Anda di halaman 1dari 17

Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559

Volume 6 No. 1, Agustus 2018

TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT (TOD) SEBAGAI


METODE UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN
GENTRIFIKASI KOTA DALAM PENGARUHNYA
TERHADAP PERCEPATAN PEMERATAAN
PEMBANGUNAN
Carolina, Nilam Astirina Krisnaputri
Universitas Agung Podomoro
carolina.setiawan@podomorouniversity.ac.id

ABSTRACT
This study aims to determine the effect of TOD on the phenomenon of
gentrification, the phenomenon of urban development and its influence in accelerating
the distribution of development. The Maja area in Banten will be used as a case study
where in accordance with the 2015-2019 RPJMN the area was also selected as one of
the Public New Economic Zones in order to create a city that is safe, comfortable and
livable and is expected to break down urban density so that equitable development can
be realized. To achieve the objectives of this study, the analytical method that is used is
descriptive analysis by comparing the precedents of the TOD concept in existing case
studies with the case studies raised, namely the Citra Maja Development Project, in the
Maja Region. After that, the validation of the results of the analysis is done so that a
conclusion is that the Citra Maja Development Project is a good case to be used as a
model for regional development with the TOD concept with the support of other licensing
and administrative facilities by the government, thus indirectly suppressing the
phenomenon of gentrification occurs in sub-urban areas

Keywords: equity of development, gentrification, Transit Oriented Development, Maja


area

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh TOD terhadap fenomena
gentrifikasi, fenomena perkembangan kota dan pengaruhnya di dalam percepatan
pemerataan pembangunan. Kawasan Maja di Banten akan digunakan sebagai studi
kasus dimana sesuai dengan RPJMN 2015-2019 kawasan tersebut juga terpilih sebagai
salah satu Kawasan Ekonomi Baru Publik guna mewujudkan kota yang aman, nyaman
dan layak huni serta diharapkan mampu mengurai kepadatan di perkotaan sehingga
pemerataan pembangunan dapat terwujud. Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini
maka metode analisis yang digunakan adalah analisa deskriptif dengan membandingkan
preseden konsep TOD pada studi kasus yang telah ada dan setelah itu dibandingkan
dengan studi kasus yang diangkat, yakni pada Proyek Pengembangan Citra Maja, di
Kawasan Maja. Setelah dilakukan perbandingan, maka dilakukan pemvalidasian hasil
analisa sehingga menghasilkan suatu kesimpulan Proyek Pengembangan Citra Maja
merupakan salah satu kasus yang baik untuk dijadikan percontohan pengembangan
kawasan dengan konsep TOD dengan dukungan kemudahan perijinan dan administratif
lainnya oleh pemerintah, sehingga secara tidak langsung akan menekan fenomena
gentrifikasi yang terjadi pada area sub-urban

Kata kunci: pemerataan pembangunan, gentrifikasi, Transit Oriented Development,


Kawasan Maja.

25
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kota adalah tempat di mana sekelompok orang melakukan aktivitas (Kostof,
1991). Di dalam pengertiannya, tidak ada kaitannya antara ukuran dan jumlah dari orang
yang melakukan aktivitas, tapi lebih kepada tingkat kepadatan kawasan yang dimaksud.
Berdasarkan bentuknya, kota terbagi menjadi dua tipe yaitu kota yang dirancang dan
tidak dirancang. Kota yang dirancang memiliki pola yang sudah direncanakan oleh
sekelompok orang yang memiliki otoritas. Sedangkan kota yang tidak dirancang, atau
sering juga disebut kota yang spontan atau kota tumbuh memiliki pola pertumbuhan
yang lebih organik yang menyesuaikan dengan pertumbuhan kondisi geografis.
Kota yang tidak dirancang ini terbentuk tanpa adanya keterlibatan perencana
kota, tanpa master plan, tetapi berkembang sejalan dengan waktu, perubahan kondisi
tanah, dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Hasil dari perkembangan ini adalah
bentuk yang organik berupa gang-gang, jalan yang melengkung dan ruang terbuka yang
acak.
Salah satu pengembangan kawasan perkotaan yang dirancang adalah Kawasan
Maja, Banten. Pengembangan Kawasan Maja diharapkan mampu menggunakan konsep
yang dapat memenuhi kebutuhan bagi masyarakat yang tinggal. Konsep Transit
Oriented Development (TOD) berbasis ekonomi adalah merupakan salah satu konsep
yang digunakan untuk mengembangan Kawasan Maja, Banten yang akan mendukung
kawasan perindustrian seperti Balaraja, Cikupa, Jayanti, dan Cikande, serta Kawasan
Agro Industri. (Kepala Badang Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW)
Kementerian PUPR Hermanto Dardak dalam artikel Empat Pengembang Besar Kompak
Kembangkan Kota Baru Maja, Tribunnews.com, Senin, 27 Juni 2016 21:01 WIB).
Kawasan Maja, Banten yang dulunya adalah sebagai ladang pertanian, kini
terdapat beberapa pengembang yang disiapkan untuk merubah kawasan tersebut
menjadi kawasan yang dapat mendukung kegiatan perekonomian dengan menerapkan
prinsip Smart Green and Inclusive City. Salah satu dukungan pengembangan kota yakni
adalah pengembangan kota satelit mandiri yang mengupayakan tersedianya sistem
penyediaan hunian berimbang (1:2:3). Dengan adanya pengembangan kota satelit
mandiri tersebut, upaya yang dilakukan untuk perabaikan akses adalah dengan
membangun jalan akses menuju Kawasan Maja dari Pamulang ke Rangkasbitung
sepanjang 58.35 km, rencana jalan Toll Serpong-Balaraja dan Rel Ganda Kereta Api
Jakarta-Maja. Namun, dengan adanya pengembangan kota satelit mandiri, ditambah
pula dengan adanya pengembangan akses yang cukup meluas, tentunya akan
memberikan dampak terhadap kondisi fisik, ekonomi, sosial-budaya setempat.
Perubahan fungsi lahan dari pertanian menjadi kawasan pendukung indsutri tentunya
akan memberikan peluang beralihnya pekerjaan yang berawal sebagai petani untuk
bercocok tanam kemudian beralih menjadi buruh. Selain itu, terdapat pula perubahan-
peruabahan budaya setempat yang sebelumnya adalah lingkungan “pedesaan”, Maja
akan menjadi area yang berkiblat pada kota “modern”. Fenomena ini lah yang sering
disebut sebagai fenomena gentrifikasi.
Menurut dictionary.com, 2018; gentrifikasi (Gentrification – dalam Bahasa Inggris)
memiliki pengertian sebagai sebuah proses membeli dan merenovasi rumah dan toko
pada area urban dengan kondisi yang buruk, yang dilakukan oleh golongan menengah
ke atas, yang bertujuan untuk menaikkan nilai properti yang sering kali dilakukan dengan
menggusur golongan ekonomi bawah dan bisnis berskala kecil. Istilah gentrifikasi di
dalam perkembangan kota pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Ruth Glass sekitar
tahun 1960-an. Glass menggunakan istilah gentrifikasi untuk mendeskripsikan hasil
observasinya atas sebuah fenomena yang terjadi pada golongan menengah atas di
beberapa area di Kota London ke area yang lebih tradisional dan “rendah” dalam kelas
strata ekonomi pekerja (Aspect of Change, 1964). Sejak saat itu, perdebatan serta
perhatian politik dan sosial terkait gentrifikasi terus berkembang.
26
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

