pembangunan inkremental sebenarnya membantu
lingkungan menjadi lebih kuat dengan waktu yang memungkinkan mereka untuk
dewasa secara bertahap bukannya mengunci mereka ke siklus ―boom- and- bust‖

15
Growing Small: How Smaller, Infill Urban Developments Are Making Big Difference.
http://urbanland.uli.org/development-business/growing-small-smaller-infill-urban
developments-making-big-difference/. Diakses 25 April 2016.

25
yang umum dilakukan oleh proyek pengembangan besar. Berdasarkan penjelasan
diatas, adapun sifat dari pendekatan inkremental menurut CNU secara umum
adalah sebagai berikut:
Masih mempertimbangkan apa yang terjadi di luar (terkait dengan faktor/
kondisi eksternal).
Merupakan aksi yang muncul sebagai reaksi terhadap perubahan yang
kerap muncul. Dan secara proses dapat terjadi secara bertahap/ sepotong-
potong berdasarkan potensi yang ada (gradual development process).
Aksi tersebut dapat menjadi sebuah “multiplier effect” dari apa yang
berkembang dan berubah dalam konteks tertentu.

Gambar 2.4. Ilustrasi dari Pengembangan Melalui Pendekatan Inkremental


Sumber: http://shiftworks.design/Incremental-Development

Menurut pusat studi urban desain (PBL dan Urhahn Urband Design, Den Haag),
pendekatan inkremental merupakan sebuah pendekatan ―bottom up‖ yang bersifat
organis, kontras dengan model perencanaan komprehensif pada umumnya yang
bersifat ―top down‖. Pendekatan pengembangan inkremental diidentifikasikan
sebagai; (1) pendekatan yang berawal dari konsep skala kecil/ mikro, (2)
perkembangan bertahap berdasarkan permintaan pasar (demand) bukan pasokan.
Dalam pelaksanaannya, tidak terdapat tahapan pengembangan (development term

26
and period) yang baku. Perencanaan bersifat strategis, fleksibel – yang dapat
mengantisipasi perubahan pasar dan sosial (market demand and societal
challenges). Dalam konsep pendekatan pengembangan inkremental, pemerintah
hanya bersifat sebagai fasilitator.16 (Lih. Gambar 2.5.)
“In contrast to the top down approach the bottom-up approach, also
known as organic or incremental urban development approach, is focused
on gradual development process. The organization is based on a process
management approach focusing on strategic rather than physical plan,
allowing small scale developments and private initiatives. The role of the
government is to facilitate the development process. A more incremental
approach to development allows for more and better feedback from
resident use, helping to further align the way we plan and design with the
way spaces are actually used (PBL & Urhahn Urban Design 2012).‖16

Comprehensive Approach-Top Down Indicators Incremental Approach-Bottom Up

Compact- in one Approach Gradual


go

Large Scale Scale of Small Scale


Development

Project Oriented Mode of Process


Organizing Oriented

In order- Plan Strategic-


measured Flexible

Large Type of Small


Developer- Developer Developer-
Professional Private

Asset & Risk Role of Partisipative


Management Municipality

Professional & Development & Simple-By


Sequential Management Each Other

Gambar 2.5. Perbandingan Karakter Pendekatan Komprehensif dan Inkremental


Sumber: PBL dan Urhahn Urban Design, Dalam Investor-Led Urban Development-
Research, Sturm, Carlo Henry M (2013)

16
Sturm, Carlo Hendry, M. 2013. Investor-Led Urban Development-Research . (TU Delft. P. 39-
41)

27
2.6. Kerangka Teori

House

Land Use

FISIK
Unsur yang
Unsur Community & berubah
Environment & Infrastructure
Neighborhood
Transportation & Accesibility

EKONOM
Social & Demography

SOSIAL

I
Economy
Theoritical Framework

Burgess(invasion & succession) Mengidentifikasi


Transformasi Ruang perubahan pada
MODEL

Kota obyek studi

Teori Neigborhood Space, force, & change


Change &
Tendensi
Endogen (Internal): Perubahan
(Ekologi, Sub Kultural, Ekonomi Politik)

Perubahan sosial dan


demografi.
FAKTOR PENDORONG

Teori Perubahan Perubahan ekonomi Mengidentifikasi


Penggunaan Lahan Perubahan fungsi lahan faktor yang
mendorong
Eksogen (Eksternal): perubahan
Ruang Sebagai
Komoditas Perubahan ekonomi dan
pasar makro
Perubahan lingkungan
Perubahan akses

Fisik Mengidentifikasi
PENGARUH

pengaruh
DAMPAK/

Konsep Adaptasi Sosial-Ekonomi perubahan &


pola adaptasinya
Penduduk-Pola Adaptasi
Pendekatan
Inkremental

28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian


Wilayah studi berada di Kelurahan Karet Kuningan, Kecamatan Setiabudi,
Jakarta
Keterangan:
Posisi Kel. Karet Kuningan
terhadap wilayah DKI Jakarta.

A Kawasan Mega Kuningan

Perkantoran dan pusat perbelanjaan


B
Jl. Prof. Dr. Satrio

C Kawasan Rasuna Epicentrum

Jl. Jend. Sudirman

Jl. Prof. Dr. Satrio

Jl. H. Rasuna Said

Batas Kelurahan Karet Kuningan


Batas Administratif RW

RW 01

RW 06
C

B
A

Gambar 3.1. Wilayah Administratif Kelurahan Karet Kuningan, dan


Area Fokus Studi (RW 01 & RW 06)
Sumber: Peta Google Earth dan Peta Administratif Kel. Karet Kuningan yang diolah penulis, 2016

29
Kelurahan Karet Kuningan berlokasi di daerah administratif Jakarta Selatan,
DKI. Jakarta. Kelurahan Karet Kuningan memiliki luas 178, 90 Ha, dan terdiri
atas 5 RW. Bila ditinjau dari batas-batas wilayahnya, Karet Kuningan berbatasan
dengan kawasan pusat bisnis Mega Kuningan, Jl. Jend. Sudirman, dan Jl. H.
Rasuna Said. Adapun yang menjadi area fokus studi dalam penelitian ini
meliputi 2 RW (RW 01, RW 06) yang terdapat di Kelurahan Karet
Kuningan. Luas area RW 01 dan RW 06 adalah 31.1 Ha. Sedangkan luas
ruang lahannya adalah 20,2 Ha. Area tersebut dipilih karena memiliki
perkembangan perubahan fungsi dan fisik yang beragam bila dibandingkan area
lain yang ada di Kelurahan Karet Kuningan.

3.2. Pendekatan Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
teknik deksriptif. Adapun karakteristik penelitian yaitu sebagai berikut:
Pendekatan kualitatif deskriptif pada penelitian ini bertujuan
mendekripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai karakter
kawasan Karet Kuningan sebelum terjadi perubahan, mengidentifikasi
perubahan fungsi dan karakter kawasan, faktor internal dan eksternal yang
mendorong terjadinya perubahan, dan pengaruh adanya perubahan
tersebut di Karet Kuningan.
Melalui pendekatan ini, peneliti berusaha melihat secara mendalam terhadap
sebab dan akibat perubahan spasial-fisik, yang berpengaruh terhadap Karet
Kuningan. Oleh karena penelitian ini didasarkan kepada upaya ingin mengetahui
suatu gejala, maka penelitian ini bersifat eksploratif (Gulo, 2010). Dengan
metode kualitatif dan tipe eksploratif, maka penelitian ini membutuhkan
pengumpulan data berupa wawancara mendalam, pengamatan lapangan/
observasi, dan juga survey agar semua data saling terkonfirmasi dan dapat
diperiksa secara silang. Upaya pengumpulan data tersebut akan didasarkan pada
teori yang sudah disusun pada bab II. Tujuannya adalah agar data yang terkumpul
nantinya dapat dengan mudah dirujuk pada teori sebagai pijakan yang jelas.
Dengan mengacu pada kajian teori, maka pengumpulan data terkait tujuan
penelitian ini harus terkait dengan beberapa hal sebagai berikut:
1. Sejarah keberadaan Kampung Karet Kuningan

30
2. Perkembangan komersial dan kebijakan pemerintah.
3. Perubahan fisik dan fungsi yang telah terjadi, fenomena yang sedang
terjadi, dan potensi transformasi Karet Kuningan di masa depan.
4. Pola penggunaan ruang dalam area studi terkait bauran kegiatan ekonomi
dalam area studi yang menjadi penggerak ekonomi sehingga area studi
mampu bertahan dan berpotensi berkembang.
5. Kondisi yang mempengaruhi ataupun mendorong terjadinya proses
perubahan dalam area studi.

3.3. Subyek Penelitian


Pemilihan subyek penelitian menggunakan criterion based selection. Hal ini
didasarkan pada asumsi bahwa subyek tersebut terkait sebagai aktor maupun key
informan dalam tema penelitian. Adapun subyek penelitian adalah:
1. Pelaku usaha: merupakan orang yang bertindak sebagai pemilik (bukan
penyewa), dan telah mengoperasionalkan usahanya di Karet Kuningan.
Pelaku usaha yang dimaksud misalnya; pemilik kost, pemilik kios,
pemilik warung/ usaha informal lainnya. Hal ini ditentukan agar peneliti
dapat menggali informasi mengenai perubahan dan karakter fungsi
eksisting kepada fungsi sekarang dari penggunaan lahan yang dimiliki
oleh masing-masing pelaku usaha.
2. Warga Karet Kuningan: merupakan tua-tua maupun penghuni yang telah
lama tinggal di Karet Kuningan, maupun penghuni yang telah pindah
akibat proses perubahan yang dilakukan guna mendapat nilai tambah bagi
lahannya. Tujuannya adalah; mendapatkan informasi dari orang-orang
tersebut untuk mengetahui latar belakang historis kawasan Karet
Kuningan, sekaligus dapat mereferensikan/ menghubungkan kepada
subyek relevan lainnya terkait informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.
3. Warga Pendatang: warga yang berasal dari daerah lain dan tinggal
sementara atau berkala di Karet Kuningan sebagai pengguna atau pembeli
dari kegiatan ekonomi yang ada di Karet Kuningan.
4. Instansi pemerintah: terdiri atas pejabat pemerintah yang memiliki
pemahaman khusus terhadap perubahan maupun fenomena yang terjadi
pada kawasan Karet Kuningan terkait pertumbuhan kawasan dan

31
perizinan, khususnya pada area studi. Subyek penelitian dari instansi
pemerintah antara lain; Kepala Kelurahan Karet Kuningan, Dinas Tata
Ruang DKI Jakarta.

3.4. Kebutuhan Data Penelitian


Data dan instrumen ukur yang harus diteliti akan mengacu pada lima poin yang
dituangkan pada poin 3.2. diatas. Bila dirumuskan, maka hubungan antara
rancangan penelitian dengan data dan instrumen yang ingin diperoleh terlampir
pada penjabaran secara umum mengenai beberapa data utama berikut:
1. Data sejarah keberadaan Karet Kuningan
Informasi mengenai sejarah dari keberadaan Karet Kuningan dibutuhkan
guna mendapat gambaran mengenai karakter awal kawasan tersebut
sebelum mengalami perubahan.
2. Data perubahan fisik dan fungsi yang telah terjadi, fenomena yang sedang
terjadi, dan potensi perubahan fungsi pada area studi di masa depan.
Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada area studi, maka akan
dilakukan penyusunan time series/ periodisasi atas perkembangan
Kampung Karet Kuningan. Adapun data terkait perubahan fungsi yang
terjadi dapat berupa; peta kawasan (RDTR), land use, fungsi dominan,
data pengembangan kegiatan ekonomi, dll. Untuk membatasi jangka
waktu untuk mengamati perubahan fungsi dan karakter kawasan, maka
digunakan masa periode 1990an sebagai titik pijak awal. Penggunaan
tahun tersebut karena berdasarkan kenyataan bahwa masa itu sebagai
masa dimulainya perkembangan komersialisasi besar-besaran atas banyak
ruang kota di Jakarta. Sumber penyusunan time series didapat dari
mapping, kajian literatur di perpustakaan dan internet, wawancara
penghuni kampung, tua-tua kampung, dan peneliti yang telah mengerti
masalah perkembangan kampung.
3. Data pola penggunaan ruang dalam area studi
Pemetaan/ mapping pemanfaatan ruang lahan dalam area studi yang
diperuntukan untuk mengkonfirmasi apakah ruang di dalam area fokus
studi hanya digunakan sebagai tempat tinggal atau berubah fungsi ke arah
yang mendukung kawasan komersial di sekitarnya.

32
Pencarian data terkait poin 1-3 diatas digunakan untuk mengetahui dinamika
yang terjadi pada lokasi studi, sehingga nantinya temuan akan terkait pada
informasi mengenai perubahan fungsi dan tren yang terjadi dari masa ke masa.
4. Data perkembangan komersial dan kebijakan pemerintah
Melakukan pendataan perkembangan komersial di Jl. Prof Dr. Satrio, Jl.
H. Rasuna Said, dan Jl. Jend. Sudirman serta wawancara kepada pejabat
pemerintah yang memahami perihal perkembangan tata ruang di DKI
Jakarta guna mengetahui pendapat mengenai keterkaitan fenomena yang
terjadi dan tendensi/ potensi perubahan kedepan pada lokasi studi.
5. Identifikasi mengenai motif dari subyek yang telah melakukan perubahan
fungsi pada area studi. Dalam hal ini akan dilakukan wawancara terhadap
subyek yang relevan.
Pencarian data terkait poin 4 dan 5 digunakan untuk mengetahui kemungkinan
faktor internal dan eksternal yang mendorong terjadinya perubahan fungsi yang
terjadi pada kawasan Karet Kuningan.

Rekapitulasi mengenai kebutuhan data yang lebih detail terlampir pada Tabel 3.1
dibawah ini.
Tabel 3.1. Tabel Kebutuhan Data
INPUT DATA
OBJECTIVES DATA YANG SUMBER METODE
DIBUTUHKAN PENGUMPULAN
DATA
Mendeskripsikan Peta lama Penelitian/ studi Wawancara
karakteristik kawasan Karet sejenis Observasi
Kawasan Karet Kuningan Informasi tua-tua lapangan
Kuningan sebelum Sejarah kawasan dan penduduk Mapping
terjadi perubahan. Karet Kuningan Karet Kuningan.

Mendeskripsikan Internal Penduduk Karet Wawancara


dan Peta kawasan Kuningan Observasi
mengkategorisasi Karet Kuningan Pelaku usaha di lapangan
berbagai sebab dan Land Use Karet Kuningan Mapping
perubahan fungsi kawasan Karet Foto
serta fisik yang Kuningan
terjadi di Kawasan Data
Karet Kuningan. perkembangan
area fokus studi
(time series)

33
Mapping
kegiatan
ekonomi
Data penyedia
jasa/ barang
kegiatan
ekonomi (tahun
operasional,
lokasi, luas,
jumlah, harga,
asal pemilik,
dsb)
Eksternal Konsultan Wawancara
Data properti dan Observasi
perkembangan property report lapangan
komersial di Instansi Mapping
layer 1 Karet pemerintah
Kuningan (Jl. (Dinas Tata
Prof Dr. Satrio) Ruang,
Rencana Kecamatan
pemerintah tata Setiabudi)
ruang di Karet Pelaku usaha di
Kuningan Karet Kuningan
(UDGL).
Peraturan Tata
Ruang (RTRW
2010, RDTR
2014)
Motif pendorong
pelaku usaha di
Karet Kuningan
Tanggapan
instansi terkait
terhadap
perubahan fungsi
dan fisik yang
terjadi.

Analisis pengaruh Wawancara Penduduk Karet Wawancara


perubahan fungsi penghuni Kuningan Observasi
yang terjadi terhadap kampung atas Pelaku usaha di lapangan
karakteristik umum profil dan Karet Kuningan
kawasan preferensi.
Observasi
potensi integrasi
ekonomi (timbal
balik kawasan
komersial dan
kampung).

Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

34
3.5. Metode Pengumpulan Data
3.5.1. Pengumpulan Data Primer
Wawancara: berupa wawancara terhadap beberapa penduduk di area
studi. Wawancara dimaksudkan untuk mengetahui perubahan yang terjadi
sebelum dan sesudah ada pengembangan di sekitar Kelurahan Karet
Kuningan. Wawancara dilakukan kepada penghuni Karet Kuningan yang
masih tinggal dan penghuni ataupun yang telah pindah akibat proses
perubahan yang dilakukan oleh penghuni untuk mendapat nilai tambah
bagi lahannya.
Metode yang digunakan dalam wawancara selain criterion based selection
adalah metode non probabilitas purposif-snowball sampling. Dalam
pelaksanaannya, pertama-tama dilakukan wawancara pada narasumber
yang relevan, kemudian yang bersangkutan diminta untuk menunjukkan
narasumber berikutnya dengan spesialisasi yang sama. Dengan demikian,
ketika informasi yang diberikan oleh beberapa narasumber tersebut adalah
sama, maka diasumsikan informasi oleh narasumber tersebut telah
mewakili kelompok-kelompok yang relevan, dalam hal ini beberapa
komunitas penduduk yang ingin diketahui profilnya. Untuk mendapatkan
gambaran lainnya tentang perubahan yang terjadi maka dilakukan
wawancara dengan beberapa warga yang terkait yaitu Ketua RW, warga
asli yang telah lama tinggal di Karet Kuningan, para pelaku ekonomi
(pemilik kos/ kios) dan para pengguna atau pembeli dari kegiatan
ekonomi.
Observasi: peneliti melakukan observasi langsung di lapangan untuk
mendokumentasikan kondisi fisik kawasan Karet Kuningan dalam bentuk
mapping, foto, rekaman video, maupun sketsa.
Kuisioner untuk para pengguna atau pembeli dari kegiatan ekonomi.
memperkuat temuan lapangan.