Sebagai bagian dari perkembangan kota, gentrifikasi juga terjadi di Indonesia,


terutama di kota-kota besar seperti Jabodetabek. Gentrifikasi terjadi tidak hanya terjadi
pada proyek pengembangan yang dilakukan oleh pihak swasta, namun juga disebabkan
oleh pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah. Proyek pengembangan itu sendiri
juga bervariasi, seperti pengembangan hunian, fasilitas pendidikkan dan pengembangan
infrastruktur (toll, jalan, saluran, dll). Beberapa contohnya adalah gentrifikasi yang terjadi
di Kota Tangerang Selatan yang dilakukan oleh beberapa pengembang swasta; serta
gentrifikasi yang disebabkan oleh pengembangan infrastruktur di Rorotan, Bekasi, yang
dilakukan oleh pemerintah. Kesamaan dari kedua contoh kasus di atas adalah proses
gentrifikasi menimbulkan adanya penolakkan dari masyarakat yang menyebabkan
perdebatan dan konflik di antara masyarakat setempat dan pengembang.
Ada beberapa permasalahan yang ditimbulkan oleh fenomena gentrifikasi
(Harliani, 2013), yaitu: pemindahan secara langsung penduduk asal ke luar wilayah yang
sudah didiami, segregasi ekonomi dan sosial antara penduduk asal dan pendatang, dan
fragmentasi wilayah yang tergentrifikasi dan wilayah di sekitarnya. Permasalahan-
permasalahan ini menunjukkan adanya akibat-akibat dalam aspek ekonomi, sosial dan
spasial. Selain itu, seringkali proses gentrifikasi yang seringkali tidak lancar akan
melibatkan permasalahan hukum seperti penggusuran paksa dan sengketa lahan
(Sheppard dan Sandler, 2006), yang berujung dengan isu hak asasi manusia. Menilai
dari luasnya permasalahan yang ditimbulkan oleh fenomena gentrifikasi ini, maka
diperlukan sebuah penelitian untuk mencari solusi untuk mengatasi permasalahan ini.
Hal inilah yang menjadi latar belakang dari dilakukannya penelitian ini.
Transit Oriented Development (TOD) dengan konsep desain, serta manfaat yang
ditawarkan menjadi pendekatan yang akan digunakan untuk menganalisa dan menjawab
permasalahan yang ditimbulkan oleh fenomena gentrifikasi. Sudah banyak studi kasus
pengembangan kota yang berhasil dengan Konsep TOD ini. Keberhasilan tidak hanya
terjadi pada negara maju, tetapi juga pada negara yang masih berkembang. Skema
pembiayaan TOD juga bervariasi sesuai dengan moda transportasi yang akan
digunakan. Beberapa contoh studi kasus yang menarik adalah Hong Kong dengan
Lohas Park, Curitiba dengan CIC, serta Proyek South Saigon di Kota Ho Chi Minh.

1.2. Permasalahan
Beberapa permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini melingkupi:
 Apa yang dimaksud dengan fenomena gentrifikasi dan bagaimana fenomena
tersebut memberikan dampak bagi pertumbuhan sebuah kawasan.
 Bagaimana pengaruh konsep pengembangan TOD terhadap pertumbuhan
sebuah kawasan.

1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh TOD terhadap fenomena
gentrifikasi, fenomena perkembangan kota, dan pengaruhnya di dalam percepatan
pemerataan pembangunan, khususnya pembangunan kawasan sub-urban.

1.4. Ruang Lingkup


Penelitian akan difokuskan kepada pengaruh pengembangan kawasan sub-urban
dengan konsep TOD. Penelitian akan menggunakan Citra Maja sebagai studi kasus
penelitian.

2. METODE PENELITIAN
Transit Oriented Development (TOD) suatu konsep yang memiliki tujuan dimana
diharapkan mampu menjadi solusi bagi permasalahan transportasi dan aksesbilitas, juga
dapat memberikan nilai tambah pada suatu area atau kawasan. Dalam penelitian yang

27
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

berjenis penelitian deskriptif ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah TOD dapat
menjadi sebuah solusi dari adanya fenomena gentrifikasi dalam kaitannya mendukung
percepatan pemerataan pembangunan khususnya di Kawasn Maja, Banten. Kemudian,
untuk mencapai tujuan tersebut, metode analisis pertama yang digunakan adalah
analisa preseden konsep TOD pada studi kasus yang telah ada sebelumnya. Analisa
preseden ini adalah menggunakan metode analisa desktriptif dengan membandingkan 3
(tiga) preseden pembangunan kawasan perkotaan dengan berbasis TOD dan
bagaimana kaitannya terhadap penambahan nilai terhadap pemerataan pembangunan
kota. Kedua, hasil analisis tersebut akan dibandingkan dengan kondisi yang terdapat di
Kawasan Maja, Banten yang dimana saat ini telah dikembangkan menjadi kawasan
berbasis TOD. Terakhir, untuk memperkuat hasil sintesa yang ada, maka peneliti akan
melakukan validasi dengan menggunakan metode wawancara terbuka terhadap
stakeholder yang berkaitan dengan pembangunan TOD di Kawasan Maja, Banten.

3. KAJIAN TEORI
3.1. Gentrifikasi
Gentrifikasi seringkali dianggap sebagai penodaan terhadap keaslian dan
kemenarikkan lingkungan perkotaan, penipisan keragaman etnis di dalam lingkungan,
dan mengubahnya menjadi sebuah lingkungan yang tidak menarik dan hambar
(Sheppard, 2012). Sejak etimologi gentrifikasi tersebut muncul, fenomena ini menjadi
perdebatan diantara akademisi dan pembuat kebijakkan di Amerika, Eropa dan area
lainnya. Ada sebuah stigma bahwa gentrifikasi mengakibatkan kerugian bagi masyarakat
berpenghasilan rendah yang telah tinggal dan mendirikan komunitas di lingkungan
tempat mereka tinggal sejak lama, karena mereka “dipaksa” pindah baik dengan pilihan
maupun paksaan ke area baru dengan kondisi lingkungan yang lebih kurang baik.
Terkadang mereka juga diberikan pilihan untuk tetap tinggal di lingkungan tersebut
dengan persyaratan tertentu. Di balik pemikiran dan pandangan tidak mendukung atas
gentrifikasi, Brueckner dan Rosenthal (2009) menganggap bahwa gentrifikasi
merupakan sebuah konsekuensi alami dari pertumbuhan kebutuhan kota akan
perumahan, dengan prediksi gentrifikasi sebagai hasil yang akan terjadi di semua kota.
Gentrifikasi sebagai fenomena sosial yang mempengaruhi kondisi ekonomi dan
sosial masyarakat sudah berakar dan menyebabkan adanya kenaikkan harga properti,
terbatasnya hunian yang terjangkau dan terbentuknya gaya hidup baru di lingkungan
tersebut. Salah seorang pakar urban, Richard Florida (2002), menganggap bahwa
gentrifikasi merupakan pengorbanan yang diperlukan dalam rangka membangun
lingkungan perkotaan yang lebih berkualitas. Florida berpendapat, pada saat sudah tidak
tersedia hunian di lingkungan yang layak, ataupun sudah tidak cukupnya luas
lingkungan yang layak di dalam perkotaan, orang-orang dengan kemampuan ekonomi
yang lebih baik akan mencari lingkungan baru untuk menciptakan hunian yang sesuai
dengan harapan mereka.
Beberapa asumsi penyebab gentrifikasi bermunculan. Di antaranya adalah
kegiatan berinvestasi yang dilakukan oleh golongan menengah ekonomi atas untuk
mencari lebih banyak uang dari lingkungan pengembangan baru. Adanya keinginan
untuk mengembangan lingkungan dengan konsep tema tertentu untuk menarik minat
para penghuni dengan kriteria tertentu juga disinyalir menjadi salah satu penyebab.
Kesamaan dari dugaan-dugaan tersebut adalah keterbatasan lahan perkotaan yang
dianggap layak yang menjadi penyebab para pengembang membutuhkan area-area
baru berpotensi untuk mewujudkan impian mereka. Pada umumnya, sasaran terdekat
yang menjadi incaran para pengembang adalah area sub-urban dengan kondisi
infrastruktur yang cenderung sudah cukup baik dan memiliki jarak yang tidak jauh dari
pusat kota sehingga dapat menjadi nilai jual tambah kawasan lingkungan baru.

28
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

3.2 Transit Oriented Development (TOD)


Transit Oriented Development (TOD) memiliki prinsip untuk menciptakan sebuah
lingkungan perkotaan yang dirancang untuk manusia, aktivitas, bangunan dan ruang
publik dengan konsep terintegrasi yang memudahkan pejalan kaki dan pengendara
sepeda serta transportasi publik yang menghubungkan lingkungan dengan seluruh
wilayah perkotaan (ITDP, 2018). Konsep TOD merupakan landasan untuk
pengembangan berkelanjutan jangka panjang yang mengedepankan persamaan,
pemerataan ekonomi dan keharmonisan masyarakat di dalam sebuah kota.
Menurut Transit Oriented Development Institute, 2018, ada beberapa manfaat
yang dihasilkan dari TOD. Beberapa diantaranya adalah:
 Mengurangi ketergantungan pemakaian kendaraan pribadi.
 Meningkatkan efisiensi kehidupan sehari-hari masyarakat dengan menyediakan
ruang kerja, tinggal, dan bermain pada area yang sama.
 Mengurangi polusi lingkungan dari karbon yang dihasilkan oleh kendaraan
bermotor.
 Mengurangi kemacetan dan kecelakaan di perjalanan.
 Menyediakan kemudahan akses dan kehidupan yang lebih baik.
 Mendukung pola hidup masyarakat yang lebih sehat.
 Menstimulasi ekonomi lokal.
 Kenaikkan dan kestabilan harga properti.
 Menyediakan koneksi yang lebih baik antara urban dan sub-urban.
 Menyediakan akses yang lebih baik untuk area rekreasi dan fasilitas pelayanan.
 Menyediakan lapangan pekerjaan.
 Memberikan kesempatan kepada area urban untuk merevitalisasi lingkungannya.
Di dalam penerapannya, ada delapan buah standard desain yang digunakan di
dalam konsep TOD (TOD Standard 3.0), yang meliputi berjalan kaki, bersepeda,
menghubungkan, angkutan umum, pembauran, memadatkan, merapatkan dan beralih.
Pengembangan dengan konsep TOD ini sudah terjadi di banyak kota di seluruh dunia.
Beberapa proyek pengembangan yang dinilai berhasil diantaranya:
a. P+R Project, Hong Kong
Setelah lebih dari tiga decade, perusahaan MTR Hong Kong telah
menangkap peluang dan memberikan manfaat, baik secara ekonomi dan sosial
yang signifikan. MTR di Hong Kong telah menjadi mode transportasi yang sangat
baik, menciptakan lingkungan baru dan hidup, membuka peluang usaha bagi para
pengembang dan usaha kecil, serta menyediakan lebih banyak ruang terbuka
dengan menggunakan metode konservasi ruang (Leong, 2016). MTR di Hong
Kong menjangkau area seluas hingga 221 km dan digunakan oleh lebih dari lima
juta pengguna setiap harinya.
Sistem MTR di Hong Kong menjadi berhasil karena didukung oleh
pemerintah dengan model bisnis yang dikenal dengan “Rail Plus Property (R+P)”
(Gambar 1). Skema yang ditawarkan melalui model ini adalah pemerintah akan
memberikan ijin pengembangan lahan premium yang direncakan sebagai jalur
transportasi kepada perusahaan MTR, dan MTR akan membayarkan sejumlah
biaya sebagai pengganti harga lahan tersebut sesuai dengan nilai lahan di
pasaran. MTR kemudian akan membangun jaringan transportasi dan bekerja
sama dengan pengembang swasta untuk mengembangkan proyek properti.
Pemilihan pengembang dilakukan melalui proses tender yang kompetitif dan
terbuka. Kemudian dari hasil penjualan property, MTR dan pengembang tersebut
akan membagi hasil keuntungan yang didapatkan.