3.5.2. Pengumpulan Data Sekunder


Metode pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penelitian melalui data
atau dokumen yang dipublikasikan oleh pihak lain. Data sekunder adalah data
primer yang telah diolah lebih lanjut dan dipresentasikan dalam publikasi tertentu

35
dan memiliki intisari data yang sesuai dengan obyek penelitian studi. Metode
pengumpulan data sekunder salah satunya adalah studi kepustakaan. Studi
dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang terkait dengan obyek studi.
Data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian antara lain kajian mengenai
data statistik Kelurahan Karet Kuningan Dalam Angka, peta kawasan Karet
Kuningan (RDTR), data sejarah kawasan Karet Kuningan, dan data
perkembangan komersial di sekitar Karet Kuningan melalui sumber-sumber yang
relevan.

3.6. Metode Pengolahan dan Analisis Data


Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif model
interaktif oleh Miles dan Huberman, yaitu terdiri dari tiga hal utama, yaitu
reduksi data, penyajian data, dan verifikasi/ deskripsi temuan). Tujuannya adalah
menjadikan proses tersebut sebagai sesuatu yang berkesinambungan pada saat
sebelum, selama dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar.
Modifikasi gambaran model interaktif ini adalah sebagai berikut:

TRIANGULASI ANALISIS DATA


SUMBER DATA

PENGUMPULAN DATA
Observasi, Mapping, Wawancara,
Dokumentasi (pra-analisis).

DATA DISPLAY
REDUKSI DATA
Transkripsi & Interpretasi
Seleksi & Identifikasi Data yang dapat
menjadi informasi

TRIANGULASI ANALISIS DATA Verifikasi & Deskripsi


(temuan)

Gambar 3.2. Skema Pengolahan Data dengan Pendekatan Kualitatif,


Model Miles & Huberman
Sumber: Metode Penelitian Ilmu Sosial, M. Idrus, 2009

36
Adapun tahapan atau metode analisis yang digunakan oleh peneliti adalah
sebagai berikut:
Melakukan analisis perubahan fungsi dan fisik yang terjadi pada
Kampung Karet Kuningan dengan mencari hubungan antara waktu
dengan perkembangan yang terjadi pada area fokus studi.
Melakukan analisis guna mencari penyebab secara internal maupun
eksternal yang relevan dan mendorong perubahan fungsi yang terjadi pada
area fokus studi.
Melakukan analisis tendensi perubahan yang terjadi di Karet Kuningan.
Melakukan analisis atas pengaruh yang terjadi akibat perubahan fungsi
dan fisik.

37
BAB IV
DATA DAN TEMUAN

4.1. Sejarah Perkembangan Kawasan Karet Kuningan


Peta Jakarta tahun 1914 menunjukan bahwa pada awalnya Karet Kuningan
adalah sebuah kampung yang terdiri atas hunian penduduk lokal, khususnya etnis
Betawi. Dimana pada awalnya meliputi beberapa area seperti Karet Pedoerenan
(sekarang Karet Kuningan), Karet, Karet Belakang. Pada masa itu, Karet
Kuningan termasuk kedalam area kampung/ non built area (niet-bouwde kom),
artinya adalah; daerah tersebut merupakan sebuah daerah yang tidak
dikembangkan dari suatu wilayah kota.

Batas Kota
Batavia dan
Meester Cornelis

Kampung (Non-Built Area)

Daerah Tertata (Built Area)

1 Menteng

2 Meester Cornelis-Jatinegara

3 Karet

Gambar 4.1. Peta Jakarta 1914


Sumber: Central Bibliotheque Amsterdam, dalam
http://eusoils.jrc.ec.europa.eu/esdb_archive/EuDASM/Asia/lists/s5_cid.htm

38
Menurut Santoso (2006) istilah ―kampung pedesaan‖ tepat digunakan karena
daerah niet-bouwde kom ini tidak termasuk wilayah administrasi kota. Jika
dilihat pada Gambar 4.1. Posisi Kampung Karet menurut peta Jakarta tahun 1914
berada di periferi kota Jakarta dan tidak memiliki akses berupa jalan utama
menuju pusat kegiatan.

Secara sistematis, penguasa Belanda saat itu sebenarnya tidak ingin


mengeluarkan kampung dari struktur urban secara keseluruhan oleh karena
masalah pembiayaan, Belanda tidak mau mengeluarkan uang terlalu besar untuk
mengembangkan seluruh kota sebagai sebuah permukiman urban yang memiliki
struktur formal yang terencana. 17 Akibatnya kondisi kampung tersebut membawa
sifat pemukiman pedesaan yang berkembang secara organis dan jalan yang ada
sebagai elemen penghubung antar ruang kota timbul oleh karena adanya
kebutuhan, bukan oleh karena adanya perencanaan.

Peta tahun 1959 (lih. Gambar 4.2) menunjukkan bahwa area yang kita kenal
sekarang sebagai Kelurahan Karet Kuningan sudah didiami sebagai permukiman,
dan letaknya berada di dalam wilayah administratif DKI Jakarta. Pada peta tahun
1959 tersebut terlihat bahwa perkampungan Karet Kuningan dahulu memiliki
akses langsung ke Pasar Tanah Abang yang dikenal sebagai pusat perdagangan
kain dan komoditas sandang. Maka pada masa sekitar tahun 1950an, Kampung
Karet Kuningan berkembang industri batik yang dikembangkan kaum Tionghoa
dan kerajinan sepatu kulit yang dikembangkan oleh kaum Betawi. Menurut Rusli
Agus Aryanto (54 tahun) dalam Prabham, (2014), putra dari pemilik pabrik batik
di Karet Kuningan yang besar di kawasan Karet Kuningan, orang tuanya pada
masa awal tahun 50-an masuk ke area Karet Kuningan karena melihat peluang
mengembangkan industri batik karena kawasan tersebut memiliki kedekatan
lokasi dengan sumber perdagangan kain, yaitu Pasar Tanah Abang. Oleh karena
itu, orang tuanya yang berasal dari Jawa Tengah lalu mendirikan pabrik batik dan
mendatangkan pengrajin batik dari Pekalongan dan Surakarta.

17
Santoso, Jo. Kota Tanpa Warga. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), 185

39
Pada saat itu kaum Tionghoa membeli lahan dari penduduk asli untuk dibuat
sebagai pabrik batik. Dan oleh karena kebutuhan proses produksi yang juga turut
membutuhkan sarana tempat tinggal bagi pekerja dan pemilik pabrik, maka
terjadi proses jual beli dan ekspansi lahan yang luas (antara 1000 m2 hingga 2000
m2) dalam kurun waktu 1950-an hingga 1980. Sedangkan kaum Betawi yang
berusaha sebagai pengrajin sepatu kulit mayoritas mengembangkan industrinya
dalam skala rumahan dengan tetap memanfaatkan rumahnya.

Tanah Abang

Gambar 4.2. Peta Jakarta Tahun 1959, Kelurahan Karet Kuningan dan Sekitarnya
Sumber : http://www.lib.utexas.edu/maps/indonesia.html

40
Pada tahun 1980-an, industri batik mengalami penurunan karena bermunculannya
batik cap atau produk tekstil berbahan batik. Batik yang dibuat dengan mesin ini
langsung membuat daya saing batik yang diproduksi secara manual dengan
tangan di wilayah Karet lesu. Selain kondisi persaingan yang semakin kuat,
terbitnya Keputusan Gubernur nomor 203 tahun 1978 dan 220 tahun 1979 yang
mengarah pada penindakan atas pencemaran akibat industri di dalam wilayah
DKI Jakarta membuat berhenti totalnya produksi batik di tahun 1990. Menurut
Rusli Agus Aryanto dalam Prabham, (2014), kebijakan pemerintah yang
melarang industri batik beroperasi di tengah kota menyebabkan pemilik industri
batik memindahkan pabriknya ke Cibitung, Cikarang, dan Karawang pada 1990.
Sebagai contoh, saat ini kakaknya menjalankan usaha peninggalan orang tuanya
di Karawang. Kondisi inilah yang pada awalnya memicu alih fungsi industri batik
menjadi industri konveksi di awal periode 1990an yang mengokupansi lahan
yang sama di Karet Kuningan.

Gambar 4.3. Aktivitas Pembatikan di daerah Karet, Tanah Abang, Jakarta Pusat, 1950-an.
Sumber: ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), dalam Historia.co.id

Selain industri konveksi, pada awal tahun 1990an adapula pemilik industri batik
yang mulai melihat potensi besarnya lahan yang mereka punya agar tetap
produktif dengan mengembangkan tempat tinggal/kos bagi pekerja/ karyawan
dari kantor, hotel yang tumbuh di Jl. Jend. Sudirman yang berlokasi sekitar
perkampungan Karet Kuningan.

41
Berdasarkan latar belakang sejarah yang telah dikemukakan pada bagian
sebelumnya, maka karakter kawasan Karet Kuningan berdasarkan periodisasi
sejarahnya ditampilkan pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.1. Tabel Karakter Kawasan Karet Kuningan


Berdasarkan Periodisasi Sejarah
Tahun Karakter

1914 Berkembang secara organis, sesuai kebutuhan dan kultur masyarakat.


―Kampung Tidak ditunjang akses menuju pusat kegiatan karena termasuk area
Pedesaan‖ yang tidak direncanakan untuk pembangunan (niet-bebouwde kom).
Posisi Kampung Karet Kuningan berada di periferi kota Jakarta.
Karakter utama dari kampung didominasi oleh fungsi hunian yang
memang digunakan sebagai tempat tinggal.

1950-1980an Posisi Kampung Karet Kuningan berada di pusat kota Jakarta karena
Era Kejayaan adanya konsep pengembangan poros Jl. Jend Sudirman.
Industri Batik Muncul konsep lahan fungsi campuran (hunian dan industri) karena
berkembangnya industri batik yang umumnya dikembangkan oleh
kaum Tionghoa dan industri kerajinan sepatu oleh kaum Betawi.
Pada masa ini terjadi jual beli lahan untuk ekspansi pabrik batik. Hal
tersebut mengakibatkan adanya karakter fisik berupa lot lahan yang
besar di dalam wilayah Kampung Karet Kuningan (antara 1000-
2000m2).
Terdapat area permukiman (area non kampung) berupa lahan hunian,
lahan campuran (hunian dengan industri batik), dan area
perkampungan yang didominasi oleh lahan hunian pada Kelurahan
Karet Kuningan.

Awal 1990an Lot lahan besar ex pabrik batik masih terdapat di Karet Kuningan,
Pasca Produksi Namun sifat kegiatan ekonomi yang tadinya produksi batik-bersifat
Batik ekstraktif beralih fungsi menjadi usaha konveksi yang sifatnya
fasilitatif.
Selain usaha konveksi, beberapa pengusaha batik mulai melihat
potensi besarnya lahan yang mereka punya untuk dikembangkan
menjadi tempat tinggal/kos bagi karyawan kantor disekitar Karet
Kuningan.
Masih terdapat area perkampungan padat ditengah-tengah area fokus
studi (lih. Gambar 4.4)

Sumber: Hasil Pengumpulan Data Sekunder dan Wawancara oleh Penulis, 2016

42
Sedangkan karakter lingkungan pada tahun awal 1990an pada area fokus studi
(RW 01 dan RW 06 Kelurahan Karet Kuningan) ditampilkan melalui pemetaan
sebagai berikut:

Gambar 4.4. Pemetaan Fungsi Lahan pada Area Fokus Studi, Awal Tahun 1990an
Sumber: Peta Kadaster DKI Jakarta, Tahun 2000 yang Diolah Penulis, 2016

Gambar 4.4 hendak menjelaskan bahwa secara fungsi/ aktivitas pemanfaatan


lahan, terdapat 2 jenis lahan yang awalnya dominan pada area fokus studi, yaitu:
(1) Lahan dengan fungsi hunian, (2) Lahan dengan fungsi campuran (hunian dan
konveksi- ex industri batik). Terdapat 87% (17, 6 Ha) ruang lahan dengan fungsi
hunian, dan 13% (2.5 Ha) ruang lahan dengan fungsi campuran pada masa tahun

43
1990an. Adapun perbandingan luas ruang lahan dari kedua jenis lahan tersebut
terlampir sebagai berikut:

Keterangan:

Lahan Hunian

Lahan Fungsi Campuran

Gambar 4.5. Diagram Prosentase Pemanfaatan Lahan Sebelum Tahun 1990an


Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

Sedangkan berdasarkan kategori area/ zona Gambar 4.4 hendak menjelaskan


bahwa karakter area fokus studi pada pada periode ini terdiri atas 2 karakter area,
yaitu: (1) Area non kampung, (2) Area kampung. Area non kampung terdiri atas
lahan fungsi hunian dan lahan campuran. Sedangkan area kampung hanya terdiri
atas fungsi hunian. RW 01 merupakan area non kampung. Sedangkan RW 06
merupakan area yang memiliki karakter area non kampung sekaligus area
kampung. Adapun karakter dari masing-masing area adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2. Tabel Karakter Area Fokus Studi Pada Awal Tahun 1990an
Karakter Pada Tahun 1990
Kategori Area Non Kampung Area Kampung
Lokasi RW 01 dan RW 06 RW 06

Fungsi/ • Hunian • Hunian


Pemanfaatan • Campuran (Hunian –Konveksi,
Lahan ex.Pabrik Batik)

Luas Lahan 300-1500 m2 40-100 m2

Penduduk • Kaum Tionghoa • Kaum Betawi


• Kaum Betawi
Karakter • Lebar jalan 3-5 m • Lebar jalan 1.5-2 m
Jaringan • Telah dihubungkan dengan jalan • Jalan kampung yang dapat
Jalan lingkungan yang memungkinkan dilalui oleh kendaraan seperti
untuk 2 arah dan dapat dilalui motor
oleh kendaraan seperti mobil.

44
Karakter 1-2 Lantai 1-2 Lantai
Bangunan

Keterangan: Foto karakter bangunan Keterangan: Foto karakter hunian


hunian dan campuran (hunian & ex. tahun 1990an di zona kampung.
pabrik batik) tahun 1990an
Sumber: Hasil Observasi dan Wawancara Penulis, 2016

45
4.2. Profil Kawasan Karet Kuningan
4.2.1. Aspek Wilayah dan Kependudukan
Sejak awal masa kemerdekaan Indonesia dan berfungsinya Jakarta sebagai
ibukota Republik Indonesia, Kampung Karet Kuningan sudah menjadi area
permukiman penduduk. Hal tersebut dapat dilihat pada peta tahun 1959 (Gambar
4.2). Secara administratif, Kelurahan Karet Kuningan kini merupakan salah satu
kelurahan yang berlokasi di Kecamatan Setiabudi, dan termasuk di dalam
wilayah Jakarta Selatan.

Kelurahan Karet Kelurahan


Menteng Atas

RW 02
RW 01

RW 07
RW 06 RW 05

Kelurahan RW 04
Karet Semanggi

Kelurahan Kuningan Timur


Gambar 4.6. Wilayah Administratif Kelurahan Karet Kuningan
Sumber: Peta Google Earth yang diolah Penulis, 2016

Berdasarkan wilayah administratifnya, Kelurahan Karet Kuningan pada sisi utara


berbatasan dengan Kelurahan Karet, sisi selatan berbatasan dengan Kelurahan
Kuningan Timur, sisi barat dengan Kelurahan Karet Semanggi, dan sisi timur
dengan Kelurahan Menteng Atas. Tambahan pula, secara geografis kelurahan
Karet Kuningan diapit oleh 3 jalan utama yang menghubungkan berbagai pusat
kegiatan penting dalam wilayah kota. 3 Jalan utama tersebut adalah; (1) Jl. Jend.
Sudirman, (2) Jl. Prof. Dr. Satrio, (3) Jl. H. Rasuna Said. Adapun luas dari
Kelurahan Karet Kuningan adalah 178,90 Ha dan terdiri atas 5 RW. Khusus RW
05* merupakan area yang menjadi bagian dari pengembangan kawasan Rasuna
Epicentrum.

46
Tabel 4.3. Luas Area dan Ruang Lahan Per RW Kelurahan Karet Kuningan
Area Ruang Lahan
Keterangan RW
(Ha) (Ha)
RW 01 15,8 10,27
RW 02 12,5 8.12
RW 04 57, 5 37.38
RW 05* 39,7 19,85
RW 06 15,3 9,85
RW 07 38, 1 24,75
Total Area 178,9 110,22
Sumber: Kantor Kelurahan Karet Kuningan

Berdasarkan statistik dari Kecamatan Setiabudi dan Kelurahan Karet Kuningan


per Januari 2016, jumlah penduduk yang tercatat di Kelurahan Karet Kuningan
adalah 27.799 jiwa. Namun jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada
tahun-tahun sebelumnya maka didapat data sebagai berikut.

Tabel 4.4. Tabel Jumlah Penduduk Kelurahan Karet Kuningan


Kepadatan
Tahun Populasi
(Jiwa/Ha)
2000 21.883 122
2010 25.606 143
2014 26.798 149
2016 27.799 155
Sumber: Kantor Kelurahan Karet Kuningan, Kecamatan Setiabudi Dalam Angka, 2014, 2015

Kampung Karet Kuningan pada dasarnya masih membawa sifat aslinya, yaitu
sebagai permukiman penduduk lokal yaitu oleh kaum Tionghoa dan juga kaum
Betawi. Berdasarkan hasil observasi lapangan terlihat bahwa masih banyak
hunian yang dihuni oleh kaum Tionghoa pada area non kampung yang tersebar di
RW 01 dan RW 06. Sedangkan area kampung yang berlokasi di RW 06 lebih
didominasi oleh kaum Betawi.
Namun sejak berkembangnya rumah kos pada tahun 2000an banyak pula
penduduk pendatang yang sifatnya musiman turut bermukim di Kelurahan Karet
Kuningan. Adapun penduduk yang sifatnya musiman ini tidak terkait dengan data
jumlah penduduk Kelurahan Karet Kuningan. 18

18
Wawancara, Kepala Seksi Kependudukan Kelurahan Karet Kuningan, Lisa Budiati, S.Sos

47
4.2.2. Aspek Tata Guna Lahan Kelurahan Karet Kuningan
4.2.2.1. Aspek Tata Guna Lahan Berdasarkan RTRW 2005
Pada RTRW 1985-2005 wilayah Kelurahan Karet Kuningan termasuk dalam
Kecamatan Setiabudi yang oleh Pemerintah Daerah ditetapkan sebagai salah satu
Kawasan Prioritas di Jakarta Selatan (Segitiga Emas Kuningan). Oleh karena itu,
terlihat pada Gambar 4.7. bahwa pada perimeter Kelurahan Karet Kuningan
direncanakan terdiri atas fungsi komersial. Pada RTRW ini terlihat pula adanya
zona dengan fungsi hunian dibelakang perimeter komersial.