29
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

Gambar 1. Model Pengembangan P+R


(Sumber: http://www.mtr.com.hk/en/corporate/sustainability/2014rpt/finan-
business.php, 2018)

Gambar 2. Proses Pembangunan Lohas Park


(Sumber: http://www.construction-post.com/wheelock-co-bag-lohas-park-package-
nine-project/, 2018)

Tidak hanya mendukung pemerataan pengembangan keseluruhan kawasan


di Hong Kong, skema ini juga berhasil merubah pandangan masyarakat untuk
tinggal di dekat stasiun MTR yang dulu dianggap kumuh, tidak nyaman, dan
berisik; menjadi mudah, aman, dan nyaman. Hal ini membuat kenaikkan harga
properti pada area di sekitar pengembangan stasiun MTR. Keberhasilan dari
model ini sudah terbukti sejalan dengan berlalunya waktu. Pembiayaan
pembangunan infrastruktur yang mahal terbantu dengan skema ini. Hasilnya
adalah pengembangan jaringan yang cepat dan menjangkau seluruh kawasan.
Salah satu contoh pengembangan dengan model ini adalah Proyek Lohas Park di
Hong Kong.
Master plan dari Lohas Park dirancang oleh Ronald Lu & Partners (Lu,
Leung, dan Cheung, 2014). Total keseluruhan area pengembangan Lohas Park
adalah 34.8 ha, dengan target populasi sebanyak 20.000 keluarga. Lohas Park
terletak di dekat daerah Tseung Kwan O, yang merupakan tempat pembuangan
akhir sehingga memiliki permasalahan lingkungan dan kesehatan (Gambar 2).
Gambaran akan hal tersebut berubah sejak perusahaan MTR mengembangkan
30
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

area tersebut dengan model R+P, di mana penjualan unit apartemen tergolong
laris. Lohas Park akan memiliki sekitar 50 bangunan apartemen dengan
ketinggian rata-rata setiap bangunan hingga 60 lantai. Proyek ini dimulai pada
tahun 2009 dan diperkirakan akan selesai pada 2020 (lohasproperty.com, 2018).

b. Bus Rapid Transit, Curitiba Brazil


Curitiba merupakan salah satu kota di Amerika Selatan dengan
pertumbuhan yang sangat cepat. Pertumbuhan tersebut menyebabkan
permasalahan kepadatan, kemacetan, persebaran penduduk, masalah
lingkungan, dan permasalahan sosial (Gustafsson dan Kelly, 2012). Curitiba
memiliki kenaikkan pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 4.6% per tahun
selama 50 tahun dan membuat Curitiba berubah dari kota kecil menjadi kota
metropolitan.
Selama hampir 40 tahun, pembangunan kota selalu mengikuti Master Plan
yang sudah dibuat. Master Plan tersebut berisi tentang prinsip perancangan,
lingkup perancangan, dan arahan yang mengedepankan koneksi jaringan
transportasi publik, tata guna lahan, dan preservasi lingkungan. Di dalam
perkembangannya, ada penyesuaian yang dilakukan di dalam master plan,
seperti perubahan jalur kendaraan bermotor menjadi pedestrian komersial yang
terhubung dengan jaringan transportasi publik. Selain itu juga dibuat axis arah
pengembangan dari pusat kota menuju sub-urban untuk menyetarakan
pembangunan.
Kunci dari keberhasilan pengembangan kota adalah promosi
pengembangan jaringan transportasi publiknya. Jaringan transportasi publik yang
paling utama di Curitiba adalah Bus Rapid Transit (BRT). BRT di Curitiba
dikembangkan sejak tahun 1972, dan memiliki 5 koridor utama saat ini (Rodriguez
dan Tovar, 2013). Dalam rangka mendukung keberhasilan dari investasi atas
proyek BRT ini, pemerintah mendorong pengembangan proyek-proyek berskala
medium dan besar untuk dikerjakan di sepanjang jalur koridor BRT (Cervero,
2013). Koridor berwarna hijau merupakan pengembangan koridor BRT pertama di
Curitiba (Gambar 3). Koridor ini memiliki panjang sekitar 18 km, dan merupakan
jalur bekas jalan raya nasional. Selain diubah menjadi koridor BRT, jalan ini juga
diubah menjadi jalur pejalan kaki dan pengguna sepeda. Untuk mendukung
pengembangan ruang terbuka hijau, pemerintah membuat penyesuaian
kebijakkan peraturan ketinggian bangunan bagi pengembangan yang
mengedepankan penyediaan ruang terbuka hijau.
Penggunaan BRT dilakukan dengan pertimbangan biaya yang besar untuk
membuat jaringan transportasi berbasis rel serta durasi pembangunan yang
panjang dan tidak dapat mengimbangi kecepatan pertumbuhan penduduk.
Dengan adanya sistem BRT ini, kota dapat menawarkan sebuah moda
transportasi publik yang berkualitas dengan harga yang terjangkau kepada
masyarakat. Kenaikkan tingkat pengguna BRT menunjukkan popularitas
sekaligus keberhasilan dari sistem BRT ini (Gustafsson dan Kelly, 2012). Hampir
85% masyarakat melakukan mobilisasi dengan bus, dengan 28% di dalamnya
merupakah pengguna yang beralih dari kendaraan pribadi. Rata-rata pengguna
BRT adalah 2 juta orang per hari (Adler, 2016).

31
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

Gambar 3. Transit Sistem Curitiba


(Sumber: wordpress.com, 2018)

Curitiba Industrial City (CIC) adalah sebuah proyek pembangunan pusat


industri Curitiba, yang terletak sekitar 10 km dari pusat kota Curitiba dengan
akses koneksi BRT. CIC mulai dibangun pada tahun 1970. Keberadaan CIC telah
meningkatkan profil ekonomi kota dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat. Luas CIC adalah 43.7 km2, terdiri dari beberapa sektor struktural
seperti bisnis, industri, komersial, jasa, dan aktivitas lainnya. CIC dirancang
sebagai sebagai sebuah kota industry hijau dengan 15% luas areanya masih
dibiarkan hijau. Untuk pemenuhan kebutuhan akan hunian bagi para pekerja, CIC
juga menyediakan 20.000 unit rumah untuk memudahkan kehidupan sehari-hari
para pekerjanya. Saat ini, sudah ada lebih dari 6.000 industri yang beroperasi di
CIC baik industri lokal maupun internasional (Gambar 4).

Gambar 4. Curitiba Industrial City (CIC)


(Sumber: http://www.curitiba.pr.gov.br/noticias/curitiba-sa-retoma-o-apoio-as-empresas-da-
cidade-industrial/41602, 2018)

32
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

Menurut World Resources Institute (2011), berikut di bawah ini adalah


beberapa manfaat dari sistem BRT di Curitba:
 Mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mobilitas
 Keberadaan Pusat Industri Curitiba telah menyediakan lapangan pekerjaan
sekitar 50.000 lapangan pekerjaan langsung dan 150.000 lapangan
pekerjaan tidak langsung
 Penggunaan bahan bakar di Curitiba 3% lebih rendah daripada Kota-kota
Brazil lainnya
 Meningkatkan kesehatan di ruang terbuka
 70% masyarakat aktif ikut serta di dalam daur ulang sampah, dengan 13%
sampah padat telah berhasil didaur ulang
 Adanya kenaikkan nilai properti yang berakibat naiknya nilai pajak
 Mengurangi banjir kota.

c. Proyek South Saigon, Kota Ho Chi Minh


Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pusat kota Ho Chi Minh semakin
membutuhkan pengembangan dengan tingkat kepadatan tinggi. Pada prosesnya,
pengembangan ini menjadi ancaman dari preservasi keberadaan lingkungan yang
bersejarah di area tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pemerintah
bersama pihak swasta (Phu My Hung Corporation) bersama-sama
mengembangkan sebuah kawasan baru di area selatan Kota Ho Chi Minh, di
mana area tersebut memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi kawasan baru
dengan biaya pengembangan dan harga properti yang lebih terjangkau, tetapi
tetap memberikan kemudahan bagi para penghuni dengan membuat aksesibilitas
yang mudah menuju transportasi publik kota dan area bisnis yang memang sudah
ada sebelumnya.
Pengembangan proyek yang diberi nama South Saigon ini memiliki luas
sekitar 2.600 ha (SOM, 2018), yang setara dengan luas area 5 distrik di pusat
kota. Master plan keseluruhan kawasan dirancang oleh SOM, sebuah firma
desain dari Amerika (Gambar 5). South Saigon menyediakan variasi tipe dan
harga hunian yang dilengkapi dengan fasilitas pelengkap sehingga memudahkan
mobilitas seluruh penghuni. South Saigon menjadi rumah bagi sekitar 2 juta orang
Vietnam. Keragaman tipe populasi masyarkat di South Saigon berhasil merubah
stigma interaksi sosial di dalam masyarakat yang selalu terbagi ke dalam segmen
sosial ekonomi. Pengembangan kawasan urban baru South Saigon menunjukkan
adanya internalisasi dan polarisasi pada masyarakat Vietnam (Waibel, 2015).

Gambar 5. Master Plan South Saigon


(Sumber: https://phumyhung.vn/en/saigon-south-residences, 2018)

33
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

Pada master plan di atas dapat terlihat bahwa penggunaan lahan dibuat
beragam dengan fasilitas pendukung seperti pusat industri, edukasi, dan
komersial diletakkan tersebar agar mudah dijangkau dari seluruh bagian hunian.
Aksesibilitas dan konektivitas ke dalam dan luar kawasan juga dibuat dengan
struktur hierarki yang jelas sehingga memudahkan orientasi masyarakat di
dalamnya. Pada prosesnya, pembangunan dilakukan bertahap dengan tetap
sejalan dengan arahan desain yang sudah disusun sejak awal. Pembangunan
dimulai dengan tipe hunian 2 lantai bersamaan dengan infrastruktur dan pusat
pengolahan limbah. Setelah itu dibangun apartemen tingkat menengah, dan
setelah situasi cukup baik, dibangun juga kondominium, apartemen tingkat
menengah atas, dan rumah tinggal (Huynh, 2015).
Sebagai sebuah pengembangan urban baru, South Saigon dianggap
sangat berhasil dan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi
Vietnam. South Saigon dinilai sukses dalam menyediakan sebuah kawasan
terpadu bagi masyarakat dan membantu mengatasi permasalahan persebaran
urban yang tidak teratur akibat keterbatasan lahan di pusat kota (Huynh, 2015).

3.1 Permasalahan Gentrifikasi Vs TOD


Dari hasil pemaparan teori dan preseden di atas, ada beberapa poin yang dapat
disimpulkan terkait gentrifikasi, yaitu:
 Gentrifikasi merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari di dalam
perkembangan sebuah kota dimanapun kota itu berada.
 Proses gentrifikasi seringkali terkait dengan permasalahan sosial, ekonomi,
spasial, maupun permasalahan hukum. Hal ini tidak hanya terjadi pada
pengembangan yang dilakukan oleh swasta, melainkan juga pengembangan
yang dilakukan oleh pemerintah
 Terbatasnya lahan dan isu pembaharuan lingkungan seringkali menjadi alasan
dilakukannya gentrifikasi.
Dari beberapa studi preseden yang digunakan, berikut hasil perbandingan
informasi umum dan aplikasi pengembangan terhadap proyek pengembangan dengan
prinsip-prinsip TOD (Tabel 1):

Tabel 1. Tabel Perbandingan Informasi Umum dan Aplikasi Proyek Pengembangan dengan Prinsip
TOD
SOUTH
PARAMETER LOHAS PARK BRT & CIC
SAIGON
Informasi Umum
Tseung Kwan O, Ho Chi Minch
1. Lokasi Curitiba, Brazil
HK City
2. Luas Proyek 34.8 ha 4.360 ha 2.600 ha
20.000 keluarga +
3. Target populasi 20.000 keluarga 2 juta orang
6.000 lebih industri
Public Private Public Private Public Private
4. Pendanaan
Partnership Partnership Partnership
Aplikasi Konsep TOD (sumber: TOD Standard 3.0)
1. Berjalan kaki/ walk
 Infrastruktur pejalan kaki
v v v
yang aman & lengkap
 Jalur pejalan kaki yang
v v v
aktif dan hidup
2. Bersepeda/ cycle
 Infrastruktur pengguna
sepeda yang aman & v v
lengkap
 Kualitas dan kuantitas v v