Pada area fokus studi RW 01 dan RW 06, tata guna lahan lebih banyak
diperuntukan sebagai fungsi hunian. Berdasarkan Ketetapan Rancang Kota
(KRK) yang tertuang ada Lembar Rencana Kota (LRK) sebagai produk tata
ruang RTRW 2005 yang mengatur lebih detail mengenai peruntukan lahan, pada
area fokus studi umumnya peruntukan lahan berupa fungsi hunian berupa Wisma
Sedang (Wsd) dan Wisma Besar (Wbs) dengan ketentuan ketinggian bangunan 2
Lantai, KLB 1,20 dan KDB 60%.

RW 01
RW 06

Gambar 4.7. Kelurahan Karet Kuningan Dalam RTRW 2005


Sumber: Dinas Tata Kota Prov. DKI Jakarta

48
4.2.2.2. Aspek Tata Guna Lahan Berdasarkan RDTR 2010-2030
RDTR 2010-2030 merupakan konsep penataan ruang kota Prov. DKI Jakarta
yang posisinya menggantikan RTRW 1985-2005 yang termuat dalam Perda No. 1
Tahun 2014. Adapun konsep penataan ruang Kelurahan Karet Kuningan dalam
Kecamatan Setiabudi pada RDTR 2010-2030 dapat terlihat pada Gambar 4.8.
dibawah ini:

Keterangan:

Warna/ Peruntukan
Kode

Hunian

Kel. Komersial
Kel. Menteng
Karet Campuran
Atas
Hunian
Vertikal

Perkantoran,
Kel. Perdagangan
Karet dan Jasa
Semanggi KDB Rendah

Sarana
Pelayanan
Umum dan
Kel. Sosial
Kuningan
Pemerintahan
Timur Nasional

Perwakilan
Negara Asing

Batas
Kelurahan
Karet
Kuningan

Gambar 4.8. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kelurahan Karet Kuningan
Sumber: Perda No.1 Tahun 2014, Lampiran III-1

49
a. Kelurahan Karet Kuningan dalam Kecamatan Setiabudi
Menurut ketentuan RDTR, maka kondisi disekitar dan di dalam area Kelurahan
Karet Kuningan dalam Kecamatan Setiabudi direncanakan sebagai berikut:
Wilayah Karet Semanggi, Menteng Atas akan didominasi oleh zona
hunian vertikal dan komersial.
Pada Kelurahan Kuningan Timur terdapat komersial perkantoran,
campuran berupa mixed use, dan hunian dengan sub zona rumah besar
(R5) yang kini menurut kondisi eksisting adalah zona hunian kelas
menengah atas yang berposisi disekitar Mega Kuningan.
Pada Kelurahan Karet dan Karet Kuningan nampak bahwa komersial
akan berkembang di perimeter kawasan dan masih menyisakan
peruntukan hunian dibelakangnya (baik landed ataupun vertikal). Terlihat
bahwa tata guna lahan komersial pada kedua wilayah ini akan mengitari
zona hunian dan mengkondisikan zona tersebut untuk memiliki potensi
kedekatan secara jarak dengan komersial.

b. Kelurahan Karet Kuningan


Kebijakan pemerintah atas keberadaan Kelurahan Karet Kuningan yang paling
terlihat mendasar sampai saat ini adalah keinginan pemerintah menjadikan layer
kedua kawasan ini tetap sebagai zona hunian (lih. Gambar 4.8). Hal ini
mengisyaratkan bahwa sebetulnya rencana ini juga ditujukan untuk mewadahi
besarnya tekanan kebutuhan hunian akibat tingginya lajunya arus migrasi
penduduk yang masuk ke dalam kota Jakarta seiring dengan perkembangan
komersial disekeliling kawasan Karet Kuningan.

Bila diperhatikan secara lebih seksama dengan membandingkan RDTR 2010-


2030 dengan RTRW 2005 (lih. Gambar 4.7), maka beberapa area pada Kelurahan
Karet Kuningan yang berwarna kuning yang awalnya diperuntukkan untuk fungsi
hunian kini tidak murni kuning. Sebagian mulai dijadikan kuning berarsir hijau
yang berarti diperuntukkan sebagai hunian vertikal. Kondisi yang demikian
banyak terjadi disepanjang jalan kolektor antara Jl. Prof. Dr. Satrio dengan Jl. H.
Rasuna Said (lih. Gambar 4.8). Menurut observasi lapangan yang dilakukan oleh
penulis, zona hunian vertikal ini kini telah dibangun berbagai apartemen yang

50
mayoritas adalah apartemen menengah hingga menengah atas yang merujuk
kepada tendensi investasi properti.

c. Area Fokus Studi, RW 01 dan RW 06 Kelurahan Karet Kuningan


Pada RDTR 2010-2030, sisi barat area fokus studi (RW 01 dan RW 06) yang
bersisian dengan Jl. Prof. Dr. Satrio diperuntukkan sebagai komersial, namun
pada sisi utara dan selatan yang terkoneksi dengan jalan kolektor terdapat area
yang ditetapkan sebagai zona hunian vertikal (Zona R7). Secara umum terlihat
bahwa peruntukan lahan pada area fokus studi masih didominasi oleh fungsi
hunian dengan subzona R4 dan R5 (rumah sedang-besar), dengan ketentuan KDB
60%, KLB 1.20, dan Ketinggian Bangunan 2 Lantai. Jika disandingkan dengan
kondisi eksisting maka pada zona R4, R5 ditemukan banyak fungsi hunian yang
berubah menjadi rumah kos berintensitas 1-3 lantai. Sedangkan pada zona R7
berkembang hunian kost eksklusif dengan intensitas 8 lantai.

Keterangan:

Batas Administrasi RW

(R4) Zona Rumah Sedang

(R5) Zona Rumah Besar


RDTR

(R7) Zona Rumah Susun

Kondisi Eksisting Zona R4 Kondisi Eksisting Zona R5 Kondisi Zona R7


Eksisting

Area Non Kampung Area Non Kampung Area Kampung Area Non Kampung

Gambar 4.9. RDTR pada Area Fokus Studi RW 01 dan RW 06


Sumber: Perda No.1 Tahun 2014, Lampiran III-1

51
Namun terdapat ketidaksesuaian pada area fokus studi (RW 06) yang pada
kondisi eksisting ternyata masih menyisakan perkampungan dengan gang-gang
sempit dan lot rumah yang kecil. Namun jika disandingkan dengan RDTR ini,
area perkampungan yang dimaksud tersebut diperuntukan sebagai zona R5 yang
sebetulnya untuk subzona rumah besar dengan KLB yang diijinkan sebesar 1.20,
dengan ketinggian bangunan 2 lantai. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka
dapat dikatajan bahwa area kampung dapat memiliki intensitas dan ketentuan
membangun yang sama dengan area non kampung.Selain menetapkan peruntukan
lahan dan ketentuan membangun seperti KDB, KLB, KDH, kini dalam RDTR
2010-2030 kegiatan yang dilangsungkan pada sub zona maupun lahan pun telah
diatur ketentuannya. Kegiatan tersebut dapat bersifat yang diijinkan, terbatas,
bersyarat, dan tidak diijinkan dalam sebuah ruang lahan. Adapun ketentuan
tersebut terlampir pada contoh tabel di Gambar 4.10. dibawah ini.

Gambar 4.10. Contoh Tabel Pelaksanaan Kegiatan dalam Subzona Hunian


Sumber: RDTR 2010-2030 dalam Perda No.1 Tahun 2014, Lampiran VI

Jika disesuaikan dengan kondisi pada area fokus studi (RW 01 dan RW 06) yang
memang 70% ruang lahannya didominasi dengan peruntukan zona hunian dengan
subzona R4 dan R5, maka menurut ketentuan RDTR 2010-2030 lahan pada area

52
RW 01 dan RW 06 selain dapat dibangun rumah, maka kegiatan yang dapat
dikembangkan adalah rumah flat, rumah susun, guest house, dan rumah kos
secara bersyarat. Adapun ketentuan syarat yang dimaksud, menurut Badan
Perizinan PTSP PemProv. DKI misalnya:
a. Ijin Gangguan
b. Ijin Mendirikan Bangunan
c. Identitas Pemohon
d. NPWP
e. Lampiran Pajak Bumi dan Bangunan
f. Proposal Teknis yang memuat informasi:
Jumlah kamar yang akan disewakan
Penjelasan jasa yang ditawarkan
Denah bangunan
Daftar fasilitas(parkir harus proporsional dengan jumlah
pasokan kamar)
dll
Ketentuan bersyarat diatas merupakan peraturan yang baru ditetapkan dan
fungsinya sebagai kelengkapan teknis dari RDTR 2010-2030. Dimana peraturan
ini bertujuan untuk menjaga ketertiban atas pemanfaatan ruang lahan.

Secara keseluruhan, jika melihat tendensi rencana RDTR 2010-2030, maka


terlihat bahwa rencana tata ruang pada area fokus studi dimaksudkan untuk
beberapa hal19:
1. Masih ditetapkannya layer ke 2 kawasan sebagai kantong permukiman
mengisyaratkan bahwa pemerintah menyadari bahwa pengembangan
komersial akan diiringi oleh tuntutan kebutuhan akan hunian akibat
besarnya lajunya arus migrasi penduduk yang masuk ke dalam kota
Jakarta seiring dengan perkembangan komersial disekeliling kawasan
Karet Kuningan. Tuntutan akan kebutuhan akan hunian ini
dimungkinkan akan berujung kepada intensifikasi bahkan komersialisasi

19
Sutikno, Kepala Seksi Perencanaan Pola Ruang Dinas Penataan Kota DKI Jakarta, Wawancara
Oleh Penulis, Catatan Wawancara, Jakarta 8 April 2016

53
dengan mengalih fungsikan lahan hunian itu sendiri menjadi ruang yang
lebih produktif.
2. RDTR 2010-2030 berupaya menjadi perangkat untuk melengkapi
ketentuan tata ruang yang tidak disebutkan dalam RTRW 2005.
Misalnya; ketentuan mengenai Tabel Pelaksanaan Kegiatan dalam
Subzona (Gambar 4.10) dan Tabel Intensitas. Tujuannya diharapkan
sebagai kerangka acuan dan kontrol mengenai apa yang diijinkan dan
tidak diijinkan dalam alih fungsi ataupun pemanfaatan suatu lahan.

4.3. Perubahan Pada Perimeter Kawasan Karet Kuningan


Pembahasan mengenai dinamika perubahan yang terjadi pada kawasan Karet
Kuningan khususnya yang berkaitan dengan area fokus studi terbagi atas
perubahan yang terjadi pada perimeter kawasan Karet Kuningan dan perubahan
yang terjadi pada area fokus studi RW 01 dan RW 06.

4.3.1. Perkembangan Aksesibilitas


Periode tahun 1990an merupakan periode yang menjadi titik awal terjadinya
perubahan di perimeter kawasan Karet Kuningan, khususnya Jl. Prof. Dr Satrio
yang secara fisik bersisian dengan area fokus studi. Proses transformasi tersebut
diawali dengan dibukanya Jl. Prof Dr. Satrio hingga Kampung Melayu pada
tahun 1992 (lih. Gambar 4.11). Tambahan pula, pada RTRW 1985-2005,
Pemerintah DKI Jakarta juga memiliki rencana memperpanjang koridor Jalan
Prof. Dr. Satrio tersebut tidak hanya dari Tanah Abang hingga Kampung Melayu,
namun menerus sampai Pondok Kopi. Dengan demikian, rencana jalan tersebut
memperlihatkan bahwa poros baru ini akan menghubungkan wilayah timur
Jakarta langsung menuju pusat kota Jakarta. Dengan adanya pembangunan jalan
yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta sebelumnya, seperti pembangunan poros
baru dari Bundaran HI menuju Kebayoran yang kita kenal sekarang sebagai jalan
Jendral Sudirman (1962), poros Grogol-Cawang yang kita kenal sebagai Jalan
Gatot Subroto (1970), dan poros Menteng-Mampang yang kita kenal sebagai
Jalan Rasuna Said mengakibatkan posisi area permukiman Karet Kuningan
berada di kantong strategis di pusat kota yang dapat diakses melalui jalan-
jalan utama kota.

54
Periode Sebelum 1990
1950an- Akses
Karet Kuningan
Tanah Abang

1962- Jl. Jendral


Sudirman (Poros
Bundaran HI-
Kebayoran Baru)

1970an- Jl. H.
Rasuna Said (Poros
Menteng dan
Mampang)

1970an- Jl. Jend.


Gatot Subroto

Periode 1992-2000
1992an-Jl. Prof Dr.
Satrio (Poros Tanah
Abang-Kampung
Melayu)

1995an- Konsep
Mega Kuningan

Gambar 4.11. Pemetaan Perkembangan Akses di Sekitar Kawasan Karet Kuningan


Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

55
4.3.2. Perkembangan Tata Guna Lahan
Keberadaan Jalan Jendral Sudirman, Jalan H.R. Rasuna Said, Jalan Gatot
Subroto, dan kemudian Jalan Prof. Dr. Satrio yang menjadi jalan utama di Jakarta
ini membuat kawasan di perimeter perkampungan Karet Kuningan menjadi lahan
potensial bagi tumbuhnya perkantoran, pusat belanja, dan hunian vertikal yang
identik dengan pengembangan skala besar/ makro. Akibatnya, selain menjadi
strategis, kawasan perkampungan harus menerima tekanan dari pembangunan
yang terjadi di ketiga poros tersebut karena poros-poros tersebut menjadi poros-
poros utama kota.

Menurut Artadinata Djangkar direktur PT. Ciputra Property Tbk., saat melihat
bahwa pemerintah kota Jakarta memiliki rencana menembuskan jalan dari Pasar
Tanah Abang menuju Kampung Melayu pada 1992, pengusaha Ir. Ciputra
kemudian membebaskan lahan seluas 11 hektar di sekitar rencana jalan baru
tersebut. Jalan yang kita kenal saat ini sebagai Jalan Prof. Dr. Satrio kemudian
oleh Gubernur DKI Jakarta 1992-1997 dikenalkan sebagai sabuk belanja Jakarta
mengikuti dorongan Ir. Ciputra yang melihat Jakarta perlu area wisata belanja
seperti Orchard Road di Singapura atau Ginza di Tokyo, Jepang (Prabham,
2014). Untuk menunjang konsep tersebut maka dikeluarkan surat ijin
membangun di koridor Satrio yang diresmikan oleh mantan Gubernur DKI
Suryadi Sudirja, pada 31 Agustus 1997 kepada 9 pengembang (PT. Ciputra
Property Tbk, Grup Asiatic, PT. Duta Pertiwi Tbk, PT Danamon, PT Mega
Kuningan, PT Jakarta Setiabudi International, PT Putera Surya Perkasa, Jakarta
Land, dan Kawan Group (Grup Haka).

Meskipun pada tahun 1997 dikeluarkan Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan


Lokasi (SP3L) kepada 9 pengembang di perimeter Karet Kuningan sebagai
kelanjutan konsep Satrio shopping belt, namun di kala itu tidak terjadi perubahan
fungsi lahan secara signifikan (lih. Gambar 4.12). Hal tersebut disebabkan oleh
karena terjadinya krisis ekonomi antara 1997-1998 dan pasar real estat baru
kembali pulih pada tahun 2000an. Era tahun 2000an merupakan kelanjutan dari
titik pijak awal perubahan pada perimeter Karet Kuningan. Dimana konsep fungsi
komersial dan mixed use muncul sebagai pemikiran bahwa sektor konsumsi

56
menjadi penyelamat perekonomian. Adapun pemetaan perkembangan komersial
mulai dari periode 1992 hingga 2015 terlampir pada peta sebagai berikut:

Keterangan

Perkantoran
Hunian Vertikal
Hotel
Pusat Belanja &
Mixed Use

Jl. Prof. Dr. Satrio


Mega Kuningan

Batas Kelurahan
Karet Kuningan
Batas Administratif
RW

Gambar 4.12. Pemetaan Perkembangan Perimeter Kawasan Karet Kuningan


Pada Periode 1992-2000
Sumber: Property Report dan Data Sekunder yang diolah Penulis, 2016

Pada periode 1992-2000, PT. Ciputra Property Tbk merupakan salah satu pelopor
yang membangun di koridor Satrio. Pada tahun 1995 grup ini mengembangan
Somerset Grand Citra Serviced Apartment. Proyek ini menempati lahan seluas
1.1 hektar yang terdiri atas serviced apartment dan kondominium. Selain PT
Ciputra, Grup Asiatic turut membangun Mall Ambasador sebagai pusat
perbelanjaan pertama di koridor ini. Pada ujung koridor Satrio yang mengarah Jl.
Jend Sudirman, PT Danamon mengembangkan perkantoran Danamon 1 dan 2
yang kini dikenal sebagai Sampoerna Strategic. Pada periode tahun 1992-2000
selain di koridor Satrio, adapula perkantoran yang telah lebih dahulu berkembang
sejak 1980an di Jl. Jendral Sudirman, Jl. Rasuna Said, dan Jl. Gatot Subroto.