34
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

SOUTH
PARAMETER LOHAS PARK BRT & CIC
SAIGON
parkir sepeda serta
fasilitas pendukung
lainnya
3. Menghubungkan / connect
 Rute berjalan kaki &
bersepeda pendek, v v v
langsung &bervariasi.
 Rute berjalan kaki dan
bersepeda lebih pendek
v v v
daripada rute kendaraan
bermotor.
4. Angkutan Umum/ transit
 Angkutan umum
berkualitas tinggi dapat
v v v
diakses dengan berjalan
kaki
5. Pembauran/ mix
 Kesempatan dan jasa
berada pada jarak
berjalan kaki yang pendek
dari tempat dimana orang v v v
tinggal dan bekerja, dan
ruang publik yang aktif
untuk waktu yang lama.
 Demografi dan tingkat
pendapatan yang
beragam ada pada v v v
kalangan penduduk
setempat.
6. Memadatkan/ densify
 Kepadatan permukiman
dan pekerjaan yang tinggi
mendukung angkutan Mixed Mixed
v
berkualitas tinggi, development development
pelayanan lokal, dan
aktivitas ruang publik.
7. Merapatkan/ compact
 Pembangunan terjadi di
dalam atau di sebelah area Di luar Dari dalam ke luar Di luar
perkotaan yang sudah ada.
 Perjalanan di dalam kota
v v v
nyaman.
8. Beralih/ shift
Pengurangan lahan yang
Ketiganya dibangun pada area yang masih belum
digunakan untuk
berkembang
kendaraan bermotor.
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2018)

Berdasarkan hasil perbandingan di atas, tergambar bahwa perancangan TOD


menawarkan solusi untuk permasalahan gentrifikasi, dalam aspek:
1) TOD mengedepankan konektivitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan
nyaman. Hal ini dapat mendorong adanya pengembangan pada lahan baru yang
lebih jauh lagi (bukan suburban). Misalnya pada daerah dengan tingkat
kepadatan penduduk dan ekonomi yang masih rendah.
2) TOD memberikan manfaat di dalam pemerataan pembangunan baik pada pusat
kota maupun pinggiran kota. Selain itu TOD juga membantu meningkatkan

35
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

percepatan pembangunan serta mengontrol kenaikkan harga properti. Seperti


halnya yang terjadi di Hong Kong.
3) TOD mengubah pandangan masyarakat atas kondisi latar belakang suatu lahan
yang mulanya dianggap tidak potensial menjadi lahan yang memiliki prospek di
masa yang akan datang. Hal ini juga mendorong adanya transformasi wajah kota
menjadi lebih positif.
4) TOD tidak selalu harus dimulai dengan jaringan transportasi publik yang rumit dan
investasi besar. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan dari system BRT di
Curitiba, Brazil.
5) TOD menawarkan alternatif solusi pengembangan kawasan terpadu yang ramah
pejalan kaki, padat, dan beragam untuk kota; walau dengan jaringan
perkembangan transportasi publik yang masih terbatas.
6) TOD tidak memiliki batasan luas maksimum dan minimum lahan pengembangan.
Hal ini dapat terlihat dari keberhasilan ketiga studi preseden yang memiliki varian
data.

4. HASIL PENELITIAN
Kesimpulan pada kajian pustaka menunjukkan adanya signifikansi
penanggulangan permasalahan gentrifikasi dengan perancangan urban yang
mengusung konsep TOD. Untuk melihat lebih jauh seberapa besar signifikansi tersebut,
maka teori-teori tersebut akan diujikan pada studi kasus yang dipilih yaitu Kawasan
Maja. Maja dipilih dengan pertimbangan kesesuaian perkembangan wilayahnya pada
masa kini dan kemungkinan perkembangannya di masa depan, dengan topik penelitian.
Kawasan Maja terletak di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kawasan Maja
memiliki jarak tempuh sekitar 80 km dari Kota Jakarta, dengan waktu tempat berkendara
sekitar 2 jam perjalanan ke-arah barat Jakarta. Kabupaten Lebak memiliki luas wilayah
330.507,18 Ha (RTRW Kabupaten Lebak 2014-2034). Kabupaten Lebak merupakan
kawasan yang masih belum berkembang dengan tingkat kepadatan penduduk yang
rendah (2 jiwa/ ha; data BPS Kabupaten Lebak, 2017) dan mayoritas penggunaan lahan
masih dipergunakan untuk pertanian. Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Lebak
juga cenderung rendah, yaitu 0.85% per tahun (data BPS Kabupaten Lebak 2011-2017).
Pada tahun 2017, jumlah penduduk Kabupaten Lebak tercatat sebesar 1.288.103 jiwa.
Pada 2006, Kemenpera membuat rencana pengembangan Kota Kekerabatan
Maja dengan konsep berwawasan lingkungan yang nyaman, aman, ramah, dan
manusiawi (Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat (Kemenpera) No.
02/KPTS/M/1998). Tujuan dari direncanakannya Kota Kekerabatan Maja pada masa itu
adalah untuk menaikkan nilai kawasan baik secara ekonomi dan sosial. Selain itu,
proyek ini juga bertujuan untuk menekan laju urbanisasi menuju Jakarta. Kota
Kekerabatan Maja memiliki area pengembangan seluas 10.900-11.000 ha, dengan
target populasi sebesar 2 juta jiwa.
Sayangnya, sejak dikeluarkannya Peraturan Kemenpera tersebut, masih belum
ada langkah konkrit yang terjadi hingga sekitar akhir tahun 2010. Hal ini disebabkan
karena lemahnya pembiayaan, pembangunan infrastuktur dasar yang lambat, serta
sulitnya prosedur perijinan (Jati, 2010). Baru sejak 2010, dengan dikeluarkannya
Perpres No. 54/ 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mendorong
kemudahan perijinan; serta digalakkannya program pembangunan dengan skema PPP
(Public – Private Partnership) untuk mengatasi lemahnya pembiayaan, proyek ini mulai
aktif kembali. Selain itu proyek ini juga kemudian dialihkan untuk diteruskan di bawah
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui
Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW), Kota Kekerabatan Maja terus
berkembang dan dilanjutkan menjadi Proyek Pembangunan Kawasan Kota Mandiri Maja
(www.liputan6.com, 2018). Sesuai dengan arahan yang terkandung di dalam Rencana
36
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Kawasan Maja juga