57
Keterangan

Perkantoran
Hunian Vertikal
Hotel
Pusat Belanja &
Mixed Use

Jl. Prof. Dr. Satrio


Mega Kuningan

Batas Kelurahan
Karet Kuningan
Batas Administratif
RW

Gambar 4.13. Pemetaan Perkembangan Perimeter Kawasan Karet Kuningan


Pada Periode 2001-2005
Sumber: Property Report dan Data Sekunder yang diolah Penulis, 2016

Era awal tahun 2000an merupakan kelanjutan dari titik pijak awal perubahan
pada perimeter/ layer satu Karet Kuningan. Dimana konsep fungsi komersial dan
mixed use muncul sebagai pemikiran bahwa sektor konsumsi menjadi penyelamat
perekonomian. Periode ini ditandai dengan dibangunnya trade center yaitu ITC
Kuningan yang bersebelahan dengan Mall Ambasador oleh PT. Duta Pertiwi
Tbk. Sementara itu, pada periode ini kawasan Mega Kuningan mulai diwarnai
pengembangan, diantaranya adalah beberapa perkantoran dan hotel (Hotel JW
Mariott). Pada periode 2001-2005 perubahan tata guna lahan pada Jl. Prof. Dr.
Satrio tidak banyak terjadi. Lahan yang sebelumnya telah dikuasi pengembang
besar pada tahun 1997 tidak terjadi aktivitas pengembangan oleh karena pasar
real estat masih berupaya bangkit dari keterpurukan pasca krisis ekonomi.

58
Keterangan

Perkantoran
Hunian Vertikal
Hotel
Pusat Belanja &
Mixed Use

Jl. Prof. Dr. Satrio


Mega Kuningan

Batas Kelurahan
Karet Kuningan
Batas Administratif
RW

Gambar 4.14. Pemetaan Perkembangan Perimeter Kawasan Karet Kuningan


Pada Periode 2006-2015
Sumber: Property Report dan Data Sekunder yang diolah Penulis, 2016

Era setelah tahun 2005, tepatnya mulai tahun 2006-2015 merupakan era dimana
pesatnya terjadi perubahan pada koridor Satrio. Jika dilihat pada Gambar 4.14.
maka koridor Satrio pada periode ini diwarnai oleh perkembangan mixed use
yang umumnya terdiri atas pusat belanja, hunian vertikal, dan kantor.
Pengembangan mixed use pada koridor Satrio di periode ini dilakukan oleh PT.
Ciputra Property Tbk yang mengembangkan Ciputra World 1 dan Ciputra World
2. Selain itu adapula Agung Podomoro Group yang mengembangkan Kuningan
City. Selain fungsi campuran/ mixed use, pada periode ini berkembang pula
perkantoran pada koridor Satrio, Kawasan Mega Kuningan dan Jl. Jend
Sudirman. Umumnya perkembangan kantor di Jl. Jend Sudirman merupakan
ekspansi dari gedung kantor yang telah ada sejak 1980an. Misalnya area Wisma

59
Metropolitan yang kini mengembangan World Trade Center 2, yang posisinya
berada di sisi utara area fokus studi (RW 01 dan RW 06). Pada periode ini
terdapat tekanan perkembangan komersial yang berasal dari Jl. Jend Sudirman
dan Jl. Prof. Dr. Satrio.
Bila dipetakan berdasarkan tahun pengembangan dan intensitasnya, maka kondisi
perkembangan komersial di koridor Satrio dan sekitarnya adalah sebagai berikut:

Gambar 4.15. Pemetaan Komersial Berdasarkan Tahun Pengembangan dan Intensitas


Sumber: Property Report dan Data Sekunder yang diolah Penulis, 2016

Gambar 4.15 hendak menjelaskan beberapa kondisi sebagai berikut:


• Pengembangan dengan intensitas lebih dari 100.000m2 mayoritas terjadi
pada Jl. Prof. Dr. Satrio.
• Pengembangan yang berbatasan dengan area fokus studi (RW 01 dan RW
06) adalah koridor Jl. Prof. Dr. Satrio dan Jl. Jend. Sudirman. Pada area

60
ini perubahan didominasi oleh fungsi perkantoran dan campuran (mixed
use).
• Sisi utara area fokus studi didominasi oleh fungsi perkantoran yang telah
ada sejak tahun 1990an, sedangkan di sisi selatan oleh proyek
pengembangan tahun 2006 hingga 2015
• Koridor Satrio belum 100% mengalami transformasi fisik, masih
memungkinkan tumbuh komersial baru di sekitar area fokus studi.

Bila diperhitungkan intensitasnya, maka jumlah pengembangan perkantoran dan


komersial yang terjadi di perimeter Karet Kuningan tersebut telah mencapai
hampir 1.000.000 m2 dalam 10 tahun terakhir (periode 2006-2015). Jika ditinjau
dari aktivitas pemanfaatan ruang kota, maka alih fungsi guna lahan yang terjadi
di perimeter Karet Kuningan yang dilakukan oleh pengembang-pengembang
tersebut adalah berskala besar dan bersifat merubah-mentransformasi kondisi
fisik yang ada di Jalan Prof. Dr Satrio.

4.4. Perubahan Pada Area Fokus Studi


4.4.1. Perubahan Fungsi Lahan
Perubahan pada area fokus studi ditandai dengan adanya alih fungsi lahan yang
mengakibatkan munculnya pemanfaatan baru terhadap ruang lahan tersebut.
Adapun untuk membahas mengenai dinamika perubahan fungsi lahan pada area
fokus studi, maka terdapat 3 hal yang dijadikan sebagai tinjauan. 3 hal tersebut
adalah; (a) Berdasarkan fungsi awal lahan, (b) Berdasarkan lokasi, (c)
Berdasarkan klasifikasi luas lahan.

Untuk parameter waktu, maka pembahasan mengenai perubahan fungsi lahan


pada area fokus studi dibagi menjadi 3 periode. Pembagian periode ini
didasarkan pada pembabakan yang telah digunakan untuk menjelaskan
perubahan kondisi yang terjadi pada perimeter kawasan Karet Kuningan (lih. sub
bab 4.3). Tujuannya adalah untuk mempermudah dalam hal mencari hubungan/
korelasi antara perubahan yang terjadi di luar area fokus studi dengan perubahan
yang terjadi di dalam area fokus studi. Adapun periode yang dimaksud adalah;
(1) Periode 1992-2000, (2) Periode 2001-2005, (3) Periode 2006-2015.

61
Sebelumnya pada bagian 4.1. halaman 43 dalam tesis ini telah disebutkan bahwa
pasca berhentinya produksi batik pada tahun 1990an, area fokus studi memiliki 2
jenis fungsi lahan, yaitu: (1) Lahan dengan fungsi hunian seluas 87%, (2) Lahan
dengan fungsi campuran (hunian dan konveksi- ex industri batik) seluas 13%.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya area disekitar
Karet Kuningan, lahan dengan fungsi awal yang demikian berubah menjadi lahan
dengan aktivitas pemanfaatan baru, antara lain; (1) lahan hunian menjadi rumah
kos atau komersial dan (2) lahan campuran menjadi rumah kos; yang sifatnya
menjadi penyedia tempat tinggal bagi pekerja di kawasan komersial (Kuningan &
Sudirman).
Periode 1992-2000 merupakan periode awal terjadinya perubahan fungsi lahan di
area fokus studi. Gambaran kondisinya ditampilkan dalam Gambar 4.16 berikut.

Gambar 4.16. Peta Perubahan Fungsi Lahan di Area Fokus Studi, Periode 1992-2000
Sumber: Peta Kadaster DKI Jakarta, Tahun 2000 yang diolah penulis, 2016

62
Pada Gambar 4.16 terlihat bahwa pada periode 1992-2000 alih fungsi lahan
mayoritas menghasilkan fungsi berupa rumah kos. Perubahan tersebut dapat
berasal dari lahan dengan fungsi awal hunian atau lahan dengan fungsi awal
campuran. Secara spasial, perubahan terlihat dominan terjadi pada RW 01 yang
merupakan area non kampung dan memiliki kedekatan jarak dengan gedung
perkantoran Wisma Metropolitan 1,2 yang telah beroperasi sejak 1980an dan
Gedung Danamon 1 dan 2 yang beroperasi sejak 1995.

Bila ditelaah berdasarkan prosentase luas ruang lahan, maka pada periode ini
terjadi konversi fungsi lahan sebesar 5%. Dimana 4% menjadi rumah kos dan 1%
menjadi komersial. Sedangkan luas ruang lahan di area fokus studi yang tidak
mengalami perubahan adalah 95% (lih.Gambar 4.17).

Keterangan:

Lahan yang tidak mengalami perubahan fungsi

(85% Hunian & Perubahan fungsi lahan menjadi rumah kos


10% Campuran)
Perubahan fungsi lahan menjadi komersial

Gambar 4.17. Diagram Perubahan Fungsi Lahan Periode 1992-2000


Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

Sedangkan pada periode 2001-2005, alih fungsi lahan menjadi rumah kos dan
komersial terjadi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan periode
1992-2000. Perubahan yang pada awalnya terjadi di RW 01 kini mulai memasuki
area non kampung pada RW 06. Meskipun sudah memasuki area non kampung di
RW 06, tetapi perubahan fungsi lahan belum terjadi di area kampung.

Bila dibandingkan dengan pola kemunculannya; maka pada periode 1992-2000


perubahan fungsi lahan tersebar di area RW 01. Namun perubahan yang baru
terjadi pada pada periode 2001-2005 mayoritas terlihat mengumpul pada area
fokus studi yang relatif bersisian dengan Jl. Prof. Dr. Satrio.

63
Gambar 4.18. Peta Perubahan Fungsi Lahan di Area Fokus Studi, Periode 2001-2005
Sumber: Peta Kadaster DKI Jakarta, Tahun 2000 yang diolah penulis, 2016

Pada Gambar 4.18 nampak bahwa salah satu perubahan alih fungsi lahan yang
terlihat banyak terjadi di periode 2001-2005 adalah kemunculan alih fungsi
komersial yang seluruhnya mengalihkan lahan dengan fungsi awal hunian.
Umumnya alih fungsi lahan hunian menjadi komersial ini memunculkan
bentukan ruko 2 lantai ataupun kios deret. Berdasarkan hasil wawancara kepada
Ibu Cony (55 Tahun) yang merupakan anak dari pemilik salah satu ruko deret
tersebut; kios dan ruko dahulunya berupa hunian dengan lahan besar. Namun
pada masa krisis, lahan tersebut dibagi dan dibangun menjadi kios sewa pada sisi
depan dan masih terdapat hunian pemilik pada sisi belakang. Hal ini banyak

64
dilakukan oleh warga asli Karet sebagai strategi usaha untuk bangkit dari masa
krisis ekonomi 1998, dimana menurutnya pada waktu itu biaya investasinya
relatif lebih kecil dibandingkan membuat rumah kos. Dahulu jenis usaha yang
berkembang pada ruko dan kios sewa tersebut umumnya adalah restoran yang
umumnya dikunjungi oleh pegawai kantor di Jl. Jend. Sudirman.

Bila dibandingkan dengan periode sebelumnya, luas ruang lahan yang teralih
fungsikan menjadi rumah kos pada periode 2001-2005 naik 2 kali lipat dari 4%
menjadi 8%. Sedangkan alih fungsi lahan menjadi komersial naik 4 kali lipat dari
1% menjadi 4%. Luas ruang lahan yang tidak mengalami perubahan fungsi
adalah 88% (lih.Gambar 4.19).

Keterangan:

Lahan yang tidak mengalami perubahan fungsi

Perubahan fungsi lahan menjadi rumah kos


(81% Hunian &
7% Campuran)
Perubahan fungsi lahan menjadi komersial

Gambar 4.19. Diagram Perubahan Fungsi Lahan Periode 2001-2005


Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

Periode 2006-2015 merupakan masa dimana terjadi perubahan fungsi lahan dari
fungsi awal berupa hunian maupun campuran menjadi rumah kos secara besar-
besaran. Pada gambar 4.20 terlihat bahwa perubahan tersebar diseluruh area
fokus studi dan telah menginvasi area kampung di RW 06. Pada periode ini alih
fungsi lahan hunian menjadi rumah kos lebih banyak jumlahnya dibandingkan
dengan alih fungsi lahan campuran menjadi rumah kos.

Pada periode 2006-2015 perubahan fungsi lahan hunian menjadi fungsi komersial
lebih sedikit jumlahnya dibandingkan perubahan menjadi rumah kos. Namun
tumbuh komersial dengan jenis kegiatan baru yaitu area sewa parkir umum
(untuk mobil) yang melayani kebutuhan penghuni kos (lih. Gambar 4.20).

65
Gambar 4.20. Peta Perubahan Fungsi Lahan di Area Fokus Studi, Periode 2006-2015
Sumber: Peta Kadaster DKI Jakarta, Tahun 2000 yang diolah penulis, 2016

Bila ditinjau dari sisi luas ruang lahan yang mengalami perubahan, maka alih
fungsi lahan menjadi rumah kos pada periode 2006-2015 naik hampir 3 kali lipat
dari 8% menjadi 22% bila dibandingkan dengan periode 2001-2005. Sedangkan
alih fungsi lahan menjadi komersial tidak banyak mengalami perubahan (4%
menjadi 6%). Dengan adanya alih fungsi lahan tersebut, maka prosentase luas
ruang lahan yang tidak mengalami perubahan kini tersisa 72% dimana semuanya
adalah lahan dengan fungsi hunian. Adapun pada periode ini tidak ditemukan lagi
lahan campuran (hunian dan konveksi ex. industri batik) pada area fokus studi;
karena seluruhnya telah berubah menjadi lahan dengan pemanfaatan rumah kos.

66
Keterangan:

Lahan yang tidak mengalami perubahan fungsi

Perubahan fungsi lahan menjadi rumah kos

(72% Hunian & Perubahan fungsi lahan menjadi komersial


0% Campuran)

Gambar 4.21. Diagram Perubahan Fungsi Lahan Periode 2006-2015


Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

a. Perubahan Fungsi Lahan Ditinjau dari Fungsi Awal Lahan


Berdasarkan perkembangan alih fungsi lahan dalam 3 periode diatas, maka
ditemukan bahwa yang dominan adalah perubahan fungsi lahan menjadi rumah
kos. Namun apabila perubahan tersebut ditinjau berdasarkan fungsi awal
lahannya maka dapat diketahui sebagai berikut:

15%  9,14% (1,92 Ha) Lahan Hunian Menjadi Rumah Kos


6% (1,2 Ha) Lahan Hunian Menjadi Komersial

Gambar 4.22. Grafik Perubahan Lahan dengan Fungsi Awal Hunian


Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

Gambar 4.22 dan Gambar 4.23 menunjukkan bahwa perubahan fungsi lahan
menjadi rumah kos adalah sebesar 22 % . Dimana ±9,14% (1,92 Ha) berasal dari

67
ruang lahan dengan fungsi awal hunian dan 13% (2,62 Ha) berasal dari lahan
dengan fungsi awal campuran. Sedangkan perubahan fungsi lahan menjadi
komersial adalah seluas 6% dimana seluruhnya berasal dari fungsi awal lahan
hunian.

13%  13% (2,62 Ha) Lahan Campuran Menjadi Rumah Kos

Gambar 4.23. Grafik Perubahan Lahan dengan Fungsi Awal Campuran


Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

Gambar 4.24. Grafik Perubahan Fungsi Lahan yang Menjadi Rumah Kos
Berdasarkan Fungsi Awal Per Periode
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

68
Bila dilihat per periode pada Gambar 4.24. maka perubahan lahan menjadi rumah
kos pada periode 1992-2000 secara luasan dan fungsi awal lahan didominasi oleh
lahan dengan fungsi campuran. Sedangkan pada periode 2006-2015 banyak
terjadi perubahan lahan dengan fungsi awal hunian menjadi rumah kos hingga
luasannya saat ini melebihi perubahan lahan melalui fungsi awal campuran.
Diantara 3 periode, perubahan fungsi lahan menjadi rumah kos adalah yang
paling signifikan dan terjadi pada periode 2006-2015. Kini luasan total lahan
yang berubah menjadi fungsi rumah kos adalah 45.467 m2 (4.54 Ha). Adapun
4,50 Ha terjadi pada area non kampung dan 0,04 Ha terjadi di area kampung.
Adapun pertambahannya secara periodik maupun kumulatif terlampir pada grafik
dibawah ini.

4% 8% 22%

Gambar 4.25. Grafik Alih Fungsi Lahan yang Menjadi Rumah Kos
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

b. Perubahan Fungsi Lahan Ditinjau dari Lokasi


Berdasarkan hasil pemetaan yang telah dijelaskan sebelumnya dan apabila
ditinjau dari lokasinya, maka perubahan lahan menjadi fungsi rumah kos dapat
terjadi pada; (1) Jalan kampung, (2) Jalan lingkungan, (3) Jalan kolektor. Definisi

69
dari ketiga kelas jalan tersebut dalam konteks area fokus studi adalah sebagai
berikut:
Jalan kampung: adalah jalan MHT yang berada di area kampung.
Jalan lingkungan: jalan jaringan yang terdapat di area non kampung.
Jalan kolektor: Jl. Karet Pendurenan yang menghubungkan Jl. Prof. Dr
Satrio dan Jl. H. Rasuna Said yang terletak pada area non kampung.
Perubahan fungsi lahan menjadi rumah kos berdasarkan lokasi dalam area fokus
studi terlampir pada gambar berikut ini:

Gambar 4.26. Perubahan Fungsi Lahan Menjadi Rumah Kos Berdasarkan Lokasi
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016
Gambar diatas memperlihatkan bahwa perubahan pada area fokus studi diawali
pada jalan lingkungan dan hingga periode 2006-2015 perubahan fungsi lahan
kerap terjadi pada tepi jalan lingkungan. Perubahan pada jalan kolektor mulai
terjadi pada periode 2001-2005 dan meningkat 3 kali lipat jumlahnya pada
periode berikutnya. Sedangkan perubahan pada jalan kampung baru terjadi
belakangan di periode 2006-2015, jumlahnya pun sangat sedikit dibandingkan
perubahan pada kelas jalan lingkungan dan kolektor. Secara kumulatif, dari 60
sampel rumah kos, 80% perubahan terjadi di area non kampung dan di tepi jalan
lingkungan

70
c. Perubahan Fungsi Lahan Ditinjau dari Klasifikasi Luas Lahan
Adapun alih fungsi lahan awalnya dipelopori oleh lahan berukuran 500-1000m2 ,
namun sejak periode 2006-2015 alih fungsi lahan didominasi oleh lahan yang
berukuran 100-500m2. Diantara klasifikasi luas lahan, maka lahan 100-500m2
mengalami peningkatan disepanjang 3 periode. Sedangkan alih fungsi lahan
lebih dari 1500m2 baru muncul pada periode 2006-2015 (lih. Gambar 4.27).