ditunjuk oleh Pemerintah untuk menjadi salah satu dari sepuluh kawasan ekonomo baru
publik. Di dalam pelaksanaan pengembangannya hingga saat ini, Pemerintah telah
bekerja sama dengan beberapa pengembang swasta untuk mengembangkan Kawasan
Maja. Beberapa pengembang yang ditunjuk di antaranya adalah PT. Ciputra Residence,
PT. Putra Asih Laksana, dan PT. Hanson International Tbk.
Deputi Menteri PPN/Bappenas Pengembangan Regional Rudy Soeprihadi
Prawiradinata memberikan penekanan bahwa pengembangan Kota Baru Maja harus
konsisten dengan konsep perancangan awal sebagai sebuah kawasan TOD sehingga
cita-cita untuk menjadi kota terintegrasi dapat terwujud dan tidak hanya menjadi
kawasan sub-urban Kota Jakarta (BPN, 2018). Menurut Direktur Penataan Kawasan
Ditjen Tata Ruang Kementerian ATR/BPN, Agus Sutanto, Maja mengemban misi untuk
dapat menjadi kota yang inklusif dan ramah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Misi ramah MBR ini juga sejalan dengan Program Sejuta Rumah yang direncanakan
oleh Pemerintah.
Citra Maja merupakan salah satu contoh proyek pengembangan kawasan yang
dikembangkan oleh pengembang swasta (PT. Ciputra Residence) yang terlibat di dalam
rencana pengembangan Kawasan Maja (Gambar 6). Citra Maja memiliki luas area
pengembangan sebesar 2.600 hektar. Di dalam perancangan master plannya, Citra
Maja direncanakan sebagai sebuah kota baru yang didesain dengan konsep terpadu
dan lengkap berbasis TOD, yang mendorong penggunaan moda transportasi publik.
Stasiun kereta api Maja yang sudah ada akan dikembangkan dan menjadi simpul
transportasi publik yang menjadi pendukung bagi mobilitas para penghuni kedepannya
(Citra Maja, 2018).

Gambar 6. Aksesibiltas Citra Maja


(Sumber: https://investproperti.com, 2018)

Pengembangan kawasan terus berjalan selaras dengan pengembangan jalur


kereta api commuter line yang dikerjakan oleh pemerintah. Hingga saat ini (2018) jalur
tersebut sudah tersedia hingga stasiun Rangkas Bitung. Hal ini tentunya menambah
cakupan minat masyarakat yang tadinya hanya berorientasi ke arah timur, sekarang juga
berkembang ke arah barat. Secara internal, untuk mendukung mobilitas masyrakat di
dalam sebuah kawasan yang besar, juga akan disiapkan stasiun transit dan feeder bus
baik secara internal maupun eksternal (Citra Maja, 2018).
Citra Maja mulai dikembangkan sejak tahun 2014 dan telah menarik animo
masyarakat sejak peluncurannya. Di dalam perancangannya, Citra Maja didesain
dengan lebih dari 11.000 unit rumah, lebih dari 15 fasilitas publik (pasar, kesehatan,
edukasi, dll), dan lebih dari 500 unit bangunan komersial (ruko). Keberhasilan
pengembangan Citra Maja terjadi karena konsep TOD yang diusung beserta harga

37
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

hunian yang ditawarkan yang yang memang menargetkan Masyarakat Berpenghasilan


Rendah (MBR).

Gambar 7. Master Plan Citra Maja


(Sumber Gambar Dasar: citramaja.com, 2018)

Strategi penyediaan ragam kelas hunian bukan hanya menjadi metode dalam
mendukung Program Sejuta Rumah milik Pemerintah, tetapi juga menjadi daya tarik
tersendiri bagi seluruh golongan ekonomi masyarakat. Hingga saat ini, sejak dimulainya
pengenalan produk serta penjualan pada tahun 2014, Citra Maja telah berhasil menjual
sekitar 20.000 unit rumah yang terdiri dari tipe rumah sederhana dan rumah estate.
Harga yang ditawarkan relatif terjangkau, yaitu sekitar Rp 100.000.000,- untuk tipe
Rumah Sederhana.
Sejak Citra Maja dikembangkan, terjadi perubahan signifikan pada Kawasan Maja
dalam hal perkembangan sosial dan ekonomi. Dari segi ekonomi, pembangunan
infrastruktur yang terus dilakukan membuat harga tanah di daerah Maja terus melonjak.
Pada 2014, rata-rata harga tanah di Maja adalah Rp 800.000,-/m2; namun pada 2016,
harga tanah sudah naik menjadi Rp 1.300.000,-/m2; dengan kenaikkan sebesar 62.5%
dalam 3 tahun (Onggo, 2016; Okezone.com). Pada sisi sosial, pengembangan Citra
Maja berhasil memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar karena kegiatan
ekonomi yang mulai aktif serta menjadi penyedia fasilitas-fasilitas publik yang
sebelumnya belum ada di Kawasan Maja, seperti komersial dan edukasi.
38
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

Berdasarhkan hasil sintesa kesesuaian pengembangan Citra Maja terhadap


Konsep TOD maka dapat disimpulkan sebagai berikut (Tabel 2):
Tabel 2. Informasi Umum dan Aplikasi Pengembangan Proyek Citra Maja dengan Prinsip TOD
PARAMETER CITRA MAJA
Informasi Umum
1. Lokasi Kawasan Maja, Banten
2. Luas Proyek 2.600 ha
3. Target populasi Sekitar 2 juta jiwa
4. Pendanaan Public Private Partnership
Aplikasi Konsep TOD (sumber: TOD Standard 3.0)
1. Berjalan kaki/ walk
 Infrastruktur pejalan kaki yang aman & lengkap v
 Jalur pejalan kaki yang aktif dan hidup v
2. Bersepeda/ cycle
 Infrastruktur pengguna sepeda yang aman & lengkap v
 Kualitas dan kuantitas parkir sepeda serta fasilitas
v
pendukung lainnya
3. Menghubungkan / connect
 Rute berjalan kaki & bersepeda pendek, langsung
v
&bervariasi.
 Rute berjalan kaki dan bersepeda lebih pendek
v
daripada rute kendaraan bermotor.
4. Angkutan Umum/ transit
 Angkutan umum berkualitas tinggi dapat diakses
v
dengan berjalan kaki
5. Pembauran/ mix
 Kesempatan dan jasa berada pada jarak berjalan kaki
yang pendek dari tempat dimana orang tinggal dan
v
bekerja, dan ruang publik yang aktif untuk waktu yang
lama.
 Demografi dan tingkat pendapatan yang beragam ada
v
pada kalangan penduduk setempat.
6. Memadatkan/ densify
 Kepadatan permukiman dan pekerjaan yang tinggi
mendukung angkutan berkualitas tinggi, pelayanan v
lokal, dan aktivitas ruang publik.
7. Merapatkan/ compact
 Pembangunan terjadi di dalam atau di sebelah area
Di luar
perkotaan yang sudah ada.
 Perjalanan di dalam kota nyaman. v
8. Beralih / shift
Pengurangan lahan yang digunakan untuk kendaraan Dibangun pada area yang
bermotor. masih belum berkembang
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2018)