Gambar 4.27. Perubahan Fungsi Lahan Berdasarkan Klasifikasi Luas Lahan


Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

Dari 60 sampel rumah kos, 50% nya merupakan rumah kos dengan lahan 100-
500m2. Selain itu bila dibandingkan dalam 3 periode, terlihat bahwa alih fungsi
lahan menjadi rumah kos memiliki tendensi besar di lahan ukuran 100-500m2
yang umumnya terdapat di tepi jalan lingkungan dan fungsi awalnya adalah
berupa hunian.
Sedangkan lahan yang memiliki luasan lebih dari 500m2 adalah lahan yang
umumnya memiliki fungsi awal berupa lahan campuran (hunian dan konveksi,
ex. industri batik). Perubahan fungsi lahan campuran tidak akan terjadi lagi pada
area fokus studi karena seluruhnya telah berubah menjadi rumah kos (lih.Gambar
4.23).

71
4.4.2. Perubahan Intensitas
Dinamika perubahan yang terjadi pada area fokus studi diawali dari adanya
perubahan fungsi lahan. Dari adanya perubahan fungsi lahan ini mengakibatkan
adanya perubahan fisik meliputi bentuk bangunan dan intensitas. Berubahnya
intensitas pun memiliki dinamika sendiri dalam tiap periode yang satu terhadap
periode yang lain. Adapun tinjauan yang digunakan untuk memaparkan lebih
lanjut mengenai dinamika perubahan intensitas dalam area fokus studi adalah
sebagai berikut; (1) Berdasarkan daya tampung lahan, (2) Berdasarkan jumlah
kamar per unit usaha rumah kos, (3) Berdasarkan ketinggian bangunan.

a. Berdasarkan Daya Tampung Lahan


Pada area fokus studi; alih fungsi lahan tidak hanya sekedar konversi kegiatan
pada ruang lahan tetapi juga terkait produktifitas ruang yang dapat disewakan
oleh pemiliknya. Dalam hal ini ruang sewa yang dimaksud adalah unit kamar
kos. Banyaknya jumlah unit kamar kos yang terdapat dalam suatu satuan ruang
lahan pada area fokus studi didefinisikan sebagai daya tampung lahan di dalam
tesis ini. Informasi mengenai daya tampung lahan yang ada di area fokus studi
digunakan untuk mendapat gambaran dari tendensi perubahan intensitas (dimensi
pengembangan).

Tabel 4.5. Tabel Intensitas Perubahan Rumah Kos di Area Fokus Studi
(D) = 1000 x (B)
(A) (B) (C) (A)
Lahan Unit Kamar Unit Bangunan Daya Tampung/
Periode (m2) Kos Kos 1000m2 Lahan
1992-2000 8201 303 9 37
2001-2005 8608 391 11 45
2006-2015 28.658 1633 40 57
Total 45.467 2327 60
Sumber: Observasi, wawancara, yang diolah penulis, 2016

Pada tabel 4.5 terlihat bahwa jumlah unit kamar kos kian meningkat dari periode
satu terhadap periode lainnya dan puncaknya terjadi pada periode 2006-2015.
Dimana pasokan unit kamar kos pada periode ini adalah 5 kali lebih banyak
dibandingkan periode 1992-2000. Padahal alih fungsi lahan hanya naik sekitar 3
kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa:

72
Semakin menuju kondisi terkini produktifitas kamar kos diatas ruang
lahan pada area fokus studi semakin meningkat (dimensi pengembangan
semakin besar). Dimana ruang lahan menjadi sebuah komoditas yang
didorong untuk menampung peningkatan intensitas tersebut.
Daya tampung lahan per satuan 1000 m2 meningkat 1,5 kali lipat
dibandingkan kondisi awal (lahan semakin padat oleh pengembangan
kamar kos).
Berdasarkan Tabel 4.5, jumlah kumulatif unit kamar kos yang ada/ telah
beroperasi pada area fokus studi hingga tahun 2015 adalah 2327 kamar kos.
Dimana 73% dari jumlah tersebut merupakan kamar yang memiliki harga sewa
diatas Rp. 2.000.000 dan 23 % memiliki harga sewa kurang dari Rp. 2.000.000.

Harga Sewa < Rp. 2 Jt


Harga Sewa Rp. 2,1-3 Jt
Harga Sewa Rp. 3,1-4 Jt
Harga Sewa > Rp. 4 Jt

Catatan:
90% sistem sewa bulanan,
dan hanya 10% yang dapat
sewa harian / bulanan.

Gambar 4.28. Diagram Harga Sewa Kamar Kos di Area Fokus Studi
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

Adapun dari 2327 kamar tersebut 90% merupakan sistem sewa bulanan, dan
hanya 10% yang dapat disewakan harian atau bulanan. Umumnya yang 10%
adalah kos-kosan eksklusif yang fasilitas dan kualitas kamarnya adalah setara
hotel bintang 3.

Gambar 4.29. Kos Eksklusif di Area Fokus Studi


Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

73
b. Berdasarkan Jumlah Kamar Per Unit Bangunan

Gambar 4.30. Perubahan Intensitas Berdasarkan Jumlah Kamar Per Unit Bangunan Kos
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

Gambar 4.30 menunjukkan kondisi bahwa intensitas pasokan jumlah kamar


dipelopori oleh bangunan rumah kos yang memasok 15-35 kamar atau 36-55
kamar pada periode 1992-2000. 2 klasifikasi ini populer hingga periode 2006-
2015. Sedangkan intensitas lebih dari 55 kamar baru terjadi di periode 2006-2015
dan jumlahnya terbatas. Secara umum terlihat bahwa pada area fokus studi
intensitas jumlah kamar pada bangunan kos dominan berada pada range 15-35
kamar.

c. Berdasarkan Ketinggian Bangunan


Perubahan ketinggian bangunan merupakan salah satu tinjauan bahwa adanya
peningkatan intensitas. Peningkatan intensitas bangunan (ketinggian bangunan)
yang terjadi pada area fokus studi ini mayoritas terjadi oleh karena upaya
penyediaan unit-unit kamar kos. Pada periode 1992-2000 umumnya rumah kos

74
yang ada hanya berupa 1-2 lantai. Saat periode 2001-2005 umumnya terjadi
peningkatan intensitas bangunan rumah kos yang tadinya adalah 1 atau 2 lantai
menjadi 2- hingga 3 lantai. Sedangkan pada periode 2006-2015 umumnya rumah
kos minimal dikembangkan dalam 3 lantai. Hal ini seiring oleh terbitnya Pergub
72 Tahun 2013 Tentang Bangunan Rumah Tinggal 3 Lantai yang turut membuka
peluang usaha kos pada hunian dengan intensitas 3 lantai. Namun tidak hanya
itu, nyatanya pada periode 2006-2015, adapula rumah kos yang dikembangkan
pada intensitas 6-8 lantai (umumnya merupakan rumah kos eksklusif yang dapat
disewa harian, atau bulanan). Secara skematis grafis digambarkan sebagai
berikut:

Periode 1992-2000 Periode 2001-2005 Periode 2006-2015

Gambar 4.31. Perubahan Intensitas Berdasarkan Ketinggian Bangunan


Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

4.4.3. Perubahan Pola Adaptasi Pelaku Pengembangan


Perubahan fungsi lahan yang terjadi di area fokus studi mayoritas menghasilkan
output berupa bentukan rumah kos yang dikembangkan oleh pemiliknya untuk
kepentingan bisnis. Secara kategori pemilik, perubahan ini dapat dilakukan oleh
pemilik yang merupakan penduduk asal Karet Kuningan maupun pendatang
(investor). Dalam hal alih fungsi lahan ini pemilik berperan sebagai driver

75
/human agent dalam melakukan adaptasi melalui konversi fungsi atas ruang lahan
yang dimilikinya dan menentukan tipe yang dianggapnya dapat mengakomodir
tujuannya. Tujuan dari pemilik dalam mengalih fungsikan lahannya pada area
fokus studi mencakup 2 hal, yaitu; (1) tinggal dan usaha kos, (2) usaha kos.
Sehingga fungsi rumah kos pada area fokus studi selain merupakan kamar sewa
bagi penduduk tidak tetap di Karet Kuningan, namun adapula fungsi kos-kosan
yang juga sekaligus sebagai tempat tinggal pemiliknya. Seringkali dalam
mencapai tujuan tersebut pemilik kos yang tadinya warga asli pindah ke luar area
Karet Kuningan atau membeli lahan di area lain di sekitar Karet. Berdasarkan
kondisi tersebut, maka terdapat 3 tipe kos-kosan yang ditemukan pada area fokus
studi:
Tipe A : Kos-kosan yang pemiliknya tinggal di dalam satu lahan.
Tipe B : Kos-kosan yang pemiliknya tinggal di luar rumah kos tetapi
masi tinggal sekitar kawasan Karet Kuningan
Tipe C : Kos-kosan yang pemiliknya tinggal di luar kawasan Karet
Kuningan.

Gambar 4.32. Tipe Kos di Area Fokus Studi Berdasarkan Profil Pemilik
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

Ilustrasi kos tipe A (lih. Gambar 4.33) merupakan contoh kos-kosan dimana
pemilik masih tinggal bersama dengan para penyewa kos-kosan. Pemilik kos-
kosan merupakan warga Karet Kuningan yang merubah pemanfaatan lahannya

76
menjadi rumah kos. Perubahan fungsi lahan dilakukan melalui 2 pendekatan; (1)
Membangun bangunan baru untuk dijadikan sebagai tempat kos dan membangun
paviliun/ rumah pemilik pada areal lahan yang sama. (2) Membangun bangunan
baru berupa kos-kosan dan pemilik tinggal satu atap dengan penyewa. Kedua tipe
kos-kosan ini banyak ditemukan di jalan lingkungan dengan lebar jalan 4-6m
yang dapat diakses oleh mobil. Kos-kos an yang dapat melakukan pendekatan (1)
memiliki fungsi awal berupa lahan campuran (hunian dan konveksi-ex.pabrik
batik), karena memiliki area yang luas (1000-2000m2) untuk dibangun kos-kosan,
paviliun pemilik, dan juga area parkir untuk penghuni yang cukup banyak. Tipe
A (1) mayoritas terjadi pada periode 1992-2000.

Sedangkan kos-kos an Tipe A yang melakukan pendekatan (2) fungsi awalnya


merupakan hunian yang memiliki luas lahan yang terbatas (dibawah 500m2).
Sehingga dengan keterbatasan yang ada, pemilik berusaha untuk melakukan
bisnis kos dan tinggal satu atap dengan penyewa.

Tipe
A.1.

Tipe
A.2.

Gambar 4.33. Rumah Kos Tipe A di Area Fokus Studi


Sumber: Hasil Observasi Penulis, 2016

77
Ilustrasi kos tipe B (lih. Gambar 4.34) merupakan contoh kos-kosan dimana
pemilik tidak tinggal di bangunan kos-kosan, melainkan tinggal di sekitar
kawasan Karet Kuningan atau umumnya masih di dalam kawasan satu kelurahan
Karet Kuningan. Pada Tipe B bangunan kos-kosan hanya digunakan oleh
penghuni kos dan pengurus kos-kosan yang ditunjuk pemilik. Pemilik kos
umumnya masih penduduk Karet Kuningan yang berkeputusan untuk pindah ke
sekitar Karet Kuningan untuk kemudian membangun rumah kos sebagai usaha/
bisnis. Lahan yang digunakan untuk mengembangkan kos biasanya merupakan
warisan orang tua.

Bangunan kos-kosan Tipe B umumnya merupakan bangunan baru yang sudah


mempertimbangkan estetika bangunan sebagai daya tarik bagi penyewa.
Umumnya bangunan kos-kosan Tipe B ini memiliki ukuran besar dan memiliki
jumlah kamar yang banyak. Kos-kosan ini banyak terdapat di sepanjang jalan
lingkungan yang terkoneksi dengan jalan kolektor dan berkembang pada periode
2001-2005 dan berlanjut pada periode 2006-2015.

Gambar 4.34. Rumah Kos Tipe B di Area Fokus Studi


Sumber: Hasil Observasi Penulis, 2016

78
Ilustrasi kos tipe C (lih. Gambar 4.35) merupakan contoh kos-kosan dimana
pemilik tidak tinggal di bangunan kos-kosan, melainkan tinggal di luar kawasan
Karet Kuningan. Dari hasil wawancara, pemilik yang mengembangkan tipe ini
dapat berupa warga asli Karet Kuningan yang pindah atau investor yang tertarik
mengenai potensi lokasi dari Karet Kuningan untuk kemudian mengembangkan
bisnis rumah kos. Kini pemilik tipe kos ini ada yang berdomisili di Puri Indah,
Pondok Indah, Menteng, bahkan di luar kota seperti Solo.

Kos-kos an tipe C dibagi menjadi 2 jenis; (1) kos yang dibangun oleh investor,
(2) kos yang dibangun oleh warga Karet Kuningan. Kos tipe C dengan
pendekatan (1) adalah yang dibangun oleh investor umumnya memiliki lahan
luas dengan posisi yang strategis, yaitu di jalan kolektor (Jl. Karet Pendurenan).
Menurut info dari beberapa narasumber, pemilik kos tipe ini mendapat lahan
berdasarkan proses jual beli. Adapun kos tipe ini umumnya memiliki unit kamar
yang banyak, tinggi bangunan 4 sampai 8 lantai dengan parkir yang memadai,
fasilitas dan kualitas ruang seperti hotel serta dapat disewakan harian. Profil
penghuni pada tipe ini banyak ditemui ekspatriat yang bekerja di Mega Kuningan
maupun Sudirman. Adapula dari kantor-kantor di sekitar area Karet Kuningan
yang langsung menunjuk beberapa kos dengan tipe ini untuk menyewakan
akomodasi bagi tenaga ahli mereka.

Gambar 4.35. Kos Tipe C (1) di Area Fokus Studi


Sumber: Hasil Observasi Penulis, 2016

79
Ilustrasi Gambar 4.36 merupakan contoh kos-kos an Tipe C (2) adalah yang
dibangun tipe kos yang pemiliknya adalah warga asli Karet Kuningan yang
tinggal diluar kawasan Karet Kuningan oleh karena lahan satu-satunya telah
dikembangkan rumah kos. Tipe kos C (2) ini dapat ditemukan pada area
kampung dan area non kampung. Luas lahan yang dialih fungsi dari hunian
menjadi kos-kos an pun umumnya 100-180m2. Munculnya tipe C (2) ini mulai
terjadi pada periode 2006-2015 dimana umumnya kondisi ini baru terjadi di
mulut-mulut gang kampung yang terkoneksi dengan jalan lingkungan. Menurut
hasil survey lapangan saat ini, kos-kos an tipe C (2) rata-rata memiliki intensitas
jumlah kamar 20 unit dan ketinggian bangunan 3 lantai. Umumnya kos tipe ini
berdasarkan hasil wawancara baru beroperasi sekitar 3-5 tahun.

Akses Masuk Area Kampung Kos Tipe C (2)

Gambar 4.36. Kos Tipe C (2) di Area Fokus Studi


Sumber: Hasil Observasi Penulis, 2016

80
Tabel 4.6. Tabel Tipe Kos di Karet Kuningan

Karakter Tipe A Tipe B Tipe C


Tipe A.1 Tipe A.2 Tipe C.1 Tipe C.2
Pemilik Warga Karet Kuningan Warga Karet Kuningan Pendatang (Investor) Warga Karet Kuningan
Domisili Tinggal di Karet Kuningan/ Di wilayah lain/ di luar Di wilayah lain di luar Karet
Tinggal di Karet Kuningan
Pemilik di sekitar Karet Kuningan Karet Kuningan Kuningan
Bangunan Terpisah dengan rumah Tergabung Di luar rumah kos Di luar rumah kos Di luar rumah kos
Tempat Tinggal kos namun masih dalam dengan rumah
Pemilik satu lahan dengan kos- kos
kosan
100-500 m2 1000-1500 m2 100-180 m2
Luas Lahan 1000-2000 m2 100-500 m2
501-1000 m2
Penyebaran Jalan lingkungan Jalan Jalan Lingkungan Jalan kolektor & jalan Gang Kampung
Lingkungan lingkungan yang terkoneksi
dengan jalan arteri Jalan Lingkungan
Periode 1992-2000
2001-2005an 2001-2005an hingga 2006-2015 2006-2015
Pengembangan
2006-2015

Ketinggian 1-2 Lantai 2-3 Lantai 3-4 Lantai 4- 8 Lantai 2-3 Lantai
Bangunan

Penyewa Ekspatriat Staf kantor Staf kantor Ekspatriat Pegawai mall, apartemen
Staf kantor Staf kantor Karyawan
Pegawai Dinas Pegawai Dinas
Harga Sewa Rp. 2 Jt- Rp 3.5 Jt Rp. 2 - Rp 3 Jt Rp. 3 Jt- Rp 3.5 Jt Rp. 4 Jt- Rp 6 Jt ≤ Rp. 2 Jt
Rp. 4 Jt- Rp 6 Jt

Sumber: Hasil Wawancara dan Observasi Penulis, 2016

81
Gambar 4.37. Pemetaan Tipe Rumah Kos di Area Fokus Studi
Sumber: Hasil Observasi Penulis, 2016

Gambar 4.37 menunjukkan kondisi sebagai berikut:


Tipe dominan pada area fokus studi adalah rumah kost tipe B.
Pada area non kampung: Tipe B banyak berkembang karena ditemukan
bahwa banyak pula warga Karet Kuningan yang memutuskan untuk
pindah ke sekitar Karet Kuningan dan menjadikan lahan eksisting
miliknya untuk dijadikan rumah kos.
Pada area kampung berkembang kos Tipe C (2), dimana pemiliknya
mengembangkan kos dan sekarang tinggal di luar Karet Kuningan

82
Berdasarkan pemaparan berbagai tipe kos diatas maka diketahui bahwa pelaku
perubahan fungsi lahan di area fokus studi adalah warga Karet Kuningan dan
pendatang (investor). Alih fungsi yang dilakukan oleh warga Karet Kuningan
telah terjadi sejak tahun 1992, sedangkan alih fungsi lahan menjadi rumah kos
oleh pendatang (investor) baru terjadi pada periode 2006-2015. Dari survey yang
dilakukan terhadap 60 sampel rumah kos pada area fokus studi mengenai profil
pemilik dan tahun pengembangan maka didapat gambaran bahwa pelaku
perubahan pada area fokus studi hingga kondisi terkini masih didominasi oleh
warga Karet Kuningan, lih. Gambar 4.38.

Periode 1992-2000 dan 2001-2005 Periode 2006-2015

Keterangan:
Warga Karet Kuningan
Pendatang (investor)

Gambar 4.38. Perubahan Pelaku Pengembangan


Sumber: Hasil Observasi Penulis, 2016

4.4.4. Perubahan Profil Penghuni


Berdasarkan hasil wawancara kepada beberapa pemilik kos, terdapat perubahan
profil penghuni yang turut mempengaruhi variasi kelas kos-kos an yang ada di
Karet Kuningan. Pada periode 1992-2000 hanya terdapat 2 segmen kos-kosan,
yaitu kos-kosan sederhana untuk karyawan, buruh dan kos-kos an menengah
untuk staff kantor yang dinas luar kota atau luar negeri (ekspatriat).

83
Namun sejak berkembangnya perkantoran di Mega Kuningan serta Koridor
Satrio pada tahun 2000an, komposisi profil penghuni yang menyewa maupun
mencari kos semakin variatif, misalnya seperti:
Ekspatriat (Amerika & Eropa)
Staff Perkantoran (asal luar pulau)
Staff Perkantoran (asal daerah pinggir Jakarta, Depok, Tangerang,
Bekasi)
Mahasiswa (London School, Lasalle College, Univ. Bakrie, dll)
Pekerja yang bekerja di apartemen, komersial dan perkantoran di
pengembangan sekitar, seperti pembantu di apartment, pegawai di
mall, dan OB di kantor
Adapun asal dari penghuni kos tersebut selain berasal dari luar pulau, kini cukup
banyak yang berasal dari daerah pinggiran Jakarta seperti Depok, Bogor,
Tangerang, dan Bekasi. Untuk memperkuat studi, maka dilakukan survey melalui
penyebaran kuisioner terhadap 30 penghuni rumah kos. Adapun hasil yang
didapat terkait asal penghuni adalah sebagai berikut; 44% penghuni kos berasal
dari wilayah Jabodetabek, 36% dari Pulau Jawa (Prov. Jawa Tengah, dan Jawa
Timur) dan 20% adalah ekspatriat (Belanda, Jepang, Filipina, Cina).

Keterangan:

20%
Jabodetabek
44%
Pulau Jawa
36%
Ekspatriat

Gambar 4.39. Data Profil Penghuni-Asal Daerah


Sumber: Hasil Kuisioner-Studi Bersama, 2016

Dari 30 responden penghuni kos ternyata diketahui bahwa 40% bekerja di Jl.
Jend. Sudirman, 50% di kawasan Karet Kuningan dan Mega Kuningan, 7% di
kawasan Senayan, dan 3% di Jl. H. Rasuna Said-Setiabudi (lih.Gambar 4.40).
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai motivasi dari penghuni kos untuk
tinggal maka dilakukan indepth interview. Adapun berdasarkan hasil wawancara

84
kepada beberapa penghuni kos-kosan mengenai motivasi tinggal di kos, maka
didapat beberapa alasan berikut:
Ingin tinggal dekat dengan tempat kerja untuk menghemat biaya
transportasi.
Ingin tinggal dekat dengan tempat kerja untuk menghemat waktu
tempuh perjalanan karena masalah kemacetan (umumnya disebutkan
oleh penghuni yang tinggal di pinggir Jakarta seperti Serpong,
Tangerang, dan Bekasi).
Dipilihkan oleh kantor (kantor menunjuk rumah kos tertentu sebagai
akomodasi bagi tenaga ahli/ staff pekerja mereka).
Lokasi baik (dekat dengan pusat perbelanjaan, hiburan, dan sarana
transportasi yang memadai)

3% Keterangan:
7%
Karet Kuningan & Mega Kuningan

40% Jl. Jend. Sudirman

50% Senayan

Setiabudi

Gambar 4.40. Data Profil Penghuni-Lokasi Tempat Kerja


Sumber: Hasil Kuisioner-Studi Bersama, 2016

Perubahan fungsi menjadi hunian menjadi rumah kos mengakibatkan


terbentuknya sebuah kawasan dengan ciri yang berbeda dengan fungsi hunian
murni. Hal ini bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari dimana penghuni
sementara atau penyewa tersebut yang datang ke kamar sewa/kos untuk sekedar
tidur dan beristirahat. Dari hasil pengamatan lapangan, minimnya interaksi, baik
antara sesama penghuni kos maupun antara penghuni kos dengan penduduk tetap
ditandai dengan diadakannya pagar-pagar tinggi dengan penjaga keamanan atau
satpam yang bersiaga setiap saat. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan, penghuni
kos memanfaatkan pesuruh untuk membeli (tidak membeli secara langsung).

85
BAB V
ANALISIS

5.1. Faktor yang Mendorong Terjadinya Perubahan Fungsi dan Fisik


Pada poin analisis berikut, penulis berusaha untuk mengungkap mengenai
kondisi-kondisi yang menjadi pendorong dan mengakibatkan adanya perubahan,
serta hubungan timbal balik diantara keduanya.
a. Perkembangan Komersial
Secara umum, perkampungan Karet Kuningan menerima pengaruh yang erat dari
eksternal lingkungan dalam membentuk lingkungan dalamnya sendiri. Hal
tersebut dapat ditemukan dari kegiatan perdagangan dan komersial di luar
lingkungannya yang ternyata mempengaruhi keberadaan situasi dalam area fokus
studi.

Pada masa sebelum terjadinya transformasi fisik kawasan Karet Kuningan-


Koridor Satrio, tepatnya pada masa tahun 1950-an kegiatan Pasar Tanah Abang
membawa industri batik tumbuh di dalam area fokus studi. Sehingga pada masa
ini terdapat pemanfaatan lahan berupa lahan campuran (hunian dan industri batik)
dan lahan hunian (lih. subbab 4.1. hal. 43-45), yang terbagi atas lokasi area non
kampung dan area kampung.

Sedangkan pada masa setelah terjadinya transformasi fisik di Kawasan Karet


Kuningan yang ditandai dibukanya akses Jl Prof Dr. Satrio (pada periode 1992-
2000) dan munculnya pertumbuhan bangunan komersial seperti perkantoran,
pusat belanja, dan hotel; membuat adanya alih fungsi lahan campuran dan hunian
tersebut menjadi usaha rumah kos maupun industri jasa lainnya pada area fokus
studi. Perubahan fungsi lahan tersebut terjadi disinyalir oleh karena adanya
adaptasi kondisi dari bawah, dari komunitas, dan dari lingkungan yang
berkembang dan beradaptasi terhadap tekanan secara spasial dari tata guna lahan
komersial yang berkembang pada perimeter kawasan Karet Kuningan. Secara
periodik hubungan perubahan tersebut dalam konteks dan pola ruang dapat
dilihat pada Gambar 5.1. dan Gambar 5.2.

86
Gambar 5.1. Dorongan Perkembangan Komersial Terhadap Perubahan Fungsi dan Fisik Pada Area Fokus Studi 87
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016
Periode 1992-2000 Periode 2001-2005 Periode 2006-2015

Gambar 5.2. Hubungan Antara Perkembangan Perimeter Kawasan Karet Kuningan dengan Area Fokus Studi
88
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016
Pada periode 1992-2000 ketika perkembangan Jl. Prof. Dr. Satrio baru dimulai
pada area yang bersisian dengan Jl. Jend Sudirman (perkantoran Wisma
Metropolitan dan Danamon 1&2), perubahan fungsi lahan menjadi rumah kos
lebih dominan terjadi pada area RW 01 yang merupakan area non kampung dan
memiliki kedekatan jarak dengan perkantoran tersebut. Namun semakin menuju
periode 2001-2005, dan 2006-2015 ketika perkembangan komersial di Jl. Prof.
Dr. Satrio semakin intensif, perubahan fungsi lahan menjadi rumah kos semakin
banyak jumlahnya, lokasinya tersebar pada area fokus studi, dan mulai terjadi di
area kampung (lih, Gambar 5.1).

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perkembangan pada perimeter kawasan


yang ditandai dengan perkembangan komersial di Jl. Prof. Dr. Satrio
mempengaruhi pola perubahan secara spasial pada area fokus studi. Kapitalisme
global (melalui industri real estat) yang jelas mentransformasi ruang lahan di
sepanjang koridor Satrio, ternyata juga menciptakan adanya demand. Dimana hal
tersebut terwujud dari kebutuhan tenaga kerja kawasan komersial atas ruang
sewa/ kos, tempat makan, dan jasa-jasa lainnya yang kemudian menjadi peluang/
potensi luar biasa bagi penduduk asli pada area fokus studi untuk ikut menikmati
manfaat ekonomi dari kebutuhan kegiatan komersial di sekitarnya. Adanya
peluang timbal balik tersebutlah yang berujung kepada dorongan adaptasi pada
area fokus studi dan membuatnya sebagai kawasan pendukung bagi komersial.

Perubahan secara radikal pada area fokus studi juga didorong oleh kondisi tata
guna lahan sekitar kawasan yang didominasi oleh hunian vertikal, namun
kenyataannya pada kondisi eksisting justru terjadi perkembangan hunian vertikal
bagi menengah atas yang biaya sewanya diluar kemampuan tenaga kerja kawasan
komersial. Di satu sisi golongan pekerja tersebut membutuhkan hunian yang
sedekat mungkin dengan tempat kerja mereka, namun disisi lain hunian yang
sesuai dengan kemampuan daya belinya adalah yang kos-kos an yang ditawarkan
pada area fokus studi; sehingga hal ini juga turut mendorong perubahan fungsi
lahan.

89
b. Kebijakan Pemerintah
Selain perkembangan komersial, pengaruh dari kebijakan pemerintah terkait
Keputusan Gubernur nomor 203 tahun 1978 dan 220 tahun 1979 yang
mengakibatkan betul-betul berhentinya produksi batik di akhir tahun 1990 dinilai
mendorong pemilik lahan ex. industri batik untuk mencari pemanfaatan lain
terhadap lahannya yang relatif besar itu agar tetap produktif dengan melihat
peluang disekitarnya. Ada yang merubah lahannya menjadi kegiatan konveksi
(turunan dari usaha batik), ada yang mulai mengubah pemanfaatan lahannya
menjadi rumah kos. Hal ini yang pada awalnya memicu alih fungsi lahan
campuran menjadi rumah kos. Adapun strategi perubahan tersebut kian adaptif
hingga periode 2006-2015, dan menjadi pelopor bagi perubahan fungsi lahan
yang awalnya hunian menjadi rumah kos.

Ketika Jakarta di masa pasca-krisis ekonomi dan politik serta didominasi rasa
ketidakpastian, terbit Perda DKI No.1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah yang
mengatur ketentuan adanya Retribusi Perizinan Tertentu dengan nama Retribusi
Persetujuan Prinsip Penyesuaian KLB. Perda tersebut ditujukan untuk
mendukung perkembangan ekonomi dan otonomi daerah pasca krisis, namun
mengisyaratkan dimungkinkannya pembayaran retribusi atas pelanggaran
intensitas bangunan. Ketentuan ini dinilai sebagai arahan pemerintah yang telah
melepaskan kota ke tangan pasar dan mendorong masyarakat untuk bergerak
sendiri-sendiri di berbagai tempat dan dengan cepat mengisi celah-celah ruang
yang masih tersisa untuk transformasi diri.

Peraturan tersebut akhirnya melahirkan ruang negosiasi antara masyarakat dan


pemerintah yang berakibat bahwa adaptasi kini tidak lagi terkait perubahan
pemanfaatan lahan saja, melainkan sudah mengarah kepada kepentingan ekonomi
dimana ruang lahan kini menjadi komoditas yang diperhitungkan dan
dinegosiasikan produktifitasnya. Hal ini terbukti bahwa semakin menuju periode
2006-2015 perubahan lahan menjadi usaha kos semakin bertambah dan diiringi
dengan lonjakan intensitas jumlah kamar.

90
Tabel 5.1. Tabel Intensitas Perubahan Rumah Kos di Area Fokus Studi
(D) = 1000 x (B)
(A) (B) (C) (A)
Lahan Unit Kamar Unit Bangunan Daya Tampung/
Periode (m2) Kos Kos 1000m2 Lahan
1992-2000 8201 303 9 37
2001-2005 8608 391 11 45
2006-2015 28.658 1633 40 57
Total 45.467 2327 60
Sumber: Observasi, wawancara, yang diolah penulis, 2016

Pada penghujung periode 2006-2015 Pemprov DKI mengeluarkan Pergub 72 Thn


2013 yang menyatakan bangunan rumah tinggal dapat mengembangkan intensitas
hingga 3 lantai dan Ketentuan Perda No. 1 Thn 2014 yang menyatakan aktivitas
rumah tinggal dapat melaksanakan kegiatan berupa rumah kos secara bersyarat.
Kondisi ini secara eksplisit membuka ruang bagi penduduk untuk melakukan
perubahan fungsi lahan dan intensitas lebih lanjut dan tentunya akan
mempengaruhi daya tampung lahan dan kepadatan pada masa mendatang.

c. Motivasi Pemilik dan Status Kepemilikan Lahan


Pada sub bahasan sebelumnya telah dibahas bahwa perubahan yang terjadi pada
area fokus studi sepanjang 3 periode tetap didominasi oleh warga asli Karet
Kuningan. Alasan mendasar yang mendorong terjadinya perubahan fungsi oleh
pemilik lahan pada area fokus studi sebetulnya karena umumnya status lahan
adalah milik, sehingga mereka dengan bebas melakukan perubahan secara
internal dan tidak memiliki beban finansial untuk membeli tanah ataupun
pengembalian investasi atas tanah.

Perubahan pada area fokus studi juga dipengaruhi dari faktor subkultural. Dimana
dorongannya berasal dari dalam lingkungan (endogeneous factors) terutama yaitu
faktor sosial. Yang menjadi pengaruh cukup kuat adalah budaya, motivasi
penduduk asli Karet Kuningan serta jaringan sosialnya di area tersebut.
Perubahan pada periode 1992-2000 di area fokus studi lebih didominasi oleh
motivasi pemilik ex industri batik yang sifatnya ingin mempertahankan

91
produktifitas lahannya sebagai hunian sekaligus usaha pasca berhentinya
produksi batik dengan melakukan perubahan secara terbatas; tidak menambah
bangunan secara besar-besaran, hanya mengubah ruang yang tadinya pabrik dan
barak buruh menjadi kamar kos (survival strategy).