5. KESIMPULAN
Berdasarkan informasi dan analisa data serta observasi lapangan, dapat
disimpulkan bahwa Proyek Pengembangan Citra Maja merupakan salah satu kasus
yang baik untuk dijadikan percontohan pengembangan kawasan dengan konsep TOD di
Indonesia. Pembangunan Citra Maja yang memang sejalan dengan visi misi
pembangunan pemerintah menjadikan proyek ini memiliki salah satu nilai tambah yang
mendukung keberhasilan, yaitu dari segi kemudahan perijinan dan administartif lainnya.
Dari sisi perkembangan Kawasan Maja itu sendiri, keberadaan Citra Maja berhasil
menjadi penopang pembangunan dari segi ekonomi, sosial, dan infrastruktur. Hal ini
menunjukkan adanya sebuah keberhasilan pengembangan kawasan dengan Konsep
TOD terhadap pemerataan pembangunan yang secara tidak langsung menekan
fenomena gentrifikasi yang terjadi pada area sub-urban.
39
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/
Jasa Pemerintah.
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional. Buku I Agenda Pembangunan Nasional. 2014. Website, diakses online
29 Agustus 2018.
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional. Buku II Agenda Pembangunan Bidang. 2014. Website, diakses online
29 Agustus 2018.
Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat (Kemenpera) No. 02/KPTS/M/1998
tentang Pembentukan Tim Pembangunan Perumahan dan Permukiman Skala
Besar Kawasan Maja
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak 2014-2014
Adler, D., 2016. Story of cities #37: how radical ideas turned Curitiba into Brazil's 'green
capital.’ The Guardian. Website, diakses online 29 Agustus 2018.
Alexander, H. B., 2015. Maja, Kawasan Potensial di Barat Jakarta. Berita Ekonomi
Kompas. Website, diakses online 29 Agustus 2018.
Brueckner, J. K., dan Rosenthal, S. S., 2009. "Gentrification and Neighborhood Housing
Cycles: Will America's Future Downtowns Be Rich?" Review of Economics and
Statistics 91, no. 4: 725-743. 2009
Cervero, R. 2013. BRT TOD: Leveraging Transit Oriented Development with Bus Rapid
Transit Investments. 2013. WCTR Rio. Website, diakses online 3 September
2018.
Florida, R.. The Rise of the Creative Class. 2002. New York: New York
Gustafsson, H.R. dan Kelly, E., 2012. Urban Innovation in Curitiba: a Case Study. 2012.
Eugene and Carol Ludwig Center for Community & Economic Development.
Website, diakses online 29 Agustus 2018.
Harliani, F., 2013. Urbanisasi di Pinggiran Kota, Waspadalah Dampak Negatif dari
Gentrifikasi. Kompasiana. Website, diakses online 29 Agustus 2018.
Huynh, D., 2015. Phu My Hung New Urban Development in Ho Chi Minh City: Only a
Partial Success of a Broader Landscape. International Journal of Sustainable
Built Environment. Website, diakses online 29 Agustus 2018.
ITDP, 2018. What is TOD? Institute for Transportation and Development Policy.
Website, diakses online 29 Agustus 2018.
ITDP, 2017. TOD Standard 3.0. Website, diakses online 29 Agustus 2018.
Jati, Y. W., 2010. Menghidupkan Lagi Kota Kekerabatan Maja. . Website, diakses online
29 Agustus 2018.
Kostof, S. 1991. The City Shaped Urban Patterns and Meanings Through History.
Thames and Hudson Ltd: London
Leong, L., 2016. The ‘Rail plus Property’ model: Hong Kong’s Successful Self-financing
Formula. Mc. Kinsey: New York.
Lu, B. H.Y., Leung, A. K. M., dan Cheung, A. M. C, 2014. Learning from Hong Kong:
Why High Density TODs Spell the Future for Asia Most Populous Cities. CTBUH
Shanghai Conference Proceeding. Website, diakses online 29 Agustus 2018.
Rodriguez, D. A.dan Tovar, E. V., 2018. Bus Rapid Transit and Urban Development in
Latin America. Lincoln Institute of Land Policy. Website, diakses online 29
Agustus 2018.
Sheppard, B. dan Leonard H. S., 2006. Condemned Communities Forced Evictions in
Jakarta. Human Rights Watch, Vol. 18, No. 10 (C). Website, diakses online 20
Agustus 2018.

40
Jurnal SCALE p-ISSN : 2338 -7912, e-ISSN: 2620-7559
Volume 6 No. 1, Agustus 2018

Sheppard, S., 2012. Why Is Gentrification a Problem? Centre for Creative Community
Development. C3D. Williams College Department of Economics. Website,
diakses online 29 Agustus 2018.
TOD Institute, 2018. Transit Oriented Development. Website, diakses online 29 Agustus
2018.
Waibel, M., 2015. The development of Saigon South New Urban Area A sign of an
increasing internalization and polarization in Vietnamese society. Research Gate
Publication. Website, diakses online 20 Agustus 2018.
World Resources Institute, 2011. A Compilation of Green Economy Policies, Programs,
and Initiatives from Around the World. The Green Economy in Practice: Interactive
Workshop 1, February 11th, 2011. Website, diakses online 29 Agustus 2018.
http://www.bpn.go.id/BERITA/Siaran-Pers/ditjen-tata-ruang-dorong-pengembangan-
kawasan-kota-baru-maja-melalui-konsep-transit-oriented-development-75602/,
diakses online 31 Agustus 2018.
https://citramaja.com/, diakses online 31 Agustus 2018.
http://www.tribunnews.com/bisnis/2016/06/27/empat-pengembang-besar-kompak-
kembangkan-kota-baru-maja, diakses online pada 25 Agustus 2018
https://economy.okezone.com/read/2016/10/11/470/1511666/harga-tanah-di-maja-naik-
62-5-dalam tiga-tahun, diakses online 20 Agustus 2018.
https://lebakkab.bps.go.id/dynamictable/2018/04/03/43/laju-pertumbuhan-penduduk-
kabupaten-lebak-tahun-2011---2017-menurut-kecamatan.html, diakses online 20
Agustus 2018.
http://www.lohasproperty.com/eng/decode2.php, diakses online 29 Agustus 2018.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3238115/pupr-kembangkan-pembangunan-
perumahan-di-maja/, diakses online 31 Agustus 2018.
http://www.mtr.com.hk/en/corporate/sustainability/2014rpt/finan-business.php, diakses
online 29 Agustus 2018.
https://phumyhung.vn/en/saigon-south-residences, diakses online 29 Agustus 2018.
https://www.som.com/projects/saigon_south_master_plan, diakses online 29 Agustus
2018.

41

Anda mungkin juga menyukai