Sedangkan pada periode 2006-2015 dimana telah terjadi alih generasi pada
keluarga pengusaha batik, timbul inisiatif pemanfaatan lahan yang lebih
ekspansif dan intensif dengan mendayagunakan relasi sosialnya di area tersebut
untuk:
Mengetahui informasi lahan lain yang hendak dijual.
Bernegosiasi dengan pejabat administratif setempat untuk koordinasi
lapangan terkait perizinan.
Adapun motivasinya kini berkembang menjadi sebagai usaha bisnis yang
tujuannya sebagai penghasilan yang dapat menjamin kelangsungan ekonomi
generasi penerus. Adanya perubahan motivasi pada pemilik yang dilatar
belakangi oleh faktor budaya, alih generasi, dan jaringan sosial yang berujung
pada keinginan berinvestasi memiliki pengaruh terhadap perubahan terhadap
pemanfaatan lahan, khususnya dalam hal intensitas (jumlah kamar, dan
ketinggian bangunan). Kondisi ini sejalan dengan yang dimaksud oleh Hoyt
(1939) dalam menjelaskan teori neighborhood change bahwa; keinginan
penduduk untuk berinvestasi merupakan pendorong terjadinya perubahan
kawasan permukiman.

d. Motivasi-Preferensi Penghuni
Adanya perubahan radikal pada area fokus studi yang kini posisinya menjadi
kawasan pendukung yang peranannya sebagai penyedia tempat tinggal bagi
penghuni kawasan komersial mengakibatkan adanya perubahan komposisi
penghuni/ target pasar (lih. Subbab 4.4.4). Kondisi yang dinilai mendorong
perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
Adanya preferensi penghuni yang berusaha untuk tinggal sedekat
mungkin dengan tempat kerja mereka dinilai mengakibatkan
bertambahnya kebutuhan akan hunian dan meningkatnya jumlah orang
pada area fokus studi. Khususnya dari daerah pinggiran kota Jakarta

92
(Bekasi, Depok, Tangerang, dsb) maupun dari luar kota Jakarta (luar
pulau dan luar negeri).
Adanya rekomendasi atau penunjukkan khusus dari kantor kepada rumah
kos tertentu sebagai penyedia tempat tinggal bagi staff atau tenaga ahli
mereka membuat berkembangnya segmen rumah kos eksklusif dengan
harga diatas sewa 4 juta Rupiah.
Secara garis besar, analisis atas kondisi yang ditemui di lapangan terkait faktor
yang mendorong perubahan adalah:
Area fokus studi merupakan area yang memiliki karakter non kampung
dan kampung yang mengalami proses adaptasi menjadi kawasan
pendukung kegiatan komersial yang ada di jalur-jalur utama kota.
Kondisi yang ada sekarang adalah penjumlahan dari usaha penduduk
untuk beradaptasi terhadap perubahan struktur ekonomi dan kebijakan
pemerintah.
Faktor pendorong yang sifatnya eksternal (off site) adalah perkembangan
komersial, kebijakan pemerintah, dan motivasi-preferensi penghuni.
Sedangkan faktor yang mendorong perubahan dan sifatnya internal (in
site) adalah motivasi pemilik.
Hasil dari proses adaptasi walaupun secara ekonomi bisa memenuhi
kebutuhan penduduk, tetapi secara spasial dan lingkungan, memiliki
banyak kekurangan. Belum ada kebijakan pemerintah yang mendukung
usaha penduduk dalam beradaptasi dan mengarahkan proses perubahan
lingkungan ke arah yang lebih baik.

93
Tabel 5.2. Identifikasi Faktor yang Mendorong Perubahan
Kejadian Eksternal (Off Site) Kejadian Internal
Periode
Swasta Pemerintah Pendatang (penghuni kos) (In Site)
(Pasar Real Estat) (Motivasi & Preferensi) (Profil & Motivasi Pemilik)

1992-2000 Berkembang Keputusan Gubernur nomor 203 tahun 1978 dan 220 tahun Umumnya datang dari Memanfaatkan lahan
nya perkantoran 1979 yang semuanya mengarah pada penindakan atas luar pulau dan ingin yang besar pasca
di sekitar area pencemaran akibat industri di dalam wilayah DKI Jakarta tinggal dekat dengan pemindahan industri
fokus studi (Jl. yang mengakibatkan berhentinya produksi batik di akhir tempat kerja. batik ke pinggiran kota.
Jendral tahun 1990.
Sudirman) .
Krisis Ekonomi 1998

2001-2005 Berkembangnya Ingin tinggal dekat Strategi bangkit dari krisis


komersial dengan tempat kerja ekonomi tahun 1998.
(perkantoran
2006-2015 dan mixed use) Adanya ketentuan Retribusi Perizinan Tertentu dengan nama Ingin tinggal dekat dengan Sebagai penghasilan
di Jl. Satrio dan Retribusi Persetujuan Prinsip Penyesuaian KLB pada Perda tempat kerja (menghemat pasif (bagi Generasi 1)
MegaKuningan. No.1 Thn 2006 yang mengisyaratkan dan diartikan sebagai biaya transportasi, waktu
Sebagai mata
Berkembangnya adanya pembayaran retribusi atas pelanggaran intensitas tempuh karena
pencaharian guna
komersial yang bangunan. kemacetan).
menjamin kehidupan
diiringi dengan Adanya ketentuan pada Perda No. 3 Tahun 2012 yang Dipilihkan oleh kantor . generasi penerus (oleh
pengembangan menyatakan tidak diberlakukannya lagi retribusi pelampuan Generasi 2).
hunian vertikal Lokasi baik (dekat dengan
KLB, disusul dengan adanya Pergub 72 Thn 2013 yang
yang diluar pusat perbelanjaan, Status kepemilikan
menyatakan bangunan rumah tinggal dapat mengembangkan
kemampuan hiburan, dan sarana lahan yang mayoritas
intensitas hingga 3 lantai .
daya beli gol. transportasi yang adalah milik.
tenaga kerja di Ketentuan Perda No. 1 Thn 2014 yang menyatakan aktivitas memadai).
komersial. rumah tinggal dapat melaksanakan kegiatan berupa rumah
kos secara bersyarat.

Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016


94
Tabel 5.3. Skema Hubungan Antar Faktor yang Mendorong Perubahan

Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016 95


5.2. Analisis Tendensi Perubahan
Analisis tren digunakan untuk melakukan suatu prediksi terhadap tendensi
perubahan yang dapat terjadi pada masa yang akan datang. Untuk melakukan
prediksi dengan baik maka digunakan rekapitulasi data perubahan yang telah
terjadi pada area fokus studi. Rekapitulasi data tersebut terdiri atas berbagai
aspek dalam indikator 3 periode waktu. Gambar 5.3 merupakan display data
hasil rekapitulasi berdasarkan periode waktu terhadap metamorfosis perubahan
yang terjadi dalam aspek pemanfaatan lahan, intensitas, profil pemilik dan profil
penghuni.

Perubahan
Fungsi
Lahan

Perubahan
Intensitas

Perubahan
Profil
Pemilik

Perubahan
Profil
Penghuni
Gambar 5.3. Rekapitulasi Data Perubahan Pada Area Fokus Studi
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

Perubahan pada area fokus studi diawali atas perubahan alih fungsi lahan yang
kemudian diikuti dengan perubahan intensitas. Dari sisi pemanfaatan lahan,
perubahan dipelopori oleh lahan besar (500-1000m2) dengan fungsi awal
umumnya berupa lahan campuran (hunian-konveksi ex industri batik), namun
perubahan kini bergeser secara tendesius pada tren fungsi lahan yang memiliki
luas lahan 100-500m2 (lih. Gambar 4.26 dan Gambar 4.27, Hal 70-71), dengan

96
fungsi awal hunian, dan berlokasi di tepi jalan lingkungan. Adapun ilustrasinya
terlampir pada Gambar 5.4. dibawah ini.

Gambar 5.4. Pemetaan Lahan 100-500m2 di Area Fokus Studi


Sumber: Peta Kadaster DKI Jakarta, dan Hasil Observasi Olahan Penulis, 2016

Pada pembahasan sebelumnya, data menunjukkan bahwa pada periode 1992-


2000 terdapat 2 lot lahan dengan ukuran 100-500m2 yang teralih fungsi. Namun
pada periode 2006-2015 perubahan lahan dengan klasifikasi luas tersebut
melonjak menjadi 24 lot lahan. Dibandingkan dengan klasifikasi luas lahan yang
lain perubahan fungsi lahan atas ukuran lahan 100-500m2 merupakan perubahan
yang radikal dan menjadi pertimbangan bagi tren pengembangan di masa
mendatang. Berdasarkan observasi penulis, pada area fokus studi masih terdapat

97
beberapa zona lahan 100-500m2 lainnya yang belum mengalami perubahan
fungsi menjadi rumah kos. Kondisi tersebut mengisyaratkan beberapa hal:
Masih tersedianya ruang lahan 100-500m2 yang belum mengalami
perubahan fungsi menjadi salah satu kemungkinan yang mendukung
bahwa tendensi tren alih fungsi lahan kecil dengan fungsi awal berupa
hunian menjadi rumah kos akan terus berlanjut pada area fokus studi.
Perubahan tersebut diprediksi akan terjadi lebih dahulu pada tepi jalan
lingkungan pada area non kampung. Hal itu didasari oleh laju perubahan
fungsi lahan yang menjadi rumah kos pada tepi jalan lingkungan lebih
cepat dibandingkan tepi jalan kampung (lih. Gambar 4.26, hal 70 dan
Tabel 5.3.). Selain itu kelebihan bahwa jalan lingkungan pada area non
kampung lebih lebar, dapat dilalui mobil, dan lebih tertata dibandingkan
jalan kampung (lih. Tabel 4.2, hal 44) dinilai akan mendorong preferensi
penghuni yang mayoritas adalah pekerja kawasan komersial untuk lebih
memilih kos yang berada di jalan lingkungan pada area non kampung.
Perubahan masih berpotensi menginvasi lebih lanjut lahan dengan luas
100-500m2 pada area kampung.

Tabel 5.4. Tabel Pemanfaatan Luas Lahan Terhadap Indikator Waktu dan Lokasi
Luas Lahan Jumlah/ Periode Lokasi
(m2) 1992- 2001- 2006- Jalan Jalan Jalan
2000 2005 2015 Kampung Lingkungan Kolektor
100-500 2 4 24 3 27
501-1000 5 3 5 7 4
1001-1500 2 4 4 12 3
>1500 7 2 2
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2016

Secara intensitas, perubahan atas lahan 100-500m2 secara merata akan mengarah
kepada tren penyediaan jumlah kamar yang maksimal dengan patokan intensitas
ketinggian 3 lantai sebagaimana yang diijinkan pada Pergub 72 Thn 2013 yang
menyatakan bangunan rumah tinggal dapat mengembangkan intensitas hingga 3
lantai. Sedangkan dari sisi pemilik, perubahan akan lebih banyak dilakukan oleh
warga asli Karet Kuningan yang memiliki pengetahuan dan relasional yang lebih
banyak mengenai area tersebut.

98
5.3. Pengaruh Perubahan pada Area Fokus Studi
5.3.1. Terhadap Penduduk Lokal
a. Timbulnya Pola Adaptasi Khusus
Perubahan fungsi dan fisik yang terjadi pada area fokus studi
merupakan sebuah bentuk adaptasi penduduk lokal terhadap kondisi
eksternal (perubahan struktur ekonomi dan kebijakan pemerintah).
Dimana upaya adaptasi tidak lagi hanya sekedar bertahan/ survive
melainkan sudah mengarah kepada upaya pengembangan yang
bermuatan kepentingan ekonomi dan memiliki nilai ekonomi investasi.
Pola adaptasi survival yang berkembang pada periode 1992-2000 dilakukan
oleh pemilik dengan mengalih fungsikan lahannya dan tinggal bersama
dengan penghuni kos. Namun, pemilik yang baru mengalih fungsikan
lahannya menjadi kos pada periode 2006-2015 kini umumnya memutuskan
untuk pindah dan tinggal diluar rumah kos dengan tujuan memaksimalisasi
intensitas jumlah kamar yang dapat mereka bangun untuk disewakan.
Mayoritas pemilik yang beradaptasi demikian masih mencari tempat tinggal
di sekitar Karet Kuningan (lih. Gambar 5.5 dan Gambar 5.6).

Periode 1992-2000 Periode 2006-2015

Pemilik Tinggal di Dalam Kos Pemilik Tinggal di Luar Kos

Gambar 5.5. Gambaran Pola Adaptasi di Area Fokus Studi


Sumber: Peta Kadaster DKI Jakarta, dan Hasil Observasi Olahan Penulis, 2016

99
Berkembangnya pola adaptasi dimana pemilik berkeputusan untuk pindah
menandakan bahwa ada upaya serius untuk menjadikan kos sebagai kegiatan
usaha. Namun keputusan tersebut tentunya membawa konsekuensi atas biaya
sewa/ cicilan atas rumahnya yang baru dan biaya pembangunan kos. Dimana hal
tersebut mengakibatkan timbulnya keinginan pemilik untuk mempercepat
pengembalian investasinya dengan memasok kamar kos semaksimal
mungkin atas ruang lahan yang mereka miliki.

Gambar 5.6. Gambaran Pola Adaptasi di Area Fokus Studi


Sumber: Peta Kadaster DKI Jakarta, dan Hasil Observasi Olahan Penulis, 2016

Periode 2006-2015 juga ditandai dengan masuknya pengaruh pendatang


(investor) yang mulai membeli lahan dan mengembangkan kos dengan intensitas
jumlah kamar yang tinggi (50-100 kamar). Bagi investor, jelas pasokan jumlah

100
kamar yang maksimal dan harga sewa yang relatif tinggi diperhitungkan untuk
pengembalian investasi atas pembelian tanah dan bangunan, dimana hal ini
sangat terkait dengan kepentingan ekonomi bisnis.

Jumlah total 2327 unit kamar yang terdapat pada 60 rumah kos di area fokus
studi merupakan produk pengembangan skala mikro hasil adaptasi atas
perubahan kondisi yang terjadi disekitar Karet Kuningan. Adapun adaptasi yang
terjadi masih bersifat pasif/ dependen terhadap perkembangan yang terjadi pada
komersial di perimeter kawasan Karet Kuningan. Hal tersebut disebabkan karena
peranan dari area fokus studi adalah menjadi kawasan pendukung penyedia
tempat tinggal bagi tenaga kerja kawasan pusat bisnis dan komersial. Terbukti
bahwa 90% rumah kos masih berupa sistem sewa bulanan yang sifatnya
membidik target pasar pekerja yang ingin tinggal sedekat mungkin dengan
tempat kerjanya dan umumnya berlokasi di sekitar Satrio, Mega Kuningan, serta
Sudirman. Hanya 10% rumah kos yang dapat disewa harian atau bulanan dimana
target pasarnya dapat memungkinkan diluar dari segmen pekerja/ staff kantor.

b. Manfaat Ekonomi
Berkembangnya kegiatan ekonomi di area studi juga mengakibatkan terjadinya
peningkatan kualitas hidup penduduk lokal. Pemilik usaha kos yang mayoritas
warga asli mendapatkan manfaat ekonomi melalui pendapatan uang sewa kamar
kos. Adapun pendapatan atas rumah kos ternyata tidak hanya dapat memenuhi
kebutuhan hidup pemiliknya, melainkan ada yang mampu mengolahnya untuk
investasi properti di lokasi lain.

Menjamurnya usaha rumah kos pada area fokus studi juga menimbulkan usaha
lain yang dipelopori oleh warga asli dan sifatnya mendukung kebutuhan
penghuni kos. Jenis usaha yang dimaksud misalnya; tempat sewa parkir, warung
makan, kios sewa, salon, dsb yang mayoritas berada di area non kampung namun
melayani kebutuhan penghuni kos yang berlokasi baik di area kampung dan non
kampung.

101
Secara umum, kondisi diatas menunjukkan adanya perubahan fungsi lahan pada
area fokus studi membawa pengaruh terhadap hubungan timbal balik kegiatan
ekonomi pendukung lainnya. Namun sayangnya kondisi diatas hanya terjadi pada
area non kampung. Hal tersebut disebabkan oleh karena:
Kegiatan operasional usaha kos kebanyakan menyerap tenaga kerja dari
Pulau Jawa dan tidak menyerap tenaga kerja penduduk lokal yang tinggal
di area kampung. Penduduk lokal pada area kampung yang mayoritas
orang Betawi malah justru menjadi juru parkir, pekerja di mall sebagai
penjaga toko, office boy, dsb, di kawasan pusat bisnis dan komersial
disekitar Karet Kuningan. Alasannya adalah; jika bekerja di kawasan
komersial mereka akan mendapat gaji setara upah minimum UMR dan
penghidupan mereka akan lebih baik.
Penghuni kos di area kampung sendiri umumnya menggunakan jasa dan
fasilitas yang ada diluar area kampung yang dianggap lebih higienis.
Dari penjelasan diatas maka diketahui bahwa perubahan fungsi lahan pada area
fokus studi cenderung hanya memiliki pengaruh berupa timbal balik kegiatan
ekonomi terhadap penduduk lokal di area non kampung. Sedangkan penduduk
lokal pada area kampung mayoritas masih berupaya mendapatkan manfaat
ekonomi secara langsung dari kawasan pusat bisnis dan komersial di sekitar
Karet Kuningan.

5.3.2. Terhadap Lingkungan


a. Kondisi Fisik Lingkungan - Kepadatan
Adapun perubahan yang terjadi pada area fokus studi cenderung kian padat dalam
hal intensitas. Terlihat bahwa semakin banyaknya jumlah unit kamar kos yang
ditampung pada ruang lahan di area fokus studi. Data pada Tabel 5.1
menunjukkan bahwa daya tampung lahan pada periode 1992-2000 adalah 37 unit
kamar kos/ 1000m2 kini naik sebesar 54% menjadi 57 unit kamar kos/1000 m2 .
Meningkatnya jumlah tersebut diiringi dengan peningkatan intensitas ketinggian
bangunan yang kini umumnya adalah 3 hingga 8 lantai. Semakin padatnya
kondisi kawasan dari segi tata bangunan dan jumlah penduduk tidak serta merta
dibutuhkan fasilitas sarana prasarana seperti kesehatan, pendidikan, olahraga,

102
karena mayoritas preferensi penduduk mengenai kebutuhan akan sarana tersebut
telah dipenuhi oleh kondisi diluar area fokus studi.

Namun yang menjadi kekhawatiran adalah; dengan bangunan yang semakin


padat tanpa panduan/ arahan perencanaan, dapat diperkirakan di masa
mendatang bahwa para pemilik bangunan akan meningkatkan intensitas
bangunannya dengan lebih intensif diseluruh area fokus studi. Fenomena ini
sudah terlihat saat ini dan akan semakin masif dimasa mendatang. Oleh karena
itu, diperlukan intervensi pemerintah untuk memberi arahan dalam mengatur
proses intensifikasi kegiatan dan bangunan agat tidak berdampak negatif. Sebagai
contoh adalah mengenai hal-hal berikut:
Jarak bebas bangunan
Akses terhadap pemadam kebakaran yang semakin sulit akibat semakin
padatnya bangunan dan sempitnya jalan.
Arahan bagi pemilik untuk menyediakan ruang parkir secara proporsional
dengan jumlah kamar yang disewakannya.

b. Kondisi Lingkungan Sosial


Dari hasil pengamatan lapangan, minimnya interaksi, baik antara sesama
penghuni kos maupun antara penghuni kos dengan warga asli ditandai dengan
diadakannya pagar-pagar tinggi antara bangunan-bangunan yang sudah menjadi
ruang sewa/kos dilengkapi dengan penjaga keamanan atau satpam yang bersiaga
setiap saat. Hasil dari wawancara dengan beberapa penjaja kaki lima di
lingkungan sekitar, juga menyebutkan bahwa sering pula penghuni
memanfaatkan pesuruh untuk membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari, dan
tidak membeli secara langsung. Sedangkan hubungan antara pemilik bangunan
rumah kos dengan masyarakat lainnya hanya bersifat hubungan kerja bagi
mereka yang bekerja di dalam bangunan kos tersebut.

Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada area
fokus studi membawa kepada komposisi penghuni yang baru, namun tidak
terjadi interaksi antar warga dari berbagai etnisitas, status, dan kelas. Secara
umum, kehidupan sosial pada area fokus studi cenderung individualis, baik antara

103
sesama penghuni sementara (penghuni kos), penghuni sementara dengan
penduduk setempat, maupun pemilik bangunan rumah kos dengan penduduk
lainnya.

Layer sosial juga muncul di antara penghuni tidak tetap yaitu para penyewa kos-
kosan. Dimana penyewa kos-kosan kelas menengah atas yaitu para karyawan
kantoran dan ekspatriat menempati kos-kosan menengah hingga mewah yang
berkembang di jalan lingkungan dan kolektor sementara kos-kosan sederhana
dihuni oleh pekerja banyak berkembang di dalam kampung.

Berdasarkan kondisi tersebut maka ditemukan bahwa perubahan yang terjadi


tidak membentuk sebuah komunitas/ neighborhood community yang baru (antara
pendatang dengan penduduk asli) karena minimnya interaksi sosial. Oleh karena
itu sebaiknya diupayakan jenis kegiatan atau fasilitas yang sifatnya menumbuh
kembangkan interaksi antar penduduk lama dengan pendatang (penghuni kos)
agar sifat ―guyub‖ dan komunitas yang stabil dapat terjadi.

5.4. Analisis Terkait Teori


Menurut (Castro, 2006) perubahan dalam sebuah ruang kota merupakan sebuah
fenomena yang melibatkan adanya tekanan (force), perubahan (change), pada
ruang (space) dan waktu (time). Dalam studi kasus Kawasan Karet Kuningan,
transformasi yang terjadi di perimeter Kawasan Karet Kuningan adalah sebuah
tekanan (force), yang memicu perubahan (change) terhadap ruang (space) di area
fokus studi dalam 3 periode waktu (time) 1992-2000, 2001-2005, 2006-2015.

Adapun perubahan yang terjadi pada area fokus studi sebagai kawasan
permukiman merujuk sebagai bentuk aktualisasi lingkungan terbangun hasil
proses adaptasi terhadap situasi perkembangan komersial. Dimana kondisi yang
ada sekarang juga merupakan penjumlahan dari usaha penduduk untuk
beradaptasi terhadap perubahan struktur ekonomi dan kebijakan pemerintah yang
terjadi khususnya di Jl. Prof Dr. Satrio. Dimana dalam teori neighborhood
change kondisi tersebut yang dimaksud sebagai faktor pendorong political
economy. Perubahan juga dipengaruhi oleh faktor subcultural yang dipelopori

104
oleh warga asli Karet Kuningan yang memiliki keterikatan informasi dan
pengetahuan yang lebih baik atas lokasi lingkungannya dibanding pendatang.

Aktivitas adaptasi yang terjadi diawali dengan adanya perubahan/ konversi fungsi
lahan yang seiring dengan perkembangannya, lahan tersebut menjadi komoditas
yang dimaksimalkan produktivitasnya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
melalui teori Jack Harvey (1987) dalam (Kivell, 1993, 15) bahwa tanah akan
berpindah kepada usaha yang paling menguntungkan, maka kondisi-kondisi ini
menjadi pendorongnya pada kawasan Karet Kuningan adalah:
Sumberdaya atas lahan ex. pabrik bahkan hunian dilihat sebagai potensi
dengan keuntungan besar bila dijadikan rumah kos. Kondisi ini sekaligus
menjadi pelopor terhadap perubahan fungsi lahan hunian menjadi kos.
Berkembangnya intensitas dalam hal daya tampung lahan, jumlah kamar,
dan ketinggian bangunan dalam 3 periode merupakan sebuah indikator
adanya upaya memaksimalkan produktivitas atas ruang lahan untuk
pendapatan tertinggi bagi pemilik.
Kebutuhan dari penghuni kawasan komersial atas kamar kos, tempat
makan, dan jasa-jasa lainnya menjadi potensi yang luar biasa bagi
penghuni kampung untuk ikut menikmati manfaat ekonomi dari kegiatan
komersial di sekitarnya.

Secara spesifik perubahan fungsi lahan menjadi rumah kos yang terjadi di area
fokus studi juga merupakan sebuah ciri dari perubahan kawasan secara
inkremental yang memiliki kesesuaian kondisi sebagai berikut:
Perubahan ruang lahan dalam konteks kawasan terjadi secara bertahap/
sepotong-sepotong dalam rentang waktu tertentu mengikuti
perkembangan yang terjadi disekitarnya.
Pendekatan yang berawal dari konsep skala kecil/ mikro, yang berangkat
dari potensi lahan dan ketersediaan modal pemiliknya.
Merupakan sebuah pengembangan yang didasarkan permintaan (demand)
akan kebutuhan tempat tinggal dari pekerja di kawasan komersial Jl. Prof.
Dr. Satrio dan sekitarnya.

105
Perubahan tidak dilakukan hanya sekedar untuk bertahan hidup,
melainkan untuk mendapatkan nilai tambah dan sebagai investasi jangka
panjang pemiliknya. Sehingga terdapat keputusan-keputusan tertentu yang
diperuntukkan untuk pengembalian modal.
Bila dikaitkan dengan teori mengenai konsep pengembangan, maka proses
perubahan tersebut menurut Congress for New Urbanism maupun Urban
Land Institute adalah suatu gerakan pengembangan mikro melalui
pendekatan inkremental (incremental infill approach).

Dalam konteks kawasan, perubahan dalam area fokus studi yang terjadi secara
inkremental bukanlah sesuatu yang sifatnya acak ataupun tidak terlihat
keteraturannya. Justru terdapat pola tertentu yang dapat dibaca/ dikenali untuk
mengetahui tendensi perkembangannya. Misalnya pada area fokus studi terdapat
hubungan keterkaitan antara waktu dengan klasifikasi luas pemanfaatan lahan
serta pelaku. Dimana semakin menuju kondisi terkini perubahan fungsi lahan
terjadi secara tendensius pada lahan 100-500m2 yang berlokasi di tepi jalan
lingkungan dan masih didominasi oleh warga asli Karet Kuningan.

106
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. KESIMPULAN
6.1.1. Kesimpulan Umum
1. Perubahan pada perimeter kawasan Karet Kuningan merupakan sebuah
transformasi fisik yang lahir oleh karena adanya dorongan faktor eksternal
(kebijakan pemerintah dan sektor swasta—real estat). Dimana hal tersebut
menjadi tekanan (force) yang bersifat political economy (menurut teori
neighborhood change) yang memicu dinamika perubahan fungsi dan fisik
pada area fokus studi sebagai ruang lokal.
2. Perubahan yang terjadi pada area fokus studi merupakan sebuah bentuk
adaptasi penduduk lokal terhadap dominasi tekanan perubahan kondisi
eksternal yang terjadi khususnya di Jl. Prof. Dr. Satrio. Dimana hal
tersebut memicu dorongan kondisi internal (motivasi pemilik lahan pada
ruang lokal) -- untuk membangun rumah kos sebagai pola adaptasi yang
mengambil manfaat ekonomi dari perubahan dan tekanan tersebut.
3. Akumulasi dari pola adaptasi pada area fokus studi sebagai ruang lokal
bersifat pasif/ dependen oleh karena peranannya yang bergerak menjadi
kawasan pendukung berupa penyediaan tempat tinggal bagi tenaga kerja
di kawasan pusat bisnis dan komersial di sekitar Karet Kuningan.
4. Pada area fokus studi, adaptasi menimbulkan dinamika yang dapat terlihat
melalui aspek lahan, intensitas, pelaku, dan penghuni. Secara khusus,
lahan menjadi komoditas bentuk aktualisasi diri dari ruang atau tempat
yang digunakan sebagai rumah kos dan memiliki nilai komersialisasi
lebih tinggi.
5. Perubahan fungsi dan fisik pada area fokus studi akan tetap di drive oleh
kondisi eksternal dan akan bergantung atas perkembangan komersial pada
Jl. Prof. Dr. Satrio yang pada kondisi terakhir belum seluruhnya
mengalami transformasi fisik.

107
6.1.2. Kesimpulan Khusus
1. Perubahan fungsi dan fisik menjadi rumah kos pada area fokus studi
adalah sebuah proses adaptasi secara gradual yang berkembang
berdasarkan tekanan perkembangan komersial – dimana hal itu
menyebabkan adanya permintaan (demand) akan kebutuhan tempat
tinggal oleh pekerja di kawasan komersial, khususnya Jl. Prof. Dr. Satrio.
2. Demand tersebut menjadi pendorong eksternal yang selain terbentuk oleh
karena perkembangan komersial, tetapi juga dilatar belakangi oleh
beberapa hal, antara lain:
Kondisi kemacetan Jakarta yang mengakibatkan timbulnya
keinginan untuk tinggal sedekat mungkin dengan tempat kerja.
Hal tersebut didasari adanya pula preferensi untuk menghemat
biaya transportasi dan waktu tempuh – yang terkait efisiensi dan
kualitas hidup.
Motivasi dan preferensi penghuni yang ingin tinggal sedekat
mungkin dengan tempat kerja mengakibatkan fungsi rumah kos
menjadi fungsi rumah kedua.
3. Minimnya interaksi antar sesama penghuni rumah kos, pemilik dengan
penghuni rumah kos menunjukkan bahwa rumah kos sebagai fungsi
rumah kedua bagi penghuni sulit memunculkan interaksi sosial dalam
lingkup neighborhood.
4. Kehadiran penghuni kos sebagai pendatang membawa manfaat ekonomi
bagi warga asli. Tetapi tidak memunculkan sebuah neighborhood
community yang baru dan ―guyub‖ sebagai satuan sosial dan interaksi
bersama dalam lingkungan.
5. Potensi lahan yang memiliki nilai komersialisasi tinggi mendorong
pemilik untuk melakukan pemanfaatan lain dengan tidak menjual lahan
milik mereka melainkan mengusahakannya sebagai rumah kos.
6. Kepemilikan lahan rumah kos yang mayoritas masih dimiliki oleh warga
asli menjadi salah satu indikator bahwa eksistensi kampung dan
permukiman Karet Kuningan masih didominasi pengaruh-pengaruh lokal.

108
7. Perubahan fungsi dan fisik yang terjadi pada area fokus studi bukanlah
sesuatu yang acak, tidak beraturan/ dapat muncul dimana saja. Justru
terdapat pola tertentu yang dapat dibaca/ dikenali untuk mengetahui
tendensi perkembangannya. Pada area fokus studi perubahan fungsi
tendensius mengarah pada alih fungsi lahan dengan luas 100-500m2 yang
awalnya berupa fungsi hunian.

6.2. REKOMENDASI
1. Perlunya arahan dan kajian lebih lanjut mengenai konsep penataan ruang
yang seimbang bagi kampung permukiman yang cenderung bersisian
dengan pusat kegiatan seperti pusat bisnis guna mencapai sinergi antara
perubahan dan perkembangan.
2. Perlu adanya kebijakan pemerintah yang mendorong pengembangan real
estat skala makro agar memikirkan koneksinya terhadap kawasan/
kantong permukiman disekitarnya.
3. Perlunya pengadaan fasilitas (ruang publik-public space network) dalam
lingkungan yang dapat menumbuh kembangkan interaksi sosial antara
penduduk lokal dengan pendatang.
4. Perlunya pengawasan dan penertiban terkait tata bangunan dari pihak
kelurahan setempat terhadap tendensi perubahan fungsi lahan hunian
menjadi bentukan fisik rumah kos pada area fokus studi. Misal; terkait
jarak bebas bangunan, penyediaan parkir yang proporsional terhadap
pasokan unit kos, ataupun ketentuan membangun lain yang telah diatur
dalam peraturan membangun.
5. Perlunya program pengelolaan lingkungan/ manajemen lingkungan yang
dapat bersifat kerjasama partisipatif antara unit RW dengan pemilik kos
terkait pengelolaan limbah (sampah, air kotor, layanan transportasi
menuju tempat kerja, dsb) maupun antisipasi bencana (misal; evakuasi
dan penanggulangan kebakaran), mengingat area fokus studi kini
berkembang menuju kawasan permukiman dengan intensitas kepadatan
tinggi.

109
DAFTAR PUSTAKA

Bourne, L.S., ed. (1982). Internal Structure of the City: Readings on Urban
Form, Growth, and Policy, 2nd edition. Oxford: Oxford University Press.

Dwiyanto, R. (2001). The Existing Form of Urban Locality Groups in


Jakarta:Reexamining the RT/RW in the post-New Order Era. Atmajaya
Catholic University dan http://www.lit.osaka-cu.ac.jp .

Ernawi, S.Imam. (2010). Morfologi –Transformasi dalam Ruang Perkotaan yang


Berkelanjutan. Dalam Seminar dengan tema ―Morfologi – Transformasi
dalam Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan‖, yang diselenggarakan oleh
Program Pasca Sarjana – Universitas Diponegoro (UNDIP) – Indonesia,
20 November 2010 di Semarang - Indonesia.

Grigsby, W. (1983). The Dynamics of Neighborhood Change and Decline.


Philadelphia: Department of City and Regional Planning University of
Pennsylvania.

Gulo, W. (2010). Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo.

Harjoko, Triatno Yudo. Urban Kampung, Its Genesis and Transformation into
Metropolis, with particular reference to Penggilingan in Jakarta.
Saarbrucken: VDM Verlag, 2009.

Harvey, David. (1981). The Urban Process under Capitalism: A Framework for
Analysis. In Urbanization and Urban Planning in Capitalist Society,
edited by Michael Dear and Allen Scott, pp. 91-121. New York: Methuen.

Harvey, David. (2012). Rebel Cities. London: Verso.

Haughey, Richard. (2001). Urban Infill Housing, Myth and Fact. Washington
DC: ULI-Urban Land Institute

Hudson, B. M. (n.d.). Comparison of Current Planning Theories: Comparison


and Counterparts. APA Journal , 387.

Jo Santoso, M. I. (2015). Pengembangan Urban Metropolitan Jakarta:


Transformasi dan Adaptasi. Jakarta: Pusat Studi Metropolitan-UrbanLab.

John, T. M. (2000). Planned Abandonement : The Neighbourhood Life-Cycle


Theory and National Urban Policy. Michigan, United States: Michigan
State University : Housing Policy Debate, Fannie Mae Foundation.

110
Kivel, Philip.(1993). Land and the City, Patterns and Processes of Urban
Change.London: Routledge.
Malach, A. (2008). Managing Neigborhood of Change. New Jersey: National
Housing Institute.

Mardona, R. (2014). Studi Perubahan Kampung di Kota Besar, Kasus:


Kelurahan Menteng Atas, Setiabudi. Jakarta: Tesis Magister Teknik
Perencanaan.

Pitkin, B. (2001). Theories of Neighborhood Change: Implication for Community


Development Policy and Practice. UCLA Advance Policy Institute.

Pratipodyo, P. W. (2014). Transformasi Kegiatan Ekonomi dan Spasial Fisik


Perkampungan Karet Kuningan Sebagai Akibat dari Perkembangan
Komersial dan Kebijakan Pemerintah . Jakarta: Tesis Magister Teknik
Perencanaan.

Santoso, J. (2006). Kota Tanpa Warga. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Schwirian, K. P. (1983). Models of Neighborhood Change. Annual Review of


Sociology, Vol 9 , 83-102.

Selatan, B. J. (2014). Kecamatan Setiabudi dalam Angka. Jakarta: Biro Pusat


Statistik.

Silver, C. (2008). Planning in Megacity: Jakarta in The Twentieth Century.


London: Routledge.

Sturm, C. H. (2013). Investor-Led Urban Development-Research Proposal. Delft:


University of Technology, TU Delft.

Strong Town. (2013). Neighborhoods First-A Low Risk, High Return Strategy. In
Strong Town Journal.

Weinstein, R. M. (2007, October 04). Succession and Renewal in Urban


Neighborhoods. Retrieved February 04, 2016, from
http://www.ncsociology.org.

http://www.lib.utexas.edu/maps/indonesia.html
http://www . urbanland.uli.org dalam (Michael Wilkinson, 2015/ ULI Case
Studies)
http://shiftworks.design/Incremental-Development
http://eusoils.jrc.ec.europa.eu/esdb_archive/EuDASM/Asia/lists/s5_cid.htm

111
LAMPIRAN

Lampiran 1 : Data Rumah Kos RW 01 dan RW 06


Lampiran 2 : Kode Rumah Kos RW 01 dan RW 06
Lampiran 3 : Tabel Alih Fungsi Lahan Berdasarkan Area
Lampiran 4 : Peta Gedung Komersial Jones Lang Lasalle 2012
Lampiran 5 : Tabel Intensitas Gedung Komersial di Jl. Prof. Dr. Satrio
Lampiran 6 : Peta RTRW 1985-2005
Lampiran 7 : Lembar Rencana Kota Thn 2005, RW 01 dan RW 06
Lampiran 8 : Peta RDTR 2010-2030
Lampiran 9 : Kutipan Perda dan Pergub
Lampiran 10 : Hasil Kuisioner Studi Bersama
Lampiran 11 : Rekap Hasil Wawancara

112

Anda mungkin juga menyukai